You are on page 1of 328

1

KOMPONEN VERBAL DAN NONVERBAL


DALAM
GENRE TARI PASIHAN GAYA SURAKARTA
(Kajian Pragmatik)

DISERTASI
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat
Doktor Program Studi Linguistik Minat Utama Linguistik
Pragmatik dan Dipertahankan di Hadapan Sidang
Senat TerbukaTerbatas di Bawah Pimpinan
Rektor Universitas Sebelas Maret
Prof. Dr. H. Much Syamsulhadi, dr., Sp.KJ. (K)
Pada Hari Rabu Kliwon, 7 April 2010

Oleh :
Maryono
NIM. T 130906005

PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI LINGUISTIK (S3)
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2

SURAKARTA
2010
DISERTASI
KOMPONEN VERBAL DAN NONVERBAL
DALAM
GENRE TARI PASIHAN GAYA SURAKARTA
( Kajian Pragmatik)

Oleh :
Maryono
NIM. T 130906005

DISETUJUI OLEH PEMBIMBING

1. Prof. Dr. M. Sri Samiati Tarjana. …………………………


NIP. 194 406 021 965 112 001
(Promotor)

2. Prof. Dr. T. Slamet Suparno, S.Kar.,M.S. …………………………


NIP. 194 812 191 975 011 001
(Ko-Promotor )

Mengetahui
Ketua Program Studi S3 Linguistik
3

Prof. Dr. H. D. Edi Subroto.


NIP. 194 409 271 967 081 001

KOMPONEN VERBAL DAN NONVERBAL


DALAM
GENRE TARI PASIHAN GAYA SURAKARTA
( Kajian Pragmatik)

DISERTASI
UNTUK MEMPEROLEH GELAR DOKTOR DALAM BIDANG LINGUISTIK
MINAT UTAMA: LINGUISTIK PRAGMATIK
DIPERTAHANKAN DI HADAPAN DEWAN PENGUJI
PADA SIDANG SENAT TERBUKA TERBATAS
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA PADA TANGGAL: 7 APRIL 2010

OLEH: MARYONO
LAHIR DI BOYOLALI, 15 JUNI 1960
DEWAN PENGUJI:
1. Prof. Dr. H. Much Syamsulhadi, dr., Sp.KJ. (K) ....................................
(Penguji Utama)
2. Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.D. ....................................
(Sekretaris merangkap Anggota)
3. Prof. Dr. M. Sri Samiati Tarjana. ....................................
(Promotor merangkap anggota)
4. Prof. Dr. T. Slamet Suparno, S.Kar., M.S. ....................................
(Ko-Promotor merangkap anggota)
5. Prof. Dr. H. D. Edi Subroto. ....................................
(Anggota)
6. Prof. Dr. Soepomo Poedjosoedarmo. ....................................
(Anggota)
7. Prof. Dr. H. Soetarno, DEA. ....................................
(Anggota)
8. Dr. Sumarlam ., M.S. ....................................
(Anggota)
4

Mengetahui
Rektor Universitas Sebelas Maret

Prof. Dr. H. Much Syamsulhadi, dr., Sp.KJ. (K)


NIP. 194611021976091001
SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini


Nama : Maryono
NIM : T 130906005
Program : Pascasarjana (S3) UNS
Program Studi : Linguistik
Tempat/Tanggal Lahir : Boyolali, 15 Juni 1960
Alamat : Melikan Rt 01, Rw 08, Palur,
Mojolaban, Sukoharjo

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa disertasi saya yang berjudul:


KOMPONEN VERBAL DAN NONVERBAL DALAM GENRE TARI
PASIHAN GAYA SURAKARTA (Kajian Pragmatik) adalah asli (bukan jiplakan)
dan belum pernah diajukan oleh penulis lain untuk memperoleh gelar akademik
tertentu.
Semua temuan, pendapat atau gagasan orang lain yang dikutip dalam disertasi ini
ditempuh melalui tradisi akademik yang berlaku dan dicantumkan dalam sumber
rujukan dan atau dalam Daftar Pustaka.
Apabila kemudian terbukti pernyataan ini tidak benar, saya sanggup
menerima sangsi yang berlaku.
5

Surakarta, 7 April 2010


Yang membuat pernyataan

Maryono

KATA PENGANTAR

Syukur alhamndulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas ridha dan
kehendak-Nya, sehingga disertasi ini dapat selesai tepat pada waktu yang
diharapkan.
Sepenuhnya penulis sadari bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak, mustahil
disertasi ini dapat selesai. Untuk itu, kanthi linambaran trapsilaning manah,
perkenankan penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. H. Much Syamsulhadi, dr., Sp.KJ (K), Rektor UNS yang telah
memberi kesempatan penulis untuk menyelesaikan studi program doktor di
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Prof. Dr. H. Soetarno, DEA, atas dukungan dan nasihat sejak masih menjabat
Ketua Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta sampai sekarang sehingga
penulis dapat menyelesaikan program doktor di UNS.
3. Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.D, selaku Direktur Program Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberi kesempatan penulis
untuk menyelesaikan studi program doktor di UNS.
4. Prof. Dr. H. D. Edi Subroto, selaku Ketua Program Linguistik S3 UNS dan
atas bimbingan melalui berbagai disiplin yang telah diberikan kepada penulis
sebagai bekal dalam menyelesaikan disertasi.
5. Prof. Dr. M. Sri Samiati Tarjana, sebagai promotor yang dengan sabar telah
membimbing, mengarahkan, dan mengoreksi sehingga penulis meraih gelar
doktor.
6

6. Prof. Dr. T. Slamet Suparno, S.Kar., M.S, sebagai Ko-Promotor, yang telah
membimbing, dan mengoreksi sehingga penulis meraih gelar doktor.
7. Prof. H.B. Sutopo, M.Sc., M.Sc, Ph.D (almarhum) yang dengan sabar telah
membimbing, mengarahkan, mengoreksi, dan yang menghantarkan sampai
ujian tertutup sehingga penulis dapat berlanjut meraih gelar doktor.
8. Prof. Dr. Soepomo Poedjosudarmo; Prof. Dr. Kunardi Hardjoprawiro, M.Pd;
Prof. Dr. Joko Nurkamnto; Prof. Dr. Maryono Dwiraharjo, S.U; Dr.
Sumarlam., M.S, yang telah memberikan disiplin Linguistik untuk bekal
penulis menyelesaikan disertasi.
9. Sunarno S.Kar., M. Sen, sebagai nara sumber primer tari Bondhan Sayuk dan
jenis tari pasihan lainnya, yang telah memberikan informasinya sehingga
penulisan disertasi ini dapat selesai.
10. Sutarno Haryono S.Kar., M. Hum, sebagai teman seperjuangan dan
motivator yang mendorong penulis untuk studi S3 dan berhasil meraih gelar
doktor.
11. Sri Wahyuningsih sebagai istri dan anak-anakku: Risang Janur Wendo, Laras
Ambika Resi, Linggo Sasikirana, dan Hoyi Anggraeni yang telah
memberikan semangat dan doanya kepada penulis sehingga disertasi ini cepat
selesai.
12. Selamat jalan istriku yang tercinta dan tersayang Sri Djarwanti S.Kar, ke
hadapan-Mu ya Allah, semoga atas pengorbanan dan kasihmu selama ini,
saya selalu berdoa semoga Allah SWT menerima dan memasukkan belahan
hatiku dalam golongan orang ahli surga di hari Akhir. Amin.
13. Pemerintah Republik Indonesia yang memberikan kewenangan kepada Dirjen
Dikti yang telah memberi Bea Siswa (BPPS).
Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis mohon maaf kepada semua pihak
apabila terdapat kekurangan dan kesalahan yang penulis perbuat selama
menyelesaikan disertasi ini. Semoga Allah tetap membimbing kami. Amin.
7

Surakarta, 7 April 2010


Peneliti

Maryono

Maryono: T 130906005. 2010. KOMPONEN VERBAL DAN NONVERBAL


DALAM GENRE TARI PASIHAN GAYA SURAKARTA (Kajian Pragmatik).
Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

ABSTRAK
Topik penelitian ini adalah Komponen Verbal dan Nonverbal dalam Genre Tari
Pasihan Gaya Surakarta (kajian Pragmatik). Tujuan penelitian untuk memahami
makna bahasa verbal dan nonverbal genre tari pasihan pada ritual perkawinan adat
Jawa di Surakarta dengan menganalisis secara rinci, akurat, dan mendalam untuk
menemukan dan mendeskripsikan: (1) Komponen verbal genre tari pasihan berupa
sastra tembang dalam syair: pathetan, sindhènan, gérongan, dan jineman. Kajian
komponen verbal ini untuk mengungkap: jenis-jenis tindak tutur (TT) yang dominan,
fungsi TT, realisasi prinsip kerja sama, realisasi strategi kesantunan, dan implikatur.
(2) Komponen nonverbal genre tari pasihan berupa: tema, gerak tubuh (kinetic body
moves), polatan (ekspresi wajah), pola lantai, rias, busana, dan iringan gamelan
(musik). (3) Menjelaskan hubungan komponen verbal yang bersifat kebahasaan dan
nonverbal yang bersifat nonkebahasaan genre tari pasihan, untuk mengungkap
bentuk hubungan yang bersifat langsung dan tidak langsung dan implikatur genre tari
pasihan. (4) Menjelaskan latar belakang konsepsi penciptaan komponen verbal dan
nonverbal genre tari pasihan, dan (5) Menjelaskan persepsi masyarakat terhadap
kehidupan genre tari pasihan gaya Surakarta.
Bentuk penelitian yang digunakan penelitian kualitatif dengan pendekatan
kritik holistik yang secara fokus, lengkap, dan seimbang mengkaji tiga faktor yaitu
genetik, objektif, dan afektif sebagai sumber aliran nilai. Strategi yang digunakan
dalam penelitian ini adalah studi kasus tunggal terpancang (embedded case study
research). Teknik pengumpulan data yang sesuai dengan penelitian kualitatif dan
jenis sumber data yang dimanfaatkan adalah: wawancara mendalam (in-depth
interviewing), observasi, mencatat dokumen dan arsip (content analysis).
Untuk mengungkap permasalahan yang menjadi tujuan penelitian disertasi
ini, peneliti menggunakan kajian: (1) teori pragmatik, (2) teori budaya, (3) teori seni
pertunjukan, dan (4) teori komunikasi. Keempat teori tersebut digunakan untuk
8

menganalisis makna pragmatik genre tari pasihan gaya Surakarta secara


komplementer. Secara prinsip teori pragmatik merupakan alat kajian yang utama
terkait dengan sistem kebahasaannya yang terfokus untuk menganalisis jenis-jenis
TT, jenis TT yang dominan, fungsi TT, realisasi prinsip kerja sama, realisasi strategi
kesantunan, implikatur, dan daya pragmatik. Teori budaya dan teori seni pertunjukan
untuk menganalisis faktor nonkebahasaan yang berupa unsur-unsur karya seni. Teori
komunikasi untuk mengkaji keterkaitan antarfaktor genetik, objektif, dan afektif.
Trianggulasi keempat teori tersebut merupakan sarana untuk menjamin dan
mengembangkan validitas data dalam mengungkap makna pragmatik genre tari
pasihan gaya Surakarta.
Pokok-Pokok Temuan Penelitian. Jenis–jenis TT yang terdapat dalam genre
tari pasihan gaya Surakarta terdiri dari beragam jenis yaitu: TT asertif, TT komisif,
TT ekspresif, TT direktif, TT verdiktif, dan TT patik. Dari beragam jenis TT yang
terdapat pada genre tari pasihan, jenis TT yang dominan adalah TT direktif.
Pada penerapan prinsip kerja sama dalam bahasa verbal genre tari pasihan
terjadi pelanggaran maksim kuantitas dan maksim cara, sedangkan maksim kualitas
dan maksim hubungan dipatuhi. Prinsip kesantunan yang diterapkan dalam bahasa
verbal genre tari pasihan didapatkan penggunaan strategi TT dengan kesantunan
positif dan strategi TT secara tidak langsung (off record).
Implikatur yang terdapat dalam jenis-jenis tari pasihan menunjukkan adanya
simbolisasi percintaan sepasang suami istri yang dalam perjalanan kisahnya berawal
dalam menghadapi permasalahan, kemudian mendapat solusi yang berangsur-angsur
membaik dan berakhir bahagia. Kehadiran tari pasihan hampir dapat dipastikan
disajikan dalam resepsi perkawinan merupakan wahana untuk mewisuda sepasang
temantèn. Rupanya terdapat keterkaitan yang sangat erat antara kehadiran tari
pasihan dalam resepsi perkawinan dengan sepasang temantèn. Implikatur yang
utama pada kehadiran genre tari pasihan dalam resepsi perkawinan adalah untuk
dapat diteladani dan memberikan sugesti secara tidak langsung terhadap sepasang
temantèn.
Merujuk implikatur-implikatur yang diperikan dari komplementer komponen
verbal dan nonverbal jenis-jenis tari pasihan dapat diungkapkan bahwa bentuk daya
pragmatik genre tari pasihan adalah berupa nasihat-nasihat tentang cinta kasih yaitu
pasangan keluarga yang romantis, harmonis, dan bahagia; kesetaraan dan
kebersamaan dalam menjalankan bahtera rumahtangga; dan sikap-sikap ideal bagi
figur suami dan figur istri. Nasihat-nasihat tentang cinta kasih tersebut bermanfaat
bagi sepasang temantèn sebagai bekal untuk menjalani kehidupan yang lebih baik
dalam membangun sebuah keluarga.
Bentuk genre tari pasihan merupakan perpaduan dua komponen besar yaitu
verbal dan nonverbal. Berdasarkan jabaran komponen tersebut dapat diketemukan
ciri karakteristik genre tari pasihan sebagai berikut: (a) bahasa verbal berbentuk
tembang Jawa bernuansa cinta; (b) bahasa verbal yang digunakan berdasarkan status
sosial; (c) hubungan komponen verbal dan nonverbal bersifat langsung dan tidak
langsung; (d) tema percintaan; (e) cerita berakhir dengan bahagia (happy end); (f)
disajikan berpasangan pria dan wanita; (g) pesannya berupa nasihat tentang cinta
kasih; (h) gerak representatif dan presentatif diekspresikan penari dalam kualitas
lembut, halus, dan romantis.
9

Berdasarkan temuan penelitian dan hasil pembahasan dari keterkaitan tiga


faktor objektif, genetik, dan afektif dapat disimpulkan bahwa kehadiran genre tari
pasihan dalam upacara ritual resepsi perkawinan berfungsi sebagai hiburan dan
suritauladan. Kehadiran genre tari pasihan dalam resepsi perkawinan dimaksudkan
oleh seniman untuk mengajak, meminta dan menyuruh sepasang temantèn untuk
memahami dan meresapi pesan yang terkandung dalam bahasa verbal sastra
tembang, yang disampaikan dengan bahasa nonverbal dalam bentuk visual yang
estetik, supaya pasangan temantèn tersebut melakukan tindakan atau perbuatan
seperti yang dicontohkan dalam pertunjukan tari pasihan tersebut. Maksud dan
harapan seniman penyusun tersebut ditangkap oleh masyarakat sebagai sesuatu yang
harus diteladani, mengingat gambaran percintaan pasangan suami istri yang
romantis, harmonis, dan bahagia yang terdapat dalam tari tersebut dirasa sangat tepat
dan diterima dengan jelas, mantap sebagai suatu bentuk pendidikan yang bersifat
tidak langsung dan sangat bermanfaat bagi sepasang temantèn untuk menjalani
kehidupan yang lebih baik dalam menggapai keluarga bahagia lahir dan batin.
Maryono: T 130906005. 2010. VERBAL AND NONVERBAL COMPONENTS IN
THE SURAKARTA STYLE PASIHAN DANCE GENRE (A Pragmatic Study).
Dissertation. Postgraduate Program Sebelas Maret University Surakarta.

ABSTRACT
The topic of this research is Verbal and Nonverbal Components in the Genre of the
Pasihan Dance Surakarta Style. Using a pragmatic approach the aim of the research
is to understand the meaning of the verbal and nonverbal language in the pasihan
dance genre (a dance genre with a romantic or love theme) in the traditional Javanese
wedding rituals in Surakarta by carrying out a detailed, accurate, and in-depth
analysis, in order to discover and describe: (1) the verbal components in the pasihan
dance genre, in the Javanese poems in: pathetan, sindhènan, gérongan, and jineman.
This study of the verbal components is intended to reveal: the dominant types of
speech acts, the functions of the speech acts, the realization of the cooperative
principles, the realization of the politeness principles, and the implicatures; (2) the
nonverbal components in the pasihan dance genre, in the form of: themes, kinetic
body moves, facial expressions (polatan), floor designs, make-up, costume, and
musical accompaniment played on the gamelan; (3) the relationship between the
verbal and the nonverbal components in the pasihan dance genre, in order to reveal
the direct and indirect relationships and implicatures of the pasihan dance genre; (4)
the background of the conception of the creation of verbal and nonverbal
components in the pasihan dance genre, and (5) people’s perception of the existence
of the Surakarta style pasihan dance genre.
The research takes the form of a qualitative study using a critical holistic
approach which provides a focused, comprehensive, and balanced study of three
factors, namely genetic, objective, and affective factors as the source of the values.
The strategy used for this research is that of an embedded case study. The techniques
used for collecting data, in accordance with the qualitative research and types of data
sources available, include in-depth interviews, observation, and content analysis.
10

In order to discover the issues which are the object of the research for this
dissertation, the researcher uses theoretical studies of (1) pragmatic theories, (2)
cultural theories, (3) performing arts theories, and (4) communication theories. These
four theories are used to provide a complementary analysis of the pragmatic meaning
of the Surakarta style pasihan dance genre. In principle, the main tool is the
pragmatic theory, in connection with the linguistic system which focuses on
analyzing the different types of speech acts, the dominant types of speech acts, the
function of the speech acts, the realization of the cooperative principles, the
realization of the politeness principles, the implicatures, and the pragmatic power.
The cultural and performing arts theories are used to analyse nonverbal language
factors which are in the form of elements of the work of art. The communication
theories are used to examine the connection between the genetic, objective, and
affective factors. A triangulation of these theories is used as a means of securing and
developing the validity of the data to discover the pragmatic meaning of the
Surakarta style pasihan dance genre.
The main findings of the research showed that there are various kinds of
speech acts found in the Surakarta style pasihan dance genre, numely: assertive,
commissive, expressive, directive, verdictive, and phatic. Of all these different types,
the most dominant kind of speech act found in the pasihan dance genre is the
directive speech act.
The application of cooperative principles in the verbal language of the
pasihan dance genre of shows a deviation in maxims of quantity and maxims of
manner, while maxims of quality and maxims of relation are adhered to. The
principle of politeness applied in the verbal language of the pasihan dance genre
uses the strategy of positive politeness and performs off record speech acts.
The implicature found in the different types of pasihan dance indicates that
there is a symbolization of love between husband and wife, who throughout the
course of the story encounter problems but subsequently find a solution. It gradually
resolves their difficulties and ultimately brings about a happy ending. The pasihan
dance is almost always performed at wedding receptions which are a medium for
officially announcing the marriage of a newly wed couple. There is a very close
connection between the presence of the pasihan dance and the bride and groom at a
wedding reception. The main implicature of the presence of the pasihan dance genre
at a wedding reception is that it sets an example and offers indirect suggestions for
the newly wed couple to follow.
With reference to the implicatures obtained from the combination of verbal
and nonverbal components in different types of the pasihan dances, show that the
form of pragmatic power in the pasihan dance genre is advise about love and
affection, for married couple to enjoy a romantic, harmonious, and happy
relationship; to display equality and togetherness; and to show an ideal attitude
between husband and wife. This advice about love and affection is beneficial for a
newly married couple. It provides them with knowledge to lead a better life as they
set out to build a new family.
The form of the pasihan dance genre is a combination of two main
components, namely verbal and nonverbal. Based on the description of these two
components, the characteristics of the pasihan dance genre are as follows: (a) Verbal
language in the form of Javanese sung poems with a romantic nuance; (b) Verbal
language which is used according to social status; (c) A direct and indirect
connection between the verbal and nonverbal components; (d) A romantic theme; (e)
11

A story with a happy ending; (f) A performance by a pair of dancers, one male and
one female; (g) Advice about love affection; (h) Representative and presentative
movements expressed by the dancers with soft, refined, and romantic qualities.
Based on the findings of the research and the results between the objective,
genetic, and affective factors, it can be concluded that the performance of the
pasihan dance genre at a wedding reception for the newly married couple to follow.
The presence of the pasihan dance genre at a wedding reception is intended by the
performing artists as a means of inviting, asking, and telling the bride and groom to
understand and absorb the message in the verbal language of the text, and conveyed
using nonverbal language in a visual and aesthetical form. It as hoped that they will
act and behave like the example displayed in the performance of the pasihan dance.
The hope and intention of the artists is captured by the audience who view the dance
as a good example to follow, recognizing it as a portrayal of a romantic,
harmonious, and happily married couple which is felt to be highly appropriate and
also educative in an indirect way. This is highly beneficial for the newly married
couple as they enter into their new lives, and strive to create a happy family, in both
worldly and spiritual aspects.

DAFTAR ISI

Halaman
JUDUL ……………….………………..………………………………….….…...i
PENGESAHAN……………………………………………….…….………….….ii
PEMERTAHANAN…………………………………………………………….…iii
PERNYATAAN………………………………………………………..………….iv
KATA PENGANTAR……………………………………………………………..v
ABSTRAK…………………………………………………………….…….……vii
ABSTRACT……………………………………………………………..………… ix
DAFTAR ISI ………………………………………………………….…..……....xi
DAFTAR TABEL ………….……………………………………………….......xvii
DAFTAR BAGAN………………………………….………..……...……..........xix
DAFTAR GAMBAR / FOTO……………………………………..………..……xx
DAFTAR SINGKATAN ……………………………………..……….……...…xxi
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………….……....…..…....xxii
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………….……….……. 1
A. Latar Belakang Masalah………..……..………………….……….……....1
B. Rumusan Masalah …………………………………...……….......……..16
C. Tujuan Penelitian………………………………………..………….........16
12

D. Manfaat Penelitian……………………………………….........................17
BAB II KAJIAN TEORI, PENELITIAN YANG RELEVAN, DAN KERANGKA
PIKIR……………………………………………………………………………..18
A. Kajian Teori……………………………………………………………............18
1. Teori Pragmatik…………………....................……………..............................20
a. Konteks dalam pragmatik………………………………..………….………23
b. Teks………………………………………….……………...........................29
c. Tindak Tutur (TT)…………………………………….…………….….…...39
c.1. Tindak Tutur menurut Austin (1956)……………..............................41
c.2. Tindak Tutur menurut Searle (1979)………….. .………..………….45
c.3. Tindak Tutur menurut Yule (1996)…………………........………….46
c.4. Tindak Tutur menurut Kreidler (1998)…………...............................48
d. Prinsip Kerja Sama (PKS)…… …………………………………………....53
e. Prinsip Kesantunan (PS)…………………….…….……….………….…......58
e.1. Skala Kesantunan Leech (1983)……………………..…….................58
e.2. Skala Kesantunan Brown dan Levinson (1987)………..………….....60
f. Implikatur …………………………………….…….…………….....…….....62
g. Daya Pragmatik…………………………………….…………………….….64
2. Teori Budaya………………………………………………...………….……...66
a. Bentuk Ide atau Gagasan……...……………………….…………....….70
b. Bentuk Aktivitas………….……………………….…..………….....…70
c. Benda Fisik………………………………………………….….…....…71
3. Teori Seni Pertunjukan…………………………..…………………............…..71
a. Tema ………………………………………………………....….….…74
b. Gerak Tubuh (kinetic body moves)………………………. …….….…74
c. Polatan (ekspresi wajah) ……………………………..…….…..…......77
d. Pola Lantai (floor design)……………………………… ……...……...78
e. Rias ……………………………………………….……….….……….79
f. Busana ………………………………………………….……….……..80
g. Iringan (gendhing beksa) ………………………………………….......81
h. Estetik…………………………………………....................………….82
13

4. Teori Komunikasi ………..…………………….…...........................................83


a. Komunikator…………………………………………………....…..…85
b. Sarana atau Media…………………………………………….….…....86
c. Komunikan……………………………………….………….………...88
B. Penelitian yang Relevan…………………..…………………………..…...…..90
C. Kerangka Pikir…………………………………………………....…….……...91
BAB III METODOLOGI PENELITIAN……………………………….….….…93
A. Sasaran dan Lokasi Penelitian…………………..…………..……. …….…….93
B. Bentuk dan Strategi Penelitian…………………………...................................94
C. Jenis Data dan Sumber Data…………………….………………………….…96
D. Teknik Cuplikan (sampling)…………………………… …………….............97
E. Teknik Pengumpulan Data ……………………………….…..……………….98
1. Wawancara Mendalam (in-depth interviewing)………..............................98
2. Observasi …………………………………………………………....…..102
3. Mencatat Dokumen dan Arsip (content analysis)………..........................103
F. Pengembangan Validitas ………………………………..........………..….…103
G. Teknik Analisis………………………………………………..………… ….106
BAB IV KOMPONEN VERBAL GENRE TARI PASIHAN GAYA
SURAKARTA......................................................................................................110
A. Komponen Verbal…………………………………………………….….…..110
B. Komponen Verbal Tari Karonsih………………………………………….…112
1. Teks Pathetan Wantah Laras Pélog Pathet Lima…………..………. ….112
a. Jenis-jenis Tindak Tutur dan Pemarkah………..........................…. …113
b. Konteks ………………………………………............................. …..114
c. Fungsi Tindak Tutur ................…………………………………..…..115
d. Realisasi Prinsip Kerja Sama…………………..…..............................116
e. Realisasi Prinsip Kesantunan ……………………...............................117
f. Implikatur …………………………..………...................................…117
2. Teks Sindhènan Pangkur Ngrénas Laras Pélog Pathet Lima ……….....118
a. Jenis-jenis Tindak Tutur dan Pemarkah.…………….………….....….118
b. Konteks …………………………………..........................……..…...119
14

c. Fungsi Tindak Tutur …………………………………………......…..120


d. Realisasi Prinsip Kerja Sama ……………………......................….....121
e. Realisasi Prinsip Kesantunan ………………................................…..122
f. Implikatur …………………………..………..................................…123
3. Teks Sindhènan Kinanthi Sandhung Laras Sléndro Pathet Manyura ….124
a. Jenis-jenis Tindak Tutur dan Pemarkah.…………….…………......…125
b. Konteks ……………………………………….............................…...126
c. Fungsi Tindak Tutur ………………………………………...........…..128
d. Realisasi Prinsip Kerja Sama ………………….................……..…....129
e. Realisasi Prinsip Kesantunan ……………....................................…...131
f. Implikatur …………………………..………...................................…132
4. Teks Gérongan Lambangsari Laras Sléndro Pathet Manyura ………...132
a. Jenis-jenis Tindak Tutur dan Pemarkah.…………….………....…..…133
b. Konteks ………………………………………..….......................... ..135
c. Fungsi Tindak Tutur ………………………………………..…..........137
d. Realisasi Prinsip Kerja Sama …..................………………..…...........139
e. Realisasi Prinsip Kesantunan ………..............................…….......…..141
f. Implikatur …………………………..………........................................142
C. Komponen Verbal Tari Bondhan Sayuk………………………………..….…144
1. Teks Sindhènan Mijil Sulastri Laras Pélog Pathet Barang......................144
a. Jenis-jenis Tindak Tutur dan Pemarkah …………….………..…....…144
b. Konteks ………………………………………..............................…..145
c. Fungsi Tindak Tutur ………………………….……………..........…..147
d. Realisasi Prinsip Kerja Sama ………………....................…...............148
e. Realisasi Prinsip Kesantunan ……………................................….......149
f. Implikatur …………………………..……...................................……150
2. Teks Jineman Sayuk Laras Pélog Pathet Barang ……................………150
a. Jenis-jenis Tindak Tutur dan Pemarkah …………….….……….....…151
b. Konteks ……………………………………...........................…...…..152
c. Fungsi Tindak Tutur ………………………………………..........…..153
d. Realisasi Prinsip Kerja Sama ……………………...............................154
15

e. Realisasi Prinsip Kesantunan …………….....................................…..155


f. Implikatur …………………………..…………...................................157
3. Teks Gérongan Ladrang Sayuk Laras Pélog Pathet Barang …..............157
a. Jenis-jenis Tindak Tutur dan Pemarkah ……….….………........….…158
b. Konteks ……………………………………............................…..…..159
c. Fungsi Tindak Tutur …………………………………..……..........….160
d. Realisasi Prinsip Kerja Sama …………………....................…...........161
e. Realisasi Prinsip Kesantunan ……..............................……….......…..162
f. Implikatur …………………………..……...................................……163
4. Teks Gérongan Lancaran Sayuk Laras Pélog Pathet Barang …...…….164
a. Jenis-jenis Tindak Tutur dan Pemarkah.…………….…….…….....…164
b. Konteks ………………………………………...............................….165
c. Fungsi Tindak Tutur ……………………………….……..............…..166
d. Realisasi Prinsip Kerja Sama ……………….......................................167
e. Realisasi Prinsip Kesantunan …………….....................................…..168
f. Implikatur ………………………….....................................…………169
BAB V KOMPONEN NONVERBAL GENRE TARI PASIHAN GAYA
SURAKARTA………………………………………………………….….……171
A. Komponen Nonverbal………………………………………………….…….171
B. Komponen Nonverbal Tari Karonsih……………………….………….…….172
1. Tema………………………………..…………………………….….…..173
2. Kinetic Body Moves atau Gerak Tubuh …..…………………………......182
3. Polatan (ekspresi wajah)…………………………………………….......194
4. Rias dan Busana………………………………….……....…...................197
5. Pola Lantai…………….…………………..…………………….............198
6. Iringan Tari…………………………………….….…….……….......….200
7. Estetik……………………………………………............……………..216
C. Komponen Nonverbal Tari Bondhan Sayuk………………………..……….…..220
1. Tema………………………………………..………….………………..220
2. Kinetic Body Moves atau Gerak Tubuh ….……………………….….…224
3. Polatan (ekspresi wajah)………………….……….…………….….…..234
16

4. Rias dan busana………………………………….………………….......236


5. Pola Lantai……………………………….…………………….....….….237
6. Iringan Tari..……………………………………..…….….…………….238
7. Properti Boneka………………………………………...…………….....247
8. Estetik.……………………………………………............…………….248
BAB VI HUBUNGAN KOMPONEN VERBAL DAN NONVERBAL GENRE
TARI PASIHAN GAYA SURAKARTA…………………………………..….252
A. Hubungan Komponen Verbal dengan Nonverbal Tari Karonsih………...…253
1. Adegan Pencarian………………………..…………………………..…253
2. Adegan Pertemuan……………………………………………………...259
3. Adegan Bahagia………………………………..…………………….....264
B. Hubungan Komponen Verbal dengan Nonverbal Tari Bondhan Sayuk….…277
1. Adegan Kasmaran (percintaan)………………………………………...278
2. Adegan Kekudangan (menimang anak)………………………………...281
3. Adegan Makarya (bekerja)…………………….…………………...…..289
BAB VII KONSEPSI PENCIPTAAN DAN PERSEPSI MASYARAKAT
TERHADAP GENRE TARI PASIHAN GAYA SURAKARTA………………295
A. Konsepsi Penciptaan Komponen Verbal dan Nonverbal Tari Karonsih dan Tari
Bondhan Sayuk……………………………………….……..…………………..295
B. Persepsi Masyarakat terhadap Genre Tari Pasihan……………………....….310
1. Genre Tari Pasihan sebagai Hiburan………………..…………..….…..311
2. Genre Tari Pasihan sebagai Keteladanan…………….....…………. .…314
BAB VIII PEMBAHASAN………………………………………………..… .320
A. Pokok-Pokok Temuan Penelitian…………………………………… ....320
1. Faktor Objektif………………………………………………..… …320
2. Faktor Genetik……………………………………………….… …..322
3. Faktor Afektif…………………………………………….….…. …..323
B. Analisis………………………………………………………….… .…..324
1. Perspektif Substansi Tari: Komponen Verbal dan Nonverbal….. ….324
2. Perspektif Budaya…………………………………………........ …..337
3. Perspektif Pragmatik…………………………..…………..….… ….344
17

4. Perspektif Historis………………………………………..….… ..…357


BAB IX PENUTUP…………………………………….…………………… …366
A. Simpulan…………………………………………………………… ..…366
B. Implikasi………………………………………………………… ….….370
C. Saran…………………………………………………………….………372
DAFTAR PUSTAKA ACUAN………………………………………….…..…375
DAFTAR NARA SUMBER………………………………………….………...379
LAMPIRAN………………………………………………………..…….….….380

DAFTAR TABEL

1. Tabel 4.1 Jenis – jenis TT yang melekat pada teks Pathetan Wantah……..….113

2. Tabel 4.2 Jenis – jenis TT yang melekat pada teks isian…….....................…117

3. Tabel 4.3 Jenis - jenis TT yang melekat pada teks Sindhènan Pangkur
Ngrénas……………………………………………………………..…...118

4. Tabel 4.4 Jenis – jenis TT yang melekat pada teks Isen-isen……………….….123

5. Tabel 4.5 Jenis – jenis TT yang melekat pada teks Sindhènan Kinanthi
Sandhung…………………………………………………………………….…..125

6. Tabel 4.6 Jenis – jenis TT yang melekat pada teks Gérongan


Lambangsari…………………………………..………………………………..133
18

7. Tabel 4.7 Rekapitulasi jenis-jenis TT pada komponen verbal tari Karonsih…143

8. Tabel 4.8 Persentase jenis –jenis TT pada komponen verbal tari Karonsih….143

9. Tabel 4.9 Jenis –jenis TT yang melekat pada teks Sindhènan Mijil
Sulastri…………………………………………….………………………..……144

10. Tabel 4.10 Jenis – jenis TT yang melekat pada teks Jineman
Sayuk……………………………………………………………………....….….151

11. Tabel 4.11 Jenis – jenis TT yang melekat pada teks Gérongan Ladrang
Sayuk………………………………………………………………………....…..158

12. Tabel 4.12 Jenis – jenis TT yang melekat pada teks Gérongan Lancaran
Sayuk…………………………………………………………………….……….164

13. Tabel 4.13 Rekapitulasi jenis-jenis TT pada komponen verbal tari Bondhan
Sayuk…………………………………………………………………….….……170

14. Tabel 4. 14 Persentase jenis –jenis TT pada komponen verbal tari Bondhan
Sayuk………………………………………………………………….…170

15. Tabel 5.1 Jenis-jenis gerak representatif tari Karonsih


adegan I: pencarian. …………………………................……………..……..184

16. Tabel 5.2 Jenis-jenis gerak presentatif tari Karonsih


adegan I: pencarian. ………………………………………………….…...….185

17. Tabel 5.3 Jenis-jenis gerak representatif tari Karonsih


adegan II: pertemuan. ………………………………………...…….…..…….188

18. Tabel 5.4 Jenis-jenis gerak presentatif tari Karonsih


adegan II: pertemuan ………………………………………………..….…..189

19. Tabel 5.5 Jenis-jenis gerak representatif tari Karonsih


adegan III: bahagia ……………………………………..………...........…..190

20. Tabel 5.6 Jenis-jenis gerak presentatif tari Karonsih


adegan III: bahagia ………………………………………………...……….193

21. Tabel 5.7 Rekapitulasi gerak representatif tari Karonsih………............….193

22. Tabel 5.8 Rekapitulasi gerak presentatif tari Karonsih………...............…..194

23. Tabel 5.9 Persentase gerak representatif dan presentatif tari Karonsih...…194
19

24. Tabel 5.10 Jenis-jenis gerak representatif tari Bondhan Sayuk


adegan I: kasmaran …………………………………..…………............…229

25. Tabel 5.11 Jenis-jenis gerak presentatif tari Bondhan Sayuk


adegan I: kasmaran ………………………………..…………...............…231

26. Tabel 5.12 Jenis-jenis gerak representatif tari Bondhan Sayuk


adegan II: kekudangan …………………………………..…………......….231

27. Tabel 5.13 Jenis-jenis gerak presentatif tari Bondhan Sayuk


adegan II: kekudangan …………………………………….……............…232

28. Tabel 5.14 Jenis-jenis gerak representatif tari Bondhan Sayuk


adegan III: makarya ………………………………..………..............….…233

29. Tabel 5. 15 Rekapitulasi gerak representatif tari Bondhan Sayuk….......…233

30. Tabel 5. 16 Rekapitulasi gerak presentatif tari Bondhan Sayuk….........….234

31. Tabel 5. 17 Persentase gerak representatif dan presentatif tari Bondhan


Sayuk…………………………………………………………………….....…234

DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 Kerangka Kritik Holistik Komponen Verbal dan Nonverbal Genre
Tari Pasihan gaya Surakarta………………………………......…...….91

Bagan 3.1 Model Analisis Interaktif……………………………………....….. ..108


20

DAFTAR GAMBAR / FOTO

Gambar 1: pola lantai garis lurus untuk mendukung suasana tegang,


ketika Sekartaji berupaya mencari Panji..................................................199

Gambar 2: pola lantai garis lengkung untuk mendukung suasana romantis,


ketika Panji dan Sekartaji srisik bergandengan tangan............................199

Gambar 3: pola lantai garis lengkung untuk mendukung suasana bahagia,


ketika Panji ulap-ulap kiri dan Sekartaji trap jamang.............................199
21

Gambar 4: pola lantai garis lurus untuk mendukung suasana tegang, ketika
istri hendak meninggalkan suami............................................................237

Gambar 5: pola lantai garis lengkung untuk mendukung suasana romantis,


ketika istri dan suami lilingan kebyok sampur.........................................238

Gambar 6: pola lantai garis lengkung untuk mendukung suasana bahagia,


ketika istri dan suami ènjèr ridhong berputar..........................................238

Foto: 1 Tari Karonsih: Panji dan Sekartaji dalam kemesraan dan


kebersamaan………………………………………………….................172

Foto: 2 Tari Bondhan Sayuk: Suami dan istri dalam kebahagiaan ………….….220

Foto: 3 Tari Karonsih: Panji mengamati Sekartaji dalam suasana sedih……….260

Foto: 4 Tari Karonsih: Panji dan Sekartaji dalam suasana romantis…………...262

Foto: 5 Tari Karonsih: Panji dan Sekartaji memadu asmara……………….…...268

Foto: 6 Tari Karonsih: Panji dan Sekartaji memadu asmara…………..….….…272

Foto: 7 Tari Karonsih: Panji dan Sekartaji dalam suasana bahagia……..….…..274

Foto: 8. Tari Bondhan Sayuk: Suami dan istri dalam kebersamaan.....................279

Foto: 9 Tari Bondhan Sayuk: Istri meminta suami untuk bekerja………….…...282

Foto: 10 Tari Bondhan Sayuk: Suami meminta anak kepada istri…………..….283

Foto: 11 Tari Bondhan Sayuk: Suami bersenandung sambil menimang anak.....285

Foto: 12 Tari Bondhan Sayuk: Suami dan istri dalam kebahagiaan………….....286


DAFTAR SINGKATAN

ASKI : Akademi Seni Karawitan Indonesia

CD : Compact Disk

D–a : Dasar - a

D – en : Dasar - en
22

D – an : Dasar - an

D – ana : Dasar - ana

di – D – ake : di - Dasar - ake

KOKAR : Konservatori Karawitan

KRT : Kanjeng Raden Tumenggung

M.Sn : Magister Seni

PS : Prinsip Kesantunan

PKS : Prinsip Kerja Sama

Pa : Putra

Pi : Putri

Pn : Penutur

Pt : Petutur (mitra tutur)

PKD : Pakempalan Kagunan Jawi

R : Raden

R.M : Raden Mas

R.T : Raden Tumenggung

TT : Tindak Tutur

V–a : Verba - a

VCD : Visual Compact Disk

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. VCD Tari Karonsih dan Tari Bondhan Sayuk……………………....380

Lampiran 2. Glosarium……………………………………………….…………380
23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


24

Manusia hidup tidak mampu lepas dari lingkungan dan bertahan sendiri,

betapapun hebat dan kuatnya. Ketergantungan antarindividu merupakan faktor utama

manusia untuk saling berkomunikasi dalam rangka meraih kehidupan yang

berbudaya, sebagai sarana mewujudkan cita-citanya. Setiap individu lahir dalam

masyarakat yang telah berjalan, dapat dikatakan belum mempunyai bekal, maka dia

harus belajar menjadi manusia dengan menghayati atau mendalami budaya

kelompoknya. Berbagai strategi belajar untuk menjadi manusia yang diperlukan agar

dapat terinkulturasi dan tersosialisasi sepenuhnya, sebagian besar individu tersebut

melakukan melalui modalitas utama komunikasi manusia yakni bahasa.

Menurut Edi Subroto (tanpa tahun, hal: 1), bahasa adalah sistem bunyi ujar

yang bersifat arbitrer yang dipergunakan oleh manusia dalam suatu masyarakat

(language society) untuk berkomunikasi secara umum dan wajar. Sejalan dengan

pernyataan tersebut bahasa merupakan suatu sistem simbol-simbol vokal yang

dipelajari dan dimiliki secara bersama. Di situ manusia dalam masyarakat atau

subkultur dengan bahasa yang sama saling berinteraksi sehingga mampu

berkomunikasi berdasarkan pengalaman dan harapan kultural yang sama. Bahasa

sendiri merupakan sistem dari budaya manusia, sistem yang terpenting di mana

sistem-sistem lain terutama dicerminkan dan ditransmisikan. “Without language

there could be no culture, and man remained hominoid; with language and culture,

he could and did become hominine” (Smith, 1969: 104-105). Betapa pentingnya

bahasa bagi kehidupan manusia kiranya tidak perlu diragukan lagi, karena tanpanya

manusia tidak mampu berkomunikasi dan berinteraksi dengan dunia luar dirinya.
25

Dalam kehidupan kesehariannya manusia berkomunikasi lewat beragam

media atau medium. Pada hakekatnya media itu berbentuk fisik, adapun bentuk yang

utama yakni: gerak, bunyi, rupa, dan bahasa. Masing-masing media dapat muncul

secara mandiri dan bisa juga saling komplementer, bergantung kebutuhan.

Kemunculan secara mandiri seperti: bunyi dalam musik, warna pada seni rupa, dan

bahasa sebagai tindak tutur. Bentuk yang merupakan komplemen dari beragam

media (gerak, bunyi, rupa, dan bahasa) banyak terdapat pada seni pertunjukan, yang

kesemuanya itu merupakan bahasa komunikasi yang kaya akan nuansa imajinatif dan

penuh dengan multitafsir.

Seni pertunjukan merupakan bentuk seni komplementer yang pada dasarnya

merupakan salah satu bentuk bahasa pragmatik. Hal ini dapat kita cermati dari

bentuknya yang berupa seni kolektif sebagai sarana untuk mengungkapkan maksud

dari seniman sebagai penutur dengan harapan dapat dihayati oleh penghayat sebagai

mitra tutur. Seni pertunjukan sebagai bahasa seniman untuk berkomunikasi dengan

penghayat merupakan bahasa pragmatik yang sangat khas penuh dengan nuansa

keindahan. Pragmatisme pada seni pertunjukan dapat ditunjukkan dari wujudnya

yang memiliki bahasa verbal dan nonverbal saling komplemen yang selalu hadir

dalam konteks. Secara prinsip dapat peneliti katakan bahwa seni pertunjukan

merupakan wahana yang sangat potensial sebagai sasaran kajian pragmatik. Adapun

bentuk seni pertunjukan di antaranya: Wayang Purwa (Wayang Kulit), Wayang

Wong, Wayang Golek, Kethoprak, Ludruk, Lenong, Randai, Langendriyan,

Karawitan, Tari, dan lainnya.


26

Tari sebagai salah satu bentuk seni pertunjukan, merupakan perpaduan dari

berbagai media komunikasi, yaitu: kinetic body moves (gerak tubuh) sebagai garap

tari, bunyi dan bahasa sebagai garap iringan, serta rupa sebagai garap rias dan

busana, ini merupakan realitas kemunculan bentuk komplementer. Penafsiran

terhadap keragaman media komunikasi yang terdapat dalam tari tidak mampu hanya

ditangkap secara rasional semata tetapi ketajaman rasa merupakan ujung tombak

dalam menangkap makna yang sebenarnya. Pertimbangan yang mendasar bahwa

dalam tari, kata-kata yang terdapat dalam tembang sebagai bahasa verbal, selain

makna kata-katanya juga diungkapkan dengan lagu dan tekanan irama yang

didukung iringan gamelan, sehingga terasa menjadi lebih mantap. Ini berbeda

dengan bahasa, yang secara spesifik telah memiliki kaidah-kaidah baku yang

penafsirannya lebih bersifat rasional. Hal ini terkait dengan konsep bahasa yang

bersifat formal, disipliner, dan relasi antara bentuk dan makna sangat ketat.

Kehadiran tari sebagai ungkapan ekspresi jiwa manusia merupakan media

komunikasi seorang seniman (penyusun tari ataupun penari) sebagai penutur

terhadap masyarakat (pakar, penonton umum dan penanggap) sebagai mitra tutur.

Sebagai media komunikasi, tari mempunyai muatan-muatan pesan dari penyusun tari

yang hendak dikomunikasikan dengan masyarakat. Lewat pesan akan ditangkap

makna sebagai esensi dari aktivitas berkomunikasi antara penyusun tari dengan

masyarakat. Adapun pesan-pesan tersebut dapat berupa pesan moral, spiritual, dan

bersifat hiburan. Muatan pesan tersebut merupakan salah satu kebutuhan dasar bagi

hidup manusia. Seperti dinyatakan Spradley (1997: 120), bahwa masyarakat di mana

saja menata hidup mereka dalam kaitannya dengan makna dari berbagai hal.
27

Dalam kehidupannya, manusia menggunakan bahasa sebagai sarana

komunikasi dan berinteraksi secara vertikal dan horisontal dalam kedudukannya

sebagai makhluk individu maupun sosial. Bahasa merupakan sarana yang utama

untuk menyampaikan pesan penutur kepada mitra tutur. Dalam rangka beraktivitas

sehari-hari manusia memerlukan bahasa sebagai alat komunikasi yang paling efektif

dan efisien. Rupanya dalam berkomunikasi manusia tidak selalu menggunakan

bahasa yang sifatnya langsung, terbuka, apa adanya, tetapi juga sering memilih

menggunakan bahasa yang tersamar, tidak langsung seperti bahasa pragmatik.

Bahasa yang bersifat pragmatik merupakan salah satu sasaran kajian tentang

makna-makna satuan lingual secara eksternal. Makna yang dikaji dalam pragmatik

dikaitkan dengan maksud atau tujuan penutur di dalam mengutarakan suatu kata,

frase atau kalimat. Jadi pragmatik mengkaji maksud suatu ujaran penutur baik secara

tersirat maupun tersurat di balik tuturan yang dianalisis, bukan semata-mata hanya

makna literal ujaran tersebut. Namun untuk dapat mengetahui maksud ujaran penutur

(makna pragmatiknya), mitra tutur harus mengetahui makna semantik ujaran itu

terlebih dahulu. Lewat makna semantik yang dikontekstualkan akan muncul makna

pragmatik yang diharapkan dalam sebuah peristiwa pertuturan. Dengan cara

menghubung-hubungkan bentuk ujaran dengan konteks situasinya, sosial, dan

kultural yaitu siapa berbicara kepada siapa, di mana, kapan, untuk apa dan

bagaimana, maksud dari ujaran tersebut dapat dipahami.

Dengan demikian tampak jelas bahwa pragmatik terikat konteks (context

dependent), sebagaimana dikatakan Leech pragmatik adalah “The study of meaning

in relation to speech situation” (lihat Wijana, 1995: 50). Kajian makna dalam
28

pragmatik bersifat triadis, sehingga makna itu dapat dirumuskan dengan kalimat

“Apa yang kau maksud dengan berkata x itu ?” (What do you mean by x ?).

Hubungan atau relasi dalam pragmatik bersifat triadis, artinya suatu bentuk

kebahasaan selain memiliki makna semantik juga makna pragmatik, maksudnya

bahwa makna pragmatik selain dibangun melalui semantik yang mencakup: (1)

bentuk kebahasaan dan (2) makna juga dikaitkan dengan (3) konteks. Kajian bahasa

pragmatik lebih terfokus pada makna implikatur dari eksternal tuturan si penutur

bukan makna eksplikatur yang terdapat dalam internal tuturan semata. Bahasa yang

bersifat pragmatik banyak digunakan dalam berbagai bidang antara lain: sosial,

politik, budaya seperti: sastra, syair, puisi, tembang, dan tari.

Pragmatik merupakan cabang linguistik yang mengkaji makna dalam hubungannya

dengan situasi ujar (konteks). Aspek-aspek situasi ujar meliputi: (1) yang menyapa

(penyapa) atau yang disapa (pesapa), (2) konteks sebuah tuturan, (3) tujuan sebuah

tuturan, (4) tuturan sebagai bentuk tindakan atau kegiatan: tindak ujar, (5) tuturan

sebagai produk tindak verbal (Leech, 1993: 19-20).

Dalam rangka menjaga hubungan dan interaksi komunikasi pada kehidupan

sehari-hari tetap terjaga baik, selaras, harmonis, dan berkesinambungan, manusia

menggunakan bahasa yang memenuhi prinsip-prinsip kerjasama, yaitu: (1) maksim

kuantitas, (2) maksim kualitas, (3) maksim relevansi/hubungan, dan (4) maksim cara

(Grice dalam Leech, 1993: 11). Selain itu juga didukung prinsip kesopanan yang

meliputi: (1) maksim kearifan, (2) maksim kedermawanan, (3) maksim pujian, (4)

maksim kerendahan hati, (5) maksim kesepakatan, dan (6) maksim simpati. Pada

realitasnya manusia sering tidak mengindahkan prinsip-prinsip kerjasama dalam


29

berkomunikasi sehingga terjadi pelanggaran. Karena hal itu terjadi, sebagai

akumulasi beragam tuntutan akan kebutuhan hidup manusia yang begitu kompleks.

Ketidakpatuhan para peserta tutur dalam pertuturan karena dipicu oleh motif-motif

tertentu dari penutur. Dalam hal ini penutur berupaya memasukkan maksudnya

secara implisit pada ujaran yang diungkapkan. Dampak dari peristiwa tuturan

tersebut muncul implikatur-implikatur yang akhirnya merupakan lahan kajian

pragmatik.

Terdapat dua cara untuk berkomunikasi lewat bahasa, yakni dapat berupa teks

verbal dan nonverbal. Berkomunikasi secara verbal dilakukan dengan cara

menggunakan media bahasa baik yang tertulis dan lisan. Adapun komunikasi yang

bersifat nonverbal dilakukan dengan menggunakan alat selain bahasa. Wujudnya

dapat berupa aneka simbol, isyarat, kode, bunyi misalnya tanda lalu lintas, morse,

lambaian tangan, sirene, kenthongan barulah dapat bermakna setelah diterjemahkan

ke dalam bahasa manusia (Lamuddin Finoza, 2005: 2). Dengan demikian tari yang

merupakan bagian dari seni pertunjukan yang memiliki aspek komunikasi verbal dan

nonverbal merupakan objek kajian pragmatik yang sangat menarik. Aspek verbal tari

berupa cakepan (syair) teks sastra tembang yang terdapat dalam pathetan, sindhenan,

gerongan, dan jineman. Sedangkan aspek nonverbalnya berupa: tema, kinetic body

moves (gerak tubuh), polatan, rias, busana, pola lantai, dan iringan.

Tari adalah ungkapan perasaan manusia tentang sesuatu dengan gerak-gerak

ritmis yag indah (Soedarsono, 1996: 6). Menurut Wisnoe Wardhana (1994: 36), tari

adalah ungkapan nilai-nilai keindahan dan keluhuran lewat gerak dan sikap.

Sedangkan H’Doubler mengutarakan bahwa tari adalah ekspresi gerak ritmis dari
30

keadaan-keadaan perasaan yang secara estetis dinilai, yang lambang-lambang

geraknya dengan sadar dirancang untuk kenikmatan serta kepuasan dari pengalaman

ulang, ungkapan, berkomunikasi, melaksanakan serta dari penciptaan bentuk-bentuk

(dalam Soedarsono, 1996: 4). Dari ketiga pendapat pakar tari tersebut dapat disarikan

bahwa tari merupakan ekspresi jiwa manusia sebagai tanggapan tentang nilai-nilai

kemanusiaan, dikomunikasikan dalam bentuk yang indah untuk mendapatkan

penghayatan yang layak, dengan menggunakan medium utama gerak. Jika kita

cermati lebih lanjut pernyataan ketiga pakar mengenai pengertian gerak tersebut

masih kabur, karena pada dasarnya betapapun indahnya gerak tumbuh-tumbuhan

yang tersapu angin, gerak akrobatik binatang yang menawan tetapi tanpa kehadiran

gerak tubuh manusia, tidak dapat dikatakan gerak tari.

Secara garis besar bahwa semua gerak dapat menjadi gerak tari dengan cara

melalui campurtangan gerak tubuh dan seleksi yang memadahi. Menurut peneliti, tari

adalah ekspresi jiwa manusia lewat medium utama gerak tubuh untuk mencapai

kenikmatan keindahan. Sumber gerak utama yang dimaksudkan di sini adalah kinetic

body moves. Bagaimanapun acuhnya seorang seniman terhadap publik, ia berkarya

dengan harapan dapat dihayati, maka dibutuhkan juga suatu penghargaan. Tanpa

simpati publik, dorongan artistik akan layu tidak dapat berkembang. Rupanya

ekspresi diri semata tidak akan memberikan kenikmatan dan kepuasan bahkan

cenderung mati (Parker, 1980: 37).

Rupanya gerak tubuh sangat dominan dan merupakan medium utama yang

sekaligus sebagai sumber kehidupan tari. Seperti variasi pada kutipan kata-kata

terkenal Donne: “one could almost say, the body speaks. And when the body speaks
31

in this fashion, its movements, the body moves, form an integral part of the

interactions (e.g., in a conversation); as such, they represent, or are part of, a

pragmatic act” (dalam Mey, 2001: 223-224). Sekarang semakin jelas bahwa ide

komunikasi nonlisan sebagai tambahan atau alat bantu sederhana pada pembicaraan

adalah pandangan irasional yang terlalu sempit. Selayaknya, kita harus mengakui

bahwa komunikasi ‘gerak tubuh’ mampu ‘menentukan suasana’ dan ‘memberi

makna’ untuk komunikasi secara utuh. Dengan kata lain, jika gerak tubuh penutur

tidak mengikuti pembicaraan penutur, mitra tutur juga tidak akan mengikuti dan

memperhatikan. Pada dasarnya tindakan pragmatik melibatkan seorang individu

secara keseluruhan dalam komunikasi, bukan hanya bagian kontribusi yang

diucapkan saja. Di samping itu, dalam dimensi meta-pragmatik, tindakan pragmatik

sangat penting untuk menentukan dan mempertahankan kerangka meta-komunikatif

untuk komunikasi.

Tidak mungkin orang bicara soal kesenian tanpa memperhatikan bentuk,

wujud, dan gayanya (Budhisantoso, 1994: 3). Bentuk seni adalah hasil ciptaan

seniman yang merupakan wujud dari ungkapan isi, pandangan, dan tanggapannya ke

dalam bentuk fisik yang dapat ditangkap dengan indera (Sri Rochana, 1994: 68).

Secara sederhana Herbert Read berpendapat bahwa seni merupakan usaha untuk

menciptakan bentuk-bentuk yang menyenangkan (1990: 2). Tampaklah sekarang

bahwa bentuk dalam seni memiliki peranan yang sangat penting dalam rangka

menyampaikan isi atau maksud yang hendak dikomunikasikan pada penghayat (mitra

tutur) dari si seniman (penutur). Adapun isi yang dimaksud merupakan pengalaman

jiwa seniman dalam menanggapi alam, lingkungan sekitarnya secara selektif.


32

Sebagai media ekspresi, seni memiliki tujuan yaitu memberikan kepuasan dalam visi

penuh simpati. Untuk itu menuntut seniman bukan hanya menyajikan realitas

kehidupan yang sifatnya mengimitasi atau memindahkan begitu saja, melainkan

nilai-nilai kehidupan yang telah terseleksi dapat ditranspormasikan dalam bentuk

yang indah, supaya menjadikannya jelas bagi jiwa yang menghayati.

Pengalaman jiwa seniman sewaktu-waktu dapat dikomunikasikan lewat garap

medium sesuai dengan bidangnya masing-masing. Hubungan antara bentuk fisik

yang dapat diamati indera dengan isi yang hendak diungkap harus terjalin secara

harmonis agar dapat mencapai sasarannya yaitu penghayat. Maka tidaklah

mengherankan apabila sarana untuk berekspresi dalam seni tidak bersifat instingtif,

tidak pula bersifat stereotip, dan bukan merupakan sesuatu yang sudah siap tersedia.

Sarana tersebut setiap saat dan untuk setiap personal harus dicari, dan seringkali

pencarian itu terlampau berliku-liku jalannya (Read, 1990: 45). Pada hakikatnya

medium ekspresi seniman bersifat fisik, dan wujudnya dapat berupa gerak, bahasa,

bunyi, garis, warna (rupa). Wujud tersebut tak lain agar dapat dan mampu ditangkap

dengan indera manusia, baik dari seniman sebagai pengkarya maupun masyarakat

sebagai penikmatnya. Sehingga benda pacu dimaksud mampu mengubah dari

pandangan verbal menjadi pandangan yang penuh makna yang berarti bagi

kehidupan jiwa.

Keberhasilan mereka menyampaikan pesan-pesan tergantung dengan

kemampuan menyeleksi materi-materi sebagai sarana ungkap dan tidak lepas dari

kemampuan masyarakat penikmat untuk menangkap yang sudah barang tentu

mengacu pada nilai-nilai budaya dan norma-norma sosial yang hidup dan
33

berkembang. Betapapun hebatnya seorang seniman dalam berkarya tanpa diimbangi

apresiasi masyarakat yang layak dan memadahi rupanya akan menjadi semakin tidak

berarti sehingga bentuk-bentuk pesan yang hendak disampaikan oleh seniman tidak

dapat terealisasi secara baik dan wajar dalam kehidupan masyarakat. Untuk itu

dibutuhkan peningkatan kualitas apresiator dengan memperbanyak peluang aktivitas

pertunjukan dan peningkatan kualitasnya.

Seni pertunjukan Jawa pada umumnya dapat dikategorikan menjadi dua

kelompok besar yaitu kesenian karaton dan kesenian rakyat (Humardani, 1991: 14).

Kesenian karaton merupakan bentuk kesenian yang pada awalnya hidup dan

berkembang di lingkungan karaton. Sedangkan kesenian rakyat hidup, tumbuh dan

berkembang di tengah-tengah masyarakat pedesaan. Perkembangan sekarang kedua

bentuk kesenian tersebut saling mempengaruhi secara lebih kompleks. Kesenian

karaton cenderung memiliki garap lebih rumit, cermat dan mempunyai semacam

pola-pola baku yang sering digunakan sebagai semacam pedoman. Berbeda dengan

kesenian rakyat yang sifatnya spontan sangat sederhana baik bentuk maupun sistem

pertunjukannya. Beragam bentuk seni pertunjukan karaton, di antaranya: wayang

kulit, wayang wong (wayang orang), karawitan, tari dan lainnya.

Dalam tari Jawa bentuk ekspresinya pada hakikatnya terwujud berdasarkan

alam emosi, yaitu bentuk dan iramanya sangat kuat dilatarbelakangi oleh konsep

keindahan dan tradisi kebudayaannya (Humardani, 1991: 10). Seni tradisional genre

tari pasihan yang mengacu kesenian karaton merupakan salah satu budaya yang

diwarisi secara turun-temurun sudah barang tentu memiliki kesinambungan dengan

budaya sebelumnya. Pewarisan budaya tidaklah bersifat statis, tetapi masing-masing


34

generasi mencoba untuk mengadakan perubahan-perubahan disesuaikan dengan

kondisi kehidupan masyarakat pendukungnya. Terbukti seni tradisional kita tetap

berkembang di masyarakat, di antaranya genre tari pasihan, Bedhaya, Srimpi,

Wireng, Pethilan, dan tarian untuk anak.

Di dalam seni pertunjukan, “Genre Tari Pasihan“ tampaknya cenderung

menekankan rasa dan emosi dalam bentuk bahasa verbal dan nonverbal. Kehadiran

genre tari pasihan (percintaan pria dan wanita) dalam kehidupan sosial masyarakat

pada ritual perkawinan adat Jawa rupanya mempunyai makna simbolik yang sangat

penting terutama bagi kedua mempelai dalam rangka mempersiapkan diri untuk

mengarungi kehidupan di masyarakat yaitu menuju terbentuknya keluarga yang

bahagia. Di dalam kehidupan masyarakat Jawa, simbolisme memiliki peranan sangat

penting, sebab simbolisme sangat menonjol peranannya dalam tradisi adat Jawa.

Menurut Clifford Geertz (1992: 6), bahwa ‘simbol’ tampak terbatas pada sesuatu

yang mengungkapkan secara tidak langsung, sehingga perlu perantara yang berwujud

simbol-simbol dalam puisi bukan dalam bentuk pengetahuan. Simbolisme semacam

ini tampak pada genre tari pasihan yang hadir dalam rangkaian upacara-upacara

perkawinan adat Jawa. Seolah–olah keberadaan genre tari pasihan dalam budaya

Jawa sejak 1970 telah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan terutama pada

upacara-upacara perkawinan (Maryono, 1991: 73).

Rasanya menjadi kurang utuh apabila dalam acara resepsi perkawinan tidak

disajikan tari pasihan sebagai penutup pesta tersebut, sehingga kemunculan

pertunjukan genre tari pasihan pada upacara perkawinan relatif sangat tinggi

frekuensinya. Hal tersebut diduga menumbuhkan daya pikat perhatian masyarakat


35

dan mampu menggugah semangat kreativitas para seniman seni pertunjukan di

Surakarta untuk merespon secara positif. Seniman-seniman yang menanggapi secara

proaktif antara lain seperti Maridi dengan karyanya: tari Endah, tari Lambangsih, dan

tari Gesang Rahayu. Sunarno menghasilkan karya: tari Bondhan Sayuk, tari Enggar-

enggar, tari Driasmara, tari Kusuma Ratih, tari Langen Asmara, tari Jayaningrat dan

tari Setyaningsih. Suciati Joko Suharja menciptakan tari Kusuma Aji.

Genre tari pasihan gaya Surakarta merupakan suatu kelompok tari yang

secara susunan berbentuk duet atau pasangan silang jenis tipe karakter dengan tema

percintaan. Jenis tipe karakter yang berpasangan tersebut dalam genre ini antara lain

: putri luruh duet dengan alus luruh, putri lanyap duet dengan alus luruh, putri luruh

duet dengan gagah luruh dan sebagainya. Keragaman bentuk dan jenis tari duet

percintaan yang terdapat di wilayah Surakarta menunjukkan sebuah kekayaan ranah

budaya yang mampu memberikan warna kota Sala sebagai pusat budaya. Rupanya

hal ini terkait dengan warisan budaya khususnya tari dari kerajaan Mataram baru

yaitu istana Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Ketika Perang Dunia ke II berakhir,

karaton-karaton di Jawa kehilangan kekuasaannya atas daerah-daerah masing-

masing, kehilangan kekuasaannya sebagai orientasi nilai-nilai budaya Jawa, pusat

adat-istiadat Jawa, dan sebagai pusat kesenian Jawa (Koentjaraningrat, 1984: 235).

Secara perlahan-lahan kehidupan tari yang semula menjadi hak monopoli keluarga

kerajaan, keluar tembok karaton hidup dan berkembang meluas ke tengah-tengah

kehidupan masyarakat. Berkembangnya bentuk dan jenis genre tari pasihan atau

genre tari duet percintaan tidak lepas dari kreativitas para penyusun tari dalam

rangka memenuhi kebutuhan sosial masyarakat.


36

Kehidupan genre tari pasihan hingga sekarang mengalami perkembangan

sangat pesat, hal ini dimungkinkan adanya suatu pilihan masyarakat yang sangat

tepat tentang tata nilai dan sikap untuk menjaga kelangsungan hidup budayanya

sebagai warisan yang dianggap memiliki nilai tinggi. Genre tari pasihan merupakan

cabang seni tradisional gaya Surakarta yang banyak mengandung makna simbolis

dan memiliki fungsi yang erat hubungannya dengan upacara adat ritual perkawinan

masyarakat Jawa. Rupanya telah mengakar pada budaya Jawa, yaitu pada setiap

upacara perkawinan hampir dapat dipastikan akan disajikan jenis tari pasihan.

Kehadiran genre tari pasihan di tengah-tengah kehidupan sosial masyarakat

diduga mempunyai kekuatan magis simpatetis terhadap sepasang penganten. Seperti

diungkapkan Soedarsono sebagai berikut :

Sadar atau tidak sadar kesuburan tanah – juga perkawinan – tidak cukup
hanya dicapai lewat peningkatan sistem penanaman baru, tetapi juga perlu
diupayakan lewat kekuatan – kekuatan yang tak kasat mata. Kekuatan itu
antara lain berupa magi simpatetis, yang hanya bisa didapatkan dengan
perbuatan yang melambangkan terjadinya pembuahan, yaitu hubungan antara
pria dan wanita. Hubungan ini pada masyarakat yang masih melestarikan
budaya purba kadang-kadang dilakukan agak realistis. Sedangkan bagi
masyarakat yang sudah agak maju dilakukan secara simbolik. (Soedarsono
dalam Soedarso, 1991: 35)

Rupanya semakin tampak bahwa genre tari pasihan merupakan media ungkap para

penyusun tari (penutur) yang memuat ide, gagasan, rasa, emosi yang diekspresikan

dalam bentuk bahasa verbal dan nonverbal yang hendak dikomunikasikan dengan

penghayat (mitra tutur) dengan maksud-maksud tertentu.

Seni pertunjukan genre tari pasihan gaya Surakarta sebagai karya seni

memiliki beberapa aspek di antaranya aspek sastra tembang (bahasa verbal) yang

berupa cakepan (syair) yang terdapat dalam pathetan, sindhenan, gerongan, dan
37

jineman. Sedangkan aspek bahasa nonverbal meliputi: tema, gerak tubuh (kinetic

body moves), polatan (ekspresi wajah), pola lantai, rias, busana, dan iringan. Aspek-

aspek tersebut membutuhkan ruang, waktu, dan memiliki pesan, dalam tindakannya

supaya dapat berfungsi secara baik sebagai media komunikasi. Kajian pragmatik di

sini akan menganalisis makna genre tari pasihan lewat implikatur-implikatur bahasa

verbal dan nonverbal yang dimilikinya. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa

bentuk-bentuk tari yang termasuk dalam genre tari pasihan, banyak persamaannya,

yang sudah barang tentu juga terdapat perbedaan namun tidak begitu signifikan.

Dengan pernyataan lain serupa tetapi tidak sama. Dari sejumlah jenis tari duet

tersebut peneliti memfokuskan sasaran pada dua bentuk tari duet percintaan, yakni

tari Karonsih dan tari Bondhan Sayuk.

Pemilihan pertama tari Karonsih dalam kajian pragmatik ini, tidak lain

didasarkan pada fakta historis. Kehadiran tari Karonsih di tengah-tengah kehidupan

masyarakat telah menjadi bagian dari kebutuhan sosial, mempunyai pengaruh cukup

besar yaitu telah dapat memacu dan memotivasi terhadap seniman-seniman di

kalangan tradisional (Maryono, 1991: 27). Karonsih merupakan awal jenis tarian

duet percintaan yang mampu membawa perkembangan sangat luar biasa. Pengaruh

perkembangannya dapat dibuktikan dengan munculnya berbagai bentuk tari duet

percintaan, yakni seperti: tari Endah, tari Enggar-enggar, tari Kusuma Aji, tari

Lambangsih, tari Driasmara, tari Gesang Rahayu, tari Bondhan Sayuk, tari Kusuma

Ratih, tari Jayaningrat, tari Langen Asmara dan tari Setyaningsih. Di samping itu

diduga tari Karonsihan memiliki kekuatan magis simpatetis yang kuat terhadap
38

sepasang temanten, hal ini dapat diamati dari kehadirannya yang hampir dapat

dipastikan pada setiap upacara perkawinan terutama pada budaya Jawa.

Pemilihan kedua adalah tari Bondhan Sayuk, didasarkan pada bentuk yang

berbeda pada jenis tari duet percintaan, namun masih dalam karakteristik yang sama.

Perbedaan antara Karonsih dengan Bondhan Sayuk meliputi bentuk tindak tutur

verbal dan nonverbal. Merujuk pada pola cerita yang tokoh-tokohnya memiliki

authority scale dan social distance yang berbeda, maka hal itu dapat diamati dari

jenis bahasa verbal yang digunakan pada masing-masing tari pasihan tersebut. Selain

itu terdapat perbedaan bahasa nonverbal, sekilas dapat dicermati dari properti yang

berupa boneka bayi (anak kecil). Diharapkan perbedaan yang terdapat pada tari

Karonsih dan tari Bondhan Sayuk, baik dari segi tindak tutur verbal dan

nonverbalnya dapat digunakan untuk mengungkap secara mendalam karakteristik

genre tari pasihan dalam analisis pragmatiknya.

Pada prinsipnya pemilihan sampling tari Karonsih dan Bondhan Sayuk

tersebut bukan untuk generalisasi statistik (populasi) tetapi lebih fokus untuk

mewakili dari keragaman informasinya yang diharapkan dapat digeneralisasi

teorinya. Kelayakan dan kualitas objek sasaran penelitian tidak dapat disangsikan

berdasarkan eksistensi, kredibilitas, kuantitas, dan kualitas genre tari pasihan sebagai

seni pertunjukan yang hidup dan berkembang pesat di Jawa. Realitas menunjukkan

bahwa keragaman jenis tari duet percintaan gaya Surakarta merupakan salah satu aset

budaya nasional yang memiliki kuantitas dan kualitas tinggi, serta memberikan citra

budaya yang mantab. Kehadiran genre tari pasihan merupakan pemenuhan

kebutuhan sosial dan hayatan cukup mantap dan sekaligus menjadi benteng budaya
39

nasional yang mampu memberi warna citra diri masyarakat Surakarta sebagai

pewaris high culture Mataram palace dan lebih meluas sebagai bangsa Indonesia.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang masalah yang telah peneliti paparkan tersebut di

muka, terdapat masalah utama yang menjadi fokus penelitian disertasi ini, adalah:

mengapa masyarakat memilih pertunjukan genre tari pasihan gaya Surakarta sebagai

masterpiece dalam sebuah ritual perkawinan adat Jawa. Masalah utama tersebut

dapat dikaji lewat beberapa pertanyaan yang bersumber pada seniman pelakunya

(penyusun tari dan penari) yang bertindak sebagai penutur (komunikator), karya seni

(pesan atau tindak tutur) sebagai sarana atau media tutur, dan masyarakat (pakar,

penonton umum, dan penanggap) sebagai mitra tutur (komunikan). Untuk itu perlu

dirumuskan masalahnya dalam rangka menganalisis makna pragmatik pada genre

tari pasihan.

Rumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana jenis-jenis tindak tutur dalam genre tari pasihan gaya Surakarta

dan tindak tutur apa yang dominan, serta mengapa terjadi dominasi ?

2. Bagaimanakah penerapan prinsip kerja sama dan prinsip kesantunan dalam

bahasa verbal dan nonverbal genre tari pasihan gaya Surakarta ?

3. Bagaimanakah implikatur dan daya pragmatik bahasa verbal dan nonverbal

genre tari pasihan gaya Surakarta ?


40

4. Bagaimana ciri karakteristik bahasa verbal dan nonverbal genre tari pasihan

gaya Surakarta ?

5. Bagaimana latar belakang konsepsi penciptaan bahasa verbal dan nonverbal

genre tari pasihan gaya Surakarta ?

6. Bagaimana persepsi masyarakat terhadap kehidupan genre tari pasihan gaya

Surakarta ?

C. Tujuan Penelitian

Memahami bahasa verbal dan nonverbal genre tari pasihan pada ritual

perkawinan adat Jawa di Surakarta dengan menganalisis secara rinci, akurat, dan

mendalam untuk menemukan dan mendeskripsikan:

1. Jenis-jenis tindak tutur dan tindak tutur yang dominan dalam genre tari

pasihan gaya Surakarta.

2. Penerapan prinsip kerja sama dan prinsip kesantunan dalam bahasa verbal

dan nonverbal genre tari pasihan gaya Surakarta.

3. Implikatur dan daya pragmatik bahasa verbal dan nonverbal genre tari

pasihan gaya Surakarta.

4. Ciri karakteristik bahasa verbal dan nonverbal genre tari pasihan gaya

Surakarta.

5. Latar belakang konsepsi penciptaan bahasa verbal dan nonverbal genre

tari pasihan gaya Surakarta.

6. Persepsi masyarakat terhadap kehidupan genre tari pasihan gaya

Surakarta.
41

D. Manfaat Penelitian

Tari dikaji dari berbagai perspektif ilmu seperti sosial, politik, ekonomi,

antropologi, budaya dan lainnya rupanya telah banyak dilakukan para peneliti,

namun penelitian tari dari kaca mata linguistik rupanya masih sangat langka. Salah

satu jenis kajian linguistik yang paling tepat untuk analisis tari adalah linguistik

pragmatik. Perspektif dari kajian pragmatik akan mengarahkan peneliti untuk

menganalisis seni pertunjukan (tari) secara menyeluruh, baik dari aspek bahasa

verbal dan nonverbal. Spesifikasi yang dapat diunggulkan dalam kajian ini bahwa

terdapat interaksi yang sangat tepat antara pragmatik dan seni pertunjukan yang

masing-masing berorientasi masalah makna. Artinya seni pertunjukan memuat nilai-

nilai kehidupan yang fundamental sebagai sumber makna. Sedangkan pragmatik

merupakan disiplin ilmu yang secara spesifik mengkaji makna atau maksud penutur.

Dengan demikian manfaat yang diharapkan dari penelitian ini:

(1) Membuka perspektif kajian baru, terutama kajian seni pertunjukan

khususnya tari dari perspektif linguistik pragmatik.

(2) Memberi sumbangan bagi para pembaca untuk menambah wawasan

kajian seni pertunjukan tari pasihan dari sudut pandang linguistik pragmatik.

(3) Memberikan motivasi terhadap pembaca pada umumnya dan para

peneliti dari kalangan Lembaga Perguruan Tinggi Seni untuk meneliti bentuk-bentuk

seni pertunjukan dari perspektif linguistik pragmatik.

(4) Dapat menjadi referensi atau acuan bagi para peneliti yang terkait dengan

disiplin ilmu linguistik pragmatik dan kajian sastra seni khususnya.


42

BAB II
KAJIAN TEORI, TINJAUAN PUSTAKA, DAN KERANGKA PIKIR

A. Kajian Teori
Seni pertunjukan umumnya dan lebih khusus genre tari pasihan gaya

Surakarta merupakan lahan kajian yang sangat menarik lewat bahasa verbal yang

berupa teks sastra tembang dan bahasa nonverbal. Dalam rangka untuk mengetahui

dan mencermati makna bahasa verbal dan nonverbal yang terdapat dalam seni

pertunjukan genre tari pasihan gaya Surakarta, peneliti menggunakan kajian: (1)

teori pragmatik, (2) teori budaya, (3) teori seni pertunjukan, dan (4) teori

komunikasi.

1) Teori pragmatik untuk menganalisis jenis-jenis tindak tutur yang terdapat

pada sastra tembang sebagai bahasa verbal, jenis tindak tutur yang dominan,

mengapa terjadi dominasi. Bentuk analisis berikutnya adalah bagaimana penerapan


43

prinsip-prinsip kerja sama dalam sastra tembang. Selain itu juga untuk mengkaji

strategi kesantunan yang digunakan oleh masing-masing peserta tutur yang terdapat

dalam genre tari pasihan terkait dengan cara mengungkapkan tindak tutur terkait

jarak sosial, hubungan peran yang berbeda, dan penggunaan muka dalam

komunikasi. Teori tersebut juga untuk mengungkap implikatur dan daya pragmatik.

2) Teori budaya yang terdiri dari tiga bagian yakni, wujud kebudayaan

sebagai suatu kompleks dari ide-ide untuk mengungkapkan konsepsi seniman

penyusun tentang bahasa verbal dan nonvberbal yang digunakan pada tari pasihan.

Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas untuk mengkaji dari faktor

afektifnya yaitu mengenai pandangan masyarakat umum dan persepsi pakar terhadap

pertunjukan tari pasihan. Adapun wujud kebudayaan berupa benda-benda hasil karya

manusia untuk analisis faktor objektif atau karya seninya, baik yang berupa sastra

tembang dan bahasa nonverbal.

3) Teori seni pertunjukan untuk mengkaji elemen-elemen yang terdapat di

dalam tari pasihan (bahasa nonverbal) mencakup tema, gerak tubuh (kinetic body

moves), polatan (ekspresi wajah), pola lantai, rias, busana, dan iringan gamelan

untuk mengungkapkan faktor objektif dan faktor genetik.

4) Teori komunikasi digunakan untuk menganalisa bagaimana komunikasi

berlangsung. Proses komunikasi antara seniman penyusun sebagai komunikator

dengan masyarakat sebagai komunikan lewat media yaitu karya seni tari pasihan.

Dalam komunikasi tersebut lebih difokuskan pada kesesuaian antara pesan makna

yang dimaksudkan seniman penyusun dengan makna yang dapat ditangkap oleh

masyarakat. Jika komunikasi antara seniman dengan masyarakat terjadi perbedaan


44

atau sebaliknya terjadi persamaan, dari hasil itu dapat dicari dan dianalisis

penyebabnya untuk menentukan kekuatan dan kelemahan tari pasihan sebagai

media.

Keempat teori tersebut digunakan untuk menganalisis makna pragmatik

genre tari pasihan gaya Surakarta secara komplementer. Secara prinsip teori

pragmatik merupakan alat kajian yang utama terkait dengan sistem kebahasaannya,

sedangkan teori budaya dan teori seni pertunjukan untuk menganalisis faktor bahasa

nonverbal. Teori komunikasi untuk mengkaji keterkaitan antarfaktor genetik,

objektif, dan afektif. Diharapkan keempat teori tersebut mampu untuk mengungkap

makna pragmatik genre tari pasihan gaya Surakarta secara menyeluruh dan

mendalam.

1. Teori Pragmatik

Terkait untuk tujuan-tujuan linguistik pragmatik adalah studi tentang makna

dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujar (speech situations) (Leech, 1993: 8).

Konsep ujaran menurut Parera (dalam Muhammad Rohmadi, 2004: 48) berhubungan

dengan manifestasi bahasa dalam bentuk lisan. Untuk mengetahui makna ujaran

tidak dapat hanya dilihat dari satu sisi ujaran itu sendiri, akan tetapi harus

memperhatikan situasi ujaran atau sejauh mana kontekstualnya. Sebagaimana

dikatakan Leech bahwa seorang yang menganalisis makna pragmatik dapat

disamakan dengan seorang penerima, ia berusaha mengartikan isi wacana hanya


45

berdasarkan bukti kontekstual yang ada saja tanpa menjadi sasaran pesan si penutur

(1993: 19).

Ujaran-ujaran dalam kalimat dapat diungkapkan makna pragmatiknya secara

jelas jika kita perhatikan konteks, penutur serta situasinya. Tanpa konteks, ujaran-

ujaran dalam bentuk kalimat atau tindak tutur tersebut hanya akan dipahami sebagai

makna semantik yang lebih terfokus pada analisis linguistik formal. Terkait dengan

situasi-situasi ujaran, Leech (1993: 19-21) mengemukakan aspek-aspek situasi ujar

yang meliputi lima aspek situasi ujaran sebagai berikut: (1) Yang menyapa (penyapa)

atau yang disapa (pesapa), (2) Konteks sebuah tuturan, (3) Tujuan sebuah tuturan,

(4) Tuturan sebagai bentuk tindakan atau kegiatan: tindak ujar, (5) Tuturan sebagai

produk tindak verbal.

Dalam kehidupan sosial manusia berinteraksi menggunakan bahasa sebagai

alat komunikasi untuk maksud-maksud tertentu. Bahasa yang diungkapkan berupa

ujaran atau tuturan baik yang bersifat lisan maupun tulis. Bentuk ungkapan dapat

bersifat langsung dan tidak langsung, bersifat langsung manakala maksud penutur

tereksplesitkan dalam bentuk-bentuk tuturannya, sehingga mudah dipahami mitra

tutur. Tidak langsung, sulit dipahami karena untuk mencermati maksud sebuah

tuturan yang disampaikan penutur kepada mitra tutur sering mengalami kendala.

Hambatan sering terjadi karena penutur di dalam mengungkapkan tuturannya

menggunakan bahasa yang bersifat indirect. Artinya penutur dalam menyampaikan

maksudnya disiratkan pada tuturan atau maknanya di balik yang tersurat. Sebagai

mitra tutur berupaya untuk menafsirkan maksud penutur lewat teks yang digunakan

dengan mengaitkan konteksnya. Untuk itu perlu dicermati secara mendalam bentuk
46

bahasa sebagai teks dan bagaimana konteksnya sehingga dapat berfungsi untuk

mengungkap makna pragmatik.

a. Teks dan Konteks

Pada dasarnya teks dan konteks sangat vital terkait dengan kompetensi

komunikatif sehingga konsep teks dan konteks menjadi penting untuk dikaji dalam

rangka memahami implikatur pragmatik. Dalam analisis teks dan konteks ini, kita

dapat perikan liku-liku antarunit hingga komplementer antarfaktor. Hakekat teks

dalam pembicaran ini mereferensi dari pendapat: Leech (1983), Richards et al

(1992), Cook (1989), Halliday dan Hasan (1976), dan Hoed (2003: 5-6). Adapun

hakekat konteks lebih mereferensi dari pendapat: Yule (1998), dan Cutting (2002).

a.1. Teks

Menurut Leech (1983: 100), teks adalah konstruksi dari hasil penggunaan

sintaksis dan fonologi bahasa secara bermakna. Sejalan dengan pendapat tersebut,

teks adalah potongan dari bahasa tulis maupun lisan yang maknanya dapat dirunut

dari perspektif strukturnya ataupun fungsinya (Richards et al, 1992: 378). Secara

lebih sederhana Cook menyatakan bahwa teks juga dapat berupa bagian-bagian dari

bahasa yang dikaji secara formal (1989: 14).

Pendapat lain, Halliday dan Hasan (1976: 1-2), bahwa teks merupakan

sebuah unit semantik yang memiliki bentuk dan bermakna bukan sekadar unit

gramatikal seperti klausa atau kalimat yang lepas. Dengan demikian teks tidak

tergantung pada ukuran panjang pendeknya, namun lebih mengarah pada

berfungsinya suatu bahasa, yakni bahasa yang sedang melaksanakan tugas tertentu

dalam konteks situasi, bukan kata-kata ataupun kalimat lepas. Hoed (2003: 5-6),
47

mengatakan terdapat dua cara untuk pendekatan dasar pada sebuah teks, dengan

mengutip pendapat Noth (1990), yaitu: 1. teks sebagai pesan budaya (nonverbal),

yang terkait dengan gejala budaya seperti film, pertunjukan balet atau tari, musik,

peristiwa upacara ataupun pertunjukan sirkus; dan 2. teks sebagai pesan verbal yang

membatasi teks pada gejala kebahasaan (lihat disertasi Jumanto, 2006: 23-24).

Dapat ditarik simpulannya bahwa teks adalah sebuah unit bahasa verbal dan

atau nonverbal yang bermakna. Merujuk pada hakekat teks dari pendapat kelima

pakar tersebut terkait dengan teks seni pertunjukan, dapat peneliti kemukakan bahwa

teks genre tari pasihan meliputi:

a.1.1 Bahasa verbal, yang berupa teks sastra tembang yang terdapat dalam

cakepan (syair) pathetan, sindhenan, gerongan, dan jineman. Berdasarkan tujuan

awal penelitian adalah kajian pragmatik, maka dalam bahasa verbal ini, kajian

peneliti lebih terfokus pada:

a) jenis-jenis tindak tutur yang digunakan,

b) jenis tindak tutur yang dominan dan mengapa terjadi dominasi,

c) realisasi kesantunan antarperan

a.1.2 Bahasa nonverbal berupa elemen-elemen tari yang terdiri dari: tema, gerak

tubuh (kinetic body moves), polatan (ekspresi wajah), pola lantai, rias, busana, dan

iringan. Dalam bahasa nonverbal ini, kajian peneliti lebih terfokus pada gejala

budaya, mencakup:

a) motif tema yang digunakan sebagai ancangan alur adegan.

b) jenis-jenis vokabuler gerak,

c) polatan,
48

d) bentuk rias,

e) jenis warna dan bentuk busana yang dipakai,

f) jenis-jenis pola lantai ( floor design) ,

g) jenis-jenis gendhing ,

h) intonasi yang mencakup: irama, lagu, dan tekanan.

Kedua bentuk bahasa, baik verbal dan nonverbal tersebut merupakan satu kesatuan

yang membentuk menjadi sebuah bahasa genre tari pasihan yang tidak lepas dengan

konteks.

a.2. Konteks

Munculnya konsep konteks dalam ranah linguistik merupakan konsep yang

relatif baru sebagai pendobrak kemapanan aliran linguistik formal atau struktural.

Selama bertahun-tahun kajian linguistik, didominasi oleh pandangan bahwa aspek

form dalam suatu bahasa merupakan satu-satunya data yang paling feasible untuk

dikaji. Artinya bahwa para kaum strukturalis terfokus pada internal bahasa yang

semata-mata berorientasi pada bentuk, tidak mempertimbangkan bahwa satuan–

satuan itu sebenarnya hadir dalam konteks, baik konteks yang bersifat lingual (co-

text) maupun konteks yang bersifat ekstralingual yang berupa konteks fisik maupun

konteks sosial. Akibatnya aliran struktural gagal menjelaskan berbagai masalah

kebahasaan, terutama terkait dengan masalah makna yang ditarik dari implikatur

tindak tutur dalam sebuah percakapan, yang seharusnya mengaitkan dengan konteks.

Menurut Yule (1998), konteks adalah sebuah konsep yang dinamis, bukan

statis. Konteks dipahami sebagai lingkungan yang selalu berubah yang

memungkinkan peserta tutur berinteraksi dan yang membantu mereka memahami


49

ungkapan-ungkapan kebahasaan yang mereka gunakan dalam suatu proses

komunikasi. Sejalan dengan pendapat tersebut, Leech mengartikan konteks sebagai

suatu pengetahuan latar belakang yang sama-sama dimiliki oleh penutur dan mitra

tutur dan yang membantu mitra tutur dalam menafsirkan makna tuturan (1993: 20).

Sedangkan Cutting (2002: 3-8), mendefinisikan konteks secara lebih

operasional yakni dunia fisik dan sosial serta asumsi-asumsi pengetahuan yang

sama-sama dimiliki oleh penutur dan mitra tutur. Selanjutnya secara rinci konteks

dikategorikan menjadi: 1) konteks situasi, yaitu keadaan fisik yang muncul

bersamaan dengan terjadinya suatu interaksi ketika percakapan berlangsung (at the

moment of speaking), 2) konteks pengetahuan latar (background knowledge context)

yang dirinci menjadi (a) pengetahuan umum budaya (cultural general knowledge)

dan (b) pengetahuan interpersonal (interpersonal knowledge). 3) konteks co-textual,

yakni konteks verbal yang ada pada teks yang mengakibatkan adanya kohesi dan

koherensi.

Realisasi konteks dari teks tari pasihan dengan mengakses persepsi Cutting,

peneliti dapat lebih memfokuskan kajiannya pada:

a.2.1) Keadaan fisik yang muncul bersamaan dengan terjadinya suatu

interaksi ketika percakapan berlangsung dapat dirunut, secara internal mencakup:

perubahan raut muka atau polatan, pemilihan kata, intonasi dan pemilihan gerak.

Secara eksternal meliputi: lokasi pertunjukan dan kondisi lingkungan yang menjadi

setting berlangsungnya pertunjukan.

a.2.2) Konteks pengetahuan latar yang dapat diperikan menjadi:


50

a.2.2.1)Keterkaitannya dengan budaya, mencakup: mentifact, artifact,

sociofact.

Mentifact, merupakan bagian budaya yang terkait dengan ide-ide, gagasan,

nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. Pandangan bagi masyarakat

yang berbudaya Jawa, rupanya keselarasan alam semesta merupakan salah satu

prinsip hidup. Harmonisasi dan keseimbangan antara jagad gedhe sebagai

manifestasi makrokosmos dan jagad cilik sebagai manifestasi mikrokosmos

merupakan faktor penentu kehidupan yang harus terjaga keberlangsungannya. Dalam

keselarasan tersebut yang penting adalah apakah hubungan alamiah satu sama

lainnya dimiliki oleh unsur-unsur yang terpisah, dan bagaimana masing-masing

unsur itu harus dirangkai menjadi terpadu, sekaligus mencegah hal-hal yang

sumbang maupun menimbulkan keganjilan. Keselarasan antara gaya hidup dan

kenyataan fundamental yang dirumuskan simbol-simbol sakral bervariasi dari

kebudayaan yang satu ke budaya yang lain (Geertz, 1992: 54-55). Realitas sepanjang

hidup manusia di muka bumi, mengalami pembagian adat-istiadat ke dalam tingkat-

tingkat tertentu. Stages along the life-cycle itu meliputi: masa kelahiran, masa

penyapihan, masa kanak-kanak, masa remaja, masa puber, masa nikah atau masa

perkawinan, masa pascanikah, masa hamil, dan masa tua hingga kematian

(Koentjaraningrat, 1985: 89). Mencermati dari sekian masa kehidupan, salah satu

masa yang penting adalah masa perkawinan atau masa nikah. Dari pernyataan

tersebut, dapat dirunut bagaimana keterkaitan perkawinan dengan kehadiran tari

pasihan.
51

Artifact, merupakan bagian budaya yang berupa seluruh total dari karya

manusia berupa benda fisik dari aktivitas maupun perbuatan. Pada prinsipnya semua

hasil karya manusia ditujukan untuk mencukupi semua kebutuhan hidupnya yang

terdiri dari dua komponen pokok, yaitu kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohani.

Salah satu jenis karya manusia yang berperan dalam pembangunan rohani adalah

karya seni. Beragam hasil karya seni yang diciptakan manusia, satu diantaranya

adalah jenis genre tari pasihan. Terkait dengan kebutuhan analisis artifact, tari

pasihan akan dicermati secara total bentuk karya seninya dalam koridor seni

pertunjukan.

Sociofact, merupakan bagian budaya yang terkait dengan suatu kompleks

aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam social system. Beragam aktivitas

manusia yang saling berinteraksi satu dengan lainnya, dari waktu ke waktu, selalu

menurut pola yang telah disepakati yang didasarkan pada adat tata kelakuan. Sebagai

rangkaian aktivitas manusia dalam suatu masyarakat, sistem sosial itu bersifat

konkret, yang terjadi di sekitar kita. Seperti kehadiran tari pasihan pada upacara-

upacara ritual perkawinan budaya Jawa, rupanya terdapat kontribusi yang cukup

signifikan. Kehadiran tari duet pasihan pada upacara-upacara resepsi perkawinan

sampai sekarang masih berlangsung. Rupanya terdapat keterkaitan yang cukup erat

antara seni pertunjukan khususnya tari duet pasihan dengan kebutuhan sosial.

Merujuk pada asumsi tersebut, peneliti akan mengkaji fungsi tari pasihan pada

upacara perkawinan dalam kehidupan sosial masyarakat pendukungnya.

a.2.2.2) Keterkaitannya dengan pengetahuan interpersonal, akan dirunut

tentang: hasil penghayatan yang melibatkan seniman dan penghayat terhadap karya
52

tari pasihan. Dari penghayatan muncul sebuah penilaian. Hasil penilaian atau hasil

hayatan dari peserta tutur (seniman dan penghayat), terdapat persamaan atau

perbedaan yang masing-masing akan dicari argumentasinya.

a.2.3) konteks co-textual, mencakup kohesi dan koherensi secara menyeluruh

dalam tari pasihan. Adapun cakupan kohesi terfokus pada: keterkaitan antarunit,

antarkomponen, dan antarbagian baik yang terdapat pada teks satra tembang

maupun pada elemen-elemen tari pasihan. Cakupan koherensi terfokus pada: isi atau

kandungan makna pada masing-masing unit, masing-masing komponen, masing-

masing bagian, dan implikatur dari komplementer antarunit, antarkomponen, dan

antarbagian tari pasihan.

Sebagai arahan untuk memahami proses dan bentuk aktualisasi mengenai

aplikasi analisis pemerian teks beserta konteks tari pasihan dalam ritual perkawinan

budaya Jawa, akan dikupas secara tuntas dan mendalam dengan teori-teori yang

peneliti gunakan sebagai ancangan analisis, pada kajian berikut.

b. Prinsip Kerja Sama (PKS)

Pada dasarnya orang dalam berkomunikasi itu hendaknya saling bekerjasama

antara penutur dengan mitra tutur agar komunikasi dapat berjalan secara efektif dan

efisien. Setiap peserta pertuturan sama-sama menyadari bahwa ada prinsip-prinsip

yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasi-interpretasinya

terhadap tindakan dan ucapan lawan tutur (Wijana, 1996: 68). Partisipan komunikasi

sangat berkepentingan untuk memenuhi dan mematuhi prinsip kerjasama

(Cooperative Principle) yang terbagi empat maksim yaitu: (1) maksim kuantitas, (2)

maksim kualitas, (3) maksim hubungan, dan (4) maksim cara (Grice dalam Leech,
53

1993: 11). Merujuk pada empat maksim dari prinsip kerjasama itu bila dapat

dipenuhi dari masing-masing peserta tutur maka akan terjadi komunikasi yang efektif

dan efisien. Terbentuknya komunikasi yang wajar tersebut karena penutur dalam

memberikan informasi secukupnya tidak kurang dan tidak lebih sesuai yang

diperlukan, informasi benar tidak keliru berdasarkan suatu realitas yang sebenarnya,

informasi usahakan relevan dengan pokok pembicaraan, dan informasi disampaikan

dengan cara yang mudah, jelas, ringkas, dan teratur secara gramatikal.

Prinsip kerjasama rupanya tidak cukup karena dalam kehidupan dibutuhkan

saling menghormati, menghargai, dan menjaga kesopanan. Perlu disadari bahwa

sebagai anggota masyarakat bahasa penutur tidak hanya terikat pada hal-hal yang

bersifat tekstual, dalam arti tidak hanya bagaimana membuat tuturan yang mudah

dipahami oleh mitra tutur, tetapi penutur juga terikat pada aspek-aspek yang bersifat

interpersonal. Dengan demikian penutur harus membuat dan memperlakukan mitra

tutur lebih santun dalam mengungkapkan tuturannya. Leech berpendapat bahwa

selain keempat maksim dalam prinsip kerjasama juga masih diperlukan prinsip

kesantunan yang terjabar menjadi enam maksim, yaitu: (1) maksim kearifan (tact

maxim), adalah aturan pertuturan yang meminimalkan kerugian orang lain dan

memaksimalkan keuntungan bagi orang lain; (2) maksim kedermawanan (generosity

maxim), adalah aturan pertuturan yang meminimalkan keuntungan bagi diri sendiri

dan memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri; (3) maksim pujian (approbation

maxim), adalah aturan pertuturan yang meminimalkan ketidakhormatan terhadap

orang lain dan memaksimalkan pujian kepada orang lain; (4) maksim kerendahan

hati (modesty maxim), adalah aturan pertuturan yang memaksimalkan


54

ketidakhormatan terhadap diri sendiri dan meminimalkan rasa hormat terhadap diri

sendiri; (5) maksim kesepakatan (agreement maxim), adalah aturan pertuturan yang

memaksimalkan kesepakatan terhadap orang lain; (6) maksim simpati (sympathy

maxim), adalah aturan pertuturan yang meminimalkan rasa anti pati terhadap orang

lain dan memaksimalkan rasa simpati terhadap orang lain (Leech, 1993 : 206-207).

Namun, kalau kita perhatikan praktik penggunaan bahasa di dalam

komunikasi sehari-hari, ternyata prinsip kerja sama itu sering tidak dipatuhi orang.

Paling tidak, lebih sering maksim-maksim dalam prinsip kerja sama itu dilanggar

daripada dipatuhi. Tidak dipatuhi karena salah satu sebabnya adalah bahwa

komunikasi itu tidak selalu berupa penyampaian pesan atau informasi belaka. Hal ini

didasarkan pada fungsi bahasa yang mencakup: (1) fungsi referensial atau informatif

yang tujuannya untuk menyampaikan informasi (pesan), dan (2) fungsi afektif yang

bertujuan untuk menjaga dan memelihara hubungan sosial (Holmes dalam Asim

Gunarwan, 2006: 2).

Tampaklah bahwa ketidakpatuhan para partisipan dalam komunikasi karena

pada dasarnya bahwa berkomunikasi itu lebih dipicu oleh motif-motif tertentu dari

penutur. Dalam hal ini penutur berupaya memasukkan maksudnya secara implisit

pada ujaran yang diungkapkan. Penutur sering menyampaikan pesan tidak secara

bald on record tetapi lebih banyak menyukai dengan cara off record. Hal itu

menunjukan bahwa dalam pertuturan, penutur merasa lebih santun, nyaman, aman,

diharapkan tidak mengancam muka, hubungan sosialnya tetap terjaga tanpa merasa

terkendalai oleh faktor bahasa dan nonbahasa. Namun perlu disadari semua

implikatur itu bersifat probabilistis, karena dapat diasumsikan bahwa apa yang
55

dimaksud oleh penutur lewat tuturannya tidak pernah dapat kita ketahui dengan pasti.

Untuk dapat menentukan makna yang sebenarnya atau menyimpulkan interpretasi

yang paling mungkin, sesuai dengan maksud percakapan, dipilih bentuk-bentuk

ungkapan yang memiliki makna paling relevan dari semua siratan yang secara

potensial dapat timbul. Untuk menarik makna sesuai dengan maksud penutur tidak

cukup hanya dengan mengasumsikan makna proposisi ujaran, betapapun eksplisitnya

proposisi. Karena pragmatik merupakan kajian tentang maksud penutur, untuk

mengetahui dan memahami makna ujarannya, kita harus mengetahui sikap penutur.

Dapat diinferensikan bahwa memahami maksud penutur, tidak cukup mengetahui

eksplikatur ujaran, tetapi kita juga harus mengetahui sikap penutur yang

melatarbelakangi eksplikatur ujaran tersebut (Asim Gunarwan, 2006: 9). Peranan

ujaran atau tindak tutur sangat penting dalam rangka menyampaikan maksud

penutur.

c. Tindak Tutur

Fungsi bahasa dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial rupanya

tidak dapat disangkal lagi. Bahasa sebagai fakta sosial telah diungkap pertama kali

oleh Ferdinand de Saussure (1916). Hal ini kemudian dikembangkan oleh para

peneliti lain. Menurut Karl Buhler (1918), tanda bahasa merupakan lambang

(symbol), gejala (symptom), dan juga Sinyal (signal). Dalam hal ini tanda bahasa

merupakan lambang yang memiliki daya sinyal untuk mengarahkan pendengar

sebagai penanggap. Berdasarkan teori tanda bahasa di dalam model Organon Buhler,

bahasa dapat difungsikan menjadi tiga, yaitu: ekspresif, apelatif, dan representatif.

Relevansi teori Buhler dengan liku-liku pragmatik dijelaskan oleh Renkema (1993),
56

bahwa ujaran yang disampaikan oleh sender dapat diterima dan dipahami pada

tingkat yang sama atau berbeda oleh receiver artinya gejala tidak selalu sama dengan

sinyal. Apabila objek acuan sender sebagai message dapat diterima dan dipahami

pada tingkat yang sama atau tepat oleh receiver, artinya bahwa komunikasi efektif

dan berhasil. Sebaliknya jika yang terjadi pemahaman receiver atas objek referensi

sender berbeda bahkan berlainan sama sekali, maka akan terjadi masalah pragmatik.

Perkembangan selanjutnya Malinowski (1923: 310), dari hasil penelitian

terhadap masyarakat primitif di Papua Melanesia, menyatakan bahwa ujaran hanya

akan dapat dipahami jika ditafsirkan dalam konteks situasi. Terkait dengan fungsi

bahasa, Malinowski mengungkapkan sebuah konsep Phatic Communion: ‘A type of

speech in which ties of union are created by a mere exchange of words’ (lihat

Jumanto, 2006: 36). Dari pernyataan tersebut jelas bahwa bahasa difungsikan sebagai

tujuan sosial untuk menjaga hubungan ikatan antarpersonal bagi yang terlibat dalam

sebuah pertuturan. Komunikasi fatis merupakan strategi masyarakat modern maupun

masyarakat primitif dalam rangka menjaga interaksi sosial terpelihara dengan baik,

santun, ramah, dan harmonis.

Sekarang tampak bahwa tokoh – tokoh seperti: Ferdinand de Saussure (1916),

Karl Buhler (1918), Malinowski (1923), merupakan pakar linguistik yang telah

mendeskripsikan fungsi bahasa berdasarkan realitas kehidupan bahasa dalam

masyarakat. Mereka dengan sadar mengembangkan teori fungsi bahasa secara

berkelanjutan. Teori fungsi bahasa dari ketiga pakar tersebut merupakan langkah

awal berkembangnya fungsi bahasa yang mendorong lahirnya teori pragmatik oleh
57

Austin (1956) yang kemudian dijabarkan dan dimanifestasikan dalam konsep-konsep

tindak tutur Searle (1969) berikutnya.

Speech act menurut Austin di dalam mengutarakan tuturan, seseorang dapat

melakukan sesuatu selain mengatakan sesuatu. Contohnya: “ Peneliti mohon maaf

atas keterlambatan peneliti.” Contoh ujaran atau kalimat tersebut dipergunakan untuk

melakukan tindakan yaitu tindakan meminta maaf. “ Wah, tanamannya layu.” Ujaran

atau tindak tutur tersebut dipergunakan untuk melakukan tindakan yaitu menyuruh

untuk menyirami. “ Sebaiknya anda tidak merokok.” Tuturan tersebut dimaksudkan

untuk melakukan tindakan yakni melarang atau menyuruh untuk tidak menghisap

rokok. Terkait dengan liku-liku Speech act, kita dapat mengkajinya dengan sebuah

teori tindak tutur yang diperikan menjadi beberapa jenis tindak tutur.

d. Jenis-jenis Tindak Tutur

d.1. Tindak Tutur menurut Austin (1956)

Teori tindak tutur pertama kali diungkapkan oleh Austin (1956), seorang ahli

filsafat senior dari Inggris, yang kemudian dikembangkan dan dipopulerkan secara

universal oleh muridnya yang bernama Searle (1969). Menurut Searle bahwa pada

setiap komunikasi linguistik terdapat tindak tutur. Searle dalam bukunya “Speech

Acts: An Essay in The Philosophy of Language” (1969:23-24) mengemukakan

bahwa secara pragmatik setidak-tidaknya ada tiga jenis tindakan yang dapat

diwujudkan oleh seorang penutur, yakni tindak lokusi (locutionary act), tindak

ilokusi (illocutionary act), dan tindak perlokusi (perlocutionary act) (lihat Leech,

1993:316; Wijana, 1996: 17-19; Cutting, 2002: 16; Yule, 2006: 83-84).
58

Ketiga teori tindak tutur, yaitu locutionary act, illocutionary act atau

illocutionary force, dan perlocutionary act atau perlocutionary effect merupakan

teori yang akan peneliti gunakan sebagai ancangan untuk mengkaji implikatur. Hal

ini terkait dengan pemahaman bahwa pragmatik adalah cabang linguistik yang

mengkaji maksud penutur (the speakers meaning) yang terdapat di balik tuturannya.

Maksud tuturan tidak selamanya dinyatakan secara eksplisit, akan tetapi banyak juga

bahkan dapat peneliti katakan cukup dominan maksud penutur yang diimplisitkan

pada realitas kehidupan, sehingga kita sering mengalami kesulitan untuk memahami

maksud tuturan atau implikaturnya. Untuk itu diperlukan seperangkat pengetahuan

tentang berbagai jenis tindak tutur, untuk mencermati dan memahami maksud

penutur dengan seluruh aspek yang melatarbelakangi (konteks). Adapun ketiga jenis

tindak tutur itu, lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut.

a. Tindak Lokusi (locutionary act).

Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Tindak tutur ini

sering disebut sebagai The Act of Saying Something. Tuturan yang diutarakan oleh

penuturnya lebih bersifat menginformasikan sesuatu, tanpa tendensi atau maksud-

maksud tertentu di balik kalimat atau ujaran, tetapi lebih menurut apa adanya. Bila

diamati secara

seksama tindak lokusi itu adalah konsep yang berkaitan dengan proposisi kalimat.

Kalimat atau tuturan dalam hal ini dipandang sebagai satu kesatuan yang terdiri dari

minimal dua unsur, yakni subjek atau topik dan predikat atau commet (lihat

Nababan, 1987: 4; Wijana, 1996: 18).

b. Tindak Ilokusi (illocutionary act).


59

Tindak ilokusi adalah tindak tutur yang berfungsi untuk mengatakan atau

menginformasikan sesuatu dan dipergunakan untuk melakukan sesuatu. Tindak

ilokusi disebut sebagai The Act of Doing Something. Tindak ilokusi sangat dominan

kita jumpai dalam komunikasi sehari-hari, tindak ini merupakan bagian sentral untuk

memahami tindak tutur.

c. Tindak Perlokusi (perlocutionary act).

Tindak perlokusi adalah tindak tutur yang pengutaraannya dimaksudkan

untuk mempengaruhi lawan tuturnya. Tindak perlokusi disebut sebagai The Act of

Affecting Someone. Sebuah tuturan yang diutarakan seseorang seringkali mempunyai

daya pengaruh (perlocutionary effect) atau efek bagi yang mendengarnya. Efek yang

timbul ini bisa sengaja maupun tidak sengaja. Berdasarkan uraian-uraian di atas

menunjukkan bahwa tindak lokusi mendasari tindak ilokusi, tindak ilokusi mendasari

tindak perlokusi. Selanjutnya tindak perlokusi sebagai final maksud suatu ujaran di

dalam komunikasi bahasa. Dalam tindak lokusi bentuk-bentuk kebahasaan sebagai

alat untuk mengungkapkan informasi secara eksplisit. Dalam tindak ilokusi dan

perlokusi bentuk-bentuk kebahasaan sebagai simbol untuk mengungkapkan maksud

yang sebenarnya. Simbol itu dapat ditangkap sebagai sesuatu isyarat maksud tertentu

jika wawasan budaya, kebiasaan antara pendengar dan pembicara sama.

Tidak semata-mata tindak perlokusi hanya ditarik dari makna ujaran, karena

harus melibatkan konteks tuturannya. Dapat ditegaskan bahwa setiap tuturan dari

seorang penutur memungkinkan sekali mengandung salah satu dari ketiga: lokusi,

ilokusi atau perlokusi. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa satu tuturan

mengandung dua atau ketiga-tiganya sekaligus. Kunci utama yang perlu diperhatikan
60

bahwa dalam analisis pragmatik adalah mencermati ilokusi-ilokusi yang terdapat

pada tindak tutur dari penutur yang hendak dikomunikasikan pada mitra tutur, untuk

mencari implikatur atau makna di balik ujaran yang tersirat bukan sekadar makna

yang tersurat dalam ujaran dimaksud. Tidaklah dipungkiri bahwa dalam kajian tindak

tutur ilokusi tidak lepas dari tindak tutur lokusi dan tindak tutur perlokusi.

d.2. Tindak Tutur menurut Searle (1979)

Sehubungan dengan pengertian tindak tutur atau tindak ujar, Searle (1979)

mengklasifikasikan tindak tutur ilokusi menjadi lima jenis tuturan, yakni: asertif,

direktif, ekspresif, komisif, dan deklarasi (lihat Leech, 1996: 164-165; Cutting, 2002:

16-17). Dari masing-masing tindak tutur mempunyai fungsi komunikatif, yaitu:

d.2.1. Asertif ialah bentuk tindak tutur yang mengikat penuturnya kepada

kebenaran atas hal yang dikatakannya, misalnya: menggambarkan, menyatakan,

membuat hipotesa, mendesak, meramalkan, membual, mengeluh, mengusulkan, dan

melaporkan.

d.2.2. Direktif, ialah bentuk tindak tutur yang dimaksudkan oleh penuturnya

untuk mempengaruhi mitra tutur agar melakukan tindakan sesuai dengan maksud

penutur, misalnya: menyuruh, memohon, mengundang, melarang, menuntut,

memesan, menyarankan, dan menantang.

d.2.3. Ekspresif, ialah bentuk tindak tutur yang berfungsi untuk menyatakan

atau mengungkapkan sikap psikologis penutur dalam menanggapi suatu keadaan,

misalnya: meminta maaf, memuji, mengucapkan selamat, mengucapkan terima

kasih, menyesal, penyesalan, mengkritik, dan mengeluh.


61

d.2.4. Komisif, ialah bentuk tindak tutur yang mengikat penuturnya

melaksanakan segala hal yang disebutkan dalam ujarannya, misalnya: berjanji,

bersumpah, mengancam, tawaran, menolak, berkaul dan sukarela.

d.2.5. Deklaratif, ialah tindak tutur yang dilakukan si penutur dengan maksud

untuk menciptakan hal (status, keadaan dan sebagainya) yang baru, misalnya:

meyakinkan, mendeklarasikan, menekankan, membaptis, memutuskan,

membatalkan, melarang, mengizinkan, memberikan maaf, memecat, mengundurkan

diri, memberi nama, mengangkat, mengucilkan, dan menjatuhkan hukuman.

d.3. Tindak Tutur menurut Yule (1996)

Menurut Yule (1996), secara garis besar fungsi tindak tutur diklasifikasi

menjadi lima jenis, yaitu:

d.3.1. Deklaratif ialah jenis tindak tutur yang mengubah dunia melalui

tuturan. Dalam hal ini penutur harus mempunyai peran institusional khusus, dalam

konteks khusus, untuk menyatakan atau mengemukakan deklarasi secara tepat.

d.3.2. Representatif ialah jenis tindak tutur yang menyatakan apa yang

diyakini penutur. Pernyataan tersebut berdasarkan pada fakta, penegasan, simpulan,

dan pendeskripsian.

d.3.3. Ekspresif ialah jenis tindak tutur yang menyatakan sesuatu yang

dirasakan oleh penutur. Tindak tutur ekspresif merupakan cerminan dari pernyataan-

pernyataan psikologis dan dapat berupa pernyataan kegembiraan, kesulitan,

kesukaan, kebencian, kesenangan, dan bisa kesengsaraan atau kesedian.

d.3.4. Direktif ialah jenis tindak tutur yang dipakai oleh penutur untuk

menyuruh orang lain melakukan sesuatu. Bentuk tindak tutur direktif digunakan
62

untuk menyatakan apa yang menjadi keinginan penutur. Tindak tutur ini meliputi:

perintah, pemesanan, permohonan, dan pemberian saran, yang bentuknya dapat

berupa kalimat positif dan negatif.

d.3.5. Komisif ialah jenis tindak tutur yang dipahami oleh penutur untuk

mengikatkan dirinya terhadap tindakan-tindakan di masa yang akan datang. Tindak

tutur komisif dapat berupa: janji, ancaman, ikrar, dan penolakan.

d.4. Tindak Tutur menurut Kreidler (1998)

Dalam perkembangan selanjutnya, Kreidler mengkategorisasikan tindak tutur

menjadi tujuh jenis bentuk tindak tutur, seperti yang dikemukakan dalam bukunya

“Introducing English Semantics” (1998:183-194), yaitu:

d.4.1. Tindak tutur Asertif

Di sini penutur menggunakan bahasa untuk menyampaikan apa yang mereka

percayai dan apa yang mereka ketahui, tindak tutur asertif selalu berkaitan dengan

fakta, pengetahuan, data, apa yang ada atau yang telah ada, apa yang sedang terjadi

atau yang telah terjadi. Tindak tutur asertif bersifat menginformasikan, benar atau

salah, dan secara umum mereka dapat dibenarkan atau disalahkan bukan hanya pada

waktu tindak tutur tersebut keluar atau oleh mereka yang mendengarnya, namun

secara lebih umum mereka adalah subjek bagi penyelidikan empiris.

d.4.2. Tindak tutur Performatif

Tindak tutur performatif adalah tuturan yang pengutaraannya difungsikan

atau digunakan untuk melakukan suatu tindakan, misalnya tindakan mohon maaf,

berjanji, bertaruh, mengumumkan, dan meresmikan. Tindak-tutur performatif

ditemukan pada ucapan-ucapan pernikahan, pemecatan kerja, penjatuhan hukuman


63

dan lain-lain di mana hanya orang-orang tertentu dan pada lingkungan yang sesuai

yang diterima oleh mitra tutur. Kebanyakan tindak tutur performatif diungkapkan

pada setting formal dan berkaitan dengan kepegawaian. Tindak tutur performatif

bukanlah masalah benar atau salah tetapi tujuannya adalah untuk membuat bagian

dari dunia ini sepaham dengan apa yang ia katakan.

d.4.3.Tindak tutur Verdiktif

Tindak tutur verdiktif adalah tindak tutur yang berorientasi pada perbuatan

yang sudah terjadi atau bersifat retrospektif. Tindak tutur restrospeksi adalah jika

penutur menilai sikap yang telah dilakukan mitra tutur di masa lalu. Sikap itu bisa

ditanggapi secara positif dengan mengucapkan “selamat… untuk”, “bangga…

untuk”, “terima kasih… untuk”, bentuk menghargai, dan berbelasungkawa. Di

samping dalam bentuk tuturan di atas, tindak tutur verdiktif dapat berupa tuturan

yang bersifat menuduh, mendakwa, menyalahkan atau tanggapan yang mengarah

pada penilaian yang negatif.

d.4.4. Tindak tutur Ekspresif

Tindak tutur ekspresif menilai atau mengevaluasi tindakan sebelumnya atau

kegagalan dalam tindakan tersebut dari penutur, atau mungkin hasil bertindak atau

kegagalan sekarang. Menurut Fraser tindak tutur ekspresif disebut pula tindak tutur

evaluatif (dalam Rustono, 1999; 30). Tindak tutur ekspresif adalah jenis tindak tutur

yang menyatakan sesuatu yang dirasakan oleh penutur. Tuturan-tuturan ekspresif itu

mencerminkan pernyataan-pernyataan psikologis yang dapat berupa: memuji,

mengucapkan terima kasih, mengkritik, mengeluh, menyalahkan, mengucapkan

selamat, dan menyanjung.


64

d.4.5. Tindak tutur Direktif

Tindak tutur direktif kadang-kadang disebut juga tindak tutur impositif adalah

tindak tutur di mana penutur menginginkan mitra tutur melakukan suatu tindakan

atau mengulangi tindakan. Tindak tutur direktif ini tuturan-tuturannya mempunyai

maksud untuk memaksa, mengajak, meminta, menyuruh, menagih, mendesak,

memohon, menyarankan, memerintah, memberikan aba-aba, dan menantang. Pada

aplikasinya tindak tutur direktif, dapat berbentuk: (1) kalimat perintah (imperatif),

(2) kalimat berita (deklaratif), dan (3) kalimat tanya (interogatif).

d.4.6. Tindak tutur Komisif.

Tindak tutur komisif merupakan bentuk tindak tutur yang berfungsi untuk

menyatakan janji-janji, ikrar, pengandaian, ancaman dan sumpah. Tindak tutur

komisif bersifat prospektif dan berkaitan dengan komitmen penutur pada perbuatan

atau tindakan yang harus dilakukan untuk waktu yang akan datang.

d.4.7. Tindak tutur Patik.

Tindak tutur fatik merupakan bentuk tindak tutur yang berfungsi untuk

menjalin hubungan sosial. Tujuannya adalah untuk membangun solidaritas antar

anggota-anggota dari lingkungannya. Bahasa patik tidak begitu berfungsi dengan

jelas jika dibandingkan dengan enam tipe lainnya tetapi, tidak kalah arti pentingnya

dalam realitas kehidupan sehari-hari. Tindak tutur patik termasuk salam, ucapan

perpisahan, ucapan-ucapan kesantunan seperti “terima kasih kembali”, “maaf

peneliti”, yang mempunyai tujuan tertentu, bukan seperti makna yang tersurat dan

tersirat dalam tindak tutur verdiktif atau ekspresif. Tindak tutur fatik merupakan

bentuk tindak tutur keseharian yang sangat umum yang mungkin tidak kita pelajari
65

tapi sudah melekat dan menjadi kebiasaan sehari-hari yang bernilai baik dan

beretika. Sedangkan bentuk atau ragamnya tindak tutur fatik sudah terpola.

Dari keempat pakar yaitu: Austin, Searle, Kreidler, dan Yule tentang fungsi

tindak tutur tersebut dapat peneliti verifikasi sebagai berikut.

Konsep tindak tutur Austin merupakan dasar utama yang melandasi fungsi

tindak tutur yang muncul di kemudian, karena Austin merupakan orang pertama kali

yang mengemukakan teori tindak tutur yang membaginya menjadi tiga bentuk yaitu:

lokusi, ilokusi, dan perlokusi.

Dalam perkembangannya teori tindak tutur di tangan para pakar

diklasifikasikan menurut fungsinya yang secara garis besar memiliki kesamaan. Dari

hasil pengklasifikasian tersebut terdapat beberapa persamaan dan perbedaan:

1. Persamaan istilah dan sekaligus persamaan pengertian, bentuk fungsi

tindak tutur menurut Searle, Kreidler, dan Yule, meliputi tindak tutur: direktif,

ekspresif, dan komisif. Selain itu menurut Searle dan Kreidler juga terdapat

persamaan pada tindak tutur asertif, sedangkan menurut Searle dan Yule, persamaan

juga terletak pada tindak tutur deklaratif.

2. Perbedaan istilah tetapi pengertiannya sama. Menurut Searle dan Kreidler

tentang fungsi tindak tutur asertif mempunyai persamaan pengertian dengan fungsi

tindak tutur representatif menurut Yule. Di samping itu menurut Searle dan Yule,

fungsi tindak tutur deklaratif mempunyai persamaan pengertian dengan fungsi tindak

tutur performatif menurut Kreidler.


66

3. Perbedaan jumlah fungsi tindak tutur. Hal ini ditunjukan oleh Kreidler

yang membagi fungsi tindak tutur menjadi tujuh bentuk, sedangkan Searle dan Yule

masing-masing mengklasifikasikan menjadi lima bentuk tindak tutur.

Dari ketiga fungsi tindak tutur yang dikemukakan oleh Searle, Yule, dan

Kreidler, peneliti akan menggunakan fungsi tindak tutur menurut Kreidler karena

tampak dari jumlah pengklasifikasian Kreidler lebih banyak yang masing-masing

tindak tutur memiliki karakter yang spesifik sehingga dapat lebih mengakomodasi

kebutuhan analisis bahasa verbal dan nonverbal yang terdapat dalam genre tari

pasihan. Selain itu terkait juga dengan fungsi tindak tutur verdiktif dan tindak tutur

fatik yang tidak dimiliki dalam fungsi tindak tuturnya Searle dan Yule. Pada

dasarnya penutur dalam mengungkapkan maksudnya terhadap mitra tutur tidak selalu

langsung pokok pembicaraan. Peserta pertuturan sering menggunakan bahasa fatik

untuk sekedar memulai pembicaraan atau sekadar basa-basi mungkin juga untuk

memecahkan kesenyapan yang kesemunya itu berlangsung dalam pertuturan sehari-

hari. Begitu pula ketika seseorang mencintai orang lain, ungkapan memuji

merupakan pernyataan yang cukup dominan dalam sebuah pertuturan. Prediksi

peneliti, kedua fungsi tindak tutur tersebut sangat bermanfaat untuk menganalisis

tindak tutur teks satra tembang dan bahasa nonverbal yang terdapat pada genre tari

pasihan.

Terkait dengan kelebihan yang dimiliki tersebut gagasan utama pemilihan

dimaksud adalah dalam rangka mencari dan menentukan implikatur yang valid

sehingga pragmatik genre pasihan dapat diungkapkan secara menyeluruh, rasional,

optimal, dan berkualitas. Selain itu dari penjabarannya fungsi tindak tutur yang
67

dilakukan Kreidler tampak lebih transparan, hal ini dapat dicermati dalam bukunya

yang berjudul “Introducing English Semantics”, yang dipaparkan dengan

menggunakan bagan antara lain tindak tutur: verdiktif, ekspresif, direktif, dan

komisif .

Tindak tutur tersebut akan peneliti gunakan untuk mengkaji komponen-

komponen yang terdapat pada genre tari pasihan gaya Surakarta baik yang terdapat

pada bahasa verbal dan nonverbal secara tajam, menyeluruh, dan rinci dalam rangka

menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pada rumusan masalah. Terutama

terkait dengan latar belakang konsepsi penciptaan bahasa verbal dan nonverbal serta

ciri karakteristik genre tari pasihan gaya Surakarta.

Adapun unsur-unsurnya dapat diurai sebagai berikut.

1. Penutur meliputi: seniman penyusun (pengkarya), dan penari.

2. Tuturan (karya seni) meliputi: a. tindak tutur bahasa verbal yang berupa

teks sastra tembang terdiri dari; cakepan (syair) pathetan, sindhenan, gerongan, dan

jineman. b. tindak tutur bahasa nonverbal yang meliputi: tema, gerak tubuh (kinetic

body moves), polatan (ekspresi wajah), pola lantai, rias, busana, dan iringan.

3. Mitra tutur meliputi: pakar, penonton umum, dan penanggap sebagai

masyarakat pendukung budayanya.

e. Prinsip Kesantunan (PS)

e.1. Skala Kesantunan Leech (1983)

Teori kesantunan Leech (1983), bahwa setiap maksim interpersonal itu dapat

dimanfaatkan untuk menentukan peringkat kesantunan sebuah tuturan. Berikut

kesantunan menurut Leech selengkapnya:


68

e.1.1. Cost-benefit scale adalah skala yang menunjuk pada untung ruginya

peserta tutur dalam pertuturan. Tindak tutur yang banyak merugikan penutur akan

dianggap semakin santun, dan jika banyak menguntungkan penutur akan dianggap

tindak tuturnya semakin tidak santun.

e.1.2. Optionality scale adalah skala yang menunjuk pada sedikit-banyaknya

pilihan tindak tutur yang digunakan peserta tutur dalam pertuturan. Jika pertuturan

itu banyak memberikan kesempatan peserta tutur untuk memilih tuturan maka tindak

tutur akan semakin santun. Sebaliknya, apabila pertuturan itu membatasi peserta

tutur untuk memilih tuturan maka tindak tutur semakin tidak santun.

e.1.3. Indirectness scale adalah skala yang menunjuk pada langsung dan tidak

langsungnya maksud tindak tutur dalam pertuturan. Tindak tutur yang bersifat

langsung semakin tidak santun, sedangkan tindak tutur yang bersifat tidak langsung

akan semakin santun.

e.1.4. Authority scale adalah skala yang menunjuk pada hubungan status

sosial antara penutur dengan mitra tutur. Jarak status sosial (rank rating) semakin

jauh antara penutur dengan mitra tutur, akan semakin santun tindak tuturnya. Akan

tetapi jika jarak status sosial semakin dekat antara penutur dengan mitra tutur, akan

semakin tidak santun tindak tuturnya..

e.1.5. Social distance scale adalah skala yang menunjuk pada peringkat

hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur. Jarak hubungan sosial semakin jauh

antara penutur dengan mitra tutur, akan semakin santun tindak tuturnya. Sedangkan

semakin dekat hubungan sosial antara penutur dengan mitra tutur, akan semakin

tidak santun tindak tuturnya.


69

e.2. Skala Kesantunan Brown dan Levinson (1987)

Teori kesantunan Brown dan Levinson (1987) seperti dikutip Jumanto dalam

disertasinya (2006: 47-53), bahwa dalam sebuah pertuturan terkait dengan

pengaturan muka terbagi menjadi dua yaitu tindak tutur yang berpotensi mengancam

muka (face-threatening acts/FTA) dan tindak tutur yang berpotensi menyelematkan

muka (face-saving acts/FSA). Menurut Goffman (1959, 1967), pada dasarnya setiap

orang dianggap memiliki dua muka, yakni muka positif (positive face) dan muka

negatif (negative face). Muka positif dimaksudkan bahwa keinginan setiap orang

supaya segala tindakannya dihargai oleh orang lain, sedangkan muka negatif

dimaksudkan bahwa keinginan setiap orang supaya segala tindakannya tidak

dihalangi orang lain ( Brown dan Levinson, 1987: 62). Kajian kesantunan Brown dan

Levinson mencakup: a) cara mengungkapkan jarak sosial (social distance) dan

hubungan peran yang berbeda dalam komunikasi; b) penggunaan muka dalam

komunikasi, yang keduanya dimaksudkan untuk menunjukkan, memelihara, dan

menyelamatkan muka dalam percakapan. Dalam percakapan untuk mengungkapkan

kesantunan, Brown dan Levinson menggunakan dua cara yaitu strategi kesantunan

positif yang mengacu pada muka positif dan strategi kesantunan negatif yang

mengacu pada muka negatif. Strategi kesantunan positif (positive politeness

strategies) yang digunakan untuk menunjukkan kedekatan, keintiman, dan hubungan

baik antara penutur dengan mitra tutur, sedangkan strategi kesantunan negatif

(negative politeness strategies) yang digunakan untuk menunjukkan adanya jarak

sosial antara penutur dengan mitra tutur.


70

Teori kesantunan Brown dan Levinson dapat diringkas menjadi lima strategi,

yaitu: 1) melakukan tindak tutur secara apa adanya, tanpa basa basi (bald on record)

dengan mematuhi prinsip kerja sama Grice. Prinsip kerja sama Grice (1975) seperti

dikutip Leech (1993: 11), terdiri dari empat maksim yang digunakan dalam

percakapan, yaitu: maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim hubungan atau

relevansi, dan maksim cara. 2) melakukan tindak tutur dengan menggunakan

kesantunan positif mengacu muka positif (positive politiness), untuk menunjukkan

kedekatan, keintiman, dan hubungan baik antara penutur dengan mitra tutur. 3)

melakukan tindak tutur dengan menggunakan kesantunan negatif mengacu muka

negatif (negative politiness), untuk menunjukkan adanya jarak sosial antara penutur

dengan mitra tutur. 4) melakukan tindak tutur secara tidak langsung (off record). 5)

tidak melakukan tindak tutur atau diam (don’t do the FTA).

f. Implikatur dan Daya Pragmatik

f.1. Implikatur

Istilah implikatur berasal dari bahasa Latin plicare yang berarti “melipat.”

Derivasinya dalam bahasa Inggris adalah kata kerja “to imply“ yang aslinya

bermakna “to fold something into something else“ (melipat sesuatu ke dalam sesuatu

yang lainnya). Dari sini kemudian asal makna kata implikatur, yang diasalkan dari

kata “implied” yang berarti “folded in“ (terlipat) dan harus dibuka lipatan tersebut

(unfolded) jika kita ingin mengetahui artinya. Cara yang ditempuh untuk memahami

implikatur dalam komunikasi sehari-hari, kita harus menghubung-hubungkan tindak

ujar yang disampaikan penutur terhadap mitra tutur dengan konteks. Hal ini

dilakukan untuk menghindari kesalahpahaman, setidaknya dapat meminimalisasi


71

kesalahan sewaktu kita menafsirkan maksud penutur. Implikatur – implikatur yang

disiratkan dalam ujaran merupakan sumber utama dari pragmatik yang difungsikan

sebagai nilai komunikasi yang dimotifasi dari beragam keinginan penutur.

Istilah implikatur percakapan dikaitkan dengan konsep Grice tentang prinsip

kerjasama (PK) dan maksim-maksimnya. Menurut Grice (1975: 45), komunikasi itu

akan berjalan dengan efisien dan efektif jika para peserta tutur bekerjasama satu

sama lain. Artinya, peserta komunikasi perlu mematuhi prinsip kerjasama

(Cooperative Principle), yang dijabarkan menjadi empat, yaitu maksim kuantitas,

maksim kualitas, maksim hubungan dan maksim cara. Jika keempat maksim itu

dipenuhi maka penyampaian informasi akan menjadi efektif dan efisien. Secara

ringkas seorang penutur dikatakan memenuhi maksim-maksim Grice apabila ia

memberikan informasi tidak lebih atau tidak kurang dari yang dibutuhkan,

informasinya benar atau tidak keliru, informasi itu relevan dengan pokok

pembicaraan dan penyampaiannya baik dan mudah dipahami, jelas, sistematis,

langsung dan tidak bertele-tele. Namun demikian penutur tidak selalu

mematuhi maksim-maksim Grice tersebut. Pelanggaran terhadap maksim Grice

inilah oleh para pakar pragmatik disinyalir menyebabkan timbulnya suatu implikatur

percakapan, yakni makna atau pesan tambahan yang menjadi bagian dari komunikasi

yang tidak dikatakan.

Yule (1998), menyatakan bahwa implikatur dalam pragmatik terkait dengan

cara kita memahami suatu tuturan di dalam percakapan sesuai dengan yang kita

harapkan. Suatu respon percakapan yang tampaknya kurang tepat dapat menjadi

berterima jika kita hubungkan dengan konteksnya. Sejalan pendapat Yule, Mey
72

(2001) memberi batasan bahwa implikatur adalah “an additional conveyed

meaning”, maksudnya yakni makna tambahan yang lebih dari yang

dikomunikasikan. Dalam hal ini, penutur yang memilih berkomunikasi dengan

implikatur, sedangkan mitra tutur (petutur) bertugas mengasumsikan bahwa penutur

bekerjasama dalam percakapan yang mereka lakukan sehingga ia dapat mengenali

makna tambahan yang dimaksudkan dalam percakapan dengan menarik simpulan

(inference). Menurut Levinson (1983: 97, implikatur percakapan adalah “ the notion

of conversational implicature is one of the single most important ideas in

pragmatics”. Menurutnya implikatur dapat menjelaskan secara eksplisit tentang

bagaimana memakai apa yang diucapkan secara lahiriah berbeda dengan apa yang

dimaksud dan pemakai bahasa itu mengerti pesan yang dimaksud. Dari ketiga pakar

secara ringkas dapat disarikan, implikatur adalah makna yang disiratkan dalam

sebuah percakapan.

f.2. Daya Pragmatik

Leech mempostulatkan bahwa pragmatik umum mengaitkan makna suatu

tuturan dengan daya pragmatik tuturan tersebut. Kaitan ini dapat bersifat langsung

atau tidak langsung (1993: 45). Tugas pragmatik adalah menjelaskan kaitan antara

dua jenis arti tersebut yakni, antara makna harfiah dengan daya atau ilokusi. Ia

berasumsi bahwa makna dapat diperikan lewat representasi semantik sedangkan daya

diperikan melalui seperangkat implikatur. Dasar hipotesisnya bahwa semua

implikatur itu bersifat probabilistis, karena apa yang dimaksud oleh penutur dengan

tuturannya tidak pernah dapat kita ketahui dengan pasti sekali. Hanya dengan

beberapa faktor seperti kondisi yang dapat diamati, bentuk tuturan, dan konteks,
73

mitra tutur bertugas membuat simpulan interpretasi yang paling mungkin. Dengan

tegas Leech (1993: 24), menyatakan bahwa makna (sense) yaitu makna yang

ditentukan secara semantis sedangkan daya (force) yaitu makna yang ditentukan

secara semantis dan pragmatik. Adapun ikatan antara makna dan daya perlu disadari,

bahwa daya mencakup makna, dan secara pragmatik, daya sekaligus juga dapat

diturunkan dari makna.

Jika kita cermati sebenarnya implikatur dan daya pragmatik merupakan dua

buah batasan yang merujuk pada sebuah makna. Artinya bahwa masing-masing

batasan, baik implikatur maupun daya pragmatik secara garis besar mengacu pada

satu objek yang sama yakni, makna yang disiratkan dalam sebuah pertuturan. Dari

beberapa pakar linguistik sependapat bahwa implikatur adalah makna yang disiratkan

dalam sebuah percakapan. Sedangkan daya pragmatik menurut Leech, dapat

diperikan melalui seperangkat implikatur. Artinya daya pragmatik merupakan

kekuatan atau force yang muncul dari implikatur.

2. Teori Budaya.

Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya

manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia

dengan belajar (Koentjacaraningrat, 1990:180). Adapun wujud kebudayaan

mencakup tiga (3) substansi, yakni: a. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks

dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya; b. Wujud

kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia

dalam masyarakat; dan c. Wujud kebudayaan berupa benda-benda hasil karya

manusia.
74

Wujud kebudayaan tersebut dalam realitas kehidupan masyarakat sosial tidak

dapat dipisah-pisahkan, saling terdapat keterkaitan antar substansinya. Wujud ide

dan gagasan-gagasan manusia memberikan jiwa atau pun roh dalam kehidupan

masyarakat. Sistem sosial masyarakat yang mencakup aktivitas-aktivitas manusia

dalam berkomunikasi, berhubungan, dan berinteraksi satu dengan lainnya, akan

dikendalikan dan diatur oleh prinsip-prinsip nilai, norma-norma, peraturan yang telah

disepakatinya. Begitu pula kondisi kehidupan budaya seseorang sangat

mempengaruhi persepsi dan penciptaan makna pada setiap peristiwa sosial, yang

dalam setiap kehidupan sosial selalu melibatkan intersubjektif dan pembentukan

makna. Sehingga keragaman budaya sebagai latar seseorang yang telah dibentuk

sejak lahir akan mempengaruhi, membentuk, dan menimbulkan sikap, perilaku, dan

hasil karya seseorang beragam pula (Sutopo, 2006).

Untuk memahami budaya Jawa, kita dapat mengamati dan mencermati dari

salah satu wujud kebudayaanya yang berupa seni pertunjukan tari. Dalam tari Jawa

bentuk ekspresinya pada hakekatnya terwujud berdasarkan alam emosi, yaitu bentuk

dan iramanya kuat-kuat dilatarbelakangi oleh konsep keindahan dan tradisi

kebudayaannya (Humardani, 1991:10). Seni tradisional termasuk tari sebagai budaya

yang diwarisi secara turun-temurun sudah barang tentu memiliki kesinambungan

dengan budaya sebelumnya. Sejalan dengan pendapat tersebut, Ogburn

mengutarakan bahwa penemuan-penemuan baru memerlukan suatu latar belakang

transmisi kebudayaan dari penemuan-penemuan terdahulu (dalam Soerjono

Soekanto, 1983:100). Pewarisan budaya tidaklah bersifat statis, tetapi masing-masing


75

generasi mencoba untuk mengadakan perubahan-perubahan disesuaikan dengan

kondisi kehidupan masyarakat pendukungnya.

Perubahan merupakan suatu kesinambungan yang lebih daripada sekedar

patokan antara sebelum dan sesudah, maka laju transpormasi menjadi penting

artinya. Dengan demikian tanpa jangka waktu tidak akan terjadi peristiwa perubahan.

Segala sesuatu yang dihadapi manusia di muka bumi ini dalam kehidupannya semua

mempunyai temporalitas atau historisitas. Semuanya berawal dan berakhir dalam

suatu proses yang terus-menerus melalui dimensi waktu (Ibrahim Alfian, 1999:2).

Perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia tidak terlepas dari

adanya kecenderungan niat yang menghendaki suatu kehidupan yang lebih baik dari

sebelumnya. Dalam mencapai taraf hidup yang lebih baik, manusia memiliki

berbagai usaha lewat penemuan-penemuan baru untuk memenuhi sekaligus

menjawab tuntutan kebutuhan yang muncul sesuai dengan konteks budaya yang

berlaku. Seperti kehidupan seni tradisional kita yang dapat bertahan hidup dan lebih

berkembang di tengah-tengah masyarakat, baik sebagai hiburan, ritual maupun untuk

keperluan lain yang sifatnya terkait dengan pemenuhan kebutuhan sosial masyarakat.

Seni pertunjukan tari merupakan wujud keseluruhan dari sistem,

kompleksitas berbagai unsur–unsurnya yang membentuk suatu jalinan atau kesatuan,

saling terkait secara utuh, sehingga mampu memberikan daya apresiasi. Tari sebagai

wujud budaya yang merupakan hasil karya manusia diharapkan mampu memberikan

manfaat. Wujud karya seni sebagai ekspresi seniman memiliki beragam pesan

rupanya tidak mudah untuk dipahami untuk itu diperlukan sebuah kajian tersendiri.

Karena pada dasarnya tari dapat terwujud dari komplemen berbagai elemen. Bertolak
76

dari pandangan tersebut peneliti akan menggunakan teori budaya sebagai analisis

karya seni yakni genre tari pasihan. Kajiannya akan terkait dengan tiga komponen

yaitu seniman sebagai faktor genetik, karya seni sebagai faktor objektifnya, dan

masyarakat yang bertindak penghayat sebagai faktor afektif. Adapun bentuk

aplikasinya dirancang sebagai berikut.

a. Kompleks Ide.

Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide gagasan, nilai-nilai,

norma-norma, peraturan dan sebagainya akan digunakan sebagai kajian faktor

genetik. Terutama untuk mencermati latar belakang konsepsi penciptaan bagi

penyusun tari sebagai muatan atau pesan pada genre tari pasihan gaya Surakarta

yang hendak disampaikan kepada masyarakat sebagai penghayat atau penikmat.

Adapun isi sebagai kandungan makna pada genre tari pasihan adalah nilai cinta

kasih yang merupakan salah satu nilai-nilai kehidupan yang fundamental. Nilai–nilai

humanisme pada prinsipnya merupakan sumber nilai-nilai sekaligus lahan kajian

yang utama dalam seni pertunjukan, tidak terkecuali seni tari. Pada analisisnya

peneliti akan mengkaji keterkaitan nilai cinta kasih yang menjadi muatan genre tari

pasihan dengan ritual perkawinan adat Jawa terutama bagi sepasang mempelai

temanten.

b. Kompleks Aktivitas.

Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola

dari manusia dalam masyarakat akan peneliti gunakan sebagai analisis faktor

afektifnya atau persepsi masyarakat terhadap sajian genre tari pasihan. Pada

dasarnya bahwa masyarakat sebagai penghayat adalah masyarakat heterogen yang


77

secara kultur beragam pula latar belakangnya. Berbekal keberagaman latar kultur

tersebut akan mempengaruhi hasil hayatan yang berujung pada perbedaan-perbedaan

dan sekaligus persamaan persepsi masyarakat. Realitas yang demikian merupakan

dinamika kehidupan yang wajar dalam dunia seni pertunjukan. Terkait dengan

analisis genre tari pasihan, peneliti akan mencermati lebih fokus pada hal-hal yang

menyebabkan perbedaan dan persamaan persepsi masyarakat, serta mengapa hal itu

terjadi. Analisis ini akan didasarkan pada aktivitas–aktivitas di lapangan terutama

pada peristiwa pementasan tari duet percintaan tersebut pada ritual perkawinan adat

Jawa.

c. Benda Fisik.

Wujud kebudayaan berupa benda-benda hasil karya manusia terkait dengan

analisis faktor objektif pada penelitian ini adalah karya seni yang berupa tari

Karonsih dan tari Bondhan sayuk. Karya tari tersebut terdiri dari teks verbal (teks

sastra tembang) yang berupa cakepan (syair) yang terdapat dalam pathetan,

sindhenan, gerongan, dan jineman. Sedangkan aspek bahasa nonverbal meliputi:

tema, gerak tubuh (kinetic body moves), polatan, pola lantai, rias, busana, dan

iringan. Kedua aspek tersebut akan dikaji secara komplementer untuk mendapatkan

gambaran yang utuh dan jawaban yang memadahi tentang ciri karakteristik genre tari

pasihan gaya Surakarta. Selain itu untuk mengetahui makna yang terkandung dalam

teks verbal dan nonverbal genre tari pasihan dalam rangka merunut dan

mengembangkan makna yang lebih central.

3. Teori Seni Pertunjukan.


78

Seni pertunjukan pada umumnya merupakan seni kolektif, artinya bahwa seni

pertunjukan dimaksud tidak dapat disajikan secara mandiri, akan tetapi lebih

merupakan suatu perpaduan dari beberapa cabang seni yang merupakan satu

kesatuan menjadi suatu bentuk yang utuh. Menurut Suzanne K. Langer (dalam

Widaryanto, 1998:15) bentuk dalam pengertian yang paling abstrak berarti struktur,

artikulasi sebuah hasil kesatuan yang menyeluruh dari suatu hubungan dari berbagai

faktor yang saling bergayutan.

Pada dasarnya bentuk seni pertunjukan tari merupakan wujud keseluruhan

dari beberapa cabang seni yang sangat fundamental, yakni meliputi: seni musik, seni

rupa, seni sastra dan seni tari. Dari berbagai cabang seni tersebut satu dengan lainnya

saling terkait, saling melengkapi dan saling mendukung sehingga membentuk suatu

jalinan yang saling berinteraksi untuk membentuk menjadi sebuah konstruksi

penyajian tari. Adapun elemen-eleman tari, yang utama terdiri dari: tema, gerak

tubuh, polatan, rias, busana, pola lantai, dan iringan. Masing-masing elemen tersebut

saling komplementer yang pada penyajiannya akan terikat ruang dan waktu, karena

pada prinsipnya seni pertunjukan merupakan seni sesaat. Hal itu sejalan dengan

pendapat Soedarsono, yang menyatakan bahwa seni pertunjukan sebagai seni yang

hilang dalam waktu, yang hanya bisa kita nikmati apabila seni tersebut sedang

dipertunjukkan, ia sudah merupakan masalah yang cukup sulit apabila kita akan

menelitinya, apa lagi untuk melacak sejarahnya (2003:1).

Mengingat seni pertunjukan merupakan sarana untuk mengekspresikan

maksud seniman maka unsur-unsur yang terdapat di dalamnya akan menjadi objek

analisis. Teori seni pertunjukan dapat mengungkap makna dari masing-masing unsur,
79

sejak dari antarunit hingga antarkomponen yang lebih besar dan keterkaitannya

untuk pengembangan temuan makna secara total. Dengan teori seni pertunjukan akan

peneliti gunakan untuk mengkaji elemen-elemen yang terkandung di dalam tari

untuk mengungkapkan dari faktor objektifnya dan faktor genetik. Adapun elemen-

elemen tari yang dimaksud antara lain dapat kita cermati berikut ini.

a. Tema

Tema adalah rujukan cerita yang dapat menghantarkan seseorang pada

pemahaman esensi nilai-nilai kehidupan. Tema dapat ditarik dari sebuah peristiwa

atau cerita, yang selanjutnya dijabarkan menjadi alur cerita sebagai kerangka sebuah

garapan. Dalam seni pertunjukan di Indonesia cerita-cerita yang dipilih lazimnya

bertolak pada sumber cerita yang pokok, antara lain: Mahabharata, Ramayana,

Babad, cerita rakyat, mitos dan sejarah. Selain sumber-sumber cerita itu terdapat

cerita-cerita fiktif yang sering diangkat dalam layar kaca, layar lebar, dan pada

pertunjukan teater-teater modern, seperti Cinderela, Si Buta dari Gua Hantu, Kiamat

Sudah Dekat, Si Kaya dan Si Miskin.

b. Gerak Tubuh (kinetic body moves)

Gerak tubuh manusia, menurut sifatnya dapat digolongkan ke dalam berbagai

bentuk gerak, di antaranya: gerak aktif, gerak kata, gerak bagian, gerak kata baru,

gerak indah, gerak tari, dan gerak praktis (Humardani, 1991: 6-9). Gerak aktif adalah

gerak tubuh yang mengandung maksud-maksud tertentu, yang dilakukan sedemikian

rupa sehingga lawan tergerak atau terpacu. Contohnya: angkat bahu, pejam mata,

tutup telinga dan sebagainya. Gerak kata adalah gerak-gerak aktif yang digunakan

untuk menceriterakan suatu maksud. Contohnya: kesatuan dari rangkaian gerak


80

kepala menunduk, tangan kanan memegang kening, tangan kiri memegang perut, dan

sambil duduk, dimaksudkan untuk mengungkapkan rasa sedih, bisa kecewa, bisa

merenung,dan bisa juga menyesal. Bentuk lain: kepala mengangguk, kepala

menggeleng, tangan melambai. Gerak bagian adalah bagian dari gerak kata,

contohnya kepala menunduk dari rangkaian gerak kata rangkaian gerak kepala

menunduk, tangan kanan memegang kening, tangan kiri memegang perut, dan sambil

duduk. Gerak kata baru adalah gerak kata yang sudah digarap dari segi bentuk dan

diselaraskan dengan tempo, volume, dan dinamik tertentu. Gerak indah adalah gerak

kata baru yang sudah mengalami penggarapan lebih sempurna untuk

mengungkapkan keindahan semata tanpa maksud verbal. Gerak tari merupakan

penggarapan dari gerak bagian atau gerak kata sehingga mencapai pada tingkat

abstraksi gerak yang sungguh-sungguh, sehingga hasilnya seolah-olah gerak yang

lepas tanpa berkaitan arti dengan gerak sehari-hari. Gerak praktis merupakan gerak

yang mengandung guna praktis. Contohnya: berlari, berjalan, karate, dan sebagainya.

Pembagian tersebut rupanya tidak sepenuhnya dapat memberikan gambaran

yang jelas, sebagai contoh pembatasan mengenai gerak indah dengan gerak tari yang

masing-masing rupanya menghindari arti verbal maupun arti dengan gerak sehari-

hari. Hal ini tidaklah cukup beralasan, karena realitas yang kita hadapi bahwa gerak

manusia selalu konteks dengan lingkungan, sehingga arti verbal maupun nonverbal

tidak pernah akan dapat terlepas dengan gerak tubuh manusia sebagai kandungan

maksud atau makna yang hendak diekspresikan. Gerak tubuh merupakan kekayaan

makna komunikasi non verbal tanpa suara yang mampu memikat perhatian bagi

seorang seniman. Baginya tubuh merupakan objek yang tidak pernah ada habis-
81

habisnya sebagai sesuatu yang digali, dieksplorasi, dikaji, kemudian disajikan, begitu

berlangsung berulang-ulang yang tidak pernah harus kehabisan materi atau

bahannya.

Pada prinsipnya seluruh gerak tubuh dapat menjadi medium dalam tari.

Pertimbangan yang utama untuk menjadikannya gerak tubuh dan gerak nontubuh

menjadi tari adalah dengan cara mendistilisasi gerak sesuai kebutuhan ekspresi dan

melihat karakteristik gaya dengan menggarap tempo, volume, dan dinamik. Secara

garis besar gerak dalam tari dapat dibagi menjadi dua bagian secara kasar, yakni

gerak presentatif dan representatif. Keduanya hadir dalam jagad tari, namun

kemunculannya tidak mudah untuk dipisah-pisahkan secara tegas, karena wujud

yang tampak sering samar-samar, hal itu sengaja dibuat untuk mengungkapkan

ekspresi seniman atau penyusun tari. Gerak presentatif merupakan bentuk gerak yang

tidak mempunyai arti secara khusus, gerak ini difungsikan semata-mata untuk

kebutuhan ekspresi. Sedangkan gerak representatif adalah gerak penghadir, artinya

gerak yang dihasilkan dari imitasi terhadap sesuatu. Kedua bentuk gerak baik

presentatif maupun representatif merupakan medium utama dalam rangka memenuhi

keperluan ekspresi.

c. Polatan (ekspresi wajah)

Polatan merupakan perubahan yang lebih fokus pada perubahan raut muka

atau wajah. Ekspresi wajah merupakan sarana untuk mendapatkan pemahaman lebih

baik terhadap sesuatu yang sedang dikomunikasikan terhadap komunikan. Kita akan

banyak memperoleh informasi tentang kondisi emosional seseorang melalui

ekspresi-ekspresi wajah mereka, di antaranya: apakah menunjukkan rasa sedih atau


82

senang, merasa tertarik atau menolak, merasa takut atau sedang marah, dan

sebagainya. Jika kita mengetahui dan menyadari berapa banyak otot yang terdapat

pada wajah manusia, maka tidaklah mengherankan apa bila terdapat banyak pula

macam ekspresi wajah yang dapat dihasilkan (lihat Wainwright, 2006: 42). ekspresi

wajah memiliki kekuatan yang sangat besar terkait dengan penampilan karakter

pribadi maupun penjiwaan seseorang terhadap peran tokoh dalam membangun

kualitas komunikasi yang berlangsung antarpeserta tutur.

Ekspresi wajah yang terdapat pada seni pertunjukan untuk mengekspresikan

peran dalam keadaan suasana tertentu yang dalam implementasinya tidak lepas dari

bekal pengalaman-pengalaman psikologis bagi seniman penyaji. Dalam dunia tari,

penari sebagai aktor yang menyajikan peran, dapat secara langsung berkomunikasi

dengan media antawecana seperti dalam wayang wong, tembang dalam

Langendriyan. Penari lebih dominan berkomunikasi dengan media gerak, untuk itu

kesadaran awal yang harus fokus bahwa ekspresi wajah yang dibangun dari gerak

tanpa diiukuti bahasa verbal secara langsung itu harus ditopang kecerdasan,

ketajaman dan kepekaan rasa yang dimiliki sebagai modal utama yang selalu harus

diolah. Sehingga wajah sebagai media ekspresi akan selalu siap difungsikan untuk

peran yang dikehendaki. Mengingat bahwa dalam tari tradisi istana terutama peran-

peran yang karakternya tenang perubahan polatan sangat halus bahkan kerap kali

tidak tampak. Bagaimanapun tebal tipisnya ekspresi wajah dalam komunikasi

antarperan, polatan sangat berperan untuk mengekspresikan pada tingkat emosi yang

secara komplementer akan membantu ekspresi gerak tubuh dalam rangka

mengekspresikan totalitas peran atau tokoh.


83

d. Pola lantai (floor design)

Pola lantai merupakan garis yang dibentuk dari gerak tubuh seorang penari

yang terlintas pada lantai. Garis-garis yang dibentuk penari tersebut merupakan garis

imajiner yang hanya dapat ditangkap dengan kepekaan rasa. Wujudnya bersifat ilusi

atau bayangan yang tampak menyatu luluh komplemen dengan arah gerak tubuh

penari. Pada dasarnya garis yang terbentuk pada floor design secara garis besar

terdiri dari dua pola garis dasar yaitu garis lurus dan garis lengkung (Soedarsono,

1978:23). Masing-masing bentuk garis mempunyai kekuatan yang tercermin dalam

kesan atau ilusi. Garis lurus mempunyai kesan kuat dan sederhana, yang dalam

pertunjukan tari Jawa banyak digunakan dalam pola garapan tari gagah dan sebagian

pola garapan tari alus maupun tari putri yang berkarakter lanyap. Selain itu garis

lurus juga banyak digunakan untuk garapan pola-pola perangan. Sedangkan garis

lengkung lebih memberikan kesan lembut, yang dominan untuk pola lantai garapan

putri luruh dan peran alus lurus, serta banyak difungsikan dalam garapan yang

bertemakan percintaan.

e. Rias

Rias adalah strategi untuk mengubah wajah pribadi dengan alat-alat kosmetik

yang disesuaikan dengan karakter figur supaya tampil lebih percaya diri. Kadar

perubahan wajah dimaksud sangat relatif artinya bahwa pada setiap rias, masing-

masing individu berusaha menampilkan wajah sesuai dengan ekspresi yang

dikehendaki. Menurut peneliti rias dapat diklasifikasi menjadi tiga jenis, yaitu: (1)
84

rias formal, (2) rias informal, dan (3) rias peran. Rias formal merupakan rias yang

digunakan untuk kepentingan – kepentingan yang terkait dengan urusan publik. Rias

informal adalah rias yang difungsikan untuk urusan domestik. Sedangkan rias peran

adalah bentuk rias yang digunakan untuk penyajian peran sebagai tuntutan ekspresi

pertunjukan. Bentuk rias peran lebih dikonsentrasikan untuk seni pertunjukan yang

digunakan untuk penampilan di panggung seperti panggung konvensional, panggung

modern, layar kaca, layar lebar dan bentuk lainnya.

f. Busana

Busana merupakan salah satu atribut yang dapat menunjukkan status sosial

dan identitas seseorang. Kedudukan seseorang dalam masyarakat akan tampak jika

kita perhatikan dari busana yang dipakai. Begitu pula asal seseorang dapat kita

ketahui dari gaya dan mode pakaian yang dikenakan. Selain itu busana juga memiliki

beragam warna yang dapat digunakan untuk maksud-maksud tertentu. Artinya warna

dapat digunakan sebagai simbol-simbol dalam kehidupan, namun masing–masing

daerah berbeda dalam memaknai bergantung latar belakang budayanya. Secara

umum warna-warna dasar mempunyai sifat teatrikal dan sentuhan emosional sebagai

lantaran simbolisasi tertentu dalam budaya seni pertunjukan tari. Setidaknya dalam

tari Jawa, esensi makna yang diungkapkan dapat ditarik dari kesan yang ditimbulkan

dari warna-warna dimaksud. Warna putih mempunyai kesan suci, setia, dan juga

berhubungan dengan kehidupan nirwana. Merah lebih memberikan kesan berani,

agresif, dan dinamis yang banyak diperuntukan tokoh-tokoh raja yang sombong,

raksasa, kesatria dan peran putri yang berjiwa dinamis. Hitam tampak memiliki

kesan bijaksana, berwibawa, dan anggun terutama untuk tokoh-tokoh putri seperti
85

Dewi Shinta, Sembadra, Drupadi, Ratu Ayu Kencana Wungu, dan lainnya. Warna

hijau mempunyai kesan segar dan tumbuh lebih hidup. Warna kuning memiliki kesan

keagungan dan kejayaan. Tampak bahwa warna memiliki kandungan makna atas

kualitas kesan yang ditangkap oleh indera penghayat.

g. Iringan (Gendhing beksa)

Iringan atau Gendhing beksa atau karawitan tari merupakan iringan musik

gamelan yang telah teraransir menjadi sebuah bentuk yang berupa gendhing yang

mampu memberikan kontribusi kekuatan ekspresi pada tari. Jika kita cermati lebih

sungguh-sungguh keberhasilan pertunjukan tari, salah satu faktornya juga sangat

ditentukan unsur medium bantunya yakni karawitan yang berfungsi sebagai iringan.

Kehadiran karawitan dalam pertunjukan tari gaya Surakarta, rupanya tidak sekadar

sebagai pengiring belaka. Karawitan sebagai iringan tari mampu memberikan

kontribusi kekuatan rasa yang secara komplementer menyatu dengan ekspresi tari

membentuk suatu ungkapan nilai-nilai kehidupan manusia yang disajikan dalam

bentuk yang indah.

Fungsi gendhing sebagai iringan dalam sebuah pertunjukan mencakup tiga

peran yakni: 1) nglambari, 2) mungkus, dan 3) nyawiji (lihat dalam Waridi, 2005:

17-19). Nglambari memberi pengertian bahwa dukungan gendhing dalam

pertunjukan tari lebih berfungsi sebagai ilustrasi. Kehadiran gendhing di sini

membentuk suasana. Kontribusi iringan dalam membentuk suasana dapat berujud

ilustrasi yang berfungsi sebagai background hingga taraf memberikan aksentuasi

kekuatan rasa-rasa tertentu sesuai dengan kebutuhan ekspresi yang dikehendaki.

Misalnya iringan pathetan yang digunakan untuk ilustrasi tokoh Sekartaji pada saat
86

pertama keluar (maju beksan) dalam suasana sedih. Mungkus pada konsep karawitan

tari lebih cenderung pada pengertian membingkai. Dalam hal ini, sajian gendhing

dengan garapnya secara menyeluruh sengaja digunakan sebagai pembingkai gerak

terutama pola-pola gerak kebar. Pola iringan yang difungsikan semacam ini dapat

diamati pada gendhing Lambangsari yang memiliki rasa riang dan gembira.

Sedangkan Nyawiji, merupakan konsep karawitan tari yang mengarah pada

pemersatuan dua unsur menjadi satu. Adapun kedua unsur dimaksud yaitu unsur

karawitan sebagai penghasil rasa musikal dan unsur tari.

Bentuk kristalisasi dari unsur tari dan unsur karawitan tersebut adalah untuk

pencapaian harmonisasi penyajian dalam rangka menghasilkan kekuatan dan keutuan

pertunjukan. Dimaksudkan pada konteks ini, salah satu unsur tidak akan lebih

menonjol dari yang lain, karena pada dasarnya nilai estetis kesenian adalah sebuah

ungkapan yang utuh. Salah satu contohnya iringan Ketawang Ngrenas untuk suasana

sedih pada saat Dewi Sekartaji sedang mencari suaminya yaitu Raden Panji

Inukertapati yang tidak kunjung bertemu. Beragam fungsi karawitan tersebut

mengindikasikan bahwa karawitan tari dalam konteks penyajian tari, rupanya

memiliki kontribusi cukup besar. Sejalan dengan paparan tersebut, Humardani

menyatakan bahwa dalam tari Jawa, karawitan (yang terpadu dari unsur-unsur

melodi dalam tempo, ritme atau irama, dan volume) sebagai iringan, banyak

membantu dan bahkan kerapkali menggantikan kedudukan kekuatan ekspresi tari

(1991:10).

Elemen-elemen yang terdapat dalam bahasa verbal maupun nonverbal pada

seni pertunjukan tari Karonsih dan Bondhan Sayuk tersebut merupakan modal
87

pembentukan ciri karakteristik yang mampu membedakan tari pasihan dengan karya-

karya tari lainnya. Dengan demikian ciri karakteristik lebih mengarah pada

perbedaan-perbedaan yang menonjol dari masing-masing elemen dalam tari tersebut

secara elementer. Selain itu juga tidak menutup kemungkinan perbedaan-perbedaan

yang dihasilkan dari komplementer bahasa verbal dan nonverbal yang menurut

sifatnya berupa sebuah konsep, sehingga kekhasan dari elemen-elemen dan

keragaman informasi yang dapat digali akan menentukan dan mewarnai dalam

menggeneralisasi teorinya.

4. Teori Komunikasi

Komunikasi adalah suatu transaksi, proses simbolik yang menghendaki

orang-orang mengatur lingkungannya dengan (a) membangun antarsesama manusia;

(b) melalui pertukaran informasi; (c) untuk menguatkan sikap dan tingkah laku orang

lain; serta (d) berusaha mengubah sikap dan tingkah laku itu (lihat Book dalam

Cangara, 2007: 19-20). Sejalan dengan definisi komunikasi tersebut, Rogers bersama

Lawrence (1981), menyatakan bahwa komunikasi adalah suatu proses di mana dua

orang atau lebih melakukan pertukaran informasi dengan satu sama lainnya, yang

pada gilirannya akan terjadi saling pengertian yang mendalam. Pernyataan lebih

singkat dikemukakan oleh Shannon dan Weaver (1949), bahwa komunikasi adalah

bentuk interaksi manusia yang saling pengaruh memengaruhi satu sama lainnya,

sengaja atau tidak sengaja. Bentuk komunikasi di sini tidak terbatas pada komunikasi

bahasa verbal, tetapi juga dalam bentuk: ekspresi muka, lukisan, seni, dan teknologi.

Dengan demikian tampak, jika kita berkomunikasi berarti terdapat beberapa

kesamaan dengan orang lain, seperti kesamaan bahasa atau kesamaan arti dari
88

simbol-simbol yang digunakan dalam berkomunikasi. Pernyataan dari beberapa

pakar komunikasi tersebut dapat ditarik unsur-unsur komunikasinya menjadi tujuh,

yaitu: (a) sumber, (b) pesan, (c) media, (d) penerima, (e) lingkungan, (f) efek, dan (g)

umpan balik (lihat Cangara, 2007: 24). Setiap unsur mempunyai peranan sangat

penting dalam membangun proses komunikasi. Artinya, tanpa keikutsertaan salah

satu unsur akan berpengaruh pada proses komunikasi.

Berdasarkan pernyataan Shannon dan Weaver, tari sebagai bagian atau

cabang seni merupakan komunikasi manusia yang cukup vital. Terfokus pada jenis

tari pasihan yang bentuknya memiliki dua unsur, yaitu: a) unsur verbal berupa sastra

tembang yang meliputi cakepan (syair) yang terdapat dalam pathetan, sindhenan,

gerongan, dan jineman dan b) unsur nonverbal yang meliputi: tema, gerak tubuh

(kinetic body moves), polatan, pola lantai, rias, busana, dan iringan merupakan media

komunikasi yang khas bagi kehidupan seniman. Komunikasi bahasa verbal yang

berupa sastra tembang yang komplementer dengan Unsur–unsur nonverbal dapat

mengarahkan kepada kita untuk memunculkan implikatur akan guna analisis secara

pragmatik. Merujuk pada bentuk karya seni dalam hal ini tari pasihan merupakan

media komunikasi secara utuh, untuk itu, teori komunikasi akan peneliti gunakan

untuk menganalisis bagaimana komunikasi berlangsung. Prinsip dasar yang perlu

dipahami bahwa komunikasi dalam seni pertunjukan pada hakekatnya mencakup

tiga faktor pokok, yakni:

a. Komunikator

Komunikator bersumber pada seniman pelakunya yang terdiri dari penyusun

tari dan penari yang bertindak sebagai penutur. Baginya seorang seniman berkarya
89

merupakan dorongan dan tutuntan kebutuhan jiwa yang dilatarbelakangi apresiasi

terhadap lingkungan manusia dan alam yang terseleksi dan senantiasa

dimanifestasikan dalam bentuk yang estetik. Seniman adalah manusia yang secara

profesional menghasilkan karya-karya seni yang dapat dihayati oleh publik.

Ungkapan seni dapat dilukiskan sebagai pernyataan suatu maksud, perasaan atau

pikiran dengan suatu medium indera atau sensa, yang dapat dialami lagi oleh yang

mengungkapkan dan ditujukan atau dikomunikasikan kepada orang lain (Parker,

1980:21). Dari medium sensa itu seniman akan dapat menganyam impian-impian

bagi kita mengenai hal-hal yang membuai dan memikat kita senang mengamati.

Terkait dengan hadirnya genre tari pasihan, seniman penyusun sebagai

penutur hendak menuturkan sebuah nilai kehidupan. Adapun sebagai penari, ia

berusaha menafsirkan baik secara bentuk fisik karya seni maupun nonfisik yang

berupa maksud dari penyusun tari yang kemudian disajikan dalam sebuah

pementasan pada ritual perkawinan adat Jawa. Kesesuaian atau kemungguhan figur

seorang penari dengan tokoh yang hendak diperankan merupakan syarat yang harus

diperhatikan di samping gandar atau rupa. Dengan demikian peranan penari sebagai

komunikator sangatlah penting, karena dengan kondisi yang tidak layak akan

berdampak negatif pada hasil hayatan secara menyeluruh.

b. Sarana atau Media

Karya seni yang berupa genre tari pasihan merupakan sarana atau media tutur

bagi seorang seniman. Jenis tari duet percintaan yang terdapat dalam genre tersebut,

di antaranya: tari Karonsih, tari Endah, tari Lambangsih, tari Gesang Rahayu, tari

Bondhan Sayuk, tari Enggar-enggar, tari Driasmara, tari Kusuma Ratih, tari Langen
90

Asmara, tari Jayaningrat, tari Setyaningsih, dan tari Kusuma Aji. Keragaman seni

akibat dari keaneragaman media atau sarana yang didukung ide-ide kreatif estetik

seorang seniman dalam rangka memenuhi ekspresinya. Seni adalah suatu ekspresi,

suatu ungkapan. Meskipun setiap karya seni itu adalah suatu ungkapan, namun

sebaliknya bukanlah setiap ungkapan itu sebuah karya seni.

Pada hakekatnya kesenian adalah ungkapan yang disengaja, dicipta, dan

selalu terkait atau berhubungan dengan tradisi kebudayaannya. Begitu pula genre tari

pasihan yang terdiri dari bahasa verbal dan nonverbal merupakan jenis seni

pertunjukan gaya Sala yang mengacu pada budaya istana Kasunanan Surakarta.

Lewat media bahasa verbal dan nonverbal genre tari pasihan kandungan maksud

seniman akan diaktualisasikan untuk mendapatkan tanggapan dari penghayat.

Ungkapan yang otomatik sifatnya insting atau berlaku secara naluriah yang

dilakukan seperti orang menangis ketika didera musibah, gembira saat mendapatkan

keuntungan, itu bukan kesenian dan tidak juga estetik. Begitu pula ungkapan-

ungkapan praktis seperti menyuruh makan, mandi, dan lainnya. Adapun fokus dari

penelitian untuk disertasi ini adalah tari Karonsih dan tari Bondhan Sayuk, dengan

pertimbangan kedua jenis tari tersebut diharapkan mampu mewakili informasi genre

tari pasihan untuk dianalisis makna pragmatiknya.

c. Komunikan

Masyarakat sebagai komunikan meliputi: pakar, penonton umum, dan

penanggap merupakan mitra tutur yang menghayati karya genre tari pasihan.

Seseorang dalam menghayati dengan cara mengamati sebuah karya seni (objek),

merasakan, dan merenungkan sehingga dapat memberikan sebuah pernilaian atau


91

tanggapannya. Betapapun sedihnya menghayati tokoh Sekartaji yang tidak kunjung

bertemu, ketika berupaya mencari suaminya Panji Inukertapi, kita merasa haru

mendengar sumpah kesetiaan Sekartaji yang berbunyi:

Dhuh jagad dewa bathara


Welasa mring dasih kang nandhang kingkin
Tinilar garwa satuhu
Dadya gantilaning tyas
Ulun dhahat
Teka aginggang sarambut
Kalamun datan pinanggya
Aluwung tumekeng lalis

Jabaran dari nilai kehidupan tersebut ditangan seniman diungkapkan dalam

bungkus sensa yang mampu memicu dan memacu timbulnya khayalan benda dan

peristiwa yang memberi kenikmatan penghayat. Khayalan tentang tindakan atau

emosi yang ditimbulkan lewat karya seni, kita kemudian dalam imajinasi dapat

melakukan atau mengalami. Bagi yang peka estetik seolah-olah kita dibawa

memasuki badan penari sebagai tokoh-tokoh utama tersebut, kita tidak kuasa

menolak terhipnotis dibuatnya berperan, senang tanpa paksaan sedikit pun untuk

melakukan posisi bahkan hanyut dalam aliran kenikmatan dan kepuasan jiwa. Jika

dicermati lebih dalam dari jiwa kita sendirilah sebenarnya muncul gagasan-gagasan

dan beragam rasa yang merupakan isi sebuah karya seni. Seniman menyediakan

sebuah susunan benda pacu atau lambang-lambang sensa yang diharapkan akan

ditafsirkan seperti yang dimaksudkan olehnya.

Kesadaran awal yang harus menjadi fokus perhatian, bahwa komunikasi seni

atau komunikasi rasa sifatnya sangat subjektif. Artinya bahwa rasa yang disampaikan

seorang seniman tidak selalu dapat diterima sama oleh penghayat. Betapapun
92

hebatnya seniman sebagai komunikator dan penghayat sebagai komunikan, karena

kemantapan rasa tidak dapat diukur secara exact, namun bukan berarti tidak dapat

dianalisis secara disiplin ilmiah. Persamaan yang terjadi dalam komunikasi seni

sifatnya tidak mutlak, sehingga tafsir seni itu sifatnya multitafsir. Perbedaan maupun

persamaan yang terjadi dalam komunikasi seni disebabkan masing-masing partisipan

beragam kemampuannya. Untuk itu, baik perbedaan atau pun persamaan komunikasi

seni yang terjadi dalam menanggapi karya tari pasihan, akan dianalisis bagaimana

dan mengapa hal itu dapat terjadi.

B. Tinjauan Pustaka

Sumber tertulis baik yang berupa buku-buku cetakan, tesis, disertasi, dan

hasil penelitian lain yang mengkaji seni pertunjukan tari khususnya genre tari

pasihan dari perspektif pragmatik rupanya belum pernah dilakukan. Kajian

nonpragmatik sekali pun relatif sangat minim yang relevan dengan penelitian peneliti

dapat dipaparkan berikut ini:

“Karonsih”, tulisan Maryono tahun 1991, merupakan hasil penelitian

yang bersifat deskriptif, memuat secara umum tentang elemen-elemen tari, dan

sedikit perubahan serta penyebarannya. Sedikit banyak tulisan ini memberikan

informasi yang berarti terutama terkait dengan data bahasa verbal dan nonverbal

sebagai salah satu genre tari pasihan yang akan menjadi sasaran kajian pragmatik.

“Perkembangan Tari Enggar-Enggar”, tulisan Dwi Maryani tahun

1999, penelitian ini memuat deskripsi tentang gerak, iringan, rias, busana, dan

penyebaran serta perkembangannya tari Enggar-Enggar. Diharapkan tulisan tersebut


93

menambah informasi mengenai vareasi ragam tari duet percintaan yang pada

gilirannya dapat untuk mencermati karakteristik genre tari pasihan.

“Perubahan Tari Lambangsih”, tulisan Dwi Yasmono tahun 1999,

yang memaparkan tentang: struktur garap tari, rias, busana, iringan, dan perubahan

terutama masalah sekaran atau vokabuler gerak dan pola lantai. Rupanya hasil kajian

ini akan menambah data untuk lebih mencermati karakteristik genre tari pasihan

gaya Surakarta yang sedang dikembangkan, terutama terkait dengan aspek

nonverbal.
94

C. Kerangka Pikir
Dalam rangka mencermati permasalahan, rumusan masalah, tujuan, manfaat, ruang lingkup, kajian teori dan metodologi,
serta hasil yang hendak dicapai dalam rencana penelitian ini peneliti menggunakan kerangka pikir kritik seni holistik (Sutopo,
1995: 15-16). Sebagai berikut:
1 2 3

FAKTOR GENETIK FAKTOR OBJEKTIF FAKTOR AFEKTIF


Latar Belakang Bentuk Persepsi Penghayat Terhadap
Genre Tari Pasihan Genre Tari Pasihan Genre Tari Pasihan

Latar Karakteristik Karakteristik Latar Latar Latar


Belakang fungsi Bahasa Verbal Bahasa Nonverbal Belakang Belakang Belakang
Penyusun Penanggap Penonton Pakar
Umum

Pathetan Tema Rias


irama
Sindhenan Gerak Busana
Konsepsi Persepsi
Seniman lagu Gerongan Polatan Pola lantai Masyarakat

Jineman Iringan

MAKNA PRAGMATIK
Genre Tari Pasihan
95

Keterangan:

1: Seniman sebagai pencipta sebuah karya seni, dianalisis tentang latar

belakang kehidupan kesenimanan dan latar belakang konsep penciptaan bahasa

verbal dan nonverbal serta fungsi sebagai aplikatif muatan pesan yang hendak

disampaikan lewat karya seni.

2: Karya seni sebagai faktor objektifnya, dikaji tentang bahasa verbal berupa

cakepan (syair) sastra tembang yang terdapat dalam pathetan, sindhenan, gerongan,

dan jineman. Sedangkan bahasa nonverbal meliputi: tema, gerak tubuh (kinetic body

moves), polatan, pola lantai, rias, busana, dan iringan. Diharapkan kajian bagian ini

akan dapat menemukan ciri karakteristik genre tari pasihan gaya Surakarta.

3: Persepsi masyarakat terhadap kehadiran genre tari pasihan dalam upacara

ritual resepsi perkawinan. Dari hasil analisis akan dapat diketahui interpretasi makna

dari masyarakat yang heterogen sebagai pendukung keberlasungan budayanya.

4: Makna pragmatik merupakan hasil analisis secara komplemen keterkaitan

dari tiga faktor yakni : faktor genetik (1), faktor objektif (2), dan faktor afektif (3).

Relasi ketiga faktor: 1, 2, dan 3 adalah penyusun tari (seniman) menciptakan

karya seni yang kemudian karya seni itu ditanggapi masyarakat. Hubungan faktor 1

dan 3 yaitu untuk mengetahui seberapa jauh tanggapan masyarakat terhadap karya

seni dan bagaimana kesesuaian antara pesan yang dimaksud seniman dengan makna

yang ditangkap oleh masyarakat lewat karya genre tari pasihan.


96

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Sasaran dan Lokasi Penelitian

Sasaran yang utama adalah jenis tari duet pasihan atau percintaan gaya Surakarta

yang memfokuskan pada tari Karonsih dan tari Bondhan Sayuk, seperti telah disebutkan

pada latar belakang masalah. Pertimbangan yang mendasar dari pemilihan sasaran ini

adalah banyaknya jenis atau ragam tari duet percintaan khususnya gaya Surakarta.

Dimaksudkan kedua bentuk tari pasihan tersebut dapat dikaji secara mendalam di dalam

suatu konteks dengan karakteristik tertentu. Cuplikan ini kedudukannya bukan mewakili

populasinya tetapi mewakili informasinya, sehingga jika dimungkinkan generalisasi,

arahnya cenderung generalisasi teori.

Keragaman jenis tari pasihan rupanya tidak dimiliki oleh daerah lain, sehingga

lebih memacu peneliti untuk meneliti topik tersebut sebagai sasaran pokok. Pertimbangan

lain bahwa tari pasihan disinyalir mempunyai kontribusi yang cukup penting dalam

sebuah ritual tradisi perkawinan adat Jawa. Pengertian gaya Surakarta di sini lebih

terfokus pada tarian yang mengakar dari tarian istana Kasunanan, tidak melibatkan Pura

Mangkunegaran. Hal ini peneliti sadari, bahwa Pura Mangkunegaran tidak mempunyai

tari semacam pasihan atau karonsihan. Pemilihan lokasi atau tempat adalah kotamadia

Surakarta dengan pertimbangan tingginya frekuensi aktivitas pertunjukan tari pasihan,

tempat tinggal para penyusun tari dan pakar seni yang terkait.

B. Bentuk dan Strategi Penelitian

Secara garis besar dapat dinyatakan bahwa metode penelitian kualitatif adalah

metode pengkajian atau metode penelitian suatu masalah yang tidak didesain atau
97

dirancang menggunakan prosedur-prosedur statistik (Edi Subroto, 2007: 5). Kesadaran

awal yang harus mendapatkan perhatian bahwa penelitian kualitatif itu menggunakan

paradigma atau perspektif fenomenologis. Artinya penelitian kualitatif berusaha

memahami makna dari fenomena-fenomena, peristiwa-peristiwa dan kaitannya dengan

orang-orang atau masyarakat yang diteliti dalam konteks kehidupan dalam situasi yang

sebenarnya (Edi Subroto, 2007: 6). Pernyataan tersebut sejalan dengan pendapat Moleong

(2007: 15), bahwa fenomenologi merupakan pandangan berpikir yang menekankan pada

fokus kepada pengalaman-pengalaman subjektif manusia dan interpretasi-interpretasi

dunia. Setiap peristiwa harus dicermati dan dipahami dari beragam perspektif dari orang-

orang yang terlibat secara aktif maupun pasif dalam peristiwa tersebut. Kajian ini

membentuk simpulan multiperspektif yang akan menimbulkan makna intersubjektif,

dengan memperhatikan beragam alasan mengapa dan bagaimana terjadinya tafsir makna

mengenai sebuah peristiwa. Hal ini harus disadari bagi seorang peneliti agar hasil

simpulan-simpulannya sesuai dengan karakteristik teorinya (Sutopo, 2006: 28).

Dalam penelitian kualitatif, seorang peneliti berusaha menyajikan suatu

interpretasi yang didasarkan pada nilai-nilai, minat, dan tujuan atas interpretasi orang lain

atau subjek yang diteliti yang berdasarkan juga pada nilai-nilai, minat, dan tujuan mereka

sendiri (Smith & Heshusius dalam Sutopo, 2006: 29). Validitas keputusan atau hasil

simpulan-simpulannya mengenai sesuatu makna dapat diwujudkan dari deskripsi yang

tegas, bersama-sama dengan orang lain dalam konteks intersubjektif yang di dalamnya

termasuk pula interpretasi peneliti. Pada umumnya ilmu-ilmu kebudayaan atau ilmu-ilmu

humaniora lebih banyak menggunakan metode kualitatif (Edi Subroto, 2007: 5). Hal itu

rupanya cukup beralasan, karena tujuan pengkajian ilmu-ilmu humaniora adalah membuat
98

deskripsi suatu situasi, kejadian atau peristiwa, menginterpretasikan kejadian atau

peristiwa, serta berusaha menangkap makna dari suatu peristiwa.

Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan dan tujuan yang hendak dicapai

dalam penelitian ini lebih mengarah pada bagaimana memahami makna bahasa verbal dan

nonverbal genre tari pasihan gaya Surakarta. Untuk menjawab persoalan tersebut peneliti

akan memahami lebih rinci dan mendalam baik kondisi maupun proses dan juga saling

keterkaitannya mengenai hal-hal pokok yang ditemukan di lapangan, mencakup tiga aspek

yakni genetik, objektif, dan afektif. Dengan demikian bentuk penelitian ini merupakan

penelitian kualitatif deskriptif dengan pendekatan kritik holistik yang secara fokus,

lengkap, dan seimbang mengkaji tiga faktor yaitu genetik, objektif, dan afektif sebagai

sumber aliran nilai. Ketiga komponen tersebut tidak dipisahkan dalam kesatuan nilai

karya, tetapi tidak digunakan sebagai standar nilai, melainkan sebagai sumber informasi

dalam aktivitas evaluasi. Tiga sumber nilai ini wajib dikaji secara lengkap dan seimbang

supaya tidak terjadi kepincangan evaluasi (Sutopo, 1995: 8-15). Merujuk pada pola pikir

pendekatan kritik holistik, secara operasional peneliti akan mendeskripsi secara rinci dan

mendalam mencakup masalah bahasa verbal berupa cakepan (syair) yang terdapat dalam

pathetan, sindhenan, gerongan, dan jineman. Sedangkan bahasa nonverbal meliputi:

tema, gerak tubuh (kinetic body moves), polatan, pola lantai, rias, busana, dan iringan

(faktor objektif). Latar belakang konsep penciptaan bahasa verbal dan nonverbal dan

pesan makna yang hendak disampaikan lewat karya seni (faktor genetik). Persepsi

masyarakat terhadap kehadiran genre tari pasihan dalam kehidupan sosial (faktor afektif).

Selain itu juga bagaimana komplementernya dari ketiga aspek tersebut untuk

menemukan keterkaitan hal-hal pokok yang terdapat di dalamnya untuk mengungkap


99

makna pragmatik genre tari pasihan gaya Surakarta sebagai sebuah hasil akhir penelitian.

Dengan demikian bentuk penelitiannya bersifat dasar (basic research), adapun jenis

penelitian dengan strategi yang paling tepat adalah penelitian kualitatif deskriptif. Jenis

penelitian ini akan mampu menangkap berbagai informasi kualitatif dengan deskripsi teliti

dan penuh nuansa, yang lebih berharga daripada sekadar pernyataan jumlah atau pun

sekadar frekuensi dalam bentuk angka (lihat Sutopo, 2006: 40). Rupanya sangat tepat

pilihan peneliti untuk menggunakan metode kualitatif karena objek kajiannya merupakan

cabang dari ilmu-ilmu humaniora yang sarat dengan makna dalam kehidupan. Hal ini

sejalan dengan pendapat Edi Subroto bahwa ilmu-ilmu humaniora berusaha memahami

realitas sosial dan realitas budaya dalam rangka memahami masalah-masalah sosial dan

masalah-masalah manusia secara lebih baik (2007: 5).

Strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus tunggal.

Pertimbangan yang mendasar dari kasus tunggal, karena sekali pun genre tari pasihan

atau karonsihan jenisnya terdiri dari beragam tari duet percintaan seperti: Tari Karonsih,

tari Endah, tari Lambangsih, tari Gesang Rahayu, tari Bondhan Sayuk, tari Enggar-

enggar, tari Driasmara, tari Jayaningrat, tari Kusuma Ratih, tari Setyaningsih, tari

Langen Asmara, dan tari Kusuma Aji, namun memiliki karakteristik yang sama. Di

samping itu, karena permasalahan dan fokus penelitian telah ditentukan dalam proposal

sebelum peneliti terjun ke lapangan artinya peneliti telah terpancang, tidak seperti

penelitian eksploratif yang mana peneliti sama sekali tidak mengetahui apa yang terjadi di

lapangan (grounded search) maka penelitian kasus ini lebih khusus disebut studi kasus

terpancang (embedded case study research) (Sutopo, 2006: 227).


100

C. Sumber Data

Data atau informasi yang paling dibutuhkan akan dikumpulkan dan dianalisis

dalam penelitian ini adalah berupa data kualitatif. Data kualitatif merupakan data lunak

yang kaya akan deskripsi tentang orang-orang, tempat-tempat dan konservasi-konservasi

dari orang yang diteliti (Edi Subroto, 2007: 6). Data akan diperoleh peneliti dengan cara

memanfaatkan pertanyaan-pertanyaan dengan kata tanya : mengapa, alasan apa dan

bagaimana terjadinya. Dengan cara itu peneliti tidak akan berasumsi bahwa sesuatu itu

sudah memang demikian keadaannya (Moleong, 2007: 11). Data yang dikumpulkan

terutama berwujud bahasa verbal dan nonverbal. Tindak tutur mencakup cakepan (syair):

pathetan, sindhenan, gerongan, dan jinemal sebagai bahasa verbal. Sedangkan bahasa

nonverbal berupa: tema, gerak tubuh (kinetic body moves), polatan, pola lantai, rias,

busana, dan iringan. Adapun data informasi yang dikumpulkan akan terkait tiga faktor

pokok yakni: genetik, objektif, dan afektif.

Sumber informasi genetik pada penelitian ini adalah para penyusun tari pasihan,

terutama terkait dengan latar belakang konsep penciptaan teks verbal dan nonverbal,

fungsi, serta pesan makna yang hendak disampaikan lewat karya seni.

Sumber informasi objektif pada penelitian ini adalah seni pertunjukan tari, yang

hendak dikaji dari jenis informasi data teks sastra tembang dan unsur-unsur tari yang

meliputi: a) jenis-jenis tindak tutur yang digunakan, b) jenis tindak tutur yang dominan

dan mengapa terjadi dominasi, c) realisasi prinsip kerja sama dan prinsip kesantunan

antarperan, d) implikatur dan daya pragmatik, e) motif tema, f) jenis-jenis vokabuler

gerak, g) bentuk rias, h) jenis warna dan bentuk busana yang dipakai, i) jenis-jenis floor

design (pola lantai), dan j) jenis-jenis repertoar gendhing.


101

Sumber informasi afektif terdiri dari pakar, penonton umum, dan penanggap tari

pasihan. Faktor afektif ini akan difokuskan pada persepsi masyarakat penghayat, yang

terdiri dari: pakar, penonton umum, dan penanggap tari pasihan dalam rangka memahami

fungsi sosial di tengah-tengah masyarakat sebagai pendukung keberlangsungan

budayanya. Informasi tersebut akan digali dari beberapa sumber data yang akan

dimanfaatkan dalam penelitian ini mencakup :

1. Informan atau Narasumber

Menurut Spradley informan merupakan pembicara asli (speaker) dengan bahasa

atau dialeknya sendiri dan menjadi sumber informasi (1997: 35). Berbeda dengan

responden yang sekadar memberikan jawaban secara terbatas dan terikat oleh bentuk-

bentuk pertanyaan yang telah disusun secara ketat seorang peneliti. Dalam penelitian

kualitatif, manusia sebagai Informan atau narasumber posisinya sangat penting dalam

rangka memberikan informasi yang dimiliki. Peneliti dan narasumber memiliki posisi

yang sama, narasumber tidak sekedar memberikan tanggapan menurut permintaan

peneliti, tetapi mereka dapat memilih arah dan selera dalam memberikan informasi yang

dimiliki (Sutopo, 2006: 57-58). Narasumber harus dipilih orang yang handal di

bidangnya, dapat dipercaya baik dari segi pengetahuannya maupun kejujuran secara

umum dan secara khusus dalam memberikan data yang akurat serta bersifat tidak

menggurui (Fatimah Djajasudarma, 1993: 20). Oleh karena itu seorang peneliti harus jeli

dalam menentukan informan, karena posisi informan dengan beragam peran dan

keterlibatannya dengan kemungkinan akses informasi yang dimilikinya sesuai dengan

kebutuhan penelitiannya. Adapun jumlah informan tidak mempengaruhi secara mutlak,

namun yang lebih substansial adalah kualitas informasi yang dibutuhkan, memadahi
102

tidaknya data yang diberikan. Berdasarkan akses informasi yang diperlukan tersebut

narasumber yang peneliti pilih dalam penelitian ini terdapat empat kelompok meliputi:

penyusun tari, penari, pakar, serta masyarakat umum.

2. Peristiwa atau Aktivitas

peristiwa, aktivitas, atau perilaku sebagai sumber data yang terkait dengan sasaran

penelitian. Dari pengamatan langsung sebuah peristiwa pertunjukan tari pasihan, yang

harus dicermati meliputi aspek gerak, rias, busana, iringan, pola lantai, penghayat, dan

bahasa verbalnya yang akan dilakukan secara berulang untuk mendapatkan sumber data

yang akurat tentang berlangsungnya sebuah penghayatan sekaligus mengidentifikasinya

untuk menarik makna pragmatik dari peristiwa pertuturan. Berlangsungnya pertunjukan

tari tersebut merupakan sumber primer untuk analisis menyeluruh, baik faktor genetik,

objektif , dan afektif, sehingga validitas datanya dapat dipertanggungjawabkan secara

akademis.

3. Tempat atau Lokasi

Tempat yang menjadi sasaran penelitian ini terutama terdapat pada sebuah upacara

ritual perkawinan yang diselenggarakan di wilayah penelitian, yakni di kotamadia

Surakarta. Tempat terjadinya peristiwa pertunjukan tari pasihan pada upacara ritual

perkawinan, akan memberi gambaran secara kongkrit tentang setting peristiwa

penghayatan atau berlangsungnya sebuah pertuturan.

4. Artifak.

Artifak yang merupakan benda budaya, sangatlah berharga karena memiliki

keterkaitan dengan munculnya implikatur - implikatur yang sengaja dimanfaatkan oleh

seniman dalam rangka mengekspresikan isi hatinya yang sudah barang tentu telah
103

memperhitungkan penghayat sebagai mitra tuturnya. Beragam benda artifak sebagai

kelengkapan, yang terlibat dalam peristiwa atau aktivitas pertunjukan genre tari pasihan,

terutama lebih fokus yang menurut fungsinya bersifat primer.

Artifak yang bersifat primer, terdiri dari: boneka anak (baby), busana tari, dan

gamelan. Salah satu artifak yang sangat berharga sebagai sumber data yang

memungkinkan dapat dilacak informasinya untuk diungkap lebih dalam adalah boneka.

Artifak yang berupa boneka yang terbuat dari bahan plastik yang dibalut dengan sehelai

selendang sehingga bentuknya menyerupai bayi yang digedhong (ditimang), rupanya

memiliki makna yang dalam terkait dengan sepasang mempelai temanten. Prediksi

peneliti sementara bahwa artifak yang berupa boneka pada tari Bondhan Sayuk memiliki

daya pragmatik.

Selain itu, artifak yang layak menjadi sumber data adalah busana tari. Keberadaan

busana tari yang sering dipakai penari dapat dilacak dengan maksud untuk mencermati

seberapa jauh keterkaitannya dengan makna yang hendak disampaikan seniman terhadap

penghayat. Asumsi peneliti bahwa dari bentuk atau mode busana tari akan dapat memberi

gambaran tentang peran atau tokoh sedangkan dari warna dapat dicermati makna

simbolisnya.

Seperangkat gamelan (gamelan ageng) yang memiliki laras Slendro dan Pelog

sebagai musik iringan tari merupakan artifak yang memegang peranan cukup penting

dalam mewujudkan terselenggaranya pertunjukan tari pasihan. Dalam hal ini gamelan

mempunyai peranan cukup primer dalam rangka mengaktualisasikan genre tari pasihan.
104

5. Dokumen dan Arsip

Dokumen dan arsip biasanya merupakan bahan tertulis yang bergayutan dengan

peristiwa atau aktivitas tertentu (Sutopo, 2006: 61). Data tertulis yang berupa dokumen

ataupun arsip yang terkait dengan peristiwa pertunjukan tari pasihan yang dapat dilacak

dalam perpustakaan, berupa sumber cerita yang terdapat pada naskah-naskah

pewayangan, babad, maupun serat. Selain itu juga data yang berupa bahasa verbal seperti

cakepan : pada pathetan, sindhenan, gerongan, dan jineman.

Dokumen yang sifatnya tidak tertulis yang terkait dengan pertunjukan tari

pasihan, berupa data rekaman baik yang bersifat audio maupun yang berwujud visual.

Data rekaman yang berupa audio, antara lain beragam kaset ataupun CD iringan tari.

Sedangkan data rekaman yang berupa audio visual kaset VCD, merupakan rekaman

beragam tari duet percintaan gaya Surakarta yang termasuk bagian genre tari pasihan.

Sumber data yang berupa dokumen dan arsip tersebut akan peneliti gunakan sebagai

analisis tambahan untuk mencermati tentang makna pragmatik.

D. Teknik Pengumpulan Data

Berangkat dari keragaman sumber data yang perlu digali tersebut menuntut

strategi atau teknik pengumpulan data yang sesuai dengan sumber datanya untuk

mendapatkan data yang mampu menjawab permasalahan yang telah diajukan. Dalam

penelitian kualitatif ini peneliti akan menggunakan berbagai teknik berdasarkan sumber

data dalam pengumpulan datanya. Adapun teknik pengumpulan data yang sesuai dengan

penelitian kualitatif dan jenis sumber data yang dimanfaatkan adalah sebagai berikut:
105

1. Wawancara mendalam (in-depth interviewing)

Manusia sebagai nara sumber atau informan merupakan sumber data yang sangat

fundamental dalam penelitian kualitatif. Sehingga pengumpulan data yang diperlukan

dalam menggali informasi dari informan dengan teknik wawancara mendalam.

Wawancara merupakan salah satu jenis pengumpulan data yang bersifat lentur dan

terbuka, tidak terstruktur ketat, tidak dalam suasana formal, dan dapat dilakukan berulang

pada informan yang sama (Patton dalam Sutopo, 2006: 228). Sebelum wawancara,

peneliti terlebih dulu berupaya mengenal karakteristik dari masing-masing informan yang

telah ditetapkan untuk menjalin keakraban dan kedekatan emosional sehingga dapat

menggali informasi sebanyak-banyaknya dalam situasi yang kooperatif dan kondusif.

Pertemuan awal dilakukan untuk mengadakan kesepakatan-kesepakatan tentang

pertemuan selanjutnya (jadwal) dan materi jika dimungkinkan.

Selain itu persiapan awal untuk menggali informasi, peneliti secara garis besar merancang

jenis-jenis pertanyaan pokok yang selanjutnya dapat dikembangkan di lapangan hingga ke

hal-hal yang lebih rinci. Jenis pertanyaan yang dipersiapkan tidak mengikat namun lebih

digunakan sebagai petunjuk secara garis besar tentang proses dan isi wawancara untuk

menjaga agar pokok-pokok yang direncanakan dapat seluruhnya tercakup (Moleong,

2007: 187). Adapun wawancara akan dilakukan dengan empat jenis kelompok, yaitu: a.

kelompok penyusun tari, b. kelompok penari atau penyaji, c. kelompok pakar, dan d.

kelompok penghayat (lihat hal: 56-57).

2. Observasi

Dalam penelitian kualitatif ini peneliti mengadakan observasi langsung berperan

secara pasif dan aktif. Berperan pasif peneliti hanya hadir di lapangan bertindak sebagai
106

pengamat secara formal dan informal untuk mengamati kegiatan dan peristiwa

pertunjukan tari pasihan agar mendapatkan data yang mantap dari fenomena yang terjadi

di lapangan. Bentuk peran aktif dalam penelitian ini peneliti mengambil peran sebagai

penonton untuk mengapresiasi pertunjukan dan datang di tempat-tempat latihan membaur

turut berlatih untuk mengamati dan mengetahui ciri karakteristik tindak tutur dan lebih

fokus terhadap elemen-elemen genre tari pasihan, sehingga mendapat data secara akurat.

Adapun observasi tidak langsung lebih mengarah pada pengamatan dokumen-

dokumen rekaman tari pasihan. Teknik simak dan catat dalam kegiatan ini akan

dimanfaatkan terkait data bahasa verbal dan nonverbal. Teknik ini secara garis besar

digunakan peneliti untuk setiap aktivitas yang terkait dengan pengumpulan data, baik

sebagai langkah awal pencatatan secara global masalah-masalah yang dianggap penting

yang selanjutnya akan selalu dikembangkan pada analisis untuk dijabarkan secara rinci

mendalam.

3. Mencatat Dokumen dan Arsip (content analysis)

Data yang berupa dokumen ataupun arsip yang terkait dengan peristiwa

pertunjukan tari pasihan yang dapat dilacak dalam perpustakaan, berujud sumber cerita

yang terkait dengan ceritera Panji. Adapun sumber data yang diharapkan mampu

memberikan gambaran liku-liku kehidupan Panji dan Sekartaji, di antaranya: cerita Panji

dalam Perbandingan (1968) dan Panji Sekar (1979). Dokumen lain berupa kaset tape

recorder yang memuat iringan tari jenis pasihan, seperti: kaset “Karonsih“ (ACD – 114)

dan kaset “Beksan Enggar-enggar” (WD – 530). Selain itu dimungkinkan juga terdapat

pada babad, serat atau naskah, akan dicatat dan dianalisa untuk memahami keterkaitannya

dengan faktor objektif karya tari pasihan yang tengah diteliti.


107

4. Perekaman

Teknik pengumpulan data dengan rekaman terutama dengan alat video dan

rekaman suara merupakan metode yang cukup penting karena akan membantu peneliti

dalam rangka memperjelas deskripsi berbagai aktivitas dan situasi di lapangan. Bentuk

rekaman video yang diutamakan adalah peristiwa berlangsungnya pertunjukan khusus tari

Karonsih dan tari Bondhan Sayuk. Rekaman ini dimaksudkan untuk lebih mencermati

peristiwa pertunjukan berdasarkan natural setting artinya sasaran penelitian harus tetap

berada pada kondisi aslinya secara alami (Sutopo, 2006: 37) (lihat Moleong, 2007: 8;

Fatimah, 1993: 11). Adapun kegiatan ini adalah merekam bentuk tari Karonsih dan tari

Bondhan Sayuk untuk dianalisis bahasa verbal dan nonverbal dari masing-masing bentuk

tari tersebut. Dari kajian bentuk tari Karonsih dan tari Bondhan Sayuk ini dimaksudkan

untuk menjawab rumusan masalah terkait dengan pertanyaan yang mengarah pada faktor

objektif. Selain itu rekaman tari pasihan tersebut juga untuk mengembangkan pertanyaan

yang mengarah pada faktor genetik dan faktor afektif. Hal ini dilakukan untuk mencari

dan menemukan korelasi dari ketiga faktor yaitu genetik, objektif dan afektif sebagai

dasar menentukan makna genre tari pasihan dalam upacara resepsi perkawinan.

E. Teknik Cuplikan (sampling)

Penelitian kualitatif cenderung menggunakan teknik cuplikan yang bersifat selektif

dengan pertimbangan konsep teoretis yang digunakan, keingintahuan pribadi peneliti, dan

karakteristik empirisnya. (Goetz & Le Compte dalam Sutopo, 2006:229). Untuk itu dalam

penelitian kualitatif, teknik cuplikannya cenderung bersifat purposive karena dipandang

lebih mampu menangkap kelengkapan dan kedalaman data di dalam menghadapi realitas

yang tidak tunggal. Pemilihan sampel diarahkan lebih fokus pada sumber data yang
108

dipandang memiliki data penting yang terkait dengan permasalahan yang sedang diteliti.

Untuk itu peneliti dituntut memahami peta sumber yang tersedia, dalam beragam

posisinya, karena setiap posisi akan memiliki akses informasi yang berbeda. Purposive

sampling memberikan kesempatan secara maksimal pada kemampuan peneliti untuk

menyusun teori yang dibentuk dari lapangan (grounded theory) dengan sangat

memperhatikan kondisi lokal dengan kekhususan nilai-nilainya (idiografis). Cuplikan ini

kedudukannya bukan mewakili populasinya tetapi mewakili informasinya, sehingga

bilamana generelisasi harus dilakukan, maka arahnya cenderung sebagai generalisasi teori

(Sutopo, 2006).

Informan yang dibutuhkan dipilih berdasarkan kredibilitas, kualitas, dan keluasan

wawasan dalam suatu permasalahan yang dikaji sehingga informasi yang diperoleh betul-

betul mantab kualitasnya. Oleh karena itu dalam penelitian kualitatif ini peneliti memilih

informan yang diharapkan mampu memberikan informasi yang memiliki kedalaman dan

keakuratan data guna menjawab permasalahan yang diajukan, secara tuntas dan valid.

Sumber lain akan dipilih berdasarkan pertimbangan ketepatan dan kelengkapan datanya.

Adapun sejumlah informan dan informasi yang dibutuhkan dari informan tersebut lihat

hal: 56-57.

F. Validitas Data

Untuk menjamin dan mengembangkan validitas data yang akan dikumpulkan

dalam penelitian kualitatif ini digunakan teknik trianggulasi data atau sumber, trianggulasi

metode, dan trianggulasi teori dari empat jenis trianggulasi yang ditawarkan Patton

(dalam Sutopo, 2006: 92). Trianggulasi data atau sumber mengarahkan peneliti dalam

mengumpulkan data harus menggunakan beragam sumber data artinya data yang sejenis
109

akan lebih mantab kebenarannya apabila digali dari beberapa sumber data yang berbeda.

Untuk mengetahui alasan mengapa terjadi dominasi salah satu jenis tindak tutur dalam

bahasa verbal tari pasihan, peneliti membutuhkan informasi dari informan yang berbeda

di antaranya dari penyusun tari pakar, dan penanggap. Data yang terkumpul kemudian

dikomparasikan untuk mengkaji alasan yang tepat guna menjawab secara akurat terkait

dengan fungsi bahasa verbal dalam pertunjukan tari pasihan. Selain itu, untuk memahami

makna tari pasihan, peneliti menggunakan tiga informan yang berbeda yaitu: penyusun

tari, pakar tari, dan masyarakat umum. Informasi dari ketiga informan tersebut kemudian

dianalisis dengan cara membandingkan untuk melihat persamaan, perbedaan kemudian

mencari argumen dari masing-masing untuk mendapatkan simpulan yang memadai.

Trianggulasi metode dalam penelitian kualitatif mengarah pada perbedaan teknik

atau metode pengumpulan data pada data yang sejenis. Di sini yang diutamakan adalah

penggunaan metode pengumpulan data yang berbeda, bahkan lebih jelas untuk diusahakan

mengarah sumber data yang sama untuk menguji kemantapan informasinya. Salah satu

bentuk aplikasi dalam penelitian ini, untuk menemukan ciri karakteristik bahasa verbal

dan nonverbal genre tari pasihan dari informan seorang penari, peneliti menggunakan

metode pengumpulan data dengan mencatat dokumentasi atau arsip yang berupa data

bahasa verbal dan nonverbal kemudian melakukan wawancara secara mendalam, dan

observasi di lokasi ketika penari tersebut sedang menyajikan tari pasihan. Data sementara

yang diperoleh dari ketiga metode yang berbeda pada sumber data atau informan yang

sama, akan dikomparasikan dan ditarik simpulan data yang lebih kuat dan mantap

validitasnya.
110

Trianggulasi teori dibutuhkan untuk mendapatkan pandangan yang lengkap dan

mendalam, tidak hanya sepihak dan bersifat monoperspektif, tetapi dengan beberapa teori

yang digunakan sebagai alat kajian sehingga muncul multiperspektif. Karena setiap teori

memiliki perspektif yang khusus, artinya berbeda suatu teori beragam pula cara

pandangnya, untuk itu diperlukan beberapa perspektif teori guna memperoleh hasil

simpulan yang mantap dapat dipertanggungjawabkan, mempunyai kedalaman makna dan

bersifat multidimensional (Sutopo, 2006:98-99). Bentuk aplikasinya, untuk mengetahui

makna yang tersirat dalam tari pasihan harus menganalisis terhadap bahasa verbal dan

nonverbal dengan menggunakan empat teori yaitu: (1) teori pragmatik, (2) teori budaya,

(3) teori seni pertunjukan, dan (4) teori komunikasi. Keempat teori tersebut akan

berfungsi sebagai alat kajian dan bekerja secara komplementer untuk menemukan makna

tunggal yang menempatkan posisi setiap temuan berada pada satu kesatuan konteks (lihat

hal: 14).

G. Teknik Analisis

Penelitian kualitatif bentuk analisisnya bersifat induktif, artinya semua simpulan

dibentuk dari semua informasi yang diperoleh dari lapangan. Analisisnya tidak untuk

membuktikan kebenaran hipotesis yang telah diajukan dalam proposal penelitian, tetapi

seluruh hasil simpulan yang dibuat dan teori yang mungkin dikembangkan, dibentuk dari

temuan dan kumpulan data di lapangan digunakan untuk dasar pemahaman dan

penyusunan suatu simpulan (Sutopo,2006: 105). Sifat analisis induktif sangat

mementingkan apa yang sebenarnya terjadi dan ditemukan di lapangan yang pada

dasarnya bersifat khusus berdasarkan karakteristik konteksnya dalam kondisi alamiahnya.


111

Proses analisis dilakukan bersamaan sejak awal dengan proses pengumpulan data,

dengan melakukan beragam teknik refleksi untuk pemantapan simpulan awal dan

perluasan serta pendalaman data bagi pengumpulan data berikutnya. Aktivitas refleksi

dari setiap data yang telah terkumpul pada dasarnya merupakan kegiatan analisis yang

semakin berkembang, sehingga data yang hendak disajikan sebagai laporan, sudah

merupakan hasil dari analisis yang berkelanjutan pada proses pengumpulan data.

Analisis dilakukan dalam bentuk interaktif, artinya setiap unit data yang terkumpul

selalu dikomparasikan dengan unit data lainnya untuk menemukan beragam hal yang

dibutuhkan sesuai dengan tujuan penelitian (keluasan, kesepadanan, perbedaan, bentuk

keterkaitan antarunsurnya dan sebagainya). Sejak diperoleh data dalam unit yang paling

kecil sudah mulai dikomparasikan hingga pada unit-unit atau kelompok data yang besar

untuk mengelompokkan beragam variabel sesuai dengan rumusan masalah. Proses

interaktif juga mengkomparasikan data yang didapat dari wawancara, observasi, arsip

maupun dokumen dan lainnya untuk mendapatkan pemantapan simpulan yang kemudian

akan dikembangkan dan validitas datanya dengan mencermati tingkat kesamaan,

perbedaan, dan kemungkinan lain. Adapun proses interaksi selanjutnya antarkomponen

analisisnya meliputi reduksi data, sajian data, penarikan simpulan dan verikasinya, atau

mengkomparasikan antarfaktor-faktor utama yang menjadi pokok kajian berdasarkan

kerangka pikir (Sutopo, 2006).

Pada penelitian kualitatif kasus tunggal tentang genre tari pasihan gaya Surakarta

ini, setelah peneliti mendapatkan data pada unit-unit hingga kelompok yang besar,

misalnya tanggapan ciri-ciri karakteristik bahasa verbal dan nonverbal genre tari pasihan

dari informan penari, informan pakar, dan informan budayawan kemudian


112

dikomparasikan untuk mencari dan menemukan perbedaan, kesamaan dengan beragam

rujukannya untuk simpulan yang mantap dengan melihat keterkaitannya tujuan penelitian

yang telah dirumuskan yaitu untuk menemukan ciri karakteristik genre tari pasihan gaya

Surakarta. Untuk menganalisis makna pragmatik dapat dengan mengkomparasikan

antarfaktor-faktor utama dari: implikatur tindak tutur verbal dan nonverbal, fungsi dan

persepsi masyarakat, untuk menarik makna pragmatik sebagai hasil analisis akhir

penelitian. Model analisisnya, peneliti gunakan model analisis interaktif.

Sebagai gambaran model analisis interaktif (Sutopo,2006:120).

Pengumpulan data

(1) (2)

Reduksi data Sajian data


(3)

Penarikan
Simpulan/verifikasi

Keterangan:

Pengumpulan data yang dilakukan adalah mencatat dengan rinci, kritis, dan

lengkap dengan kata-kata kunci. Selain itu, mengembangkan hasil wawancara yang

berupa kata-kata kunci menjadi catatan lengkap.

Reduksi data, peneliti melakukan pengelompokan data menurut jenisnya secara

terpisah berdasarkan kelompok informasinya dan merumuskan temuan jalinan dalam


113

kelompok dengan rumusan singkat. Selain itu membandingkan data antarkelompok untuk

menemukan kemungkinan adanya keragaman bentuk yang terkait.

Sajian data, disusun berdasarkan kelompok data yang sudah dirumuskan (reduksi

data) kemudian melakukan pengelompokan unit sajian berdasarkan kelompok rumusan

masalah, yang dikembangkan berdasarkan temuan-temuan dari setiap kelompok data dan

disajikan dalam bentuk narasi lengkap dan bukan sajian bahan mentah.

Penarikan simpulan/verifikasi, merupakan hasil pembahasan dari sajian data dan

reduksi data untuk menyimpulkan makna tunggal yang menempatkan posisi setiap

temuan berada pada satu kesatuan konteks.


114

BAB IV
BAHASA VERBAL DAN NONVERBAL GENRE TARI PASIHAN GAYA
SURAKARTA

Genre tari pasihan gaya Surakarta merupakan habitat dari jenis-jenis karya tari

duet percintaan atau tari pasihan. Adapun bentuk genre tari pasihan terdiri dari tari duet

percintaan, yakni seperti: tari Karonsih, tari Endah, tari Enggar-enggar, tari Kusuma

Aji, tari Lambangsih, tari Driasmara, tari Gesang Rahayu, tari Bondhan Sayuk, tari

Kusuma Ratih, tari Jayaningrat, tari Langen Asmara dan tari Setyaningsih.

Dalam penelitian ini peneliti terfokus pada dua jenis tari pasihan, yaitu tari

Karonsih dan tari Bondhan Sayuk. Pemilihan kedua jenis tari Karonsih dan tari Bondhan

Sayuk, diharapkan mampu menjawab rumusan masalah dari kajian pragmatik bahasa

verbal dan nonverbal genre tari pasihan gaya Surakarta. Secara garis besar bentuk tari

Karonsih dan tari Bondhan Sayuk banyak persamaannya, yang sudah barang tentu juga

terdapat perbedaan namun tidak begitu signifikan.

Pada dasarnya bentuk tari Karonsih dan tari Bondhan Sayuk sebagai bagian seni

pertunjukan genre tari pasihan gaya Surakarta memiliki beberapa aspek di antaranya

aspek sastra tembang sebagai bahasa verbal yang berupa cakepan (syair): pathetan,

sindhenan, gerongan, dan jineman. Sedangkan aspek bahasa nonverbal meliputi: tema,

gerak tubuh (kinetic body moves), polatan (ekspresi wajah), pola lantai, rias, busana, dan

iringan karawitan.

Aspek bahasa verbal dan nonverbal tari Karonsih dan tari Bondhan Sayuk

merupakan komposisi dua komponen yang menyatu dalam bentuk seni pertunjukan.

Bagi seniman komposit dari bahasa verbal dan nonverbal yang terdapat pada tari
115

Karonsih dan tari Bondhan Sayuk merupakan kesatuan makna yang utuh dan berfungsi

sebagai sarana komunikasi untuk hiburan dan suritauladan. Untuk menjelaskan tentang

seluk-beluk bahasa verbal dan nonverbal pada kedua jenis tari Karonsih dan tari

Bondhan Sayuk, peneliti hendak menggali dan mengungkap data dari infoman

berdasarkan faktor objektif, genetik, dan afektif.

A. Faktor Objektif

I. Tari Karonsih

Tari Karonsih merupakan tari tradisi gaya Surakarta jenis pasangan silang jenis

karakter putri luruh dengan putra alus luruh yang bertemakan percintaan Dewi Sekartaji

dengan Panji Inukertapati. Karya tari Karonsih merupakan hasil susunan Maridi pada

awal tahun 1970, ketika beliau mendapat permintaan dari keluarga Kalitan, untuk

menyajikan sebuah tari yang sesuai untuk kebutuan resepsi perkawinan Ibnu Harjanto

adik Tien Suharto istri mantan presiden Indonesia yang ke dua (wawancara Maridi,

1991). Jika dicermati lebih lanjut pertunjukan tari Karonsih dapat dibagi menjadi

beberapa adegan-adegan sebagai berikut: 1) adegan pencarian, 2) adegan pertemuan, dan

3) adegan bahagia, yang merupakan klimaks dari seluruh adegan. Pembagian adegan di

sini berdasarkan suasana-suasana yang dibangun lewat garap gendhing dan makna sastra

tembang. Bentuk tari Karonsih terdiri dari dua komponen pokok, yakni sastra tembang

yang merupakan bahasa verbal dan elemen-elemen lain yang terkait dan menunjang

dengan tari yang merupakan bahasa nonverbal.

a. Bahasa Verbal.

Teks sastra tembang yang merupakan bahasa verbal tari Karonsih, terdiri dari

beberapa bait syair yang terdapat pada garap lagu, yakni: (1) pathetan: sakpada (satu
116

bait), (2) garap sindhenan Pangkur Ngrenas: sakpada, (3) garap sindhenan. Kinanthi

Sandhung: rongpada (dua bait), dan (4) garap gerongan Lambangsari: rong pada. Dari

masing-masing bait syair tembang tersebut memiliki garap lagu atau watak lagu yang

berbeda-beda. Bahasa verbal yang berupa tembang Jawa tersebut terurai menjadi

beragam jenis tindak tutur dan beragam makna yang dikandungnya, seperti jabaran

berikut ini.

(1) Teks Pathetan Wantah


Sang Retnayu Dewi Sekartaji
Jengkar sking kedhaton
Sang Retnayu Dewi Sekartaji
Jengkar sking kedhaton
Angupadi mendranira ingkang garwa
Inukertapati, O………..
Dahat denira muwun,O…………

Terjemahan:
Si cantik Dewi Sekartaji
Pergi dari kerajaan
Si cantik Dewi Sekartaji
Pergi dari kerajaan
Mencari suaminya, Inukertapati
Menangis tersedu-sedan.

Jenis – jenis Tindak Tutur (TT) yang melekat pada teks Pathetan Wantah

No Narator Teks Verbal Pathetan Jenis-jenis Pemarkah


(Nr) Wantah TT

1.1 Sang Retnayu Dewi Jengkar


Sekartaji
Jengkar sking kedhaton Asertif
Nr
117

1.2 Sang Retnayu Dewi Jengkar


Sekartaji
Jengkar sking kedhaton Asertif
Nr
1.3 Angupadi mendranira Angupadi
ingkang garwa Direktif
Nr Inukertapati, O………..

1.4 Dahat denira muwun


Nr muwun,O…… Ekspresif

Konteks.

Identifikasi / latar.

a. Peserta tutur: Narator (Pn)

Dewi Sekartaji (Pt), ia merespon dengan gerak tanpa

tuturan.

b. Tema / topik: pencarian.

c. Tujuan: seorang istri (Dewi Sekartaji) yang mencari suami (Panji

Inukertapati) yang telah meninggalkan kerajaan

d. Status sosial: Dewi Sekartaji sebagai seorang istri, ia digambarkan

sebagai figur seorang wanita, istri yang sangat setia terhadap suami.

e. Tempat: perjalanan di luar kerajaan.

f. Situasi tutur: tidak formal.


118

g. Gerak: Dewi Sekartaji keluar dari pojok belakang kanan stage menuju

tengah dengan gerak: srisik, kengser, badan putar menghadap belakang

srisik mundur kemudian putar menghadap depan, lumaksono, badan

nglayang (memutar) ke kiri, kaki njujut, badan ngglebak ke kanan hadap

ke depan, ridhong sampur kiri, dan usap kiri – usap kanan.

h. Polatan / ekspresi wajah: Dewi Sekartaji tampak sedih kepala menunduk,

pandangan mata mengarah ke bawah dan perubahan gerak kepala lebih

pelan dan terkesan hati-hati.

i. Pola lantai: didominasi garis–garis lurus.

j. Iringan gendhing: pathetan untuk mendukung suasana sedih.

Implikatur.

Jengkar sking kedhaton: merupakan pernyataan perbuatan atau tindakan dari keluarga

bangsawan karena terdapat suatu permasalahan yang sangat penting yang

mengharuskan dan sebagai jalan terakhir untuk pergi dari kerajaan.

Mendranira: adalah sebuah tindakan yang didasari dari rasa tidak puas terhadap

sesuatu.

Angupadi: merupakan sebuah perbuatan untuk mencari dan berupaya menemukan

dengan cara dan usaha yang sungguh-sunggguh.

Implikatur teks Pathetan adalah menggambarkan liku-liku perjalanan Dewi Sekartaji

dalam mencari dan untuk menemukan Panji Inukertapati (suaminya).

Prinsip kerja sama berdasarkan bahasa verbal pada Pathetan Wantah dapat diungkap:

a. Maksim kuantitas dilanggar.

b. Maksim kualitas dipatuhi.


119

c. Maksim hubungan dipatuhi.

d. Maksim cara dilanggar.

Prinsip kesantunan berdasarkan bahasa verbal pada Pathetan Wantah, menggunakan

strategi:

1) melakukan TT dengan menggunakan kesantunan positif.

2) melakukan TT secara tidak langsung (off record).

Jenis – jenis TT yang melekat pada teks Isen-isen (isian)

No Narator (Nr) Teks Verbal Isen-isen Jenis-jenis


TT
1.1 Nr Jarweng janma, janma kang
koncatan nyawa, gones. Patik

(2). Teks Sindhenan Pangkur Ngrenas.


Dhuh jagad dewa bathara
Welasa mring dasih kang nandhang kingkin
Tinilar garwa satuhu
Dadya gantilaning tyas
Ulun dhahat teka aginggang sarambut
Kalamun datan pinanggya
Aluwung tumekeng lalis

Terjemahan:
Wahai Sang Hyang Dewata
Kasihanilah hambamu yang baru sedih
Ditinggal suami
Yang menjadi buah hati
Hamba tidak dapat berpisah
Jika tidak dapat bertemu
Lebih baik mati
120

Jenis - jenis TT yang melekat pada teks Sindhenan Pangkur Ngrenas.

No Penutur Teks Verbal Sindhenan Jenis – jenis Pemarkah


(Pn) Pangkur Ngrenas TT

2.1 Dewi Dhuh jagad dewa Dhuh jagad


Sekartaji bathara Patik
(Pn)
2.2 Dewi Welasa mring dasih kang mring dasih
Sekartaji nandhang kingkin Direktif
(Pn)
2.3 Dewi Tinilar garwa satuhu satuhu
Sekartaji Asertif
(Pn)
2.4 Dewi Dadya gantilaning tyas Direktif dadya
Sekartaji
(Pn)
2.5 Dewi Ulun dhahat teka Direktif Ulun dhahat
Sekartaji aginggang sarambut
(Pn)
2.6 Dewi Kalamun datan datan
Sekartaji pinanggya Direktif
(Pn)
2.7 Dewi Aluwung tumekeng lalis Komisif Aluwung
Sekartaji
(Pn)
121

Konteks.

Identifikasi / latar.

a. Peserta tutur: Dewi Sekartaji.

b. Tema / topik: kesetiaan.

c. Tujuan: Dewi Sekartaji dalam situasi yang rindu, sedih, pasrah, dan

memohon pada Yang Kuasa agar segera dipertemukan dengan suaminya,

supaya kasih asmaranya dapat menyatu kembali.

d. Status sosial: Dewi Sekartaji sebagai seorang istri, ia digambarkan

sebagai figur seorang wanita, istri yang sangat setia terhadap suami.

e. Tempat: dalam perjalanan di luar kerajaan.

f. Situasi tutur: tidak formal.

g. Gerak: Sekartaji mengekspresikan lewat gerak laras sampir sampur

kanan, sekar suwun, tawing kiri ingsetan, dan lembehan separo.

h. Polatan / ekspresi wajah: Dewi Sekartaji tampak sedih, kepala

menunduk, pandangan mata mengarah ke bawah dan perubahan gerak

kepala lebih pelan dan terkesan hati-hati.

i. Pola lantai: didominasi garis-garis lurus.

j. Iringan gendhing: Ketawang Ngrenas untuk mendukung suasana sedih.

Implikatur.

Nandhang kingkin: suasana sedih yang dialami seseorang.

Gantilaning tyas: merupakan kekasih sebagai belahan jiwa yang diharapkan dapat

sebagai tumpuan akhir yang mampu mengayomi, melindungi dan

bertanggungjawab.
122

Aginggang sarambut: merupakan pernyataan hubungan cinta kasih yang sangat erat dan

lekat, sehingga berharap tidak dapat putus. Sebagai bukti

kesetiaan seseorang.

Aluwung tumekeng lalis: sebuah pernyataan yang dilandasi emosional atau ketulusan

hati untuk melakukan tindakan sebagai jalan pintas untuk

mengakhiri kehidupan. Dalam hubungan asmara dapat sebagai

bukti kesetiaan.

Implikatur teks Pangkur Ngrenas adalah menggambarkan Dewi Sekartaji dalam situasi

rindu, sedih, pasrah, kemudian memohon pada Yang Kuasa agar

segera dipertemukan dengan suaminya. Bukti kesetiaan yang

mendalam Dewi Sekartaji terhadap suaminya, tersurat dalam

bentuk tuturan yang diungkapkan dengan TT: Kalamun datan

pinanggya, Aluwung tumekeng lalis.

Prinsip kerja sama berdasarkan bahasa verbal pada Sindhenan Pangkur Ngrenas

dapat diungkap:

a. Maksim kuantitas dilanggar.

b. Maksim kualitas dipatuhi.

c. Maksim hubungan dipatuhi.

d. Maksim cara dilanggar.

Prinsip kesantunan berdasarkan bahasa verbal pada Sindhenan Pangkur Ngrenas,

menggunakan strategi:

1) melakukan TT dengan menggunakan kesantunan positif.

2) melakukan TT secara tidak langsung (off record).


123

Jenis – jenis TT yang melekat pada teks Isen-isen

No Narasi (Nr) Teks Verbal Isen-isen Jenis - jenis TT


2.1 Nr Suta nendra prajane sri Patik
Bomantara
Sun bathara, rama
Lamun sira darbe tresno
2.2 Nr Saji siswa, gones Patik
Arane basa nawala

(3). Teks Sindhenan Kinanthi Sandhung.


Cakepan a.
Adhuh yayi garwa ningsun
Teka mlengos datan angkling
Mara ngadhepna pun kakang
Kang wus lami nandhang brangti
Kadingaren yayi duka
Apa kang dadi wigati

Cakepan b.
Wus dangu pun kakang wuyung
Marang yayi wanodya di
Tuhu wanita utama
Mustikaning para putri
Muga tansah pinaringan
Kanugrahan kang salami

Terjemahan:
Syair a.
Wahai istriku
Mengapa berpaling tidak menghiraukan
Kemari tataplah wajah kakanda
Sudah lama rindu
Tidak biasa adinda marah
Apa persoalannya
124

Syair b.
Sudah lama kakanda jatuh asmara
Kepada adinda wanita yang cantik
Engkau wanita utama
Menjadi suritauladan para wanita
Semoga selalu diberi
Kebahagiaan selamanya

Jenis – jenis TT yang melekat pada teks Sindhenan Kinanthi Sandhung.

No Penutur Teks Verbal Sindhenan Jenis - jenis Pemarkah


(Pn) Kinanthi Sandhung TT
3.1 Panji Adhuh yayi garwa Patik Adhuh
Inukertapati ningsun
(Pn)
3.2 Panji Teka mlengos datan Direktif datan
Inukertapati angkling
(Pn)
3.3 Panji Mara ngadhepna pun Direktif mara
Inukertapati kakang
(Pn)
3.4 Panji Kang wus lami nandhang Ekspresif nandhang
Inukertapati brangti
(Pn)

3.5 Panji Kadingaren yayi duka Direktif kadingaren


Inukertapati
(Pn)
3.6 Panji Apa kang dadi wigati Direktif apa
Inukertapati
(Pn)
125

3.7 Panji Wus dangu pun kakang Ekspresif wus dangu


Inukertapati wuyung
(Pn)
3.8 Panji Marang yayi wanodya di Direktif marang
Inukertapati
(Pn)
3.9 Panji Tuhu wanita utama Ekspresif utama
Inukertapati
(Pn)
3.10 Panji Mustikaning para putri Ekspresif mustikaning
Inukertapati
(Pn)
3.11 Panji Muga tansah pinaringan Direktif muga
Inukertapati
(Pn)
3.12 Panji Kanugrahan kang salami Direktif kanugrahan
Inukertapati
(Pn)

Konteks.

Identifikasi / latar.

a. Peserta tutur: Panji Inukertapati (Pn).

Dewi Sekartaji (Pt), ia merespon dengan gerak tanpa

tuturan.

b. Tema / topik: percintaan.

c. Tujuan: menyatukan kembali kasih asmara antara suami dengan istri yang

pernah berpisah.
126

d. Status sosial: Panji Inukertapati sebagai seorang suami, ia digambarkan

sebagai figur seorang suami yang bertanggungjawab dan sangat setia

terhadap istri. Dewi Sekartaji sebagai seorang istri, ia digambarkan

sebagai figur seorang wanita, istri yang sangat setia terhadap suami.

e. Tempat: dalam perjalanan di luar kerajaan.

f. Situasi tutur: tidak formal.

g. Gerak: Sekartaji tampak putus harapan, yang digambarkan jengkeng

(duduk) diikuti kedua tangan memegang sampur sambil menutup raut

muka pada posisi centre stage. Datang Panji dari belakang, ulap-ulap

tangan kiri – kanan, besut, laras genjot, dan kengser ke kanan. Suasana

marah diekspresikan Sekartaji dengan berdiri enjer, ketika Panji jengkeng

njawil (memegang bahu). Panji segera memburu Sekartaji dengan gerak

berdiri srisik, nyabet ukel karna kanan, maju lumaksono, srisik, tangan

kanan nyaut, tanjak tawing kanan. Untuk meredakan kemarahan

Sekartaji, Panji mencoba merayunya kembali dengan lumaksono

kebyokan sampur, maju, tangan kanan nyaut dengan kebyok kemudian

mundur, panggel, tanjak kanan, ngancap, tangan pondhongan kemudian

nyaut jeblos (tukar tempat) lalu Sekartaji memberikan sampur dan segera

diterima Panji. Suasana kemesraan Sekartaji dan Panji semakin terasa

yang diungkapkan lewat gerak tangkep asta, Sekartaji merasa malu

kemudian melepas kedua tangan dan srisik yang segera dikejar Panji

dengan srisik nyandhet tangkep asta ngaras (berciuman). Perasaan malu

juga ditampakkan oleh kedua tokoh tersebut setelah berciuman lepas


127

kedua tangan, laku enjer saling menjauh, tangan kiri menthang, tangan

kanan tawing. Asmara yang dibangun Sekartaji dan Panji Inukertapati

mulai menyatu, hal ini diekspresikan dengan bentuk-bentuk gerak selalu

bergandengan tangan, seperti: kanthen tangan kanan, kengser ke kanan-

kiri, maju, adu tangan kiri nekuk, srisik melingkar, kanthen tangan kanan.

h. Polatan / ekspresi wajah: ketika Sekartaji tampak putus harapan, raut

muka ditutup, pandangan mata mengarah ke bawah. Suasana marah,

pandangan muka Sekartaji selalu menghindar dari tatapan mata Panji,

sedangkan Panji selalu memandang Sekartaji. Suasana mesra, ekspresi

wajah Sekartaji dan Panji tampak cerah dan gembira, pandangan dan

tatapan mata keduanya banyak saling berhadapan wajah, saling melempar

senyum sebagai tanda cinta, mesra, damai dan bahagia.

i. Pola lantai: didominasi garis-garis lengkung.

j. Iringan gendhing: Ketawang Kinanthi Sandhung untuk mendukung

suasana kasmaran atau bercinta.

Implikatur.

nandhang brangti: merupakan gambaran psikologis seseorang dalam keadaan asmara.

Kadingaren: merupakan perbuatan atau tindakan seseorang yang tidak biasa dilakukan.

Mustikaning: merupakan ungkapan yang bersifat menyanjung terhadap kelebihan

seseorang, untuk mendapatkan perhatian mitra tuturnya.

Implikatur teks Kinanthi Sandhung tersebut adalah: a) Dewi Sekartaji marah terhadap

Panji Inukertapati. b) Panji berusaha membujuk dan merayu istrinya,

akhirnya luluh hati Dewi Sekartaji.


128

Prinsip kerja sama berdasarkan bahasa verbal pada Sindhenan Kinanthi Sandhung,

dapat diungkap:

a. Maksim kuantitas dilanggar.

b. Maksim kualitas dipatuhi.

c. Maksim hubungan dipatuhi.

d. Maksim cara dilanggar.

Prinsip kesantunan berdasarkan bahasa verbal pada Sindhenan Kinanthi Sandhung,

menggunakan strategi:

1) melakukan TT dengan menggunakan kesantunan positif.

2) melakukan TT secara tidak langsung (off record).

(4). Teks Gerongan Lambangsari.

Cakepan a.

Pra wanita marsudiya marang tindak kang utama


Setya tuhu marang garwa dadi rowang kang sembada
Ingkang bisa nujuprana weh reseping pamicara
Nora kengguh ing panggodha darbe budi kang santosa
Balik priya nimbangana ngayomi mring rabinira
Datan kemba asih tresna sung tetreming kulawarga
Sampun sami setya tuhu anggenya liron asmara
Karonsih pancen pranyata dadya kembang jagad raya

Cakepan b.
Pra wanita marsudiya marang tindak kang utama
Setya tuhu marang garwa dadi rowang kang sembada
Ingkang bisa nujuprana weh reseping pamicara
Nora kengguh ing panggodha darbe budi kang santosa
Balik priya nimbangana ngayomi mring rabinira
Datan kemba asih tresna sung tentreming kulawarga
Sang pekik wah sang dyah ayu dangu samya bagyaharja
Tan kendhat tansah meminta kanugrahan ing Hyang Sukma
129

Terjemahan:
Syair a.
Para wanita supaya selalu berbuat kebajikan
Selalu setia terhadap suami, menjadi pasangan yang bertanggungjawab
Yang bisa menarik hati membuat harmonis dalam pembicaraan
Tidak tergoda, memiliki sikap yang teguh
Gantian pria berilah keseimbangan sebagai pengayom dalam perkawinan
Tidak acuh, saling mencintai menuju ketetraman keluarga
Sudah saling setia dalam bercinta
cinta itu adalah nilai yang universal

Syair b.
Para wanita supaya selalu berbuat kebajikan
Selalu setia terhadap suami, menjadi pasangan yang bertanggungjawab
Yang bisa menarik hati membuat harmonis dalam pembicaraan
Tidak tergoda, memiliki sikap yang teguh
Gantian pria berilah keseimbangan sebagai pengayom dalam perkawinan
Tidak acuh, saling mencintai menuju ketetraman keluarga
Sang kesatria (Panji) dan sang Dewi Sekartaji sudah lama hidup bahagia
Tiada henti selalu meminta kebahagiaan kepada Yang Maha Kuasa

Jenis – jenis TT yang melekat pada teks Gerongan Lambangsari.

No Penutur (Pn) Teks Verbal Jenis – jenis Pemarkah


/ Petutur Gerongan Lambangsari TT
(Pt)
4.1 Panji Pra wanita marsudiya Direktif marsudiya
Inukertapati marang tindak kang utama
(Pn)
4.2 Panji Setya tuhu marang garwa Direktif marang garwa
Inukertapati dadi rowang kang sembada
(Pn)
4.3 Panji Ingkang bisa nujuprana Direktif ingkang bisa
Inukertapati weh reseping pamicara
(Pn)
130

4.4 Panji Nora kengguh ing Direktif nora kengguh


Inukertapati panggodha darbe budi
(Pn) kang santosa
4.5 Dewi Balik priya nimbangana Direktif nimbangana
Sekartaji ngayomi mring rabinira
(Pt)
4.6 Dewi Datan kemba asih tresna Direktif datan kemba
Sekartaji sung tetreming kulawarga
(Pt)
4.7 Narator Sampun sami setya tuhu Asertif sampun sami
anggenya liron asmara

4.8 Narator Karonsih pancen pranyata Asertif pancen pranyata


dadya kembang jagad raya

4.9 Panji Pra wanita marsudiya Direktif marsudiya


Inukertapati marang tindak kang utama
(Pn)

4.10 Panji Setya tuhu marang garwa Direktif marang garwa


Inukertapati dadi rowang kang sembada
(Pn)
4.11 Panji Ingkang bisa nujuprana Direktif ingkang bisa
Inukertapati weh reseping pamicara
(Pn)
4.12 Panji Nora kengguh ing Direktif nora kengguh
Inukertapati panggodha darbe budi
(Pn) kang santosa
4.13 Dewi Balik priya nimbangana Direktif nimbangana
Sekartaji ngayomi mring rabinira
131

(Pt)
4,14 Dewi Datan kemba asih tresna Direktif datan kemba
Sekartaji sung tetreming kulawarga
(Pt)
4.15 Narator Sang pekik wah sang dyah Asertif samya
ayu dangu samya bagyaharja
bagyaharja
4.16 Narator Tan kendhat tansah Direktif meminta
meminta kanugrahan ing
Hyang Sukma

Konteks.

Identifikasi / latar.

a. Peserta tutur: Panji Inukertapati (Pn).

Dewi Sekartaji (Pt).

b. Tema / topik: kebahagiaan.

c. Tujuan: membina keluarga yang bahagia antara suami dan istri.

d. Status sosial: Panji Inukertapati sebagai seorang suami, ia digambarkan

sebagai figur seorang suami yang bertanggungjawab dan sangat setia

terhadap istri. Dewi Sekartaji sebagai seorang istri, ia digambarkan

sebagai figur seorang wanita, istri yang sangat setia terhadap suami.

e. Tempat: di kerajaan.

f. Situasi tutur: tidak formal.

g. Gerak: Sekartaji dan Panji gerak yang dipilih untuk mengungkapkan

suasana bahagia yang tercermin dalam rasa gembira, seperti motif gerak:

Trap jamang, luluran, ngore rikma, dan alisan. Suasana kemesraan,


132

kebersamaan, dan keharmonisan diungkapkan dengan motif-motif gerak,

seperti: lilingan, kebyokan sampur, lilingan, rimong sampur, srisik

kanthen tangan kanan, kanthen tangan kanan ingsetan, kanthen tangan

kiri enjeran, lumaksono encot kanthen tangan kanan, dan diakhiri

pangkon ulap-ulap tangan kiri. Motif-motif gerak tersebut dilakukan

dengan irama dinamis, saling berhadapan, saling mendekat, saling

bersentuhan tangan dan badan sehingga terasa sebagai puncak

kemesraannya. Bersetuhan badan tampak pada gerak Sekartaji dipangku

Panji.

h. Polatan / ekspresi wajah: kedua tokoh Sekartaji maupun Panji

Inukertapati tampak gembira, cerah terutama ditampilkan pada adegan

ini, keduanya banyak saling berhadapan wajah, pandangan mata searah,

saling melempar senyum sebagai tanda cinta, mesra, damai dan bahagia.

Puncak kemesraan pada adegan bahagia ini terekspresikan pada saat

Sekartaji duduk dipangkuan Panji Inukertapati, mereka saling

memandang dengan ekspresi wajah ceria, senyum, dan mesra.

i. Pola lantai: didominasi garis-garis lengkung.

j. Iringan gendhing: Lambangsari untuk mendukung suasana riang dan

gembira. Adapun sebagai penutup ladrang Sigramangsah untuk

mendukung suasana semangat.

Implikatur.

Marsudiya: tuturan perintah yang bersifat santun.

Setya tuhu: pernyataan kesetiaan yang mendalam.


133

Nujuprana: ungkapan yang menyatakan kecocokan atas sesuatu yang menjadikannya

senang.

Nimbangana: sebuah permintaan yang menghendaki mitra tuturnya berlaku bijak.

Ngayomi: merupakan sebuah tanggungjawab untuk menjamin kenyamanan,

ketenangan dan kebahagiaan orang lain.

Liron asmara: mempunyai pengertian saling mencintai.

Kembang jagad raya: ungkapan pengadaian yang dimaksudkan untuk menunjukkan

kehebatan, dan ketenaran.

Implikatur teks Gerongan Lambangsari terdiri dari: 1) Tipe seorang istri yang ideal

adalah selalu berupaya berbuat kebajikan, setia terhadap suami, menarik,

dan bertanggungjawab. 2) Tipe seorang suami yang ideal adalah setia

terhadap istri, mengayomi, dan mampu menciptakan ketentraman

keluarga. 3) Nilai cinta adalah sebuah nilai universal yang dapat dijadikan

landasan kehidupan berumahtangga. 4) Kebagiaan dunia dan akhirat

merupakan kebutuhan hidup hakiki manusia yang diupayakan secara

seimbang.

Prinsip kerja sama berdasarkan bahasa verbal pada Gerongan Lambangsari,

dapat diungkap:

a. Maksim kuantitas dilanggar.

b. Maksim kualitas dipatuhi.

c. Maksim hubungan dipatuhi.

d. Maksim cara dilanggar.


134

Prinsip kesantunan berdasarkan bahasa verbal pada Gerongan Lambangsari,

menggunakan strategi:

1) melakukan TT dengan menggunakan kesantunan positif.

2) melakukan TT secara tidak langsung (off record).

Dari penjabaran teks verbal yang terdapat dalam tari Karonsih terdapat beragam

jenis tindak tutur yang dapat peneliti klasifikasikan secara kuantitatif jenis tindak tutur

direktif paling dominan, seperti paparan berikut:

NO JENIS TINDAK TUTUR JUMLAH


1 Tindak Tutur Direktif 25
2 Tindak Tutur Ekspresif 7
3 Tindak Tutur Asertif 4
4 Tindak Tutur Patik 5
5 Tindak Tutur Komisif 1
5 Tindak Tutur Performatif -
6 Tindak Tutur Verdiktif -

Berdasarkan prinsip kerja sama bahasa verbal yang terdapat tari Karonsih.

a. Maksim kuantitas dilanggar karena dalam menyampaikan tuturan seorang

penutur, banyak menggunakan kata-kata arkais dimaksudkan oleh seniman

penyusun untuk mengekspresikan rasa estetik.

b. Maksim kualitas dipatuhi dimaksudkan oleh penutur untuk menggambarkan

peristiwa yang betul-betul terjadi pada masing-masing adegan. Diharapkan

dengan mencermati peristiwa demi peristiwa yang terjadi secara kronologis

sejak adegan awal sampai akhir, penonton akan dapat menangkap makna dari

pertuturan secara utuh.


135

c. Maksim hubungan dipatuhi dimaksudkan oleh penutur untuk menjaga kerja

sama antara penutur dengan mitra tutur, masing-masing hendaknya

memberikan kontribusi yang relevan demi terjadinya komunikasi rasa.

d. Maksim cara dilanggar karena dalam menyampaikan tuturan seorang

penutur, tidak langsung, terlalu panjang, dan pernyataannya samar, hal ini

dimaksudkan seniman penyusun untuk mengekspresikan rasa estetik dan

menambah kemantapan rasa.

Prinsip kesantunan berdasarkan bahasa verbal pada tari Karonsih tidak terpenuhi, hanya

menggunakan strategi:

1) Melakukan tindak tutur dengan menggunakan kesantunan positif untuk

menunjukkan kedekatan, keintiman, dan hubungan baik antara penutur dengan

mitra tutur. Hal ini dimaksudkan seniman penyusun untuk menunjukkan

simbolisasi keharmonisan hubungan antara peran suami dan istri yang

digambarkan dalam tari.

2) Melakukan tindak tutur secara tidak langsung (off record) untuk

mengekspresikan rasa estetik dan menambah kemantapan rasa.

b. Bahasa Nonverbal

Bahasa nonverbal yang merupakan elemen-elemem dari tari Karonsih terdiri

dari: tema, kinetic body moves, polatan (ekspresi wajah), rias, busana, pola lantai, dan

iringan. Untuk memahami masing-masing elemen berikut secara parsial akan dipaparkan

secara komprehensif.
136

1. Tema percintaan yang diangkat dari babad Panji yang mengisahkan perjalanan

cinta Dewi Sekartaji dengan Panji Inukertapati merupakan alur cerita yang disajikan

dalam tari Karonsih. Cerita Panji adalah merupakan karya sastra yang sangat terkenal di

Asia Tenggara terutama di Indonesia. Kamboja, Siam, dan Thailand. Di Indonesia

terdapat banyak versi tentang cerita Panji, terutama di Pulau Jawa. Di Jawa Timur pada

masa kejayaan kerajaan-kerajaan, di antaranya Medang, Jenggala, Kediri, Singasari, dan

Majapahit (abad X sampai ke XVI), cerita Panji ini sangat terkenal dalam sebuah

garapan dramatari yang disebut Raket. Munculnya cerita Panji pada zaman kejayaan

Majapahit merupakan pernyataan yang cukup kuat, hal ini didukung pendapat

Poerbatjaraka: bila kita kumpulkan seluruh bahan keterangan untuk menentukan waktu

timbulnya cerita Panji, kesimpulan satu-satunya bahwa redaksi yang pertama kali

disusun pada zaman kejayaan Majapahit. Timbulnya cerita Panji dipandang sebagai

suatu revolusi kesusastraan terhadap tradisi lama (Poerbatjaraka, 1968: 409).

Di Jawa Tengah, cerita Panji ini berkembang sejak Mataram pecah menjadi dua

yaitu kerajaan Yogyakarta dengan sebutan Kasultanan Ngayogyakarta dan kerajaan

Surakarta lebih dikenal sebagai Kasunanan Surakarta. Dilingkungan wilayah kekuasaan

kedua kerajaan Yogyakarta dan Surakarta, cerita Panji dikenal dalam cerita Andhe-

andhe Lumut, Keong Emas, Jaka Bluwo, dan Kethek Ogleng. Sekarang cerita Panji di

wilayah Jawa Timur yang merupakan sumber awal cerita tersebut dikenal dengan cerita

Ragil Kuning dan Kilisuci. Wilayah Bali cerita Panji banyak dikenal dengan sebutan

Malat (Poerbatjaraka, 1968: 290). Di daerah Pasundan cerita Panji tersebut lebih dikenal

dengan sebutan Lutung Kasarung atau Panji Sunda. di Palembang cerita Panji ini

dikenal Panji (Angreni) Palembang. Adapun cerita Panji ini di Kamboja dikenal Panji
137

Kamboja, sedangkan di Thailand disebut dengan Jataka. Tokoh–tokoh utama yang

berperan dalam cerita Panji adalah Panji Inukertapati sebagai suami dan Dewi Sekartraji

sebagai isteri. Dalam versi Jawa nama Panji Inukertapati juga disebut Panji

Asmarabangun atau Panji Kasatriyan, sedangkan Dewi Sekartaji juga sering disebut

Galuh Condrokirana atau Kleting Kuning atau Dewi Limaran. Versi Kamboja, Siam dan

Thailand, nama Panji Inukertapati disebutnya Eynao atau Inao, sedangkan Dewi

Sekartaji disebut Bossaba.

Tersebarnya cerita Panji di Asia Tenggara, terutama di Indonesia penyebarannya

dari mulut ke mulut dalam bentuk dongeng, sehingga kisah cerita maupun tokoh-tokoh

yang terlibat terdapat perbedaan-perbedaan dan juga dalam bentuk naskah tulis. Selain

dalam bentuk dongeng, cerita Panji dapat meluas karena diangkat sebagai lakon-lakon

dalam: Kethoprak, wayang Kulit maupun wayang orang (dalam lakon Bambang

Semboto, untuk Panji Inukertapati diperankan Harjuna atau Janaka, Dewi Sekartaji

diperankan oleh Sembadra, sedangkan Angka Wijaya atau Abimanyu merupakan peran

pengganti anak dari Sekartaji atau Candrakirana), wayang Gedhok, Dramatari, frahmen,

dan sebagai tema tari pasihan. Di samping itu juga terdapat sebuah mitos bahwa Panji

Inukertapati merupakan titisan dari dewa Asmara yaitu Bathara Kamajaya, sedangkan

Dewi Sekartaji merupakan titisan dewi asmara yaitu Bathari Kamaratih. Rupanya cerita

Panji cukup terkenal sehingga banyak versi, yang dapat digunakan sebagai sumber data,

untuk itu perlu peneliti kemukakan beberapa tulisan yang pada akhirnya dapat dianalisis

dalam rangka menentukan versi yang dijadikan sebagai tema. Adapun beberapa cerita

secara lengkap tentang cerita Panji dapat diamati secara berturut-turut berikut ini.
138

1.a Menurut Sunan Pakubuwono IV, dalam tulisannya yang berjudul: Panji

Sekar, terjemahan Yanto Darmono tahun 1979, dipaparkan sebagai berikut. Di Tanah

Jawa, pada waktu itu terdapat empat kerajaan, yaitu Jenggala, Daha (Kediri), Ngurawan,

dan Singasari yang sangat masyur. Keempat raja yang menduduki tahta tersebut masih

bersaudara, mereka hidup rukun, tidak pernah saling bertentangan, saling menjaga

hubungan sehingga menjadi sangat agung dan terkenal. Armada perangnya sangat kuat,

perkasa dan bala tentaranya besar, pengaruh kekuasaannya luas oleh karena itu mereka

disegani raja-raja lainnya.

Dari keempat raja itu terdapat dua raja yang berbesanan, yaitu raja Lembu

Amiluhur dari Jenggala yang memiliki anak laki bernama Panji Kertapati dengan raja

Lembu Amijaya dari Kediri yang mempunyai anak puteri bernama Candra Kirana atau

Retna Galuh atau lebih sering disebut pula Sekartaji. Setelah Panji Kertapati dan Candra

Kirana menikah, tidak lama kemudian Panji Kertapati mendirikan sebuah kota Pandhak

yang letaknya diwilayah kerajaan Kediri. Sebagai pangeran muda Panji Kertapati

sungguh sangat perkasa dalam peperangan, selain itu beliau sangat bijaksana dan

romantis dalam berkeluarga.

Pada saat rapat besar kerajaan Kediri, datang seorang patih Guna Saronta

membawa sepucuk surat sebagai utusan raja Bramakumara dari Makassar. Isi surat pada

intinya bahwa Raja Bramakumara menantang perang dengan Panji Kertapati sebagai

balas dendam atas kematian saudaranya raja dari Nusa Kencana. Harapan raja

Bramakumara, jika Panji dapat dikalahkan berarti Tanah Jawa dapat dikuasainya.

Dalam pertemuan itu pula Panji Kertapati sebagai kesatria tumpuan dari seluruh bala
139

tentara kerajaan menyanggupi tantangan dan menunggu kedatangan raja Bramakumara

sebagai penantang.

Panji Kertapati mendapat dukungan dari Sekartaji istrinya, namun sang istri juga

mengungkapkan impiannya bahwa ia disuruh dewa untuk makan buah ketan yang

terdapat di taman sari di tengah hutan Tikbrasara. Taman sari tersebut merupakan buatan

dewa Batara Darma, yang tidak diketahui manusia terletak di tengah hutan yang sangat

keramat. Jika dapat makan buah ketan tersebut dewa akan meluluskan semua

permintaaannya terutama bayi yang di dalam kandungan Sekartaji akan keluar anak laki-

laki yang rupawan, kelak menjadi kesatria yang sakti, gagah berani dalam medan perang

dan menjadi raja yang Agung di Tanah Jawa. Manfaat lainnya dari buah ketan adalah

menghilangkan segala penyakit dan dapat membuat tenteram. Ungkapan Candra Kirana

merupakan permintaan segera (nyidam), bagi Panji itu merupakan tanggungjawab

sebagai suami yang setia terhadap istri, untuk itu ia bergegas untuk mencari ke hutan

yang diikuti oleh Bancak dan Dhoyok.

Di tengah hutan Tikbrasara Panji Kertapati perang dengan prajurit sandi dari

Makassar yang akhirnya dimenangkan oleh Panji. Perjalanan untuk mencari buah ketan

dilanjutkan, sampai di tengah hutan Panji dan pengikutnya mendapatkan sebuah

tamansari di dalamnya terdapat buah ketan yang digambarkan bagaikan surga, sehingga

mereka sangat kerasan bahkan lupa untuk kembali pulang. Atas kehendak dewa, Panji

diperintahkan untuk segera pulang karena di dalam tamansari karaton Kediri akan

muncul pencuri yang sangat sakti.

Patih Guna Saronta dengan akal yang licik membujuk raja Bramakumara untuk

masuk ke tamansari bersamanya guna mencuri Galuh Candrakirana dengan harapan


140

mengurangi kekuatan Panji secara perlahan-lahan. Pada malam yang sangat gelap Guna

Saronta dan Bramakumara masuk tamansari dengan ajian yang membuat semua orang di

dalamnya tertidur. Galuh Candrakirana tidak bisa tidur datanglah Guna Saronta dan

Bramakumara yang berusaha merayu agar Galuh bersedia menjadi prameswari.

Kehadiran dan permintaan Bramakumara tetap ditolak, bahkan jika raja Makassar

hendak memaksa, Galuh Candrakirana lebih baik memilih bunuh diri. Rasa takut yang

semakin mencekam menghinggapi Galuh Candrakirana, kemudian dalam benaknya

berharap segera Panji suaminya segera dapat menolongnya. Rupanya dewa meluluskan

permohonan sang dewi, ketika Bramakumara hendak memaksa Galuh, Panji yang

dengan ilmu siluman sejak awal tengah dekat dengan Galuh Istrinya segera bertindak

dan menghajar Bramakumara dan Guna Saronta yang akhirnya Panji menang. Bala

tentara dari Makassar yang dipimpin raja-raja bawahan segera menyerang Kediri, namun

dapat dikalahkan oleh bala tentara Panji.

1.b Cerita Panji dalam perbandingan (Poerbatjaraka,1968: 100-104) cerita Panji

dalam Serat Kanda dikisahkan sebagai berikut. Ketika Panji putra raja Jenggala hendak

dikawinkan dengan putri raja Daha (Kediri) yaitu Sekartaji terjadi penculikan di

tamansari Kediri. Sekartaji dicuri seorang Brahmana untuk dikawinkan dengan anaknya

bernama Klana. Brahmana dari negeri seberang yang merasa memiliki tanggungjawab

sebagai orang tua yang hendak meluluskan permintaan anaknya yaitu Kalana untuk

kawin dengan sang Dewi Sekartaji, iapun bergegas menuju Kediri. Keberangkatan

Brahmana secara sendirian untuk menculik sang puteri disadari bahwa ia mengetahui

pula bahwa Panji sebagai calon suami Sekartaji adalah seorang pahlawan yang tidak

dapat ditaklukkan karena penjelmaan dewa yang lebih sakti dari pada anaknya.
141

Pada malam tiba, Brahmana masuk tamansari Kediri dan menculiknya Sekartaji

yang segera dibawa pulang ke Talkanda yakni tempat kediamannya sendiri karena ia

terpesona kecantikan sang puteri, bukan untuk anaknya raja Kelana di Pulo Kencana.

Brahmana rupanya sangat bernafsu melihat Sekartaji, ia memaksa dan hendak

memperkosanya namun sang puteri tetap menolak dan akhirnya melarikan diri ke hutan.

Pengejaran Brahmana terhenti karena dihadang Panji, kemudian terjadi peperangan

sangat dahsyat yang masing-masing saling mengeluarkan kekuatan-kekuatan gaibnya.

Kepala Brahmana dapat dipenggal oleh Panji yang selanjutnya dikirimkan kepada raja

Kelana di Pulo Kencana yang disertai sepucuk surat tantangan perang, sedangkan Panji

bersama Sekartaji kembali ke kerajaan.

Sekembalinya sepasang kekasih putra-putri kerajaan tersebut, atas kehendak ke

dua orang tua mereka, Panji dan Sekartaji dikawinkan dengan pesta secara besar-

besaran. Setelah beberapa hari berlangsungnya pesta perkawinan, raja Kalana beserta

prajuritnya menyerang Jenggala. Peperangan berakhir kekalahan dipihak kerajaan Pulo

Kencana dan raja Kelana mati terbunuh oleh Panji. Sesudah mendapatkan kemenangan

raja Jenggala mengundurkan diri untuk menjadi seorang begawan dan mengangkat Panji

sebagai pengganti raja di Jenggala dengan nama Dewakusuma yang didampingi

Sekartaji sebagai prameswari serta para isteri selirnya.

1.c Cerita Panji dalam dongeng. Di tengah-tengah masyarakat Jawa, Andhe-

andhe Lumut merupakan salah satu dongeng yang sangat dikenal yang tidak lain adalah

menceriterakan tentang perjalanan hidup sepasang suami-istri yakni Panji Inukertapati

dengan Sekartaji atau sering desebut Galuh Candrakirana. Adapun ringkasan ceritanya

sebagai berikut. Di sebuah desa terdapat seorang janda mempunyai tujuh anak yang
142

masing-masing anak dengan nama panggilan depan Kleting dan nama berikutnya

mengambil sebutan jenis warna, seperti Kleting Abang, Kleting Ijo, dan sebagainya.

Anak yang paling bungsu rupanya sangat buruk bernama Kleting Kuning, yang tidak

lain adalah Candrakirana yang menyamar untuk mencari Panji suaminya. Perlakuan

ibunya terhadap Kleting Kuning sangat dibedakan dengan keenam Kleting saudaranya,

jika saudaranya banyak dimanja namun Kleting Kuning lebih banyak disuruh bekerja

keras dan sangat dibenci.

Ketika keenam saudaranya hendak mengadu cinta terhadap seorang pemuda

tampan Andhe-andhe Lumut putra seorang janda Dadapan, mereka diberi pakaian yang

bagus dan wangi-wangian agar salah satu darinya dapat memikat hati pemuda dimaksud

dan menjadi isterinya. Di tengah perjalanan menuju desa Dadapan para Kleting hendak

menyeberang sungai, namun tak seorangpun dapat dijumpai kemudian muncul

Yuyukakang yaitu makhuk berbadan manusia berkepala kepiting raksasa yang

merupakan penjilmaan dari Prabu Kelana dari negeri Sabrang yang telah lama jatuh

cinta dan hendak memperistri Galuh Candrakirana. Yuyukangkang bersedia

menyeberangkan dan meminta upah bukan uang atau benda lainnya, tetapi yang diminta

adalah ciuman. Permintaan Yuyukangkang disanggupi, selanjutnya satu-persatu Kleting

diseberangkan. Enam Kleting tidak satupun yang diterima menjadi kekasih Andhe-

andhe Lumut, mereka ditolak semua dengan alasan telah menjadi sisa dari

Yuyukangkang.

Kebencian ibunya terhadap Kleting Kuning tiba pada puncaknya, ketika ke enam

saudaranya berangkat ke desa Dadapan, ia disuruh untuk membersihkan periuk yang

sangat kotor agar menjadi seperti baru lagi ke sungai yang jauh dari rumahnya. Harapan
143

ibunya supaya Kleting Kuning tidak mengikuti kakak-kakaknya melamar Andhe-andhe

Lumut. Rupanya keteguhan dan kesabaran Kleting Kuning membawa hikmah, ia

bersemadi memohon pada dewa agar diberi kemudahan untuk membersihkan periuk

yang dibawanya. Atas kuasa dewa, Kleting Kuning dapat membersihkan periuk menjadi

mengkilap bahkan dapat bersinar dan diberi senjata Sada Lanang (seutas lidi) yang

sakti. Setelah pulang Kleting Kuning tinggal menjumpai ibunya yang memberitau

bahwa kakaknya semua berangkat melamar Andhe-andhe Lumut ke desa Dadapan.

Keberangkatan Kleting Kuning menyusul Kleting lainnya rupanya tidak

dikehendaki ibunya, maka sebelum berangkat ia hanya boleh memakai pakaian seadanya

dan mukanya dibedaki seperti badut serta diberi bau-bauan yang busuk supaya tidak

diterima Andhe-andhe Lumut. Di tepi penyeberangan Kleting Kuning hanya bertemu

Yuyukangkang dan minta tolong untuk diseberangkan seperti kakaknya yang lebih dulu

berangkat. Permintaan Kleting Kuning ditolak Yuyukangkang bahkan diusirnya untuk

segera kembali pulang. Kleting Kuning marah, senjata Sada Lanang dipukulkan ke

sungai yang seketika itu airnya menjadi kering dan Yuyukangkang jatuh tidak berdaya.

Yuyukangkang mohon Kleting Kuning supaya mengembalikan airnya segera dan

berjanji akan menyeberangkan, kemudian permintaan Yuyukangkang disanggupi dan ia

diseberangkan. Yuyukangkang menjelma menjadi Prabu Kelana, ia merasa gagal tidak

dapat bertemu Galuh Candrakirana kemudian memutuskan kembali pulang ke negeri

sabrang.

Sekembalinya dari Dadapan enam Kleting yang jengkel hatinya karena ditolak

cintanya, bertemu Kleting Kuning sambil mengungkapkan kekesalannya dengan

mengejek dan menghinanya dengan sindiran bahwa yang cantik-cantik saja tidak
144

diterima apalagi yang jelek seperti badut (badut ini rias muka Kleting Kuning akibat

perlakuan ibunya yang menghendaki supaya wajahnya menjadi jelek dan tidak diterima

Andhe-andhe Lumut). Kleting Kuning dengan hati sabar terus melangkah menuju

Dadapan. Saat bertemu janda Dadapan, Kleting Kuning mengungkapkan maksudnya

yakni untuk mengadu cinta kepada Andhe-andhe Lumut, namun ditolak si janda.

Mendengar pembicaraaan itu Andhe-andhe Lumut segera menemui Kleting Kuning dan

menyatakan menerimanya. Ibunya terkejut melihat anaknya yang tampan sudi menerima

kehadiran Kleting Kuning sebagai isterinya. Andhe-andhe Lumut segera membawa

Kleting Kuning masuk kamar dan menjelma menjadi Panji Inukertapati dan Sekartaji.

Mereka sangat bahagia dan segera kembali ke istana dan disambut meriah oleh

bangsawan dan seluruh rakyatnya.

Berdasarkan tiga versi cerita Panji dapat dirangkum secara padat dan singkat

bahwa liku-liku perjalanan cinta Dewi Sekartaji dengan Panji Inukertapati merupakan

gambaran percintaan yang sangat menarik dan bermakna dalam hubungannya dengan

membangun kehidupan berkeluarga. Suka duka yang dialami masing-masing tokoh

cukup berat, namun permasalahan-permasalahan yang dihadapi dapat diselesaikan

dengan baik yang akhirnya mereka dapat berhasil menikmati hidup bahagia dalam

sebuah keluarga. Rupanya kisah tersebut menjadi sebuah inspirasi yang berarti bagi

pasangan manusia yang menginginkan percintaan yang ideal, romantis, dan bahagia.

Tema percintaan Panji Inukertapati dengan Dewi Sekartaji merupakan tema inti yang

diangkat dari ketiga versi cerita Panji tersebut. Adapun bentuk garapnya hanya

menyajikan dua peran utama yakni tokoh Panji Inukertapati dengan Dewi Sekartaji.
145

Adapun tema percintaan dari cerita Panji tersebut secara garis besar dibagi

menjadi tiga adegan yaitu: adegan pencarian, adegan pertemuan, dan adegan bahagia. a).

Adegan pencarian mengisahkan liku-liku perjalanan Dewi Sekartaji sebagai seorang

putri raja yang pergi meninggalkan kerajaan untuk berupaya mencari Panji Inukertapati

suaminya, yang telah meninggalkan kerajaan. Adapun untuk menyajikan adegan

pencarian tersebut diungkapkan lewat suasana sedih yang implementasinya menjadi

beberapa rasa: sedih, berdoa, pasrah, tegang, dan kacau. b) Adegan pertemuan,

mengisahkan pertemuan antara tokoh Dewi Sekartaji dengan tokoh Panji Inukertapati

sebagai sepasang suami istri yang telah lama tidak bertemu, sehingga suasana rindu yang

teraktualisasi dalam beberapa rasa: marah (jengkel),merayu, malu, mesra merupakan

esensi yang hendak diekspresikan dalam adegan dimaksud. c) Adegan Bahagia,

mengisahkan tentang suasana kebahagiaan yang tengah dinikmati oleh Dewi Sekartaji

dengan Panji Inukertapati sebagai sebuah keluarga. Suasana kebahagiaan ini

diungkapkan dalam bentuk komplementer dari rasa gembira, mesra, kebersamaan, dan

harapan yang menjadi komitmen bersama dengan keinginan untuk berbuat kebajikan,

setia, menjaga keutuhan dan ketentraman keluarga, serta selalu mohon barokah kepada

Yang Kuasa. Keinginan-keinginan dari masing-masing tokoh tersebut dapat dicermati

pada bahasa verbal yang tersurat dan tersirat pada cakepan gerongan Lambangsari yang

merupakan cita-cita yang ideal untuk mewujudkan sebuah keluarga yang bahagia.

2. Kinetic body moves atau Gerak tubuh merupakan medium utama dalam

pertunjukan tari, karena tanpa kehadirannya tidak akan tersaji sebuah karya tari. Dalam

tari Karonsih yang merupakan seni tradisi (seni yang bersumber dari istana) terdapat

beragam jenis vokabuler gerak dengan karakternya masing-masing. Merujuk pada


146

beragam rasa yang dikehendaki meningkat pada suasana-suasana yang terdapat dalam

adegan pada tari Karonsih tersebut, serta pertimbangan peristiwa dan tema yang

diangkat kemudian dipilih pola-pola sekaran atau vokabuler gerak yang sesuai. Adapun

bentuk-bentuk vokabuler yang terdapat pada masing-masing adegan secara garis besar,

pola-pola sekarannya bersifat presentatif dan representatif.

Adegan pencarian merupakan adegan pertama yang mengawali dari seluruh

rangkaian seluruh adegan secara utuh. Peristiwa yang terjadi untuk adegan pencarian

digambarkan Dewi Sekartaji keluar dari pojok belakang kanan stage menuju tengah

dengan gerak: srisik, kengser, badan putar menghadap belakang srisik mundur

kemudian putar menghadap depan, lumaksono, badan nglayang (memutar) ke kiri, kaki

njujut, badan ngglebak ke kanan hadap ke depan, ridhong sampur kiri, usap kiri – usap

kanan dengan iringan pathetan. Di tengah-tengah pencarian Panji, suasana berdoa, sedih,

dan pasrah yang menyelimuti Sekartaji diekspresikan lewat gerak Laras Sampir sampur

kanan, Sekar suwun, tawing kiri ingsetan,dan Lembehan separo dengan iringan

ketawang Ngrenas. Sedangkan suasana ketegangan, kekacauan, yang berubah menjadi

tenang setelah Sekartaji dapat bertemu Panji, diungkapkan lewat gerak: kengseran, srisik

yang dilakukan secara berulang ke pojok kanan depan, kembali ke pojok kiri belakang,

kemudian srisik ke pojok belakang kanan dan dilanjutkan srisik menuju ke center stage,

badan berputar turun menjadi jengkeng dengan iringan Gangsaran nada 2 slendro yang

berubah menjadi gangsaran nada 1 pelog. Bentuk gerak pada adegan I pencarian secara

garis besar dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis gerak, yaitu presentatif dan

representatif. Adapun pembagiannya dapat dicermati pada paparan berikut ini.


147

Adegan Nama Jenis Gerak


Tokoh Keterangan
No I. Dewi Representatif
Pencarian. Sekartaji
1 Srisik Distilisasi gerak orang lari.
(tangan nekuk), Pindah tempat dengan cara lari
tangan trap cetik kecil yang posisi kedua tangan
yang kiri nyempurit ditekuk di depan setinggi
dan kanannya pingggang
nyekithing
2 Srisik Distilisasi gerak orang lari. Posisi
(tangan nekuk), kedua tangan ditekuk di depan
Kedua tangan trap pinggang dengan membawa
cetik miwir sampur sampur (selendang)
3 Srisik Distilisasi gerak orang lari. Posisi
(tangan nekuk), kedua tangan ditekuk di depan
Kedua tangan trap pinggang dengan jari-jari
cetik nyempurit membuka, kecuali jari jempol
ditekuk.
4 Srisik Distilisasi gerak orang lari
(tangan nekuk) dengan cara mundur. Tangan kiri
dengan mundur, ditekuk di depan pinggang,
tangan kiri trap sedangkan tangan kanan ditekuk
cetik, tangan kanan di depan mulut dan keduanya
trap wadana miwir membawa sampur.
sampur
5 Srisik kipat sampur, Distilisasi gerak orang lari. Posisi
kedua tangan kedua tangan lurus membuka ke
menthang sampur samping dengan membawa
148

sampur.

6 Srisik kipat Distilisasi gerak orang lari. Posisi


sampur, tangan kiri lurus ke samping
tangan kiri sejajar pinggang, tangan kanan
menthang dan ditekuk di depan telinga kiri dan
tangan kanan trap keduanya membawa sampur.
karna miwir sampur
7 Srisik kipat sampur, Distilisasi gerak orang lari. Posisi
Tangan kiri tangan kiri lurus ke samping
menthang dan sejajar pinggang, tangan kanan
tangan kanan trap ditekuk di depan pinggang
cetik miwir sampur bagian kanan dan keduanya
membawa sampur.
8 Lumaksono, Distilisasi gerak orang sedang
menthang sampur jalan. Posisi tangan kanan lurus
ke samping sejajar pinggang,
tangan kiri ditekuk di depan
pinggang bagian kiri dan
keduanya membawa sampur.
9 Enjer Distilisasi gerak orang jalan ke
samping.

10 tawing kiri Distilisasi gerak orang melihat ke


samping kiri.
149

Adegan Nama Jenis Gerak


Tokoh Ekspresi Keterangan
No I Dewi Presentatif
Pencarian. Sekartaji
1 Kengser kesan menjauh, Pindah tempat
merupakan gerak dengan cara
penghubung menggeser kedua
kakinya, namun tetap
menempel pada
lantai.
2 Nglayang kesan berat Kaki merendah,
badan miring lalu
digerakkan maju
melengkung.
3 Njujut kesan berliku- Hadap badan yang
glebakan liku bergantian dan
diikuti kedua kaki
naik-turun serta
tangan naik-turun
secara bergantian
4 Ridhong kesan sedih Sampur melilit pada
ulap sampur tangan kiri yang
ditekuk, tangan
kanan membawa
sampur sambil
mengusap leher ke
kanan

5 Sampir kesan sedih Sampur dililitkan


150

sampur laras pada pundak, tangan


kiri trap cetik, tangan
kanan mengayun ke
atas dan ke bawah.
6 Sekar suwun kesan sedih Tangan kiri trap
dahi, tangan kanan
lurus lalu di tekuk
dilakukan berulang
dan dibarengi
bergesernya kedua
kaki (ingsetan).
7 sindhet gerak Kaki kiri di tekuk
penghubung dibelakang kaki
kanan lurus,
dibarengi tangan kiri
ditekuk, tangan
kanan seblak sampur.
8 Kembang kesan berliku-
pepe, liku
kengser
leyekan,
putar badan
bersama
kedua tangan
diputar
151

Adegan pertemuan merupakan adegan kedua yang menggambarkan pertemuan

Dewi Sekartaji dengan Panji Inukertapati. Pertemuan sepasang suami istri yang telah

lama tidak berjumpa bahkan harus dilalui dengan liku-liku, tidak ditanggapi Sekartaji

dengan hati gembira. Pertemuan tersebut disambut Sekartaji dengan rasa marah, segera

Panji mencoba untuk merayunya lalu suasana mereda muncul rasa malu yang segera

berubah menjadi mesra. Dukungan untuk mengungkapkan suasana tersebut dengan

iringan ketawang Kinanthi Sandhung dengan menggunakan garap gerongan dua

cakepan (bait). Adapun adegan pertemuan Sekartaji dengan Panji Inukertapati

digambarkan seperti berikut. Setelah merasa tidak dapat menemukan Panji, Sekartaji

tampak putus harapan, yang digambarkan jengkeng (duduk) diikuti kedua tangan

memegang sampur sambil menutup raut muka pada posisi centre stage. Datang Panji

dari belakang, ulap-ulap tangan kiri – kanan, besut, laras genjot, dan kengser ke kanan.

Suasana marah diekspresikan Sekartaji dengan berdiri enjer, ketika Panji

jengkeng nyathok (njawil) bahu. Panji segera memburu Sekartaji dengan gerak berdiri

srisik, nyabet ukel karna kanan, maju lumaksono, srisik, tangan kanan nyaut, tanjak

tawing kanan. Untuk meredakan kemarahan Sekartaji, Panji mencoba merayunya

kembali dengan lumaksono kebyokan sampur, maju, tangan kanan nyaut dengan kebyok

kemudian mundur, panggel, tanjak kanan, ngancap, tangan pondhongan kemudian

nyaut jeblos (tukar tempat) lalu Sekartaji memberikan sampur dan segera diterima Panji.

Suasana kemesraan Sekartaji dan Panji semakin terasa yang diungkapkan lewat gerak

tangkep asta, Sekartaji merasa malu kemudian melepas kedua tangan dan srisik yang

segera dikejar Panji dengan srisik nyandhet tangkep asta ngaras (berciuman).
152

Perasaan malu juga ditampakkan oleh kedua tokoh tersebut setelah berciuman

lepas kedua tangan, laku enjer saling menjauh, tangan kiri menthang, tangan kanan

tawing. Asmara yang dibangun Sekartaji dan Panji Inukertapati mulai menyatu, hal ini

diekspresikan dengan bentuk-bentuk gerak selalu bergandengan tangan, seperti: kanthen

tangan kanan, kengser ke kanan-kiri, maju, adu tangan kiri nekuk, srisik melingkar,

kanthen tangan kanan. Adapun jenis-jenis gerak presentatif maupun representatif yang

terdapat pada adegan dua: pertemuan, dapat diklasifikasikan secara garis besar, sebagai

berikut.
153

Adegan Nama Jenis Gerak Nama Tokoh Jenis Gerak


Tokoh
II. Keterangan Keterangan
Pertemuan
No Dewi Representatif Panji Representatif
Sekartaji Inukertapati
1 Jengkeng, raut Distilisasi orang Srisik kebyok Distilisasi gerak lari, kedua
muka ditutup menangis sampur tangan membawa sampur,
sampur tangan kiri ditekuk depan
pinggang kiri, tangan kanan
ditekuk di depan telinga kiri
2 enjer Distilisasi gerak Ulap-ulap tawing Distilisasi dari orang
orang jalan ke kiri melihat ke kiri
samping.
3 tawing kiri Distilisasi dari orang Ulap-ulap tawing Distilisasi dari orang
melihat kanan melihat ke kanan
4 Endhan Distilisasi gerak Jengkeng, tangan Distilisasi dari gerak
menghindar nyathok bahu mencubit
5 Kapyukan- Distilisasi gerak lumaksono Distilisasi dari gerak
kengser memberi sampur lalu berjalan
154

untuk tarik menarik


6 Srisik Distilisasi gerak lari Srisik Distilisasi gerak lari
menthang,
Tangan kiri
menthang dan
tangan kanan
trap karna
7 Ngaras Distilisasi gerak sautan Distilisasi gerak
berciuman Orang menubruk
8 Kanthen Distilisasi gerak Lumaksono Distilisasi dari gerak
tangan kanan orang bergandengan kebyokan sampur berjalan
kengser tangan kanan, lalu
tarik menarik
9 Kanthen Distilisasi gerak pondhongan Distilisasi dari gerak
tangan kiri, orang bergandengan memondong
srisik tangan kiri sambil lari
10 Kanthen Distilisasi gerak srisik, kedua Distilisasi gerak lari
tangan kanan, orang bergandengan tangan ditekuk
srisik tangan kanan sambil
lari
155

11 Sautan jeblos Distilisasi gerak


Orang menubruk

Adegan Nama Jenis Gerak Nama Tokoh Jenis Gerak


Tokoh
II. Keterangan Keterangan
No Pertemuan Dewi Presentatif Panji Presentatif
Sekartaji Inukertapati
1 Jengkeng, kesan pasrah dan besut Gerak penghubung
kebyokan tenang
laras
2 Nyabet ukel kesan hati-hati genjotan kesan tenang
karno
3 Sindhet gerak penghubung nyabet kesan hati-hati

4 Sekaran golek kesan tenang ngancap kesan mencari


iwak
156

Adegan III merupakan gambaran suasana bahagia yang tengah menyelimuti hati sepasang suami-istri yaitu Panji Inukertapati dan

Dewi Sekartaji. Vokabuler gerak yang dipilih untuk mengungkapkan suasana bahagia yang tercermin dalam rasa gembira, kemesraan,

kebersamaan, dan keharmonisan antara Panji Inukertapati dan Sekartaji, adalah sekaran-sekaran kebar yang mempunyai rasa riang, segar,

dan gembira. Adapun jalannya sajian gerak secara berurutan, setelah Panji Inukertapati dan Sekartaji srisik kanthen tangan kanan menuju

stage depan kemudian tangan lepas mundur ke stage centre, yang secara bersama-sama melakukan gerak:

Nama Jenis Gerak Nama Tokoh Jenis Gerak


Tokoh
Keterangan Keterangan
No III. Dewi Representatif Panji Representatif
Bahagia Sekartaji Inukertapati
1 a.Trap jamang, Distilisasi dari a. Trap jamang, Distilisasi dari orang
tangan kanan orang melihat ke kedua tangan melihat ke depan
depan
2 b. Trap jamang, Distilisasi dari b. ulap-ulap kiri Distilisasi dari orang
kedua tangan orang melihat ke melihat ke kiri
depan
3 c. luluran Distilisasi dari c. lilingan, sampur Distilisasi dari orang
157

orang membersihkan melihat


kulit dengan lulur

4 d. ngore rikma Distilisasi dari d. laku telu Distilisasi dari orang


orang menata berjalan
rambut

5 e. lilingan, Distilisasi dari e. lilingan, ukel Distilisasi dari orang


kebyokan sampur orang melihat karno bokor melihat dengan membawa
sinangga bokor di atas bahu

6 f.lilingan, rimong Distilisasi dari f. lilingan, pacak Distilisasi dari orang


sampur orang melihat gulu ingsetan melihat

7 g. srisik kanthen Distilisasi gerak g. srisik kanthen Distilisasi gerak orang lari
tangan kanan orang lari tangan kanan bergandengan tangan
bergandengan kanan
tangan kanan
8 h. trap jamang, Distilisasi dari h. trap jamang, Distilisasi dari orang
kedua tangan orang melihat ke kedua tangan melihat ke depan
depan
158

9 i. laku telu Distilisasi dari i. laku telu Distilisasi dari gerak


orang berjalan pondhongan orang berjalan dengan
memondong
10 j. kanthen tangan Distilisasi gerak j. kanthen tangan Distilisasi gerak orang
kanan, ingsetan orang bergandengan kanan bergandengan tangan
tangan kanan sambil kanan sambil tarik menarik
tarik menarik
11 k. kanthen tangan Distilisasi gerak k. kanthen tangan Distilisasi gerak orang
kiri, enjeran orang jalan ke kiri, enjeran jalan ke samping sambil
samping sambil bergandengan tangan kiri
bergandengan
tangan kiri
12 l. jengkeng ngilo Distilisasi gerak l. ngalisi Distilisasi gerak orang
asta orang duduk sambil merias cara membuat alis
berkaca
13 m. alisan Distilisasi gerak lilingan Distilisasi dari orang
orang sedang alisan melihat

14 n. lumaksono Distilisasi dari n. lumaksono Distilisasi dari gerak


encot kanthen gerak orang jalan encot kanthen orang jalan bergandengan
159

tangan kanan bergandengan tangan kanan tangan sambil berbicara


tangan sambil
berbicara
15 o. srisik kanthen Distilisasi gerak o. srisik kanthen Distilisasi gerak orang lari
tangan kanan orang lari tangan kanan bergandengan tangan
bergandengan kanan
tangan kanan
16 p. lumaksono Distilisasi dari p. lumaksono Distilisasi dari gerak
lembehan gerak orang berjalan lembehan sampur orang berjalan
sampur kanan
kanan
17 q. pangkon ulap- Distilisasi dari q. pangkon ulap- Distilisasi dari gerak
ulap tangan kiri gerak orang duduk ulap tangan kanan orang yang diduduki
di atas lutut, sambil lututnya, sambil melihat
melihat
18 r. srisik kanthen Distilisasi gerak r. srisik kanthen Distilisasi gerak orang lari
tangan kanan orang lari tangan kanan bergandengan tangan
bergandengan kanan
tangan kanan
160

19 s. bersalaman s. bersalaman
dengan temanten dengan temanten
20 t. bersalaman t. bersalaman
dengan kedua dengan kedua
orang tua orang tua temanten
temanten dan photo bersama
dan photo temanten
bersama
temanten
21 u. srisik kanthen Distilisasi gerak u. srisik kanthen Distilisasi gerak orang lari
tangan kanan, orang lari tangan kanan, bergandengan tangan
masuk (selesai). bergandengan masuk (selesai). kanan
tangan kanan

Adegan Tokoh Jenis Gerak Tokoh Jenis Gerak


Keterangan Keterangan
No III. Dewi Presentatif Panji Presentatif
Bahagia Sekartaji Inukertapati
1 kebyokan sampur Kesan berputar – kebyokan sampur Kesan berputar – putar
ngenceng kanan putar sambil dengan putar sambil bercanda
dengan putar bercanda
161

Dari paparan jenis-jenis gerak representatif dan presentatif yang terdapat pada tari
Karonsih, dapat dicermati secara kuantitatif.
a. Jenis gerak Representatif.
No Adegan Nama tokoh Jenis Gerak Jumlah
vokabuler
1 I. Pencarian Dewi Sekartaji
Representatif 10
2 II. Pertemuan Dewi Sekartaji
Representatif 10
Panji Inukertapati Representatif 11
3 III. Bahagia Dewi Sekartaji 21
Representatif
Panji Inukertapati Representatif 21
4 Jumlah total 73

b. Jenis gerak Presentatif.


No Adegan Nama tokoh Jenis Gerak Jumlah
vokabuler
1 I. Pencarian Dewi Sekartaji
Presentatif 8
2 II. Pertemuan Dewi Sekartaji
Presentatif 4
Panji Inukertapati Presentatif 4
3 III. Bahagia Dewi Sekartaji 1
Presentatif
Panji Inukertapati Presentatif 1
4 Jumlah total 18
162

Jumlah persentase jenis-jenis gerak representatif dan presentatif tari Karonsih.

Tari Karonsih.
No Adegan Jenis gerak jumlah
1 I, II, dan III representatif 73
2 I, II, dan III presentatif 18
3 Jumlah total gerak representatif dan presentatif = 73 + 18 91
4 Jumlah persentase gerak representatif = 73 : 91 X 100. 80,20 %,
5 Jumlah persentase gerak presentatif = 18 : 91 X 100. 19,80 %

3. Polatan (ekspresi wajah). Beberapa orang telah banyak mencoba

membuktikan bahwa penampilan wajah dapat menjadi indikator yang cukup

meyakinkan mengenai berbagai sifat manusia, seperti kecerdasan, kriminalitas,

stabilitas emosional, bahkan taraf kegilaan, namun itu semua rupanya tidak valid. Wajah

sebagai alat untuk memprediksikan sifat-sifat manusia kurang memadai. Ekspresi wajah

atau gerak wajah bukannya wajah dalam pengertian objek yang statis, merupakan sarana

untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik terhadap sesuatu yang sedang

dikomunikasikan. Orang sedih dapat ditunjukkan tanpa ekspresi senyum, bibir tertutup

rapat, wajah mengerut, dan menunduk.

Kesedihan yang mendalam dapat dicirikan meneteskan air mata, bibir bergetar,

biasanya berusaha untuk menutup wajah. Berbeda dengan orang marah yang pada

umumnya dapat dicirikan lewat tatapan mata yang kuat, beberapa kulit wajah berwarna

kemerahan, mengerutkan dahi, dan gertakan gigi secara bersama-sama. Sekarang dapat

disarikan bahwa ekspresi wajah mampu memberikan kontribusi yang sangat berperan

terutama untuk mengekspresikan perasaan. Selain itu ekspresi wajah dapat difungsikan
163

untuk membantu memperkuat pengaruh terhadap pesan verbal. Semakin jelas bahwa

ekspresi wajah merupakan sarana yang cukup vital dalam berkomunikasi nonverbal.

Dalam seni pertunjukan khususnya pada bidang tari ekspresi wajah merupakan

sarana yang cukup berperan, baik sebagai ekspresi perasaan secara mandiri maupun

membantu memperkuat pesan bahasa verbal, demi tercapainya sebuah ekspresi dari

masing-masing peran. Perubahan-perubahan ekspresi wajah dalam tari pasihan, banyak

membantu memperkuat pesan bahasa verbal. Berikut merupakan gambaran ekspresi

wajah yang dapat dicermati pada tari pasihan lewat Polatan Sekartaji maupun Panji

Inukertapati yang akan tercermin pada suasana-suasana adegan yang menggambarkan

peristiwa yang tengah terjadi. Pada adegan pencarian, ketika kesedian menyelimuti

Sekartaji, polatan lebih banyak menunduk. Perubahan ekspresi mulai tampak ketika

wajah Sekartaji tampak tegang, kepala tegak dan pandangan mata lebih tajam disertai

gerak kepala lebih tegas, hal ini mengekspresikan ketegangan Sekartaji yang dapat

dicermati pada peralihan adegan pencarian ke adegan pertemuan. Sikap marah yang

ditampilkan Sekartaji ketika bertemu awal dengan Panji, ekspresi wajahnya lebih banyak

menunduk dan memalingkan kepala setiap dicoba untuk didekati Panji. Polatan Panji

lebih terfokus pada Sekartaji, ketenangan ekspresi wajah lebih ditampilkan dalam rangka

memperlihatkan sikap sabar untuk mendapatkan perhatian Sekartaji.

Ekspresi wajah Sekartaji maupun Panji Inukertapati tampak gembira, cerah

terutama ditampilkan pada adegan bahagia, keduanya banyak saling berhadapan wajah,

saling melempar senyum sebagai tanda cinta, mesra, damai dan bahagia. Puncak

kemesraan pada adegan bahagia ini terekspresikan pada saat Sekartaji duduk dipangkuan
164

Panji Inukertapati, mereka saling memandang dengan ekspresi wajah ceria, senyum, dan

mesra.

Bentuk-bentuk ekspresi wajah dalam tari pasihan yang karakternya tenang

(luruh) seperti diekspresikan Sekartaji maupun Panji Inukertapati tampak tidak

menyolok. Aspek yang mempengaruhi hal tersebut adalah karakter tenang (luruh) lebih

banyak dibingkai oleh dominasi gerak-gerak yang berirama pelan, sehingga seluruh

gerak tubuh secara psikologis menjadi pelan. Begitu pula gerak-gerik wajah terpengaruh

menjadi pelan, perubahan ekspresi wajah menjadi tampak lebih halus hampir tidak

kelihatan. Berbeda dengan ekspresi wajah peran-peran tokoh antagonis atau lanyap atau

gagah agal seperti Rahwana, Baladewa, Srikandi, Mustakaweni, yang berkarakter

jalang, lincah, emosional, dan tegas. Beberapa tokoh tersebut memiliki perubahan

ekspresi wajah yang mencolok dan tampak jelas, baik dari suasana marah menjadi sedih

atau sebaliknya. Kebebasan untuk bergerak lebih cepat, lincah, dan tegas sangat

mempengaruhi gerak-gerik wajah untuk harmonisasi gerak seluruh tubuh untuk

mencapai kualitas sebuah karakter yang tepat dan mantap.

4. Bentuk rias dan dandanan busana dalam tari Karonsih mengacu pada rias

peran pada wayang orang, konsep yang mendasari bahwa budaya wayang orang telah

lebih dikenal masyarakat di wilayah Surakarta, sehingga akses untuk diterimanya dan

sebaran apresiasinya tidak mengalami kendala. Hal itu sangat mendorong perkembangan

tari Karonsih akan lebih cepat meluas dan memasyarakat. Terutama untuk busana, selain

bentuk dandanan yang serupa dengan wayang orang, juga terdapat persamaan pada

bahan, pernik-pernik asesoris, corak jarit (kain), corak sabuk serta jenis–jenis tatahan

pada jamang irah-irahan (mahkota kepala). Warna busana lebih dominasi warna hijau,
165

coklat dan warna kuning emas. Warna hijau dengan maksud warna tersebut memiliki

simbolik tumbuh lebih hidup dan menjadi subur. Adapun warna kuning emas memiliki

kesan keagungan dan kejayaan, sesuai dengan tokoh-tokoh sebagai pelakunya yang

merupakan darah bangsawan Sekartaji dari kerajaan Jenggala dan Panji Inukertapati

putra raja Kediri. Selain itu warna kuning emas juga menyuguhkan kesan glamor

sehingga pertunjukan menjadi menarik dan mampu memikat masyarakat penonton.

Sedangkan jarit lereng tanggung merupakan upaya mendudukan status sosial dari Panji

Inukertapati dan Sekartaji sebagai putra raja. Mahkota kepala yang berupa tekes panjen

merupakan identitas dari bangsawan panji yang bersumber pada ceritera Babad.

5. Pola lantai yang dibentuk dari perpindahan penari maupun jarak antarpenari

merupakan salah satu unsur pendukung keberhasilan sebuah pertunjukan. Secara prinsip

pola lantai yang terdapat dalam tari Karonsih, mencakup dua bentuk utama, yaitu garis

lurus dan garis lengkung. Garis-garis lurus lebih banyak digunakan untuk

mengungkapkan keinginan, kemauan yang kuat dan tegas, seperti aktualisasi adegan

Sekartaji mencari Panji Inukertapati (lihat gambar: 1). Fase-fase ketegangan, kekacauan

Sekartaji ketika belum dapat bertemu Panji, dominasi garis-garis lurus sangat kuat untuk

menghantarkan pencapaian suasana tegang (lihat gambar: 2).

Gambar: 1. Gambar: 2.
166

Garis-garis lengkung lebih difungsikan untuk mengungkapkan kesan manis,

lembut, yang dalam tari ini dimaknai sebagai sarana ekspresi tentang sesuatu yang

menurut bentuk dan sifatnya menunjukkan hal-hal yang manis dan lembut. Beberapa

bentuk garis lengkung tersebut seperti difungsikan pada adegan pertemuan berikut ini:

ketika Panji berupaya merayu terhadap Sekartaji, awal kemesraan kedua figur peran

setelah Sekartaji luluh hatinya. Untuk adegan kebahagiaan rupanya lebih didominasi

garis-garis lengkung yang berbentuk melingkar yang masing-masing tokoh pada posisi

saling berhadap-hadapan, berjajar, dan berdekatan yang kesemuanya itu dapat dicermati

pada hampir seluruh sajian sekaran kebaran. Maksud yang mendasari dari kesan garis

lengkung tersebut adalah kesan lembut, manis dalam mendukung ekspresi gerak yang

disajikan pada adegan bahagia terungkap kesan kegembiraan, kemesraan, kebersamaan,

keharmonisan sepasang peran yang ditampilkan menjadi ekspresif dan mantap.

gambar: 1 gambar: 2

<<<<

Gambar 1: pola lantai untuk sekaran srisik kanthen tangan pada awal kebar adegan 3.

Gambar 2: pola lantai untuk sekaran trap jamang dan ulap-ulap kiri pada adegan 3.
167

Gambar: 3 gambar: 4

Gambar 3: pola lantai sekaran lilingan kebyokan dan lilingan rimong pada adegan 3.

Gambar 4: pola lantai untuk sekaran srisik kanthen tangan pada akhir kebar adegan 3.

6. Iringan tari yang lazim juga disebut karawitan tari adalah gendhing-gendhing

karawitan yang diaransir sedemikian rupa sehingga rasa musikal yang terbentuk dapat

memenuhi kebutuhan ekspresi tari. Artinya bahwa rasa dalam tari akan didukung rasa

yang ditimbulkan dari alunan gendhing yang secara komplemen menyatu membentuk

suasana-suasana untuk mengekspresikan sebuah nilai tertentu dalam kehidupan.

Karawitan tari yang berupa repertoar gendhing-gendhing merupakan salah satu unsur

yang mampu memberikan kontribusi sangat penting demi terselenggaranya sebuah

pertunjukan tari. Pemilihan gendhing-gendhing dari sekian repertoar gendhing yang

terdapat pada khasanah karawitan, didasarkan atas pertimbangan rasa musikal terkait

dengan kecocokan suasana yang telah ditetapkan dalam tari Karonsih.

Karawitan tari yang berfungsi sebagai pendukung sajian tari Karonsih secara

menyeluruh telah mengalami penggarapan yang cukup selektif. Kejelian seorang

penyusun tari tampak bahwa selain rasa musikal yang harus komplementer secara padu

dengan rasa yang diungkapkan dalam tari, juga secara parsial pada masing-masing garap
168

gendhing terdapat teks verbal yang berupa cakepan yang berfungsi untuk menjelaskan

secara singkat dan padat tentang peristiwa yang tengah terjadi pada masing-masing

adegan sehingga akan dapat tergambar secara menyeluruh tentang rasa, suasana,

peristiwa, tema, dan makna tarinya.

Teks sastra tembang yang merupakan bahasa verbal tari Karonsih, terdiri dari

beberapa garap lagu, yakni: (1) garap pathetan (2) garap sindhenan dan (3) garap

gerongan. Teks verbal Garap pathetan terdiri dari satu bait yang terdapat pada iringan

pembukaan untuk adegan pertama yaitu Pathetan Wantah Lr. pl.pt. 5. Garap pathetan

terkait dengan teks verbal ini adalah garap lagu tembang jawa yang dinyanyikan secara

solo ataupun bersama dan dikomplemen dengan ricikan instrumen gamelan: rebab,

gender, suling, dan gambang. Pada awalnya garap Pathetan dalam tari dinyanyikan

secara bersama oleh vokalis pria, contohnya bentuk-bentuk Pathetan dalam tari

Bedhaya dan Srimpi yang menampilkan rasa agung, berwibawa, dan gagah. Berbeda

yang terjadi di dunia pewayangan, garap Pathetan dinyanyikan secara solo oleh

seorang dalang (wawancara Rusdiantara, 2008). Fungsi garap Pathetan pada tari

Karonsih ini sifatnya memberikan ilustrasi rasa musikal tertentu terkait dengan suasana

adegannya. Rasa semangat, sedih yang diekspresikan garap Pathetan Wantah Lr. pl.pt.

5, mengiringi adegan pencarian yang dilakukan Sekartaji terhadap Panji Inukertapati

suaminya.

Garap sindhenan teks verbal dalam tari Karonsih terdiri dari satu bait terdapat

dalam gendhing Ketawang Pangkur Ngrenas Lr. pl.pt. 5 dan dua bait terdapat dalam

gendhing Ketawang Kinanthi Sandhung Lr. sl. pt. manyura. Sindhenan adalah vokal

putri yang menyertai karawitan (Matopangrawit, 1967: 1). Garap sindhenan teks verbal
169

adalah garap lagu tembang jawa dinyanyikan secara solo, biasanya oleh seorang

pesindhen atau vokalis wanita, yang pengambilan suaranya menyela diantara sabetan

balungan (irama ketukan nada) dan berakhir setelah sabetan balungan. Jika terdapat

lagu gerongan pada gendhing tersebut garap sindhenan mengikuti setelah lagu

gerongan (nggandul) namun berakhir bersama. Fungsi garap sindhenan lebih diarahkan

untuk mengekspresikan kesan feminin yang memiliki sifat halus, lembut, dan manis.

Garap gerongan merupakan garap lagu tembang jawa dinyanyikan secara

bersama – sama ( koor), yang pengambilan suara pertama dimulai tepat dengan sabetan

balungan dan berakhir tepat dengan sabetan balungan. Menurut Martopangrawit

gerong adalah vokal bersama (koor) suara pria yang iramanya sama dengan

karawitannya (1967: 3). Dalam perkembangannya jenis garap gerongan dapat

dinyanyikan oleh vokalis kelompok putra atau vokalis kelompok putri atau campuran

vokalis kelompok putra dengan vokalis kelompok putri. Iringan gendhing yang

menggunakan garap gerongan pada tari ini terdapat dalam gendhing Lambangsari lr.sl.

pt manyura yang mencakup dua bait. Fungsi garap gerongan lebih difokuskan untuk

mengekspresikan kesan maskulin yang mempunyai sifat kuat, gagah, dan sigrak.

Secara garis besar gendhing-gendhing dalam tari Karonsih menggunakan dua

laras yaitu pelog dan slendro. Gendhing-gendhing yang berlaras pelog yang relatif

memiliki nada-nada tinggi (tenor) rupanya kuat dan mantap untuk garap musikal yang

mengungkapkan rasa sedih. Hal ini dapat dicermati pada adegan pertama yang

mempresentasikan kesedian perjalanan Sekartaji dalam upaya mencari suaminya yang

menggunakan garap pathetan laras pelog pathet lima dan Ketawang Pangkur Ngrenas

Lr. pl.pt. 5. Perubahan ke laras slendro yang secara musikal memiliki nada- nada lebih
170

rendah (bass) diharapkan perubahan suasana menjadi lebih terasa mencair dan terbuka.

Adapun perubahan ke laras slendro itu diawali dari Ketawang Kinanthi Sandhung Lr. sl.

pt. manyura pada adegan kedua hingga iringan adegan tiga yang meliputi: gendhing

Lambangsari lr.sl. pt manyura dan ladrang Sigramangsah lr.sl. pt manyura. Bentuk

susunan iringan tari Karonsih seluruhnya dan secara urut dari adegan satu sampai

adegan tiga (adegan akhir) dapat dicermati berikut ini.

Adegan : I. Pencarian.

Adegan pencarian sebagai adegan pertama dalam tari Karonsih, didukung

beberapa iringan gendhing, antara lain: pathetan laras pelog pathet lima, Ketawang

Pangkur Ngrenas Lr. pl.pt. 5, gangsaran 1 pelog, dan gangsaran 2 slendro. Kedudukan

iringan pathetan laras pelog pathet lima pada adegan ini bersifat nglambari artinya rasa

musikal yang dihasilkan dari garap pathetan laras pelog pathet lima berfungsi untuk

memberikan ilustrasi terhadap suasana sedih yang dialami Dewi Sekartaji. Gendhing

Ketawang Pangkur Ngrenas Lr. pl.pt. 5 yang merupakan iringan kedua setelah pathetan

laras pelog pathet lima, kedudukannya dalam adegan pencarian ini bersifat nyawiji.

Pengertian nyawiji di sini garap gendhing Ketawang Pangkur Ngrenas implementasinya

dengan garap gerak adalah menyatu. Keterpaduan yang dimaksudkan adalah

menyatunya rasa musikal gendhing Ketawang Pangkur Ngrenas dengan ekspresi

vokabuler gerak yang secara komplemen mengungkapkan suasana sedih yang dialami

Sekartaji yang terjabar dalam beberapa rasa: sedih, doa, dan pasrah. Bentuk

menyatunya iringan dengan gerak, dapat dicermati secara komprehensip dari beberapa

elemen, diantaranya: a. rasa musikal mengekspresikan suasana sedih menyatu dengan

ekspresi gerak yang menggambarkan kesedihan Dewi Sekartaji; b. rasa seleh yang
171

terdapat pada gendhing merupakan iringan yang mendukung rasa seleh pada tari, baik

rasa seleh ringan maupun rasa seleh berat. c. pola gatra yang terdapat pada bentuk

gendhing Ketawang dapat dijadikan tanda mulai bergerak ataupun berakhirnya suatu

gerak pada tari. Gangsaran 1 pelog, dan gangsaran 2 Slendro, merupakan iringan yang

secara musikal dapat mengekspresikan suasana tegang yang kedudukannya pada adegan

ini lebih bersifat nglambari. Implementasinya rasa musikal yang berirama 1/1 dari

gangsaran mampu memberikan ilustrasi rasa tegang yang mendukung kekacauan atau

ketegangan yang diekspresikan Sekartaji lewat gerak-gerak srisik yang dilakukan secara

berulang-ulang dengan gerak kepala yang sedikit lebih tegas. Terkait dengan alur

adegan kedua bentuk gangsaran tersebut merupakan fase peralihan laras dari pelog ke

laras slendro. Kiranya tidaklah berlebihan jika gangsaran 1 pelog, dan gangsaran 2

Slendro mempunyai peranan cukup penting dalam menjembatani peralihan laras yang

berdampak pada perubahan suasana menjadi semakin mantap. Secara urut bentuk

iringan untuk adegan 1: pencarian, dapat dicermati paparan berikut ini.

Pathetan Wantah
Lr. pl. pt. 5
t- y 1 2 2 2 Xz2Xc3 Xz2c1 z1x2c3
z3x.x2c1
Sang ret - na yu De - wi Se - kar ta - ji
t zyc1 1 1 z1x2c1 zyx.ct
Jeng - kar sking ke - dha - ton
t y 1 2 2 2 z2c3 z2c1 z1Xx2c3 z3x.Xx2c1
Sang ret - na yu De - wi Se - kar - ta - ji
t zyc1 1 1 z1Xx2c1 zyx.c5
Jeng - kar sking ke - dha - ton
172

3 3 3 z1x.XXXx2c3 1 2 3 3 3 3
A - ngu - pa - di men - dra - ni - ra ing - kang
z3c5 z3x.x2c1 1 1 1 z2c4 z4c5 5
Gar - wa, I - nu ker - ta - pa - ti
z6x.x5x4Xx.x5x4Xx2x1x.x2x1x.cy
O…………..
y y y y y zyx1c2 2 z3x.x2x1x.x2x1xyct
Da - hat de - ni - ra mu - wun, O……….
r t r t zyx.x2x1xyxtxrxwcq
Mu - wun mu - wun, O………..

Ketawang Pangkur Ngrenaswara


Lr. pl. pt. 5
Buka :
1 1 5 6 1 2 1 2 3 5 3 5 2 1 2 g1
. . 1 5 6 1 2 n1
2 3 5 p3 2 1 2 g1
. . 1 5 6 1 2 n1
2 3 5 p3 2 1 2 g1
5 5 . . 5 6 5 n3
. . . . 3 5 5 5 6 z!c@ 5
z3x5x.x6c5
Dhuh ja - gad de - wa ba - tha - ra
. 2 5 p3 2 1 2 g1
. . 3 5 5 z5c6 1 1 1 2 3 z3c1
z3x2x1x2c1
We-la - sa mring da-sih kang nan-dhang king-kin
. . 1 2 3 2 1 n2
. . . . 1 2 2 2 3 z@x!c^ ^
z!x#x@x#x!c@
Ti - ni-lar gar - wa sa - tu - hu
173

. 1 6 p5 2 3 5 g3
. . . . 5 5 5 6 z!c@ 5
z3x5x.x6x5c3
Da- dya gan – ti lan ning - tyas
. . 3 . 5 1 2 n3

. . . . . z5c6 1
z1XXXXXXXXXXXxX2c3 3
U - lun dha - hat
5 6 7 p6 5 3 2 g3
. . . 5 5 z5c6 5 3 2 z3c1
z3x.x2c1
Te - ka a - gi - gang sa - ra - mbut
1 1 . 5 6 1 2 n1
. . . . 1 2 2 2 1 z6x1x2c3 z3c1
z3x2x1x2c1
Ka- la- mun da- tan pi - nang - gya
2 3 5 p3 2 1 2 g1
. . . . 5 5 6 5 3 2 z3c1
z3x2x1x2c1
A – lu – wung tu - me – keng la - lis
Gangsaran Lr. pl. pt. 5

1 n1 p1 n1 p1 n1 p1
g1
1 n1 p1 n1 p1 n1 p1 g1
1 n1 p1 n1 p1 n1 p1 g1
1 n1 p1 n1 p1 n1 p1 g1

Gangsaran Lr. sl. pt. manyura


174

2 n2 p2 n2 p2 n2 p2 g2
2 n2 p2 n2 p2 n2 p2 g2
2 n2 p2 n2 p2 n2 p2 g2
2 n2 p2 n2 p2 n2 p2 g2
Adegan : II. Pertemuan.

Dalam adegan dua yang mengisahkan pertemuan Dewi Sekartaji dengan Panji

Inukertapati suaminya dalam suasana rindu yang teraktualisasi dalam beberapa rasa:

marah (jengkel), merayu, malu, mesra merupakan esensi yang hendak diekspresikan

dalam adegan dimaksud. Iringan gendhing Ketawang Kinanthi Sandhung Lr. sl. pt.

manyura merupakan satu-satunya dukungan rasa musikal yang diharapkan mampu

mengekspresikan suasana rindu yang diaktualisasikan tokoh Sekartaji pertemuannya

dengan Panji dalam asumsi mereka telah lama terpisah dan melalui perjalanan panjang

baru dapat bertemu. Rasa musikal gendhing Ketawang Kinanthi Sandhung Lr. sl. pt.

manyura mendukung rasa kasmaran atau bercinta.

Ketawang Kinanthi Sandhung


Lr. sl. pt. manyura

. . 2 y 1 2 3 n2
6 1 2 p3 6 5 3 g2
. . 2 1 y t e nt
1 1 . p. 3 2 1 g6
. . 6 . ! @ ! n^
. . . . z.c! @ @ @ @ z6x.x!x@c# z!x@x!c6
6
A - duh ya-yi gar - wa ning - sun
Wus da- ngu pun ka-kang wu - yung
1 2 6 n5 2 3 5 g3
175

. . . . .@# @ z!c@ 6 6z6x!c6 z5c3


Te-ka mle - ngos da- tan ang - ling
Ma-rang ya- yi wa - no-dya di
. . 3 5 6 5 3 n5
. . . . z.c6 ! ! z6x!c@ 6 5 6
z5x3x5x5x.x3c2
Ma-ra nga-dhep- na pun ka - kang
Tu-hu wa- ni - ta u - ta - ma
2 3 5 p3 2 1 y gt
. -j.jj Xj j j 6 6 zj6jjjkjXXXXxx!c5
z3XXXXXXXXXXXXXXXxX x XXXXXXXXXXXXXXXx x x c5jj j 2
zj1xc2 zyXx1cy ztx1c2
Kang wus la - mi nan - dhang brang - ti
Mus - ti- ka - ning pa - ra pu - tri
2 2 . . 3 5 3 n2
. . . . . 3 5 5 z5x3c563 z5x3c2 2
Ka-di-nga - ren ya-yi du - ka
Mu-ga tan - sah pi-na ri ngan
y 1 2 p3 6 5 3 g2
.j 6k 2jzX1jXXXx xj XXjx jx c2 zj2kx1c3 3 j.j j j 5
6 zj3kx5c3 g2
A - pa kang da - di wi - ga - ti
Ka - nu - gra - han kang sa - la - mi

Adegan : III. Bahagia.

Pada adegan bahagia yang disajikan sepasang suami-istri yakni Panji

Inukertapati dan Sekartaji dalam suasana gembira, mesra, dan harmonis menggunakan

garap iringan yaitu gendhing Lambangsari laras slendro pathet manyura. Kedudukan

iringan gendhing Lambangsari pada adegan ini sifatnya mungkus dan nyawiji. Bentuk
176

mungkus ini ditinjau dari pelaksanaan vokabuler gerak yang terdapat pada adegan tiga

hampir seluruhnya menggunakan pola kendangan kebar atau ciblon yang selalu

membungkus pola gerak. Dalam hal ini pola-pola gerak tari selalu ketat- ketat diikuti

pola kendangan. Selain itu iringan gendhing Lambangsari pada dasarnya nyawiji

dengan garap geraknya. Pengertian nyawiji ini mengarah pada pemersatuan dua unsur

menjadi satu yaitu unsur karawitan sebagai penghasil rasa musikal dan unsur tari.

Bentuk kristalisasi dari unsur tari yang berupa vokabuler-vokabuler gerak kebar yang

dinamis dan unsur karawitan yang berupa gendhing Lambangsari dengan irama sigrak,

lagu gerongan riang dan tekanan sedang, pada adegan bahagia ini adalah untuk

pencapaian harmonisasi penyajian. Keterpaduan garap tari dan garap gendhing

Lambangsari dalam rangka mengekspresikan rasa gembira, kemesraan, kebersamaan,

dan keharmonisan antara Panji Inukertapati dan Sekartaji dapat nyawiji. Sehingga

suasana bahagia yang diaktualisasikan oleh Panji Inukertapati dan Sekartaji dapat

dihayati.

Pada bagian akhir adegan tiga sebagai penutup iringan gendhing ladrang

Sigramangsah laras slendro pathet manyura. Iringan ladrang Sigramangsah sebagai

mundur beksan, yaitu sejak Panji Inukertapati dan Sekartaji gerak Lumaksono, pangkon,

srisik menuju ke tempat duduk temanten bersalaman dengan temanten dan kedua orang

tua mempelai untuk mengucapkan selamat berbahagia. Gendhing ladrang Sigramangsah

disajikan dengan tabuhan keras dengan irama sedang sebagai gambaran semangat dari

Sekartaji dan Panji Inukertapati untuk menyongsong kehidupan ke depan lebih

semangat. Bentuk iringan adegan III yang berupa gendhing Lambangsari laras slendro
177

pathet manyura dan ladrang Sigramangsah laras slendro pathet manyura, secara

berurutan dapat dicermati paparan berikut ini.

Lambangsari
Lr. sl. pt. manyura
Irama Tanggung :
1 3 1 2 1 3 1 2
j.1 3 j.1 2 j.1 3 j.1 2
Pra - wa - ni - ta mar - su - di - ya
6 1 3 2 6 3 2 n1
6 1 3 2 jz!xk@c6 3 z3c2 1
ma - rang tin - dak kang u - ta - ma
5 2 5 1 5 2 5 1
j.5 2 j.5 1 j.5 2 j.5 1
se - tya tu - hu ma - r ang gar - wa
5 3 5 6 5 3 5 2
5 zj3c5 jz5c6 6 j.3 5 3
2
da - di ro - wang kang se - mba - da
1 3 1 2 1 3 1 2
j.1 3 j.1 2 j.1 3 j.1 2
ing - kang bi - sa nu - ju pra - na
6 1 3 2 6 3 2 n1
6 1 3 2 jz!xk@c6 3 z3c2 1
weh re - sep - ing pa - mi - ca - ra
5 2 5 1 5 2 5 1
j.5 2 j.5 1 j.5 2 j.5 1
no - ra keng - guh ing pang - go - dha
5 3 5 6 5 3 5 2
5 z3c5 z5c6 6 j.3 5 3 2
178

dar - be bu - di kang san - to - sa

1 3 1 2 1 3 1 2
j.1 3 j.1 2 j.1 3 j.1 2
ba - lik pri - ya nim - bang a - na
6 1 3 2 6 3 2 1
6 1 3 2 jz!xk@c6 3 z3c2 1
nga - yo - mi mring ra - bi ni - ra

5 2 5 1 5 2 5 n1
j.5 2 j.5 1 j.5 2 j.5 1
da - tan kem - ba a - sih tres - na
5 3 5 6 5 3 5 2
5 z3c5 z5c6 6 j.3 5 3 2
sung ten - trem - ing ku - la - war - ga
(dilakukan 2 x)

Irama Dadi :
6 5 6 1 6 5 2 3
j.6 kz!xj@c# jz#xj
jjjjjjjjjjjjjjjjjjjxkjjj.c@z!x x x x x x cj2j j6
jjjzjx5jx jx jxxx jx jx xk.cj3jz6xl1xj6jc53
sam - pun sa - mi se – tya tu - hu
sang pe - kik wah sang dyah a - yu
6 5 6 1 6 5 2 3
j.6 z!XXx XXx xj@kc##z x.c@z!x x x x x@c 6
zj5jkx.c3 jkz6jx!cjj6j j k53
ang - ge - nya li - ron as - ma - ra
da - ngu sa - mya ba - gya har - ja
5 2 5 1 5 2 5 1
179

jzk.xj6xj xj c22 jk.zj2c31 jz.xjyjx xj xj


ck22 j jk.z2c3 1
ka - ron - sih pan - cen pra - nya - ta
tan ken - dhat tan - sah me - min - ta
5 3 5 6 5 3 5 2
. j.3 zk3cj5kz5c6z x jx6xjx xj jx xjx xjx xjx xj
xj x!cj@zkj!xc6 3 jz2xjk5c3 2
da - dya kem - bang ja - gad ra - ya
ka - nu-gra - han ing hyang suks - ma

Ladrang Sigramangsah
Lr. sl. pt. manyura
Irama Tanggung.

1 6 1 3 1 6 1 n2
1 6 1 p3 1 6 1 n2
5 2 3 p5 1 6 5 n3
6 5 2 p1 3 2 1 g6

3 5 6 p1 3 2 1 n6
3 5 6 p1 3 2 1 n6
3 5 2 p3 1 2 1 n6
3 2 6 p3 6 5 3 g2 (sebanyak 5X)
180

Gendhing-gendhing iringan yang terdapat dalam tari Karonsih secara garis besar

dapat dibagi menjadi dua bentuk terkait dengan bahasa verbal. Pertama, gendhing yang

menggunakan bahasa verbal terdiri dari: Pathetan Lr. pl.pt. 5, Ketawang Pangkur

Ngrenaswara Lr. pl.pt. 5, Ketawang Kinanthi Sandhung Lr. sl. pt. manyura dan

Lambangsari Lr. sl. pt. manyura. Kedua, gendhing yang tidak menggunakan bahasa

verbal terdiri dari: gangsaran 1 pelog, gangsaran 2 slendro, dan Ladrang Sigramangsah

Lr. sl. pt. manyura. Bentuk-bentuk gendhing yang menggunakan bahasa verbal, selain

rasa musikal yang mampu mengekspresikan suasana-suasana tertentu, rupanya menjadi

lebih mantap dan bermakna karena didukung kehadiran bahasa verbal yang berupa

cakepan-cakepan (syair) yang menyatu dengan irama, lagu dan tekanan gendhing.

Komposit bahasa verbal dan nonverbal yang terdapat dalam Pathetan Lr. pl.pt.

5, dapat mengungkapkan suasana sedih dan maknanya menjelaskan tentang liku-liku

perjalanan seorang tokoh Dewi Sekartaji yang mencari Panji Inukertapati suaminya.

Komplementer bahasa verbal dan nonverbal yang terdapat dalam Ketawang Pangkur

Ngrenaswara Lr. pl.pt. 5, dapat mengungkapkan suasana sedih, dan maknanya Dewi

Sekartaji memohon kepada Dewata supaya segera dipertemukan dengan Panji

Inukertapati, jika tidak dapat bertemu, ia lebih baik mati. Komposit bahasa verbal dan

bahasa nonverbal yang terdapat dalam Ketawang Kinanthi Sandhung Lr. sl. pt. manyura,

dapat mengungkapkan suasana marah, malu, rindu, merayu, mesra, dan maknanya

setelah Sekartaji bertemu Panji Inukertapati, sang Dewi marah Panji berupaya untuk

merayunya dan memberi perhatian. Komposit bahasa verbal dan nonverbal yang

terdapat dalam Lambangsari Lr. sl. pt. manyura, dapat mengungkapkan suasana

gembira, mesra, bahagia dan maknanya: 1) Dalam kehidupan rumah tangga keberadaan
181

dan kebersamaan suami dan istri, sebaiknya saling mengingatkan akan tugas dan

tanggungjawab masing-masing yang telah disepakati. 2) Tipe seorang istri yang ideal

adalah selalu berupaya berbuat kebajikan, setia terhadap suami, menarik, dan

bertanggungjawab. 3) Tipe seorang suami yang ideal adalah setia terhadap istri,

mengayomi, dan mampu menciptakan ketentraman keluarga. 4) Nilai cinta adalah

sebuah nilai yang universal. 5) Kebagiaan lahir dan batin merupakan kebutuhan hidup

hakiki manusia yang diupayakan secara seimbang. Bentuk komposit bahasa verbal

sastra tembang dan bahasa nonverbal gendhing-gendhing iringan tersebut dapat

mengungkapkan suasana dan mengungkapkan makna pada masing-masing adegan.

Bentuk gendhing yang tidak menggunakan bahasa verbal seperti gangsaran 1

pelog dan gangsaran 2 slendro, dapat mengungkapkan suasana tegang. Sedangkan

gendhing Ladrang Sigramangsah Lr. sl. pt. manyura, dapat mengungkapkan suasana

semangat, gagah, dan sigrak. Ketidak hadiran bahasa verbal pada bahasa nonverbal

rupanya membatasi ekspresi bahasa nonverbal yang lebih mengarah pada hayatan rasa.

Dengan demikian tampak bahwa gendhing-gendhing yang tersusun untuk iringan tari

Karonsih merupakan komposit bahasa verbal sastra tembang dan nonverbal gendhing-

gendhing karawitan untuk membangun alur adegan, sehingga mampu mengekspresikan

suasana pada masing-masing adegan dan mampu mengungkapkan makna tari Karonsih

secara implisit seperti yang dimaksud seniman penyusun sebagai penutur. Adapun

bentuk komposit bahasa verbal dengan nonverbal pada tari Karonsih, dapat dicermati

berikut ini.
182

Komposit Bahasa Verbal dengan Nonverbal Tari Karonsih

No Bahasa Verbal Bahasa Nonverbal


Sastra Tembang Tema, Vokabuler Gerak Vokabuler Gerak Pola lantai Iringan Hubungan Hubungan Keterangan
Adegan, dan Dewi Sekartaji Panji Inukertapati Langsung Tidak
Rasa langsung
1 Pathetan Wantah Pasihan Pathetan
(percintaan)
lr. pl. pt. 5
I. Pencarian.

Sang Retnayu Rasa Srisik, kedua - Garis V - Liku-liku


Dewi Sekartaji
Semangat tangan nekuk yang lurus perjalanan
kiri nyempurit dan Dewi
kanan nyekithing Sekartaji
dalam
Jengkar sking Kengser, Garis V - mencari
kedhaton
menthang tangan lurus Panji
kiri nyempurit, Inukertapati
tangan kanan (suaminya).
nekuk

Sang Retnayu Badan putar Garis V -


Dewi Sekartaji
183

menghadap lurus
belakang, srisik
mundur kemudian
putar menghadap
depan, diikuti
menthang sampur
kanan dan tangan
kiri nekuk.

Jengkar sking Lumaksono, Garis V -


kedhaton
menthang sampur Lurus
kanan, kiri nekuk,

badan ngglebak Garis


kanan. lengkung

Badan nglayang Posisi di V -


Angupadi
mendranira (memutar) ke kiri, tempat
ingkang garwa
kaki njujut, badan
184

ngglebak ke kanan
hadap ke depan.
Inukertapati,
O………..
Ridhong sampur Garis V -
Dahat denira
muwun,O………. kiri, usap kiri – lengkung
usap kanan

2 Ktw.
Pangkur
Ngrenas
lr.pl.pt 5

Mundur tawing Garis lurus Gong: ke-1


kiri, kengser.

Srisik menthang Garis Gong: ke-2


kiri, memutar lengkung

Sindhenan Pangkur
Ngrenas:

Dhuh jagad dewa


Rasa Laras Sampir Posisi di V -
bathara
Welasa mring dasih
185

kang nandhang Berdoa sampur kanan. tempat Dewi


kingkin
Sekartaji
dalam
Tinilar garwa
Rasa Sekar suwun, Garis V - situasi
satuhu
Dadya gantilaning Sedih tawing kiri lengkung yang sedih,
tyas
ingsetan. pasrah, dan
memohon
Ulun dhahat
Srisik kedua Garis lurus V - pada Yang
Teka aginggang
sarambut tangan nekuk trap Kuasa agar
cethik, sindhet. segera
dipertemuk
Kalamun datan
Lembehan separo Posisi di V - an dengan
pinanggya
tempat suaminya.
Rasa
Aluwung tumekeng Pasrah Kengser ke kanan Garis V -
lalis
capengan tangan lengkung
kanan – kengser
ke kiri capengan
tangan kiri.
186

Gangsaran
1 Pelog
Rasa Badan memutar Gong: ke-1
Tegang satu lingkaran dan
diikuti berputarnya
kedua tangan
nekuk ngupu
tarung.

Seblak, tangan kiri Gong: ke-2


menthang dan
tangan kanan
nekuk

Srisik ke pojok Gong: ke-3


kanan depan.

Badan membalik Gong: ke-4


kanan, tangan Gong: ke-5
seblak sampur,
srisik ke pojok kiri
belakang.
187

Gangsaran
2 Slendro

Badan ngglebak ke Gong: ke-1


kanan, seblak
sampur.

Srisik . Gong: ke-2


Gong: ke-3

Badan memutar Gong: ke-4


satu lingkaran
menghadap ke
depan.

3 Sindhenan II. Ktw.


Kinanthi
Pertemuan. Kinanthi
Sandhung:
Cakepan a. Sandhung
lr.sl.pt
Manyura
188

a. Dewi
Rasa jengkeng (duduk) Srisik kebyok Posisi di Gong: ke-1 Sekartaji
Marah diikuti kedua sampur. tempat - marah
tangan memegang garis lurus terhadap
sampur sambil Panji
menutup raut Inukertapati.
muka. b. Panji
berusaha
membujuk
jengkeng, Ulap-ulap tangan Posisi di dan merayu
kebyokan laras, kiri – kanan dan tempat istrinya,
lepas sampur. besut. akhirnya
luluh hati
Dewi
Sekartaji.
Adhuh yayi garwa
Seblak sampur laras genjot, Gong: ke-2 V -
ningsun
kengser ke kanan,

Teka mlengos
Ukel karno kanan jengkeng nyathok Garis V -
datan angkling
(njawil) bahu lengkung

Mara ngadhepna
189

pun kakang
berdiri enjer berdiri srisik, Garis lurus Gong: ke-3 V -
nyabet ukel karna
kanan

Kang wus lami


nandhang brangti
Rasa mbalik, mundur, maju lumaksono, Garis lurus V -
Merayu miring ke kanan srisik, tangan
mlengos ke kanan, kanan nyaut,
mbalik seblak tanjak tawing
sampur kanan kanan

Kadingaren yayi tawing kiri lumaksono Garis lurus Gong: ke-4 V -


duka
kebyokan sampur,
maju

Apa kang dadi


ngembat sampur tangan kanan V -
wigati
kanan, ngglebak nyaut dengan
kanan seblak kebyok kemudian
sampur mundur
190

golek iwak, panggel, tanjak Garis lurus Gong: ke-5


endhan jeblos lalu kanan, ngancap, – lengkung
tangan kanan tangan
memberi sampur pondhongan
kemudian nyaut
jeblos (tukar
tempat) lalu
tangan kanan
menerima sampur

Cakepan b.

Wus dangu pun


putar satu memutar, Garis Gong: ke-6 V -
kakang wuyung
Rasa lingkaran. jengkeng lengkung
Kemesraan tangkep asta, tangkep asta, maju
mundur sambil sambil lepas kedua
lepas kedua tangan tangan

Marang yayi
srisik, mbalik, srisik, nyandhet Garis V -
wanodya di
tangkep asta tangkep asta lengkung
ngaras ngaras
191

( berciuman), (berciuman),
lepas kedua lepas kedua
tangan, laku enjer, tangan, laku enjer,
tangan kiri tangan kiri
menthang, tangan menthang, tangan
kanan tawing kanan tawing

Tuhu wanita
maju kanthen maju kanthen Garis Gong: ke-7 V -
utama
tangan kanan tangan kanan lengkung

Mustikaning para kengser ke kanan- kengser ke kanan- Garis V -


putri
kiri, maju, adu kiri, maju, adu lengkung
tangan kiri nekuk, tangan kiri nekuk,
srisik melingkar srisik melingkar

Muga tansah berhenti, maju berhenti, maju Posisi di Gong: ke-8 V -


pinaringan
kanan, kanthen kanan, kanthen tempat
tangan kanan tangan kanan
192

Kanugrahan kang srisik kanthen srisik kanthen Garis V -


salami tangan kanan, tangan kanan, lenkung
lepas tangan, lepas tangan,
mundur seblak mundur seblak
sampur. sampur

4 Gerongan Lambang
Lambangsari:
sari lr.sl.
Cakepan a.
pt
manyura

Pra wanita
Rasa ulap-ulap kiri trap jamang. Posisi di Gong: 1. - V Tipe
marsudiya marang
tindak kang utama Gembira tempat kenong ke- seorang istri
1 yang ideal
adalah
ukel karno ulap-ulap kiri Garis kenong ke- - V selalu
Setya tuhu marang
garwa dadi lengkung 2 berupaya
rowang kang
berbuat
sembada
kebajikan,
setia
terhadap
193

Ingkang bisa luluran lembehan sampur Garis kenong ke- - V suami,


nujuprana weh
lengkung 3 menarik, dan
reseping pamicara
bertanggung
jawab

trap sumping laku telu Garis kenong ke- - V


Nora kengguh ing
kanan lengkung 4
panggodha darbe
budi kang santosa

Rasa Mesra

Balik priya kebyokan sampur ukel karno bokor Garis Gong: ke- - V Tipe seorang
nimbangana
sinangga lengkung 2. suami yang
ngayomi mring
rabinira kenong ke- ideal adalah
1 setia
terhadap
rimong sampur pacak gulu Garis kenong ke- V - istri,
Datan kemba asih
tresna sung ingsetan lengkung 2 mengayomi,
tetreming
dan mampu
kulawarga
194

menciptakan
Sampun sami setya
kebyokan sampur kebyokan sampur Garis kenong ke- V - ketentraman
tuhu anggenya
liron asmara – ngenceng kanan lengkung 3 keluarga.

srisik kanthen srisik kanthen Garis kenong ke- V - Cinta adalah


Karonsih pancen
tangan, mundur tangan, mundur lengkung 4 sebuah nilai
pranyata dadya
kembang jagad lepas tangan lepas tangan yang
raya
universal.

Gong: ke-
Cakepan b. trap jamang ulap-ulap tawing Posisi di 3: - V
Pra wanita
kiri tempat kenong ke-
marsudiya marang
tindak kang utama 1

laku telu pondhongan Garis kenong ke- V -


Setya tuhu marang
sampur lengkung 2
garwa dadi
rowang kang
sembada

kanthen tangan kanthen tangan Garis lurus kenong ke- V -


Ingkang bisa
nujuprana weh kanan kanan 3
reseping pamicara
195

Nora kengguh ing kanthen tangan kanthen tangan Garis kenong ke- V -
panggodha darbe
kiri kiri lengkung 4
budi kang santosa

Balik priya jengkeng ngilo tangan ukelan Garis Gong: ke- - V


nimbangana
tangan (merias). lengkung 4:
ngayomi mring
rabinira kenong ke-
1

alisan inguk-ingukan Garis kenong ke- V -


Datan kemba asih
tresna sung (melihat) lengkung 2
tetreming
kulawarga

Sang pekik wah lumaksono encot lumaksono encot Garis lurus kenong ke- V -
sang dyah ayu
kanthen tangan kanthen tangan 3
dangu samya
bagyaharja
196

Rasa Kebagiaan
bahagia. dunia dan
akhirat
srisik kanthen srisik kanthen Garis kenong ke- - V merupakan
Tan kendhat
tansah meminta tangan kanan, tangan, tangan kiri lengkung 4 kebutuhan
kanugrahan ing
tangan kiri menthang sampur hidup hakiki
Hyang Suksma
menthang sampur manusia
yang
Ldr. Sigra diupayakan
mangsah secara
lr.sl.pt. seimbang.
manyura

lumaksono lumaksono Garis lurus Gong: ke-1


lembehan sampur lembehan sampur
kanan kanan

pangkon ulap-ulap pangkon ulap-ulap Posisi di Gong: ke-2


tangan kiri tangan kanan tempat
197

srisik kanthen srisik kanthen Garis Gong: ke-3


tangan, tangan, lurus
bersalaman bersalaman
dengan temanten dengan temanten

bersalaman bersalaman Gong: ke-4


dengan kedua dengan kedua
orang tua temanten orang tua temanten
dan photo bersama dan photo bersama
temanten temanten

srisik kanthen srisik kanthen Garis Gong: ke-5


tangan kanan, tangan kanan, lengkung
masuk (selesai). masuk (selesai).a
198

Dari komposit bahasa verbal dan nonverbal pada tari Karonsih terdapat

hubungan yang bersifat langsung dan tidak langsung. Hubungan bahasa verbal dan

nonverbal bersifat langsung artinya bahwa maksud bahasa verbal sesuai dengan bentuk

bahasa nonverbal. Sedangkan hubungan bahasa verbal dan nonverbal bersifat tidak

langsung artinya bahwa maksud bahasa verbal tidak sesuai dengan bentuk bahasa

nonverbal. Secara kuantitatif hubungan bahasa verbal dan nonverbal yang bersifat

langsung tampak lebih mendominasi dibandingkan dengan yang tidak langsung. Adapun

persentasenya dapat dicermati pada uraian berikut.

Tari Karonsih
No Adegan Hubungan bahasa verbal dengan jumlah
nonverbal
1 I, II, dan III Langsung 31
2 I, II, dan III Tidak langsung 8
3 Jumlah hubungan langsung dan tidak langsung = 31+ 8 39
4 Jumlah persentase hubungan langsung = 31: 39 X 100. 79,48 %,
5 Jumlah persentase hubungan tidak langsung = 8: 39 X 100. 20,52 %

2. Tari Bondhan Sayuk.

Tari Bondhan Sayuk merupakan tari tradisi gaya Surakarta jenis pasangan silang

jenis karakter putri dengan putra madya yang bertemakan percintaan sepasang insan

manusia yang berjenis kelamin pria dan berjenis kelamin wanita. Pada dasarnya tarian

ini tidak mengisahkan tokoh tertentu tetapi mengekspresikan cinta kasih sepasang suami

istri secara universal terhadap anak laki-laki dan harapan-harapan serta keinginannya
199

supaya kelak menjadi orang yang berguna bagi bangsa dan negara. Karya tari Bondhan

Sayuk disusun oleh Sunarno pada tahun 1979. Tari ini pertama kali dipentaskan pada

sebuah resepsi ritual perkawinan di gedung Bathari. Tema yang diangkat

menggambarkan percintaan manusia secara universal, yang lebih mengarah pada

perjalanan hidup sepasang manusia dari kalangan rakyat. Menurut Sunarno, tari

Bondhan Sayuk lebih tepat untuk gambaran sepasang temanten maupun sebuah keluarga

baru yang belum memiliki anak (wawancara, 2008).

Gagasan awal terciptanya tari Bondhan Sayuk adalah sebuah ekspresi pribadi

Sunarno yang menginginkan anak laki-laki untuk putera pertamanya. Keinginan

tersebut rupanya diridhohi oleh Sang Pencipta, anak pertama laki-laki bahkan anak

kedua juga laki-laki dan anak ketiganya baru putri. Dalam perjalanan waktu tari

Bondhan Sayuk sangat diminati oleh masyarakat hingga sekarang, yang pertama

merupakan hiburan yang tepat dalam sebuah resepsi perkawinan dan kedua dimaknai

sebagai simbolik sepasang suami dan istri yang hidup bahagia yang layak untuk

diteladani sepasang temanten. Pesona yang memikat dari tari Bondhan Sayuk adalah

digunakannya boneka sebagai simbolik anak yang selalu ditimang-timang dan

diharapkan memberikan kekuatan magis simpatetis terhadap sepasang temanten, yaitu

supaya lekas diberi anak.

Jika dirunut dari bahasa verbalnya akan tampak bahwa harapan-harapan yang

tersurat dan tersirat menunjukkan adanya sebuah keinginan, harapan sepasang suami-

istri terhadap anak laki-laki kelak menjadi orang yang berperilaku baik dan berguna bagi

masyarakat untuk membangun bangsa dan negara. Bentuk tari Bondhan Sayuk terdiri

dari dua komponen pokok, yakni sastra tembang yang merupakan bahasa verbal dan
200

bahasa nonverbal yang berupa: tema, kinetic body moves, polatan (ekspresi wajah), rias,

busana, pola lantai, dan iringan. Sastra tembang yang merupakan bahasa verbal tari

Bondhan Sayuk, terdiri dari beberapa garap lagu, yakni: (1) garap sindhenan Mijil

Sulastri: sakpupuh (satu bait), (2) garap jineman Sayuk: rong pupuh (dua bait), dan (3)

garap gerongan Ladrang Sayuk: rong pupuh (dua bait). Dari masing-masing garap lagu

tersebut dapat dicermati berikut ini.

a. Bahasa verbal.

(1). Teks Sindhenan Mijil Sulastri

Dhuh mas rara, garwaku wong manis,


Aja gawe kagal,
Amung sira yekti sulistyane,
Jumbuh klawan rasaningtyas mami,
Binerkahan ugi,
Prasetya wak-ingang.

Terjemahan:

Wahai si cantik, istriku yang manis,


Jangan membuat kesal,
Hanya kamulah yang benar-benar cantik,
Sesuai dengan rasa yang terdapat dalam hatiku,
Semoga mendapat berkah,
Janji kesetiaanku.
201

Jenis –jenis TT yang melekat pada teks Sindhenan Mijil Sulastri

No Penutur Bahasa Verbal : teks Jenis – jenis Pemarkah


(Pn) Sindhenan Mijil TT
Sulastri
Pria (Pn) Dhuh mas rara, wong manis
1 garwaku wong manis, Ekspresif
Pria (Pn) Aja gawe kagal, aja
2 Direktif
Pria (Pn) Amung sira yekti sulistyane
3 sulistyane, Ekspresif

Pria (Pn) Jumbuh klawan Asertif Jumbuh


rasaningtyas mami,
Pria (Pn) ugi
4 Binerkahan ugi, Direktif
Pria (Pn) prasetya
5 Prasetya wak-ingang. Komisif

Konteks.

Identifikasi / latar.

a. Peserta tutur: Pria (Pn).

Wanita (Pt), ia merespon dengan gerak tanpa tuturan.

b. Tema / topik: percintaan atau kasmaran.


202

c. Tujuan: suami menghendaki istri supaya tidak lekas marah, mengingat kasih

asmara suami terhadap istri merupakan cinta yang tulus.

d. Status sosial: penari pria sebagai seorang suami, ia digambarkan sebagai figur

seorang suami yang bertanggungjawab dan sangat setia terhadap istri. Penari

wanita sebagai seorang istri, ia digambarkan sebagai figur seorang istri yang

sangat setia terhadap suami.

e. Tempat: di rumah.

f. Situasi tutur: tidak formal.

g. Gerak: kedua penari, pria dan wanita srisik bersama, tangan kanan saling

berpegangan (nyathok) dan tangan kiri lurus ke samping (menthang) menuju

stage. Secara perlahan-lahan keduanya lumaksono ridhong, srisik menuju tengah

stage, berhenti laku enjer menthang tangan kiri, kemudian putra besut dan putri

sindhet merupakan gambaran rasa kebersamaan. Rasa kecewa diekspresikan istri

lewat jengkeng, sekaran laras kebyokan, sembahan, berdiri meninggalkan suami

sambil kebyokan tangan kanan-kiri kemudian suami gerak nyabet tangan kanan,

besut, mendekati istri untuk merayu dengan gerak hoyogan, gajah-gajahan,

songgonompo – mbalang. Rasa mesra mulai tampak ketika masing-masing peran

suami dan istri saling mendekat dan berciuman dengan gerak kengser dan

ngaras. Selanjutnya gerak lincak gagak bersama, suami hendak memegang istri

menghindar. Suami dan istri saling mendekat, saling berpegangan tangan

kemudian srisik kanthen tangan kanan sebagai gambaran awal kemesraan.

h. Polatan / ekspresi wajah: ketika rasa kebersamaan masih terbina, wajah suami

dan wajah istri tampak cerah dan gembira. Pada saat istri merasa kecewa
203

pandangan muka selalu menghindar dari tatapan mata suami dan pandangan

mata istri banyak mengarah ke bawah. Suasana berubah menjadi semakin mesra

wajah suami dan wajah istri tampak semakin cerah dan pandangan mata tampak

sering saling melihat.

i. Pola lantai: didominasi garis-garis lengkung.

j. Iringan gendhing: Srepek Rangu-rangu dan Ketawang Mijil Sulastri untuk

mendukung suasana kasmaran atau bercinta.

Implikatur

Kagal : perasaan marah.

Sulistyane: kecantikan rupa dari seorang wanita.

Jumbuh klawan rasaningtyas: kecocokan hati yang membuat senang seseorang.

Prasetya wak-ingang: ungkapan yang mengisyaratkan sebuah perjanjian tentang

kesetiaan.

Implikatur bahasa verbal Sindhenan Mijil Sulastri adalah ungkapan cinta yang

mendalam seorang suami terhadap istrinya, dengan harapan

mendapatkan perhatian demi terjalinnya kasih cinta untuk

harmonisnya sebuah rumah tangga.

Prinsip kerja sama berdasarkan bahasa verbal pada Sindhenan Mijil Sulastri dapat

diungkap:

a. Maksim kuantitas dilanggar.

b. Maksim kualitas dipatuhi.

c. Maksim hubungan dipatuhi.

d. Maksim cara dilanggar.


204

Prinsip kesantunan berdasarkan bahasa verbal pada Sindhenan Mijil Sulastri,

menggunakan strategi:

1) melakukan TT dengan menggunakan kesantunan positif.

2) melakukan TT secara tidak langsung (off record).

(2). Teks Jineman Sayuk

Dhuh mas jiwaku, baya iki wus wanci,


Bapakne sithole, mangkat makarya,
Sawahmu tansah anganti,
Mbokne thole,
Sakdurunge anakmu gawanen mrene,
Tak kudange anakku sing bagus dhewe,
Mbesuk pinter nyambut gawe.

Terjemahan:

Wahai belahan jiwaku, sekarang sudah saatnya,


Ayahnya anak laki-laki (suamiku), berangkatlah bekerja,
Sawahnya tengah menanti,
Ibunya anak laki-laki (istriku),
Sebelumnya anakmu bawalah kemari,
Peneliti timang-timang anakku yang paling bagus,
Besuk menjadi anak yang pandai bekerja.

Jenis – jenis TT yang melekat pada teks Jineman Sayuk

No Penutur (Pn) / Bahasa Verbal Jenis – jenis Pemarkah


Petutur (Pt) Teks Jineman Sayuk TT

Wanita (Pn) Dhuh mas jiwaku, Patik dhuh mas


1
2 Wanita (Pn) baya iki wus wanci, Direktif baya iki

3 Wanita (Pn) Bapakne sithole, Asertif bapakne


205

Wanita (Pn) mangkat makarya, Direktif mangkat

5 Wanita (Pn) Sawahmu tansah Asertif sawahmu


anganti,
6 Pria (Pt) Mbokne thole, Asertif mbokne

7 Pria (Pt) Sakdurunge anakmu Direktif gawanen


gawanen mrene,
8 Pria (Pt) Tak kudange anakku Ekspresif bagus
sing bagus dhewe,

9 Pria (Pt) Mbesuk pinter Direktif mbesuk pinter


nyambut gawe.

Konteks.

Identifikasi / latar.

a. Peserta tutur: Wanita (Pn).

Pria (Pt).

b. Tema / topik: kekudangan (menimang bayi sambil bersenandung)

c. Tujuan: istri mengingatkan akan pekerjaan suami. Kesadaran suami sebagai

kepala rumah tangga menyambut kehendak istrinya dengan rasa senang

untuk itu sebelum berangkat bekerja mereka saling menimang bayi sambil

bersenandung secara bergantian. Hal ini adalah untuk menunjukkan rasa

kasih sayang dan kemesraan suami terhadap anak dan istri.


206

d. Status sosial: penari pria sebagai seorang suami, ia digambarkan sebagai

figur seorang suami yang bertanggungjawab dan sangat setia terhadap istri.

Penari wanita sebagai seorang istri, ia digambarkan sebagai figur seorang

istri yang sangat setia terhadap suami.

e. Tempat: di rumah.

f. Situasi tutur: tidak formal.

g. Gerak: istri srisik sambil menimang anak, suami merasa gembira dan bahagia

secara perlahan-lahan mendekat, tangan kiri memegang bahu istri dan tangan

kanan memegang anak sambil memperhatikan dengan tawing kanan. Istri

meminta perhatian suami terhadap anak yang ditimang dengan gerak putar ke

kanan, lembehan tangan kanan, putar ke kiri–tangan kanan ukel karno

sedangkan suami mendekat menanggapi dengan gerak panggel dan

pandangan mengarah ke istri dan anaknya. Istri mulai bersenandung

mengingatkan pekerjaan terhadap suami dengan gerak tawing kanan sambil

memandang suami sedangkan suami menyambut baik dengan gerak ukel

karno kanan yang kemudian mendekati dengan gerak srisik. Selanjutnya istri

tawing kanan, maju srisik mendekati suami untuk memberikan anaknya dan

suami juga mendekat dengan lumaksono untuk menerimanya. Suami

menimang anak sedangkan istrinya meledek dengan tawing kiri-tawing

kanan.

h. Polatan / ekspresi wajah: suami dan wajah istri tampak cerah dan gembira.

Pandangan mata suami dan istri banyak terfokus pada anak dan mereka juga

sering saling berhadapan.


207

i. Pola lantai: didominasi garis-garis lengkung.

j. Iringan gendhing: jineman Sayuk untuk mendukung suasana kekudangan

yang merepresentasikan rasa senang.

Implikatur

Mas jiwaku: panggilan seorang kekasih.

Bapakne sithole: panggilan seorang ayah yang biasa untuk masyarakat

pedesaan untuk menunjukkan keakraban.

Makarya: bekerja.

Sawahmu tansah anganti: pernyataan yang dimaksudkan tentang sebuah pekerjaan.

Mbokne thole: panggilan seorang ibu yang biasa untuk masyarakat

pedesaan untuk menunjukkan keakraban.

Tak kudange: menimang bayi sambil bersenandung yang berisi tentang nasehat

dan harapan-harapan orang tua terhadap anaknya.

Mbesuk pinter: sebuah harapan orang tua yang menghendaki anaknya

kelak menjadi orang yang pandai.

Implikatur bahasa verbal Jineman Sayuk mengisyaratkan bahwa dalam sebuah keluarga

kebutuhan jasmani dan rohani harus seimbang. Dalam rangka memenuhi

kebetuhan tersebut masing–masing individu yang terlibat dalam keluarga

memiliki peran secara proporsional. Masing-masing individu mempunyai

tanggungjawab terhadap tugas dan kewajiban untuk memenuhi tuntutan

kebutuhan keluarga. Berdasarkan kasih cinta untuk menciptakan

keharmonisan keluarga, seorang istri mempunyai peranan cukup penting

dalam mendukung tugas dan kewajiban peran suami sebagai kepala


208

keluarga. Implikatur bahasa verbal Jineman Sayuk yaitu kegembiraan

pasangan suami istri sebuah keluarga semakin mantap ketika telah diberi

anak, namun juga harus disadari bahwa untuk mencukupi kebutuhan

rumahtanggga diperlukan kerja keras.

Prinsip kerja sama berdasarkan bahasa verbal pada Jineman Sayuk dapat diungkap:

a. Maksim kuantitas dilanggar.

b. Maksim kualitas dipatuhi.

c. Maksim hubungan dipatuhi.

d. Maksim cara dilanggar.

Prinsip kesantunan berdasarkan bahasa verbal pada Jineman Sayuk, menggunakan

strategi: 1) melakukan TT dengan menggunakan kesantunan positif.

2) melakukan TT secara tidak langsung (off record).

(3). Teks Gerongan Ladrang Sayuk


Adhuh lae, atak adhuh lae, dasar bregas ten atene,
Adhuh lae, atak adhuh lae, cukat trampil tumandange,
Adhuh lae, atak adhuh lae, anteng tajem polatane,
Adhuh lae, atak adhuh lae, sesongaran disingkirke,
Adhuh lae, atak adhuh lae, labuh labet mring bangsane,
Adhuh lae, atak adhuh lae, ora nyleweng tumindake,
Adhuh lae, atak adhuh lae, wis mbokne enyoh anake sun arsa mangkat megawe.

Terjemahan:
Memang baik karakternya,
Lincah, trampil dalam bekerja,
Tenang fokus pandangannya,
Kesombongannya dihilangkan,
Bekerja keras untuk bangsa,
Tindakannya tidak boleh menyeleweng,
Istriku, bawalah anakmu sekarang, peneliti akan berangkat bekerja.
209

Jenis – jenis TT yang melekat pada teks Gerongan Ladrang Sayuk

No Penutur Bahasa Verbal : Teks Jenis –jenis Pemarkah


(Pn) Gerongan Ladrang Sayuk TT
1 Pria (Pn) Adhuh lae, atak adhuh bregas
lae, dasar bregas ten Ekspresif
atene,
2 Pria (Pn) Adhuh lae, atak adhuh Cukat trampil
lae, cukat trampil Ekspresif
tumandange,
3 Pria (Pn) Adhuh lae, atak adhuh anteng tajem
lae, anteng tajem Ekspresif
polatane,
4 Pria (Pn) Adhuh lae, atak adhuh disingkirke
lae, sesongaran Direktif
disingkirke,
5 Pria (Pn) Adhuh lae, atak adhuh Labet mring
lae, labuh labet mring Direktif
bangsane,
6 Pria (Pn) Adhuh lae, atak adhuh ora nyleweng
lae, ora nyleweng Direktif
tumindake,
7 Pria (Pn) Adhuh lae, atak adhuh enyoh anake
lae, wis mbokne enyoh Direktif
anake sun arsa mangkat
megawe.
210

Konteks.

Identifikasi / latar.

a. Peserta tutur: Pria (Pn).

Wanita (Pt), ia merespon dengan gerak tanpa tuturan.

b. Tema / topik: kekudangan (menimang bayi sambil bersenandung)

c. Tujuan: suami mengharapkan supaya anak yang masih dalam timangan

tersebut kelak menjadi orang yang berperilaku baik dan berguna bagi

masyarakat lingkungannya. Hal ini untuk menunjukkan rasa kasih sayang

orang tua terhadap anak dan istrinya.

d. Status sosial: penari pria sebagai seorang suami, ia digambarkan sebagai

figur seorang suami yang bertanggungjawab dan sangat setia terhadap istri.

Penari wanita sebagai seorang istri, ia digambarkan sebagai figur seorang

istri yang sangat setia terhadap suami.

e. Tempat: di rumah.

f. Situasi tutur: tidak formal.

g. Gerak: diawali suami menimang-nimang anak dengan lumaksono yang

diikuti istri lumaksono lembehan sampur dan kawilan. Anak diberikan istri

sedangkan suami meledeknya dengan ogekan, tangan kanan menthang

sampur dan lilingan. Setelah istri menimang anak beberapa saat, kemudian

anak diberikan kepada temanten putri dengan srisik, suami gerak lumaksono

sambil menanti kedatangan istri.


211

h. Polatan / ekspresi wajah: suami dan wajah istri tampak cerah dan gembira.

Pandangan mata suami dan istri banyak terfokus pada anak dan mereka juga

sering saling berhadapan.

i. Pola lantai: didominasi garis-garis lengkung.

j. Iringan gendhing: Ladrang Sayuk untuk mendukung suasana kekudangan

yang merepresentasikan rasa senang, gembira, dan bahagia.

Implikatur

Bregas ten atene: ungkapan tentang sikap dan perilaku yang baik.

Cukat trampil: pernyataan tentang kelincahan dan ketrampilan dalam bekerja.

Anteng tajem: ungkapan tentang keramahan dan kehalusan perangai seseorang

yang diamati dari ekspresi wajah.

Sesongaran: sikap sombong, yang biasanya untuk dihindari.

Labuh labet mring bangsane: sebuah ungkapan yang berusaha mengedepankan

kepentingan umum.

Ora nyleweng : berperilaku baik dengan menghindari hal-hal yang mengarah pada

perbuatan atau tindakan yang melanggar norma atau aturan yang

berlaku.

Implikatur bahasa verbal Gerongan Ladrang Sayuk pada tari Tari Bondhan Sayuk,

mengisyaratkan tentang beberapa harapan orang tua terhadap

seorang yang berperilaku baik mengutamakan kebajikan, kerja

keras, dan mengutamakan kepentingan umum untuk membangun

bangsa. Implikatur bahasa verbal Gerongan Ladrang Sayuk, yaitu

tanggungjawab sebagai orang tua dalam mempersiapkan


212

pendidikan anak sebagai generasi penerus yang memiliki

kepribadian baik, berwawasan luas sehingga berguna bagi

kehidupan sosial masyarakat.

Prinsip kerja sama berdasarkan bahasa verbal pada Gerongan Ladrang Sayuk

dapat diungkap:

a. Maksim kuantitas dilanggar.

b. Maksim kualitas dilanggar.

c. Maksim hubungan dilanggar.

d. Maksim cara dilanggar.

Prinsip kesantunan berdasarkan bahasa verbal pada Gerongan Ladrang Sayuk,

menggunakan strategi:

1) melakukan TT dengan menggunakan kesantunan positif.

2) melakukan TT secara tidak langsung (off record).

(4). Teks Gerongan Lancaran Sayuk


Sayuk, sayuk, sayuk, sakancane,
Sayuk, sayuk, sayuk, nyambut gawe,
Sayuk, sayuk, sayuk, sakabehe,
Sayuk mbangun negarane.

Terjemahan:
Kebersamaan dengan teman,
Kebersamaan dalam bekerja,
Kebersamaan semuanya,
Kebersamaan dalam membangun negara.
213

Jenis – jenis TT yang melekat pada teks Gerongan Lancaran Sayuk

No Narator Bahasa Verbal : Teks Jenis – jenis Pemarkah


(Nr) Gerongan Lancaran TT
Sayuk
1 Nr Sayuk, sayuk, sayuk, sayuk sakancane
sakancane, Direktif

2 Nr Sayuk, sayuk, sayuk, sayuk nyambut gawe


nyambut gawe, Direktif

3 Nr Sayuk, sayuk, sayuk, sayuk sakabehe


sakabehe, Direktif

4 Nr Sayuk mbangun sayuk mbangun


negarane. Direktif

Konteks.

Identifikasi / latar.

a. Peserta tutur: Narator.

Pria , ia merespon dengan gerak tanpa tuturan.

Wanita , ia merespon dengan gerak tanpa tuturan.

b. Tema / topik: makarya (bekerja).


214

c. Tujuan: suami maupun istri saling mengajak dan memberi dorongan

semangat untuk bekerja secara bersama-sama dalam menyelesaikan

pekerjaan dengan suasana gembira.

d. Status sosial: penari pria sebagai seorang suami, ia digambarkan sebagai

figur seorang suami yang bertanggungjawab dan sangat setia terhadap istri.

Penari wanita sebagai seorang istri, ia digambarkan sebagai figur seorang

istri yang sangat setia terhadap suami.

e. Tempat: di luar rumah.

f. Situasi tutur: tidak formal.

g. Gerak: pada implementasinya, gerak yang dipilih antara pasangan suami dan

istri berupa sekaran-sekaran yang dapat diekspresikan secara dinamis untuk

menimbulkan kesan semangat dalam keadaan riang dan gembira. Wujud

Kinetic body moves yang dipilih untuk istri sekaran luluran, tawing kiri,

lilingan kebyok sampur, dan enjer muter. Sekaran untuk ekspresi peran

suami terdiri dari: laku telu pondhongan, enjer ridhong muter, lilingan

kebyok sampur dan enjer muter. Sebagai penutup sepasang suami istri saling

mendekat bergandengan tangan kemudian srisik kanthen tangan kanan

menuju tempat duduk temanten mengambil boneka anak.

h. Polatan / ekspresi wajah: suami dan wajah istri tampak cerah dan gembira.

Arah Pandangan mata suami dan istri saling menatap, berhadapan dan

didukung dengan saling melempar senyuman sehingga tampak gembira dan

bahagia.

i. Pola lantai: didominasi garis-garis lengkung.


215

j. Iringan gendhing: Lancaran Sayuk dengan irama dinamis untuk mendukung

suasana kekudangan yang merepresentasikan rasa riang, gembira, dan

bahagia.

Implikatur

Sayuk : sebuah ajakan dalam bekerja untuk bersama-sama dengan

dorongan semangat.

Sakancane: bersama-sama dengan teman.

Nyambut gawe: bekerja.

Sakabehe: seluruhnya dalam berbagai kegiatan.

Implikatur bahasa verbal Gerongan Lancaran Sayuk pada tari Tari Bondhan Sayuk

adalah gambaran kehidupan sebuah keluarga yang rukun, damai,

harmonis, dan berupaya menjalani kehidupan secara bersama-

sama. Kebahagiaan sebuah keluarga yang dilandasi rasa cinta

akan memberikan spirit yang kuat dalam berbagai aktifitas dalam

aktualisasi publik.

Prinsip kerja sama berdasarkan bahasa verbal pada Gerongan Lancaran Sayuk

dapat diungkap:

a. Maksim kuantitas dilanggar.

b. Maksim kualitas dilanggar.

c. Maksim hubungan dilanggar.


216

d. Maksim cara dilanggar.

Prinsip kesantunan berdasarkan bahasa verbal pada Gerongan Lancaran Sayuk,

menggunakan strategi:

1) melakukan TT dengan menggunakan kesantunan positif.

2) mlakukan TT secara tidak langsung (off record).

Dari penjabaran bahasa verbal yang terdapat dalam tari Bondhan Sayuk terdapat

beragam jenis tindak tutur yang dapat peneliti klasifikasikan secara kuantitatif sebagai

berikut:

NO JENIS TINDAK TUTUR JUMLAH


1 Tindak Tutur Direktif 14
2 Tindak Tutur Ekspresif 6
3 Tindak Tutur Asertif 4
4 Tindak Tutur Komisif 1
5 Tindak Tutur Patik 1
6 Tindak Tutur Performatif -
7 Tindak Tutur Verdiktif -

Berdasarkan prinsip kerja sama bahasa verbal yang terdapat tari Bondhan Sayuk:

a. Maksim kuantitas dilanggar karena dalam menyampaikan tuturan seorang

penutur, banyak menggunakan kata-kata arkais dimaksudkan oleh penutur

untuk mengekspresikan rasa estetik.

b. Maksim kualitas ada yang dilanggar juga ada yang dipatuhi. Maksim kualitas

yang dilanggar dimaksudkan oleh penutur bahwa tuturan yang berupa

tembang dimanfaatkan untuk mengekspresikan rasa lagu. Sedangkan


217

maksim kualitas yang dipatuhi dimaksudkan oleh penutur untuk

menggambarkan peristiwa yang betul-betul terjadi pada masing-masing

adegan.

c. Maksim hubungan ada yang dilanggar juga ada yang dipatuhi. Maksim

hubungan yang dilanggar dimaksudkan oleh penutur bahwa tuturan yang

berupa tembang tersebut diharapkan dapat sebagai sarana komunikasi rasa.

Sedangkan maksim hubungan yang dipatuhi dimaksudkan oleh penutur

untuk menjaga kerja sama antara penutur dengan mitra tutur, masing-masing

hendaknya memberikan kontribusi yang relevan demi terjadinya komunikasi

rasa.

d. Maksim cara dilanggar karena dalam menyampaikan tuturan seorang

penutur, tidak langsung, terlalu panjang, dan pernyataannya samar, hal ini

dimaksudkan seniman penyusun untuk mengekspresikan rasa estetik dan

menambah kemantapan rasa.

Prinsip kesantunan berdasarkan bahasa verbal pada tari Bondhan Sayuk, menggunakan

strategi:

1) Melakukan tindak tutur dengan menggunakan kesantunan positif untuk

menunjukkan kedekatan, keintiman, dan hubungan baik antara penutur dengan

mitra tutur. Hal ini dimaksudkan seniman penyusun untuk menunjukkan

simbolisasi keharmonisan hubungan antara peran suami dan istri yang

digambarkan dalam tari.

2) Melakukan tindak tutur secara tidak langsung (off record) untuk

mengekspresikan rasa estetik dan menambah kemantapan rasa.


218

b. Bahasa Nonverbal

Bahasa nonverbal tari Bondhan Sayuk terdiri dari: tema, kinetic body moves,

polatan (ekspresi wajah), rias, busana, pola lantai, dan iringan.

1.Tema.

Bentuk tema yang diangkat pada tari Bondhan Sayuk adalah tema percintaan

sepasang manusia laki-laki dan perempuan secara universal. Pasangan kekasih tersebut

bukan merupakan gambaran dari tokoh tertentu dari sebuah cerita, sejarah, babad, atau

dongeng, tetapi merupakan reaktualisasi dari imajinasi sepasang suami istri yang telah

dianugerai seorang anak laki-laki yang masih dalam timangan. Liku-liku perjalanan

cinta sepasang suami istri beserta anak laki-lakinya dalam menjalani kehidupan yang

penuh harapan-harapan terkait dengan prospek masa depan anak untuk partisipasinya

pada pembangunan bangsa dan negara.

Untuk mewujudkan cita-cita yang mulia tersebut, sepasang suami istri memiliki

tugas dan tanggungjawab untuk membina dan mendidik anak sedini mungkin supaya

dapat tercapai harapannya. Selain dapat memenuhi kebutuhan yang bersifat rohani juga

tidak dapat mengabaikan kebutuhan yang bersifat jasmani sebagai sarana penopang

kebutuhan hidup sehari-hari, untuk itu seorang suami dituntut harus bekerja secara

sungguh-sungguh. Pernyataan tersebut mengisyaratkan bahwa berlandaskan rasa cinta

yang mendalam seorang istri mengingatkan, menghendaki dan mendukung suami untuk

bekerja demi kelangsungan hidup keluarga, seperti tersurat pada cakepan Jineman Sayuk

pada bagian awal yang berbunyi: Dhuh mas jiwaku; baya iki wus wanci; Bapakne

sithole; mangkat makarya; Sawahmu tansah anganti,


219

Bentuk sajian dari tema percintaan yang diangkat pada tari Bondhan Sayuk

tersebut aktualisasinya diperankan oleh: suami dan istri, yang menggunakan properti

berupa boneka yang dibalut sehelai kain sebagai simbolik anak (bayi). Dari tema

percintaan sepasang suami-istri yang sifatnya universal tersebut, untuk aktualisasinya

akan membentuk sebuah alur yang terbagi menjadi beberapa adegan: a) adegan

kasmaran (percintaan); b) adegan kekudangan (menimang bayi sambil bersenandung) ;

c) adegan makarya (bekerja).

a) adegan kasmaran menggambarkan sepasang suami dan istri yang sedang

memadu cinta. Pada awalnya istri kurang perhatian terhadap suami, atas rayuan suami

dengan sanjungan atau pujian, istri menjadi luluh hatinya yang kemudian mereka berdua

saling beradu cinta. Setelah kemesraan berakhir istri meninggalkan suami untuk

mengambil anaknya, suasana menjadi tegang. Gambaran adegan kasmaran

mengungkapkan rasa kecewa, mesra, dan tegang.

b). Adegan kekudangan menggambarkan kegembiraan dan kebahagiaan

sepasang suami dan istri yang telah dikaruniai seorang anak laki-laki yang diharapkan

menjadi pewaris keturunan dan berguna bagi pembangunan bangsa dan negara. Adapun

bentuk aktualisasinya diwujudkan sepasang suami dan istri yang sedang menimang bayi

secara bergantian sambil bersenandung tentang harapan-harapan mulia sebagai orang tua

terhadap anak laki-laki kelak setelah menjadi orang dewasa. Harapan-harapan mulia

kedua orang tua terhadap anak laki-lakinya kelak menjadi orang yang memiliki

kepribadian yang baik, tidak sombong, tidak menyeleweng, pekerja profesional,

berpartisipasi aktif dalam pembangunan bangsa dan negara. Adegan kekudangan

mengungkapkan rasa gembira dan rasa bahagia.


220

c). Adegan makarya merupakan gambaran semangat bekerja secara bersama-

sama antara suami dan istri dengan suasana gembira. Rasa yang hendak diekspresikan

pada adegan ini yaitu puncak kegembiraan dan kebahagiaan. Jika dicermati dari alur

adegan dari kasmaran, kekudangan, yang kemudian makarya dapat ditarik benang

merahnya bahwa kehidupan sebuah keluarga yang didasari rasa cinta mendambakan

kemesraan, keharmonisan, kedamaian dan kebahagiaan berupaya menyeimbangkan akan

kebutuhan rohani yang teraktualisasi dalam adegan kasmaran berlanjut adegan

kekudangan dan kebutuhan jasmani yang tergambar dalam adegan makarya.

2. Kinetic body moves atau Gerak tubuh.

Gerak tubuh pada tari Bondhan Sayuk adalah kristalisasi dari beberapa unsur

gerak tradisional yang bersumber pada tarian tradisional karaton Kasunanan yang lebih

dikenal gaya Surakarta. Beberapa vokabuler gerak yang berupa sekaran memiliki

karakteristik beragam pula. Pola-pola gerak yang digunakan untuk gambaran-gambaran

pada masing-masing adegan tidak selalu dapat dengan mudah menunjukkan aktifitas

yang tengah terjadi. Artinya pola-pola gerak yang digunakan dalam tari tidak selalu

merepresentasikan secara vulgar dan jelas maksud penyusun yang tersurat pada bahasa

verbalnya. Seperti gambaran adegan makarya, di sini bentuk-bentuk vokabuler geraknya

tidak tampak gerak orang makarya / bekerja., tetapi bagaimana vokabuler gerak tersebut

mampu mengungkapkan rasa sesuai dengan kehendak penyusun.

Adegan kasmaran merupakan adegan pertama yang secara garis besar

menggambarkan sepasang suami dan istri sedang memadu cinta. Selengkapnya peristiwa

adegan kasmaran tersebut terkait dengan Kinetic body moves akan digambarkan secara

kronologis sebagai berikut. Berawal dari alunan kendhang sebagai pembukaan yang
221

diikuti secara bersama alunan seluruh ricikan balungan atau instrumen gamelan yang

terkemas dalam Srepek Rangu-rangu lr. pl. pt. barang. Kedua penari, putra sebagai

suami dan putri sebagai istri srisik bersama, tangan kanan saling berpegangan (nyathok)

dan tangan kiri lurus ke samping (menthang) menuju stage. Secara perlahan-lahan

keduanya lumaksono ridhong, srisik menuju tengah stage, berhenti laku enjer menthang

tangan kiri, kemudian putra besut dan putri sindhet merupakan gambaran rasa

kebersamaan. Iringan Ketawang Mijil Sulastri lr. pl. pt. barang untuk mendukung rasa

kecewa dan rasa mesra. Rasa kecewa diekspresikan istri lewat jengkeng, sekaran laras

kebyokan, sembahan, berdiri meninggalkan suami sambil kebyokan tangan kanan-kiri

sedangkan penari putra nyabet tangan kanan, besut, mendekat hoyogan, gajah-gajahan,

songgonompo – mbalang. Rasa mesra mulai tampak ketika masing-masing peran suami

dan istri saling mendekat dan berciuman dengan gerak kengser dan ngaras. Selanjutnya

gerak lincak gagak bersama, suami hendak pegang istri menghindar, saling mendekat

srisik kanthen tangan kanan.

Suasana tegang diungkapkan istri mulai menjauh dengan gerak tawing kiri dan

laku enjer sedangkan suami berhenti tanjak sambil tawing kiri memandangi yang putri.

Kebingungan semakin tampak, istri meninggalkan putra dengan gerak srisik kipat

sampur dan suami mencoba lari untuk mencegah istri namun tidak dapat dengan gerak

srisik. Perasaan suami tegang, khawatir dengan kengser mundur pelan-pelan, kembali

maju srisik, mundur srisik, berhenti tanjak. Istri srisik sambil menimang bayi menuju ke

stage mendekati putra., adapun bentuk iringan yang mendukung suasana ketegangan

tersebut adalah lancaran lr. pl. pt. barang.


222

Adegan kekudangan merupakan adegan kedua, yang menggambarkan

kegembiraan dan kehagiaan sepasang suami dan istri yang telah dikaruniai seorang anak

laki-laki yang diharapkan menjadi pewaris keturunan dan berguna bagi masyarakat.

Adapun bentuk aktualisasinya diwujudkan sepasang suami dan istri yang sedang

menimang bayi secara bergantian sambil bersenandung tentang harapan-harapan mulia

sebagai orang tua terhadap anak laki-laki kelak setelah menjadi orang dewasa. Harapan-

harapan mulia kedua orang tua terhadap anak laki-lakinya kelak menjadi orang yang

memiliki kepribadian yang baik, tidak sombong, tidak menyeleweng, bekerja secara

profesional, berpartisipasi aktif dalam pembangunan bangsa dan negara. Adegan

kekudangan mengungkapkan rasa gembira dan rasa bahagia. Bentuk Kinetic body moves

yang mengekspresikan adegan kekudangan dapat dicermati berikut ini. Setelah istri

srisik sambil menimang anak, suami merasa gembira dan bahagia secara perlahan-lahan

mendekat, tangan kiri memegang bahu istri dan tangan kanan memegang anak sambil

memperhatikan dengan tawing kanan. Istri meminta perhatian suami terhadap anak

yang ditimang dengan gerak putar ke kanan, lembehan tangan kanan, putar ke kiri –

tangan kanan ukel karno sedangkan suami mendekat menanggapi dengan gerak panggel

dan pandangan mengarah ke putri dan anak. Istri mengingatkan pekerjaan terhadap

suami dengan gerak tawing kanan sambil memandang suami sedangkan suami

menyambut baik dengan gerak ukel karno kanan yang kemudian srisik mendekati.

Selanjutnya istri tawing kanan, maju srisik mendekati suami untuk memberikan anaknya

dan suami juga mendekat dengan lumaksono untuk menerimanya. Suami menimang

anak sedangkan istrinya meledek dengan tawing kiri-tawing kanan. Seluruh sajian

Kinetic body moves tersebut diiringi jineman Sayuk lr. pl. pt. barang.
223

Ekspresi kekudangan yang berisi harapan orang tua terhadap anak, diawali

suami menimang-nimang anak dengan lumaksono yang diikuti istri lumaksono

lembehan sampur dan kawilan. Gantian anak diberikan istri sedangkan suami

meledeknya dengan ogekan,tangan kanan menthang sampur dan lilingan. Setelah istri

menimang lalu boneka anak diberikan kepada temanten putri dengan srisik, suami gerak

lumaksono sambil menanti kedatangan istri. Adapun gambaran Kinetic body moves

bagian ini diiringi ladrang Sayuk lr. pl. pt. barang.

Adegan makarya merupakan adegan ke tiga yang menjadi penutup dari seluruh

alur adegan yang terdapat pada tari Bondhan Sayuk. Ungkapan adegan makarya adalah

gambaran semangat dalam bekerja antara suami dan istri dengan suasana gembira. Rasa

yang hendak diekspresikan pada adegan ini yaitu rasa riang, gembira, dan bahagia.

Bentuk gambaran Kinetic body moves pada adegan makarya tidak mengekspresikan

orang yang tengah bekerja menggarap sawah, seperti mencangkul, membajak, tanam

padi, dan lainnya. Pada implementasinya, gerak yang dipilih antara pasangan suami dan

istri berupa sekaran-sekaran yang dapat diekspresikan secara dinamis untuk

menimbulkan kesan semangat dalam keadaan riang dan gembira. Wujud Kinetic body

moves yang dipilih untuk istri sekaran luluran, tawing kiri, lilingan kebyok sampur, dan

enjer muter. Sekaran untuk ekspresi peran suami terdiri dari: laku telu pondhongan,

enjer ridhong muter, lilingan kebyok sampur dan enjer muter. Sebagai penutup

sepasang suami istri saling mendekat srisik kanthen tangan kanan menuju tempat duduk

temanten mengambil boneka anak kemudian sebagai cucuk lampah temanten (berjalan

di depan temanten untuk menggiring sepasang mempelai ke depan pintu rumah resepsi

guna menghantarkan para tamu undangan yang hendak berpamitan). Gendhing sebagai
224

iringan adegan ini adalah Lancaran Sayuk lr. pl. pt. barang dan Ayak-ayakan lr. pl. pt.

barang.

Secara garis besar Kinetic body moves yang terdapat pada seluruh adegan tari

Bondhan Sayuk, baik adegan: kasmaran, kekudangan, dan makarya merupakan

kombinasi dari gerak representatif dan presentatif, seperti paparan berikut ini.
225

2) jenis-jenis vokabuler gerak atau sekaran yang terdapat dalam tari Bondhan Sayuk.

Adegan Peran Jenis Gerak Peran Jenis Gerak

Keterangan Keterangan
No I. SW Representatif SL Representatif
Kasmaran
1 Srisik kanthen tangan Distilisasi gerak Srisik kanthen Distilisasi gerak
kanan orang lari tangan kanan orang lari
bergandengan bergandengan
tangan kanan tangan kanan
2 Lumaksono ridhong Distilisasi dari Lumaksono ridhong Distilisasi dari
orang berjalan orang berjalan
3 Srisik kanthen tangan Distilisasi gerak Srisik kanthen Distilisasi gerak
kanan orang lari tangan kanan orang lari
bergandengan bergandengan
tangan kanan tangan kanan
4 Enjer menthang Distilisasi dari songgonompo Distilisasi dari
tangan kiri orang berjalan ke orang menerima
samping sambil sesuatu
meluruskan tangan
kiri
226

5 Jengkeng Distilisasi dari mbalang Distilisasi dari


orang duduk orang memberi atau
membuang sesuatu
6 Ngaras Distilisasi dari Ngaras Distilisasi dari
orang berciuman orang berciuman
7 Lincak gagak, tawing Distilisasi dari Lincak gagak, Distilisasi dari
kiri gerak kaki burung tawing kiri gerak kaki burung
gagak, sambil gagak, sambil
melihat ke kiri melihat ke kiri
8 Sautan / nubruk Distilisasi dari Endhan Distilisasi dari
orang hendak orang menghindar
memegang
seseorang yang
dihindari
9 Srisik kanthen tangan Distilisasi gerak Srisik kanthen Distilisasi gerak
kanan orang lari tangan kanan orang lari
bergandengan bergandengan
tangan kanan tangan kanan
10 Enjer tawing kiri Distilisasi dari Tanjak tawing kiri Distilisasi dari
orang berjalan ke orang berdiri sambil
samping sambil melihat ke kiri
melihat ke kiri
227

11 Srisik kipat sampur, Distilisasi gerak Srisik Distilisasi gerak


kedua tangan orang lari. Posisi (tangan nekuk), orang lari. Posisi
menthang sampur kedua tangan lurus Kedua tangan trap kedua tangan
membuka ke cetik nyempurit ditekuk di depan
samping dengan pinggang dengan
membawa sampur. jari-jari membuka,
kecuali jari jempol
ditekuk.

12 Srisik dan menimang Distilisasi gerak Lumaksono, nyabet Distilisasi gerak


bayi orang lari dengan tangan kanan orang berjalan
menggendhong bayi
13 Srisik mundur Distilisasi gerak
orang lari, badan
menghadap ke depan
sedangkan langkah
kaki mengarah ke
belakang

14 Tanjak Distilisasi gerak


orang berdiri. ( pola
tersebut merupakan
sikap berdiri pada
228

tari Jawa untuk putra


yang posisi kedua
kaki membuka dan
ditekuk disertai
badan sedikit
condong ke depan ).

Adegan Peran Jenis Gerak Peran Jenis Gerak

Keterangan Keterangan
No I. SW Presentatif SL Presentatif
Kasmaran
1 Sindhet Gerak penghubung Besut Gerak penghubung
2 Sekaran laras Kesannya tenang Besut Gerak penghubung
kebyokan
3 Kebyokan tangan Kesannya Gajah-gajahan Kesannya tenang
kanan-kiri mengabaikan dan memperhatikan
4 Kengser Gerak penghubung, Kengser Gerak penghubung,
kesannya mendekat kesannya mendekat
5 Kengser Gerak penghubung,
kesannya mendekat
229

Adegan Peran Jenis Gerak Peran Jenis Gerak

Keterangan Keterangan
No II. SW Representatif SL Representatif
Kekudangan
1 Srisik dengan Distilisasi gerak Tangan kiri Menunjukkan kasih
membawa anak orang lari dengan memegang bahu dan peneliting
menggendong tangan kanan
boneka anak memegang anak
2 Tawing kanan Distilisasi gerak Tawing kanan Distilisasi gerak orang
orang melihat ke melihat ke kanan
kanan
3 Tawing kanan Distilisasi gerak Srisik Distilisasi gerak orang
orang melihat ke lari
kanan
4 Srisik Distilisasi gerak lumaksono Distilisasi gerak orang
orang lari berjalan
5 Memberikan anak Untuk ditimang- Menerima anak Untuk ditimang-
kepada suami timang timang
230

6 Tawing kiri-kanan Distilisasi gerak Menggendong anak Menimang-nimang


orang melihat ke kiri boneka anak
lalu ke kanan
7 Lumaksono Distilisasi gerak Lumaksono Distilisasi gerak orang
lembehan sampur orang berjalan yang berjalan
kedua tangannya
membawa sampur
8 Menerima anak Untuk ditimang- Memberikan anak Untuk ditimang-
timang kepada istri timang
9 Menggendong anak Menimang-nimang Lilingan Distilisasi gerak orang
boneka anak meledek
10 Srisik dengan Distilisasi gerak Lumaksono Distilisasi gerak orang
membawa anak orang lari dengan berjalan
menggendong
boneka anak
231

Adegan Peran Jenis Gerak Peran Jenis Gerak

Keterangan Keterangan
No II. SW Presentatif SL Presentatif
Kekudangan
1 Lembehan ke kanan- Kesan meminta Panggel memperhatikan
ke kiri sambil putar perhatian
lalu ukel karno kanan
2 Kawilan Kesan meledek Ukel karno kanan Kesan merespon

3 Ogekan, tangan Kesan meledek


kanan menthang
sampur
232

Adegan Peran Jenis Gerak Peran Jenis Gerak

Keterangan Keterangan
No III. SW Representatif SL Representatif
Makarya
1 Sekaran luluran Distilisasi gerak Laku telu Distilisasi gerak orang
orang sedang luluran pondhongan memondong
2 Tawing kiri Distilisasi gerak Enjer ridhong muter Distilisasi gerak orang
orang melihat ke berjalan ke samping
samping kiri dengan melingkar
3 Lilingan kebyok Distilisasi gerak Lilingan kebyok Distilisasi gerak orang
sampur orang meledek sampur meledek sambil
sambil membawa membawa sampur
sampur
4 Enjer muter Distilisasi gerak Enjer muter Distilisasi gerak orang
orang berjalan ke berjalan ke samping
samping dengan dengan melingkar
melingkar
233

Dari paparan jenis-jenis gerak presentatif dan representatif yang terdapat pada tari

Bondhan Sayuk, dapat dicermati secara kuantitatif.

a. Jenis gerak Representatif.

Jumlah
No Adegan Peran Jenis Gerak vokabuler

1 I. Kasmaran SW Representatif 12

SL Representatif 14

2 II. Kekudangan SW Representatif 10

SL Representatif 10
III. Makarya
3 SW Representatif 4

SL Representatif 4
4 Jumlah gerak representatif, adegan I, II, dan III 54

b. Jenis gerak Presentatif.


No Adegan Peran Jenis Gerak Jumlah
vokabuler
1
I. Kasmaran SW Presentatif 4
SL Presentatif 5
2 II. Kekudangan SW Presentatif 4
SL Presentatif 4
4 Jumlah gerak presentatif, adegan I dan II 17
234

Jumlah presentase jenis-jenis gerak representatif dan presentatif tari Bondhan Sayuk.

Tari Bondhan Sayuk


No Adegan Jenis gerak jumlah
1 I, II, dan III representatif 54
2 I, II, dan III presentatif 17
3 Jumlah total gerak representatif dan presentatif = 54 + 17 71
4 Jumlah presentase gerak representatif = 54 : 71 X 100. 76,05 %,
5 Jumlah presentase gerak presentatif = 17 : 71 X 100. 23,95 %

3. Polatan (ekspresi wajah).

Ekspresi wajah atau gerak wajah bukannya wajah dalam pengertian objek yang

statis, merupakan sarana untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik terhadap

sesuatu yang sedang dikomunikasikan. Dari pengamatan peneliti terhadap ekspresi

wajah pada tari Bondhan Sayuk dapat dijabarkan seperti berikut. Pada adegan 1.

kasmaran, bagian awal menggambarkan rasa kebersamaan, polatan kedua penari tampak

cerah, kepala cenderung tegak, pandangan mata lebih banyak searah dan juga diseling

saling menatap untuk mengekspresikan rasa romantis. Perubahan terjadi ketika rasa

kecewa muncul, polatan suami sedikit tegang terfokus pada istri sedangkan kepala istri

banyak menunduk, tatapan mata tidak merespon suami dan berupaya menghindar.

Rasa kasmaran mulai terbangun kembali ketika sepasang suami dan istri berciuman,

polatan suami dan istri tampak cerah, mulai saling menebar senyuman. Akhir adegan

kasmaran suasana tegang, wajah suami dan istri tampak tegang pandangan mata tajam

dan kepala tegak. Pandangan mata suami istri saling menatap secara tajam dengan
235

didukung gerak istri perlahan-lahan menjauh meninggalkan sedangkan gerak suami

mendekat, polatan terfokus pada istri.

Adegan kekudangan diawali Istri srisik sambil menimang bayi menuju ke stage

mendekati suami, secara perlahan-lahan suasana mulai berubah menjadi gembira,

ekspresi wajah sepasang suami istri tampak cerah. Kegembiraan meningkat dan

kebahagiaan semakin terasa ketika sepasang suami istri secara bergantian menimang

anak, ekspresi wajah keduanya semakin tampak cerah, gembira, senyuman semakin

meningkat dan pandangan mata banyak saling menatap menunjukkan keharmonisan dan

kemesraan. Menginjak adegan makarya, suasana semangat yang diekspresikan secara

bersama-sama antara suami dan istri lewat sekaran-sekaran kebar semakin dinamis

didukung iringan Lancaran Sayuk yang berirama 1/1, sehingga kegembiraan lebih

maksimal dan kebahagiaan semakin mantap.

4. Rias dan busana.

Bentuk rias dan busana tari Bondhan Sayuk mengacu pada busana Jawa yang

sering dipakai pada acara-acara formal sebuah resepsi. Ide yang melatarbelakangi bentuk

rias dan busana yang dipakai bahwa kisah cerita yang diangkat dalam tari Bondhan

Sayuk adalah gambaran kehidupan sepasang suami istri yang berbudaya Jawa. Bagi

orang jawa rias dan dandanan busana yang digunakan pada acara resepsi secara garis

besar untuk wanita memakai kebaya dan bagian atas menggunakan sanggul atau gelung,

sedangkan pria memakai kejawen. Konsep tersebut rupanya merupakan pijakan awal

yang selanjutnya dikembangkan oleh penyusun tari menjadi lebih berfungsi untuk

kebutuhan ekspresi tari. Bentuk rias dan dandanan busana tari Bondhan Sayuk seperti
236

rias dan busana yang dipakai pada peran-peran kethoprak, terutama peran alusan atau

bambangan untuk pria.

Wujud rias istri menggunakan rias cantik dan rias suami menggunakan rias

bagusan yang keduanya tidak menampakkan perubahan karakter secara menyolok.

Dandanan busana untuk istri memakai dodot tanggung (dodot kecil) motif lereng dan

bagian kepala menggunakan gelung besar yang diberi bunga tibandhadha,

cundhukjungkat, dan cundhukmentul layaknya penganten putri berbusana basahan.

Perhiasan yang dipakai putri diantaranya: gelang, kalung, kelat bahu, dan suweng.

Suami memakai dodot tanggung motif lereng, keris dan blangkonan. Perhiasan untuk

putra diantaranya: gelang, kelat bahu, dan kalung. Warna busana dominasi coklat yang

memiliki kesan kalem dan kuning emas terutama perhiasan untuk menambah daya tarik

penonton. Kiranya dapat disimpulkan bahwa rias dan busana yang digunakan dalam tari

Bondhan Sayuk untuk memberi dukungan karakter peran dan mengaktualisasikan jati

diri peran.

5. Pola lantai.

Pola lantai yang dibentuk dari Kinetic body moves merupakan komplementer

keduanya yang diharapkan dapat membantu mengekspresikan suasana yang terdapat

pada masing-masing adegan. Secara prinsip pola lantai yang terdapat dalam tari

Bondhan Sayuk, mencakup dua bentuk utama, yaitu garis lurus dan garis lengkung.

Garis-garis lurus digunakan untuk mengungkapkan keinginan, kemauan yang kuat dan

tegas, seperti aktualisasi adegan awal kasmaran yang menggambarkan kebersamaan

suami dan istri (lihat gambar: 1). Selain itu untuk fase-fase ketegangan ketika istri

hendak meninggalkan suami (lihat gambar: 2).


237

Gambar 1. Gambar 2.

Garis-garis lengkung lebih difungsikan untuk mengungkapkan kesan manis,

lembut, yang banyak terdapat dalam tari Bondhan Sayuk, terutama pada adegan tiga

makarya. Adapun bentuk-bentuk sekaran laku telu pondhongan, lilingan kebyok

sampur, dan enjer ridhong muter yang terkait dengan pola-pola lantai tersebut seperti

tergambar pada paparan berikut.

Gambar 1. Gambar 2.

Gambar 1: pola lantai laku telu pondhongan pada adegan tiga.

Gambar 2: pola lantai lilingan kebyok sampur pada adegan tiga.


238

Gambar 3.

Gambar 3: pola lantai enjer ridhong muter pada adegan tiga.

6. Iringan.

Bentuk iringan tari Bondhan Sayuk merupakan komplementer garap lagu Teks

sastra tembang dan rasa musikal dari garap instrumen gamelan yang berupa gendhing.

Bahasa verbal yang berupa teks sastra tembang yang terdapat dalam tari Bondhan

Sayuk, terdiri dari beberapa garap lagu, yakni: (1) garap sindhenan (2) garap jineman,

dan (3) garap gerongan. Garap sindhenan terdiri dari satu bait yang terdapat pada

iringan Ketawang Mijil Sulastri. Garap jineman mencakup satu bait yang terdapat pada

iringan Ladrang Sayuk. Bentuk garap jineman merupakan garap lagu tembang jawa,

yang penyajiannya dimulai nyanyian solo atau tunggal tanpa iringan instrumen gamelan

kemudian diikuti nyanyian secara koor dengan iringan instrumen gamelan. Maksud

menggunakan garap jineman adalah untuk menonjolkan lagu dan makna yang

terkandung dalam bahasa verbalnya. Sedangkan garap gerongan terdiri dari satu bait

yang terdapat pada iringan Lancaran Sayuk, yang dinyanyikan koor oleh vokalis putra
239

bersama vokalis putri. Susunan iringan tari Bondhan Sayuk seluruhnya dan secara urut

dari adegan kasmaran, kekudangan dan makarya dapat dicermati berikut ini.

Adegan : I. Kasmaran.

Adegan kasmaran sebagai adegan pertama dalam tari Bondhan Sayuk, didukung

beberapa iringan gendhing, antara lain: Srepek Rangu-rangu lr. pl. pt. barang,

Ketawang Mijil Sulastri lr. pl. pt. barang, dan Lancaran lr. pl. pt. barang. Kedudukan

iringan Srepek Rangu-rangu lr. pl. pt. barang pada adegan ini bersifat nglambari

artinya rasa musikal yang dihasilkan dari garap Srepek Rangu-rangu lr. pl. pt. barang

berfungsi untuk memberikan ilustrasi terhadap rasa kebersamaan sepasang suami istri.

Ketawang Mijil Sulastri lr. pl. pt. barang, yang merupakan iringan kedua setelah Srepek

Rangu-rangu lr. pl. pt. barang, kedudukannya dalam adegan kasmaran ini bersifat

nyawiji. Pengertian nyawiji di sini garap gendhing Ketawang Mijil Sulastri lr. pl. pt.

barang implementasinya dengan garap gerak adalah menyatu. Keterpaduan yang

dimaksudkan adalah menyatunya rasa musikal gendhing Ketawang Mijil Sulastri lr. pl.

pt. barang dengan ekspresi vokabuler gerak yang secara komplementer mengungkapkan

suasana kasmaran yang dialami sepasang suami istri yang terjabar dalam rasa: kecewa

dan mesra.

Bentuk menyatunya iringan dengan gerak, dapat dicermati secara komprehensip

dari beberapa elemen, diantaranya: a) rasa musikal dan makna bahasa verbal yang

mengekspresikan rasa kecewa menyatu dengan ekspresi gerak yang menggambarkan

kekecewaan istri, begitu pula rasa musikal dan makna bahasa verbal yang

mengekspresikan rasa cinta menyatu dengan ekspresi gerak yang menggambarkan

kemesraan sepasang suami istri yang ditandai dengan gerak ciuman. b) rasa seleh yang
240

terdapat pada gendhing merupakan iringan yang mendukung rasa seleh pada tari, baik

rasa seleh ringan maupun rasa seleh berat. c) pola gatra yang terdapat pada bentuk

gendhing Ketawang Mijil Sulastri dapat dijadikan tanda mulai bergerak ataupun

berakhirnya suatu gerak pada tari.

Lancaran lr. pl. pt. barang, merupakan iringan yang secara musikal dapat

mengekspresikan suasana tegang yang kedudukannya pada adegan ini lebih bersifat

nglambari. Implementasinya rasa musikal yang berirama 1/1 tersebut mampu

memberikan ilustrasi rasa tegang yang mendukung kekacauan atau ketegangan yang

diekspresikan suami maupun istri. Terkait dengan alur adegan iringan Lancaran lr. pl.

pt. barang tersebut merupakan fase peralihan dari adegan kasmaran menjadi adegan

kekudangan. Adapun bentuk iringan untuk adegan 1: kasmaran, dapat dicermati

paparan berikut ini.

Srepek Rangu-rangu
lr. pl. pt. barang

Buka : kendhang : o o o b xpl o g7


[ 2 7 2 7 2 7 2 7 3 5 2 3
5 6 5 3 5 6 5 3 6 7 6 5 3 2 3 g7
]
suwuk :
XXXXXxx2xxx x7x x Xx2x x x7 3 2 7 g6

Ketawang Mijil Sulastri


lr. pl. pt. barang
241

[ . 2 . 3 . 2 . n7 . 2 . p3 . 7 . g6
. 2 . 3 . 2 . n7 x3x x x3x x x.x x xp.
x3xx Xx XXXx3x x XXx5x x Xxg6
Xx.xxx x.x x x6XXXx x x. 7 5 7 Xxn6x7 x5x6 7
3 p2 X . 7 5 g6
. 2 . 3 . 2 . n7 . 2 . p3 . 2 .
g7
x5x x5x x x.x Xx x. 7 6 5 n3
XXXx5XXXXXXx7 6 2 p7 3 2 7 g6

Lancaran
lr. pl. pt. barang
[ . 7 . 6 . 7 . 3 . 7 . 3 . 7 . g2
. 7 . 2 . 7 . 3 . 7 . 5 . 7 . g6 ]

Adegan : II. Kekudangan

Dalam adegan kekudangan yang mengisahkan menggambarkan kegembiraan dan

kebahagiaan sepasang suami dan istri yang telah dikaruniai seorang anak laki-laki yang

diharapkan menjadi pewaris keturunan dan berguna bagi pembangunan bangsa dan

negara. Adapun bentuk aktualisasinya diwujudkan sepasang suami dan istri yang sedang

menimang bayi secara bergantian sambil bersenandung tentang harapan-harapan mulia

sebagai orang tua terhadap anak laki-laki kelak setelah menjadi orang dewasa. Harapan-

harapan mulia kedua orang tua terhadap anak laki-lakinya kelak menjadi orang yang

memiliki kepribadian yang baik, tidak sombong, tidak menyeleweng, pekerja

profesional, berpartisipasi aktif dalam pembangunan bangsa dan negara. Dukungan

iringan untuk adegan kekudangan yang mengungkapkan rasa gembira dan rasa bahagia
242

adalah Ladrang Sayuk lr. pl. pt. barang. Garap wiled yang berirama 1 / 8 pada Ladrang

Sayuk lr. pl. pt. barang mengisyaratkan bahwa ungkapan rasa gembira dan rasa bahagia

yang terdapat pada adegan kekudangan ini suasana tampak lebih tenang dan semeleh

(irama tidak tergesa-gesa, pelan, dan mantap).

Kedudukan iringan Ladrang Sayuk lr. pl. pt. barang pada adegan ini sifatnya

mungkus, dan nyawiji. Bentuk mungkus ini ditinjau dari pelaksanaan vokabuler gerak

yang terdapat pada adegan kekudangan hampir seluruhnya menggunakan pola

kendangan kebar atau ciblon yang selalu membungkus pola gerak. Dalam hal ini pola-

pola gerak tari selalu ketat- ketat diikuti pola kendangan. Selain itu iringan Ladrang

Sayuk lr. pl. pt. barang pada dasarnya nyawiji dengan garap geraknya. Pengertian

nyawiji ini mengarah pada pemersatuan dari unsur tari yang berupa vokabuler-vokabuler

gerak kebar yang dinamis dan unsur karawitan yang berupa Ladrang Sayuk lr. pl. pt.

barang dengan irama sigrak, lagu jineman yang riang dan tekanan sedang pada adegan

kekudangan ini adalah untuk pencapaian harmonisasi penyajian. Keterpaduan garap tari

dan garap Ladrang Sayuk dalam rangka mengekspresikan rasa gembira, dan bahagia

sepasang suami dan istri dapat nyawiji dan tercapai. Bentuk iringan untuk adegan 2:

kekudangan dapat dicermati paparan berikut ini.

Jineman Sayuk
laras. pl. pt. barang
243

Buka : celuk :
6 7 XXXXz@cc# XXXXXXxxz6c7 Xxzx5x.x6x5c3
z7cx2 2 2 2 2 X z2x3c2 z7x.c6
Dhuh mas ji - wa ku ba - ya I - ki wus wan - ci
. . y u 3 2 uX y 3 5 z6x5x3x5x6c7 z3x2x7c6
z7x2x.x3x2c7
Ba- pak ne si - tho - le mang-kat ma - kar - ya
5 6 7 z5c6 2 2 z2x3c2 z7x.c6
Sa - wah mu tan - sah a - ngan - ti
. . . . . u . y
. . . . . . . . . . zj2c3 u . . zj2c3 y
Mbok-ne tho-le
. 3 . 2 5 3 2 7
. . 6 z7x x xzj@c# zzzzzzzzzjz6x7x jx5c3 2 y zj7c2
zj2c3 3 7 2 zj3c2 7
Sa-du - rung - e a - nak mu ga - wa - nen mre-ne
5 5 5 z6c7 7 @ # z#c@ 7 z6c7 5 6
Tak ku - dang-e a - nak ku sing ba - gus dhe - we
. 7 . z@x x x x c# z6x c5 3 . z6c7 5 . 3 .
2
Be - suk pin - ter nyam-but ga - we

Ladrang Sayuk
lr. pl. pt. barang

5 2 5 2 5 6 5 3
244

j.3 5 zj5c6 j22 j23 5 zj5c6 2 j.6 6 7 jz@c# zj6c7


zj3c2 zj6c5 3
A-dhuh la - e atak adhuh la - e dha - sar bregas ten a - te - ne
5 3 5 3 6 7 3 2
j.3 5 j.6 j33 j33 5 j.6 3 j.y jz7c2 zj2c3 3 j.2 3
jz7c2 2
A-dhuh la-e atak adhuh la - e cu-kat trampil tu- ma -nda - nge
5 2 5 j2jj j 6 j7j j # j@j j 6 j3j j
2 7
j.3 5 .6 j22 j23 5 j.6 2 6 7 j.# j@# jz6c7 3 jz7c2
7
A-dhuh lae a-tak adhuh lae an-teng ta-jem po - la - ta - ne
2 7 2 7 2 6 3 2
j.7 2j.3 j77 j77 2 j.3 7 j.7 2 j27 y j.3 4 jz3c4
2
A-dhuh lae atak a- dhuh la – e se- so nga - ran di - sing–kir - ke
4 2 4 2 4 3 2 7
j.3 4 kz.xk3c4 j22 j23 j4jk.kz3c4 2 j.6 z7c2 z2c3 3
j.7 jz2c7 jz3c2 7
A-dhuh lae atak a-dhuh la - e la - buh la-bet mringbangsa - ne
2 7 2 7 2 6 3 2
.7 2j.3 j77 j77 2 j.3 7 j.7 2 jz2c3 y j.7 3 zj7c2
2
Adhuh lae a-tak a-dhuh lae o -ra nyle-weng tu - mi – ndak - e

5 2 5 2 5 3 5 6
.3 5 zj5c6 j22 j23 5 zj.xjkj5c6 2 j.6 6 j.3 zj5cy j.2
3 jz5c6 6
Adhuh la - e a-tak a - dhuh la- e wis mbok ne e-nyoh a - nak - e
7 @ 6 3 6 5 3 2
245

. . 7 z@x xj.c# jz6x7xxj6c5 3 . . zj6c7 5 .


zj5x6jx5c3 2
sun ar - sa mang - kat me - ga - we

Adegan : III. Makarya.

Adegan makarya merupakan gambaran semangat bekerja secara bersama-sama,

kompak antara suami dan istri dalam suasana gembira. Rasa yang hendak diekspresikan

pada adegan ini yaitu puncak kegembiraan dan kebahagiaan untuk menyongsong masa

depan yang lebih cerah. Iringan yang mendukung adegan makarya yaitu Lancaran

Sayuk lr. pl. pt. barang dan sebagai mundur beksan (penutup) iringan Ayak-ayakan lr.

pl. pt. barang.

Kedudukan iringan Lancaran Sayuk lr. pl. pt. barang pada adegan ini sifatnya

mungkus, dan nyawiji. Bentuk mungkus ini ditinjau dari pelaksanaan vokabuler gerak

yang terdapat pada adegan tiga hampir seluruhnya menggunakan pola kendangan kebar

atau ciblon yang selalu membungkus pola gerak. Dalam hal ini pola-pola gerak tari

selalu ketat- ketat diikuti pola kendangan. Bentuk nyawiji ini mengarah pada

pemersatuan dua unsur menjadi satu yaitu dari unsur tari yang berupa vokabuler-

vokabuler gerak kebar yang dinamis dan unsur karawitan yang berupa Lancaran Sayuk

dengan irama sigrak, lagu gerongan riang dan tekanan dinamis, sehingga rasanya

menyatu dan harmonis. Sebagai penutup adegan makarya diiringi Ayak-ayakan lr. pl.

pt. barang yang berfungsi nglambari yang memberikan ilustrasi rasa musikal untuk

mundur beksan. Iringan Lancaran Sayuk lr. pl. pt. barang dan Ayak-ayakan lr. pl. pt.

barang secara berurutan dapat dicermati paparan berikut ini.


246

Lancaran Sayuk
lr. pl. pt. barang

. 6 . 2 . 6 . 2 . 6 . 2 . 7 . g6
. . 6 2 . . 6 2 . . 6 2 2 3 5 6
Sa-yuk sa-yuk sa- yuk sa – kan - ca - ne
. 7 . 6 . 7 . 6 . 7 . 6 . 3 . g5
. . 7 6 . . 7 6 . . 7 6 5 2 3 5
Sa - yuk sa- yuk sa- yuk nyam-but ga- we
. 6 . 5 . 6 . 5 . 6 . 5 . 7 . g6
. . 6 5 . . 6 5 . . 6 5 2 3 5 6
Sa - yuk sa- yuk sa - yuk sa - ka - be - he
. 7 . @ . 6 . 3 . 6 . 5 . 3 . g2
. 7 . z@x x x.x x c3 z6c5 3 . z6c7 5 . 3 .
2
SS Sa - yuk mba-ngun ne – ga - ra - ne

Ayak-ayakan
lr. pl. pt. barang

Buka : o o o b o b b g2
. 3 . g2 . 3 . g2 . 5 . g3 . 2 . g7
[ 6 5 6 7 6 5 6 7 3 5 3 g2
3 5 3 g2 5 3 5 g6
5 3 5 g6 5 3 5 g6 5 3 2 g3 6 5 3 g2
3 5 3 g2 3 5 3 g2 5 3 2 g3 6 5 6 g7 ]
Suwuk : x7x x7 6 7 3 2 7 g6
247

Komposit Bahasa Verbal dengan Nonverbal Tari Bondhan Sayuk.

No Bahasa Verbal Bahasa Nonverbal


Sastra Tembang Tema, Vokabuler gerak Vokabuler gerak Pola lantai Iringan Hubungan Hubungan Keterangan
Adegan, dan Istri (SW) Suami (SL) Langsung Tidak
Rasa Langsung
1 Pasihan/ Srepek ungkapan
Rangu-
Percintaan. cinta yang
rangu lr.
I. Kasmaran: pl. pt. mendalam
barang.
seorang
suami
Rasa terhadap
Kebersamaan Srisik kanthen Srisik kanthen Garis istrinya,
Gong: 1
tangan kanan tangan kanan lurus dengan
harapan
mendapat
Lumaksono Lumaksono ridhong Garis perhatian
Gong: 2
ridhong lurus demi
terjalinnya
kasih cinta
untuk
harmonis
248

Srisik kanthen Srisik kanthen Garis Gong: 3 sebuah


tangan kanan, tangan kanan, besut lengkung rumah
laku enjer tangga.
menthang tangan
kiri, sindhet

Ketawang
Mijil
Sulastri lr.
pl. pt.
barang.

Rasa kecewa jengkeng, sekaran nyabet tangan Posisi di Gong: 1


laras kebyokan kanan, besut tempat

Dhuh mas rara, sembahan. Hoyogan, Garis Gong: 2 V -


garwaku wong berdiri kebyokan gajah-gajahan, lengkung Gong: 3
manis, aja gawe tangan kanan-kiri songgonompo,
kagol mbalang,
249

Amung sira yekti Rasa mesra gerak kengser dan kengser dan ngaras Gong: 4 V -
sulistyane ngaras

Jumbuh klawan lincak gagak, lincak gagak, maju Gong:5 V -


rasaningtyas mami, mbalik endhan sautan/nubruk dan
Binerkahan ugi, dan jeblosan jeblosan
Prasetya wak Lancaran
ingong lr. pl. pt.
barang

srisik kanthen srisik kanthen Garis Gong: 1


tangan kanan tangan kanan lengkung

tawing kiri dan tanjak tawing kiri Garis Gong: 2,


laku enjer lurus 3, dan 4

Rasa tegang srisik kipat srisik kedua tangan Garis Gong: 5


sampur ditekuk trap lurus
pinggang
250

Gong: 6
mundur kengser, dan 7
nyabet kanan

maju srisik Gong: 8

Srisik sambil mundur srisik, maju Gong:


menimang anak tanjak kanan 9,10, dan
11
251

2 Jineman
Ladrang Sayuk
Dalam
menciptaka
Dhuh mas jiwaku, Rasa mesra maju, tangan kiri Garis V - n
Menimang anak
memegang bahu lengkung keharmonis
istri dan tangan an keluarga,
kanan memegang seorang istri
anak sambil mempunyai
memperhatikan peranan
dengan tawing cukup
kanan penting
dalam
baya iki wis wanci, maju panggel dan Garis V - mendukung
putar ke kanan,
pandangan lengkung tugas dan
lembehan tangan
mengarah ke putri kewajiban
kanan, putar ke
dan anak peran suami
kiri – tangan
sebagai
kanan ukel karno
kepala
keluarga.
mbalik tawing
bapakne si thole, Ukel karno kanan Garis
kanan
lengkung V -
252

mangkat makarya, membelai anak Srisik mendekat istri


(berupa boneka V -
anak)

sawahmu tansah tawing kanan, panggel


hanganti V -

Mbokne thole, maju mendekati lumaksono


suami V -

Sakdurunge maju srisik mendekat untuk


anakmu gawanen mendekati suami menerima anaknya Garis V -
mrene, untuk lurus
memberikan
anaknya

Tak kudange anaku Rasa mesra, tawing kiri-kanan menimang-nimang Garis Ladrang V -
sing bagus dhewe, kebersamaan, anak lengkung Sayuk lr.
mbesuk pinter gembira, dan pl. pt.
nyambut gawe bahagia. barang
253

adhuh lae, atak Lumaksono lumaksono putar Garis Kenong: 1 V - Harapan


adhuh lae, dasar lembehan lengkung orang tua
bregas ten atene sampur, kawilan terhadap
anaknya
adhuh lae, atak Menerima anak memberikan anak Garis Kenong: 2 V - laki-laki
adhuh lae, kepada istri lengkung yang masih
cukat trampil dalam
tumandange timangan
supaya
adhuh lae, atak Menimang anak menthang tangan Garis V - kelak
Kenong: 3
adhuh lae, kiri – ogekan lengkung menjadi
anteng tajem seorang
polatane yang
berperilaku
adhuh lae, atak Menimang anak lilingan Garis V - baik
Kenong: 4
adhuh lae, lengkung mengutama
(Gong : 1)
sesongaran kan
disingkirke kebajikan,
kerja keras,
adhuh lae, atak Menimang anak lilingan Garis V - dan
Kenong: 1
adhuh lae, lengkung mengutama
labuh labet mring kan
254

bangsane kepentingan
umum untuk
Kenong: 2
adhuh lae, atak srisik Lumaksono Garis V - membangun
adhuh lae,ora lurus bangsa.
nleweng tumindake

adhuh lae, atak memberikan anak lumaksono Kenong: 3 V -


adhuh lae,wis kepada temanten,
mbokne enyoh srisik
anake
sun arsa mangkat
megawe

3 lancaran
Sayuk lr.
Gerongan Sayuk pl. pt.
barang
255

sayuk, sayuk, sayuk, Rasa Trap jamang - Luluran Garis Gong: 1 - V Gambaran
sak kancane gembira, tawing lengkung Gong: 2 kehidupan
Sayuk, sayuk, sayuk, bahagia sebuah
nyambut gawe keluarga
yang rukun,
damai,
Sayuk, sayuk, sayuk, Kawilan - tawing Tawing kiri Garis Gong: 3 - V harmonis,
sakabehe lengkung Gong: 4 dan
Sayuk mbangun berupaya
negarane menjalani
kehidupan
Sayuk, sayuk, sayuk, Laku telu sampir Laku telu Garis Gong: 5 - V secara
sak kancane sampur pondhongan lengkung Gong: 6 bersama-
Sayuk, sayuk, sayuk, sama untuk
nyambut gawe membina
dan
Sayuk, sayuk, sayuk, Enjer ridhong Enjer ridhong Garis Gong: 7 - V mendidik
sakabehe lengkung Gong: 8 anak kelak
Sayuk mbangun menjadi
negarane orang yang
Sayuk, sayuk, sayuk, Lilingan kebyok Lilingan kebyok Garis Gong: 9 - V berguna
256

sak kancane sampur sampur lengkung Gong: 10 bagi bangsa


Sayuk, sayuk, sayuk, dan negara.
nyambut gawe

Sayuk, sayuk, sayuk, Enjer penthangan Enjer penthangan Garis Gong: 11 - V


sakabehe kedua tangan kedua tangan lengkung Gong: 12
Sayuk mbangun melingkar melingkar
negarane Ayak-
ayakan lr.
pl. pt.
barang

Srisik kanthen Srisik kanthen Garis


tangan kanan dan tangan kanan dan lurus
mengambil anak mengambil anak

Lumaksono Lumaksono sebagai Garis


sambil menimang cucuklampah lurus
anak sebagai temanten (selesai).
cucuklampah
temanten
(selesai).
Dari komposit bahasa verbal dan nonverbal pada tari Bondhan Sayuk

terdapat hubungan yang bersifat langsung dan tidak langsung. Hubungan bahasa

verbal dan nonverbal bersifat langsung artinya bahwa makna bahasa verbal sastra

tembang sesuai dengan makna bentuk kinetic body moves dari bagian bahasa

nonverbal. Sedangkan hubungan bahasa verbal dan nonverbal bersifat tidak

langsung artinya bahwa makna bahasa verbal sastra tembang tidak sesuai dengan

makna bentuk kinetic body moves. Secara kuantitatif hubungan bahasa verbal dan

nonverbal pada tari Bondhan Sayuk yang bersifat langsung tampak lebih

mendominasi dibandingkan dengan yang tidak langsung. Adapun persentasenya

dapat dicermati pada uraian berikut.

Tari Bondhan Sayuk


No Adegan Hubungan bahasa verbal jumlah
dengan nonverbal
1 I, II, dan III Langsung 18
2 I, II, dan III Tidak langsung 6
3 Jumlah hubungan langsung dan tidak langsung = 18+ 24
6
4 Jumlah persentase hubungan langsung = 18: 24 X 100. 75 %,
5 Jumlah persentase hubungan tidak langsung = 6: 24 X 25 %
100.

7. Properti boneka.

Boneka anak yang dibalut dengan sehelai kain dimaksudkan sebagai simbolisasi

anak (bayi) yang masih dalam timangan seorang ibu. Rupanya terdapat sebuah

harapan dari simbolisasi boneka anak tersebut yaitu bagi pasangan temanten untuk

segera diberi keturunan anak sebagai pewaris keluarga. Boneka anak yang sering
257
digunakan dalam tari Bondhan Sayuk dilengkapi dengan baterai sehingga dapat

bersuara layaknya anak yang sedang menangis, hal ini untuk kebutuhan kemasan

seni pertunjukan supaya lebih menarik dan memikat penonton. Digunakannya

boneka pada tari Bondhan Sayuk sangat terkait dengan keinginan atau harapan

seniman penyusunnya yang ketika itu menghendaki diberi anak pertama lahir

seorang anak laki-laki.

B. Faktor Genetik.

Kehadiran Genre Tari Pasihan Dalam Seni Pertunjukan Jawa

Segala sesuatu yang dihadapi manusia dimuka bumi ini dalam

kehidupannya semua mempunyai temporalitas atau historisitas. Semua berawal

dan berakhir dalam suatu proses yang terus menerus melalui dimensi waktu

(Ibrahim Alfian, 1999: 2). Kehadiran genre tari pasihan di Surakarta merupakan

suatu proses yang memakan waktu cukup lama dalam sejarah yang penting bagi

kehidupan dan perkembangan seni tradisional dalam seni pertunjukan Jawa.

Munculnya genre tari pasihan sebagai proses sejarah merupakan permasalahan

yang hendak dipaparkan sebagai awal bagian faktor genetik untuk mengantar pada

analisis-analisis berikutnya. Untuk mengungkap latar belakang munculnya genre

tari pasihan dalam kurun waktu sejarah, akan diamati sejak adanya bentuk garapan

tari dengan tema percintaan sejak abad ke VIII zaman Mataram Kuno hingga

sekarang.

Masa embrio tari pasihan sejak Abad ke VIII sampai abad ke XIX. Bila

kita runut lebih cermat, garapan tari yang bertemakan percintaan di Jawa

diperkirakan telah ada sejak abad IX, seperti yang tertulis pada prasasti Balitung.

Selain wayang, prasasti Balitung juga memberi keterangan bahwa pertunjukan

258
dramatari yang membawakan wiracarita Mahabarata dan Ramayana juga sudah

ada sejak zaman Mataram Kuna. Meskipun istilah dramatari tidak disebutkan,

tetapi kemungkinan besar yang dipergunakan pada waktu itu adalah bentuk

wayang wwang. Istilah wayang wwang baru dijumpai pada tahun 930 A.D. yang

tergores dalam prasasti Wimalasrama dari Jawa Timur. Gaya dan tehnik tarinya

yang digunakan kemungkinan besar telah terekam pada relief Candi Borobudur

dan Prambanan (Soedarsono, 1990: 4-5).

Bertolak dari sumber yang menyebutkan bahwa wayang wwang merupakan

bentuk dramatari dan wiracarita yang dibawakan sejak zaman Mataram Kuna,

kemungkinan besar bentuk garapan tari yang bertemakan percintaan juga sudah

ada sejak zaman itu. Mengingat di dalam wiracarita Ramayana dan Mahabarata

juga diwarnai oleh tema percintaan. Rupanya sudah dapat diduga bahwa dalam

kedua wiracarita tersebut terdapat adegan percintaan antara tokoh-tokoh utamanya,

seperti adegan percintaan Sugriwa dan Dewi Tara, percintaan Rama Wijaya

dengan Sinta, percintaan Arjuna dengan Sembadra, percintaan Puntadewa dengan

Drupadi, dan sebagainya.

Setelah Kerajaan Mataran Kuna di Jawa Tengah runtuh, di Jawa Timur

muncul kerajaan-kerajaan, di antaranya Medang, Jenggala, Kediri, Singasari, dan

Majapahit (abad X sampai ke XVI), dramatari Jawa Tengah yang bernama wayang

wwang tetap dilestarikan di kerajaan-kerajaan baru tersebut dengan membawakan

wiracarita yang sama yaitu Ramayana dan Mahabarata, Mengingat zaman Jawa

Timur perkembangan kesusasteraan sangat maju, kemudian muncul cerita baru

yaitu cerita Panji, maka lahir pula dramatari baru yang bernama Raket

(Soedarsono, 1990: 7). Adapun cerita Panji ini mengisahkan perjalanan cinta Panji

259
Inukertapati dengan Sekartaji. Dengan demikian Raket merupakan bentuk

dramatari yang bertemakan percintaan yang didalamnya sudah barang tentu

terdapat garap adegan percintaan antara Panji Inukertapati dengan Sekartaji yang

hidup dan berkembang pada zaman Majapahit. Cerita Panji merupakan cerita yang

sangat terkenal di wilayah Asia Tenggara. Bila wiracarita Ramayana jelas berasal

dari India, maka tidak dapat disangkal lagi bahwa cerita Panji berasal dari Jawa.

Cerita Panji ini menjadi mendarah-daging di kalangan masyarakat Asia Tenggara

karena kemudian dianggap sebagai salah satu cerita Jataka atau kelahiran Budha

(Soedarsono, 1999: 133). Maka tidaklah mengherankan apabila cerita Panji ini

juga merupakan tema yang digunakan dalam genre tari pasihan yang hidup dan

berkembang hingga sekarang.

Runtuhnya Kerajaan Majapahit diawali abad ke XVI, kekuasaan politik

dan budaya Jawa mulai muncul dan berkembang di Jawa Tengah di bawah raja-

raja penganut Islam seperti Demak, Pajang, dan kemudian Mataram Baru.

Gamelan, wayang, dan wayang topeng kemungkinan besar merupakan

perkembangan dari Raket, tetap populer pada masa itu. Menurut tradisi Jawa, para

wali terutama Sunan Kalijaga yang selalu dikatakan sebagai pencipta topeng-

topeng yang dipergunakan untuk pertunjukan wayang topeng. Adapun topeng

yang diciptakan untuk pertunjukan wayang topeng terdiri dari sembilan, yaitu

tokoh-tokoh: Panji Kasatriyan, Candrakirana, Gunungsari, Andaga, Raton,

Klana, Danawa (raksasa), Benco (sekarang Tembem atau Doyok), dan Turas (

sekarang Penthul atau Bancak) (Soedarsono, 1999: 18-19). Kiranya dapat diduga

bahwa wayang topeng tersebut merupakan bentuk dramatari yang menggunakan

topeng dan membawakan cerita Panji yang di dalamnya tetap masih terdapat garap

260
adegan percintaan antara Panji Kasatriyan dengan Candrakirana yang dilestarikan

pada zaman Mataram Jawa Tengahan (abad ke XVI sampai abad ke XVIII).

Ketika Mataram pecah menjadi dua yaitu Kasunanan Surakarta dan

Kasultanan Yogyakarta pada tahun 1755, pertunjukan wayang topeng masih

dilestarikan oleh Kasunanan Surakarta. Kasultanan Yogyakarta di bawah

Hamengku Buwana I, tidak melestarikan wayang topeng, tetapi menggubah satu

bentuk dramatari baru yaitu wayang wong dengan membawakan wiracarita

Mahabarata dan kemudian di Kasunanan di bawah pemerintahan Paku Buwana X,

bentuk garapan tari yang membawakan tema percintaan tetap lestari dan terdapat

pada bentuk Tayub, Bedaya Ketawang, Bedaya kadukmanis, dan Wayang Wong.

Pertunjukan Wayang Wong dengan lakon-lakon Nayarana Rabi, Puntadewa Rabi,

Baladewa Rabi, dan Gatutkaca Rabi pada acara memeriahkan perkawinan Puteri

Juliana dengan Pangeran Bernhard van Lippe Biesterfeld tahun 1937 di Sriwedari,

menunjukkan bahwa garapan tari dengan tema percintaan masih dilestarikan dan

cukup berkembang baik (Rusini, 1994: 2-3). Mencermati bentuk-bentuk garapan

tersebut rupanya bentuk garapan tari pasihan sejak zaman Mataram Kuna di Jawa

Tengah (abad ke VIII ) hingga zaman Mataram Baru di bawah pemerintahan Paku

Buwana X ( abad ke XIX), masih terikat dan terkait dengan kelompok, adegan,

maupun peran-peran lain. Baru pada sekitar tahun 1940-an muncul tari Gatutkaca-

Pergiwa.

Munculnya Tari pasihan sejak 1920-1945. Menurut Tohiran dan Sarwo

Rini, bahwa tari Gatutkaca-Pergiwa itu telah muncul sebelum Indonesia merdeka

tahun 1945 (Maryono, 2006: 19). Tari Gatutkaca-Pergiwa adalah bentuk tari

pasihan yang merajut percintaan antara Raden Gatutkaca dengan Dewi Pergiwa.

261
Tari pasihan ini dapat diduga merupakan sempalan dari sebuah garapan wayang

wong yang membawakan lakon Gatutkaca Rabi. Munculnya tari Gatutkaca-

Pergiwa diperkirakan pada sekitar tahun 1920 hingga 1945-an yang berarti pula

merupakan awal munculnya tari pasihan di Surakarta. Kiranya hal ini dapat

diterima karena pertama, berita mengenai pertunjukan wayang wong dengan

lakon-lakon rabi atau kromo (kawin) banyak bermunculan pada tahun 1920-an

ketika wayang wong mengalami perkembangan pesat di masa pemerintahan

Hamengku Buwana VIII. Di samping itu wayang wong di Surakarta juga telah

membawakan lakon-lakon rabi seperti Gatutkaca Rabi terjadi pada tahun 1937,

yaitu untuk merayakan perkawinan Puteri Juliana dengan Pangeran Bernhard van

Lippe-Biesterfeld di Sriwedari; kedua, pernyataan Tohiran sebagai pengelola

wayang wong dan Sarwo Rini sebagai seniman pada waktu itu menyatakan bahwa

tari Gatutkaca-Pergiwa itu sudah ada sebelum Indonesia merdeka tahun 1945;

ketiga, pernyataan Maridi yang mengungkapkan bahwa tari-tari yang sering pentas

pada acara-acara orang punya kerja pada tahun 1940-an, antara lain Gatutkaca

Gandrung, Bondan, Anoman-Anggada, Gatutkaca-Sekipu, Janger (dari Bali),

Bambangan-Cakil, Klono, dan sebagainya.

Rupanya tidak benar apabila ada berita yang menganggap bahwa tari

pasihan Raden Irawan dengan Dewi Wanuhara merupakan tari pasihan yang

pertama kali muncul di Jawa pada tahun 1920-an. Hal ini berdasarkan rekaman

video tari yang menggambarkan percintaan Raden Irawan dengan Dewi Wanuhara

tersebut merupakan rekaman sebagian dari adegan percintaan yang terdapat dalam

wayang wong lakon Sri Suwela, jadi bukan garapan tari pasihan yang sudah

mandiri (lihat video wayang wong: koleksi ASKI sekarang ISI Surakarta, nomor:

262
108). Akan tetapi garap tari dengan tema percintaan tersebut lebih sebatas

memberi gambaran tentang bentuk embrio tari pasihan yang terdapat di dalam

wayang wong. Kehidupan kesenian dalam kurun waktu tahun 1942-1949, dapat

dikatakan bahwa dalam periode itu hampir tidak ada kegiatan-kegiatan yang

berarti. Hal itu disebabkan pemerintahan Jepang melarang setiap kegiatan

berkumpul, dan selama perang kemerdekaan hampir semua kegiatan diorientasikan

untuk memenangkan perang.

Munculnya Genre Tari pasihan sejak 1956-1962. Pada peristiwa budaya

tahun 1956 di Pura Mangkunegaran yang lebih dikenal dengan sebutan pertemuan

tiga kota yaitu Surakarta, Yogyakarta, dan Bandung, muncul genre baru yaitu

genre tari pasihan. Pertemuan budaya tiga kota ini merupakan pertemuan ke-2,

kesinambungan dari pertemuan pertama di Yogyakarta. Pada pertemuan di Pura

Mangkunegaran masing-masing peserta menyajikan tari-tarian menurut gaya yang

dimiliki. Surakarta menyajikan tari pasihan ‘Rara Mendut-Pranacitra’,

Yogyakarta menampilkan tari pasihan ‘Bahula-Retna Manggali’, sedangkan

Bandung menyajikan tari-tarian seperti: tari Puja, Srigati, Sekar putri, Dewi

Serang, Sulintang, Pamindo, Kupu-kupu, Golek Reneka, Graeni, Panji, dan tari

Samba. Menurut Soedarsono kehadiran genre tari pasihan ini terpacu oleh

munculnya tari Oleg Tambulilingan yang merupakan satu-satunya tari duet

percintaan di Bali yang telah muncul pada tahun 1952. Selain itu, tampaknya

munculnya genre tari pasihan di Jawa akibat peralihan kekuasaan dari

pemerintahan kerajaan ke pemerintaahan republik yang lebih mengutamakan cara-

cara demokrasi. Di samping itu perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam

263
masyarakat mempunyai peran yang cukup besar dalam membentuk dan

mempengaruhi lahirnya genre tari pasihan saat itu.

Pada tahun 1959, muncul tari Bondhan Tani yang disajikan secara

berpasangan dengan mengacu tema percintaan. Bondhan Tani merupakan tari

pasihan yang menggambarkan pasangan suami dan istri di dalam kebersamaannya

mengolah sawah sebagai lahan pertanian. Berawal dari menggarap sawah,

menanam padi hingga mengambil hasilnya (memanen) dilakukan secara gotong

royong oleh sepasang suami-istri. Sekitar tahun 1962, muncul tari duet Satya Bakti

yang membawakan tema percintaan dan perjuangan. Rupanya tari Satya Bakti

merupakan hasil interpretasi terhadap kesadaran bela negara yang saat itu sudah

mulai memudar di kalangan masyarakat. Hal ini terjadi akibat situasi politik

negara yang mulai rawan, yaitu masing-masing organisasi politik saling

mencurigai dan mulai berebut massa untuk menguasai pemerintahan.

Masa menjelang tahun 1965, situasi negara betul-betul semakin genting,

bentuk-bentuk kesenian yang mampu untuk mempengaruhi massa seperti

Ketoprak dan Ludruk menjadi rebutan dua partai besar yaitu Partai Nasional

Indonesia (PNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada masa itu muncul tari

yang menggambarkan kehidupan rakyat kecil seperti tari Tani, tari Nelayan, tari

Gotong-royong, dan sebagainya. Rupanya bentuk-bentuk tari yang sifatnya masal

dan bertemakan kerakyatan, anti feodalisme yang dikembangkan PKI hidup subur,

akibatnya seni yang berasal dari istana terdesak bahkan dimusuhi karena dianggap

tidak merakyat dan tidak dapat untuk menarik massa. Maka wajar apabila bentuk-

bentuk tari duet percintaan yang sudah ada tidak dapat berkembang karena pada

264
dasarnya tari-tarian duet percintaan yang menjadi genre ini merupakan tari-tarian

tradisional yang mengacu pada tarian istana.

Setelah tahun 1965, terjadi perubahan tatanan politik sangat kuat yang kita

sebut Orde Baru, yaitu kebebasan individu mulai dijamin, maka mulai

bermunculan karya-karya individual. Hal itu tidak terlepas dari kondisi stabilitas

keamanan yang berangsur-angsur mulai pulih dan terkendali serta kembali normal.

Pembangunan nasional mulai terprogram secara periodik dan memiliki arah,

tujuan, dan jangkauan yang jelas dan transparan, sehingga pembangunan dari

berbagai bidang mulai digerakkan untuk mencapai tujuan masyarakat adil dan

makmur. Kemitrasejajaran yang menyangkut kedudukan wanita dengan laki-laki

tampak semakin meningkat dalam berbagai aspek, baik hukum, politik, ekonomi,

dan lainnya. Banyak praktisi hukum wanita mulai bermunculan, para politisi

wanita semakin diperhitungkan dalam elite politik, dan para ekonom wanita serta

wanita-wanita karier hadir hampir pada semua sektor publik, sehingga

kemitrasejajaran antara kaum wanita dan kaum pria mulai tampak.

Pengaruh budaya Barat, baik yang berujud buku-buku porno, film-film

cinta hingga film yang berbau porno dan juga mode-mode pakaian yang cenderung

pamer tubuh, itu semua tidak dapat disangkal telah mempengaruhi pola pikir

hubungan antar remaja. Masing-masing mempengaruhi pola pikir hubungan antar

remaja. Masing-masing di antara mereka secara aktif dan berani memutuskan

pilihannya sendiri bahkan menolak jika memang dirasa tidak cocok ataupun tidak

sesuai dengan kehendaknya. Tentu saja faktor-faktor itu semua mempengaruhi

bangkitnya genre tari duet percintaan untuk lebih bergerak hidup dan berkembang

dalam menyongsong kebutuhan hidup masyarakat.

265
Pada Tahun 1970 S. Maridi sebagai seorang seniman yang kreatif

menawarkan hasil karyanya yang berbentuk tari duet percintaan yaitu Karonsih.

Pada awalnya, tari Karonsih ini disusun atas permintaan dari panitia resepsi Ibnu

Harjanto dari Kalitan (Maryono, 1991: 2). Bentuknya sangat lekat dengan bentuk-

bentuk tari tradisional gaya Surakarta, baik mengenai koreografi, rias, busana, dan

garap iringannya. Penampilan perdana oleh Maridi sebagai Panji Inu Kertapati dan

Endang Susilawati membawakan peran Sekartaji. Tari Karonsih adalah salah satu

tari duet percintaan antara tipe karakter putri luruh dengan putra alus yang

bersumber pada cerita Panji. Pada awalnya tari Karonsih disusun berdasarkan

fragmen Topeng Klono Bodo yang telah diciptakan Maridi, tahun 1969 dalam

rangka peresmian Yayasan Kesenian Indonesia ( YKI ).

Keberadaan tari Karonsih dalam budaya Jawa sejak tahun 1970 telah

menjadi bagian yang seolah-olah tidak dapat dipisahkan terutama pada acara-acara

upacara perkawinan. Rasanya menjadi kurang utuh apabila dalam acara resepsi

perkawinan tidak hadir tari Karonsih sebagai penutup pesta tersebut. Kehadiran

tari Karonsih menjadi sangat penting karena pada perkembangannya bahwa tari

Karonsih ditempatkan sebagai sarana upacara perkawinan yang memiliki nilai

simbolik terhadap sepasang temanten. Dengan semakin seringnya tampil di acara-

acara resepsi perkawinan, tari Karonsih mengalami perkembangan yang sangat

pesat. Indikasi yang dapat diamati hingga sekarang, menurut Wahyu Santoso

Prabowo sebagai penari tari Karonsih yang telah dimulai sejak tahun 1973 yaitu

munculnya istilah ‘Karonsihan’. Awalnya bagi penanggap dan kebanyakan

masyarakat tidak memahami tari Karonsih, sehingga asal melihat tari-tarian yang

berbentuk duet percintaan semotif Karonsih, seperti : Driasmara, Lambangsih,

266
Enggar-enggar, Langen Asmara, tidak terkecuali juga Karonsih dan lainnya,

mereka akan menyebutnya tari Karonsihan (Maryono, 2006: 28). Selain itu, tari

Karonsih lebih awal hadir di dalam upacara-upacara perkawinan adat Jawa dan

berkembang pesat hingga dijadikan sebagai bagian upacara ritual perkawinan

karena dianggap mempunyai nilai simbolik yang tinggi terutama bagi

kelangsungan kehidupan sepasang mempelai, sehingga tari Karonsih ini telah

mengakar pada masyarakat Jawa yang dalam kehidupannya banyak dipenuhi hal-

hal yang berbau simbolik.

Kehadiran tari Karonsih di tengah-tengah kehidupan masyarakat dan telah

menjadi bagian dari kebutuhan sosialnya, mempunyai pengaruh cukup besar yaitu

telah dapat memacu dan memotivasi terhadap seniman-seniman di kalangan

tradisional. Pengaruhnya dapat dilihat dengan munculnya berbagai bentuk tari duet

percintaan, seperti : tari Endah, tari Lambangsih, tari Gesang Rahayu, tari

Bondhan Sayuk, tari Enggar-enggar, tari Driasmara, tari Jayaningrat, tari Kusuma

Ratih, tari Setyaningsih, tari Langen Asmara, dan tari Kusuma Aji. Secara objektif

perkembangannya dapat dicermati pada struktur sajian, gerak, dandanan busana,

iringan, dan properti. Selain itu penyebaran tari Karonsih mengalami kemajuan

sangat pesat sejak tahun 1970 hingga sekarang. Kehidupan Karonsih menyebar

meluas di wilayah Pulau Jawa, terutama di daerah Jawa Tengah, Yogyakarta,

Jakarta, dan Jawa Timur.

Karya tari Bondhan Sayuk disusun oleh Sunarno pada tahun 1979. Tema

yang diangkat menggambarkan percintaan manusia secara universal, yang lebih

mengarah pada perjalanan hidup sepasang manusia dari kalangan rakyat. Menurut

Sunarno, tari Bondhan Sayuk lebih tepat untuk gambaran sepasang temanten

267
maupun sebuah keluarga baru yang belum memiliki anak (wawancara, 2008).

Gagasan awal terciptanya tari Bondhan Sayuk adalah sebuah ekspresi pribadi

Sunarno yang menginginkan anak laki-laki untuk putera pertamanya. Keinginan

tersebut rupanya diridhohi oleh Sang Pencipta, anak pertama laki-laki bahkan anak

kedua juga laki-laki dan anak ketiganya baru putri. Dalam perjalanan waktu tari

Bondhan Sayuk sangat diminati oleh masyarakat hingga sekarang, yang pertama

merupakan hiburan yang tepat dalam sebuah resepsi perkawinan dan kedua

dimaknai sebagai simbolik sepasang suami dan istri yang hidup bahagia yang

layak untuk diteladani sepasang temanten. Perkembangan genre tari pasihan

bagaikan cendawan dimusim penghujan ini tidak terlepas dari tangan-tangan

kreatif para koreografer tari seperti Maridi dan Sunarno. Meluasnya sebaran genre

tari pasihan tidak terlepas dukungan iringan kaset yang banyak dijual di toko-toko

serta eksisnya para penari di berbagai kesempatan dalam rangka memenuhi

kebutuhan sosial masyarakat.

Perkawinan merupakan salah satu dan suatu saat peralihan yang terpenting

pada life-cycle dari semua manusia di seluruh dunia, yaitu peralihan dari tingkat

hidup remaja ke tingkat hidup berkeluarga. Pesta dan upacara pada saat peralihan

sepanjang life-cycle itu merupakan suatu hal yang universal yang hampir ada pada

setiap budaya manusia, namun tidak semua saat peralihan itu dianggap sama

pentingnya pada tiap-tiap budaya. Sifat universal pesta dan upacara sepanjang life-

cycle terjadi karena adanya suatu kesadaran secara umum di dalam budaya

manusia, bahwa setiap tingkat baru dalam life-cycle itu berarti menghantarkan si

individu ke suatu tingkat dan lingkungan sosial yang baru dan lebih luas.

268
Di dalam aktivitas budaya manusia ada yang menganggap bahwa saat

peralihan dari tingkat sosial tertentu ke tingkat sosial lainnya itu merupakan crisis-

rites yang penuh bahaya, gawat, baik secara nyata maupun gaib (Koentjaraningrat,

1972:89-90). Periode transisi tersebut juga disebut periode liminal yang

merupakan fase tengah dalam skema ritus transisi dari praliminal untuk menuju

pascaliminal. Dalam periode liminal ini seorang liminar berada dalam keadaan

setengah-setengah, tidak menentu, dan ragu-ragu (Darsiti Soeratman, 1989: 157).

Untuk itu crisis-rites bagi seorang liminal sangat penting, mengingat upacara-

upacara pada masa-masa melampaui saat-saat krisis sering dimaksudkan untuk

menolak bahaya gaib yang mengancam individu dan lingkungan. Demikian halnya

yang terjadi pada budaya masyakat Jawa di dalam melangsungkan sebuah upacara

adat perkawinan. Bagi masyarakat Jawa upacara tersebut merupakan sebuah

upacara yang sangat sakral sepanjang daur hidupnya. Kesakralan itu sesuai dengan

pendapat Soedarsono mengenai hal-hal yang dianggap penting dalam suatu

upacara ritual yaitu waktu, tempat, pelaku, perlengkapan, dan pimpinan upcara

tertentu. Ketentuan-ketentuan yang telah berlaku dalam upacara tersebut mereka

yakini jika dilaksanakan dengan taat dan benar membawa berkah dan keselamatan,

sebaliknya jika pelaksanaan tidak mentaati konvensi-konvensi yang telah berlaku,

mereka takut tertimpa malapetaka (Soedarsono, 1990: 4).

Bagi masyarakat Jawa yang masih lekat dengan budayanya, segala ritual

yang menyangkut dengan perjalanan hidupnya banyak diselimuti dengan simbol-

simbol yang diharapkan dapat memberikan petuah, pendidikan, suritauladan yang

bermakna untuk keselamatan, kedamaian, dan kebahagiaan hidup. Berkaitan

dengan tindakan simbolik dan magis simpatetis bagi masyarakat Jawa dalam

269
perkawinan, diperlukan kekuatan-kekuatan tertentu. Kekuatan tersebut antara lain

berupa magis simpatetis yang diwujudkan dengan tindakan atau perbuatan yang

dapat melambangkan terjadinya pembuahan, yakni adanya hubungan antara pria

dan wanita. Hubungan dimaksud pada masyarakat yang masih melestarikan

budaya purba kadang-kadang dilakukan lebih realistis (Soedarsono dalam

Soedarso, 1991: 35). Pernyataan tersebut sejalan dengan pendapat Koch

Grundberg yang menggambarkan sebuah tari kesuburan dari suku Indian Coneba

di Brasil, yang diekspresikan para penari dengan membawa gambar tiruan organ-

organ wanita dengan cara sebagai berikut.

Stamping with the right foot and singing, they dance with the upper part of
their bodies bent forwards. Suddenly they jump wildly along with violent
coitus motions and loud groans....
They carry the vertility into every corner of the houses.... the jump among
the women – the knock the phalli one against another.... (dalam Richard
Kraus, 1969: 21).

Pada masyarakat yang sudah lebih maju, tindakan yang dapat

melambangkan terjadinya pembuahan, yakni adanya hubungan antara pria dan

wanita, dilakukan secara simbolis. Hal ini terbukti pada masyarakat Jawa

sekarang yang sudah mengalami kemajuan, berkembang menuju masyarakat

modern. Mereka dalam melakukan upacara perkawinan, untuk mendapatkan

kesuburan dengan cara menanggap jenis tari duet percintaan atau tari pasihan yang

merupakan tarian kesuburan yang diekspresikan lewat sebuah garapan gerak-gerak

presentatif dan representatif, penuh simbolis dan mengandung makna nilai-nilai

percintaan yang sangat berarti bagi kehidupan.

Salah satu sarana upacara perkawinan adat Jawa yang cukup penting

adalah tari pasihan. Hampir dapat dipastikan bahwa pada setiap upacara

perkawinan akan hadir tari pasihan. Rupanya, sudah mengakar pada budaya

270
masyarakat Jawa, yaitu pada setiap ada acara upacara perkawinan akan hadir tari

pasihan yang hendak diteladani oleh kedua mempelai. Peristiwa budaya ini

membuat kehadiran tari pasihan dalam upacara perkawinan sangat ditunggu-

tunggu masyarakat, mengingat merupakan satu-satunya bentuk sajian tari yang

bermakna, baik secara simbolik maupun sebagai santapan estetis terasa menyatu

dengan situasi upacara.

Konsepsi Bahasa Verbal dan Nonverbal Tari Karonsih dan Tari Bondhan

Sayuk.

Kehadiran genre tari pasihan pada ritual upacara resepsi perkawinan

merupakan bahasa komunikasi seorang seniman terhadap penghayat. Sebagai

media komunikasi genre tari pasihan diharapkan mampu menyampaikan pesan,

lewat komplementer bahasa verbal dan nonverbal. Pemilihan bahasa verbal dan

nonverbal rupanya mengalami proses penyeleksian yang ketat dengan harapan

dapat dihayati oleh penonton. Karya tari Karonsih dan Tari Bondhan Sayuk

merupakan media aktualisasi bagi seniman dalam realitas masyarakat sebagai

sarana ekspresi jiwa untuk diinteraksikan kepada publik untuk menggapai sebuah

cita-cita dan pemenuhan akan kebutuhan hidup. Bagaimanapun acuhnya seorang

seniman nampaknya terhadap publik, ia menciptakan sebuah karya dengan

harapan dapat dihayati. Ekspresi diri semata tidak akan memuaskan, maka

dibutuhkan olehnya juga sebuah penghargaan. Wujud penghargaan adalah dapat

diterimanya karya tari tersebut oleh masyarakat, untuk itu dibutuhkan kecermatan

dan kreatifitas seorang seniman dalam menciptakan karya tari yang mencakup

bahasa verbal dan nonverbal.

271
Berdasarkan informasi dari seniman penyusun, konsep yang mendasari

tentang dominasi jenis-jenis tindak tutur direktif yang terdapat pada tari Karonsih

dan Tari Bondhan Sayuk adalah terkait dengan fungsi bahasa verbal yang terdapat

dalam tari pasihan utamanya untuk suritauladan. Secara intern jenis-jenis tindak

tutur yang terdapat dalam tari pasihan menggambarkan tentang nasehat-nasehat

cinta kasih dan secara ekstern diharapkan oleh seniman penyusun jenis-jenis

tindak tutur direktif yang mendominasi dalam bahasa verbal yang sifatnya

mengajak, meminta, dan memerintah dapat menyampaikan makna bahasa verbal

sastra tembang yang berupa nasehat-nasehat cinta tersebut dapat ditangkap

penghayat. Untuk itu bagi seniman penyusun, dominasi tindak tutur direktif yang

terdapat dalam tari pasihan tersebut sangat diperlukan supaya makna keteladanan

dapat lebih menyentuh dan cepat ditangkap penghayat khususnya sepasang

temanten.

Bentuk-bentuk dominasi jenis tindak tutur direktif dalam bahasa sastra tembang

tari Karonsih dan Tari Bondhan Sayuk, dapat dicermati contoh berikut ini:

Jenis Tindak Tutur (TT) yang melekat pada Sindhenan Pangkur Ngrenas.

No Penutur Teks Verbal Sindhenan Jenis tindak Pemarkah Situasi


Pangkur Ngrenas tutur

1 Dewi Dhuh jagad dewa Patik Dhuh jagad formal


Sekartaji bathara
2 Dewi Welasa mring dasih kang Direktif mring dasih formal
Sekartaji nandhang kingkin
3 Dewi Tinilar garwa satuhu Asertif satuhu formal

272
Sekartaji
4 Dewi Dadya gantilaning tyas Direktif dadya formal
Sekartaji
5 Dewi Ulun dhahat teka Direktif Ulun formal
Sekartaji aginggang sarambut dhahat
6 Dewi Kalamun datan datan formal
Sekartaji pinanggya Direktif

7 Dewi Aluwung tumekeng lalis Komisif Aluwung formal


Sekartaji

Jenis Tindak Tutur (TT) yang melekat pada Jineman Sayuk

No Penutur Bahasa Verbal Jenis tindak Pemarkah Situasi


Jineman Sayuk tutur

Wanita (W) Dhuh mas jiwaku, Patik dhuh mas formal


1 dan Laki-
laki (L).
2 W baya iki wus wanci, Direktif baya iki formal
3 W Bapakne sithole, Asertif bapakne formal
4 W mangkat makarya, Direktif mangkat formal
5 W Sawahmu tansah Asertif Sawahmu formal
anganti,
6 L Mbokne thole, Asertif Mbokne formal

273
7 L Sakdurunge anakmu Direktif gawanen formal
gawanen mrene,
8 L Tak kudange anakku Ekspresif bagus formal
sing bagus dhewe,
9 L Mbesuk pinter Direktif mbesuk formal
nyambut gawe. pinter

Bentuk bahasa verbal yang terdapat pada tari Karonsih dan Tari Bondhan

Sayuk merupakan bahasa tembang Jawa yang berasal dari ranah tembang macapat.

Adapun jenisnya antara lain: Pangkur Ngrenas, Kinanthi Sandhung,Mijil Sulastri,

dan gerongan Lambangsari, Jineman Sayuk. Jenis-jenis tembang tersebut

memiliki watak atau rasa lagu yang bernuansa percintaan, seperti Pangkur

Ngrenas memiliki rasa lagu jatuh cinta; Kinanthi Sandhung memiliki rasa lagu

romantis yang lebih tepat untuk memberikan nasehat-nasehat tentang cinta kasih;

Mijil Sulastri memiliki rasa lagu prihatin dan untuk mengungkapkan rasa cinta

kasih atau nasehat-nasehat tentang asmara, begitu pula gerongan Lambangsari dan

Jineman Sayuk. Bahasa verbal yang berupa tembang-tembang cinta tersebut dapat

dicermati dari penggunaan kata-kata cinta, seperti: gantilaning tyas, aginggang

sarambut, garwa, brangti, wuyung, mustikaning, wanodya di, setya, rabinira, asih

tresna, asmara, wong manis, sulistyane, prasetya, dan mas jiwaku. Dengan

demikian bahasa verbal yang terdapat pada tari Karonsih dan Tari Bondhan Sayuk,

dilihat dari asfek kebahasaan secara koherensi telah memperlihatkan keterpaduan

antara unsur-unsur lingual dalam bentuk guru wilangan, guru lagu, kata dalam

irama dan tekanan dengan dengan watak lagu tentang nasehat-nasehat

cinta.sebagai bahasa tembang.

274
Pemilihan jenis-jenis tembang tersebut selain watak atau rasa lagu sesuai

dengan tema percintaan juga didasari dari latar belakang budaya penyusun tari

Karonsih dan Tari Bondhan Sayuk yang berasal dari budaya Jawa. Faktor

lingkungan memberikan kontribusi cukup berarti dalam menunjang perkembangan

kesenimanan Maridi. Perhatian terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi

dilingkungan sosial budaya sekitarnya, masuk menyatu mempengaruhi dan

mengkristal membentuk pola pikir, rasa estetik, tingkah laku, dan pola kehidupan

Maridi sebagai seniman. Bergaulnya dengan para seniman wayang orang seperti:

Rusman, Darsi dan Surono rupanya memberikan kontribusi yang sangat berarti

dalam karya tari Karonsih terkait dengan digunakannya tembang-tembang

tersebut. Bentuk tembang Pangkur merupakan salah satu inspirasi dari sajian

tokoh Gathutkaca ketika memadu asmara dengan Pergiwa yang diperankan oleh

Rusman dan Darsi. Begitu pula Sunarno, setelah dewasa menjadi penari

profesional, ia memiliki pengalaman dalam berkecimpung dalam budaya Jawa,

seperti: Kethoprak,Wayang Orang yang nota bene bentuk–bentuk seni tersebut

banyak menggarap jenis-jenis tembang Jawa. Dari pengalaman selama

berkecimpung dalam dunia Kethoprak,Wayang Orang rupanya memberikan

inspirasi dan kontribusi dalam menciptakan karya tari Bondhan Sayuk. Puncak

kreatifitasnya dalam menciptakan karya yang berbasis bahasa verbal dalam bentuk

tembang Jawa yaitu karya Langendriyan Menakjinggo Lena yang mampu

memberikan perkembangan pada karya-karya Langendriyan yang berbasis

tembang Jawa.

Bahasa verbal yang digunakan pada tari Karonsih yang secara intern

sebagai alat komunikasi antar peran yang terlibat yaitu sebagai media percakapan

275
Dewi Sekartaji dengan Panji Inukertapati menggunakan bahasa Jawa Krama.

Konsep yang melatarbelakangi digunakannya bahasa Jawa Krama pada tari

Karonsih, mempertimbangkan kedudukan peserta tutur yang terlibat keduanya

adalah anak raja. Dewi Sekartaji puteri raja Lembu Amijaya dari Kediri

sedangkan Panji Inukertapati Kertapati putera raja Lembu Amiluhur dari Jenggala.

Sebagai keluarga bangsawan sikap perilaku kedua peserta tutur memiliki adat dan

etika budaya yang mencerminkan kehalusan dan keteladanan. Sehingga bahasa

verbal yang digunakan untuk komunikasi peserta tutur adalah bahasa Jawa krama

yang dirasa tepat dan sesuai untuk mencerminkan kehalusan terkait dengan

kedudukan sosial sebagai putra bangsawan. Salah satu contoh tingkat kehalusan

bahasa Jawa krama yang digunakan pertuturan Dewi Sekartaji dan Panji

Inukertapati Kertapati pada tari Karonsih dapat dicermati pada bahasa tembang

berikut ini:

Pra wanita marsudiya marang tindak kang utama


Setya tuhu marang garwa dadi rowang kang sembada
Ingkang bisa nujuprana weh reseping pamicara
Nora kengguh ing panggodha darbe budi kang santosa
Balik priya nimbangana ngayomi mring rabinira
Datan kemba asih tresna sung tetreming kulawarga
Sampun sami setya tuhu anggenya liron asmara
Karonsih pancen pranyata dadya kembang jagad raya

Sedangkan bahasa verbal dalam tari Bondhan Sayuk yang digunakan untuk

percakapan peran yang terlibat dalam pertuturan antara suami dengan istri

berbentuk bahasa Jawa Krama Ngoko. Konsep yang mendasari digunakannya

bahasa Jawa Krama Ngoko pada tari Bondhan Sayuk, mempertimbangkan

kedudukan peserta tutur yang terlibat keduanya adalah masyarakat tani.

Kedudukan peserta tutur antara suami dan istri adalah gambaran masyarakat secara

umum yang lebih lazim disebut masyarakat biasa. Peserta tutur antara suami dan

276
istri merupakan simbol keluarga kecil dari kalangan masyarakat petani yang

tercermin dari bahasa verbalnya yang cenderung ngoko yang lazim digunakan

masyarakat pedesaan, seperti bahasa tembang yang digunakan pertuturan ketika

suami dan istri sambil menimang anak, hal ini dapat dicermati dari kata-kata yang

digaris bawah:

Dhuh mas jiwaku, baya iki wus wanci,


Bapakne sithole, mangkat makarya,
Sawahmu tansah anganti,
Mbokne thole,
Sakdurunge anakmu gawanen mrene,
Tak kudange anakku sing bagus dhewe,
Mbesuk pinter nyambut gawe.

Pemilihan peran suami dan istri dilatarbelakangi dari kehidupan seniman

penyusunnya yang berasal dari keluarga seorang buruh tani dari desa Semono

wilayah kabupaten Boyolali. Sebagai keluarga petani sikap perilaku kedua peserta

tutur yang digambarkan dalam tari Bondhan Sayuk memiliki adat dan etika budaya

yang lebih lugas, polos cenderung apa adanya dan tampak kurang halus (kasar).

Sehingga bahasa verbal yang digunakan untuk komunikasi peserta tutur yang

terlibat antara suami dan istri adalah bahasa Jawa krama ngoko yang dirasa tepat

dan sesuai untuk mencerminkan sifat lugas, polos cenderung apa adanya terkait

dengan kedudukan sosial sebagai masyarakat tani.

Fungsi bahasa verbal yang terdapat pada tari Karonsih dan Tari Bondhan

Sayuk adalah untuk mengungkapkan maksud dari seniman penyusun. Kedudukan

bahasa verbal dalam tari Pasihan menjadi sangat penting, mengingat bahasa

nonverbal yang menjadi sarana komunikasi bersama bahasa verbal memiliki

keterbatasan-keterbatasan dalam mengungkapkan maksud dari seniman

penyusunnya. Untuk itu bahasa verbal dirasa sarana yang tepat untuk menjelaskan

277
maksud dan harapan yang dikehendaki oleh seniman tanpa melalui proses distorsi

bahkan lebih dapat langsung mengungkapkannya. Lewat bahasa verbal seorang

seniman akan menuangkan pikirannya secara lebih transparan dan komprehensif

dalam bentuk tembang Jawa.

Bentuk bahasa nonverbal yang terdapat pada tari Karonsih dan Tari

Bondhan Sayuk meliputi: tema, kinetic body moves, polatan (ekspresi wajah), rias,

busana, pola lantai, dan iringan. Tema yang dipilih untuk tari Karonsih dan Tari

Bondhan Sayuk adalah pasihan atau percintaan. Konsep yang mendasari pemilihan

tema percintaan ini terkait dengan harapan penyusun yang menghendaki kehadiran

tari pasihan dalam resepsi perkawinan dapat bermakna bagi sepasang temanten.

Tema percintaan yang diangkat dalam tari pasihan tersebut secara garis besar

menggambarkan perjalanan cinta sepasang suami dan istri berawal dari duka yang

dialami masing-masing tokoh kemudian permasalahan-permasalahan yang

dihadapi dapat diselesaikan dengan baik yang akhirnya mereka dapat berhasil

menikmati hidup bahagia dalam sebuah keluarga. Rupanya kisah tersebut menjadi

sebuah inspirasi yang berarti bagi pasangan temanten yang menginginkan

percintaan yang ideal, romantis, dan bahagia. Adapun bentuk garapnya hanya

menyajikan dua peran utama yakni pria dan wanita sebagai pasangan suami dan

istri. Wujud pasangan tersebut mengarahkan penonton supaya lebih fokus pada

tema percintaan, sehingga hayatan dari penonton tidak terkontaminasi tokoh atau

peran lainnya.

Kinetic body moves, polatan (ekspresi wajah), rias, busana, pola lantai, dan

iringan sebagai bahasa nonverbal tari pasihan merupakan pola-pola tradisional

yang bersumber dari budaya istana Kasunanan Surakarta. Kinetic body moves

278
sebagai media utama dalam sajian tari pasihan berupa pola-pola sekaran tari

tradisional gaya Surakarta. Secara garis besar gerak dalam tari dapat dibagi

menjadi dua bagian secara kasar, yakni gerak presentatif dan representatif.

Keduanya hadir dalam jagad tari, namun kemunculannya tidak mudah untuk

dipisah-pisahkan secara tegas, karena wujud yang tampak sering samar-samar, hal

itu sengaja dibuat untuk mengungkapkan ekspresi seniman atau penyusun tari.

Gerak presentatif merupakan bentuk gerak yang tidak mempunyai arti secara

khusus, gerak ini difungsikan semata-mata untuk kebutuhan ekspresi. Sedangkan

gerak representatif adalah gerak penghadir, artinya gerak yang dihasilkan dari

imitasi terhadap sesuatu. Kedua bentuk gerak baik presentatif maupun

representatif merupakan medium utama tari pasihan dalam rangka memenuhi

keperluan ekspresi.

Adapun bentuk-bentuk vokabuler sekaran yang terdapat pada tari Karonsih

dan Tari Bondhan Sayuk secara garis besar, pola-pola sekarannya bersifat

presentatif dan representatif. Dari seluruh adegan I, II, dan III pada tari Karonsih

dan tari Bondhan Sayuk menunjukkan gerak representatif mendominasi pada

bahasa nonverbal, yang mencapai 80,20 % dalam tari Karonsih dan 76,05 % dalam

tari Bondhan Sayuk. Dominasi gerak representatif yang terdapat pada genre tari

pasihan dimaksudkan oleh seniman penyusun supaya masyarakat dan lebih khusus

sepasang temanten akan merasa lebih mudah mengapresiasi tema tarian. Semakin

banyak gerak representatif dalam sebuah tarian penonton semakin mudah

menafsirkan tema dari ilusi-ilusi yang diekspresikan lewat gerak sehingga pesan

makna dari tari pasihan tersebut mudah ditangkap masyarakat sebagai

apresiatornya. Adapun gerak-gerak representatif pada genre tari pasihan tersebut

279
merefleksikan gerak orang bermesraan, seperti: berpelukan, bergandengan tangan,

mencubit, meledek, menggoda dan gerak-gerak lainnya yang mengungkapkan

kegembiraan. Sehingga tema yang muncul dapat ditafsirkan yakni tema percintaan.

Berdasarkan tema percintaan yang telah terungkap, penonton akan mencoba

mengaitkan fungsi kehadiran tari pada sebuah resepsi perkawinan. Kehadiran

genre tari pasihan pada sebuah resepsi perkawinan bukan pada resepsi lainnya itu

merupakan pertanda bahwa jenis-jenis tari tersebut mempunyai fungsi yang berarti

dalam resepsi perkawinan yaitu sebagai suritauladan yang hendak ditindaklanjuti

bagi sepasang temanten.

Selain itu dari komposit bahasa verbal dan Kinetic body moves sebagai

unsur nonverbal pada tari Karonsih dan Tari Bondhan Sayuk terdapat hubungan

yang bersifat langsung dan tidak langsung. Hubungan bahasa verbal dan Kinetic

body moves bersifat langsung artinya bahwa makna bahasa verbal sesuai dengan

makna bentuk gerak. Sedangkan hubungan bahasa verbal dan Kinetic body moves

bersifat tidak langsung artinya bahwa makna bahasa verbal tidak sesuai dengan

makna bentuk gerak. Secara kuantitatif hubungan bahasa verbal dan nonverbal

yang bersifat langsung tampak lebih mendominasi dibandingkan dengan yang

tidak langsung. Alasannya kehadiran genre tari pasihan pada resepsi perkawinan

adalah untuk hiburan dan suritauladan temanten dan masyarakat yang kepekaan

rasanya heterogen, untuk itu supaya seni tersebut dapat ditangkap maknanya oleh

semua lapisan masyarakat maka bentuk komposit bahasa verbal dengan Kinetic

body moves yang bersifat langsung dirasa sangat tepat agar mudah dihayati.

Pemilihan pola-pola sekaran tari tradisional yang bersumber dari istana

tersebut terkait dengan latar belakang kedua penyusun yaitu: Maridi dengan

280
karyanya tari Karonsih dan Sunarno dengan karyanya tari Bondhan Sayuk yang

sejak masih muda mereka banyak belajar tari-tarian tradisi gaya Surakarta. Seperti

Maridi sejak berumur sekitar usia 8 tahun, Maridi sudah bergabung di sanggar

tari: paguyuban Muda Matoyo di bawah asuhan Jogo Laksito. Berkat kecerdikan

dan keuletan dalam upaya memperdalam tari, Maridi secara diam-diam banyak

berguru dengan beberapa empu tari yang akhirnya membentuk pribadinya menjadi

seorang empu tari, terutama tari tradisional gaya Surakarta. Adapun guru dan

sanggar yang telah banyak berperan membentuk dan mengembangkan

kesenimanan Maridi di dunia tari, antara lain:

1) R.M Lurah Atmo Bratono dengan sanggarnya Yatno Sidoyo.


2) R.M Ng Atmo Hutoyo sebagai guru tari alus.
3) R. Lurah Harto Sukolewa sebagai guru tari gagah, yang menjadi
panutan gaya / wiled tarian gagah S. Maridi.
4) R.M Lurah Widakdo.
5) R.T Kusuma Kesawa.
6) R.M Bekel Wignya Hambekso.
7) R.M Suseno (dari gaya Mangkunegaran)
8) Nyai Pamarditaya.

Bagi Sunarno sejak berumur 11 tahun, ia belajar tari di desa Semono dengan

Wiryo Dimedjo (paman), belajar tari Kethekan (kera), tari rakyat, dan tari

Bondhan. Masa kecilnya banyak di Pati diajak paman Sandiman yang berprofesi

Polisi yang juga seorang penari. Selama di Pati, Sunarno banyak belajar tari

dengan beberapa guru diantaranya:

a) Sandiman (paman), belajar tari dasar (tayungan) dan Tari Gathutkaca

Gandrung.

b) Eko Prasetya, belajar tari kethekan, tari cakil di asrama polisi Pati.

281
c) Raden Irawan, belajar tarian dasar tayungan, tari Cantrikan, dan Tari

Gathutkaca Gandrung di Pakempalan Kagunan Jawi (PKD) Pati.

d) Secara khusus belajar tari cakilan di kursus: Kembang Djaya di Pati.

Setelah lulus SMP, untuk meniti karirnya lebih lanjut, Sunarno melanjutkan

sekolah di Konservatori Karawitan Indonesia Surakarta (KOKAR) di Surakarta

pada jurusan tari tahun 1970 lulus tahun 1972. Pada tahun 1973, Sunarno masuk

kuliah di Akademi Seni Karawitan Indonesia, jurusan Karawitan (ASKI) dan lulus

sarjana muda tahun !979. Melanjutkan S1 di ASKI lulus tahun 1981 dan

mengambil S2 di Sekolah Tinggi Seni Indonesia di Surakarta, tahun 2005 lulus

tahun 2007 dengan gelar Magister Seni ( M.Sn). Di samping kuliah ia juga seorang

pengajar tari spesialis tari gagah di ASKI sejak tahun 1973 yang pada waktu itu

baru menjadi pegawai honorer Dikbud Kodya yang diperbantukan untuk ASKI.

Pada tahun 1976, ia diangkat sebagai pegawai negeri Dikbud Kodya dan sejak

tahun 1982 melimpah ke ASKI sebagai dosen tetap sampai sekarang.

Selain pendidikan formal, selama di Surakarta ia banyak menimba ilmu dengan

beberapa Guru tari antara lain:

a) KRT. Kusuma Kesawa di Pawiyatan Karaton Kasunanan dan

Ramayana Rara Jonggrang.

b) S. Ngaliman dengan sanggarnya Baradha di Kemplayan dan kursus tari

di PKJT Sasonomulyo. Di samping belajar, ia dijadikan asisten

S.Ngaliman di kursus tari PKJT sejak tahun 1972.

c) Wiryo Tampu.

d) Wiryo dengan Sanggar tari Pomoi di Laweyan.

282
Polatan atau ekspresi wajah pada tari pasihan pada dasarnya tidak tampak

mencolok perubahannya. Hal ini terkait dengan karakter masing-masing peran

yang cennderung alus, luruh dan feminin. Bentuk rias dan busana yang dipakai

pada tari pasihan berdasarkan pola-pola tradisi yang disesuaikan dengan sumber

cerita. Pada tari Karonsih yang bersumber dari cerita Panji menggunakan

dandanan Panjen dengan ciri Tekes, sedangkan tari Bondhan Sayuk yang

bersumber dari cerita rakyat menggunakan dandanan Blangkonan untuk peran

suami dan peran istri menggunakan Gelungan atau konde. Bentuk iringan

gamelan sebagai ilustrasi musik yang berupa gendhing-gendhing karawitan

rupanya sangat tepat dan memberi kemantapan dalam mendukung sajian tari

pasihan. Pola-pola semacam itu merupakan budaya Jawa yang merupakan dasar

dari penyusun tari pasihan sehingga komplementer dari kinetic body moves,

polatan (ekspresi wajah), rias, busana, pola lantai, dan iringan sebagai bahasa

nonverbal tari pasihan saling mengkait untuk mendukung bahasa verbal sastra

tembang menjadi bentuk sajian tari yang utuh dan berfungsi sebagai media

komunikasi untuk mengungkapkan maksud seniman penyusun. Untuk menangkap

makna yang terkandung dalam bahasa nonverbal yang berupa simbol-simbol

kinetic body moves, polatan (ekspresi wajah), rias, busana, pola lantai, iringan

gamelan yang terpadu dengan bahasa verbal sastra tembang diperlukan kepekaan

rasa dan ketajaman pikir sehingga mampu menghayati nilai-nilai cinta kasih pada

tari pasihan yang diharapkan seperti yang dimaksudkan seniman penyusun.

Komposit bahasa verbal dan nonverbal dalam genre tari pasihan merupakan

perpaduan yang utuh sebagai seni pertunjukan. Sebagai seni pertunjukan,

kehadiran genre tari pasihan pada upacara ritual perkawinan difungsikan oleh

283
seniman penyusun sebagai hiburan dan suritauladan bagi sepasang temanten dan

masyarakat pada umumnya. Sebagai hiburan, sajian genre tari pasihan menjadi

layak karena wujudnya merupakan bentuk seni pertunjukan yang secara visual

menarik, memikat dan mengandung nilai estetik yang dapat menghibur penonton.

Sedangkan suritauladan yang diharapkan oleh seniman penyusunnya didasarkan

pada pesan atau muatan isi yang terkandung dalam komposit bahasa verbal dan

nonverbal genre tari pasihan yang berupa nasehat-nasehat cinta kasih tentang:

pasangan keluarga yang romantis, harmonis, dan bahagia; kesetaraan dan

kebersamaan dalam menjalankan bahtera rumahtangga; dan sikap-sikap ideal bagi

figur suami maupun figur istri. Nilai-nilai keteladanan tersebut terutama

diperuntukan bagi sepasang temanten untuk bekal dalam membina rumah tangga.

C. Faktor Afektif.

Masyarakat penonton adalah kelompok orang dari beragam kalangan status

sosial yang mengapresiasi tari pasihan terutama jenis tari Karonsih dan tari

bondhan Sayuk. Pada dasarnya masing-masing penonton memiliki persepsi yang

berbeda-beda tergantung dari kepekaan rasa dan ketajaman pikir yang dimiliki

individu. Beragamnya persepsi dari masyarakat penonton tidak lepas dari bekal

kepekaan rasa, latar belakang budaya, kemauan, dan keterlatian dalam

mengapresiasi tari pasihan. Persepsi masyarakat terhadap kehidupan genre tari

pasihan gaya Surakarta. Beragam pendapat dari kalangan masyarakat telah muncul

menanggapi hadirnya genre tari pasihan pada ritual resepsi perkawinan. Informan

dari kalangan masyarakat secara garis besar terdiri dari: kelompok penanggap atau

284
sebagai pengguna, kelompok penonton umum, dan kelompok pakar. Adapun

informasi dari ketiga kelompok informan tersebut dapat dicermati berikut ini.

1.Genre tari pasihan sebagai hiburan.

Penilaian paling awal yang tampak bagi penonton akan tertarik pada

gandar atau rupa wajah penarinya yang tampan, bagus, cantik, maupun manis.

Tanpa penampilan rupawan penarinya, niscaya penonton tidak akan menanggapi

apalagi memperhatikan, sehingga proses hayatan yang dikehendaki penari maupun

penyusun tari tidak akan muncul. Setelah itu baru melihat dedek atau tinggi –

rendahnya penari, diharapkan dengan ketinggian yang ideal (sekitar 160 cm) dan

dukungan warna kulit yang halus, bersih akan menambah daya tarik penonton.

Selain bentuk fisik penari yang ideal juga dukungan rias wajah yang mampu

menampilkan karakterisasi peran dan busana glamor yang dapat memikat dan

memberi kenikmatan indera mata. Taraf selanjutnya adalah kemampuan penari

dalam menyajikan tari yang lebih berorientasi pada keluwesan penari dalam

membawakan tarian. Dari pengamatan tersebut dibenak para penonton terjadi

sinergi antara kepekaan rasa dan ketajaman pikir sehingga muncul penafsiran-

penafsiran terhadap karya seni.

Bagi penanggap kehadiran tari pasihan dalam ritual resepsi perkawinan

adat budaya Jawa ini merupakan salah bentuk hiburan yang diperuntukkan bagi

tamu undangan supaya tidak membosankan dan sekaligus untuk mengatur jalannya

upacara terkait dengan jeda acara demi acara berikutnya. Sebagai masyarakat yang

berlatarbelakang budaya Jawa, rasa memiliki, melestarikan budaya yang dirasakan

lebih tepat adalah budaya Jawa. Hal ini dapat dicermati sejak awal dari

pelaksanaan upacara resepsi perkawinan yang menggunakan adat budaya Jawa,

285
baik yang menyangkut pemilihan hari resepsi, bentuk dekorasi (brostul) untuk

penganten, tarub sebagai hiasan rumah resepsi, busana basahan ataupun kejawen

lengkap untuk penganten, busana kejawen lengkap dengan keris untuk among

tamu kakung (penjemput tamu pria) dan kebaya untuk among tamu wanita,

hiburan yang berbentuk tarian maupun karawitan secara lengkap, serta sarana-

sarana lainnya. Hiburan yang lebih tepat dipilihnya bentuk kesenian yang berbasis

budaya Jawa, seperti genre tari pasihan gaya Surakarta.

Bagi penonton secara umum, Kehadiran tari pasihan dalam upacara ritual

resepsi perkawinan yang biasanya disajikan pada bagian akhir dari seluruh

rangkaian resepsi sebagai penutup, merupakan pertunjukan yang bersifat hiburan.

Sebagai hiburan yang dirasa tepat atau sesuai, pertunjukkan tari pasihan dalam

upacara ritual perkawinan adat budaya Jawa terletak pada kesesuaian antara tema

percintaaan yang digambarkan tari pasihan sebagai muatannya dengan peristiwa

perkawinan yang mengatur sejak awal jalannya percintaan sepasang mempelai

temanten secara resmi di depan publik untuk mendapatkan pengakuan status sosial

dan adat budaya yang mereka miliki. Sinkronisasi antara gambaran nilai percintaan

yang diangkat dalam tari dengan realitas nilai percintaan yang hidup dan

berkembang dalam jiwa sepasang mempelai temanten yang sedang diwisuda,

tersebut adalah bukti dari ketepatan atau kesesuaian yang diasumsikan dari

penonton secara umum.

Dari beberapa pakar menyatakan bahwa kehadiran genre pasihan pada

upacara ritual perkawinan memiliki fungsi yang dalam terutama bagi sepasang

mempelai temanten. Fungsi awal yang paling sederhana secara faktual dapat

dicermati adalah sebagai hiburan. Hiburan yang didapat dari sajian tari pasihan,

286
bagi penonton adalah bersifat estetik, artinya kenikmatan indera penonton dari

melihat pertunjukan tari pasihan merasa tertarik dan terpikat berawal dari bentuk

fisik. Wujud fisik berupa gandar atau rupa wajah, dedek atau tinggi rendahnya

postur tubuh, rias, dandanan busana, dan kinetic body moves yang secara

komplementer akan menyatu dengan wujud nonfisik yang berupa rasa. Hasil

komplementer dari bentuk fisik dan nonfisik dalam tari adalah rasa keindahan

yang mampu memberikan hiburan yang bersifat rohani.

Persepsi masyarakat yang terdiri dari kelompok penanggap atau sebagai

pengguna, kelompok penonton umum, dan kelompok pakar secara garis besar

salah satu fungsi genre tari pasihan dalam ritual resepsi perkawinan adat Jawa

merupakan bentuk hiburan. Kesamaan persepsi dari ketiga kelompok masyarakat

tersebut karena mereka memiliki latar belakang budaya yang sama. Secara

emosional mereka memiliki ikatan kultur yang kuat sehingga kepekaan rasa yang

tertanam dalam jiwa, sekalipun kadar kualitas berbeda namun masih mampu

menggugah dan menghidupkan kembali stimulus-stimulus estetik yang sewaktu-

waktu dihadapkan pada benda pacu yang berupa karya seni genre tari pasihan.

Pada dasarnya masing-masing individu sedikit banyak memiliki rasa kesenian

yang merupakan bekal alami.

2. Genre tari pasihan sebagai keteladanan.

Bagi penonton umum yang sering mengapresiasi pementasan tari pasihan,

memiliki wawasan kesenian dan mempunyai minat serta kepedulian terhadap seni,

mereka katakan bahwa jenis-jenis tari percintaan yang sering dilihat dalam resepsi

perkawinan mempunyai maksud-maksud tertentu. Berdasarkan pementasan tari-

tarian pasihan yang menggambarkan orang bercinta dengan mesra, mereka melihat

287
terdapat sesuatu dari pertunjukkan itu yang dapat ditiru oleh sepasang temanten,

yaitu kemesraan sebagai sepasang suami istri. Selain itu yang dapat ditiru oleh

pasangan temanten dari pementasan tari-tarian pasihan adalah kebersamaan dan

kegembiraan.

Bagi penanggap, tari pasihan merupakan masterpiece dari seluruh sajian

tari yang dipentaskan dalam sebuah upacara ritual perkawinan adat Jawa.

Pemilihan ini rupanya sangat terkait dengan maksud penanggap yang mampu

mencermati, memahami dan menghayati nilai-nilai yang terkandung dalam karya

tari pasihan. Secara khusus tari pasihan merupakan simbolisasi percintaan yang

mengandung nilai percintaan yang begitu tulus sebagai muatan ekspresinya. Tema

percintaan yang diangkat untuk menentukan alur garapan tari pasihan sungguh

mampu mengungkapkan nilai cinta lewat liku-liku kehidupan cinta sepasang

kekasih yang merupakan tokoh idola baik yang bersifat fiktif maupun nyata bagi

masyarakat Jawa. Kemesraan, romantisme, ketulusan, kehalusan, kegembiraan,

dan kebahagiaan yang digambarkan dari sepasang tokoh-tokoh idola seperti: Panji

Inukertapati & Dewi Sekartaji pada tari Karonsih, Dewa Komajaya & Dewi

Komaratih dalam tari Lambangsih, dan Damarwulan & Dewi Anjasmara dalam

tari Enggar-enggar tersebut mempunyai makna yang dalam yang mampu

menyentuh jiwa manusia. Bagi penanggap nilai-nilai cinta yang demikian itu,

merupakan sesuatu bekal hidup yang sangat berharga, dan berarti bagi sepasang

mempelai temanten yang sedang diwisuda, untuk itu perlu diteladani. Diharapkan

dengan meneladani nilai percintaan yang disajikan lewat tari pasihan tersebut bagi

sepasang temanten dapat membina hidupnya dengan nilai cinta yang sebenarnya,

di tengah-tengah kehidupan sosial masyarakat. Diharapkan keluarga yang

288
dibangun dan dibina sepasang temanten dengan nilai-nilai cinta mampu

menciptakan keluarga yang harmonis, damai, dan bahagia.

Bagi pakar bekal apresiasinya terhadap seni dan wawasan intelektual yang

dimiliki mampu menghayati secara dalam dan mengungkapkannya secara

komprehenship. Kepekaan rasa dan ketajaman intelek bagi pakar seni merupakan

modal utama untuk mencermati dan menganalisis kehadiran sebuah karya seni di

tengah-tengah kehidupan dan perkembangan sosial masyarakat dari beragam

perspektif. Mengingat bahwa seorang seniman menciptakan karya seni sedikit

banyak mempunyai maksud-maksud tertentu dibalik karyanya. Maksud seniman

tersebut tersirat pada karya seni yang kadang kala mudah ditangkap maknanya

oleh penonton, tetapi sering kali mengalami kesulitan untuk menginterpretasi

makna sesungguhnya yang dikehendaki seniman. Untuk mengetahui maksud

seniman diperlukan bekal pengalaman, keterlatihan, kemampuan, dan wawasan

berkesenian secara luas, sehingga penafsiran-penafsiran terhadap makna dibalik

karya yang dicipta menjadi semakin valid

Bagi pakar, seorang seniman berkarya merupakan dorongan dan tutuntan

kebutuhan jiwa yang dilatarbelakangi apresiasi terhadap lingkungan manusia dan

alam yang terseleksi dan senantiasa dimanifestasikan dalam bentuk yang estetik.

Nilai cinta yang terdapat pada tari pasihan yang merupakan akumulasi dari

beragam rasa, seperti: sedih, marah, kacau, takut, khawatir, tenang, senang,

gembira, bahagia, dan lainnya itu semua ditangan seniman diungkapkan dalam

bungkus sensa yang mampu memicu dan memacu timbulnya khayalan benda dan

peristiwa yang memberi kenikmatan dan kepuasan. Dari medium sensa itu

seniman akan dapat menganyam impian-impian bagi kita mengenai hal-hal yang

289
membuai dan memikat kita senang mengamati. Khayalan tentang tindakan atau

emosi yang ditimbulkan lewat karya seni, kita kemudian dalam imajinasi dapat

melakukan atau mengalami. Jika dicermati lebih dalam dari jiwa kita sendirilah

sebenarnya muncul gagasan-gagasan dan beragam rasa yang merupakan isi sebuah

karya seni. Seniman pada dasarnya tidak lain sebagai manusia yang menyediakan

sebuah susunan benda pacu atau lambang-lambang sensa yang diharapkan akan

ditafsirkan seperti yang dimaksudkan olehnya.

Bagi pakar, genre tari pasihan memiliki fungsi yang dalam terutama bagi

sepasang mempelai temanten yang tercermin pada komplementer bahasa verbal

dan nonverbalnya. Kehadiran genre tari pasihan (percintaan pria dan wanita)

dalam kehidupan sosial masyarakat pada ritual perkawinan adat Jawa rupanya

mempunyai makna simbolik yang sangat penting terutama bagi kedua mempelai

dalam rangka mempersiapkan diri untuk mengarungi kehidupan di masyarakat

yaitu menuju terbentuknya keluarga yang bahagia. Menurut Clifford Geertz (1992:

6), bahwa ‘simbol’ tampak terbatas pada sesuatu yang mengungkapkan secara

tidak langsung, sehingga perlu perantara yang berwujud simbol-simbol dalam

puisi bukan dalam bentuk pengetahuan. Simbolisme semacam ini tampak pada

genre tari pasihan yang hadir dalam rangkaian upacara-upacara perkawinan adat

Jawa. Seolah–olah keberadaan genre tari pasihan dalam budaya Jawa menjadi

bagian yang tidak dapat dipisahkan terutama pada upacara-upacara perkawinan.

Pada dasarnya genre tari pasihan gaya Surakarta merupakan simbolisasi

percintaan sepasang manusia yang berjenis kelamin pria dan wanita. Dalam

perjalanan kisahnya berawal menghadapi permasalahan kemudian mendapat

solusi yang menjadi berangsur-angsur membaik dan berakhir bahagia. Kehadiran

290
tari pasihan hampir dapat dipastikan dalam resepsi perkawinan. Rupanya terdapat

korelasi yang sangat signifikan bahwa kehadiran tari pasihan dalam resepsi

perkawinan diharapkan dapat diteladani dan memberikan sugesti secara tidak

langsung terhadap sepasang temanten. Nilai-nilai keteladanan yang dapat diserap

dari aktualisasi tari pasihan yang berupa nasehat-nasehat cinta kasih diantaranya:

pasangan keluarga yang romantis, harmonis, dan bahagia; kesetaraan dan

kebersamaan dalam menjalankan bahtera rumahtangga; dan sikap ideal bagi

suami mapun istri.

Bentuk sugesti secara tidak langsung terhadap sepasang temanten

terpancar dari kekuatan cinta sepasang tokoh yang digambarkan dalam tari

pasihan dimaksudkan dapat dihayati sepasang temanten sehingga bayangan-

bayangan cinta yang diekspresikan oleh seniman mampu memicu dan memacu

kehidupan imajinasi cinta sepasang temanten. Kekuatan imajinasi percintaan yang

digambarkan sepasang kekasih dalam tari pasihan diharapkan dapat memberikan

kekuatan magis simpatetis terhadap kehidupan jiwa sepasang mempelai temanten,

yaitu mampu mempengaruhi kesuburan dalam proses perkawinan pasangan

temanten. Hal ini juga digambarkan secara lebih aktual pada tari Bondhan Sayuk

ketika tindakan atau perbuatan penari putri (peran istri) memberikan boneka anak

kepada temanten putri pada bagian akhir tarian merupakan perbuatan simbolik

yang menunjukkan adanya kekuatan – kekuatan tertentu yang tidak kelihatan mata

yang bersifat magis simpatetis diharapkan dapat diterima penganten putri.

Perbuatan simbolik dalam pertunjukan tari Bondhan Sayuk lebih tampak jelas dan

lebih mendekat kearah realitas tujuan bercinta dalam sebuah kehidupan keluarga.

Dengan kekuatan magis simpatetis akan dapat menyuburkan benih-benih cinta

291
yang tengah berkembang pada sepasang temanten yang akhirnya mampu

melahirkan buah cinta yang berupa momongan (anak). Pada dasarnya kedua orang

mengawinkan putra-putrinya dengan cita-cita untuk segera diberi keturunan yang

berupa anak, sebagai pewaris dan penerus keluarga.

Kesamaan persepsi dari penanggap, penonton umum dan pakar terhadap

kehidupan genre tari pasihan mengidikasikan bahwa bentuk tari pasihan tersebut

mengandung nilai-nilai keteladanan layak menjadi sebuah pelajaran yang sangat

berharga bagi sepasang temanten untuk diserap dan diimplemetasikan dalam

kehidupan rumah tangga. Di samping itu juga terdapat perbedaan pada kadar

pemahaman, karena bagi pakar bekal apresiasinya terhadap seni dan wawasan

intelektual yang dimiliki mampu menghayati secara dalam dan

mengungkapkannya secara komprehenshif. Kepekaan rasa dan ketajaman intelek

pakar seni merupakan modal utama untuk mencermati dan menganalisis kehadiran

sebuah karya seni di tengah-tengah kehidupan dan perkembangan sosial

masyarakat dari beragam perspektif. Kesadaran awal yang harus dicermati, bahwa

dalam dunia kesenian, para pelaku dan penghayat tidak selalu memahami akan

yang mereka kerjakan. Bahkan seniman sering mampu menghasilkan karya seni

yang sangat bagus tetapi kerap tidak memiliki pendapat yang jelas dan tetap

terhadap pernilaian karyanya. Kesulitan yang tampak bahwa seni pertunjukan

merupakan seni sesaat, orang tidak akan dapat berharap banyak karena rasa seni

yang kita hayati tidak bisa mengendap dan lekas menghilang tidak menjadi

gagasan yang tenang dan mantap. Dengan demikian hanya pakarlah yang mampu

untuk memahami dan menganalisis secara komprehensif dan bertanggungjawab

292
validitasnya, karena seniman adalah berjiwa mistik, yang memiliki rasa seni yang

dalam tetapi tidak berbicara banyak dan sering sulit untuk mengurai karyanya.

BAB IV
PEMBAHASAN

A. Temuan pokok- pokok penelitian.

Faktor objektif.

1. Jenis–jenis TT yang terdapat dalam genre tari pasihan gaya Surakarta

terdiri dari beragam jenis yaitu: TT asertif, TT komisif, TT ekspresif, TT direktif,

dan TT patik. Dari beragam jenis TT yang terdapat pada genre tari pasihan, jenis

TT yang dominan adalah TT direktif.

293
2. Dalam bahasa verbal genre tari pasihan bentuk penerapkan prinsip kerja

sama terjadi pelanggaran maksim kuantitas dan maksim cara, sedangkan maksim

kualitas dan maksim hubungan dipatuhi.

Prinsip kesantunan yang diterapkan dalam bahasa verbal genre tari pasihan

dengan menggunakan strategi melakukan TT dengan menggunakan kesantunan

positif dan strategi melakukan TT secara tidak langsung (off record).

3. Implikatur yang terdapat dalam bahasa verbal tari pasihan menunjukkan

adanya simbolisasi percintaan sepasang suami istri yang dalam perjalanan

kisahnya berawal menghadapi permasalahan kemudian mendapat solusi yang

menjadi berangsur-angsur membaik dan berakhir bahagia. Kehadiran tari pasihan

hampir dapat dipastikan dalam resepsi perkawinan yang nota bene sebagai wahana

untuk mewisuda sepasang temanten. Rupanya terdapat korelasi yang sangat

signifikan bahwa kehadiran tari pasihan dalam resepsi perkawinan diharapkan

dapat diteladani sepasang temanten.

Daya pragmatik yang terdapat dalam bahasa verbal dan nonverbal genre

tari pasihan menunjukkan adanya bentuk sugesti secara tidak langsung terhadap

sepasang temanten. Hal ini terpancar dari kekuatan cinta kasih sepasang suami istri

yang digambarkan dalam tari pasihan dimaksudkan dapat dihayati sepasang

temanten sehingga bayangan-bayangan cinta yang diekspresikan oleh seniman

mampu memicu dan memacu kehidupan imajinasi cinta sepasang temanten.

Kekuatan imajinasi percintaan yang digambarkan sepasang kekasih dalam tari

pasihan diharapkan dapat memberikan kekuatan magis simpatetis terhadap

kehidupan jiwa sepasang mempelai temanten, yaitu mampu mempengaruhi

kesuburan dalam proses perkawinan pasangan temanten. Gambaran secara lebih

294
aktual pada tari Bondhan Sayuk yang merepresentasikan pasangan pria dan wanita

setelah bercinta kemudian membawa boneka sebagai simbol anak dan ketika

adegan akhir penari putri memberikan boneka anak kepada temanten putri.

Tindakan atau perbuatan tersebut merupakan perbuatan simbolik yang

menunjukkan adanya kekuatan – kekuatan tertentu yang tidak kelihatan mata yang

bersifat magis simpatetis diharapkan dapat diterima temanten putri. Perbuatan

simbolik dalam pertunjukan tari Bondhan Sayuk lebih tampak jelas dan lebih

mendekat kearah realitas tujuan bercinta dalam sebuah kehidupan keluarga. Pada

intinya bentuk daya pragmatik genre tari pasihan adalah berupa nasehat-nasehat

tentang cinta kasih yaitu pasangan keluarga yang romantis, harmonis, dan bahagia;

kesetaraan dan kebersamaan dalam menjalankan bahtera rumahtangga; dan sikap-

sikap ideal bagi figur suami maupun figur istri. Nasehat-nasehat tentang cinta

kasih tersebut bermanfaat bagi sepasang temanten sebagai bekal untuk menjalani

kehidupan yang lebih baik dalam membangun sebuah keluarga.

4. Bahasa verbal dan nonverbal genre tari pasihan merupakan dua

komponen besar yaitu aspek verbal berupa cakepan (syair) sastra tembang yang

terdapat dalam teks pathetan, sindhenan, gerongan, dan jineman dan aspek

nonverbalnya berupa: tema, kinetic body moves (gerak tubuh), polatan, rias,

busana, pola lantai, dan iringan yang secara komplementer menyatu dalam bentuk

seni pertunjukan. Berdasarkan jabaran bahasa verbal dan nonverbal tari Karonsih

dan tari Bondhan Sayuk dapat diketemukan ciri karakteristik genre tari pasihan

sebagai berikut: a) Bahasa verbal berbentuk tembang Jawa bernuansa cinta; b)

Bahasa verbal yang digunakan berdasarkan status sosial; c) Hubungan bahasa

verbal dan nonverbal bersifat langsung dan tidak langsung; d) Tema percintaan; e)

295
Cerita berakhir dengan bahagia (happy end); f) Disajikan berpasangan pria dan

wanita; g) Pesannya berupa nasehat tentang cinta kasih; h) Gerak representatif dan

presentatif sebagai ekspresi kinetic body moves dalam sajian.

Faktor genetik.

Jenis TT yang mendominasi pada bahasa verbal dalam genre tari pasihan

adalah TT direktif. Hal ini dimaksudkan oleh seniman penyusun supaya bahasa

verbal yang sifatnya mengajak, meminta, dan memerintah yang tercermin dalam

TT direktif dapat menyampaikan makna bahasa verbal sastra tembang yang berupa

nasehat-nasehat cinta tersebut untuk diteladani sepasang temanten.

Dalam menerapkan prinsip kerja sama, seniman penyusun lewat karya tari

pasihan melanggar maksim kuantitas dan maksim cara dimaksudkan seniman

untuk mengekspresikan rasa estetik dan menambah kemantapan rasa. Maksim

kualitas dan maksim hubungan dipatuhi dimaksudkan oleh seniman supaya

komunikasi rasa dapat berlangsung sehingga makna karya tari pasihan dapat

ditangkap penghayat secara utuh.

Prinsip kesantunan yang diterapkan dalam bahasa verbal genre tari pasihan

dengan menggunakan strategi melakukan TT dengan menggunakan kesantunan

positif untuk menunjukkan kedekatan, keintiman, dan hubungan baik antara

penutur dengan mitra tutur. Hal ini dimaksudkan seniman penyusun untuk

menunjukkan simbolisasi keharmonisan hubungan antara peran suami dan istri

yang digambarkan dalam tari sebagai bentuk suritauladan yang layak untuk

diteladani sepasang temanten. Di samping itu juga konsep yang mendasari strategi

untuk melakukan TT secara tidak langsung (off record) untuk mengekspresikan

296
rasa estetik dan menambah kemantapan rasa supaya dapat lebih menyentuh

penghayat dan maknanya dapat diterima.

Konsepsi tentang pemilihan bahasa verbal dan nonverbal bersifat harmoni,

selaras dan seimbang sehingga komplementer dari kedua komponen tersebut

menjadi padu membentuk genre tari pasihan dalam aktualisasi yang berkualitas,

estetik, dan bermakna bagi masyarakat. Keseimbangan komposisi bahasa verbal

dan nonverbal tampak pada setiap peristiwa dalam adegan, yaitu pada setiap

ekspresi sastra tembang selalu didukung dan diikuti langsung kinetic body moves.

Faktor afektif.

Berdasarkan persepsi masyarakat, kehidupan genre tari pasihan dalam

sosial masyarakat berfungsi sebagai hiburan dan suritauladan yang tepat bagi

sepasang temanten dan masyarakat pada umumnya. Bagi masyarakat secara

umum kehadiran tari pasihan dalam resepsi perkawinan ditangkap sekadar sebagai

hiburan. Berbeda dengan persepsi pakar seni, bahwa fungsi tari pasihan dalam

resepsi perkawinan, selain sebagai hiburan juga merupakan suritauladan yang

sangat penting bagi sepasang temanten. Pemahaman tentang fungsi tari pasihan

tersebut menunjukkan adanya perbedaan antara masyarakat umum dengan pakar

seni, karena kepekaan rasa dan ketajaman pikir pakar seni lebih mantap dan lebih

berkualitas dibandingkan masyarakat pada umumnya.

B. Pembahasan.

Genre tari pasihan merupakan jenis tari pasihan yang difungsikan sebagai

hiburan dan suritauladan bagi sepasang temanten dan sosial masyarakat.

Kehadiran genre tari pasihan sebagai seni pertunjukan merupakan perpaduan dari

bahasa verbal dan nonverbal yang secara komposit mengungkapkan makna.

297
Bahasa verbal genre tari pasihan berupa sastra tembang dalam bentuk pathetan,

sindhenan, gerongan, dan jineman mengandung nasehat-nasehat tentang cinta

kasih bagi sepasang suami istri, mencakup: pasangan keluarga yang romantis,

harmonis, dan bahagia; kesetaraan dan kebersamaan dalam menjalankan bahtera

rumahtangga; dan sikap-sikap ideal bagi figur suami maupun figur istri sebagai

pesan makna atau isi. Sedangkan bentuk bahasa nonverbal merupakan

komplementer dari elemen-elemen: tema, kinetic body moves (gerak tubuh),

polatan, rias, busana, pola lantai, dan iringan yang saling mendukung dan menyatu

menjadi sebuah bentuk sajian visual yang mengungkapkan pesan makna yang

terkandung dalam bahasa verbal. Komplementer bahasa verbal sebagai kandungan

makna dan bahasa nonverbal sebagai bentuk visual sudah menyatu dan berkaitan

satu sama lainnya dan mampu mencerminkan kesatuan makna secara utuh.

Genre tari pasihan merupakan beragam jenis tari yang mengangkat tema

percintaan, untuk menyampaikan pesan maknanya tari pasihan, seniman penyusun

memandang perlu memanfaatkan aspek kebahasaan atau bahasa verbal dengan

menggunakan kata-kata cinta yang terakumulasi dalam bentuk sastra tembang

Jawa. Adapun kata-kata cinta, seperti: gantilaning tyas, aginggang sarambut,

garwa, brangti, wuyung, mustikaning, wanodya di, setya, rabinira, asih tresna,

asmara, wong manis, sulistyane, prasetya, dan mas jiwaku. Diharapkan dengan

kata-kata cinta yang merupakan dasar dari tema percintaan yang diangkat dalam

genre tari pasihan yang disajikan dalam bentuk tembang dengan irama, lagu, dan

karakter yang berbeda-beda tersebut mengarahkan pada sepasang temanten untuk

lebih meresapi dan menangkap makna secara utuh untuk diteladani dan dijadikan

sebagai bekal perjalanan dan pelajaran hidup.

298
Dilihat dari aspek kebahasaan genre tari pasihan memanfaatkan jenis-jenis

TT yang terdapat pada bahasa verbal teks sastra tembang dalam bentuk pathetan,

sindhenan, gerongan, dan jineman. Bahasa verbal dalam genre tari pasihan

terakumulasi dari beragam jenis TT yang menyatu saling mengkait dan saling

melengkapi sebagai penunjuk isi. Kreidler (1998: 183-194), mengkategorisasikan

TT dalam sebuah pertuturan menjadi tujuh jenis bentuk TT, yaitu: TT asertif, TT

performatif, TT verdiktif, TT ekspresif, TT direktif, TT komisif, dan TT patik.

Berdasarkan teori jenis TT yang dikemukakan Kreidler, jenis-jenis TT yang

terdapat dalam genre tari pasihan gaya Surakarta terdiri dari jenis-jenis TT:

asertif, komisif, ekspresif, direktif, dan patik. Dari beragam jenis TT yang terdapat

pada genre tari pasihan, jenis TT yang paling dominan adalah jenis TT direktif.

Menurut Kreidler (1998: 189-190), TT direktif adalah tuturan di mana pembicara

berusaha menyuruh orang yang disapa untuk melakukan atau tidak melakukan

sesuatu perbuatan tertentu. Secara garis besar beliau membagi tuturan direktif

menjadi tiga macam: perintah, permintaan, dan usulan atau anjuran. Sejalan

dengan pernyataan Kreidler, jenis-jenis TT direktif yang terdapat dalam genre tari

pasihan berfungsi untuk permintaan, perintah, melarang, dan mengajak. Jenis-jenis

TT direktif tersebut dapat dicermati berikut ini.

Jenis TT direktif yang berfungsi untuk permintaan.

Tuturan Dewi Sekartaji:


Dhuh jagad dewa bathara
Welasa mring dasih kang nandhang kingkin
Tuturan Panji Inukertapati:
Muga tansah pinaringan
Kanugrahan kang salami

299
Jenis TT direktif yang berfungsi untuk perintah.
Tuturan Panji Inukertapati:
Pra wanita marsudiya marang tindak kang utama
Setya tuhu marang garwa dadi rowang kang sembada
Tuturan Dewi Sekartaji:
Balik priya nimbangana ngayomi mring rabinira
Datan kemba asih tresna sung tetreming kulawarga
Tuturan istri:
Dhuh mas jiwaku, baya iki wus wanci,
Bapakne sithole, mangkat makarya,
Sawahmu tansah anganti,
Tuturan Suami:
Mbokne thole,
Sakdurunge anakmu gawanen mrene,

Jenis TT direktif yang berfungsi untuk melarang.


Tuturan Suami:
Adhuh lae, atak adhuh lae, ora nyleweng tumindake,

Jenis TT direktif yang berfungsi untuk mengajak.


Tuturan bentuk Narasi:
1. Sayuk, sayuk, sayuk, sakancane,
2. Sayuk, sayuk, sayuk, nyambut gawe,
3. Sayuk, sayuk, sayuk, sakabehe,
4. Sayuk mbangun negarane.
Tuturan Suami :

labuh labet mring bangsane.

Dominasi dari jenis-jenis TT direktif yang terdapat dalam bahasa vebal

genre tari pasihan yang sifatnya mengajak, permintaan, dan perintah tersebut

secara akumulatif dimaksudkan oleh seniman untuk mengajak, meminta dan

menyuruh terhadap sepasang temanten untuk memahami dan meresapi makna isi

yang terkandung dalam bahasa sastra tembang dan supaya melakukan tindakan

atau perbuatan seperti yang dicontohkan dalam pertunjukan tari pasihan tersebut.

Maksud dan harapan seniman penyusun tersebut ditangkap oleh penghayat sebagai

300
sesuatu yang harus diteladani, mengingat gambaran percintaan pasangan suami

istri yang romantis, harmonis, dan bahagia yang terdapat dalam tari tersebut dirasa

sangat tepat dan ditangkap secara mantap sebagai suatu edukatif atau pengajaran

yang bersifat tidak langsung dan sangat bermanfaat bagi sepasang temanten untuk

menjalani kehidupan yang lebih baik dalam menggapai keluarga bahagia lahir dan

batin. Indikasinya ditunjukkan bahwa genre tari pasihan hanya disajikan pada

upacara-upacara resepsi perkawinan, bukan pada acara-acara lainnya.

Bagi masyarakat Jawa, sistem mendidik terhadap anak tidak selalu

dilakukan secara formal dan terbuka, tetapi juga dalam bentuk yang tidak

langsung, tertutup lebih bersifat simbolik. Seperti kehadiran genre tari pasihan

(percintaan pria dan wanita) dalam kehidupan sosial masyarakat pada ritual

perkawinan adat Jawa mempunyai makna simbolik (berupa: pasangan keluarga

yang romantis, harmonis, dan bahagia; kesetaraan dan kebersamaan dalam

menjalankan bahtera rumahtangga; dan sikap, perilaku ideal bagi suami mapun

istri) yang sangat penting yaitu terutama bagi kedua mempelai temanten dalam

rangka mempersiapkan diri untuk membentuk keluarga yang bahagia. Kehadiran

genre tari pasihan dalam kehidupan sosial masyarakat pada ritual perkawinan

merupakan wahana untuk mendidik anak yang telah dewasa yaitu sepasang

temanten dengan cara tidak langsung yakni dengan cara simbolik. Untuk

menerima isi atau pesan pendidikan yang berupa pementasan genre tari pasihan

diperlukan ketajaman pikir dan kepekaan rasa.

Pada dasarnya bentuk karya seni genre tari pasihan merupakan materi

pendidikan yang penuh imajinatif, multitafsir tersebut hanya mampu ditangkap

indera lewat implikatur-implikatur bahasa verbal dengan bahasa nonverbal, bukan

301
makna leksikal dari susunan gramatikal bahasa verbalnya. Lewat cara-cara estetis

bahasa verbal dan nonverbal genre tari pasihan tersebut disajikan supaya pesan

makna yang dikehendaki seniman dapat diterima, tepat sasaran dan lebih

menyentuh sepasang temanten dengan tidak merasa dipaksa. Sistem pendidikan

cara simbolik ini merupakan pilihan masyarakat yang masih merasa memiliki

keterikatan emosional dan kesadaran atas budaya Jawa yang dirasakan dan

dianggap mengandung nilai-nilai kehidupan yang layak dan tepat untuk

diimplementasikan pada masyarakat hingga sekarang.

Untuk mengupayakan agar kandungan makna yang dikehendaki seniman

dapat ditangkap dan sampai pada pasangan temanten, seniman memandang perlu

menerapkan prinsip kerja sama dan prinsip kesantunan secara selektif dalam

bahasa verbal teks-teks sastra tembang yang terdapat pada genre tari pasihan.

Menurut Grice, prinsip kerja sama dalam pertuturan dibagi menjadi empat maksim

yaitu maksim kuantitas, maksim cara, maksim kualitas, dan maksim hubungan.

Maksim kuantitas adalah berikan informasi yang tepat sesuai yang dibutuhkan dan

jangan melebihi yang dibutuhkan. Maksim cara usahakan agar informasi mudah

dimengerti, hindari pernyataan yang samar, hindari ketaksaan dan usahakan agar

ringkas. Maksim kualitas; usahakan agar sumbangan informasi anda benar.

Maksim hubungan; usahakan agar pernyataan anda ada relevansinya (dalam

Leech, 1993: 11),

Dalam penerapan prinsip kerja sama pada bahasa verbal genre tari pasihan,

seniman melanggar maksim kuantitas dan maksim cara. Pelanggaran maksim

kuantitas yang terjadi dalam bahasa verbal genre tari pasihan adalah digunakannya

kata-kata arkais, seperti: sang retnayu, jengkar sking, mendranira, dahat, mring

302
dasih, nandhang kingkin, dadya gantilaning tyas, aginggang sarambut, pinanggya,

lalis, ningsun, angkling, brangti, wuyung, wanodya di, mustikaning, nujuprana,

mring, anggenya, sang pekik wah sang dyah ayu, mas rara, sulistyane,

rasaningtyas, wak-ingan, dan dhuh mas jiwaku. Adapun pelanggaran maksim

kuantitas yang terjadi dalam bahasa verbal genre tari pasihan, dimaksudkan oleh

seniman untuk mengekspresikan rasa estetik dan menambah kemantapan rasa.

Pelanggaran maksim cara dalam bahasa verbal genre tari pasihan adalah

digunakannya bahasa tembang yang pada dasarnya merupakan bahasa yang sulit

dimengerti artinya, sifatnya tersamar dan tidak ringkas karena telah terpola dengan

guru lagu dan guruwilangan. Jenis-jenis tembang yang merupakan bahasa

komunikasi dalam genre tari pasihan secara prinsip kerja sama dalam sebuah

pertuturan terjadi pelanggaran maksim cara. Adapun pelanggaran maksim cara

yang terjadi dalam bahasa verbal genre tari pasihan, dimaksudkan oleh seniman

untuk mengekspresikan rasa estetik dan menambah kemantapan rasa. Maksim

kualitas dan maksim hubungan dipatuhi dimaksudkan oleh seniman supaya

komunikasi rasa dapat berlangsung sehingga makna karya tari pasihan dapat

ditangkap penghayat secara utuh.

Berdasarkan Teori kesantunan Brown dan Levinson (1987), terdapat lima

strategi, yaitu: 1) melakukan TT secara apa adanya, tanpa basa basi (bald on

record). 2) melakukan TT dengan menggunakan kesantunan positif mengacu

muka positif (positive politiness), untuk menunjukkan kedekatan, keintiman, dan

hubungan baik antara penutur dengan mitra tutur. 3) melakukan TT dengan

menggunakan kesantunan negatif mengacu muka negatif (negative politiness),

untuk menunjukkan adanya jarak sosial antara penutur dengan mitra tutur. 4)

303
melakukan TT secara tidak langsung (off record). 5) tidak melakukan TT atau

diam (don’t do the FTA).

Mengacu Teori kesantunan Brown dan Levinson (1987) tersebut, prinsip

kesantunan yang diterapkan dalam bahasa verbal genre tari pasihan dengan

menggunakan strategi melakukan TT dengan menggunakan kesantunan positif

dan strategi melakukan TT secara tidak langsung (off record). Prinsip kesantunan

yang diterapkan dalam bahasa verbal genre tari pasihan dengan menggunakan

strategi melakukan TT dengan menggunakan kesantunan positif untuk

menunjukkan kedekatan, keintiman, dan hubungan baik antara penutur dengan

mitra tutur. Hal ini dimaksudkan seniman penyusun untuk menunjukkan

simbolisasi keharmonisan hubungan antara peran suami dan istri yang

digambarkan dalam tari sebagai bentuk suritauladan yang layak untuk diteladani

sepasang temanten. Di samping itu juga konsep yang mendasari strategi untuk

melakukan TT secara tidak langsung (off record) untuk mengekspresikan rasa

estetik dan menambah kemantapan rasa supaya dapat lebih menarik dan memikat

serta menyentuh penghayat dan maknanya dapat ditangkap dan diterima sepasang

temanten untuk dijadikan sebagai pelajaran yang bermanfaat dalam menata

kehidupan keluarga baru.

Dalam menyampaikan pesan makna yang terdapat dalam bahasa vebal

seniman penyusun memandang perlu menggunakan bahasa nonverbal. Dukungan

bahasa nonverbal pada tari pasihan merupakan media visual yang difungsikan

sebagai sarana untuk mengekspresikan pesan makna yang dapat ditangkap oleh

penghayat. Bentuk bahasa nonverbal yang terdiri dari tema, kinetic body moves

(gerak tubuh), polatan, rias, busana, pola lantai, dan iringan secara akumulatif

304
akan membentuk satu bentuk simbol yang mampu mengekspresikan makna tari

pasihan menjadi lebih menyentuh dan semakin mantap. Strategi yang digunakan

seniman penyusun dengan memanfaatkan jenis-jenis gerak presentatif dan

representatif yang berhubungan langsung dan tidak langsung dengan bahasa

verbal.

Jenis-jenis gerak presentatif dan representatif yang berhubungan langsung

dengan bahasa verbal akan memberi kemudahan terhadap penghayat dalam

menafsirkan maksud dari seniman, mengingat aspek kebahasaan dan aspek

nonbahasa memiliki makna yang sama, sehingga pesan makna yang hendak

disampaikan menjadi lebih kuat dan mantap. Adapun jenis-jenis gerak presentatif

dan representatif yang berhubungan tidak langsung dengan bahasa verbal,

digunakan seniman penyusun untuk mengekspresikan makna dengan cara lebih

tersamar dan ungkapan suasana yang muncul merupakan ekspresi yang dirasa

memiliki kekuatan untuk menyampaikan makna.

Akumulasi dan kombinasi dari dua strategi penyampaian pesan yang

digunakan seniman yang berupa jenis-jenis gerak presentatif dan representatif

yang berhubungan langsung dan tidak langsung dengan bahasa verbal menjadi

sangat kuat dan mantap dengan dukungan ekspresi wajah (polatan), rias, busana,

pola lantai, dan iringan gamelan. Terpadunya bahasa verbal dan nonverbal genre

tari pasihan menjadi satu kesatuan seni pertunjukan yang utuh, penuh estetik

sehingga karya tari pasihan menjadi sarana ekspresi yang memikat, mantap dan

berkualitas. Perlu disadari bahwa karya seni merupakan bentuk simbol yang

memerlukan penafsiran-penafsiran. Seniman sering dalam menciptakan karyanya

dilandasi rasa intuitif yang dalam, tidak selalu didasari rasional belaka, sehingga

305
kesan yang terungkap dari sajian sebuah karya seni perlu adanya perenungan

kembali untuk mendapatkan sebuah makna yang utuh.

Secara garis besar dapat dieksplisitkan bahwa genre tari pasihan

merupakan beragam jenis tari yang mengangkat tema percintaan, untuk

menyampaikan pesan maknanya tari pasihan, seniman penyusun memandang

perlu memanfaatkan aspek kebahasaan atau bahasa verbal dengan menggunakan

kata-kata cinta yang terakumulasi dalam bentuk sastra tembang Jawa. Selain itu

tari pasihan juga memanfaatkan jenis-jenis TT: asertif, komisif, ekspresif, direktif,

dan patik. Dari beragam jenis TT yang mendominasi pada genre tari pasihan

adalah TT direktif, hal ini dimaksudkan oleh seniman penyusun supaya bahasa

verbal yang sifatnya mengajak, meminta, dan memerintah dapat menyampaikan

makna bahasa verbal sastra tembang yang berupa nasehat-nasehat cinta tersebut

sesuai dengan fungsi keteladanan.

Dalam mengekspresikan maksudnya seniman juga memanfaatkan prinsip

kerja sama dengan cara lebih selektif. Pada aspek kebahasaan yang digunakan

seniman penyusun dalam menerapkan prinsip kerja sama melanggar prinsip

kuantitas dan prinsip cara yaitu dengan menggunakan kata-kata yang sifatnya

arkais untuk mengekspresikan rasa estetik dan menambah kemantapan rasa.

Maksim kualitas dan maksim hubungan dipatuhi dimaksudkan oleh seniman

supaya komunikasi rasa dapat berlangsung sehingga makna karya tari pasihan

dapat ditangkap penghayat secara utuh. Selain itu untuk menunjukkan kedekatan,

keintiman, dan hubungan baik antara penutur dengan mitra tutur digunakan

kesantunan positif. Hal ini dimaksudkan seniman penyusun untuk menunjukkan

306
simbolisasi keharmonisan hubungan antara peran suami dan istri sebagai bentuk

suritauladan.

Strategi melakukan TT secara tidak langsung (off record) yang dilakukan

seniman terkait aspek kebahasaannya dimaksudkan untuk mengekspresikan rasa

estetik dan menambah kemantapan rasa supaya dapat lebih menyentuh penghayat

dan maknanya dapat diterima. Dalam bahasa verbal secara keseluruhan tampak

adanya koherensi antaraspek–aspek kebahasaan yang terakumulasi menjadi satu

kesatuan saling berkaitan sehingga mencerminkan kesatuan makna yang dapat

mengarahkan penghayat terhadap kandungan isi. Dengan demikian tampak bahwa

sebenarnya bahasa verbal itu sebagai petunjuk isi telah mencerminkan kesatuan

pesan yang utuh sedangkan bahasa nonverbal bertindak sebagai pendukung dalam

menyampaikan isi supaya menjadi lebih mantap. Pada realitanya bahasa nonverbal

pada tari pasihan memiliki kekuatan ekspresi sangat mantap ini juga sangat

tergantung pada kualitas penari. Peranan penari sangat penting artinya jika penari

atau seniman penyaji berkualitas, ekspresinya semakin kuat dan mantap sebaliknya

penarinya lemah kekuatan ekspresinya juga semakin lemah.

Komposisi antara bahasa verbal dengan nonverbal sebagai media ekspresi

secara proporsional tampak selaras dan seimbang. Keselarasan ini tampak dalam

bahasa verbal yang berupa tembang-tembang cinta didukung bahasa nonverbal

yang berupa gambaran percintaan antara pria dan wanita yang menggunakan

gerak-gerak yang merepresentasikan orang bercinta, serta dukungan rasa musikal

yang bernuansa percintaan. Selain itu ditunjang bentuk rias dan warna busana

sama yang mencerminkan menyatunya rasa cinta antara peran pria dan wanita.

Kesemuanya tadi menunjukkan adanya keselarasan antara bentuk bahasa verbal

307
dengan nonverbal pada genre tari pasihan. Keseimbangan komposisi bahasa

verbal dan nonverbal tercermin pada hampir seluruh sastra tembang yang terdapat

dalam tari pasihan selalu diikuti dan didukung kinetic body moves. Hubungan

bahasa verbal dan nonverbal saling komplementer menjadi bentuk yang menyatu,

selaras dan seimbang sehingga bentuknya tari pasihan sebagai media ekspresi

seniman penyusun merupakan komposit isi dan bentuk visual yang menunjukkan

keutuhan sebuah karya seni.

Kehadiran tari pasihan dalam ritual resepsi perkawinan adat budaya Jawa

merupakan salah bentuk hiburan dan suritauladan. Tari pasihan dipandang sebagai

bentuk hiburan terutama oleh masyarakat penonton secara umum. Pernyataan

tersebut muncul karena masyarakat penonton secara umum menghayati tari

pasihan sebagai seni pertunjukan didasarkan pada pengamatan mereka hanya

terbatas pada bentuk visual semata. Bagi penonton umum bentuk yang menarik

dari sisi ketampanan dan kecantikan penari dengan dukungan rias dan busana yang

bagus serta dukungan suasana iringan gamelan yang dirasa sesuai rupanya telah

cukup sebagai hiburan. Dari sisi pandangan pakar, kehadiran tari pasihan pada

resepsi perkawinan selain sebagai hiburan, juga merupakan bentuk simbol

percintaan yang bermakna bagi sepasang temanten untuk diteladani. Pandangan

pakar ini didasarkan pada pemahaman terhadap bahasa verbal dan penghayatan

terhadap bentuk visual pada aspek nonbahasa yang terakumulasi dalam bentuk

sajian tari pasihan. Selain itu pandangan pakar tersebut juga mendapat rujukan

dari pengamatannya bahwa pementasan jenis-jenis tari pasihan hanya pada resepsi

perkawinan, sehingga pandangan pakar tentang fungsi tari pasihan sebagai hiburan

dan suritauladan merupakan pernyataan yang lebih tepat.

308
Pada hakekatnya tema percintaan yang digambarkan dalam genre tari

pasihan adalah percintaan sepasang pria dan wanita. Hal itu dapat dicermati pada

tari Karonsih mengangkat tema percintaan tokoh Panji Inukertapati sebagai suami

dan tokoh Dewi Sekartaji sebagai istri. Begitu pula tari Bondhan Sayuk yang

bersumber pada tema percintaan sepasang suami istri gambaran dari kalangan

rakyat biasa, menunjukkan bahwa penari pria berperan sebagai suami dan penari

wanita berperan sebagai istri. Kedudukan penari pria dan penari wanita dalam tari

pasihan yang tampil secara berpasangan itu merupakan simbol dari percintaan,

sehingga perannya menjadi mutlak. Kiranya menjadi sangat tidak relevan dan

tidak berarti bila penari diganti semua putri atau pria semua karena tidak lagi

bermakna bagi sepasang temanten bahkan akan berkonotasi negatif.

Perkawinan merupakan salah satu dan suatu saat peralihan yang terpenting

pada life-cycle dari semua manusia di seluruh dunia, yaitu peralihan dari tingkat

hidup remaja ke tingkat hidup berkeluarga. Pesta dan upacara pada saat peralihan

sepanjang life-cycle itu merupakan suatu hal yang universal yang hampir ada pada

setiap budaya manusia, namun tidak semua saat peralihan itu dianggap sama

pentingnya pada tiap-tiap budaya. Sifat universal pesta dan upacara sepanjang life-

cycle terjadi karena adanya suatu kesadaran secara umum di dalam budaya

manusia, bahwa setiap tingkat baru dalam life-cycle itu berarti menghantarkan si

individu ke suatu tingkat dan lingkungan sosial yang baru dan lebih luas. Di dalam

aktivitas budaya manusia ada yang menganggap bahwa saat peralihan dari tingkat

sosial tertentu ke tingkat sosial lainnya itu merupakan crisis-rites yang penuh

bahaya, gawat, baik secara nyata maupun gaib (Koentjaraningrat, 1972: 89-90).

309
Periode transisi juga disebut periode liminal yang merupakan fase tengah

dalam skema ritus transisi dari praliminal untuk menuju pascaliminal. Dalam

periode liminal ini seorang liminar berada dalam keadaan setengah-setengah, tidak

menentu, dan ragu-ragu (Darsiti Soeratman, 1989: 157). Untuk itu crisis-rites bagi

seorang liminal sangat penting, mengingat upacara-upacara pada masa-masa

melampaui saat-saat krisis sering dimaksudkan untuk menolak bahaya gaib yang

mengancam individu dan lingkungan. Demikian halnya yang terjadi pada budaya

masyakat Jawa di dalam melangsungkan sebuah upacara adat perkawinan. Bagi

masyarakat Jawa upacara tersebut merupakan sebuah upacara yang sangat sakral

sepanjang daur hidupnya. Kesakralan itu sesuai dengan pendapat Soedarsono

mengenai hal-hal yang dianggap penting dalam suatu upacara ritual yaitu waktu,

tempat, pelaku, perlengkapan, dan pimpinan upacara tertentu. Ketentuan-ketentuan

yang telah berlaku dalam upacara tersebut mereka yakini jika dilaksanakan dengan

taat dan benar membawa berkah dan keselamatan, sebaliknya jika pelaksanaan

tidak mentaati konvensi-konvensi yang telah berlaku, mereka takut tertimpa

malapetaka (Soedarsono, 1990: 4).

Bagi masyarakat Jawa yang masih lekat dengan budayanya, segala ritual

yang menyangkut dengan perjalanan hidupnya banyak diselimuti dengan simbol-

simbol yang diharapkan dapat memberikan petuah, pendidikan, suritauladan yang

bermakna untuk keselamatan, kedamaian, dan kebahagiaan hidup. Berkaitan

dengan tindakan simbolik untuk mendapatkan kekuatan magis simpatetis bagi

masyarakat Jawa dalam perkawinan, diperlukan kekuatan-kekuatan tertentu.

Kekuatan tersebut antara lain berupa magis simpatetis yang diwujudkan dengan

tindakan atau perbuatan yang dapat melambangkan terjadinya pembuahan, yakni

310
adanya hubungan antara pria dan wanita seperti yang digambarkan pada tari

pasihan. Hubungan dimaksud pada masyarakat yang masih melestarikan budaya

purba kadang-kadang dilakukan lebih realistis (Soedarsono dalam Soedarso, 1991:

35). Pernyataan tersebut sejalan dengan pendapat Koch Grundberg yang

menggambarkan sebuah tari kesuburan dari suku Indian Coneba di Brasil, yang

diekspresikan para penari dengan membawa gambar tiruan organ-organ wanita

dengan cara sebagai berikut.

Stamping with the right foot and singing, they dance with the upper part of
their bodies bent forwards. Suddenly they jump wildly along with violent
coitus motions and loud groans....
They carry the vertility into every corner of the houses.... the jump among
the women – the knock the phalli one against another.... (dalam Richard
Kraus, 1969: 21).

Pada masyarakat yang sudah lebih maju, tindakan yang dapat

melambangkan terjadinya pembuahan, yakni adanya hubungan antara pria dan

wanita, dilakukan secara simbolis. Hal ini terbukti pada masyarakat Jawa

sekarang yang sudah mengalami kemajuan, berkembang menuju masyarakat

modern. Mereka dalam melakukan upacara perkawinan, untuk mendapatkan

kesuburan dengan cara menanggap jenis tari duet percintaan atau tari pasihan yang

merupakan tarian kesuburan yang diekspresikan lewat sebuah garapan gerak-gerak

presentatif dan representatif, penuh simbolis dan mengandung makna nilai-nilai

percintaan yang sangat berarti bagi kehidupan sepasang temanten. Salah satu

sarana upacara perkawinan adat Jawa yang cukup penting adalah tari pasihan.

Hampir dapat dipastikan bahwa pada setiap upacara perkawinan akan hadir tari

pasihan. Rupanya, sudah mengakar pada budaya masyarakat Jawa, yaitu pada

setiap ada acara upacara perkawinan akan hadir tari pasihan yang hendak

311
diteladani oleh kedua mempelai. Peristiwa budaya ini membuat kehadiran tari

pasihan dalam upacara perkawinan sangat ditunggu-tunggu masyarakat,

mengingat merupakan satu-satunya bentuk sajian tari yang bermakna, baik secara

simbolik maupun sebagai santapan estetis terasa menyatu dengan situasi upacara.

Genre tari pasihan memiliki fungsi yang dalam terutama bagi sepasang

mempelai temanten yang tercermin pada komplementer bahasa verbal dan

nonverbalnya. Kehadiran genre tari pasihan yang menggambarkan percintaan pria

dan wanita dalam kehidupan sosial masyarakat terutama konteksnya pada ritual

perkawinan adat Jawa rupanya mempunyai makna simbolik yang sangat penting

terutama bagi kedua mempelai dalam rangka mempersiapkan diri untuk

mengarungi kehidupan di masyarakat yaitu menuju terbentuknya keluarga yang

bahagia. Menurut Clifford Geertz (1992: 6), bahwa ‘simbol’ tampak terbatas pada

sesuatu yang mengungkapkan secara tidak langsung, sehingga perlu perantara

yang berwujud simbol-simbol dalam puisi bukan dalam bentuk pengetahuan.

Simbolisme semacam ini tampak pada genre tari pasihan yang hadir dalam

rangkaian upacara-upacara perkawinan adat Jawa. Seolah–olah keberadaan genre

tari pasihan dalam budaya Jawa menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan

terutama pada upacara-upacara perkawinan. Bagi masyarakat Jawa upacara

perkawinan merupakan saat yang dianggap penting sehingga sarana–sarana yang

mendukung peristiwa perkawinan sangat diperhitungkan sangat teliti. Hampir

dapat dipastikan sarana yang digunakan sebagai kelengkapan berlangsungnya

upacara perkawinan memiliki makna simbolik yang difungsikan untuk menasehati

sepasang temanten agar dapat membangun keluarga yang bahagia lahir dan batin.

312
Pada dasarnya genre tari pasihan gaya Surakarta merupakan simbolisasi

percintaan sepasang manusia yang berjenis kelamin pria dan wanita. Dalam

perjalanan kisahnya percintaan sepasang suami istri yang digambarkan pada tari

pasihan, dalam menjalani kehidupan berawal menghadapi permasalahan kemudian

mendapat solusi yang menjadi berangsur-angsur membaik dan berakhir bahagia.

Selain itu kehadiran tari pasihan hampir dapat dipastikan dalam resepsi

perkawinan. Rupanya terdapat korelasi yang sangat signifikan bahwa kehadiran

tari pasihan dalam resepsi perkawinan diharapkan dapat diteladani dan

memberikan sugesti secara tidak langsung terhadap sepasang temanten. Bentuk

sugesti secara tidak langsung terhadap sepasang temanten terpancar dari kekuatan

cinta sepasang penari pria dan wanita yang digambarkan dalam tari pasihan

dimaksudkan dapat dihayati sepasang temanten sehingga bayangan-bayangan cinta

yang diekspresikan oleh seniman mampu memicu dan memacu kehidupan

imajinasi cinta sepasang temanten. Kekuatan imajinasi percintaan yang

digambarkan sepasang kekasih dalam tari pasihan diharapkan dapat memberikan

kekuatan magis simpatetis terhadap kehidupan jiwa sepasang mempelai temanten,

yaitu mampu mempengaruhi kesuburan dalam proses perkawinan pasangan

temanten.

Hal ini juga semakin tampak jelas digambarkan secara lebih aktual pada

tari Bondhan Sayuk, pasangan penari pria dan wanita setelah bercinta kemudian

membawa boneka sebagai simbol telah diberi keturunan anak. Simbolisasi tersebut

merupakan harapan besar yang dapat memberikan sugesti sepasang temanten

untuk segera diberi keturunan anak. Selain itu bentuk dukungan sugesti juga

digambarkan ketika adegan penari putri memberikan boneka anak kepada

313
temanten putri. Tindakan atau perbuatan tersebut merupakan perbuatan simbolik

yang menunjukkan adanya kekuatan – kekuatan tertentu yang tidak kelihatan mata

yang bersifat magis simpatetis diharapkan dapat diterima temanten putri.

Perbuatan simbolik dalam pertunjukan tari Bondhan Sayuk lebih tampak jelas dan

lebih dekat kearah realitas tujuan bercinta dalam sebuah kehidupan keluarga.

Lewat kekuatan magis simpatetis yang diekspresikan genre tari pasihan akan

dapat menyuburkan benih-benih cinta yang tengah berkembang pada sepasang

temanten yang akhirnya mampu melahirkan buah cinta yang berupa momongan

anak. Pada dasarnya kedua orang tua temanten mengawinkan putra-putrinya

dengan cita-cita untuk segera diberi keturunan yang berupa anak, sebagai pewaris

dan penerus keluarga.

Nasehat-nasehat cinta kasih yang merupakan makna dari bahasa verbal

berupa: pasangan keluarga yang romantis, harmonis, dan bahagia; kesetaraan dan

kebersamaan dalam menjalankan bahtera rumahtangga; dan sikap-sikap ideal bagi

figur suami maupun figur istri merupakan pesan makna yang hendak disampaikan

oleh seniman penyusun. Bagi penghayat pakar seni menangkap makna

berdasarkan pementasan tari pasihan, terdapat pasangan suami istri yang romantis,

harmonis, dan bahagia. Dari hasil komunikasi antara maksud seniman penyusun

dengan tanggapan masyarakat menunjukkan adanya persamaan makna atau

maksud. Artinya pesan yang dimaksudkan seniman dengan makna yang ditangkap

pakar seni sama-sama dalam koridor atau wilayah nilai-nilai percintaan. Perbedaan

yang tampak adalah terletak pada kadar tebal dan tipisnya sebuah makna.

Pada hakekatnya dalam komunikasi seni bahwa pernyataan atau maksud X

tidak pasti ditangkap atau diterima persis X, bagaimanapun handalnya seniman

314
dalam menciptakan karya seni dan hebatnya pakar seni dalam menilai karya.

Prinsip utama yang sangat penting dalam komunikasi seni adalah terjadinya

komunikasi rasa. Kadar pemahaman makna dalam karya seni yang berupa

komunikasi rasa, prinsip kadarnya tetap berbeda tidak persis sama. Kadar

pemahaman juga sangat tergantung dari bekal yang dimiliki oleh seniman dan

penghayat. Menurut Sutopo (1995: 12-13), dalam penghayatan karya seni terjadi

aktivitas kreatif, yakni seniman dengan menciptakan kreativitas artistik sedangkan

penghayat mencipta nilai dengan kreativitas estetik.

Bagi seniman dalam menciptakan karya seni, berupaya menciptakan

benda-benda pacu yang memiliki nilai estetik dalam rangka menyampaikan

maksud, sedangkan penghayat berusaha menangkap maksud yang dikehendaki

seniman tersebut dengan cara memberikan makna terhadap karya seni. Seniman

pada dasarnya tidak lain sebagai manusia yang menyediakan sebuah susunan

benda pacu atau lambang-lambang sensa yang diharapkan akan ditafsirkan

penghayat seperti yang dimaksudkan olehnya. Pada prinsipnya penafsiran terhadap

keragaman media komunikasi yang terdapat dalam tari tidak mampu hanya

ditangkap secara rasional semata tetapi ketajaman rasa merupakan ujung tombak

dalam menangkap makna yang sebenarnya.

Kelemahan yang terdapat pada genre tari pasihan sedikit banyak

dipengaruhi kualitas penari yang lemah sebagai penyampai isi dan iringan tari

yang berupa kaset rekaman atau CD. Sebagai penari atau penyaji, seorang seniman

harus mempunyai kemampuan baik pisik maupun nonpisik. Kondisi pisik penari

harus benar-benar dalam keadaan sehat, segar secara total baik jasmani maupun

rohani, enerjik, dan relaks serta memiliki sistem ekspresi dan evaluasi yang baik

315
seperti: keseimbangan, kelenturan, ketrampilan, ketepatan gerak ekspresi, dan

penguasaan irama (Wisnoe Wadhana, 1984: 31). Selain itu penari harus juga

mampu menguasai ruang dan waktu. Persiapan nonpisik bagi penari berupa

kepekaan rasa, ratio, dan bekal pengalamannya sehari-hari diharapkan mampu

menafsirkan karya-karya tari dari seorang koreografer sehingga dapat menyajikan

secara ekspresi sesuai dengan peran karakternya. Peranan tubuh penari sangat vital

untuk sarana ekspresi, dan kepekaan rasa menjadi sangat pokok sebagai rohnya

dalam sajian tari.

Menurut Wisnoe Wadhana :


kesempurnaan menari Jawa klasik tradisional hanya dapat diraih apabila si
penari juga mendalami mistik Jawa. Generasi sekarang banyak yang awam
terhadap mistik tersebut, sehingga sekalipun dapat menari Jawa dengan
penguasaan teknik yang sangat baik, terasakan hambar kosong belaka.
Padahal ukuran kehebatan seorang penari klasik tradisional Jawa haruslah
isi, berbobot magis. Maka ia pun akan selalu patut dalam perannya, luwes
dan terampil dalam penampilan, berada dalam puncak prestasi keteladanan
(1994: 45-46).

Keberhasilan mereka menyampaikan pesan-pesan tergantung dengan

kemampuan menyeleksi materi-materi sebagai sarana ungkap dan tidak lepas dari

kemampuan masyarakat penikmat untuk menangkap yang sudah barang tentu

mengacu pada nilai-nilai budaya dan norma-norma sosial yang hidup dan

berkembang. Selama seniman mampu mengungkapkan nilai-nilai budaya dan

norma-norma sosial yang terangkum dalam sebuah pesan-pesan lewat karya tari

secara indah, akan terjalin hubungan yang harmonis dengan masyarakat dan dapat

diprediksikan eksistensinya sebagai seniman mendapat dukungan dan pengakuan

penuh dari masyarakat pendukungnya.

Sebagai seniman, ia akan dapat mengarahkan sekaligus mendidik

peningkatan daya apresiasi masyarakat terhadap karya-karya tari ciptaannya yang

316
pada gilirannya menumbuhkembangkan kehidupan tari secara wajar. Dalam tari

Jawa bentuk ekspresinya pada hakekatnya terwujud berdasarkan alam emosi, yaitu

bentuk dan iramanya sangat kuat dilatarbelakangi oleh konsep keindahan dan

tradisi kebudayaannya (Humardani, 1991:10). Seni tradisional termasuk tari

sebagai budaya yang diwarisi secara turun-temurun sudah barang tentu memiliki

kesinambungan dengan budaya sebelumnya. Pewarisan budaya tidaklah bersifat

statis, tetapi masing-masing generasi mencoba untuk mengadakan perubahan-

perubahan disesuaikan dengan kondisi kehidupan masyarakat pendukungnya.

Kualitas seorang penari hanya akan tercapai bila penari mampu menghayati

dan mengekspresikan sesuai dengan perannya secara totalitas jiwa. Ketajaman dan

kepekaan rasa yang dimiliki penari dapat teraktualisasi dalam sebuah sajian tari

dan mampu menggugah intuisi para penghayat. Keluluhan jiwa seorang penari

dalam menyajikan karakter tari merupakan puncak prestasinya sebagai seorang

seniman. Pada dasarnya seniman hanya menyediakan suatu susunan pacu atau

lambang-lambang sensa yang diharapkannya akan kita tafsirkan seperti yang

dimaksudkan olehnya (Parker, 1980:46). Gabungan garap pisik dan olah rasa yang

matang akan menghasilkan kualitas penari yang mumpuni atau berbobot, sehingga

kekuatan ekspresinya akan mampu mengungkapkan isi secara mantap. Rupanya

hanya penari yang berkualitas yang terlatih yang mampu menyajikan dan

menyampaikan isi atau makna yang terkandung dalam genre tari pasihan.

Sebaliknya jika penarinya tidak berkualitas, tidak terlatih, ia akan lemah dan tidak

mampu mengekspresikan muatan isi seperti yang diharapkan oleh seniman

pencipta. Kelemahan dari kualitas penari sebagai penyampai isi tari yang

dimaksudkan seniman merupakan kendala yang sangat vital karena hanya dari

317
ekspresi penari makna tari dapat ditangkap atau dihayati oleh penonton. Secara

ringkas dapat dikatakan kelemahan kualitas penari dalam menyajikan jenis tari

pasihan akan mempengaruhi kekuatan ekspresi dan mengurangi pada kemantapan

rasa penghayat.

Dalam sajiannya genre tari pasihan dapat diiringi gamelan secara langsung

dan iringan tidak langsung yaitu dengan iringan kaset atau rekaman CD. Jika

dengan iringan gamelan langsung, kekuatan ekspresinya menjadi semakin mantap

karena selain kekuatan rasa musikal yang muncul dari garap gendhing-gendhing

karawitan juga didukung kekuatan penari dalam membawakan tembang akan

tampak lebih ekspresip. Hasilnya akan berbeda jika sajiannya genre tari pasihan

dengan iringan kaset atau rekaman CD. Kekuatan ekspresi menjadi kurang mantap

jika dengan iringan yang sifatnya tidak langsung dengan iringan gamelan, karena

selain rasa musikal yang muncul sudah terasa lemah, juga tidak mendapat

dukungan ekspresi tembang dari penari secara langsung. Hal ini merupakan

kelemahan yang terdapat pada sajian genre tari pasihan jika tidak menggunakan

iringan langsung dengan gamelan.

318
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan.

Berdasarkan temuan penelitian dan hasil pembahasan dari keterkaitan tiga

faktor objektif, genetik, dan afektif dapat disimpulkan bahwa kehadiran genre tari

pasihan dalam upacara ritual resepsi perkawinan berfungsi sebagai hiburan dan

suritauladan. Kehadiran genre tari pasihan dalam resepsi perkawinan dimaksudkan

oleh seniman untuk mengajak, meminta dan menyuruh terhadap sepasang

temanten untuk memahami dan meresapi makna isi yang terkandung dalam bahasa

verbal sastra tembang yang disampaikan dengan bahasa nonverbal dalam bentuk

visual yang estetik supaya melakukan tindakan atau perbuatan seperti yang

dicontohkan dalam pertunjukan tari pasihan tersebut. Maksud dan harapan

seniman penyusun tersebut ditangkap oleh masyarakat sebagai sesuatu yang harus

diteladani, mengingat gambaran percintaan pasangan suami istri yang romantis,

harmonis, dan bahagia yang terdapat dalam tari tersebut dirasa sangat tepat dan

ditangkap secara mantap sebagai suatu bentuk edukatif atau pengajaran yang

bersifat tidak langsung dan sangat bermanfaat bagi sepasang temanten untuk

menjalani kehidupan yang lebih baik dalam menggapai keluarga bahagia lahir dan

batin.

Peranan genre tari pasihan dalam upacara ritual resepsi perkawinan

memiliki makna yang cukup signifikan bagi sepasang temanten. Rupanya sudah

mengakar pada budaya masyarakat Jawa, yaitu pada setiap ada acara upacara

perkawinan akan hadir tari pasihan yang hendak diteladani oleh kedua mempelai.

319
Peristiwa budaya ini membuat kehadiran tari pasihan dalam upacara perkawinan

sangat ditunggu-tunggu masyarakat, mengingat merupakan satu-satunya bentuk

sajian tari yang bermakna, baik secara simbolik maupun sebagai santapan estetis

terasa menyatu dengan situasi upacara.

Bentuk seni pertunjukan genre tari pasihan merupakan komposit bahasa

verbal dalam wujud sastra tembang yang terdapat dalam bentuk pathetan,

sindhenan, gerongan, dan jineman dengan bahasa nonverbal berupa: tema, kinetic

body moves (gerak tubuh), polatan, rias, busana, pola lantai, dan iringan. Dalam

bahasa verbal telah tampak adanya koherensi antaraspek–aspek kebahasaan yang

terakumulasi menjadi satu kesatuan saling berkaitan sehingga mencerminkan

kesatuan makna yang dapat mengarahkan penghayat terhadap kandungan isi.

Bahasa nonverbal merupakan bentuk visual yang bersifat estetik sudah

memperlihatkan adanya koherensi antarelemen-elemen dan saling berkaitan untuk

mendukung dalam menyampaikan isi supaya menjadi lebih mantap.

Kedua komponen yaitu bahasa verbal sebagai isi atau pesan makna dan

bahasa nonverbal dalam bentuk visual sebagai pendukung pemantapan makna,

yang sekaligus bertindak sebagai penyampai pesan makna yang secara komposit

telah terkait dan saling melengkapi sebagai seni pertunjukan yang utuh dan

mantap. Harmonisasi dan keseimbangan antara bahasa verbal dan nonverbal dalam

genre tari pasihan telah mencerminkan kesatuan makna yang saling mendukung

maka karya seni genre tari pasihan layak dan mantap sebagai seni pertunjukan

yang berkualitas tinggi. Kekuatan genre tari pasihan sebagai seni pertunjukan

yang berkualitas, layak, dan mantap sebagai sebagai hiburan dan suritauladan,

ditunjukkan bahwa jenis-jenis tari pasihan tersebut sampai sekarang hidup dan

320
berkembang di masyarakat terutama pada upacara-upacara ritual resepsi

perkawinan.

Dalam mendukung kesatuan makna, aspek bahasa verbal yang

dimanfaatkan oleh seniman penyusun dalam karya tari pasihan adalah: TT asertif,

TT komisif, TT ekspresif, TT direktif, dan TT patik. Dari beragam jenis TT yang

paling dominan adalah TT direktif. Diharapkan dengan dominasi jenis TT direktif

sangat tepat untuk menyuruh supaya meneladani, adapun bentuk perintah tersebut

bersifat simbolik dalam bentuk yang estetik. Sebagai kandungan makna atau isi,

bahasa verbal berfungsi untuk melengkapi dan mendukung bahasa nonverbal

sebagai bentuk visual. Pada prinsipnya masing-masing komponen baik bahasa

verbal maupun bahasa nonverbal memiliki kedudukan yang sama yaitu berfungsi

untuk mengekspresikan maksud seniman penyusun. Komplementer dua komponen

bahasa verbal dan nonverbal genre tari pasihan saling mengait, saling melengkapi

sehingga bahasa verbal yang berupa sastra tembang mampu memperjelas dan

menyatukan teks dengan bentuk visual dalam kesatuan makna yang utuh. Pada

dasarnya bahasa verbal lebih berfungsi sebagai penunjuk isi sedangkan bahasa

nonverbal sebagai penyampai isi supaya lebih menyentuh jiwa penghayat dan

menjadi semakin mantap.

Nilai-nilai keteladanan yang digambarkan pada genre tari pasihan pada

hakekatnya merupakan bentuk simbolisasi cinta kasih sepasang suami istri.

Kehadiran tari pasihan dalam resepsi perkawinan diharapkan dapat diteladani dan

memberikan sugesti secara tidak langsung terhadap sepasang temanten. Bentuk

sugesti secara tidak langsung terhadap sepasang temanten terpancar dari kekuatan

cinta sepasang penari pria dan wanita yang digambarkan dalam tari pasihan

321
dimaksudkan dapat dihayati sepasang temanten sehingga bayangan-bayangan cinta

yang diekspresikan oleh seniman mampu memicu dan memacu kehidupan

imajinasi cinta sepasang temanten. Kekuatan imajinasi percintaan yang

digambarkan sepasang kekasih dalam tari pasihan diharapkan dapat memberikan

kekuatan magis simpatetis terhadap kehidupan jiwa sepasang mempelai temanten,

yaitu mampu mempengaruhi kesuburan dalam proses perkawinan pasangan

temanten. Tindakan atau perbuatan tersebut merupakan perbuatan simbolik yang

menunjukkan adanya kekuatan–kekuatan tertentu yang tidak kelihatan mata yang

bersifat magis simpatetis.

Diharapkan kekuatan magis simpatetis dapat mendorong menyuburkan

benih-benih cinta yang tengah berkembang dan mampu memberikan sugesti

terhadap sepasang temanten untuk segera diberi keturunan yang berupa

momongan anak. Pada dasarnya kedua orang tua temanten mengawinkan putra-

putrinya dengan cita-cita untuk segera diberi keturunan yang berupa anak, sebagai

pewaris dan penerus keluarga. Pada intinya bentuk daya pragmatik genre tari

pasihan adalah berupa nasehat-nasehat tentang cinta kasih yaitu pasangan keluarga

yang romantis, harmonis, dan bahagia; kesetaraan dan kebersamaan dalam

menjalankan bahtera rumahtangga; dan sikap-sikap ideal bagi figur suami maupun

figur istri. Diharapkan nasehat-nasehat tentang cinta kasih tersebut bermanfaat

bagi sepasang temanten sebagai bekal untuk menjalani kehidupan yang lebih baik

dalam membangun sebuah keluarga.

B. Saran.

Bentuk seni pertunjukan genre tari pasihan atau tari pasihan adalah karya

seni dari seniman yang berkualitas tinggi dan telah teruji terbukti sampai sekarang

322
hidup dan berkembang sebagai hiburan dan suritauladan bagi bagi sepasang

temanten dan masyarakat pada umumnya. Sehingga kemantapan dan validitas

sebagai sebuah karya seni yang berkualitas tidak diragukan lagi untuk itu perlu

peneliti sarankan kepada:

a) Penari dalam mengubah pola-pola pakaian dan pola-pola sekaran yang

terdapat pada genre tari pasihan hendaknya harus sadar dan mempertimbangkan

segi fungsinya.

b) Pengrawit dalam mengubah jenis-jenis gendhing maupun cakepan atau

bahasa verbalnya yang terdapat pada genre tari pasihan hendaknya harus sadar dan

mempertimbangkan segi fungsinya.

c) Kritikus hendaknya lebih banyak memberikan penilaian terhadap karya-

karya yang dipublikasikan supaya masyarakat mulai mengenal, mengetahui,

hingga memahami tentang pesan makna yang disampaikan dari sebuah tari.

Diharapkan kualitas dan kuantitas penilaian dari masyarakat terhadap tari semakin

meningkat sehingga kehidupan seni pertunjukan semakin hidup dan berkembang

dalam lingkungan budaya yang layak dan proporsinal.

323
DAFTAR PUSTAKA ACUAN

Asim Gunarwan. 2006. Makalah berjudul “Implikatur Percakapan: Perspektif Grice


dan Perspektif Sperber & Wilson”. Jakarta: Depok.

Brown, Penelope and S.C. Levinson. 1987. ‘Universals in language usage:


Politeness phenomena’, dalam Esther N. Goody (ed) Questions and
Politeness. Cambridge: Cambridge University Press.

Budhisantoso. 1994. Jurnal Wiled. Surakarta: STSI Press.

Cangara, Hafied. 2007. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo


Persada.

Cook, Guy. 1989. Discourse. Oxford: Oxford University Press.

Cutting, Joan. 2002. Pragmatics ang Discourse. London and New York: Routledge.

de Saussure, Ferdinand. 1916. Pengantar Linguistik Umum. Terjemahan: Rahayu


S. Hidayat. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Dwi Maryani. 1999. Perkembangan Tari Enggar-Enggar. STSI: Surakarta.

Dwi Yasmono. 1999. Perubahan Tari Lambangsih. STSI: Surakarta.

Edi Subroto, H.D. 2007. Pengantar Metode Penelitian Linguistik Struktural.


Surakarta: UNS Press.

, Tanpa Tahun. Modul Pembelajaran: Pengantar Linguistik. Program


Studi Pendidikan Bahasa Indonesia. PPS-UNS.

EM Zul Fajri dan Ratu Aprillia Senja. Tanpa Taun. Kamus Lengkap Bahasa
Indonesia. PN: Difa Publisher.

Fatimah Djajasudarma, T. 1993. Metode Linguistik. Bandung: PT Erisco.

Geertz, Clifford. 1992. Kebudayaan dan Agama.Yogyakarta: Kanisius.

Halliday, M.A.K. dan Ruqaiya Hasan. 1976. Cohesion in English. London:


Longman Group Ltd.

324
Hoed, Benny H. 2003. Bahasa dan Sastra dalam Tinjauan Semiotik dan
Hermeneutik.

Humardani. 1991. Pemikiran & Kritiknya. Editor: Rustopo. Surakarta: STSI


Press.

Ibrahim Alfian, T. 1999. Makalah berjudul: “Disiplin Sejarah dalam Merekonstruksi


masa Lampau untuk Menyongsong Masa Depan”. Yogyakarta: UGM.

Jumanto. 2006. Disertasi. Komunikasi Fatis Di Kalangan Penutur Jati Bahasa


Inggris. UI: Jakarta.

Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.

, 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Kreidler, W. Charles. 1998. Introducing English Semantics. London: Routledge.

Lamuddin Finoza. 2005. Komposisi Bahasa Indonesia. Jakarta: Diksi Insan Mulia.

Langer, Suzanne K. 1988. Problematika Seni. Terjemahan: Fx. Widaryanto.


Bandung:STSI.

Leech, Geoffrey. 1983. Principles of Pragmatics. London: Longman.

, 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Terjemahan: M.D.D. Oka.


Universitas Indonesia: UI Press.

Malinowski, Bronislaw. 1923. The Problem of Meaning in Primitive Languages


dalam Ogden, C.K. dan I.A. Richards (ed), The Meaning of Meaning.
London: K.Paul, Trend, dan Trubner.

Maryono. 1991. Karonsih. STSI: Surakarta.

Mey, Jacob L. 2001. Pragmatics: An Introduction. Oxford: Blackwell.

Moleong, Lexy.J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja


Rosdakarya.

Muhammad Rohmadi. 2004. Pragmatik: Teori dan Analisis. Yogyakarta: Lingkar


Media.

Nababan, P.W.J. 1987. Ilmu Pragmatik. Jakarta: Departemen Pendidikan dan


Kebudayaan.

Noth, Winfried. 1990. Handbook of Semiotics. Bloomington: Indiana University


Press.

325
Pakubuwono IV, Sunan. 1979. Terjemahan: Yanti Darmono. Jakarta: PN Buku
Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen P dan K.

Parker, De Witt.H. 1980. Dasar-dasar Estetika. Terjemahan: SD. Humardani.


Surakarta: Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI).

Ramlan, M. 1987. Ilmu Bahasa Indonesia, Sintaksisi. Yogyakarta: CV Karyono.

Read, Herbert. 1990. Pengertian Seni. Terjemahan:Soedarso, Sp. Yogyakarta: Saku


Dayar Sana.

Renkema Jan. 1993. Discourse Studies: an Introductory Textbook. Amsterdam:


John Benjamins Publishing Company.

Richards, J.C et al. 1992. Longman Dictionary of Language Teaching and Applied
Linguistics. Essex: Longman
Rogers, Everett M and D. Lawrence Kincaid. 1981. Communication Network:
Towards a Newq Paradigm for Research. New York: Free Press.

Rustopo. 1990. Perkembangan Gamelan Kontemporer. Surakarta: Sekolah Tinggi


Seni Indonesia (STSI).

Searle, John R. 1969. Speech Acts: An Essay in The Philosophy of language.


Cambridge: Cambridge University Press.

Soedarsono, R.M. 1978. Pengantar Pengetahuan Dan Komposisi Tari.


Yogyakarta: Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI).

, 1985. Makalah berjudul: “Peranan Seni Budaya dalam Sejarah


Kehidupan Manusia: Kontinuitas dan Perubahannya. Yogyakarta:UGM.

, 1996. Indonesia Indah: Tari Tradisional Indonesia. Jakarta: Yayasan


Harapan Kita/BP 3 TMII.

, 2003. Seni Pertunjukan. Yogyakarta: Gadjah Mada university Press.

Soedarso Sp. 1991. Beberapa Catatan Tentang Perkembangan Kesenian Kita.


Yogyakarta: ISI.

Soerjono Soekanto. 1983. Teori Sosiologi tentang Perubahan Sosial. Jakarta:


Ghalia Indonesia.

Sutopo, H.B. 1995. Kritik Seni Holistik Sebagai Model Pendekatan Penelitian
Kualitatif. Sebelas Maret University Press.

, 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Universitas Sebelas


Maret.

326
Shannon, Claude M and Warren Weaver. 1949. The Mathematical Theory of
Communication. Urbana: University of Illinois Press.

Smith, Jr, Henry Lee. 1969. Linguistics. Editor: Archibald A. Hill. Voice of
America Forum Lectures.

Spradley, J.P. 1997. Metode Etnografi. Terjemahan:Misbah Zulfa Elizabeth.


Yogyakarta: PT Tiara Wacana.

Sri Rochana, W.S. 1994. Perkembangan Tari Gambyong Gaya Surakarta 1950-
1993.

Wainwright, Gordon R. 2006. Membaca Bahasa Tubuh. Terjemahan: Narulita


Yusron. Yogyakarta: PN BACA.

Waridi. 2005. Karawitan Wayang Kulit Purwa Gaya Surakarta. Jakarta: Sena
Wangi.

Wijana, Dewa Putu I. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi Offset.

Wisnoe Wardhana. 1994. Jurnal Wiled.Surakarta: STSI Press.

Yule, George. 1998. Pragmatics. Singapore: National Institute of Education.

. 2006. Pragmatik. Terjemahan: Indah Fajar Wahyuni. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar.

DAFTAR NARA SUMBER

1. Agus Tasman, Surakarta: penyusun tari, pakar tari dan budayawan.


2. Darsono, Surakarta: pakar tembang dan karawitan serta penanggap.
3. Daryono, Sukoharjo: penari.
4. Hari Subagya, Surakarta: pakar tari.
5. Hartoyo, Karanganyar: penari.
6. Ninik Sutrangi, Karanganyar: penari.
7. Nora Kustantina Dewi, Surakarta: penari.
8. Nuryanto, Boyolali: penari dan penyusun tari.
9. Nartutik, Sukoharjo: vokal putri (pesindhen).
10. Rusini, Surakarta: penyusun tari dan penari.
11. Rusdiantara, Karangannyar: pakar tembang dan karawitan.

327
12. Sunarno, Surakarta: penari, penyusun tari, dan pakar tari.
13. Slamet Suparno, Karanganyar: pakar tembang dan karawitan.
14. Slamet Riyadi, Surakarta: pakar karawitan.
15. Sri Lestari, Boyolali: penari.
16. Sudarmin, Sukoharjo: penangggap.

328

You might also like