Professional Documents
Culture Documents
DISERTASI
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat
Doktor Program Studi Linguistik Minat Utama Linguistik
Pragmatik dan Dipertahankan di Hadapan Sidang
Senat TerbukaTerbatas di Bawah Pimpinan
Rektor Universitas Sebelas Maret
Prof. Dr. H. Much Syamsulhadi, dr., Sp.KJ. (K)
Pada Hari Rabu Kliwon, 7 April 2010
Oleh :
Maryono
NIM. T 130906005
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI LINGUISTIK (S3)
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2
SURAKARTA
2010
DISERTASI
KOMPONEN VERBAL DAN NONVERBAL
DALAM
GENRE TARI PASIHAN GAYA SURAKARTA
( Kajian Pragmatik)
Oleh :
Maryono
NIM. T 130906005
Mengetahui
Ketua Program Studi S3 Linguistik
3
DISERTASI
UNTUK MEMPEROLEH GELAR DOKTOR DALAM BIDANG LINGUISTIK
MINAT UTAMA: LINGUISTIK PRAGMATIK
DIPERTAHANKAN DI HADAPAN DEWAN PENGUJI
PADA SIDANG SENAT TERBUKA TERBATAS
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA PADA TANGGAL: 7 APRIL 2010
OLEH: MARYONO
LAHIR DI BOYOLALI, 15 JUNI 1960
DEWAN PENGUJI:
1. Prof. Dr. H. Much Syamsulhadi, dr., Sp.KJ. (K) ....................................
(Penguji Utama)
2. Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.D. ....................................
(Sekretaris merangkap Anggota)
3. Prof. Dr. M. Sri Samiati Tarjana. ....................................
(Promotor merangkap anggota)
4. Prof. Dr. T. Slamet Suparno, S.Kar., M.S. ....................................
(Ko-Promotor merangkap anggota)
5. Prof. Dr. H. D. Edi Subroto. ....................................
(Anggota)
6. Prof. Dr. Soepomo Poedjosoedarmo. ....................................
(Anggota)
7. Prof. Dr. H. Soetarno, DEA. ....................................
(Anggota)
8. Dr. Sumarlam ., M.S. ....................................
(Anggota)
4
Mengetahui
Rektor Universitas Sebelas Maret
Maryono
KATA PENGANTAR
Syukur alhamndulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas ridha dan
kehendak-Nya, sehingga disertasi ini dapat selesai tepat pada waktu yang
diharapkan.
Sepenuhnya penulis sadari bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak, mustahil
disertasi ini dapat selesai. Untuk itu, kanthi linambaran trapsilaning manah,
perkenankan penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. H. Much Syamsulhadi, dr., Sp.KJ (K), Rektor UNS yang telah
memberi kesempatan penulis untuk menyelesaikan studi program doktor di
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Prof. Dr. H. Soetarno, DEA, atas dukungan dan nasihat sejak masih menjabat
Ketua Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta sampai sekarang sehingga
penulis dapat menyelesaikan program doktor di UNS.
3. Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.D, selaku Direktur Program Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberi kesempatan penulis
untuk menyelesaikan studi program doktor di UNS.
4. Prof. Dr. H. D. Edi Subroto, selaku Ketua Program Linguistik S3 UNS dan
atas bimbingan melalui berbagai disiplin yang telah diberikan kepada penulis
sebagai bekal dalam menyelesaikan disertasi.
5. Prof. Dr. M. Sri Samiati Tarjana, sebagai promotor yang dengan sabar telah
membimbing, mengarahkan, dan mengoreksi sehingga penulis meraih gelar
doktor.
6
6. Prof. Dr. T. Slamet Suparno, S.Kar., M.S, sebagai Ko-Promotor, yang telah
membimbing, dan mengoreksi sehingga penulis meraih gelar doktor.
7. Prof. H.B. Sutopo, M.Sc., M.Sc, Ph.D (almarhum) yang dengan sabar telah
membimbing, mengarahkan, mengoreksi, dan yang menghantarkan sampai
ujian tertutup sehingga penulis dapat berlanjut meraih gelar doktor.
8. Prof. Dr. Soepomo Poedjosudarmo; Prof. Dr. Kunardi Hardjoprawiro, M.Pd;
Prof. Dr. Joko Nurkamnto; Prof. Dr. Maryono Dwiraharjo, S.U; Dr.
Sumarlam., M.S, yang telah memberikan disiplin Linguistik untuk bekal
penulis menyelesaikan disertasi.
9. Sunarno S.Kar., M. Sen, sebagai nara sumber primer tari Bondhan Sayuk dan
jenis tari pasihan lainnya, yang telah memberikan informasinya sehingga
penulisan disertasi ini dapat selesai.
10. Sutarno Haryono S.Kar., M. Hum, sebagai teman seperjuangan dan
motivator yang mendorong penulis untuk studi S3 dan berhasil meraih gelar
doktor.
11. Sri Wahyuningsih sebagai istri dan anak-anakku: Risang Janur Wendo, Laras
Ambika Resi, Linggo Sasikirana, dan Hoyi Anggraeni yang telah
memberikan semangat dan doanya kepada penulis sehingga disertasi ini cepat
selesai.
12. Selamat jalan istriku yang tercinta dan tersayang Sri Djarwanti S.Kar, ke
hadapan-Mu ya Allah, semoga atas pengorbanan dan kasihmu selama ini,
saya selalu berdoa semoga Allah SWT menerima dan memasukkan belahan
hatiku dalam golongan orang ahli surga di hari Akhir. Amin.
13. Pemerintah Republik Indonesia yang memberikan kewenangan kepada Dirjen
Dikti yang telah memberi Bea Siswa (BPPS).
Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis mohon maaf kepada semua pihak
apabila terdapat kekurangan dan kesalahan yang penulis perbuat selama
menyelesaikan disertasi ini. Semoga Allah tetap membimbing kami. Amin.
7
Maryono
ABSTRAK
Topik penelitian ini adalah Komponen Verbal dan Nonverbal dalam Genre Tari
Pasihan Gaya Surakarta (kajian Pragmatik). Tujuan penelitian untuk memahami
makna bahasa verbal dan nonverbal genre tari pasihan pada ritual perkawinan adat
Jawa di Surakarta dengan menganalisis secara rinci, akurat, dan mendalam untuk
menemukan dan mendeskripsikan: (1) Komponen verbal genre tari pasihan berupa
sastra tembang dalam syair: pathetan, sindhènan, gérongan, dan jineman. Kajian
komponen verbal ini untuk mengungkap: jenis-jenis tindak tutur (TT) yang dominan,
fungsi TT, realisasi prinsip kerja sama, realisasi strategi kesantunan, dan implikatur.
(2) Komponen nonverbal genre tari pasihan berupa: tema, gerak tubuh (kinetic body
moves), polatan (ekspresi wajah), pola lantai, rias, busana, dan iringan gamelan
(musik). (3) Menjelaskan hubungan komponen verbal yang bersifat kebahasaan dan
nonverbal yang bersifat nonkebahasaan genre tari pasihan, untuk mengungkap
bentuk hubungan yang bersifat langsung dan tidak langsung dan implikatur genre tari
pasihan. (4) Menjelaskan latar belakang konsepsi penciptaan komponen verbal dan
nonverbal genre tari pasihan, dan (5) Menjelaskan persepsi masyarakat terhadap
kehidupan genre tari pasihan gaya Surakarta.
Bentuk penelitian yang digunakan penelitian kualitatif dengan pendekatan
kritik holistik yang secara fokus, lengkap, dan seimbang mengkaji tiga faktor yaitu
genetik, objektif, dan afektif sebagai sumber aliran nilai. Strategi yang digunakan
dalam penelitian ini adalah studi kasus tunggal terpancang (embedded case study
research). Teknik pengumpulan data yang sesuai dengan penelitian kualitatif dan
jenis sumber data yang dimanfaatkan adalah: wawancara mendalam (in-depth
interviewing), observasi, mencatat dokumen dan arsip (content analysis).
Untuk mengungkap permasalahan yang menjadi tujuan penelitian disertasi
ini, peneliti menggunakan kajian: (1) teori pragmatik, (2) teori budaya, (3) teori seni
pertunjukan, dan (4) teori komunikasi. Keempat teori tersebut digunakan untuk
8
ABSTRACT
The topic of this research is Verbal and Nonverbal Components in the Genre of the
Pasihan Dance Surakarta Style. Using a pragmatic approach the aim of the research
is to understand the meaning of the verbal and nonverbal language in the pasihan
dance genre (a dance genre with a romantic or love theme) in the traditional Javanese
wedding rituals in Surakarta by carrying out a detailed, accurate, and in-depth
analysis, in order to discover and describe: (1) the verbal components in the pasihan
dance genre, in the Javanese poems in: pathetan, sindhènan, gérongan, and jineman.
This study of the verbal components is intended to reveal: the dominant types of
speech acts, the functions of the speech acts, the realization of the cooperative
principles, the realization of the politeness principles, and the implicatures; (2) the
nonverbal components in the pasihan dance genre, in the form of: themes, kinetic
body moves, facial expressions (polatan), floor designs, make-up, costume, and
musical accompaniment played on the gamelan; (3) the relationship between the
verbal and the nonverbal components in the pasihan dance genre, in order to reveal
the direct and indirect relationships and implicatures of the pasihan dance genre; (4)
the background of the conception of the creation of verbal and nonverbal
components in the pasihan dance genre, and (5) people’s perception of the existence
of the Surakarta style pasihan dance genre.
The research takes the form of a qualitative study using a critical holistic
approach which provides a focused, comprehensive, and balanced study of three
factors, namely genetic, objective, and affective factors as the source of the values.
The strategy used for this research is that of an embedded case study. The techniques
used for collecting data, in accordance with the qualitative research and types of data
sources available, include in-depth interviews, observation, and content analysis.
10
In order to discover the issues which are the object of the research for this
dissertation, the researcher uses theoretical studies of (1) pragmatic theories, (2)
cultural theories, (3) performing arts theories, and (4) communication theories. These
four theories are used to provide a complementary analysis of the pragmatic meaning
of the Surakarta style pasihan dance genre. In principle, the main tool is the
pragmatic theory, in connection with the linguistic system which focuses on
analyzing the different types of speech acts, the dominant types of speech acts, the
function of the speech acts, the realization of the cooperative principles, the
realization of the politeness principles, the implicatures, and the pragmatic power.
The cultural and performing arts theories are used to analyse nonverbal language
factors which are in the form of elements of the work of art. The communication
theories are used to examine the connection between the genetic, objective, and
affective factors. A triangulation of these theories is used as a means of securing and
developing the validity of the data to discover the pragmatic meaning of the
Surakarta style pasihan dance genre.
The main findings of the research showed that there are various kinds of
speech acts found in the Surakarta style pasihan dance genre, numely: assertive,
commissive, expressive, directive, verdictive, and phatic. Of all these different types,
the most dominant kind of speech act found in the pasihan dance genre is the
directive speech act.
The application of cooperative principles in the verbal language of the
pasihan dance genre of shows a deviation in maxims of quantity and maxims of
manner, while maxims of quality and maxims of relation are adhered to. The
principle of politeness applied in the verbal language of the pasihan dance genre
uses the strategy of positive politeness and performs off record speech acts.
The implicature found in the different types of pasihan dance indicates that
there is a symbolization of love between husband and wife, who throughout the
course of the story encounter problems but subsequently find a solution. It gradually
resolves their difficulties and ultimately brings about a happy ending. The pasihan
dance is almost always performed at wedding receptions which are a medium for
officially announcing the marriage of a newly wed couple. There is a very close
connection between the presence of the pasihan dance and the bride and groom at a
wedding reception. The main implicature of the presence of the pasihan dance genre
at a wedding reception is that it sets an example and offers indirect suggestions for
the newly wed couple to follow.
With reference to the implicatures obtained from the combination of verbal
and nonverbal components in different types of the pasihan dances, show that the
form of pragmatic power in the pasihan dance genre is advise about love and
affection, for married couple to enjoy a romantic, harmonious, and happy
relationship; to display equality and togetherness; and to show an ideal attitude
between husband and wife. This advice about love and affection is beneficial for a
newly married couple. It provides them with knowledge to lead a better life as they
set out to build a new family.
The form of the pasihan dance genre is a combination of two main
components, namely verbal and nonverbal. Based on the description of these two
components, the characteristics of the pasihan dance genre are as follows: (a) Verbal
language in the form of Javanese sung poems with a romantic nuance; (b) Verbal
language which is used according to social status; (c) A direct and indirect
connection between the verbal and nonverbal components; (d) A romantic theme; (e)
11
A story with a happy ending; (f) A performance by a pair of dancers, one male and
one female; (g) Advice about love affection; (h) Representative and presentative
movements expressed by the dancers with soft, refined, and romantic qualities.
Based on the findings of the research and the results between the objective,
genetic, and affective factors, it can be concluded that the performance of the
pasihan dance genre at a wedding reception for the newly married couple to follow.
The presence of the pasihan dance genre at a wedding reception is intended by the
performing artists as a means of inviting, asking, and telling the bride and groom to
understand and absorb the message in the verbal language of the text, and conveyed
using nonverbal language in a visual and aesthetical form. It as hoped that they will
act and behave like the example displayed in the performance of the pasihan dance.
The hope and intention of the artists is captured by the audience who view the dance
as a good example to follow, recognizing it as a portrayal of a romantic,
harmonious, and happily married couple which is felt to be highly appropriate and
also educative in an indirect way. This is highly beneficial for the newly married
couple as they enter into their new lives, and strive to create a happy family, in both
worldly and spiritual aspects.
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ……………….………………..………………………………….….…...i
PENGESAHAN……………………………………………….…….………….….ii
PEMERTAHANAN…………………………………………………………….…iii
PERNYATAAN………………………………………………………..………….iv
KATA PENGANTAR……………………………………………………………..v
ABSTRAK…………………………………………………………….…….……vii
ABSTRACT……………………………………………………………..………… ix
DAFTAR ISI ………………………………………………………….…..……....xi
DAFTAR TABEL ………….……………………………………………….......xvii
DAFTAR BAGAN………………………………….………..……...……..........xix
DAFTAR GAMBAR / FOTO……………………………………..………..……xx
DAFTAR SINGKATAN ……………………………………..……….……...…xxi
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………….……....…..…....xxii
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………….……….……. 1
A. Latar Belakang Masalah………..……..………………….……….……....1
B. Rumusan Masalah …………………………………...……….......……..16
C. Tujuan Penelitian………………………………………..………….........16
12
D. Manfaat Penelitian……………………………………….........................17
BAB II KAJIAN TEORI, PENELITIAN YANG RELEVAN, DAN KERANGKA
PIKIR……………………………………………………………………………..18
A. Kajian Teori……………………………………………………………............18
1. Teori Pragmatik…………………....................……………..............................20
a. Konteks dalam pragmatik………………………………..………….………23
b. Teks………………………………………….……………...........................29
c. Tindak Tutur (TT)…………………………………….…………….….…...39
c.1. Tindak Tutur menurut Austin (1956)……………..............................41
c.2. Tindak Tutur menurut Searle (1979)………….. .………..………….45
c.3. Tindak Tutur menurut Yule (1996)…………………........………….46
c.4. Tindak Tutur menurut Kreidler (1998)…………...............................48
d. Prinsip Kerja Sama (PKS)…… …………………………………………....53
e. Prinsip Kesantunan (PS)…………………….…….……….………….…......58
e.1. Skala Kesantunan Leech (1983)……………………..…….................58
e.2. Skala Kesantunan Brown dan Levinson (1987)………..………….....60
f. Implikatur …………………………………….…….…………….....…….....62
g. Daya Pragmatik…………………………………….…………………….….64
2. Teori Budaya………………………………………………...………….……...66
a. Bentuk Ide atau Gagasan……...……………………….…………....….70
b. Bentuk Aktivitas………….……………………….…..………….....…70
c. Benda Fisik………………………………………………….….…....…71
3. Teori Seni Pertunjukan…………………………..…………………............…..71
a. Tema ………………………………………………………....….….…74
b. Gerak Tubuh (kinetic body moves)………………………. …….….…74
c. Polatan (ekspresi wajah) ……………………………..…….…..…......77
d. Pola Lantai (floor design)……………………………… ……...……...78
e. Rias ……………………………………………….……….….……….79
f. Busana ………………………………………………….……….……..80
g. Iringan (gendhing beksa) ………………………………………….......81
h. Estetik…………………………………………....................………….82
13
DAFTAR TABEL
1. Tabel 4.1 Jenis – jenis TT yang melekat pada teks Pathetan Wantah……..….113
3. Tabel 4.3 Jenis - jenis TT yang melekat pada teks Sindhènan Pangkur
Ngrénas……………………………………………………………..…...118
5. Tabel 4.5 Jenis – jenis TT yang melekat pada teks Sindhènan Kinanthi
Sandhung…………………………………………………………………….…..125
8. Tabel 4.8 Persentase jenis –jenis TT pada komponen verbal tari Karonsih….143
9. Tabel 4.9 Jenis –jenis TT yang melekat pada teks Sindhènan Mijil
Sulastri…………………………………………….………………………..……144
10. Tabel 4.10 Jenis – jenis TT yang melekat pada teks Jineman
Sayuk……………………………………………………………………....….….151
11. Tabel 4.11 Jenis – jenis TT yang melekat pada teks Gérongan Ladrang
Sayuk………………………………………………………………………....…..158
12. Tabel 4.12 Jenis – jenis TT yang melekat pada teks Gérongan Lancaran
Sayuk…………………………………………………………………….……….164
13. Tabel 4.13 Rekapitulasi jenis-jenis TT pada komponen verbal tari Bondhan
Sayuk…………………………………………………………………….….……170
14. Tabel 4. 14 Persentase jenis –jenis TT pada komponen verbal tari Bondhan
Sayuk………………………………………………………………….…170
23. Tabel 5.9 Persentase gerak representatif dan presentatif tari Karonsih...…194
19
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Kerangka Kritik Holistik Komponen Verbal dan Nonverbal Genre
Tari Pasihan gaya Surakarta………………………………......…...….91
Gambar 4: pola lantai garis lurus untuk mendukung suasana tegang, ketika
istri hendak meninggalkan suami............................................................237
Foto: 2 Tari Bondhan Sayuk: Suami dan istri dalam kebahagiaan ………….….220
CD : Compact Disk
D–a : Dasar - a
D – en : Dasar - en
22
D – an : Dasar - an
PS : Prinsip Kesantunan
Pa : Putra
Pi : Putri
Pn : Penutur
R : Raden
TT : Tindak Tutur
V–a : Verba - a
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 2. Glosarium……………………………………………….…………380
23
BAB I
PENDAHULUAN
Manusia hidup tidak mampu lepas dari lingkungan dan bertahan sendiri,
masyarakat yang telah berjalan, dapat dikatakan belum mempunyai bekal, maka dia
kelompoknya. Berbagai strategi belajar untuk menjadi manusia yang diperlukan agar
Menurut Edi Subroto (tanpa tahun, hal: 1), bahasa adalah sistem bunyi ujar
yang bersifat arbitrer yang dipergunakan oleh manusia dalam suatu masyarakat
(language society) untuk berkomunikasi secara umum dan wajar. Sejalan dengan
dipelajari dan dimiliki secara bersama. Di situ manusia dalam masyarakat atau
sendiri merupakan sistem dari budaya manusia, sistem yang terpenting di mana
there could be no culture, and man remained hominoid; with language and culture,
he could and did become hominine” (Smith, 1969: 104-105). Betapa pentingnya
bahasa bagi kehidupan manusia kiranya tidak perlu diragukan lagi, karena tanpanya
manusia tidak mampu berkomunikasi dan berinteraksi dengan dunia luar dirinya.
25
media atau medium. Pada hakekatnya media itu berbentuk fisik, adapun bentuk yang
utama yakni: gerak, bunyi, rupa, dan bahasa. Masing-masing media dapat muncul
Kemunculan secara mandiri seperti: bunyi dalam musik, warna pada seni rupa, dan
bahasa sebagai tindak tutur. Bentuk yang merupakan komplemen dari beragam
media (gerak, bunyi, rupa, dan bahasa) banyak terdapat pada seni pertunjukan, yang
kesemuanya itu merupakan bahasa komunikasi yang kaya akan nuansa imajinatif dan
merupakan salah satu bentuk bahasa pragmatik. Hal ini dapat kita cermati dari
bentuknya yang berupa seni kolektif sebagai sarana untuk mengungkapkan maksud
dari seniman sebagai penutur dengan harapan dapat dihayati oleh penghayat sebagai
mitra tutur. Seni pertunjukan sebagai bahasa seniman untuk berkomunikasi dengan
penghayat merupakan bahasa pragmatik yang sangat khas penuh dengan nuansa
yang memiliki bahasa verbal dan nonverbal saling komplemen yang selalu hadir
dalam konteks. Secara prinsip dapat peneliti katakan bahwa seni pertunjukan
merupakan wahana yang sangat potensial sebagai sasaran kajian pragmatik. Adapun
Tari sebagai salah satu bentuk seni pertunjukan, merupakan perpaduan dari
berbagai media komunikasi, yaitu: kinetic body moves (gerak tubuh) sebagai garap
tari, bunyi dan bahasa sebagai garap iringan, serta rupa sebagai garap rias dan
terhadap keragaman media komunikasi yang terdapat dalam tari tidak mampu hanya
ditangkap secara rasional semata tetapi ketajaman rasa merupakan ujung tombak
dalam tari, kata-kata yang terdapat dalam tembang sebagai bahasa verbal, selain
makna kata-katanya juga diungkapkan dengan lagu dan tekanan irama yang
didukung iringan gamelan, sehingga terasa menjadi lebih mantap. Ini berbeda
dengan bahasa, yang secara spesifik telah memiliki kaidah-kaidah baku yang
penafsirannya lebih bersifat rasional. Hal ini terkait dengan konsep bahasa yang
bersifat formal, disipliner, dan relasi antara bentuk dan makna sangat ketat.
terhadap masyarakat (pakar, penonton umum dan penanggap) sebagai mitra tutur.
Sebagai media komunikasi, tari mempunyai muatan-muatan pesan dari penyusun tari
makna sebagai esensi dari aktivitas berkomunikasi antara penyusun tari dengan
masyarakat. Adapun pesan-pesan tersebut dapat berupa pesan moral, spiritual, dan
bersifat hiburan. Muatan pesan tersebut merupakan salah satu kebutuhan dasar bagi
hidup manusia. Seperti dinyatakan Spradley (1997: 120), bahwa masyarakat di mana
saja menata hidup mereka dalam kaitannya dengan makna dari berbagai hal.
27
sebagai makhluk individu maupun sosial. Bahasa merupakan sarana yang utama
untuk menyampaikan pesan penutur kepada mitra tutur. Dalam rangka beraktivitas
sehari-hari manusia memerlukan bahasa sebagai alat komunikasi yang paling efektif
bahasa yang sifatnya langsung, terbuka, apa adanya, tetapi juga sering memilih
Bahasa yang bersifat pragmatik merupakan salah satu sasaran kajian tentang
makna-makna satuan lingual secara eksternal. Makna yang dikaji dalam pragmatik
dikaitkan dengan maksud atau tujuan penutur di dalam mengutarakan suatu kata,
frase atau kalimat. Jadi pragmatik mengkaji maksud suatu ujaran penutur baik secara
tersirat maupun tersurat di balik tuturan yang dianalisis, bukan semata-mata hanya
makna literal ujaran tersebut. Namun untuk dapat mengetahui maksud ujaran penutur
(makna pragmatiknya), mitra tutur harus mengetahui makna semantik ujaran itu
terlebih dahulu. Lewat makna semantik yang dikontekstualkan akan muncul makna
kultural yaitu siapa berbicara kepada siapa, di mana, kapan, untuk apa dan
in relation to speech situation” (lihat Wijana, 1995: 50). Kajian makna dalam
28
pragmatik bersifat triadis, sehingga makna itu dapat dirumuskan dengan kalimat
“Apa yang kau maksud dengan berkata x itu ?” (What do you mean by x ?).
Hubungan atau relasi dalam pragmatik bersifat triadis, artinya suatu bentuk
bahwa makna pragmatik selain dibangun melalui semantik yang mencakup: (1)
bentuk kebahasaan dan (2) makna juga dikaitkan dengan (3) konteks. Kajian bahasa
pragmatik lebih terfokus pada makna implikatur dari eksternal tuturan si penutur
bukan makna eksplikatur yang terdapat dalam internal tuturan semata. Bahasa yang
bersifat pragmatik banyak digunakan dalam berbagai bidang antara lain: sosial,
dengan situasi ujar (konteks). Aspek-aspek situasi ujar meliputi: (1) yang menyapa
(penyapa) atau yang disapa (pesapa), (2) konteks sebuah tuturan, (3) tujuan sebuah
tuturan, (4) tuturan sebagai bentuk tindakan atau kegiatan: tindak ujar, (5) tuturan
kuantitas, (2) maksim kualitas, (3) maksim relevansi/hubungan, dan (4) maksim cara
(Grice dalam Leech, 1993: 11). Selain itu juga didukung prinsip kesopanan yang
meliputi: (1) maksim kearifan, (2) maksim kedermawanan, (3) maksim pujian, (4)
maksim kerendahan hati, (5) maksim kesepakatan, dan (6) maksim simpati. Pada
akumulasi beragam tuntutan akan kebutuhan hidup manusia yang begitu kompleks.
Ketidakpatuhan para peserta tutur dalam pertuturan karena dipicu oleh motif-motif
tertentu dari penutur. Dalam hal ini penutur berupaya memasukkan maksudnya
secara implisit pada ujaran yang diungkapkan. Dampak dari peristiwa tuturan
pragmatik.
Terdapat dua cara untuk berkomunikasi lewat bahasa, yakni dapat berupa teks
menggunakan media bahasa baik yang tertulis dan lisan. Adapun komunikasi yang
dapat berupa aneka simbol, isyarat, kode, bunyi misalnya tanda lalu lintas, morse,
ke dalam bahasa manusia (Lamuddin Finoza, 2005: 2). Dengan demikian tari yang
merupakan bagian dari seni pertunjukan yang memiliki aspek komunikasi verbal dan
nonverbal merupakan objek kajian pragmatik yang sangat menarik. Aspek verbal tari
berupa cakepan (syair) teks sastra tembang yang terdapat dalam pathetan, sindhenan,
gerongan, dan jineman. Sedangkan aspek nonverbalnya berupa: tema, kinetic body
moves (gerak tubuh), polatan, rias, busana, pola lantai, dan iringan.
ritmis yag indah (Soedarsono, 1996: 6). Menurut Wisnoe Wardhana (1994: 36), tari
adalah ungkapan nilai-nilai keindahan dan keluhuran lewat gerak dan sikap.
Sedangkan H’Doubler mengutarakan bahwa tari adalah ekspresi gerak ritmis dari
30
geraknya dengan sadar dirancang untuk kenikmatan serta kepuasan dari pengalaman
(dalam Soedarsono, 1996: 4). Dari ketiga pendapat pakar tari tersebut dapat disarikan
bahwa tari merupakan ekspresi jiwa manusia sebagai tanggapan tentang nilai-nilai
penghayatan yang layak, dengan menggunakan medium utama gerak. Jika kita
cermati lebih lanjut pernyataan ketiga pakar mengenai pengertian gerak tersebut
yang tersapu angin, gerak akrobatik binatang yang menawan tetapi tanpa kehadiran
Secara garis besar bahwa semua gerak dapat menjadi gerak tari dengan cara
melalui campurtangan gerak tubuh dan seleksi yang memadahi. Menurut peneliti, tari
adalah ekspresi jiwa manusia lewat medium utama gerak tubuh untuk mencapai
kenikmatan keindahan. Sumber gerak utama yang dimaksudkan di sini adalah kinetic
dengan harapan dapat dihayati, maka dibutuhkan juga suatu penghargaan. Tanpa
simpati publik, dorongan artistik akan layu tidak dapat berkembang. Rupanya
ekspresi diri semata tidak akan memberikan kenikmatan dan kepuasan bahkan
Rupanya gerak tubuh sangat dominan dan merupakan medium utama yang
sekaligus sebagai sumber kehidupan tari. Seperti variasi pada kutipan kata-kata
terkenal Donne: “one could almost say, the body speaks. And when the body speaks
31
in this fashion, its movements, the body moves, form an integral part of the
pragmatic act” (dalam Mey, 2001: 223-224). Sekarang semakin jelas bahwa ide
komunikasi nonlisan sebagai tambahan atau alat bantu sederhana pada pembicaraan
adalah pandangan irasional yang terlalu sempit. Selayaknya, kita harus mengakui
makna’ untuk komunikasi secara utuh. Dengan kata lain, jika gerak tubuh penutur
tidak mengikuti pembicaraan penutur, mitra tutur juga tidak akan mengikuti dan
untuk komunikasi.
wujud, dan gayanya (Budhisantoso, 1994: 3). Bentuk seni adalah hasil ciptaan
seniman yang merupakan wujud dari ungkapan isi, pandangan, dan tanggapannya ke
dalam bentuk fisik yang dapat ditangkap dengan indera (Sri Rochana, 1994: 68).
Secara sederhana Herbert Read berpendapat bahwa seni merupakan usaha untuk
bahwa bentuk dalam seni memiliki peranan yang sangat penting dalam rangka
menyampaikan isi atau maksud yang hendak dikomunikasikan pada penghayat (mitra
tutur) dari si seniman (penutur). Adapun isi yang dimaksud merupakan pengalaman
Sebagai media ekspresi, seni memiliki tujuan yaitu memberikan kepuasan dalam visi
penuh simpati. Untuk itu menuntut seniman bukan hanya menyajikan realitas
yang dapat diamati indera dengan isi yang hendak diungkap harus terjalin secara
mengherankan apabila sarana untuk berekspresi dalam seni tidak bersifat instingtif,
tidak pula bersifat stereotip, dan bukan merupakan sesuatu yang sudah siap tersedia.
Sarana tersebut setiap saat dan untuk setiap personal harus dicari, dan seringkali
pencarian itu terlampau berliku-liku jalannya (Read, 1990: 45). Pada hakikatnya
medium ekspresi seniman bersifat fisik, dan wujudnya dapat berupa gerak, bahasa,
bunyi, garis, warna (rupa). Wujud tersebut tak lain agar dapat dan mampu ditangkap
dengan indera manusia, baik dari seniman sebagai pengkarya maupun masyarakat
pandangan verbal menjadi pandangan yang penuh makna yang berarti bagi
kehidupan jiwa.
kemampuan menyeleksi materi-materi sebagai sarana ungkap dan tidak lepas dari
mengacu pada nilai-nilai budaya dan norma-norma sosial yang hidup dan
33
apresiasi masyarakat yang layak dan memadahi rupanya akan menjadi semakin tidak
berarti sehingga bentuk-bentuk pesan yang hendak disampaikan oleh seniman tidak
dapat terealisasi secara baik dan wajar dalam kehidupan masyarakat. Untuk itu
kelompok besar yaitu kesenian karaton dan kesenian rakyat (Humardani, 1991: 14).
Kesenian karaton merupakan bentuk kesenian yang pada awalnya hidup dan
karaton cenderung memiliki garap lebih rumit, cermat dan mempunyai semacam
pola-pola baku yang sering digunakan sebagai semacam pedoman. Berbeda dengan
kesenian rakyat yang sifatnya spontan sangat sederhana baik bentuk maupun sistem
alam emosi, yaitu bentuk dan iramanya sangat kuat dilatarbelakangi oleh konsep
keindahan dan tradisi kebudayaannya (Humardani, 1991: 10). Seni tradisional genre
tari pasihan yang mengacu kesenian karaton merupakan salah satu budaya yang
menekankan rasa dan emosi dalam bentuk bahasa verbal dan nonverbal. Kehadiran
genre tari pasihan (percintaan pria dan wanita) dalam kehidupan sosial masyarakat
pada ritual perkawinan adat Jawa rupanya mempunyai makna simbolik yang sangat
penting terutama bagi kedua mempelai dalam rangka mempersiapkan diri untuk
penting, sebab simbolisme sangat menonjol peranannya dalam tradisi adat Jawa.
Menurut Clifford Geertz (1992: 6), bahwa ‘simbol’ tampak terbatas pada sesuatu
yang mengungkapkan secara tidak langsung, sehingga perlu perantara yang berwujud
ini tampak pada genre tari pasihan yang hadir dalam rangkaian upacara-upacara
perkawinan adat Jawa. Seolah–olah keberadaan genre tari pasihan dalam budaya
Jawa sejak 1970 telah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan terutama pada
Rasanya menjadi kurang utuh apabila dalam acara resepsi perkawinan tidak
pertunjukan genre tari pasihan pada upacara perkawinan relatif sangat tinggi
proaktif antara lain seperti Maridi dengan karyanya: tari Endah, tari Lambangsih, dan
tari Gesang Rahayu. Sunarno menghasilkan karya: tari Bondhan Sayuk, tari Enggar-
enggar, tari Driasmara, tari Kusuma Ratih, tari Langen Asmara, tari Jayaningrat dan
Genre tari pasihan gaya Surakarta merupakan suatu kelompok tari yang
secara susunan berbentuk duet atau pasangan silang jenis tipe karakter dengan tema
percintaan. Jenis tipe karakter yang berpasangan tersebut dalam genre ini antara lain
: putri luruh duet dengan alus luruh, putri lanyap duet dengan alus luruh, putri luruh
duet dengan gagah luruh dan sebagainya. Keragaman bentuk dan jenis tari duet
budaya yang mampu memberikan warna kota Sala sebagai pusat budaya. Rupanya
hal ini terkait dengan warisan budaya khususnya tari dari kerajaan Mataram baru
adat-istiadat Jawa, dan sebagai pusat kesenian Jawa (Koentjaraningrat, 1984: 235).
Secara perlahan-lahan kehidupan tari yang semula menjadi hak monopoli keluarga
kehidupan masyarakat. Berkembangnya bentuk dan jenis genre tari pasihan atau
genre tari duet percintaan tidak lepas dari kreativitas para penyusun tari dalam
sangat pesat, hal ini dimungkinkan adanya suatu pilihan masyarakat yang sangat
tepat tentang tata nilai dan sikap untuk menjaga kelangsungan hidup budayanya
sebagai warisan yang dianggap memiliki nilai tinggi. Genre tari pasihan merupakan
cabang seni tradisional gaya Surakarta yang banyak mengandung makna simbolis
dan memiliki fungsi yang erat hubungannya dengan upacara adat ritual perkawinan
masyarakat Jawa. Rupanya telah mengakar pada budaya Jawa, yaitu pada setiap
upacara perkawinan hampir dapat dipastikan akan disajikan jenis tari pasihan.
Sadar atau tidak sadar kesuburan tanah – juga perkawinan – tidak cukup
hanya dicapai lewat peningkatan sistem penanaman baru, tetapi juga perlu
diupayakan lewat kekuatan – kekuatan yang tak kasat mata. Kekuatan itu
antara lain berupa magi simpatetis, yang hanya bisa didapatkan dengan
perbuatan yang melambangkan terjadinya pembuahan, yaitu hubungan antara
pria dan wanita. Hubungan ini pada masyarakat yang masih melestarikan
budaya purba kadang-kadang dilakukan agak realistis. Sedangkan bagi
masyarakat yang sudah agak maju dilakukan secara simbolik. (Soedarsono
dalam Soedarso, 1991: 35)
Rupanya semakin tampak bahwa genre tari pasihan merupakan media ungkap para
penyusun tari (penutur) yang memuat ide, gagasan, rasa, emosi yang diekspresikan
dalam bentuk bahasa verbal dan nonverbal yang hendak dikomunikasikan dengan
Seni pertunjukan genre tari pasihan gaya Surakarta sebagai karya seni
memiliki beberapa aspek di antaranya aspek sastra tembang (bahasa verbal) yang
berupa cakepan (syair) yang terdapat dalam pathetan, sindhenan, gerongan, dan
37
jineman. Sedangkan aspek bahasa nonverbal meliputi: tema, gerak tubuh (kinetic
body moves), polatan (ekspresi wajah), pola lantai, rias, busana, dan iringan. Aspek-
aspek tersebut membutuhkan ruang, waktu, dan memiliki pesan, dalam tindakannya
supaya dapat berfungsi secara baik sebagai media komunikasi. Kajian pragmatik di
sini akan menganalisis makna genre tari pasihan lewat implikatur-implikatur bahasa
verbal dan nonverbal yang dimilikinya. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa
bentuk-bentuk tari yang termasuk dalam genre tari pasihan, banyak persamaannya,
yang sudah barang tentu juga terdapat perbedaan namun tidak begitu signifikan.
Dengan pernyataan lain serupa tetapi tidak sama. Dari sejumlah jenis tari duet
tersebut peneliti memfokuskan sasaran pada dua bentuk tari duet percintaan, yakni
Pemilihan pertama tari Karonsih dalam kajian pragmatik ini, tidak lain
masyarakat telah menjadi bagian dari kebutuhan sosial, mempunyai pengaruh cukup
kalangan tradisional (Maryono, 1991: 27). Karonsih merupakan awal jenis tarian
duet percintaan yang mampu membawa perkembangan sangat luar biasa. Pengaruh
percintaan, yakni seperti: tari Endah, tari Enggar-enggar, tari Kusuma Aji, tari
Lambangsih, tari Driasmara, tari Gesang Rahayu, tari Bondhan Sayuk, tari Kusuma
Ratih, tari Jayaningrat, tari Langen Asmara dan tari Setyaningsih. Di samping itu
diduga tari Karonsihan memiliki kekuatan magis simpatetis yang kuat terhadap
38
sepasang temanten, hal ini dapat diamati dari kehadirannya yang hampir dapat
Pemilihan kedua adalah tari Bondhan Sayuk, didasarkan pada bentuk yang
berbeda pada jenis tari duet percintaan, namun masih dalam karakteristik yang sama.
Perbedaan antara Karonsih dengan Bondhan Sayuk meliputi bentuk tindak tutur
verbal dan nonverbal. Merujuk pada pola cerita yang tokoh-tokohnya memiliki
authority scale dan social distance yang berbeda, maka hal itu dapat diamati dari
jenis bahasa verbal yang digunakan pada masing-masing tari pasihan tersebut. Selain
itu terdapat perbedaan bahasa nonverbal, sekilas dapat dicermati dari properti yang
berupa boneka bayi (anak kecil). Diharapkan perbedaan yang terdapat pada tari
Karonsih dan tari Bondhan Sayuk, baik dari segi tindak tutur verbal dan
tersebut bukan untuk generalisasi statistik (populasi) tetapi lebih fokus untuk
teorinya. Kelayakan dan kualitas objek sasaran penelitian tidak dapat disangsikan
berdasarkan eksistensi, kredibilitas, kuantitas, dan kualitas genre tari pasihan sebagai
seni pertunjukan yang hidup dan berkembang pesat di Jawa. Realitas menunjukkan
bahwa keragaman jenis tari duet percintaan gaya Surakarta merupakan salah satu aset
budaya nasional yang memiliki kuantitas dan kualitas tinggi, serta memberikan citra
kebutuhan sosial dan hayatan cukup mantap dan sekaligus menjadi benteng budaya
39
nasional yang mampu memberi warna citra diri masyarakat Surakarta sebagai
pewaris high culture Mataram palace dan lebih meluas sebagai bangsa Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah yang telah peneliti paparkan tersebut di
muka, terdapat masalah utama yang menjadi fokus penelitian disertasi ini, adalah:
mengapa masyarakat memilih pertunjukan genre tari pasihan gaya Surakarta sebagai
masterpiece dalam sebuah ritual perkawinan adat Jawa. Masalah utama tersebut
dapat dikaji lewat beberapa pertanyaan yang bersumber pada seniman pelakunya
(penyusun tari dan penari) yang bertindak sebagai penutur (komunikator), karya seni
(pesan atau tindak tutur) sebagai sarana atau media tutur, dan masyarakat (pakar,
penonton umum, dan penanggap) sebagai mitra tutur (komunikan). Untuk itu perlu
tari pasihan.
1. Bagaimana jenis-jenis tindak tutur dalam genre tari pasihan gaya Surakarta
dan tindak tutur apa yang dominan, serta mengapa terjadi dominasi ?
4. Bagaimana ciri karakteristik bahasa verbal dan nonverbal genre tari pasihan
gaya Surakarta ?
Surakarta ?
C. Tujuan Penelitian
Memahami bahasa verbal dan nonverbal genre tari pasihan pada ritual
perkawinan adat Jawa di Surakarta dengan menganalisis secara rinci, akurat, dan
1. Jenis-jenis tindak tutur dan tindak tutur yang dominan dalam genre tari
2. Penerapan prinsip kerja sama dan prinsip kesantunan dalam bahasa verbal
3. Implikatur dan daya pragmatik bahasa verbal dan nonverbal genre tari
4. Ciri karakteristik bahasa verbal dan nonverbal genre tari pasihan gaya
Surakarta.
Surakarta.
41
D. Manfaat Penelitian
Tari dikaji dari berbagai perspektif ilmu seperti sosial, politik, ekonomi,
antropologi, budaya dan lainnya rupanya telah banyak dilakukan para peneliti,
namun penelitian tari dari kaca mata linguistik rupanya masih sangat langka. Salah
satu jenis kajian linguistik yang paling tepat untuk analisis tari adalah linguistik
menganalisis seni pertunjukan (tari) secara menyeluruh, baik dari aspek bahasa
verbal dan nonverbal. Spesifikasi yang dapat diunggulkan dalam kajian ini bahwa
terdapat interaksi yang sangat tepat antara pragmatik dan seni pertunjukan yang
merupakan disiplin ilmu yang secara spesifik mengkaji makna atau maksud penutur.
kajian seni pertunjukan tari pasihan dari sudut pandang linguistik pragmatik.
peneliti dari kalangan Lembaga Perguruan Tinggi Seni untuk meneliti bentuk-bentuk
(4) Dapat menjadi referensi atau acuan bagi para peneliti yang terkait dengan
BAB II
KAJIAN TEORI, TINJAUAN PUSTAKA, DAN KERANGKA PIKIR
A. Kajian Teori
Seni pertunjukan umumnya dan lebih khusus genre tari pasihan gaya
Surakarta merupakan lahan kajian yang sangat menarik lewat bahasa verbal yang
berupa teks sastra tembang dan bahasa nonverbal. Dalam rangka untuk mengetahui
dan mencermati makna bahasa verbal dan nonverbal yang terdapat dalam seni
pertunjukan genre tari pasihan gaya Surakarta, peneliti menggunakan kajian: (1)
teori pragmatik, (2) teori budaya, (3) teori seni pertunjukan, dan (4) teori
komunikasi.
pada sastra tembang sebagai bahasa verbal, jenis tindak tutur yang dominan,
prinsip-prinsip kerja sama dalam sastra tembang. Selain itu juga untuk mengkaji
strategi kesantunan yang digunakan oleh masing-masing peserta tutur yang terdapat
dalam genre tari pasihan terkait dengan cara mengungkapkan tindak tutur terkait
jarak sosial, hubungan peran yang berbeda, dan penggunaan muka dalam
komunikasi. Teori tersebut juga untuk mengungkap implikatur dan daya pragmatik.
2) Teori budaya yang terdiri dari tiga bagian yakni, wujud kebudayaan
penyusun tentang bahasa verbal dan nonvberbal yang digunakan pada tari pasihan.
Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas untuk mengkaji dari faktor
afektifnya yaitu mengenai pandangan masyarakat umum dan persepsi pakar terhadap
pertunjukan tari pasihan. Adapun wujud kebudayaan berupa benda-benda hasil karya
manusia untuk analisis faktor objektif atau karya seninya, baik yang berupa sastra
dalam tari pasihan (bahasa nonverbal) mencakup tema, gerak tubuh (kinetic body
moves), polatan (ekspresi wajah), pola lantai, rias, busana, dan iringan gamelan
dengan masyarakat sebagai komunikan lewat media yaitu karya seni tari pasihan.
Dalam komunikasi tersebut lebih difokuskan pada kesesuaian antara pesan makna
yang dimaksudkan seniman penyusun dengan makna yang dapat ditangkap oleh
atau sebaliknya terjadi persamaan, dari hasil itu dapat dicari dan dianalisis
media.
genre tari pasihan gaya Surakarta secara komplementer. Secara prinsip teori
pragmatik merupakan alat kajian yang utama terkait dengan sistem kebahasaannya,
sedangkan teori budaya dan teori seni pertunjukan untuk menganalisis faktor bahasa
objektif, dan afektif. Diharapkan keempat teori tersebut mampu untuk mengungkap
makna pragmatik genre tari pasihan gaya Surakarta secara menyeluruh dan
mendalam.
1. Teori Pragmatik
dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujar (speech situations) (Leech, 1993: 8).
Konsep ujaran menurut Parera (dalam Muhammad Rohmadi, 2004: 48) berhubungan
dengan manifestasi bahasa dalam bentuk lisan. Untuk mengetahui makna ujaran
tidak dapat hanya dilihat dari satu sisi ujaran itu sendiri, akan tetapi harus
berdasarkan bukti kontekstual yang ada saja tanpa menjadi sasaran pesan si penutur
(1993: 19).
jelas jika kita perhatikan konteks, penutur serta situasinya. Tanpa konteks, ujaran-
ujaran dalam bentuk kalimat atau tindak tutur tersebut hanya akan dipahami sebagai
makna semantik yang lebih terfokus pada analisis linguistik formal. Terkait dengan
yang meliputi lima aspek situasi ujaran sebagai berikut: (1) Yang menyapa (penyapa)
atau yang disapa (pesapa), (2) Konteks sebuah tuturan, (3) Tujuan sebuah tuturan,
(4) Tuturan sebagai bentuk tindakan atau kegiatan: tindak ujar, (5) Tuturan sebagai
ujaran atau tuturan baik yang bersifat lisan maupun tulis. Bentuk ungkapan dapat
bersifat langsung dan tidak langsung, bersifat langsung manakala maksud penutur
tutur. Tidak langsung, sulit dipahami karena untuk mencermati maksud sebuah
tuturan yang disampaikan penutur kepada mitra tutur sering mengalami kendala.
maksudnya disiratkan pada tuturan atau maknanya di balik yang tersurat. Sebagai
mitra tutur berupaya untuk menafsirkan maksud penutur lewat teks yang digunakan
dengan mengaitkan konteksnya. Untuk itu perlu dicermati secara mendalam bentuk
46
bahasa sebagai teks dan bagaimana konteksnya sehingga dapat berfungsi untuk
Pada dasarnya teks dan konteks sangat vital terkait dengan kompetensi
komunikatif sehingga konsep teks dan konteks menjadi penting untuk dikaji dalam
rangka memahami implikatur pragmatik. Dalam analisis teks dan konteks ini, kita
(1992), Cook (1989), Halliday dan Hasan (1976), dan Hoed (2003: 5-6). Adapun
hakekat konteks lebih mereferensi dari pendapat: Yule (1998), dan Cutting (2002).
a.1. Teks
Menurut Leech (1983: 100), teks adalah konstruksi dari hasil penggunaan
sintaksis dan fonologi bahasa secara bermakna. Sejalan dengan pendapat tersebut,
teks adalah potongan dari bahasa tulis maupun lisan yang maknanya dapat dirunut
dari perspektif strukturnya ataupun fungsinya (Richards et al, 1992: 378). Secara
lebih sederhana Cook menyatakan bahwa teks juga dapat berupa bagian-bagian dari
Pendapat lain, Halliday dan Hasan (1976: 1-2), bahwa teks merupakan
sebuah unit semantik yang memiliki bentuk dan bermakna bukan sekadar unit
gramatikal seperti klausa atau kalimat yang lepas. Dengan demikian teks tidak
berfungsinya suatu bahasa, yakni bahasa yang sedang melaksanakan tugas tertentu
dalam konteks situasi, bukan kata-kata ataupun kalimat lepas. Hoed (2003: 5-6),
47
mengatakan terdapat dua cara untuk pendekatan dasar pada sebuah teks, dengan
mengutip pendapat Noth (1990), yaitu: 1. teks sebagai pesan budaya (nonverbal),
yang terkait dengan gejala budaya seperti film, pertunjukan balet atau tari, musik,
peristiwa upacara ataupun pertunjukan sirkus; dan 2. teks sebagai pesan verbal yang
membatasi teks pada gejala kebahasaan (lihat disertasi Jumanto, 2006: 23-24).
Dapat ditarik simpulannya bahwa teks adalah sebuah unit bahasa verbal dan
atau nonverbal yang bermakna. Merujuk pada hakekat teks dari pendapat kelima
pakar tersebut terkait dengan teks seni pertunjukan, dapat peneliti kemukakan bahwa
a.1.1 Bahasa verbal, yang berupa teks sastra tembang yang terdapat dalam
awal penelitian adalah kajian pragmatik, maka dalam bahasa verbal ini, kajian
a.1.2 Bahasa nonverbal berupa elemen-elemen tari yang terdiri dari: tema, gerak
tubuh (kinetic body moves), polatan (ekspresi wajah), pola lantai, rias, busana, dan
iringan. Dalam bahasa nonverbal ini, kajian peneliti lebih terfokus pada gejala
budaya, mencakup:
c) polatan,
48
d) bentuk rias,
g) jenis-jenis gendhing ,
Kedua bentuk bahasa, baik verbal dan nonverbal tersebut merupakan satu kesatuan
yang membentuk menjadi sebuah bahasa genre tari pasihan yang tidak lepas dengan
konteks.
a.2. Konteks
relatif baru sebagai pendobrak kemapanan aliran linguistik formal atau struktural.
form dalam suatu bahasa merupakan satu-satunya data yang paling feasible untuk
dikaji. Artinya bahwa para kaum strukturalis terfokus pada internal bahasa yang
satuan itu sebenarnya hadir dalam konteks, baik konteks yang bersifat lingual (co-
text) maupun konteks yang bersifat ekstralingual yang berupa konteks fisik maupun
kebahasaan, terutama terkait dengan masalah makna yang ditarik dari implikatur
tindak tutur dalam sebuah percakapan, yang seharusnya mengaitkan dengan konteks.
Menurut Yule (1998), konteks adalah sebuah konsep yang dinamis, bukan
suatu pengetahuan latar belakang yang sama-sama dimiliki oleh penutur dan mitra
tutur dan yang membantu mitra tutur dalam menafsirkan makna tuturan (1993: 20).
operasional yakni dunia fisik dan sosial serta asumsi-asumsi pengetahuan yang
sama-sama dimiliki oleh penutur dan mitra tutur. Selanjutnya secara rinci konteks
bersamaan dengan terjadinya suatu interaksi ketika percakapan berlangsung (at the
yang dirinci menjadi (a) pengetahuan umum budaya (cultural general knowledge)
yakni konteks verbal yang ada pada teks yang mengakibatkan adanya kohesi dan
koherensi.
Realisasi konteks dari teks tari pasihan dengan mengakses persepsi Cutting,
perubahan raut muka atau polatan, pemilihan kata, intonasi dan pemilihan gerak.
Secara eksternal meliputi: lokasi pertunjukan dan kondisi lingkungan yang menjadi
sociofact.
yang berbudaya Jawa, rupanya keselarasan alam semesta merupakan salah satu
keselarasan tersebut yang penting adalah apakah hubungan alamiah satu sama
unsur itu harus dirangkai menjadi terpadu, sekaligus mencegah hal-hal yang
kebudayaan yang satu ke budaya yang lain (Geertz, 1992: 54-55). Realitas sepanjang
tingkat tertentu. Stages along the life-cycle itu meliputi: masa kelahiran, masa
penyapihan, masa kanak-kanak, masa remaja, masa puber, masa nikah atau masa
perkawinan, masa pascanikah, masa hamil, dan masa tua hingga kematian
(Koentjaraningrat, 1985: 89). Mencermati dari sekian masa kehidupan, salah satu
masa yang penting adalah masa perkawinan atau masa nikah. Dari pernyataan
pasihan.
51
Artifact, merupakan bagian budaya yang berupa seluruh total dari karya
manusia berupa benda fisik dari aktivitas maupun perbuatan. Pada prinsipnya semua
hasil karya manusia ditujukan untuk mencukupi semua kebutuhan hidupnya yang
terdiri dari dua komponen pokok, yaitu kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohani.
Salah satu jenis karya manusia yang berperan dalam pembangunan rohani adalah
karya seni. Beragam hasil karya seni yang diciptakan manusia, satu diantaranya
adalah jenis genre tari pasihan. Terkait dengan kebutuhan analisis artifact, tari
pasihan akan dicermati secara total bentuk karya seninya dalam koridor seni
pertunjukan.
aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam social system. Beragam aktivitas
manusia yang saling berinteraksi satu dengan lainnya, dari waktu ke waktu, selalu
menurut pola yang telah disepakati yang didasarkan pada adat tata kelakuan. Sebagai
rangkaian aktivitas manusia dalam suatu masyarakat, sistem sosial itu bersifat
konkret, yang terjadi di sekitar kita. Seperti kehadiran tari pasihan pada upacara-
upacara ritual perkawinan budaya Jawa, rupanya terdapat kontribusi yang cukup
sampai sekarang masih berlangsung. Rupanya terdapat keterkaitan yang cukup erat
antara seni pertunjukan khususnya tari duet pasihan dengan kebutuhan sosial.
Merujuk pada asumsi tersebut, peneliti akan mengkaji fungsi tari pasihan pada
tentang: hasil penghayatan yang melibatkan seniman dan penghayat terhadap karya
52
tari pasihan. Dari penghayatan muncul sebuah penilaian. Hasil penilaian atau hasil
hayatan dari peserta tutur (seniman dan penghayat), terdapat persamaan atau
dalam tari pasihan. Adapun cakupan kohesi terfokus pada: keterkaitan antarunit,
antarkomponen, dan antarbagian baik yang terdapat pada teks satra tembang
maupun pada elemen-elemen tari pasihan. Cakupan koherensi terfokus pada: isi atau
aplikasi analisis pemerian teks beserta konteks tari pasihan dalam ritual perkawinan
budaya Jawa, akan dikupas secara tuntas dan mendalam dengan teori-teori yang
antara penutur dengan mitra tutur agar komunikasi dapat berjalan secara efektif dan
terhadap tindakan dan ucapan lawan tutur (Wijana, 1996: 68). Partisipan komunikasi
(Cooperative Principle) yang terbagi empat maksim yaitu: (1) maksim kuantitas, (2)
maksim kualitas, (3) maksim hubungan, dan (4) maksim cara (Grice dalam Leech,
53
1993: 11). Merujuk pada empat maksim dari prinsip kerjasama itu bila dapat
dipenuhi dari masing-masing peserta tutur maka akan terjadi komunikasi yang efektif
dan efisien. Terbentuknya komunikasi yang wajar tersebut karena penutur dalam
memberikan informasi secukupnya tidak kurang dan tidak lebih sesuai yang
diperlukan, informasi benar tidak keliru berdasarkan suatu realitas yang sebenarnya,
dengan cara yang mudah, jelas, ringkas, dan teratur secara gramatikal.
sebagai anggota masyarakat bahasa penutur tidak hanya terikat pada hal-hal yang
bersifat tekstual, dalam arti tidak hanya bagaimana membuat tuturan yang mudah
dipahami oleh mitra tutur, tetapi penutur juga terikat pada aspek-aspek yang bersifat
selain keempat maksim dalam prinsip kerjasama juga masih diperlukan prinsip
kesantunan yang terjabar menjadi enam maksim, yaitu: (1) maksim kearifan (tact
maxim), adalah aturan pertuturan yang meminimalkan kerugian orang lain dan
maxim), adalah aturan pertuturan yang meminimalkan keuntungan bagi diri sendiri
dan memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri; (3) maksim pujian (approbation
orang lain dan memaksimalkan pujian kepada orang lain; (4) maksim kerendahan
ketidakhormatan terhadap diri sendiri dan meminimalkan rasa hormat terhadap diri
sendiri; (5) maksim kesepakatan (agreement maxim), adalah aturan pertuturan yang
maxim), adalah aturan pertuturan yang meminimalkan rasa anti pati terhadap orang
lain dan memaksimalkan rasa simpati terhadap orang lain (Leech, 1993 : 206-207).
komunikasi sehari-hari, ternyata prinsip kerja sama itu sering tidak dipatuhi orang.
Paling tidak, lebih sering maksim-maksim dalam prinsip kerja sama itu dilanggar
daripada dipatuhi. Tidak dipatuhi karena salah satu sebabnya adalah bahwa
komunikasi itu tidak selalu berupa penyampaian pesan atau informasi belaka. Hal ini
didasarkan pada fungsi bahasa yang mencakup: (1) fungsi referensial atau informatif
yang tujuannya untuk menyampaikan informasi (pesan), dan (2) fungsi afektif yang
bertujuan untuk menjaga dan memelihara hubungan sosial (Holmes dalam Asim
pada dasarnya bahwa berkomunikasi itu lebih dipicu oleh motif-motif tertentu dari
penutur. Dalam hal ini penutur berupaya memasukkan maksudnya secara implisit
pada ujaran yang diungkapkan. Penutur sering menyampaikan pesan tidak secara
bald on record tetapi lebih banyak menyukai dengan cara off record. Hal itu
menunjukan bahwa dalam pertuturan, penutur merasa lebih santun, nyaman, aman,
diharapkan tidak mengancam muka, hubungan sosialnya tetap terjaga tanpa merasa
terkendalai oleh faktor bahasa dan nonbahasa. Namun perlu disadari semua
implikatur itu bersifat probabilistis, karena dapat diasumsikan bahwa apa yang
55
dimaksud oleh penutur lewat tuturannya tidak pernah dapat kita ketahui dengan pasti.
ungkapan yang memiliki makna paling relevan dari semua siratan yang secara
potensial dapat timbul. Untuk menarik makna sesuai dengan maksud penutur tidak
mengetahui dan memahami makna ujarannya, kita harus mengetahui sikap penutur.
eksplikatur ujaran, tetapi kita juga harus mengetahui sikap penutur yang
ujaran atau tindak tutur sangat penting dalam rangka menyampaikan maksud
penutur.
c. Tindak Tutur
tidak dapat disangkal lagi. Bahasa sebagai fakta sosial telah diungkap pertama kali
oleh Ferdinand de Saussure (1916). Hal ini kemudian dikembangkan oleh para
peneliti lain. Menurut Karl Buhler (1918), tanda bahasa merupakan lambang
(symbol), gejala (symptom), dan juga Sinyal (signal). Dalam hal ini tanda bahasa
sebagai penanggap. Berdasarkan teori tanda bahasa di dalam model Organon Buhler,
bahasa dapat difungsikan menjadi tiga, yaitu: ekspresif, apelatif, dan representatif.
Relevansi teori Buhler dengan liku-liku pragmatik dijelaskan oleh Renkema (1993),
56
bahwa ujaran yang disampaikan oleh sender dapat diterima dan dipahami pada
tingkat yang sama atau berbeda oleh receiver artinya gejala tidak selalu sama dengan
sinyal. Apabila objek acuan sender sebagai message dapat diterima dan dipahami
pada tingkat yang sama atau tepat oleh receiver, artinya bahwa komunikasi efektif
dan berhasil. Sebaliknya jika yang terjadi pemahaman receiver atas objek referensi
sender berbeda bahkan berlainan sama sekali, maka akan terjadi masalah pragmatik.
akan dapat dipahami jika ditafsirkan dalam konteks situasi. Terkait dengan fungsi
speech in which ties of union are created by a mere exchange of words’ (lihat
Jumanto, 2006: 36). Dari pernyataan tersebut jelas bahwa bahasa difungsikan sebagai
tujuan sosial untuk menjaga hubungan ikatan antarpersonal bagi yang terlibat dalam
masyarakat primitif dalam rangka menjaga interaksi sosial terpelihara dengan baik,
Karl Buhler (1918), Malinowski (1923), merupakan pakar linguistik yang telah
berkelanjutan. Teori fungsi bahasa dari ketiga pakar tersebut merupakan langkah
awal berkembangnya fungsi bahasa yang mendorong lahirnya teori pragmatik oleh
57
atas keterlambatan peneliti.” Contoh ujaran atau kalimat tersebut dipergunakan untuk
melakukan tindakan yaitu tindakan meminta maaf. “ Wah, tanamannya layu.” Ujaran
atau tindak tutur tersebut dipergunakan untuk melakukan tindakan yaitu menyuruh
untuk melakukan tindakan yakni melarang atau menyuruh untuk tidak menghisap
rokok. Terkait dengan liku-liku Speech act, kita dapat mengkajinya dengan sebuah
teori tindak tutur yang diperikan menjadi beberapa jenis tindak tutur.
Teori tindak tutur pertama kali diungkapkan oleh Austin (1956), seorang ahli
filsafat senior dari Inggris, yang kemudian dikembangkan dan dipopulerkan secara
universal oleh muridnya yang bernama Searle (1969). Menurut Searle bahwa pada
setiap komunikasi linguistik terdapat tindak tutur. Searle dalam bukunya “Speech
bahwa secara pragmatik setidak-tidaknya ada tiga jenis tindakan yang dapat
diwujudkan oleh seorang penutur, yakni tindak lokusi (locutionary act), tindak
ilokusi (illocutionary act), dan tindak perlokusi (perlocutionary act) (lihat Leech,
1993:316; Wijana, 1996: 17-19; Cutting, 2002: 16; Yule, 2006: 83-84).
58
Ketiga teori tindak tutur, yaitu locutionary act, illocutionary act atau
teori yang akan peneliti gunakan sebagai ancangan untuk mengkaji implikatur. Hal
ini terkait dengan pemahaman bahwa pragmatik adalah cabang linguistik yang
mengkaji maksud penutur (the speakers meaning) yang terdapat di balik tuturannya.
Maksud tuturan tidak selamanya dinyatakan secara eksplisit, akan tetapi banyak juga
bahkan dapat peneliti katakan cukup dominan maksud penutur yang diimplisitkan
pada realitas kehidupan, sehingga kita sering mengalami kesulitan untuk memahami
tentang berbagai jenis tindak tutur, untuk mencermati dan memahami maksud
penutur dengan seluruh aspek yang melatarbelakangi (konteks). Adapun ketiga jenis
Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Tindak tutur ini
sering disebut sebagai The Act of Saying Something. Tuturan yang diutarakan oleh
maksud tertentu di balik kalimat atau ujaran, tetapi lebih menurut apa adanya. Bila
diamati secara
seksama tindak lokusi itu adalah konsep yang berkaitan dengan proposisi kalimat.
Kalimat atau tuturan dalam hal ini dipandang sebagai satu kesatuan yang terdiri dari
minimal dua unsur, yakni subjek atau topik dan predikat atau commet (lihat
Tindak ilokusi adalah tindak tutur yang berfungsi untuk mengatakan atau
ilokusi disebut sebagai The Act of Doing Something. Tindak ilokusi sangat dominan
kita jumpai dalam komunikasi sehari-hari, tindak ini merupakan bagian sentral untuk
untuk mempengaruhi lawan tuturnya. Tindak perlokusi disebut sebagai The Act of
daya pengaruh (perlocutionary effect) atau efek bagi yang mendengarnya. Efek yang
timbul ini bisa sengaja maupun tidak sengaja. Berdasarkan uraian-uraian di atas
menunjukkan bahwa tindak lokusi mendasari tindak ilokusi, tindak ilokusi mendasari
tindak perlokusi. Selanjutnya tindak perlokusi sebagai final maksud suatu ujaran di
alat untuk mengungkapkan informasi secara eksplisit. Dalam tindak ilokusi dan
yang sebenarnya. Simbol itu dapat ditangkap sebagai sesuatu isyarat maksud tertentu
Tidak semata-mata tindak perlokusi hanya ditarik dari makna ujaran, karena
harus melibatkan konteks tuturannya. Dapat ditegaskan bahwa setiap tuturan dari
seorang penutur memungkinkan sekali mengandung salah satu dari ketiga: lokusi,
ilokusi atau perlokusi. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa satu tuturan
mengandung dua atau ketiga-tiganya sekaligus. Kunci utama yang perlu diperhatikan
60
pada tindak tutur dari penutur yang hendak dikomunikasikan pada mitra tutur, untuk
mencari implikatur atau makna di balik ujaran yang tersirat bukan sekadar makna
yang tersurat dalam ujaran dimaksud. Tidaklah dipungkiri bahwa dalam kajian tindak
tutur ilokusi tidak lepas dari tindak tutur lokusi dan tindak tutur perlokusi.
Sehubungan dengan pengertian tindak tutur atau tindak ujar, Searle (1979)
mengklasifikasikan tindak tutur ilokusi menjadi lima jenis tuturan, yakni: asertif,
direktif, ekspresif, komisif, dan deklarasi (lihat Leech, 1996: 164-165; Cutting, 2002:
d.2.1. Asertif ialah bentuk tindak tutur yang mengikat penuturnya kepada
melaporkan.
d.2.2. Direktif, ialah bentuk tindak tutur yang dimaksudkan oleh penuturnya
untuk mempengaruhi mitra tutur agar melakukan tindakan sesuai dengan maksud
d.2.3. Ekspresif, ialah bentuk tindak tutur yang berfungsi untuk menyatakan
d.2.5. Deklaratif, ialah tindak tutur yang dilakukan si penutur dengan maksud
untuk menciptakan hal (status, keadaan dan sebagainya) yang baru, misalnya:
Menurut Yule (1996), secara garis besar fungsi tindak tutur diklasifikasi
d.3.1. Deklaratif ialah jenis tindak tutur yang mengubah dunia melalui
tuturan. Dalam hal ini penutur harus mempunyai peran institusional khusus, dalam
d.3.2. Representatif ialah jenis tindak tutur yang menyatakan apa yang
dan pendeskripsian.
d.3.3. Ekspresif ialah jenis tindak tutur yang menyatakan sesuatu yang
dirasakan oleh penutur. Tindak tutur ekspresif merupakan cerminan dari pernyataan-
d.3.4. Direktif ialah jenis tindak tutur yang dipakai oleh penutur untuk
menyuruh orang lain melakukan sesuatu. Bentuk tindak tutur direktif digunakan
62
untuk menyatakan apa yang menjadi keinginan penutur. Tindak tutur ini meliputi:
d.3.5. Komisif ialah jenis tindak tutur yang dipahami oleh penutur untuk
menjadi tujuh jenis bentuk tindak tutur, seperti yang dikemukakan dalam bukunya
percayai dan apa yang mereka ketahui, tindak tutur asertif selalu berkaitan dengan
fakta, pengetahuan, data, apa yang ada atau yang telah ada, apa yang sedang terjadi
atau yang telah terjadi. Tindak tutur asertif bersifat menginformasikan, benar atau
salah, dan secara umum mereka dapat dibenarkan atau disalahkan bukan hanya pada
waktu tindak tutur tersebut keluar atau oleh mereka yang mendengarnya, namun
atau digunakan untuk melakukan suatu tindakan, misalnya tindakan mohon maaf,
dan lain-lain di mana hanya orang-orang tertentu dan pada lingkungan yang sesuai
yang diterima oleh mitra tutur. Kebanyakan tindak tutur performatif diungkapkan
pada setting formal dan berkaitan dengan kepegawaian. Tindak tutur performatif
bukanlah masalah benar atau salah tetapi tujuannya adalah untuk membuat bagian
Tindak tutur verdiktif adalah tindak tutur yang berorientasi pada perbuatan
yang sudah terjadi atau bersifat retrospektif. Tindak tutur restrospeksi adalah jika
penutur menilai sikap yang telah dilakukan mitra tutur di masa lalu. Sikap itu bisa
samping dalam bentuk tuturan di atas, tindak tutur verdiktif dapat berupa tuturan
kegagalan dalam tindakan tersebut dari penutur, atau mungkin hasil bertindak atau
kegagalan sekarang. Menurut Fraser tindak tutur ekspresif disebut pula tindak tutur
evaluatif (dalam Rustono, 1999; 30). Tindak tutur ekspresif adalah jenis tindak tutur
yang menyatakan sesuatu yang dirasakan oleh penutur. Tuturan-tuturan ekspresif itu
Tindak tutur direktif kadang-kadang disebut juga tindak tutur impositif adalah
tindak tutur di mana penutur menginginkan mitra tutur melakukan suatu tindakan
aplikasinya tindak tutur direktif, dapat berbentuk: (1) kalimat perintah (imperatif),
Tindak tutur komisif merupakan bentuk tindak tutur yang berfungsi untuk
komisif bersifat prospektif dan berkaitan dengan komitmen penutur pada perbuatan
atau tindakan yang harus dilakukan untuk waktu yang akan datang.
Tindak tutur fatik merupakan bentuk tindak tutur yang berfungsi untuk
jelas jika dibandingkan dengan enam tipe lainnya tetapi, tidak kalah arti pentingnya
dalam realitas kehidupan sehari-hari. Tindak tutur patik termasuk salam, ucapan
peneliti”, yang mempunyai tujuan tertentu, bukan seperti makna yang tersurat dan
tersirat dalam tindak tutur verdiktif atau ekspresif. Tindak tutur fatik merupakan
bentuk tindak tutur keseharian yang sangat umum yang mungkin tidak kita pelajari
65
tapi sudah melekat dan menjadi kebiasaan sehari-hari yang bernilai baik dan
beretika. Sedangkan bentuk atau ragamnya tindak tutur fatik sudah terpola.
Dari keempat pakar yaitu: Austin, Searle, Kreidler, dan Yule tentang fungsi
Konsep tindak tutur Austin merupakan dasar utama yang melandasi fungsi
tindak tutur yang muncul di kemudian, karena Austin merupakan orang pertama kali
yang mengemukakan teori tindak tutur yang membaginya menjadi tiga bentuk yaitu:
diklasifikasikan menurut fungsinya yang secara garis besar memiliki kesamaan. Dari
tindak tutur menurut Searle, Kreidler, dan Yule, meliputi tindak tutur: direktif,
ekspresif, dan komisif. Selain itu menurut Searle dan Kreidler juga terdapat
persamaan pada tindak tutur asertif, sedangkan menurut Searle dan Yule, persamaan
tentang fungsi tindak tutur asertif mempunyai persamaan pengertian dengan fungsi
tindak tutur representatif menurut Yule. Di samping itu menurut Searle dan Yule,
fungsi tindak tutur deklaratif mempunyai persamaan pengertian dengan fungsi tindak
3. Perbedaan jumlah fungsi tindak tutur. Hal ini ditunjukan oleh Kreidler
yang membagi fungsi tindak tutur menjadi tujuh bentuk, sedangkan Searle dan Yule
Dari ketiga fungsi tindak tutur yang dikemukakan oleh Searle, Yule, dan
Kreidler, peneliti akan menggunakan fungsi tindak tutur menurut Kreidler karena
tindak tutur memiliki karakter yang spesifik sehingga dapat lebih mengakomodasi
kebutuhan analisis bahasa verbal dan nonverbal yang terdapat dalam genre tari
pasihan. Selain itu terkait juga dengan fungsi tindak tutur verdiktif dan tindak tutur
fatik yang tidak dimiliki dalam fungsi tindak tuturnya Searle dan Yule. Pada
dasarnya penutur dalam mengungkapkan maksudnya terhadap mitra tutur tidak selalu
untuk sekedar memulai pembicaraan atau sekadar basa-basi mungkin juga untuk
hari. Begitu pula ketika seseorang mencintai orang lain, ungkapan memuji
peneliti, kedua fungsi tindak tutur tersebut sangat bermanfaat untuk menganalisis
tindak tutur teks satra tembang dan bahasa nonverbal yang terdapat pada genre tari
pasihan.
dimaksud adalah dalam rangka mencari dan menentukan implikatur yang valid
optimal, dan berkualitas. Selain itu dari penjabarannya fungsi tindak tutur yang
67
dilakukan Kreidler tampak lebih transparan, hal ini dapat dicermati dalam bukunya
menggunakan bagan antara lain tindak tutur: verdiktif, ekspresif, direktif, dan
komisif .
komponen yang terdapat pada genre tari pasihan gaya Surakarta baik yang terdapat
pada bahasa verbal dan nonverbal secara tajam, menyeluruh, dan rinci dalam rangka
terkait dengan latar belakang konsepsi penciptaan bahasa verbal dan nonverbal serta
2. Tuturan (karya seni) meliputi: a. tindak tutur bahasa verbal yang berupa
teks sastra tembang terdiri dari; cakepan (syair) pathetan, sindhenan, gerongan, dan
jineman. b. tindak tutur bahasa nonverbal yang meliputi: tema, gerak tubuh (kinetic
body moves), polatan (ekspresi wajah), pola lantai, rias, busana, dan iringan.
Teori kesantunan Leech (1983), bahwa setiap maksim interpersonal itu dapat
e.1.1. Cost-benefit scale adalah skala yang menunjuk pada untung ruginya
peserta tutur dalam pertuturan. Tindak tutur yang banyak merugikan penutur akan
dianggap semakin santun, dan jika banyak menguntungkan penutur akan dianggap
pilihan tindak tutur yang digunakan peserta tutur dalam pertuturan. Jika pertuturan
itu banyak memberikan kesempatan peserta tutur untuk memilih tuturan maka tindak
tutur akan semakin santun. Sebaliknya, apabila pertuturan itu membatasi peserta
tutur untuk memilih tuturan maka tindak tutur semakin tidak santun.
e.1.3. Indirectness scale adalah skala yang menunjuk pada langsung dan tidak
langsungnya maksud tindak tutur dalam pertuturan. Tindak tutur yang bersifat
langsung semakin tidak santun, sedangkan tindak tutur yang bersifat tidak langsung
e.1.4. Authority scale adalah skala yang menunjuk pada hubungan status
sosial antara penutur dengan mitra tutur. Jarak status sosial (rank rating) semakin
jauh antara penutur dengan mitra tutur, akan semakin santun tindak tuturnya. Akan
tetapi jika jarak status sosial semakin dekat antara penutur dengan mitra tutur, akan
e.1.5. Social distance scale adalah skala yang menunjuk pada peringkat
hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur. Jarak hubungan sosial semakin jauh
antara penutur dengan mitra tutur, akan semakin santun tindak tuturnya. Sedangkan
semakin dekat hubungan sosial antara penutur dengan mitra tutur, akan semakin
Teori kesantunan Brown dan Levinson (1987) seperti dikutip Jumanto dalam
pengaturan muka terbagi menjadi dua yaitu tindak tutur yang berpotensi mengancam
muka (face-saving acts/FSA). Menurut Goffman (1959, 1967), pada dasarnya setiap
orang dianggap memiliki dua muka, yakni muka positif (positive face) dan muka
negatif (negative face). Muka positif dimaksudkan bahwa keinginan setiap orang
supaya segala tindakannya dihargai oleh orang lain, sedangkan muka negatif
dihalangi orang lain ( Brown dan Levinson, 1987: 62). Kajian kesantunan Brown dan
kesantunan, Brown dan Levinson menggunakan dua cara yaitu strategi kesantunan
positif yang mengacu pada muka positif dan strategi kesantunan negatif yang
baik antara penutur dengan mitra tutur, sedangkan strategi kesantunan negatif
Teori kesantunan Brown dan Levinson dapat diringkas menjadi lima strategi,
yaitu: 1) melakukan tindak tutur secara apa adanya, tanpa basa basi (bald on record)
dengan mematuhi prinsip kerja sama Grice. Prinsip kerja sama Grice (1975) seperti
dikutip Leech (1993: 11), terdiri dari empat maksim yang digunakan dalam
kedekatan, keintiman, dan hubungan baik antara penutur dengan mitra tutur. 3)
negatif (negative politiness), untuk menunjukkan adanya jarak sosial antara penutur
dengan mitra tutur. 4) melakukan tindak tutur secara tidak langsung (off record). 5)
f.1. Implikatur
Istilah implikatur berasal dari bahasa Latin plicare yang berarti “melipat.”
Derivasinya dalam bahasa Inggris adalah kata kerja “to imply“ yang aslinya
bermakna “to fold something into something else“ (melipat sesuatu ke dalam sesuatu
yang lainnya). Dari sini kemudian asal makna kata implikatur, yang diasalkan dari
kata “implied” yang berarti “folded in“ (terlipat) dan harus dibuka lipatan tersebut
(unfolded) jika kita ingin mengetahui artinya. Cara yang ditempuh untuk memahami
ujar yang disampaikan penutur terhadap mitra tutur dengan konteks. Hal ini
disiratkan dalam ujaran merupakan sumber utama dari pragmatik yang difungsikan
kerjasama (PK) dan maksim-maksimnya. Menurut Grice (1975: 45), komunikasi itu
akan berjalan dengan efisien dan efektif jika para peserta tutur bekerjasama satu
maksim kualitas, maksim hubungan dan maksim cara. Jika keempat maksim itu
dipenuhi maka penyampaian informasi akan menjadi efektif dan efisien. Secara
memberikan informasi tidak lebih atau tidak kurang dari yang dibutuhkan,
informasinya benar atau tidak keliru, informasi itu relevan dengan pokok
inilah oleh para pakar pragmatik disinyalir menyebabkan timbulnya suatu implikatur
percakapan, yakni makna atau pesan tambahan yang menjadi bagian dari komunikasi
cara kita memahami suatu tuturan di dalam percakapan sesuai dengan yang kita
harapkan. Suatu respon percakapan yang tampaknya kurang tepat dapat menjadi
berterima jika kita hubungkan dengan konteksnya. Sejalan pendapat Yule, Mey
72
(inference). Menurut Levinson (1983: 97, implikatur percakapan adalah “ the notion
bagaimana memakai apa yang diucapkan secara lahiriah berbeda dengan apa yang
dimaksud dan pemakai bahasa itu mengerti pesan yang dimaksud. Dari ketiga pakar
secara ringkas dapat disarikan, implikatur adalah makna yang disiratkan dalam
sebuah percakapan.
tuturan dengan daya pragmatik tuturan tersebut. Kaitan ini dapat bersifat langsung
atau tidak langsung (1993: 45). Tugas pragmatik adalah menjelaskan kaitan antara
dua jenis arti tersebut yakni, antara makna harfiah dengan daya atau ilokusi. Ia
berasumsi bahwa makna dapat diperikan lewat representasi semantik sedangkan daya
implikatur itu bersifat probabilistis, karena apa yang dimaksud oleh penutur dengan
tuturannya tidak pernah dapat kita ketahui dengan pasti sekali. Hanya dengan
beberapa faktor seperti kondisi yang dapat diamati, bentuk tuturan, dan konteks,
73
mitra tutur bertugas membuat simpulan interpretasi yang paling mungkin. Dengan
tegas Leech (1993: 24), menyatakan bahwa makna (sense) yaitu makna yang
ditentukan secara semantis sedangkan daya (force) yaitu makna yang ditentukan
secara semantis dan pragmatik. Adapun ikatan antara makna dan daya perlu disadari,
bahwa daya mencakup makna, dan secara pragmatik, daya sekaligus juga dapat
Jika kita cermati sebenarnya implikatur dan daya pragmatik merupakan dua
buah batasan yang merujuk pada sebuah makna. Artinya bahwa masing-masing
batasan, baik implikatur maupun daya pragmatik secara garis besar mengacu pada
satu objek yang sama yakni, makna yang disiratkan dalam sebuah pertuturan. Dari
beberapa pakar linguistik sependapat bahwa implikatur adalah makna yang disiratkan
2. Teori Budaya.
manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia
mencakup tiga (3) substansi, yakni: a. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks
kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia
manusia.
74
dan gagasan-gagasan manusia memberikan jiwa atau pun roh dalam kehidupan
dikendalikan dan diatur oleh prinsip-prinsip nilai, norma-norma, peraturan yang telah
mempengaruhi persepsi dan penciptaan makna pada setiap peristiwa sosial, yang
makna. Sehingga keragaman budaya sebagai latar seseorang yang telah dibentuk
sejak lahir akan mempengaruhi, membentuk, dan menimbulkan sikap, perilaku, dan
Untuk memahami budaya Jawa, kita dapat mengamati dan mencermati dari
salah satu wujud kebudayaanya yang berupa seni pertunjukan tari. Dalam tari Jawa
bentuk ekspresinya pada hakekatnya terwujud berdasarkan alam emosi, yaitu bentuk
patokan antara sebelum dan sesudah, maka laju transpormasi menjadi penting
artinya. Dengan demikian tanpa jangka waktu tidak akan terjadi peristiwa perubahan.
Segala sesuatu yang dihadapi manusia di muka bumi ini dalam kehidupannya semua
suatu proses yang terus-menerus melalui dimensi waktu (Ibrahim Alfian, 1999:2).
adanya kecenderungan niat yang menghendaki suatu kehidupan yang lebih baik dari
sebelumnya. Dalam mencapai taraf hidup yang lebih baik, manusia memiliki
menjawab tuntutan kebutuhan yang muncul sesuai dengan konteks budaya yang
berlaku. Seperti kehidupan seni tradisional kita yang dapat bertahan hidup dan lebih
keperluan lain yang sifatnya terkait dengan pemenuhan kebutuhan sosial masyarakat.
saling terkait secara utuh, sehingga mampu memberikan daya apresiasi. Tari sebagai
wujud budaya yang merupakan hasil karya manusia diharapkan mampu memberikan
manfaat. Wujud karya seni sebagai ekspresi seniman memiliki beragam pesan
rupanya tidak mudah untuk dipahami untuk itu diperlukan sebuah kajian tersendiri.
Karena pada dasarnya tari dapat terwujud dari komplemen berbagai elemen. Bertolak
76
dari pandangan tersebut peneliti akan menggunakan teori budaya sebagai analisis
karya seni yakni genre tari pasihan. Kajiannya akan terkait dengan tiga komponen
yaitu seniman sebagai faktor genetik, karya seni sebagai faktor objektifnya, dan
a. Kompleks Ide.
penyusun tari sebagai muatan atau pesan pada genre tari pasihan gaya Surakarta
Adapun isi sebagai kandungan makna pada genre tari pasihan adalah nilai cinta
kasih yang merupakan salah satu nilai-nilai kehidupan yang fundamental. Nilai–nilai
yang utama dalam seni pertunjukan, tidak terkecuali seni tari. Pada analisisnya
peneliti akan mengkaji keterkaitan nilai cinta kasih yang menjadi muatan genre tari
pasihan dengan ritual perkawinan adat Jawa terutama bagi sepasang mempelai
temanten.
b. Kompleks Aktivitas.
dari manusia dalam masyarakat akan peneliti gunakan sebagai analisis faktor
afektifnya atau persepsi masyarakat terhadap sajian genre tari pasihan. Pada
secara kultur beragam pula latar belakangnya. Berbekal keberagaman latar kultur
dinamika kehidupan yang wajar dalam dunia seni pertunjukan. Terkait dengan
analisis genre tari pasihan, peneliti akan mencermati lebih fokus pada hal-hal yang
menyebabkan perbedaan dan persamaan persepsi masyarakat, serta mengapa hal itu
pada peristiwa pementasan tari duet percintaan tersebut pada ritual perkawinan adat
Jawa.
c. Benda Fisik.
analisis faktor objektif pada penelitian ini adalah karya seni yang berupa tari
Karonsih dan tari Bondhan sayuk. Karya tari tersebut terdiri dari teks verbal (teks
sastra tembang) yang berupa cakepan (syair) yang terdapat dalam pathetan,
tema, gerak tubuh (kinetic body moves), polatan, pola lantai, rias, busana, dan
iringan. Kedua aspek tersebut akan dikaji secara komplementer untuk mendapatkan
gambaran yang utuh dan jawaban yang memadahi tentang ciri karakteristik genre tari
pasihan gaya Surakarta. Selain itu untuk mengetahui makna yang terkandung dalam
teks verbal dan nonverbal genre tari pasihan dalam rangka merunut dan
Seni pertunjukan pada umumnya merupakan seni kolektif, artinya bahwa seni
pertunjukan dimaksud tidak dapat disajikan secara mandiri, akan tetapi lebih
merupakan suatu perpaduan dari beberapa cabang seni yang merupakan satu
kesatuan menjadi suatu bentuk yang utuh. Menurut Suzanne K. Langer (dalam
Widaryanto, 1998:15) bentuk dalam pengertian yang paling abstrak berarti struktur,
artikulasi sebuah hasil kesatuan yang menyeluruh dari suatu hubungan dari berbagai
dari beberapa cabang seni yang sangat fundamental, yakni meliputi: seni musik, seni
rupa, seni sastra dan seni tari. Dari berbagai cabang seni tersebut satu dengan lainnya
saling terkait, saling melengkapi dan saling mendukung sehingga membentuk suatu
penyajian tari. Adapun elemen-eleman tari, yang utama terdiri dari: tema, gerak
tubuh, polatan, rias, busana, pola lantai, dan iringan. Masing-masing elemen tersebut
saling komplementer yang pada penyajiannya akan terikat ruang dan waktu, karena
pada prinsipnya seni pertunjukan merupakan seni sesaat. Hal itu sejalan dengan
pendapat Soedarsono, yang menyatakan bahwa seni pertunjukan sebagai seni yang
hilang dalam waktu, yang hanya bisa kita nikmati apabila seni tersebut sedang
dipertunjukkan, ia sudah merupakan masalah yang cukup sulit apabila kita akan
maksud seniman maka unsur-unsur yang terdapat di dalamnya akan menjadi objek
analisis. Teori seni pertunjukan dapat mengungkap makna dari masing-masing unsur,
79
sejak dari antarunit hingga antarkomponen yang lebih besar dan keterkaitannya
untuk pengembangan temuan makna secara total. Dengan teori seni pertunjukan akan
untuk mengungkapkan dari faktor objektifnya dan faktor genetik. Adapun elemen-
elemen tari yang dimaksud antara lain dapat kita cermati berikut ini.
a. Tema
pemahaman esensi nilai-nilai kehidupan. Tema dapat ditarik dari sebuah peristiwa
atau cerita, yang selanjutnya dijabarkan menjadi alur cerita sebagai kerangka sebuah
bertolak pada sumber cerita yang pokok, antara lain: Mahabharata, Ramayana,
Babad, cerita rakyat, mitos dan sejarah. Selain sumber-sumber cerita itu terdapat
cerita-cerita fiktif yang sering diangkat dalam layar kaca, layar lebar, dan pada
pertunjukan teater-teater modern, seperti Cinderela, Si Buta dari Gua Hantu, Kiamat
bentuk gerak, di antaranya: gerak aktif, gerak kata, gerak bagian, gerak kata baru,
gerak indah, gerak tari, dan gerak praktis (Humardani, 1991: 6-9). Gerak aktif adalah
rupa sehingga lawan tergerak atau terpacu. Contohnya: angkat bahu, pejam mata,
tutup telinga dan sebagainya. Gerak kata adalah gerak-gerak aktif yang digunakan
kepala menunduk, tangan kanan memegang kening, tangan kiri memegang perut, dan
sambil duduk, dimaksudkan untuk mengungkapkan rasa sedih, bisa kecewa, bisa
menggeleng, tangan melambai. Gerak bagian adalah bagian dari gerak kata,
contohnya kepala menunduk dari rangkaian gerak kata rangkaian gerak kepala
menunduk, tangan kanan memegang kening, tangan kiri memegang perut, dan sambil
duduk. Gerak kata baru adalah gerak kata yang sudah digarap dari segi bentuk dan
diselaraskan dengan tempo, volume, dan dinamik tertentu. Gerak indah adalah gerak
penggarapan dari gerak bagian atau gerak kata sehingga mencapai pada tingkat
lepas tanpa berkaitan arti dengan gerak sehari-hari. Gerak praktis merupakan gerak
yang mengandung guna praktis. Contohnya: berlari, berjalan, karate, dan sebagainya.
yang jelas, sebagai contoh pembatasan mengenai gerak indah dengan gerak tari yang
masing-masing rupanya menghindari arti verbal maupun arti dengan gerak sehari-
hari. Hal ini tidaklah cukup beralasan, karena realitas yang kita hadapi bahwa gerak
manusia selalu konteks dengan lingkungan, sehingga arti verbal maupun nonverbal
tidak pernah akan dapat terlepas dengan gerak tubuh manusia sebagai kandungan
maksud atau makna yang hendak diekspresikan. Gerak tubuh merupakan kekayaan
makna komunikasi non verbal tanpa suara yang mampu memikat perhatian bagi
seorang seniman. Baginya tubuh merupakan objek yang tidak pernah ada habis-
81
habisnya sebagai sesuatu yang digali, dieksplorasi, dikaji, kemudian disajikan, begitu
bahannya.
Pada prinsipnya seluruh gerak tubuh dapat menjadi medium dalam tari.
Pertimbangan yang utama untuk menjadikannya gerak tubuh dan gerak nontubuh
menjadi tari adalah dengan cara mendistilisasi gerak sesuai kebutuhan ekspresi dan
melihat karakteristik gaya dengan menggarap tempo, volume, dan dinamik. Secara
garis besar gerak dalam tari dapat dibagi menjadi dua bagian secara kasar, yakni
gerak presentatif dan representatif. Keduanya hadir dalam jagad tari, namun
yang tampak sering samar-samar, hal itu sengaja dibuat untuk mengungkapkan
ekspresi seniman atau penyusun tari. Gerak presentatif merupakan bentuk gerak yang
tidak mempunyai arti secara khusus, gerak ini difungsikan semata-mata untuk
gerak yang dihasilkan dari imitasi terhadap sesuatu. Kedua bentuk gerak baik
keperluan ekspresi.
Polatan merupakan perubahan yang lebih fokus pada perubahan raut muka
atau wajah. Ekspresi wajah merupakan sarana untuk mendapatkan pemahaman lebih
baik terhadap sesuatu yang sedang dikomunikasikan terhadap komunikan. Kita akan
senang, merasa tertarik atau menolak, merasa takut atau sedang marah, dan
sebagainya. Jika kita mengetahui dan menyadari berapa banyak otot yang terdapat
pada wajah manusia, maka tidaklah mengherankan apa bila terdapat banyak pula
macam ekspresi wajah yang dapat dihasilkan (lihat Wainwright, 2006: 42). ekspresi
wajah memiliki kekuatan yang sangat besar terkait dengan penampilan karakter
peran dalam keadaan suasana tertentu yang dalam implementasinya tidak lepas dari
penari sebagai aktor yang menyajikan peran, dapat secara langsung berkomunikasi
Langendriyan. Penari lebih dominan berkomunikasi dengan media gerak, untuk itu
kesadaran awal yang harus fokus bahwa ekspresi wajah yang dibangun dari gerak
tanpa diiukuti bahasa verbal secara langsung itu harus ditopang kecerdasan,
ketajaman dan kepekaan rasa yang dimiliki sebagai modal utama yang selalu harus
diolah. Sehingga wajah sebagai media ekspresi akan selalu siap difungsikan untuk
peran yang dikehendaki. Mengingat bahwa dalam tari tradisi istana terutama peran-
peran yang karakternya tenang perubahan polatan sangat halus bahkan kerap kali
antarperan, polatan sangat berperan untuk mengekspresikan pada tingkat emosi yang
Pola lantai merupakan garis yang dibentuk dari gerak tubuh seorang penari
yang terlintas pada lantai. Garis-garis yang dibentuk penari tersebut merupakan garis
imajiner yang hanya dapat ditangkap dengan kepekaan rasa. Wujudnya bersifat ilusi
atau bayangan yang tampak menyatu luluh komplemen dengan arah gerak tubuh
penari. Pada dasarnya garis yang terbentuk pada floor design secara garis besar
terdiri dari dua pola garis dasar yaitu garis lurus dan garis lengkung (Soedarsono,
kesan atau ilusi. Garis lurus mempunyai kesan kuat dan sederhana, yang dalam
pertunjukan tari Jawa banyak digunakan dalam pola garapan tari gagah dan sebagian
pola garapan tari alus maupun tari putri yang berkarakter lanyap. Selain itu garis
lurus juga banyak digunakan untuk garapan pola-pola perangan. Sedangkan garis
lengkung lebih memberikan kesan lembut, yang dominan untuk pola lantai garapan
putri luruh dan peran alus lurus, serta banyak difungsikan dalam garapan yang
bertemakan percintaan.
e. Rias
Rias adalah strategi untuk mengubah wajah pribadi dengan alat-alat kosmetik
yang disesuaikan dengan karakter figur supaya tampil lebih percaya diri. Kadar
perubahan wajah dimaksud sangat relatif artinya bahwa pada setiap rias, masing-
dikehendaki. Menurut peneliti rias dapat diklasifikasi menjadi tiga jenis, yaitu: (1)
84
rias formal, (2) rias informal, dan (3) rias peran. Rias formal merupakan rias yang
digunakan untuk kepentingan – kepentingan yang terkait dengan urusan publik. Rias
informal adalah rias yang difungsikan untuk urusan domestik. Sedangkan rias peran
adalah bentuk rias yang digunakan untuk penyajian peran sebagai tuntutan ekspresi
pertunjukan. Bentuk rias peran lebih dikonsentrasikan untuk seni pertunjukan yang
f. Busana
Busana merupakan salah satu atribut yang dapat menunjukkan status sosial
dan identitas seseorang. Kedudukan seseorang dalam masyarakat akan tampak jika
kita perhatikan dari busana yang dipakai. Begitu pula asal seseorang dapat kita
ketahui dari gaya dan mode pakaian yang dikenakan. Selain itu busana juga memiliki
beragam warna yang dapat digunakan untuk maksud-maksud tertentu. Artinya warna
umum warna-warna dasar mempunyai sifat teatrikal dan sentuhan emosional sebagai
lantaran simbolisasi tertentu dalam budaya seni pertunjukan tari. Setidaknya dalam
tari Jawa, esensi makna yang diungkapkan dapat ditarik dari kesan yang ditimbulkan
dari warna-warna dimaksud. Warna putih mempunyai kesan suci, setia, dan juga
agresif, dan dinamis yang banyak diperuntukan tokoh-tokoh raja yang sombong,
raksasa, kesatria dan peran putri yang berjiwa dinamis. Hitam tampak memiliki
kesan bijaksana, berwibawa, dan anggun terutama untuk tokoh-tokoh putri seperti
85
Dewi Shinta, Sembadra, Drupadi, Ratu Ayu Kencana Wungu, dan lainnya. Warna
hijau mempunyai kesan segar dan tumbuh lebih hidup. Warna kuning memiliki kesan
keagungan dan kejayaan. Tampak bahwa warna memiliki kandungan makna atas
Iringan atau Gendhing beksa atau karawitan tari merupakan iringan musik
gamelan yang telah teraransir menjadi sebuah bentuk yang berupa gendhing yang
mampu memberikan kontribusi kekuatan ekspresi pada tari. Jika kita cermati lebih
ditentukan unsur medium bantunya yakni karawitan yang berfungsi sebagai iringan.
Kehadiran karawitan dalam pertunjukan tari gaya Surakarta, rupanya tidak sekadar
kontribusi kekuatan rasa yang secara komplementer menyatu dengan ekspresi tari
peran yakni: 1) nglambari, 2) mungkus, dan 3) nyawiji (lihat dalam Waridi, 2005:
Misalnya iringan pathetan yang digunakan untuk ilustrasi tokoh Sekartaji pada saat
86
pertama keluar (maju beksan) dalam suasana sedih. Mungkus pada konsep karawitan
tari lebih cenderung pada pengertian membingkai. Dalam hal ini, sajian gendhing
terutama pola-pola gerak kebar. Pola iringan yang difungsikan semacam ini dapat
diamati pada gendhing Lambangsari yang memiliki rasa riang dan gembira.
pemersatuan dua unsur menjadi satu. Adapun kedua unsur dimaksud yaitu unsur
Bentuk kristalisasi dari unsur tari dan unsur karawitan tersebut adalah untuk
pertunjukan. Dimaksudkan pada konteks ini, salah satu unsur tidak akan lebih
menonjol dari yang lain, karena pada dasarnya nilai estetis kesenian adalah sebuah
ungkapan yang utuh. Salah satu contohnya iringan Ketawang Ngrenas untuk suasana
sedih pada saat Dewi Sekartaji sedang mencari suaminya yaitu Raden Panji
menyatakan bahwa dalam tari Jawa, karawitan (yang terpadu dari unsur-unsur
melodi dalam tempo, ritme atau irama, dan volume) sebagai iringan, banyak
(1991:10).
seni pertunjukan tari Karonsih dan Bondhan Sayuk tersebut merupakan modal
87
pembentukan ciri karakteristik yang mampu membedakan tari pasihan dengan karya-
karya tari lainnya. Dengan demikian ciri karakteristik lebih mengarah pada
yang dihasilkan dari komplementer bahasa verbal dan nonverbal yang menurut
keragaman informasi yang dapat digali akan menentukan dan mewarnai dalam
menggeneralisasi teorinya.
4. Teori Komunikasi
(b) melalui pertukaran informasi; (c) untuk menguatkan sikap dan tingkah laku orang
lain; serta (d) berusaha mengubah sikap dan tingkah laku itu (lihat Book dalam
Cangara, 2007: 19-20). Sejalan dengan definisi komunikasi tersebut, Rogers bersama
Lawrence (1981), menyatakan bahwa komunikasi adalah suatu proses di mana dua
orang atau lebih melakukan pertukaran informasi dengan satu sama lainnya, yang
pada gilirannya akan terjadi saling pengertian yang mendalam. Pernyataan lebih
singkat dikemukakan oleh Shannon dan Weaver (1949), bahwa komunikasi adalah
bentuk interaksi manusia yang saling pengaruh memengaruhi satu sama lainnya,
sengaja atau tidak sengaja. Bentuk komunikasi di sini tidak terbatas pada komunikasi
bahasa verbal, tetapi juga dalam bentuk: ekspresi muka, lukisan, seni, dan teknologi.
kesamaan dengan orang lain, seperti kesamaan bahasa atau kesamaan arti dari
88
yaitu: (a) sumber, (b) pesan, (c) media, (d) penerima, (e) lingkungan, (f) efek, dan (g)
umpan balik (lihat Cangara, 2007: 24). Setiap unsur mempunyai peranan sangat
cabang seni merupakan komunikasi manusia yang cukup vital. Terfokus pada jenis
tari pasihan yang bentuknya memiliki dua unsur, yaitu: a) unsur verbal berupa sastra
tembang yang meliputi cakepan (syair) yang terdapat dalam pathetan, sindhenan,
gerongan, dan jineman dan b) unsur nonverbal yang meliputi: tema, gerak tubuh
(kinetic body moves), polatan, pola lantai, rias, busana, dan iringan merupakan media
komunikasi yang khas bagi kehidupan seniman. Komunikasi bahasa verbal yang
mengarahkan kepada kita untuk memunculkan implikatur akan guna analisis secara
pragmatik. Merujuk pada bentuk karya seni dalam hal ini tari pasihan merupakan
media komunikasi secara utuh, untuk itu, teori komunikasi akan peneliti gunakan
a. Komunikator
tari dan penari yang bertindak sebagai penutur. Baginya seorang seniman berkarya
89
dimanifestasikan dalam bentuk yang estetik. Seniman adalah manusia yang secara
Ungkapan seni dapat dilukiskan sebagai pernyataan suatu maksud, perasaan atau
pikiran dengan suatu medium indera atau sensa, yang dapat dialami lagi oleh yang
1980:21). Dari medium sensa itu seniman akan dapat menganyam impian-impian
bagi kita mengenai hal-hal yang membuai dan memikat kita senang mengamati.
berusaha menafsirkan baik secara bentuk fisik karya seni maupun nonfisik yang
berupa maksud dari penyusun tari yang kemudian disajikan dalam sebuah
pementasan pada ritual perkawinan adat Jawa. Kesesuaian atau kemungguhan figur
seorang penari dengan tokoh yang hendak diperankan merupakan syarat yang harus
diperhatikan di samping gandar atau rupa. Dengan demikian peranan penari sebagai
komunikator sangatlah penting, karena dengan kondisi yang tidak layak akan
Karya seni yang berupa genre tari pasihan merupakan sarana atau media tutur
bagi seorang seniman. Jenis tari duet percintaan yang terdapat dalam genre tersebut,
di antaranya: tari Karonsih, tari Endah, tari Lambangsih, tari Gesang Rahayu, tari
Bondhan Sayuk, tari Enggar-enggar, tari Driasmara, tari Kusuma Ratih, tari Langen
90
Asmara, tari Jayaningrat, tari Setyaningsih, dan tari Kusuma Aji. Keragaman seni
akibat dari keaneragaman media atau sarana yang didukung ide-ide kreatif estetik
seorang seniman dalam rangka memenuhi ekspresinya. Seni adalah suatu ekspresi,
suatu ungkapan. Meskipun setiap karya seni itu adalah suatu ungkapan, namun
selalu terkait atau berhubungan dengan tradisi kebudayaannya. Begitu pula genre tari
pasihan yang terdiri dari bahasa verbal dan nonverbal merupakan jenis seni
pertunjukan gaya Sala yang mengacu pada budaya istana Kasunanan Surakarta.
Lewat media bahasa verbal dan nonverbal genre tari pasihan kandungan maksud
Ungkapan yang otomatik sifatnya insting atau berlaku secara naluriah yang
dilakukan seperti orang menangis ketika didera musibah, gembira saat mendapatkan
keuntungan, itu bukan kesenian dan tidak juga estetik. Begitu pula ungkapan-
ungkapan praktis seperti menyuruh makan, mandi, dan lainnya. Adapun fokus dari
penelitian untuk disertasi ini adalah tari Karonsih dan tari Bondhan Sayuk, dengan
pertimbangan kedua jenis tari tersebut diharapkan mampu mewakili informasi genre
c. Komunikan
penanggap merupakan mitra tutur yang menghayati karya genre tari pasihan.
Seseorang dalam menghayati dengan cara mengamati sebuah karya seni (objek),
bertemu, ketika berupaya mencari suaminya Panji Inukertapi, kita merasa haru
bungkus sensa yang mampu memicu dan memacu timbulnya khayalan benda dan
emosi yang ditimbulkan lewat karya seni, kita kemudian dalam imajinasi dapat
melakukan atau mengalami. Bagi yang peka estetik seolah-olah kita dibawa
memasuki badan penari sebagai tokoh-tokoh utama tersebut, kita tidak kuasa
menolak terhipnotis dibuatnya berperan, senang tanpa paksaan sedikit pun untuk
melakukan posisi bahkan hanyut dalam aliran kenikmatan dan kepuasan jiwa. Jika
dicermati lebih dalam dari jiwa kita sendirilah sebenarnya muncul gagasan-gagasan
dan beragam rasa yang merupakan isi sebuah karya seni. Seniman menyediakan
sebuah susunan benda pacu atau lambang-lambang sensa yang diharapkan akan
Kesadaran awal yang harus menjadi fokus perhatian, bahwa komunikasi seni
atau komunikasi rasa sifatnya sangat subjektif. Artinya bahwa rasa yang disampaikan
seorang seniman tidak selalu dapat diterima sama oleh penghayat. Betapapun
92
kemantapan rasa tidak dapat diukur secara exact, namun bukan berarti tidak dapat
dianalisis secara disiplin ilmiah. Persamaan yang terjadi dalam komunikasi seni
sifatnya tidak mutlak, sehingga tafsir seni itu sifatnya multitafsir. Perbedaan maupun
beragam kemampuannya. Untuk itu, baik perbedaan atau pun persamaan komunikasi
seni yang terjadi dalam menanggapi karya tari pasihan, akan dianalisis bagaimana
B. Tinjauan Pustaka
Sumber tertulis baik yang berupa buku-buku cetakan, tesis, disertasi, dan
hasil penelitian lain yang mengkaji seni pertunjukan tari khususnya genre tari
nonpragmatik sekali pun relatif sangat minim yang relevan dengan penelitian peneliti
yang bersifat deskriptif, memuat secara umum tentang elemen-elemen tari, dan
informasi yang berarti terutama terkait dengan data bahasa verbal dan nonverbal
sebagai salah satu genre tari pasihan yang akan menjadi sasaran kajian pragmatik.
1999, penelitian ini memuat deskripsi tentang gerak, iringan, rias, busana, dan
menambah informasi mengenai vareasi ragam tari duet percintaan yang pada
yang memaparkan tentang: struktur garap tari, rias, busana, iringan, dan perubahan
terutama masalah sekaran atau vokabuler gerak dan pola lantai. Rupanya hasil kajian
ini akan menambah data untuk lebih mencermati karakteristik genre tari pasihan
nonverbal.
94
C. Kerangka Pikir
Dalam rangka mencermati permasalahan, rumusan masalah, tujuan, manfaat, ruang lingkup, kajian teori dan metodologi,
serta hasil yang hendak dicapai dalam rencana penelitian ini peneliti menggunakan kerangka pikir kritik seni holistik (Sutopo,
1995: 15-16). Sebagai berikut:
1 2 3
Jineman Iringan
MAKNA PRAGMATIK
Genre Tari Pasihan
95
Keterangan:
verbal dan nonverbal serta fungsi sebagai aplikatif muatan pesan yang hendak
2: Karya seni sebagai faktor objektifnya, dikaji tentang bahasa verbal berupa
cakepan (syair) sastra tembang yang terdapat dalam pathetan, sindhenan, gerongan,
dan jineman. Sedangkan bahasa nonverbal meliputi: tema, gerak tubuh (kinetic body
moves), polatan, pola lantai, rias, busana, dan iringan. Diharapkan kajian bagian ini
akan dapat menemukan ciri karakteristik genre tari pasihan gaya Surakarta.
ritual resepsi perkawinan. Dari hasil analisis akan dapat diketahui interpretasi makna
dari tiga faktor yakni : faktor genetik (1), faktor objektif (2), dan faktor afektif (3).
karya seni yang kemudian karya seni itu ditanggapi masyarakat. Hubungan faktor 1
dan 3 yaitu untuk mengetahui seberapa jauh tanggapan masyarakat terhadap karya
seni dan bagaimana kesesuaian antara pesan yang dimaksud seniman dengan makna
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Sasaran yang utama adalah jenis tari duet pasihan atau percintaan gaya Surakarta
yang memfokuskan pada tari Karonsih dan tari Bondhan Sayuk, seperti telah disebutkan
pada latar belakang masalah. Pertimbangan yang mendasar dari pemilihan sasaran ini
adalah banyaknya jenis atau ragam tari duet percintaan khususnya gaya Surakarta.
Dimaksudkan kedua bentuk tari pasihan tersebut dapat dikaji secara mendalam di dalam
suatu konteks dengan karakteristik tertentu. Cuplikan ini kedudukannya bukan mewakili
Keragaman jenis tari pasihan rupanya tidak dimiliki oleh daerah lain, sehingga
lebih memacu peneliti untuk meneliti topik tersebut sebagai sasaran pokok. Pertimbangan
lain bahwa tari pasihan disinyalir mempunyai kontribusi yang cukup penting dalam
sebuah ritual tradisi perkawinan adat Jawa. Pengertian gaya Surakarta di sini lebih
terfokus pada tarian yang mengakar dari tarian istana Kasunanan, tidak melibatkan Pura
Mangkunegaran. Hal ini peneliti sadari, bahwa Pura Mangkunegaran tidak mempunyai
tari semacam pasihan atau karonsihan. Pemilihan lokasi atau tempat adalah kotamadia
tempat tinggal para penyusun tari dan pakar seni yang terkait.
Secara garis besar dapat dinyatakan bahwa metode penelitian kualitatif adalah
metode pengkajian atau metode penelitian suatu masalah yang tidak didesain atau
97
awal yang harus mendapatkan perhatian bahwa penelitian kualitatif itu menggunakan
orang-orang atau masyarakat yang diteliti dalam konteks kehidupan dalam situasi yang
sebenarnya (Edi Subroto, 2007: 6). Pernyataan tersebut sejalan dengan pendapat Moleong
(2007: 15), bahwa fenomenologi merupakan pandangan berpikir yang menekankan pada
dunia. Setiap peristiwa harus dicermati dan dipahami dari beragam perspektif dari orang-
orang yang terlibat secara aktif maupun pasif dalam peristiwa tersebut. Kajian ini
dengan memperhatikan beragam alasan mengapa dan bagaimana terjadinya tafsir makna
mengenai sebuah peristiwa. Hal ini harus disadari bagi seorang peneliti agar hasil
interpretasi yang didasarkan pada nilai-nilai, minat, dan tujuan atas interpretasi orang lain
atau subjek yang diteliti yang berdasarkan juga pada nilai-nilai, minat, dan tujuan mereka
sendiri (Smith & Heshusius dalam Sutopo, 2006: 29). Validitas keputusan atau hasil
tegas, bersama-sama dengan orang lain dalam konteks intersubjektif yang di dalamnya
termasuk pula interpretasi peneliti. Pada umumnya ilmu-ilmu kebudayaan atau ilmu-ilmu
humaniora lebih banyak menggunakan metode kualitatif (Edi Subroto, 2007: 5). Hal itu
rupanya cukup beralasan, karena tujuan pengkajian ilmu-ilmu humaniora adalah membuat
98
Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan dan tujuan yang hendak dicapai
dalam penelitian ini lebih mengarah pada bagaimana memahami makna bahasa verbal dan
nonverbal genre tari pasihan gaya Surakarta. Untuk menjawab persoalan tersebut peneliti
akan memahami lebih rinci dan mendalam baik kondisi maupun proses dan juga saling
keterkaitannya mengenai hal-hal pokok yang ditemukan di lapangan, mencakup tiga aspek
yakni genetik, objektif, dan afektif. Dengan demikian bentuk penelitian ini merupakan
penelitian kualitatif deskriptif dengan pendekatan kritik holistik yang secara fokus,
lengkap, dan seimbang mengkaji tiga faktor yaitu genetik, objektif, dan afektif sebagai
sumber aliran nilai. Ketiga komponen tersebut tidak dipisahkan dalam kesatuan nilai
karya, tetapi tidak digunakan sebagai standar nilai, melainkan sebagai sumber informasi
dalam aktivitas evaluasi. Tiga sumber nilai ini wajib dikaji secara lengkap dan seimbang
supaya tidak terjadi kepincangan evaluasi (Sutopo, 1995: 8-15). Merujuk pada pola pikir
pendekatan kritik holistik, secara operasional peneliti akan mendeskripsi secara rinci dan
mendalam mencakup masalah bahasa verbal berupa cakepan (syair) yang terdapat dalam
tema, gerak tubuh (kinetic body moves), polatan, pola lantai, rias, busana, dan iringan
(faktor objektif). Latar belakang konsep penciptaan bahasa verbal dan nonverbal dan
pesan makna yang hendak disampaikan lewat karya seni (faktor genetik). Persepsi
masyarakat terhadap kehadiran genre tari pasihan dalam kehidupan sosial (faktor afektif).
Selain itu juga bagaimana komplementernya dari ketiga aspek tersebut untuk
makna pragmatik genre tari pasihan gaya Surakarta sebagai sebuah hasil akhir penelitian.
Dengan demikian bentuk penelitiannya bersifat dasar (basic research), adapun jenis
penelitian dengan strategi yang paling tepat adalah penelitian kualitatif deskriptif. Jenis
penelitian ini akan mampu menangkap berbagai informasi kualitatif dengan deskripsi teliti
dan penuh nuansa, yang lebih berharga daripada sekadar pernyataan jumlah atau pun
sekadar frekuensi dalam bentuk angka (lihat Sutopo, 2006: 40). Rupanya sangat tepat
pilihan peneliti untuk menggunakan metode kualitatif karena objek kajiannya merupakan
cabang dari ilmu-ilmu humaniora yang sarat dengan makna dalam kehidupan. Hal ini
sejalan dengan pendapat Edi Subroto bahwa ilmu-ilmu humaniora berusaha memahami
realitas sosial dan realitas budaya dalam rangka memahami masalah-masalah sosial dan
Strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus tunggal.
Pertimbangan yang mendasar dari kasus tunggal, karena sekali pun genre tari pasihan
atau karonsihan jenisnya terdiri dari beragam tari duet percintaan seperti: Tari Karonsih,
tari Endah, tari Lambangsih, tari Gesang Rahayu, tari Bondhan Sayuk, tari Enggar-
enggar, tari Driasmara, tari Jayaningrat, tari Kusuma Ratih, tari Setyaningsih, tari
Langen Asmara, dan tari Kusuma Aji, namun memiliki karakteristik yang sama. Di
samping itu, karena permasalahan dan fokus penelitian telah ditentukan dalam proposal
sebelum peneliti terjun ke lapangan artinya peneliti telah terpancang, tidak seperti
penelitian eksploratif yang mana peneliti sama sekali tidak mengetahui apa yang terjadi di
lapangan (grounded search) maka penelitian kasus ini lebih khusus disebut studi kasus
C. Sumber Data
Data atau informasi yang paling dibutuhkan akan dikumpulkan dan dianalisis
dalam penelitian ini adalah berupa data kualitatif. Data kualitatif merupakan data lunak
dari orang yang diteliti (Edi Subroto, 2007: 6). Data akan diperoleh peneliti dengan cara
bagaimana terjadinya. Dengan cara itu peneliti tidak akan berasumsi bahwa sesuatu itu
sudah memang demikian keadaannya (Moleong, 2007: 11). Data yang dikumpulkan
terutama berwujud bahasa verbal dan nonverbal. Tindak tutur mencakup cakepan (syair):
pathetan, sindhenan, gerongan, dan jinemal sebagai bahasa verbal. Sedangkan bahasa
nonverbal berupa: tema, gerak tubuh (kinetic body moves), polatan, pola lantai, rias,
busana, dan iringan. Adapun data informasi yang dikumpulkan akan terkait tiga faktor
Sumber informasi genetik pada penelitian ini adalah para penyusun tari pasihan,
terutama terkait dengan latar belakang konsep penciptaan teks verbal dan nonverbal,
fungsi, serta pesan makna yang hendak disampaikan lewat karya seni.
Sumber informasi objektif pada penelitian ini adalah seni pertunjukan tari, yang
hendak dikaji dari jenis informasi data teks sastra tembang dan unsur-unsur tari yang
meliputi: a) jenis-jenis tindak tutur yang digunakan, b) jenis tindak tutur yang dominan
dan mengapa terjadi dominasi, c) realisasi prinsip kerja sama dan prinsip kesantunan
gerak, g) bentuk rias, h) jenis warna dan bentuk busana yang dipakai, i) jenis-jenis floor
Sumber informasi afektif terdiri dari pakar, penonton umum, dan penanggap tari
pasihan. Faktor afektif ini akan difokuskan pada persepsi masyarakat penghayat, yang
terdiri dari: pakar, penonton umum, dan penanggap tari pasihan dalam rangka memahami
budayanya. Informasi tersebut akan digali dari beberapa sumber data yang akan
atau dialeknya sendiri dan menjadi sumber informasi (1997: 35). Berbeda dengan
responden yang sekadar memberikan jawaban secara terbatas dan terikat oleh bentuk-
bentuk pertanyaan yang telah disusun secara ketat seorang peneliti. Dalam penelitian
kualitatif, manusia sebagai Informan atau narasumber posisinya sangat penting dalam
rangka memberikan informasi yang dimiliki. Peneliti dan narasumber memiliki posisi
peneliti, tetapi mereka dapat memilih arah dan selera dalam memberikan informasi yang
dimiliki (Sutopo, 2006: 57-58). Narasumber harus dipilih orang yang handal di
bidangnya, dapat dipercaya baik dari segi pengetahuannya maupun kejujuran secara
umum dan secara khusus dalam memberikan data yang akurat serta bersifat tidak
menggurui (Fatimah Djajasudarma, 1993: 20). Oleh karena itu seorang peneliti harus jeli
dalam menentukan informan, karena posisi informan dengan beragam peran dan
namun yang lebih substansial adalah kualitas informasi yang dibutuhkan, memadahi
102
tidaknya data yang diberikan. Berdasarkan akses informasi yang diperlukan tersebut
narasumber yang peneliti pilih dalam penelitian ini terdapat empat kelompok meliputi:
peristiwa, aktivitas, atau perilaku sebagai sumber data yang terkait dengan sasaran
penelitian. Dari pengamatan langsung sebuah peristiwa pertunjukan tari pasihan, yang
harus dicermati meliputi aspek gerak, rias, busana, iringan, pola lantai, penghayat, dan
bahasa verbalnya yang akan dilakukan secara berulang untuk mendapatkan sumber data
tari tersebut merupakan sumber primer untuk analisis menyeluruh, baik faktor genetik,
akademis.
Tempat yang menjadi sasaran penelitian ini terutama terdapat pada sebuah upacara
Surakarta. Tempat terjadinya peristiwa pertunjukan tari pasihan pada upacara ritual
4. Artifak.
seniman dalam rangka mengekspresikan isi hatinya yang sudah barang tentu telah
103
kelengkapan, yang terlibat dalam peristiwa atau aktivitas pertunjukan genre tari pasihan,
Artifak yang bersifat primer, terdiri dari: boneka anak (baby), busana tari, dan
gamelan. Salah satu artifak yang sangat berharga sebagai sumber data yang
memungkinkan dapat dilacak informasinya untuk diungkap lebih dalam adalah boneka.
Artifak yang berupa boneka yang terbuat dari bahan plastik yang dibalut dengan sehelai
memiliki makna yang dalam terkait dengan sepasang mempelai temanten. Prediksi
peneliti sementara bahwa artifak yang berupa boneka pada tari Bondhan Sayuk memiliki
daya pragmatik.
Selain itu, artifak yang layak menjadi sumber data adalah busana tari. Keberadaan
busana tari yang sering dipakai penari dapat dilacak dengan maksud untuk mencermati
seberapa jauh keterkaitannya dengan makna yang hendak disampaikan seniman terhadap
penghayat. Asumsi peneliti bahwa dari bentuk atau mode busana tari akan dapat memberi
gambaran tentang peran atau tokoh sedangkan dari warna dapat dicermati makna
simbolisnya.
Seperangkat gamelan (gamelan ageng) yang memiliki laras Slendro dan Pelog
sebagai musik iringan tari merupakan artifak yang memegang peranan cukup penting
dalam mewujudkan terselenggaranya pertunjukan tari pasihan. Dalam hal ini gamelan
mempunyai peranan cukup primer dalam rangka mengaktualisasikan genre tari pasihan.
104
Dokumen dan arsip biasanya merupakan bahan tertulis yang bergayutan dengan
peristiwa atau aktivitas tertentu (Sutopo, 2006: 61). Data tertulis yang berupa dokumen
ataupun arsip yang terkait dengan peristiwa pertunjukan tari pasihan yang dapat dilacak
pewayangan, babad, maupun serat. Selain itu juga data yang berupa bahasa verbal seperti
Dokumen yang sifatnya tidak tertulis yang terkait dengan pertunjukan tari
pasihan, berupa data rekaman baik yang bersifat audio maupun yang berwujud visual.
Data rekaman yang berupa audio, antara lain beragam kaset ataupun CD iringan tari.
Sedangkan data rekaman yang berupa audio visual kaset VCD, merupakan rekaman
beragam tari duet percintaan gaya Surakarta yang termasuk bagian genre tari pasihan.
Sumber data yang berupa dokumen dan arsip tersebut akan peneliti gunakan sebagai
Berangkat dari keragaman sumber data yang perlu digali tersebut menuntut
strategi atau teknik pengumpulan data yang sesuai dengan sumber datanya untuk
mendapatkan data yang mampu menjawab permasalahan yang telah diajukan. Dalam
penelitian kualitatif ini peneliti akan menggunakan berbagai teknik berdasarkan sumber
data dalam pengumpulan datanya. Adapun teknik pengumpulan data yang sesuai dengan
penelitian kualitatif dan jenis sumber data yang dimanfaatkan adalah sebagai berikut:
105
Manusia sebagai nara sumber atau informan merupakan sumber data yang sangat
Wawancara merupakan salah satu jenis pengumpulan data yang bersifat lentur dan
terbuka, tidak terstruktur ketat, tidak dalam suasana formal, dan dapat dilakukan berulang
pada informan yang sama (Patton dalam Sutopo, 2006: 228). Sebelum wawancara,
peneliti terlebih dulu berupaya mengenal karakteristik dari masing-masing informan yang
telah ditetapkan untuk menjalin keakraban dan kedekatan emosional sehingga dapat
Selain itu persiapan awal untuk menggali informasi, peneliti secara garis besar merancang
hal-hal yang lebih rinci. Jenis pertanyaan yang dipersiapkan tidak mengikat namun lebih
digunakan sebagai petunjuk secara garis besar tentang proses dan isi wawancara untuk
2007: 187). Adapun wawancara akan dilakukan dengan empat jenis kelompok, yaitu: a.
kelompok penyusun tari, b. kelompok penari atau penyaji, c. kelompok pakar, dan d.
2. Observasi
secara pasif dan aktif. Berperan pasif peneliti hanya hadir di lapangan bertindak sebagai
106
pengamat secara formal dan informal untuk mengamati kegiatan dan peristiwa
pertunjukan tari pasihan agar mendapatkan data yang mantap dari fenomena yang terjadi
di lapangan. Bentuk peran aktif dalam penelitian ini peneliti mengambil peran sebagai
turut berlatih untuk mengamati dan mengetahui ciri karakteristik tindak tutur dan lebih
fokus terhadap elemen-elemen genre tari pasihan, sehingga mendapat data secara akurat.
dokumen rekaman tari pasihan. Teknik simak dan catat dalam kegiatan ini akan
dimanfaatkan terkait data bahasa verbal dan nonverbal. Teknik ini secara garis besar
digunakan peneliti untuk setiap aktivitas yang terkait dengan pengumpulan data, baik
sebagai langkah awal pencatatan secara global masalah-masalah yang dianggap penting
yang selanjutnya akan selalu dikembangkan pada analisis untuk dijabarkan secara rinci
mendalam.
Data yang berupa dokumen ataupun arsip yang terkait dengan peristiwa
pertunjukan tari pasihan yang dapat dilacak dalam perpustakaan, berujud sumber cerita
yang terkait dengan ceritera Panji. Adapun sumber data yang diharapkan mampu
memberikan gambaran liku-liku kehidupan Panji dan Sekartaji, di antaranya: cerita Panji
dalam Perbandingan (1968) dan Panji Sekar (1979). Dokumen lain berupa kaset tape
recorder yang memuat iringan tari jenis pasihan, seperti: kaset “Karonsih“ (ACD – 114)
dan kaset “Beksan Enggar-enggar” (WD – 530). Selain itu dimungkinkan juga terdapat
pada babad, serat atau naskah, akan dicatat dan dianalisa untuk memahami keterkaitannya
4. Perekaman
Teknik pengumpulan data dengan rekaman terutama dengan alat video dan
rekaman suara merupakan metode yang cukup penting karena akan membantu peneliti
dalam rangka memperjelas deskripsi berbagai aktivitas dan situasi di lapangan. Bentuk
rekaman video yang diutamakan adalah peristiwa berlangsungnya pertunjukan khusus tari
Karonsih dan tari Bondhan Sayuk. Rekaman ini dimaksudkan untuk lebih mencermati
peristiwa pertunjukan berdasarkan natural setting artinya sasaran penelitian harus tetap
berada pada kondisi aslinya secara alami (Sutopo, 2006: 37) (lihat Moleong, 2007: 8;
Fatimah, 1993: 11). Adapun kegiatan ini adalah merekam bentuk tari Karonsih dan tari
Bondhan Sayuk untuk dianalisis bahasa verbal dan nonverbal dari masing-masing bentuk
tari tersebut. Dari kajian bentuk tari Karonsih dan tari Bondhan Sayuk ini dimaksudkan
untuk menjawab rumusan masalah terkait dengan pertanyaan yang mengarah pada faktor
objektif. Selain itu rekaman tari pasihan tersebut juga untuk mengembangkan pertanyaan
yang mengarah pada faktor genetik dan faktor afektif. Hal ini dilakukan untuk mencari
dan menemukan korelasi dari ketiga faktor yaitu genetik, objektif dan afektif sebagai
dasar menentukan makna genre tari pasihan dalam upacara resepsi perkawinan.
dengan pertimbangan konsep teoretis yang digunakan, keingintahuan pribadi peneliti, dan
karakteristik empirisnya. (Goetz & Le Compte dalam Sutopo, 2006:229). Untuk itu dalam
lebih mampu menangkap kelengkapan dan kedalaman data di dalam menghadapi realitas
yang tidak tunggal. Pemilihan sampel diarahkan lebih fokus pada sumber data yang
108
dipandang memiliki data penting yang terkait dengan permasalahan yang sedang diteliti.
Untuk itu peneliti dituntut memahami peta sumber yang tersedia, dalam beragam
posisinya, karena setiap posisi akan memiliki akses informasi yang berbeda. Purposive
menyusun teori yang dibentuk dari lapangan (grounded theory) dengan sangat
bilamana generelisasi harus dilakukan, maka arahnya cenderung sebagai generalisasi teori
(Sutopo, 2006).
wawasan dalam suatu permasalahan yang dikaji sehingga informasi yang diperoleh betul-
betul mantab kualitasnya. Oleh karena itu dalam penelitian kualitatif ini peneliti memilih
informan yang diharapkan mampu memberikan informasi yang memiliki kedalaman dan
keakuratan data guna menjawab permasalahan yang diajukan, secara tuntas dan valid.
Sumber lain akan dipilih berdasarkan pertimbangan ketepatan dan kelengkapan datanya.
Adapun sejumlah informan dan informasi yang dibutuhkan dari informan tersebut lihat
hal: 56-57.
F. Validitas Data
dalam penelitian kualitatif ini digunakan teknik trianggulasi data atau sumber, trianggulasi
metode, dan trianggulasi teori dari empat jenis trianggulasi yang ditawarkan Patton
(dalam Sutopo, 2006: 92). Trianggulasi data atau sumber mengarahkan peneliti dalam
mengumpulkan data harus menggunakan beragam sumber data artinya data yang sejenis
109
akan lebih mantab kebenarannya apabila digali dari beberapa sumber data yang berbeda.
Untuk mengetahui alasan mengapa terjadi dominasi salah satu jenis tindak tutur dalam
bahasa verbal tari pasihan, peneliti membutuhkan informasi dari informan yang berbeda
di antaranya dari penyusun tari pakar, dan penanggap. Data yang terkumpul kemudian
dikomparasikan untuk mengkaji alasan yang tepat guna menjawab secara akurat terkait
dengan fungsi bahasa verbal dalam pertunjukan tari pasihan. Selain itu, untuk memahami
makna tari pasihan, peneliti menggunakan tiga informan yang berbeda yaitu: penyusun
tari, pakar tari, dan masyarakat umum. Informasi dari ketiga informan tersebut kemudian
atau metode pengumpulan data pada data yang sejenis. Di sini yang diutamakan adalah
penggunaan metode pengumpulan data yang berbeda, bahkan lebih jelas untuk diusahakan
mengarah sumber data yang sama untuk menguji kemantapan informasinya. Salah satu
bentuk aplikasi dalam penelitian ini, untuk menemukan ciri karakteristik bahasa verbal
dan nonverbal genre tari pasihan dari informan seorang penari, peneliti menggunakan
metode pengumpulan data dengan mencatat dokumentasi atau arsip yang berupa data
bahasa verbal dan nonverbal kemudian melakukan wawancara secara mendalam, dan
observasi di lokasi ketika penari tersebut sedang menyajikan tari pasihan. Data sementara
yang diperoleh dari ketiga metode yang berbeda pada sumber data atau informan yang
sama, akan dikomparasikan dan ditarik simpulan data yang lebih kuat dan mantap
validitasnya.
110
mendalam, tidak hanya sepihak dan bersifat monoperspektif, tetapi dengan beberapa teori
yang digunakan sebagai alat kajian sehingga muncul multiperspektif. Karena setiap teori
memiliki perspektif yang khusus, artinya berbeda suatu teori beragam pula cara
pandangnya, untuk itu diperlukan beberapa perspektif teori guna memperoleh hasil
makna yang tersirat dalam tari pasihan harus menganalisis terhadap bahasa verbal dan
nonverbal dengan menggunakan empat teori yaitu: (1) teori pragmatik, (2) teori budaya,
(3) teori seni pertunjukan, dan (4) teori komunikasi. Keempat teori tersebut akan
berfungsi sebagai alat kajian dan bekerja secara komplementer untuk menemukan makna
tunggal yang menempatkan posisi setiap temuan berada pada satu kesatuan konteks (lihat
hal: 14).
G. Teknik Analisis
dibentuk dari semua informasi yang diperoleh dari lapangan. Analisisnya tidak untuk
membuktikan kebenaran hipotesis yang telah diajukan dalam proposal penelitian, tetapi
seluruh hasil simpulan yang dibuat dan teori yang mungkin dikembangkan, dibentuk dari
temuan dan kumpulan data di lapangan digunakan untuk dasar pemahaman dan
mementingkan apa yang sebenarnya terjadi dan ditemukan di lapangan yang pada
Proses analisis dilakukan bersamaan sejak awal dengan proses pengumpulan data,
dengan melakukan beragam teknik refleksi untuk pemantapan simpulan awal dan
perluasan serta pendalaman data bagi pengumpulan data berikutnya. Aktivitas refleksi
dari setiap data yang telah terkumpul pada dasarnya merupakan kegiatan analisis yang
semakin berkembang, sehingga data yang hendak disajikan sebagai laporan, sudah
merupakan hasil dari analisis yang berkelanjutan pada proses pengumpulan data.
Analisis dilakukan dalam bentuk interaktif, artinya setiap unit data yang terkumpul
selalu dikomparasikan dengan unit data lainnya untuk menemukan beragam hal yang
keterkaitan antarunsurnya dan sebagainya). Sejak diperoleh data dalam unit yang paling
kecil sudah mulai dikomparasikan hingga pada unit-unit atau kelompok data yang besar
interaktif juga mengkomparasikan data yang didapat dari wawancara, observasi, arsip
maupun dokumen dan lainnya untuk mendapatkan pemantapan simpulan yang kemudian
analisisnya meliputi reduksi data, sajian data, penarikan simpulan dan verikasinya, atau
Pada penelitian kualitatif kasus tunggal tentang genre tari pasihan gaya Surakarta
ini, setelah peneliti mendapatkan data pada unit-unit hingga kelompok yang besar,
misalnya tanggapan ciri-ciri karakteristik bahasa verbal dan nonverbal genre tari pasihan
rujukannya untuk simpulan yang mantap dengan melihat keterkaitannya tujuan penelitian
yang telah dirumuskan yaitu untuk menemukan ciri karakteristik genre tari pasihan gaya
antarfaktor-faktor utama dari: implikatur tindak tutur verbal dan nonverbal, fungsi dan
persepsi masyarakat, untuk menarik makna pragmatik sebagai hasil analisis akhir
Pengumpulan data
(1) (2)
Penarikan
Simpulan/verifikasi
Keterangan:
Pengumpulan data yang dilakukan adalah mencatat dengan rinci, kritis, dan
lengkap dengan kata-kata kunci. Selain itu, mengembangkan hasil wawancara yang
kelompok dengan rumusan singkat. Selain itu membandingkan data antarkelompok untuk
Sajian data, disusun berdasarkan kelompok data yang sudah dirumuskan (reduksi
masalah, yang dikembangkan berdasarkan temuan-temuan dari setiap kelompok data dan
disajikan dalam bentuk narasi lengkap dan bukan sajian bahan mentah.
reduksi data untuk menyimpulkan makna tunggal yang menempatkan posisi setiap
BAB IV
BAHASA VERBAL DAN NONVERBAL GENRE TARI PASIHAN GAYA
SURAKARTA
Genre tari pasihan gaya Surakarta merupakan habitat dari jenis-jenis karya tari
duet percintaan atau tari pasihan. Adapun bentuk genre tari pasihan terdiri dari tari duet
percintaan, yakni seperti: tari Karonsih, tari Endah, tari Enggar-enggar, tari Kusuma
Aji, tari Lambangsih, tari Driasmara, tari Gesang Rahayu, tari Bondhan Sayuk, tari
Kusuma Ratih, tari Jayaningrat, tari Langen Asmara dan tari Setyaningsih.
Dalam penelitian ini peneliti terfokus pada dua jenis tari pasihan, yaitu tari
Karonsih dan tari Bondhan Sayuk. Pemilihan kedua jenis tari Karonsih dan tari Bondhan
Sayuk, diharapkan mampu menjawab rumusan masalah dari kajian pragmatik bahasa
verbal dan nonverbal genre tari pasihan gaya Surakarta. Secara garis besar bentuk tari
Karonsih dan tari Bondhan Sayuk banyak persamaannya, yang sudah barang tentu juga
Pada dasarnya bentuk tari Karonsih dan tari Bondhan Sayuk sebagai bagian seni
pertunjukan genre tari pasihan gaya Surakarta memiliki beberapa aspek di antaranya
aspek sastra tembang sebagai bahasa verbal yang berupa cakepan (syair): pathetan,
sindhenan, gerongan, dan jineman. Sedangkan aspek bahasa nonverbal meliputi: tema,
gerak tubuh (kinetic body moves), polatan (ekspresi wajah), pola lantai, rias, busana, dan
iringan karawitan.
Aspek bahasa verbal dan nonverbal tari Karonsih dan tari Bondhan Sayuk
merupakan komposisi dua komponen yang menyatu dalam bentuk seni pertunjukan.
Bagi seniman komposit dari bahasa verbal dan nonverbal yang terdapat pada tari
115
Karonsih dan tari Bondhan Sayuk merupakan kesatuan makna yang utuh dan berfungsi
sebagai sarana komunikasi untuk hiburan dan suritauladan. Untuk menjelaskan tentang
seluk-beluk bahasa verbal dan nonverbal pada kedua jenis tari Karonsih dan tari
Bondhan Sayuk, peneliti hendak menggali dan mengungkap data dari infoman
A. Faktor Objektif
I. Tari Karonsih
Tari Karonsih merupakan tari tradisi gaya Surakarta jenis pasangan silang jenis
karakter putri luruh dengan putra alus luruh yang bertemakan percintaan Dewi Sekartaji
dengan Panji Inukertapati. Karya tari Karonsih merupakan hasil susunan Maridi pada
awal tahun 1970, ketika beliau mendapat permintaan dari keluarga Kalitan, untuk
menyajikan sebuah tari yang sesuai untuk kebutuan resepsi perkawinan Ibnu Harjanto
adik Tien Suharto istri mantan presiden Indonesia yang ke dua (wawancara Maridi,
1991). Jika dicermati lebih lanjut pertunjukan tari Karonsih dapat dibagi menjadi
3) adegan bahagia, yang merupakan klimaks dari seluruh adegan. Pembagian adegan di
sini berdasarkan suasana-suasana yang dibangun lewat garap gendhing dan makna sastra
tembang. Bentuk tari Karonsih terdiri dari dua komponen pokok, yakni sastra tembang
yang merupakan bahasa verbal dan elemen-elemen lain yang terkait dan menunjang
a. Bahasa Verbal.
Teks sastra tembang yang merupakan bahasa verbal tari Karonsih, terdiri dari
beberapa bait syair yang terdapat pada garap lagu, yakni: (1) pathetan: sakpada (satu
116
bait), (2) garap sindhenan Pangkur Ngrenas: sakpada, (3) garap sindhenan. Kinanthi
Sandhung: rongpada (dua bait), dan (4) garap gerongan Lambangsari: rong pada. Dari
masing-masing bait syair tembang tersebut memiliki garap lagu atau watak lagu yang
berbeda-beda. Bahasa verbal yang berupa tembang Jawa tersebut terurai menjadi
beragam jenis tindak tutur dan beragam makna yang dikandungnya, seperti jabaran
berikut ini.
Terjemahan:
Si cantik Dewi Sekartaji
Pergi dari kerajaan
Si cantik Dewi Sekartaji
Pergi dari kerajaan
Mencari suaminya, Inukertapati
Menangis tersedu-sedan.
Jenis – jenis Tindak Tutur (TT) yang melekat pada teks Pathetan Wantah
Konteks.
Identifikasi / latar.
tuturan.
sebagai figur seorang wanita, istri yang sangat setia terhadap suami.
g. Gerak: Dewi Sekartaji keluar dari pojok belakang kanan stage menuju
Implikatur.
Jengkar sking kedhaton: merupakan pernyataan perbuatan atau tindakan dari keluarga
Mendranira: adalah sebuah tindakan yang didasari dari rasa tidak puas terhadap
sesuatu.
Prinsip kerja sama berdasarkan bahasa verbal pada Pathetan Wantah dapat diungkap:
strategi:
Terjemahan:
Wahai Sang Hyang Dewata
Kasihanilah hambamu yang baru sedih
Ditinggal suami
Yang menjadi buah hati
Hamba tidak dapat berpisah
Jika tidak dapat bertemu
Lebih baik mati
120
Konteks.
Identifikasi / latar.
c. Tujuan: Dewi Sekartaji dalam situasi yang rindu, sedih, pasrah, dan
sebagai figur seorang wanita, istri yang sangat setia terhadap suami.
Implikatur.
Gantilaning tyas: merupakan kekasih sebagai belahan jiwa yang diharapkan dapat
bertanggungjawab.
122
Aginggang sarambut: merupakan pernyataan hubungan cinta kasih yang sangat erat dan
kesetiaan seseorang.
Aluwung tumekeng lalis: sebuah pernyataan yang dilandasi emosional atau ketulusan
bukti kesetiaan.
Implikatur teks Pangkur Ngrenas adalah menggambarkan Dewi Sekartaji dalam situasi
Prinsip kerja sama berdasarkan bahasa verbal pada Sindhenan Pangkur Ngrenas
dapat diungkap:
menggunakan strategi:
Cakepan b.
Wus dangu pun kakang wuyung
Marang yayi wanodya di
Tuhu wanita utama
Mustikaning para putri
Muga tansah pinaringan
Kanugrahan kang salami
Terjemahan:
Syair a.
Wahai istriku
Mengapa berpaling tidak menghiraukan
Kemari tataplah wajah kakanda
Sudah lama rindu
Tidak biasa adinda marah
Apa persoalannya
124
Syair b.
Sudah lama kakanda jatuh asmara
Kepada adinda wanita yang cantik
Engkau wanita utama
Menjadi suritauladan para wanita
Semoga selalu diberi
Kebahagiaan selamanya
Konteks.
Identifikasi / latar.
tuturan.
c. Tujuan: menyatukan kembali kasih asmara antara suami dengan istri yang
pernah berpisah.
126
sebagai figur seorang wanita, istri yang sangat setia terhadap suami.
muka pada posisi centre stage. Datang Panji dari belakang, ulap-ulap
tangan kiri – kanan, besut, laras genjot, dan kengser ke kanan. Suasana
berdiri srisik, nyabet ukel karna kanan, maju lumaksono, srisik, tangan
nyaut jeblos (tukar tempat) lalu Sekartaji memberikan sampur dan segera
kemudian melepas kedua tangan dan srisik yang segera dikejar Panji
kedua tangan, laku enjer saling menjauh, tangan kiri menthang, tangan
kiri, maju, adu tangan kiri nekuk, srisik melingkar, kanthen tangan kanan.
wajah Sekartaji dan Panji tampak cerah dan gembira, pandangan dan
Implikatur.
Kadingaren: merupakan perbuatan atau tindakan seseorang yang tidak biasa dilakukan.
Implikatur teks Kinanthi Sandhung tersebut adalah: a) Dewi Sekartaji marah terhadap
Prinsip kerja sama berdasarkan bahasa verbal pada Sindhenan Kinanthi Sandhung,
dapat diungkap:
menggunakan strategi:
Cakepan a.
Cakepan b.
Pra wanita marsudiya marang tindak kang utama
Setya tuhu marang garwa dadi rowang kang sembada
Ingkang bisa nujuprana weh reseping pamicara
Nora kengguh ing panggodha darbe budi kang santosa
Balik priya nimbangana ngayomi mring rabinira
Datan kemba asih tresna sung tentreming kulawarga
Sang pekik wah sang dyah ayu dangu samya bagyaharja
Tan kendhat tansah meminta kanugrahan ing Hyang Sukma
129
Terjemahan:
Syair a.
Para wanita supaya selalu berbuat kebajikan
Selalu setia terhadap suami, menjadi pasangan yang bertanggungjawab
Yang bisa menarik hati membuat harmonis dalam pembicaraan
Tidak tergoda, memiliki sikap yang teguh
Gantian pria berilah keseimbangan sebagai pengayom dalam perkawinan
Tidak acuh, saling mencintai menuju ketetraman keluarga
Sudah saling setia dalam bercinta
cinta itu adalah nilai yang universal
Syair b.
Para wanita supaya selalu berbuat kebajikan
Selalu setia terhadap suami, menjadi pasangan yang bertanggungjawab
Yang bisa menarik hati membuat harmonis dalam pembicaraan
Tidak tergoda, memiliki sikap yang teguh
Gantian pria berilah keseimbangan sebagai pengayom dalam perkawinan
Tidak acuh, saling mencintai menuju ketetraman keluarga
Sang kesatria (Panji) dan sang Dewi Sekartaji sudah lama hidup bahagia
Tiada henti selalu meminta kebahagiaan kepada Yang Maha Kuasa
(Pt)
4,14 Dewi Datan kemba asih tresna Direktif datan kemba
Sekartaji sung tetreming kulawarga
(Pt)
4.15 Narator Sang pekik wah sang dyah Asertif samya
ayu dangu samya bagyaharja
bagyaharja
4.16 Narator Tan kendhat tansah Direktif meminta
meminta kanugrahan ing
Hyang Sukma
Konteks.
Identifikasi / latar.
sebagai figur seorang wanita, istri yang sangat setia terhadap suami.
e. Tempat: di kerajaan.
suasana bahagia yang tercermin dalam rasa gembira, seperti motif gerak:
Panji.
saling melempar senyum sebagai tanda cinta, mesra, damai dan bahagia.
Implikatur.
senang.
Implikatur teks Gerongan Lambangsari terdiri dari: 1) Tipe seorang istri yang ideal
keluarga. 3) Nilai cinta adalah sebuah nilai universal yang dapat dijadikan
seimbang.
dapat diungkap:
menggunakan strategi:
Dari penjabaran teks verbal yang terdapat dalam tari Karonsih terdapat beragam
jenis tindak tutur yang dapat peneliti klasifikasikan secara kuantitatif jenis tindak tutur
Berdasarkan prinsip kerja sama bahasa verbal yang terdapat tari Karonsih.
sejak adegan awal sampai akhir, penonton akan dapat menangkap makna dari
penutur, tidak langsung, terlalu panjang, dan pernyataannya samar, hal ini
Prinsip kesantunan berdasarkan bahasa verbal pada tari Karonsih tidak terpenuhi, hanya
menggunakan strategi:
b. Bahasa Nonverbal
dari: tema, kinetic body moves, polatan (ekspresi wajah), rias, busana, pola lantai, dan
iringan. Untuk memahami masing-masing elemen berikut secara parsial akan dipaparkan
secara komprehensif.
136
1. Tema percintaan yang diangkat dari babad Panji yang mengisahkan perjalanan
cinta Dewi Sekartaji dengan Panji Inukertapati merupakan alur cerita yang disajikan
dalam tari Karonsih. Cerita Panji adalah merupakan karya sastra yang sangat terkenal di
terdapat banyak versi tentang cerita Panji, terutama di Pulau Jawa. Di Jawa Timur pada
Majapahit (abad X sampai ke XVI), cerita Panji ini sangat terkenal dalam sebuah
garapan dramatari yang disebut Raket. Munculnya cerita Panji pada zaman kejayaan
Majapahit merupakan pernyataan yang cukup kuat, hal ini didukung pendapat
Poerbatjaraka: bila kita kumpulkan seluruh bahan keterangan untuk menentukan waktu
timbulnya cerita Panji, kesimpulan satu-satunya bahwa redaksi yang pertama kali
disusun pada zaman kejayaan Majapahit. Timbulnya cerita Panji dipandang sebagai
Di Jawa Tengah, cerita Panji ini berkembang sejak Mataram pecah menjadi dua
kedua kerajaan Yogyakarta dan Surakarta, cerita Panji dikenal dalam cerita Andhe-
andhe Lumut, Keong Emas, Jaka Bluwo, dan Kethek Ogleng. Sekarang cerita Panji di
wilayah Jawa Timur yang merupakan sumber awal cerita tersebut dikenal dengan cerita
Ragil Kuning dan Kilisuci. Wilayah Bali cerita Panji banyak dikenal dengan sebutan
Malat (Poerbatjaraka, 1968: 290). Di daerah Pasundan cerita Panji tersebut lebih dikenal
dengan sebutan Lutung Kasarung atau Panji Sunda. di Palembang cerita Panji ini
dikenal Panji (Angreni) Palembang. Adapun cerita Panji ini di Kamboja dikenal Panji
137
berperan dalam cerita Panji adalah Panji Inukertapati sebagai suami dan Dewi Sekartraji
sebagai isteri. Dalam versi Jawa nama Panji Inukertapati juga disebut Panji
Asmarabangun atau Panji Kasatriyan, sedangkan Dewi Sekartaji juga sering disebut
Galuh Condrokirana atau Kleting Kuning atau Dewi Limaran. Versi Kamboja, Siam dan
Thailand, nama Panji Inukertapati disebutnya Eynao atau Inao, sedangkan Dewi
dari mulut ke mulut dalam bentuk dongeng, sehingga kisah cerita maupun tokoh-tokoh
yang terlibat terdapat perbedaan-perbedaan dan juga dalam bentuk naskah tulis. Selain
dalam bentuk dongeng, cerita Panji dapat meluas karena diangkat sebagai lakon-lakon
dalam: Kethoprak, wayang Kulit maupun wayang orang (dalam lakon Bambang
Semboto, untuk Panji Inukertapati diperankan Harjuna atau Janaka, Dewi Sekartaji
diperankan oleh Sembadra, sedangkan Angka Wijaya atau Abimanyu merupakan peran
pengganti anak dari Sekartaji atau Candrakirana), wayang Gedhok, Dramatari, frahmen,
dan sebagai tema tari pasihan. Di samping itu juga terdapat sebuah mitos bahwa Panji
Inukertapati merupakan titisan dari dewa Asmara yaitu Bathara Kamajaya, sedangkan
Dewi Sekartaji merupakan titisan dewi asmara yaitu Bathari Kamaratih. Rupanya cerita
Panji cukup terkenal sehingga banyak versi, yang dapat digunakan sebagai sumber data,
untuk itu perlu peneliti kemukakan beberapa tulisan yang pada akhirnya dapat dianalisis
dalam rangka menentukan versi yang dijadikan sebagai tema. Adapun beberapa cerita
secara lengkap tentang cerita Panji dapat diamati secara berturut-turut berikut ini.
138
1.a Menurut Sunan Pakubuwono IV, dalam tulisannya yang berjudul: Panji
Sekar, terjemahan Yanto Darmono tahun 1979, dipaparkan sebagai berikut. Di Tanah
Jawa, pada waktu itu terdapat empat kerajaan, yaitu Jenggala, Daha (Kediri), Ngurawan,
dan Singasari yang sangat masyur. Keempat raja yang menduduki tahta tersebut masih
bersaudara, mereka hidup rukun, tidak pernah saling bertentangan, saling menjaga
hubungan sehingga menjadi sangat agung dan terkenal. Armada perangnya sangat kuat,
perkasa dan bala tentaranya besar, pengaruh kekuasaannya luas oleh karena itu mereka
Dari keempat raja itu terdapat dua raja yang berbesanan, yaitu raja Lembu
Amiluhur dari Jenggala yang memiliki anak laki bernama Panji Kertapati dengan raja
Lembu Amijaya dari Kediri yang mempunyai anak puteri bernama Candra Kirana atau
Retna Galuh atau lebih sering disebut pula Sekartaji. Setelah Panji Kertapati dan Candra
Kirana menikah, tidak lama kemudian Panji Kertapati mendirikan sebuah kota Pandhak
yang letaknya diwilayah kerajaan Kediri. Sebagai pangeran muda Panji Kertapati
sungguh sangat perkasa dalam peperangan, selain itu beliau sangat bijaksana dan
Pada saat rapat besar kerajaan Kediri, datang seorang patih Guna Saronta
membawa sepucuk surat sebagai utusan raja Bramakumara dari Makassar. Isi surat pada
intinya bahwa Raja Bramakumara menantang perang dengan Panji Kertapati sebagai
balas dendam atas kematian saudaranya raja dari Nusa Kencana. Harapan raja
Bramakumara, jika Panji dapat dikalahkan berarti Tanah Jawa dapat dikuasainya.
Dalam pertemuan itu pula Panji Kertapati sebagai kesatria tumpuan dari seluruh bala
139
sebagai penantang.
Panji Kertapati mendapat dukungan dari Sekartaji istrinya, namun sang istri juga
mengungkapkan impiannya bahwa ia disuruh dewa untuk makan buah ketan yang
terdapat di taman sari di tengah hutan Tikbrasara. Taman sari tersebut merupakan buatan
dewa Batara Darma, yang tidak diketahui manusia terletak di tengah hutan yang sangat
keramat. Jika dapat makan buah ketan tersebut dewa akan meluluskan semua
permintaaannya terutama bayi yang di dalam kandungan Sekartaji akan keluar anak laki-
laki yang rupawan, kelak menjadi kesatria yang sakti, gagah berani dalam medan perang
dan menjadi raja yang Agung di Tanah Jawa. Manfaat lainnya dari buah ketan adalah
menghilangkan segala penyakit dan dapat membuat tenteram. Ungkapan Candra Kirana
sebagai suami yang setia terhadap istri, untuk itu ia bergegas untuk mencari ke hutan
Di tengah hutan Tikbrasara Panji Kertapati perang dengan prajurit sandi dari
Makassar yang akhirnya dimenangkan oleh Panji. Perjalanan untuk mencari buah ketan
tamansari di dalamnya terdapat buah ketan yang digambarkan bagaikan surga, sehingga
mereka sangat kerasan bahkan lupa untuk kembali pulang. Atas kehendak dewa, Panji
diperintahkan untuk segera pulang karena di dalam tamansari karaton Kediri akan
Patih Guna Saronta dengan akal yang licik membujuk raja Bramakumara untuk
mengurangi kekuatan Panji secara perlahan-lahan. Pada malam yang sangat gelap Guna
Saronta dan Bramakumara masuk tamansari dengan ajian yang membuat semua orang di
dalamnya tertidur. Galuh Candrakirana tidak bisa tidur datanglah Guna Saronta dan
Kehadiran dan permintaan Bramakumara tetap ditolak, bahkan jika raja Makassar
hendak memaksa, Galuh Candrakirana lebih baik memilih bunuh diri. Rasa takut yang
berharap segera Panji suaminya segera dapat menolongnya. Rupanya dewa meluluskan
permohonan sang dewi, ketika Bramakumara hendak memaksa Galuh, Panji yang
dengan ilmu siluman sejak awal tengah dekat dengan Galuh Istrinya segera bertindak
dan menghajar Bramakumara dan Guna Saronta yang akhirnya Panji menang. Bala
tentara dari Makassar yang dipimpin raja-raja bawahan segera menyerang Kediri, namun
dalam Serat Kanda dikisahkan sebagai berikut. Ketika Panji putra raja Jenggala hendak
dikawinkan dengan putri raja Daha (Kediri) yaitu Sekartaji terjadi penculikan di
tamansari Kediri. Sekartaji dicuri seorang Brahmana untuk dikawinkan dengan anaknya
bernama Klana. Brahmana dari negeri seberang yang merasa memiliki tanggungjawab
sebagai orang tua yang hendak meluluskan permintaan anaknya yaitu Kalana untuk
kawin dengan sang Dewi Sekartaji, iapun bergegas menuju Kediri. Keberangkatan
Brahmana secara sendirian untuk menculik sang puteri disadari bahwa ia mengetahui
pula bahwa Panji sebagai calon suami Sekartaji adalah seorang pahlawan yang tidak
dapat ditaklukkan karena penjelmaan dewa yang lebih sakti dari pada anaknya.
141
Pada malam tiba, Brahmana masuk tamansari Kediri dan menculiknya Sekartaji
yang segera dibawa pulang ke Talkanda yakni tempat kediamannya sendiri karena ia
terpesona kecantikan sang puteri, bukan untuk anaknya raja Kelana di Pulo Kencana.
memperkosanya namun sang puteri tetap menolak dan akhirnya melarikan diri ke hutan.
Kepala Brahmana dapat dipenggal oleh Panji yang selanjutnya dikirimkan kepada raja
Kelana di Pulo Kencana yang disertai sepucuk surat tantangan perang, sedangkan Panji
dua orang tua mereka, Panji dan Sekartaji dikawinkan dengan pesta secara besar-
besaran. Setelah beberapa hari berlangsungnya pesta perkawinan, raja Kalana beserta
Kencana dan raja Kelana mati terbunuh oleh Panji. Sesudah mendapatkan kemenangan
raja Jenggala mengundurkan diri untuk menjadi seorang begawan dan mengangkat Panji
andhe Lumut merupakan salah satu dongeng yang sangat dikenal yang tidak lain adalah
dengan Sekartaji atau sering desebut Galuh Candrakirana. Adapun ringkasan ceritanya
sebagai berikut. Di sebuah desa terdapat seorang janda mempunyai tujuh anak yang
142
masing-masing anak dengan nama panggilan depan Kleting dan nama berikutnya
mengambil sebutan jenis warna, seperti Kleting Abang, Kleting Ijo, dan sebagainya.
Anak yang paling bungsu rupanya sangat buruk bernama Kleting Kuning, yang tidak
lain adalah Candrakirana yang menyamar untuk mencari Panji suaminya. Perlakuan
ibunya terhadap Kleting Kuning sangat dibedakan dengan keenam Kleting saudaranya,
jika saudaranya banyak dimanja namun Kleting Kuning lebih banyak disuruh bekerja
tampan Andhe-andhe Lumut putra seorang janda Dadapan, mereka diberi pakaian yang
bagus dan wangi-wangian agar salah satu darinya dapat memikat hati pemuda dimaksud
dan menjadi isterinya. Di tengah perjalanan menuju desa Dadapan para Kleting hendak
merupakan penjilmaan dari Prabu Kelana dari negeri Sabrang yang telah lama jatuh
menyeberangkan dan meminta upah bukan uang atau benda lainnya, tetapi yang diminta
diseberangkan. Enam Kleting tidak satupun yang diterima menjadi kekasih Andhe-
andhe Lumut, mereka ditolak semua dengan alasan telah menjadi sisa dari
Yuyukangkang.
Kebencian ibunya terhadap Kleting Kuning tiba pada puncaknya, ketika ke enam
sangat kotor agar menjadi seperti baru lagi ke sungai yang jauh dari rumahnya. Harapan
143
bersemadi memohon pada dewa agar diberi kemudahan untuk membersihkan periuk
yang dibawanya. Atas kuasa dewa, Kleting Kuning dapat membersihkan periuk menjadi
mengkilap bahkan dapat bersinar dan diberi senjata Sada Lanang (seutas lidi) yang
sakti. Setelah pulang Kleting Kuning tinggal menjumpai ibunya yang memberitau
dikehendaki ibunya, maka sebelum berangkat ia hanya boleh memakai pakaian seadanya
dan mukanya dibedaki seperti badut serta diberi bau-bauan yang busuk supaya tidak
Yuyukangkang dan minta tolong untuk diseberangkan seperti kakaknya yang lebih dulu
segera kembali pulang. Kleting Kuning marah, senjata Sada Lanang dipukulkan ke
sungai yang seketika itu airnya menjadi kering dan Yuyukangkang jatuh tidak berdaya.
sabrang.
Sekembalinya dari Dadapan enam Kleting yang jengkel hatinya karena ditolak
mengejek dan menghinanya dengan sindiran bahwa yang cantik-cantik saja tidak
144
diterima apalagi yang jelek seperti badut (badut ini rias muka Kleting Kuning akibat
perlakuan ibunya yang menghendaki supaya wajahnya menjadi jelek dan tidak diterima
Andhe-andhe Lumut). Kleting Kuning dengan hati sabar terus melangkah menuju
yakni untuk mengadu cinta kepada Andhe-andhe Lumut, namun ditolak si janda.
Mendengar pembicaraaan itu Andhe-andhe Lumut segera menemui Kleting Kuning dan
menyatakan menerimanya. Ibunya terkejut melihat anaknya yang tampan sudi menerima
Kleting Kuning masuk kamar dan menjelma menjadi Panji Inukertapati dan Sekartaji.
Mereka sangat bahagia dan segera kembali ke istana dan disambut meriah oleh
Berdasarkan tiga versi cerita Panji dapat dirangkum secara padat dan singkat
bahwa liku-liku perjalanan cinta Dewi Sekartaji dengan Panji Inukertapati merupakan
gambaran percintaan yang sangat menarik dan bermakna dalam hubungannya dengan
dengan baik yang akhirnya mereka dapat berhasil menikmati hidup bahagia dalam
sebuah keluarga. Rupanya kisah tersebut menjadi sebuah inspirasi yang berarti bagi
pasangan manusia yang menginginkan percintaan yang ideal, romantis, dan bahagia.
Tema percintaan Panji Inukertapati dengan Dewi Sekartaji merupakan tema inti yang
diangkat dari ketiga versi cerita Panji tersebut. Adapun bentuk garapnya hanya
menyajikan dua peran utama yakni tokoh Panji Inukertapati dengan Dewi Sekartaji.
145
Adapun tema percintaan dari cerita Panji tersebut secara garis besar dibagi
menjadi tiga adegan yaitu: adegan pencarian, adegan pertemuan, dan adegan bahagia. a).
putri raja yang pergi meninggalkan kerajaan untuk berupaya mencari Panji Inukertapati
beberapa rasa: sedih, berdoa, pasrah, tegang, dan kacau. b) Adegan pertemuan,
mengisahkan pertemuan antara tokoh Dewi Sekartaji dengan tokoh Panji Inukertapati
sebagai sepasang suami istri yang telah lama tidak bertemu, sehingga suasana rindu yang
mengisahkan tentang suasana kebahagiaan yang tengah dinikmati oleh Dewi Sekartaji
diungkapkan dalam bentuk komplementer dari rasa gembira, mesra, kebersamaan, dan
harapan yang menjadi komitmen bersama dengan keinginan untuk berbuat kebajikan,
setia, menjaga keutuhan dan ketentraman keluarga, serta selalu mohon barokah kepada
pada bahasa verbal yang tersurat dan tersirat pada cakepan gerongan Lambangsari yang
merupakan cita-cita yang ideal untuk mewujudkan sebuah keluarga yang bahagia.
2. Kinetic body moves atau Gerak tubuh merupakan medium utama dalam
pertunjukan tari, karena tanpa kehadirannya tidak akan tersaji sebuah karya tari. Dalam
tari Karonsih yang merupakan seni tradisi (seni yang bersumber dari istana) terdapat
beragam rasa yang dikehendaki meningkat pada suasana-suasana yang terdapat dalam
adegan pada tari Karonsih tersebut, serta pertimbangan peristiwa dan tema yang
diangkat kemudian dipilih pola-pola sekaran atau vokabuler gerak yang sesuai. Adapun
bentuk-bentuk vokabuler yang terdapat pada masing-masing adegan secara garis besar,
rangkaian seluruh adegan secara utuh. Peristiwa yang terjadi untuk adegan pencarian
digambarkan Dewi Sekartaji keluar dari pojok belakang kanan stage menuju tengah
dengan gerak: srisik, kengser, badan putar menghadap belakang srisik mundur
kemudian putar menghadap depan, lumaksono, badan nglayang (memutar) ke kiri, kaki
njujut, badan ngglebak ke kanan hadap ke depan, ridhong sampur kiri, usap kiri – usap
kanan dengan iringan pathetan. Di tengah-tengah pencarian Panji, suasana berdoa, sedih,
dan pasrah yang menyelimuti Sekartaji diekspresikan lewat gerak Laras Sampir sampur
kanan, Sekar suwun, tawing kiri ingsetan,dan Lembehan separo dengan iringan
tenang setelah Sekartaji dapat bertemu Panji, diungkapkan lewat gerak: kengseran, srisik
yang dilakukan secara berulang ke pojok kanan depan, kembali ke pojok kiri belakang,
kemudian srisik ke pojok belakang kanan dan dilanjutkan srisik menuju ke center stage,
badan berputar turun menjadi jengkeng dengan iringan Gangsaran nada 2 slendro yang
berubah menjadi gangsaran nada 1 pelog. Bentuk gerak pada adegan I pencarian secara
garis besar dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis gerak, yaitu presentatif dan
sampur.
Dewi Sekartaji dengan Panji Inukertapati. Pertemuan sepasang suami istri yang telah
lama tidak berjumpa bahkan harus dilalui dengan liku-liku, tidak ditanggapi Sekartaji
dengan hati gembira. Pertemuan tersebut disambut Sekartaji dengan rasa marah, segera
Panji mencoba untuk merayunya lalu suasana mereda muncul rasa malu yang segera
digambarkan seperti berikut. Setelah merasa tidak dapat menemukan Panji, Sekartaji
tampak putus harapan, yang digambarkan jengkeng (duduk) diikuti kedua tangan
memegang sampur sambil menutup raut muka pada posisi centre stage. Datang Panji
dari belakang, ulap-ulap tangan kiri – kanan, besut, laras genjot, dan kengser ke kanan.
jengkeng nyathok (njawil) bahu. Panji segera memburu Sekartaji dengan gerak berdiri
srisik, nyabet ukel karna kanan, maju lumaksono, srisik, tangan kanan nyaut, tanjak
kembali dengan lumaksono kebyokan sampur, maju, tangan kanan nyaut dengan kebyok
nyaut jeblos (tukar tempat) lalu Sekartaji memberikan sampur dan segera diterima Panji.
Suasana kemesraan Sekartaji dan Panji semakin terasa yang diungkapkan lewat gerak
tangkep asta, Sekartaji merasa malu kemudian melepas kedua tangan dan srisik yang
segera dikejar Panji dengan srisik nyandhet tangkep asta ngaras (berciuman).
152
Perasaan malu juga ditampakkan oleh kedua tokoh tersebut setelah berciuman
lepas kedua tangan, laku enjer saling menjauh, tangan kiri menthang, tangan kanan
tawing. Asmara yang dibangun Sekartaji dan Panji Inukertapati mulai menyatu, hal ini
tangan kanan, kengser ke kanan-kiri, maju, adu tangan kiri nekuk, srisik melingkar,
kanthen tangan kanan. Adapun jenis-jenis gerak presentatif maupun representatif yang
terdapat pada adegan dua: pertemuan, dapat diklasifikasikan secara garis besar, sebagai
berikut.
153
Adegan III merupakan gambaran suasana bahagia yang tengah menyelimuti hati sepasang suami-istri yaitu Panji Inukertapati dan
Dewi Sekartaji. Vokabuler gerak yang dipilih untuk mengungkapkan suasana bahagia yang tercermin dalam rasa gembira, kemesraan,
kebersamaan, dan keharmonisan antara Panji Inukertapati dan Sekartaji, adalah sekaran-sekaran kebar yang mempunyai rasa riang, segar,
dan gembira. Adapun jalannya sajian gerak secara berurutan, setelah Panji Inukertapati dan Sekartaji srisik kanthen tangan kanan menuju
stage depan kemudian tangan lepas mundur ke stage centre, yang secara bersama-sama melakukan gerak:
7 g. srisik kanthen Distilisasi gerak g. srisik kanthen Distilisasi gerak orang lari
tangan kanan orang lari tangan kanan bergandengan tangan
bergandengan kanan
tangan kanan
8 h. trap jamang, Distilisasi dari h. trap jamang, Distilisasi dari orang
kedua tangan orang melihat ke kedua tangan melihat ke depan
depan
158
19 s. bersalaman s. bersalaman
dengan temanten dengan temanten
20 t. bersalaman t. bersalaman
dengan kedua dengan kedua
orang tua orang tua temanten
temanten dan photo bersama
dan photo temanten
bersama
temanten
21 u. srisik kanthen Distilisasi gerak u. srisik kanthen Distilisasi gerak orang lari
tangan kanan, orang lari tangan kanan, bergandengan tangan
masuk (selesai). bergandengan masuk (selesai). kanan
tangan kanan
Dari paparan jenis-jenis gerak representatif dan presentatif yang terdapat pada tari
Karonsih, dapat dicermati secara kuantitatif.
a. Jenis gerak Representatif.
No Adegan Nama tokoh Jenis Gerak Jumlah
vokabuler
1 I. Pencarian Dewi Sekartaji
Representatif 10
2 II. Pertemuan Dewi Sekartaji
Representatif 10
Panji Inukertapati Representatif 11
3 III. Bahagia Dewi Sekartaji 21
Representatif
Panji Inukertapati Representatif 21
4 Jumlah total 73
Tari Karonsih.
No Adegan Jenis gerak jumlah
1 I, II, dan III representatif 73
2 I, II, dan III presentatif 18
3 Jumlah total gerak representatif dan presentatif = 73 + 18 91
4 Jumlah persentase gerak representatif = 73 : 91 X 100. 80,20 %,
5 Jumlah persentase gerak presentatif = 18 : 91 X 100. 19,80 %
stabilitas emosional, bahkan taraf kegilaan, namun itu semua rupanya tidak valid. Wajah
sebagai alat untuk memprediksikan sifat-sifat manusia kurang memadai. Ekspresi wajah
atau gerak wajah bukannya wajah dalam pengertian objek yang statis, merupakan sarana
untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik terhadap sesuatu yang sedang
dikomunikasikan. Orang sedih dapat ditunjukkan tanpa ekspresi senyum, bibir tertutup
Kesedihan yang mendalam dapat dicirikan meneteskan air mata, bibir bergetar,
biasanya berusaha untuk menutup wajah. Berbeda dengan orang marah yang pada
umumnya dapat dicirikan lewat tatapan mata yang kuat, beberapa kulit wajah berwarna
kemerahan, mengerutkan dahi, dan gertakan gigi secara bersama-sama. Sekarang dapat
disarikan bahwa ekspresi wajah mampu memberikan kontribusi yang sangat berperan
terutama untuk mengekspresikan perasaan. Selain itu ekspresi wajah dapat difungsikan
163
untuk membantu memperkuat pengaruh terhadap pesan verbal. Semakin jelas bahwa
ekspresi wajah merupakan sarana yang cukup vital dalam berkomunikasi nonverbal.
Dalam seni pertunjukan khususnya pada bidang tari ekspresi wajah merupakan
sarana yang cukup berperan, baik sebagai ekspresi perasaan secara mandiri maupun
membantu memperkuat pesan bahasa verbal, demi tercapainya sebuah ekspresi dari
wajah yang dapat dicermati pada tari pasihan lewat Polatan Sekartaji maupun Panji
peristiwa yang tengah terjadi. Pada adegan pencarian, ketika kesedian menyelimuti
Sekartaji, polatan lebih banyak menunduk. Perubahan ekspresi mulai tampak ketika
wajah Sekartaji tampak tegang, kepala tegak dan pandangan mata lebih tajam disertai
gerak kepala lebih tegas, hal ini mengekspresikan ketegangan Sekartaji yang dapat
dicermati pada peralihan adegan pencarian ke adegan pertemuan. Sikap marah yang
ditampilkan Sekartaji ketika bertemu awal dengan Panji, ekspresi wajahnya lebih banyak
menunduk dan memalingkan kepala setiap dicoba untuk didekati Panji. Polatan Panji
lebih terfokus pada Sekartaji, ketenangan ekspresi wajah lebih ditampilkan dalam rangka
terutama ditampilkan pada adegan bahagia, keduanya banyak saling berhadapan wajah,
saling melempar senyum sebagai tanda cinta, mesra, damai dan bahagia. Puncak
kemesraan pada adegan bahagia ini terekspresikan pada saat Sekartaji duduk dipangkuan
164
Panji Inukertapati, mereka saling memandang dengan ekspresi wajah ceria, senyum, dan
mesra.
menyolok. Aspek yang mempengaruhi hal tersebut adalah karakter tenang (luruh) lebih
banyak dibingkai oleh dominasi gerak-gerak yang berirama pelan, sehingga seluruh
gerak tubuh secara psikologis menjadi pelan. Begitu pula gerak-gerik wajah terpengaruh
menjadi pelan, perubahan ekspresi wajah menjadi tampak lebih halus hampir tidak
kelihatan. Berbeda dengan ekspresi wajah peran-peran tokoh antagonis atau lanyap atau
jalang, lincah, emosional, dan tegas. Beberapa tokoh tersebut memiliki perubahan
ekspresi wajah yang mencolok dan tampak jelas, baik dari suasana marah menjadi sedih
atau sebaliknya. Kebebasan untuk bergerak lebih cepat, lincah, dan tegas sangat
4. Bentuk rias dan dandanan busana dalam tari Karonsih mengacu pada rias
peran pada wayang orang, konsep yang mendasari bahwa budaya wayang orang telah
lebih dikenal masyarakat di wilayah Surakarta, sehingga akses untuk diterimanya dan
sebaran apresiasinya tidak mengalami kendala. Hal itu sangat mendorong perkembangan
tari Karonsih akan lebih cepat meluas dan memasyarakat. Terutama untuk busana, selain
bentuk dandanan yang serupa dengan wayang orang, juga terdapat persamaan pada
bahan, pernik-pernik asesoris, corak jarit (kain), corak sabuk serta jenis–jenis tatahan
pada jamang irah-irahan (mahkota kepala). Warna busana lebih dominasi warna hijau,
165
coklat dan warna kuning emas. Warna hijau dengan maksud warna tersebut memiliki
simbolik tumbuh lebih hidup dan menjadi subur. Adapun warna kuning emas memiliki
kesan keagungan dan kejayaan, sesuai dengan tokoh-tokoh sebagai pelakunya yang
merupakan darah bangsawan Sekartaji dari kerajaan Jenggala dan Panji Inukertapati
putra raja Kediri. Selain itu warna kuning emas juga menyuguhkan kesan glamor
Sedangkan jarit lereng tanggung merupakan upaya mendudukan status sosial dari Panji
Inukertapati dan Sekartaji sebagai putra raja. Mahkota kepala yang berupa tekes panjen
merupakan identitas dari bangsawan panji yang bersumber pada ceritera Babad.
5. Pola lantai yang dibentuk dari perpindahan penari maupun jarak antarpenari
merupakan salah satu unsur pendukung keberhasilan sebuah pertunjukan. Secara prinsip
pola lantai yang terdapat dalam tari Karonsih, mencakup dua bentuk utama, yaitu garis
lurus dan garis lengkung. Garis-garis lurus lebih banyak digunakan untuk
mengungkapkan keinginan, kemauan yang kuat dan tegas, seperti aktualisasi adegan
Sekartaji mencari Panji Inukertapati (lihat gambar: 1). Fase-fase ketegangan, kekacauan
Sekartaji ketika belum dapat bertemu Panji, dominasi garis-garis lurus sangat kuat untuk
Gambar: 1. Gambar: 2.
166
lembut, yang dalam tari ini dimaknai sebagai sarana ekspresi tentang sesuatu yang
menurut bentuk dan sifatnya menunjukkan hal-hal yang manis dan lembut. Beberapa
bentuk garis lengkung tersebut seperti difungsikan pada adegan pertemuan berikut ini:
ketika Panji berupaya merayu terhadap Sekartaji, awal kemesraan kedua figur peran
setelah Sekartaji luluh hatinya. Untuk adegan kebahagiaan rupanya lebih didominasi
garis-garis lengkung yang berbentuk melingkar yang masing-masing tokoh pada posisi
saling berhadap-hadapan, berjajar, dan berdekatan yang kesemuanya itu dapat dicermati
pada hampir seluruh sajian sekaran kebaran. Maksud yang mendasari dari kesan garis
lengkung tersebut adalah kesan lembut, manis dalam mendukung ekspresi gerak yang
gambar: 1 gambar: 2
<<<<
Gambar 1: pola lantai untuk sekaran srisik kanthen tangan pada awal kebar adegan 3.
Gambar 2: pola lantai untuk sekaran trap jamang dan ulap-ulap kiri pada adegan 3.
167
Gambar: 3 gambar: 4
Gambar 3: pola lantai sekaran lilingan kebyokan dan lilingan rimong pada adegan 3.
Gambar 4: pola lantai untuk sekaran srisik kanthen tangan pada akhir kebar adegan 3.
6. Iringan tari yang lazim juga disebut karawitan tari adalah gendhing-gendhing
karawitan yang diaransir sedemikian rupa sehingga rasa musikal yang terbentuk dapat
memenuhi kebutuhan ekspresi tari. Artinya bahwa rasa dalam tari akan didukung rasa
yang ditimbulkan dari alunan gendhing yang secara komplemen menyatu membentuk
Karawitan tari yang berupa repertoar gendhing-gendhing merupakan salah satu unsur
terdapat pada khasanah karawitan, didasarkan atas pertimbangan rasa musikal terkait
Karawitan tari yang berfungsi sebagai pendukung sajian tari Karonsih secara
penyusun tari tampak bahwa selain rasa musikal yang harus komplementer secara padu
dengan rasa yang diungkapkan dalam tari, juga secara parsial pada masing-masing garap
168
gendhing terdapat teks verbal yang berupa cakepan yang berfungsi untuk menjelaskan
secara singkat dan padat tentang peristiwa yang tengah terjadi pada masing-masing
adegan sehingga akan dapat tergambar secara menyeluruh tentang rasa, suasana,
Teks sastra tembang yang merupakan bahasa verbal tari Karonsih, terdiri dari
beberapa garap lagu, yakni: (1) garap pathetan (2) garap sindhenan dan (3) garap
gerongan. Teks verbal Garap pathetan terdiri dari satu bait yang terdapat pada iringan
pembukaan untuk adegan pertama yaitu Pathetan Wantah Lr. pl.pt. 5. Garap pathetan
terkait dengan teks verbal ini adalah garap lagu tembang jawa yang dinyanyikan secara
solo ataupun bersama dan dikomplemen dengan ricikan instrumen gamelan: rebab,
gender, suling, dan gambang. Pada awalnya garap Pathetan dalam tari dinyanyikan
secara bersama oleh vokalis pria, contohnya bentuk-bentuk Pathetan dalam tari
Bedhaya dan Srimpi yang menampilkan rasa agung, berwibawa, dan gagah. Berbeda
yang terjadi di dunia pewayangan, garap Pathetan dinyanyikan secara solo oleh
seorang dalang (wawancara Rusdiantara, 2008). Fungsi garap Pathetan pada tari
Karonsih ini sifatnya memberikan ilustrasi rasa musikal tertentu terkait dengan suasana
adegannya. Rasa semangat, sedih yang diekspresikan garap Pathetan Wantah Lr. pl.pt.
suaminya.
Garap sindhenan teks verbal dalam tari Karonsih terdiri dari satu bait terdapat
dalam gendhing Ketawang Pangkur Ngrenas Lr. pl.pt. 5 dan dua bait terdapat dalam
gendhing Ketawang Kinanthi Sandhung Lr. sl. pt. manyura. Sindhenan adalah vokal
putri yang menyertai karawitan (Matopangrawit, 1967: 1). Garap sindhenan teks verbal
169
adalah garap lagu tembang jawa dinyanyikan secara solo, biasanya oleh seorang
pesindhen atau vokalis wanita, yang pengambilan suaranya menyela diantara sabetan
balungan (irama ketukan nada) dan berakhir setelah sabetan balungan. Jika terdapat
lagu gerongan pada gendhing tersebut garap sindhenan mengikuti setelah lagu
gerongan (nggandul) namun berakhir bersama. Fungsi garap sindhenan lebih diarahkan
untuk mengekspresikan kesan feminin yang memiliki sifat halus, lembut, dan manis.
bersama – sama ( koor), yang pengambilan suara pertama dimulai tepat dengan sabetan
gerong adalah vokal bersama (koor) suara pria yang iramanya sama dengan
dinyanyikan oleh vokalis kelompok putra atau vokalis kelompok putri atau campuran
vokalis kelompok putra dengan vokalis kelompok putri. Iringan gendhing yang
menggunakan garap gerongan pada tari ini terdapat dalam gendhing Lambangsari lr.sl.
pt manyura yang mencakup dua bait. Fungsi garap gerongan lebih difokuskan untuk
mengekspresikan kesan maskulin yang mempunyai sifat kuat, gagah, dan sigrak.
laras yaitu pelog dan slendro. Gendhing-gendhing yang berlaras pelog yang relatif
memiliki nada-nada tinggi (tenor) rupanya kuat dan mantap untuk garap musikal yang
mengungkapkan rasa sedih. Hal ini dapat dicermati pada adegan pertama yang
menggunakan garap pathetan laras pelog pathet lima dan Ketawang Pangkur Ngrenas
Lr. pl.pt. 5. Perubahan ke laras slendro yang secara musikal memiliki nada- nada lebih
170
rendah (bass) diharapkan perubahan suasana menjadi lebih terasa mencair dan terbuka.
Adapun perubahan ke laras slendro itu diawali dari Ketawang Kinanthi Sandhung Lr. sl.
pt. manyura pada adegan kedua hingga iringan adegan tiga yang meliputi: gendhing
susunan iringan tari Karonsih seluruhnya dan secara urut dari adegan satu sampai
Adegan : I. Pencarian.
beberapa iringan gendhing, antara lain: pathetan laras pelog pathet lima, Ketawang
Pangkur Ngrenas Lr. pl.pt. 5, gangsaran 1 pelog, dan gangsaran 2 slendro. Kedudukan
iringan pathetan laras pelog pathet lima pada adegan ini bersifat nglambari artinya rasa
musikal yang dihasilkan dari garap pathetan laras pelog pathet lima berfungsi untuk
memberikan ilustrasi terhadap suasana sedih yang dialami Dewi Sekartaji. Gendhing
Ketawang Pangkur Ngrenas Lr. pl.pt. 5 yang merupakan iringan kedua setelah pathetan
laras pelog pathet lima, kedudukannya dalam adegan pencarian ini bersifat nyawiji.
vokabuler gerak yang secara komplemen mengungkapkan suasana sedih yang dialami
Sekartaji yang terjabar dalam beberapa rasa: sedih, doa, dan pasrah. Bentuk
menyatunya iringan dengan gerak, dapat dicermati secara komprehensip dari beberapa
ekspresi gerak yang menggambarkan kesedihan Dewi Sekartaji; b. rasa seleh yang
171
terdapat pada gendhing merupakan iringan yang mendukung rasa seleh pada tari, baik
rasa seleh ringan maupun rasa seleh berat. c. pola gatra yang terdapat pada bentuk
gendhing Ketawang dapat dijadikan tanda mulai bergerak ataupun berakhirnya suatu
gerak pada tari. Gangsaran 1 pelog, dan gangsaran 2 Slendro, merupakan iringan yang
secara musikal dapat mengekspresikan suasana tegang yang kedudukannya pada adegan
ini lebih bersifat nglambari. Implementasinya rasa musikal yang berirama 1/1 dari
gangsaran mampu memberikan ilustrasi rasa tegang yang mendukung kekacauan atau
ketegangan yang diekspresikan Sekartaji lewat gerak-gerak srisik yang dilakukan secara
berulang-ulang dengan gerak kepala yang sedikit lebih tegas. Terkait dengan alur
adegan kedua bentuk gangsaran tersebut merupakan fase peralihan laras dari pelog ke
laras slendro. Kiranya tidaklah berlebihan jika gangsaran 1 pelog, dan gangsaran 2
Slendro mempunyai peranan cukup penting dalam menjembatani peralihan laras yang
berdampak pada perubahan suasana menjadi semakin mantap. Secara urut bentuk
Pathetan Wantah
Lr. pl. pt. 5
t- y 1 2 2 2 Xz2Xc3 Xz2c1 z1x2c3
z3x.x2c1
Sang ret - na yu De - wi Se - kar ta - ji
t zyc1 1 1 z1x2c1 zyx.ct
Jeng - kar sking ke - dha - ton
t y 1 2 2 2 z2c3 z2c1 z1Xx2c3 z3x.Xx2c1
Sang ret - na yu De - wi Se - kar - ta - ji
t zyc1 1 1 z1Xx2c1 zyx.c5
Jeng - kar sking ke - dha - ton
172
3 3 3 z1x.XXXx2c3 1 2 3 3 3 3
A - ngu - pa - di men - dra - ni - ra ing - kang
z3c5 z3x.x2c1 1 1 1 z2c4 z4c5 5
Gar - wa, I - nu ker - ta - pa - ti
z6x.x5x4Xx.x5x4Xx2x1x.x2x1x.cy
O…………..
y y y y y zyx1c2 2 z3x.x2x1x.x2x1xyct
Da - hat de - ni - ra mu - wun, O……….
r t r t zyx.x2x1xyxtxrxwcq
Mu - wun mu - wun, O………..
. 1 6 p5 2 3 5 g3
. . . . 5 5 5 6 z!c@ 5
z3x5x.x6x5c3
Da- dya gan – ti lan ning - tyas
. . 3 . 5 1 2 n3
. . . . . z5c6 1
z1XXXXXXXXXXXxX2c3 3
U - lun dha - hat
5 6 7 p6 5 3 2 g3
. . . 5 5 z5c6 5 3 2 z3c1
z3x.x2c1
Te - ka a - gi - gang sa - ra - mbut
1 1 . 5 6 1 2 n1
. . . . 1 2 2 2 1 z6x1x2c3 z3c1
z3x2x1x2c1
Ka- la- mun da- tan pi - nang - gya
2 3 5 p3 2 1 2 g1
. . . . 5 5 6 5 3 2 z3c1
z3x2x1x2c1
A – lu – wung tu - me – keng la - lis
Gangsaran Lr. pl. pt. 5
1 n1 p1 n1 p1 n1 p1
g1
1 n1 p1 n1 p1 n1 p1 g1
1 n1 p1 n1 p1 n1 p1 g1
1 n1 p1 n1 p1 n1 p1 g1
2 n2 p2 n2 p2 n2 p2 g2
2 n2 p2 n2 p2 n2 p2 g2
2 n2 p2 n2 p2 n2 p2 g2
2 n2 p2 n2 p2 n2 p2 g2
Adegan : II. Pertemuan.
Dalam adegan dua yang mengisahkan pertemuan Dewi Sekartaji dengan Panji
Inukertapati suaminya dalam suasana rindu yang teraktualisasi dalam beberapa rasa:
marah (jengkel), merayu, malu, mesra merupakan esensi yang hendak diekspresikan
dalam adegan dimaksud. Iringan gendhing Ketawang Kinanthi Sandhung Lr. sl. pt.
dengan Panji dalam asumsi mereka telah lama terpisah dan melalui perjalanan panjang
baru dapat bertemu. Rasa musikal gendhing Ketawang Kinanthi Sandhung Lr. sl. pt.
. . 2 y 1 2 3 n2
6 1 2 p3 6 5 3 g2
. . 2 1 y t e nt
1 1 . p. 3 2 1 g6
. . 6 . ! @ ! n^
. . . . z.c! @ @ @ @ z6x.x!x@c# z!x@x!c6
6
A - duh ya-yi gar - wa ning - sun
Wus da- ngu pun ka-kang wu - yung
1 2 6 n5 2 3 5 g3
175
Inukertapati dan Sekartaji dalam suasana gembira, mesra, dan harmonis menggunakan
garap iringan yaitu gendhing Lambangsari laras slendro pathet manyura. Kedudukan
iringan gendhing Lambangsari pada adegan ini sifatnya mungkus dan nyawiji. Bentuk
176
mungkus ini ditinjau dari pelaksanaan vokabuler gerak yang terdapat pada adegan tiga
hampir seluruhnya menggunakan pola kendangan kebar atau ciblon yang selalu
membungkus pola gerak. Dalam hal ini pola-pola gerak tari selalu ketat- ketat diikuti
pola kendangan. Selain itu iringan gendhing Lambangsari pada dasarnya nyawiji
dengan garap geraknya. Pengertian nyawiji ini mengarah pada pemersatuan dua unsur
menjadi satu yaitu unsur karawitan sebagai penghasil rasa musikal dan unsur tari.
Bentuk kristalisasi dari unsur tari yang berupa vokabuler-vokabuler gerak kebar yang
dinamis dan unsur karawitan yang berupa gendhing Lambangsari dengan irama sigrak,
lagu gerongan riang dan tekanan sedang, pada adegan bahagia ini adalah untuk
dan keharmonisan antara Panji Inukertapati dan Sekartaji dapat nyawiji. Sehingga
suasana bahagia yang diaktualisasikan oleh Panji Inukertapati dan Sekartaji dapat
dihayati.
Pada bagian akhir adegan tiga sebagai penutup iringan gendhing ladrang
mundur beksan, yaitu sejak Panji Inukertapati dan Sekartaji gerak Lumaksono, pangkon,
srisik menuju ke tempat duduk temanten bersalaman dengan temanten dan kedua orang
disajikan dengan tabuhan keras dengan irama sedang sebagai gambaran semangat dari
semangat. Bentuk iringan adegan III yang berupa gendhing Lambangsari laras slendro
177
pathet manyura dan ladrang Sigramangsah laras slendro pathet manyura, secara
Lambangsari
Lr. sl. pt. manyura
Irama Tanggung :
1 3 1 2 1 3 1 2
j.1 3 j.1 2 j.1 3 j.1 2
Pra - wa - ni - ta mar - su - di - ya
6 1 3 2 6 3 2 n1
6 1 3 2 jz!xk@c6 3 z3c2 1
ma - rang tin - dak kang u - ta - ma
5 2 5 1 5 2 5 1
j.5 2 j.5 1 j.5 2 j.5 1
se - tya tu - hu ma - r ang gar - wa
5 3 5 6 5 3 5 2
5 zj3c5 jz5c6 6 j.3 5 3
2
da - di ro - wang kang se - mba - da
1 3 1 2 1 3 1 2
j.1 3 j.1 2 j.1 3 j.1 2
ing - kang bi - sa nu - ju pra - na
6 1 3 2 6 3 2 n1
6 1 3 2 jz!xk@c6 3 z3c2 1
weh re - sep - ing pa - mi - ca - ra
5 2 5 1 5 2 5 1
j.5 2 j.5 1 j.5 2 j.5 1
no - ra keng - guh ing pang - go - dha
5 3 5 6 5 3 5 2
5 z3c5 z5c6 6 j.3 5 3 2
178
1 3 1 2 1 3 1 2
j.1 3 j.1 2 j.1 3 j.1 2
ba - lik pri - ya nim - bang a - na
6 1 3 2 6 3 2 1
6 1 3 2 jz!xk@c6 3 z3c2 1
nga - yo - mi mring ra - bi ni - ra
5 2 5 1 5 2 5 n1
j.5 2 j.5 1 j.5 2 j.5 1
da - tan kem - ba a - sih tres - na
5 3 5 6 5 3 5 2
5 z3c5 z5c6 6 j.3 5 3 2
sung ten - trem - ing ku - la - war - ga
(dilakukan 2 x)
Irama Dadi :
6 5 6 1 6 5 2 3
j.6 kz!xj@c# jz#xj
jjjjjjjjjjjjjjjjjjjxkjjj.c@z!x x x x x x cj2j j6
jjjzjx5jx jx jxxx jx jx xk.cj3jz6xl1xj6jc53
sam - pun sa - mi se – tya tu - hu
sang pe - kik wah sang dyah a - yu
6 5 6 1 6 5 2 3
j.6 z!XXx XXx xj@kc##z x.c@z!x x x x x@c 6
zj5jkx.c3 jkz6jx!cjj6j j k53
ang - ge - nya li - ron as - ma - ra
da - ngu sa - mya ba - gya har - ja
5 2 5 1 5 2 5 1
179
Ladrang Sigramangsah
Lr. sl. pt. manyura
Irama Tanggung.
1 6 1 3 1 6 1 n2
1 6 1 p3 1 6 1 n2
5 2 3 p5 1 6 5 n3
6 5 2 p1 3 2 1 g6
3 5 6 p1 3 2 1 n6
3 5 6 p1 3 2 1 n6
3 5 2 p3 1 2 1 n6
3 2 6 p3 6 5 3 g2 (sebanyak 5X)
180
Gendhing-gendhing iringan yang terdapat dalam tari Karonsih secara garis besar
dapat dibagi menjadi dua bentuk terkait dengan bahasa verbal. Pertama, gendhing yang
menggunakan bahasa verbal terdiri dari: Pathetan Lr. pl.pt. 5, Ketawang Pangkur
Ngrenaswara Lr. pl.pt. 5, Ketawang Kinanthi Sandhung Lr. sl. pt. manyura dan
Lambangsari Lr. sl. pt. manyura. Kedua, gendhing yang tidak menggunakan bahasa
verbal terdiri dari: gangsaran 1 pelog, gangsaran 2 slendro, dan Ladrang Sigramangsah
Lr. sl. pt. manyura. Bentuk-bentuk gendhing yang menggunakan bahasa verbal, selain
lebih mantap dan bermakna karena didukung kehadiran bahasa verbal yang berupa
cakepan-cakepan (syair) yang menyatu dengan irama, lagu dan tekanan gendhing.
Komposit bahasa verbal dan nonverbal yang terdapat dalam Pathetan Lr. pl.pt.
perjalanan seorang tokoh Dewi Sekartaji yang mencari Panji Inukertapati suaminya.
Komplementer bahasa verbal dan nonverbal yang terdapat dalam Ketawang Pangkur
Ngrenaswara Lr. pl.pt. 5, dapat mengungkapkan suasana sedih, dan maknanya Dewi
Inukertapati, jika tidak dapat bertemu, ia lebih baik mati. Komposit bahasa verbal dan
bahasa nonverbal yang terdapat dalam Ketawang Kinanthi Sandhung Lr. sl. pt. manyura,
dapat mengungkapkan suasana marah, malu, rindu, merayu, mesra, dan maknanya
setelah Sekartaji bertemu Panji Inukertapati, sang Dewi marah Panji berupaya untuk
merayunya dan memberi perhatian. Komposit bahasa verbal dan nonverbal yang
terdapat dalam Lambangsari Lr. sl. pt. manyura, dapat mengungkapkan suasana
gembira, mesra, bahagia dan maknanya: 1) Dalam kehidupan rumah tangga keberadaan
181
dan kebersamaan suami dan istri, sebaiknya saling mengingatkan akan tugas dan
tanggungjawab masing-masing yang telah disepakati. 2) Tipe seorang istri yang ideal
adalah selalu berupaya berbuat kebajikan, setia terhadap suami, menarik, dan
bertanggungjawab. 3) Tipe seorang suami yang ideal adalah setia terhadap istri,
sebuah nilai yang universal. 5) Kebagiaan lahir dan batin merupakan kebutuhan hidup
hakiki manusia yang diupayakan secara seimbang. Bentuk komposit bahasa verbal
gendhing Ladrang Sigramangsah Lr. sl. pt. manyura, dapat mengungkapkan suasana
semangat, gagah, dan sigrak. Ketidak hadiran bahasa verbal pada bahasa nonverbal
rupanya membatasi ekspresi bahasa nonverbal yang lebih mengarah pada hayatan rasa.
Dengan demikian tampak bahwa gendhing-gendhing yang tersusun untuk iringan tari
Karonsih merupakan komposit bahasa verbal sastra tembang dan nonverbal gendhing-
suasana pada masing-masing adegan dan mampu mengungkapkan makna tari Karonsih
secara implisit seperti yang dimaksud seniman penyusun sebagai penutur. Adapun
bentuk komposit bahasa verbal dengan nonverbal pada tari Karonsih, dapat dicermati
berikut ini.
182
menghadap lurus
belakang, srisik
mundur kemudian
putar menghadap
depan, diikuti
menthang sampur
kanan dan tangan
kiri nekuk.
ngglebak ke kanan
hadap ke depan.
Inukertapati,
O………..
Ridhong sampur Garis V -
Dahat denira
muwun,O………. kiri, usap kiri – lengkung
usap kanan
2 Ktw.
Pangkur
Ngrenas
lr.pl.pt 5
Sindhenan Pangkur
Ngrenas:
Gangsaran
1 Pelog
Rasa Badan memutar Gong: ke-1
Tegang satu lingkaran dan
diikuti berputarnya
kedua tangan
nekuk ngupu
tarung.
Gangsaran
2 Slendro
a. Dewi
Rasa jengkeng (duduk) Srisik kebyok Posisi di Gong: ke-1 Sekartaji
Marah diikuti kedua sampur. tempat - marah
tangan memegang garis lurus terhadap
sampur sambil Panji
menutup raut Inukertapati.
muka. b. Panji
berusaha
membujuk
jengkeng, Ulap-ulap tangan Posisi di dan merayu
kebyokan laras, kiri – kanan dan tempat istrinya,
lepas sampur. besut. akhirnya
luluh hati
Dewi
Sekartaji.
Adhuh yayi garwa
Seblak sampur laras genjot, Gong: ke-2 V -
ningsun
kengser ke kanan,
Teka mlengos
Ukel karno kanan jengkeng nyathok Garis V -
datan angkling
(njawil) bahu lengkung
Mara ngadhepna
189
pun kakang
berdiri enjer berdiri srisik, Garis lurus Gong: ke-3 V -
nyabet ukel karna
kanan
Cakepan b.
Marang yayi
srisik, mbalik, srisik, nyandhet Garis V -
wanodya di
tangkep asta tangkep asta lengkung
ngaras ngaras
191
( berciuman), (berciuman),
lepas kedua lepas kedua
tangan, laku enjer, tangan, laku enjer,
tangan kiri tangan kiri
menthang, tangan menthang, tangan
kanan tawing kanan tawing
Tuhu wanita
maju kanthen maju kanthen Garis Gong: ke-7 V -
utama
tangan kanan tangan kanan lengkung
4 Gerongan Lambang
Lambangsari:
sari lr.sl.
Cakepan a.
pt
manyura
Pra wanita
Rasa ulap-ulap kiri trap jamang. Posisi di Gong: 1. - V Tipe
marsudiya marang
tindak kang utama Gembira tempat kenong ke- seorang istri
1 yang ideal
adalah
ukel karno ulap-ulap kiri Garis kenong ke- - V selalu
Setya tuhu marang
garwa dadi lengkung 2 berupaya
rowang kang
berbuat
sembada
kebajikan,
setia
terhadap
193
Rasa Mesra
Balik priya kebyokan sampur ukel karno bokor Garis Gong: ke- - V Tipe seorang
nimbangana
sinangga lengkung 2. suami yang
ngayomi mring
rabinira kenong ke- ideal adalah
1 setia
terhadap
rimong sampur pacak gulu Garis kenong ke- V - istri,
Datan kemba asih
tresna sung ingsetan lengkung 2 mengayomi,
tetreming
dan mampu
kulawarga
194
menciptakan
Sampun sami setya
kebyokan sampur kebyokan sampur Garis kenong ke- V - ketentraman
tuhu anggenya
liron asmara – ngenceng kanan lengkung 3 keluarga.
Gong: ke-
Cakepan b. trap jamang ulap-ulap tawing Posisi di 3: - V
Pra wanita
kiri tempat kenong ke-
marsudiya marang
tindak kang utama 1
Nora kengguh ing kanthen tangan kanthen tangan Garis kenong ke- V -
panggodha darbe
kiri kiri lengkung 4
budi kang santosa
Sang pekik wah lumaksono encot lumaksono encot Garis lurus kenong ke- V -
sang dyah ayu
kanthen tangan kanthen tangan 3
dangu samya
bagyaharja
196
Rasa Kebagiaan
bahagia. dunia dan
akhirat
srisik kanthen srisik kanthen Garis kenong ke- - V merupakan
Tan kendhat
tansah meminta tangan kanan, tangan, tangan kiri lengkung 4 kebutuhan
kanugrahan ing
tangan kiri menthang sampur hidup hakiki
Hyang Suksma
menthang sampur manusia
yang
Ldr. Sigra diupayakan
mangsah secara
lr.sl.pt. seimbang.
manyura
Dari komposit bahasa verbal dan nonverbal pada tari Karonsih terdapat
hubungan yang bersifat langsung dan tidak langsung. Hubungan bahasa verbal dan
nonverbal bersifat langsung artinya bahwa maksud bahasa verbal sesuai dengan bentuk
bahasa nonverbal. Sedangkan hubungan bahasa verbal dan nonverbal bersifat tidak
langsung artinya bahwa maksud bahasa verbal tidak sesuai dengan bentuk bahasa
nonverbal. Secara kuantitatif hubungan bahasa verbal dan nonverbal yang bersifat
langsung tampak lebih mendominasi dibandingkan dengan yang tidak langsung. Adapun
Tari Karonsih
No Adegan Hubungan bahasa verbal dengan jumlah
nonverbal
1 I, II, dan III Langsung 31
2 I, II, dan III Tidak langsung 8
3 Jumlah hubungan langsung dan tidak langsung = 31+ 8 39
4 Jumlah persentase hubungan langsung = 31: 39 X 100. 79,48 %,
5 Jumlah persentase hubungan tidak langsung = 8: 39 X 100. 20,52 %
Tari Bondhan Sayuk merupakan tari tradisi gaya Surakarta jenis pasangan silang
jenis karakter putri dengan putra madya yang bertemakan percintaan sepasang insan
manusia yang berjenis kelamin pria dan berjenis kelamin wanita. Pada dasarnya tarian
ini tidak mengisahkan tokoh tertentu tetapi mengekspresikan cinta kasih sepasang suami
istri secara universal terhadap anak laki-laki dan harapan-harapan serta keinginannya
199
supaya kelak menjadi orang yang berguna bagi bangsa dan negara. Karya tari Bondhan
Sayuk disusun oleh Sunarno pada tahun 1979. Tari ini pertama kali dipentaskan pada
perjalanan hidup sepasang manusia dari kalangan rakyat. Menurut Sunarno, tari
Bondhan Sayuk lebih tepat untuk gambaran sepasang temanten maupun sebuah keluarga
Gagasan awal terciptanya tari Bondhan Sayuk adalah sebuah ekspresi pribadi
tersebut rupanya diridhohi oleh Sang Pencipta, anak pertama laki-laki bahkan anak
kedua juga laki-laki dan anak ketiganya baru putri. Dalam perjalanan waktu tari
Bondhan Sayuk sangat diminati oleh masyarakat hingga sekarang, yang pertama
merupakan hiburan yang tepat dalam sebuah resepsi perkawinan dan kedua dimaknai
sebagai simbolik sepasang suami dan istri yang hidup bahagia yang layak untuk
diteladani sepasang temanten. Pesona yang memikat dari tari Bondhan Sayuk adalah
Jika dirunut dari bahasa verbalnya akan tampak bahwa harapan-harapan yang
tersurat dan tersirat menunjukkan adanya sebuah keinginan, harapan sepasang suami-
istri terhadap anak laki-laki kelak menjadi orang yang berperilaku baik dan berguna bagi
masyarakat untuk membangun bangsa dan negara. Bentuk tari Bondhan Sayuk terdiri
dari dua komponen pokok, yakni sastra tembang yang merupakan bahasa verbal dan
200
bahasa nonverbal yang berupa: tema, kinetic body moves, polatan (ekspresi wajah), rias,
busana, pola lantai, dan iringan. Sastra tembang yang merupakan bahasa verbal tari
Bondhan Sayuk, terdiri dari beberapa garap lagu, yakni: (1) garap sindhenan Mijil
Sulastri: sakpupuh (satu bait), (2) garap jineman Sayuk: rong pupuh (dua bait), dan (3)
garap gerongan Ladrang Sayuk: rong pupuh (dua bait). Dari masing-masing garap lagu
a. Bahasa verbal.
Terjemahan:
Konteks.
Identifikasi / latar.
c. Tujuan: suami menghendaki istri supaya tidak lekas marah, mengingat kasih
d. Status sosial: penari pria sebagai seorang suami, ia digambarkan sebagai figur
seorang suami yang bertanggungjawab dan sangat setia terhadap istri. Penari
wanita sebagai seorang istri, ia digambarkan sebagai figur seorang istri yang
e. Tempat: di rumah.
g. Gerak: kedua penari, pria dan wanita srisik bersama, tangan kanan saling
stage, berhenti laku enjer menthang tangan kiri, kemudian putra besut dan putri
sambil kebyokan tangan kanan-kiri kemudian suami gerak nyabet tangan kanan,
suami dan istri saling mendekat dan berciuman dengan gerak kengser dan
ngaras. Selanjutnya gerak lincak gagak bersama, suami hendak memegang istri
h. Polatan / ekspresi wajah: ketika rasa kebersamaan masih terbina, wajah suami
dan wajah istri tampak cerah dan gembira. Pada saat istri merasa kecewa
203
pandangan muka selalu menghindar dari tatapan mata suami dan pandangan
mata istri banyak mengarah ke bawah. Suasana berubah menjadi semakin mesra
wajah suami dan wajah istri tampak semakin cerah dan pandangan mata tampak
Implikatur
kesetiaan.
Implikatur bahasa verbal Sindhenan Mijil Sulastri adalah ungkapan cinta yang
Prinsip kerja sama berdasarkan bahasa verbal pada Sindhenan Mijil Sulastri dapat
diungkap:
menggunakan strategi:
Terjemahan:
Konteks.
Identifikasi / latar.
Pria (Pt).
untuk itu sebelum berangkat bekerja mereka saling menimang bayi sambil
figur seorang suami yang bertanggungjawab dan sangat setia terhadap istri.
e. Tempat: di rumah.
g. Gerak: istri srisik sambil menimang anak, suami merasa gembira dan bahagia
secara perlahan-lahan mendekat, tangan kiri memegang bahu istri dan tangan
meminta perhatian suami terhadap anak yang ditimang dengan gerak putar ke
karno kanan yang kemudian mendekati dengan gerak srisik. Selanjutnya istri
tawing kanan, maju srisik mendekati suami untuk memberikan anaknya dan
kanan.
h. Polatan / ekspresi wajah: suami dan wajah istri tampak cerah dan gembira.
Pandangan mata suami dan istri banyak terfokus pada anak dan mereka juga
Implikatur
Makarya: bekerja.
Tak kudange: menimang bayi sambil bersenandung yang berisi tentang nasehat
Implikatur bahasa verbal Jineman Sayuk mengisyaratkan bahwa dalam sebuah keluarga
pasangan suami istri sebuah keluarga semakin mantap ketika telah diberi
Prinsip kerja sama berdasarkan bahasa verbal pada Jineman Sayuk dapat diungkap:
Terjemahan:
Memang baik karakternya,
Lincah, trampil dalam bekerja,
Tenang fokus pandangannya,
Kesombongannya dihilangkan,
Bekerja keras untuk bangsa,
Tindakannya tidak boleh menyeleweng,
Istriku, bawalah anakmu sekarang, peneliti akan berangkat bekerja.
209
Konteks.
Identifikasi / latar.
tersebut kelak menjadi orang yang berperilaku baik dan berguna bagi
figur seorang suami yang bertanggungjawab dan sangat setia terhadap istri.
e. Tempat: di rumah.
diikuti istri lumaksono lembehan sampur dan kawilan. Anak diberikan istri
sampur dan lilingan. Setelah istri menimang anak beberapa saat, kemudian
anak diberikan kepada temanten putri dengan srisik, suami gerak lumaksono
h. Polatan / ekspresi wajah: suami dan wajah istri tampak cerah dan gembira.
Pandangan mata suami dan istri banyak terfokus pada anak dan mereka juga
Implikatur
Bregas ten atene: ungkapan tentang sikap dan perilaku yang baik.
kepentingan umum.
Ora nyleweng : berperilaku baik dengan menghindari hal-hal yang mengarah pada
berlaku.
Implikatur bahasa verbal Gerongan Ladrang Sayuk pada tari Tari Bondhan Sayuk,
Prinsip kerja sama berdasarkan bahasa verbal pada Gerongan Ladrang Sayuk
dapat diungkap:
menggunakan strategi:
Terjemahan:
Kebersamaan dengan teman,
Kebersamaan dalam bekerja,
Kebersamaan semuanya,
Kebersamaan dalam membangun negara.
213
Konteks.
Identifikasi / latar.
figur seorang suami yang bertanggungjawab dan sangat setia terhadap istri.
g. Gerak: pada implementasinya, gerak yang dipilih antara pasangan suami dan
Kinetic body moves yang dipilih untuk istri sekaran luluran, tawing kiri,
lilingan kebyok sampur, dan enjer muter. Sekaran untuk ekspresi peran
suami terdiri dari: laku telu pondhongan, enjer ridhong muter, lilingan
kebyok sampur dan enjer muter. Sebagai penutup sepasang suami istri saling
h. Polatan / ekspresi wajah: suami dan wajah istri tampak cerah dan gembira.
Arah Pandangan mata suami dan istri saling menatap, berhadapan dan
bahagia.
bahagia.
Implikatur
dorongan semangat.
Implikatur bahasa verbal Gerongan Lancaran Sayuk pada tari Tari Bondhan Sayuk
aktualisasi publik.
Prinsip kerja sama berdasarkan bahasa verbal pada Gerongan Lancaran Sayuk
dapat diungkap:
menggunakan strategi:
Dari penjabaran bahasa verbal yang terdapat dalam tari Bondhan Sayuk terdapat
beragam jenis tindak tutur yang dapat peneliti klasifikasikan secara kuantitatif sebagai
berikut:
Berdasarkan prinsip kerja sama bahasa verbal yang terdapat tari Bondhan Sayuk:
b. Maksim kualitas ada yang dilanggar juga ada yang dipatuhi. Maksim kualitas
adegan.
c. Maksim hubungan ada yang dilanggar juga ada yang dipatuhi. Maksim
untuk menjaga kerja sama antara penutur dengan mitra tutur, masing-masing
rasa.
penutur, tidak langsung, terlalu panjang, dan pernyataannya samar, hal ini
Prinsip kesantunan berdasarkan bahasa verbal pada tari Bondhan Sayuk, menggunakan
strategi:
b. Bahasa Nonverbal
Bahasa nonverbal tari Bondhan Sayuk terdiri dari: tema, kinetic body moves,
1.Tema.
Bentuk tema yang diangkat pada tari Bondhan Sayuk adalah tema percintaan
sepasang manusia laki-laki dan perempuan secara universal. Pasangan kekasih tersebut
bukan merupakan gambaran dari tokoh tertentu dari sebuah cerita, sejarah, babad, atau
dongeng, tetapi merupakan reaktualisasi dari imajinasi sepasang suami istri yang telah
dianugerai seorang anak laki-laki yang masih dalam timangan. Liku-liku perjalanan
cinta sepasang suami istri beserta anak laki-lakinya dalam menjalani kehidupan yang
penuh harapan-harapan terkait dengan prospek masa depan anak untuk partisipasinya
Untuk mewujudkan cita-cita yang mulia tersebut, sepasang suami istri memiliki
tugas dan tanggungjawab untuk membina dan mendidik anak sedini mungkin supaya
dapat tercapai harapannya. Selain dapat memenuhi kebutuhan yang bersifat rohani juga
tidak dapat mengabaikan kebutuhan yang bersifat jasmani sebagai sarana penopang
kebutuhan hidup sehari-hari, untuk itu seorang suami dituntut harus bekerja secara
yang mendalam seorang istri mengingatkan, menghendaki dan mendukung suami untuk
bekerja demi kelangsungan hidup keluarga, seperti tersurat pada cakepan Jineman Sayuk
pada bagian awal yang berbunyi: Dhuh mas jiwaku; baya iki wus wanci; Bapakne
Bentuk sajian dari tema percintaan yang diangkat pada tari Bondhan Sayuk
tersebut aktualisasinya diperankan oleh: suami dan istri, yang menggunakan properti
berupa boneka yang dibalut sehelai kain sebagai simbolik anak (bayi). Dari tema
akan membentuk sebuah alur yang terbagi menjadi beberapa adegan: a) adegan
memadu cinta. Pada awalnya istri kurang perhatian terhadap suami, atas rayuan suami
dengan sanjungan atau pujian, istri menjadi luluh hatinya yang kemudian mereka berdua
saling beradu cinta. Setelah kemesraan berakhir istri meninggalkan suami untuk
sepasang suami dan istri yang telah dikaruniai seorang anak laki-laki yang diharapkan
menjadi pewaris keturunan dan berguna bagi pembangunan bangsa dan negara. Adapun
bentuk aktualisasinya diwujudkan sepasang suami dan istri yang sedang menimang bayi
secara bergantian sambil bersenandung tentang harapan-harapan mulia sebagai orang tua
terhadap anak laki-laki kelak setelah menjadi orang dewasa. Harapan-harapan mulia
kedua orang tua terhadap anak laki-lakinya kelak menjadi orang yang memiliki
sama antara suami dan istri dengan suasana gembira. Rasa yang hendak diekspresikan
pada adegan ini yaitu puncak kegembiraan dan kebahagiaan. Jika dicermati dari alur
adegan dari kasmaran, kekudangan, yang kemudian makarya dapat ditarik benang
merahnya bahwa kehidupan sebuah keluarga yang didasari rasa cinta mendambakan
Gerak tubuh pada tari Bondhan Sayuk adalah kristalisasi dari beberapa unsur
gerak tradisional yang bersumber pada tarian tradisional karaton Kasunanan yang lebih
dikenal gaya Surakarta. Beberapa vokabuler gerak yang berupa sekaran memiliki
pada masing-masing adegan tidak selalu dapat dengan mudah menunjukkan aktifitas
yang tengah terjadi. Artinya pola-pola gerak yang digunakan dalam tari tidak selalu
merepresentasikan secara vulgar dan jelas maksud penyusun yang tersurat pada bahasa
tidak tampak gerak orang makarya / bekerja., tetapi bagaimana vokabuler gerak tersebut
menggambarkan sepasang suami dan istri sedang memadu cinta. Selengkapnya peristiwa
adegan kasmaran tersebut terkait dengan Kinetic body moves akan digambarkan secara
kronologis sebagai berikut. Berawal dari alunan kendhang sebagai pembukaan yang
221
diikuti secara bersama alunan seluruh ricikan balungan atau instrumen gamelan yang
terkemas dalam Srepek Rangu-rangu lr. pl. pt. barang. Kedua penari, putra sebagai
suami dan putri sebagai istri srisik bersama, tangan kanan saling berpegangan (nyathok)
dan tangan kiri lurus ke samping (menthang) menuju stage. Secara perlahan-lahan
keduanya lumaksono ridhong, srisik menuju tengah stage, berhenti laku enjer menthang
tangan kiri, kemudian putra besut dan putri sindhet merupakan gambaran rasa
kebersamaan. Iringan Ketawang Mijil Sulastri lr. pl. pt. barang untuk mendukung rasa
kecewa dan rasa mesra. Rasa kecewa diekspresikan istri lewat jengkeng, sekaran laras
sedangkan penari putra nyabet tangan kanan, besut, mendekat hoyogan, gajah-gajahan,
songgonompo – mbalang. Rasa mesra mulai tampak ketika masing-masing peran suami
dan istri saling mendekat dan berciuman dengan gerak kengser dan ngaras. Selanjutnya
gerak lincak gagak bersama, suami hendak pegang istri menghindar, saling mendekat
Suasana tegang diungkapkan istri mulai menjauh dengan gerak tawing kiri dan
laku enjer sedangkan suami berhenti tanjak sambil tawing kiri memandangi yang putri.
Kebingungan semakin tampak, istri meninggalkan putra dengan gerak srisik kipat
sampur dan suami mencoba lari untuk mencegah istri namun tidak dapat dengan gerak
srisik. Perasaan suami tegang, khawatir dengan kengser mundur pelan-pelan, kembali
maju srisik, mundur srisik, berhenti tanjak. Istri srisik sambil menimang bayi menuju ke
stage mendekati putra., adapun bentuk iringan yang mendukung suasana ketegangan
kegembiraan dan kehagiaan sepasang suami dan istri yang telah dikaruniai seorang anak
laki-laki yang diharapkan menjadi pewaris keturunan dan berguna bagi masyarakat.
Adapun bentuk aktualisasinya diwujudkan sepasang suami dan istri yang sedang
sebagai orang tua terhadap anak laki-laki kelak setelah menjadi orang dewasa. Harapan-
harapan mulia kedua orang tua terhadap anak laki-lakinya kelak menjadi orang yang
memiliki kepribadian yang baik, tidak sombong, tidak menyeleweng, bekerja secara
kekudangan mengungkapkan rasa gembira dan rasa bahagia. Bentuk Kinetic body moves
yang mengekspresikan adegan kekudangan dapat dicermati berikut ini. Setelah istri
srisik sambil menimang anak, suami merasa gembira dan bahagia secara perlahan-lahan
mendekat, tangan kiri memegang bahu istri dan tangan kanan memegang anak sambil
memperhatikan dengan tawing kanan. Istri meminta perhatian suami terhadap anak
yang ditimang dengan gerak putar ke kanan, lembehan tangan kanan, putar ke kiri –
tangan kanan ukel karno sedangkan suami mendekat menanggapi dengan gerak panggel
dan pandangan mengarah ke putri dan anak. Istri mengingatkan pekerjaan terhadap
suami dengan gerak tawing kanan sambil memandang suami sedangkan suami
menyambut baik dengan gerak ukel karno kanan yang kemudian srisik mendekati.
Selanjutnya istri tawing kanan, maju srisik mendekati suami untuk memberikan anaknya
dan suami juga mendekat dengan lumaksono untuk menerimanya. Suami menimang
anak sedangkan istrinya meledek dengan tawing kiri-tawing kanan. Seluruh sajian
Kinetic body moves tersebut diiringi jineman Sayuk lr. pl. pt. barang.
223
Ekspresi kekudangan yang berisi harapan orang tua terhadap anak, diawali
lembehan sampur dan kawilan. Gantian anak diberikan istri sedangkan suami
meledeknya dengan ogekan,tangan kanan menthang sampur dan lilingan. Setelah istri
menimang lalu boneka anak diberikan kepada temanten putri dengan srisik, suami gerak
lumaksono sambil menanti kedatangan istri. Adapun gambaran Kinetic body moves
Adegan makarya merupakan adegan ke tiga yang menjadi penutup dari seluruh
alur adegan yang terdapat pada tari Bondhan Sayuk. Ungkapan adegan makarya adalah
gambaran semangat dalam bekerja antara suami dan istri dengan suasana gembira. Rasa
yang hendak diekspresikan pada adegan ini yaitu rasa riang, gembira, dan bahagia.
Bentuk gambaran Kinetic body moves pada adegan makarya tidak mengekspresikan
orang yang tengah bekerja menggarap sawah, seperti mencangkul, membajak, tanam
padi, dan lainnya. Pada implementasinya, gerak yang dipilih antara pasangan suami dan
menimbulkan kesan semangat dalam keadaan riang dan gembira. Wujud Kinetic body
moves yang dipilih untuk istri sekaran luluran, tawing kiri, lilingan kebyok sampur, dan
enjer muter. Sekaran untuk ekspresi peran suami terdiri dari: laku telu pondhongan,
enjer ridhong muter, lilingan kebyok sampur dan enjer muter. Sebagai penutup
sepasang suami istri saling mendekat srisik kanthen tangan kanan menuju tempat duduk
temanten mengambil boneka anak kemudian sebagai cucuk lampah temanten (berjalan
di depan temanten untuk menggiring sepasang mempelai ke depan pintu rumah resepsi
guna menghantarkan para tamu undangan yang hendak berpamitan). Gendhing sebagai
224
iringan adegan ini adalah Lancaran Sayuk lr. pl. pt. barang dan Ayak-ayakan lr. pl. pt.
barang.
Secara garis besar Kinetic body moves yang terdapat pada seluruh adegan tari
kombinasi dari gerak representatif dan presentatif, seperti paparan berikut ini.
225
2) jenis-jenis vokabuler gerak atau sekaran yang terdapat dalam tari Bondhan Sayuk.
Keterangan Keterangan
No I. SW Representatif SL Representatif
Kasmaran
1 Srisik kanthen tangan Distilisasi gerak Srisik kanthen Distilisasi gerak
kanan orang lari tangan kanan orang lari
bergandengan bergandengan
tangan kanan tangan kanan
2 Lumaksono ridhong Distilisasi dari Lumaksono ridhong Distilisasi dari
orang berjalan orang berjalan
3 Srisik kanthen tangan Distilisasi gerak Srisik kanthen Distilisasi gerak
kanan orang lari tangan kanan orang lari
bergandengan bergandengan
tangan kanan tangan kanan
4 Enjer menthang Distilisasi dari songgonompo Distilisasi dari
tangan kiri orang berjalan ke orang menerima
samping sambil sesuatu
meluruskan tangan
kiri
226
Keterangan Keterangan
No I. SW Presentatif SL Presentatif
Kasmaran
1 Sindhet Gerak penghubung Besut Gerak penghubung
2 Sekaran laras Kesannya tenang Besut Gerak penghubung
kebyokan
3 Kebyokan tangan Kesannya Gajah-gajahan Kesannya tenang
kanan-kiri mengabaikan dan memperhatikan
4 Kengser Gerak penghubung, Kengser Gerak penghubung,
kesannya mendekat kesannya mendekat
5 Kengser Gerak penghubung,
kesannya mendekat
229
Keterangan Keterangan
No II. SW Representatif SL Representatif
Kekudangan
1 Srisik dengan Distilisasi gerak Tangan kiri Menunjukkan kasih
membawa anak orang lari dengan memegang bahu dan peneliting
menggendong tangan kanan
boneka anak memegang anak
2 Tawing kanan Distilisasi gerak Tawing kanan Distilisasi gerak orang
orang melihat ke melihat ke kanan
kanan
3 Tawing kanan Distilisasi gerak Srisik Distilisasi gerak orang
orang melihat ke lari
kanan
4 Srisik Distilisasi gerak lumaksono Distilisasi gerak orang
orang lari berjalan
5 Memberikan anak Untuk ditimang- Menerima anak Untuk ditimang-
kepada suami timang timang
230
Keterangan Keterangan
No II. SW Presentatif SL Presentatif
Kekudangan
1 Lembehan ke kanan- Kesan meminta Panggel memperhatikan
ke kiri sambil putar perhatian
lalu ukel karno kanan
2 Kawilan Kesan meledek Ukel karno kanan Kesan merespon
Keterangan Keterangan
No III. SW Representatif SL Representatif
Makarya
1 Sekaran luluran Distilisasi gerak Laku telu Distilisasi gerak orang
orang sedang luluran pondhongan memondong
2 Tawing kiri Distilisasi gerak Enjer ridhong muter Distilisasi gerak orang
orang melihat ke berjalan ke samping
samping kiri dengan melingkar
3 Lilingan kebyok Distilisasi gerak Lilingan kebyok Distilisasi gerak orang
sampur orang meledek sampur meledek sambil
sambil membawa membawa sampur
sampur
4 Enjer muter Distilisasi gerak Enjer muter Distilisasi gerak orang
orang berjalan ke berjalan ke samping
samping dengan dengan melingkar
melingkar
233
Dari paparan jenis-jenis gerak presentatif dan representatif yang terdapat pada tari
Jumlah
No Adegan Peran Jenis Gerak vokabuler
1 I. Kasmaran SW Representatif 12
SL Representatif 14
SL Representatif 10
III. Makarya
3 SW Representatif 4
SL Representatif 4
4 Jumlah gerak representatif, adegan I, II, dan III 54
Jumlah presentase jenis-jenis gerak representatif dan presentatif tari Bondhan Sayuk.
Ekspresi wajah atau gerak wajah bukannya wajah dalam pengertian objek yang
statis, merupakan sarana untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik terhadap
wajah pada tari Bondhan Sayuk dapat dijabarkan seperti berikut. Pada adegan 1.
kasmaran, bagian awal menggambarkan rasa kebersamaan, polatan kedua penari tampak
cerah, kepala cenderung tegak, pandangan mata lebih banyak searah dan juga diseling
saling menatap untuk mengekspresikan rasa romantis. Perubahan terjadi ketika rasa
kecewa muncul, polatan suami sedikit tegang terfokus pada istri sedangkan kepala istri
banyak menunduk, tatapan mata tidak merespon suami dan berupaya menghindar.
Rasa kasmaran mulai terbangun kembali ketika sepasang suami dan istri berciuman,
polatan suami dan istri tampak cerah, mulai saling menebar senyuman. Akhir adegan
kasmaran suasana tegang, wajah suami dan istri tampak tegang pandangan mata tajam
dan kepala tegak. Pandangan mata suami istri saling menatap secara tajam dengan
235
Adegan kekudangan diawali Istri srisik sambil menimang bayi menuju ke stage
ekspresi wajah sepasang suami istri tampak cerah. Kegembiraan meningkat dan
kebahagiaan semakin terasa ketika sepasang suami istri secara bergantian menimang
anak, ekspresi wajah keduanya semakin tampak cerah, gembira, senyuman semakin
meningkat dan pandangan mata banyak saling menatap menunjukkan keharmonisan dan
bersama-sama antara suami dan istri lewat sekaran-sekaran kebar semakin dinamis
didukung iringan Lancaran Sayuk yang berirama 1/1, sehingga kegembiraan lebih
Bentuk rias dan busana tari Bondhan Sayuk mengacu pada busana Jawa yang
sering dipakai pada acara-acara formal sebuah resepsi. Ide yang melatarbelakangi bentuk
rias dan busana yang dipakai bahwa kisah cerita yang diangkat dalam tari Bondhan
Sayuk adalah gambaran kehidupan sepasang suami istri yang berbudaya Jawa. Bagi
orang jawa rias dan dandanan busana yang digunakan pada acara resepsi secara garis
besar untuk wanita memakai kebaya dan bagian atas menggunakan sanggul atau gelung,
sedangkan pria memakai kejawen. Konsep tersebut rupanya merupakan pijakan awal
yang selanjutnya dikembangkan oleh penyusun tari menjadi lebih berfungsi untuk
kebutuhan ekspresi tari. Bentuk rias dan dandanan busana tari Bondhan Sayuk seperti
236
rias dan busana yang dipakai pada peran-peran kethoprak, terutama peran alusan atau
Wujud rias istri menggunakan rias cantik dan rias suami menggunakan rias
Dandanan busana untuk istri memakai dodot tanggung (dodot kecil) motif lereng dan
Perhiasan yang dipakai putri diantaranya: gelang, kalung, kelat bahu, dan suweng.
Suami memakai dodot tanggung motif lereng, keris dan blangkonan. Perhiasan untuk
putra diantaranya: gelang, kelat bahu, dan kalung. Warna busana dominasi coklat yang
memiliki kesan kalem dan kuning emas terutama perhiasan untuk menambah daya tarik
penonton. Kiranya dapat disimpulkan bahwa rias dan busana yang digunakan dalam tari
Bondhan Sayuk untuk memberi dukungan karakter peran dan mengaktualisasikan jati
diri peran.
5. Pola lantai.
Pola lantai yang dibentuk dari Kinetic body moves merupakan komplementer
pada masing-masing adegan. Secara prinsip pola lantai yang terdapat dalam tari
Bondhan Sayuk, mencakup dua bentuk utama, yaitu garis lurus dan garis lengkung.
Garis-garis lurus digunakan untuk mengungkapkan keinginan, kemauan yang kuat dan
suami dan istri (lihat gambar: 1). Selain itu untuk fase-fase ketegangan ketika istri
Gambar 1. Gambar 2.
lembut, yang banyak terdapat dalam tari Bondhan Sayuk, terutama pada adegan tiga
sampur, dan enjer ridhong muter yang terkait dengan pola-pola lantai tersebut seperti
Gambar 1. Gambar 2.
Gambar 3.
6. Iringan.
Bentuk iringan tari Bondhan Sayuk merupakan komplementer garap lagu Teks
sastra tembang dan rasa musikal dari garap instrumen gamelan yang berupa gendhing.
Bahasa verbal yang berupa teks sastra tembang yang terdapat dalam tari Bondhan
Sayuk, terdiri dari beberapa garap lagu, yakni: (1) garap sindhenan (2) garap jineman,
dan (3) garap gerongan. Garap sindhenan terdiri dari satu bait yang terdapat pada
iringan Ketawang Mijil Sulastri. Garap jineman mencakup satu bait yang terdapat pada
iringan Ladrang Sayuk. Bentuk garap jineman merupakan garap lagu tembang jawa,
yang penyajiannya dimulai nyanyian solo atau tunggal tanpa iringan instrumen gamelan
kemudian diikuti nyanyian secara koor dengan iringan instrumen gamelan. Maksud
menggunakan garap jineman adalah untuk menonjolkan lagu dan makna yang
terkandung dalam bahasa verbalnya. Sedangkan garap gerongan terdiri dari satu bait
yang terdapat pada iringan Lancaran Sayuk, yang dinyanyikan koor oleh vokalis putra
239
bersama vokalis putri. Susunan iringan tari Bondhan Sayuk seluruhnya dan secara urut
dari adegan kasmaran, kekudangan dan makarya dapat dicermati berikut ini.
Adegan : I. Kasmaran.
Adegan kasmaran sebagai adegan pertama dalam tari Bondhan Sayuk, didukung
beberapa iringan gendhing, antara lain: Srepek Rangu-rangu lr. pl. pt. barang,
Ketawang Mijil Sulastri lr. pl. pt. barang, dan Lancaran lr. pl. pt. barang. Kedudukan
iringan Srepek Rangu-rangu lr. pl. pt. barang pada adegan ini bersifat nglambari
artinya rasa musikal yang dihasilkan dari garap Srepek Rangu-rangu lr. pl. pt. barang
berfungsi untuk memberikan ilustrasi terhadap rasa kebersamaan sepasang suami istri.
Ketawang Mijil Sulastri lr. pl. pt. barang, yang merupakan iringan kedua setelah Srepek
Rangu-rangu lr. pl. pt. barang, kedudukannya dalam adegan kasmaran ini bersifat
nyawiji. Pengertian nyawiji di sini garap gendhing Ketawang Mijil Sulastri lr. pl. pt.
dimaksudkan adalah menyatunya rasa musikal gendhing Ketawang Mijil Sulastri lr. pl.
pt. barang dengan ekspresi vokabuler gerak yang secara komplementer mengungkapkan
suasana kasmaran yang dialami sepasang suami istri yang terjabar dalam rasa: kecewa
dan mesra.
dari beberapa elemen, diantaranya: a) rasa musikal dan makna bahasa verbal yang
kekecewaan istri, begitu pula rasa musikal dan makna bahasa verbal yang
kemesraan sepasang suami istri yang ditandai dengan gerak ciuman. b) rasa seleh yang
240
terdapat pada gendhing merupakan iringan yang mendukung rasa seleh pada tari, baik
rasa seleh ringan maupun rasa seleh berat. c) pola gatra yang terdapat pada bentuk
gendhing Ketawang Mijil Sulastri dapat dijadikan tanda mulai bergerak ataupun
Lancaran lr. pl. pt. barang, merupakan iringan yang secara musikal dapat
mengekspresikan suasana tegang yang kedudukannya pada adegan ini lebih bersifat
memberikan ilustrasi rasa tegang yang mendukung kekacauan atau ketegangan yang
diekspresikan suami maupun istri. Terkait dengan alur adegan iringan Lancaran lr. pl.
pt. barang tersebut merupakan fase peralihan dari adegan kasmaran menjadi adegan
Srepek Rangu-rangu
lr. pl. pt. barang
[ . 2 . 3 . 2 . n7 . 2 . p3 . 7 . g6
. 2 . 3 . 2 . n7 x3x x x3x x x.x x xp.
x3xx Xx XXXx3x x XXx5x x Xxg6
Xx.xxx x.x x x6XXXx x x. 7 5 7 Xxn6x7 x5x6 7
3 p2 X . 7 5 g6
. 2 . 3 . 2 . n7 . 2 . p3 . 2 .
g7
x5x x5x x x.x Xx x. 7 6 5 n3
XXXx5XXXXXXx7 6 2 p7 3 2 7 g6
Lancaran
lr. pl. pt. barang
[ . 7 . 6 . 7 . 3 . 7 . 3 . 7 . g2
. 7 . 2 . 7 . 3 . 7 . 5 . 7 . g6 ]
kebahagiaan sepasang suami dan istri yang telah dikaruniai seorang anak laki-laki yang
diharapkan menjadi pewaris keturunan dan berguna bagi pembangunan bangsa dan
negara. Adapun bentuk aktualisasinya diwujudkan sepasang suami dan istri yang sedang
sebagai orang tua terhadap anak laki-laki kelak setelah menjadi orang dewasa. Harapan-
harapan mulia kedua orang tua terhadap anak laki-lakinya kelak menjadi orang yang
iringan untuk adegan kekudangan yang mengungkapkan rasa gembira dan rasa bahagia
242
adalah Ladrang Sayuk lr. pl. pt. barang. Garap wiled yang berirama 1 / 8 pada Ladrang
Sayuk lr. pl. pt. barang mengisyaratkan bahwa ungkapan rasa gembira dan rasa bahagia
yang terdapat pada adegan kekudangan ini suasana tampak lebih tenang dan semeleh
Kedudukan iringan Ladrang Sayuk lr. pl. pt. barang pada adegan ini sifatnya
mungkus, dan nyawiji. Bentuk mungkus ini ditinjau dari pelaksanaan vokabuler gerak
kendangan kebar atau ciblon yang selalu membungkus pola gerak. Dalam hal ini pola-
pola gerak tari selalu ketat- ketat diikuti pola kendangan. Selain itu iringan Ladrang
Sayuk lr. pl. pt. barang pada dasarnya nyawiji dengan garap geraknya. Pengertian
nyawiji ini mengarah pada pemersatuan dari unsur tari yang berupa vokabuler-vokabuler
gerak kebar yang dinamis dan unsur karawitan yang berupa Ladrang Sayuk lr. pl. pt.
barang dengan irama sigrak, lagu jineman yang riang dan tekanan sedang pada adegan
kekudangan ini adalah untuk pencapaian harmonisasi penyajian. Keterpaduan garap tari
dan garap Ladrang Sayuk dalam rangka mengekspresikan rasa gembira, dan bahagia
sepasang suami dan istri dapat nyawiji dan tercapai. Bentuk iringan untuk adegan 2:
Jineman Sayuk
laras. pl. pt. barang
243
Buka : celuk :
6 7 XXXXz@cc# XXXXXXxxz6c7 Xxzx5x.x6x5c3
z7cx2 2 2 2 2 X z2x3c2 z7x.c6
Dhuh mas ji - wa ku ba - ya I - ki wus wan - ci
. . y u 3 2 uX y 3 5 z6x5x3x5x6c7 z3x2x7c6
z7x2x.x3x2c7
Ba- pak ne si - tho - le mang-kat ma - kar - ya
5 6 7 z5c6 2 2 z2x3c2 z7x.c6
Sa - wah mu tan - sah a - ngan - ti
. . . . . u . y
. . . . . . . . . . zj2c3 u . . zj2c3 y
Mbok-ne tho-le
. 3 . 2 5 3 2 7
. . 6 z7x x xzj@c# zzzzzzzzzjz6x7x jx5c3 2 y zj7c2
zj2c3 3 7 2 zj3c2 7
Sa-du - rung - e a - nak mu ga - wa - nen mre-ne
5 5 5 z6c7 7 @ # z#c@ 7 z6c7 5 6
Tak ku - dang-e a - nak ku sing ba - gus dhe - we
. 7 . z@x x x x c# z6x c5 3 . z6c7 5 . 3 .
2
Be - suk pin - ter nyam-but ga - we
Ladrang Sayuk
lr. pl. pt. barang
5 2 5 2 5 6 5 3
244
5 2 5 2 5 3 5 6
.3 5 zj5c6 j22 j23 5 zj.xjkj5c6 2 j.6 6 j.3 zj5cy j.2
3 jz5c6 6
Adhuh la - e a-tak a - dhuh la- e wis mbok ne e-nyoh a - nak - e
7 @ 6 3 6 5 3 2
245
kompak antara suami dan istri dalam suasana gembira. Rasa yang hendak diekspresikan
pada adegan ini yaitu puncak kegembiraan dan kebahagiaan untuk menyongsong masa
depan yang lebih cerah. Iringan yang mendukung adegan makarya yaitu Lancaran
Sayuk lr. pl. pt. barang dan sebagai mundur beksan (penutup) iringan Ayak-ayakan lr.
Kedudukan iringan Lancaran Sayuk lr. pl. pt. barang pada adegan ini sifatnya
mungkus, dan nyawiji. Bentuk mungkus ini ditinjau dari pelaksanaan vokabuler gerak
yang terdapat pada adegan tiga hampir seluruhnya menggunakan pola kendangan kebar
atau ciblon yang selalu membungkus pola gerak. Dalam hal ini pola-pola gerak tari
selalu ketat- ketat diikuti pola kendangan. Bentuk nyawiji ini mengarah pada
pemersatuan dua unsur menjadi satu yaitu dari unsur tari yang berupa vokabuler-
vokabuler gerak kebar yang dinamis dan unsur karawitan yang berupa Lancaran Sayuk
dengan irama sigrak, lagu gerongan riang dan tekanan dinamis, sehingga rasanya
menyatu dan harmonis. Sebagai penutup adegan makarya diiringi Ayak-ayakan lr. pl.
pt. barang yang berfungsi nglambari yang memberikan ilustrasi rasa musikal untuk
mundur beksan. Iringan Lancaran Sayuk lr. pl. pt. barang dan Ayak-ayakan lr. pl. pt.
Lancaran Sayuk
lr. pl. pt. barang
. 6 . 2 . 6 . 2 . 6 . 2 . 7 . g6
. . 6 2 . . 6 2 . . 6 2 2 3 5 6
Sa-yuk sa-yuk sa- yuk sa – kan - ca - ne
. 7 . 6 . 7 . 6 . 7 . 6 . 3 . g5
. . 7 6 . . 7 6 . . 7 6 5 2 3 5
Sa - yuk sa- yuk sa- yuk nyam-but ga- we
. 6 . 5 . 6 . 5 . 6 . 5 . 7 . g6
. . 6 5 . . 6 5 . . 6 5 2 3 5 6
Sa - yuk sa- yuk sa - yuk sa - ka - be - he
. 7 . @ . 6 . 3 . 6 . 5 . 3 . g2
. 7 . z@x x x.x x c3 z6c5 3 . z6c7 5 . 3 .
2
SS Sa - yuk mba-ngun ne – ga - ra - ne
Ayak-ayakan
lr. pl. pt. barang
Buka : o o o b o b b g2
. 3 . g2 . 3 . g2 . 5 . g3 . 2 . g7
[ 6 5 6 7 6 5 6 7 3 5 3 g2
3 5 3 g2 5 3 5 g6
5 3 5 g6 5 3 5 g6 5 3 2 g3 6 5 3 g2
3 5 3 g2 3 5 3 g2 5 3 2 g3 6 5 6 g7 ]
Suwuk : x7x x7 6 7 3 2 7 g6
247
Ketawang
Mijil
Sulastri lr.
pl. pt.
barang.
Amung sira yekti Rasa mesra gerak kengser dan kengser dan ngaras Gong: 4 V -
sulistyane ngaras
Gong: 6
mundur kengser, dan 7
nyabet kanan
2 Jineman
Ladrang Sayuk
Dalam
menciptaka
Dhuh mas jiwaku, Rasa mesra maju, tangan kiri Garis V - n
Menimang anak
memegang bahu lengkung keharmonis
istri dan tangan an keluarga,
kanan memegang seorang istri
anak sambil mempunyai
memperhatikan peranan
dengan tawing cukup
kanan penting
dalam
baya iki wis wanci, maju panggel dan Garis V - mendukung
putar ke kanan,
pandangan lengkung tugas dan
lembehan tangan
mengarah ke putri kewajiban
kanan, putar ke
dan anak peran suami
kiri – tangan
sebagai
kanan ukel karno
kepala
keluarga.
mbalik tawing
bapakne si thole, Ukel karno kanan Garis
kanan
lengkung V -
252
Tak kudange anaku Rasa mesra, tawing kiri-kanan menimang-nimang Garis Ladrang V -
sing bagus dhewe, kebersamaan, anak lengkung Sayuk lr.
mbesuk pinter gembira, dan pl. pt.
nyambut gawe bahagia. barang
253
bangsane kepentingan
umum untuk
Kenong: 2
adhuh lae, atak srisik Lumaksono Garis V - membangun
adhuh lae,ora lurus bangsa.
nleweng tumindake
3 lancaran
Sayuk lr.
Gerongan Sayuk pl. pt.
barang
255
sayuk, sayuk, sayuk, Rasa Trap jamang - Luluran Garis Gong: 1 - V Gambaran
sak kancane gembira, tawing lengkung Gong: 2 kehidupan
Sayuk, sayuk, sayuk, bahagia sebuah
nyambut gawe keluarga
yang rukun,
damai,
Sayuk, sayuk, sayuk, Kawilan - tawing Tawing kiri Garis Gong: 3 - V harmonis,
sakabehe lengkung Gong: 4 dan
Sayuk mbangun berupaya
negarane menjalani
kehidupan
Sayuk, sayuk, sayuk, Laku telu sampir Laku telu Garis Gong: 5 - V secara
sak kancane sampur pondhongan lengkung Gong: 6 bersama-
Sayuk, sayuk, sayuk, sama untuk
nyambut gawe membina
dan
Sayuk, sayuk, sayuk, Enjer ridhong Enjer ridhong Garis Gong: 7 - V mendidik
sakabehe lengkung Gong: 8 anak kelak
Sayuk mbangun menjadi
negarane orang yang
Sayuk, sayuk, sayuk, Lilingan kebyok Lilingan kebyok Garis Gong: 9 - V berguna
256
terdapat hubungan yang bersifat langsung dan tidak langsung. Hubungan bahasa
verbal dan nonverbal bersifat langsung artinya bahwa makna bahasa verbal sastra
tembang sesuai dengan makna bentuk kinetic body moves dari bagian bahasa
langsung artinya bahwa makna bahasa verbal sastra tembang tidak sesuai dengan
makna bentuk kinetic body moves. Secara kuantitatif hubungan bahasa verbal dan
nonverbal pada tari Bondhan Sayuk yang bersifat langsung tampak lebih
7. Properti boneka.
Boneka anak yang dibalut dengan sehelai kain dimaksudkan sebagai simbolisasi
anak (bayi) yang masih dalam timangan seorang ibu. Rupanya terdapat sebuah
harapan dari simbolisasi boneka anak tersebut yaitu bagi pasangan temanten untuk
segera diberi keturunan anak sebagai pewaris keluarga. Boneka anak yang sering
257
digunakan dalam tari Bondhan Sayuk dilengkapi dengan baterai sehingga dapat
bersuara layaknya anak yang sedang menangis, hal ini untuk kebutuhan kemasan
boneka pada tari Bondhan Sayuk sangat terkait dengan keinginan atau harapan
seniman penyusunnya yang ketika itu menghendaki diberi anak pertama lahir
B. Faktor Genetik.
dan berakhir dalam suatu proses yang terus menerus melalui dimensi waktu
(Ibrahim Alfian, 1999: 2). Kehadiran genre tari pasihan di Surakarta merupakan
suatu proses yang memakan waktu cukup lama dalam sejarah yang penting bagi
yang hendak dipaparkan sebagai awal bagian faktor genetik untuk mengantar pada
tari pasihan dalam kurun waktu sejarah, akan diamati sejak adanya bentuk garapan
tari dengan tema percintaan sejak abad ke VIII zaman Mataram Kuno hingga
sekarang.
Masa embrio tari pasihan sejak Abad ke VIII sampai abad ke XIX. Bila
kita runut lebih cermat, garapan tari yang bertemakan percintaan di Jawa
diperkirakan telah ada sejak abad IX, seperti yang tertulis pada prasasti Balitung.
258
dramatari yang membawakan wiracarita Mahabarata dan Ramayana juga sudah
ada sejak zaman Mataram Kuna. Meskipun istilah dramatari tidak disebutkan,
tetapi kemungkinan besar yang dipergunakan pada waktu itu adalah bentuk
wayang wwang. Istilah wayang wwang baru dijumpai pada tahun 930 A.D. yang
tergores dalam prasasti Wimalasrama dari Jawa Timur. Gaya dan tehnik tarinya
yang digunakan kemungkinan besar telah terekam pada relief Candi Borobudur
bentuk dramatari dan wiracarita yang dibawakan sejak zaman Mataram Kuna,
kemungkinan besar bentuk garapan tari yang bertemakan percintaan juga sudah
ada sejak zaman itu. Mengingat di dalam wiracarita Ramayana dan Mahabarata
juga diwarnai oleh tema percintaan. Rupanya sudah dapat diduga bahwa dalam
seperti adegan percintaan Sugriwa dan Dewi Tara, percintaan Rama Wijaya
Majapahit (abad X sampai ke XVI), dramatari Jawa Tengah yang bernama wayang
wiracarita yang sama yaitu Ramayana dan Mahabarata, Mengingat zaman Jawa
yaitu cerita Panji, maka lahir pula dramatari baru yang bernama Raket
(Soedarsono, 1990: 7). Adapun cerita Panji ini mengisahkan perjalanan cinta Panji
259
Inukertapati dengan Sekartaji. Dengan demikian Raket merupakan bentuk
terdapat garap adegan percintaan antara Panji Inukertapati dengan Sekartaji yang
hidup dan berkembang pada zaman Majapahit. Cerita Panji merupakan cerita yang
sangat terkenal di wilayah Asia Tenggara. Bila wiracarita Ramayana jelas berasal
dari India, maka tidak dapat disangkal lagi bahwa cerita Panji berasal dari Jawa.
karena kemudian dianggap sebagai salah satu cerita Jataka atau kelahiran Budha
(Soedarsono, 1999: 133). Maka tidaklah mengherankan apabila cerita Panji ini
juga merupakan tema yang digunakan dalam genre tari pasihan yang hidup dan
dan budaya Jawa mulai muncul dan berkembang di Jawa Tengah di bawah raja-
raja penganut Islam seperti Demak, Pajang, dan kemudian Mataram Baru.
perkembangan dari Raket, tetap populer pada masa itu. Menurut tradisi Jawa, para
wali terutama Sunan Kalijaga yang selalu dikatakan sebagai pencipta topeng-
yang diciptakan untuk pertunjukan wayang topeng terdiri dari sembilan, yaitu
Klana, Danawa (raksasa), Benco (sekarang Tembem atau Doyok), dan Turas (
sekarang Penthul atau Bancak) (Soedarsono, 1999: 18-19). Kiranya dapat diduga
topeng dan membawakan cerita Panji yang di dalamnya tetap masih terdapat garap
260
adegan percintaan antara Panji Kasatriyan dengan Candrakirana yang dilestarikan
pada zaman Mataram Jawa Tengahan (abad ke XVI sampai abad ke XVIII).
bentuk garapan tari yang membawakan tema percintaan tetap lestari dan terdapat
pada bentuk Tayub, Bedaya Ketawang, Bedaya kadukmanis, dan Wayang Wong.
Baladewa Rabi, dan Gatutkaca Rabi pada acara memeriahkan perkawinan Puteri
Juliana dengan Pangeran Bernhard van Lippe Biesterfeld tahun 1937 di Sriwedari,
menunjukkan bahwa garapan tari dengan tema percintaan masih dilestarikan dan
tersebut rupanya bentuk garapan tari pasihan sejak zaman Mataram Kuna di Jawa
Tengah (abad ke VIII ) hingga zaman Mataram Baru di bawah pemerintahan Paku
Buwana X ( abad ke XIX), masih terikat dan terkait dengan kelompok, adegan,
maupun peran-peran lain. Baru pada sekitar tahun 1940-an muncul tari Gatutkaca-
Pergiwa.
Rini, bahwa tari Gatutkaca-Pergiwa itu telah muncul sebelum Indonesia merdeka
tahun 1945 (Maryono, 2006: 19). Tari Gatutkaca-Pergiwa adalah bentuk tari
pasihan yang merajut percintaan antara Raden Gatutkaca dengan Dewi Pergiwa.
261
Tari pasihan ini dapat diduga merupakan sempalan dari sebuah garapan wayang
Pergiwa diperkirakan pada sekitar tahun 1920 hingga 1945-an yang berarti pula
merupakan awal munculnya tari pasihan di Surakarta. Kiranya hal ini dapat
lakon-lakon rabi atau kromo (kawin) banyak bermunculan pada tahun 1920-an
Hamengku Buwana VIII. Di samping itu wayang wong di Surakarta juga telah
membawakan lakon-lakon rabi seperti Gatutkaca Rabi terjadi pada tahun 1937,
yaitu untuk merayakan perkawinan Puteri Juliana dengan Pangeran Bernhard van
wayang wong dan Sarwo Rini sebagai seniman pada waktu itu menyatakan bahwa
tari Gatutkaca-Pergiwa itu sudah ada sebelum Indonesia merdeka tahun 1945;
ketiga, pernyataan Maridi yang mengungkapkan bahwa tari-tari yang sering pentas
pada acara-acara orang punya kerja pada tahun 1940-an, antara lain Gatutkaca
Rupanya tidak benar apabila ada berita yang menganggap bahwa tari
pasihan Raden Irawan dengan Dewi Wanuhara merupakan tari pasihan yang
pertama kali muncul di Jawa pada tahun 1920-an. Hal ini berdasarkan rekaman
video tari yang menggambarkan percintaan Raden Irawan dengan Dewi Wanuhara
tersebut merupakan rekaman sebagian dari adegan percintaan yang terdapat dalam
wayang wong lakon Sri Suwela, jadi bukan garapan tari pasihan yang sudah
mandiri (lihat video wayang wong: koleksi ASKI sekarang ISI Surakarta, nomor:
262
108). Akan tetapi garap tari dengan tema percintaan tersebut lebih sebatas
memberi gambaran tentang bentuk embrio tari pasihan yang terdapat di dalam
wayang wong. Kehidupan kesenian dalam kurun waktu tahun 1942-1949, dapat
dikatakan bahwa dalam periode itu hampir tidak ada kegiatan-kegiatan yang
tahun 1956 di Pura Mangkunegaran yang lebih dikenal dengan sebutan pertemuan
tiga kota yaitu Surakarta, Yogyakarta, dan Bandung, muncul genre baru yaitu
genre tari pasihan. Pertemuan budaya tiga kota ini merupakan pertemuan ke-2,
Bandung menyajikan tari-tarian seperti: tari Puja, Srigati, Sekar putri, Dewi
Serang, Sulintang, Pamindo, Kupu-kupu, Golek Reneka, Graeni, Panji, dan tari
Samba. Menurut Soedarsono kehadiran genre tari pasihan ini terpacu oleh
percintaan di Bali yang telah muncul pada tahun 1952. Selain itu, tampaknya
263
masyarakat mempunyai peran yang cukup besar dalam membentuk dan
Pada tahun 1959, muncul tari Bondhan Tani yang disajikan secara
royong oleh sepasang suami-istri. Sekitar tahun 1962, muncul tari duet Satya Bakti
yang membawakan tema percintaan dan perjuangan. Rupanya tari Satya Bakti
merupakan hasil interpretasi terhadap kesadaran bela negara yang saat itu sudah
mulai memudar di kalangan masyarakat. Hal ini terjadi akibat situasi politik
Ketoprak dan Ludruk menjadi rebutan dua partai besar yaitu Partai Nasional
Indonesia (PNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada masa itu muncul tari
yang menggambarkan kehidupan rakyat kecil seperti tari Tani, tari Nelayan, tari
dan bertemakan kerakyatan, anti feodalisme yang dikembangkan PKI hidup subur,
akibatnya seni yang berasal dari istana terdesak bahkan dimusuhi karena dianggap
tidak merakyat dan tidak dapat untuk menarik massa. Maka wajar apabila bentuk-
bentuk tari duet percintaan yang sudah ada tidak dapat berkembang karena pada
264
dasarnya tari-tarian duet percintaan yang menjadi genre ini merupakan tari-tarian
Setelah tahun 1965, terjadi perubahan tatanan politik sangat kuat yang kita
sebut Orde Baru, yaitu kebebasan individu mulai dijamin, maka mulai
bermunculan karya-karya individual. Hal itu tidak terlepas dari kondisi stabilitas
keamanan yang berangsur-angsur mulai pulih dan terkendali serta kembali normal.
tujuan, dan jangkauan yang jelas dan transparan, sehingga pembangunan dari
berbagai bidang mulai digerakkan untuk mencapai tujuan masyarakat adil dan
tampak semakin meningkat dalam berbagai aspek, baik hukum, politik, ekonomi,
dan lainnya. Banyak praktisi hukum wanita mulai bermunculan, para politisi
wanita semakin diperhitungkan dalam elite politik, dan para ekonom wanita serta
cinta hingga film yang berbau porno dan juga mode-mode pakaian yang cenderung
pamer tubuh, itu semua tidak dapat disangkal telah mempengaruhi pola pikir
pilihannya sendiri bahkan menolak jika memang dirasa tidak cocok ataupun tidak
bangkitnya genre tari duet percintaan untuk lebih bergerak hidup dan berkembang
265
Pada Tahun 1970 S. Maridi sebagai seorang seniman yang kreatif
menawarkan hasil karyanya yang berbentuk tari duet percintaan yaitu Karonsih.
Pada awalnya, tari Karonsih ini disusun atas permintaan dari panitia resepsi Ibnu
Harjanto dari Kalitan (Maryono, 1991: 2). Bentuknya sangat lekat dengan bentuk-
bentuk tari tradisional gaya Surakarta, baik mengenai koreografi, rias, busana, dan
garap iringannya. Penampilan perdana oleh Maridi sebagai Panji Inu Kertapati dan
Endang Susilawati membawakan peran Sekartaji. Tari Karonsih adalah salah satu
tari duet percintaan antara tipe karakter putri luruh dengan putra alus yang
bersumber pada cerita Panji. Pada awalnya tari Karonsih disusun berdasarkan
fragmen Topeng Klono Bodo yang telah diciptakan Maridi, tahun 1969 dalam
Keberadaan tari Karonsih dalam budaya Jawa sejak tahun 1970 telah
menjadi bagian yang seolah-olah tidak dapat dipisahkan terutama pada acara-acara
upacara perkawinan. Rasanya menjadi kurang utuh apabila dalam acara resepsi
perkawinan tidak hadir tari Karonsih sebagai penutup pesta tersebut. Kehadiran
tari Karonsih menjadi sangat penting karena pada perkembangannya bahwa tari
pesat. Indikasi yang dapat diamati hingga sekarang, menurut Wahyu Santoso
Prabowo sebagai penari tari Karonsih yang telah dimulai sejak tahun 1973 yaitu
masyarakat tidak memahami tari Karonsih, sehingga asal melihat tari-tarian yang
266
Enggar-enggar, Langen Asmara, tidak terkecuali juga Karonsih dan lainnya,
mereka akan menyebutnya tari Karonsihan (Maryono, 2006: 28). Selain itu, tari
Karonsih lebih awal hadir di dalam upacara-upacara perkawinan adat Jawa dan
mengakar pada masyarakat Jawa yang dalam kehidupannya banyak dipenuhi hal-
menjadi bagian dari kebutuhan sosialnya, mempunyai pengaruh cukup besar yaitu
tradisional. Pengaruhnya dapat dilihat dengan munculnya berbagai bentuk tari duet
percintaan, seperti : tari Endah, tari Lambangsih, tari Gesang Rahayu, tari
Bondhan Sayuk, tari Enggar-enggar, tari Driasmara, tari Jayaningrat, tari Kusuma
Ratih, tari Setyaningsih, tari Langen Asmara, dan tari Kusuma Aji. Secara objektif
iringan, dan properti. Selain itu penyebaran tari Karonsih mengalami kemajuan
sangat pesat sejak tahun 1970 hingga sekarang. Kehidupan Karonsih menyebar
Karya tari Bondhan Sayuk disusun oleh Sunarno pada tahun 1979. Tema
mengarah pada perjalanan hidup sepasang manusia dari kalangan rakyat. Menurut
Sunarno, tari Bondhan Sayuk lebih tepat untuk gambaran sepasang temanten
267
maupun sebuah keluarga baru yang belum memiliki anak (wawancara, 2008).
Gagasan awal terciptanya tari Bondhan Sayuk adalah sebuah ekspresi pribadi
tersebut rupanya diridhohi oleh Sang Pencipta, anak pertama laki-laki bahkan anak
kedua juga laki-laki dan anak ketiganya baru putri. Dalam perjalanan waktu tari
Bondhan Sayuk sangat diminati oleh masyarakat hingga sekarang, yang pertama
merupakan hiburan yang tepat dalam sebuah resepsi perkawinan dan kedua
dimaknai sebagai simbolik sepasang suami dan istri yang hidup bahagia yang
kreatif para koreografer tari seperti Maridi dan Sunarno. Meluasnya sebaran genre
tari pasihan tidak terlepas dukungan iringan kaset yang banyak dijual di toko-toko
Perkawinan merupakan salah satu dan suatu saat peralihan yang terpenting
pada life-cycle dari semua manusia di seluruh dunia, yaitu peralihan dari tingkat
hidup remaja ke tingkat hidup berkeluarga. Pesta dan upacara pada saat peralihan
sepanjang life-cycle itu merupakan suatu hal yang universal yang hampir ada pada
setiap budaya manusia, namun tidak semua saat peralihan itu dianggap sama
pentingnya pada tiap-tiap budaya. Sifat universal pesta dan upacara sepanjang life-
cycle terjadi karena adanya suatu kesadaran secara umum di dalam budaya
manusia, bahwa setiap tingkat baru dalam life-cycle itu berarti menghantarkan si
individu ke suatu tingkat dan lingkungan sosial yang baru dan lebih luas.
268
Di dalam aktivitas budaya manusia ada yang menganggap bahwa saat
peralihan dari tingkat sosial tertentu ke tingkat sosial lainnya itu merupakan crisis-
rites yang penuh bahaya, gawat, baik secara nyata maupun gaib (Koentjaraningrat,
merupakan fase tengah dalam skema ritus transisi dari praliminal untuk menuju
pascaliminal. Dalam periode liminal ini seorang liminar berada dalam keadaan
Untuk itu crisis-rites bagi seorang liminal sangat penting, mengingat upacara-
menolak bahaya gaib yang mengancam individu dan lingkungan. Demikian halnya
yang terjadi pada budaya masyakat Jawa di dalam melangsungkan sebuah upacara
upacara yang sangat sakral sepanjang daur hidupnya. Kesakralan itu sesuai dengan
upacara ritual yaitu waktu, tempat, pelaku, perlengkapan, dan pimpinan upcara
yakini jika dilaksanakan dengan taat dan benar membawa berkah dan keselamatan,
Bagi masyarakat Jawa yang masih lekat dengan budayanya, segala ritual
dengan tindakan simbolik dan magis simpatetis bagi masyarakat Jawa dalam
269
perkawinan, diperlukan kekuatan-kekuatan tertentu. Kekuatan tersebut antara lain
berupa magis simpatetis yang diwujudkan dengan tindakan atau perbuatan yang
Grundberg yang menggambarkan sebuah tari kesuburan dari suku Indian Coneba
di Brasil, yang diekspresikan para penari dengan membawa gambar tiruan organ-
Stamping with the right foot and singing, they dance with the upper part of
their bodies bent forwards. Suddenly they jump wildly along with violent
coitus motions and loud groans....
They carry the vertility into every corner of the houses.... the jump among
the women – the knock the phalli one against another.... (dalam Richard
Kraus, 1969: 21).
wanita, dilakukan secara simbolis. Hal ini terbukti pada masyarakat Jawa
kesuburan dengan cara menanggap jenis tari duet percintaan atau tari pasihan yang
Salah satu sarana upacara perkawinan adat Jawa yang cukup penting
adalah tari pasihan. Hampir dapat dipastikan bahwa pada setiap upacara
perkawinan akan hadir tari pasihan. Rupanya, sudah mengakar pada budaya
270
masyarakat Jawa, yaitu pada setiap ada acara upacara perkawinan akan hadir tari
pasihan yang hendak diteladani oleh kedua mempelai. Peristiwa budaya ini
bermakna, baik secara simbolik maupun sebagai santapan estetis terasa menyatu
Konsepsi Bahasa Verbal dan Nonverbal Tari Karonsih dan Tari Bondhan
Sayuk.
lewat komplementer bahasa verbal dan nonverbal. Pemilihan bahasa verbal dan
dapat dihayati oleh penonton. Karya tari Karonsih dan Tari Bondhan Sayuk
sarana ekspresi jiwa untuk diinteraksikan kepada publik untuk menggapai sebuah
harapan dapat dihayati. Ekspresi diri semata tidak akan memuaskan, maka
diterimanya karya tari tersebut oleh masyarakat, untuk itu dibutuhkan kecermatan
dan kreatifitas seorang seniman dalam menciptakan karya tari yang mencakup
271
Berdasarkan informasi dari seniman penyusun, konsep yang mendasari
tentang dominasi jenis-jenis tindak tutur direktif yang terdapat pada tari Karonsih
dan Tari Bondhan Sayuk adalah terkait dengan fungsi bahasa verbal yang terdapat
dalam tari pasihan utamanya untuk suritauladan. Secara intern jenis-jenis tindak
cinta kasih dan secara ekstern diharapkan oleh seniman penyusun jenis-jenis
tindak tutur direktif yang mendominasi dalam bahasa verbal yang sifatnya
penghayat. Untuk itu bagi seniman penyusun, dominasi tindak tutur direktif yang
terdapat dalam tari pasihan tersebut sangat diperlukan supaya makna keteladanan
temanten.
Bentuk-bentuk dominasi jenis tindak tutur direktif dalam bahasa sastra tembang
tari Karonsih dan Tari Bondhan Sayuk, dapat dicermati contoh berikut ini:
Jenis Tindak Tutur (TT) yang melekat pada Sindhenan Pangkur Ngrenas.
272
Sekartaji
4 Dewi Dadya gantilaning tyas Direktif dadya formal
Sekartaji
5 Dewi Ulun dhahat teka Direktif Ulun formal
Sekartaji aginggang sarambut dhahat
6 Dewi Kalamun datan datan formal
Sekartaji pinanggya Direktif
273
7 L Sakdurunge anakmu Direktif gawanen formal
gawanen mrene,
8 L Tak kudange anakku Ekspresif bagus formal
sing bagus dhewe,
9 L Mbesuk pinter Direktif mbesuk formal
nyambut gawe. pinter
Bentuk bahasa verbal yang terdapat pada tari Karonsih dan Tari Bondhan
Sayuk merupakan bahasa tembang Jawa yang berasal dari ranah tembang macapat.
memiliki watak atau rasa lagu yang bernuansa percintaan, seperti Pangkur
Ngrenas memiliki rasa lagu jatuh cinta; Kinanthi Sandhung memiliki rasa lagu
romantis yang lebih tepat untuk memberikan nasehat-nasehat tentang cinta kasih;
Mijil Sulastri memiliki rasa lagu prihatin dan untuk mengungkapkan rasa cinta
kasih atau nasehat-nasehat tentang asmara, begitu pula gerongan Lambangsari dan
Jineman Sayuk. Bahasa verbal yang berupa tembang-tembang cinta tersebut dapat
sarambut, garwa, brangti, wuyung, mustikaning, wanodya di, setya, rabinira, asih
tresna, asmara, wong manis, sulistyane, prasetya, dan mas jiwaku. Dengan
demikian bahasa verbal yang terdapat pada tari Karonsih dan Tari Bondhan Sayuk,
antara unsur-unsur lingual dalam bentuk guru wilangan, guru lagu, kata dalam
274
Pemilihan jenis-jenis tembang tersebut selain watak atau rasa lagu sesuai
dengan tema percintaan juga didasari dari latar belakang budaya penyusun tari
Karonsih dan Tari Bondhan Sayuk yang berasal dari budaya Jawa. Faktor
mengkristal membentuk pola pikir, rasa estetik, tingkah laku, dan pola kehidupan
Maridi sebagai seniman. Bergaulnya dengan para seniman wayang orang seperti:
Rusman, Darsi dan Surono rupanya memberikan kontribusi yang sangat berarti
tersebut. Bentuk tembang Pangkur merupakan salah satu inspirasi dari sajian
tokoh Gathutkaca ketika memadu asmara dengan Pergiwa yang diperankan oleh
Rusman dan Darsi. Begitu pula Sunarno, setelah dewasa menjadi penari
inspirasi dan kontribusi dalam menciptakan karya tari Bondhan Sayuk. Puncak
kreatifitasnya dalam menciptakan karya yang berbasis bahasa verbal dalam bentuk
tembang Jawa.
Bahasa verbal yang digunakan pada tari Karonsih yang secara intern
sebagai alat komunikasi antar peran yang terlibat yaitu sebagai media percakapan
275
Dewi Sekartaji dengan Panji Inukertapati menggunakan bahasa Jawa Krama.
adalah anak raja. Dewi Sekartaji puteri raja Lembu Amijaya dari Kediri
sedangkan Panji Inukertapati Kertapati putera raja Lembu Amiluhur dari Jenggala.
Sebagai keluarga bangsawan sikap perilaku kedua peserta tutur memiliki adat dan
verbal yang digunakan untuk komunikasi peserta tutur adalah bahasa Jawa krama
yang dirasa tepat dan sesuai untuk mencerminkan kehalusan terkait dengan
kedudukan sosial sebagai putra bangsawan. Salah satu contoh tingkat kehalusan
bahasa Jawa krama yang digunakan pertuturan Dewi Sekartaji dan Panji
Inukertapati Kertapati pada tari Karonsih dapat dicermati pada bahasa tembang
berikut ini:
Sedangkan bahasa verbal dalam tari Bondhan Sayuk yang digunakan untuk
percakapan peran yang terlibat dalam pertuturan antara suami dengan istri
Kedudukan peserta tutur antara suami dan istri adalah gambaran masyarakat secara
umum yang lebih lazim disebut masyarakat biasa. Peserta tutur antara suami dan
276
istri merupakan simbol keluarga kecil dari kalangan masyarakat petani yang
tercermin dari bahasa verbalnya yang cenderung ngoko yang lazim digunakan
suami dan istri sambil menimang anak, hal ini dapat dicermati dari kata-kata yang
digaris bawah:
penyusunnya yang berasal dari keluarga seorang buruh tani dari desa Semono
wilayah kabupaten Boyolali. Sebagai keluarga petani sikap perilaku kedua peserta
tutur yang digambarkan dalam tari Bondhan Sayuk memiliki adat dan etika budaya
yang lebih lugas, polos cenderung apa adanya dan tampak kurang halus (kasar).
Sehingga bahasa verbal yang digunakan untuk komunikasi peserta tutur yang
terlibat antara suami dan istri adalah bahasa Jawa krama ngoko yang dirasa tepat
dan sesuai untuk mencerminkan sifat lugas, polos cenderung apa adanya terkait
Fungsi bahasa verbal yang terdapat pada tari Karonsih dan Tari Bondhan
bahasa verbal dalam tari Pasihan menjadi sangat penting, mengingat bahasa
penyusunnya. Untuk itu bahasa verbal dirasa sarana yang tepat untuk menjelaskan
277
maksud dan harapan yang dikehendaki oleh seniman tanpa melalui proses distorsi
Bentuk bahasa nonverbal yang terdapat pada tari Karonsih dan Tari
Bondhan Sayuk meliputi: tema, kinetic body moves, polatan (ekspresi wajah), rias,
busana, pola lantai, dan iringan. Tema yang dipilih untuk tari Karonsih dan Tari
Bondhan Sayuk adalah pasihan atau percintaan. Konsep yang mendasari pemilihan
tema percintaan ini terkait dengan harapan penyusun yang menghendaki kehadiran
tari pasihan dalam resepsi perkawinan dapat bermakna bagi sepasang temanten.
Tema percintaan yang diangkat dalam tari pasihan tersebut secara garis besar
menggambarkan perjalanan cinta sepasang suami dan istri berawal dari duka yang
dihadapi dapat diselesaikan dengan baik yang akhirnya mereka dapat berhasil
menikmati hidup bahagia dalam sebuah keluarga. Rupanya kisah tersebut menjadi
percintaan yang ideal, romantis, dan bahagia. Adapun bentuk garapnya hanya
menyajikan dua peran utama yakni pria dan wanita sebagai pasangan suami dan
istri. Wujud pasangan tersebut mengarahkan penonton supaya lebih fokus pada
tema percintaan, sehingga hayatan dari penonton tidak terkontaminasi tokoh atau
peran lainnya.
Kinetic body moves, polatan (ekspresi wajah), rias, busana, pola lantai, dan
yang bersumber dari budaya istana Kasunanan Surakarta. Kinetic body moves
278
sebagai media utama dalam sajian tari pasihan berupa pola-pola sekaran tari
tradisional gaya Surakarta. Secara garis besar gerak dalam tari dapat dibagi
menjadi dua bagian secara kasar, yakni gerak presentatif dan representatif.
Keduanya hadir dalam jagad tari, namun kemunculannya tidak mudah untuk
dipisah-pisahkan secara tegas, karena wujud yang tampak sering samar-samar, hal
itu sengaja dibuat untuk mengungkapkan ekspresi seniman atau penyusun tari.
Gerak presentatif merupakan bentuk gerak yang tidak mempunyai arti secara
gerak representatif adalah gerak penghadir, artinya gerak yang dihasilkan dari
keperluan ekspresi.
dan Tari Bondhan Sayuk secara garis besar, pola-pola sekarannya bersifat
presentatif dan representatif. Dari seluruh adegan I, II, dan III pada tari Karonsih
bahasa nonverbal, yang mencapai 80,20 % dalam tari Karonsih dan 76,05 % dalam
tari Bondhan Sayuk. Dominasi gerak representatif yang terdapat pada genre tari
pasihan dimaksudkan oleh seniman penyusun supaya masyarakat dan lebih khusus
sepasang temanten akan merasa lebih mudah mengapresiasi tema tarian. Semakin
menafsirkan tema dari ilusi-ilusi yang diekspresikan lewat gerak sehingga pesan
279
merefleksikan gerak orang bermesraan, seperti: berpelukan, bergandengan tangan,
kegembiraan. Sehingga tema yang muncul dapat ditafsirkan yakni tema percintaan.
genre tari pasihan pada sebuah resepsi perkawinan bukan pada resepsi lainnya itu
merupakan pertanda bahwa jenis-jenis tari tersebut mempunyai fungsi yang berarti
Selain itu dari komposit bahasa verbal dan Kinetic body moves sebagai
unsur nonverbal pada tari Karonsih dan Tari Bondhan Sayuk terdapat hubungan
yang bersifat langsung dan tidak langsung. Hubungan bahasa verbal dan Kinetic
body moves bersifat langsung artinya bahwa makna bahasa verbal sesuai dengan
makna bentuk gerak. Sedangkan hubungan bahasa verbal dan Kinetic body moves
bersifat tidak langsung artinya bahwa makna bahasa verbal tidak sesuai dengan
makna bentuk gerak. Secara kuantitatif hubungan bahasa verbal dan nonverbal
tidak langsung. Alasannya kehadiran genre tari pasihan pada resepsi perkawinan
adalah untuk hiburan dan suritauladan temanten dan masyarakat yang kepekaan
rasanya heterogen, untuk itu supaya seni tersebut dapat ditangkap maknanya oleh
semua lapisan masyarakat maka bentuk komposit bahasa verbal dengan Kinetic
body moves yang bersifat langsung dirasa sangat tepat agar mudah dihayati.
tersebut terkait dengan latar belakang kedua penyusun yaitu: Maridi dengan
280
karyanya tari Karonsih dan Sunarno dengan karyanya tari Bondhan Sayuk yang
sejak masih muda mereka banyak belajar tari-tarian tradisi gaya Surakarta. Seperti
Maridi sejak berumur sekitar usia 8 tahun, Maridi sudah bergabung di sanggar
tari: paguyuban Muda Matoyo di bawah asuhan Jogo Laksito. Berkat kecerdikan
dan keuletan dalam upaya memperdalam tari, Maridi secara diam-diam banyak
berguru dengan beberapa empu tari yang akhirnya membentuk pribadinya menjadi
seorang empu tari, terutama tari tradisional gaya Surakarta. Adapun guru dan
Bagi Sunarno sejak berumur 11 tahun, ia belajar tari di desa Semono dengan
Wiryo Dimedjo (paman), belajar tari Kethekan (kera), tari rakyat, dan tari
Bondhan. Masa kecilnya banyak di Pati diajak paman Sandiman yang berprofesi
Polisi yang juga seorang penari. Selama di Pati, Sunarno banyak belajar tari
Gandrung.
b) Eko Prasetya, belajar tari kethekan, tari cakil di asrama polisi Pati.
281
c) Raden Irawan, belajar tarian dasar tayungan, tari Cantrikan, dan Tari
Setelah lulus SMP, untuk meniti karirnya lebih lanjut, Sunarno melanjutkan
pada jurusan tari tahun 1970 lulus tahun 1972. Pada tahun 1973, Sunarno masuk
kuliah di Akademi Seni Karawitan Indonesia, jurusan Karawitan (ASKI) dan lulus
sarjana muda tahun !979. Melanjutkan S1 di ASKI lulus tahun 1981 dan
tahun 2007 dengan gelar Magister Seni ( M.Sn). Di samping kuliah ia juga seorang
pengajar tari spesialis tari gagah di ASKI sejak tahun 1973 yang pada waktu itu
baru menjadi pegawai honorer Dikbud Kodya yang diperbantukan untuk ASKI.
Pada tahun 1976, ia diangkat sebagai pegawai negeri Dikbud Kodya dan sejak
c) Wiryo Tampu.
282
Polatan atau ekspresi wajah pada tari pasihan pada dasarnya tidak tampak
yang cennderung alus, luruh dan feminin. Bentuk rias dan busana yang dipakai
pada tari pasihan berdasarkan pola-pola tradisi yang disesuaikan dengan sumber
cerita. Pada tari Karonsih yang bersumber dari cerita Panji menggunakan
dandanan Panjen dengan ciri Tekes, sedangkan tari Bondhan Sayuk yang
suami dan peran istri menggunakan Gelungan atau konde. Bentuk iringan
rupanya sangat tepat dan memberi kemantapan dalam mendukung sajian tari
pasihan. Pola-pola semacam itu merupakan budaya Jawa yang merupakan dasar
dari penyusun tari pasihan sehingga komplementer dari kinetic body moves,
polatan (ekspresi wajah), rias, busana, pola lantai, dan iringan sebagai bahasa
nonverbal tari pasihan saling mengkait untuk mendukung bahasa verbal sastra
tembang menjadi bentuk sajian tari yang utuh dan berfungsi sebagai media
kinetic body moves, polatan (ekspresi wajah), rias, busana, pola lantai, iringan
gamelan yang terpadu dengan bahasa verbal sastra tembang diperlukan kepekaan
rasa dan ketajaman pikir sehingga mampu menghayati nilai-nilai cinta kasih pada
Komposit bahasa verbal dan nonverbal dalam genre tari pasihan merupakan
kehadiran genre tari pasihan pada upacara ritual perkawinan difungsikan oleh
283
seniman penyusun sebagai hiburan dan suritauladan bagi sepasang temanten dan
masyarakat pada umumnya. Sebagai hiburan, sajian genre tari pasihan menjadi
layak karena wujudnya merupakan bentuk seni pertunjukan yang secara visual
menarik, memikat dan mengandung nilai estetik yang dapat menghibur penonton.
pada pesan atau muatan isi yang terkandung dalam komposit bahasa verbal dan
nonverbal genre tari pasihan yang berupa nasehat-nasehat cinta kasih tentang:
diperuntukan bagi sepasang temanten untuk bekal dalam membina rumah tangga.
C. Faktor Afektif.
sosial yang mengapresiasi tari pasihan terutama jenis tari Karonsih dan tari
berbeda-beda tergantung dari kepekaan rasa dan ketajaman pikir yang dimiliki
individu. Beragamnya persepsi dari masyarakat penonton tidak lepas dari bekal
pasihan gaya Surakarta. Beragam pendapat dari kalangan masyarakat telah muncul
menanggapi hadirnya genre tari pasihan pada ritual resepsi perkawinan. Informan
dari kalangan masyarakat secara garis besar terdiri dari: kelompok penanggap atau
284
sebagai pengguna, kelompok penonton umum, dan kelompok pakar. Adapun
informasi dari ketiga kelompok informan tersebut dapat dicermati berikut ini.
Penilaian paling awal yang tampak bagi penonton akan tertarik pada
gandar atau rupa wajah penarinya yang tampan, bagus, cantik, maupun manis.
penyusun tari tidak akan muncul. Setelah itu baru melihat dedek atau tinggi –
rendahnya penari, diharapkan dengan ketinggian yang ideal (sekitar 160 cm) dan
dukungan warna kulit yang halus, bersih akan menambah daya tarik penonton.
Selain bentuk fisik penari yang ideal juga dukungan rias wajah yang mampu
menampilkan karakterisasi peran dan busana glamor yang dapat memikat dan
dalam menyajikan tari yang lebih berorientasi pada keluwesan penari dalam
sinergi antara kepekaan rasa dan ketajaman pikir sehingga muncul penafsiran-
adat budaya Jawa ini merupakan salah bentuk hiburan yang diperuntukkan bagi
tamu undangan supaya tidak membosankan dan sekaligus untuk mengatur jalannya
upacara terkait dengan jeda acara demi acara berikutnya. Sebagai masyarakat yang
lebih tepat adalah budaya Jawa. Hal ini dapat dicermati sejak awal dari
285
baik yang menyangkut pemilihan hari resepsi, bentuk dekorasi (brostul) untuk
penganten, tarub sebagai hiasan rumah resepsi, busana basahan ataupun kejawen
lengkap untuk penganten, busana kejawen lengkap dengan keris untuk among
tamu kakung (penjemput tamu pria) dan kebaya untuk among tamu wanita,
hiburan yang berbentuk tarian maupun karawitan secara lengkap, serta sarana-
sarana lainnya. Hiburan yang lebih tepat dipilihnya bentuk kesenian yang berbasis
Bagi penonton secara umum, Kehadiran tari pasihan dalam upacara ritual
resepsi perkawinan yang biasanya disajikan pada bagian akhir dari seluruh
Sebagai hiburan yang dirasa tepat atau sesuai, pertunjukkan tari pasihan dalam
upacara ritual perkawinan adat budaya Jawa terletak pada kesesuaian antara tema
temanten secara resmi di depan publik untuk mendapatkan pengakuan status sosial
dan adat budaya yang mereka miliki. Sinkronisasi antara gambaran nilai percintaan
yang diangkat dalam tari dengan realitas nilai percintaan yang hidup dan
tersebut adalah bukti dari ketepatan atau kesesuaian yang diasumsikan dari
upacara ritual perkawinan memiliki fungsi yang dalam terutama bagi sepasang
mempelai temanten. Fungsi awal yang paling sederhana secara faktual dapat
dicermati adalah sebagai hiburan. Hiburan yang didapat dari sajian tari pasihan,
286
bagi penonton adalah bersifat estetik, artinya kenikmatan indera penonton dari
melihat pertunjukan tari pasihan merasa tertarik dan terpikat berawal dari bentuk
fisik. Wujud fisik berupa gandar atau rupa wajah, dedek atau tinggi rendahnya
postur tubuh, rias, dandanan busana, dan kinetic body moves yang secara
komplementer akan menyatu dengan wujud nonfisik yang berupa rasa. Hasil
komplementer dari bentuk fisik dan nonfisik dalam tari adalah rasa keindahan
pengguna, kelompok penonton umum, dan kelompok pakar secara garis besar
salah satu fungsi genre tari pasihan dalam ritual resepsi perkawinan adat Jawa
tersebut karena mereka memiliki latar belakang budaya yang sama. Secara
emosional mereka memiliki ikatan kultur yang kuat sehingga kepekaan rasa yang
tertanam dalam jiwa, sekalipun kadar kualitas berbeda namun masih mampu
waktu dihadapkan pada benda pacu yang berupa karya seni genre tari pasihan.
memiliki wawasan kesenian dan mempunyai minat serta kepedulian terhadap seni,
mereka katakan bahwa jenis-jenis tari percintaan yang sering dilihat dalam resepsi
tarian pasihan yang menggambarkan orang bercinta dengan mesra, mereka melihat
287
terdapat sesuatu dari pertunjukkan itu yang dapat ditiru oleh sepasang temanten,
yaitu kemesraan sebagai sepasang suami istri. Selain itu yang dapat ditiru oleh
kegembiraan.
tari yang dipentaskan dalam sebuah upacara ritual perkawinan adat Jawa.
Pemilihan ini rupanya sangat terkait dengan maksud penanggap yang mampu
tari pasihan. Secara khusus tari pasihan merupakan simbolisasi percintaan yang
mengandung nilai percintaan yang begitu tulus sebagai muatan ekspresinya. Tema
percintaan yang diangkat untuk menentukan alur garapan tari pasihan sungguh
kekasih yang merupakan tokoh idola baik yang bersifat fiktif maupun nyata bagi
dan kebahagiaan yang digambarkan dari sepasang tokoh-tokoh idola seperti: Panji
Inukertapati & Dewi Sekartaji pada tari Karonsih, Dewa Komajaya & Dewi
Komaratih dalam tari Lambangsih, dan Damarwulan & Dewi Anjasmara dalam
menyentuh jiwa manusia. Bagi penanggap nilai-nilai cinta yang demikian itu,
merupakan sesuatu bekal hidup yang sangat berharga, dan berarti bagi sepasang
mempelai temanten yang sedang diwisuda, untuk itu perlu diteladani. Diharapkan
dengan meneladani nilai percintaan yang disajikan lewat tari pasihan tersebut bagi
sepasang temanten dapat membina hidupnya dengan nilai cinta yang sebenarnya,
288
dibangun dan dibina sepasang temanten dengan nilai-nilai cinta mampu
Bagi pakar bekal apresiasinya terhadap seni dan wawasan intelektual yang
komprehenship. Kepekaan rasa dan ketajaman intelek bagi pakar seni merupakan
modal utama untuk mencermati dan menganalisis kehadiran sebuah karya seni di
tersebut tersirat pada karya seni yang kadang kala mudah ditangkap maknanya
alam yang terseleksi dan senantiasa dimanifestasikan dalam bentuk yang estetik.
Nilai cinta yang terdapat pada tari pasihan yang merupakan akumulasi dari
beragam rasa, seperti: sedih, marah, kacau, takut, khawatir, tenang, senang,
gembira, bahagia, dan lainnya itu semua ditangan seniman diungkapkan dalam
bungkus sensa yang mampu memicu dan memacu timbulnya khayalan benda dan
peristiwa yang memberi kenikmatan dan kepuasan. Dari medium sensa itu
seniman akan dapat menganyam impian-impian bagi kita mengenai hal-hal yang
289
membuai dan memikat kita senang mengamati. Khayalan tentang tindakan atau
emosi yang ditimbulkan lewat karya seni, kita kemudian dalam imajinasi dapat
melakukan atau mengalami. Jika dicermati lebih dalam dari jiwa kita sendirilah
sebenarnya muncul gagasan-gagasan dan beragam rasa yang merupakan isi sebuah
karya seni. Seniman pada dasarnya tidak lain sebagai manusia yang menyediakan
sebuah susunan benda pacu atau lambang-lambang sensa yang diharapkan akan
Bagi pakar, genre tari pasihan memiliki fungsi yang dalam terutama bagi
dan nonverbalnya. Kehadiran genre tari pasihan (percintaan pria dan wanita)
dalam kehidupan sosial masyarakat pada ritual perkawinan adat Jawa rupanya
mempunyai makna simbolik yang sangat penting terutama bagi kedua mempelai
yaitu menuju terbentuknya keluarga yang bahagia. Menurut Clifford Geertz (1992:
6), bahwa ‘simbol’ tampak terbatas pada sesuatu yang mengungkapkan secara
puisi bukan dalam bentuk pengetahuan. Simbolisme semacam ini tampak pada
genre tari pasihan yang hadir dalam rangkaian upacara-upacara perkawinan adat
Jawa. Seolah–olah keberadaan genre tari pasihan dalam budaya Jawa menjadi
percintaan sepasang manusia yang berjenis kelamin pria dan wanita. Dalam
290
tari pasihan hampir dapat dipastikan dalam resepsi perkawinan. Rupanya terdapat
korelasi yang sangat signifikan bahwa kehadiran tari pasihan dalam resepsi
dari aktualisasi tari pasihan yang berupa nasehat-nasehat cinta kasih diantaranya:
terpancar dari kekuatan cinta sepasang tokoh yang digambarkan dalam tari
bayangan cinta yang diekspresikan oleh seniman mampu memicu dan memacu
temanten. Hal ini juga digambarkan secara lebih aktual pada tari Bondhan Sayuk
ketika tindakan atau perbuatan penari putri (peran istri) memberikan boneka anak
kepada temanten putri pada bagian akhir tarian merupakan perbuatan simbolik
yang menunjukkan adanya kekuatan – kekuatan tertentu yang tidak kelihatan mata
Perbuatan simbolik dalam pertunjukan tari Bondhan Sayuk lebih tampak jelas dan
lebih mendekat kearah realitas tujuan bercinta dalam sebuah kehidupan keluarga.
291
yang tengah berkembang pada sepasang temanten yang akhirnya mampu
melahirkan buah cinta yang berupa momongan (anak). Pada dasarnya kedua orang
kehidupan genre tari pasihan mengidikasikan bahwa bentuk tari pasihan tersebut
kehidupan rumah tangga. Di samping itu juga terdapat perbedaan pada kadar
pemahaman, karena bagi pakar bekal apresiasinya terhadap seni dan wawasan
pakar seni merupakan modal utama untuk mencermati dan menganalisis kehadiran
masyarakat dari beragam perspektif. Kesadaran awal yang harus dicermati, bahwa
dalam dunia kesenian, para pelaku dan penghayat tidak selalu memahami akan
yang mereka kerjakan. Bahkan seniman sering mampu menghasilkan karya seni
yang sangat bagus tetapi kerap tidak memiliki pendapat yang jelas dan tetap
merupakan seni sesaat, orang tidak akan dapat berharap banyak karena rasa seni
yang kita hayati tidak bisa mengendap dan lekas menghilang tidak menjadi
gagasan yang tenang dan mantap. Dengan demikian hanya pakarlah yang mampu
292
validitasnya, karena seniman adalah berjiwa mistik, yang memiliki rasa seni yang
dalam tetapi tidak berbicara banyak dan sering sulit untuk mengurai karyanya.
BAB IV
PEMBAHASAN
Faktor objektif.
dan TT patik. Dari beragam jenis TT yang terdapat pada genre tari pasihan, jenis
293
2. Dalam bahasa verbal genre tari pasihan bentuk penerapkan prinsip kerja
sama terjadi pelanggaran maksim kuantitas dan maksim cara, sedangkan maksim
Prinsip kesantunan yang diterapkan dalam bahasa verbal genre tari pasihan
hampir dapat dipastikan dalam resepsi perkawinan yang nota bene sebagai wahana
Daya pragmatik yang terdapat dalam bahasa verbal dan nonverbal genre
tari pasihan menunjukkan adanya bentuk sugesti secara tidak langsung terhadap
sepasang temanten. Hal ini terpancar dari kekuatan cinta kasih sepasang suami istri
294
aktual pada tari Bondhan Sayuk yang merepresentasikan pasangan pria dan wanita
setelah bercinta kemudian membawa boneka sebagai simbol anak dan ketika
adegan akhir penari putri memberikan boneka anak kepada temanten putri.
menunjukkan adanya kekuatan – kekuatan tertentu yang tidak kelihatan mata yang
simbolik dalam pertunjukan tari Bondhan Sayuk lebih tampak jelas dan lebih
mendekat kearah realitas tujuan bercinta dalam sebuah kehidupan keluarga. Pada
intinya bentuk daya pragmatik genre tari pasihan adalah berupa nasehat-nasehat
tentang cinta kasih yaitu pasangan keluarga yang romantis, harmonis, dan bahagia;
sikap ideal bagi figur suami maupun figur istri. Nasehat-nasehat tentang cinta
kasih tersebut bermanfaat bagi sepasang temanten sebagai bekal untuk menjalani
komponen besar yaitu aspek verbal berupa cakepan (syair) sastra tembang yang
terdapat dalam teks pathetan, sindhenan, gerongan, dan jineman dan aspek
nonverbalnya berupa: tema, kinetic body moves (gerak tubuh), polatan, rias,
busana, pola lantai, dan iringan yang secara komplementer menyatu dalam bentuk
seni pertunjukan. Berdasarkan jabaran bahasa verbal dan nonverbal tari Karonsih
dan tari Bondhan Sayuk dapat diketemukan ciri karakteristik genre tari pasihan
verbal dan nonverbal bersifat langsung dan tidak langsung; d) Tema percintaan; e)
295
Cerita berakhir dengan bahagia (happy end); f) Disajikan berpasangan pria dan
wanita; g) Pesannya berupa nasehat tentang cinta kasih; h) Gerak representatif dan
Faktor genetik.
Jenis TT yang mendominasi pada bahasa verbal dalam genre tari pasihan
adalah TT direktif. Hal ini dimaksudkan oleh seniman penyusun supaya bahasa
verbal yang sifatnya mengajak, meminta, dan memerintah yang tercermin dalam
TT direktif dapat menyampaikan makna bahasa verbal sastra tembang yang berupa
Dalam menerapkan prinsip kerja sama, seniman penyusun lewat karya tari
komunikasi rasa dapat berlangsung sehingga makna karya tari pasihan dapat
Prinsip kesantunan yang diterapkan dalam bahasa verbal genre tari pasihan
penutur dengan mitra tutur. Hal ini dimaksudkan seniman penyusun untuk
yang digambarkan dalam tari sebagai bentuk suritauladan yang layak untuk
diteladani sepasang temanten. Di samping itu juga konsep yang mendasari strategi
296
rasa estetik dan menambah kemantapan rasa supaya dapat lebih menyentuh
menjadi padu membentuk genre tari pasihan dalam aktualisasi yang berkualitas,
dan nonverbal tampak pada setiap peristiwa dalam adegan, yaitu pada setiap
ekspresi sastra tembang selalu didukung dan diikuti langsung kinetic body moves.
Faktor afektif.
sosial masyarakat berfungsi sebagai hiburan dan suritauladan yang tepat bagi
umum kehadiran tari pasihan dalam resepsi perkawinan ditangkap sekadar sebagai
hiburan. Berbeda dengan persepsi pakar seni, bahwa fungsi tari pasihan dalam
sangat penting bagi sepasang temanten. Pemahaman tentang fungsi tari pasihan
seni, karena kepekaan rasa dan ketajaman pikir pakar seni lebih mantap dan lebih
B. Pembahasan.
Genre tari pasihan merupakan jenis tari pasihan yang difungsikan sebagai
Kehadiran genre tari pasihan sebagai seni pertunjukan merupakan perpaduan dari
297
Bahasa verbal genre tari pasihan berupa sastra tembang dalam bentuk pathetan,
kasih bagi sepasang suami istri, mencakup: pasangan keluarga yang romantis,
rumahtangga; dan sikap-sikap ideal bagi figur suami maupun figur istri sebagai
polatan, rias, busana, pola lantai, dan iringan yang saling mendukung dan menyatu
menjadi sebuah bentuk sajian visual yang mengungkapkan pesan makna yang
makna dan bahasa nonverbal sebagai bentuk visual sudah menyatu dan berkaitan
satu sama lainnya dan mampu mencerminkan kesatuan makna secara utuh.
Genre tari pasihan merupakan beragam jenis tari yang mengangkat tema
garwa, brangti, wuyung, mustikaning, wanodya di, setya, rabinira, asih tresna,
asmara, wong manis, sulistyane, prasetya, dan mas jiwaku. Diharapkan dengan
kata-kata cinta yang merupakan dasar dari tema percintaan yang diangkat dalam
genre tari pasihan yang disajikan dalam bentuk tembang dengan irama, lagu, dan
lebih meresapi dan menangkap makna secara utuh untuk diteladani dan dijadikan
298
Dilihat dari aspek kebahasaan genre tari pasihan memanfaatkan jenis-jenis
TT yang terdapat pada bahasa verbal teks sastra tembang dalam bentuk pathetan,
sindhenan, gerongan, dan jineman. Bahasa verbal dalam genre tari pasihan
terakumulasi dari beragam jenis TT yang menyatu saling mengkait dan saling
TT dalam sebuah pertuturan menjadi tujuh jenis bentuk TT, yaitu: TT asertif, TT
terdapat dalam genre tari pasihan gaya Surakarta terdiri dari jenis-jenis TT:
asertif, komisif, ekspresif, direktif, dan patik. Dari beragam jenis TT yang terdapat
pada genre tari pasihan, jenis TT yang paling dominan adalah jenis TT direktif.
berusaha menyuruh orang yang disapa untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu perbuatan tertentu. Secara garis besar beliau membagi tuturan direktif
menjadi tiga macam: perintah, permintaan, dan usulan atau anjuran. Sejalan
dengan pernyataan Kreidler, jenis-jenis TT direktif yang terdapat dalam genre tari
299
Jenis TT direktif yang berfungsi untuk perintah.
Tuturan Panji Inukertapati:
Pra wanita marsudiya marang tindak kang utama
Setya tuhu marang garwa dadi rowang kang sembada
Tuturan Dewi Sekartaji:
Balik priya nimbangana ngayomi mring rabinira
Datan kemba asih tresna sung tetreming kulawarga
Tuturan istri:
Dhuh mas jiwaku, baya iki wus wanci,
Bapakne sithole, mangkat makarya,
Sawahmu tansah anganti,
Tuturan Suami:
Mbokne thole,
Sakdurunge anakmu gawanen mrene,
genre tari pasihan yang sifatnya mengajak, permintaan, dan perintah tersebut
menyuruh terhadap sepasang temanten untuk memahami dan meresapi makna isi
yang terkandung dalam bahasa sastra tembang dan supaya melakukan tindakan
atau perbuatan seperti yang dicontohkan dalam pertunjukan tari pasihan tersebut.
Maksud dan harapan seniman penyusun tersebut ditangkap oleh penghayat sebagai
300
sesuatu yang harus diteladani, mengingat gambaran percintaan pasangan suami
istri yang romantis, harmonis, dan bahagia yang terdapat dalam tari tersebut dirasa
sangat tepat dan ditangkap secara mantap sebagai suatu edukatif atau pengajaran
yang bersifat tidak langsung dan sangat bermanfaat bagi sepasang temanten untuk
menjalani kehidupan yang lebih baik dalam menggapai keluarga bahagia lahir dan
batin. Indikasinya ditunjukkan bahwa genre tari pasihan hanya disajikan pada
dilakukan secara formal dan terbuka, tetapi juga dalam bentuk yang tidak
langsung, tertutup lebih bersifat simbolik. Seperti kehadiran genre tari pasihan
(percintaan pria dan wanita) dalam kehidupan sosial masyarakat pada ritual
menjalankan bahtera rumahtangga; dan sikap, perilaku ideal bagi suami mapun
istri) yang sangat penting yaitu terutama bagi kedua mempelai temanten dalam
genre tari pasihan dalam kehidupan sosial masyarakat pada ritual perkawinan
merupakan wahana untuk mendidik anak yang telah dewasa yaitu sepasang
temanten dengan cara tidak langsung yakni dengan cara simbolik. Untuk
menerima isi atau pesan pendidikan yang berupa pementasan genre tari pasihan
Pada dasarnya bentuk karya seni genre tari pasihan merupakan materi
301
makna leksikal dari susunan gramatikal bahasa verbalnya. Lewat cara-cara estetis
bahasa verbal dan nonverbal genre tari pasihan tersebut disajikan supaya pesan
makna yang dikehendaki seniman dapat diterima, tepat sasaran dan lebih
cara simbolik ini merupakan pilihan masyarakat yang masih merasa memiliki
keterikatan emosional dan kesadaran atas budaya Jawa yang dirasakan dan
dapat ditangkap dan sampai pada pasangan temanten, seniman memandang perlu
menerapkan prinsip kerja sama dan prinsip kesantunan secara selektif dalam
bahasa verbal teks-teks sastra tembang yang terdapat pada genre tari pasihan.
Menurut Grice, prinsip kerja sama dalam pertuturan dibagi menjadi empat maksim
yaitu maksim kuantitas, maksim cara, maksim kualitas, dan maksim hubungan.
Maksim kuantitas adalah berikan informasi yang tepat sesuai yang dibutuhkan dan
jangan melebihi yang dibutuhkan. Maksim cara usahakan agar informasi mudah
dimengerti, hindari pernyataan yang samar, hindari ketaksaan dan usahakan agar
Dalam penerapan prinsip kerja sama pada bahasa verbal genre tari pasihan,
kuantitas yang terjadi dalam bahasa verbal genre tari pasihan adalah digunakannya
kata-kata arkais, seperti: sang retnayu, jengkar sking, mendranira, dahat, mring
302
dasih, nandhang kingkin, dadya gantilaning tyas, aginggang sarambut, pinanggya,
mring, anggenya, sang pekik wah sang dyah ayu, mas rara, sulistyane,
kuantitas yang terjadi dalam bahasa verbal genre tari pasihan, dimaksudkan oleh
Pelanggaran maksim cara dalam bahasa verbal genre tari pasihan adalah
digunakannya bahasa tembang yang pada dasarnya merupakan bahasa yang sulit
dimengerti artinya, sifatnya tersamar dan tidak ringkas karena telah terpola dengan
komunikasi dalam genre tari pasihan secara prinsip kerja sama dalam sebuah
yang terjadi dalam bahasa verbal genre tari pasihan, dimaksudkan oleh seniman
komunikasi rasa dapat berlangsung sehingga makna karya tari pasihan dapat
strategi, yaitu: 1) melakukan TT secara apa adanya, tanpa basa basi (bald on
untuk menunjukkan adanya jarak sosial antara penutur dengan mitra tutur. 4)
303
melakukan TT secara tidak langsung (off record). 5) tidak melakukan TT atau
kesantunan yang diterapkan dalam bahasa verbal genre tari pasihan dengan
dan strategi melakukan TT secara tidak langsung (off record). Prinsip kesantunan
yang diterapkan dalam bahasa verbal genre tari pasihan dengan menggunakan
digambarkan dalam tari sebagai bentuk suritauladan yang layak untuk diteladani
sepasang temanten. Di samping itu juga konsep yang mendasari strategi untuk
estetik dan menambah kemantapan rasa supaya dapat lebih menarik dan memikat
serta menyentuh penghayat dan maknanya dapat ditangkap dan diterima sepasang
bahasa nonverbal pada tari pasihan merupakan media visual yang difungsikan
sebagai sarana untuk mengekspresikan pesan makna yang dapat ditangkap oleh
penghayat. Bentuk bahasa nonverbal yang terdiri dari tema, kinetic body moves
(gerak tubuh), polatan, rias, busana, pola lantai, dan iringan secara akumulatif
304
akan membentuk satu bentuk simbol yang mampu mengekspresikan makna tari
pasihan menjadi lebih menyentuh dan semakin mantap. Strategi yang digunakan
verbal.
nonbahasa memiliki makna yang sama, sehingga pesan makna yang hendak
disampaikan menjadi lebih kuat dan mantap. Adapun jenis-jenis gerak presentatif
tersamar dan ungkapan suasana yang muncul merupakan ekspresi yang dirasa
yang berhubungan langsung dan tidak langsung dengan bahasa verbal menjadi
sangat kuat dan mantap dengan dukungan ekspresi wajah (polatan), rias, busana,
pola lantai, dan iringan gamelan. Terpadunya bahasa verbal dan nonverbal genre
tari pasihan menjadi satu kesatuan seni pertunjukan yang utuh, penuh estetik
sehingga karya tari pasihan menjadi sarana ekspresi yang memikat, mantap dan
berkualitas. Perlu disadari bahwa karya seni merupakan bentuk simbol yang
dilandasi rasa intuitif yang dalam, tidak selalu didasari rasional belaka, sehingga
305
kesan yang terungkap dari sajian sebuah karya seni perlu adanya perenungan
kata-kata cinta yang terakumulasi dalam bentuk sastra tembang Jawa. Selain itu
tari pasihan juga memanfaatkan jenis-jenis TT: asertif, komisif, ekspresif, direktif,
dan patik. Dari beragam jenis TT yang mendominasi pada genre tari pasihan
adalah TT direktif, hal ini dimaksudkan oleh seniman penyusun supaya bahasa
makna bahasa verbal sastra tembang yang berupa nasehat-nasehat cinta tersebut
kerja sama dengan cara lebih selektif. Pada aspek kebahasaan yang digunakan
kuantitas dan prinsip cara yaitu dengan menggunakan kata-kata yang sifatnya
supaya komunikasi rasa dapat berlangsung sehingga makna karya tari pasihan
dapat ditangkap penghayat secara utuh. Selain itu untuk menunjukkan kedekatan,
keintiman, dan hubungan baik antara penutur dengan mitra tutur digunakan
306
simbolisasi keharmonisan hubungan antara peran suami dan istri sebagai bentuk
suritauladan.
estetik dan menambah kemantapan rasa supaya dapat lebih menyentuh penghayat
dan maknanya dapat diterima. Dalam bahasa verbal secara keseluruhan tampak
sebenarnya bahasa verbal itu sebagai petunjuk isi telah mencerminkan kesatuan
pesan yang utuh sedangkan bahasa nonverbal bertindak sebagai pendukung dalam
menyampaikan isi supaya menjadi lebih mantap. Pada realitanya bahasa nonverbal
pada tari pasihan memiliki kekuatan ekspresi sangat mantap ini juga sangat
tergantung pada kualitas penari. Peranan penari sangat penting artinya jika penari
atau seniman penyaji berkualitas, ekspresinya semakin kuat dan mantap sebaliknya
secara proporsional tampak selaras dan seimbang. Keselarasan ini tampak dalam
yang berupa gambaran percintaan antara pria dan wanita yang menggunakan
yang bernuansa percintaan. Selain itu ditunjang bentuk rias dan warna busana
sama yang mencerminkan menyatunya rasa cinta antara peran pria dan wanita.
307
dengan nonverbal pada genre tari pasihan. Keseimbangan komposisi bahasa
verbal dan nonverbal tercermin pada hampir seluruh sastra tembang yang terdapat
dalam tari pasihan selalu diikuti dan didukung kinetic body moves. Hubungan
bahasa verbal dan nonverbal saling komplementer menjadi bentuk yang menyatu,
selaras dan seimbang sehingga bentuknya tari pasihan sebagai media ekspresi
seniman penyusun merupakan komposit isi dan bentuk visual yang menunjukkan
Kehadiran tari pasihan dalam ritual resepsi perkawinan adat budaya Jawa
merupakan salah bentuk hiburan dan suritauladan. Tari pasihan dipandang sebagai
terbatas pada bentuk visual semata. Bagi penonton umum bentuk yang menarik
dari sisi ketampanan dan kecantikan penari dengan dukungan rias dan busana yang
bagus serta dukungan suasana iringan gamelan yang dirasa sesuai rupanya telah
cukup sebagai hiburan. Dari sisi pandangan pakar, kehadiran tari pasihan pada
pakar ini didasarkan pada pemahaman terhadap bahasa verbal dan penghayatan
terhadap bentuk visual pada aspek nonbahasa yang terakumulasi dalam bentuk
sajian tari pasihan. Selain itu pandangan pakar tersebut juga mendapat rujukan
dari pengamatannya bahwa pementasan jenis-jenis tari pasihan hanya pada resepsi
perkawinan, sehingga pandangan pakar tentang fungsi tari pasihan sebagai hiburan
308
Pada hakekatnya tema percintaan yang digambarkan dalam genre tari
pasihan adalah percintaan sepasang pria dan wanita. Hal itu dapat dicermati pada
tari Karonsih mengangkat tema percintaan tokoh Panji Inukertapati sebagai suami
dan tokoh Dewi Sekartaji sebagai istri. Begitu pula tari Bondhan Sayuk yang
bersumber pada tema percintaan sepasang suami istri gambaran dari kalangan
rakyat biasa, menunjukkan bahwa penari pria berperan sebagai suami dan penari
wanita berperan sebagai istri. Kedudukan penari pria dan penari wanita dalam tari
pasihan yang tampil secara berpasangan itu merupakan simbol dari percintaan,
sehingga perannya menjadi mutlak. Kiranya menjadi sangat tidak relevan dan
tidak berarti bila penari diganti semua putri atau pria semua karena tidak lagi
Perkawinan merupakan salah satu dan suatu saat peralihan yang terpenting
pada life-cycle dari semua manusia di seluruh dunia, yaitu peralihan dari tingkat
hidup remaja ke tingkat hidup berkeluarga. Pesta dan upacara pada saat peralihan
sepanjang life-cycle itu merupakan suatu hal yang universal yang hampir ada pada
setiap budaya manusia, namun tidak semua saat peralihan itu dianggap sama
pentingnya pada tiap-tiap budaya. Sifat universal pesta dan upacara sepanjang life-
cycle terjadi karena adanya suatu kesadaran secara umum di dalam budaya
manusia, bahwa setiap tingkat baru dalam life-cycle itu berarti menghantarkan si
individu ke suatu tingkat dan lingkungan sosial yang baru dan lebih luas. Di dalam
aktivitas budaya manusia ada yang menganggap bahwa saat peralihan dari tingkat
sosial tertentu ke tingkat sosial lainnya itu merupakan crisis-rites yang penuh
bahaya, gawat, baik secara nyata maupun gaib (Koentjaraningrat, 1972: 89-90).
309
Periode transisi juga disebut periode liminal yang merupakan fase tengah
dalam skema ritus transisi dari praliminal untuk menuju pascaliminal. Dalam
periode liminal ini seorang liminar berada dalam keadaan setengah-setengah, tidak
menentu, dan ragu-ragu (Darsiti Soeratman, 1989: 157). Untuk itu crisis-rites bagi
melampaui saat-saat krisis sering dimaksudkan untuk menolak bahaya gaib yang
mengancam individu dan lingkungan. Demikian halnya yang terjadi pada budaya
masyarakat Jawa upacara tersebut merupakan sebuah upacara yang sangat sakral
mengenai hal-hal yang dianggap penting dalam suatu upacara ritual yaitu waktu,
yang telah berlaku dalam upacara tersebut mereka yakini jika dilaksanakan dengan
taat dan benar membawa berkah dan keselamatan, sebaliknya jika pelaksanaan
Bagi masyarakat Jawa yang masih lekat dengan budayanya, segala ritual
Kekuatan tersebut antara lain berupa magis simpatetis yang diwujudkan dengan
310
adanya hubungan antara pria dan wanita seperti yang digambarkan pada tari
menggambarkan sebuah tari kesuburan dari suku Indian Coneba di Brasil, yang
Stamping with the right foot and singing, they dance with the upper part of
their bodies bent forwards. Suddenly they jump wildly along with violent
coitus motions and loud groans....
They carry the vertility into every corner of the houses.... the jump among
the women – the knock the phalli one against another.... (dalam Richard
Kraus, 1969: 21).
wanita, dilakukan secara simbolis. Hal ini terbukti pada masyarakat Jawa
kesuburan dengan cara menanggap jenis tari duet percintaan atau tari pasihan yang
percintaan yang sangat berarti bagi kehidupan sepasang temanten. Salah satu
sarana upacara perkawinan adat Jawa yang cukup penting adalah tari pasihan.
Hampir dapat dipastikan bahwa pada setiap upacara perkawinan akan hadir tari
pasihan. Rupanya, sudah mengakar pada budaya masyarakat Jawa, yaitu pada
setiap ada acara upacara perkawinan akan hadir tari pasihan yang hendak
311
diteladani oleh kedua mempelai. Peristiwa budaya ini membuat kehadiran tari
mengingat merupakan satu-satunya bentuk sajian tari yang bermakna, baik secara
simbolik maupun sebagai santapan estetis terasa menyatu dengan situasi upacara.
Genre tari pasihan memiliki fungsi yang dalam terutama bagi sepasang
dan wanita dalam kehidupan sosial masyarakat terutama konteksnya pada ritual
perkawinan adat Jawa rupanya mempunyai makna simbolik yang sangat penting
bahagia. Menurut Clifford Geertz (1992: 6), bahwa ‘simbol’ tampak terbatas pada
Simbolisme semacam ini tampak pada genre tari pasihan yang hadir dalam
tari pasihan dalam budaya Jawa menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan
sepasang temanten agar dapat membangun keluarga yang bahagia lahir dan batin.
312
Pada dasarnya genre tari pasihan gaya Surakarta merupakan simbolisasi
percintaan sepasang manusia yang berjenis kelamin pria dan wanita. Dalam
perjalanan kisahnya percintaan sepasang suami istri yang digambarkan pada tari
Selain itu kehadiran tari pasihan hampir dapat dipastikan dalam resepsi
sugesti secara tidak langsung terhadap sepasang temanten terpancar dari kekuatan
cinta sepasang penari pria dan wanita yang digambarkan dalam tari pasihan
temanten.
Hal ini juga semakin tampak jelas digambarkan secara lebih aktual pada
tari Bondhan Sayuk, pasangan penari pria dan wanita setelah bercinta kemudian
membawa boneka sebagai simbol telah diberi keturunan anak. Simbolisasi tersebut
untuk segera diberi keturunan anak. Selain itu bentuk dukungan sugesti juga
313
temanten putri. Tindakan atau perbuatan tersebut merupakan perbuatan simbolik
yang menunjukkan adanya kekuatan – kekuatan tertentu yang tidak kelihatan mata
Perbuatan simbolik dalam pertunjukan tari Bondhan Sayuk lebih tampak jelas dan
lebih dekat kearah realitas tujuan bercinta dalam sebuah kehidupan keluarga.
Lewat kekuatan magis simpatetis yang diekspresikan genre tari pasihan akan
temanten yang akhirnya mampu melahirkan buah cinta yang berupa momongan
dengan cita-cita untuk segera diberi keturunan yang berupa anak, sebagai pewaris
berupa: pasangan keluarga yang romantis, harmonis, dan bahagia; kesetaraan dan
figur suami maupun figur istri merupakan pesan makna yang hendak disampaikan
berdasarkan pementasan tari pasihan, terdapat pasangan suami istri yang romantis,
harmonis, dan bahagia. Dari hasil komunikasi antara maksud seniman penyusun
maksud. Artinya pesan yang dimaksudkan seniman dengan makna yang ditangkap
pakar seni sama-sama dalam koridor atau wilayah nilai-nilai percintaan. Perbedaan
yang tampak adalah terletak pada kadar tebal dan tipisnya sebuah makna.
314
dalam menciptakan karya seni dan hebatnya pakar seni dalam menilai karya.
Prinsip utama yang sangat penting dalam komunikasi seni adalah terjadinya
komunikasi rasa. Kadar pemahaman makna dalam karya seni yang berupa
komunikasi rasa, prinsip kadarnya tetap berbeda tidak persis sama. Kadar
pemahaman juga sangat tergantung dari bekal yang dimiliki oleh seniman dan
penghayat. Menurut Sutopo (1995: 12-13), dalam penghayatan karya seni terjadi
seniman tersebut dengan cara memberikan makna terhadap karya seni. Seniman
pada dasarnya tidak lain sebagai manusia yang menyediakan sebuah susunan
keragaman media komunikasi yang terdapat dalam tari tidak mampu hanya
ditangkap secara rasional semata tetapi ketajaman rasa merupakan ujung tombak
dipengaruhi kualitas penari yang lemah sebagai penyampai isi dan iringan tari
yang berupa kaset rekaman atau CD. Sebagai penari atau penyaji, seorang seniman
harus mempunyai kemampuan baik pisik maupun nonpisik. Kondisi pisik penari
harus benar-benar dalam keadaan sehat, segar secara total baik jasmani maupun
rohani, enerjik, dan relaks serta memiliki sistem ekspresi dan evaluasi yang baik
315
seperti: keseimbangan, kelenturan, ketrampilan, ketepatan gerak ekspresi, dan
penguasaan irama (Wisnoe Wadhana, 1984: 31). Selain itu penari harus juga
mampu menguasai ruang dan waktu. Persiapan nonpisik bagi penari berupa
secara ekspresi sesuai dengan peran karakternya. Peranan tubuh penari sangat vital
untuk sarana ekspresi, dan kepekaan rasa menjadi sangat pokok sebagai rohnya
kemampuan menyeleksi materi-materi sebagai sarana ungkap dan tidak lepas dari
mengacu pada nilai-nilai budaya dan norma-norma sosial yang hidup dan
norma-norma sosial yang terangkum dalam sebuah pesan-pesan lewat karya tari
secara indah, akan terjalin hubungan yang harmonis dengan masyarakat dan dapat
316
pada gilirannya menumbuhkembangkan kehidupan tari secara wajar. Dalam tari
Jawa bentuk ekspresinya pada hakekatnya terwujud berdasarkan alam emosi, yaitu
bentuk dan iramanya sangat kuat dilatarbelakangi oleh konsep keindahan dan
sebagai budaya yang diwarisi secara turun-temurun sudah barang tentu memiliki
Kualitas seorang penari hanya akan tercapai bila penari mampu menghayati
dan mengekspresikan sesuai dengan perannya secara totalitas jiwa. Ketajaman dan
kepekaan rasa yang dimiliki penari dapat teraktualisasi dalam sebuah sajian tari
dan mampu menggugah intuisi para penghayat. Keluluhan jiwa seorang penari
seniman. Pada dasarnya seniman hanya menyediakan suatu susunan pacu atau
dimaksudkan olehnya (Parker, 1980:46). Gabungan garap pisik dan olah rasa yang
matang akan menghasilkan kualitas penari yang mumpuni atau berbobot, sehingga
hanya penari yang berkualitas yang terlatih yang mampu menyajikan dan
menyampaikan isi atau makna yang terkandung dalam genre tari pasihan.
Sebaliknya jika penarinya tidak berkualitas, tidak terlatih, ia akan lemah dan tidak
pencipta. Kelemahan dari kualitas penari sebagai penyampai isi tari yang
dimaksudkan seniman merupakan kendala yang sangat vital karena hanya dari
317
ekspresi penari makna tari dapat ditangkap atau dihayati oleh penonton. Secara
ringkas dapat dikatakan kelemahan kualitas penari dalam menyajikan jenis tari
rasa penghayat.
Dalam sajiannya genre tari pasihan dapat diiringi gamelan secara langsung
dan iringan tidak langsung yaitu dengan iringan kaset atau rekaman CD. Jika
karena selain kekuatan rasa musikal yang muncul dari garap gendhing-gendhing
tampak lebih ekspresip. Hasilnya akan berbeda jika sajiannya genre tari pasihan
dengan iringan kaset atau rekaman CD. Kekuatan ekspresi menjadi kurang mantap
jika dengan iringan yang sifatnya tidak langsung dengan iringan gamelan, karena
selain rasa musikal yang muncul sudah terasa lemah, juga tidak mendapat
dukungan ekspresi tembang dari penari secara langsung. Hal ini merupakan
kelemahan yang terdapat pada sajian genre tari pasihan jika tidak menggunakan
318
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan.
faktor objektif, genetik, dan afektif dapat disimpulkan bahwa kehadiran genre tari
pasihan dalam upacara ritual resepsi perkawinan berfungsi sebagai hiburan dan
temanten untuk memahami dan meresapi makna isi yang terkandung dalam bahasa
verbal sastra tembang yang disampaikan dengan bahasa nonverbal dalam bentuk
visual yang estetik supaya melakukan tindakan atau perbuatan seperti yang
seniman penyusun tersebut ditangkap oleh masyarakat sebagai sesuatu yang harus
harmonis, dan bahagia yang terdapat dalam tari tersebut dirasa sangat tepat dan
ditangkap secara mantap sebagai suatu bentuk edukatif atau pengajaran yang
bersifat tidak langsung dan sangat bermanfaat bagi sepasang temanten untuk
menjalani kehidupan yang lebih baik dalam menggapai keluarga bahagia lahir dan
batin.
memiliki makna yang cukup signifikan bagi sepasang temanten. Rupanya sudah
mengakar pada budaya masyarakat Jawa, yaitu pada setiap ada acara upacara
perkawinan akan hadir tari pasihan yang hendak diteladani oleh kedua mempelai.
319
Peristiwa budaya ini membuat kehadiran tari pasihan dalam upacara perkawinan
sajian tari yang bermakna, baik secara simbolik maupun sebagai santapan estetis
verbal dalam wujud sastra tembang yang terdapat dalam bentuk pathetan,
sindhenan, gerongan, dan jineman dengan bahasa nonverbal berupa: tema, kinetic
body moves (gerak tubuh), polatan, rias, busana, pola lantai, dan iringan. Dalam
Kedua komponen yaitu bahasa verbal sebagai isi atau pesan makna dan
yang sekaligus bertindak sebagai penyampai pesan makna yang secara komposit
telah terkait dan saling melengkapi sebagai seni pertunjukan yang utuh dan
mantap. Harmonisasi dan keseimbangan antara bahasa verbal dan nonverbal dalam
genre tari pasihan telah mencerminkan kesatuan makna yang saling mendukung
maka karya seni genre tari pasihan layak dan mantap sebagai seni pertunjukan
yang berkualitas tinggi. Kekuatan genre tari pasihan sebagai seni pertunjukan
yang berkualitas, layak, dan mantap sebagai sebagai hiburan dan suritauladan,
ditunjukkan bahwa jenis-jenis tari pasihan tersebut sampai sekarang hidup dan
320
berkembang di masyarakat terutama pada upacara-upacara ritual resepsi
perkawinan.
dimanfaatkan oleh seniman penyusun dalam karya tari pasihan adalah: TT asertif,
sangat tepat untuk menyuruh supaya meneladani, adapun bentuk perintah tersebut
bersifat simbolik dalam bentuk yang estetik. Sebagai kandungan makna atau isi,
verbal maupun bahasa nonverbal memiliki kedudukan yang sama yaitu berfungsi
bahasa verbal dan nonverbal genre tari pasihan saling mengait, saling melengkapi
sehingga bahasa verbal yang berupa sastra tembang mampu memperjelas dan
menyatukan teks dengan bentuk visual dalam kesatuan makna yang utuh. Pada
dasarnya bahasa verbal lebih berfungsi sebagai penunjuk isi sedangkan bahasa
nonverbal sebagai penyampai isi supaya lebih menyentuh jiwa penghayat dan
Kehadiran tari pasihan dalam resepsi perkawinan diharapkan dapat diteladani dan
sugesti secara tidak langsung terhadap sepasang temanten terpancar dari kekuatan
cinta sepasang penari pria dan wanita yang digambarkan dalam tari pasihan
321
dimaksudkan dapat dihayati sepasang temanten sehingga bayangan-bayangan cinta
momongan anak. Pada dasarnya kedua orang tua temanten mengawinkan putra-
putrinya dengan cita-cita untuk segera diberi keturunan yang berupa anak, sebagai
pewaris dan penerus keluarga. Pada intinya bentuk daya pragmatik genre tari
pasihan adalah berupa nasehat-nasehat tentang cinta kasih yaitu pasangan keluarga
menjalankan bahtera rumahtangga; dan sikap-sikap ideal bagi figur suami maupun
bagi sepasang temanten sebagai bekal untuk menjalani kehidupan yang lebih baik
B. Saran.
Bentuk seni pertunjukan genre tari pasihan atau tari pasihan adalah karya
seni dari seniman yang berkualitas tinggi dan telah teruji terbukti sampai sekarang
322
hidup dan berkembang sebagai hiburan dan suritauladan bagi bagi sepasang
sebagai sebuah karya seni yang berkualitas tidak diragukan lagi untuk itu perlu
terdapat pada genre tari pasihan hendaknya harus sadar dan mempertimbangkan
segi fungsinya.
bahasa verbalnya yang terdapat pada genre tari pasihan hendaknya harus sadar dan
hingga memahami tentang pesan makna yang disampaikan dari sebuah tari.
Diharapkan kualitas dan kuantitas penilaian dari masyarakat terhadap tari semakin
323
DAFTAR PUSTAKA ACUAN
Cutting, Joan. 2002. Pragmatics ang Discourse. London and New York: Routledge.
EM Zul Fajri dan Ratu Aprillia Senja. Tanpa Taun. Kamus Lengkap Bahasa
Indonesia. PN: Difa Publisher.
324
Hoed, Benny H. 2003. Bahasa dan Sastra dalam Tinjauan Semiotik dan
Hermeneutik.
Lamuddin Finoza. 2005. Komposisi Bahasa Indonesia. Jakarta: Diksi Insan Mulia.
325
Pakubuwono IV, Sunan. 1979. Terjemahan: Yanti Darmono. Jakarta: PN Buku
Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen P dan K.
Richards, J.C et al. 1992. Longman Dictionary of Language Teaching and Applied
Linguistics. Essex: Longman
Rogers, Everett M and D. Lawrence Kincaid. 1981. Communication Network:
Towards a Newq Paradigm for Research. New York: Free Press.
Sutopo, H.B. 1995. Kritik Seni Holistik Sebagai Model Pendekatan Penelitian
Kualitatif. Sebelas Maret University Press.
326
Shannon, Claude M and Warren Weaver. 1949. The Mathematical Theory of
Communication. Urbana: University of Illinois Press.
Smith, Jr, Henry Lee. 1969. Linguistics. Editor: Archibald A. Hill. Voice of
America Forum Lectures.
Sri Rochana, W.S. 1994. Perkembangan Tari Gambyong Gaya Surakarta 1950-
1993.
Waridi. 2005. Karawitan Wayang Kulit Purwa Gaya Surakarta. Jakarta: Sena
Wangi.
327
12. Sunarno, Surakarta: penari, penyusun tari, dan pakar tari.
13. Slamet Suparno, Karanganyar: pakar tembang dan karawitan.
14. Slamet Riyadi, Surakarta: pakar karawitan.
15. Sri Lestari, Boyolali: penari.
16. Sudarmin, Sukoharjo: penangggap.
328