You are on page 1of 3

Merevolusi Sistem Pendidikan Tinggi di Indonesia!

Oleh: Jhanghiz Syahrivar, SE, MM

Pengangguran adalah suatu masalah yang dialami hampir semua negara berkembang,
termasuk Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2010 menyatakan bahwa
persentase pengangguran di Indonesia mencapai 7,41 persen atau sama dengan 8,59 juta
orang. Meskipun terjadi peningkatan jumlah tenaga kerja sebesar 2,26 juta orang dibanding
Februari 2009 lalu, bukannya tidak mungkin persentase pengangguran ini akan naik kembali
di kisaran 8-10 persen seperti yang telah diprediksi oleh seorang Ekonom The Indonesia
Economic Intelligence (IEI), Sunarsip, pada tahun 2009 lalu.

Untuk mencegah peningkatan angka pengangguran, beberapa negara berkembang melakukan


embargo tenaga kerja asing. Salah satu negara tetangga Indonesia, Malaysia, mulai melarang
perusahaan pabrik, toko, dan restoran merekrut tenaga asing agar warga setempat tidak
menganggur di tengah krisis ekonomi global. Selain itu, pemerintah Malaysia juga
menganjurkan kepada perusahaan untuk memberhentikan karyawan asing dulu apabila ada
pemutusan hubungan kerja.

Raja Sekaran, Sekjen Serikat Buruh Malaysia, yang berada di bawah naungan pemerintah,
mengatakan, keputusan itu diambil karena permintaan akan barang-barang pabrik kini turun
30 hingga 40 persen.

Lalu sebenarnya apa yang menyebabkan pengangguran tersebut terjadi? Mungkin beberapa
pakar ekonomi akan berpendapat bahwa hal itu terjadi sebagai akibat dari besarnya angkatan
kerja yang tidak seimbang dengan kesempatan kerja. Ketidakseimbangan terjadi apabila
jumlah angkatan kerja lebih besar daripada kesempatan kerja yang tersedia.

Bisa saja kesempatan kerja jumlahnya sama atau lebih besar daripada angkatan kerja, namun
pengangguran belum tentu tidak terjadi. Alasannya adalah belum tentu terjadi kesesuaian
(miss-match) antara jenis dan tingkat pendidikan yang dibutuhkan dan yang tersedia.
Ketidakseimbangan tersebut mengakibatkan sebagian tenaga kerja yang ada tidak dapat
mengisi kesempatan kerja yang tersedia.

Menilik dua faktor yang menyebabkan pengangguran di atas, perlu dilakukan serangkaian
upaya dari pemerintah sejak dini khususnya di jenjang perguruan tinggi.

Program Kewirausahaan

Apabila penyebab pengangguran di Indonesia adalah karena kurangnya lapangan pekerjaan,


pemerintah perlu menggalakkan program kewirausahaan pada masyarakat dan dimulai dari
skop terkecil adalah perguruan tinggi.

David McClelland berpendapat bahwa, suatu negara akan menjadi makmur apabila
mempunyai Entrepreneur sedikitnya 2% dari jumlah penduduk. Berarti dengan jumlah
penduduk sekitar 220 jiwa, setidaknya dibutuhkan sekitar 4,4 juta wirausahawan di
Indonesia. Faktanya di Indonesia adalah diperkirakan hanya ada sekitar 400 ribu orang saja
yang tercatat menjadi pelaku usaha yang mandiri atau sekitar 0.18% dari populasi.

Sebagai bahan perbandingan, penduduk Amerika Serikat yang berjumlah 280 juta jiwa pada
tahun 1983 sudah memiliki 6 juta pengusaha atau 2.14% dari total penduduknya. Jumlah
pengusaha di Amerika Serikat pada tahun 2007 meningkat menjadi 11,5 persen dan negara
tetangga Indonesia seperti Singapura memiliki 7,2 persen pengusaha dari total penduduknya
di tahun 2005.

Perguruan Tinggi Berbasis Pendidikan Versus Perguruan Tinggi Berbasis Kerja

Jika pengangguran terjadi bukan karena kekurangan lapangan kerja melainkan karena
ketidaksesuaian antara jenis dan tingkat pendidikan yang benar-benar dibutuhkan oleh dunia
industri dengan tingkat pendidikan yang tersedia, handaknya pemerintah perlu melakukan
upaya-upaya tertentu untuk merevolusi sistem pendidikan tinggi di Indonesia sehingga
lulusan yang dihasilkan sesuai dengan yang dibutuhkan oleh dunia industri.

Upaya-upaya tersebut dapat diarahkan dengan merubah Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan
Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang masih membasiskan pengajaran mereka ke pendidikan
(education based) ke basis kerja (work-prospered based).

Mengubah perguruan tinggi yang masih berbasis pendidikan ke perguruan tinggi yang
berbasis kerja tidaklah mudah. Beberapa akademisi mungkin akan menganggap perubahan
tersebut terlalu ekstrim sehingga timbul pertanyaan: apakah tujuan dari perguruan tinggi
hanyalah untuk menghasilkan kaum pekerja? Bukan lagi kaum intelektual? Perubahan
tersebut tidak harus berarti demikian namun faktanya adalah Indonesia ini lebih
membutuhkan eksekutor ekonomi yang handal ketimbang cendikiawan ekonomi; Sumber
Daya Manusia yang handal dan tepat guna sehingga mampu menggerakkan roda
perekonomian Indonesia.

Perubahan dari education based menjadi work-prospered based dapat dimulai dari kurikulum
yang diajarkan. Hendaknya kurikulum tersebut haruslah lebih dipertajam cakupannya dan
saling bersinggungan dengan dunia kerja saat ini sehingga tidak muluk teori saja. Kurikulum
tersebut harus mampu merangkum teori dan praktik lapangan secara selaras dengan
persentase yang berimbang pula, yakni 50 persen teori dan 50 persen praktik kerja. Khusus
praktik kerja, masih banyak PTN dan PTS yang memberlakukan program tersebut sebagai
program opsional saja dan tidak wajib diikuti. Dengan sistem yang berorientasi kerja, kini
praktik kerja tersebut perlu lebih digalakkan lagi dan diperpanjang masa praktiknya (semisal
kurang lebih 1 tahun dari total 4 tahun pendidikan) sehingga siswa lulus tidak hanya dengan
berbekal teori tapi juga pengalaman kerja.

Ada beberapa hal positif yang bisa yang bisa diambil dari pemberlakuan praktik kerja ini
adalah: pertama, siswa bisa membuat korelasi yang jelas antara teori dengan hal yang benar-
benar terjadi di lapangan (dunia kerja). Kedua, siswa mampu membangun relasi dengan
pemimpin perusahaan tempat siswa tersebut melakukan praktik kerja sehingga menambah
kesempatan perekrutan siswa tersebut di masa yang akan datang. Kenapa? Melalui praktik
kerja, pemimpin perusahaan dapat menganalisa kompetensi si siswa tanpa harus benar-benar
membeli (baca: memberikan kompensasi layaknya seorang karyawan). Setelah melihat
kecakapan siswa selama melakukan praktik kerja, si pemimpin perusahaan mampu
memutuskan apakah sebaiknya mempekerjakan siswa di masa depan atau tidak tanpa harus
melalui proses interview.

Terakhir dan yang paling penting adalah siswa bisa mendapat surat referensi hitam di atas
putih dari mereka yang mempekerjakannya sehingga kelak ketika si siswa lulus dan
memutuskan untuk bekerja di tempat lain, ia bisa memberikan surat referensi tersebut pada
employer nya nanti dan tentu saja dengan mudah menjelaskan kompetensi dan hal-hal apa
saja yang telah ia lakukan ketika praktik kerja.

Kebangkitan PTS Indonesia

Telah banyak masyarakat Indonesia yang menyadari pentingnya pendidikan yang berorientasi
kerja ini sehingga beberapa PTS garapan taipan Indonesia memutuskan untuk mengubah
orientasi pendidikan mereka ke dunia kerja. Beberapa PTS tersebut adalah: President
University, Universitas Prasetya Mulya, Universitas Pelita Harapan, Universitas Bina
Nusantara, Universitas Ciputra, Universitas Bakrie, dan Universitas Multimedia Nusantara.

Universitas Ciputra, Universitas Bakrie, dan Universitas Prasetya Mulya adalah beberapa dari
sedikit PTS top di Indonesia yang telah lama mengusung konsep entrepreneurship tersebut.
Lalu ada pula President University yang turut meramaikan kancah PTS di Indonesia yang
programnya diklaimkan sesuai dengan kebutuhan industri.

“President University sebagai salah satu institusi pendidikan tinggi top di Indonesia berhasil
mencetak 93% alumni yang bekerja di perusahaan nasional, multinasional, dan pemerintahan.
Dan sisa 7% lanjut ke jenjang pendidikan selanjutnya baik di dalam maupu di luar negeri,”
Ucap Dr. Muh. A.S. Hikam, Wakil Rektor President University, yang pernah menjabat
sebagai MENRISTEK Indonesia di era Gus Dur.

Beberapa PTS pun memiliki image tersendiri di tengah masyarakat seperti Universitas Bina
Nusantara erat dengan image universitas beorientasi high-tech dan Universitas Pelita Harapan
yang tentu saja, tidak perlu disangkal, superior dalam hal fasilitas akademik dan non-
akademik.

Diharapkan apabila jenis dan tingkat pendidikan yang diterapkan kepada siswa sesuai dengan
yang dibutuhkan oleh dunia industri, hal ini mampu mengurangi tingkat pengangguran di
Indonesia.

You might also like