You are on page 1of 43

GENERASI YANG TERSENDAT DI JALANAN

Pembicara:
Fajar Marantika & Nur Handayani
Tanggal: 6.11.2008 Jam: 16.30-17.45 WIB
Tempat: Ruang Rapat Pusat Studi Kawasan Timur Indonesia
Universitas Kristen Satya Wacana

Susunan Acara:
I. Pengantar Moderator: Wilson M.A. Therik, S.E.,M.Si
Memperkenal kedua pembicara yang merupakan Mahasiswa
Fakultas Ekonomi UKSW Jurusan Ilmu Ekonomi dan menjelaskan
topik yang disampaikan dalam diskusi yang merupakan penelitian
skripsi kedua pembicara.

II. Doa: Pdt. Judith A. Folabessy, S.Si-Teol


III. Presentasi Pembicara
IV. Diskusi
Lihat Paper, Materi Presentasi dan Prosiding Diskusi
V. Penutup

(NOTULIS: Nancy Marau, S.E)


VI. Power Point Presentation

Oleh :
F. Marantika (222003007)
dan
Nur Handayanani (222004012)

GENERASI YANG TERSENDAT


DI JALANAN

LATAR BELAKANG

Latar belakang penulis mengamati kehidupan


anak jalanan
Menguak sisi lain dari kehidupan anak jalanan
yang tinggal di perkampungan Gunung Brintik dan
mangkal di bundaran Tugu Muda
METODE PENELITIAN

Pendekatan Kualitatif
Sumber pencarian data :
Wawancara
Diskusi kelompok.
Studi dokumentasi dan observasi.

Definisi – definisi pendukung

Definisi Anak menurut UU No.23 th.2002


tentang Perlindungan Anak
Definisi Anak Jalanan menurut Departemen
Sosial Jakarta.
Definisi Pendidikan yang diambil dari UU
Sistim Pendidikan Nasional no.20 th. 2003
Definisi Keluarga menurut Colemen dan
Solaeman.
Definisi kemiskinan menurut Emil Salim
Definisi Anak Jalanan berdasarkan Penelitian –penelitian
sebelumnya

Odi Shalahuddin dalam bukunya “Di bawah


bayang-bayang ancaman” th.2004.
Penelitian Universitas Muhammadiyah Jakarta
bekerjasama dengan Balitbangsos Departemen
Sosial RI “ Upaya Pencarian model yang
efektif dalam Penanganan Anak” di
Jabodetabek dan Surabaya th.2003.

“Di bawah bayang-bayang ancaman” th.2004.

Seseorang yang berumur dibawah 18 tahun


yang menghabiskan sebagian atau seluruh
waktunya di jalanan dengan melakukan
kegiatan-kegiatan guna mendapatkan uang atau
guna mempertahankan hidupnya.
Kategori-kategori anak jalanan :
1. Children on the Street
2. Children of the Street
3. Children in the Street
Penelitian Universitas Muhammadiyah Jakarta bekerjasama dengan Balitbangsos
Departemen Sosial RI “ Upaya Pencarian model yang efektif dalam Penanganan Anak” di
Jabodetabek dan Surabaya th.2003.

Anak jalanan adalah anak yang sebagian


besar waktunya berada di jalanan atau tempat-
tempat umum.
Anak jalanan mempunyai ciri-ciri yaitu ;
berusia antara 5 hingga 18 tahun, melakukan
kegiatan atau berkeliaran di jalanan,
penampilan kebnayakan kusam dan pakaian
tidak terurus, serta mobilitasnya tinggi.

Jumlah anak-anak Jalanan yang bertambah pesat

Menurut Shalahuddin (2004) anak jalanan di


Asia ada sekitar 1.2 juta anak jalanan.
Hasil SUSENAS BPS Republik Indonesia
tahun 1998 memperlihatkan sekitar 2,8 juta
anak jalanan secara nasional kemudian
meningkat menjadi 3,1 juta anak di tahun
2000.
Pada tahun 2000 anak yang berpotensial
menjadi anak jalanan sekitar 10,3 juta anak.
Data Anak jalanan berdasarkan jenis
kelamin

Sumber : diolah dari data program Yayasan Setara, Th 2004

ISTILAH-ISTILAH YANG MUNCUL DALAM DUNIA ANAK


JALANAN

Anak “505” yang diambil dari pasal KUHP


“Tekyan” dan “Cah Kampung” istilah yang
muncul dari Anjal di Jogja.
“Ngoyen” atau “Mayeng”
“Ciblek”
“Garukan”
“icik-icik”
LOKASI PENELITIAN

GUNUNG BRINTIK DAN TUGU MUDA

GAMBARAN UMUM LOKASI

Gunung Brintik tergabung dalan kelurahan


Randusari, kecamatan Semarang Selatan
Randusari terbagi menjadi 9 RW, dan Gunung
Brintik termasuk ke dalam RW 3 yang secara
spesifik termasuk dalam RT VII, RT VIII, RT
IX, dan RT X yang secara keseluruhan
berjumlah 124 Kepala Keluarga
GAMBARAN UMUM LOKASI

• Tugu Muda merupakan monumen bersejarah


bagi kota Semarang.
• Tugu Muda dikelilingi oleh gedung-gedung
bersejarah yang beralih fungsi sebagai gedung-
gedung pemerintahan kota Semarang.
• Tugu Muda disebut sebagai jantung kota
Semarang yang kedua setelah Simpang Lima.

KONDISI ANAK JALANAN DI LOKASI PENELITIAN

A. Anak Jalanan dan keluarga


B. Anak Jalanan dan pendidikan
C. Anak Jalanan dan masyarakat
D. Sosok dan lika-liku mereka mengenal jalanan
MEREKA DAN KELUARGA

Sebagian besar orang tua mereka bekerja di


sektor jasa
Berperan dalam mendorong anak-anak mereka
untuk turun ke jalan
Rutin berinteraksi dengan keluarga
Kondisi keluarga yang kurang harmonis

BANGKU SEKOLAH MEREKA

Sebagian besar anak-anak sudah mengenyam


bangku sekolah.
Suasana sekolah yang kurang nyaman.
MEREKA DAN MASYARAKAT

Sulit untuk berubah kearah yang lebih baik.


Dipandang sebagai “sampah masyarakat”.
Anak-anak jalanan merasa termarjinalkan.

SOSOK DAN LIKA-LIKU MEREKA MENGENAL JALANAN

Jenis kegiatan anak jalanan antara lain :


pengamen, pengemis, ciblek, pedagang
asongan, dll.
Rutinitas mereka dimulai pada pukul 15.30
hingga pukul 00.30.
Tempat mangkal mereka berada pada pusat-
pusat kota dan pusat-pusat keramaian.
Penghasilan yang diterima berkisar Rp.
15.000,- s/d Rp. 50.000,- per hari.
SOSOK DAN LIKA-LIKU MEREKA MENGENAL JALANAN

Razia oleh aparat terhadap mereka sarat


dengan kekerasan dan pelecehan seksual.
Kehidupan jalanan rentan dengan lingkungan
yang membahayakan bagi seorang anak.
Membentuk mentalitas diluar jangkauan usia
mereka sebagai anak.

MENGAPA TURUN KE JALAN?


1. ASPEK EKONOMI
2. ASPEK SEJARAH DAN BUDAYA
3. ASPEK LINGKUNGAN
4. ASPEK KELUARGA
5. ASPEK PENDIDIKAN
PENUTUP
Anak jalanan rentan dengan bahaya di
jalanan, kekerasan, eksploitasi dan pelecehan
seksual
Anak jalanan di Gunung Brintik berharap
dapat meneruskan sekolah dan bersekolah
dengan perasaan nyaman
Perlu program-program yang
berkesinambungan dari pemerintah setempat
untuk menangani persoalan anak jalanan.
VII. Paper

A. Pendahuluan
Kami tertarik meneliti tentang pekerja anak khususnya anak jalanan
karena saya tertarik dengan kehidupan anak-anak jalanan dan suka dukanya.
Saya ingin menggali lebih dalam kehidupan mereka dan sisi-sisi menarik dari
kehidupan mereka yang tidak banyak dilihat oleh masyarakat selama ini.
Anak jalanan seringkali dianggap sebagai “sampah masyarakat” karena
baik pemerintah maupun sebagaian masyarakat seringkali “merasa” terganggu
oleh kehadiran mereka yang lalu lalang di perempatan lalu lintas, di pinggir jalan,
di sekitar gedung perkantoran, pertokoan, dan banyak tempat-tempat lain yang
seringkali di jadikan tempat mangkal anak jalanan bahkan pada jam-jam dimana
seharusnya yang seusia mereka bersekolah1. Kriminalitas seringkali dikaitkan
dengan anak-anak jalanan, karena mereka di beberapa kesempatan terlihat
melakukan tindak-tindak kriminalitas seperti pencopetan, perampasan,
melakukan tindak kekerasan, penodongan, pelecehan seksual, perkelahian, dan
masih banyak kejahatan-kejahatan lain yang rentan dilakukan oleh anak-anak
jalanan. Mungkin hal-hal tersebut yang akhirnya membuat pemerintah dan
masyarakat menganggap mereka sebagai “sampah masyarakat”. Sering kita
melihat Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) merazia Anak-anak Jalanan dan
Gelandangan untuk dibawa ke Dinas Sosial untuk dengan alasan dengan dalih
untuk Di Bina dan Dididik secara baik sehingga mereka tidak kembali ke jalan
lagi. Namun yang terjadi di balik dalih pembinaan social tersebut justru adanya
tindak kekerasan, pelecehan dan pelanggaran hak-hak anak yang dialami oleh
anak-anak jalanan. Kejadian tersebut jarang terungkap ke masyarakat karena
anak-anak jalanan selaku korban tidak banyak yang melakukan perlawanan
apalagi hingga melapor ke pihak yang berwajib karena mereka takut akan

1
Diungkapkan oleh salah seorang mantan anak jalanan bernama Saputra yang kini sudah beranjak dewasa
saat penulis melakukan wawancara pada tanggal 12 Juni 2008, pukul 15.30. Saputra telah bergabung
dengan sebuah LSM di Solo yang menangani Anak Jalanan.
menjadi boomerang buat mereka sendiri2. Pemerintah kota menganggap bahwa
anak-anak jalanan dan gelandangan mengurangi keindahan kota, sehingga
pemerintah merasa perlu untuk menjaga keindahan kota. Secara singkat jika
dilihat dari sisi social mereka rentan dengan kriminalitas dan seringkali
dipandang sebagai sekelompok orang yang “merusak” ketertiban dan keindahan
kota.
Ulasan diatas hanya merupakan salah satu sisi kehidupan dari anak
jalanan, dan kebanyakan dari kita hanya melihat dari sisi tersebut dalam menilai
mereka sebagi anak jalanan. Maka dari itu perlu bagi kita sebagai “sesama”
masyarakat perlu memahami lebih dalam kehidupan anak-anak jalanan yang
selama ini hanya dinilai dengan sebelah mata. Sisi lain yang perlu kita pahami
lebih jauh adalah bagaimana cara mereka berjuang mendapatkan sekeping uang
demi melanjutkan hidup mereka dan keluarganya, bagaimana cara mereka
menghadapi situasi-situasi yang mendiskreditkan mereka sebagai kelompok
marjinal, bagaimana mereka mengatur ekonomi rumah tangga mereka dengan
dana yang terbatas bahkan sangat minim jika dibandingkan kebutuhan yang
harus mereka penuhi, dan berbagai factor yang mendorong mereka terjun
menjadi anak jalanan, terpaksa menjadi ikon kriminalitas di mata sebagian
masyarakat dan melawan norma-norma social yang telah terbentuk di
masyarakat.
Selain ingin menguak sisi lain dari kehidupan anak jalanan, penulis juga
peduli dengan kehidupan mereka, yang masa kanak-kanak mereka harus
dikorbankan dengan bekerja di jalanan, yang pendidikannya terhambat bahkan
terancam putus, karena mereka terpaksa terjun ke jalanan untuk bekerja untuk
menghidupi keluarga mereka. Penulis merasa perlu untuk menggali, meneliti,
dan memahami lebih dalam sisi kehidupan mereka yang lain yang selama ini
tersembunyi di balik opini masyarakat yang menganggap mereka sebagai
“sampah masyarakat”.

2
Diungkapkan oleh anak-anak jalanan yang ketika itu baru saja pulang dari kegiatan mereka di jalanan,
mereka bernama yunan, adi, antok, dan lainnya (ada 6 anak namun saat itu ada tiga anak yang tidak
bersedia menyebutkan namanya). Penulis melakukan wawancara bulan April 2007 pukul 01.00 pagi.
B. Metode dan Proses Penelitian3
Penulis tertarik untuk meneliti tentang kehidupan anak jalanan karena
pada awalnya semasa duduk di bangku SMU di Semarang sering mengunjungi
seorang teman yang tinggal di daerah Gunung Brintik, kunjungan tersebut
berlanjut hingga penulis duduk di bangku kuliah. Selama mengunjungi daerah
tersebut penulis tertarik dengan kehidupan anak-anak jalanan yang sering
singgah maupun tinggal di daerah Gunung Brintik, karena kehidupan anak-anak
jalanan maupun penduduk yang tinggal di Gunung Brintik cukup beragam dan
unik untuk diamati lebih dalam. Anak-anak jalanan di sana mulai turun ke jalan
setelah mereka pulang sekolah yaitu pada siang hari sekitar jam 12.00 atau sore
hari sekitar jam17.00 dan kembali kerumah sekitar pukul 19.00 atau pukul 00.00
dini hari bahkan ada diantara mereka yang tidak pulang kerumah, namun tidur di
gedung-gedung atau emperan toko maupun perkantoran.
Langkah awal yang dilakukan oleh penulis adalah menghubungi yayasan
Setara yang merupakan salah satu yayasan yang menangani anak jalanan di
daerah tersebut, kemudian beberapa aktivis dari yayasan tersebut yang akan
membantu penulis selama turun ke lapangan. Tahap pertama yang penulis
lakukan adalah melakukan perkenalan terhadap penduduk Gunung Brintik.
Target penulis untuk melakukan perkenalan penduduk sekitar 3 bulan, namun
meleset cukup jauh menjadi 8 bulan karena penduduk disana cukup sulit untuk
menerima secara terbuka kehadiran orang baru. Selama 8 bulan, berkat seorang
teman dan beberapa teman dari yayasan Setara penulis berhasil mendekati
penduduk meskipun hasilnya tidak maksimal. Yang menjadi kesulitan penulis
pada tahap pertama ini adalah tahap perkenalan dan pendekatan terhadap
penduduk disitu karena kesulitan komunikasi.
Tahap pertama selain melakukan perkenalan dan pendekatan, tahap
selanjutnya penulis juga mencari sumber-sumber data yang dirasa perlu untuk
melengkapi penelitian ini dengan literatur-literatur yang mendukung penulisan
mengenai anak jalanan melalui studi kepustakaan di perpustakaan kampus,

3
Proses penelitian yang dilakukan oleh Fajar Marantika Wahyuningtyas (222003007) selama kurun waktu
bulan Maret-Oktober 2008. Nur handayani baru memulai penelitian tentang anak jalanan di Tugu Muda
bulan September Akhir tahun 2008 , sehingga data yang didapat belum optimal dalam makalah ini.
perpustakaan yayasan Setara, browsing lewat internet untuk mengetahui
perkembangan wacana tentang anak jalanan baik di dalam negeri maupun di
luar negeri. Pada tahap ini penulis mengalami kesulitan dalam mendapatkan
literatur sejarah wilayah penelitian di gunung brintik, karena tidak banyak orang
yang mengetahui sejarah wilayah ini selain orang-orang yang pernah tinggal di
Gunung Brintik bertahun-tahun yang lalu, maka dari itu tidak banyak literatur
sejarah yang ditemukan. Akhirnya jalan lain yang ditempuh penulis untuk
mengetahui sejarah wilayah Gunung Brintik adalah dengan melakukan
wawancara dari beberapa penduduk di kelurahan randusari yang dianggap
sudah cukup lama dan secara turun temurun tinggal di Gunung Brintik maupun
berdekatan wilayahnya dengan Gunung Brintik. Selain mencari data sekunder,
penulis juga melengkapi dengan data primer dengan melakukan wawancara
dengan berbagai narasumber yang dirasa penting dalam penelitian mengenai
anak jalanan. Narasumber yang diwawancarai oleh penulis diantaranya adalah
anak-anak jalanan itu sendiri, informan kunci (seorang pemuda yang sudah lama
mengenal dunia anak jalanan dan seluk beluknya dan seorang ibu yang sudah
bertahun-tahun mengabdikan dirinya untuk merangkul anak-anak jalanan di
kampungnya), sekretaris kelurahan, aktivis yayasan Setara dan masyarakat di
sekitar Gunung Brintik. Selain melakukan wawancara, sebelum memulai
penulisan skripsi, penulis juga pernah - secara tidak sengaja – membentuk
sebuah Focus Group Discussion pada April 2007 pukul 01.00 dini hari di Gunung
Brintik yang melibatkan anak-anak jalanan yang saat itu mulai kembali dari
aktivitasnya seharian di jalan. Kegiatan itu penulis laksanakan di rumah informan
kunci yang telah disebutkan tadi. FGD tersebut berjalan cukup lancar, beberapa
diantara mereka tidak sungkan-sungkan dalam menceritakan kehidupan mereka,
hanya saja yang disesalkan saat itu penulis tidak membawa alat perekam untuk
mendokumentasikan kegiatan tersebut. Dalam tahap wawancara ini, yang
menjadi kesulitan penulis adalah, mencari keberadaan anak-anak jalanan untuk
diwawancarai tersebut yang notabene mobillitas mereka tinggi di jalanan,
sehingga sulit untuk dipastikan waktu-waktu mereka mangkal di jalan. Selain
mobilitas mereka yang cukup tinggi, saat diwawancarai, peulis harus bersabar
menyesuaikan dengan waktu luang mereka (penulis mewawancarai di sela-sela
waktu mereka mengamen ataupun mengemis). Selain melakukan wawancara
dengan anak-anak jalanan, penulis juga perlu untuk mewawancarai beberapa
penduduk yang tinggal di Gunung Brintik, pejabat kelurahan randusari dan
orang-orang yang mengetahui sejarah wilayah Gunung Brintik dan mengetahui
seluk beluk kehidupan anak jalanan yangtinggal di daerah Gunung Brintik. Tahap
akhir yang dilakukan oleh penulis adalah pengumpulan data yang kemudian
dinarasikan dalam bentuk tulisan. Memasuki tahap akhir ini, penulis mengalami
kesulitan dalam menarasikan hasil penelitian, karena penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif, penulis mengalami kesulitan dalam menarasikan hasil
penelitian dalam bentuk tulisan.
C. Definisi – definisi dan literature-literatur yang mendukung penelitian
tentang anak jalanan
a. Definisi anak, anak jalanan dan pekerja anak.
Secara awam, masyarakat menganggap bahwa anak adalah individu yang
berusia di bawah 13 tahun. Konsep “anak” sendiri didefinisikan dan dipahami
secara bervariasi dan berbeda, sesuai dengan sudut pandang dan kepentingan
yang beragam. Menurut UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak,
anak adalah seseorang yang berusia di bawah 21 tahun dan belum menikah.
Sedangkan menurut UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak
adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih
dalam kandungan.
Namun dalam KHA (Konvensi Hak Anak) memberikan batasan 18 tahun ke
bawah (pasal 1 ayat 1). Dalam petunjuk penerapan KHA (Hodgkin & Newell,
1998), maka batasan umur anak dipertimbangkan berdasarkan batasan umur
untuk keperluan sebagai berikut :
1) Umur perkawinan
2) Sexual consent
3) Pendaftaran sukarela untuk masuk militer
4) Tanggung jawab criminal
5) Batasan umur untuk dikenai hukuman pidana mati atau seumur hidup
6) Usia masuk kerja, termasuk pekerjaan yang berbahaya
7) Kapasitas legal untuk menerima warisan dan menegoisasi warisan
8) Akhir wajib belajar
9) Memberikan suara dalam pemilihan umum
Menurut Hasil SUSENAS 2004 Propinsi Jawa Tengah pekerja anak
didefinisikan anak usia 10-14 tahun yang sudah terlibat dalam kegiatan ekonomi
produktif4. Inilah yang terjadi pada anak-anak yang tinggal di daerah Wonosari,
di usia 10-14 tahun mereka sudah terlibat dalam dunia kerja, dengan menjadi
pengamen jalanan, loper Koran, dan lain sebagainya. Konvensi ILO No.138
(Disahkan Pemerintah Indonesia melalui UU No.1 tahun 2000) mengenai Usia
Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja dinyatakan bahwa usia minimum bagi
anak untuk diperbolehkan bekerja adalah 15 tahun jika pekerjaan itu tidak
mengganggu kesehatan, keselamatan, pendidikan dan pertumbuhannnya.
Sementara usia minimum untuk diperbolehkan bekerja atau melakukan
pekerjaan yang berbahaya tidak boleh kurang dari 18 tahun.
Anak jalanan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut5 : berusia antara 5 sampai
dengan 18 tahun, melakukan kegiatan atau berkeliaran di jalanan,
penampilannya kebanyakan kusam dan pakaian tidak terurus, mobilitasnya
tinggi6. Dijumpai juga pengelompokan terhadap Anak Jalanan yang terbagi
menjadi tiga kategori anak jalanan7 :
1. Children on the street: anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di
jalanan yang masih memiliki hubungan dengan keluarga.
2. Children of the street: anak-anak yang menghabiskan seluruh waktunya atau
sebagian besar waktunya di jalanan dan sudah memutuskan hungungan
dengan keluarga.

4
SUSENAS 2004, Profil Ketenagakerjaan Jawa Tengah
5
Mengutip dari hasil penelitian Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) bekerjasama dengan
Balatbangsos Departemen Sosial RI, menilai penting dan strategis dilakukan penelitian mengenai: “Upaya
Pencarian Model Yang Efektif Dalam Penanganan Anak” di JABODETABEK dan Surabaya yang
Berbasis Pada Pemberdayaan Ekonomi Keluarga.
6
Mengutip dari hasil penelitian Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) bekerjasama dengan
Balatbangsos Departemen Sosial RI, menilai penting dan strategis dilakukan penelitian mengenai: “Upaya
Pencarian Model Yang Efektif Dalam Penanganan Anak” di JABODETABEK dan Surabaya yang
Berbasis Pada Pemberdayaan Ekonomi Keluarga.
7
Odi Shalahuddin ; yayasan Setara ; 2004 ; hal.14
3. Children in the street: anak-anak yang menghabiskan seluruh waktunya di
jalanan karena keluarga mereka juga berasal dari jalanan.
Menurut Brim (Mahmud, 1989 : 108) factor keberadaan anak jalanan
secara umum dapat dikategorikan menjadi tiga tingkatan sebagai penyebab
masalah anak jalanan, yaitu:
1. Tingkat mikro (immediate causes) yaitu : factor yang berhubungan dengan
anak jalanan dan keluarganya. Pada kondisi ini, sebab yang dapat
diidentifikasikan adalah dari keluarga, disuruh bekerja, berpetualang,
bermain-main atau diajak teman.
2. Tingkat meso (underlying causes) yaitu : factor terjadinya berkaitan dengan
kondisi lingkungan masyarakat. Pada kondisi ini sebab yang dapat
diidentifikasi adalah pada masyarakat miskin, anak-anak merupakan asset
untuk membantu peningkatan pendapatan dan taraf kehidupan keluarga.
3. Tingkat makro (basic causes) yaitu faktor yang berhubungan dengan struktur
makro. Pada kondisi ini sebab yang dapat diidentifikasikan adalah adanya
peluang pekerjaan sector informal yang tidak terlalu membutuhkan modal dan
keahlian besar.
b. Pendidikan dan keluarga.
Pendidikan bagi anak-anak jalanan merupakan sesuatu yang mahal, aspek
pendidikan dalam penelitiaan ini menjadi salah satu factor umum yang secara
tidak langsung mendorong anak-anak turun ke jalan. Maka perlu bagi kami
memaparkan definisi Pendidikan yaitu Pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlllukan dirinya, masyarakat bangsa
dan negara8.
Selain pendidikan aspek yang perlu untuk diamati dalam kehidupan anak
jalanan adalah aspek keluarga karena menurut Colemen (djiwandono, 1989)

8
Skripsi oleh Bernadetta Hellen Siskalia (162001023) berjudul Daya Tampung Kelas 1 SLTP dan
kesepadanannya dengan anak usia kelas 1 SLTP tahun 2002-2004 (diambil dari Undang-undang Sistim
Pendidikan nasional, No.20 tahun 2003).
mengemukakan bahwa keluarga merupakan factor determinan paling
berpengaruh terhadap prestasi pendidikan anak, status pekerjaannya di
kemudian hari, kemudian menyusul lingkungan pergaulannya (peer group).
Selain itu menurut Solaeman (1991) mengetengahkan bahwa fungsi keluarga
adalah mensosialisasikan atau mendidik anak, menolong dan melindungi.
c. Definisi kemiskinan dan ciri-ciri rumah tangga miskin.
Kehidupan anak jalanan dapat kita amati cukup dengan dengan kehidupan
yang mempunyai keterbatasan ekonomi dan sebagian dari mereka berada di
bawah garis kemiskinan. Hal ini sejalan dengan definisi kemiskinan yang
diungkapkan oleh Tjondronegoro (Husken, et al, 1997 : hal.191) mengatakan
bahwa dalam arti luas konsep dasar kemiskinan adalah ketidakmampuan
individu dalam menjawab kebutuhan dasar9.
Emil salim (ala, 1996, hal.4) melukiskan kemiskinan sebagai kurangnya
pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok. Kemiskinann juga
berarti kelaparan, kekurangan gizi, pakaian, dan perumahan yang tidak
memadai, tingkat pendidikan rendah, tidak ada atau sedikit sekali kesempatan
untuk memperolah pelayanan kesehatan yang elementer dan lain-lain10.
Karakteristik masyarakat miskin seperti dikemukakan Emil Salim (1984,
hal.42-43):
1. Umumnya tidak memiliki factor produksi sendiri.
2. Tidak mempunyai kemungkinan untuk memperoleh asset produksi dengan
kekuatan sendiri.
3. Tingkat pendidikan pada umumnya rendah.
4. Banyak diantara mereka tidak mempunyai fasilitas.
5. Diantara mereka berusaha diusia relative muda dan tidak mempunyai
keterampilan atua pendidikan memadai.
Ciri-ciri kemiskinan lain yang penting adalah budaya kemiskinan (culture of
poverty) Oscar Lewis (1984, hal.4). Budaya kemiskinan ini adalah merupakan

9
Tesis berjudul : “profil rumah tangga miskin di desa uma manu, kecamatan lewa kabupaten sumba timur
provinsi NTT” (r. Ranggabeni, 2004,31).
10
Tesis berjudul : “profil rumah tangga miskin di desa uma manu, kecamatan lewa kabupaten sumba
timur provinsi NTT” (r. Ranggabeni, 2004,31).
suatu adaptasi, sekaligus reaksi kaum miskin terhadap kedudukan marginal
mereka didalam masyarakat yang berstrata sangat individualis dan berciri
kapitalis,
1. Kurang efektifnya partisipasi dan integrasi kaum miskin ke dalam lembaga-
lembaga utama masyarakat.
2. Kuatnya perasaan tidak berharga, tidak berdaya, ketergantungan dan rendah
diri.
D. Wacana-wacana yang berkembang seputar anak jalanan.
Dari tahun ke tahun sudah banyak pihak yang melakukan penelitian-
penelitian yang menyangkut anak jalanan (baik di Indonesia maupun di Negara-
negara lainnya) dan berbagai problematikanya seperti kekerasan yang dialami
anak jalanan, eksploitasi terhadap anak-anak jalanan termasuk pendidikan yang
ditempuh anak-anak jalanan. Namun seiring dengan berjalannya waktu, entah
mengapa persoalan mengenai anak-anak jalanan tidak kunjung terselesaikan.
Bahkan jumlah anak jalanan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun,
11
menurut hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Badan Pusat
Statistik Republik Indonesia tahun 1998 memperlihatkan bahwa anak jalanan
secara nasional berjumlah sekitar 2,8 juta anak. Dua tahun kemudian, tahun
2000, angka tersebut mengalami kenaikan sekitar 5,4%, sehingga jumlahnya
menjadi 3,1 juta anak. Pada tahun yang sama, anak yang tergolong rawan
menjadi anak jalanan berjumlah 10,3 juta anak atau 17, 6% dari populasi anak di
12
Indonesia, yaitu 58,7 juta anak (Soewignyo, 2002). Di Indonesia, keberadaan
anak jalanan muncul sekitar tahun 1970-an dimulai Jakarta, Bandung dan Jogja
kemudian disususl dengan kota-kota lain yaitu Malang, Surabaya dan Semarang.
Beragam pandangan tentang definisi maupun istilah-istilah dari Anak Jalanan
13
mulai muncul . Anak Jalanan di jogja ada pembedaan antara Tekyan dan Cah
kampung. Tekyan adalah seorang anak yang sudah putus hubungan dengan
keluarga, sedangkan Cah Kampung adalah anak-anak yang masih tinggal

11
Penelitian tentang pemetaan anak-anak jalanan dan alternative model pemecahannya berbasis
pemberdayaan keluarga di Jabodetabek dan Surabaya th. 2003
12
Odi Shalahuddin ; yayasan Setara ; 2004 ; hal.2
13
Odi Shalahuddin ; yayasan Setara ; 2004 ; hal.12
dengan orang tua, selain itu menurut Ertanto (2002) anak jalanan di jogja baru
diakui sebagai anak jalanan jika mereka sudah pernah Ngoyen (memakan
makanan sisa)14.
Dalam Penelitian Universitas Muhammadiyah Jakarta bekerjasama
dengan Balatbangsos Departemen Sosial RI mengenai : “upaya pencarian model
yang efektif dalam penanganan anak”. Di JABODETABEK dan Surabaya yang
berbasis pada Pemberdayaan Ekonomi dan Keluarga.
Berdasarkan data yang diperoleh dapat dikemukakan bahwa
sesungguhnya faktor penyebab anak turun ke jalan di JABODETABEK adalah
sebagai berikut; mencari uang, main-main, hidup di jalan.
Anak jalanan pada umumnya mempunyai keluarga yang berada di
lingkungannya yang biasanya keluarganya adalah keluarga dari golongan yang
kurang mampu secara materi, sehingga anak-anak mereka berusaha untuk
memenuhi kebutuhan keluarga akan tetapi sesungguhnya peran orang tua anak
jalanan tidak berperan secara maksimal, hal ini dapat dilihat manakala orang tua
sangat mendukung untuk anaknya bekerja.
Berdasarkan dari peta permasalahan anak jalanan baik yang berada di
JABODETABEK dapat dipetakan permasalahan sebagai berikut :
a) Anak jalanan turun ke jalan karena adanya desakan ekonomi keluarga
sehingga justru orang tua menyuruh anaknya untuk turun ke jalan guna
mencari tambahan untuk keluarga. Hal ini terjadi karena ketidak berfungsian
keluarga dalam memenuhi kebutuhan keluarga.
b) Rumah tinggal yang kumuh membuat ketidak betahan anak berada di
rumah, sehingga perumahan kumuh menjadi salah satu faktor pendorong
untuk anak turun ke jalan.
c) Rendahnya pendidikan orang tua anak jalanan sehingga mereka tidak
mengetahui fungsi dan peran sebagai orang tua dan juga ketidaktahuannya
mengenai hak-hak anak.
d) Belum adanya payung kebijakan mengenai anak yang turun ke jalan baik
kebijakan dari kepolisian, Pemda, maupun Departemen Sosial.

14
Odi Shalahuddin ; yayasan Setara ; 2004 ; hal.13
e) Belum optimalnya social control di dalam masyarakat
f) Belum berperannya lembaga-lembaga organisasi sosial, serta belum
adanya penanganan yang secara multi sistem base.
E. Kehidupan anak jalanan yang beroperasi di daerah Tugu Muda dan
bertempat tinggal di kampung Gunung Brintik Semarang.
a. Sejarah Lokasi penelitian.
Sejarah Singkat Tugu Muda dan kampung Gunung Brintik Semarang.
Menurut sejarah yang dituturkan oleh warga, berdirilah sebuah Kerajaan yang
juga dinamakan kerajaan Bogota yang dimana penguasa daerah tersebut
bernama Nyai Brintik. Menurut penuturan masyarakat setempat pintu utama
kerajaan Bogota terletak Gerbang kalisari, sedangkan pintu belakang kerajaan
Bogota terletak di Randusari. Nyai Brintik menjadi penguasa kerajaan Bogota
selama puluhan tahun. Bahkan makamnya pun sampai sekarang masih ada di
Taman Pemakaman Umum Bergota dan dianggap keramat oleh warga
Semarang, khususnya penduduk di sekitar Bergota. Berdasarkan cerita, Nyai
Brintik telah mengucap janji bahwa semua warga Bergota mulai dari daerah
Kalisari hingga Randusari merupakan keturunan dari Nyai Brintik, sehingga
keturunannya akan dilindungi dan tidak akan mengalami kebakaran sampai
kapanpun meskipun beliau sudah wafat dan warga yang dianggap keturunannya
tidak akan mendapatkan jodoh diluar daerah Bergota, kecuali merantau ke
daerah lain. Penduduk Bergota sekarang ini yang merupakan keturunan dari
penduduk asli masih mempercayai kesaktian dari Nyai Brintik hingga saat ini.
Maka dari itu nama Gunung Brintik diambil dari nama seorang penguasa
Kerajaan yang dulu berdiri di daerah tersebut yang bernama Nyai Brintik dan
karena tempat tersebut berada di dataran tinggi, sehingga dianggap menyerupai
Gunung. Seiring berjalannya waktu daerah tersebut dialihfungsikan menjadi
Tempat Pemakaman Umum Kota Semarang, meskipun masih ada penduduk
yang tinggal di daerah tersebut. Namun warga yang tinggal di daerah Gunung
Brintik mempunyai cerita tersendiri yang menjadi cikal bakal sebutan Gunung
Brintik sebagai basis anak jalanan terbesar di Semarang15. Di wilayah Bergota

15
Hanna Prabandari S,Si. “Prostitusi anak jalanan di Simpang Lima” Semarang. 2004 hal. vi
ada terdapat tanah kosong, yaitu wilayah sekitar pemakaman Nyai Gunung
Brintik, kemudian pada tahun 1970-an, tanah kosong tersebut dibeli oleh
Yayasan Sosial Sugyopranoto. Tanah tersebut kemudian difungsikan oleh YSS
sebagai tempat penampungan Fakir Miskin dan anak-anak terlantar, Dari situlah
kemudian tumbuh perkampungan yang sebagian besar warganya berasal dari
fakir kiskin dan anak-anak terlantar.
b. Gambaran Umum Lokasi penelitian yang menjadi basis anak jalanan
terbesar di Semarang.
Kampung gunung brintik merupakan salah satu wilayah yang tergabung
dalam kelurahan Randusari, kecamatan Semarang Selatan yang terletak di salah
satu pusat kota Semarang. Wilayah Randusari berdekatan dengan wilayah
Pandanaran yang lebih dikenal sebagai pusat oleh-oleh khas kota Semarang.
Randusari terbagi menjadi 7 RW, 51 RT dengan jumlah penduduk secara
keseluruhan sebesar 10.271 penduduk. Luas wilayah Randusari sebesar 66
hektar, namun wilayah yang ditempati oleh penduduk Randusari sebagai
pemukiman hanya sebesar 1/3 dari 66 hektar luas wilayahnya, karena sisanya
merupakan Tempat Pemakaman Umum Bergota dan Rumah Sakit Karyadi
Semarang. Kampung Gunung Brintik tergabung dalam wilayah Wonosari yang
termasuk wilayah RW III kelurahan Randusari, namun kampung Gunung Brintik
sendiri terdiri dari 4 RT yaitu ; RT VII (36 KK), RT VIII (32 KK), RT IX ( 32 KK),
dan RT X (24 KK). Sebagian besar penduduk yang tinggal di daerah Gunung
Brintik bekerja di sektor jasa antara lain tukang parkir, tukang becak, tukang batu
dan merangkai bunga, selain itu ada juga yang beberapa berdagang di pasar
Bulu dan menjadi guru. Namun menurut penuturan sekretaris kelurahan yang
biasa disebut “pak carik” jumlah penduduk yang telah beliau sebutkan belum
termasuk penduduk yang tidak mempunyai Kartu Keluarga. Bahkan secara
mengejutkan dalam wawancara terungkap bahwa tanah yang dibangun rumah
kemudian ditinggali oleh penduduk bukan merupakan tanah mereka dan
sebagian besar dari mereka tidak memiliki sertifikat tanah maupun surat ijin
bangun sekalipun itu dari dinas pemakaman setempat (penduduk tersebut
tinggal ditengah-tengah area pemakaman umum).
c. Potret kehidupan anak –anak jalanan yang beroperasi di seputar Tugu
Muda dan yang bertempat tinggal di kampung Gunung Brintik
Semarang.
Gambaran anak jalanan di kawasan Tugu Muda16
Anak-anak datang dari berbagai kota berkumpul membentuk suatu
komunitas anak jalanan. Kemudian ada pendekatan dan bimbingan dari PMI
Daerah Jawa Tengah untuk dpat diarahkan ke dalam hal-hal yang lebih baik.
PMI Daerah Jawa Tengah bekerja sama dengan Yayasan Sugyo Pranoto
Semarang (YSS) untuk melakukan pendampingan terhadap anak jalanan.
Kemudian didirikan sebuah rumah singgah17 untuk anak-anak jalanan di YSS. Di
dalam rumah singgah anak-anak dilatih berbagai keterampilan sesuai dengan
usia dan minat masing-masing seperti bengkel otomotif, menjahit, dan memasak.
Selain itu juga diadakan sekolah kejar paket untuk anak-anak yang belum tamat
sekolah. Sekolah kejar paket terdiri dari Kejar Paket A, B, dan C. untuk anak-
anak yang masih sekolah (bukan kejar paket) diberikan beasiswa untuk
pendidikan dan selalu dilakukan pemantauan nilai di sekolah, sikap, dan
perilakunya oleh pihak pendamping. Selain kegiatan yang dilakukan di rumah
singgah, anak-anak tetap bekerja di jalanan sebagai pengemis, pengamen, dan
tukang semir sepatu. Semua itu mereka lakukan diluar kegiatan yang dilakukan
di Rumah singgah dan mereka lakukan sepulang sekolah.
Pandangan Masyarakat tentang anak jalanan
Tidak sedikit masyarakat yang memandang dengan sebelah mata dari
keberadaan anak jalanan. Anak jalanan sering dianggap sebagai sampah
masyarakat. Bagi masyarakat, anjal juga identik dengan minuman keras,
narkoba, seks bebas, dan pakaian yang lusuh. Gaya hidup yang tidak jelas juga
sangat melekat pada diri mereka. Hidup di jalanan, tidur di trotoar, makanan dan
kesehatan tidak diperhatikan.
Pandangan PMI Daerah Jawa Tengah tentang Anak jalanan18

16
Hasil wawancara dengan salah seorang pendamping anak jalanan dari PMI Daerah Jawa Tengah.
17
RPSA Anak Bangsa yang dikelola atas kerjasama dari Yayasan Sugyo Pranoto Semarang (YSS) dengan
PMI Daerah Jawa Tengah
18
Hasil wawancara dengan Bapak Nasrun dari PMI Daerah Jawa Tengah
Anak jalanan bukanlah sesuatu yang menjijikkan / menakutkan. Tidak
semua anjal menginginkan dirinya seperti itu. Banyak sebab yang mengharuskan
mereka untuk hidup di jalanan. Justru kita sebagai manusia yang memiliki
kehidupan yang lebih baik dari anak jalanan seharusnya kita peduli kepada
mereka. Dengan melakukan pendekatan, kita bias membimbing dan membina
mereka untuk menjadi manusia yang lebih baik. Pada dasarnya kebanyakan dari
anak jalanan adalah karena kurangnya rasa kasih sayang dan perhatian dari
keluarga, sehingga kita bisa berikan sedikit perhatian dan kasih sayang untuk
mereka dan hal itu akan menjadi sesuatu yang sangat berharga bagi mereka.
Kehidupan Anak Jalanan pada umumnya19
Pada umumnya kehidupan anak jalanan sangatlah simple. Berdasarkan
pengakuan salah seorang yang pernah terjun menjadi anak jalanan,
kehidupannya sebagai anak jalanan hanya mempunyai rasa senang, tidak peduli
dengan peraturan-peraturan, adat istiadat, dan norma masyarakat yang berlaku.
Semua itu tidak dihiraukan oleh anak jalanan. Kalau bisa justru mereka akan
membuat sensasi sendiri supaya mereka mempunyai ciri khas yang khusus dari
pada orang lain. Semakin tidak teratur penampilan, sikap, dan perilakunya, justru
mereka akan semakin bangga dengan keadaan yang seperti itu. Penampilan
yang serba tidak teratur, dengan rambutnya yang di cat dan dengan model yang
tidak teratur pula; banyak tindik di pasang di telinga, hidung, alis, bibir, bahkan di
lidah; dan dengan dandanannya yang serba “sangar” itu akan membuat mereka
semakin terkenal di kalangan anak jalanan yang lain.
Namun tidak semua anak jalanan mempunyai pikiran seperti itu. Ada juga
anak jalanan yang masih tergolong anak yang sopan karena dia merasa masih
mempunyai orang tua dan sebenarnaya dia masih mempunyai rasa takut kepada
orang tuanya. Hal itulah yang menyebabkan mereka masih punya sopan santun.
Ada juga anak jalanan yang mempunyai pikiran untuk maju, untuk mengubah
jalan kehidupannya supaya menjadi lebih baik, menjadi lebih terarah, dan
mempunyai masa depan yang lebih cerah seperti anak-anak pada umumnya.
Tapi keinginan seperti itu biasanya hanya sebatas keinginan saja, cuma sebatas

19
Hasil wawancara dengan salah seorang yang pernah terjun menjadi anak jalanan
di pikiran, dan tidak bisa berbuat apa-apa untuk mewujudkan keinginannya
sehingga mereka bilang “CUMI” yang berarti “ CUMA MIKIR”.
Sejauh ini pekerjaan anak jalanan belum pernah berubah dan pola
pikirnya masih seperti dulu yaitu “dari pada mencuri lebih baik ngamen (menjadi
pengamen)”.

Kehidupan anak jalanan sebagai pekerja anak di kawasan Tugu Muda20


Kegiatan sehari-hari yang paling utama yang dilakukan anak jalanan
adalah bekerja. Jenis pekerjaan apapun mereka lakukan demi mendapatkan
uang. Dari menjadi pengemis, pengamen, tukang parkir dan tukang semir sepatu
pun mereka lakukan. Mereka melakukan kegiatan itu di kawaan Tugu Muda dan
dilakukannya pada siang hari. Sewaktu jam istirahat, mereka akan kembali ke
Rumah Singgah. Selain jam istirahat, pada malam hari pun mereka tidur di
Rumah Singgah, sehingga mereka tidak lagi tidur di jalanan.
Selain mencari uang, banyak juga kegiatan-kegiatan yang dilakukan di
Rumah Singgah seperti kegiatan pelatihan-pelatihan yang sering kali diberikan
oleh PMI Daerah Jawa Tengah yang juga harus diikuti oleh mereka. Pelatihan-
pelatihan yang sering kali diberikan adalah pelatihan Pertolongan Pertama (PP),
Perawatan Keluarga (PK), Pendidikan Remaja Sebaya (PRS), Penyakit Menular
Seksual (PMS), dan pengetahuan tentang penyakit HIV/AIDS.21
Di bulan Ramadhan seperti saat ini, kegiatan yang mereka lakukan yaitu
buka bersama yang sebelumnya diisi ceramah keagamaan bagi anak jalanan
muslim dan bagi anak jalanan non-muslim juga diadakan ceramah keagamaan.
Mereka sangat menikmati kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan karena
bagi mereka dirinya yang sekarang jauh lebih baik dari dirinya yang dulu
sebelum ada pendampingan.

20
Hasil wawancara dengan salah satu pendamping anak jalanan
21
Materi pelatihan yang diberikan oleh PMI Daerah Jawa Tengah sebagai pendamping anak jalanan
Pendidikan22
Bagi anak jalanan yang putus sekolah akan diadakan sekolah kejar paket
A, B, dan C untuk mereka, sehingga walaupun mereka bekerja tapi mereka tetap
bersekolah.
Bagi anak jalanan yang masih sekolah di luar kejar paket diberikan dana
beasiswa untuk pendidikannya. Beasiswa tidak semata-mata diberikan begitu
saja, tetapi tetap ada pantauan nilai di sekolah, sikap, dan perilakunya. Sehingga
mereka tetap dalam pengawasan hingga mereka lulus dari SMA.

Gambaran anak jalanan yang tinggal di kampung Gunung Brintik


Anak Jalanan dan Keluarga
Sebagian besar anak jalanan yang tinggal di wilayah gunung brintik masih
memiliki orang tua dan tempat tinggal. Kedua orang tua mereka mempunyai
pekerjaan masing-masing. Orang tua mereka kebanyakan bekerja di sektor jasa
diantaranya antara lain menjadi tukang becak, tukang parkir, tukang batu (kuli
bangunan), guru dan masih banyak yang lainnya. Status ekonomi orang tua
mereka juga beragam namun sebagian besar dari mereka berasal dari kalangan
ekonomi menengah ke bawah.Orang tua mereka tinggal di daerah gunung brintik
sudah lebih dari 10 tahun. Namun, ada sebagian dari mereka yang belum
mempunyai Kartu Keluarga (KK) dan rumah-rumah yang mereka miliki masih
merupakan status perumahan liar. Hal ini diungkapkan oleh sekretaris kelurahan
Randusari, mereka membangun rumah tanpa ijin dari dinas pemakaman dan
pertamanan kota Semarang. Begitupun juga dengan anak-anak jalanan yang
ada di gunung brintik, sebagian dari mereka belum mempunyai akte kelahiran.
Anak-anak jalanan di daerah gunung brintik termasuk dalam kategori
“children on the street” karena meskipun mereka turun ke jalanan namun mereka
masih mempunyai rumah dan interaksi mereka dengan keluarga cukup intens.
Ketika penulis mewawancarai anak-anak jalanan, sebagian dari mereka turun ke
jalan karena ekonomi, sebagian lagi karena pengaruh dari teman-temannya yang

22
Hasil wawancara dengan salah satu pendamping anak jalanan
sebelumnya sudah turun ke jalan. Penulis juga mendapati beberapa anak
jalanan yang turun ke jalan karena keinginan orangtua mereka masing-masing.
Orang tua mereka beralasan bahwa penghasilan mereka terima saat bekerja
tidak menentu, sehingga mereka merasa perlu untuk mendorong anak-anak
mereka untuk ikut membantu kesulitan ekonomi mereka. Ketika penulis
melakukan wawancara dengan salah satu anak jalanan perempuan berambut
panjang, berusia sekitar 11 tahun,dia sedang membagi-bagi amplop berukuran
paling kecil kepada penumpang bis jurusan Banyumanik, di sisi depan amplop
tersebut tertulis untuk bayar sekolah dan untuk membeli makan, kemudian
penulis menanyakan mengapa mereka mau menjadi pengemis, dan salah satu
dari dia berkata : “ ibuk’e jek loro mbak, mulane aku meh golek duwit nggo tuku
obat ibuk’e, soale obat watuk kan larang mbak” . Kemudian beberapa minggu
kemudian penulis bertemu dengan anak jalanan perempuan itu lagi, tetapi
rambutnya sudah dipotong pendek sebatas daun telinga. Saat penulis
menanyakan perihal keberadaa rambutnya, dia berkata : “ lha aku rak
ono(uang)…tak dol wae ah rambutku…aku iki nganu gek butuh ..lha aku dioyak-
oyak ibukku terus ok mbak di kon mbayar uang sekolah….tak potong neng salon
mbak…entuk rung kilak…sak kilake satus sewu…” Dia menjual rambutnya yang
semula cukup panjang dengan harga Rp. 100.000,- per satu jengkal tangan
pemilik salon (yang menentukan harganya adalah pemilik salon), dan karena
rambutnya panjang dia mendapatkan Rp.200.000,- . alasan dia menjual
rambutnya karena dia membutuhkan uang tersebut untuk membayar uang
Sekolah selama dua bulan (Juli-Agustus), dan dia dikenai denda keterlambatan
pembayaran uang sekolah sebesar Rp. 20.000,- per bulan. Anak jalanan itu
sebut saja Lili, hanya salah satu dari banyak anak-anak jalanan lainnya yang
tinggal di gunung brintik yang turun ke jalan karena dorongan dari orang tua
mereka masing-masing. Anak-anak di bawah usia 15 tahun yang seharusnya
masih dibawah pengawasan, asuhan dan perlindungan orang tua termasuk
membiayai segala bentuk kehidupan mereka, justru menjadi pendorong anak-
anak tersebut untuk membiayai hidup mereka sendiri.
Sedangkan anak jalanan yang tinggal di RPSA, kebanyakan dari mereka
masih mempunyai keluarga. Terkadang mereka pulang untuk bertemu orang
tuanya dan terkadang orang tuanya yang datang ke RPSA untuk menengoknya.
Yayasan pun mempunyai program untuk orang tua anjal, yaitu pemberdayaan
bagi orang tua anak jalanan. Sehingga dengan program tersebut diharapkan
kehidupan anak jalanan dan keluargany bisa lebih baik dari sebelumnya.
Anak Jalanan dan Sekolah
Undang-undang Republik Indonesia No.23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, pada pasal 9 (1) mencatat bahwa Setiap anak berhak
memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan
pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.
Seperti yang tertulis dalam dalam Undang-undang tersebut, pendidikan di
wilayah Gunung Brintik sudah cukup mendapatkan perhatian dari berbagai
pihak, hal itu terbukti dengan didirikannya SD Gunung Brintik di perkampungan
tersebut, SD Gunung Brintik merupakan milik Yayasan Pangudi Luhur. Sebagian
besar anak-anak dari wilayah Gunung Brintik menempuh pendidikan dasarnya di
sekolah tersebut. Uang sekolah di SD Gunung Brintik rata-rata sebesar
Rp.45.000,- per bulan pada periode tahun 2007-2008. Jam sekolah di SD
Gunung Brintik terbagi menjadi dua yaitu Pagi dan Siang. Siswa-siswa yang
bersekolah di situ ada yang masuk jam sekolah di pagi hari pukul 07.00
kemudian pulangnya pukul 10.00, kemudian ada Siswa-siswa yang masuk
sekolah pukul 12.00 siang kemudian pulangnya pukul 15.00 sore. Anak-anak di
Gunung Brintik yang terjun menjadi anak-anak jalanan, seringkali membolos
sekolah. Beberapa dari mereka membolos karena alasan-alasan tertentu
diantaranya karena mereka malas, karena mereka ingin mencari uang dulu
dengan mengamen atau mengemis, karena orang tuanya sakit, bahkan ada
yang mengatakan bahwa mereka tidak betah di sekolah. Penulis melakukan
observasi dengan anak-anak jalanan yang bersekolah di SD Gunung Brintik,
beberapa dari anak-anak jalanan yang laki-laki menceritakan bahwa mereka
sering membolos karena tidak betah di sekolah, mereka beralasan bahwa guru-
guru di sekolah sering memarahai mereka karena sering membolos, menjadi
bahan celaan teman-teman di sekolah karena menjadi pengamen dan pengemis
dan juga karena mereka sering terlambat membayar uang SPP (uang sekolah).
Beberapa juga mengatakan saat mengemis dan mengamen di jalan mereka
bertemu dengan guru mereka, namun mereka justru merasa disudutkan oleh
perkataan-perkataan beliau yang membuat mereka semakin rendah diri. Namun
temuan yang membuat penulis merasa lega, beberapa anak jalanan lain yang di
observasi oleh penulis (kebanyakan anak jalanan perempuan) ternyata
berprestasi di sekolahnya, mereka sering mendapatkan peringkat di kelasnya
dari tahun ke tahun. Bahkan tidak jarang penulis menemukan ada anak-anak
jalanan yang sedang asyik belajar dan mengerjakan tugasnya di pinggir-pinggir
jalan maupun di sudut pintu gerbang Gereja Katedral Semarang, dan saat
penulis berbincang-bincang dengan anak-anak itu, mereka mengungkapkan
bahwa mereka ingin sekali bisa sekolah sampai ke jenjang yang lebih tinggi.
Seperti yang telah saya ungkapkan di sub-bab Rumah Tangga, beberapa dari
mereka membiayai sendiri uang sekolah mereka termasuk dendanya per bulan,
bahkan jika mereka terlambat membayar, peran orang tua dalam hal ini kurang
sekali perannya, justru orang tua yang mendorong anak-anak tersebut mencari
uang untuk membiayai sekolah mereka sendiri. Observasi yang dilakukan oleh
penulis belum merujuk langsung kepada pengajar yang ada di SD Gunung
Brintik, sehingga hal-hal yang diungkapkan di atas masih berdasarkan dari satu
pihak yaitu dari anak-anak jalanan yang mengalaminya. Pandangan penulis jika
didasarkan pada hal-hal yang diungkapkan oleh anak-anak jalanan, maka pihak
pengajar kurang mendekatkan diri dengan siswa-siswanya terutama bagi
siswanya yang mempunyai kehidupan keluarga tidak biasa dan pengajar kurang
peka dengan kondisi psikologis siswanya yang mempunyai kehidupan yang
berbeda dengan anak-anak pada umumnya.
Lain lagi anak jalanan yang hidup/bertempat tinggal di RPSA (Rumah
Perlindungan Sosial Anak). Kebanyakan dari mereka bersekolah formal dan
yang tidak bersekolah formal, dia mengikuti program kejar paket yang
diselenggarakan di RPSA. Seperti penuturan salah seorang anak jalanan yang
tinggal di RPSA bernama Adit, berusia 13 tahun : “aku ra sekolah kok mbak, tapi
aku melu kejar paket A “.
Dia berkata kalau dia tidak bersekolah yang formal, tapi dia mengikuti
program Kejar Paket A (setingkat SD). Dan untuk anak jalanan yang bersekolah
formal, semua kebutuhan sekolahnya mulai dari bayar SPP, buku, perlengkapan
sekolah, dan uang sakunya di berikan dari Yayasan. Namun biarpun demikian,
kebanyakan dari mereka masih turun ke jalanan dengan aktivitas yang sering
mereka lakukan.
Seperti pengakuan Adit (13 tahun),
“ndisik aku yen ngamen neng bis tekan Jakarta, Bandung, pokok’e tekan adoh,
tapi saiki ra tau. Paling yo mung neng daerah Tugu Muda tok. Biasane aku
mulai ngamen sore sekitar jam 5 nan sampe bengi jam 7 nan. Tapi kadang jam 7
yo gek metu”.
(Dulu saya kalau ngamen di bus bisa sampai Jakarta, Bandung, dan kota lain
yang jauh dari Semarang, tapi sekarang sudah tidak pernah. Paling cuma di
daerah Tugu Muda. Biasanya saya mulai ngamen kalau sudah sore sekitar jam 5
sampai malam sekitar jam 7. Tetapi kadang jam 7 baru mulai keluar untuk
ngamen)
Anak jalanan tersebut masih menikmati kehidupannya sebagai anak
jalanan. Namun dari pihak Yayasan, khususnya RPSA selalu melakukan
pemantauan terhadap mereka. Sehingga segala perilaku dan tingkah lakunya
dapat terkontrol.
Anak Jalanan di Mata Masyarakat
Selain melakukan observasi dengan objek penelitian itu sendiri, penulis
juga melakukan observasi dengan pihak-pihak yang dirasa penting untuk
dipertimbangkan opininya tentang anak jalanan. Penulis mengawali
pengumpulan opini terhadap anak-anak jalanan di daerah Gunung Brintik
dengan warga randusari yang masih satu kelurahan dengan daerah tersebut dan
wilayahnya bersebelahan dengan Gunung Brintik. Beberapa warga Randusari
menganggap bahwa warga di daerah Gunung brintik yang anak-anaknya turun
ke jalan sulit untuk diarahkan ke kehidupan yang lebih baik karena sudah
menjadi tradisi yang turun temurun. Mereka menganggap bahwa anak-anak
tersebut sudah “kesenengen golek duwit”, bahkan ada beberapa tetangga yang
mulanya menjadi buruh cuci pakaian sekarang beralih pekerjaan menjadi
seorang pengemis karena mereka mendapatkan uang lebih banyak dengan
mengemis daripada menjadi seorang buruh cuci. Besarnya pendapatan yang
mereka terima dari mengemis dan kebutuhan ekonomi yang semakin tinggi itulah
yang akhirnya mengalahkan rasa malu mereka. Sehingga beberapa warga yang
wilayahnya bersebelahan dengan Gunung Brintik berpendapat akan sulit
merubah paradigma berpikir warga yang tinggal di Gunung Brintik untuk hidup
lebih baik dengan pekerjaan yang lebih layak tanpa mengeksploitasi anak-
anaknya.
Lembaga swadaya masyarakat maupun yayasan yang berinterakasi
dengan warga Gunung Brintik cukup banyak, salah satunya adalah Yayasan
Setara. Yayasan Setara merupakan organisasi non pemerintah yang berdiri
sekitar tahun 1990-an yang bergerak di bidang anak-anak jalanan. Yayasan ini
mulai merintis program anak jalanan di Semarang pada akhir tahun 1993,
sehingga anak-anak jalanan di Semarang banyak yang mengenal yayasan ini.
Salah satu yang pernah di ikuti oleh penulis ketika observasi adalah Diskusi Hak
Anak yang diadakan pada tanggal 23 Juni 2008. Dalam diskusi tersebut, yang
hadir sebagian besar adalah anak-anak yang tinggal di wilayah itu, yang
mempunyai potensi menjadi anak jalanan, dan sebagian lagi ada beberapa anak
jalanan. Diskusi tersebut membahas tentang hak-hak yang perlu didapat oleh
anak – anak, seperti sepenggal lagu sederhana dan singkat liriknya yang
dinyanyikan bersama saat berlangsungnya diskusi tersebut ;
HAK ANAK MERDEKA YANG HARUS DIDAPAT: BERMAIN, PENDIDIKAN DAN
PERLINDUNGAN AKTE KELAHIRAN, ASUHAN KELUARGA, KESEHATAN,
KESAMAAN PERAN DALAM PERUBAHAN
Interaksi yang terjalin antara pihak Setara dengan anak-anak disitu cukup
erat dan akrab, sehingga mereka tidak sungkan menanyakan, mengadu,
maupun meminta bantuan kepada Setara. Setara juga seringkali turut membantu
anak-anak yang hak-hak nya terabaikan bahkan ditindas. Setara menganggap
bahwa anak-anak tersebut adalah “masa kini” bukan hanya masa depan, dan
mereka punya masa depan yang masih bisa diselamatkan. Sehingga Setara
merasa perlu untuk ikut menyelamatkan masa depan anak-anak tersebut.
Anak–anak jalanan seringkali merasa terpinggirkan di tengah-tengah
masyarakat. Mereka merasa bahwa masyarakat memandang sebelah mata
terhadap mereka. Kriminalitas lekat dikaitkan dengan mereka. mereka dianggap
mengganggu ketertiban umum karena sering mangkal di perempatan lampu
merah. Bahkan ketika penulis mencoba untuk wawancara dengan pihak
kelurahan Randusari, Lurah Randusari tidak berada di tempat untuk
diwawancarai dan akhirnya penulis diterima oleh Sekretaris Kelurahan yang
biasa disebut “pak carik”. Proses wawancara tersebut berlangsung sekitar 45
menit. Dari proses wawancara tersebut pak carik mengungkapkan bahwa beliau
tidak sependapat dengan berbagai media maupun Ornop-ornop yang
mengobservasi daerah Gunung Brintik mengatakan bahwa anak-anak jalanan di
daerah Tugu Muda adalah warga Gunung Brintik. Pak Carik tersebut
berpendapat bahwa mereka yang ada di jalanan bukan merupakan penduduk
Gunung Brintik namun penduduk Luar singgah untuk sementara waktu di
Gunung Brintik. Bahkan selama proses wawancara tersebut, penulis melihat
banyak hal-hal yang tidak ingin diungkapkan oleh pak carik tersebut, sehingga
ada jawaban-jawab dari pak carik tersebut yang terkesan disembunyikan.
Sosok dan Lika-Liku Mereka Mengenal Jalanan
Kehidupan sehari-hari mereka sepulang sekolah, mereka pulang ke
rumah untuk berganti pakaian kemudian mereka memulai rutinitas mereka
sebagai pekerja anak jalanan, yaitu menjadi pengamen jalanan, pengemis,
bahkan bagi anak jalanan perempuan banyak yang bekerja sebagai Pekerja
Seks Komersial (biasa disebut “ciblek”) dan pulang kira-kira hampir tengah
malam23. Rata-rata mereka berangkat dari rumah sepulang sekolah pukul 15.30.
Waktu mereka pulang tidak seragam, antara pukul 18.00, pukul 21.00, dan pukul
00.30. Kadang ada diantara mereka yang tidak pulang kerumah dan tidur di teras

23
Berdasarkan observasi awal yang telah dillakukan oleh penulis pada bulan maret 2008 hingga saat
ini(September 2008)
kantor YSS (Yayasan Sosial Sugyopranoto). Tempat mangkal mereka
diantaranya di bundaran Tugu Muda, Didepan kantor Pemerintah Kota
Semarang, depan Gedung Lawang Sewu, depan Gereja Katedral, Pandanaran,
bundaran SimpangLima, bahkan ada yang mencari uang ke tempat-tempat yang
lebih jauh dengan menumpang bis, biasanya mereka bergerak hingga ke
terminal Bawen. Sedangkan “Ciblek”, kebanyakan dari mereka bekerja di Teh
Poci yang buka di sekitar bundaran Simpanglima. Untuk pengamen dan
pengemis penghasilan yang mereka terima berkisar antara Rp.15.000 –
Rp.50.000,- . Kekerasan, eksploitasi, dan pelecehan seringkali mereka alami
selama mereka di jalanan baik dengan sesama anak jalanan maupun dengan
aparat hukum, dalam hal ini adalah Satuan Polisi pamong Praja (Satpol PP).
Secara keseluruhan, anak jalanan yang diobservasi maupun diwawancarai oleh
penulis mengungkapkan bahwa mereka sering mendapat perlakuan – perlakuan
yang tidak pantas selama ditahan oleh Satpol PP diantaranya mereka dipukul,
ditendang, diminta untuk mengelap sepatu aparat, menyapu, mengepel dengan
lidah, digunduli kemudian dibuang ke kota lain. Bahkan pelecehan seksual juga
tidak luput mereka alami seperti disodomi, diperkosa, dipaksa melakukan seks
oral kepada aparat, dan ditelanjangi. Mereka juga menceritakan bahwa ketika
razia Gepeng dan Anjal, saat ditahanan, selain diperlakukan dengan tidak layak,
mereka dijadikan satu sel dengan orang gila, yang notabene melakukan hal-hal
diluar kesadaran. Melihat situasi ini, kegiatan yang dilakukan anak-anak jalanan
termasuk dalam kategori bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak, seperti
yang tertulis dalam konvensi ILO No.182 tentang Pelarangan dan tindakan
segera Penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk Anak-anak. Selain
itu beberapa jenis-jenis pekerjaan yang mereka geluti juga termasuk dalam
kategori membahayakan baik dari kondisi tempat mereka bekerja, peralatan
yang mereka pakai, maupun bentuk pekerjaan mereka, sehingga perlu menjadi
bahan pertimbangan dari berbagai pihak.
Mengapa Mereka Harus Turun ke Jalan?
Seringkali anak-anak terpaksa memasuki dunia kerja karena mereka dan
keluarganya miskin. Faktor ekonomi merupakan faktor yang paling banyak
diucapkan oleh anak-anak jalanan ketika terjun ke jalan yang telah diungkapkan
oleh penelitian-penelitian sebelumnya, seperti penelitian anak jalanan di
Jabodetabek oleh Universitas Muhammadiyah Jakarta. Namun, yang terjadi
pada anak-anak jalanan di wilayah gunung brintik, berdasarkan observasi
penulis, kebanyakan dari mereka turun ke jalan karena pengaruh dari temana-
teman sebaya mereka yang sebelumnya juga sudah turun ke jalan ataupun juga
karena dari usia mereka masih belia mereka sudah dikenalkan dunia jalanan
oleh keluarga mereka. Ketika penulis menanyakan lebih lanjut, mereka
mengatakan bahwa mereka sudah terbiasa melihat orang tua, kakak-kakak ,
maupun teman-teman mereka turun ke jalan untuk mengamen dan mengemis.
Sehingga faktor budaya dan lingkungan menjadi sesuatu yang sering dijadikan
alasan bagi anak-anak jalanan di daerah gunung brintik ketika mereka turun ke
jalanan. Faktor keluarga juga turut andil menghempaskan mereka ke jalanan,
karena sudah ditanamkan ke dalam benak mereka bahwa anak harus ikut
membantu ekonomi keluarga. Mereka menganggap bahwa tanggung jawab
seorang anak terhadap keluarga perlu untuk direalisasikan dalam bentuk
apapun, sehingga banyak dari mereka turun ke jalan dengan alasan membantu
ekonomi orang tua. Menyedihkan ketika mengetahui bahwa mereka seperti
berada dalam kebingungan karena posisi mereka sebagai anak dalam sebuah
keluarga yang seharusnya patut untuk dilindungi, dicukupi kebutuhannya,
disayang dan diberi pendidikan secara dini. Namun yang terjadi justru
sebaliknya, mereka ikut mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga, mendapatkan
“keluarga” di jalanan, mendapatkan pengetahuan maupun pendidikan melalui
dunia jalanan yang terkadang melampaui usia mereka dan bahkan menyesatkan
jalan pikiran mereka.

F. Penutup
Kehidupan yang dijalani oleh anak-anak jalanan seperti yang telah
diuraikan secara singkat diatas, bila kita amati bersama bukanlah sesuatu yang
mudah. Banyak resiko yang harus mereka hadapi, mulai dari pengeksploitasian,
kekerasan, ketidakadilan, termarginalkan oleh masyarakat, putus sekolah,
bahkan pelecehan seksual yang dialami oleh anak-anak jalanan perempuan.
Meskipun begitu banyak kesulitan yang mereka alami, mereka tetap tertawa,
tersenyum dan tetap mempunyai harapan. Seperti yang pernah diungkapkan
oleh salah satu anak jalanan bernama sekar : “ aku pengen neruske sekolah
meneh og mbak, mulane aku ngemis mbak, lumayan duwite iso dicelengi”.
Berdasarkan pengakuan salah seorang yang pernah terjun menjadi anak
jalanan,
“Ono ugo anak jalanan sing duwe pikiran kanggo maju, kanggo ngubah dalan
urip dadi luwih apek, luwih terarah, lan duwe masa depan sing cerah koyo
bocah-bocah liyane. Tapi kekarep koyo ngono biasane mung mentok neng
angen-angen tok, mung ono neng pikiran, lan ora iso berbuat opo-opo kanggo
wujud’ke kekarep. Dadi yo mung CUMI “Cuma Mikir”.
Ada juga anak jalanan yang mempunyai pikiran untuk maju, untuk mengubah
jalan kehidupannya supaya menjadi lebih baik, menjadi lebih terarah, dan
mempunyai masa depan yang lebih cerah seperti anak-anak pada umumnya.
Tapi keinginan seperti itu biasanya hanya sebatas keinginan saja, cuma sebatas
di pikiran, dan tidak bisa berbuat apa-apa untuk mewujudkan keinginannya
sehingga mereka bilang CUMI yang berarti CUMA MIKIR.
Dari beberapa anak jalanan yang telah kami observasi, sebagian besar
dari mereka ingin kembali ke bangku sekolah lagi, bahkan secara mengejutkan
beberapa dari mereka mendapatkan peringkat di sekolah tempat mereka
menimba ilmu. Namun, sekolah yang diharapkan menjadi pengaruh positif yang
dapat mencegah anak-anak tersebut turun ke jalanan tidak mampu
membendung kegundahan mereka akan tekanan ekonomi. Hal ini kami
ungkapkan berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap salah satu anak
jalanan yang memilih keluar dan putus sekolah karena ketidaknyamanan dia
berada di sekolah, seperti yang telah tertulis dalam ulasan sebelumnya. Singkat
kata, pihak sekolah kurang mampu memberikan dorongan yang positif terhadap
murid-muridnya yang menjadi anak jalanan bahkan dalam beberapa kasus
tertentu yang menyurutkan harapan maupun niat mereka untuk bersekolah.
Melihat hal ini, maka aspek pendidikan menjadi penting untuk dipertimbangkan
dalam menyelamatkan anak-anak dari dunia jalanan selain dari pihak keluarga
maupun masyarakat dan pemerintah setempat.
VIII. Diskusi

8.1. Jose da Costa


Berkaitan dengan faktor-faktor pendorong yang membuat mereka menjadi anak
jalanan, apa yang menjadi prosentase terbesar? apakah dari keluarga yang
mendorong mereka menjadi anak jalanan atau karena merasa tidak nyaman
berada di rumah?

8.2. Fajar
Kondisi keluarga yang tidak mendukung. Pemicu awalnya adalah masalah
ekonomi keluarga; Ayah dan Ibu sering bertengkar; ada juga yang Ayahnya yang
sering mabuk-mabukkan atau Ibunya sering dipukuli sama Ayahnya.

8.3. Nur
Mengikuti kebiasaan orang tua, di Tugu Muda, karena orang tuanya sering tidur
di emperan toko, tidak pulang kerumah (istilah mereka tidur di “kuburan”, karena
ukuran tempat yang dibutuhkan untuk tidur hanya 1x2 meter seperti ukuran
kuburan), jadi mereka juga ikut hidup di jalanan untuk apa pulang kerumah.

8.4. Wilson Therik


Apakah ada yang mengorganisasi mereka sebagai anak jalanan?

8.5. Fajar
Sesungguhnya anak jalanan tidak mau turun ke jalan! Apakah ada yang
mengorganisir anak jalanan, saya sudah coba mengorek informasi ini tetapi anak
jalanan tidak mau terbuka soal ini. Saya agak kesulitan untuk mewawancarai
apararat keamanan terutama Pol PP.

8.6. Roy Siahainenia


Konteks anak jalanan harus dilihat dan dibedakan dengan pola interaksi, Tugu
Muda sebagai daerah bisnis, otomatis interaksi jauh lebih luas dibanding anak
jalanan yang berlokasi di daerah Gunung Brintik.

Bagaimana dengan komunitas yang ada mampu membuat pencitraan terhadap


anak jalanan di Gunung Brintik, hal ini jauh lebih menarik ketika persoalan
penelitian dibawa kepada level komunitas.

Masalah mendasar yang lain adalah bagaimana mereka bisa survival strategy
dalam mempertahankan komunitas dan tempat tinggal mereka!

8.7. Marthen L. Ndoen


Penelitian ini harus menceritakan tahap-tahap proses wawancara dan
penelusuran tentang masalah penelitian dan persoalan yang ingin dikaji lebih
mendalam.
Penarasian harus dijelaskan secara detil dan membuat sebuah jalan cerita yang
menarik.

Saya melihat, kesimpulan tidak terarah karena persoalan peneliatian tidak


diungkapkan sejak awal.

Salah satu prinsip kualitatif: orang berpikir berdasarkan data yang dimiliki.

Negara melihat anak jalanan sebagai pelanggar KUHP Pasal 505 namun tidak
memberikan jaminan sosial yang layak bagi anak jalanan.

8.8. Theo Litaay


Gagasan pak Marthen Ndoen harus di lihat dari aspek historisnya, bagaimana
trend perkembangan ekonomi dari komunitas kampung itu? Walaupun agak
susah untuk mendapatkan data tentang ekonomi kampung.

Adanya kegagalan dari negara, bahwa negara menyelesaikan kemiskinan


dengan menangkap anak jalanan. Pendekatan keliru dari negara dalam
memandang segala fenomena anak jalanan dan kemiskinan dari sudut pandang
hukum pidana.

Istilah “505” yang diberikan oleh aparat kepada anak jalanan justru tidak bisa
menyelesaikan masalah anak jalanan karena Pasal 505 KUHP merupakan
bagian dari hukum pidana, Hukum pidana berlaku untuk tindakan/perbuatan
kriminal.

Negara tidak hadir untuk menjawab persoalan anak jalanan namun justru masuk
dalam bentuk aparat, yang mendorong begitu banyaknya pelanggaran Hak Asasi
Manusia. Justru Yayasan Sosial yang melakukan pendekatan dengan
menyediakan wadah dan sekolah bagi para anak jalanan.

Coba kita lihat aspek-aspek apa saja yang berpengaruh terhadap kehidupan
anak jalanan? Dari berbagai aspek yang dikemukakan di sini (ekonomi, keluarga,
lingkungan, pendidikan dan lain-lain), anak jalanan sudah masuk dalam suatu
lingkaran setan kemiskinan.

Pertanyaan selanjutnya, di mana peran negara?

Negara tidak hadir untuk menjawab persoalan anak jalanan namun justru masuk
dalam bentuk aparat, yang mendorong begitu banyaknya pelanggaran Hak Asasi
Manusia.

8.9. Yodie
Sebab-Akibat adanya anak jalanan, berakar dari kemiskinan, apa yang
mendasari hingga peneliti menetapkan kemiskinan sebagai dasar dari
keseluruhan penelitian ini?
Anak jalanan mobilitasnya tinggi, mobilitas tinggi yang seperti apa? Pendapatan
15.000-50.000 sehari, dipakai untuk apa?

Saya punya pengalaman di Yogyakarta, uang yang mereka peroleh habis untuk
beli miras.

8.10. Fajar
Pemicunya adalah masalah EKONOMI terutama untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari.

Anak Jalanan di Gunung Brintik, mobilitasnya cukup tinggi, mereka bekerja dari
bis ke bis, dan kembali ke rumah itu sekitar jam 00.30 dini hari.

8.11. Nur
Kalau di Tugu Muda, kebanyakan bekerja di perempatan lampu merah di sekitar
Tugu Muda dan hanya sebagian yang bekerja dari bis ke bis.

8.12. Fajar
Penghasilan yang mereka peroleh digunakan untuk jajan, dan sebagiannya
diserahkan untuk orang tua.

Ada juga yang menjual rambut untuk biaya sekolah, 1 jengkal dijual dengan
harga Rp100.000

8.13. Roy
Apa kontribusi anak pada keluarga?

8.14. Theo
Justru anak di jadikan faktor produksi oleh keluarga.

8.15. Roy
Lalu apa relevansi teoretis dari penelitian ini?

8.16. Fajar dan Nur


Nah, ini yang kami butuh masukkan.

8.17. Theo
Coba fokus pada masalah kemiskinan. Ini menjadi Ekonomi Semu, karena ada
anak yang tidak boleh bekerja tapi dipaksa untuk bekerja/produktif. Peneliti perlu
ingat bahwa batas antara ideal dan realitas itu tipis sekali.

8.18 Roy
Sebagai peneliti pemula, hasil penelitian ini sudah luar biasa, hanya yang perlu
dilakukan sekarang adalah mengembangkan tema-tema yang ada yang masih
bisa di kaji lebih mendalam lagi. Di sini menariknya penelitian kualitatif.
8.19 Theo dan Roy
Harus ada kritik bahwa anak-anak jalanan ini jangan dijadikan sumber ekonomi,
jangan dijadikan faktor produksi bagi keluarga.

8.20 Wilson Therik


Saya kira apa yang disampaikan oleh om Theo tentang lingkaran setan
kemiskinan, peneliti perlu menggali lebih mendalam lagi. Saya pernah membaca
hasil penelitian tentang ciblek teh poci di kawasan Simpang Lima-Semarang.
Ternyata, di balik ciblek itu ada organisasinya, ada aparatnya seperti Polisi,
Polisi Pamong Praja, bahkan tukang parkir, tukang becak dan ojek juga terlibat
dalam ciblek ini. Begitu ada penggebrekkan, pasti lolos karena yang ada di
belakang mereka, yaitu aparat-aparat itu juga. Uang yang berputar pun di antara
mereka saja.

Nah, Penelitian anak jalanan ini, dugaan saya ada yang mengorganisir, jika
tidak, mereka tentu tidak mau hidup di jalanan. Mungkin ini salah satu yang perlu
di gali lebih mendalam lagi dalam penelitian ini.

ooOoo

Daftar Peserta Diskusi (Kami mohon maaf apabila ada kesalahan penulisan
nama, lembaga, nomor HP dan E-mail).

1. Yodie Handiyani, E-Time/FE UKSW, 085640073224, love24buzz@yahoo.co.id


2. Jose da Costa, FE UKSW, 081575207188, jose_ximenes@yahoo.com
3. Eindy Mangoendap, FE UKSW, 085240319881, cyndhot_crazy@yahoo.com
4. Marlina, FE UKSW, 081332189839, china_kayodq@yahoo.co.id
5. Veronika Dominggus, FE UKSW, 081390458445
6. Inggrit T.F. Deylo, FE UKSW, 081339388571
7. Derlin Lapanda, FE UKSW, 085225178367
8. Apriani Ana Milla, FE UKSW, 085239077128
9. Judith A. Folabessy, PPs MSAm 085239090222, welldy_ganteng@yahoo.com
10. Serly B. Oru
11. Albertin Y.S. Tumimomor, FE UKSW, 085640939049,
angel_funny_144@yahoo.com
12. Marthen L, Ndoen, PSKTI/FE UKSW, mndoen@yahoo.com
13. Nancy Marau, PSKTI/PPs MSP, 085640033279, nancymarau@gmail.com
14. Fajar Marantika, FE UKSW, 085641501508, eunike_2004@yahoo.com
15. Nur Handayani, FE UKSW, 08562789038, dhe_noeng@yahoo.com
16. Theofransus A. Litaay, PSKTI/FH UKSW, 08157749346, theolitaay@gmail.com
17. Royke Siahainenia, PSKTI/FISIPOL UKSW
18. Helty L. Mampouw, PSKTI/FE UKSW
19. Wilson Therik, PSKTI/PPs DSP, 081343164488, wilsontherik@gmail.com

You might also like