You are on page 1of 31

Aliran Mu’tazilah: Asal Usul dan al-Ushul al-Khamsah

(by: Indra Laksamana Muda)

Problematika teologis di kalangan umat Islam baru muncul pada


masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib (656-661M)
yang ditandai dengan munculnya kelompok dari pendukung Ali
yang memisahkan diri mereka karena tidak setuju dengan sikap
‘Ali yang menerima Tahkim dalam menyelesaikan konfliknya
dengan Muawiyah bin Abi Sofyan, Gubernur Syam, pada waktu
Perang Siffin. Di situ ‘Ali mengalami kekalahan di plomatis dan
kehilangan kekuasaan “de jure”-nya. Karena itu mereka
memisahkan diri dengan membentuk kelompok baru yang kelak
terkenal dengan sebutan kaum Khawarij (Pembelot atau
Pemberontak). Kaum Khawarij memandang ‘Ali dan
Mu’awiyah sebagai kafir karena mengkompromikan yang benar
(haqq) dengan yang palsu (bathil). Karena itu mereka
merencanakan untuk membunuh ‘Ali dan Mu’awiyah. Tapi
kaum Khawarij, melalui seseorang bernama Ibn Muljam, hanya
berhasil membunuh ‘Ali, sedangkan Mu’awiyah hanya
mengalami luka-luka saja.
Bila Khawarij merupakan kelompok yang kontra terhadap Ali,
maka kelompok kedua yang muncul kepermukaan yaitu
Rhawafidl (Syi’ah) justru kebalikan Khawarij. Mereka adalah
pendukung Ali dan mendaulatkan bahwa Ali-lah yang berhak
menyandang gelar khalifah setelah Nabi Muhammad SAW.
bukan Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Mereka semua ini bahkan
dikafirkan oleh Syi’ah.

Selanjutnya muncul pula Murji’ah pada akhir kurun pertama


(akhir masa sahabat) tepatnya pada masa pemerintahan Ibnu
Zubair dan Abdul Malik. Kemudian pada awal kurun kedua
(masa tabi’in) yakni pada masa akhir pemerintahan Bani
Umayyah muncul Jahmiyah, Musyabihah, dan Mumatstsilah
yang diusung Ja’di bin Dirham dan Jahm bin Shafwan, penganut
faham Jabariyah. Kemunculan berikutnya adalah Mu’tazilah
yang mempunyai ciri khas ialah rasionalitas dan paham
Qadariyyah kebalikan dengan apa yang diusung Jahm bin
Shafwan. Setelahnya, ada As’ariyahMaturidiah. dan

Mu’tazilah sebenarnya merupakan gerakan keagamaan semata,


mereka tidak pernah membentuk pasukan, dan tidak pernah
menghunus pedang. Riwayat-riwayat yang menyebutkan tentang
keikutsertaan beberapa pemimpin kaum Mu’tazilah, seperti
‘Amru Ibnu ‘Ubaid dalam serangan yang dilancarkan kepada al-
Walid ibn Yazid, dan yang menyebabkan gugurnya Al Walid
ibnu Yazid, tidaklah menyebabkan Mu’tazilah ini menjadi suatu
golongan yang mempunyai dasar-dasar kemiliteran, sebab
pemberontakan terhadap Al-Walid itu bukanlah pemberontakan
kaum Mu’tazilah, melainkan adalah suatu pemberontakan yang
berakar panjang yang berhubungan dengan kepribadian dan
moral Khalifah. Maka ikut-sertanya beberapa orang Mu’tazilah
dalam pemberontakan itu hanyalah secara perseorangan,
disebabkan prinsip-prinsip umum, yang menyebabkan rakyat
memberontak kepada penguasa yang zalim.

Walaupun gerakan Mu’tazilah merupakan gerakan keagamaan,


namun pada saat ia mempunyai kekuatan ia tidak segan-segan
menggunakan kekerasan dan tekanan-tekanan terhadap pihak-
pihak yang menantangnya. Pemakaian kekerasan itu dipandang
sebagai salah satu dari sikap Mu’tazilah yang tercela. Dan
adanya tekanan-tekanan itu menjadi sebab yang terpenting bagi
lenyapnya aliran ini di kemudian hari.
Meskipun aliran Mu’tazilah pada era dewasa ini sulit ditemukan,
pemikiran-pemikiran Mu’tazilah menurut hemat penulis
sepertinya terus berkembang, tentunya dengan gaya baru dan
dengan nama-nama yang cukup menggelitik dan mengelabui
orang yang membacanya. Sebut saja  istilah Modernisasi
Pemikiran, Sekulerisme, dan nama-nama lainnya yang mereka
buat untuk menarik dan mendukung apa yang mereka anggap
benar dari pemikiran itu dalam rangka usaha mereka
menyusupkan dan menyebarkan pemahaman dan pemikiran
yang bersumber dari akal pikiran semata.

Untuk itulah, pada kesempatan ini penulis mencoba untuk


membahas tentang asal usul aliran Mu’tazilah berikut prinsip-
prinsip pemikiran mereka agar kita dapat mengetahui secara
jelas apakah aliran ini memang dapat diterima atau malah
menyimpang dari ajaran agama Islam. Namun pada pembahasan
ini, penulis sengaja tidak banyak memaparkan bentuk bantahan-
bantahan terhadap aliran Mu’tazilah ini, karena tujuan utama
makalah ini hanya sekedar memperkenalkan prinsip-prinsip
aliran tersebut.

A- Latar Belakang Munculnya Istilah Mu’tazilah


Secara etimologi, Mu’tazilah berasal dari kata “i’tizal” yang
artinya menunjukkan kesendirian, kelemahan, keputus-asaan,
atau mengasingkan diri. Dalam Al-Qur’an, kata-kata ini diulang
sebanyak  sepuluh kali yang kesemuanya mempunyai arti sama
yaitu al ibti’âd ‘ani al syai-i : menjauhi sesuatu. Seperti dalam
satu redaksi ayat :

َّ ‫فَإِ ِن ا ْعت ََزلُو ُك ْم فَلَ ْم يُقَاتِلُو ُك ْم َوأَ ْلقَ ْوا اِلَ ْي ُك ُم ال‬
َ ‫سلَ َم فَ َما َج َع َل هللاُ لَ ُك ْم َعلَ ْي ِه ْم‬
ً‫سبِ ْيال‬

Artinya: “Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak


memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu
maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk melawan dan
membunuh) mereka.” (QS. An-Nisa’: 90)

Sedang secara terminologi sebagian ulama mendefenisikan


Mu’tazilah sebagai satu kelompok dari Qodariyah yang
berselisih pendapat dengan umat Islam yang lain dalam
permasalahan hukum pelaku dosa besar yang dipimpin oleh
Waashil bin Atho’ dan Amr bin Ubaid pada zaman Al Hasan Al
Bashry.

Aliran Mu’tazilah ini muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad


ke 2 Hijriyah, antara tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa
pemerintahan Khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan Khalifa
Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk
Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama
Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal. Awalnya nama
Mu’tazzilah sendiri diberikan oleh orang luar Mu’tazilah, yakni
atas dasar ucapan Hasan Al-Bashry setelah melihat Washil bin
Atha’ memisahkan diri dari halaqoh yang diselenggarakan
olehnya. Hasan Al-Bashry diriwayatkan memberi komentar
sebagai berikut: “I’tazala anna” (dia mengasingkan diri dari
kami). Akhirnya orang-orang yang mengasingkan diri itu disebut
“Mu’tazilah”, yang dapat diartikan sebagai orang yang
mengasingkan diri dari majelis kuliah Hasan Al-Bashry.

Sebenarnya, kelompok Mu’tazilah ini telah muncul pada


pertengahan abad pertama Hijrah yakni diistilahkan pada para
sahabat yang memisahkan diri atau bersikap netral dalam
peristiwa-peristiwa politik. Yakni pada peristiwa meletusnya
Perang Jamal dan Perang Siffin, yang kemudian mendasari
sejumlah sahabat yang tidak mau terlibat dalam konflik tersebut
dan memilih untuk menjauhkan diri mereka dan memilih jalan
tengah. Sedangkan pada abad kedua Hijrah, Mu’tazilah muncul
karena didorong oleh persoalan aqidah. Dan secara teknis, istilah
Mu’tazilah ini menunjukkan pada dua golongan, yaitu:

 Golongan pertama disebut Mu’tazilah I; muncul sebagai


respon politik murni, yakni bermula dari gerakan atau sikap
politik beberapa sahabat yang “gerah” terhadap kehidupan
politik umat Islam pada masa pemerintahan ‘Ali. Seperti
diketahui, setelah Ustman terbunuh, ‘Ali diangkat menjadi
Khalifah. Namun pengangkatan ini mendapat protes dari
beberapa sahabat lainnya. ‘Aisyah, Zubeir dan Thalhah
mengadakan perlawanan di Madinah, namun berhasil
dipadamkan. Sementara di Damaskus, gubernur
Mu’awiyah juga mengangkat senjata melawan ‘Ali.
Melihat situasi yang kacau demikian, beberapa sahabat
senior seperti ‘Abdullah ibn ‘Umar, Sa’ad ibn Abi Waqqas
dan Zaid ibn Tsabit bersikap netral. Mereka tidak mau
terlibat dalam pertentangan kelompok-kelompok di atas.
Sebagai reaksi atas keadaan ini, mereka sengaja
menghindar (i’tazala) dan memperdalam pemahaman
agama serta meningkatkan hubungan kepada Allah.
 Golongan kedua disebut Mu’tazilah II muncul sebagai
respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan
Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim.
Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat
dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang pemberian
status kafir kepada yang berbuat dosa besar. Namun
demikian, antara kedua golongan ini masih terdapat
hubungan yang sangat erat dan tidak bisa dipisah-pisahkan.

Mengenai pemberian nama Mu’tazilah untuk golongan kedua


ini terdapat beberapa versi, di antaranya:

 Versi Asy-Syahrastani mengatakan bahwa nama Mu’tazilah


ini bermula pada peristiwa yang terjadi antara Washil bin
Atha’ serta temannya, Amr bin Ubaid, dan Hasan Al-
Bashri di Basrah. Ketika Washil mengikuti pelajaran yang
diberikan oleh Hasan Al Basri di masjid Basrah., datanglah
seseorang yang bertanya mengenai pendapat Hasan Al
Basri tentang orang yang berdosa besar. Ketika Hasan Al
Basri masih berpikir, tiba-tiba Washil mengemukakan
pendapatnya: “Saya berpendapat bahwa orang yang
berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula
kafir, tetapi berada pada posisi diantara keduanya, tidak
mukmin dan tidak kafir.” Kemudian dia menjauhkan diri
dari Hasan Al Basri dan pergi ke tempat lain di lingkungan
mesjid. Di sana Washil mengulangi pendapatnya di
hadapan para pengikutnya. Dengan adanya peristiwa ini,
Hasan Al Basri berkata: “Washil menjauhkan diri dari kita
(i’tazaala anna).”
 Versi Al-Baghdadi menyebutkan bahwa Washil bin Atha’
dan temannya, Amr bin Ubaid, diusir oleh Hasan Al Basri
dari majelisnya karena adanya pertikaian di antara mereka
tentang masalah qadar dan orang yang berdosa besar.
Keduanya menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan
berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tidak
mukmin dan tidak pula kafir. Oleh karena itu golongan ini
dinamakan Mu’tazilah.
 Versi Tasy Kubra Zadah berkata bahwa Qatadah bin
Da’mah pada suatu hari masuk mesjid Basrah dan
bergabung dengan majelis Amr bin Ubaid yang
disangkanya adalah majelis Hasan Al Basri. Setelah
mengetahuinya bahwa majelis tersebut bukan majelis
Hasan Al Basri, ia berdiri dan meninggalkan tempat sambil
berkata, “ini kaum Mu’tazilah.” Sejak itulah kaum tersebut
dinamakan Mu’tazilah.
 Sementara Al-Mas’udi memberikan keterangan tentang
asal-usul kemunculan Mu’tazilah tanpa menyangkut-
pautkan dengan peristiwa antara Washil dan Hasan Al
Basri. Mereka diberi nama Mu’tazilah, katanya, karena
berpendapat bahwa orang yang berdosa bukanlah mukmin
dan bukan pula kafir, tetapi menduduki tempat diantara
kafir dan mukmin (al-manzilah bain al-manzilatain).
Dalam artian mereka memberi status orang yang berbuat
dosa besar itu jauh dari golongan mukmin dan kafir.

Adapun tokoh-tokoh aliran Mu’taziliyah yang terkenal di


antaranya adalah :

1. Washil bin Atha’, lahir di Madinah, pelopor ajaran ini.


2. ‘Amru bin ‘Ubaid, sahabat Washil bin Atha’
3. Abu Huzail al-Allaf (751-849 M), penyusun 5 ajaran pokoq
Mu’taziliyah.
4. An-Nazzam, murid Abu Huzail al-Allaf.
5. Abu ‘Ali Muhammad bin ‘Abdul Wahab/al-Jubba’i (849-
915 M).
B- Doktrin Mu’tazilah Tentang Khalqu Af’alil ‘Ibad

Berbicara tentang Mu’tazilah sebenarnya tidak terlepas dari


aliran-aliran yang ada sebelumnya, terutama yang menyangkut
permasalahan yang dimunculkan kaum Khawarij terhadap suatu
masalah “Orang Yang Melakukan Dosa Besar” yang terkenal
dalam istilah Mutakallimin dengan sebutan “Khalqu Af’alil
‘ibad”. Dalam hal ini kaum Azariqah dari golongan Khawarij
berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar itu adalah
kafir, yaitu kafir terhadap agama, yang berarti keluar dari
Agama Islam, dan kekal dalam neraka. Dan dalam pembahasan
ini, muncullah beberapa macam pendapat berbeda yang akhirnya
membentuk aliran Murji’ah, Jabariyah, dan Mu’tazilah sendiri.

Menurut golongan Murjiah bahwa iman adalah pengakuan


tentang kemahaesaan Allah dan kerasulan Muhammad, yaitu
pengakuan hati. Barangsiapa mengakui hal itu berdasarkan
kepercayaan, maka dia adalah Mu’min; apakah ia menunaikan
kewajiban-kewajibannya atau tidak, dan apakah ia menjauhi
dosa-dosa besar atau ia melakukannya. Sesuai namanya
Murji’ah yang berarti “memberikan harapan untuk
mendapatkan kemaafan”, maka berdasarkan itu pula mereka
meyakini bahwa perbuatan maksiat itu tidak merusak iman,
sebagaimana ketaatan yang tidak bermanfaat jika disertai oleh
kekafiran. Sehingga jika seorang muslim yang melakukan dosa
besar maka ia masih tergolong muslim, adapun dalam kaitannya
dengan dosa yang dilakukannya itu terserah Tuhan di akhirat
nanti.

Sementara golongan Jabariyah berpendapat bahwa perbuatan-


perbuatan yang dilakukan manusia (yang baik maupun tercela)
pada hakekatnya bukanlah hasil pekerjaannya sendiri, melainkan
hanyalah termasuk ciptaan Tuhan, yang dilaksanakan-Nya
melalui tangan manusia. Dengan demikian maka manusia itu
tiadalah mempunyai perbuatan, dan tidak pula mempunyai
kodrat untuk berbuat. Sebab itu, orang mukmin tidak akan
menjadi kafir lantaran dosa-dosa besar yang dilakukannya,
sebab ia melakukannya semata-mata karena terpaksa. Untuk
aliran Murji’ah, JabariyahKhawarij telah dibahas secara
terperinci oleh para pemakalah sebelumnya. maupun

Adapun golongan Mu’tazilah, dalam hal ini berpendapat bahwa


manusia adalah berwenang untuk melakukan segala
perbuatannya sendiri. Sebab itu ia berhak untuk mendapatkan
pahala atas kebaikan-kebaikan yang dilakukannya, dan
sebaliknya ia juga berhak untuk disiksa atas kejahatan-kejahatan
yang diperbuatnya.

Untuk menguatkan pendapat-pendapatnya itu, Mu’tazilah


berdalil kepada ayat-ayat Al-Qur’an, antara lain ialah:

ٌ‫سبَتْ َر ِه ْينَة‬ ٍ ‫ُك ُّل نَ ْف‬


َ ‫س بِ َما َك‬

Artinya: “Tiap-tiap jiwa terikat dengan apa yang telah


diperbuatnya” [QS. Al-Mudattsir: 38]

‫فَ َمنْ شَآ َء فَ ْليُ ْؤ ِمنْ َو َمنْ شَآ َء فَ ْليَ ْكفُ ْر‬

Artinya: “Maka siapa yang hendak beriman, berimanlah, dan


siapa yang hendal kafir, kafirlah!” [QS. Al-Kahfi: 39]

‫سبِ ْي َل إِ َّما شَا ِك ًرا َوإِ َّما َكفُ ْو ًرا‬


َّ ‫إِنَّا َه َد ْينَاهُ ال‬

Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menunjukkan kepadanya


jalan (yang lurus), adakalanya dia bersyukur dan adakalanya
mengingkari.” [QS. Ad-Dahr: 3]

َ ‫إِنَّ ه ِذ ِه ت َْذ ِك َرةً فَ َمنْ شَآ َء اتَّ َخ َذ إِلَى َربِّ ِه‬


ً‫سبِ ْيال‬
Artinya: “Sesungguhnya ini adalah peringatan, maka siapa
yang ingin, tentu ia mengambil jalan kepada Tuhannya.” [QS.
Al-Muzammil: 19]

َ َ‫س ِه َو َمنْ أ‬
‫سآ َء فَ َعلَ ْي َها َو َما َربُّ َك بِظَالَّ ٍم لِ ْل َعبِ ْي ِد‬ ِ ‫صالِ ًحا فَلِنَ ْف‬
َ ‫َمنْ َع ِم َل‬

Artinya: “Barangsiapa berbuat baik, maka itu adalah buat


dirinya, dan siapa berbuat jahat, maka itu merugikan dirinya.
Dan tiadalah Tuhanmu aniaya terhadap hamba-hamba-Nya”.
[QS. Fushshilat: 46]

‫لج َزآ َء ْاألَ ْوفَى‬


َ ‫ ثُ َّم يُ ْج َزاهُ ْا‬.‫ف يُ َرى‬
َ ‫س ْو‬ َ َّ‫ َوأَن‬،‫س َعى‬
َ ُ‫س ْعيَه‬ َ ‫ان إِالَّ َما‬
ِ ‫س‬ َ ‫َوأَنْ لَ ْي‬
َ ‫س لِ ِإل ْن‬

Artinya: “Dan bahwasanya tiadalah bagi manusia, kecuali apa


yang telah dikerjakannya. Dan bahwasanya usahanya itu akan
diperlihatkan. Kemudian ia akan diberi balasan yang paling
sempurna”. [QS. An-Najmu: 39-41]

‫س ِه‬ ِ ‫س ْب إِ ْث ًما فَإِنَّ َما يَ ْك‬


ِ ‫سبُهُ َعلَى نَ ْف‬ ِ ‫َو َمنْ يَ ْك‬

Artinya: “Dan barangsiapa melakukan suatu dosa, maka


sesungguhnya ia melakukannya untuk merugikan dirinya
sendiri”. [QS. An-Nisa’: 111]
Selain itu, bagi aliran Mu’tazilah menyebutkan bahwa
kedudukan bagi orang yang berbuat dosa besar, maka orang
tersebut tidak dapat dikatakan sebagai mukmin secara mutlak
dan tidak pula kafir secara mutlak, melainkan dia akan
ditempatkan di suatu tempat yang terletak di antara dua tempat
(al-manzilah bain al-manzilatain), ia tidak mukmin dan tidak
pula kafir, tetapi menjadi fasiq (lihat: Subhi, 1982, Fi ‘Ilm al-
Kalam, Iskandariyyah: Tsaqafah al-Jami’ah, hal.67). Dalam
doktrin al-manzilah bain al-manzilatain ini, kelompok
Mu’tazilah memandang bahwa tokoh-tokoh yang terlibat
perselisihan dan pertentangan pada masa pemerintahan ‘Ali
adalah sahabat-sahabat Nabi yang shaleh. Namun mereka
terpecah, dan kedua-duanya tidaklah benar. Salah satu pihak
pasti ada yang berbuat dosa, tapi kita tidak mengetahui yang
mana. Karena itu, urusan mereka diserahkan saja kepada Allah.
Namun demikian mereka tidak dapat dianggap sebagai mukmin
dalam arti yang sebenarnya.

Menurut As-Syahristani dalam Al Milalu Wan Nihal, bahwa bagi


Mu’tazilah, iman itu adalah ungkapan bagi sifat-sifat yang baik,
yang apabila sifat-sifat tersebut terkumpul pada diri seseorang
maka ia disebut mukmin. Dengan demikian, kata mukmin
tersebut merupakan suatu nama pujian. Dan orang yang
melakukan dosa besar, sedang pada dirinya tidak terkumpul
sifat-sifat yang baik itu, maka ia tidaklah berhak untuk
mendapatkan nama pujian itu. Dengan demikian ia tak dapat
disebut mukmin. Akan tetapi ia bukan pula kafir secara mutlak,
karena syahadah dan perbuatan-perbuatan baik lainnya yang ada
padanya tidaklah dapat dimungkiri. Tetapi apabila ia keluar dari
dunia ini dalam keadaan berdosa besar dan tidak bertobat
kepada Allah, maka dia adalah penduduk neraka untuk selama-
lamanya, sebab di akhirat kelak hanya ada dua macam golongan
saja, satu golongan di dalam syurga dan yang lain di neraka;
hanya saja azab yang dikenakan kepadanya lebih ringan
daripada azab yang dikenakan kepada orang-orang kafir.

C- Prinsip-Prinsip Aliran Mu’tazilah

Mu’tazilah, sebagai sebuah aliran teologi yang mengadopsi


faham qodariyah, memiliki asas dan landasan tersendiri yang
selalu dipegang erat oleh mereka, bahkan di atasnya-lah prinsip-
prinsip mereka dibangun. Asas dan landasan itu mereka sebut
dengan Al-Ushulul-Khomsah (lima landasan pokok). Adapun
rinciannya sebagai berikut:

1- Tauhidi

Tauhid adalah dasar Islam pertama dan utuma. Sebenarnya


tauhid ini bukan milik khusus golongan Mu’tazilah, tapi
Mu’tazilah mengartikan tauhid lebih spesifik, yaitu Tuhan harus
disucikan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi arti
kemahaeasaan Allah. Tuhanlah satu-satunya Yang Maha Esa
tidak ada satupun yang menyamainya. Oleh karena itu, hanya
Dia-lah yang Qadim. Untuk memurnikan keesaan Tuhan,
Mu’tazilah menolak konsep Tuhan memiliki sifat-sifat. Menurut
Mu’tazilah sifat adalah sesuatu yang melekat. Jadi sifat basar,
sama’, qodrat dan seterusnya itu bukan sifat melainkan dzatnya
Allah itu sendiri. Bahkan Mu’tazilah juga berpendapat bahwa
Al-Qur‘an itu baru (makhluk) karena Al-Quran adalah
manifestasi kalam Allah, sedangkan Al-Qur’an itu sendiri terdiri
dari rangkaian huruf-huruf, kata, dan bahasa yang salah satunya
mendahului yang lain.
Karena adanya prinsip-prinsip ini, maka musuh-musuh
Mu’tazilah menggelari mereka dengan “Mu’atthilah”, sebab
mereka telah meniadakan sifat-sifat Tuhan dan
menghapuskannya. Sedangkan kaum Mu’tazilah sendiri
menyebut diri mereka dengan “Ahlul ‘Adli Wat Tauhid”
(pengemban keadilan dan ketauhidan).

Sebelum ke pokok persoalan, kita tidak boleh lupa bahwa yang


namanya tauhid itu memiliki beberapa jenis dan tingkatan, yaitu 
: tauhid zatitauhid sifati (keesaan sifat), tauhid af’ali (keesaan
perbuatan) dan tauhid ibadi (keesaan ibadah). (keesaan zat),

 Tauhid zati : Artinya adalah bahwa zat Allah adalah satu


dan tidak terpisah. Tak ada tandingannya. Semua 
eksistensi yang lainnya adalah merupakan ciptaan-Nya dan
eksistensinya jauh dibawah-Nya. Tidak ada satu eksistensi-
pun yang pantas untuk diperbandingkan dengan-Nya.

 Tauhid Sifati : Artinya adalah bahwa sifat-sifat Allah


seperti Maha Mengetahui, Maha Melihat, Maha
Mendengar, Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Adil
dan seterusnya itu bukanlah merupakan eksistensi-
eksistensi yang terpisah dari zat Allah. Sifat-sifat tersebut
identik dengan-Nya, dalam pengertian yang lain bahwa
sifat-sifat Tuhan itu adalah sedemikian rupa sehingga sifat-
sifat-Nya merupakan realitas zat Allah sendiri, atau dengan
kata lain bahwa manifestasi Tuhan itu adalah sifat-sifat ini.

 Tauhid af’ali : Artinya bahwa semua perbuatan-perbuatan


(termasuk perbuatan mansusia) ada karena kehendak
Alllah, dan sedikit banyak dikehendaki oleh zat suci-Nya.

 Tauhid ibadi : Artinya adalah bahwa selain Allah tak ada


yang patut untuk disembah dan tak ada yang patut untuk
diberi dedikasi. Menyembah atau beribadah kepada siapa
atau kepada apa saja selain kepada Allah adalah syirik , dan
orang yang melakukan hal seperti itu dianggap telah keluar
dari tauhid Islam.

Jika kita perhatikan sekilas, dari ke empat jenis tauhid tersebut,


tiga yang terakhir (tauhid ibadi) adalah berhubungan dengan
makhluk. Tapi secara prinsip tidaklah demikian adanya, 
pernyataan ‘La ilaaha ilallah’ adalah sebuah pernyataan yang
meliputi semua aspek tauhid, termasuk didalamnya adalah aspek
tauhid ibadi. Kemudian, dari keempat tauhid tersebut, tauhid
zati dan tauhid ibadi merupakan bagian utama dari akidah-
akidah utama Islam yang berhubungan dengan Allah sedangkan
mempersoalkan dan menentang kedua tauhid tersebut maka dia
dianggap sudah keluar dari area

Namun bagi Mu’tazilah, yang  disebut tauhid itu adalah tauhid


sifati, bukan tauhid zati dan tauhid ibadi sepertiyang sudah
disepakati kebanyakan orang. Bahkan juga bukan tauhid af’ali
sebagaimana tauhid yang dipahami oleh kaum Asy’ariah.

2- Al-Adl (Keadilan Allah)

Al-Adl masih ada hubungannya dengan tauhid, dengan Al-Adl,


Mu’tazilah ingin mensucikan perbuatan Tuhan dari persamaan
dengan perbuatan makhluk, karena Tuhan Maha Sempurna
maka Tuhan pasti Adil. Ajaran ini ingin bertujuan untuk
menempatkan Tuhan benar-benar Adil menurut sudut pandang
manusia. Dan mereka yakin bahwa Allah itu Maha Adil, maka
dia tidak akan menindas makhluk-makhluk-Nya. Prinsip seperti
ini pada dasarnya memang disepakati oleh umat Islam, tak ada
satupun di antara mereka yang menentang dan mempersoalkan
keadilan Ilahi dalam tataran substansi.  Kalaupun terjadi
perbedaan dan perselisihan, ini biasanya  terjadi hanya karena
masalah tasiran saja.

Namun bagi Mu’tazilah, mereka percaya bahwa pada hakikatnya


ada tindakan atau perbuatan-perbuatan yang pada dasarnya
adalah ‘adil’ dan sebaliknya, ada juga tindakan dan perbuatan-
perbuatan yang pada dasarnya ‘tidak adil’. Sebagai contoh,
kalau Allah memberikan pahala pada orang yang taat dan yang
berbuat baik serta memberikan hukuman  kepada para pendosa,
maka tindakan Allah disebut adil, dan Allah memang Maha
Adil.  Dia (Allah) memberikan penghargaan terhadap yang taat
dan menghukum terhadap yang bersalah, dan mustahil Allah
akan melakukan hal yang sebaliknya. Memberikan pahala
kepada yang berdosa (bersalah) dan menghukum yang adil, dan
Allah mustahil berbuat seperti itu, taat, karena perbuatan
sedemikian sungguh adalah suatu perbuatan tidak

Demikian juga dengan contoh yang lain, misalnya kehendak


bebas.  Tidak mungkin Allah menciptakan makluk yang  tidak
mempunyai kehendak bebas, lalu kemudian menciptakan
perbuatan dosa dengan tangan makhluk itu dan setelah itu
menghukumnya. Itu adalah perbuatan tidak adil,  Allah tidak
mungkin  dan tidak pantas untuk melakukan tindakan yang
seperti itu.

Kemudian dari itu, atas nama akidah keadilah ilahi, kaum


Mu’tazilah  dengan gigihnya mempromosikan contoh-contoh 
lain dan yang lebih umum,  bahwa pada dasarnya sifat-sifat itu
ada pada perbuatan. Sifat jujur, ramah, murah senyum dan lagi
tidak sombong misalnya, pada dasarnya adalah suatu sifat yang
memang sudah dari sononya memiliki kualitas  yang baik.
Sedangkan sifat-sifat mudah cemberut, ngambekan, pembohong,
munafik, tidak senonoh  dan dan lain-lain pada dasarnya
memang sudah merupakan suatu sifat yang tidak baik dan buruk
pula. Karena itu maka bisa disimpulkan bahwa pada hakikatnya
suatu perbuatan itu sebelum ada hukum atau penilain Allah
terhadapnya sekalipun, perbuatan-perbuatan semacam itu
memang sudah dari ’sono’nya memang telah menjadi sifatnya.
seperti sifat ‘keindahan’ dan ‘keburukan’, ‘baik’ dan ‘buruk’.
Menurut pandangan konsekuensi logis dari pemikiran tersebut
adalah  bahwa sesungguhnya aka manusia, setidak-tidaknya
sebagian akan mampu untuk membedakan sebelah mana yang
baik dan sebelah mana pula yang buruk tanpa perlu harus selalu
mengacu kepada syariat (hukum) .

Selanjutnya, apakah dalam persoalan keimanan seseorang bisa


atau mampu merubah pemikirannya sendiri dari tadinya seorang
kafir menjadi muslim? Atau sebaliknya apakah  seseorang bisa
atau mampu merubah pemikiranannya sendiri dari tadinya
seorang preman kemudian berubah menjadi ustadz? Jawaban-
nya jelas dan pasti bisa. Karena jika seseorang tidak mampu
untuk melakukan hal tersebut, maka tidak adil kalau Allah
menghukum orang atas perbuatan jahatnya sementara orang itu
sendiri tidak mempunyai kemampuan untuk merubah situasinya.
Dan berdasarkan kepada prinsip ini, mereka juga disebut
“Al’Adliyah”, yaitu orang-orang yang menganut pendapat
tentang keadilan.

3- Al-Wa’d Wal Wa’id (Janji dan Ancaman Allah )

Tuhan yang Maha Adil dan Bijaksana, tidak akan melanggar


janjinya. Kaum Mu’tazilah yakin bahwa janji dan ancaman itu
pasti terjadi, yaitu janji Tuhan yang berupa pahala (surga) bagi
orang yang berbuat baik, dan ancamannya yang berupa siksa
(neraka) bagi orang yang berbuat durhaka. Begitu pula janji
Tuhan untuk memberi pengampunan bagi orang yang bertaubat.

Yang mereka maksud dengan landasan ini adalah bahwa wajib


bagi Allah untuk memenuhi janji-Nya (al-wa’d) bagi pelaku
kebaikan agar dimasukkan ke dalam Al-Jannah, dan
melaksanakan ancaman-Nya (al-wa’id) bagi pelaku dosa besar
(walaupun di bawah syirik) agar dimasukkan ke dalam An-Naar,
kekal abadi di dalamnya, akan tetapi siksa yang diterimanya
lebih ringan daripada siksa orang yang kafir. Tidak boleh bagi
Allah untuk menyelisihkan hal ini. Dan inilah yang mereka
sebut dengan janji dan ancaman itu. Sehingga mereka sering
disebut dengan Wa’idiyyah.

4- Al-Manzilah Baina Al-Manzilatain (Tempat di Antara


Dua Tempat)

Pokok ajaran ini adalah orang Islam yang melakukan dosa besar
(ma’siat) selain syirik dan belum bertaubat dia tidak dikatakan
mu’min dan tidak pula dikatakan kafir, tetapi fasik. Hal ini
karena keimanan menuntut adanya kepatuhan kepada Tuhan dan
tidak cukup hanya pengakuan dan pembenaran saja.
Di dalam dunia ini, orang yang melakukan dosa besar itu
bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi fasiq, tidak boleh
disebut mukmin, walaupun dalam dirinya ada iman kerana
pengakuan dan ucapan dua kalimah syahadahnya, dan tidak pula
disebut kufur, walaupun ‘amal perbuatan dianggap dosa, kerana
ia tidak mempengaruhi imannya. Sementara di akhirat kelak
orang yang melakukan dosa besar itu tidak akan dimasukkan ke
dalam syurga dan tidak pula dimasukkan ke dalam neraka yang
dahsyat, seperti orang kafir, tetapi dimasukkan ke dalam neraka
yang paling ringan.

Dalam konteks ini, timbul sebuah pertanyaan, “Siapakah yang


disebut kafir oleh aliran Mu’tazilah?” Menurut mayoritas kaum
Mu’tazilah, orang yang tidak patuh terhadap yang wajib dan
yang sunat disebut pelaku maksiat. Mereka membagi maksiat
kepada 2 (dua) bagian, yaitu maksiat besar dan maksiat kecil.
Maksiat besar ini dinamakan kufur. Adapun yang membawa
seseorang pada kekufuran ada 3 (tiga) macam, yakni:

1. Seseorang yang menyamakan Allah dengan makhluk.


2. Seseorang yang menganggap Allah tidak adil atau zalim.
3. Seseorang yang menolak eksistensi Nabi Muhammad yang
menurut nas telah disepakati kaum muslimin.

5- Al-Amru bil Ma’ruf wa An-Nahyu ‘an al-Munkar (Baik


dan Buruk Menurut Pertimbangan Akal)

Kaum Mu’tazilah sepakat mengatakan bahwa akal manusia


sanggup membedakan yang baik dan yang buruk, sebab sifat-
sifat dari yang baik dan yang buruk itu dapat dikenal. Dan
manusia berkewajiban memilih yang baik dan menjauhi yang
buruk. Untuk itu, tak perlulah Tuhan mengutus Rasul-Nya.
Apabila seseorang tidak mau berusaha untuk mengetahui yang
baik dan yang buruk itu, ia akan mendapat siksaan dari Tuhan.
Begitu pula apabila ia tahu akan yang baik tetapi tidak
diikutinya, atau ia tahu mana yang buruk tetapi tidak
dihindarinya. Adapun mengutus Rasul, itu adalah merupakan
pertolongan tambahan dari Tuhan, “agar orang-orang yang
binasa itu, binasanya adalah dengan alasan, dan orang yang
hidup itu, hidupnya adalah dengan alasan pula”.
Selain itu, mereka juga berprinsip bahwa diwajibkan melakukan
pemberontakan terhadap pemerintah (muslim) apabila mereka
telah berlaku dzalim dan sewenang-wenang dalam berkuasa.

Kelima prinsip tersebut di atas merupakan standar bagi


kemu’tazilahan seseorang, dengan artian seseorang baru
dikatakan Mu’tazilah jika dia menganut dan mengakui kelima
hal tersebut, namun jika dia tidak mengakui salah satunya atau
menambahkan padanya satu hal saja, maka orang ini tidak
pantas menyandang nama Mu’tazilah.

Dari pemaparan tentang pemikiran Mu’tazilah di atas, terlihat


bahwa akal adalah satu-satunya sandaran pemikiran mereka.
Oleh karena itu, terkenallah bahwa mu’tazilah adalah pengusung
teologi rasionalitas. Teologi rasionaltas yang di usung kaum
mu’tazilah tersebut bercirikan:

1. Kedudukan akal tinggi di dalamnya, sehingga mereka tidak


mau tunduk kepada arti harfiah dari teks wahyu yang tidak
sejalan dengan pemikiran filosofis dan ilmiah. Mereka
tinggalkan arti harfiah teks dan ambil arti majazinya,
dengan lain kata mereka tinggalkan arti tersurat dari nash
wahyu dan mengambil arti tersiratnya. Mereka dikenal
banyak memakai ta’wil dalam memahami wahyu.
2. Akal menunjukkan kekuatan manusia, maka akal yang kuat
menggambarkan manusia yang kuat, yaitu manusia dewasa.
Manusia dewasa, berlainan dengan anak kecil, mampu
berdiri sendiri, mempunyai kebebasan dalam kemauan serta
perbuatan, dan mampu berfikir secara mendalam. Karena
itu aliran ini menganut faham qadariah, yang di Barat
dikenal dengan istilah free-will and free-act, yang
membawa kepada konsep manusia yang penuh dinamika,
baik dalam perbuatan maupun pemikiran
3. Pemikiran filosofis mereka membawa kepada penekanan
konsep Tuhan Yang Maha Adil. Maka keadilan Tuhanlah
yang menjadi titik tolak pemikiran teologi mereka.
Keadilan Tuhan membawa mereka selanjutnya kepada
keyakinan adanya hukum alam ciptaan Tuhan, dalam al-
Qur’an disebut Sunnatullah, yang mengatur perjalanan apa
yang ada di alam ini. Alam ini berjalan menurut peraturan
tertentu, dan peraturan itu perlu dicari untuk kepentingan
hidup manusia di dunia ini.
Teologi rasional Mu’tazilah inilah, dengan keyakinan akan
kedudukan akal yang tinggi, kebebasan manusia dalam berfikir
serta berbuat dan adanya hukum alam ciptaan Tuhan, yang
membawa pada perkembangan Islam, bukan hanya filsafat,
tetapi juga sains, pada masa antara abad ke VIII dan ke XIII M.

D- Penutup

Demikianlah sekilas pembahasan tentang Aliran Mu’tazilah


yang lahir dan tercatat dalam sejarah peradaban Islam. Aliran
Mu’tazilah yang selalu membawa persoalan-persoalan teologi
banyak memakai akal dan logika sehingga mereka dijuluki
sebagai “kaum rasionalis Islam“. Penghargaan mereka yang
tinggi terhadap akal dan logika menyebabkan timbul banyak
perbedaan pendapat di kalangan mereka sendiri, hal ini
disebabkan keberagaman akal manusia dalam berfikir. Bahkan
perbedaan tersebut telah melahirkan sub-sub sekte (aliran)
mu’tazilah “baru” yang tidak sedikit jumlahnya. Setiap sub
sekte memiliki corak pemikiran tersendiri yang ditentukan oleh
corak pemikiran pimpinan sub sekte tersebut. Al-Baghdady
dalam kitabnya “al-farqu bainal firaqi” menyebutkan bahwa
aliran Mu’tazilah ini telah terpecah menjadi 22 golongan.
Dalam perjalanannya, aliran Mu’tazilah yang bercorak rasional
dan cenderung liberal ini banyak mendapat tantangan keras dari
kelompok tradisonal Islam, terutama golongan pengikut Mazhab
Hambali. Bahkan sepeninggal Khalifah Al-Ma’mun dari Bani
Abbasiyah tahun 833 M, syi’ar Mu’tazilah semakin berkurang,
bahkan berujung pada dibatalkannya sebagai mazhab resmi
negara oleh Khalifah al-Mutawwakil pada 856 M.

Perlawanan terhadap Mu’tazilah pun tetap berlangsung. Mereka


(yang menentang) kemudian membentuk aliran teologi
tradisional yang digagas oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (935 M)
yang semula seorang Mu’tazilah. Aliran ini lebih dikenal dengan
al-Asy’ariah.

Di Samarkand muncul pula penentang Mu’tazilah yang dimotori


oleh Abu Mansyur Muhammad al-Maturidi (w.944 M). aliran ini
dikenal dengan teologi al-Maturidiah. Aliran ini tidak
setradisional al-Asy’ariah tetapi juga tidak seliberal Mu’tazilah.

***

DAFTAR PUSTAKA
 Abuddin Nata, Ilmu kalam, Filsafat, dan tasawuf
 A. Syalabi, Sejarah Dan Kebudayaan Islam Jilid 2,
terj. Mukhtar Yahya dan M. Sanusi Latief
 Makalah tentang Mu’tazilah oleh Kolid Syamhudi
(tidak diterbitkan)
 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi
Doktrin Politik Islam
 Mu’in Abdullah, Aliran Islam Pada Masa Khalifah
 Wikipedia Ensiklopedia Bebas, Mu’taziliyah, dalam
website http://id.wikipedia.org, data diakses tanggal
23 Oktober 2009
 Mohd. Said Sihak, Konsep Iman dan Kufur:
Perbandingan Perspektif Antara Aliran Teologi
 Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-Aliran,
Sejarah, Analisa Perbandingan
 Mohd. Said Sihak, Konsep Iman dan Kufur
 Al-Bazdawi. Kitab Usuluddin

You might also like