You are on page 1of 51

PEMBELAJARAN BERBASIS MULTIKULTURAL

Dikutip dari : http://lubisgrafura.wordpress.com/2007/09/10/pembelajaran-berbasis-


multikultural/

Apa itu Pembelajaran Berbasis Multikultural?

Pembelajaran multikultural adalah kebijakan dalam praktik pendidikan dalam


mengakui, menerima dan menegaskan perbedaan dan persamaan manusia yang dikaitkan
dengan gender, ras, kelas, (Sleeter and Grant, 1988). Pendidikan multikultural adalah
suatu sikap dalam memandang keunikan manusia dengan tanpa membedakan ras, budaya,
jenis kelamin, seks, kondisi jasmaniah atau status ekonomi seseorang (Skeel, 1995).
Pendidikan multikultural (multicultural education) merupakan strategi pendidikan yang
memanfaatkan keberagaman latar belakang kebudayaan dari para peserta didik sebagai
salah satu kekuatan untuk membentuk sikap multikultural. Strategi ini sangat bermanfaat,
sekurang-kurangnya bagi sekolah sebagai lembaga pendidikan dapat membentuk
pemahaman bersama atas konsep kebudayaan, perbedaan budaya, keseimbangan, dan
demokrasi dalam arti yang luas (Liliweri, 2005). Pendidikan multuikultural didefinisikan
sebagai sebuah kebijakan sosial yang didasarkan pada prinsip-prinsip pemeliharaan
budaya dan saling memiliki rasa hormat antara seluruh kelompok budaya di dalam
masyarakat. Pembelajaran multikultural pada dasarnya merupakan program pendidikan
bangsa agar komunitas multikultural dapat berpartisipasi dalam mewujudkan kehidupan
demokrasi yang ideal bagi bangsanya (Banks, 1993).

Dalam konteks yang luas, pendidikan multikultural mencoba membantu


menyatukan bangsa secara demokratis, dengan menekankan pada perspektif pluralitas
masyarakat di berbagai bangsa, etnik, kelompok budaya yang berbeda. Dengan demikian
sekolah dikondisikan untuk mencerminkan praktik dari nilai-nilai demokrasi. Kurikulum
menampakkan aneka kelompok budaya yang berbeda dalam masyarakat, bahasa, dan
dialek; dimana para pelajar lebih baik berbicara tentang rasa hormat di antara mereka dan
menunjung tinggi nilai-nilai kerjasama, dari pada membicarakan persaingan dan
prasangka di antara sejumlah pelajar yang berbeda dalam hal ras, etnik, budaya dan
kelompok status sosialnya.

Pembelajaran berbasis multikultural didasarkan pada gagasan filosofis tentang


kebebasan, keadilan, kesederajatan dan perlindungan terhadap hak-hak manusia. Hakekat
pendidikan multikultural mempersiapkan seluruh siswa untuk bekerja secara aktif menuju
kesamaan struktur dalam organisasi dan lembaga sekolah. Pendidikan multikultural
bukanlah kebijakan yang mengarah pada pelembagaan pendidikan dan pengajaran
inklusif dan pengajaran oleh propaganda pluralisme lewat kurikulum yang berperan bagi
kompetisi budaya individual.
Pembelajaran berbasis multikultural berusaha memberdayakan siswa untuk
mengembangkan rasa hormat kepada orang yang berbeda budaya, memberi kesempatan
untuk bekerja bersama dengan orang atau kelompok orang yang berbeda etnis atau rasnya
secara langsung. Pendidikan multikultural juga membantu siswa untuk mengakui
ketepatan dari pandangan-pandangan budaya yang beragam, membantu siswa dalam
mengembangkan kebanggaan terhadap warisan budaya mereka, menyadarkan siswa
bahwa konflik nilai sering menjadi penyebab konflik antar kelompok masyarakat (Savage
& Armstrong, 1996). Pendidikan multikultural diselenggarakan dalam upaya
mengembangkan kemampuan siswa dalam memandang kehidupan dari berbagai
perspektif budaya yang berbeda dengan budaya yang mereka miliki, dan bersikap positif
terhadap perbedaan budaya, ras, dan etnis. (Farris & Cooper, 1994).

Tujuan pendidikan dengan berbasis multikultural dapat diidentifikasi: (1) untuk


memfungsikan peranan sekolah dalam memandang keberadaan siswa yang beraneka
ragam; (2) untuk membantu siswa dalam membangun perlakuan yang positif terhadap
perbedaan kultural, ras, etnik, kelompok keagamaan; (3) memberikan ketahanan siswa
dengan cara mengajar mereka dalam mengambil keputusan dan keterampilan sosialnya;
(4) untuk membantu peserta didik dalam membangun ketergantungan lintas budaya dan
memberi gambaran positif kepada mereka mengenai perbedaan kelompok (Banks, dalam
Skeel, 1995)

Di samping itu, pembelajaran berbasis multikultural dibangun atas dasar konsep


pendidikan untuk kebebasan (Dickerson, 1993; Banks, 1994); yang bertujuan untuk: (1)
membantu siswa atau mahasiswa mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan
untuk berpartisipasi di dalam demokrasi dan kebebasan masyarakat; (2) memajukan
kekebasan, kecakapan, keterampilan terhadap lintas batas-batas etnik dan budaya untuk
berpartisipasi dalam beberapa kelompok dan budaya orang lain.

Mengapa perlu Pembelajaran Berbasis Multikultural?

Rasional tentang pentingnya pendidikan multikultural, karena startegi pendidikan


ini dipandang memiliki keutamaan-keutamaan, terutama dalam: (1) memberikan
terobosan baru pembelajaran yang mampu meningkatkan empati dan mengurangi
prasangka siswa atau mahasiswa sehingga tercipta manusia (warga negara) antarbudaya
yang mampu menyelesaikan konflik dengan tanpa kekerasan (nonviolent); (2)
menerapkan pendekatan dan strategi pembelajaran yang potensial dalam mengedepankan
proses interaksi sosial dan memiliki kandungan afeksi yang kuat; (3) model pembelajaran
multikultural membantu guru dalam mengelola proses pembelajaran menjadi lebih efisien
dan efektif, terutama memberikan kemampuan peserta didik dalam membangun
kolaboratif dan memiliki komitmen nilai yang tinggi dalam kehidupan masyarakat yang
serba majemuk; (4) memberikan kontribusi bagi bangsa Indonesia dalam penyelesaian
dan mengelola konflik yang bernuansa SARA yang timbul di masyarakat dengan cara
meningkatkan empati dan mengurangi prasangka.
Kondisi keberagaman masyarakat dan budaya, secara positif menggambarkan
kekayaan potensi sebuah masyarakat yang bertipe pluralis, namun secara negatif orang
merasa tidak nyaman karena tidak saling mengenal budaya orang lain. Setiap etnik atau
ras cenderung mempunyai semangat dan ideologi yang etnosentris, yang menyatakan
bahwa kelompoknya lebih superior daripada kelompok etnik atau ras lain (Jones, dalam
Liliweri, 2003). Terjadinya tidak saling mengenal identitas budaya orang lain, bisa
mendorong meningkatnya prasangka terhadap orang lain, berupa sikap antipati yang
didasarkan pada kesalahan generalisasi yang diekspresikan sebagai perasaan. Prasangka
juga diarahkan kepada sebuah kelompok secara keseluruhan, atau kepada seseorang
hanya karena itu adalah anggota kelompok tertentu. Secara demikian, prasangka memiliki
potensi dalam mengambinghitamkan orang lain melalui stereotipe, diskriminasi dan
penciptaan jarak sosial (Bennet dan Janet, 1996)

Melalui pembelajaran multikultural, subyek belajar dapat mencapai kesuksesan


dalam mengurangi prasangka dan diskriminasi (Banks, 1996). Dengan kata lain, variabel
sekolah terbentuk dimana besar kelompok rasial dan etnis yang memiliki pengalaman dan
hak yang sama dalam proses pendidikan. Pelajar mampu mengembangkan
keterampilannya dalam memutuskan sesuatu secara bijak. Mereka lebih menjadi suatu
subyek dari pada menjadi obyek dalam suatu kurikulum. Mereka menjadi individu yang
mampu mengatur dirinya sendiri dan merefleksi kehidupan untuk bertindak secara aktif.
Mereka membuat keputusan dan melakukan sesuatu yang berhubungan dengan konsep,
pokok-pokok masalah yang mereka pelajari. Mereka mengembangkan visi sosial yang
lebih baik dan memperoleh ilmu pengetahuan dan keterampilan serta mengkonstruksinya
dengan sistematis dan empatis. Seharusnya guru mengetahui bagaimana berperilaku
terhadap para pelajar yang bermacam-macam kulturnya di dalam kelas. Mereka
mengetahui perbedaan-perbedaan nilai-nilai dan kultur dan bentuk-bentuk perilaku yang
beraneka ragam.

Dimensi dan Pendekatan Pembelajaran Berbasis Multikultural

James A. Banks (1993, 1994-a), mengidentifikasi ada lima dimensi pendidikan


multikultural yang diperkirakan dapat membantu guru dalam mengimplementasikan
beberapa program yang mampu merespon terhadap perbedaan pelajar (siswa), yaitu:

1. Dimensi integrasi isi/materi (content integration). Dimensi ini digunakan oleh


guru untuk memberikan keterangan dengan ‘poin kunci’ pembelajaran dengan
merefleksi materi yang berbeda-beda. Secara khusus, para guru menggabungkan
kandungan materi pembelajaran ke dalam kurikulum dengan beberapa cara
pandang yang beragam. Salah satu pendekatan umum adalah mengakui
kontribusinya, yaitu guru-guru bekerja ke dalam kurikulum mereka dengan
membatasi fakta tentang semangat kepahlawanan dari berbagai kelompok. Di
samping itu, rancangan pembelajaran dan unit pembelajarannya tidak dirubah.
Dengan beberapa pendekatan, guru menambah beberapa unit atau topik secara
khusus yang berkaitan dengan materi multikultural.
2. Dimensi konstruksi pengetahuan (knowledge construction). Suatu dimensi dimana
para guru membantu siswa untuk memahami beberapa perspektif dan
merumuskan kesimpulan yang dipengaruhi oleh disiplin pengetahuan yang
mereka miliki. Dimensi ini juga berhubungan dengan pemahaman para pelajar
terhadap perubahan pengetahuan yang ada pada diri mereka sendiri;

3. Dimensi pengurangan prasangka (prejudice ruduction). Guru melakukan banyak


usaha untuk membantu siswa dalam mengembangkan perilaku positif tentang
perbedaan kelompok. Sebagai contoh, ketika anak-anak masuk sekolah dengan
perilaku negatif dan memiliki kesalahpahaman terhadap ras atau etnik yang
berbeda dan kelompok etnik lainnya, pendidikan dapat membantu siswa
mengembangkan perilaku intergroup yang lebih positif, penyediaan kondisi yang
mapan dan pasti. Dua kondisi yang dimaksud adalah bahan pembelajaran yang
memiliki citra yang positif tentang perbedaan kelompok dan menggunakan bahan
pembelajaran tersebut secara konsisten dan terus-menerus. Penelitian
menunjukkan bahwa para pelajar yang datang ke sekolah dengan banyak
stereotipe, cenderung berperilaku negatif dan banyak melakukan kesalahpahaman
terhadap kelompok etnik dan ras dari luar kelompoknya. Penelitian juga
menunjukkan bahwa penggunaan teksbook multikultural atau bahan pengajaran
lain dan strategi pembelajaran yang kooperatif dapat membantu para pelajar untuk
mengembangkan perilaku dan persepsi terhadap ras yang lebih positif. Jenis
strategi dan bahan dapat menghasilkan pilihan para pelajar untuk lebih bersahabat
dengan ras luar, etnik dan kelompok budaya lain.

4. Dimensi pendidikan yang sama/adil (equitable pedagogy). Dimensi ini


memperhatikan cara-cara dalam mengubah fasilitas pembelajaran sehingga
mempermudah pencapaian hasil belajar pada sejumlah siswa dari berbagai
kelompok. Strategi dan aktivitas belajar yang dapat digunakan sebagai upaya
memperlakukan pendidikan secara adil, antara lain dengan bentuk kerjasama
(cooperatve learning), dan bukan dengan cara-cara yang kompetitif (competition
learning). Dimensi ini juga menyangkut pendidikan yang dirancang untuk
membentuk lingkungan sekolah, menjadi banyak jenis kelompok, termasuk
kelompok etnik, wanita, dan para pelajar dengan kebutuhan khusus yang akan
memberikan pengalaman pendidikan persamaan hak dan persamaan memperoleh
kesempatan belajar.

5. Dimensi pemberdayaan budaya sekolah dan struktur sosial (empowering school


culture and social structure). Dimensi ini penting dalam memperdayakan budaya
siswa yang dibawa ke sekolah yang berasal dari kelompok yang berbeda. Di
samping itu, dapat digunakan untuk menyusun struktur sosial (sekolah) yang
memanfaatkan potensi budaya siswa yang beranekaragam sebagai karakteristik
struktur sekolah setempat, misalnya berkaitan dengan praktik kelompok, iklim
sosial, latihan-latihan, partisipasi ekstra kurikuler dan penghargaan staff dalam
merespon berbagai perbedaan yang ada di sekolah.
Pendekatan yang bisa dipakai dalam proses pembelajaran di kelas multikultural
adalah pendekatan kajian kelompok tunggal (Single Group Studies) dan pendekatan
perspektif ganda (Multiple Perspektives Approach). Pendidikan multikultural di
Indonesia pada umumnya memakai pendekatan kajian kelompok tunggal. Pendekatan ini
dirancang untuk membantu siswa dalam mempelajari pandangan-pandangan kelompok
tertentu secara lebih mendalam. Oleh karena itu, harus tersedia data-data tentang sejarah
kelompok itu, kebiasaan, pakaian, rumah, makanan, agama yang dianut, dan tradisi
lainnya. Data tentang kontribusi kelompok itu terhadap perkembangan musik, sastra,
ilmu pengetahuan, politik dan lain-lain harus dihadapkan pada siswa. Pendekatan ini
terfokus pada isu-isu yang sarat dengan nilai-nilai kelompok yang sedang dikaji.

Sedangkan pendekatan perspektif ganda (Multiple Perspectives) adalah


pendekatan yang terfokus pada isu tunggal yang dibahas dari berbagai perspektif
kelompok-kelompok yang berbeda. Pada umumnya, guru-guru memiliki berbagai
perspektif dalam pembelajarannya. Dalam kaitan ini, Bannet dan Spalding (1992)
menyarankan agar pembelajaran menggunakan pendekatan perspektif ganda, dengan
alasan pendekatan itu nampak lebih efektif.

Pendekatan perspektif ganda membantu siswa untuk menyadari bahwa suatu


peristiwa umum sering diinterpretasikan secara berbeda oleh orang lain, dimana
interpretasinya sering didasarkan atas nilai-nilai kelompok yang mereka ikuti. Solusi
yang dianggap baik oleh suatu kelompok (karena solusi itu sesuai dengan nilai-nilainya),
sering tidak dianggap baik oleh kelompok lainnya karena tidak cocok dengan nilai yang
diikutinya (Savage & Armstrong, 1996). Keunggulan pendekatan perspektif ganda ini
terletak pada proses berpikir kritis terhadap isu yang sedang dibahas sehingga mendorong
siswa untuk menghilangkan prasangka buruk. Interaksi dengan pandangan kelompok
yang berbeda-bebada memungkinkan siswa untuk berempati. Hasil penelitian (Byrnes,
1988) membuktikan bahwa siswa yang rendah prasangkanya menunjukkan sikap yang
lebih sensitif dan terbuka terhadap pandangan orang lain. Mereka juga mampu berpikir
kritis, karena mereka lebih bersikap terbuka, fleksibel, dan menaruh hormat pada
pendapat yang berbeda (Walsh, 1988). Bahan pelajaran dan aktivitas belajar yang kuat
aspek afektifnya tentang kehidupan bersama dalam perbedaan kultur terbukti efektif
untuk mengembangkan perspektif yang fleksibel (Byrnes, 1988). Siswa yang memiliki
rasa empati yang besar memungkinkan dia untuk menaruh rasa hormat terhadap
perbedaan cara pandang. Tentu saja hal itu akan mampu mengurangi prasangka buruk
terhadap kelompok lain. Membaca buku sastra multietnik dapat mengurangi stereotipe
negatif tentang budaya orang lain (Walker-Dalhouse, 1992). Pendekatan perspektif ganda
mengandung dua sasaran yaitu meningkatkan empati dan menurunkan prasangka. Empati
terhadap kultur yang berbeda merupakan prasyarat bagi upaya menurunkan prasangka.
Bagaimana Mengembangkan Pembelajaran Berbasis Multikultural?

Ada beberapa hal yang perlu dijadikan perhatian dalam mengembangkan pembelajaran
berbasis multikultural

1. Melakukan analisis faktor potensial bernuansa multikultural

Analisis faktor yang dipandang penting dijadikan pertimbangan dalam


mengembangkan model pembelajaran berbasis multikultural, yang meliputi: (a) tuntutan
kompetensi mata pelajaran yang harus dibekalkan kepada peserta didik berupa
pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), dan etika atau karakter (ethic atau
disposition); (b) tuntutan belajar dan pembelajaran, terutama terfokus membuat orang
untuk belajar dan menjadikan kegiatan belajar adalah proses kehidupan; (c) kompetensi
guru dalam menerapkan pendekatan multikultural. Guru sebaiknya menggunakan metode
mengajar yang efektif, dengan memperhatikan referensi latar budaya siswanya. Guru
harus bertanya dulu pada diri sendiri, apakah ia sudah menampilkan perilaku dan sikap
yang mencerminkan jiwa multikultural; (d) analisis terhadap latar kondisi siswa. Secara
alamiah siswa sudah menggambarkan masyarakat belajar yang multikultural. Latar
belakang kultural siswa akan mempengaruhi gaya belajarnya. Agama, suku, ras/etnis dan
golongan serta latar ekonomi orang tua, bisa menjadi stereotipe siswa ketika merespon
stimulus di kelasnya, baik berupa pesan pembelajaran maupun pesan lain yang
disampaikan oleh teman di kelasnya. Siswa bisa dipastikan memiliki pilihan menarik
terhadap potensi budaya yang ada di daerah masing-masing: (e) karakteristik materi
pembelajaran yang bernuansa multikultural. Analisis materi potensial yang relevan
dengan pembelajaran berbasis multikultural, antara lain meliputi: (1) menghormati
perbedaan antar teman ( gaya pakaian, mata pencaharian, suku, agama, rtnis dan budaya);
(2) menampilkan perilaku yang didasari oleh keyakinan ajaran agama masing-masing; (3)
kesadaran bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; (4) membangun kehidupan atas dasar
kerjasama umat beragama untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan; (5)
mengembangkan sikap kekeluargaan antar suku bangsa dan antra bangsa-bangsa; (6)
tanggung jawab daerah (lokal) dan nasional; (7) menjaga kehormatan diri dan bangsa; (8)
mengembangkan sikap disiplin diri, sosial dan nasional; (9) mengembangkan kesadaran
budaya daerah dan nasional; (10) mengembangkan perilaku adil dalam kehidupan; (11)
membangun kerukunan hidup; (12) menyelenggarakan ‘proyek budaya’ dengan cara
pemahaman dan sosialisasi terhadap simbol-simbol identitas nasional, seperti bahasa
Indonesia, lagu Indonesia Raya, bendera Merah Putih, Lambang negara Garuda
Pancasila, bahkan budaya nasional yang menggambarkan puncak-pucak budaya di
daerah; dan sebagainya.
2. Menetapkan strategi pembelajaran berkadar multikultural

Pilihan strategi yang digunakan dalam mengembangkan pembelajaraan berbasis


multikultural, antara lain: strategi kegiatan belajar bersama-sama (Cooperative Learning),
yang dipadukan dengan strategi pencapaian konsep (Concept Attainment) dan strategi
analisis nilai (Value Analysis); strategi analisis sosial (Social Investigation). Beberapa
Pilhan strategi ini dilaksanakan secara simultan, dan harus tergambar dalam langkah-
langkah model pembelajaran berbasis multikultural. Namun demikian, masing-masing
strategi pembelajaran secara fungsional memiliki tekanan yang berbeda. Strategi
Pencapaian Konsep, digunakan untuk memfasilitasi siswa dalam melakukan kegiatan
eksplorasi budaya lokal untuk menemukan konsep budaya apa yang dianggap menarik
bagi dirinya dari budaya daerah masing-masing, dan selanjutnya menggali nilai-nilai
yang terkandung dalam budaya daerah asal tersebut.

Strategi cooperative learning, digunakan untuk menandai adanya perkembangan


kemampuan siswa dalam belajar bersama-sama mensosialisasikan konsep dan nilai
budaya lokal dari daerahnya dalam komunitas belajar bersama teman. Dalam tataran
belajar dengan pendekatan multikultural, penggunaan strategi cooperative learning,
diharapkan mampu meningkatkan kadar partisipasi siswa dalam melakukan rekomendasi
nilai-nilai lokal serta membangun cara pandang kebangsaan. Dari kemampuan ini, siswa
memiliki keterampilan mengembangkan kecakapan hidup dalam menghormati budaya
lain, toleransi terhadap perbedaan, akomodatif, terbuka dan jujur dalam berinteraksi
dengan teman (orang lain) yang berbeda suku, agama etnis dan budayanya, memiliki
empati yang tinggi terhadap perbedaan budaya lain, dan mampu mengelola konflik
dengan tanpa kekerasan (conflict non violent). Selain itu, penggunaan strategi
cooperative learning dalam pembelajaran dapat meningkatkan kualitas dan efektivitas
proses belajar siswa, suasana belajar yang kondusif, membangun interaksi aktif antara
siswa dengan guru, siswa dengan siswa dalam pembelajaran. Sedangkan strategi analisis
nilai, difokuskan untuk melatih kemampuan siswa berpikir secara induktif, dari setting
ekspresi dan komitmen nilai-nilai budaya lokal (cara pandang lokal) menuju kerangka
dan bangunan tata pikir atau cara pandang yang lebih luas dalam lingkup nasional (cara
pandang kebangsaan).

Bertolak dari keempat strategi pembelajaran di atas, pola pembelajaran berbasis


multikultural dilakukan untuk meningkatkan kesadaran diri siswa terhadap nilai-nilai
keberbedaan dan keberagaman yang melekat pada kehidupan siswa lokal sebagai faktor
yang sangat potensial dalam membangun cara pandang kebangsaan. Dengan kesadaran
diri siswa terhadap nilai-nilai lokal, siswa di samping memiliki ketegaran dan
ketangguhan secara pribadi, juga mampu melakukan pilihan-pilihan rasional (rational
choice) ketika berhadapan dengan isu-isu lokal, nasional dan global. Siswa mampu
menatap perspektif global sebagai suatu realitas yang tidak selalu dimaknai secara
emosional, akan tetapi juga rasional serta tetap sadar akan jati diri bangsa dan negaranya.
Kemampuan akademik tersebut, salah satu indikasinya ditampakkan oleh siswa dalam
perolehan hasil pembelajaran yang dialami.
Kriteria yang dapat digunakan untuk mengetahui keberhasilan kegiatan belajar
siswa adalah laporan kerja (makalah), unjuk kerja dan partisipasi yang ditampilkan oleh
siswa dalam pembelajaran dengan cara diskusi dan curah pendapat, yang meliputi
rasional berpendapat, toleransi dan empati terhadap menatap nilai-nilai budaya daerah
asal teman, serta perkembangan prestasi belajar siswa setelah mengikuti tes di akhir
pembelajaran. Selain itu, kriteria lain yang dapat digunakan adalah unjuk kerja yang
ditampilkan oleh guru di dalam melaksanakan pendekatan multikultural dalam
pembelajarannya.

Guru yang bersangkutan selalu terlibat dalam setiap fase kegiatan pembelajaran,
baik dalam kegiatan diskusi dan refleksi hasil temuan awal, penyusunan rencana
tindakan, pelaksanaan tindakan, pengamatan dalam pelaksaan tindakan, diskusi dan
refleksi hasil pelaksanaan tindakan, dan penentuan/penyususunan rencana tindakan
selanjutnya dalam pencapain tujuan pembelajaran.

3. Menyusunan rancangan pembelajaran berbasis multikultural

Penyusunan rancangan pembelajaran PKn yang bernuansa multikultural, dapat


dilakukan melalui lima tahapan utama, yaitu: (1) analisis isi (content analysis); (2)
analisis latar kultural (setting analysis); (3) pemetaan materi (maping contents); (4)
pengorganisasian materi (contents organizing) pembelajaran PKn; dan (5) menuangkan
dalam format pembelajaran.

Kelima tahapan proses dalam merumuskan rancangan pembelajaran PKn tersebut dapat
dideskripsikan sebagai berikut:

a. Analisis isi, yaitu proses untuk melakukan identifikasi, seleksi, dan penetapan materi
pembelajaran PKn. Proses ini bisa ditempuh dengan berpedoman atau menggunakan
rambu-rambu materi yang terdapat dalam GBPP, antara lain mengenai materi standar
minimal, urutan (sequence) dan keluasan (scope) materi, kompetensi dasar yang dimiliki,
serta ketrampilan yang dikembangkan. Di samping itu, dalam menganalisis materi guru
hendaknya juga menggunakan pendekatan nilai-moral, yang karakteristiknya meliputi
pengetahuan moral, pengenalan moral, pembiasaan moral dan pelakonan moral
(Depdiknas, 2000)

b. Analisis latar kultural dikembangkan dari pendekatan kultural dan siklus kehidupan
(life clycle), yang di dalamnya mengandung dua konsep, yaitu konsep wilayah atau
lingkungan (lokal, regional, nasional dan global); dan konsep manusia beserta
aktivitasnya yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Selain itu, analisis latar juga
mempertimbangkan nilai-nilai kultural yang tumbuh dan berkembang serta dijunjung
tinggi oleh suatu masyarakat serta kemungkinan kemanfaatannya bagi kehidupan siswa.

c. Pemetaan materi pembelajaran yang berkaitan erat dengan prinsip yang harus
dikembangkan dalam mengajarkan nilai dan moral, yaitu prinsip: dari yang mudah ke
sukar; dari yang sederhana ke sulit; dari konkrit ke abstraks; dari lingkungan sempit/dekat
menuju lingkungan yang meluas.
d. Pengorganisasian Materi PKn, dengan pendekatan multikultural harus dilakukan
dengan memperhatikan prinsip “4 W dan 1 H”, yaitu: What (apa), Why (mengapa), When
(kapan), Where (di mana) dan How (bagaimana). Dalam rancangan pembelajaran PKn,
kelima prinsip ini, harus diwarnai oleh ciri-ciri pembelajaran dengan multikultural, dalam
menuju pelakonan (experiences) nilai-moral yang berlandaskan pada asas empatisitas
tinggi dan kejujuran serta saling menghargai keunggulan masing-masing. Selain itu,
pengorganisasian materi pembelajaran perlu memperhatikan beberapa dimensi yang
mampu menggambarkan karakteristik kerja multikultural, antara lain dimensi isi/materi
(content integration), dimensi konstruksi pengetahuan (konwledge construction), dimensi
pengurangan prasangka (prejudice reduction); dimensi pendidikan yang sama/adil
(eguitable pedagogy), dan dimensi pemberdayaan budaya sekolah dan sruktur sosial
(empawering school culture and social structure) Kesemuanya dilakukan dengan
memberdayakan metode pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk
bermultikultural.

e. Menuangkan ke dalam tahapan model pembelajaran berbasis multikultural.

Tahapan proses tindakan yang dilakukan dalam mengembangkan pembelajaran


pembelajaran berbasis multikultural dikemukakan dalam matriks berikut.

No. Tahap Kegiatan Deskripsi Kegiatan

1. Studi eksplorasi diri dan lingkungan sosial-budaya (lokal) siswa yang potensial dengan
substansi multikultural Menugaskan kepada siswa untuk melakukan eksplorasi lokal,
yang meliputi diri sendiri dan lingkungan sosial-budaya bernuansa multikultural (daerah
asal), dengan ketentuan: (a) memilih masalah yang menarik bagi mereka, bisa masalah
stereotipe, suku, agama, ras/etnis, bahasa daerah, adat-kebiasaan, kesenian dan organisasi
sosial setempat; (b) menggambarkan bagaimana ekspresinya (perangkat dan tampilan);
(c) menggali nilai-nilai dan landasan filosofik yang digunakan oleh masyarakat asal
siswa; dan (d) memproyeksikan prospek nilai-nilai dan filosofi dari masalah terpilih
dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan berbangsa dan bernegara.

2. Presentasi hasil eksplorasi Siswa mempresentasikan hasil eksplorasi (bisa individual


atau kelompok) terhadap masalah lokal yang menarik bagi dirinya, di hadapan teman atau
kelompok lain.

3. Peer group analysis Teman lain atau siswa yang telah dibagi menjadi beberapa
kelompok, dimohon untuk mengalisis dan memberi komentar terhadap presentasi hasil
eksplorasi masalah terpilih. Secara bergiliran masing-masing siswa atau kelompok
memprensentasikan hasil analisisnya. Guru merekam beberapa masukan dan komentar
yang muncul di antara mereka.

4. Expert opinion Guru memberikan komentar mengenai hasil eksplorasi yang


dipresentasikan dan beberapa komentar teman.

5. Refleksi, rekomendasi dan membangun komitmen Guru bersama siswa melakukan


refleksi tampilan siswa dan rekomendasi terhadap keunggulan nilai-nilai budaya lokal
yang diperkirakan memiliki potensi dan prospek dalam membangun komitmen nilai yang
dapat digunakan sebagai perekat persatuan dan kesatuan baik dalam kehidupan lokal
maupun kehidupan nasional (cara pandang kebangsaan)

f. Menyusun Rancangan Pembelajaran PKn dengan Pendekatan Multikultural

Beberapa perangkat yang diperlukan dala menyusun rancangan pembelajaran berbasis


multikultural, antara lain, adalah menetapkan topik pembelajaran yang mengandung
pesan multikultural, organisasi materi, penetapan strategi, metode dan teknik
pembelajaran multikultural, penetapan media, dan evaluasi pembelajaran penuangan
dalam format rancangan pembelajaran. Alternatif, topik yang diangkat dalam
pembelajaran dengan pendekatan multikultural adalah “Mengembangkan Kesadaran
Berbudaya”. Rancangan pembelajaran dengan pendekatan multikultural dapat
dikemukakan sebagai berikut.

Pokok Bahasan/Topik: Mengembangkan Kesadaran Berbudaya

Jenjang : SMP

Kelas : III (tiga)

Semester : 1 (satu)

I. Kompetensi Dasar Pembelajaran:

• Siswa dapat mendeskripsikan keanekaragaman budaya daerah sebagai kekayaan


kebudayaan nasional.

• Menjelaskan alasan perlunya kesadaran membina dan melestarikan nudaya daerah dan
nasional.
• Berperilaku dalam pengembangan dan pelestarian budaya daerah dan nasional.

II. Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK):

1. Siswa dapat mengenali jenis-jenis budaya (adat kebiasaan, upacara adat/budaya,


kesenian daerah dan benda-benda budaya yang berasal di lingkungan daerahnya.

2. Siswa dapat menunjukkan salah satu jenis kebudayaan yang paling disukai yang
berasal dari daerahnya.

3. Siswa dapat menyebutkan nilai-nilai luhur budaya daerah yang paling disukai
(misalnya: nilai religius/keagamaan, nilai sosial/kemanusiaan, nilai kerukunan/gotong
royong/persatuan, nilai kerjasama/musyawarah, nilai ekonomi, pendidikan, dan keadilan).

4. Siswa dapat mengkomunikasikan jenis dan nilai-nilai dari budaya daerah yang
disukainya.

5. Siswa dapat menemukenali jenis dan nilai-nilai luhur dari budaya daerah yang disukai
oleh teman lain dari budaya daerah masing-masing.

6. Siswa dapat mencocokkan nulai-nilai budaya daerah teman lain dengan nilai-nilai
budaya daerah sendiri.

7. Siswa dapat menentukan sikap terhadap nilai-nilai budaya daerahnya yang tidak cocok
dengan nilai budaya daerah teman.

8. Siswa dapat menentukan sikap (kompromis) untuk memberlakukan nilai-nilai budaya


yang cocok antara budaya daerah sendiri dan budaya daerah teman yang lain.

9. Siswa dapat menentukan kegiatan untuk mengembangkan nilai-nilai budaya daerah


yang cocok baik budaya daerah sendiri maupun budaya daerah teman lain.

10. Siswa dapat melakukan komitmen untuk melestarikan nilai-nilai budaya bersama
terhadap pengaruh negatif dan positif nilai-nilai budaya asing.

III. Proses Belajar-Mengajar

Hal-hal yang perlu dipersiapkan:

a. Strategi pembelajaran yang digunakan adalah strategi analisis nilai

b. Metode yang dominan: dialog/diskusi, resitasi (penugasan), curah pendapat, tanya


jawab dan refleksi.
c. Media dan mumber: (1) Puisi Bhinneka Tunggal Ika; (2) Gambar benda budaya daerah
(diusahakan yang tidak sama dengan kebudayaan daerah siswa di kelas pembelajaran,
agar pelakonan siswa lebih bersifat alamiah; (3) Buku-buku PKn untuk SMP Kelas III.

1. Kegiatan Awal Pembelajaran:

1. Kegiatan Awal Pembelajaran:

1. Guru mengkomunikasikan topik (pokok bahasan) pembelajaran kepada sisiwa.

2. Sebagai bahan apersepsi guru bercerita tentang keanekaragaman budaya di Nusantara.

3. Guru mengajak siswa untuk membaca puisi “Bhinneka Tunggal Ika’, dan selanjutnya
curah pendapat isi kandungan puisi dalam kaitannya dengan keperluan pembelajaran.

Puisi “Bhinneka Tunggal Ika”

Bhinneka Tunggal Ika

Lambang negara kita

Republik Indonesia

Beribu-ribu pulaunya

Berjuta-juta rakyatnya

Namun satu citanya

Bhinneka Tunggal Ika

Ikrar kita bersama

Kita bina selamanya

Persatuan bangsa

Kesatuan jiwa

Indonesia bahagia

(Syair: A. Thalib)

Penjelasan guru (alternatif): Dari syair puisi yang telah kita baca tadi, kamu dapat
memetik makna realitas kehidupan bangsa kita (Indonesia), terutama semboyan
‘Bhinneka Tunggal Ika’, yaitu yang berbeda-beda pada dasarnya adalah satu. Dalam
semboyan itu mengandung makna pula adanya panggilan kita untuk membina budaya
dalam arti memiliki kesadaran untuk mengembangkan serta melestarikannya. Persatuan
dan kesatuan adalah jiwa kita, sedangkan keanekaragaman budaya daerah adalah
kekayaan dan isi dari kehidupan berbangsa dan bermasyarakat Indonesia.

2. Kegiatan Inti Pembelajaran

(1). Guru mengidentifikasi variasi perbedaan daerah asal siswa.

(2). Membentuk formasi kelas, jika memungkinkan dengan posisi melingkar, sehingga
mempermudah untuk melakukan dialog secara mendalam.

(3). Guru mempersilahkan siswa untuk memperkenalkan diri (nama, daerah asal, agama,
etnis, dan sebagainya).

(4). Melakukan kegiatan pembelajaran yang diadaptasi dari tuntutan tujuan pembelajaran
(tujuan nomor 1 sampai dengan 10).

a. Mempersilahkan siswa untuk mengkomunikasikan jenis budaya daerahnya dan nilai-


nilai budaya yang terkandung di dalamnya kepada teman lain. (Guru atau bisa meminta
teman untuk menuliskan di papan).

b. Mempersilahkan siswa untuk menemukenali jenis dan nilai budaya daerah yang
disukai teman lain dari budaya daerah masing-masing. Kegiatan ini dilakukan ketika
kegiatan (d) dilakukan. Pada saat teman menyampaikan nilai-nilai budaya daerahnya,
teman yang lain memperhatikan dan menulis jenis budaya dan nilai-nilai apa saja yang
disampaikan oleh teman.

c. Menugasi siswa untuk mengidentifikasi (menuliskan) nilai-nilai budaya daerah teman


lain yang cocok (sama) dengan nilai budaya daerah sendiri. Guru atau menugasi seorang
siswa mengidentifikasi dengan menuliskan di papan tulis.

d. Guru memberikan penegasan kepada siswa bahwa nilai-nilai budaya yang sama itu
termasuk sebagian nilai-nilai dari kebudayaan nasional. Jika kegiatan kitas (anak-anak),
ditambah dengan menggali nilai-nilai budaya daerah lebih banyak lagi, maka akan
semakin banyak nilai-nilai yang sama dan berlaku di seluruh Indonesia. Cara berpikir
yang demikian inilah sebenarnya merupakan bagian dari cara pandang kebangsaan
Indonesia.

e. Menanyakan perasaan dan sikap siswa (satu persatu) terhadap nilai-nilai budaya daerah
yang tidak cocok (tidak sama) dengan nilai budaya daerah teman. Misalnya guru
mengajukan pertanyaan: “Nilai-nilai daerah anak-anak yang kebetulan tidak sama dengan
nilai budaya teman anda, lalu mau diapakan?”. Pada saat satu teman menyampaikan
perasaan dan sikapnya, teman lain diminta mencermati dan menyapaikan tanggapannya.
Agar tidak rawan konflik, tanggapan bukan diartikan sebagai ‘bantahan’, tetapi lebih
banyak digunakan sebagai media membanguh empati dalam menerima perbedaan nilai-
nilai budaya.

f. Menugasi siswa uintuk membangun sikap kompromis dalam memberlakukan nilai-nilai


budaya yang cocok (sama) dari seluruh budaya daerah, baik dari udaya daerah sendiri
maupun budaya daerah teman. Sikap kompromis seyogyanya diarahkan pada sikap
positif untuk menerima niali-nilai budaya yang cocok (sama) dan diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari. Guru memfasilitasi, menuliskan hasil kompromis siswa di papan
tulis dan meminta siswa menuliskan di buku masing-masing.

g. Menugasi siswa untuk melakukan curah pendapat (brainstorming), bagaimana caranya


untuk mengembangkan nilai-nilai budaya daerah yang cocok (sama) baik budaya daerah
sendiri maupun budaya dari daerah teman. Kegiatan ini senantiasa dipersepsikan untuk
membangun kehidupan dalam lingkup yang levih luas (kehidupan nasional).

h. Menugasi siswa untuk melakukan komitmen dalam melestarikan nilai-nilai budaya


bersama (nasional) terhadap pengaruh dan komunikasi dengan nilai-nilai budaya asing.
Guru memfasilitasi dengan mengajak anak-anak untuk mengidentifikasi dampak negatif
dan positifnya nilai-nilai budaya asing, serta bagaimana menyikapi pengaruh negatif
budaya asing dan pengaruh positif bagi kebudayaan nasional Indonesia.

i. Guru memberikan pemantapan kepada siswa. Hal-hal yang perlu ditegaskan sekitar:

• Jika nilai-nilai budaya suatu daerah masih dipandang bermanfaat, seyogyanya perlu
dilestarikan dan dikembangklan.

• Nilai-nilai budaya daerah yang memiliki kesamaan dengan nilai-nilai budaya daerah
lain di nusantara, perlu dilestarikan dan dikembangkan, karena justru itu yang
menggambarkan kehidupan budaya bangsa Indonesia.

• Nilai-nilai budaya asing yang bersifat positif perlu diterima untuk memperkuat
kebudayaan nasional dan bukan untuk mengikis, menggusur dan bahkan mengganti
kebudayaan nasional dengan nilai-nilai budaya asing. Kebudayaan nasional harus selalu
tegar terhadap pengaruh kebudayaan asing bersifat negatif.

(5). Melakukan penilaian hasil belajar (diasumsikan penilaian proses telah dilakukan
selama pembelajaran berlangsung).

3. Kegiatan Akhir Pembelajaran

(1) Melakukan refleksi. Guru mempersilahkan beberapa siswa untuk melakukan refleksi
sekitar kesan secara umum dari kegiatan pembelajaran yang telah dilaksanakan. Misalnya
apa yang dirasakan dan bisa didapatkan dari kegiatan pembelajaran ini, dan kesan cara
belajar yang digunakan kegiatan pembelajaran.
(2) Menyampaikan informasi tindak lanjut pembelajaran. Apa yang perlu dilakukan siswa
terhadap materi yang telah dipelajari dan menganjurkan kepada siswa untuk selalu
menghormati dan bersikap adaptif jika mereka hidup di masyarakat budaya daerah orang
lain.

Guru Pengajar,

DAFTAR PUSTAKA

Al-Hakim, Suparlan. 2002. Strategi Pembelajaran Berdasarkan Deep Dialogue/Critical


Thinking (DD/CT), P3G, Dirjen Dikdasmen.

Ali, Muhamad. 2003. Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan


Menjalin Kebersamaan. Jakarta. Penerbit Buku Kompas.

Banks, J.A. 1993. “Multicultural Educatian: Historical Development, Dimentions and


Practrice” In Review of Research in Education, vol. 19, edited by L. Darling- Hammond.
Washington, D.C.: American Educational Research Association.

Banks, J.A. 1991. “Multicultural Education: Its Effects on Studies’ Racial and Gender
Role Attitude” In Handbook of Research on Sociel Teachng and Learning. New York:
MacMillan.

Banks, J.A. 1992. “Multicultral Education: Historical Development, Dimentions and


Practice” In Review of Research in Education, Vol 19, edited by L Darling-Hammond,
Washington, D.C.: American Educational Research Association.

Banks, J.A. 1993. “Multicultural Education: Its Effects on Studies’ Racial abd Gender
Role Attitude” In Handbook of Research on Social Teaching and Learning. New York.:
MacMillan.

Banks, J.A. 1994b. Multiethnic Education: Theory and Practice, 3rd ed. Boston: Allyn
and Boston.

Bennett,C. & Spalding,E. 1992. “Teaching the Social Studies: Multiple Approaches for
Multiple Perspectives”. In Theory and Reseach in Social Education. XX:3(263-292).

Byrnes, D.A. 1988. “Children and Prejudice”. Social Education. 52 (267-271).


Dufty, D. 1986. “Remodelling Australian Society and Culture: A Study in Education for
a Pluralistic Society” . In Modgil, C. & Verma S. & Modgil , S. (eds.) Multicultural
Education , the Interminable Debate. London: The Falmer Press.

Farris,P.J.&Cooper,S.M. 1994. Elementary Social Studies: a Whole language Approach.


Iowa: Brown&Benchmark Publishers.

Freedman, P.I. 1984. “Multicultural Education: Establishing the Foundations”. The


Social Studies. 75 (200-203).

Geertz, Clifford, 1973. The Interpretation of Culture. New York. Basic Books. Inc.

Gerlach, Venon S. & Donald Ely. 1971. Teaching and Media, A Systematic Approach.
New Jersey. Englewood Cliff.

Irawan, Prasetyo; Suciati; IGK Wardani. 1996. Teori Belajar, Motivasi dan Keterampilan
Mengajar. Jakarta. PAU-UT.

Joni, Raka, T. 1980. Strategi Belajar-Mengajar Suatu Tinjauan Pengantar. Jakarta. P3G.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Joyce, Bruce and Marsha Weil. 1992. Models of Teaching. New Jersey. Prentice Hall,
Inc.

Lickona, T. 1992. Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and
Responsibility. New York. Bantam Books.

Liliweri, Alo. 2005. Prasangka & Konflik: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat
Multikultural. Yogyakarta. LKiS.

Savage, T.V.,& Armstrong, D.G. 1996. Effective Teaching in Elementary Social Studies.
Ohio: Prentice Hall.

Skeel, D.J. 1995. Elementary Social Studies: Challenge for Tomarrow”s World. New
York: Harcourt Brace College Publishers.

Sleeter, C.E. & Grant, C.A. 1988. Making Choice for Multicultural Education, File
Approaches to Race, Class, and Gender. New York. MacMillan Publishing Compeny.

Sleeter, C.E. & Grant. 1988. Making Choices for Multicultural Education, Fife
Approaches to Race, Class, and Gender. New York: Macmillan Publishing Company.

Sumpeno, W. 1996. “Orientasi Pendidikan Politik dalam Membina Nilai-nilai Moral”.


Dalam Mimbar Pendidikan. Bandung. Jurnal Pendidikan No. 4 Tahun XV 1996.
Walsh,K.& Agatucci,C. 2001. Mapping Theories of Multicultural Education.
Webmaster@cocc.edumailto:webmaster@cocc.edu

Wiriaatmadja, R. 1996. “Perspektif Multikultural dalam Pengajaran Sejarah”. Dalam


Mimbar Pendidikan. Bandung. Jurnal Pendidikan No. 4 Tahun XV 1996.
BAB I

KONSEP PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

DALAM MERESPON TANTANGAN GLOBALISASI

Analisis pemikiran H. A.R. Tilaar

A.Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah salah satu negara yang multikultural terbesar didunia, kebenaran dari
pernyataan ini dapat dilihat dari sosio kultur maupun geografis yang begitu beragam dan
luas. Dengan jumlah yang ad diwilayah NKRI sekitar kurang lebih 13.000 pulau besar
dan kecil, dan jumlah penduduk kurang lebih 200 juta jiwa,terdiri dari 300 suku yang
menggunakan hampir 200 bahasa yang berbeda. Selain itu juga menganut agama dan
kepercayaan yang beragam seperti Islam, Katholik, Kristen protestan,
hindu,budha,konghucu, serta bnerbagai macam kepercayaan.

Keragaman ini diakui atau tidak, akan dapat menimbulkan berbagai macam persoalan
seprti yang sekarang ini dihadapi bangsa ini. Seperti korupsi, kolusi ,nepotisme,
premanisme, perseteruan politik, kemiskinsn ,kekerasan, separatisme, perusakan
lingkunghan dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk selalu menghargai hak-hak orang
lain adalah bentuk nyata dari multikulturalisme itu. Contoh konkrit terjadinya tragedy
pembunuhan besar-besaran tehadap pengikut partai PKI pada tahun 1965, kekerasan etnis
cina di Jakarta pada bulan mei 1998 dan perang antara islam Kristen di maluku utara
pada tahun 1999-2003.

Berdasarkan permasalahan seperti diatas maka pendidikan multikulturalisme


menawarkan satu altrnatif melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan berbasis
pemanfaatan keragaman yang ada dimasyarakat. Khususnya yang ada pada siswa seperti:
keragaman etnis, budaya ,bahasa ,agama, status sosial, gender, kemampuan umur dan ras.
Walaupun pendidikan multikultural merupakan pendidikan relatif baru di dalam dunia
pendidikan.

Sebelum perang dunia II boleh dikatakan pendidikan multikultural belum dikenal. Malah
pendidikan dijadikan sebagai alat politik untuk melanggengkan kekuasaan yang
memonopoli sistem pendidikan untuk kelompok atau golongan tertentu. Dengan kata lain
pendidikan multikultural meupakan gejala baru dalam pergaulan umat manusia yang
mendambakan persaman hak, termasuk hak untuk mendapatkan pendidikan yang sama
untuk semua orang . Dalam penerapan strategi dan konsep pendidikan multikultural yang
terpenting dalam strategi ini tidak hanya bertujuan agar supaya siswa mudah memahami
pelajaran yang dipelajari, akan tetapi juga akan menigkatkan kesadaran mereka agar
selalu berperilaku humanis, pluraklis dan demokratis. Begitu juga seorang guru tidak
hanya menguasai materi secra professional tetapi juga harus mamapu meneanamkan
nilai-nbilai inti dari pendidikan multikultural sepreti : humanisme, demokratis dan
pluralisme.

Wacana pendidikan multikultural salah satu isu yang mencuat kepermukan di era
globalisasi seperti saat ini mengandaikan, bahwa pendidikan sebagai ruang tranformasi
budaya hendaknya selalu mengedepankan wawasan multikultural, bukan monokultural.
Untuk memperbaiki kekurangan dan kegagalan, serta memebongkar praktik-praktik
diskriminatif dalam proses pendidikan. Sebagaimana yang masih kita ketahui peranginya
dalam dunia pendidikan nasional kita,bahkan hingga saat inj.

Dalam konteks ini,pendidikan multikultural merupakan pendekatan progresif,


pebndekatan ini sejalan dengan prinsif penyelenggaraan pendidikan yang termaktub
dalam undang undang dan sistem pendidikan (SISDIKNAS) tahun 2003 pasal 4 ayat
1,yang berbunyi bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan
serta tidak diskrinminatif dengan menjunjung tinggi hak asai manusia (HAM), nilai
agama, nilai kultur, dan kemajemukan bangsa.

Pendidikan multikultural juga didasarkan pada keadilan sosial dan persamaan hak dalam
pendidikan. Dalam doktrin islam,ada ajaran kita tidak boleh membeda-beda etnis, ras dan
lain sebagainya. Manusia sama, yang membedakan adalah ketaqwaan kepada Allah
SWT. Dalam kaitanya dengan pendidikan multikultural hal ini mencerminkan bagaimana
tingginya penghargaan islam terhadap ilmu pengetahuan,dalam islam tidak ada
pembedaan dan pembatasan diantara manusia dalam haknya untuk menuntut atau
memperoleh ilmu pengetahusn.

Wajah monokulturalisme didunia pendidikan kita masih kentara sekali bila kita tilik dari
berbagai dimensi pendidikan. Mulai dari kuirikulum, materi pelajaran, hingga metode
pengajaran yang disampaikan oleh guru dalam proses belajar mengajar (PBM) diruang
kelas hingga penggalan-penggalan terakhir dari abad ke-20 sistem penyelenggaraan
pendidikan di Indonesia masih didominasi oleh pendekatan keseragaman (Etatisme)
lengkap dengan kekuassaan birokrasi yang ketat, bahkan otoriter. Dalam kondisi seperti
ini, tuntutan dari dalam dan luar negeri akan pendekatan yang semakin seragam dan
demokratis terus mendesak dan perlu di implementasikan.

Dalam wacana pendidikan multikultural banyak dilakukan berbagai mcam cara


diantaranya diadakan loka karya, seminar-seminar disekolah-sekol;ah, maupun
dimasyarkat luas, untuk menigkatkan kepekaan sosial, toeransi dan mengurangi
prasangka antar kelompok.

Untuk mewujudkan model-model tersebut, maka pendidikan multikultural di Indonesia


perlu mempertimbangkan kombinasi model yang ada, agar seperti yang diajukan Groski,
“pendidikan multicultural dapat mencakup tiga hal jenis tranformasi yaitu, trnformasi
diri,tranformasi sekolah dan proses belajar mengajar serta tranformasi masyarakat”.
Dengan menggunakan berbagai macam cara dan strategi pendidikan serta
mengimplementasikanya yang mempunyai visi dan misi yang selalu menegakan dan
mnenghargai pluralisme, demkrasi dan humanisme. Diharapkan para generasi penerus
menjadi ”Generasi Multikultural” yang menghargai perbedaan, selalu menegakan nilai-
nilai demokrasi, keadilan dan kemanusiaan yang akan datang.

B. Rumusan Masalah

Setiap masalah merupakan suatu problem yang memerlukan pemecahan agar arah dan
tujuan penelitian dapat sesuai dengan apa yang diharapkn. Hal ini senada dengan
pendapat Suharsini Arikunto bahwa masalah merupakan bagian ”kebutuhan” seseorang
untuk dipecahkan, orang lain mengadakan penelitian,karena ia mendapatkan jawaban
yang dihadapinya.

Berdasarkan pendapat diatas dapat diambil suatu pengertian, bahwa masalah adalah
ssuatu yang menjadi sasaran peneltian yang perlu dipecahkan melalui proses penelitian.

Berpangkal pada latar belakangmasalah diatas,maka penulis dapat merumuskan


penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagaimana konsep pendidikan multikulturalisme diindonesia

2. seberapa jauh signifikansi konsep pendidikan multikulturalime dalam problematika


pendidikan

C. Tujuan Penelitian

1. Ingin mengetahui seberapa jauh konsep pendidikan multicultural yang diterapkan


diindonesia.

2. Ingin mengetahui seberapa jauh signifikansi konsep pendidikan multikultural dalam


problematika pendidikan.

D. Kegunaan Penelitian

Dari kerangka pemikiran diatas,ada beberapa kegunaan yang penulis harapkan dalam
penelitian.

1. Untuk melengkapi tufgas-tugas dan persyaratan dalm menempuh gelar sarjana PAI
pada fakultas tarbiyah IAIT kediri.

2. Untuk mendapatkan pijakan dan landasan yang konkrit dalam rangka merumuskan
tujuan penelitan.
3. Sebagai khasanah disiplin ilmu pendidikan bagi fakultas tarbiyah melangsungkan
kegiatan pendidikan.

E.Metode Penelitian dan Sumber data

Data-data yang diperlukan dalam sebuah penelitian ini adalah hal-hal yang berkaitan
dengan sebuah pemikiran tentang pendidikan kemudian dalam penelitian ini penulis
menggunakan metode penelitian Librari reseach (Riset Kepustakaan) sebgai metode
pengumpulan data drngan membaca dan menelaah literature-literatur yang berhubungan
dengan permasalahan-permasalahan yang telah disebutkan diatas. Untuk sumber primer
penulis menggunakan buku “Multikulturalisme tantangan-tantangan Gelobal masa depan
dalam tranformasi pendidikan nasional”, yang ditulis oleh: H.A.R. Tilaar. Sedangkan
sebagai sumber sekunder penulis menggunakan berbagai literature buku, majalah,
internet, dan media-media lain yang berhubungan dengan rumusan masalah tersebut
diatas. Bahan-bahan itu penulis jadikan sebagai bahan yang melengkapi, agar penulis ini
lebih dalam dan obyektif.

F. Definisi Istilah

Sesuai dengan judul penulis ajukan, agar tidak terjadi kesalah pahaman dalam memahami
judul skripsi ini maka penulis jelaskan beberapa istilah untuk menyamakan pemahaman
dalam judul skripsi ini yaitu: “ Konsep pendidikan Multikulturalisme dalam merespon
tantangan globalisasi” .

1.Konsep pendidikan : Suatu ide atau gagasan proses perubahan sikap dan tata laku
seseoarang kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upanya
pengajaran dan pelatihan.

2. Multikultural :Keanekaragaman kebudayaan dalam suatu komunitas atau bangsa.

G. Sistematika Penulisan

Untuk mencapai pembhasan yang sistematis dalam penelitian ini, maka perlu diberi
gambaran secara singkat tentang sistematika pembahasan judul skripsi ini. Adapun
sistematika dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan yang terdiri dari: Latar belakang masalah, tujuan Penelitian,
Kegunaan Penelitian, Metode Penelitian dan Sumber data, Sistematika Penulisan.

BAB II : Konsep Pendidikan Multikultural

: Pengertian pendidikan Multikultural

: Kondisi Masyarakat

: Masyarakat Berbasis Ilmu Pengetahuan


BAB III : Konsep Pendidikan Multikultural Dalam SISDIKANAS

: Politik dan Multikultural

:Pendidikan Multikultural dalam Dimensi Pendidikan Nasional.

: Visi Dan Misi PendidikanNasional

BAB IV :

BAB V : Penutup Yang Berisi Kesimpulan dan Saran-Saran.

BAB II

KONSEP PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

A. Pengertian Pendidikan Multikultural

Indonesia adalah merupakan salah satu negara multikultural terbesar di dunia, kebenaran
dari pernyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosio kultural maupun geografis yang begitu
beragam dan luas, selain itu, Indonesia termasuk salah satu dari sekian puluh negara
berkembang. Sebagai negara berkembang, menjadikan pendidikan sebagai salah satu
sarana startegis dalam upanya membangun jati diri bangsa adalah sebuah langkah yang
bagus, relatif tepat, dan menjanjikan pendidikan yang layak dan kelihatannya tepat dan
kompatibel untuk membangun bangsa kita adalah dengan model pendidikan
multikultural. berkaitan dengan hal ini, maka pendidikan multikultural menawarkan satu
alternatif melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan yang berbasis pada
pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat, khususnya yang ada pada siswa seperti
keragaman etnis,budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur dan
ras.1 Hal ini didasarkan pada beberapa pertimbangan berikut.

Satu, pendidikan multikultural secara inhern sudah ada sejak bangsa Indonesia ini ada.
Falsafah bangsa Indonesia adalah bhineka tunggal ika, suka gotong royong, membantu,
dan menghargai antar satu dengan yang lainnya.betapa dapat dilihat dalam potret
kronologis bangsa ini yang sarat dengan masuknya berbagai suku bangsa asing dan terus
berakulturasi dengan masyarakat pribumi. Misalnya etnis cina, etnis arab, etnis arya, etnis
erofa, etnis afrika dan sebagainya. Semua suku itu ternyata secara kultural telah mampu
beradaptasi dengan suku-suku asli negara Indonesia. Misalnya suku jawa, batak, minang,
bugis, ambon, papua, suku dayak, dan suku sunda. Proses adaptasi dan akulturasi yang
berlangsung di antara suku-suku tersebut dengan etnis yang datang kemudian itu, ternyata
sebagian besar dilakukan dengan damai tanpa adanya penindasan yang berlebihan. Proses
inilah yang dikenal dengan pendidikan multikultural. Hanya saja model pendidikan
multikultural ini semakin tereduksi dengan adanya kolonialisasi di bibidang ploitik,
ekonomi, dan mulai merambah ke bidang budaya dan peradaban bangsa.

Dua, pendidikan multikultural memberikan secerah harapan dalam mengatasi berbagai


gejolak masyarakat yang terjadi akhir-akhir ini. Pendidikan multikultural, adalah
pendidikan yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai, keyakinan, heterogenitas,
pluralitas dan keragaman, apapun aspeknya dalam masyarakat. Dengan demikian,
pendidikan multikultural yang tidak menjadikan semua manusia sebagai manusia yang
bermodel sama, berkepribadian sama, berintelektual sama, atau bahkan berkepercayaan
yang sama pula.

Tiga, pendidikan multikultural menentang pendidikan yang beroreintasi bisnis. Pada saat
ini, lembaga pendidikan baik sekolah atau perguruan tinggi berlomba-lomba menjadikan
lembaga pendidikannya sebagai sebuah institusi yang mampu menghasilkan income yang
besar. Dengan alasannya, untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada peserta didik.
Padahal semua orang tahu, bahwa pendidikan yang sebenarnya bagi bangsa Indonesia
bukanlah pendidikan keterampilan belaka, melainkan pendidikan yang harus
mengakomodir semua jenis kecerdasan.yang sering dikenal dengan nama kecerdasan
ganda (multiple intelligence).

Empat, pendidikan multikultural sebagai resistensi fanatisme yang mengarah pada


berbagai jenis kekerasan. Kekersan muncul ketika saluran kedamaian sudah tidak ada
lagi. Kekerasan tersebut sebagai akibat dari akumulasinya berbagai persoalan masyarakat
yang tidak diselesaikan secara tuntas dan saling menerima. Ketuntasan penyelesaian
berbagai masalah masyarakat adalah prasyarat bagi munculnya kedamaian. Fanatisme
yang sempit juga bisa meyebabkan munculnya kekerasan. Dan fanatisme ini juga
berdimensi etnis, bahasa, suku, agama, atau bahkan sistem pemikiran baik di bidang
pendidikan, politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.

Pertimbangan-pertimbangan itulah yang barang kali perlu dikaji dan direnungkan ulang
bagi subjek pendidikan di Indonesia. salah satunya dengan mengembangkan model
pendidikan multikultural. Yaitu pendidikan yang mampu mengakomodir sekian ribu
perbedaan dalam sebuah wadah yang harmonis, toleran, dan saling menghargai. Inilah
yang diharapkan menjadi salah satu pilar kedamaian, kesejahteraan, kebahagian, dan
keharmonisan kehidupan masyarakat Indonesia.2

Dengan demikian Pendidikan multikultural merupakan respon terhadap perkembangan


keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok.
Dalam dimensi lain pendidikan multikultural merupakan pengembangan kurikulum dan
aktifitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi dan perhatian
terhadap orang-orang non eropa.3
Pada konteks Indonesia, perbincangan tentang konsep pendidikan multikultural semakin
memperoleh momentum pasca runtuhnya rezim otoriter militeristik orde baru karena
hempasan badai reformasi. Era reformasi ternyata tidak hanya membawa berkah bagi
bangsa kita namun juga memberi peluang meningkatnya kecenderungan primordialisme.
Untuk itu, dirasakan kita perlu menerapkan paradigma pendidikan multikultural untuk
menangkal semangat primordialisme.4 Paradigma pendidikan multikultural dalam
konteks ini memberi pelajaran kepada kita untuk memiliki apresiasi respek terhadap
budaya dan agama-agama orang lain. Atas dasar ini maka penerapan multikulturalisme
menuntut kesadaran dari masing-masing budaya lokal untuk saling mengakui dan
menghormati keanekaragaman budaya yang dibalut semangat kerukunan dan perdamain.
Paradigma multikultural secara implisit juga menjadi salah satu concern dari pasal 4 UU
No.20 tahun 2003 sistem pendidikan nasional. Dalam pasal itu dijelaskan, bahwa
pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif, dengan menjunjung
tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.

Dalam sejarahnya, pendidikan multikultural sebagai sebuah konsep atau pemikiran yang
tidak muncul dalam ruangan yang kosong, namun ada interes politik, sosial, ekonomi,
dan intelektual yang mendorong kemunculannya.5

James banks (1994) menjelaskan:

bahwa pendidikan multikultural memiliki beberapa dimensi yang saling berkaitan satu
dengan yang lain”, yaitu: Pertama, Content integration, yaitu mengintegrasikan berbagai
budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori
dalam mata pelajaran atau disiplin ilmu. Kedua, the knowledge construction process,
yaitu membawa siswa untuk memahami implikasi budaya kedalam sebuah mata pelajaran
(disiplin). Ketiga, an equity paedagogy, yaitu menyusuaikan metode pengajaran dengan
cara belajar siswa dalam rangka mempasilitasi prestasi akademik siswa yang
beragambaik dari segi ras, budaya, (culture ) ataupun sosial. Keempat, prejudice
reduction, yaitu mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode
pengajaran mereka.

Pendidikan multikulturalisme biasanya mempunyai cirri-ciri sebagai berikut:

1. Tujuanya membentuk” manusia budaya” dan menciptakan “masyarakat berbudaya


(berperadaban)”.

2. Materinya mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusian, nilai-nilai bangsa, dan nilai-nilai


kelompok etnis (cultural).

3. Metodenya demokratis, yang menghargai aspek-aspek perbedaan dan keberagaman


budaya bangsa dan kelompok etnis (multikulturalis).
4. Evaluasinya ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku anak didik yang meliputi
persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap budaya lainnya.6

Dalam konteks ini dapat dikatakan, tujuan utama dari pendidikan multikultural adalah
untuk menanamkan sikap simpati, respek, apresiasi, dan empati terhadap penganut agama
dan budaya yang berbeda. dan yang terpenting dari strategi pendidikan multikultural ini
tidak hanya bertujuan agar supaya siswa mudah memahami pelajaran yang dipelajarinya,
akan tetapi juga untuk meningkatkan kesadaran mereka agar selalu berprilaku humanis,
pluralis, dan demokrasi.7

B. Kondisi Masyarakat

Manusia yang hidup didalam milenium ketiga berada didalam suatu dunia yang jauh
berbeda dengan masa sebelumnya. Belum pernah terjadi didalam sejarah umat manusia,
seseorang menyadari bahwa dia tidak hidup terasing dari dunia dan masyarakat lainnya.
Revolusi transfortasi dan informasi telah menyebabkan setiap individu menyadari akan
dirinya sendiri, apakah dia terasing atau merupakan bagian dari umat manusia. Dunia
berubah dengan sangat cepat sehingga muncullah suatu proses penyadaran diri dari setiap
insane yang hidupdi bumi ini, bahwa dia adalah bagian dari kehidupan yang lebih besar
yaitu kehidupan umat manusia yang mempunyai tujuan, cita-cita, rasa kebersamaan
dalam suatu kelompok ataupun dalam ikatan suatu negara dan bangsa. Masyarakat dan
bangsa Indonesia yang relatif aman, tidak bergejolak, dan bahkan dapat menerima “
penjajahan” selama 350 tahun. Ada pameo pada masa kolonial yang mengatakan bahwa
bangsa jawa adalah bangsa yang paling lembut di dunia. Bangsa yang lemah lembut,
merupakan cirri dari masyarakat tradisional. Masyarakat tradisional adalah suatu bentuk
masyarakat yang relatif stabil, terkontrol, hidup tenang penuh dengan kepastian, dan
tertutup. Kehidupan masyarakat diikat oleh kesatuan tradisi yang sifatnya mengikat baik
moral etis bahkan teologis. Kekuatan-kekuatan kramat mengikat masyarakat tradisional
baik didalam hubungan kekuasaan maupun di dalam aspek kehidupan, semuanya diatur,
baik oleh kekuatan natural seperti kekuasaan raja yang feudal sampai kepada kekuatan
supernatural yang diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya.

Di dalam suatu masyarakat tradisional, kesadaran akan kehidupan sangat terbatas, dan
oleh sebab itu pula dunia kehidupannya bergerak dengan sangat lambat. Masyarakat yang
stabil tersebut kini menjadi berantakan didalam kehidupan yang tidak menentu.
Perubahan besar yang terjadi di muka bumi ini dengan lahirnya masyarakat industri pada
abad ke-18 di eropa. Dengan demikian munculah gelombang modernisasi yang pertama.

Gelombang modernisasi pertama seperti yang terlihat didalam masyarakat barat yang
sifatnya sederhana, perubahan-perubahan linier, perkembangan industri yang menyerap
lapangan kerja baru disamping pertanian.semua perubahan tersebut terjadi didalam ruang
lingkup negara dan bangsa.
Gelombang modernisasi pertama berjalan hampir dua abad lamanya. Namun dengan
demikian munculnya gelombang modernitas kedua, kepastian yang dinikmati oleh
manusia menghilang dan secara simultan lahirlah perubahan-perubahan sosial yang
dahsyat dan tidak dapat diatasi lagi oleh manusia.modernisasi gelombang kedua ini
membawa manusia kepada apa yang disebut suatu masyarakat penuh resiko.

Menurut Ulrich Beck’ mengemukakan:

“Lima proses yang secara simultan menimpa masyarakat dunia dewasa ini, yaitu:
“globalisasi, individualisme, revolusi gender, pengangguran, dan resiko global karena
krisis lingkungan dan krisis moneter seperti yang terjadi dinegara kita pada tahun 1997”.

Dalam perjalananya masyarakat Indonesia menuntut proses pengambilan keputusan yang


tepat. Seperti yang telah dijelaskan didalam pendahuluan masyarakat yang dapat
mengambil keputusan dengan tepat adalah masyarakat yang terdidik, yang menguasai
ilmu pengetahuan dan teknologi, serta dibimbing oleh moral untuk kemaslahatan
masyarakat dan bangsanya, serta masyaraka dunia.

Seiring dengan perkembangan dan tuntutan jaman maka lahirlah konsep masyarakat
individualitas yang baru, sehingga konsep-konsep yang lama tidak dapat digunakan lagi.
Hal ini disebabkan karena terjadi perubahan-perubahan yang dahsyat didalam masyarakat
dunia akibat lahirnya demokrasi poltik, yang menuntut hak-hak politik dari warga negara,
diikuti oleh demokrasi sosial yaitu keinginan untuk membangun suatu masyarkat
sejahtera, dan lahirlah apa yang disebut demokrasi cultural yang mengubah dasar-dasar
hidup keluarga yang stabil didalam masyarakat tradisional, perubahan peranan gender,
perubahan relasi antar manusia didalam membangun keluarga, hingga mudah retaknya
struktur keluarga inti yang dikenal didalam masyarakat tradisional.8

1. Masyarakat Masa Depan

Masyarakat masa depan mengalihkan pemikiran manusia bukan kepada masa lalu tetapi
kemasa yang akan datang. Masyarakat masa depan berorientasi kepada masa depan yang
cerah yang telah diperhitungkan. Secara seksama apa yang akan terjadi dimasa depan,
maka sekurang-kurangnya kita mempunyai pegangan hidup secara mantap untuk
menghadapi masa depan yang lebih baik.

Untuk mengetahui resiko masa depan adalah merupakan sintesa antara pengetahuan dan
ketidaksadaran (unclearness). Konsep masa depan yang penuh resiko sangat perlu agar
bisa membedakan dengan jelas antara yang alamiah (nature) dengan budaya (culture).
Gelombang globalisaai yang mendapat reaksi dari kekuatan lokal atau lokalisme.
Glokalisme merupakan sintesa antara Globalisasi dan lokalisme. Dengan demikian
pengaruh dari Globalisasi yang berjalan sangat cepat sehingga menghancurkan sendi-
sendi dan struktur kehidupan lokal.
Berdasarkan uraian mengenai masyarakat masa depan yang penuh dengan resiko, kiranya
manusia dapat mengikuti percaturan dunia adalah manusia-manusia yang mempunyai
kualitas-kualitas tertentu. Dalam pengertian, tidak semua manusia dapat demikian.
Adapun kualitas-kualitas yang dimaksud meliputi: kualitas fisik dan non fisik.

Kualitas fisik menyangkut kualitas lahiriyah dan jasmaniyah seseorang. Kualitas


demikian, diindikasikan oleh ukuran badannya, tenaga fisik, yang dimiliki, daya tahan
tubuhnya kesehatan jasmaninya, kesegaran atau kebugaran raganya. Sementara kualitas
non fisik berkaitan dengan hal-hal yang bersifat batiniah, non fisik dan kejiwaan. Kualitas
non fisik demikian meliputi: kualitas pribadi, kualitas hubungan dengan pihak lain dan
kualitas kekayaanya. Kedua kualitas tersebut, fisik dan non fisik, saling melengkapi,
karena kualitas fisik diperlukan untuk diisi dengan kegiatan-kegiatan yang menyangkut
dan mendukung bagi tercapainya kualitas non fisik.

Jika manusia Indonesia yang dibutuhkan di masa depan diindikasikan oleh kualitas-
kualitas sebagaimana disebutkan diatas, maka harus ada kebijaksanaan pendidikan yang
relevan adalah sebagai berikut:

1. Penigkatan kualitas pendidikan harus diprioritaskan. Kualitas pendidikan sangat


penting artinya, karena hanya manusia yang berkualitas saja yang bisa bertahan hidup
dimasa depan.

2. Peningkatan kesiapan peserta didik untuk menghadapi dunia yang selalu berubah
dengan perkembangan jaman yang terus berkembang.

3. Peningkatan kemandirian anak melalui pengejaran. Ini harus menjadi kebijaksanaan


pendidikan, mengingat manusia dimasa depan yang dapat berkompetensi serta membawa
bangsanya dalam percaturan dunia yang sedang berubah, adalah manusia yang mandiri
dan tidak bergantung pada orang lain ataupun negara lain.

4. Mengajarkan anak didik dilembaga pendidikan kearah karya nyata. Ini harus dilakukan
agar anak didik sejak dini berlatih untuk banyak berkarya.

5. Penanaman kedisiplinan yang tinggi kepada peserta didik dilembaga-lembaga


pendidikan. Dan, kedisiplinan demikian harus dimulai dari diri sendiri.

6. Penanaman keimanan, ketaqwaan kepada tuhan yang maha esa. Ini sangat diperlukan,
agar ketika terlibat dalam arus percaturan dunia, dia senantiasa mengendalikan diri agar
tidak terjerembab kedalam Lumpur kehidupan yang sesat.

7. Penanaman kesetiakawanan diantar teman sebangsa. Ini sangat penting oleh karena ia
hidup dalam kerangka dan wadah nation yang hampir setiap harinya akan senantiasa
berinteraksi dengan sesamanya.9
C. Masyarakat Berbasis Ilmu Pengetahuan

Telah kita lihat transformasi masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern, antara
lain disebabkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam masyarakat barat, peranan
ilmu pengetahuan yang dimuali dari abad pencerahan telah melepaskan masyarakat
tradisioanal yang terkungkung oleh tradisi dan kekuasaan Gereja yang koserfatif.
Perkembangan ilmu pengetahuan yang menyebabkan penerapan teknologi didalam
pengembangan industri telah melahirkan negara-negara industrsi pada abad ke-18. ilmu
pengetahuan juga telah menyebabkan tuntutan terhadap pendidikan rakyat yang berwujud
wajib belajar pada negara-negara maju dimulai pada abad ke-19. perkembangan ilmu
pengetahuan pada negara-negara tersebut telah memasuki kebijakan politik kolonial dari
para penjajah. Di Indonesia telah lahir apa yang disebut dengan “politik etis” yang
memaksa untuk secara moral penghisapan yang dilakukanya dinegara jajahanya. Rakyat
diberi pendidikan meskipun sangat terbatas untuk melepaskan diri dari kungkungan
kebodohan dan kemiskinan. Dengan pendidikan itu pulalah dilahirkan benih-benih
nasionalisme yang kemudian menjadi kekuatan yang menghancurkan kolonialisme itu
sendiri.

Kemajuan pendidikan suatu bangsa juga merupakan dasar dari perkembangan demokrasi.
Sejalan dengan meningkatnya tingkat pendidikan, terjadi pencerahan kehidupan suatu
bangsa dan negara. Perkembangan demokrasi berjalan bersama-sama dengan kebangkitan
nasionalisme, terutam didunia ke tiga. Didalam pembukaan undang-undang dasar 1945
dijelaskan bahwa salah satu tujuan utama kemerdekaan ialah untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa. Pencerdasan kehidupan bangsa antara lain berarti membangun suatu
masyarakat yang berbasis ilmu pengetahuan.

Didalam hal ini, bukan berarti bahwa yang dipentingkan ialah rasionalisme, melainkan
peningakatan kemampuan analitis dari suatu bangsa untuk melihat perkembangan
masyarakatnya, karena kemajuan pendidikan suatu bangsa juga merupakan dasar dari
perkembangan demokrasi. Dengan pendidikan, maka kelas-kelas didalam masyarakat
seperti kelas penjajah yang mempunyai hak-hak istimewa yang dibedakan dengan bangsa
terjajah yang tidak mempunyai hak-hak seperti hak-hak yang diberikan kepada kaum
penjajah (kaum putih). Kesadaran terhadap harga diri, kesadran terhadap tradisi dan
kebudayaan sendiri terbuka karena pendidikan.10 salah satu program yang dapat
menyiapkan dan merekayasa arah perkembangan masyarakat Indonesia untuk
menjadikan masyarakat yang berbasis ilmu pengetahuan ialah dengan mengedepankan
pendidikan. Malahan PBB menganggap program pendidikan merupakan salah satu
dinamisator dalam pengembangan manusia. Masyarakat industri masa depan memberi
peluang yang besar bagi pengembangan manusia. Namun dapat menjadi “ pembunuh”
pengembangan manusia apabila masyarakat tidak dipersiapkan untuk hidup dan
menghidupi masyarakat industri tersebut. Didala konteks inilah dipertayakan tempat dan
peranan lembaga pendidikan untuk ikut serta dalam masyarakat industri masa depan.
Dalam kaitan ini, dengan lahirnya UU No.2 tahun 1989 tentang SISDIKNAS, kita telah
mempunyai acuan bersama pengembangan system pendidikan nasional untuk
menghadapi masyarakat masa depan.11
1. Globalisasi dan Kemajuan Ilmu Pengetahuan

Salah satu gelombang dahsyat yang melanda kehidapn umat manusia dewasa ini adalah
globalisai. Seperti telah dijelaskan, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya
teknologi komunikasi, telah menyebabkan perubahan yang sangat besar dalam kehidupan
manusia yang tidak diperkirakan sebelumnya. Diakui bahwa globalisasi telah
memberikan banyak hal yang positif dalam kehidupan umat manusia, tapi disamping itu
juga terdapat berbagai hal yang negatif.

Globalisasi tidak lepas dari anomaly. Arus uang seharusnya bergerak dari negara kaya ke
negara miskin, tetapi yang terakhir justru sebaliknya, globalisasi justru menjadi ajang
mentransfer kekayaan dari simiskin kepada yang kaya.

Globalisasi menurut Stiglitz “diyakini memiliki potensi besar jika ditata dan dikontrol”.
Agar globalisasi berjalan lebih manusiawi, dibutuhkan lembaga yang kuat dan transparan,
seperangkat institusi yang dapat memandu kebijakan ekonomi, politik dan sosial lebih
adil, sekaligus memihak dunia yang miskin. Dibawa komando supermasi kapitalisme
global yang culas dan kejam, globalisasi yang manusiawi menjadi tuntutan zaman yang
takan terelakan.12

Globalisasi telah melahirkan kapital internasional dari korporasi-korporasi besar yang


ternyata hanya menguntungkan negara-negar besar yang bermodal, dan segelintir
konglomerat dunia. Dipihak lain kemiskinan diseluruh dunia bukannya berkurang , malah
semakin menjadi-jadi. Globalisasi itu sendiri dipelopri oleh negara-negara industri besar
yang berakibat pemiskinan negara-negara yang sedang berkembang. Selain proses
pembentukan korporasi internasional yang mematikan modal kecil, terutama di negara-
negara berkembang, globalisasi juga secara radikal merubah kehidupan manusia.
Perubahan radikal dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern merupakan Shock
yang menghancurkan, bukan hanya perekonomian melainkan juga struktur soaial dan
kebudayaan dari suku-suku di negara-negara terbelakang itu. Globalisasi telah
menimbulkan ketidakpastian dan kegamangan dari rakyat yang berjuta-juta bahkan
bermiliar-miliar di negara-negara berkembang.13

Gerakan globalisasi saat ini sangat terasa dampaknya pada system kehidupan sosial
ekonomi kita. Bahkan nyata sekali, sumber daya manusia saat ini justru harus
berkompetisi secara global. Kualitas pekerjaan yang menghasilkan barang untuk pasar
global juga harus memiliki kualitas secara nasional. Tetapi lebih jauh dari itu, peserta
didik kita perlu memiliki keunggulan kompotitif secara global. Komoditas ekspor kita
kenegara-negara maju seperti alat-alat elektronika, kayu lapis, tekstil, kerajinan tangan,
dan sebagainya, harus mengikuti standar interasional. Konsekuensinya, pendidikan kita
harus menyiapkan tenaga kerja yang juga berkualitas internasional. Tanpa
memperhatikan persyaran perdagangan internasional, kita sebagai bangsa tidak akan
dapat mengambil bagian dalam tata perekonomian pasar global.
Hal ini perlu diterjemahkan oleh sisitem pendidikan nasional kedalam program-program
dan proses belajar mengajar secara operasional. Karena itu, sebenarnya pendidikan
nasional kita juga perlu memikirkan muatan global dalam aspek pengajarannya untuk
bidang-bidang studi yang relevan. Jika kita mengabaikan gerakan globalisasi, pendidikan
kita dalam jangka panjang hanya akan menghasilkan SDM yang berkualitas lokal.
Kondisi seperti ini cepat atau lambat akan mengisolasi bangsa kita dari proses transfer
teknologi mutakhir yang dilahirkan oleh masyarakat dan peradaban dunia sebagai akibat
tidak dimilikinya kemampuan komunikasi antar bangsa.14

BAB III

KONSEP PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM SISDIKNAS

Pendidikan dan masyarakat multikultural memiliki hubungan timbal balik


(reciprocalrelayionship). Artinya, bila pada satu sisi pendidikan memiliki peran
signifikan guna membangun masyarakat multikultural, disisi lain masyarakat
multikultural dengan segala karakternya memiliki potensi signifikan untuk mensukseskan
fungsi dan peran pendidikan.itu berarti, penguatan disatu sisi, langsung atau tidak
langsung, akan memberi penguatan pada sisi lain. Penguatan terhadap pendidikan,
misalnya dengan memperbaiki sistem dan mengefektifkan kegiatan belajar, akan
menambah keberhasilan dalam membangun masyarakat multikultural. Disisi lain,
penguatan pada masyarakat multikultural, yaitu dengan mengelola potensi yang dimiliki
secara benar, akan menambah keberhasilan fungsi dan peran pendidikan umumnya.
Implikasinya, dilakukannya penguatan pada kedua sisi secara simultan akan memberi
hasil yang optimal, baik dari sisi peran pendidikan maupun pembangunan masyarakat
multikultural sendiri.

Dalam konteks membangun masyarakat multikultural selain berperan meningkatkan


mutu bangsa agar dapat duduk sama rendah, berdiri sama tinggi dengan negara-negara
lain, pendidikan juga berperan memberi perekat berbagai perpedaan diantara komunitas
kultural atau kelompok masyarakat yang memiliki latar belakang budaya berbeda agar
lebih meningkat komitmennya dalam berbangsa dan bernegara.

Adapun perekat pendidikan yang dipakai ialah pembangunan karakter dan semangat
kebangsaan atau nation and character building (NCB). Dalam hal ini karakter kebangsaan
merupakan penbembangan jati diri bangsa Indonesia yang pernah dikenal sebagai bangsa
yang ramah, sopan, toleran, dan sebagainya. Sedangakan semangat kebangsaan adalah
keinginan yang amat mendasar dari setiap komponen masyarakat untuk
berbangsa.Karakter dan semangat seperti itu akan berkembang, baik secara natural
maupun kultural, manuju tercapainya persatuan dan kesatuan bangsa.15
Multikulturalisme merupakan suatu perkembangan yang relatif baru dalam khasanah
ilmu pengetahuan, khususnya dalam ilmu-ilmu sosial. Namun dengan demikian
multikulturalisme terus berkembang sesuai dengan perubahan sosial yang dihadapi oleh
umat manusia khususnya didalam era dunia terbuka dan era demokritisai kehidupan.16

Pendidikan merupakan kebutuhan paling esensial bagi setiap manusia, negara, maupun
pemerintah pada era reformasi ini, pendidikan harus selalu ditumbuhkembangkan secara
sistematis oleh para pengambil kebijakan yang berwenang di negara ini. Transformasi
dalam dunia pendidikan selalu harus diupayakan agar pendidikan benar-benar dapat
memberikan kontribusi yang signifikan dalam usaha untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa sebagaimana telah diamanatkan oleh pendiri republik yang dituangkan dalam
UUD 1945.17dengan demikian pendidikan tidak dapat dipisahkan dari perubahan sosial
dan kehidupan manusia didalam berbgai kaitannya dengan masalah kebudayaan, maka
pendidikan dalam multikulturalisme telah merupakn suatu realitas sosial yang akan
dihadapi oleh dunia pendidikan dimasa-masa yang akan datang.

Peran pendidikan didalam multikuklturalisme hanya dapat dimengerti didalam kaitannya


dengan falsafah hidup, kenyataan sosial, yang akan melipuiti disiplin-disiplin ilmu yang
lain seperti ilmu politik, filsafat, khususnya falsafah posmoderenisme, antropologi, dan
sosiologi. Dalam hal ini dimaksudkan agar dalam perjalanan sejarah pendidikan
multikultural nantinya tidak kehilangan arah atu bahkan berlawanan dengan nilai-nilai
dasar multikulturalisme. Oreintasi yang seharunya dibangun dan diperhatikan antara lain
meliputi:

1. Orientasi kemanusiaan. Kemanusian atau humanisme merupakan sebuah nilai kodrati


yang menjadi landasan sekaligus tujuan pendidikan. Kemanusian besifat universal,
global, diatas semua suku, aliran, ras, golongan dan agama.

2. Orientasi kebersamaan. Kebersamaan atau kooperativisme merupakan sebuah nilai


yang sangat mulia dalam masyarakat yang plural dan heterogen. Kebersamaan yang
hakiki juga akan membawa kepada kedamaian yang tidak ada batasannya. Tentunya
kebersamaan yang dibangun disini adalah kebersamaan yang sama sekali terlepas dari
unsur kolutif maupun koruptif. Kebersamaan yang dibangun adalah kebersamaan yang
masing-maising pihak tidak merasa dirugikan dirinya sendiri, orang lain, lingkungan,
serta negara.

3. Orientasi kesejahteraan. Kesejahteraan atau welvarisme merupakan suatu kondisi


sosial yang menjadi harapan semua orang. Kesejahteraan selama ini hanya dijadikan
sebagai slogan kosong. Kesejahteraan sering diucapkan, akan tetapi tidak pernah
dijadikan orientasi oleh siapapun. Konsistensi terhadap sebuah orientasi harus dibuktikan
dengan prilaku menuju pada terciptanya kesejahteraan masyarakat.

4. Orientasi propesional. Propesional merupakan sebuah nilai yang dipandang dari aspek
apapun adalah sangat tepat. Tepat landasan, tepat proses, tepat pelaku, tepat ruang, tepat
waktu, tepat anggaran, tepat kualitatif, tepat kuantitatif, dan tepat tujuan.
5. Orientasi mengakui pluralitas dan heterogenitas. pluralitas dan heterogenitas
merupakan sebuah kenyataan yang tidak mungkin ditindas secara fasis dengan
memunculkan sikap fanatisme terhadap sebuah kebenaran yang diyakini oleh orang
banyak.

6. Orientasi anti hegemoni dan anti dominasi. hegemoni dan dominasi hegemoni adalah
dua istilah yang sangat populer bagi kaum tertindas. Hanya saja kedua istilah tersebut
tidak pernah digunakan atau bahkan dihindari jauh-jauh oleh para pengikut paham
liberalis, kapitalis, globalis, dan neoliberalis. Karena hegemoni bukan hanya dibidang
politik, melainkan juga dibidang pelayanan terhadap masyarakat.18

Dengan demikian multikulturalisme dan pendidikan bukanlah masalah teknis pendidikan


belaka, tetapi memerlukan suatu konsep pemikiran serta pengembangan yang meminta
partisipasi antardisiplin.19 beberapa pemikiran “ besar” dalam sejarah pemikiran kita
lahir dari pergaulan para pemikir pada situasi politik dan kebudayaan. Pendidikan yang
berpijak pada budaya “ pribumi” bersemi ditengah dominanya model pendidikan belanda
yang beriorentasi barat dan diskriminatif. Fakta- fakta itu menegaskan hegemoni negara
dalam kebijakan dan praktik pendidikan menjadi konteks jitu yang mengasah counter dis
course bagi visi pendidikan penguasa.

Dalam alam reformasi hegemoni negara relatif cair dan kebebasan berpendapat praktis
lebih dijamin. Berbagai masalah pendidikan kita pada alam reformasi tidak berkurang,
mungkin lebih kompleks karena prinsip kesetaraan kepentingan. Namun, ruang
kontemplasi untuk memikirkan berbagai persoalan itu terlibas dalam kebisingan “
pembaruan”. Akibatnya, pemetaan persoalan-persoalan pendidikan melulu bertolak dari
hal-hal kasatmata.20

Multikulturalisme adalah keniscayaan yang tak bisa ditolak di indonesia. Indonesia


adalah salah satu negara bangsa di dunia yang meniscayakan multietnik dan agama
tumbuh dalam masyarakat yang pluralis. Karena itu, pendidikan yang mengacu kepada
trans etnik dan agama harus diusung sedemikian rupa agar tercipta relasi yang dinamis
dan harmonis. Ketetapan UU Sisdiknas 2003, sebagai usaha “politik” kearah cita-cita
bersama yang mulia, ternyata menuai kontropersi dan kritik. Gelombang reaksi pro dan
kontra begitu memanas dari masyarakat khususnya bagi para pelaku pendidikan dan
pemuka agama yang masing-masing berseteru ingin menyampaikan dan sekaligus
mempertahankan aspirasinya.21

A. Politik Dan Multikulturalisme

Sejarah kehidupan bersama manusia ditandai oleh adanya kekuatan-kekuatan yang


mengatur polarisasi antara hak dan kewajiban individu serta hak dan kewajiban kolektif
atau masyarakat. Didalam polarisasi kekuatan inilah muncul berbagai bentuk
pemerintahan yang mengatur kehidupan bersama manusia untuk mencapai kesejahteraan.
Maka munculah berbagai teori, konsep, dan pelaksanaan bagaimana mencapai
kebahagian tersebut. Didalam upanya untuk mengatur kehidupan bersama munculah
teori-teori kehidupan bersama manusia dan cara mengatur serta memimpin kehidupan
bersama tersebut. Salah satu konsep hidup bersama manusia, pemikiran mengenai
demokrasi telah seumur dengan kehidupan manusia diatas muka bumi ini. Manusia
bukanlah makhluk tak bernyawa atupun yang hidup bersama hanya berdasarkan insting
belaka.manusia adalah makhluk yang mempunyai harga diri (dignity) yang meminta
pengakuan dari sesamanya.22 Tapi akhir-akhir ini demokrasi sering dipahami dalam
konteks yang salah, sehingga kebebasan berdemokrasi sering diartikan dengan kebebasan
berdemontrasi, sehingga yang terjadi adalah pemaksaan kehendak dengan tekanan
kekerasan dengan kelmpok tertentu terhadap seseorang atau kelompok lain. Padahal
demokrasi yang sejati memerlukan warga negara yang baik. Demokrasi tidak hanya
memerlukan hukum, lembaga, atau peraturan yang mantap, tetapi yang lebih penting
darlam masyarakat yang demokratis adalah memiliki kebesaran hati, mau bekerja sama
dengan kelompok lain untuk mencapai tujuan demi kesejahteraan bersama, atau mampu
mengkombinasikan semangat untuk menegakan pendiriannya dengan suatu kesadaran
bahea seseorang tidak dapat mewujudkan semua yang diinginkannya. Untuk mendidik
warga negara yang baik, pendidikan multikultural atau demokratis mutlak dibutuhkan.23

Didalam sejarah pembentukan suatu bangsa, pendidikan telah digunakan atau salah
digunakan di dalam pembentukan bangsa tersebut. Bagi negar-negara baru yang terlepas
dari kolonialisme seperti Indonesia, pendidikan nasional telah tumbuh bersama-sama
dengan kebangkitan nasional. Bahkan pendidikan nasional telah dijadikan salah satu
sarana untuk melawan kolonialisme. Pada masa sejak jaman kemerdekaan, pendidikan
telah berperan penting didalam membangun masyarakat Indonesia. Keadaan bangsa
Indonesia pada waktu terakhir ini tidak terlepas dari jasa maupun dosa yang diperbuat
oleh pendidikan nasional. Pendidikan nasional telah berjasa melahirkan manusia-manusia
masa kini, yang pendidikannya jauh lebih baik dari pendidikan pada zaman kolonial
dalam arti kuantitatif. Pendidikan nasional tidak dapat melepaskan diri dari tanggung
jawab dalam proses pembusukan rasa nasionalime dewasa ini dan tanggung jawab moral
terhadap gejala integrasi bangsa dewasa ini.24

B. Pendidikan Multikultural Dalam Dimensi Pendidikan Nasional

Setelah kita ketahui, lahir dan berkembangnya multikulturalisme serta praktik pendidikan
multikultural dibeberapa negara yang telah melaksanakan pendidikan multikultural, kini
tibalah saatnya kita untuk mencoba menyusun konsep pendidikan multikultural yang
sekiranya dapat dikembangkan ditanah air kita sesuai dengan kondisi sosial, budaya, dan
politik ditanah air.

Pendidikan multikultural mempunyai dimensi sebagai berikut:


1. “Right to Culture” dan identitas budaya lokal. Multikulturalisme meskipun didorong
oleh pengakuan tergadap hak asasi manusia, namun akibat globalisasi pengakuan tersebut
diarahkan juga kepada hak-hak yang lain yaitu hak akan kebudayaan (right to culture).
Lahirnya identitas kesukuan sebagai perkembangan budaya mikro di indonesia, memang
semuanya itu memerlukan masa transisi yaitu seakan-akan melorotnya rasa kebangsaan
dan persatuan indonesia. Hal ini dapat dimengerti oleh karena apa yang disebut budaya
indonesia sebagai budaya mainstream belum jelas bagi kita semua. Identitas budaya
makro, yaitu budaya indonesia yang sedang menjadi memang harus terus menerus kita
bangun atau merupakan suatu proses yang tanpa ujung. Namun demikian hal tersebut
merupakan sesuatu yang harus diwujdkan oleh setiap insan indonesia dari generasi ke
generasi. Upaya untuk membangun suatu masyarakat madani indonesisa yang
berdasarkan kebudayaan indonesia.

2. Kebudayaan indonesia yang menjadi. Kebudayaan indonesia yang menjadi adalah


suatu pegangan dari setiap insan dan setiap identitas budaya mikro indonesia. Hal
tersebut merupakan suatu sistem nilai yang baru yang ini kemudian memerlukan suatu
proses yang mana perwujudannya antara lain melalui proses dalam pendidikan nasional.
Oleh sebab itu ditengah-tengah maraknya identitas kesukuan, sekaligus ditekankan sistem
nilai baru yang akan kita wujdkan, yaitu sistem nilai ke indonesiaan. Hal tersebut
bukannya suatu yang mudah karena memerlukan paradigm shift didalam proses
pendidikan bangsa indonesia. Sebagai suatu paradigma baru didalam sistem pendidikan
nasional, maka perlu dirumuskan bagaimana sistem pendidikan nasional diarahkan
kepada pemeliharaan dan pengembangan konsep negara-bangsa yaitu negara kesatuan
republik indonesia yang didasarkan kepada kekayaan kebudayaan dari berbagai suku
bangsa di indonesia.

3. Konsep pendidikan multikultural yang normatif, kita tidak bisa menerima konsep
pendidikan multikultural yang deskriftif yaitu hanya sekedar mengakakui pluralitas
budaya dari suku-suku bangsa di indonesia. Disamping pengakuan akan pluralitas budaya
kita juga harus mampu mewujudkan kebudayaan indonesia yang dimiliki oleh suatu
negara-bangsa. Adapun konsep pendidikan multikultural normatif adalah konsep yang
dapat kita gunakan untuk mewujdkan cita-cita tersebut. Untuk mewujdkan semuanya
jangan sampai konsep pendidikan multikultural normatif sebagai suatu paksaan yang
menghilangkan keanekaragaman budaya-budaya lokal. Akan tetapi konsep pendidikan
multikultural normatif harus mampu memperkuat identiatas suatu suku yang kemudian
dapat menyumbangkan bagi terwujudnya suatu kebudayaan indonesia yang dimiliki oleh
seluruh bangsa indonesia.

4. Pendidikan multikultural Merupakan suatu rekontruksi sosial, suatu rekontruksi sosial


artinya, upaya untuk melihat kembalai kehidupan sosial yang ada dewasa ini. Salah satu
masalah yang timbul akibat berkembangnya rasa kedaerahan, identitas kesukuan, dari
perorangan maupun suatu suku bangsa indonesia, telah menimbulkan rasa kelompok
yang berlebihan. Ini semua akan menyebabkan pergeseran-pergeseran horizontal yang
tidak dikenal sebelumnya.
5. Pendidikan multikultural di indonesia memerlukan pedagogik baru. Jelas kiranya untuk
melaksanakan konsep Pendidikan multikultural didalam masyarakat pluralitas tapi
sekaligus diarahkan kepada terwujdnya masyarakat indonesia baru, maka pedagogik yang
tradisional tidak dapat kita gunakan lagi. Pedagogik tradisional membatasi proses
pendidikan didalam ruangan sekolah yang sarat dengan pendidikan intelektualistik.
Sedangkan kehidupan sosial-budaya di indonesia menuntut pendidikan hati (Pedagogy of
hert) yaitu diarahkan kepada rasa persatuan dari bangsa Indonesia yang pluralistiks

6. Pendidikan multikultural bertujuan untuk mewujdkan visi indonesia masa depan serta
etika berbangsa. TAP/MPR RI Tahun 2001 No.VI dan VII mengenai visi indonesia masa
depan serta etika kehidupan berbangsa perlu dijadikan pedoman yang sangat berharga
dalam pengembangan konsep Pendidikan multikultural. Dalam hal ini perlu
dipertimbangkan menghidupkan kembali pendidikan budi pekerti terutama ditingkat
pendidikan dasar, melengkapi pendidikan agama yang sudah ditangani dengan UU No.
20 Tahun 2003.25

C. Pendidikan Nasional

Pendidikan merupakan institusi yang sangat penting bagi proses penyiapan dan
peningkatan kualitas sumber daya manusia indonesia yang benar-benar berkualitas.
Mencerdaskan kehdupan bangsa, sebagaimana disebutkan dalam pembukaan UUD 1945,
pada hakekatnya merupakan konsepsi tentang tujuan NKRI bidang pendidikan. Tujuan
negara dalam pendidikan ini rumusannya telah benar-benar selaras dengan konsepsi
kecerdasan ganda (multiple intelligence) yang dewasa ini sedang laris manis dibahas oleh
para pakar psikologi dan pendidikan sebasgai wacana hangat dalam dun ia ilmu
pengetahuan.

Mengingat rumusan tujuan negara itu amat singkat dan filosofis akademis, maka rumusan
tujuan negara dalam bidang pendidikan itu barangkali dapat dikategorikan sebagai filsafat
pendidikan nasional, yang sejak tanggal 18 Agustus 1945 telah menjadi kesepakatan
nasional. Majlis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sesbagai penjelmaan dari amanat
rakyat, telah mengesahkanya menjadi satu dari empat tujuan negara yang harus
diusahakan atau diimplementasikan secara operasional dalam kegiatan pembangunan
bidang pendidikan.

Jika “mencerdaskan kehidupan bangsa” disepakati sebagai konsensus nasional sebagai


tujuan pendidikan nasinal jangka panjang, secara operasional tujuan itu harus dijabarkan
dalam rumusan tujuan pendidikan yang lebih operasional yang akan disusun oleh pihak
eksekutif, dan selanjutnya dijabarkan lebih lanjut oleh para penyelenggara negara dalam
bidang pendidikan dalam rumusan kebijakan, program, dan kegiatan. Jika mekanisme ini
dapat diterima, kesimpang siuran tentang siapa yang berhak merumuskan tujuan
pendidikan menjadi agak jelas. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) merumuskan
filsafat pendidikan nasional, sedangkan tujuan pendidikan nasional yang lebih
operasional disusun oleh pihak pelaksana (eksekutif), yakni presiden dan jajaranya
bersama-sama dengan Dewan Perwakian Rakyat (DPR), yang dituangkan dalam
ketentuan hukum yang disebut Undang-Undang tentang sistem pendidikan nasional.26

Dengan demikian kita perlu merenungkan kembali untuk menetapkan agenda esensial
pendidikan nasional agar dapat mengisi dan merespon abad-21 yang dimana kita kenal
dengan arus globalisasi dengan tanpa keraguan dengan masa depan anak muda penerus
anak bangsa ini. Tanpa mempersiapkan masa depan mereka untuk hidup dimasa depan
mereka untuk hidup diabad-21 dengan berbagai unggulan kompetitif yang harus dimiliki,
bangsa kita akan tenggelam dalam setiap percaturan dunia yang semakin global.

Saat ini pemerintah telah memiliki program pendidikan nasional yang amat strategis,
yaitu peningkatan relevansi, efisiensi, dan kualitas pendidikan. Dari program itu memang
bisa diyakinkan bahwa pendidikan nasional kita secara makro cukup menjanjikan
penyediaan sumber daya manusia yang benar-benar memiliki kompetitif. Untuk dapat
meningkatan relevansi, efisiensi, dan kualitas pendidikan, kita harus melakukan inovasi
dunia pendidikan dalam arti yang luas secara terus menerus. Tanpa inovasi yang
sistematis, mustahil sistem pendidikan nasional akan berhasil menyentuh dan
memecahkan persoalan esensial yang berkaitan dengan aspek relevansi, efisiensi, dan
kualitas pendidikan. Agar dapat melakukan inovasi, kita juga memerlukan penelitian
diberbagai bidang dan jenjang pendidikan.

Penyelenggara pendidikan negara yang memiliki tanggung jawab yang besar dalam
menata pendidikan sebagai bagian dari perencanaan sistem nasional. Berbagai
pertimbangan menjadi perhatian untuk mengembangkan sistem tersebut, sehingga dalam
penyelenggaraanya sisitem tersebut menjadi acuan secara nasional yang dapat
menghadapi tantangan global yang menuntut pendidikan dapat berperan menyejahterakan
umat manusia.

Sistem pendidikan nasional UUSPN No. 2 / 1989 pasal 3 adalah “untuk mengembangkan
kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam
rangka upaya mewujudkan tujuan nasional”. Maka menurut fungsi tersebut jelas sekali
bahwa pendidikan diselenggarakan adalah untuk:

1. mengembangkan kemampuan manusia Indonesia

2. meningkatkan mutu kehidupan manusia Indonesia

3. meningkatkan martabat manusia Indonesia Dan

4. mewujudkan tujuan nasional melalui manusia-manusia Indonesia

oleh karena itu pendidikan di selenggarakan untuk setiap manusia Indonesia sehingga
manusia Indonesia tersebut memiliki kemampuan mengembangkan diri, meningkatkan
mutu kehidupan, meningkatkan martabat dalam rangka mencapai tujuan nasional.35
Upaya pencapaian tujuan nasional tersebut adalah untuk menciptakan masyarakat madan,
yaitu suatu masyarakat yang berperadaban yang menjunjung tingggi nilai-nilai
kemanusiaan, yang sadar akan hak dan kewajibannya, demokratis, bertanggung jawab,
berdisiplin, mnenguasai sumber informsi dalam bidang iptek dan seni, budaya dan
agama.

Sisdiknas merupakan suatu sistem dari sistem kehidupan nasional. Hal ini berarti bahwa
sistem pendidikan nasional merupakan subsistem dari pembangunan nasional. Sebagai
suatu subsistem pembangunan, administrasi sebagai faktor karsa dari SISMENNAS yang
meliputi dua hal:

1. Pengaturan partisipasi perorangan dan kelompok

2. Pengaturan kekuasaan dan kewenangan.

Dalam pengaturan partisipasi perseorangan dan kelompok masyarakat, UU No. 2 Tahun


1989 beserta PP pelaksanaannya yang sudah ada (No. 27,28,29 dan 30 Tahun 1990) telah
mengatur hak dan kewajiban perseorangan maupun kelompok masyarakat dalam
pengembangan pendidikan misalnya mengenai pendidikan swasta atau pendidikan yang
berdasarkan keyakinan tertentu serta fungsi pemerintah dalam mengatur berbagai jenis
pendidikan.27

1. Visi dan Misi Pendidikan Nasional

Secara nasional pendidikan harus mempunyai arti positif bagi bangsa. Yang dimaksud
arti positif pendidikan disini adalah harapan bersama bangsa indonesia, bahkan
merupakan kesepakatan hukum yang ditetapkan berdasarkan undang-undang yang resmi
yang termuat dalam lembaran Negara Republik Indonesia No. 78 Tahun 2003, yakni
Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional.

Dengan kedudukan seperti itu, maka pelaksanaan pendidikan nasioanl harus memiliki
visi dan misi yang jelas dan tegas. Visi dan misi itu bertumpu pada kenyataan, bahwa:

Pertama, pejalanan kehidupan berbangsa dinegara Indonesia telah dirundung konflik-


konflik yang cukup tajam, bahkan bisa mencapai eskalasi demikian tinggi sehingga
menimbulkan perpecahan dan sekaligus mengancam persatuan dan kesatuan bangsa dan
negara. Dengan mempertimbangkan kondisi seperti ini, maka visi dan misi integrasi
nasioanal menjadi prioritas pendidikan nasional. Dalam arti bahwa pendidikan nasional
harus sanggup menjadi wahana dan sarana untuk merekatkan kembali hubungan individu,
masyarakat, dan bangsa, demi tewujudnya cita-cita kemerdekaan, yakni integrasi nasional
diseluruh tanah air Indonesia.
Kedua, dalam suasana yang diliputi konflik dan perpecahan, maka tindak kekerasan pada
berbagai lapangan kehidupan bisa mencapai besaran dan kedalaman yang membahayakan
ketentraman, kedaimaian, dan kesejahteraan segenap lapisan bangsa. Sehingga tergambar
martabat kemanusiaan bangsa ini demikian merosot. Pendidikan nasional dalam konteks
demikian mengemban visi dan misi memulihkan dan meningkatkan martabat bangsa
diseluruh wilayah Tanah Air, pada segenap lapisan masyarakatnya.

Ketiga, krisis bangsa indonesia yang merambah hampir keseluruh sektor kehidupan pada
akhirnya dan pada dasarnya menggambarkan kemerosotan spiritualitas dan moralitas
luhur bangsa. Pencapaian kemajuan-kemajuan daya kemempuan dan kecerdasan
sumberdaya manusia (SDM) yang diusahakan melalui pembangunan seakan terbenam
dalam kerendahan budi. Untuk mengatasi persoalan ini maka keunggulan akhlak
keagamaan dan budi pekerti merupakan visi dan misi pendidikan nasional

Keempat, peradaban dan kebudayaan diseluruh penjuru bumi mengalami perkembangan


secara berklanjutan yang salah satu dampaknya adalah munculnya persoalaln-persoalan
kehidupan yang semakin meningkat, baik kualitas maupun kompleksitasnya.
Kelangsungan hidup manusia sebagian besar amat bergangtung kepada kualitas
kecerdasan sebagai modal dasar untuk memecahkan aneka ragam persoalan dimaksud.
Maka sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang dasar 1945, pendidikan nasional
harus menjadi wahana dan sarana menikatkan kecerdasan bangsa secara berkelanjutan
dalam rangka pendidikan sepanjang hayat (life long education).

Kelima, aneka ragam persoalan kehiduan yang semakin menigkat kualitas dan
kompleksitasnya sebagai dampak dari perkembangan peradaban dan kebudayaan secara
berkelanjutan, akan mudah diatasi dan dipecahkan tidak saja dengan kualitas kecerdasan
yang memadai, tapi harus juga disertai dengan kecakapan-kecakapan hidup spesifik yang
tepat, sesuai, dan beragam. Karenanya pendidikan nasional harus sanggup menjadi
wahana dan sarana untuk menawarkan berbagai kecakapan hidup (life skills) spesifik
yang benar-bear diperlukan.

Singkatnya, pendidikan nasional mengemban visi dan misi integrasi nasional, martabat
kemanusiaan, spiritual dan moralitas bangsa, kecerdasan, dan kecakapan hidup. Kelima
visi dan misi ini harus mengejewantah kedalam seluruh satuan sistem pendidikan
nasional sebagai sebuah usaha proyeksi masadepan bangsa yang lebih baik. Artinya,
segenap manusia yang terlibat dalam proyek perndidikan harus mengacu kearah visi dan
misi diatas. Mulai dari pemerintah, masyarakat, dan bangsa ini secara keseluruhan dan
bersama-bersama.28

Pameo umum mengatakan bahwa Indonesia tidak mempunyai tujuan pendidikan yang
jelas. Setiap ganti pemerintahan, ganti menteri ganti kebijakan. Selain itu, tidak ada
sesuatu yang mengikat dan menunjang sistem pendidikan nasional dalam mencapai
tujuan nasional. Masing-masing sektor dikenal mempunyai egoisme sektoral yang sangat
kuat sehingga berjalan sesuai keinginannya masing-masing. Sistem pendidikan nasional
menunjang berbagai program dengan menyiapkan sumber daya manusia yang
dibutuhkan. Sebaliknya sektor-sektor yang berjenis-berjenis itu membantu perkembangan
suatu sistem pendidikan yang mantap dan berkelanjutan. Sarana pendidikan disediakan
cukup, disertai dengan pengembangan sumberdaya manusia untuk melaksanakan
program-program sistem nasional tersebut dengan penyediaan tenaga (guru) yang
mendapat penghargaan yang setimpal.

Amandemen IV Undang-Undang dasar 1945 dengan baik merumuskan pentingnya


pendidikan didalam pembangunan bangsa. Untuk mencapai tujuan yang mulia tersebut
ditentukan anggaran belanja pendidikan didalam APBN / APBD sekurang-kurangnya 20
%. Pada tahun 2004 angka 20 % APBN / APBD merupakan angin surga yang tidak
terwujud. Bahkan ada beberapa daerah atau Kabupaten yang sangat minim memberikan
perhatian terhadap pendidikan.29

Selain amandemen IV Undang-Undang Dasar 1945 maka pada Tahun 2003 kita
mempunyai Undang-Undang sistem pendidikan yang baru. Kita masih ingat hiruk-pikuk
dinamika masyarakat pada waktu persiapan dan pengesahan Undang-Undang tersebut.
Salah satu yang mengganjal didalam proses pengesahan Undang-Undang tersebut adalah
apa sebenarnya yang dimaksud dengan”pendidikan yang berkualitas” akhirnya, Undang-
Undang tersbut dapat merumuskan tujuan pendidikan yang sangat ideal dan yang sangat
bagus namun menimbulkan kesulitan didalam pelaksanaanya karena terlalu abstrak dan
sangat sulit diwujudkan.

BAB IV

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM SISDIKNAS DI


INDONESIA

Dalam bab ini penulis akan menganalisa tentang konsep pendidikan Multikultural dalam
Sistem pendidikan nasional di Indonesia, Memperbincangkan konsep pendidikan
multikultural ditengah kehidupan masyarakat yang masih rawan konplik bernuansa
SARA seperti sekarang tentunya sangat signifikan. Mungkin dengan pendidikan
multikultural dapt menjadi salah satu solusi bagi pendidikan di Indonesia. Apalagi
semenjak ada himbauan presiden megawati sukarno putri kepada departemen agama
untuk mengembangkan pola pendidikan agama yang berwawasan multikultural. Hingga
kini belum muncul respon sungguh-sungguh untuk menindaklanjutinya. Wacana
pendidikan multikulturalisme memang sempat menghangat di mass media dan banyak
menjadi bahan diskusi di sejumlah forum, tapi sayangnya tidak diikuti dengan sejumlah
upaya secara sungguh-sungguh dan kontinue untuk mempormulasikannya kedalam
gagasan yang lebih aflikatif. Bahkan dapat dikatakan, upaya mempromosikan konsep
pendidikan multikultural sebagai bagian dari upaya meredam potensi konflik horisontal
maupun vertikal bangsa akibat salah paham soal SARA belum berjalan secara signifikan.
Sebaliknya para elit politik dan elit agama, atau pakar ilmu sosial dalam menganalisis
akar persoalan konplik cenderung menjadikan kesenjangan ekonomi dan sosial sebagai
kambing hitam. Amat sedikit yang mau mengakui kalau persoalan kpnplik dan kekerasan
itu berkait erat dengan praktik pengajaran (pendidikan) agama dan moral yang belum
memupuk kerukunan bersama.

Sebagai implikasinya, upaya-upaya memperlunak kebekuan dan mencairkan kekakuan


pemikiran keagamaan dan kemanusiaan dari masing- masing agama dan budaya belum
dianggap terlalu penting untuk digiring kearah pendidikan. Mulai dari segi materi dan
metodelogi yang diajarkan disekolah, pesantren, seminar, dan masyarakat umumnya,
memiliki kencenderungan untuk mengajarkan pendidikan agama secara parsial (kulitnya
saja). Materi pendidikan agama, misalnya, lebih terfokus pada upaya mengurusi masalah
keyakinan seorang hamba dengan tuhannya. Seakan-akan masalah surga atau kebahagian
hanya dapat diperoleh dengan cara ibadah atau aqidah saja. Sebaliknya pendidikan agama
kurang peduli dengan isu-isu umum semacam sikap antikorupsi, wajibnya transformasi
sosial, dan kepadulian terhadap sesama.

Multikulturalisme merupakan pilihan atau resiko yang perlu diambil oleh keputusan
masyarakat bangsa indonesia agar dapat survive dimasa depan. Multikulturalisme
merupakan suatu resiko yang perlu diambil didalam membina masyarakat bangsa
Indonesia. Diatas konsep multikulturalisme inilah diambil keputusan-keputusan yang
rasional, demokratis, paham pengembangan liberalisme yang tepat, pengakuan terhadap
kebhinekaan budaya masyarakat dan bangsa Indonesia, adanya kebebasan beragama dan
beribadah sesuai dengan keyakinannya, demikian pula membangun masyarakat Indonesia
yang multikultural, serta menjaga persatuan dan kesatuan serta tekad untuk membangun
suatu dunia yang lain, yaitu dunia yang bebas dari kemiskinan serta pengakuan terhadap
hak asasi semua manusia Indonesia.

Fenomena diatas tentu saja patut disesalkan. Pasalnya, saat ini konsep pendidikan
multikulturalisme yang berintikan penekanan upaya internalisasi dan karakterisasi sikap
toleransi terhadap perbedaan agama, ras, suku, adat dan lain-lain dikalangan peserta didik
sangat kita butuhkan. Alasannya, kondisi situasi bangsa saat ini belum benar-benar steril
dari ancaman konplik etnis dan agama, radikalisme agama, separatisme, dan disintegrasi
bangsa. Bahkan dapat dikatakan serangkaian kerusuhan yang memakan ribuan korban
tewas seperti kasus pekalongan (1995), Tasikmalaya (1996), Rengasdengklok (1997),
Sanggauledo, Kalimantan Barat (1996 dan1997), Ambon dan Maluku sejak 1999, sampai
Sampit, Kalimantan Timur (2000) sewaktu-waktu bisa dapat terjadi jika tanpa antisipatif
secara dini.untuk itu, menghadirkan konsep pendidikan multikultural merupakan bagian
dari usaha komprensif dalam mencegah dan menanggulangi konflik bernuansa SARA.

Disamping itu, kita juga telah berkomitmen untuk mewujudkan tatanan masyarakat
indonesia baru yang lebih toleran dan dapat menerima dan memberi didalam perbedaan
budaya (multikultural), demokratis dalam perikehidupannya (democratizatioan), mampu
menegakkan keadilan dan hukum (law enforcement), memiliki kebangsaan diri baik
secara individual maupun kolektif (human dignity) serta mendasarkan diri pada
kehidupan beragama dalam pergaulannya (religionism).1

Menurut Zakiyuddin Baidhawy Menyatakan:s


Bahwa paradigma pendidikan multikultural mencakup subjek-subjek tentang
ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan kelompok-kelompok
minoritas dalam berbagai bidang sosial, budaya ekonomi, dan lain-lain. Pendidikan
multikultural yang mulai berkembang di Indonesia lebih diarahkan agar semua entitas
bangsa dapat masuk kedalam lembaga yang disebut pendidikan, tanpa memandang
miskin, kaya, priyayi, santri, dan seterusnya. Mengajarkan multikulturalisme lebih dari
memastikan bahwa peserta didik dalam suatu kelas atau sekolah belajar dar berbagai latar
belakang.2

Kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia diberkahi dengan kenyataan adanya


berbagai budaya etnis sebagaimana yang diakuai didalam lambang negara “Bhineka
Tunggal Ika.” Lambang negara tersebut bukan sesuatu yang telah jadi tapi yang menjadi.
Oleh sebab itu Bhineka Tunggal Ika merupakan pengertian kesejarahan masyarakat dan
bangsa Indonesia karena menunjukan keadaan masa lalu, persoalan masa kini, dan tugas
untuk mewujudkannya dimasa yang akan datang. Keanekaan Indonesia kemudian
dikenali, diakui, dan dikukuhkan di dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi
pedoman kehidupan bangsa Indonesia secara menyeluruh dan yang berlaku hingga saat
ini, sebagai realisasi dari rumusan abstrak pengenalan, pengakuan, dan pengukuhan
keanekaan itu, di bangun berbagai program pendokumentasian, pemahaman dan
pelestaraian aneka budaya bangsa Indonesia sebagaimana yang tampak dalam berbagai
program pembangunan dimasa Orde Baru. Proses ini merupakan suatu proses yang
berkisanambungan tanpa akhir, karena merupakan suatu tugas dari setiap anggota
masyarakat Indonesia yang terdiri dari berjenis-jenis etnis untuk bertekad membangun
suatu masyarakat yang bersatu. Multikulturalisme merupakan suatu masalah yang
mendasar, yang berkesinambungan, dan yang menentukan mati hidupnya negara-bngsa
Indonesia.

Menurut Franz Magnis Suseno:

Didalam masa kritis yang dilewati oleh bngsa Indonesia pada akhir-akhir ini, dengan
terjadinya berbagai gesekekan horizontal, menunjukan gejala-gejala pengkhianatan
terhadap tiga asas kehidupan masyarakat bangsa Indonesia yaitu: Pertama, pengkhianatan
terhadap sumpah pemuda tahun 1928, yaitu keinginan untuk membangun satu bangsa,
yaitu bangsa Indonesia. Kedua, pengkhianatan terhadap kesepakatan untuk hidup
bersama dibawah payung Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terlihat gejala-gejala
separatisme untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Gerakan
ini tentunya lahir karena kekhilafan-kekhilafan yang kita buat, antara lain dengan
meremehkan eksistensi kebhinekaan budaya bangsa Indonesia dan terlalu mementingkan
budaya dari satu-dua kelompok entis saja. Ketiga, penghianatan terhadap ikrar bersama
untuk hidup rukun, penuh toleransi, karena diikat oleh satu tujuan yaitu ingin
membangun satu masyarakat ynag adil dan makmur untuk seluruh masyarakat.2
Hingga saat ini, wacan pendidikan multikultural di Indonesia belum tuntas dikaji oleh
berbagai kalangan, termasuk para pakar dan pemerhati pendidikan sekalipun. Penelitian
ini dimaksudkan sebagai sumbangsih pemikiran terhadap fenomena aktual tentang
wacana baru dalam dunia pendidikan di Indonesia, yakni pendidikan multikultural.

Perlu diketahui, bahwa di Indonesia pendidikan multikultural relatif baru dikenal sebagai
suatu pendekatan yang dianggap lebih sesuai bagai masyarakat Indonesia yang heterogen,
plural. Terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi yang baru diberlakukan sejak
Tahun 1999 hingga saat ini. Pendidikan multikultural yang dikembngkan di Indonesia
sejalan dengan pengembangan demokrasi yang dijalankan sebagai counter terhadap
kebijakan desenttralisasi dan otonomi daerah (otoda).

Menurut Azumardi azra:

pada level nasional, berakhirnya sentralisme kekuasaan yang pada masa orde baru
memaksakan monokulturalisme yang nyaris seragam, memunculkan reaksi balik, yang
mengandung implikasi negatif pada rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang
multikultural.” Berbarengan dengan otonomisasi dan desentralisasi kekuasaan
pemerintah, juga terjadi peningkatan fenomena atau gejala “ provinsialisme” yang hampir
tumpang tindih dengan “etnisitas.” Kecenderungan ini jika tidak terkendali, akan dapat
menimbulkan tidak hanya disintegrasi sosio-kultural yang amat parah, bahkan juga
disintegrasi politik.3

A. Pendidikan Multikultural dan Tantangan Globalisasi

Globalisai adalah proses pertumbuhan negara-negara maju, yaitu Amerika, Eropa dan
jepang yang melakukan ekspansi besar-besaran. Kemudian berusaha mendominir dunia
dengan kekuatan, globalisa juga merupakan proses yang berlangsung panjang dan
bergerak maju secara dramastis dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini,
dikendalikan oleh banyak kekuatan termasuk teknolgi baru dan bertambahnya arus modal
secara bebas. Dalam menghadapi tantangan globalisasi yang sedang melanda dunia,
Maka dunia pendidikan harus mempersiapkan untuk menghadapi tantangan globalisasi
pada semua jenjang pendidikan yang dapat dikembangkan menjadi satuan pendidikan
yang bertarap internasional, baik oleh pemerintah pusat maupun oleh pemerintah daerah
(pasal 50 ayat 3) untuk itu perlu dibentuk suatu badan hukum pendidikan, sehingga
semua penyelenggara pendidikan dan satuan pendidikan formal, baik yang didirikan oleh
pemerintah maupun masyarakat, harus berbentuk badan hukum pendidikan (pasal 53
ayat1). Badan hukum pendidikan yang dimaksud akan berfungsi memberikan pelayanan
kepada peserta didik (pasal 53 ayat 2). Dengan demikian, badan hukum pendidikan akan
memberikan landasan hukum yang kuat kepada penyelenggara pendidikan dan satuan
pendidikan nasional yang bertaraf internasional dalam menghadapi persaingan global.

Dalam menghadapi globalisasi, maka penyerapan tenaga kerja akan ditentukan oleh
kompetensi, yang diberikan oleh penyelenggara satuan pendidikan yang terakreditasi atau
lembaga sertifikasi kepada peserta didik dan masyarakat yang dinyatakan lulus setelah
mengikuti uji kompetensi tertentu (pasal 61 ayat 3). Kemajuan komunikasi yang global
seperti internet, juga telah membawa dampak terhadap pendidikan moral kita, lihat saja
dengan adanya internet dengan mudahnya gambar-gambarfornografi diakses oleh anak-
anak usia sekolah melalui teknologi informasi itu. Hal ini merupakan tantangan bagi
dunia pendidikan kita, yang diamana di satu sisi harus mengikuti kemajuan ilmu dan
teknologi disisi lain berimplikasi kepada rusaknya nilai-nilai moral akibat berbenturan
dengan nilai budaya luar seiring dengan kemajuan informasi yang mengglobal. Adapun
Dalam mengantisifasi perkembngan global dan kemajuan teknologi komunikasi, maka
pendidikan jarak jauh diakomodasikan dalam Sisdiknas, sebagai paradigma baru
pendidikan. Pendidikan jarak jauh tersebut dapat diselenggarakan pada semua jalur,
jenjang, dan jenis pendidikan, yang berfungsi untuk memberi pelayanan pendidikan
kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka
atau reguler (pasal 31 ayat 1dan 2).4

Menurut Chirzin:

Proses globalisasi dengan percepatan mengglindingnya liberalisasi ekonomi dan sistem


perdagangan bebas secara global, menghadapkan dunia pendidikan pada tantangan-
tantangan baru yang tidak sederhana. Globalisasi membuat dunia menjadi sebuah
kampung kecil yang memudahkan setiap warga dunia untuk berhubungan dan saling
mempengaruhi satu sama lain. Situasi yang demikian mengakibatkan terbukanya ide atau
gagasan dari satu tempat ketempat lain sehingga sulit disensor jika bertentangan dengan
nilai-nilai budaya penerima ide atau gagasan.5

Dalam perkembangannya pendidikan di Indonesia mengalami perubaha-perubahan yang


boleh dikatakan agak lumayan maju,walaupun belum sepenuhnya memenuhi target dari
tujuan bangsa Indonesia itu sendiri. Pendidikan hadir di tengah-tengah masyarakat
memiliki banyak fungsi yang tidak hanya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi
juga berfungsi sebagai pencerdasan diri, sosial, negara bangsa, bahkan dunia. Lebih
khusus di Indonesia karena, Hal ini sangat relefan sekali dengan konsep pendidikan
multikultural yang dimana pendidikan ini tidak mempeta-petakan baik itu bahasa, etnis,
kultur, budaya, ras, agama, status sosial, dan lain sebagainya. Fungsi pendidikan sedikit
disinggung pada babII pasal 3 dalam UU Sisdiknas 2003, bahwa fungsi pendidikan
nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.6
Ada beberapa fungsi pendidikan sebagaimana tela dikemukakan diatas. Setidaknya hal
itu bisa dilihat dalam dua presfektif. Pertama, secara sempit, pendidikan berfungsi untuk
membantu secara sadar perkembangan jasmani dan rohani para peserta didik. Kedua,
secara luas, pendidikan berfungsi sebagai pengembangan pribadi, pengembangan warga
negara, pengembangan kebudayaan dan pengembangan bangsa. Dalam pemaparan diatas
maka jelas pendidikan sangat penting sekali untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan
makamur dan yang inklusif bagi semua lapisan masyarakat Indonesia. Pendidikan juga
Selain berfungsi sebagaimana yang telah disebutkan diatas, pendidikan bisa juga
berfungsi sebagai investasi jangka panjang.

Menurut Nurkolis:

Pendidikan sebagai investasi jangka panjang sumber daya manusia (SDM) Indonesia
masih sangat lemah untuk mendukung perkembangan industri dan ekonomi.
Penyebannya pemerintah selama ini tidak pernah menempatkan pendidikan sebagai
prioritas terpenting. Masyarakat Indonesia, mulai dari yanga awam hingga politisi hingga
pejabat pemerintah, hanya berorientasi mengejar uang untuk memperkaya diri sendiri dan
tidak pernah berfikir panjang.

B. UU Sisdiknas Kearah Pendidikan Multikultural

Pameo masyarakat mengenai sistem pendidikan nasional kita yang mengatakan, ganti
mentri pendidikan, pasti bakal ganti peraturan, agaknya mengandung kebenaran.
Kenyataan yang muncul setiap ganti mentri biasanya adalah berubahnya orientasi, alokasi
anggaran, kurikulum baik mengenai volume kurikulum muatan nasional (kurnas) dan
kurikulum muatan lokal (kurlok), atau mengenai prosentase jam mata pelajaran.
Khususnya antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum, dan atau mengenai penekanan-
penekanan khusus orientasi kurikulum yang dibangun seperti metode CBSA, Manajemen
Berbasis Sekolah (Scool Based Management), Sekolah Berbasis Kompetensi (School
Based Competence), dan Sekolah Berbasis Masyarakat (Scool Based Community) dan
aturan-aturan lain kependidikan lainnya, seperti kepangkatan guru atau dosen,
karakteristik kelulusan, akreditasi, dan kelayakan sistem sekolah. Kebijakan yang
dikeluarkan tak pelak mengundang kritik dan sekaligus harapan bagi keberadaan sistem
pendidikan yang lebih baik.

UU Sisdiknas 2003, misalnya, adalah salah satu Undang-Undang yang sarat kontroversi.
Hal ini terlihat dari proses pengesahan rancangan Undang-Undang tersebut. Masyarakat
pendidikan terbelah antara yang pro dan yang kontra. Reaksi atas RUU Sisdiknas cukup
masif, tidak saja dipusat(Jakarta), tetapi juga di beberapa daerah di Indonesia seperti
Medan, Palembang, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Manado, Makasar, dan Nusa
Tenggara Timur. Semua sivitas akademika perguruan tinggi dan sekolah-sekolah
berdemontrasi berkenaan dengan RUU Sisdiknas itu sebagai usaha memperjuangkan
aspirasinya baik yang pro maupun yang kontra yang sesuai dengan visi, misi, dan tradisi
yang dianutnya. Bahkan para pemuka agama dan mayarakat khususnya islam dan kristen
tampil kepermukaan untuk menuarakan apa yang seharusnya dikukuhkan dalam RUU
Sisdiknas. Jika dipetakan secara terbuka akan tersibak dua kubu yang kontroversial
demikian, mayoritas penganut agama Islam cenderung menyetujui dan sedangkan
penganut agama Kristen cenderung tidak setuju.

Ketetapan UU Sisdiknas 2003, sebagai usaha”Politik” kearah cita-cita bersama yang


mulia, ternyata menuai kontraversi dan kritikan. Gelombang reaksi yang pro dan kontra
begitu memanas dari masyarakat khususnya begitu juga bagi para pelaku pendidikan dan
pemuka agama yang masing-masing berseteru ingin menyampaikan dan sekaligus
mempertahankan aspirasinya.

Pertama, RUU Sisdiknas mengemuka pertama kali karena adanya dua versi: Versi DPR
(27 Mei 2002) dan Versi pemerintah (20 dan 28 Februari 2003). Dengan adanya dua versi
ini kemudian melahirkan polemik yang membawa kontroversi dan kecurigaan
dimasyarakat. Masyarakat menilai bahwa pembahasan RUU itu, baik di DPR maupun di
pemerintah, sarat akan pelbagai kepentingan politik.

Kedua, RUU Sisdiknas dinilai oleh mereka yang kontra bahwa negara ingin mengambil
alih peran keluarga secara menyeluruh dalam konteks pendidikan agama. UU Pendidikan
yang sejatinya perlu membangun sistem pendidikan yang membebaskan (Fredom for)
dipandang menjadi kerdil karena terjebak pada sentralisme yang terlalu kuat (Pasal 58
Ayat 2, Pasal 6, dan Pasal 63).

Ketiga, RUU Sisdiknas mengesankan mengebiri dan mengerdilkan anak didik dalam
pengetahuan keagamaan. Dalam pandangan mereka anak didik dinilai hanya
diperkenalkan hanya mempelajari dan memahami agamanya sendiri. Namun dalam
pandangan sebagian orang yang lain, bahwa didalam lembaga pendidikan terdapat unsur-
unsur pembelajaran informal disamping formal. Keakraban yang dinamis dan harmonis
dikalangan pelajar yang beragam akan terjalin bilamana masing-masing pelajar secara
umum mengenal atau mengetahui ajaran agama lain. Dengan mengerti agama-agama lain
maka dimungkinkan para anak didik dapat berkomunikasi dengan lebih berempati, saling
terbuka, kerja sama lebih erat, dan lebih menerima dan menghargai kawan yang
beragama lain. Tentu hal yang demikian akan mengharuskan adanya Guru atau peserta
didik yang inklusif agar tercipta suasana keterbukaan yang menghargai antar sesama
perbedaan, untuk mewujudkan masyarakat yang menerima atas segala perbedaan yang
ada dalam masyarakat dan bangsa Indonesia kita ini.7

BAB V

PENUTUP
A. Kesimpulan

Dari pemaparan diatas, maka penulis memperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut:

Krisis multidimensi yang dialami negeri ini, diakui atau tidak merupakan bagian dari
problem kultural yang salah satu penyebabnya adalah keragaman kultur yang ada dalam
masyasarakat kita. Keragaman itu sendiri adalah rahamat Tuhan yang dianugerahkan
pada bangsa dan negeri ini. Karena dengan begitu, semua kita dapat saling mengenal dan
bahu membahu dalam membangun sebuah negeri.

Namun disisi lain, apabila kita tidak dapat melihat sisi positif didalamnya, keragaman itu
dapat menjadi salah satu sumber malapetaka yang dapat mengakibatkan adanya
kecurigaan dan rasa saling tidak percaya dari satu kelompok terhadap kelompok-
kelompok yang lain. Diantaranya adalah diskriminasi, ketidak adilan, dan pelanggaran
terhadap hak-hak azasi manusia (HAM) yang terus terjadi hiangga hari ini dengan segala
bentuknya seperti kriminalitas, korupsi, politik uang, kekerasan dalam rumah tangga,
kekerasan terhadap perempuan dan anak, pengesampingan hak-hak minoritas,
pengesampingan terhadap nilai-nilai budaya lokal,,kekerasan antar pemeluk agama dan
sebagainya adalah wujud nyata dari problematika kultural yang ada.

Salah satu upaya preventif untuk membangun kesadaran dan pemahaman generasi masa
depan akan pentingnya selalu menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, demokrasi,
kemnusiaan dan pluralisme dalam pergaulan didalam masyarakat yang mempunyai latar
belakang kultural yang beragam adalah dengan melalui penerapan pendidikan
multikultural. Karena strategi dan konsep pendidikan ini tidak hanya bertujuan agar
peserta didik memahami dan ahli dalam disiplin ilmu yang dipelajarinya. Akan tetapi,
juga bagaiman caranya agar siswa mempunnyai, sekaligus dapat mempraktekan nilai-
nilai pluralisme, demokrasi, humanisme dan keadilan terkait dengan perbedaan kultural
yang ada disekitar kita. Dengan diterapkannya konsep dan strategi ini, diharapkan segala
bentuk diskriminasi, kekerasan dan ketidak adilan yang sebagian besar dilatar belakangi
oleh adanya perbedaan kultural seper ti perbedaan agama, ras, etnis, bahasa, kemampuan,
gender, umur dan kelas sosisal-ekonomi dapat diminimalkan.

Agar tujuan pendidikan multikultural ini dapat dicapai, maka diperlukan adanya peran
serta dan dukungan dari guru atau dosen, institusi pendidikan dan para pengambil
kebijakan pendidikan lainya. Guru atau dosen perlu memahami konsep dan stategi
pendidikan multikultural agar nilai-nilai utama yang terkandung dalam strategi dan
konsep pendidikan tersebut seperti pluralisme, demokrasi, humanisme, dan keadilan
dapat juga diajarkan sekaligus dipraktekkan dihadapan para siswa sedemikian rupa,
seorang guru atau dosen tidak hanya bertanggung jawab agar peser ta didik mempunyai
pemahaman dan keahlian terhadap mata pelajaran yang diajarkanya, akan tetapi juga
bertanggung jawab untu k menanamkan nilai-nilai kemanusiaan, demokrasi, keadilan dan
pluralisme.
Disamping itu, perlu juga dukungan dari sekolah atau kampus sebagai sebuah institusi
pendidikan. Dukungan ini dapat diwujudkan dengan menerapkan konsep dan strategi
pendidikan multikultural kedalam tujuan pembelajaran, kurikulum, dan menejemen
pendidikan yang diterapkan sekolah.

Dukungan lain yang akan sangat berarti bagi pengembangan pendidikan multikultural
adalah dari para pengambil kebijakan baik dari pemerintah tingkat pusat, maupun di
daerah ditingkatan institusi pendidikan itu sendiri, seperti kepala sekolah, komite sekolah
maupun kepala adminstrasi sekolah. Dukungan ini sangat penting meskipun dalam era
otonomi daerah sekarang ini para pengambil kebijakan di daerah mempunyai hak
berinistiatif, membuat dan menerapkan kebijakan lokal masing-masing. Akan tetapi kerja
sama dan kesamaan persepsi, serta tujuan para pengmbil kebijakan di daerah dan pusat
dapat memaksimalkan pengemabngan pendidikan mmultikultural ini. Akhirnya, dengan
adanya dukungan dari guru atau dosen institusi pendidikan dan para pengambil kebijakan
lain, baik dipusat maupun daerah, diharapkan penerapan pendidikan multikultural ini
dapat di implementasikan secara maksimal dan efektif.

Harapan dari semua ini adalah bahwa institusi pendidikan kita, dari tingkat dasar hingga
perguruan tinggi, dapat menghasilkan lulusan sekolah atau universitas yang tidak hanya
mempunyai kemampuan kognitif (pengetahuan), dan psikomotorik (keterampilan),
melainkan juga mempunyai sikap (afektif) yang demokratis, humanis, pluralis dan adil.

Bangunan Indonesia baru atau perombakan tatanan kehidupan orde baru adalah sebuah
“masyarakat multikultural Indonesia” yang didirikan diatas puing-puing tatanan
kehidupan orde baru yang bercorak “masyarakat majemuk ”(plural society). Sehingga,
corak masyarakat Indonesia yang bhineka tunggal ika bukan lagi keanekaragaman suku
bangsa tetapi juga keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesi.

Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multikutural yaitu, sebuah
ideologi yang mengakui dan mengagumkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara
individual dan secara kebudayaan.

Dari ringakasan diatas, kita bisa mendapatkan gambaran secara umum tentang konsep
pendidikan dan konsep multikulturalisme. Maka, penulis dapat menyimpulkan dari hasil
pemaparan diatas tentang bagaimana konsep pendidikan multikultural dan
signifikansinya di Indonesia yang diantaranya adalah:

1. Pendidikan multikultural sebagai sarana alternatif pemecahan konflik sosial. Spektrum


kultur masyarakat Indonesia yang amat beragam menjadi tantangan bagi dunia
pendidikan guna mengolah perbedaan tersebut menjadi suatu aset, bukan sumber
perpecahan. Saat ini, pendidikan multikultural mempunyai dua tanggung jawab besar:
menyaiapkan bangsa Indonesia untuk menghadapi arus budaya luar di era globalisasi dan
menyatukan bangsa sendiri yang terdiri dari berbagai budaya.
2. pendidikan multikultural sebagai pembina agar sisiwa tidak tercerabut dari akar
budayanya selain sebagai sarana alternatif perpecahan konflik, pendidikan multikultural
juga signiifikan dalam membina siswa agar mereka tidak tercerabut dari akar budaya
yang dimiliki sebelumnya tatkal berhadapan dengan realitas sosial dan budaya di era
globalisasi.

3. sebagai landasan pengembangan kurukulum penidikan nasional. Daam melakukan


pengembangan kurikulum sebagai titik tolak dalam proses belajar mengajar, atau guna
memberikan sejumlah materi dan isiu pelajaran yang harus dikuasai siswa dengan ukuran
atau tinfgakatan tertentu, maka pendidikan multikultural sebagai landasan pengembangan
kurikulum menjadi sangat penting.

4. Menciptakan masyarakat multikultrural. Cita-cita reformasi untukl membangun


Indonesia baru harus dilakukan dengan cara membangun kembali dari hasil perombakan
terhadap keseluruhan tatanan kehidupan yang dibangun oleh orde baru. Inti dasri cita-cita
tersebut adalah terwujudnya sebuah masyarakat sipil yang demokratis, ditegakkanya
hukum untuk supremasi keadilan, pemerintah bebas KKN, terwujudnya keteraturan sosial
dan rasa aman dalam kehidupan masyarakat yang menjamin kelancaran produktivitas
warga madsyarakat, dan kehidupan ekonomi yang menyejahterakan rakyat Indonesia.

B. Saran-Saran

Dalam penulisan skripsi ini, perlu kiranya penulis memberikan saran kepada berbagai
pihak, utamanya para stake holder, praktis, pemerhati masalah pendidikan dan
multikulturalisme di Indonesia, sebagai berikut:

1. Kepada pemerintah khususnya, supaya merespon arus globalisasi yang secara langsung
maupun tidak berdampak pada sendi-sendi dunia pendidikan nasionl di Indonesia.
Utamanya, menyangkut isu global saat ini yaitu pendidikan multikultural. Maka,
pemerintah hendaknya mnemikirkan secara srius realitas multikultural di Indonesia
dengan memasukkan kurikulum yang berdasar pada semangat multikulturalisme.

2. Kepada praktisi pendidikan (guru, dosen, staf pengajar, ustadz, dll), hendaknya
hendaknya menanamkan nilaui-nilai multikulturalisme dalam proses belajar mengajar
(PBM) dengan cara memberikan menyangkut relitas multikultural dan mempraktekkan
dalam kehidupan nyata, sehingga peserta didik memiliki kompetensi nilai-nilai
multikulturalisme.

3. Kepada pengamat dan pemerhati masalah pendidikan, agar terus berusaha


membumikan wacana pendidikan multikultural melalui berbagai media, baik media
massa maupun media elektronik, atau media-mesia lain yang lebih efektif dan efesien.

4. Dan kepada semua elemen masyarakat dan civil siciety, agar bekerja sama dalam
mewujudkan masyarakat multikulturalisme (bhineka tunggal ika) sebagaimana telah
diperjuangkan oleh para praktisi pendidikan negeri ini.
DAFTAR PUSTAKA

Ainul, Yaqin. Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Pilar Media, 2005.

Al Barry, M. Dahlan. Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arloka, 2001.

Arifin, Thoha, Zaenal. Kenylenehan Gusdur, Jakarta: Gama Media, 2005.

Batubara, Muhyi. Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Ciputat Press, 2004.

Cahyono, Imam“Mandeknya Pemikiran Pendidikan”, Kompas, 18 Januari 2007.

Dawam, Ainurrofiq. Emoh Sekolah, Yogyakarta: Inspealahimas Karya Press, 2003.

………, Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Inspeal, 2006.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Jakarta:


Balai Pustaka, 1996.

Fadjar,Malik. Holistika Pemikiran Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.

………, Platform Reformasi Pendidikan Dan Pengembangan Sumber Daya Manusia,


Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Idris, Jamaluddin. Kompilasi Pemikiran Pendidikan, Yogyakarta: Taufiqiyah Sa’adah,
2005.

Imron, Ali. Kebijaksanaan Pendidikan Di Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara, 2002.

Kartono, Kartini. Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Pradnya Paramita, 2004.

Mahfud Choerul. Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006

Mudyahardjo, Redja. Pengantar Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.

Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. IAIT Press, Kediri,2005.

Pidarta, Made. Landasan Kependidikan, Jakarta: Rineka Karya, 1997.

Saala, Saiful, H. Administrasi Pendidikan Kontemporer, Bandung: Alfa Beta, 2006.

Setiawan, Benni. Manifesto Pendidikan Di Indonesia, yogyakarta: Ar-Ruzz, 2006.

Sumartana. Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama Di Indonesia, Yogyakarta:


pustaka Pelajar, 2001.
Suharto, Toto. Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: Ar-ruz Media, 2006.

Standar nasional Pendidikan, Bandung: Fokus Mrdia, 2005.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem pendidikan


asional, Surabaya: Media Centre, 2005.

Suparlan. Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, Yogyakarta: Hikayat, 2004.

Susetyo, Benny. Politik Pendidikan penguasa, Yogyakarta: Lkis, 2005.

Suwignyo, Agus.“Menuntut Globalisasi Yang Manusiawi,” Kompas, 15 Februari 2007.

Suyanto. Pendidikan Di Indonesia Memasuki Milenium III, Yogyakarta: Adicita Karya


Nusa, 2000.

Tilaar, H.A.R. Multikulturalisme tantangan-tantangan global masa depan dalam


transformsi pendidikan nasional, Jakarta: Grasindo, 2004.

………, Manajemen Pendidikan Nasional, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003.

………, Pendidikan,Kebudayaan, dan masyarakat Madani Indonesia, Jakarta: Rineka


Cipta, 2004.

Tholkhah, Imam. Membuka Jendela Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
Yunus Firdaus, M. Pendidikan Berbasis Realitas Sosial, Yogyakarta: Logung Pustaka,
2005.

Zuhairini. Filsafat pandidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1995.

Zubaedi. Pendidikan Berbasis Masyarakat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.


Transformer

Ngelihat karya Bang Steven bikin aku tambah ngiler aja nanti filmnya yang lain, keren
banget-banget-banget-banget ga ampe kepikiran Film kartun bisa dibikin animasi kaya
gitu bikinnya pake flash apa ya' apa 3Dmax he-he-he.

You might also like