You are on page 1of 5

TUGAS

Nama : Ali Tawasaubilhaq

NIM : 26.09.4.2.004

Mata Kuliah : Filsafat Nilai

Dosen : Drs. Wardoyo, MM

FILSAFAT NILAI

Dalam kajian Filsafat, ada 2 obyek filsafat yaitu obyek formal dan obyek
material. Obyek formal yaitu pemikiran yang mendalam, sedangkan obyek material
yaitu segala sesuatu yang ada. Menurut Aristoteles ada 10 pokok pengertian umum
filsafat yang terdiri dari 1 Substansi dan 9 aksident. Substansi yaitu sesuatu hal yang ada
tidak disebabkan oleh hal lain tetapi mengadakan hal yang lain dan bersifat tetap atau
tidak berubah (manusia,hewan,tumbuhan,dan benda). Sedangkan Aksident yaitu sesuatu
hal yang disebabkan hal yang lain dan tidak bisa mengadakan yang lain dan bersifat
tidak tetap atau berubah (kualitas,kuantitas,relasi,tempat, … ). Semakin banyak aksident
yang melekat didalam substansi maka semakin jelas dan konkret.

Maka Filsafat nilai adalah Kebenaran “nilai” sangat relatif. Filsafat sebagai
obyek formal yaitu mencari sebuah kebenaran, sedangkan Nilai sebagai obyek material
yaitu berpikir secara mendalam tentang sesuatu hal yang kompleks, sehingga kebenaran
nilai bersifat relatif dan kompleks.

Nilai substansi dalam suatu obyek “tetap” melekat dan ditentukan oleh penilaian
obyektif dan penilaian subyektif. Maka dalam Persoalan Nilai terdiri dari :

1. Benar – salah dalam logika


2. Baik – buruk dalam Etika
3. Indah – tidak indah dalam Estetika

1
4. Keagamaan dalam keyakinan / religius

Dalam problem nilai baik-buruk , menurut Prof. Notonegoro ada 4 perilaku / tabiat
saleh :

1. Kebijaksanaan / nilai bijaksana, menurut Imanuel Kant “ orang yang bijaksana


melaksanakan suatu kewajiban demi kewajiban itu sendiri “. Di nilai dari
kebijaksanaan berdasarkan pemikiran Prof. Notonegoro, Nilai Religius terdiri :
a. Imperatif – antagonis : ikhlas
b. Imperatif – hipotesis : bersyarat
c. Imperatif – aspek historis : bersyarat dan ikhlas
2. Keadilan
3. Kesederhanaan
4. Keteguhan

Manusia sebagai Monodualis, harus dilihat secara hakekatnya. Pada prinsipnya manusia
dibagi menjadi 3 bagian :

1. Hakekat kodrat manusia, terdiri dari jiwa dan raga. Merupakan satu kesatuan,
tetapi bias terpisah sesuai fungsinya. Raga terdiri dari benda hidup dengan benda
mati.
2. Sifat kodrat manusia, yaitu individu dan social. Sifat kodrat manusia, tidak lepas
dari individu dan social, antara sifat tersebut dalam menentukan suatu penilaian
harus seimbang dan tidak boleh menyimpang.
3. Kedudukan kodrat manusia adalah mandiri dan makhluk Tuhan. Kedudukan
kodrat manusia untuk menentukan dan memilih sebagai makhluk Tuhan dan
berdiri sendiri.Kebenaran daripada penilaian ini ada berlakunya dan sangat
relative, yaitu kebenaran yang berubah-ubah dan sesuai filsafat,disamping
bijaksana,teguh,adil,dan bijaksana.

Subyektif adalah sesuatu hal yang melekat secara hakiki pada diri penilai.
Kebenaran yang satu adalah kebenaran yang abstrak, umum, dan universal. Dalam
sejarah nilai obyektif-obyektif, mempunyai hubungannya yang sangat erat pada

2
zaman masing-masing dari Yunani kuno,pertengahan,modern,hingga sekarang ini,
mempunyai cara berpikir yang berbeda, yaitu:

a. Cosmosentris : segala sesuatu berdasar pada benda alam.


b. Theosentris : segala sesuatu dipusatkan pada agama.
c. Antroposentris : peralihan dari agama dengan suatu pergerakan humanisme dan
renaisance berpusat pada manusia.

Dari 3 hal cara berpikir diatas saling berhubungan sehingga muncul Antropo
theocosmosentris yaitu pengabungan antara Cosmosentris,Theosentris,dan
Antroposentris. Secara Hierarkis yaitu membandingkan dua hal yang bertentangan,
maka dari 3 hal tadi , Theosentris berada diatas Cosmosentris dan Antroposentris,
sedangkan Cosmosentris memiliki posisi yang sejajar dengan Antroposentris. Bila
digambarkan ketiga cara berpikir tersebut seperti segitiga dimana ketiga hal tersebut
saling berhubungan (antropotheocosmosentris).

Menurut Rene Descrates “ cogito egostum “ yang berarti berfikir karena ada.
Maka cara berpikir manusia disebabkan oleh Pragmantisme yaitu perkembangan
mental manusia. Sehingga pemikiran manusia selalu berkembang dan berhubungan.

Dalam penilaian yang subyektif ada unsur popularisasi hierarki yang


dipengaruhi ilmu pengetahuan. Nilai dan penilaian berkaitan dengan ilmu
pengetahuan. Dalam ilmu pengetahuan dapat dinilai dari gradasi / tingkatan :

1. Ilmu Pengetahuan Deskriptif, yaitu ilmu yang terjadi hanya sekali, contoh:
sejarah, suatu pertanyaan “bagaimana?”. Untuk memberikan penilaian
menggunakan teori kebenaran ilmu. Karena orang selalu memakai dasar-dasar
nilai yang berujung pada teori kebenaran.
2. Sebab musabab (kausal). Orang akan dihadapkan suatu pertanyaan “mengapa?”.
Contoh: Mengapa asal muasal pancasila sebagai dasar Negara ? Dasar ini bias
menggunakan teori Aristoteles, yaitu:
a. Asal mula yang bersifat material
b. Asal mula yang bersifat formal
c. Asal mula yang bersifat efisien (waktu)

3
d. Asal mula yang bersifat finalis (tujuan)

Materi pokok Pancasila menggunakan penilaian kausal, dan dipadukan dengan


sebab musabab.

3. Ilmu pengetahuan normatif. Orang akan dihadapkan pada pertanyaan “kemana?”


dan harus membutuhkan suatu jawaban yang terulang-ulang dan harus ditaati.
Contoh: Ilmu pancasila. Mengapa harus ada pelaksanaan obyektif dan subyektif
dan didasarkan pada pemikiran normative. Pada norma-norma tertentu
memberikan nilai yang didasarkan pada pelaksanaan norma itu sendiri.
4. Ilmu pengetahuan bersifat Esensi,yaitu suatu hal yang bersifat mendalam. Orang
akan dihadapkan pada pertanyaan “apa?”. Misal: hakikat,substansi,dsb
diperlukan suatu jawaban kebenaran yang abstrak,.umum,dan universal.

Menurut Augostcome, bahwa melihat benda itu dapat dilihat sisi positif dan negatif.
Sedangkan Hebert Spenser, memberikan penilaian berdasarkan pengalaman.
Pengembangan pengalaman tidak bisa melepaskan ide yang paling awal, karena awal
dari segala sesuatu akan menjadi landasan dan gagasan atau idea untuk
mengembangkan apa yang menjadi gagasan tersebut. Sehingga dalam pengembangan
pengalaman akan berhubungan dan konsekuen serta dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya, menurut Hebert Marcuse, apa yang dikatakan harus sesuai dengan
pelaksanaan. Dan kebenaran harus bisa dibuktikan sesuai dengan konsep filsafat.

Epistimologi tdak bias lepas dengan teori kebenaran. Dalam pemberian nilai tidak
bias lepas dari teori koherensi dan teori korespondensi (hubungan dan kecocokan). Pada
dasarnya nilai tidak terlepas pada subyektif dan obyektif, karena pengemban (perilaku)
alat penghubung antara subyek dan obyek.

Maka, Filsafat nilai tidak terlepas dari teori subyektifitas dan teori obyektifitas,
keduanya mempunyai korespondensi / persesuaian. Dalam Teori Korespondensi (The
Correspondence theory of truth) yang sudah dimunculkan Aristoteles, bahwa hal yang
ada sebagai tidak ada, atau yang tidak ada sebagai ada, adalah salah. Sebaliknya ,yang
ada sebagai ada , atau yang tidak ada sebagai tidak ada, adalah benar. Dengan ini
Aristoteles sudah meletakkan dasar bagi teori kebenaran sebagai persesuaian bahwa

4
kebenaran adalah persesuaian antara apa yang dikatakan dengan kenyataan. Jadi, suatu
pernyataan dianggap benar jika apa yang dinyatakan memiliki keterkaitan dengan
kenyataan yang diungkapkan dalam pernyataan itu.Dengan demikian ada 5 unsur yang
perlu,yaitu: 1, statement (pernyataan), 2, persesuaian (agreement), 3. Situasi (situation),
4. Kenyataan (realitas), 5. Putusan (judgements).

Pada abad ke-20 muncul polemik yaitu suatu dialog yang berbeda, tetapi digunakan
untuk mengembangkan keilmuan. Maka situasi berpengaruh terhadap fungsi nilai.
Maka, nilai itu tetap, sedangkan situasi berubah. Dalam hal ini, fungsi nilai dan situasi
bukan merupakan dasar penilaian dan tidak bisa menggunakan subyek, maka tidak akan
bisa dinilai. Jika subyek dan obyek bila digabungkan menjadi substansi nilai. Nilai
mempunyai kebutuhan mutlak pada Tuhan yang paling dirasakan adalah kejiwaan dan
kesadaran. Fungsi Nilai yaitu:

1. Nilai menyumbangkan seperangkat alat yang siap dipakai untuk menetapkan


harga social atau status social dari pribadi dan kelompok. Nilai ini mungkin
adanya sistem stratifikasi sosial secara menyeluruh dalam setiap masyarakat.
Sehingga akan berpengaruh dalam cara berpikir dan berperilaku secara
ideal.Contoh: seorang anak harus patuh dan berbakti kepada Guru dan orang tua.
2. Nilai merupakan penentu akhir bagi manusia dalam memenuhi peranan
sosialnya.Contoh: hakim harus dapat memutuskan vonis perkara secara adil.
3. Nilai berfungsi sebagai pengawas dengan daya tekan dan mengikat
tertentu.Contoh: Siswa yang berkelakuan buruk akan dihukum oleh guru dan
tidak disukai oleh teman-temannya.
4. Nilai berfungsi sebagai alat solidaritas dikalangan anggota kelompok
masyarakat.

Dalam Penilaian situasi manusia mempunyai kedudukan sesuai dengan :

1. Kejiwaan, manusia sebagai makhluk social.


2. Keraguan, manusia sebagai makhluk yang berdiri sendiri.
3. Individu, manusia sebagai makhluk Tuhan.

You might also like