You are on page 1of 25

Hukum Pidana adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang menentukan perbuatan apa yang

dilarang dan termasuk kedalam tindak pidana, serta menentukan hukuman apa yang dapat
dijatuhkan terhadap yang melakukannya.[1]

Menurut Prof. Moeljatno, S.H Hukum Pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang
berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk [2]:

1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan dan yang dilarang, dengan
disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar
larangan tersebut.[2]

2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-
larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.[2]

3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada
orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.[2]

Sedangkan menurut Sudarsono, pada prinsipnya Hukum Pidana adalah yang mengatur tentang
kejahatan dan pelanggaran terhadap kepentingan umum dan perbuatan tersebut diancam dengan
pidana yang merupakan suatu penderitaan.[3]

Dengan demikian hukum pidana bukanlah mengadakan norma hukum sendiri, melaikan sudah
terletak pada norma lain dan sanksi pidana. Diadakan untuk menguatkan ditaatinya norma-norma
lain tersebut, misalnya norma agama dan kesusilaan.[3]

Daftar isi

* 1 Sumber-Sumber Hukum Pidana

* 2 Asas-Asas Hukum Pidana

* 3 Macam-Macam Pembagian Delik


* 4 Macam-Macam Pidana

* 5 Referensi

[sunting] Sumber-Sumber Hukum Pidana

Sumber Hukum Pidana dapat dibedakan atas sumber hukum tertulis dan sumber hukum yang tidak
tertulis.[4]Di Indonesia sendiri, kita belum memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional,
sehingga masih diberlakukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana warisan dari pemerintah kolonial
Hindia Belanda.[3] Adapun sistematika Kitab Undang-Undang Hukum Pidana antara lain[4] :

1. Buku I Tentang Ketentuan Umum (Pasal 1-103).[4]

2. Buku II Tentang Kejahatan (Pasal 104-488).[4]

3. Buku III Tentang Pelanggaran (Pasal 489-569).[4]

Dan juga ada beberapa Undang-undang yang mengatur tindak pidana khusus yang dibuat setelah
kemerdekaan antara lain[3] :

1. UU No. 8 Drt Tahun 1955 Tentang tindak Pidana Imigrasi.[3]

2. UU No. 9 Tahun 1967 Tentang Norkoba.[3]

3. UU No. 16 Tahun Tahun 2003 Tentang Anti Terorisme.[3] dll

Ketentuan-ketentuan Hukum Pidana, selain termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
maupun UU Khusus, juga terdapat dalam berbagai Peraturan Perundang-Undangan lainnya, seperti
UU. No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No. 9 Tahun 1999 Tentang
Perindungan Konsumen, UU No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta dan sebagainya.[3]

[sunting] Asas-Asas Hukum Pidana

Asas Legalitas, tidak ada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam
Peraturan Perundang-Undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan (Pasal 1 Ayat (1)
KUHP).[rujukan?] Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam Peraturan Perundang-
Undangan, maka yang dipakai adalah aturan yang paling ringan sanksinya bagi terdakwa (Pasal 1
Ayat (2) KUHP) Dan Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan, Untuk menjatuhkan pidana kepada orang
yang telah melakukan tindak pidana, harus dilakukan bilamana ada unsur kesalahan pada diri orang
tersebut.[4] Asas teritorial, artinya ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku atas semua peristiwa
pidana yang terjadi di daerah yang menjadi wilayah teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia,
termasuk pula kapal berbendera Indonesia, pesawat terbang Indonesia, dan gedung kedutaan dan
konsul Indonesia di negara asing. Asas nasionalitas aktif, artinya ketentuan hukum pidana Indonesia
berlaku bagi semua WNI yang melakukan tindak pidana dimana pun ia berada Asas nasionalitas
pasif, artinya ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi semua tindak pidana yang merugikan
kepentingan negara Inonesia

[sunting] Macam-Macam Pembagian Delik

Dalam hukum pidana dikenal macam-macam pembagian delik ke dalam[5] :

1. Delik yang dilakukan dengan sengaja, misalnya, sengaja merampas jiwa orang lain (Pasal 338
KUHP) dan delik yang disebabkan karena kurang hati-hati, misalnya, karena kesalahannya telah
menimbulkan matinya orang lain dalam lalu lintas di jalan.(Pasal 359 KUHP).[5]

2. Menjalankan hal-hal yang dilarang oleh Undang-undang, misalnya, melakukan pencurian atau
penipuan (Pasal 362 dan378 KUHP) dan tidak menjalankan hal-hal yang seharusnya dilakukan
menurut Undang-undang, misalnya tidak melapor adanya komplotan yang merencanakan makar.[5]

3. Kejahatan (Buku II KUHP), merupakan perbuatan yang sangat tercela, terlepas dari ada atau
tidaknya larangan dalam Undang-undang. Karena itu disebut juga sebagai delik hukum.[5]

4. pelanggaran (Buku III KUHP), merupakan perbuatan yang dianggap salah satu justru karena
adanya larangan dalam Undang-undang. Karena itu juga disebut delik Undang-undang.[5]

[sunting] Macam-Macam Pidana

Mengenai hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap seseorang yang telah bersalah melanggar
ketentuan-ketentuan dalam undang-undang hukum pidana, dalam Pasal 10 KUHP ditentukan
macam-macam hukuman yang dapat dijatuhkan, yaitu sebagai berikut :

Hukuman-Hukuman Pokok
1. Hukuman mati, tentang hukuman mati ini terdapat negara-negara yang telah menghapuskan
bentuknya hukuman ini, seperti Belanda, tetapi di Indonesia sendiri hukuman mati ini kadang masih
di berlakukan untuk beberapa hukuman walaupun masih banyaknya pro-kontra terhadap hukuman
ini.[5]

2. Hukuman penjara, hukuman penjara sendiri dibedakan kedalam hukuman penjara seumur hidup
dan penjara sementara.[5] Hukuman penjara sementara minimal 1 tahun dan maksimal 20 tahun.
Terpidana wajib tinggal dalam penjara selama masa hukuman dan wajib melakukan pekerjaan yang
ada di dalam maupun di luar penjara dan terpidana tidak mempunyai Hak Vistol.[4]

3. Hukuman kurungan, hukuman ini kondisinya tidak seberat hukuman penjara dan dijatuhkan
karena kejahatan-kejahatan ringan atau pelanggaran.[rujukan?] Biasanya terhukum dapat memilih
antara hukuman kurungan atau hukuman denda.[rujukan?] Bedanya hukuman kurungan dengan
hukuman penjara adalah pada hukuman kurungan terpidana tidak dapat ditahan diluar tempat
daerah tinggalnya kalau ia tidak mau sedangkan pada hukuman penjara dapat dipenjarakan dimana
saja, pekerjaan paksa yang dibebankan kepada terpidana penjara lebih berat dibandingkan dengan
pekerjaan yang harus dilakukan oleh terpidana kurungan dan terpidana kurungan mempunyai Hak
Vistol (hak untuk memperbaiki nasib) sedangkan pada hukuman penjara tidak demikian.[5]

4. Hukuman denda, Dalam hal ini terpidana boleh memilih sendiri antara denda dengan kurungan.
[5] Maksimum kurungan pengganti denda adalah 6 Bulan.[4]

5. Hukuman tutupan, hukuman ini dijatuhkan berdasarkan alasan-asalan politik terhadap orang-
orang yang telah melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara oleh KUHP.[5]

Hukuman Tambahan

Hukuman tambahan tidak dapat dijatuhkan secara tersendiri melainkan harus disertakan pada
hukuman pokok, hukuman tambahan tersebut antara lain :

1. Pencabutan hak-hak tertentu.[5]

2. Penyitaan barang-barang tertentu.[5]

3. Pengumuman keputusan hakim.[5]

Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan
hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum
Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang
merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama,
karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at
Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di
Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat yang diserap dalam perundang-undangan atau
yurisprudensi,[1] yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan
budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.

Daftar isi

[sembunyikan]

* 1 Hukum perdata Indonesia

* 2 Hukum pidana Indonesia

* 3 Hukum tata negara

* 4 Hukum tata usaha (administrasi) negara

* 5 Hukum acara perdata Indonesia

* 6 Hukum acara pidana Indonesia

o 6.1 Asas dalam hukum acara pidana

* 7 Hukum antar tata hukum

* 8 Hukum adat di Indonesia

* 9 Hukum Islam di Indonesia

* 10 Istilah hukum

o 10.1 Advokat

o 10.2 Advokat dan pengacara

o 10.3 Konsultan hukum

o 10.4 Jaksa dan polisi

* 11 Lihat pula

* 12 Rujukan

* 13 Pranala luar

[sunting] Hukum perdata Indonesia


Hukum adalah sekumpulan peraturan yang berisi perintah dan larangan yang dibuat oleh pihak yang
berwenang sehingga dapat dipaksakan pemberlakuaanya berfungsi untuk mengatur masyarakat
demi terciptanya ketertiban disertai dengan sanksi bagi pelanggarnya

Salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada subyek hukum dan
hubungan antara subyek hukum. Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil
sebagai lawan dari hukum publik. Jika hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara
serta kepentingan umum (misalnya politik dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan
sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana), maka hukum
perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti misalnya
kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha
dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya.

Ada beberapa sistem hukum yang berlaku di dunia dan perbedaan sistem hukum tersebut juga
memengaruhi bidang hukum perdata, antara lain sistem hukum Anglo-Saxon (yaitu sistem hukum
yang berlaku di Kerajaan Inggris Raya dan negara-negara persemakmuran atau negara-negara yang
terpengaruh oleh Inggris, misalnya Amerika Serikat), sistem hukum Eropa kontinental, sistem hukum
komunis, sistem hukum Islam dan sistem-sistem hukum lainnya. Hukum perdata di Indonesia
didasarkan pada hukum perdata di Belanda, khususnya hukum perdata Belanda pada masa
penjajahan.

Search Wikisource Wikisource memiliki naskah sumber yang berkaitan dengan The Civil Code

Bahkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (dikenal KUHPer.) yang berlaku di Indonesia tidak lain
adalah terjemahan yang kurang tepat dari Burgerlijk Wetboek (atau dikenal dengan BW)yang
berlaku di kerajaan Belanda dan diberlakukan di Indonesia (dan wilayah jajahan Belanda)
berdasarkan azas konkordansi. Untuk Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda, BW
diberlakukan mulai 1859. Hukum perdata Belanda sendiri disadur dari hukum perdata yang berlaku
di Perancis dengan beberapa penyesuaian. Kitab undang-undang hukum perdata (disingkat KUHPer)
terdiri dari empat bagian, yaitu:

* Buku I tentang Orang; mengatur tentang hukum perseorangan dan hukum keluarga, yaitu
hukum yang mengatur status serta hak dan kewajiban yang dimiliki oleh subyek hukum. Antara lain
ketentuan mengenai timbulnya hak keperdataan seseorang, kelahiran, kedewasaan, perkawinan,
keluarga, perceraian dan hilangnya hak keperdataan. Khusus untuk bagian perkawinan, sebagian
ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU nomor 1 tahun
1974 tentang perkawinan.

* Buku II tentang Kebendaan; mengatur tentang hukum benda, yaitu hukum yang mengatur hak
dan kewajiban yang dimiliki subyek hukum yang berkaitan dengan benda, antara lain hak-hak
kebendaan, waris dan penjaminan. Yang dimaksud dengan benda meliputi (i) benda berwujud yang
tidak bergerak (misalnya tanah, bangunan dan kapal dengan berat tertentu); (ii) benda berwujud
yang bergerak, yaitu benda berwujud lainnya selain yang dianggap sebagai benda berwujud tidak
bergerak; dan (iii) benda tidak berwujud (misalnya hak tagih atau piutang). Khusus untuk bagian
tanah, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya
UU nomor 5 tahun 1960 tentang agraria. Begitu pula bagian mengenai penjaminan dengan hipotik,
telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU tentang hak tanggungan.

* Buku III tentang Perikatan; mengatur tentang hukum perikatan (atau kadang disebut juga
perjanjian (walaupun istilah ini sesunguhnya mempunyai makna yang berbeda), yaitu hukum yang
mengatur tentang hak dan kewajiban antara subyek hukum di bidang perikatan, antara lain tentang
jenis-jenis perikatan (yang terdiri dari perikatan yang timbul dari (ditetapkan) undang-undang dan
perikatan yang timbul dari adanya perjanjian), syarat-syarat dan tata cara pembuatan suatu
perjanjian. Khusus untuk bidang perdagangan, Kitab undang-undang hukum dagang (KUHD) juga
dipakai sebagai acuan. Isi KUHD berkaitan erat dengan KUHPer, khususnya Buku III. Bisa dikatakan
KUHD adalah bagian khusus dari KUHPer.

* Buku IV tentang Daluarsa dan Pembuktian; mengatur hak dan kewajiban subyek hukum
(khususnya batas atau tenggat waktu) dalam mempergunakan hak-haknya dalam hukum perdata
dan hal-hal yang berkaitan dengan pembuktian.

Sistematika yang ada pada KUHP tetap dipakai sebagai acuan oleh para ahli hukum dan masih
diajarkan pada fakultas-fakultas hukum di Indonesia.

[sunting] Hukum pidana Indonesia

Berdasarkan isinya, hukum dapat dibagi menjadi 2, yaitu hukum privat dan hukum publik (C.S.T
Kansil).Hukum privat adalah hukum yg mengatur hubungan orang perorang, sedangkan hukum
publik adalah hukum yg mengatur hubungan antara negara dengan warga negaranya. Hukum pidana
merupakan bagian dari hukum publik. Hukum pidana terbagi menjadi dua bagian, yaitu hukum
pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil mengatur tentang penentuan
tindak pidana, pelaku tindak pidana, dan pidana (sanksi). Di Indonesia, pengaturan hukum pidana
materiil diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP). Hukum pidana formil mengatur
tentang pelaksanaan hukum pidana materiil. Di Indonesia, pengaturan hukum pidana formil telah
disahkan dengan UU nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana (KUHAP).

[sunting] Hukum tata negara

Hukum tata negara adalah hukum yang mengatur tentang negara, yaitu antara lain dasar pendirian,
struktur kelembagaan, pembentukan lembaga-lembaga negara, hubungan hukum (hak dan
kewajiban) antar lembaga negara, wilayah dan warga negara. Hukum tata negara mengatur
mengenai negara dalam keadaan diam artinya bukan mengenai suatu keadaan nyata dari suatu
negara tertentu (sistem pemerintahan, sistem pemilu, dll dari negara tertentu) tetapi lebih pada
negara dalam arti luas. Hukum ini membicarakan negara dalam arti yang abstrak.

[sunting] Hukum tata usaha (administrasi) negara

Hukum tata usaha (administrasi) negara adalah hukum yang mengatur kegiatan administrasi negara.
Yaitu hukum yang mengatur tata pelaksanaan pemerintah dalam menjalankan tugasnya . hukum
administarasi negara memiliki kemiripan dengan hukum tata negara.kesamaanya terletak dalam hal
kebijakan pemerintah ,sedangkan dalam hal perbedaan hukum tata negara lebih mengacu kepada
fungsi konstitusi/hukum dasar yang digunakan oleh suatu negara dalam hal pengaturan kebijakan
pemerintah,untuk hukum administrasi negara dimana negara dalam "keadaan yang bergerak".
Hukum tata usaha negara juga sering disebut HTN dalam arti sempit.

[sunting] Hukum acara perdata Indonesia

Hukum acara perdata Indonesia adalah hukum yang mengatur tentang tata cara beracara
(berperkara di badan peradilan) dalam lingkup hukum perdata. Dalam hukum acara perdata, dapat
dilihat dalam berbagai peraturan Belanda dulu(misalnya; Het Herziene Inlandsh Reglement/HIR,
RBG, RB,RO).

[sunting] Hukum acara pidana Indonesia

Hukum acara pidana Indonesia adalah hukum yang mengatur tentang tata cara beracara (berperkara
di badan peradilan) dalam lingkup hukum pidana. Hukum acara pidana di Indonesia diatur dalam UU
nomor 8 tahun 1981.

[sunting] Asas dalam hukum acara pidana

Asas di dalam hukum acara pidana di Indonesia adalah:

* Asas perintah tertulis, yaitu segala tindakan hukum hanya dapat dilakukan berdasarkan perintah
tertulis dari pejabat yang berwenang sesuai dengan UU.

* Asas peradilan cepat, sederhana, biaya ringan, jujur, dan tidak memihak, yaitu serangkaian
proses peradilan pidana (dari penyidikan sampai dengan putusan hakim) dilakukan cepat, ringkas,
jujur, dan adil (pasal 50 KUHAP).

* Asas memperoleh bantuan hukum, yaitu setiap orang punya kesempatan, bahkan wajib
memperoleh bantuan hukum guna pembelaan atas dirinya (pasal 54 KUHAP).
* Asas terbuka, yaitu pemeriksaan tindak pidana dilakukan secara terbuka untuk umum (pasal 64
KUHAP).

* Asas pembuktian, yaitu tersangka/terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian (pasal 66


KUHAP), kecuali diatur lain oleh UU.

[sunting] Hukum antar tata hukum

Hukum antar tata hukum adalah hukum yang mengatur hubungan antara dua golongan atau lebih
yang tunduk pada ketentuan hukum yang berbeda.

[sunting] Hukum adat di Indonesia

!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Hukum Adat di Indonesia

Hukum adat adalah seperangkat norma dan aturan adat yang berlaku di suatu wilayah.

[sunting] Hukum Islam di Indonesia

Hukum Islam di Indonesia belum bisa ditegakkan secara menyeluruh, karena belum adanya
dukungan yang penuh dari segenap lapisan masyarakat secara demokratis baik melalui pemilu atau
referendum maupun amandemen terhadap UUD 1945 secara tegas dan konsisten. Aceh merupakan
satu-satunya provinsi yang banyak menerapkan hukum Islam melalui Pengadilan Agama, sesuai
pasal 15 ayat 2 Undang-Undang RI No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu : Peradilan
Syariah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darrussalam merupakan pengadilan khusus dalam
lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama,
dan merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya
menyangkut kewenangan peradilan umum.

[sunting] Istilah hukum

[sunting] Advokat

Sejak berlakunya UU nomor 18 tahun 2003 tentang advokat, sebutan bagi seseorang yang berprofesi
memberikan bantuan hukum secara swasta - yang semula terdiri dari berbagai sebutan, seperti
advokat, pengacara, konsultan hukum, penasihat hukum - adalah advokat.

[sunting] Advokat dan pengacara


Kedua istilah ini sebenarnya bermakna sama, walaupun ada beberapa pendapat yang menyatakan
berbeda. Sebelum berlakunya UU nomor 18 tahun 2003, istilah untuk pembela keadilan plat hitam
ini sangat beragam, mulai dari istilah pengacara, penasihat hukum, konsultan hukum, advokat dan
lainnya. Pengacara sesuai dengan kata-kata secara harfiah dapat diartikan sebagai orang yang
beracara, yang berarti individu, baik yang tergabung dalam suatu kantor secara bersama-sama atau
secara individual yang menjalankan profesi sebagai penegak hukum plat hitam di pengadilan.
Sementara advokat dapat bergerak dalam pengadilan, maupun bertindak sebagai konsultan dalam
masalah hukum, baik pidana maupun perdata. Sejak diundangkannya UU nomor 18 tahun 2003,
maka istilah-istilah tersebut distandarisasi menjadi advokat saja.

Dahulu yang membedakan keduanya yaitu Advokat adalah seseorang yang memegang izin
ber"acara" di Pengadilan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman serta mempunyai
wilayah untuk "beracara" di seluruh wilayah Republik Indonesia sedangkan Pengacara Praktek
adalah seseorang yang memegang izin praktik / beracara berdasarkan Surat Keputusan Pengadilan
Tinggi setempat dimana wilayah beracaranya adalah "hanya" diwilayah Pengadilan Tinggi yang
mengeluarkan izin praktik tersebut. Setelah UU No. 18 th 2003 berlaku maka yang berwenang untuk
mengangkat seseorang menjadi Advokat adalah Organisasi Advokat.(Pengacara dan Pengacara
Praktek/pokrol dst seteah UU No. 18 tahun 2003 dihapus)

[sunting] Konsultan hukum

Konsultan hukum atau dalam bahasa Inggris counselor at law atau legal consultant adalah orang
yang berprofesi memberikan pelayanan jasa hukum dalam bentuk konsultasi, dalam sistem hukum
yang berlaku di negara masing-masing. Untuk di Indonesia, sejak UU nomor 18 tahun 2003 berlaku,
semua istilah mengenai konsultan hukum, pengacara, penasihat hukum dan lainnya yang berada
dalam ruang lingkup pemberian jasa hukum telah distandarisasi menjadi advokat.

[sunting] Jaksa dan polisi

Dua institusi publik yang berperan aktif dalam menegakkan hukum publik di Indonesia adalah
kejaksaan dan kepolisian. Kepolisian atau polisi berperan untuk menerima, menyelidiki, menyidik
suatu tindak pidana yang terjadi dalam ruang lingkup wilayahnya. Apabila ditemukan unsur-unsur
tindak pidana, baik khusus maupun umum, atau tertentu, maka pelaku (tersangka) akan diminta
keterangan, dan apabila perlu akan ditahan. Dalam masa penahanan, tersangka akan diminta
keterangannya mengenai tindak pidana yang diduga terjadi. Selain tersangka, maka polisi juga
memeriksa saksi-saksi dan alat bukti yang berhubungan erat dengan tindak pidana yang
disangkakan. Keterangan tersebut terhimpun dalam berita acara pemeriksaan (BAP) yang apabila
dinyatakan P21 atau lengkap, akan dikirimkan ke kejaksaan untuk dipersiapkan masa
persidangannya di pengadilan. Kejaksaan akan menjalankan fungsi pengecekan BAP dan analisa
bukti-bukti serta saksi untuk diajukan ke pengadilan. Apabila kejaksaan berpendapat bahwa bukti
atau saksi kurang mendukung, maka kejaksaan akan mengembalikan berkas tersebut ke kepolisian,
untuk dilengkapi. Setelah lengkap, maka kejaksaan akan melakukan proses penuntutan perkara.
Pada tahap ini, pelaku (tersangka) telah berubah statusnya menjadi terdakwa, yang akan disidang
dalam pengadilan. Apabila telah dijatuhkan putusan, maka status terdakwa berubah menjadi
terpidana.

Berdasarkan isinya, hukum dapat dibagi menjadi 2, yaitu hukum privat dan hukum publik (C.S.T
Kansil).Hukum privat adalah hukum yg mengatur hubungan orang perorang, sedangkan hukum
publik adalah hukum yg mengatur hubungan antara negara dengan warga negaranya. Hukum pidana
merupakan bagian dari hukum publik. Hukum pidana terbagi menjadi dua bagian, yaitu hukum
pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil mengatur tentang penentuan
tindak pidana, pelaku tindak pidana, dan pidana (sanksi). Di Indonesia, pengaturan hukum pidana
materiil diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP). Hukum pidana formil mengatur
tentang pelaksanaan hukum pidana materiil. Di Indonesia, pengaturan hukum pidana formil telah
disahkan dengan UU nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana (KUHAP).

Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan
hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum
Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang
merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama,
karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at
Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di
Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat yang diserap dalam perundang-undangan atau
yurisprudensi,[1] yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan
budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.

Asas Legalitas, tidak ada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam
Perturan Perundang-Undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan (Pasal 1 Ayat (1)
KUHP).[rujukan?] Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam Peraturan Perundang-
Undangan, maka yang dipakai adalah aturan yang paling ringan sanksinya bagi terdakwa (Pasal 1
Ayat (2) KUHP) Dan Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan, Untuk menjatuhkan pidana kepada orang
yang telah melakukan tindak pidana, harus dilakukan bilamana ada unsur kesalahan pada diri orang
tersebut.[4]

Pembaharuan KUHP secara parsial/tambal sulam yang pernah dilakukan Indonesia adalah dengan
mencabut, menambahkan, atau menyempurnakan pasal-pasal dalam KUHP maupun aturan-aturan
hukum pidana di luar KUHP dengan beberapa peraturan perundang-undangan agar sesuai dengan
kondisi bangsa dan perkembangan jaman. Pembaharuan hukum pidana materiel dengan model
parsial ini telah dilakukan sejak awal Indonesia merdeka dengan disahkannya UU Nomor 1 Tahun
1946 tentang Peraturan Hukum Pidana sebagai “akta

kelahiran” KUHP. Berdasarkan isinya, hukum dapat dibagi menjadi 2, yaitu hukum privat dan hukum
publik (C.S.T Kansil).Hukum privat adalah hukum yg mengatur hubungan orang perorang, sedangkan
hukum publik adalah hukum yg mengatur hubungan antara negara dengan warga negaranya. Hukum
pidana merupakan bagian dari hukum publik. Hukum pidana terbagi menjadi dua bagian, yaitu
hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil mengatur tentang
penentuan tindak pidana, pelaku tindak pidana, dan pidana (sanksi). Di Indonesia, pengaturan
hukum pidana materiil diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP). Hukum pidana
formil mengatur tentang pelaksanaan hukum pidana materiil. Di Indonesia, pengaturan hukum
pidana formil telah disahkan dengan UU nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana (KUHAP).

Hukum Pidana adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang menentukan perbuatan apa yang
dilarang dan termasuk kedalam tindak pidana, serta menentukan hukuman apa yang dapat
dijatuhkan terhadap yang melakukannya.[1]

Menurut Prof. Moeljatno, S.H Hukum Pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang
berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk [2]:

1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan dan yang dilarang, dengan
disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar
larangan tersebut.[2]

2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-
larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.[2]

3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang
yang disangka telah melanggar larangan tersebut.[2]

Sedangkan menurut Sudarsono, pada prinsipnya Hukum Pidana adalah yang mengatur tentang
kejahatan dan pelanggaran terhadap kepentingan umum dan perbuatan tersebut diancam dengan
pidana yang merupakan suatu penderitaan.[3]

Dengan demikian hukum pidana bukanlah mengadakan norma hukum sendiri, melaikan sudah
terletak pada norma lain dan sanksi pidana. Diadakan untuk menguatkan ditaatinya norma-norma
lain tersebut, misalnya norma agama dan kesusilaan.[3]
Sumber Hukum Pidana dapat dibedakan atas sumber hukum tertulis dan sumber hukum yang tidak
tertulis.[4]Di Indonesia sendiri, kita belum memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional,
sehingga masih diberlakukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana warisan dari pemerintah kolonial
Hindia Belanda.[3] Adapun sistematika Kitab Undang-Undang Hukum Pidana antara lain[4] :

1. Buku I Tentang Ketentuan Umum (Pasal 1-103).[4]

2. Buku II Tentang Kejahatan (Pasal 104-488).[4]

3. Buku III Tentang Pelanggaran (Pasal 489-569).[4]

Dan juga ada beberapa Undang-undang yang mengatur tindak pidana khusus yang dibuat setelah
kemerdekaan antara lain[3] :

1. UU No. 8 Drt Tahun 1955 Tentang tindak Pidana Imigrasi.[3]

2. UU No. 9 Tahun 1967 Tentang Norkoba.[3]

3. UU No. 16 Tahun Tahun 2003 Tentang Anti Terorisme.[3] dll

Ketentuan-ketentuan Hukum Pidana, selain termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
maupun UU Khusus, juga terdapat dalam berbagai Peraturan Perundang-Undangan lainnya, seperti
UU. No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No. 9 Tahun 1999 Tentang
Perindungan Konsumen, UU No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta dan sebagainya.[3]

Dengan undang-undang ini, Kitab Undang-undang Hukum Pidana ditambahkan pasal baru, yaitu
Pasal 156a yang berbunyi:

Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka
umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:

a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama
yang dianut di Indonesia;

b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-
Tuhanan Yang Maha Esa.
Asas Legalitas, tidak ada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam
Perturan Perundang-Undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan (Pasal 1 Ayat (1)
KUHP).[rujukan?] Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam Peraturan Perundang-
Undangan, maka yang dipakai adalah aturan yang paling ringan sanksinya bagi terdakwa (Pasal 1
Ayat (2) KUHP) Dan Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan, Untuk menjatuhkan pidana kepada orang
yang telah melakukan tindak pidana, harus dilakukan bilamana ada unsur kesalahan pada diri orang
tersebut.[4]

Dalam hukum pidana dikenal macam-macam pembagian delik ke dalam[5] :

1. Delik yang dilakukan dengan sengaja, misalnya, sengaja merampas jiwa orang lain (Pasal 338
KUHP) dan delik yang disebabkan karena kurang hati-hati, misalnya, karena kesalahannya telah
menimbulkan matinya orang lain dalam lalu lintas di jalan.(Pasal 359 KUHP).[5]

2. Menjalankan hal-hal yang dilarang oleh Undang-undang, misalnya, melakukan pencurian atau
penipuan (Pasal 362 dan378 KUHP) dan tidak menjalankan hal-hal yang seharusnya dilakukan
menurut Undang-undang, misalnya tidak melapor adanya komplotan yang merencanakan makar.[5]

3. Kejahatan (Buku II KUHP), merupakan perbuatan yang sangat tercela, terlepas dari ada atau
tidaknya larangan dalam Undang-undang. Karena itu disebut juga sebagai delik hukum.[5]

4. pelanggaran (Buku III KUHP), merupakan perbuatan yang dianggap salah satu justru karena
adanya larangan dalam Undang-undang. Karena itu juga disebut delik Undang-undang.[5]

Mengenai hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap seseorang yang telah bersalah melanggar
ketentuan-ketentuan dalam undang-undang hukum pidana, dalam Pasal 10 KUHP ditentukan
macam-macam hukuman yang dapat dijatuhkan, yaitu sebagai berikut :

Hukuman-Hukuman Pokok

1. Hukuman mati, tentang hukuman mati ini terdapat negara-negara yang telah menghapuskan
bentuknya hukuman ini, seperti Belanda, tetapi di Indonesia sendiri hukuman mati ini kadang masih
di berlakukan untuk beberapa hukuman walaupun masih banyaknya pro-kontra terhadap hukuman
ini.[5]
2. Hukuman penjara, hukuman penjara sendiri dibedakan kedalam hukuman penjara seumur hidup
dan penjara sementara.[5] Hukuman penjara sementara minimal 1 tahun dan maksimal 20 tahun.
Terpidana wajib tinggal dalam penjara selama masa hukuman dan wajib melakukan pekerjaan yang
ada di dalam maupun di luar penjara dan terpidana tidak mempunyai Hak Vistol.[4]

3. Hukuman kurungan, hukuman ini kondisinya tidak seberat hukuman penjara dan dijatuhkan
karena kejahatan-kejahatan ringan atau pelanggaran.[rujukan?] Biasanya terhukum dapat memilih
antara hukuman kurungan atau hukuman denda.[rujukan?] Bedanya hukuman kurungan dengan
hukuman penjara adalah pada hukuman kurungan terpidana tidak dapat ditahan diluar tempat
daerah tinggalnya kalau ia tidak mau sedangkan pada hukuman penjara dapat dipenjarakan dimana
saja, pekerjaan paksa yang dibebankan kepada terpidana penjara lebih berat dibandingkan dengan
pekerjaan yang harus dilakukan oleh terpidana kurungan dan terpidana kurungan mempunyai Hak
Vistol (hak untuk memperbaiki nasib) sedangkan pada hukuman penjara tidak demikian.[5]

4. Hukuman denda, Dalam hal ini terpidana boleh memilih sendiri antara denda dengan kurungan.
[5] Maksimum kurungan pengganti denda adalah 6 Bulan.[4]

5. Hukuman tutupan, hukuman ini dijatuhkan berdasarkan alasan-asalan politik terhadap orang-
orang yang telah melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara oleh KUHP.[5]

Hukuman Tambahan

Hukuman tambahan tidak dapat dijatuhkan secara tersendiri melainkan harus disertakan pada
hukuman pokok, hukuman tambahan tersebut antara lain :

1. Pencabutan hak-hak tertentu.[5]

2. Penyitaan barang-barang tertentu.[5]

3. Pengumuman keputusan hakim.[5]

Apabila diperhatikan suatu undang-undang dari segi hukum pidana ada 5 substansi.

Dalam undang-undang ini ditambahkan 6 pasal baru tentang kejahatan terhadap keamanan negara,
yaitu Pasal 107 a-f.

Pelaksanaan pidana mati yang menurut Pasal 11 dilaksanakan di tiap gantungan telah diubah dengan
Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 tentang Pelaksanaan Pidana Mati di Pengadilan Militer
dan Pengadilan Umum. Eksekusi pidana mati berdasarkan Penetapan
Presiden Nomor 2 Tahun 1964 yang kemudian dijadikan UU Nomor 2/PnPs/1964 dilaksanakan
dengan cara ditembak.

1. UU saja yang tidak mengatur ketentuan pidana (seperti UU No 1 Tahun 1974, UU No 7/1989 yang
diubah dengan UU No 3/2006, UU No 8/1974 yang diubah dengan UU No 43/1999, UU No 22/1999
yang diubah denghan UU No 32/2004 , UU No 4 / 2004, UU No 23/1999 yang diubah dengan UU No
3/2004).

2. UU yang memuat ketentuan pidana, makksudnya mengancam dengan sanksi pidana bagi
pelanggaran terhadap pasal-pasal tertentu yang disebut dalam Bab ketentuan pidana. (seperti UU
No 2/2004, UU No /1999, UU No 8/1999, UU No 7/1996, UU No 18/1997 yang diubah dengan UU No
34/2000, UU No 23/2004, UU No 23/20020, UU Nov 26/2000).

3. UU Pidana, maksudnya undang-undang yang merumuskan tindak pidana dan langsung


mengancam dengan sanksi pidana dengan tidak mengatur bab tersendiri yang memuat ketentuan
pidana. (seperti UU No 31/1999, UU No 20/2002, UU No 1/Perpu/2000, UU No 15/2002 yang diubah
dengan UU No 25/2003)

4. UU Hukum Pidana adalah undang-undang yang mengatur ketentuan hukum pidana. Undang-
undang ini terdiri dari undang-undang pidana materil dan formal (undang-undang acara pidana).
Kedua undang-undang hukum pidana ini dikenal dengan sebutan “Kitab Undang-undang Hukum
Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana” (seperti KUHP, UU No 8/ 1981 tentang KUHAP,
KUHP Militer)Dengan demikian hukum pidana bukanlah mengadakan norma hukum sendiri,
melaikan sudah terletak pada norma lain dan sanksi pidana. Diadakan untuk menguatkan ditaatinya
norma-norma lain tersebut, misalnya norma agama dan kesusilaan.

MIRANDA PRINCIPLE adalah merupakan hak konstitusional yang bersifat universal ( digunakan di
hampir semua negara hukum). Indonesia sebagai negara salah satu negara hukum (rechts staat)
sangat menghormati MIRANDA PRINCIPLE ini. Komitmennya Indonesia terhadap penghormatan
MIRANDA PRINCIPLE telah dibuktikan dengan mengadopsi MIRANDA PRINCIPLE ke dalam sistem
Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Secara universal MIRANDA PRINCIPLE meliputi:

Hak untuk tidak menjawab atau diam sebelum diperiksa dan/atau sebelum dilakukan penyidikan (a
right to remain in silent);

Hak untuk menghadirkan Penasehat Hukum dan hak untuk berkonsultasi sebelum dilakukan
pemeriksaan atau penyidikan oleh penyidik (a right to the presence of an attorney or the right to
counsel);
Hak untuk disediakan Penasehat Hukum bagi tersangka atau terdakwa yang tidak mampu;

MIRANDA PRINCIPLE, dalam praktiknya dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu:

1. MIRANDA RULE, yaitu suatu aturan yang mewajibkan polisi atau penyidik untuk memberikan hak-
hak seseorang sebelum dilakukan pemeriksaan oleh penyidik antara lain:

a.) hak untuk diam, karena segala sesuatu yang dikatakannya dapat digunakan untuk melawannya
dan memberatkannya di Pengadilan;

b.) hak untuk menghubungi Penasehat hukum/advokat, jika ia tidak mampu maka ia berhak untuk
disediakan Penasehat hukum oleh negara [vide: pasal 56 ayat (1) KUHAP;

2. MIRANDA RIGHT:

a.) hak untuk diam dan menolak menjawab segala pertanyaan polisi yang menangkap sebelum
diperiksa oleh penyidik;

b.) Hak untuk menghubungi Penasehat hukum dan mendapat bantuan hukum dari advokat
bersangkutan (Pasal 54 KUHAP);

c.) Hak untuk memilih Penasehat hukumnya sendiri (vide: Pasal 55 KUHAP); dan

d.) Hak untuk disediakan Penasehat hukum jika tersangka “tidak mampu” (Psl.56 ayat 1 KUHAP);

3. MIRANDA WARNING, adalah peringatan yang harus diberikan kepada tersangka akan hak-haknya
sebagaimana yang terdapat di dalam miranda rule dan miranda right di atas (Pasal 114 KUHAP),
polisi tidak bisa menginterogasi tersangka di tempat kejadian, kecuali menanyakan sebatas
indentitas belaka. Jika dilakukan maka hasilnya tidak sah dan tidak bisa dijadikan bukti di Pengadilan;
Dalam hukum acara pidana Indonesia MIRANDA PRINCIPLE diakomodir dalam Pasal 54, 55, 56 ayat
(1) dan pasal 114 KUHAP. Secara khusus MIRANDA RULE terdapat di dalam pasal 56 ayat (1) KUHAP
yang berbunyi sbb: “Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak
pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau
bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak
mempunyai Penasehat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan
dalam proses peradilan WAJIB (IMPERATIF) menunjuk Penasehat hukum bagi mereka;

Tujuan yang hendak dicapai dalam MIRANDA RULE yang terdapat di dalam Pasal 56 ayat (1) KUHAP
adalah agar terjamin pemeriksaan yang fair dan manusiawi terhadap diri Tersangka/Terdakwa
dengan hadirnya Penasehat Hukum untuk mendampingi, membela hak-hak hukum bagi Tersangka
atau Terdakwa sejak dari proses penyidikan sampai pemeriksaan di pengadilan. Kehadiran
Penasehat Hukum dimaksudkan untuk dapat melakukan kontrol, sehingga proses pemeriksaan
berlangsung fair dan manusiawi dengan menjunjung tinggi asas praduga tidak bersalah (presumption
of innocence) dalam proses peradilan dan terhindar dari pelanggaran HAM (vide: Pasal 33, Pasal 3
ayat (2), Pasal 5 ayat (2), Pasal 17, Pasal 18 ayat (1) dari UU No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia] di samping itu adanya kontrol oleh Penasehat Hukum terhadap jalannya pemeriksaan
Tersangka selama dalam proses persidangan di pengadilan;

Berdasarkan uraian dalam pasal 56 ayat (1) KUHAP, maka:

a. Dalam tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan kepada Tersangka/Terdakwa harus
diancam dengan pidana mati atau 15 (lima belas) tahun atau lebih atau yang tidak mampu di-ancam
dengan pidana 5 (lima) tahun atau lebih yang tidak punya Penasehat Hukum sendiri, Pejabat yang
bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk Penasehat
Hukum bagi mereka (tersangka/terdakwa);

b. Pemeriksaan penyidikan yang tersangkanya tidak didampingi Penasehat Hukum sesuai dengan
kerangka Pasal 114 Jo. Pasal 56 ayat (1) KUHAP, maka hasil pemeriksaan penyidikan tersebut adalah
tidak sah atau batal demi hukum, karena bertentangan dengan hukum acara (undue process);

c. Bahwa kewajiban pejabat yang bersangkutan untuk menunjuk Penasehat Hukum bagi terdakwa
tidak bisa ditawar-tawar karena bersifat imperatif dan tidak harus menunggu atau bergantung pada
inisiatif pihak keluarga terdakwa yang mencarikan Penasehat Hukum bagi terdakwa. Semua pejabat
penegak hukum dalam semua tingkat proses peradilan pidana di negeri ini harus menghormati UU
No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP, khususnya tentang Miranda Rule yang terdapat di dalam Pasal 56
ayat (1) KUHAP;
(Catatan Atas Pidato Prof. Dr. H. Didik Endro Purwoleksono, S.H., M.H. Pada Pengukuhan Jabatan
Guru Besar Ilmu Hukum Pidana )

Segenap warga Fakultas Hukum Universitas Airlangga (FHUA) patut bersedih karena mereka telah
kehilangan “guru kecil”nya, namun kesedihan itu akan segera terhapus dan berganti dengan ucap
syukur dan rasa suka-cita karena “guru kecil” yang hilang itu ternyata bermetamorfosa menjadi Guru
Besar. Setidaknya, gairah kesuka-citaan itu tergambar jelas melalui deretan rangkaian bunga di lobi
FHUA yang berisikan ucapan selamat atas dikukuhkannya Bapak Didik Endro Purwoleksono sebagai
Profesor baru dalam bidang Ilmu Hukum Pidana. Di tengah kemandegan teori dalam ilmu hukum
pidana sebagaimana dideskripsikan oleh Jefferson, hal ini tentu saja menjadi semacam tetesan air di
padang gersang.

Dalam pengukuhannya sebagai Guru Besar, Pak Didik (panggilan yang disematkan oleh mahasiswa
kepada beliau) memberikan pidato yang cukup merepresentasikan kedalaman pemahaman akan
ilmu yang menjadi spesifikasi keahliannya.

Pidato dengan judul “Pengaturan Sanksi Pidana Dalam Ketentuan Undang-Undang” diakuinya
sebagai refleksi atas kekritisan seorang mahasiswa dalam suatu acara yang membahas tentang
rancangan undang-undang (RUU). Dalam acara tersebut, sang mahasiswa mempertanyakan tentang
efektifitas pemberlakuan suatu UU tanpa muatan sanksi pidana didalamnya. Peristiwa inilah yang
menginspirasi pengajar mata kuliah hukum pidana ini untuk menjadikan pertanyaan dari mahasiswa
tersebut sebagai bahasan pokok dalam pidatonya.

Sebelum membahas tentang urgensi sanksi pidana dalam penegakan hukum, beliau membahas
tentang konsep Undang-Undang (UU) yang terdapat dalam judul pidatonya. Disini, UU dibedakan
dengan (peraturan)perundang-undangan. UU adalah bagian dari peraturan perundang-undangan
yang dibentuk oleh Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR) dengan persetujuan bersama Presiden. Namun, tidak dijelaskan lebih lanjut
kenapa yang dibahas disini terbatas pada ketentuan UU saja, bagaimana dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang lainnya? padahal dalam ketentuan semacam peraturan daerah
(PERDA) juga memuat tentang sanksi pidana.

Kemudian, bahasan dilanjutkan dengan mengurai karakteristik dari hukum pidana. Bahwa kararakter
esensial dari hukum pidana adalah terletak pada sanksi pidana. Sanksi pidana inilah yang menjadi ciri
pembeda antara hukum pidana dengan bidang hukum yang lain. Sanksi pidana merupakan “obat
terakhir” (ultimum remedium) dari rangkaian tahapan penegakan suatu aturan hukum. “Obat
terakhir” ini merupakan jurus pamungkas jika mekanisme penegakan pada bidang hukum lain tidak
bekerja efektif. Namun, dalam perkembangan hukum pidana di Indonesia, sanksi pidana dalam
beberapa kasus tertentu bergeser kedudukannya. Tidak lagi sebagai ultimum remedium melainkan
sebagai primum remedium (obat yang utama). Ketentuan pengaturan mengenai sanksi pidana
sebagai primum remedium ini dapat dilihat dalam UU mengenai terorisme dan tindak pidana
korupsi. Dari perspektif sosiologis hal ini dikarenakan perbuatan yang diatur dalam dua UU tersebut
merupakan tindakan yang “luar biasa” dan besar dampaknya bagi masyarakat.

Persoalan penerapan norma yang terdapat dalam hukum pidana juga menjadi masalah ketika
terdapat kerancuan tentang kaidah penormaan. Hukum pidana memiliki 2 pengertian dilihat dari
subtansi yang diaturnya. Yang pertama adalah hukum pidana materiil yang berisikan rumusan hal-
hal yang dilarang beserta ancaman sanksinya, serta dalam hal apa dan kapan sanksi tersebut dapat
dikenakan. Pengertian Hukum pidana yang kedua adalah hukum pidana formil. Hukum pidana formil
berisikan prosedur-prosedur yang harus dilakukan manakala terjadi pelanggaran terhadap hukum
pidana materiil. Kaedah norma yang melandasi hukum pidana dalam artian yang materiil adalah
norma perilaku, sehingga konsekuensi terhadap penormaan tersebut adalah selama suatu
perbuatan tidak dilarang dalam ketentuan hukum maka perbuatan tersebut diperbolehkan. Yang
dituju oleh asas ini adalah pembatasan kebebasan oleh individu. Hal ini akan berbeda dengan
kaedah norma yang melandasi hukum pidana formil, yaitu berupa norma kewenangan. Aturan main
didalam norma kewenangan adalah jika suatu kewenangan untuk melakukan suatu perbuatan tidak
diatur dalam aturan hukum maka dilarang. Hal ini dimaksudkan supaya penguasa tidak berlaku
sewenang-wenang. Bahwa inti dari kaedah penormaan diatas adalah pembatasan terhadap perilaku
baik yang dilakukan oleh penguasa maupun warga masyarakat. Jika kaedah penormaan tersebut
dilanggar, hasilnya pasti terjadi kekarut-marutan dalam dunia hukum.

Lebih jauh lagi, pria yang menghabiskan masa kecilnya di Mojoagung-Jombang ini, menguraikan
jenis-jenis pidana beserta implikasi yang ada pada hukum pidana Indonesia. Terdapat 4 macam jenis
pembedaan tindak pidana. Yang pertama, tindak pidana yang bercorak kejahatan(misdrijven) dan
tindak pidana pelanggaran (overtredingen), pembedaan kedua tindak pidana ini terletak implikasi
penegakan hukumnya, namun kriteria pembedanya tidak diuraikan lebih lanjut. Kedua, tindak
pidana biasa dan tindak pidana aduan. Letak pembeda tindak pidana tersebut terletak pada
pemrosesan tindak pidananya. Kalau delik aduan hanya dapat diproses jika ada pengaduan. Untuk
delik biasa, tidak memerlukan adanya pengaduan terlebih dahulu. Ketiga, tindak pidana formil dan
tindak pidana materiil. Pembedaan ini lebih terkait dengan pembuktian di depan persidangan.
Untuk dapat dipidana menurut kacamata hukum pidana formil, seseorang cukup mencocoki
rumusan tindak pidana dalam UU. Sedangkan, untuk tindak pidana materiil mensyaratkan adanya
akibat dari tindak pidana tersebut. Klasifikasi terakhir adalah tindak pidana kesengajaan dan tindak
pidana kealpaan jika dilihat dari kondisi batin dari pelaku tindak pidana.

Pengaturan sanksi pidana dalam ketentuan UU meliputi sistem pemidanaan yang terdiri dari pilihan
sistem pemidanaan, serta limitasi waktu ancaman pidana. Pilihan sistem pemidanaan dapat
memakai model alternatif, kumulatif, maupun alternatif kumulatif. Sedangkan limitasi waktu
ancaman pidana dapat menggunakan model ancaman pidana “paling lama”, “paling singkat”,
ataupun “ancaman paling lama paling singkat”.

Uraian terakhir beliau membahas tentang kesulitan-kesulitan yang dialami oleh (ilmu) hukum pidana
dalam tataran teoritis. Bahwa seringkali hukum pidana terlihat ke-ponthal-ponthal (kesulitan
mengikuti ritme) dalam menghadapi dinamika masyarakat yang begitu ritmik. Asas legalitas sebagai
tiang utama dalam penegakan hukum pidana mengandaikan adanya kemampuan untuk
memprediksi para pembentuk hukum terhadap perbuatan-perbuatan yang berpotensi sebagai
tindak pidana sehingga penegakan hukumnya akan lebih efektif. Kreatifitas dari para pengadil juga
dibutuhkan untuk mencari kebenaran dengan segala keterbatasan. Kemampuan memprediksi dan
kreatifitas tersebut hanya bisa dicapai dengan pemahaman serta pendalaman tentang keilmuan
hukum secara komprehensif serta memiliki kemauan membuka diri terhadap keilmuan yang lain.

Dari uraian panjang pidatonya, Pak Didik menggaris bawahi tentang betapa pentingnya membangun
pondasi-pondasi keilmuan hukum melalui pemahaman akan asas-asas hukum pidana, penguatan
penalaran serta latihan kemahiran untuk mengaplikasikan ilmu hukum yag telah dipelajari. Bahwa
usaha kearah itu bukanlah tugas dari para pengajar saja melainkan juga mahasiswa.

Sebagai rekomendasi atas keterbatasan-keterbatasan yang terdapat dalam hukum pidana, beliau
menyarankan bagi pembentuk UU supaya mengkaji secara komprehensif tentang urgensi
pengaturan sanksi pidana dalam UU. Sehingga memudahkan penegakannya.

Membaca uraian pidato beliau, serasa kita diajak untuk mengarungi kembali pemikiran-pemikiran
Moelyatno, Andi Aziz, dan buku-buku “wajib” pidana lainnya. Sejatinya, pidato beliau mengajak kita
untuk meraba tentang arah kebijakan dari hukum pidana baik dari sisi substansi pengaturannya
dalam UU maupun sistem pendidikan hukumnya.

Yang patut di apresiasi dari harapan-harapan beliau adalah komitmen untuk memprioritaskan
pendampingan kepada mahasiswa S1 yang masih butuh cucuran ilmu dari sumber yang kompeten.
Dan pernyataan tersebut haruslah kita dukung mengingat banyak dongeng yang konon kabarnya
mengisahkan tentang sang Bangau yang terbang tinggi dan jarang kembali. (HAIDAR ADAM)

Judul Asli : Dari Lembaran Kepustakaan Hukum Pidana

Judul Bab : Ilmu Hukum Pidana Dan Kriminologi Pasangan Yang Masing-Masing Bergerak Kearah
Berlawanan
Pengarang : Roeslan Saleh

Pertanyaan yang banyak dikemukakan oleh orang adalah apakah kriminologi itu bagian dari ilmu
hukum pidana. Pertanyaan ini muncul disebabkan oleh objek permasalahan yang menjadi perhatian
dari hukum pidana juga menjadi perhatian dari kriminologi.

Roeslan Saleh mengemukakan bahwa pada masa lampau, perbedaan antara Hukum Pidana dengan
Kriminologi sangat besar. Kriminologi bukan merupakan bagian dari ilmu pengetahuan hukum
pidana. Hukum pidana adalah ilmu pengetahaun dogmatis yang berkerja secara deduktif. Sedangkan
kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang berorientasi kepada ilmu pengetahuan alam kodrat yang
menggunakan metoda empiris-induktif.

Sesuai perkembangannya, perbedaan ini menjadi tidak begitu tajam, terutama setelah Perand Dunia
II, di mana kriminologi berkembang menjadi ilmu pengetahuan yang lebih banyak membahas
tentang tingkah laku manusia. Dikatakan bahwa kriminologi telah berubah dari ilmu pengetahuan
menjadi ilmu pengetahuan gamma. Begitu pula dengan ilmu pengetahuan hukum pidana, yang
mulai banyak memberikan tekanan kepada arti fungsional dan arti sosial dari kelakukan seseorang,
dan kasuistik memainkan peranan yang besar, di mana sampai batas-batas tertentu, hukum pidana
juga menggunakan induksi dan empiri.

Namun demikian, perbedaan antara kedua disiplin ilmu tetap ada. Hukum Pidana masih dipandang
sebagai ilmu pengetahuan normatif yang penyelidikan-penyelidikannya adalah sekitar aturan-aturan
hukum dan penerapan dari aturan-aturan hukum itu dalam rangka pendambaan diri terhadap cita-
cita keadilan. Hukum pidana adalah ilmu pengetahuan yang mengkaji norma-norma atau aturan-
aturan yang seharusnya, lalu dirumuskan dan ditetapkan, dan kemudian diberlakukan. Hukum
pidana bersifat umum dan universal, dan disebut sebagai post factum ‘setelah kejaidan’. Suatu
ketetapan dapat dirumuskan jikalau apabila permasalahan kejahatan telah terjadi di dalam
masyarakat, kemudian diberlakukan suatu aturan atau norma yang memberikan batas-batas.
Sementara itu, kriminologi, yang meskipun dalam beberapa hal berpangkal tolak dari konsepsi
hukum pidana, lebih banyak menelusuri dan menyelidiki tentang kondisi-kondisi individual dan
kondisi-kondisi sosial dari konflik-konflik, dan akibat-akibat serta pengaruh-pengaruh dari represi
konflik-konflik dan membandingkannya secara kritis efek-efek dari represi yang bersifat
kemasyarakatan disamping juga tindakan-tindakan itu. Berbeda dengan hukum pidana yang bersifat
normative, kriminologi lebih mengkaji tentang kenyataan yang senyata-nyatanya, menafsirkan
konteks, yang didapati dari hasil penelitian. Kriminologi bersifat lebih khusus dan terbatas. Oleh
karena itu kriminologi disebut sebagai pre factum ‘sebelum kejadian’, di mana kriminologi lebih
mengkaji sebab musabab dari suatu permasalahan kejahatan.

Meski berbeda, para ahli hukum pidana tetap memerlukan kriminologi sebagai ilmu pengetahuan
pembantu. Dengan menyadari sifat tersendiri dari masing-masing ilmu pengetahuan ini, ilmu
pengetahuan hukum pidana dan kriminologi harus bekerja secara berpasangan, tetapi dengan
arahnya yang berlawanan. Di antara kedua disiplin ilmu pengetahuan ini, terdapat pikiran integrasi
yang saling memerlukan antara satu sama lain. Meskipun berbeda, ilmu pengetahuan hukum pidana
dan kriminologi tidak dapat dipeisahkan. Dan justru diperbatasannya ini timbul persoalan-persoalan.

Objek dari ilmu pengetahuan hukum pidana adalah hukum yang berlaku, norma-norma dan sanksi-
sanki hukum pidana yang berlaku. Hal ini harus dijelaskan, dianalisa dan disistematsi oleh hukum
pidana untuk mendapatkan penerapan yang lebih baik lagi. Ilmu pengetahuan hukum pidana harus
meneliti tentang asas-asas yang menjadi dasar dari ketentuan undang-undang. Selain bersifat
sistematis, tugas ilmu pengetahuan hukum pidana juga bersifat kritis. Ilmu pengetahuan ini harus
mengkaji kepatutan dari asas-asas itu sendiri dan seberapa jauhkah norma-norma dari hukum yang
berlaku itu harus berada dalam keadaan yang harmonis dengan asas-asas ini.

Hidup manusia tidak dapat dipisahkan dari “hukum”. Hukum itu selalu tumbuh, hampir setiap hari
sehingga hampir tidak ada hal dalam kehidupan ini yang tidak dicampuri hukum. Pertanyaan
mengenai dari mana datang dan tumbuhnya hukum, dijawab secara klasik, yang jawabannya adalah
hukum bersumber dari undang-undang, kebiasaan, peradilan dan ajaran-ajaran hukum. Akan tetapi
diantara sumber-sumber hukum ada kepatutan-kepatutuan, tetapi hampir tidak ada yang mengkaji
tentang kepatutan-kepatutan itu, padahal dia justru sangat menentukan. Dalam hal ini, kriminologi
memainkan perannya. Kriminologi membuka jalan terang kea rah sumber kepatutan-ketapatutan ini.
Jadi, kriminologi membantu ilmu pengetahuan hukum pidana. Kriminologi menunjukkan kepada
pembentuk undang-undang dan hakim menengai tanggung jawab mereka yang sangat besar dalam
bidang kemanusiaan. Melupakan “kepatutan” atau tidak tahu tentang “kepatutan” akan
menyinggung pula hal-hal termasuk bidang kemanusian yang menjadi kurang diperhatikan.
Ilmu pengetahuan hukum pidana juga mendapatkan tempat di kriminologi. Dalam suatu rantaian
penelitian kriminologis yang bersifat interdisipliner, ilmu hukum mempunyai fungsi. Ilmu hukum
menunjukkan kepada kriminologi seberapa jauh materi tertentu telah diperhatikan oleh hukum,
misalnya perundang-undangan tentang kejahatan remaja. Hukum menunjukkan kepada kriminologi
sorotan dan pandangan ilmiah sekitar hukum tentan hal tersebut. melalui sejarah hukum, seorang
ahli kriminologi mengetahui bagaimana perundangan-udangan terdahulu mengenai hal tersebut,
atau melalui perbandingan hukum: mengatur tentang hal yang sama.

Jadi, kriminologi dan ilmu hukum pidana saling mempengaruhi. Kriminologi menerima hukum itu
seperti yang dimaksudkan oleh ilmu hukum pidana, sebaliknya kriminologi dan praktek hukum
memperkaya ilmu hukum pidana dan mengadakan evaluasi atas hukum pidana itu.

Dengan menyimak kemungkinan-kemungkinan pertumbuhan hukum pidana dan kriminologi yang


akan terjadi di masa depan, kita perlu mengadakan sintesa antara latar belakang dari terjadinya
aliran-aliran berpikir secara ilmiah dengan kemungkinan-kemungkinan dapat bertumbuh dan
berkembangnya ilmu-ilmu hukum pidana dan kriminolgi itu secara terintegrasi.

Perbedaan metoda dan etos pandangan kemanusiaan antara kedua disiplin ilmu itu, pada saat
sekarang ini, tidak boleh mengakibatkan suatu keadaan bertentangan. Perbedaan metoda, yaitu
normatif deduktif dan empiris induktif, yang dikatakan membuat kriminologi itu tidak berhukum,
artinya memusatkan diri pada kejadian-kejadian dan melupakan norma-norma, mengutamakan
individu daripada sistem sosial, pada masa sekarang harus segera diralat. Begitu juga sebaliknya,
hukum pidana harus lebih banyak melihat justiabel sebagai manusia agar dapat melaksanakan
tugasnya seperti diharapkan oleh perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan dewasa ini.

Pelaksanaan tugas dari ilmu pengetahuan hukum pidana yang demikan mengakibatkan orang-orang
pada dewasa ini telah banyak berkecimpung dalam hukum pidana, baik dalam teori maupun
praktek, yang melihat persoalan-persoalan hukum pidana tidak lagi sebagai persoalan yang abstrak.
Orang semakin banyak menaruh perhatian kepada “manuisa”, dan semakin mendalam. Hal ini
mendapat perhatian dari kriminologi, dan berpengaruh terhadap hukum pidana.

Hakekat dan keadian dan hakekat dari hukuman itu dapat disentuh dan dialami oleh ahli hukum dan
bukannya bersifat abstrak. Dia itu adalah kenyataan yang sebenarnya sangat dalam letaknya dan
merupakan dasari dari kehidupan masyarakat. Denga keterbukaan mengakui kenytaan-kenyataan
ini, seorang hakim pidana akan benar-benar mengadili dalam arti memberiak keadilan. Bukan hanya
ilmu pengetahuan hukum pidana yang membimbing, tetapi juga kriminologi. Degan demikian
jelaslah sudah bahwa masing-masing ilmu pengetahuan ini akan mengejar dan mendalami
kekhususannya itu kearah ilmu pengetahuan yang lain. Ilmu pengetahuan hukum pidana mengarah
ke kriminologi, dan kriminologi mengarah ke ilmu pengetahuan hukum pidana.

You might also like