You are on page 1of 16

BAB I

PENDAHULUAN
Dewasa ini kehadiran agama semakin dituntut agar ikut terlibat secara aktif di
dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi ummat manusia. Agama tidak
boleh hanya sekedar menjadi lambing kesalehan atau berhenti sekedar disampaikan
dalam khutbah, melainkan secara konsepsual menunjukkan cara-cara paling efektif
dalam memecahkan masalah. Tuntutan terhadap agama yang demikian itu dapat
dijawab manakala pemahaman agama yang selama ini banyak menggunakan
pendekatan teologis normative dilengkapi dengan pemahaman agama yang
menggunakan pendekatan lain yang secara operasional konseptual dapat memberikan
jawaban terhadap masalah yang timbul.

Berkenaan dengan pemikiran yang di atas, penulis ingin mengajak pemmbaca


untuk mengkaji berbagai pendekatan yang dapat digunakan dalam memahami
agama, karena melalui pendekatan tersebut kehadiran agama secara fungsional dapat
dirasakan penganutnya. Sebaliknya, tanpa mengetahui berbagai pendekatan tersebut,
maka tidak mustahil agama menjadi sulit dipahami oleh masyarakat, tidak fungsional
dan akhirnya masyarakat mencari pemecahan masalah kepada selain agama dan hal
ini tidak boleh terjadi. Beberapa pendekatan tersebut meliputi pendekatan
antropologis, sosiologis, fenomenologis, filosofis, histories, politis, psikologis, dan
interdisipliner. Adapun pendekatgan yang dimaksud disini adalah cara pandang atau
paradigma yang terdapat dalam satu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam
memahami agama. Dalam hubungan ini, Jalaluddin Rahmat mengatakan bahwa
agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma. Realitas keagamaan
yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan kerangka
paradigmanya. Karena tidak ada persoalan apakah penelitian agama itu penelitian
ilmu social, penelitian legalistic atau penelitian filosofis.1

1
Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim (Ed.), Metodelogi Penelitian Agama Sebuah Pengantar
(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogyakarta, 1990), cet. 11, hal. 92.

1
BAB II
BERBAGAI PENDEKATAN DI DALAM MEMAHAMI AGAMA
Berbagai pendekatan di dalam memahami agama dapat dikemukakan sebagai
berikut.
1. PENDEKATAN ANTROPOLOGIS
Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai
salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktek keagamaa
yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Cara-cara yang dilakukan dalam
disiplin ilmu antropologi dalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk
memahami agama. Penelitian antropologis yang induktif dan grounded, yaitu turun
ke lapangan tanpa berpijak pada atau setidak-tidaknya dengan upaya membebaskan
diri dari kungkungan teori-teori formal yang pada dasarnya sangat abstrak yang
sebagaimana yang dilakukan di bidang sosiologi dan lebih-lebih ekonomi yang
mempergunakan model-model matematis, banyak juga memberi sumbangan kepada
penelitian historis.2

Melalui pendekatan antropologis, kita dapat melihat agama dalam


hubungannya dalam mekanisme pengorganisasian (social organization) juga tidak
kalah menarik untuk dikatahui oleh para peneliti social keagamaan. Kasus di
Indonesia, peneliti Clifford Geertz dalam karyanya The Religion of Java melihat
adanya klasifikasi social dalam masyarakat Muslim di Jawa, antara santri, priyayi
dan abangan.

Selanjutnbya melalui pendekatan antropologis ini juga dapat ditemukan


keterkaitan agama dengan psikoterapi. Sigmun Freud (1856-1939) pernah
mengaitkan agama dengan Oedipus komplek, yakni pengalaman infantile seorang
anak yang tidak berdaya dihadapan kekuatan dan kekuasaan bapaknya. Agama
dinilai sangat neurosis. Dalam psikoanalisanya, dia mengungkapkan hubungan antara
Id, Ego, dan Superego. Meskipun penelitian Freud berakhir dengan kurang simpati
realita keberagaman manusia, tetapi temuan ini cukup memberi peringatan terhadap

2
M. Darman Raharjo, “Pendekatan Ilmiah Terhadap Fenomena Keagamaan” dalam M. Taufik
Abdullah dan M. Rusli Karim, Metodelogi Penelitian Agama (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990). Cet.
11.hlm.19.

2
beberapa kasus keberagaman tertentu yang lebih terkait dengan patologi social
maupun kejiwaan. Jika Freud oleh beberapa kalangan dilihat terlalu minor melihat
fenomena keberagamanan manusia, lain halnya dengan psikoanalisa yang
dikemikakan C.G.Jung.Jung malah menemukan hasil psikoanalisanya yang terbalik
arah dari apa yang dikemukakan oleh Freud. Menurutnya, ada korelasi yang sangat
positif antara agama dengan kesehatan mental.

Dalam Al-Quran Al-Karim, sebagai sumber utama ajaran islam misalnya kita
memperoleh informasi tentang kapal Nabi Nuh di gunubg Arafat, kisah Ashabul
Kahfi yang dapat bertahan hidup dalam gua lebih dari tiga ratus tahun lamanya. Di
mana kira-kira bangkai kapal Nabi Nuh itu, dan dimana kira-kira gua itu dan
bagimana pula bisa terjadi hal yang menakjubkan itu, ataukah hal yang demikian
merupakan kisah fiktif, dan tentu masih banyak lagi contoh lain yang hanya dapat
dijelaskan dengan bantuan ahli geografi dan arkeologi.

Dengan demikian pendekatan antropologi sangat dibutuhkan dalam


memahami ajaran agama, akrena dalam ajaran agama tersebut etrdapat uraian dan
informasi yang dapat dijelaskan lewat bantuan ilmu geografi dan arkeologi.3

2. PENDEKATAN SOSIOLOGIS
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat
dan meyelidiki ikatan-ikatan anatara manusia yang menguasai hidupnya itu.
Sosiologi mencoba mengerti sifat dan maksud hidup bersama, cara terbentuk dan
tumbuh serta berubahnya perserikatan-perserikatan hidup itu serta pula
kepercayaannya keyakinan yang memberi sifat tersendiri kepada cara hidup bersama
itu dalam setiap persekutuan hidup manusia.4 Soerjono Soekanto mengartikan
sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan yang membatasi diri terhadap persoalan
penilaian. Sosiologi tidak menetapkan kemana arah sesuatu yang seharusnya
berkembang dalam arti petunjuk-petunjuk yang menyangkut kebijaksanaan
kemasyarakatan dari proses kehidupan bersama tersebut. Di dalam ilmu ini juga

3
Mukti Ali, op. cit, hlm. 43.
4
Hassan Shadly,Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia, (Jakarta: BINA Aksara, 1983), cet. 1X,
HLM.1.

3
dibahas tentang proses-proses social, mengingat bahwa pengetahuan perihal struktur
masyarakat saja belum cukup untuk memperoleh gambaran yang nyata mengenai
kehidupan bersama dari manusia.5

Selanjutnya sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam


memahamio agama. Dalam agama islam dapat dijumpai peristiwa Nabi Yusuf yang
dahulu budak lalu akhirnya bisa menjadi penguasa di Mesir. Mengapa dalam
meyelesaikan tugasnya Nabi Musa dibantu oleh Nabi Harun, dan contoh lainnya.
Beberapa peristiwa tersebut dapat ditemukan hikmahnya dengan bantuan ilmu social.
Disinilah letaknya sosiologi sebagai salah satu alat dalam memahami ajaran agama.

Dalam bukunya berjudul Islam Alternatif, Jalaluddin Rahmat telah


menunjukkan betapa besarnya perhatikan agama yang dalam hal ini islam terhadap
masalah sosial, dengan mengajukan 5 alasan sebagai berikut:

Pertama dalam Al-Quran atau kitab-kitab Hadits, proporsi terbesar kedua


sumber hukum islam itu berkenaan dengan urusan muamalah. Menurut Ayatullah
Khomaeni dalam bukunya Al-Hukumah Al Islamiyah yang dikutip Jalaluddin
Rahmat dikemukakan bahwa perbandingan antara ayat-ayat ibadah dan ayat-ayat
yang menyangkut kehidupan social adalah salah satu perbandingan seratus untuk
satu ayat ibadah, ada seratus untuk ayat muamalah (masalah sosial).

Kedua, bahwa ditekankannya masalah muamalah (sosial) dalam islam ialah


adanya kenyataan bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan
muamalah yang penting, maka ibadah boleh diperpendek, melainkan dengan tetap
dikerjakan semana mestinya.

Ketiga, bahwa ibadah yang mengadung segi kemasyarakatan diberi ganjaran


yang lebih besar daripada ibadah yang bersifat perseorangan. Karena itu shalat yang
dilakukan secara berjamaah dinilai lebih tinggi nilainya daripada shalat yang
dikerjakan sendirian (munfarid) dengan ukuran atau berbanding dua puluh derajat.

5
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Cv Rajawali, 1982), cet. 1. hlm. 18 dan 53.

4
Keempat, dalam islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak
sempurna atau batal, karena melanggar pantangan tertentu, maka kifaratnya
(tebusannya) ialah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial.
Dalam Hadits qudsi dinyatakan bahwa salah satu tanbda orang yang diterima
shalatnya adalah orang yang menyantuni orang-orang yang lemah, menyayangi
oprang miskin, anak yati, janda yang mendapat musibah.6

Kelima, dalam islam terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang
kemasyarakatn mendapat ganjaran lebih besar daripada ibadah sunah. Dalam
hubungan ini ada hadits yang artinya sabagai berikut:
“Orang yang bekerja keras untuk menyantuni janda dan orang miskin, adalah
seperti pejuang di jalan Allah SWT (atau kira-kira beliau berkata) dan seperti orang
yang terus-menerus shalat malam dan terus-menerus berpuasa.” (H.R. Bukhari dan
Muslim).
Dalam Hadits yang lain, Rasulullah SAW menyatakan sebagai berikut:
“Maukah kamu beritahukan aku derajat apa yang lebih utama daripada shalat,
puasa dan sedekah (sahabat menjawab): Tentu. Yaitu mendamaikan dua pihak yan g
bertengkar.” (H.R. Abu Daud, Tarmidzi dan Ibn Hibban).

Melalui pendekatan sosiologis agama akan dapat dipahami dengan mudah,


karena agama itu sendiri diturunkan untuk kepentingan sosial.

3. PENDEKATAN FENOMENOLOGIS
Kata fenomena dalam bahasa inggris ”phenomenon” bentuk pluralnya
“phenomene dari kata Yunani “phainaomen” dari kata phainasthai” yang berarti “to
show”. Dalam bahasa inggris secara istilah fenomena itu terbatas pada fisik dan
mental. Fenomena fisik merupakan objek persepsi sedangkan fenomena mental
menjadi bahan introspeksi.

6
Secara lengkap hadits tersebut artinya adalah: “Aku hanya akan menerima shalat dari orang yang
merendahkan diri karena kebesaran-Ku, yang tidak sombong pada makhluk-Ku, yang tidak
menghalangi maksiat kepada-Ku, yang mengisi siang dengan zikir kepada-Ku, yang menyayangi
orang miskin, ibn sabil, janda dan mengasihani orang yang mendapat musibah. Lihat Sayyid Sabiq,
Islamuna,(Beirut: Dar al-Kutub ai-Arabi, tanpa tahun).hlm. 119.

5
Dalam kamus “Dictionary of Philosophy” Dogobert D. Runnes menjelaskan
bahwa fenomenalisme mengasumsikan dua makna. Pertama, menolakn adanya
realitas dibalik fenomena. Kedua, menegaskan bahwa realitas adalah things in them
selves, namun menolak bahwa realitas semacam itu dapat diketahui.

Hamper sama halnya dengan Runes, juga ditemukan dalam kamus


“Dictionary of philosophy” susunan peter A. Angels , fenomena adalah objek
persepsi atau objek yang bisa dipahami: fenomena adalah objek dari sense
experience, yakni objek pengalaman indera; fenomena adalah suatu yang hadir ke
dalam kesadaran, fenomena adalah setiap fakta atau kejadian yang dapat
diobservasi.7

Charles J. Adams menyampaikan gagasan dalam mengaplikasikan


pendekatan fenomenologis dalam penelitian agama, beliau memberika dua hal yang
diperlukan untuk memahami pendekatan fenomenologi. Pertama, fenomenologi
hendaknya diartikan sebagai metode memahami agama orang lain dengan cara
menempatkan diri pada posisi netral. Fenemenologi digunakan untuk menerapkan
metode dalam meletakkan pandangan subyektif peneliti. Kedua, sebagai konstruksi,
agama, budaya dan zaman.8

4. PENDEKATAN INTERDISIPLINER
Pendekatan interdisipliner yang dimaksud disini adalah kajian dengan
menggunakan sejumlah pendekatan atau sudut pandang (perspektif). Dalam studi
misalnya menggunakan pendekatan sosiologis, histories dan normative secara
bersamaaan. Pentingnya penggunaan pendekatan ini semakin disadari keterbatasan
dari hasil-hasil penelitian yang hanya menggunakan satu pendekatan tertentu.
Misalnya, dalam mengkaji teks agama, seperti Al-Quran dan Sunnah Nabi tidak
cukup hanya mengandalkan pendekatan tekstual, tetapi harus dilengkapi dengan
pendekatan sosiologis dan historis sekaligus, bahkan masih perlu ditambah dengan
pendekatan hermeneutic misalnya.
7
Khozim Afandi “Hermenetika dan Fenomenologi Dari Teori Ke Praktek” (Pasca Sarjana IAIN
Sunan Ampel Surabaya, 2007),hal. 6.
8
Charles J. Adams, Islamic Religious Transition, dalam “ The Studyof The Middle East”(New York
Awiley Publication, 1976),hlm. 50-51.

6
Dari kupasan si atas melahirkan beberapa catatan. Pertama, perkembangan
pembidangan studi islam dan pendekatannya sejalan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan itu sendiri. Kedua, adanya penekanan terhadap bidang dan pendekatan
tertentu dimaksudkan agar mampu memahami ajaran islam lebih lengkap
(komprehensif) sesuai dengan kebutuhan tuntutan yang semakin lengkap dan
komplek. Ketiga, perkembangan tersebut adalah satu hal yang wajar dan seharusnya
memang terjadi, kalau tidak menjadi pertanda agama semakin tidak mendapat
perhatian.

Contoh dalam penggunaan pendekatan interdisipliner adalah dalam


menjawab status hukum aborsi. Untuk melihat status hukum aborsi perlu dilacak
nash Al-Quran dan Sunnah Nabi. Tentang larangan pembunuhan terhadap anak dan
proses atau tahap penciptaan manusia dihubungkan dengan teori embriologi.9

5. PENDEKATAN FILOSOFIS
Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta kepada
kebenaran, ilmu dan hikmah, mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab
dan akibat serta menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia.10 Dalam Kamus
Umum Bahasa Indonesia, Poerwadinata mengartikan filsafat sebagai pengetahuan
dan penyelidikan dengan akal budi mengenai sebab-sebab, asas-asas, hukum dan
sebagainya terhadap segala yang ada di alam semestamaupun mengenai kebenaran
dan arti “adanya” sesuatu.11 Pengertian filsafat yang umumnya digunakan adalah
yang dikemukakan Sidi Gazalba. Menurutnya filsafat adalah berfikir secara
mendalam, sistematik, radikal, dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti,
hikmah atau hakikat mengenai segala sesuatu yang ada.12

9
Buka Situs web “Pendekatan islam secara interdisliner”.
10
Omar Mohammad al-Tomy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam,(terj.) Hasan Langgulung dari
judul asli Falsafah al-tarbiyah al-islamiyah,(Jakarta: Bulan Bintang, 1979),cet. I. hal.25)
11
J.S. Poerwadinata, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), cet. XII, hal.
280.
12
Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, jilid 1,(Jakarta: Bulan Bintang, 1967), cet. II, hal. 15.

7
Louis O. kattsof mengatakan, bahwa kegiatan kefilsafatan ialah merenung.
Tetapi merenung bukanlah melamun, juga bukan berfikir secara kebetulan yang
bersifat untung-untungan, melainkan dilakukan secara mendalam, radikal, sistematik,
dan universal.13 Pendekatan agama secara filosofis adalah untuk memahami ajaran
agama, dengan maksud agar hikmah, hakikat atau inti dari ajaran agama dapat
dimengerti dan dipahami secara seksama. Dalam sebuah buku yang berjudul Hikmah
al-Tasyri’ wa falsafatubu yang ditulis oleh Muhammad al-Jurjawi, ia
mengungkapkan hikmah yang terdapat di balik ajaran-ajaran agama islam.

Dengan menggunakan pendekatan filosofis ini, seseorang akan dapat


memberi makna terhadap sesuatu yang dijumpainya dan dapat pula menangkap
hikmah dan ajaran yang terkandung di dalamnya. Dengan cara demikian ketika
seseorang mengerjakan suatu amal ibadah tidak akan merasa kekeringan spiritual
yang dapat menimbulkan kebosanan. Semakin mampu menggali makna filosofis dari
suatu ajaran agama, akan semakin meningkat pula sikap, penghayatn dan daya
spiritualitas yang dimiliki seseorang.

Melalui pendekatan filosofis ini, seseorang tidak akan terjebak apada


pengalaman agama yang bersifat formalistic, yakni mengamalkan agama dengan
susah payah tapi tidak memiliki makna apa-apa kosong tanpa arti yang mereka
dapatkan dari pengalaman agama tersebut hanyalah pengakuan formalistic, misalnya
sudah haji, sudah menunaikan rukun islam yang kelima dan berhenti sampai disitu.
Mereka tidak dapat merasakan nilai-nilai spiritual yang terkandung di dalamnya.
Menurut Nasr mengapa hanya oleh segelintir orang, jawabannya bias dicari dalam
hakikat filsafat hanya mengabdikan pikirannya saja, melainkan seluruh hidupnya. Ia
menuntut suatu pengahayatan total, bukan hanya sebatas studi akademis terhadap
persoalan agama.14 Bagi aliran ini, studi agama dan agama-agama adalah aktivitas

13
Louis O. Kattsof, Pengantar Filsafat, (terj.), Soejono Soemargono dari judul asli Elements of
Philosophy, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1989), cet. IV, hal..6.
14
Isma’il R. and Lois Lamnya Al-Faruqi, The Cultural Atlas of Islam, New York: Macmillan
Publisher Company, 1986), hlm.65.

8
keagamaan itu sendiri, dan mempunyai makna keagamaan. Semua studi agama
hanya bermakna kalau ia memiliki makna keagamaan.15

Islam sebagai agama yang banyak menyuruh penganutnya mempergunakan


akal pikiran sudah dapat dipastikan sangat diperlukan pendektan filosofis dalam
memahami ajaran agamanya, yang contoh-contohnya telah dikemukakan di atas.
Namun demikian pendekatan seperti ini masih belum diterima secara merata
terutama oleh kaum tradisionalis formalistis yang cenderung memahami agama
terbatas pada ketetapan melaksanakan aturan-aturan formalistic dari pengalaman
agama.

6. PENDEKATAN HISTORIS
Sejarah atau histories adalah suatu ilmu yang di dalamnya dibahas berbagai
peristiwa dengan memperhatikan unsure tempat, waktu, objek, latar belakang dan
pelaku dari peristiwa tersebut.16 Menurut ilmu ini segala peristiwa dapat dilacak
dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, dimana, apa sebabnya, siapa yang terlibat
dalam peristiwa tersebut.
Pendekatan kesejarahan ini sangat dibutuhkan dalam memahami agama,
karena agama itu sendiri turun dalam situasi yang konkret bahkan berkaitan dengan
kondisi social kemasyarakatan. Dalam hal ini Kuntowijoyo telah melakukan studi
yang mendalam terhadap agama yang dalam hal ini islam, menurut pendekatan
sejarah. Ketika ia mempelajari Al-Quran, ia sampai pada suatu kesimpulan yang
pada dasarnya kandungan Al-Quran itu terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama,
berisi konsep-konsep, dan bagian kedua berisi istilah-istilah sejarah dan
perumpamaan.

Dalam bagian pertama yang berisi konsep-konsep, istilah Al-Quran merujuk


kepada pengertian-pengertian normative yang khusus, doktrin-doktrin etik, aturan-
aturan legal dan ajaran-ajaran keagamaan pada umumnya. Istilah-istilah itu
kemudian diintegrasikan ke dalam pandangan dunia Al-Quran, sehingga menjadi
15
Komaruddin Hidayat and Mohammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspekti Filsafat
Perennial, (Jakarta: Paramadina, 1995), cet. I, hal. 12.
16
Lihat Taufik Abdullah (Ed), Sejarah dan Masyarakat, ( Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), hal. 105.

9
konsep-konsep yang otentik. Dalam bagian ini, kita mengenal konsep, baik abstrak
maupun konkret. Konsep tentang Allah, malikat, akhirat, ma’ruf dan munkar.
Sementara itu, konsep-konsep yang lebih baik menunjuk kepada fenomena konkret
dan dapat diamati (observable), misalnya konsep tentang fuqura (orang-orang kafir)
dhu’afa (orang-orang lemah), mustadl’afin (kelas tertindas), zhalimun (para tiran),
agbniya (orang kaya), mustakbirun (penguasa), mufasidun (koruptor-koruptor).

Selanjutnya bagian kedua yang berisi kisah-kisah atau perumpamaan, Al-


Quran ingin mengajak dilakukannya perenungan untuk memperoleh hikmah. Melalui
kontemplasi terhadap peristiwa histories dan juga melalui metaphor-metafor yang
berisi hikmah tersembunyi, manusia diajak merenungkan hakikat dan makna
kehidupan. Banyak sekali ayat yang berisi ajakan semacam ini, tersurat maupun
tersirat, baik menyangkut hikmah historis maupun menyangkut simbol-simbol.
Misalnya simbol tentang rapuhnya rumah laba-laba, tentang luruhnya sehelai daun
yang tak lepas dari pengamatan Tuhan, atau tentang keganasan samudera yang
menyebabkan orang-orang kafir berdo’a.17

Seseorang yang ingin memahami Al-Quran secara benar misalnya, yang


bersangkutan harus memppelajari sejarah turunnya Al-Quran yang selanjutnya
disebut sebagai ilmu Asbab al-Nuzul (ilu tentang sebab-sebab turunnya ayat Al-
Quran) yang pada intinya berisi sejarah turunnya ayat Al-Quran. Dengan ilmu
Asbabun nuzul ini seseorang akan dapat mengetahui hikmah yang terkandung dalam
suatu ayat yang berkenaan dengan hukum tertentu, dan ditujukan untuk memelihara
syari’at dari kekeliruan memahaminya.18

7. PENDEKATAN POLITIS
Dalam Kamus Bahsa Indonesia, karangan W.J.S. Poerwadinata, politik
diartikan sebagai pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan, seperti tata
cara pemerintahan, dasar-dasar pemerintahan dan sebagainya, dan dapat pula berarti
segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan, siasat, dan sebagainya mengenai
pemerintahan sesuatu Negara atau terhadap Negara lainnya.
17
Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1991), cet. 1. hal. 328.
18
Manna’ al-Qaththan, Mababits fi Ulum al_Quran, (Mesir: Daral_ma’rif, 1997), hal. 79.

10
Selanjutnya suatu system, politik adalah suatu konsepsi yang berisikan antara
lain ketentuan-ketentuan tentang siapa sumber kekuasaan Negara, siapa pelaksana
kekuasaan tersebut, apa dasar dan bagimana cara untuk menetukan, serta kepada
siapa kewenangan melaksanakan kekuasaan itu diberikan, kepada siapa pelaksanaan
kekuasaan itu bertanggungjawab dan bangaimana bentuk tanggung jawabnya.

Pendekatan islam secara politik yang ada di kalangan masyarakat pada


umumnya kurang melihat hubungan masalah politik dengan agama. Hal ini antara
lain disebabkan karena pemahaman yang kurang utuh terhadap cakupan ajaran
agama islam itu sendiri. Kuntowijoyo mengatakan: “Banyak orang, bahkan pemeluk
islam sendiri, tidak sadar bahwa islam bukan hanya agama, tetapi juga sebuah
komunitas (umat) tersendiri yang mempunyai pemahaman, kepentingan, dan tujuan-
tujuan politik sendiri. Banyak orang beragama islam, tetapi hanya menganggap islam
adalah agama individual, dan lupa kalau islam juga merupakan kolektivitas. Sebagai
kolektivitas, islam mempunyai kesadaran, struktur, dan mampu melakukan aksi
bersama.
Pernyataan atau tesis tersebut selanjutnya dibuktikan oleh kuntowijoyo secara
meyakinkan dalam bukunya itu, bahwa islam memiliki konsep tentang politik.

Keterkaitan agama islam dengan aspek politik selanjutnya dapat diikuti dari
uraian yang diberikan Harun Nasution dalam bukunya Islam Ditinjau Dari Berbagai
Aspeknya Jilid II. Dalam buku tersebut Harun Nasution malah menegaskan bahwa
persoalan yang pertama-tama yang timbul dalam islam menurut sejarah bukanlah
persoalan tentang keyakinan melainkan persoalan politik. Ketika Nabi SAW berada
di Madinah, beliau tidak hanya mempunyai sifat Rasul Allah, tetapi juga mempunyai
sifat kepala negara setelah beliau wafat mesti diganti oleh orang lain untuk
memimpin Negara yang beliau tinggalkan. Para peneliti sejarah politik ada yang
mengkategorikan bahwa corak politik yang dterapkan oleh Nabi Muhammad SAW
adalah bercorak teo-demokratis, yaitu suatu pola pemerintahan yang dalam
menyelesaikan setiap persoalan terlebih dahulu melakukan musyawarah baru
kemudian menunggu ketetapan dari Tuhan. Hal ini dimungkinkan karena pada masa

11
Nabi Muhammad SAW wahyu masih dalam proses turunnya. Maka dari itu
pendekatan agama secara politik sangat dibutuhkan.19

8. PENDEKATAN PSIKOLOGIS
Psikologi atau ilmu jiwa adalah ilmu yang mempelajari jiwa seseorang
melalui gejala perilaku yang dapat diamatinya. Menurut Zakiah Daradjat,20 bahwa
perilaku seseorang yang nampak lahiriyah terjadi karena dipengaruhi oleh keyakinan
yang dianutnya. Ilmu jiwa agama sebagaimana dikemukakan Zakiah Daradjat tidak
akan mempersoalkan benar tidaknya suatu agama yang dianut seseorang, melainkan
yang dipentingkan adalah bagaimana keyakinan agama tersebut terlihat pengaruhnya
dalam perilaku penganutnya.

Dalam ajaran agama banyak kita jumpai istilah-istilah yang menggambarkan


sikap batin seseorang. Misalnya sikap beriman dan bertaqwa kepada Allah, sebagai
orang yang saleh, orang yang baik, orang yang sadik (jujur) dan sebagainya. Semua
itu adalah gejala-gejala kejiwaan yang berkaitan dengan agama.

Dengan pengetahuan ini, maka dapat disusun langkah-langkah baru yang


lebih efisien lagi dalam menanamkan ajjaran agama. Itulah sebabnya ilmu jiwa
banyak digunakan sebagai alat untuk menjelaskan gejala atau sikap keagamaan
seseorang
Dari uraian tersebut di atas kita melihat ternyata agama dapat dipahami
melalui berbagai pendekatan. Dengan pendekatan itu semua orang akan sampai pada
agama. Seorang teolog, sosiolog, antropolog, sejarawan dan ahli jiwa akan sampai
pada pemahaman agama yang benar. Disini kita melihat bahwa agama bukan hanya
monopoli kalangan teolog dan normativ belaka, melainkan agama dapat dipahami
semua orang sesuai dengan pendekatan dan kesanggupan yang dimilikinya. Dari
keadaan demikian seorang akan memiliki kepuasaan dari agama, karena seluruh
persoalan hidupnya mendapat bimbingan dari agama.

19
Buka situs web “Pendekatan Agama Secara Politis”.
20
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987 ), cet. 1 hlm. 76.

12
KESIMPULAN
Pendekatan adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu
bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama.
Pendekatan dibagi mejadi 8 macam:
1. Pendekatan Antropologis

13
2. Pendekatan Sosiologis
3. Pendekatan Fenomenologis
4. Pendekatan Interdisipliner
5. Pendekatan Filosofis
6. Pendekatan Historis
7. Pendekatan Politis
8. Pendekatan Psikologis

Dari uraian tersebut dapat kita lihat, ternyata agama harus dipahami melalui
berbagai pendekatan. Dengan pendekatan-pendekatan itu, semua orang akan sampai
pada agama yang sebenarnya, seorang teolog, sosiolog, antropolog, sejarawan , dan
ahli ilmu jiwa akan sampai pada pemahaman agama yang sebenar-benarnya. Hal
demikian perlu dilakukan, karena melalui pendekatan tersebutlah kehadiran agama
secara fungsional dapat diraswakan oleh penganutnya. Sebaliknya tanpa mengetahui
berbagai pendekatan- pendekatan tersebut, maka tidak mustahil agama menjadi sulit
oleh masyarakat, tidak fungsional dan akhirnya masyarakat mencari pemecahan
masalah kepada selain agama.

Disini kita dapat melihat bahwa agama bukan hanya monopoli kalangan
teolog dan normative belaka, melainkan agama dapat dipahami oleh setiap orang
sesuai dengan pendekatan dan kesanggupan yag dimilikinya. Dari keadaan demikian
seseorang akan memiliki pemahaman dan kepuasan dari pendekatan agama, karena
seluruh persoalan hidupnya akan mendapat bimbingan dan pencerahan dari agama.

DAFTAR PUSTAKA
Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim (Ed.), Metodelogi Penelitian Agama Sebuah
Pengantar (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogyakarta, 1990), cet. 11, hal. 92.

2
M. Darman Raharjo, “Pendekatan Ilmiah Terhadap Fenomena Keagamaan” dalam
M. Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim, Metodelogi Penelitian Agama
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990). Cet. 11.hlm.19.

14
3
Mukti Ali, op. cit, hlm. 43.
4
Hassan Shadly,Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia, (Jakarta: BINA Aksara,
1983), cet. 1X, HLM.1.
5
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Cv Rajawali, 1982), cet. 1.
hlm. 18 dan 53.

6
Sayyid Sabiq, Islamuna,(Beirut: Dar al-Kutub ai-Arabi, tanpa tahun).hlm. 119.
7
Khozim Afandi “Hermenetika dan Fenomenologi Dari Teori Ke Praktek” (Pasca
Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2007),hal. 6.
8
Charles J. Adams, Islamic Religious Transition, dalam “ The Studyof The Middle
East”(New York Awiley Publication, 1976),hlm. 50-51.

9
Buka Situs web “Pendekatan islam secara interdisliner”.
10
Omar Mohammad al-Tomy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam,(terj.) Hasan
Langgulung dari judul asli Falsafah al-tarbiyah al-islamiyah,(Jakarta: Bulan
Bintang, 1979),cet. I. hal.25)
11
J.S. Poerwadinata, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991),
cet. XII, hal. 280.
12
Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, jilid 1,(Jakarta: Bulan Bintang, 1967), cet. II,
hal. 15.

Louis O. Kattsof, Pengantar Filsafat, (terj.), Soejono Soemargono dari judul asli
13
Elements of Philosophy, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1989), cet. IV, hal..6.

Isma’il R. and Lois Lamnya Al-Faruqi, The Cultural Atlas of Islam, New York:
14
Macmillan Publisher Company, 1986), hlm.65.
15
Komaruddin Hidayat and Mohammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan
Perspekti Filsafat Perennial, (Jakarta: Paramadina, 1995), cet. I, hal. 12.
16
Lihat Taufik Abdullah (Ed), Sejarah dan Masyarakat, ( Jakarta: Pustaka Firdaus,
1987), hal. 105.
17
Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1991),
cet. 1. hal. 328.
18

Manna’ al-Qaththan, Mababits fi Ulum al_Quran, (Mesir: Daral_ma’rif, 1997), hal.


79.

15
19
Buka situs web “Pendekatan Agama Secara Politis”.

20 Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987 ), cet. 1 hlm. 76.

16

You might also like