You are on page 1of 16

IBADAH DAN MUAMALAH

 Ibadah dalam Pandangan Islam


A. Definisi Ibadah
Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk.
Sedangkan menurut syara’ (terminologi), definisi ibadah banyak sekali, tetapi
makna dan maksudnya satu. Definisi ibadah tersebut, antara lain :
1. Ibadah adalah taat kepada Allah SWT SWT dengan melaksanakan
perintah-Nya melalui lisan para Rasul-Nya.
2. Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah SWT Azza wa Jalla, yaitu
tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah
(kecintaan) yang paling tinggi.
3. Ibadah dalam pengertian khusus,yaitu “Lima Rukun Islam” yang wajib
dilakukan oleh setiap muslim dengan beberapa pengecualian pada kondisi
khusus.
4. Ibadah dalam pengertian luas atau umum, adalah segala perbuatan yang
dilakukan seseorang dengan niat untuk mencari keridaan Allah SWT

Dalam buku Majmuu'ul Fataawaa, karya Syaikhul Islam Ibnu


Taimiyyah juga disebutkan definisi ibadah. Dalam buku tersebut dikatakan
bahwa ibadah adalah suatu nama yang mencakup setiap apa-apa yang Allah
SWT cintai dan ridhai dari ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan yang zhahir
maupun yang bathin. Maksud dari perbuatan zhahir adalah ibadah yang nampak
yang bisa disaksikan oleh kita. Contoh dari ibadah ini adalah membaca
Al-Qur`an, shalat dan sebagainya. Sedangkan maksud dari perbuatan yang
bathin adalah ibadah yang berkaitan dengan amalan hati seperti cinta kepada
Allah SWT, takut, berharap, tawakkal kepada-Nya dan lain-lain.

A. Pembagian Ibadah
Dengan melihat beberapa definisi ibadah yang telah disebutkan di atas,
maka ibadah itu sendiri dapat dikelompokkan ke dalam beberapa bagian.
Menurut Yazid bin Abdul Qadir Jawaz, ibadah dapat dikelompokkan ke dalam
tiga bagian, yaitu : ibadah hati, ibadah lisan, dan ibadah anggota badan. Menurut
beliau, rasa khauf (takut), raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal
(ketergantungan), raghbah (senang), dan rahbah (takut) adalah ibadah qalbiyah
(yang berkaitan dengan hati). Tasbih, tahlil, takbir, tahmid dan syukur dengan
lisan dan hati adalah ibadah lisaniyah qalbiyah (lisan dan hati), sedangkan
shalat, zakat, haji, dan jihad adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati).
Disamping itu, beberapa ulama juga berpendapat bahwa ibadah terbagi
dalam lima macam, yaitu :
1. 'Ibaadah I'tiqaadiyyah
Seorang muslim meyakini bahwasanya Allah SWT 'Azza wa Jalla
adalah Pencipta, Pemberi Rizki, Yang Mematikan, Yang Menghidupkan,
Yang Mengatur seluruh urusan hamba-hamba-Nya. Selain itu, 'Ibaadah
I'tiqaadiyyah juga meyakini bahwasanya Dia adalah Dzat yang berhak
diibadahi satu-satunya yang tidak ada sekutu bagi-Nya, dari do'a,
menyembelih, nadzar dan sebagainya, serta Dia adalah Dzat yang disifati
dengan sifat-sifat kemuliaan, kesempurnaan, kesombongan, keagungan, dan
yang lainnya dari macam-macam keyakinan tentang Allah SWT,
agama-Nya, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari
akhir dan taqdir yang baik maupun yang buruk.
2. 'Ibaadah Lafzhiyyah
'Ibaadah Lafzhiyyah adalah ibadah yang berkaitan dengan ucapan
lisan, seperti melafazhkan/mengucapkan dua kalimat syahadat, membaca
Al-Qur`an, berdo'a, membaca dzikir-dzikir Nabawiyyah dan lain-lainnya
dari jenis-jenis ibadah lafzhiyyah.
3. 'Ibaadah Badaniyyah
'Ibaadah Badaniyyah merupakan ibadah yang berkaitan dengan
badan, seperti berdiri, ruku' dan sujud di dalam shalat, shaum, amalan-
amalan haji, hijrah, jihad dan yang lainnya dari ibadah-ibadah badaniyyah.
4. 'Ibaadah Maaliyyah
'Ibaadah Maaliyyah adalah ibadah yang berkaitan dengan harta,
seperti zakat, shadaqah dan lainnya.

5. 'Ibaadah Tarkiyyah
Pengertian dari ibadah ini adalah seorang muslim meninggalkan
seluruh hal-hal yang haram, kesyirikan dan bid'ah dalam rangka
melaksanakan syari'at Allah SWT, sehingga menurut ibadah ini diri seorang
muslim akan mendapatkan pahala jika ia meninggalkan sesuatu yang haram
jika dalam pelaksanaannya dalam rangka mengharapkan ridha Allah SWT.

A. Pilar-Pilar Ubudiyyah
Sesungguhnya ibadah itu berlandaskan pada tiga pilar pokok, yaitu :
hubb (cinta), khauf (takut), raja’ (harapan). Rasa cinta harus disertai dengan rasa
rendah diri, sedangkan khauf harus diimbangi dengan raja’. Dalam setiap ibadah
harus terkumpul ketiga unsur ini. Allah SWT berfirman tentang sifat hamba-
hamba-Nya yang mukmin:

Artinya :
“ Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu
yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan
suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun
mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang
mu'min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang
berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang
suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang
dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha
Mengetahui.” [QS. Al-Maa-idah: 54]
Artinya :
“ Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah
tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana
mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat
sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang
berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari
kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa
Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).”
[QS. Al-Baqarah: 165]

Artinya :
“ Maka Kami memperkenankan do'anya, dan Kami anugerahkan
kepada nya Yahya dan Kami jadikan isterinya dapat mengandung.
Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera
dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka
berdo'a kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah
orang-orang yang khusyu' kepada Kami.” [QS. Al-Anbiya’: 90]

Sebagian Salaf berkata, “ Siapa yang beribadah kepada Allah SWT


dengan rasa cinta saja, maka ia adalah zindiq, siapa yang beribadah kepada-
Nya dengan raja’ saja, maka ia adalah murji’. Dan siapa yang beribadah
kepada-Nya hanya dengan khauf, maka ia adalah haruriy. Barang siapa yang
beribadah kepada-Nya dengan hubb, khauf, dan raja’, maka ia adalah mukmin
muwahhid.” Maksud dari zindiq adalah orang yang munafik, sesat, dan mulhid.
Pengertian dari murji’ adalah orang murji’ah, yaitu golongan yang menyatakan
bahwa amal bukan bagian dari iman, iman hanya dalam hati. Sedangkan
pengertian dari haruriy adalah orang dari golongan khawarij yang pertama kali
muncul di Harura’, yang berkeyakinan bahwa orang mukmin yang berdosa besar
adalah kafir

B. Peran, Fungsi dan Tujuan Ibadah


Ibadah mempunyai peran, fungsi, dan tujuan dalam kehidupan manusia.
Jika kita memperhatikan definisi ibadah yang telah disebutkan pada subbab
sebelumnya, maka ibadah itu sangat luas tidak terbatas hanya shalat, zakat,
puasa, haji dan lainnya akan tetapi semua ucapan dan perbuatan yang dicintai
dan diridhai Allah SWT adalah ibadah. Untuk mengetahui apakah ucapan dan
perbuatan kita dicintai dan diridhai oleh Allah SWT, maka kita harus merujuk
kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah berdasarkan bimbingan ulama ahlus sunnah
wal jama’ah, bukan berdasarkan pendapat atau kemauan sendiri. Selain itu juga
harus diperhatikan bahwa ucapan dan perbuatan tersebut dilakukan dengan
ikhlas, hanya mengharap ridha Allah SWT semata.

 Peran dan Fungsi Ibadah


Peran dan fungsi ibadah terbagi menjadi 2 yaitu peran dan fungsi ibadah
secara umum dan secara khusus.
a. Peran dan fungsi ibadah secara umum
Secara umum ibadah dapat berperan sebagai alat untuk
menumbuhkan kesadaran pada diri manusia bahwa manusia sebagai insan
diciptakan Allah SWT khusus untuk mengabdi kepada diri-Nya. Hal ini jelas
disebutkan dalam Al Qur’an surat Az Zariyat ayat 56

Artinya :
“ Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi kepada-Ku ” [QS. Adz-Zariyat: 56]

b. Peran dan fungsi ibadah secara khusus


Peran dan fungsi ibadah secara khusus ini meliputi fungsi masing-
masing dari jenis ibadah. Jenis-jenis ibadah ini dapat dikelompokkan
menjadi lima bagian atau biasa disebut Rukun Islam yang terdiri dari
syahadat, shalat, zakat, puasa, dan pergi haji bagi yang mampu.
 Tujuan Ibadah
Allah SWT SWT berfirman :

Artinya :
“ Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghen-daki rizki
sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka
memberi makan kepada-Ku. Sesungguhnya Allah SWT Dia-lah
Maha Pemberi rizki Yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.”
[QS. Adz-Dzaariyaat : 56-58]

Allah Azza wa Jalla memberitahukan bahwa hikmah penciptaan jin


dan manusia adalah agar mereka melaksanakan ibadah hanya kepada Allah
SWT Azza wa Jalla. Allah SWT Maha Kaya, tidak membutuhkan ibadah
mereka, akan tetapi merekalah yang membutuhkan-Nya, karena
ketergantungan mereka kepada Allah SWT, maka barang siapa yang
menolak beribadah kepada Allah SWT, ia adalah sombong. Siapa yang
beribadah kepada-Nya tetapi dengan selain apa yang disyari’atkan-Nya,
maka ia adalah mubtadi’ (pelaku bid’ah). Dan barang siapa yang beribadah
kepada-Nya hanya dengan apa yang disyari’atkan-Nya, maka ia adalah
mukmin muwahhid (yang mengesakan Allah SWT).
Para ulama dan para pakar agama kita yang kompeten di bidangnya
merumuskan minimal ada 2 (dua) tujuan yang mutlak harus diraih oleh kita
dari pelaksanaan ibadah yang kita lakukan, yaitu :

1. Takhliyyah / tazkiyatul qolbi, yakni kebersihan hati


Ibadah yang kita lakukan, shalat, puasa, haji, dan lain-lain hendaknya
mampu membersihkan diri kita dari berbagai macam penyakit hati, mampu
mensucikan diri kita dari kotoran jiwa, dan dari virus-virus qolbu yang
sangat berbahaya dalam kehidupan. Diharapkan dengan rajinnya kita shalat
maka bersihlah hati kita dari sifat sombong, dengan seringnya kita puasa
maka hilanglah penyakit serakahnya, dengan banyaknya berzakat/shadaqoh
berkuranglah bakhil, kikir dan pelit dalam hati kita.
Dalam Al-Quran surah al-Maa’uun diterangkan, َ ‫صصّلْي‬
‫ن‬ َ ‫ل ِلْلُم‬
ٌ ‫ َفَوْيص‬,
yang artinya : ”Celaka bagi orang shalat !”. Ayat selanjutnya menjelaskan,

orang shalat bisa celaka salah satu penyebabnya adalah َ ‫ن ُهْم ُيَراُئْو‬
‫ن‬ َ ‫َاّلِذْي‬,
yaitu orang yang sholat tapi masih memiliki penyakit hati yang bernama
riya’ (sombong).
Didalam kitab At-Targhib wat-Tarhib karya Al – Imam Zakiyyuddin
al-Mundziri, terdapat sebuah hadits qudsi yang menerangkan bahwa salah
satu ciri orang yang shalatnya diterima oleh Allah SWT :

‫خْلِقي‬
َ ‫ي‬
َ ‫عل‬
َ ‫ل ِبَها‬
ْ‫ط‬ِ ‫سَت‬
ْ ‫َوَلْم َي‬
Artinya :
“ Mereka tidak menyombongkan diri kepada Makhluq-Ku “

Sehingga esensi shalat seseorang akan diterima oleh Allah SWT


SWT ketika orang tersebut hatinya bersih dari penyakit yang bernama
sombong. Disisi lain, kebahagiaan kita di akhirat kelak, pada hari dimana
tidak ada perlindungan kecuali perlindungan Allah SWT, akan sangat sangat
ditentukan oleh kwalitas kebersihan hati itu.
Allah SWT berfirman :

Artinya :
“ Pada hari dimana tidak lagi berguna harta kekayaan, tidak
lagi bermanfaat anak keturunan, kecuali mereka yang datang
keharibaan Allah SWT dengan membawa hati yang bersih “.
[QS. Assyu’ara : 88 – 89]

2. Tahliyyah
Tujuan dari pelaksanaan ibadah kita adalah hiasan. Ibadah yang kita
lakukan harus mampu menumbuh kembangkan sikap dan perilaku yang baik
dalam kehidupan. Dengan sering dan rajinnya kita shalat, maka muncullah
ketawadhu’an dalam pergaulan, dengan seringnya kita puasa, maka
tumbuhlah sifat pemaaf kita, tambah sayang kepada fakir miskin, dan
sebagainya.
Dalam sebuah hadits diriwayatkan, bahwa yang menyebabkan
manusia masuk kedalam surga itu bukan karena amal yang banyak, karena
‘amal kita sebanyak apapun tidak sebanding dengan keni’matan surga yang
Allah SWT sediakan. Rasulullah SAW melanjutkan bahwa berhak atau
tidaknya seseorang masuk kedalam surga adalah karena semata mata rahmat
dan kasih sayang dari Allah SWT. Rahmat Allah SWT itu hanya akan bisa
kita dapatkan, ketika kita memiliki nilai nilai akhlaqul karimah, kualitas
moral dan kasih sayang kepada sesama.

A. Syarat-syarat Ibadah
Ibadah adalah perkara tauqifiyah yaitu tidak ada suatu bentuk ibadah
yang disyari’atkan kecuali berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah. Apa yang
tidak disyari’atkan berarti bid’ah mardudah (bid’ah yang ditolak) sebagaimana
sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya :
“ Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntunan dari kami,
maka amalan tersebut tertolak.” [HR. Muslim dan Ahmad]

Agar dapat diterima, ibadah disyaratkan harus benar. Adapun syarat-


syarat ibadah adalah sebagai berikut :
a. Niat
Niat merupakan hal penting sebelum melaksanakan sesuatu. Hal ini juga
untuk membedakan antara amal ibadah dengan amalan adat, dan antara niat
karena Allah SWT dengan niat karena yang lain-lain. Supaya setiap perlakuan
menjadi ibadah, maka kita harus berniat dengan benar, yaitu niat karena
menuruti perintah Allah SWT.
Sabda Rasulullah SAW yang artinya :
“Niat orang mukmin itu adalah lebih baik daripada amalannya”.

b. Pelaksanaan
Perlaksanaan ibadah harus mengikuti peraturan supaya kita benar-benar
mengikuti syariat. Dalam pelaksanaannya harus mengikuti landasan yang telah
Allah SWT tetapkan. Allah SWT memberi peringatan melalui firman-Nya :

Artinya :
“ Dan jika mereka berjuang pada jalan Kami (ikut peraturan Kami)
sesungguhnya Kami akan tunjukkan jalan Kami (jalan keselamatan)
bahwasanya Allah SWT beserta orang-orang yang berbuat baik.”
[QS. Al Ankabut: 69]

c. Perkara (subjeknya) diperbolehkan oleh syariat.


Perkara (subjek) yang hendak dilaksanakan merupakan perkara yang
dibolehkan oleh syariat, terutama perkara yang melibatkan makanan dan
minuman. Sabda Rasulullah SAW :
“Tiap2 daging yang tumbuh daripada benda yang haram, maka
Neraka adalah yang lebih patut dengannya “. [HR. Tarmizi]

Rasulullah SAW amat menekankan perkara yang berkaitan dengan


makanan kerana hati yang merupakan raja dalam tubuh manusia dibina dari
makanan. Hati yang dibina dari makanan yang haram akan menjadi sulit
menerima kebenaran.

d. Natijahnya Memberi Manfaat


Natijah merupakan hasil usaha seseorang. Hasil tersebut semestinya baik
karena ia merupakan pemberian Allah SWT. Supaya natijah tersebut menjadi
ibadah, maka natijah tersebut harus bermanfaat bagi orang lain.

e. Tidak Meninggalkan Asas Ibadah


Dua perkara utama yang menjadi asas ibadah ialah rukun iman dan rukun
islam. Kedua hal ini merupakan tapak atau platform untuk menegakkan amalan-
amalan yang lain. Setiap amalan yang berasas kepada 2 (dua) perkara ini
merupakan amalan yang paling wajib, artinya tidak boleh ditinggalkan sama
sekali. Jika tidak berdasarkan pada rukun iman dan rukun islam, maka ibadah
kita menjadi sia-sia.
 Muamalah dalam Islam
A. Pengertian Muamalah
Manusia dijadikan Allah SWT sebagai makhluk sosial yang saling
membutuhkan antara satu dengan yang lain. Untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya, manusia harus berusaha mencari karunia Allah yang ada dimuka bumi
ini sebagai sumber ekonomi. Allah SWT berfirman :

Artinya :
“ Katakanlah: "Hai kaumku, bekerjalah sesuai dengan keadaanmu,
sesungguhnya aku akan bekerja (pula), maka kelak kamu akan
mengetahui ” [QS. Az Zumar: 39]

Muamalat adalah tukar menukar barang, jasa atau sesuatu yang memberi
manfaat dengan tata cara yang ditentukan. Beberapa kategori yang termasuk
dalam muamalat yakni : jual beli, hutang piutang, pemberian upah, serikat
usaha, urunan atau patungan, dan lain-lain. Dalam pembahasan kali ini akan
dijelaskan sedikit mengenai muamalat jual beli.

B. Pengertian Jual Beli


Jual beli dalam bahasa Arab terdiri dari dua kata yang mengandung
makna berlawanan yaitu Al Bai’ yang artinya jual dan Asy Syira’a yang artinya
beli. Menurut istilah hukum syara, jual beli adalah penukaran harta (dalam
pengertian luas) atas dasar saling rela atau tukar menukar suatu benda (barang)
yang dilakukan antara dua pihak dengan kesepakatan (akad) tertentu atas dasar
suka sama suka.
Dalam pengertian lainnya disebutkan bahwa jual beli adalah suatu
kegiatan tukar menukar barang dengan barang lain dengan tata cara tertentu.
Termasuk dalam hal ini adalah jasa dan juga penggunaan alat tukar seperti uang.
C. Rukun dan Syarat Jual Beli
Dalam pelaksanaan kegiatan jual beli, minimal ada tiga rukun yang perlu
dipenuhi, yaitu :
1. Penjual atau pembeli harus dalam keadaan sehat akalnya dan baligh
Orang gila tidak sah jual belinya. Penjual atau pembeli melakukan
jual beli dengan kehendak sendiri, tidak ada paksaan kepada keduanya, atau
salah satu diantara keduanya. Apabila ada paksaan, maka jual beli tersebut
tidak sah.
2. Syarat Ijab dan Kabul
Ijab adalah perkataan untuk menjual atau transaksi menyerahkan.
Kabul adalah ucapan si pembeli sebagai jawaban dari perkataan si penjual.
Sebelum akad terjadi, biasanya telah terjadi proses tawar menawar terlebih
dulu.
Contoh :
Ijab : Saya menjual mobil ini dengan harga 30 juta rupiah.
Kabul : Saya membeli mobil ini dengan harga 30 juta rupiah.
Pernyataan ijab kabul tidak harus menggunakan kata-kata khusus.
Yang perlu diperhatikan dalam ijab kabul adalah saling rela (ridha) yang
direalisasikan dalam bentuk kata-kata, seperti : aku jual, aku berikan, aku
beli, aku ambil, dan aku terima. Ijab kabul jual beli juga sah dilakukan dalam
bentuk tulisan dengan sarat bahwa kedua belah pihak berjauhan tempat, atau
orang yang melakukan transaksi itu diwakilkan. Di zaman modern saat ini,
jual beli dilakukan dengan cara memesan lewat telepon. Jula beli seperti ini
sah saja, apabila si pemesan sudah tahu pasti kualitas barang pesanannya dan
mempunyai keyakinan tidak ada unsur penipuan.
3. Ada benda yang diperjualbelikan
Barang yang diperjualbelikan harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Suci atau bersih dan halal barangnya
b. Barang yang diperjualbelikan harus diteliti lebih dulu
c. Barang yang diperjualbelikan tidak berada dalam proses penawaran
dengan orang lain
d. Barang yang diperjualbelikan bukan hasil monopoli yang merugikan
e. Barang yang diperjualbelikan tidak boleh ditaksir (spekulasi)
f. Barang yang dijual adalah milik sendiri atau yang diberi kuasa
g. Barang itu dapat diserahterimakan

A. Perilaku atau Sikap yang Harus Dimiliki oleh Penjual


1. Berlaku Benar (Lurus)
Berperilaku benar merupakan ciri utama orang yang beriman.
Sebaliknya, dusta merupakan perilaku orang munafik. Seorang muslim
dituntut untuk berlaku benar, seperti dalam jual beli, baik dari segi promosi
barang atau penetapan harganya. Oleh karena itu, salah satu karakter
pedagang yang terpenting dan diridhai Allah adalah berlaku benar.
Berdusta dalam berdagang sangat dicela terlebih jika diiringi sumpah
atas nama Allah. “Empat macam manusia yang dimurkai Allah, yaitu
penjual yang suka bersumpah, orang miskin yang congkak, orang tua renta
yang berzina, dan pemimpin yang zalim.”(HR Nasai dan Ibnu Hibban)
2. Menepati Amanat
Menepati amanat merupakan sifat yang sangat terpuji. Yang
dimaksud amanat adalah mengembalikan hak apa saja kepada pemiliknya.
Orang yang tidak melaksanakan amanat dalam islam sangat dicela.
Hal-hal yang harus disampaikan ketika berdagang adalah penjual
atau pedagang menjelaskan ciri-ciri, kualitas, dan harga barang dagangannya
kepada pembeli tanpa melebih-lebihkannya. Hal itu dimaksudkan agar
pembeli tidak merasa tertipu dan dirugikan.
3. Jujur
Selain benar dan memegang amanat, seorang pedagang harus berlaku
jujur. Kejujuran merupakan salah satu modal yang sangat penting dalam jual
beli karena kejujuran akan menghindarkan diri dari hal-hal yang dapat
merugikan salah satu pihak. Sikap jujur dalam hal timbangan, ukuran
kualitas, dan kuantitas barang yang diperjual belikan adalah perintah Allah
SWT. Firman Allah :
Artinya :
“Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Mad-yan
saudara mereka, Syu’aib. Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah
Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya.
Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari
Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan
janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran
dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di
muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu
lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang
beriman.” [QS. Al A’raf : 85]

Sikap jujur pedagang dapat dicontohkan seperti dengan menjelaskan


cacat barang dagangan, baik yang diketahui maupun yang tidak diketahui.
Lawan sifat jujur adalah menipu atau curang, seperti mengurangi takaran,
timbangan, kualitas, kuantitas, atau menonjolkan keunggulan barang tetapi
menyembunyikan cacatnya. Hadis lain meriwayatkan dari Umar bin Khattab
r.a berkata seorang lelaki mengadu kepada rasulullah SAW sebagai berikut
“Katakanlah kepada si penjual, jangan menipu! Maka sejak itu apabila dia
melakukan jual beli, selalu diingatkannya jangan menipu.”(HR Muslim)
4. Khiar
Khiar artunya boleh memilih satu diantara dua yaitu meneruskan
kesepakatan (akad) jual beli atau mengurungkannya (menarik kembali atau
tidak jadi melakukan transaksi jual beli). Khiar ada tiga macam yaitu :
a. Khiar Majelis
Khiar majelis adalah si pembeli dan penjual boleh memilih antara
meneruskan akad jual beli atau mengurungkannya selama keduanya
masih tetap ditempat jual beli. Khiar majelis ini berlaku pada semua
macam jual beli.
b. Khiar Syarat
Khiar syarat adalah suatu pilihan antara meneruskan atau
mengurungkan jual beli setelah mempertimbangkan satu atau dua hari.
Setelah hari yang ditentukan tiba, maka jual beli harus ditegaskan untuk
dilanjutkan atau diurungkan. Masa khiar syarat selambat-lambatnya tiga
hari
c. Khiar Aib (cacat)
Khiar aib (cacat) adalah si pembeli boleh mengembalikan barang
yang dibelinya, apabila barang tersebut diketahui ada cacatnya.
Kecacatan itu sudah ada sebelumnya, namun tidak diketahui oleh si
penjual maupun si pembeli. Hadis Nabi Muhammad SAW, yang artinya :
“Jika dua orang laki-laki mengadakan jual beli, maka masing-masing
boleh melakukan khiar selama mereka belum berpisah dan mereka
masih berkumpul, atau salah satu melakukan khiar, kemudian mereka
sepakat dengan khiar tersebut, maka jual beli yang demikian itu sah.”
(HR Mutafaqun alaih)

A. Hukum Jual Beli


1. Haram
Jual beli haram hukumnya jika tidak memenuhi syarat/rukun jual beli atau
melakukan larangan jual beli.
2. Mubah
Jual beli secara umum hukumnya adalah mubah.
3. Wajib
Jual beli menjadi wajib hukumnya tergantung situasi dan kondisi, yaitu
seperti menjual harta anak yatim dalam keadaaan terpaksa.

B. Larangan dalam Jual Beli


a. Membeli barang di atas harga pasaran
b. Membeli barang yang sudah dibeli atau dipesan orang lain.
c. Memjual atau membeli barang dengan cara mengecoh/menipu (bohong).
d. Menimbun barang yang dijual agar harga naik karena dibutuhkan
masyarakat.
e. Menghambat orang lain mengetahui harga pasar agar membeli barangnya.
f. Menyakiti penjual atau pembeli untuk melakukan transaksi.
g. Menyembunyikan cacat barang kepada pembeli.
h. Menjual barang dengan cara kredit dengan imbalan bunga yang ditetapkan
i. Menjual atau membeli barang haram.
j. Jual beli tujuan buruk, seperti : untuk merusak ketentraman umum,
menyempitkan gerakan pasar, mencelakai para pesaing dan lain-lain.

A. Jual Beli Barang Tidak Terlihat (Salam)


Definisi/pengertian salam adalah penjual menjual sesuatu yang tidal
terlihat atau tidak di tempat, hanya ditentukan dengan sifat dan barang dalam
tanggungan penjual. Rukun Salam sama seperti jual beli pada umumnya.
• Syarat Salam :
1. Pembayaran dilakukan di muka pada majelis akad.
2. Penjual hutang barang pada si pembeli sesuai dengan kesepakatan.
3. Barang yang disalam jelas spesifikasinya, baik bentuk, takaran, jumlah,
dan sebagainya

MAKALAH AGAMA
IBADAH DAN MUAMALAH
Oleh :
R. Ahmad Imanullah Zakariya
Tingkat III Teknik Kripto
NPM. 0706100739

SEKOLAH TINGGI SANDI NEGARA


2011

You might also like