Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Senjata biologis telah mulai digunakan sejak 400 SM, yaitu saat Spartan menyerang
musuhnya dengan sulfur. Usaha untuk membuat produk hukum bagi senjata biokimia ini te-lah
dimulai sejak tahun 1907, yaitu Konvensi Hague. Sayangnya, Amerika Serikat saat itu ti-dak
mau berpartisipasi. Namun akhirnya saat Perang Dunia II, 1941, Amerika Serikat di ba-wah
pimpinan Roosevelt menyatakan tidak akan menjadi yang pertama menggunakan senjata
biologis. Sebeumnya, sudah ada Inggris, Italia dan Jepang yang menggunakannya dalam Pe-rang
Dunia I.
Sebelum Biological Weapons Convention (BWC) dibentuk pada tahun 1972, sudah ada
Geneva Protocol pada 1925. Namun protokol ini, sebagai konvenan, hanya sebatas membahas
perang. BWC adalah salah satu konvensinya. BWC pada awalnya berasal dari The 18 Nations
Disarmament Committee yang mendiskusikan tentang draf perjanjian senjata biologis yang teah
diterima oleh Majelis Umum PBB pada 1968 dan didukung oleh NATO. Di awal 1972, Uni
Soviet, Amerika Serikat dan 100 negara lainnya menandatangani BWC. Dan akhirnya Amerika
Serikat meratifikasi Geneva Protocol pada 1975.
B. Rumusan Masalah
Apakah BWC efektif dalam mencegah pengembangan dan pengunaan senjata biologis?
C. Hipotesis
Penulis beranggapan bahwa BWC sebenarnya merupakan usaha yang sangat baik dari
dunia internasional dalam mencegah meluasnya penggunaan senjata. BWC merupakan bukti
bahwa segala jenis senjata tidak dapat dihalalkan penggunaan dan pengembangannya dalam
rangka penyerangan terhadap negara lain. Ini menunjukkan keseriusan PBB dalam menanga-ni
perdamaian, dengan membatasi segala gerak-gerik negara. Namun menurut penulis, BWC masih
kurang maksimal karena ada beberapa negara yang tidak meratifikasi konvensi ini dan tidak ada
lembaga hukum yang mengawasi pelaksanaan BWC.
BAB II
PEMBAHASAN
Terdapat 163 negara yang meratifikasi BWC, dengan 13 negara yang hanya menandata-
ngani, dan 19 negara yang tidak menandatangani. Kebanyakan negara-negara yang tidak me-
ratifikasi ataupun tidak menandatangani berasal dari benua Afrika dan kawasan Timur Te-ngah.
Lalu, negara-negara ini mayoritas adalah negara kecil dan miskin, kecuali Israel dan Mesir.
Negara-negara yang hanya menandatangani antara lain Mesir, Suriah, dan Pantai Ga-ding.
Sementara yang sama sekali tidak menandatangani contohnya adalah Israel, Kamerun, Angola,
dan Andorra.
Israel
Israel adalah salah satu negara yang tidak meratifikasi ataupun menandatangani BWC.
Menurut laporan yang dikeluarkan oleh Nuclear Threat Initiative (NTI) dan negara-negara
tetangga Israel, negara Yahudi tersebut memang memiliki program pengembangan senjata
biologis yang aktif1. Kemudian, menurut Federation of American Scientists, Israel juga me-
ngembangkan senjata biologis untuk keperluan militer dan penyerangan. Diduga pusat pe-
ngembangan senjata biologis tersebut terletak di daerah Ness-Ziona2. Alasan Israel untuk me-
ngembangankan senjata biologis pun dapat dilihat dari sifat dasar dari warga Israel itu sen-diri,
persepektif geopolitik, aspek historis.
Salah satu sifat paling mendasar dari kaum Yahudi adalah hasrat besar mereka terhadap
ilmu pengetahuan dan teknologi. Kaum Yahudi terkenal sangat cerdas dan pada sejarahnya, tak
sedikit kaum Yahudi yang membuat banyak penemuan bagi dunia ilmu pengetahuan. Kei-nginan
mereka untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi mendasari pengem-bangan
senjata biologis di Israel. IPTEK dijadikan landasan yang menjustifikasi pengemba-ngan tersebut
demi mencapai national interests mereka. Perdana menteri Israel yang pertama, David Ben-
Gurion, pernah berkata, “We are inferior to other peoples in our numbers, dispersion, and the
2
characteristics of our political life, but no other people is superior to us in intellectual prowess”3.
Dari aspek geopolitik, Israel berada pada posisi yang kurang menguntungkan. Negara ini
dikelilingi oleh negara-negara Arab yang berlandaskan pada ajaran-ajaran Islam. Seperti kita
ketahui, negara-negara Arab memiliki sentimen tersendiri pada Israel akibat invasi yang mereka
lakukan pada Palestina. Hal ini membuat Israel berusaha memperkuat pertahanannya melalui
ancaman persen-jataan, tidak hanya nuklir tetapi juga senjata biologis.
Selanjutnya, dari aspek historis, Israel memiliki trauma pada tragedi Holocaust yang
menimpa orang-orang Yahudi pada masa Perang Dunia II. Pada tragedi tersebut, bangsa Ya-hudi
dibantai habis-habisan oleh kaum Nazi Jerman. Korban tewas akibat tragedi tersebut di-kabarkan
mencapai 6 juta orang4. Trauma yang membayangi itu pun membuat Israel me-ngambil langkah-
langkah represif untuk memulihkan moral bangsanya, dan juga langkah-langkah preventif untuk
mencegah terulangnya tragedi tersebut. Bila dikaitkan dengan aspek geopolitik, maka ancaman
terbesar terulangnya tragedi Holocaust datang dari negara tetangga di sekeliling Israel, yakni
negara-negara Arab. Sentimen bangsa Arab terhadap bangsa Yahudi dapat mendorong terjadinya
pembantaian, karena dilihat dari segi jumlah pun, aliansi negara Arab jelas jauh lebih banyak dari
jumlah rakyat Israel. Tak heran apabila langkah preventif yang diambil oleh Israel salah satunya
adalah dengan mengembangkan persenjataan-persen-jataan non-konvensional.
Mesir
Mesir sebenarnya menandatangani BWC, namun negara ini tidak meratifikasi konvensi
tersebut. Pada masa perang saudara di Yaman tahun 1963, negara ini merupakan negara Arab
pertama yang menyatakan menggunakan senjata biokimia dalam daftar altilerinya 5. Mesir ju-ga
pernah membangun operasi pengembangan senjata biokimia pada 1960 yang disebut seba-gai
'Operasi Izlis'6. Pada 1993, Badan Intelejen Rusia mengeluarkan pernyataan bahwa Mesir sedang
menjalankan operasi untuk mengembangkan senjata biologis. Pernyataan tersebut di-dukung
6
oleh Amerika Serikat, yang menyatakan hal serupa pada tahun 19967. Program pe-ngembangan
tersebut diduga berada di daerah Abu Za'abal. Kecurigaan Amerika Serikat, Ru-sia, dan negara-
negara tetangga Mesir didasari pada pernyataan Presiden Anwar Sadat yang berkata, “The only
reply to biological warfare is that we too should use biological warfare. ... Briefly, we have the
instruments of biological warfare in the refrigerators and we will not use them unless they
(Israel) begin to use them”8.
Dari pernyataan tersebut, terlihat jelas bahwa ada kekhawatiran dari Mesir terhadap an-
caman dari Israel, karena dari segi geopolitik, kedua negara ini berbatasan langsung dan hu-
bungan di antara keduanya sering kali mengalami pasang surut. Kehawatiran Mesir semakin
bertambah dengan tidak ditandatanganinya BWC oleh Israel. Mesir menganggap bahwa me-
ratifikasi BWC adalah langkah yang naif, sementara negara tetangganya berpotensi memba-
hayakan kemanan nasional melalui pengembangan senjata-senjata non-konvensional. Peme-
rintah Mesir telah menyatakan tidak akan meratifikasi BWC apabila tidak ada langkah-lang-kah
konkrit dari negara-negara Timur Tengah untuk melenyapkan senjata pemusnah masal dari
kawasan tersebut9.
Suriah
Negara ini memiliki posisi yang sama dengan Mesir dalam BWC, yakni menandatanga-ni
namun tidak meratifikasi. Selama beberapa tahun terakhir, Suriah telah menyerukan posisi-nya
sebagai penentang adanya senjata pemusnah masal. Namun, negara ini tetap mengizinkan
penggunaan 'hal-hal yang diperlukan' untuk memproteksi keadaan domestik suatu negara dari
ancaman eksternal10.
Pada 1970-an, Suriah dianggap telah memiliki senjata-senjata biologis untuk kepenti-ngan
pertahanan negara. Senjata tersebut didapatkan melalui kerjasama militer dengan Uni Soviet.
Kemu-dian pada 1980-an, Suriah terus mengupayakan kemajuan di bidang farmasi dan bio-
10
teknologi11. Sejak saat itu, Suriah mulai dicurigai mengembangkan senjata biologis untuk
keperluan yang lebih ofensif.
Mantan sekretaris bidang keamanan Amerika Serikat, Dick Cheney, mengkategorikan
Suriah sebaga negara yang diduga mengembangkan persenjataan biologis12. The U.S Disar-
mament and Arms Control Agency juga mengeluarkan data pada tahun 1996 yang mengata-kan
bahwa Suriah memang mengembangkan senjata biologis untuk keperluan ofensif13.
Ada empat hal yang mendasari Suriah untuk tidak meratifikasi BWC. Pertama adalah
perseteruannya dengan Israel. Perseteruan ini membuat Suriah tidak ingin secara sukarela
mengambil langkah-langkah disarmament, dan membahayakan keamanan bangsanya sendiri.
Kedua adalah tidak adanya kelompok yang menentang ataupun menghalalkan penggunaan
senjata biologis di kalangan elit politik negara ini. Dapat dikatakan bahwa permasalahan pe-
ngembangan senjata biologis ini bukanlah sesuatu yang sangat urgent untuk dijadikan pole-mik
dalam berlangsungnya proses politik di Suriah. Yang ketiga, industri-industri biokimia yang ada
di Suriah semua adalah milik pemerintah, sehingga tidak ada kepentingan-kepenti-ngan dari
pihak swasta di dalamnya. Dengan absennya pihak swasta, maka proses pengambi-lan kebijakan
pun semakin mudah mencapai kata sepakat. Lalu, yang terakhir adalah posisi presiden Bashar al-
Assad sebagai Panglima Angkatan Bersenjata Suriah 14, memiliki keterika-tan khusus pada militer
Suriah. Dengan ikatan itu, tentu saja Presiden Assad ingin angkatan bersenjata negaranya
memiliki kekuatan yang mumpuni, dan tidak akan segan-segan untuk mengalokasikan dana
untuk memperbesar kekuatan. Salah satunya dengan cara mengem-bangkan senjata biologis.
Indonesia
Indonesia adalah salah satu negara yang meratifikasi konvensi ini. Indonesia merasa bahwa
potensi senjata biologis ke depannya akan menjadi senjata pemusnah massal yang sa-ngat
11
.
12
13
14
membahayakan populasi manusia. Delegasi Indonesia menyatakan ketegasannya atas
ketidaksetujuannya terhadap senjata biokimia dalam Pertemuan Ahli Konvensi Senjata Bio-logi
yang digelar 18 hingga 22 Agustus ini di Jenewa.
Amerika Serikat
Saat Nixon menjadi presiden, ia menyatakan bahwa Amerika serikat secara sepihak
meninggalkan penggunaan senjata kimia dalam bentuk apapun dalam penyerangan pertama dan
mereka juga turut serta menjadi role model bagi ne-gara lain untuk mengembangkan teori ini
agar negara lain dapat mengikuti langkah Amerika Serikat dalam mencegah penggunaan
sejata biologis secara masal.
Selain pembaharuan yang timbul dari luar, perlu ada perbaikan dari BWC sendiri antara
lain dengan cara-cara:
15
The Non-proliferation Review by Jonathan B. Tucker, “The New BWC Process: A Preliminary Assesment”, Spring
2004 http://cns.miis.edu/npr/pdfs/111tucker.pdf
16
Aspek-aspek hukum internasional yang berasal dari kebiasaan atau nilai-nilai yang diakui secara universal.
wasan terhadap BWC, risiko-risiko dari beberapa penelitian biologi, serta nilai-nilai
kemanusiaan dalam melakukan penelitian maupun mengembangkan ilmu pengetahu-an.
Memperketat pengawasan terhadap penelitian biologi yang berbahaya. Sebuah pene-
muan terbaru yaitu bahwa patogen (pembawa penyakit) bisa menjadi lebih mematikan
(rentan terhadap vaksin) hanya dengan sedikit modifikasi genetic. Hal ini menjadi an-
caman keamanan global jikalau ada oknum yang menyebarkan atau penyalahgunaan-nya
oleh kelompok teroris.
Negara anggota BWC harus lebih transparan terhadap program bio-defense mereka agar
tidak menciptakan rasa kecurigaan antar negara dan untuk meyakinkan bahwa fasilitas
tersebut hanya digunakan untuk tujuan ‘membela-diri’ saja, dan benar-benar hanya untuk
proteksi semata.
Membentuk suatu sekertariat kecil yang diperlukan untuk membantu negara-negara
anggota dalam mengerjakan tugas-tugas dasar seperti mengimplementasi BWC secara
legal di dalam negara tersebut.
Membentuk sebuah lembaga resmi yang permanen, terdiri atas ahli-ahli biologi dan
inspektur yang dapat mengawasi perkembangan-perkembangan ilmu pengetahuan yang
berkenaan dengan BWC. Lembaga ini berisi ahli-ahli mikrobiologi dan spesialis dalam
penyakit menular berbahaya, yang kurang lebih berasal dari negara-negara yang dapat
merepresentasikan sebagian besar negara di dunia.
KESIMPULAN
Menurut penulis, BWC masih kurang efektif untuk menghentikan penggunaan dan
pengembangan senjata biologis karena masih ada beberapa negara yang tidak mau menanda-
tangani dan meratifikasi BWC dengan berbagai alasan, seperti riset, ilmu pengetahuan dan
pertahanan diri. Selain itu BWC tidak memiliki sistem hukuman jika pelanggaran terjadi, se-
hingga beberapa negara merasa kurang terikat dengan konvensi ini. Walaupun sudah ada usaha
verifikasi, namun dukungan yang lemah dari Amerika Serikat membuat sistem ini kembali
berhenti.
Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga membuat BWC sebaik-nya
diperbaharui karena dikhawatirkan konvensi ini menjadi ketinggalan jaman. Proses pem-buktian
dan penyelidikan kepemilikan atau pengembangan senjata biologis pun agak rumit, sehingga
memakan waktu lama dan tindak lanjut yang kurang maksimal.
Penulis menyarankan adanya tekanan terhadap negara yang belum meratifikasi,
membentuk badan pengawas yang resmi dan permanen, serta menyarankan partisipasi penuh
negara-negara peserta berupa transparansi keberadaan senjata biologis dan melaporkan ada-nya
kepemilikan oleh negara lain. Dengan memaksimalkan BWC, diharapkan dapat menekan jumlah
senjata biologis demi keamanan dan perdamaian dunia.