Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1
2. Melakukan perubahan tentang penggunaan waktu dalam memeriksa dan
memutuskan permohonan pailit, dari ketentuan beracara yang sebelumnya
diatur dalam hukum acara perdata HIR (Het Herziene Indonesisch
Reglement Staatblaad 1926:559 juncto Staatsblad 1941:44) yang pada
umumnya membutuhkan waktu 5 (lima) sampai dengan 7 (tujuh) tahun
hingga pada putusan Peninjauan Kembali (PK), berubah secara drastis
melalui hukum acara yang juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 menjadi sekitar 225 hari sampai pada putusan PK oleh
Mahkamah Agung.
3. Mendirikan sebuah Pengadilan Khusus untuk memeriksa dan memutuskan
permohonan pailit dan permohonan PKPU, yang disebut dengan Pengadilan
Niaga, walaupun pengadilan tersebut masih tetap berada dalam wilayah
Peradilan Umum yang letaknya masih dalam Pengadilan Negeri. Pengadilan
Niaga tersebut dijalankan oleh Hakim-Hakim Niaga yang (secara teori
seharusnya) merupakan hakim-hakim yang terpilih karena berkemampuan
dan bereputasi baik, yang mempunyai kewenangan khusus dalam
memeriksa dan memutuskan permohonan pailit dan PKPU.
4. Memperkenalkan Profesi Kurator dan Pengurus dari kalangan Profesional
Swasta, dimana berdasarkan Failisement Verordening 1906 kewenangannya
untuk melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit sebelumnya
dilakukan oleh Balai Harta Peninggalan (BHP).
2
Undang-Undang Kepailitan hasil revisi tersebut belum membedakan subyek
hukum dalam kepailitan (debitur pailit) dengan segala akibat hukumnya secara
riil. Peraturan perundangan tersebut belum mengatur mengenai “kelanjutan”
atau “eksistensi” dari suatu subyek hukum yang dinyatakan pailit dengan
konkret dan tegas, sehingga masih terbuka kemungkinan untuk diselewengkan
dalam prakteknya di lapangan.
Untuk itu, belakangan pihak legislatif mengusulkan dibentuknya aturan
legislasi mengenai Pengadilan Niaga, terpisah dari Undang-Undang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), guna memberikan
legitimasi badan peradilan dan menjamin asas kepastian hukum.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka
dapat diambil beberapa rumusan masalah, diantaranya yaitu :
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
Sementara itu, dalam Pasal 303 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
menentukan bahwa Pengadilan Niaga tetap berwenang memeriksa dan
menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari pihak yang terikat
perjanjian yang memuat klausula arbitrase sepanjang utang yang menjadi
dasar permohonan pernyataan pailit telah memenuhi ketentuan dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU tentang syarat-
syarat kepailitan.
Oleh karena itu, Pengadilan Niaga memiliki yurisdiksi substansif eksklusif
yang dapat mengesampingkan kewenangan absolut dari arbitrase sebagai
pelaksanaan prinsip pacta sunt servanda yang digariskan dalam Pasal 1338
KUHPerdata yang telah memberikan pengakuan extra judicial atas klausula
arbitrase untuk menyelesaikan sengketa para pihak sebagaimana yang telah
diperjanjikan.
Dalam hal ini juga berlaku asas lex posteori yaitu Pasal 303 Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004 terhadap Pasal 11 Undang-Undang No. 30
Tahun 1999 sebagai lex priori. Terdapatnya karakteristik tersendiri dalam
perkara kepailitan antara lain dari sisi kewenangan absolut dan relatif
Pengadilan Niaga yang berwenang memeriksa dan memutus perkara pailit,
hukum acara yang digunakan, dan syarat adanya utang yang dapat ditagih
serta eksistensi adanya 2 kreditor atau lebih. Sehingga jelaslah bahwa sengketa
utang piutang yang dapat diselesaikan melalui forum arbitrase sangat berbeda
dengan perkara utang piutang yang penyelesaiannya melalui permohonan
pailit di Pengadilan Niaga.
Kompetensi relatif yang dimiliki oleh Pengadilan Niaga adalah
berdasarkan pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 dimana
“putusan atas permohonan pernyataan pailit dan hal-hal lain yang berkaitan
dan/atau diatur dalam Undang-undang ini, diputuskan oleh Pengadilan yang
daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitor”. Artinya
dari lima Pengadilan Niaga sampai saat ini maka hanya Pengadilan Niaga
pada wilayah hukumnya masing-masing yang berwenang memeriksa dan
memutus perkara. Sedangkan pengecualian terhadap kompetensi relatif
5
tersebut terdapat dalam pasal 3 ayat (2) sampai (5) Undang-Undang No. 37
Tahun 2004.
Kemudian kompetensi absolut yang berkaitan dengan masalah
kewenangan mengadili antara berbagai macam pengadilan, maka pengaturan
tentang kompetensi absolut Pengadilan Niaga adalah pada pasal 300 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 dimana “Pengadilan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang ini, selain memeriksa dan memutus
permohonan pernyataan pailit dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang, berwenang pula memeriksa dan memutus perkara lain di bidang
perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan undang-undang”.
Hukum acara yang berlaku dan diterapkan pula di Pengadilan Niaga
adalah Hukum Acara Perdata kecuali ditentukan lain dengan undang-undang.
Dari ketentuan hukum acara yang berlaku tersebut terlihat bahwa pengakuan
atas keberadaan dan eksistensi Pengadilan Niaga dalam U ndang-Undang No.
37 Tahun 2004 belum bersifat integratif dan koordinatif karena dalam
pemeriksaan perkara kepailitan masih menggunakan ketentuan Herziene
Indonesisch Reglement/Rechstsreglement Buitengewesten (HIR/Rbg).
Permohonan pailit menurut pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 yaitu permohonan penyataan pailit harus dikabulkan apabila
terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1). Pembuktian secara sederhana
ini maksudnya adalah bahwa dalam sidang pengadilan tidak lagi dibuktikan
apakah debitor mempunyai utang atau tidak karena pada dasarnya kedua belah
pihak telah mengakui adanya utang piutang. Oleh karena itu yang
dipermasalahkan dalam sidang pengadilan adalah apakah permohonan pailit
debitor diterima atau tidak (dapat dipailitkan atau tidak).
Sementara itu, dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, telah
memindahkan kewenangan absolut dari Pengadilan Umum atas permohonan
pailit, dengan menetapkan Pengadilan Niaga sebagai Pengadilan yang
memiliki kewenangan untuk menerima permohonan Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 280 Undang-Undang
6
Kepailitan 1998 menyatakan bahwa kewenangan secara komprehensif yang
dimiliki Pengadilan Niaga adalah kewenangan untuk menyelesaikan
permasalahan seputar Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang serta memeriksa dan memutus perkara lain di bidang pemiagaan.
Pengadilan Niaga di Indonesia yang terbentuk hingga saat ini adalah 5
(lima) Pengadilan Niaga yaitu Pengadilan Niaga Jakarta, Pengadilan Niaga
Surabaya, Pengadilan Niaga Ujung Pandang, Pengadilan Niaga Semarang dan
Pengadilan Niaga Medan.
Tidak semua permohonan pailit yang diajukan dapat dinyatakan pailit pada
putusan akhirnya. Namun ada kalanya permohonan pailit tersebut ditolak
karena tidak memenuhi persyaratan permohonan pailit sebagaimana yang
ditetapkan dalam Undang-Undang Kepailitan.
Eksistensi Pengadilan Niaga sangat membantu jalannya pelaksanaan
kekuasaan kehakiman yang merupakan bagian dari fungsi peradilan di
Indonesia serta berperan dalam meningkatkan dan mendukung kegiatan
perekonomian di Indonesia. Selain itu, didalam pelaksanaan dan
penyelenggaraan fungsi peradilan di Indonesia, Pengadilan Niaga juga
menghadapi berbagai hambatan di dalam penyelesaian perkara-perkara niaga,
khususnya sengketa kepailitan baik permohonan pailit maupun Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
Adapun hambatan-hambatan tersebut adalah jumlah hakim Pengadilan
Niaga yang masih sangat terbatas, sarana dan prasarana yang tersedia dalam
Pengadilan Niaga hingga saat ini kurang memadai sehingga kurang
mendukung proses penyelesaian sengketa kepailitan, khususnya dalam hal
pemanggilan pihak-pihak yang terkait untuk menghadiri jalannya sidang
maupun rapat kreditor.
7
B. EFEKTIVITAS PENGADILAN NIAGA DITINJAU DARI
BEBERAPA ASPEK
a. Efektivitas Pengadilan Niaga Dalam Menyelesaikan Perkara
Indikasi munculnya berbagai pengadilan khusus dapat dipastikan karena
kepercayaan berbagai pihak yang semakin melemah terhadap pengadilan
konvensional dalam menjalankan fungsinya. Parameter paling jelas dapat
dilihat dari masih tingginya tingkat ketidakpuasan masyarakat terhadap
putusan pengadilan yang seringkali dianggap bertentangan dengan rasa
keadilan masyarakat. Dalam kondisi demikianlah Pengadilan Khusus
diharapkan menjadi jalan pintas yang akan mampu menjawab berbagai
kelemahan yang disinyalir ada pada pengadilan konvensional antara lain
kelemahan kompetensi dan kualitas hakim dalam penanganan perkara,
rendahnya integritas, minimnya akuntabilitas dan transaparansi di
pengadilan serta problem-problem pengadilan lainnya.
Namun demikian dalam prakteknya, ternyata pembentukan beberapa
pengadilan khusus seperti Pengadilan Niaga menuai berbagai kritik.
Beberapa pengadilan khusus tersebut ternyata tidak mampu menjawab
tantangan perubahan yang diharapkan oleh masyarakat, bahkan dapat
dikatakan tidak mampu menjalankan fungsinya dengan baik.
8
Lebih cepatnya waktu pemeriksaan perkara di Pengadilan Niaga
antara lain dipengaruhi oleh sistem pembuktian yang dianut, yaitu
bersifat sederhana. Untuk membuktikan adanya utang yang telah jatuh
tempo dan dapat ditagih Pengadilan Niaga mendasarkan pada ketentuan
pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Kepailitan, yang menyatakan bahwa
debitor dapat dinyatakan pailit apabila telah terbukti bahwa debitor
tersebut mempunyai paling tidak satu kreditor yang tagihannya telah
jatuh tempo dan dapat ditagih, juga mempunyai minimal satu kreditor
lainnya.
Kemudian, dari sudut peninjauan yuridik, eksistensi Pengadilan Niaga
dapat kita kaji dengan mengaitkan segi peninjauan yuridik Undang-
undang, baik secara horizontal maupun vertikal, yaitu
menghubungkannya dengan hukum positif yang telah ada sebelumnya,
apakah itu terhadap peraturan perundang-undangan yang setingkat, atau
terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
9
Pengadilan Niaga, pembuktiannya pun tidak sesederhana seperti yang
seharusnya.
Disamping adanya putusan-putusan yang tidak konsisten, putusan
kontroversial dapat dilahirkan melalui persyaratan pernyataan pailit yang
dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) jo. Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1998. karena Undang-undang ini tidak mensyaratkan
adanya insolven (unable to pay) dan tidak pula harus mempertimbangkan
kepentingan para kreditor secara keseluruhan (common pool problem).
Penghilangan kedua persyaratan yang esensial itu dalam Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1998 dapat menimbulkan kerancuan, karena penggunaan
hukum kepailitan ini tidak ada bedanya dengan prosedur gugatan perdata
biasa (nonbankruptcy judicial trial procedures) yang harus ditempuh di
peradilan perdata. Hukum kepailitan ini telah digunakan secara
menyimpang oleh para kreditor. Hal ini memang tidak aneh karena esensi
dari hukum kepailitan itu adalah sebagai debt collection, debt
forgiveness, dan debt adjustment.
10
statistik tahun 1998-1999, permohonan pailit hanya 29 persen yang
dikabulkan.
Berdasarkan data hasil rekapitulasi yang dilakukan oleh Bappenas,
jumlah perkara yang masuk ke Pengadilan Niaga pada periode 1998-2002
terbanyak di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, yaitu sejumlah 315 perkara. Di
pengadilan Niaga Surabaya hanya ada 1 perkara, sementara di Pengadilan
Niaga Semarang hanya 5 perkara. Dari jumlah tersebut yang berhasil
diputus Pengadilan Niaga Jakarta Pusat sebanyak 308 perkara dan diputus
Pengadilan Niaga Semarang sebanyak 5 perkara. Di Pengadilan Niaga
Jakarta Pusat terjadi penurunan jumlah perkara yang masuk. Pada tahun
1999 terdapat 100 perkara. Tahun berikutnya menurun jadi 84 perkara dan
tahun 2001 menurun lagi menjadi 61 perkara. Dan pada tahun 2002 tinggal
39 perkara.
Sebagai perbandingan, selama tahun 2010, perkara yang masuk ke
pengadilan niaga berjumlah 254 perkara. Sisa perkara tahun 2009 berjumlah
4 perkara. Sehingga jumlah yang ditangani Pengadilan Niaga berjumlah
258 perkara. Jumlah perkara yang masuk tersebut naik 54,88 % dari tahun
sebelumnya yang berjumlah 164 perkara. Dari jumlah perkara niaga yang
ditangani selama tahun 2010 tersebut, 198 perkara telah diputus oleh
Pengadilan Niaga dan 6 perkara dicabut oleh para pihak. Dengan demikian
rasio penyelesaian perkara niaga sebesar 79,07 %.
Hal penurunan berperkara di Pengadilan Niaga dapat disebabkan
berbagai faktor, seperti faktor ekonomi, sosial dan yuridis dimana hal
tersebut juga terkait dengan rasa keadilan yang diharapkan dari para kreditur
dan debitur pailit untuk memenuhi kebutuhan aset yang telah dinyatakan
pailit tersebut.
11
c. Eksistensi Pengadilan Niaga Ditinjau Dari Perspektif Struktural
Kelembagaan
Pengadilan Niaga didirikan pada tahun 1998 dimana pada awalnya
Pengadilan Niaga terbatas hanya mengadili perkara berdasarkan Undang-
Undang Kepailitan yang baru. Tetapi pada tahun 2001, terjadi perluasan
yang mencakup kewenangan untuk mengadili perkara Hak atas Kekayaan
Intelektual (HaKI), meliputi kewenangan memeriksa sengketa merek, paten,
hak cipta, desain industri, dan desain tata letak sirkuit terpadu.
Pengadilan Niaga pertama kali dibentuk di Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat, berdasarkan Pasal 306 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Jo.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Jo. Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Kepailitan. Kemudian,
berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 97 tahun 1999 didirikan Pengadilan
Niaga di Makassar, Surabaya, Semarang dan Medan.
Pembentukan Pengadilan Niaga membawa beberapa pembaruan, sebagai
contoh adanya standar waktu penyelesaian perkara dan diperkenalkannya
hakim Ad Hoc. Pengadilan Niaga juga merupakan Pengadilan pertama yang
memberikan kewenangan bagi hakimnya untuk mengajukan pendapat yang
berbeda atau dissenting opinion dalam putusan.
Oleh karena Pengadilan Niaga hanya merupakan chamber dari
pengadilan umum, seperti pada halnya dengan pengadilan anak dan
pengadilan lalu lintas, maka tidak ada jabatan ketua Pengadilan Niaga
karena Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan juga membawahi
Pengadilan Niaga. Dalam strukturnya, Pengadilan Niaga merupakan bagian
dari Pengadilan Negeri sehingga Ketua Pengadilan serta Panitera
Pengadilan juga bertindak sebagai Ketua Pengadilan dan Panitera
Pengadilan Niaga. Namun, Hakim yang menangani perkara niaga
merupakan Hakim karir yang khusus ditunjuk atau ditugaskan untuk itu.
Selain menangani perkara niaga, hakim-hakim pengadilan niaga juga
menangani perkara-perkara umum (pidana dan perdata) yang masuk ke
Pengadilan Negeri. Pada lingkungan pengadilan umum dimana dalam
12
pengadilan khusus dapat diangkat hakim ad hoc untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara, yang membutuhkan keahlian dan
pengalaman dalam bidang tertentu dan dalam jangka waktu tertentu. Dalam
hal ini, hakim di pengadilan niaga juga dapat merupakan hakim ad hoc yang
dalam penunjukan dan pengangkatannya ditentukan dalam undang-undang.
Adapun ruang lingkup kompetensi untuk mengadili pada Pengadilan
Niaga dapat dikelompokkan antara lain :
Pada Pengadilan Negeri Surabaya, meliputi wilayah :
1. Jawa Timur
2. Kalimantan Selatan
3. Kalimantan Tengah
4. Kalimantan Timur
5. Bali
6. Nusa Tenggara Timur
7. Nusa Tenggara Barat
Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan
meliputi wilayah provinsi :
1. Sumatera Utara
2. Riau
3. Sumatera Barat
4. Bengkulu
5. Jambi
6. Daerah Istimewa Aceh
Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Ujung
Pandang meliputi wilayah provinsi :
1. Sulawesi Selatan
2. Sulawesi Tenggara
3. Sulawesi Utara
4. Maluku
5. Irian Jaya
13
Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta
meliputi wilayah provinsi :
1. Daerah Khusus Ibukota Jakarta
2. Jawa Barat
3. Lampung
4. Sumatera Selatan
5. Kalimantan Barat
Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang
meliputi wilayah provinsi :
1. Jawa Tengah
2. Daerah Istimewa Yogyakarta
14
“Tuntutan mengenai hak atau kewajiban yang menyangkut harta pailit
harus diajukan oleh atau terhadap kurator.”
15
kewenangannya dalam mengurus dan membereskan harta pailit,
walaupun terhadap putusan pailit tersebut diajukan Kasasi atau
Peninjauan Kembali. Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) juga menegaskan
bahwa debitor demi hukum telah kehilangan haknya untuk menguasai
dan mengurus harta pailit, yang menurut pasal 21, telak diletakkan dalam
sita umum terhitung sejak pukul 00.00 pada tanggal putusan pernyataan
pailit diucapkan.
Dengan demikian, seharusnya sudah sangat jelas terjawab, bahwa
seorang kurator sudah harus segera memulai tugas dan kewenangannya
segera setelah pengangkatannya, apalagi keharusan untuk melakukan
tindakan cepat dalam upaya untuk segera mengamankan harta pailit,
misalnya dengan segera menyimpan semua surat, dokumen, uang,
perhiasan, efek, dan surat berharga lainnya milik debitor pailit seperti
yang diharuskan oleh pasal 98 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004.
Resikonya adalah pertanggungjawaban pribadi kurator (personal
liability) apabila terjadi kerugian ataupun kehilangan harta pailit pada
masa pengurusan dan pemberesan boedel pailit tersebut.
Akan tetapi sayangnya, dalam pelaksanaannya ketentuan dalam pasal-
pasal tersebut sama sekali tidak berguna dan tidak dapat dilaksanakan,
karena tanpa memegang salinan putusan pailit, mustahil seorang kurator
dapat melaksanakan tugas yang dimaksudkan oleh pasal-pasal tersebut
diatas. Dengan pengertian lain, ternyata kurator baru akan dapat memulai
tugas dan kewenangannya, setelah mendapatkan salinan putusan pailit.
Sementara bila berdasarkan pasal 9 Undang-Undang Kepailitan itu
sendiri, salinan putusan pailit baru dapat diterima secara resmi paling
cepat 4 (empat) hari, dimana sangat memungkinkan terjadinya
penghilangan, pencurian, dan pengrusakan boedel pailit oleh orang-orang
yang tidak bertanggungjawab.
Ketidakpastian dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tersebut diperburuk lagi dengan fakta dalam praktek bahwa tidak jarang
salinan putusan pailit tersebut diterima oleh kurator dalam waktu sangat
16
terlambat dari waktu yang seharusnya ditentukan oleh undang-undang,
khususnya puusan-putusan pailit pada tingkat Kasasi dan Peninjauan
Kembali di Mahkamah Agung yang keterlambatannya bahkan dapat
lebih dari sebulan dari tanggal diputusnya seorang debitor pailit. Dapat
dibayangkan bagaimana akibat dari keterlambatan diterimanya putusan
pailit oleh seorang kurator terhadap keselamatan boedel pailit, khususnya
apabila debitor pailit tersebut merupakan Perseroan Terbatas (PT) yang
bersifat terbuka.
Keadaan ketidakpastian sejak awal mulanya pengurusan boedel pailit
ini akan memberikan pengaruh ketidakpastian pada proses-proses
berikutnya. Agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum, maka pasal-
pasal yang mengatur tentang dimulainya tugas dan kewenangan kurator
setelah mendapat salinan putusan pailit haruslah dihapus, dan terhadap
Pengadilan Niaga (baik di tingkat Pengadilan Negeri maupun di
Mahkamah Agung), suka tidak suka, harus segera melakukan perubahan,
yaitu dengan memastikan bahwa kurator dapat segera mengetahui dan
mendapatkan putusan pailit (atau paling tidak amar putusan pailit) pada
hari dan tanggal yang sama diputuskannya pernyataan pailit tersebut.
Karena dengan begitulah, prinsip “zero hour principle” yang digunakan
dalam pasal 24 ayat (2), serta tindakan yang dimaksudkan dalam pasal 98
tersebut memungkinkan untuk dilakukan.
2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tidak mempunyai ketentuan
yang tegas untuk melindungi kehormatan dari putusan-putusan
Pengadilan Niaga yang didirikannya;
Dalam pelaksaan tugasnya, sudah menjadi rahasia umum bila
dikatakan bahwa tidak jarang seorang kurator mengalami perlawanan,
ancaman, pengusiran, dan bahkan penganiayaan dari debitor pailit
ataupun pekerja-pekerjanya, ketika kurator tersebut memulai
melaksanakan tugasnya untuk melakukan pencatatan dan pengamanan
harta pailit. Khususnya bila terhadap putusan pailit tersebut masih
dilakukan upaya hukum Kasasi atau Peninjauan Kembali, akan semakin
17
mempersulit kurator untuk mulai bekerja, walaupun dengan tegas pasal
16 Undang-Undang Kepailitan menegaskan tentang pelaksanaan putusan
pailit yang bersifat serta-merta (uit vorbaar bij voraad). Keadaan ini
jelas-jelas telah menimbulkan potensi ketidakpastian pada status harta
debitor pailit sejak awal pengurusan, padahal kurator telah
mengumumkan status dari kepailitan tersebut dikoran dan telah pula
mengundang semua kreditor untuk mendaftarkan tagihan-tagihannya.
Dalam keadaan seperti ini, hampir dipastikan bahwa tidak ada
perangkat hukum Kepailitan yang dapat menolong kurator untuk
mengatasi hal tersebut. Satu-satunya ketentuan dalam pasal 93 ayat (1)
tentang secara teori dimungkinkannya untuk meng-gijzeling (menerapkan
tahanan badan) bagi debitor-debitor yang melakukan ketidakpatuhan
terhadap eksekusi putusan Pengadilan Niaga, hingga saat ini total tidak
berguna karena tidak dapat dilaksanakan (unenforceable). Keadaan ini,
sangat menimbulkan ketidakpastian hukum dan rasa apatis (bahkan
frustasi) bagi kurator dalam melaksanakan tugasnya, mengingat dalam
hal setiap waktu terjadinya kerugian akibat dari situasi tersebut, sangat
memungkinkan setiap kreditor-yang merasa dirugikan akibat dari
kehilangan, pengurangan nilai dari boedel pailit terhitung sejak dalam
masa pengurusan kurator-untuk melakukan gugatan perdata meminta
pertanggungjawaban pribadi kurator atas kerugian tersebut.
Keadaan ini, jelas-jelas sangat berpengaruh terhadap nasib dari
kepengurusan dan pemberesan boedel pailit berikutnya. Untuk itu, sangat
disarankan agar Undang-Undang Kepailitan memberikan perangkat
hukum yang pasti dalam mengawal kewenangan besar yang diberikan
kepada kurator, baik dengan menggunakan fungsi Pengadilan Niaga
secara aktif dalam memastikan ketundukan dari debitor, dan pihak-pihak
lain yang terkait, begitu pula dengan keterlibatan pihak kepolisian dalam
proses penegakan hukum dalam hal terjadinya pembangkangan terhadap
putusan pailit tersebut.
18
3) Pasal 100 yang mengharuskan kurator telah membuat pencatatan
harta pailit paling lambat 2 (dua) hari setelah menerima Salinan
Putusan Pailit adalah pasal yang ilusif karena tidak memungkinkan
untuk dilaksanakan;
Pasal 100 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 juga memberikan
kontribusi terhadap ketidakpastian hukum dalam pekerjaan kurator sejak
awal, karena ketentuan dalam pasal tersebut yang mengharuskan kurator
telah membuat pencatatan harta pailit maksimum 2 (dua) hari sejak
kurator mulai berwenang, adalah ketentuan yang sangat tidak mungkin
untuk dilaksanakan, atau paling tidak memungkinkan dilaksanakan
secara seragam pada debitor pailit, khususnya dalam hal debitor
merupakan sebuah Perseroan Terbatas (PT) yang berkedudukan diluar
wilayah Jakarta, ataupun memiliki cabang dibanyak kota, atau bahkan
diseluruh wilayah hukum ataupun diluar wilayah hukum Indonesia.
Terhadap harta debitur palit, akan membutuhkan seorang kurator
untuk melakukan pencatatan, tidak saja berdasarkan laporan dokumen,
akan tetapi juga berdasar hasil tinjauan fisik dari setiap harta pailit
tersebut, dimanapun letaknya diseluruh Indonesia, kecuali dalam hal
kurator telah mendapatkan keyakinan maksimal terhadap status
keberadaan dan nilai dari aset debitor pailit tersebut tanpa harus
melakukan tinjauan lapangan.
Oleh karena itu, ketentuan dalam pasal 100 Undang-Undang
Kepailitan harus diubah dan secara sinkron pencatatan harus disesuaikan
dengan maksud dari pelaksanaan kewenangan kurator, yaitu segera
setelah debitor dinyatakan pailit. Dan, terhadap masa waktu pencatatan
yang dibutuhkan, harus disesuaikan dengan tingkat kerumitan jumlah dan
jarak dari lokasi dimana aset-aset tersebut berada. Dengan pengertian
lain, apa gunanya pasal tersebut jika memang faktanya tidak
memungkinkan untuk dipenuhi, sementara dengan kehadiran dari pasal
tersebut akan memberikan kerentanan hukum pada kedudukan dari
kurator dalam memulai pelaksanaan tugas dan kewenangannya.
19
4) Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
bertentangan dengan Pasal 3 ayat (1) dalam upaya penyelesaian
sengketa yang terjadi antara debitor dan kreditor sehubungan
dengan besarnya piutang (Renvoi);
Kehadiran pasal 127 ayat (1) memberikan permasalahan tersendiri
pada pelaksanaan tugas seorang kurator. Pada prinsipnya, berdasarkan
pasal 3 ayat (1) permasalahan yang berhubungan dengan jumlah utang-
piutang yang masih tidak dapat dicapai penyelesaiannya walaupun telah
melibatkan Hakim Pengawas, dapat dilakukan melalui Renvoi dengan
mengajukan ke Majelis Hakim Niaga yang memutuskan permohonan
pailit tersebut. Akan tetapi, pasal 127 dalam penjelasannya menyatakan
bahwa Hakim Pengawas memerintahkan penyelesaian permasalahan
jumlah piutang tersebut. Justru bukan ke Pengadilan Niaga, akan tetapi
ke Pengadilan Negeri.
Ketentuan Pasal 127 ayat (1) ini, jelas akan dapat menimbulkan
kebingungan hukum dan membuat proses pengurusan dan pemberesan
harta pailit menjadi terganggu. Karena dalam Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 secara tegas telah terjadi salah cetak terhadap pengertian
dalam penjelasan yang diuraikan dalan Ketentuan Umum pasal 1 ayat
(7), yang dimaksud dengan Pengadilan adalah Pengadilan Niaga. Akan
tetapi, alasan tersebut tidak dapat digunakan sebagai dasar intepretasi
dari pasal 127 ayat (1) tersebut sebelum tegas dilakukan revisi terhadap
penjelasan dari pasal 127 tersebut, aga tidak terjadi dualisme
kewenangan absolut antar pengadilan.
5) Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan merupakan pasal yang
menimbulkan ketidakpastian hukum dalam proses pengurusan dan
pemberesan harta pailit
Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tersebut pada
dasarnya menyatakan bahwa seluruh permasalahan-permasalahan yang
muncul sehubungan dengan proses pengurusan dan pemberesan harta
pailit hanya dapat diperiksa dan diputuskan di Pengadilan Niaga.
20
Esensinya, pasal ini hendak mensinkronkan seluruh proses pemeriksaan
perkara kepailitan dan segala bentuk-bentuk perkara yang terlibat
didalamnya dalam satu atap, agar dapat diperiksa dengan irama yang
sama, cepat, efisien, transparan, dan adil.
Akan tetapi, yang sangat dilupakan oleh pembuat Undang-Undang
dalam memasukkan pasal ini adalah bahwa Pengadilan Niaga
mempunyai keterbatasan dalam melakukan kewenangannya. Dengan
pengertian lain, paling tidak berdasarkan pasal 8 ayat (4) Pengadilan
Niaga hanya mempunyai kewenangan dalam memutuskan perkara yang
proses pembuktiannya sederhana, dan time frame penyelesaiannya harus
dilakukan dengan sangat cepat. Lebih jauh, jikapun kewenangan yang
dimaksud dalam pasal 3 ayat (1) tersebut ingin diwujudkan, maka
berdasarkan pasal 300 Undang-Undang Kepailitan haruslah kewenangan
tersebut dilaksanakan dengan tatacara pemeriksaan perkara yang terpisah
dari ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Kepailitan tersebut.
Penulis sangat tidak sependapat bila dalam penanganan kasus-kasus
lain yang muncul pada saat pengurusan dan pemberesan boedel pailit
tersebut, dasar kewenangan Pengadilan Niaga untuk memeriksa kasus-
kasus yang muncul pada saat pailit tersebut didasarkan pada pasal 299
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, karena, selain salah kaprah,
secara otomatis akan menyamakan tatacara pemeriksaan, tahapan, dan
waktu pemeriksaan perkara sama dengan kewenangan yang selama ini
dimilki oleh Pengadilan Negeri. Pasal 299 hanyalah pelengkap dalam hal
terjadinya ketidakjelasan dalam pelaksanaan ketentuan dalam acara
pemeriksaan permohonan pailit dan PKPU, bukan dalam hal memberikan
perluasan kewenangan kepada Pengadilan Niaga untuk memeriksa
perkara-perkara yang tidak merupakan kewenangannya.
Ketidakpastian hukum terhadap pelaksanaan pasal 3 ayat (1) beberapa
kali terjadi dalam proses pengurusan dan pemberesan harta pailit.
Misalnya, dalam hal terdapat laporan yang menduga bahwa debitor telah
memasukkan kreditor fiktif dalam data-data permohonan perdamaian
21
yang diajukannya untuk tujuan memenangkan voting right, Pengadilan
Niaga pada dasarnya tidak pernah secara serius menindaklanjutinya.
Kemungkinan besar tindakan tersebut terjadi karena Pengadilan Niaga
kebingungan dalam menentukan pengadilan mana yang sebenarnya
berwenang untuk memeriksa dan memutuskan pengaduan dugaan
penggunaan kreditor fiktif tersebut.
Mengingat bahwa dugaan penggunaan kreditor fiktif tersebut dapat
dikategorikan sebagai perbuatan pidana, maka seharusnyalah lebih
dahulu dugaan tersebut dilaporkan ke pihak kepolisian sebagai lembaga
yang secara hukum berwenang untuk melakukan penyelidikan dan
penyidikan terhadap bukti-bukti telah terjadi atau tidaknya dugaan tindak
pidana tersebut. Sama halnya terhadap dugaan pelanggaran terhadap
pelaksanaan pasal 396 sampai dengan pasal 402 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP), tentunya jelas bukan kewenangan Pengadilan
Niaga untuk mengadilinya. Akan tetapi, sebaliknya, jika dilakukan
dengan lebih dulu melakukan laporan ke Polisi, maka besar kemungkinan
penanganan perkara dugaan penggunaan kreditor fiktif tersebut akan
menjadi kewenangan dari Pengadilan Negeri dengan tatacara
pemeriksaan sesuai dengan ketentuan dalam hukum acara pidana. Bila
hal tersebut terjadi, maka akan terjadi ketidaksinkronan penggunaan
waktu dalam proses pemeriksaan dugaan penggunaan kreditor fiktif
tersebut dengan proses pengurusan dan pemberesan harta pailit yang
pada dasarnya harus dilakukan secepat mungkin.
Demikian pula misalnya terhadap permasalahan dalam penentuan
berapa sebenarnya kewajiban pajak yang menjadi beban debitor pailit,
hingga saat ini masih menimbulkan kebingungan dari Pengadilan Niaga,
karena berdasarkan pasal 3 ayat (1) permasalahan tersebut seharusnya
merupakan kewenangan Pengadilan Niaga untuk memeriksa dan
memutuskannya. Dalam prakteknya, Pengadilan Niaga bersikap mendua
terhadap sengketa perpajakan tersebut, dimana pada satu putusan
Pengadilan Niaga menyatakan berwenang memeriksa sengketa
22
perpajakan antara debitor pailit dengan Ditjen Pajak sehubungan dengan
kewajiban pajak debitor pailit berdasarkan pasal 3 ayat (1), akan tetapi
pada kasus lain, menyatakan bahwa Pengadilan Niaga tidak mempunyai
kewenangan untuk memeriksa kasus tersebut, mengingat telah adanya
kewenangan khusus yang diberikan Undang-Undang Perpajakan kepada
Pengadilan Sengketa Pajak.
Sikap-sikap seperti hal tersebut diatas jelas menimbulkan persoalan
tersendiri dalam proses pengurusan dan pemberesan harta pailit,
mengingat kedudukan istimewa dari pajak yang memiliki kedudukan
tertinggi untuk memperoleh pembayaran dari harta debitor pailit,
termasuk harta debitor pailit yang diagunkan (dijaminkan). Selama kasus
tersebut belum memperoleh kepastian hukum, dan jumlah kewajiban
pajak yang ditetapkan menjadi kewajiban debitor pailit tersebut
jumlahnya sangat besar, dan bahkan diduga melebihi jumlah harta
debitor pailit yang ada, maka pada umunya kurator tidak akan berani
untuk melakukan pembayaran terhadap kreditor-kreditor dari debitor
pailit yang berhak, sampai dengan kejelasan sengketa pajak tersebut.
Ketidakpastian hukum sehubungan dengan pelaksanaan pasal 3 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 juga terjadi dalam
pemeriksaan terhadap tindakan actio pauliana yang diduga dilakukan
oleh debitor yang merugikan kreditor. Pengadilan Niaga juga mengalami
ketidaktegasan dalam penanganan perkara tersebut, mengingat bahwa
kasus-kasus yang berhubungan dengan tindakan actio pauliana oleh
pengurus PT yang telah pailit, tidaklah dapat dikategorikan sebagai kasus
sederhana, sehingga tidak dapat dengan begitu saja diputuskan oleh
Pengadilan Niaga tanpa didahului suatu proses pemeriksaan ataupun
pembuktian yang kompleks.
Ketidakpastian-ketidakpastian seperti tersebut diataslah yang menjadi
dasar-dasar yang menimbulkan kesulitan-kesulitan bagi seorang kurator
untuk melakukan langkah pengurusan dan pemberesan pailit secara
cepat, transparan, dan berkepastian. Oleh karena itu, ketentuan pasal 3
23
ayat (1) yang dengan begitu saja secara umum menyatakan bahwa
seluruh pemeriksaan kasus-kasus yang muncul setelah kepailitan
merupakan dalam kewenangan Pengadilan Niaga, haruslah secara tegas
ditindaklanjuti dengan peraturan lanjutannya, yang mengatur lebih jelas
tentang hukum acara khusus yang akan digunakan oleh Pengadilan Niaga
dalam mengadili gugtaan actio pauliana tersebut. Jika tidak, maka
penanganan gugatan actio pauliana hanya dilakukan melalui suatu
keterpaksaan hukum, yang pada akhirnya akan menimbulkan suatu
putusan yang sangat diragukan keadilannya. Mengingat langkah
pemeriksaan dengan menggunakan ketentuan pasal 8 ayat (4) Undang-
Undang Kepailitan tidak tepat untuk itu.
24
BAB III
KESIMPULAN
Hak dan kewajiban Pengadilan Niaga diatur antara lain menurut pasal
300 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 yaitu : “Pengadilan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, selain memeriksa dan
memutus permohonan pernyataan pailit dan Penundaan Kewajiban
25
Pembayaran Utang, berwenang pula memeriksa dan memutus perkara lain
di bidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan undang-
undang”. Dengan demikian berdasarkan pasal di atas maka terdapat tiga
kewenangan yang melekat pada Pengadilan Niaga yaitu :
26
ketertiban, penegakan, dan perlindungan hukum yang berintikan keadilan dan
kebenaran;
b. Era globalisasi, terutama di bidang perniagaan, menimbulkan banyak
permasalahan hukum di masyarakat yang memerlukan penanganan secara
cepat, adil, terbuka dan efektif;
c. Badan Peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan
peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan
militer, dan peradilan tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;
d. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan yang
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum;
e. Penanganan permasalahan hukum di bidang perniagaan menjadi kewenangan
pengadilan niaga yang berada dalam lingkungan peradilan umum sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
dan PKPU;
Jadi, pengaturan yang belum secara tegas diatur dalam undang-undang Kepailitan
dan diupayakan perlu diperbaiki dalam Undang-Undang Pengadilan Niaga, yaitu:
a. Pengertian Pengadilan Niaga
Dalam Undang-Undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004 Pasal 1 angka 7
hanya disebutkan pengertian Pengadilan Niaga, yaitu Pengadilan adalah
Pengadilan Niaga dalam lingkungan peradilan umum, sedangkan dalam
RUU Pengadilan Niaga, pengertian Pengadilan Niaga adalah pengadilan
khusus yang dibentuk dalam lingkungan peradilan umum.
b. Perkara-perkara niaga
Dalam Undang-Undang Kepailitan sebelumnya belum dikenal perkara
niaga secara eksplisit, tapi dalam RUU Pengadilan Niaga hal mengenai
perkara niaga itu antara lain sebagai berikut:
27
1. Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU),
serta hal-hal yang berkaitan dengannya, termasuk kasus-kasus actio
pauliana dan prosedur renvoi tanpa memperhatikan apakah
pembuktiannya sederhana atau tidak;
2. Hak atas Kekayaan Intelektual :
1) Desain Industri
2) Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
3) Paten
4) Merek
5) Hak Cipta
3. Lembaga Penjamin Simpanan :
1) Sengketa dalam proses likuidasi.
2) Tuntutan pembatalan segala perbuatan hukum bank yang
mengakibatkan berkurangnya aset atau bertambahnya kewajiban
bank, yang dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum
pencabutan izin usaha.
3) Perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya dilakukan
dengan Undang-Undang.
c. Susunan Pengadilan Niaga
Dalam Pengadilan Niaga, dimana dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 bahwa
Pengadilan Niaga adalah Pengadilan khusus yang dibentuk dalam
lingkungan peradilan umum dimana dalam Pasal 5 Susunan Pengadilan
Niaga terdiri dari:
1. Pimpinan;
2. Hakim;
3. Penitera;
4. Panitera Muda Niaga;
5. Panitera Pengganti Niaga;
6. Juru Sita Pengganti.
28
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Hardjono. 2010. Bahan Perkuliahan Hukum Acara Peradilan Niaga. Surakarta :
UNS.
Rahayu Hartini. 2009. Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia. Jakarta :
Kencana.
Sudikno Mertokusumo. 2006. Hukum Acara Perdata di Indonesia. Yogyakarta :
Liberty.
http://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/statistik-perkara/109.html, diakses 24
Maret 2011 pukul 14.00 WIB.
http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/19307423435.pdf, diakses 20 Maret 2011
pukul 14.00 WIB.
http://radianadi.wordpress.com/2011/03/14/kedudukan-pengadilan-niaga-pn-
menurut-uu-no-37-tahun-2004/, diakses 24 Maret 2011 pukul 15.00 WIB.
http://pn-medankota.go.id/images/stories/file/RUU%20Pengadilan%20Niaga.pdf,
diakses 6 April 2011 jam 14.00 WIB.
29