Professional Documents
Culture Documents
industri konstruksi.
Kemudian dengan adanya revolusi di Inggris pada awal abad ke 18, maka standar
kontrol kualitas menyebar dengan cepat. Revolusi industri ditandai dengan produksi
barang secara massal dan dengan menggunakan sistem mekanisasi. Sampai tahap ini
pemilik perusahaan sangat kesulitan untuk mengontrol semuanya secara langsung,
sehingga muncul kebutuhan akan adanya manajer. Para manajer ini berusaha keras
untuk meningkatkan efisiensi pada organisasi perusahaan.
Pada awalnya perkembangan konsep mutu berasal dari Amerika. Awalnya mutu
ditentukan oleh produsen, hal ini bisa terjadi karena pada awal perkembangannya tidak
banyak produsen yang menghasilkan suatu produk, sehingga konsumen memiliki opsi
yang terbatas dalam membeli suatu produk. Namun seiring dengan timbulnya
persaingan maka paradigma mutu bergeser menjadi “consumen oriented”. Mulanya ahli
–ahli yang memfokuskan bidang keilmuannya dalam hal mutu kurang ditanggapi dan
didengar oleh publik Amerika. Namun beberapa dari mereka merupakan pelopor dalam
pengenalan dan pengembangan konsep mutu. Sejak 1980 keterlibatan mereka dalam
manajemen terpadu telah dihargai di seluruh dunia. Tokoh tokoh yang berjasa dalam
mengembangkan kualitas beserta konsep yang mereka kembangkan akan diuraikan
dibawah ini.
Hal lain yang dilakukan Taylor adalah memisahkan perencanaan dari perbaikan
kerja, artinya bagian produksi / yang bertanggungjawab untuk bekerja dipisahkan
dengan bagian yang bertanggungjawab untuk memperbaiki kerja.
2. Edward Deming
Lahir tahun 1900 dan mendapat Ph. D pada 1972 sangat menyadari bahwa ia telah
memberikan pelajaran tentang pengendalian mutu secara statistik kepada para insinyur
bukan kepada para manajer yang mempunyai wewenang untuk memutuskan.
Katanya :“Quality is not determined on the shop floor but in the executive suite”.
Pada 1950, beliau diundang oleh, “The Union to Japanese Scientists and
Engineers (JUSE)” untuk memberikan ceramah tentang mutu. Pendekatan Deming
dapat disimpulkan sebagai berikut :
Mutu utamanya dihasilkan sebagi hasil tindakan managemen senior bukan
tindakan oleh para pekerja
Sistem kerja yang mengukur bagaimana unjuk kerja terbentuk dan hanya
manager yang dapat menghasilkan sistem.
Hanya Manajer yang dapat mengalokasikan sumber daya, memberikan
pelatihan kepada pekerja, memilih peralataan yang pekerja gunakan dan
memberikan lingkunag kerja yang mendukung proses mutu.
Hanya manajer senior yang dapat memperkirakan pasa dimana perusahaan
akan berpartisipasi dan produk apa yang akan diberikan ke pasar.
3. Prof Juran
Mengunjungi Jepang pada tahun 1945. Di Jepang Juran membantu pimpinan Jepang di
dalam menstrukturisasi industri sehingga mampu mengekspor produk ke pasar dunia. Ia
membantu Jepang untuk mempraktekkan konsep mutu dan alat-alat yang dirancang
untuk pabrik ke dalam suatu seri konsep yang menjadi dasar bagi suatu “management
process” yang terpadu. Juran mendemonstrasikan tiga proses manajerial untuk
mengelola keuangan suatu organisasi yang dikenal dengan trilogy Juran yaitu, Finance
Planning, Financial control, financial improvement. Adapun rincian trilogy itu
sebagai berikut( Juran 1954):
Quality planning, suatu proses yang mengidentifikasi pelanggan dan proses
yang akan menyampaikan produk dan jasa dengan karakteristik yang tepat dan
kemudian mentransfer pengetahuan ini ke seluruh kaki tangan perusahaan guna
memuaskan pelanggan.
Quality control, suatu proses dimana produk benar-benar diperiksa dan
dievaluasi, dibandingkan dengan kebutuhan-kebutuhan yang diinginkan para
pelanggan. Persoalan yang telah diketahui kemudian dipecahkan, misalnya mesin-
mesin rusak segera diperbaiki.
Quality improvement, suatu proses dimana mekanisme yang sudah mapan
dipertahankan sehingga mutu dapat dicapai berkelanjutan. Hal ini meliputi alokasi
sumber-sumber, menugaskan orang-orang untuk menyelesaikan proyek mutu,
melatih para karyawan yang terlibat dalam proyek mutu dan pada umumnya
menetapkan suatu struktur permanen untuk mengejar mutu dan mempertahankan
apa yang telah dicapai sebelumnya.
Uraian tokoh-tokoh mutu di atas sekedar menggambarkan secara singkat saja. Masih
banyak para sarjana di bidang mutu yang tidak sempat ditulis pada kesempatan ini.
Yang jelas para sarjana tersebut sependapat bahwa konsep : “pentingnya perbaikan
mutu secara terus menerus bagi setiap produk walaupun teknik yang diajarkan berbeda-
beda”.
Menurut America Society for Quality Control yang mengatakan : Quality is the totality
of features and characteristics of a product or service that bear on its ability to satisty
stated of implied needs (Kotler : 1994).
Menurut ISO 9000:2000, mutu adalah derajat/tingkat karakteristik yang melekat pada
produk yang mencukupi persyaratan atau keinginan. Karakteristik disini berarti hal-hal
yang dimiliki produk, antara lain :
1. Karakteristik fisik ( elektrikal, mekanikal, biological) seperti handphone, mobil,
rumah, dll.
2. Karakteristik perilaku ( kejujuran, kesopanan ). Ini biasanya produk yang berupa jasa
seperti di rumah sakit atau asuransi perbankan.
3. Karakteristik sensori ( bau, rasa ) seperti minuman dan makanan.
Banyak yang menganggap bahwa produk yang bermutu adalah pemborosan semata.
Namun nyatanya, dapat dibuktikan bahwa membuat produk yang bermutu itu justru
mendatangkan manfaat/keuntungan bagi perusahaan.
2. Mengurangi biaya
Sementara jika keuntungan mutu ditinjau dari segi biaya adalah dengan berfokus
kepada mutu maka perusahaan akan semakin meningkatkan kinerja produksinya.
Kinerja produksi yang tinggi membuat tingginya produktifitas, rendahnya biaya
garansi atau cacat produksi. Hal ini kemudian membuat biaya manufaktur yang
rendah dan biaya servis yang kecil pula sehingga berdampak sangat besar dalam
penghematan biaya.
E. PERKEMBANGAN MUTU
2. Era Inspeksi
Pada zaman ini, mutu hanya melekat pada produk akhir. Dengan kata lain, masalah
mutu hanya berkaitan dengan produk yang rusak atau cacat. Zaman ini berlangsung
di negara Barat sekitar tahun 1800-an, dimana produsen mulai mendapatkan pesaing
Hanya sayangnya mereka tidak terbiasa dengan hal itu, dan mereka akan senang
jika kejadian semacam itu dapat dicegah. Berawal dari situlah orang Jepang dalam
memproduksi barang sangat memperhatikan pelanggan. Produk barang/jasa yang
dihasilkan sesuai dengan keinginan pelanggan sama persis seperti yang dilaporkan
penjual.
Dalam era ini, keterlibatan manajemen puncak sangat besar dan menentukan dalam
menjadikan kualitas untuk menempatkan perusahaan pada posisi kompetitif. System
ini dapat didefinisikan sebagai sistem manajemen strategis dan integratif yang
melibatkan semua manajer dan karyawan, serta menggunakan metode-metode
kualitatif dan kuantitatif untuk memperbaiki secara berkesinambungan proses-
proses organisasi agar dapat memenuhi dan melebihi kebutuhan, keinginan, dan
harapan pelanggan.
Manajemen dalam bidang mutu adalah komponen penting dalam penentuan sukses
tidaknya sebuah proyek konstruksi (abdul-rahman, 19997) dalam Raymond. T.
Aoieong, et.al (2002). Sehingga tidak heran jika perhatian terhadap mutu juga makin
meningkat belakangan ini diseluruh dunia (Chan, 1996; Docker, 1991; Kam dan Tang,
1997; Low and Seymour, 1990; Tang and Kam, 1999; Walters, 1992; Yates dan
Aniftos, 1997) dalam Syed M. Ahmed et.al (2002). Kualitas dan kesuksesan proyek
dalam konstruksi dapat dilihat sebagai pemenuhan harapan dari pihak- pihak yang
terlibat (Sanvido et.al, 1992; Barret, 2000 dalam Syed.M. Ahmed et.al (2002). Ada satu
faktor yang membuat apakah pencapaian kualitas dilakukan dengan cara yang mahal
atau cara yang menguntungkan, faktor tersebut adalah cost kualitas (Soetanto et.al.,
2001 dalam Syed.M. Ahmed et.al.., 2002).
Beberapa metode pengendalian mutu dapat diterapkan dalam proyek konstruksi. Namun
sesuai dengan karakteristik proyek konstruksi antara lain : tidak kontinue, setiap proyek
mempunyai masalah berbeda, sulit membuat sistem dan prosedur baku, sulit untuk
menyeragamkan kualitas kerja (Soekiman. A, “bahan ajar mata kuliah Manajemen
Mutu”, 2011), maka penerapan metode manajemen mutu di industri konstruksi perlu
dilakukan penyesuaian.
Perkembangan metode – metode manajemen mutu seperti TQM, Kaizen, Six sigma
memang diawali di industri manufaktur sehingga metode tersebut sangat sesuai untuk
diterapkan di industri manufaktur. Berikut perbedaan antara industri konstruksi dan
industri manufaktur (Kadir. M.R.A, 2006 dalam Latif.Y. 2009 dan Utami.R.P. 2009) :
1. Produktivitas konstruksi dipengaruhi oleh pengaruh cuaca buruk, dan kondisi
lapangan, sedangkan produksi dalam industri manufaktur berlokasi di bawah
tempat yang terlindung yaitu pabrik dan terhindar dari pengaruh cuaca buruk yang
mengacaukan.
2. Hasil dari industri konstruksi tidak bergerak atau tidak akan dipindahkan.
Sedangkan, dalam proses manufaktur, hasil diprogram untuk bergerak sepanjang
Contoh klasik penerapan manajemen mutu pada industri konstruksi adalah pada
perusahaan konstruksi Jepang. Sejalan dengan penerapan sistem manajemen mutu pada
Hal ini dibuktikan dengan pengamatan para ahli (e.g Andrews, 1973; Paulson dan Aki,
1980; Bennet et.al. 1987; Hasegawa, 1988, Levy, 1990, 1993, dalam Rashid (2002)
bahwa Perusahaan Kontraktor besar di Jepang merupakan pemimpin dalam penerapan
Total Quality Management secara domestik, sehingga membuat suatu patokan untuk
perusahaan – perusahaan dari negeri lain untuk mencontohnya. Hal ini bisa terjadi
karena lingkungan kerja di Jepang sangat mendukung sehingga kualitas merupakan
fokus utama dalam proses konstruksi.
Berikut akan dijelaskan tahapan – tahapan pengendalian mutu yang dilakukan oleh
perusahaan konstruksi Jepang terhadap suatu Proyek (Rashid, 2002) :
1. Proses
Sampai tahun 1973 kualitas konstruksi di Jepang sangat menimbulkan keprihatinan bagi
pengguna jasa dan juga masyarakat (Bennet et.al., 1987; Levy, 1990). Kemudian
industri konstruksi Jepang bereaksi positif dengan memperkenalkan jaminan kualitas
secara formal seperti Kajima’s Company Wide Quality Control (CWQC) dan
Obayashi’s SK. Mencoba membuktikan kepada pihak – pihak yang skeptis seperti
Hippoh (1983) yang menyatakan bahwa hal ini adalah sesuatu yang sementara,
komitmen kontraktor Jepang terhadap kualitas sampai hari ini tetap tidak berkurang.
Komitmen terhadap kualitas oleh kontraktor Jepang menghasilkan ketelitian yang tinggi
pada detil dan pendekatan secara terstruktur pada kerja (Levy, 1990). Gambar – gambar
rencana yang disiapkan oleh arsitek akan di cek ulang oleh kontraktor Jepang dan bila
perlu dilakukan koreksi (Hasegawa, 1988). Perhatian manajemen akan bergerak dari
kantor pusat ke lapangan sejalan dengan progres kerja lapangan yang meningkat
(Andrews, 1973; Paulson dan Aki, 1980; Bennet et.al., 1987; Levy, 1990). Ketika
pekerjaan dimulai, semua tugas termasuk pembelian material, pembayaran gaji,
pengambilan tenaga kerja dan pekerjaan desain dilakukan di lapangan. Pekerjaan yang
berkualitas tinggi tersebut juga dihasilkan dari penempatan manajemen lapangan
dengan kualifikasi sangat berpengalaman dalam jumlah banyak (Andrews, 1973;
Hasegawa, 1988; Levy, 1990). Walaupun demikian biaya overhead dalam pembayaran
tenaga berpengalaman tersebut dapat tertutupi oleh pencegahan terhadap penundaan
pekerjaan dan pengulangan pekerjaan akibat kesalahan kerja. Kualitas di ukur dan
dipertahankan melalui sejumlah tes yang sudah direncanakan dengan secara detail dan
hati – hati. Ide yang paling menarik untuk suatu pemecahan masalah didiskusikan
dalam suatu presentasi perusahaan, dan jika terbukti benar justru akan menjadi
pedoman kerja perusahaan yang baru.
3. Pengendalian Biaya
Di Jepang, Kontrak didasarkan atas basis Lump Sum (Hasegawa, 1988). Bennet et.al.
(1987) memberikan opini bahwa di Jepang jika kriteria waktu dan mutu terpenuhi,
maka masalah biaya akan jadi pertimbangan kedua. Dengan kata lain prioritas biaya
dikalahkan oleh prioritas lain yang lebih penting. Meskipun ketika variasi desain
mengakibatkan penambahan biaya, kontraktor masih ragu untuk melakukan klaim
akibat tambahan biaya yang diakibatkan klien (Levy, 1990). Penambahan nilai kontrak
dilakukan melalui negoisasi yang bersahabat atas pertimbangan yang masuk akal dan
pada posisi sederajat. Kalau cara seperti tadi tidak berhasil, maka kontraktor akan
berusaha mencari cara lain dalam pelaksanaan lapangan untuk menutupi tambahan
biaya ini ( Levy, 1990).
Perhatian terhadap keselamatan kerja tersebut, dimulai sejak dari tahap rencana dan
secara terus – menerus ditekankan selama proses pekerjaan. Selama proses pengerjaan,
suatu bangunan di tutup dengan jaring pengaman. Slogan dan poster yang
menginagatkan pekerja agar menggunakan alat pengaman ditempel di tempat –tempat
yang mudah di lihat di lokasi proyek.
Konsep tentang manajemen kualitas lahir dari tuntutan konsumen tehadap produk
berkualitas. Diawali di sektor manufaktur, ternyata kebutuhan akan manajemen kualitas
juga mendesak untuk diterapkan di industri konstruksi. Dengan sejumlah karakteristik
unik yang membedakan antara industri manufaktur dan konstruksi, sehingga diperlukan
sedikit modifikasi agar penerapan prinsip - prinsip manajemen kualitas dapat dilakukan
dengan sempurna di Industri konstruksi.
Negara yang disebut menjadi pioneer dalam hal pengembangan manajemen mutu di
industri konstruksi adalah Jepang. Prinsip – prinsip utama dalam manajemen mutu
seperti TQM, Six Sigma, Kaizen dan lainnya secara konsisten telah di terapkan oleh
perusahaan Konstruksi Jepang. Kondisi tersebut tentunya bukan didapat dalam jangka
waktu semalam. Dibutuhkan komitmen, totalitas dan kesepahaman bersama antara
stake holder, penyedia jasa dan pengguna jasa di industri konstruksi Jepang untuk
mewujudkan kondisi tersebut. Setelah memulai sejak tahun 1973, sekarang perusahaan
konstruksi Jepang telah menikmati status sebagai salah satu perusahaan terbaik di dunia
dalam industri jasa konstruksi dikaitkan dengan kualitas pekerjaan. Akibat turunan yang
didapat perusahaan konstruksi Jepang dapat merebut pangsa pasar dari industri
konstruksi global.
Jika Indonesia ingin menjadi pemain global dalam industri konstruksi, beberapa hal
yang diterapkan Jepang dalam manajemen mutu seperti diuraikan diatas dapat di coba
untuk diterapkan.
Bart A.G. Bossink, “Innovative quality management practices in the Dutch construction
industry”, (online), Volume 19, No. 8, (http://www.emeraldinsight.com, diakses
12 Februari 2011)
Latief. Y dan Utami. R.P. (2009), “Penerapan pendekatan metode six sigma dalam
penjagaan kualitas pada proyek konstruksi”,(online), Vol. 13 No. 2,
(http://www.emeraldinsight.com, diakses 12 Februari 2011)
Low,S.P. and Omar, H.F (1997), “The effective maintenance of quality management
systems in the construction industry”,(online), Volume 14, No.8,
(http://www.emeraldinsight.com, diakses 12 Februari 2011)
Low, S.P and Hong, S.H, (2005). “Strategic quality management for the construction
industry”,(online), Vol. 17 No.1, (http://www.emeraldinsight.com, diakses 12
Februari 2011)