You are on page 1of 13

KONTROVERSI PERKAWINAN PUTRI CAK NUR - MENGGUGAT

SYAHADAT CARA YAHUDI


---------------------------------------------------------------------
IMAM ALI Ra berkata: �Bencana datang diundang oleh dosa, dan tidak akan bisa
dicegah kecuali dengan tobat.� Dosa yang mengundang bencana, antara lain kebejatan
moral, berupa perselingkuhan seksual yang dilakukan para pemimpin dan pejabat negara,
seperti sudah diungkapkan dalam Risalah Mujahidin edisi 5 yang lalu

Selain itu, kebejatan intelektual juga tidak kalah dahsyatnya sebagai penyebab
malapetaka, sehingga menjadikan umat kehilangan pegangan tentang halal dan haram,
haq dan bathil. Akibatnya, masyarakat kian jauh tersesat, bahkan ragu terhadap
kebenaran Islam.

Para tokoh yang pernah populer dengan sebutan lokomotif pembaharuan pemikiran
Islam, menyumbang amat besar atas terjadinya malapetaka akibat kesesatan berfikir yang
ditularkan pada umat.

Di dalam kitab Tadribur Rawi karangan Imam As-Suyuthi, dinyatakan bahwa Imam
Malik rahimahullah menggariskan ciri-ciri kaum penyesat agama, antara lain: Pertama,
mengabaikan implementasi ayat-ayat Al-Qur�an yang telah berurat-akar sejak masa
Rasulullah dan para shahabat. Kedua, menjadikan situasi dan kondisi aktual sebagai
landasan untuk melahirkan pemahaman baru dalam beragama, dengan maksud
menciptakan toleransi di antara umat beragama serta kerdilisasi jiwa tauhid. Dan yang
ketiga, membangga-banggakan ilmu sebagai satu-satunya hakim kebenaran untuk
melakukan modifikasi pemahaman terhadap Al-Qur�an dan hadits.

1. Nurcholish Madjid
Pada tahun 1970, saat masih muda usia, Nurcholish Madjid melontarkan gagasan
�pembaharuan� pemikiran �lebih tepat membuat hal-hal baru� dalam Islam. Kini,
gagasan tersebut berkembang antara lain menjadi sepilis (sekularisme, pluralisme,
liberalisme) yang diusung generasi muda semacam Ulil Absar Abdalla dan kawan-
kawannya. Sebagaimana Nurcholish, juga komunitas Ulil, merupakan contoh yang tepat
bagi umat Islam, kaitannya dengan hadits Nabi SAW:

Diriwayatkan dari Ali r.a, ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda:
�Pada akhir zaman akan muncul kaum yang muda usia dan lemah akalnya. Mereka
berkata-kata seolah-olah mereka adalah manusia yang terbaik. Mereka membaca al-
Qur�an tetapi tidak melewati kerongkongan mereka. Mereka keluar dari agama
sebagaimana anak panah menembusi binatang buruan. Apabila kamu bertemu dengan
mereka, maka bunuhlah mereka karena sesungguhnya, membunuh mereka ada pahalanya
di sisi Allah pada Hari Kiamat.� (HR Muttafaq �alaih).

Dua tahun kemudian, Oktober 1972, Nurcholish Madjid berceramah di Taman Ismail
Marzuki (Jakarta Pusat), dengan makalah berjudul �Menyegarkan Faham Keagamaan
di Kalangan Umat Islam Indonesia�. Ketika itu, Nurcholish menghubungkan
sekularisasi dengan tauhid, sehingga timbul kesan seolah-olah Islam memerintahkan

1
sekularisasi dalam arti tauhid.

Sejak saat itu, media massa seperti Kompas, Sinar Harapan, Majalah Tempo, memainkan
peran penting mensosialisasikan gagasan Nurcholish. Di tengah-tengah iklim politik yang
represif dan keterbukaan yang tersumbat, gagasan Nurcholish menjadi vitamin yang
membangkitkan semangat menaikkan tiras dan keuntungan bagi ketiga media cetak
tersebut. Maka, jadilah Nurcholish Madjid ibarat anak kecil yang ditunjang loudspeaker
banyak, sehingga omongannya terdengar di mana-mana.

Ketika itu, gelar sarjana (S-1) masih menjadi salah satu simbol sosial yang mentereng,
bagai orang kampung memiliki sepeda motor. Dan nurcholish, ibarat bocah kampung
yang punya bapak berduit sehingga bisa membelikannya sepeda motor. Karena sepeda
motor merupakan simbol kementerengan, maka seisi kampung pun menjadi heboh,
ternganga mulut orang kampung ketika melihat bocah kecil melaju dengan pesat di atas
sepeda motor. Mereka tidak mempedulikan apakah pantas bocah kecil mengendarai
sepeda motor, mereka tidak mempedulikan aturan yang berlaku. Yang penting mentereng.

Membela Iblis
Kenyataannya, Nurcholish kian bernafsu melaju di atas sepeda motornya. Sejak itu,
kemasyhuran dan kemujuran terus bergerak mengujinya, sehingga ia mampu melanjutkan
studi hingga ke Chicago, Amerika Serikat. Berbekal ilmu, pengalaman, dan mungkin juga
dollar AS, kemudian ia mendirikan sebuah yayasan wakaf yang diberi nama Paramadina.
Salah satu kegiatannya adalah memberikan ceramah keagamaan. Pada ceramah yang
diselenggarakan tanggal 23 Januari 1987, seorang peserta, Lukman Hakim, bertanya,
�Salahkah Iblis, karena menolak bersujud kepada Adam, ketika Allah menyuruhnya.
Bukankah sujud hanya boleh kepada Allah?�

Ketika itu, Nurcholish Madjid sudah menyandang gelar Doktor, menjawab dengan
mengutip pendapat Ibnu Arabi: �Iblis kelak akan masuk surga, bahkan di tempat yang
tertinggi karena dia tidak mau sujud kecuali kepada Allah saja, dan inilah tauhid yang
murni, � jawab Nurcholish.

Pendapat Nurcholish Madjid di atas jelas menyesatkan, dan bertentangan dengan Al-
Qur�an Surah Al Baqarah ayat 34: �Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para
malaikat, �Sujudlah kamu kepada Adam,� maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia
enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir. �

Rupanya, setelah lulus dari Chicago, dan meraih gelar doktor, Nurcholish justru menjadi
pembela Iblis. Padahal Iblis jelas kafir, dan tempatnya di dalam neraka jahannam selama-
lamanya (QS Al-Bayyinah ayat 6). Ibnu Arabi sendiri telah dianggap kafir dan murtad
oleh sejumlah ulama, akibat tulisan-tulisannya yang sangat bertentangan dengan aqidah
Islam. Nama lengkap Ibnu Arabi adalah Abu Bakar Muhammad ibn Ali Muhyiddin Al-
Hatimi at-Thai al-Andalusi. Sosok ini berbeda dengan mufassir Ibnul Arabi, pengarang
tafsir Jami� Al-Ahkamil Qur�an. Ibnu Arabi sesat ini dianggap sebagai tokoh
tasawwuf falsafi, lahir di Murcia Spanyol, 17 Ramadhan 560 H (bertepatan dengan 28
Juli 1165M), dan mati di Damaskus, Rabi'uts Tsani 638H (Oktober 1240M).

2
Inti ajaran Ibnu Arabi didasarkan pada teori wihdatul wujud
(menyatunya makhluk dengan Tuhan) yang menghasilkan
wihdatul adyan (kesatuan agama, tauhid maupun syirik)
sebagai sinkretisme dari teori-teori al-ittihad (manunggal,
melebur jadi satu antara si orang sufi dan Tuhan) dengan
mengadakan al-ittishal atau emanasi. Yang jelas, Ibnu Arabi banyak dipengaruhi oleh
filsafat Masehi atau Nasrani.

Ternyata, semakin tinggi pendidikannya, sampai jauh-jauh ke Chicago untuk meraih gelar
doktor, kesesatan berfikir Nurcholish semakin jauh melampaui masa sebelumnya. Antara
lain sebagaimana tercermin melalui berbagai pernyataannya: Islam dianggap bukan nama
agama, tapi hanya sikap penuh pasrah kepada Allah; istilah musyrikah dianggap tidak
mencakup segala jenis wanita musyrik, tapi hanyalah wanita musyrik Arab; Ahli Kitab
bukan hanya Yahudi dan Nasrani, tetapi mencakup watsaniyin (penyembah
berhala/paganis) India, China, dan Jepang.

Selain sesat, Nurcholish ternyata juga tidak konsisten dengan gagasan sesat pluralisme
yang diusung dan membesarkan namanya. Hal ini terbukti ketika dia menyikapi
pernikahan anak perempuannya dengan lelaki Yahudi. Sebagaimana diceritakan Adian
Husaini dalam kesempatan diskusi di Kampus Paramadina Jakarta, pada tanggal 22 Mei
2002.

Gatra - Kontroversi Perkawinan Putri Cak Nur


Menggugat Syahadat Cara Yahudi
Baca di : http://www.gatra.com/2002-04-16/artikel.php?id=16909

Diskusi dihadiri sejumlah tokoh, selain Adian dan Nurcholish Madjid, ada Kautsar Azhari
Noer, dosen UIN Syarif hidayatullah, Jakarta), dan Martin Sinaga tokoh Kristen dari
Teologia. Pesertanya, mahasiswa pascasarjana Paramadina Jakarta. Ketika itu, setelah
Nurcholish panjang lebar menjelaskan fahamnya yang pluralis, ia pun pergi begitu saja.
Pada kesempatan itu, Adian membacakan kepada audiens sebuah e-mail yang berasal
Nurcholish Madjid ditujukan kepada puterinya, Nadia, di Amerika, Agustus 2001. Ketika
itu, Nadia sedang merencanakan membangun mahligai perkawinan dengan seorang pria
Yahudi bernama David. Isi e-mail tersebut, menunjukkan betapa kegundahan menerpa
hati Nurcholish: �Kalau sampai terjadi perkawinan antara Nadia dengan David, itu
termasuk dosa terbesar setelah syirik.� Isi surat elektronik itu jelas sangat bertentangan
dengan uraian Nurcholish Madjid tentang faham pluralisme yang baru saja dijelaskan
pada forum diskusi itu.

Sekiranya pluralisme itu baik dan benar, baik secara agama maupun pemikiran,
seharusnya Nurcholish tidak perlu gundah sampai mengatakan perkawinan antara Nadia
yang Muslimah dengan David yang Yahudi merupakan dosa besar setelah syirik.
Faktanya, Nurcholish Madjid akhirnya menikahkan puterinya itu dengan lelaki Yahudi,
setelah sebelumnya melakukan kebohongan publik, dengan menyebarkan informasi

3
palsu, seakan David sudah masuk Islam dan dinikahkan secara Islam. Padahal, Cak Nur
�panggilan akrabnya� mengawinkan puterinya Nadia dengan David lelaki Yahudi
berlangsung 30 September 2001, di Amerika, tidak dengan cara Islam, melainkan
perkawinan dengan akad universal. Yaitu, perkawinan antara anak manusia dengan anak
manusia. Melalui sikapnya itu, sebenarnya Nurcholish menunjukkan isi hatinya yang
jujur bahwa pluralisme lebih dekat kepada syirik.

Pada saat-saat tertentu, ketika kesadaran Islami lebih kuat menuntutn hidup seseorang,
kejujuran tidak bisa dibendung. Kejujuran nurani itu juga dialami dan menembus
kepekatan hati Nurcholish Madjid. Dalam kunjungan delegasi Majelis Mujahidin ke Cak
Nur pada 26 Juli 2005, terjadi dialog intensif mengenai pluralisme dan kritik terhadap
buku Fiqih Lintas Agama yang di dalamnya terdapat pernyataan Nurcholish, bahwa
semua agama sama. Juga, wanita boleh jadi imam shalat di hadapan makmum laki-laki,
kawin beda agama dan tanpa walim nikah sah, dan berbagai pernyataan sesat lainnya.

Ketika itu Cak Nur menjawab: �Pluralisme yang saya maksudkan bukan semua agama
sama, melainkan kebenaran itu tergantung masing-masing penganut agama.�

Dengan sedikit nalar intelektual, orang bisa mengerti bahwa statement di atas
mengandung kesalahan yang fatal. Agama adalah milik Allah, maka segala penilaian
benar dan salah haruslah berdasarkan kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya. Manusia tidak
memiliki otoritas untuk menilai agama �yang ini haq dan yang itu bathil�.

Delegasi Majelis Mujahidin sempat meminta Cak Nur bertobat dan beristighfar. Tetapi
belum sempat dijawab, pendampingnya, Utomo Dananjaya, dengan nada marah
menghentikan dialog itu.

Bohong itu Biasa


Dalam hal melakukan kebohongan, Nurcholish Madjid pernah diprotes Hilma Hamid
(dosen IAIN Padang, Sumbar). Hilma adalah putri Abdul Hamid Hakim, penulis buku
berjudul Al-Mu�inul Mubin. Menurut Hilma, Nurcholish telah menyalah artikan tulisan
ayahnya sehingga tak sesuai dengan Islam. Buku Al-Mu�inul Mubin karangan Abdul
Hamid Hakim diperlakukan oleh Cak Nur sebagai landasan untuk memasukkan
Konghuchu, Hindu, Budha, dan Sinto sebagai Ahli Kitab. Padahal, pada buku Al-
Mu�inul Mubin itu yang dimaksud dengan Ahli Kitab adalah Yahudi dan Nasrani,
sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur�an. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 2004.

Banyak yang belum tahu, bahwa Nurcholish sebenarnya adalah pegawai negeri (PNS) di
LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), sebagai peneliti. Namun, dia hampir sama
sekali tidak pernah hadir di kantornya. Meski tidak pernah hadir, namun untuk urusan
gaji, Nurcholish tak pernah lalai mengambilnya tiap bulan.

Banyak juga yang belum tahu, bahwa Nurcholish termasuk sosok yang berani secara
terang-terangan berbohong di depan umum, memfitnah, dan bahkan mengumpat. Hal ini
terjadi ketika Nurcholish membela Gus Dur yang diisukan mau mengganti
Assalamu�alaikum dengan Selamat Pagi. Waku itu Nurcholish mengatakan, bahwa Gus

4
Dur tidak bermaksud mengganti Assalamu�alaikum dengan Selamat Pagi. Itu cuma isu
yang disebarkan oleh seorang wartawan tengik. Menurut Nurcholish, di hadapan
sejumlah wartawan, ��Gus Dur ditanya oleh Pak Siswono Yudohusodo bahwa dirinya
tidak fasih mengucapkan assalamu�alaikum, kalau mau berpidato. Lalu dijawab Gus
Dur, ya cukup dengan selamat pagi saja. Tahu-tahu diberitakan oleh wartawan tengik itu
bahwa Gus Dur akan mengganti assalamu�alaikum dengan selamat pagi��

Wartawan tengik yang dimaksud Nurcholish ternyata bernama Hartono Ahmad Jaiz.
Menurut Hartono, cerita Nurcholish di atas adalah bohong. Sebab, Hartono pernah
mendengarkan sendiri rekaman wawancara antara Edy Yurnaedi wartawan Majalah
Amanah dengan Gus Dur yang kemudian dimuat di Majalah Amanah No. 22, 1987, hal.
39.

Ketika itu Edy Yurnaedi bertanya kepada Gus Dur (GD): �Beberapa waktu yang lalu
Anda pernah mempopulerkan istilah �mempribumikan Islam�, apa maksudnya?�

GD menjawab: �Yah, selama ini kan Islam di Indonesia terlalu melihat kepada Timur
Tengah. Sebagai contoh kalau dulu kita membangun masjid harus memakai kubah.
Padahal bangsa kita sudah memiliki bentuk arsitektur yang lebih sesuai dengan
budayanya sendiri dan mengandung makna yang mendalam. Lalu tentang ucapan
assalamu�alaikum, kenapa kita merasa bersalah kalau tidak mengucapkan
assalamu�alaikum. Bukankah ucapan itu bisa saja kita ganti saja dengan selamat pagi
atau apa kabar, misalnya...�

Edy Yurnaedi wartawan Majalah Amanah kemudian bertanya lagi: �Bukankah itu
(assalamu�alaikum) juga untuk menunjukkan identitas keislaman kita?�

GD menjawab: �Justru di sini saya nggak setuju. Untuk menunjukkan identitas Islam
saja kok harus begitu. Menurut saya, selamat pagi, selamat sore atau apa kabar itu sama
saja Islamnya dengan assalamu �alaikum��

Begitulah akhlak Nurcholish, dalam rangka mendukung sesama pengikut Iblis, sampai
berani berbohong, memfitnah, dan bahkan mengumpat di hadapan orang banyak, di
dalam sebuah forum resmi dan ilmiah, yaitu acara penandatanganan kerjasama penelitian
antara Pascasarjana Paramadina Mulia dan Departemen Agama (Balitbang). Acara resmi
itu dihadiri para pejabat Depag dan pimpinan Paramadina Mulia serta sejumlah wartawan
elektronik dan cetak.

Tahun 2003, Nurcholish sibuk melakukan persiapan untuk mencalonkan diri sebagai
salah satu kandidat bakal calon presiden pada pilpres 2004. Padahal, saat Sidang Umum
MPR bulan Oktober tahun 1999 berlangsung, Nurcholish menolak untuk diunggulkan
sebagai calon Presiden RI 1999-2004. Bahkan sebelumnya Nurcholish juga pernah
menolak tawaran Soeharto untuk duduk di Komite Reformasi.

Secara resmi Nurcholish mengumumkan kesediaan dirinya itu melalui sebuah konferensi
pers, April 2003, yang diselenggarakannya di kampus Paramadina, Jakarta. Salah satu

5
upaya lanjutan yang ditempuh Nurcholish adalah melakukan pendekatan ke Partai
Keadilan (sekarang PKS), parpol Islam yang berbasis massa Tarbiyah (Ikhwanul
Muslimin). Ketika itu, 30 April 2003, Cak Nur tidak sungkan-sungkan menyambangi
kantor PKS di bilangan Mampang Prapatan, Jakarta. Padahal dua dasawarsa sebelumnya,
dia pulalah yang gencar menggembosi partai Islam dengan slogan �Islam Yes Partai
Islam No�. Sebagaimana disampaikan Hidayat Nur Wahid, ketika itu (2003) NM sudah
berubah sikap, yaitu �Islam Yes Partai Islam Yes�.

Rupanya, Nurcholish Madjid tidak mau kalah dari Gus Dur yang tanpa dinyana bisa jadi
presiden. Padahal, ketika roda reformasi sedang digelindingkan, GD justru sedang
dirawat di rumahsakit, alias tidak ikut ambil bagian di dalam proses menggulingkan
Soeharto. Bahkan ketika GD sudah agak waras dan bisa berkomentar, isi komentarnya
pun mendukung Soeharto yang ketika itu sedang digugat habis-habisan oleh rakyat,
terutama mahasiswa. Ketika roda reformasi sedang digelindingkan, GD justru meminta
mahasiswa agar menghentikan aksi demo, dan menghentikan hujatan kepada Soeharto.
Tetapi, tidak ada yang menggubris.

Tahu-tahu, GD yang tidak ikut susah-payah menggelindingkan roda reformasi, justru bisa
terpilih menjadi presiden RI ketiga (20 Oktober 1999 - 24 Juli 2001), mengalahkan
Megawati dari PDI-P yang merupakan partai pemenang pemilu Juni 1999. Yang
menyedihkan, Nurcholish tidak kebagian kursi kekuasaan ketika GD jadi presiden.

Dan yang lebih menyakitkan hati, ketika Nurcholish bersiap-siap mencalonkan diri
sebagai kandidat bakal calon presiden, justru gerakannya dibendung oleh sohibnya
sendiri. Ketika itu, Nurcholish mengklaim bahwa dirinya sudah didukung oleh lebih dari
11 partai, termasuk PKB (Partai Kebangkitan Bangsa). Namun kenyataannya, GD
menghambat langkah Nurcholish dengan mengeluarkan pernyataan yang membela
goyang ngebor Inul dan mengecam Rhoma Irama.

Inul dan Rhoma tidak menyadari, bahwa mereka dijadikan alat untuk menghambat
lajunya gerakan Nurcholish. Begitu juga dengan media massa dan aktivis perempuan.
Mereka semuanya berpeluh-basah membela pantat Inul, sehingga muka Nurcholish
tenggelam. Dari kasus ini, Inul tambah populer dan mendapat simpati yang luas, begitu
juga dengan Rhoma yang popularitasnya tidak berkurang. Sebaliknya, Nurcholish kian
tenggelam, wajahnya dikalahkan pantat inul. Kejadian ini konon merupakan salah satu
sebab yang membuat hati Nurcholish menjadi sedemikian sakit, sehingga harus
dicangkok di RS negeri komunis, RRC, pertengahan tahun 2004. Tiga belas bulan
kemudian, Senin 29 Agustus 2005, Nurcholish meninggal dunia, setelah 7 bulan
menjalani perawatan pada salah satu rumahsakit di Singapura, kemudian berlanjut di RS
Pondok Indah Jakarta sejak 17 Februari 2005.

Selama sakit, Nurcholish membutuhkan banyak dana. Sampai-sampai kelompok usaha


Bakrie memberikan penghargaan (award) rekayasa kepada Nurcholish dengan hadiah
uang tunai sebesar Rp 100 juta, semata-mata dalam rangka menopang keuangan
Nurcholish yang terkuras untuk berobat. Kini, kelompok usaha Bakrie ikut terkuras
dananya untuk mengatasi masalah semburan lumpur Lapindo di Sidoardjo, daerah asal

6
Inul, yang terjadi sejak Mei 2006.

Betapa malangnya nasib Nurcholish Madjid, ia sama sekali tidak pernah menjadi menteri
meski ketika jabatan presiden diduduki sahabatnya sendiri. Semakin mengenaskan, ketika
sang sahabat yang ia bela sampai harus mengeluarkan jurus berbohong dan memfitnah,
justru menjegal langkahnya dengan isu kontroversial pantat Inul.

2. Durahman Dianggap Wali


Dari segi kemampuan memproduksi pemikiran sesat, Durahman �panggilan pamannya
almarhum KH Yusuf Hasyim pada Gus Dur� memang tidak secanggih Nurcholish.
Durahman dibesarkan oleh nama kakeknya yang pendiri Nahdlatul Ulama (NU).
Sehingga status �keulamaannya� diraih karena faktor keturunan. Yang paling
menonjol dari Durahman adalah kelicikannya dan kengawurannya. Bahkan ia bisa
mempecundangi, bukan saja Nurcholish, bahkan Soeharto bisa ia pecundangi. Padahal,
tanpa Soeharto dan Orde Baru, Durahman bukan apa-apa. Ketika pecah kasus Priok
(September 1984), dan Benny Moerdani (Pangab kala itu) melakukan cooling down
dengan mengunjungi pesantren-pesantren di lingkungan NU, ia bertemu dengan
�generasi muda� NU yang menarik hatinya karena pandai memberikan argumen yang
dibutuhkan Benny untuk mendapat pembenaran atas aksi pembantaian di Tanjung Priok.

Sebelum bertemu Benny, GD adalah sosok yang tergolong fuqara wal masakin yang kaya
gagasan. Gagasan itu ditampung majalah Tempo melalui kolom tertentu, sehingga GD
disebut sebagai kolomnis. Kompas dan Sinar Harapan juga kerap memuat tulisan GD.
Selain kolomnis, GD juga menerima berbagai pesanan untuk menjadi panelis
(narasumber) di berbagai seminar atau sarasehan. Namun semua itu tetap membuat GD
harus hidup miskin, bahkan Sitti Nuriyah (yang kelak berganti nama menajdi Sinta
Nuriyah) harus pontang-panting mencari uang dengan menjadi penulis lepas di majalah
Zaman, sebuah majalah yang lahir dari selangkangan Tempo Group pimpinan Gunawan
Mohamad.

Begitu miskinnya, sehingga harus nebeng pada Kartono Mohamad setiap hendak ke
tempatnya beraktivitas. Dari kediamannya di Ciganjur (yang kala itu masih belukar, dan
belum dijangkau transportasi darat), GD harus tiba tepat waktu di kediaman Kartono
Mohamad di Jati Padang (Pasar Minggu, Jakarta Selatan). Sedikit terlambat, ia
ketinggalan tebengan, sehingga harus melanjutkan perjalanan dengan bis kota. Kartono
Mohamad adalah kakak kandung Gunawan Mohamad.

GD sering berjalan kaki ke suatu tempat yang jaraknya tidak terlalu jauh. Sehari-hari GD
jarang memakai sepatu, kecuali ke Istana Negara menemui Soeharto. Sebelum jadi Ketua
PBNU, berkat belas kasih Soetjipto Wirosardjono �yang kala itu menjabat sebagai
Wakil Ketua BPS (Biro Pusat Statistik) dan juga Ketua Umum PKBI (Perkumpulan
Keluarga Berencana Indonesia)� GD disediakan sebuah kamar di bilangan Menteng,
untuk tempatnya bekerja.

Setelah bertemu Benny, kemudian GD berhasil dipasang sebagai Ketua Tanfidziyah


PBNU periode 1984-1999. Untuk menyesuaikan dengan statusnya yang baru itu, GD

7
buru-buru menunaikan ibadah haji. Dari sinilah karier GD melesat. Ia berhasil dinobatkan
sebagai lokomotif pembaharuan pemikiran Islam, dan tokoh demokrasi. Kemampuan GD
memproduksi pernyataan yang kontroversial, menghina Islam dan membingungkan
ummat, justru dianggap sebagai terobosan dan angin segar oleh sebagian kalangan. Maka,
GD yang hidup miskin berubah menjadi kaya raya.

Durahman dan Nurcholish adalah dua sosok yang succsess story-nya kemudian diikuti
oleh generasi muda di bawahnya, seprti Ulil dan lain-lain. Mereka menapak tilas langkah
GD-NM yang aneh, nyeleneh, seolah-olah cerdas, seolah-olah Islami namun sebenarnya
bertentangan dengan Islam, menyimpang dari aqidah dan membingungkan ummat. Tapi
anehnya justru dihormati orang sebagai intelektual, bertabur pujian dan uang.

Salah satu predikat yang disandang GD adalah intelektual. Ciri yang seharusnya melekat
pada seorang intelektual, adalah konsistensi. Kenyataannya, GD adalah sosok yang
sangat tidak konsisten. Bahkan ketidakonsistenan GD telah menjadi trade mark
akhlaqnya.

Ketika di berbagai daerah ramai-ramai menerbitkan sejumlah perda yang dianggap


bernuansa syariat Islam, GD termasuk yang menolak, sebagaimana tercermin melalui
wawancara yang terjadi antara GD dengan komunitas JIL. Ketika itu GD berkilah,
�Otonomi daerah itu perlu dipahami sebagai kebebasan untuk melaksanakan aturan
yang sudah ada, bukan kebebasan untuk menetapkan undang-undang sendiri. Pengertian
otonomi daerah itu bukan seperti yang terjadi sekarang ini; daerah mau merdeka di mana-
mana dan dalam segala hal. Sikap itu tidak benar.�

Namun ketika ditanya, �Apakah beberapa daerah yang mayoritas non-muslim seperti
NTT, Papua, Bali, dan lain-lain, dibolehkan menerapkan aturan agama mereka masing-
masing dengan alasan otonomi daerah?�

GD menjawab, �Iya nggak apa-apa. Itu konsekuensinya kan? Makanya, kita tidak usah
ribut-ribut soal perda dan aturan yang berasal dari satu agama.�

Ini jelas tidak konsisten. Kalau perda bernuansa syariat Islam diterbitkan di daerah yang
mayoritas penduduknya beragama Islam, dianggap kacau oleh GD, namun hal yang sama
tidak disebut kacau untuk Bali, NTT dan Papua yang non Islam.

Meski GD sering menunjukkan sikapnya yang anti Islam, namun berbagai media tetap
saja menyebutnya sebagai cendekiawan Muslim. Sehingga, orang awam pun ikut-ikutan
menganggapnya sebagai cendekiawan Muslim. Ada juga yang menganggap GD sebagai
ulama, bahkan sebagian lainnya menganggap GD bermaqam wali.

Wali dan Nabi Palsu


Kalau GD diposisikan bermaqam wali oleh orang awam yang punya kecenderungan
taklid bodoh, barangkali masih bisa bisa dipahami, karena sikap itu dilandasi oleh
kebodohannya. Tapi kalau yang menganggap GD bermaqam wali adalah sosok sekaliber
Dawam, betapa memprihatinkannya kualitas bangsa ini. Dawam yang dijuluki intelektual

8
Muslim, berpredikat profesor (guru besar), ternyata mengangap GD bermaqam wali
dengan argumen yang tidak berkualitas. Dalam sebuah wawancara dengan ANteve,
Selasa pagi 26 Oktober 1999 M (16 Rajab 1420 H), Dawam Rahardjo dimintai
komentarnya tentang Gus Dur yang baru saja terpilih sebagai presiden RI ke-4, dan saat
itu bertepatan dengan rencana pemerintah mengumumkan susunan kabinetnya. Ketika
itu, Dawam mengatakan bahwa GD adalah wali. Alasannya, karena GD mampu belajar
Bahasa Inggris dengan cepat sekali, dan pidatonya dalam bahasa Inggris bagus sekali.

Bila kemampuan mempelajari bahasa Inggris dengan cepat, dan mampu berpidato dalam
bahasa Inggris dengan baik sekali merupakan persyaratan menjadi wali, maka di
Indonesia ini banyak sekali orang yang layak disebut wali.

Kalau GD dianggap wali karena disandarkan pada ketinggian ilmunya tentang Islam,
barangkali masih bisa disebut fair. Faktanya, GD sering ngawur di dalam memahami
Islam. Misalnya, sebagaimana tercermin melalui artikel berjudul Antara Asas Islam dan
Asas Pancasila di harian Media Indonesia, Rabu 17 Maret 1999, halaman 6, �Bahkan,
Allah memerintahkan manusia untuk beragam agama, �Bagimu agamamu dan bagiku
agamaku� (lakum dienukum wa liya dien). Bahkan, dalam hal perbedaan agama, kita
diperintahkan berbeda keyakinan, tetapi boleh bersama-sama dalam hal perbuatan.
�Bagi kami amal perbuatan kami bagi kamu amal perbuatan kamu.� (Lanaa
a'maalunaa walaikum a'maalukum).�

Jika Allah memerintahkan umat manusia untuk beragam agama, ngapain sampai repot-
repot menurunkan wahyu berupa Kitab Suci dan mengutus Nabi segala? Tanpa
bimbingan Allah, tanpa Kitab Suci dan Nabi, umat manusia mampu menciptakan agama
yang beragam, kok. Buktinya, meski sudah ada Kitab Suci dan Nabi serta Rasul, masih
saja lahir nabi-nabi palsu dengan kitab suci palsu pula.

Salah satu nabi palsu itu adalah GD sendiri. Dalam sebuah pertemuan dengan sejumlah
wartawan di Kantor PBNU jalan Kramat Raya (Jakarta Pusat), pertengahan Juli 1999,
GD mengeluarkan pernyataan, �Saya sekarang menjadi nabinya orang Aceh.�
Pernyataan itu tentu saja mendapat reaksi keras. Maka GD pun berkilah, �Dalam
budaya Jawa, orang yang dikatakan nabi itu adalah orang yang memperjuangkan sesuatu
dengan sunguh-sungguh.�

Padahal, menurut pakar kebudayaan Jawa Karkono Kamajaya, �Nabi itu adalah utusan
Tuhan untuk membawa umatnya kepada jalan yang benar. Budaya Jawa juga memandang
hanya nabi yang mendapat wahyu dari Tuhan.�

Ternyata, untuk urusan yang berkenaan dengan budaya saja, GD terbukti ngawur dan
tidak menguasai persoalan. Apalagi yang berkenaan dengan syari�at Islam! Lha, orang
seperti ini koq disebut wali.

Semakin ketahuan ketidakmampuan GD memahami Al-Qur�an adalah ketika ia tanpa


ditanya oleh pewawancara (di situs JIL) menyatakan bahwa Al-Qur�an adalah Kitab
Suci paling porno, hanya karena di dalam Al-Qur�an ada perintah menyusui. Kalau

9
hanya karena itu disebut porno, maka banyak sekali dokumen, peraturan, makalah dan
anjuran (ucapan) yang tergolong porno. Termasuk, anjuran yang disosialisasikan isteri
Presiden SBY melalui berbagai media agar para ibu menyusui bayinya dengan ASI
karena ASI lebih sesuai dibanding susu formula.

Sekalipun demikian, Gus Dur bernasib lebih baik dibanding Nurcholish. Meski serba
sebentar, GD pernah jadi anggota MPR bahkan sempat menjadi presiden selama hampir
dua tahun. Kemudian habis kariernya. Kharisma dan kewibawaannya melorot setelah
skandal perzinahannya terkuak lebar, dan kemudian diturunkan dari jabatan Presiden oleh
MPR. Memalukan. Begitulah nasib tragis yang harus diterima orang-orang yang
menghina agama Allah. Benarlah firman Allah, �Biarkan Aku yang mengurus��

3. Dawam Raharjo Membela Cak Nur


Berbeda dengan GD yang tega menelikung Nurcholish, Dawam Rahardjo seratus persen
loyal dan membela Cak Nur, bahkan jauh ketika dia sudah meninggal dunia. Mengapa
demikian? Sebab, tanpa bersandar ke Nurcholish atau GD, nama Dawam tidak punya
makna. Makanya, meski Nurcholish sudah tiada, ia berusaha terus membelanya, meski
harus berbohong sekalipun. Di Kompas edisi Jumat, 19 Januari 2007, Dawam memuji-
muji GD melalui tulisannya berjudul Pembaruan KH Abdurrahman Wahid. Isinya,
komentar subyektif Dawam tentang cuatan pemikiran GD yang terangkum di dalam
sebuah buku berjudul Islamku, Islam Anda dan Islam Kita, sebuah kumpulan tulisan GD
dalam beberapa periode. Begitulah cara Dawam mempertahankan eksistensinya.

Selain Nurcholish, Dawam juga gemar bersandar ke berbagai tokoh lainnya. Antara lain
Munawir Sjadzali, menteri agama dua periode (1983-1993). Munawir pernah berpidato di
IAIN (sekarang UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, dan melontarkan gagasan reaktualisasi
ajaran Islam dengan mengemukakan bahwa hukum waris Islam tidak adil (laki-laki dua
bagian, perempuan satu bagian). Munawir ketika itu juga berpendapat bahwa ada
beberapa ayat Al-Qur�an yang kini tidak relevan lagi.

Naluri oportunis Dawam langsung bekerja. Ia tanpa ditunjang kesiapan (ilmu) yang
memadai langsung mendukung gagasan Munawir yang nyeleneh itu. Salah satunya,
Dawam berpidato di hadapan ahli Syari�ah yang berjumlah lebih dari 200 orang, di
Kaliurang, Jogjakarta, ia berceloteh, �� kalau bagian warisan itu lelaki dua kali lipat
bagian perempuan, maka bagaimana cara membaginya?�

Melihat kebingungan Dawam, spontan hadirin tertawa terbahak-bahak. Tentu saja mereka
terbahak-bahak, karena sebagai tenaga ahli Syari�ah di Pengadilan-pengadilan Agama
dari berbagai kota, mereka sudah biasa memberi fatwa waris. Menghitung pembagian
waris lelaki dua bagian dan perempuan satu bagian adalah pekerjaan mudah. Ternyata
untuk urusan semudah itu, Dawam yang bergelar professor tidak bisa mencernanya
dengan baik. Lagi pula, Dawam bukan ahli syari�ah, namun sok tahu mau mengajari
para ahli syari�ah yang sudah lama mempraktekkannya.

Menyadari kedunguannya, serta-merta Dawam turun dari podium, langsung kabur ke


Jakarta bersama seorang pendampingnya. Selain suka bersandar, Dawam juga senang

10
membela aliran sesat, di antaranya membela Ahmadiyah. Di tahun 2000, bersama Habib
Hirzin, Dawam terbang ke London mengundang Tahir Ahmad yang oleh kalangan
Ahmadiyah dianggap sebagai Khalifah ke-4 tingkat dunia, untuk datang ke Jakarta
(Indonesia).

Ketika rombongan Tahir Ahmad tiba di Bandara Cengkareng, Jakarta, Dawam pun
menjemputnya, dan mengalungi bunga, kemudian dipertemukan dengan Presiden
(kala itu) Abdurrahman Wahid dan Ketua MPR (kala itu) Prof. Dr. Amien Rais.
Keberhasilan Dawam tentu saja mendapat pujian dari Tahir Ahmad. Pujian itu juga
dipublikasikan melalui majalah khusus Ahmadiyah yang terbit di London.

Selama berada di Jakarta, Tahir Ahmad sang penerus nabi palsu Mirza Ghulam
Ahmad ini, sesumbar akan menjadikan Indonesia sebagai negeri terbesar Ahmadiyah.
Sesumbar itu disambut oleh umat Islam dengan perlawanan, di antaranya penghancuran
rumah-rumah orang Ahmadiyah di berbagai tempat di Indonesia.

Rupanya Dawam termasuk tokoh yang gigih membela Ahmadiyah. Ini terbukti ketika
dalam rangka menyikapi terjadinya penyerbuan terhadap kantor Pusat Ahmadiyah di
Parung (Bogor) pertengahan Juli 2005, ia membela sejadi-jadinya sampai-sampai Dawam
menyatakan, �� jika ada gerakan anti Islam, maka saya akan ikut�� Pernyataan itu
diucapkannya di hadapan pers dalam acara jumpa pers yang berlangsung di gedung
(kantor) PBNU.

Selain mau ikut gerakan anti Islam, Dawam juga tidak sungkan-sungkan melakukan
pembelaan dengan argumen bohong. Ketika diwawancarai Rakyat Merdeka edisi Sabtu,
23 Juli 2005, Dawam mengatakan: �� di Parung itu awalnya banyak sarang perjudian
dan prostitusi, tapi setelah ada Ahmadiyah semua itu hilang��

Padahal kenyataannya, masalah prostitusi dan perjudian di Parung, tidak ada korelasinya
dengan keberadaan Ahmadiyah. Meski Ahmadiyah telah mendirikan kantor pusatnya di
Parung, prostitusi dan perjudian tidak berkurang, malah semakin marak. Kalau prostitusi
dan perjudian di Parung kemudian jauh berkurang, itu karena pernyataan Kapolri
Jenderal Soetanto yang secara tegas akan melibas praktek perjudian dan prostitusi di
seluruh Indonesia.

Barangkali Dawam belum tahu nasib tragis yang menimpa Mirza Ghulam Ahmad
(MGA). Ada baiknya sebelum Dawam mengalami nasib yang sama, bertanyalah kepada
Dr. Hasan bin Mahmud Audah, mantan orang kepercayaan Khalifah Ahmadiyah ke-4
Thahir Ahmad, yang sudah kembali ke Islam. Dr. Hasan bin Mahmud Audah pernah
menjelaskan, berminggu-minggu sebelum kematian menjemput, MGA tidak bisa ke
kakus. Akibatnya, MGA buang air besar dan kecil di tempat tidur. Karena sakitnya itu,
sampai-sampai dalam sehari dia kencing seratus kali. Jadi tempat tidurnya sangat kotor
seperti kakus. Begitulah nasib nabi palsu penyesat umat. Dawam akhirnya dipecat dari
Muhammadiyah, ketika Din Syamsuddin naik menggantikan Syafii Ma�arif.

11
Masalah yang dihadapi bangsa Indonesia bukan cuma tingginya tingkat korupsi, narkoba,
pornografi, tetapi juga tingginya tingkat taklid bodoh sebagian rakyat Indonesia. Taklid
bodoh ini sudah sedemikian mengkhawatirkan, karena ekspresinya tidak hanya berbentuk
memotongi pohon di pinggir jalan dalam rangka membela sang tokoh idolanya, tetapi
juga sudah sampai tahap siap mengorbankan nyawa demi membela sang tokoh yang
sebenarnya penganjur kesesatan. Yang memprihatinkan, kerelaan mengorbankan nyawa
demi sang tokoh sesat seperti ini, mereka anggap sebagai salah satu cara mati syahid. Dan
yang lebih memprihatinkan lagi, di tempat yang sama lahir pula generasi muda yang
liberal dan sesat dari aqidah Islam. Ini jelas mengkhawatirkan. Bila dari pantat ayam
betina bisa keluar telur, bisa juga tembelek, tetapi dari tempat ini tidak ada telurnya, cuma
tembelek yang keluar dari duburnya.

Risalah Mujahidin Edisi 7 Th I Rabiul Awal 1428 H / April 2007 M, hal. 26-37.

Catatan Redaksi
Email Cak Nur kepada Nadia Tentang Pernikahan anaknya

�Assalaamu�alaikum wr. wb.


Nadia Tersayang

Surat elektronikmu lewat Mikel telah Papa-Mama baca�


Kemudian dia itu beragama lain dari kita, yang dalam telinga banyak orang sangat
stigmatik. Memang hal itu dapat diatasi, yaitu kalau dia mau masuk agama kita. Kalau
tidak, sembilan puluh sembilan persen, suatu dosa yang sangat besar, salah satu yang
terbesar dalam agama kita setelah syirik, durhaka kepada orang tua, membunuh dan
merusak alam.

Dua hal lagi yang menjadi keprihatinan Papa-Mama, sekali pun sedikit lebih ringan.
Yaitu bahwa dia itu agaknya dari keluarga berada dan terkenal, selain tentu saja
menganut pola budaya yang cukup berbeda dengan kita, karena dia tidak sebangsa
dengan kita�

Kemungkinan-kemungkinan itu janganlah ditepis dengan adanya janji-janji lisan dari


dia kepadamu. Kamu sendiri mengetahui hal itu, sebab seperti kata pepatah, �lidah tak
bertulang�. Karena itu, inilah saatnya kamu menetapkan kearifan,�lebih baik mandi
keringat saat latihan daripada mandi darah saat pertempuran.� Lebih baik bersusah
payah saat persiapan daripada menerima derita nestapa saat perjalanan. Maka Mama-
Papa dengan amat sangat menasehatkan kepadamu hal-hal berikut:

Kalau memang jadi, dia mutlak harus masuk agama kita. Acara pengislaman itu harus
disaksikan cukup banyak orang lain, yang terdiri dari : Teman-teman dan kenalanmu
dari kalangan bangsa kita di DC ini. Teman-teman dan kenalan-kenalanmu dari

12
kalangan orang DC, khususnya dari Suara Amerika, Keluarga dan teman-teman dari
dia, supaya ikut menyaksikan dan menjadi saksi. Sudah tentu orang-orang dari KBRI�

Setelah itu semuanya terlaksana dengan mantap, dapat lakukan pernikahan resmi
menurut syariat agama kita, sehingga benar-benar sah dan legal (agama dan hukum
sipil), dan kamu sendiri, serta Papa-Mama dan seluruh keluarga terbebas dari fitnah,
gunjingan dan umpatan orang�� (dikutip dari Buku �Nikah Beda Agama Menurut
Islam dan Seputar Kontroversi Pernikahan Putri Cak Nur�, penerbit Media Wacana).

13

You might also like