You are on page 1of 6

Perlakuan Perpajakan atas penghapusan piutang

Oleh : L.Y. Hari Sih Advianto


Widyaiswara Pusdiklat Pajak- Jakarta
lyharisih@gmail.com

Dalam dunia bisnis, penghapusan piutang merupakan hal yang


lazim terjadi dan seringkali tidak bisa dihindari. Banyak hal
yang dapat menyebabkan piutang harus dihapuskan, terutama
penyebabnya adalah ketidakmampuan debitur dalam memenuhi
kewajiban pembayaran hutang-hutangnya. Dari aspek perpajakan
masalah penghapusan piutang ini telah diakomodir pengaturannya baik itu bagi kreditur atau
pihak yang memberikan hutang, maupun bagi debitur sebagai pihak yang berhutang.

Pengaturan tentang penghapusan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dibuat dengan
mempertimbangkankan prinsip-prinsip deductible dan non deductible, serta prinsip taxable dan
non taxable, dimana jika di satu pihak dapat dibebankan sebagai biaya, maka di pihak lain harus
menjadi penghasilan.

Dalam penerapannya juga diatur tentang adanya fasilitas khusus untuk debitur kecil yang
memang diberikan fasilitas bahwa jika debitur kecil yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah mendapat penghapusan utang, maka bagi debitur kecil tersebut bukan merupakan
penghasilan, walaupun di pihak kreditur dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto.
Dalam pasal 6 ayat (1) huruf h Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 sebagaimana telah
beberapakali diubah terahir dengan Undang-undang Nomor 36 tahun 2008, mengatur bahwa
dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto adalah piutang yang nyata-nyata tidak
dapat ditagih dengan persyaratan sebagai berikut:
1. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial
2. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat
Jenderal Pajak; dan
3. telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah
yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan
piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah
dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur
bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu.
4. syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak
tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k UU PPh.

Sedangkan dalam ketentuan undang-undang sebelumnya diatur dalam pasal 6 ayat (1)
huruf h Undang-undang nomor 17 tahun 2000, persyaratan untuk mengurangkan Piutang yang
nyata-nyata tidak dapat ditagih adalah :
1. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial; dan
2. telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau Badan Urusan
Piutang dan Lelang Negara (BUPLN), atau adanya perjanjian tertulis mengenai
penghapusan piutang/pembebasan utang (perjanjian restrukturisasi utang usaha) antara
kreditur dan debitur yang bersangkutan;
3. telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; dan
4. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih
kepada Direktorat Jenderal Pajak.
Dalam bentuk persandingan persyaratan pembebanan piutang yang nyata-nyata tidak dapat
ditagih berdasarkan Pasal 6 ayat (1) huruf h:

UU no. 17/2000 UU no. 36/2008


1. telah dibebankan sebagai biaya dalam 1. telah dibebankan sebagai biaya dalam
laporan laba rugi komersial; dan laporan laba rugi komersial;
2. telah diserahkan perkara penagihannya 2. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar
kepada Pengadilan Negeri atau Badan piutang yang tidak dapat ditagih kepada
Urusan Piutang dan Lelang Negara Direktorat Jenderal Pajak; dan
(BUPLN), atau adanya perjanjian tertulis 3. telah diserahkan perkara penagihannya
mengenai penghapusan piutang/ kepada Pengadilan Negeri atau instansi
pembebasan utang (perjanjian pemerintah yang menangani piutang
restrukturisasi utang usaha) antara negara; atau adanya perjanjian tertulis
kreditur dan debitur yang bersangkutan; mengenai penghapusan piutang/
3. telah dipublikasikan dalam penerbitan pembebasan utang antara kreditur dan
umum atau khusus; dan debitur yang bersangkutan; atau telah
4. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar dipublikasikan dalam penerbitan umum
piutang yang nyata-nyata tidak dapat atau khusus; atau adanya pengakuan dari
ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak. debitur bahwa utangnya telah dihapuskan
untuk jumlah utang tertentu.
4. syarat sebagaimana dimaksud pada
angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan
piutang tak tertagih debitur kecil
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1) huruf k UU PPh.

Dalam perubahan ketentuan berdasarkan Undang-undang no. 36 tahun 2008, dimaksudkan untuk
memberikan kemudahan dalam hal persyaratan untuk dapat memperlakukan piutang yang nyata-
nyata tidak dapat ditagih sebagai pengurang penghasilan bruto. Letak kemudahannya adalah
dalam ketentuan yang baru persyaratan:

 telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah
yang menangani piutang negara; atau
 adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/ pembebasan utang antara kreditur
dan debitur yang bersangkutan; atau
 telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau
 adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu
merupakan persyaratan ini bersifat alternatif, artinya Wajib Pajak boleh memilih memenuhi salah
satu persyaratan saja.

Berbeda dengan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 yang memberikan
syarat komulatif, yaitu:
 telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah
yang menangani piutang negara
 publikasi penghapusan piutang dalam penerbitan umum atau khusus,
dimana persyaratan ini harus dipenuhi semuannya untuk dapat membebankan penghapusan
piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih sebagai pengurang penghasilan bruto.

Dalam Pasal 6 ayat (1) angka 4, diatur bahwa syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak
berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 ayat (1) huruf k; dengan Persyaratan membebankan penghapusan debitur kecil adalah
penghapusan tersebut telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial dan
Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat
Jenderal Pajak. Tentu saja kemudahan ini lebih dapat dirasakan bagi wajib pajak dalam hal
pembebanan sebagai pengurang penghasilan bruto atas penghapusan debitur kecil yang
dilakukannya, hanya cukup dengan mencatat pada pembukuan perusahaan dan
mencantumkannya pada laporan keuanga serta membuat daftar nominatif untuk dilaporkan
sebagai lampiran SPT tahunan PPh tahun dilakukannya penghapusan tersebut.

Yang menjadi permasalahannya adalah kriteria debitur kecil. Walau telah tegas dalam
Pasal 6 ayat 1 huruf h angka 4 dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan debitur kecil adalah
debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 (1) Undang-undang PPh, akan tetapi
Peraturan Menteri Keuangan menetapkan lain.

Dalam Pasal 4 ayat (1) diatur bahwa yang dimaksud sebagai Debitur kecil adalah
Debitur yang menurut ketentuan dalan Peraturan Pemerintah dikecualikan dari penetapan sebagai
objek PPh atas keuntungan dari pembebasan utang yang diterimanya, sampai dengan batasan
jumlah tertentu. Perubahan keempat Undang-undang PPh belum diikuti dengan perubahan
Peraturan Pemerintah, sehingga mengenai debitur kecil yang dibebaskan pengenaan PPh atas
keuntungan penghapusan utang, masih menggunakan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor
130 tahun 2000 Tentang Pengecualian sebagai Objek Pajak atas Keuntungan Karena
Pembebasan Utang Debitur Kecil.

Dalam Peraturan Pemerintah tersebut ditetapkan bahwa Debitur Kecil adalah utang usaha
yang jumlahnya tidak lebih dari Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah), termasuk:
a. Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra), yaitu kredit lunak untuk usaha ekonomi
produktif yang diberikan kepada Keluarga Prasejahtera dan Keluarga Sejahtera I (alasan
ekonomi hasil pendataan KS) yang telah menjadi peserta Takesra dan tergabung dalam
kegiatan kelompok Prokesra-OPPKS;
b. Kredit Usaha Tani (KUT), yaitu kredit modal kerja yang diberikan oleh bank kepada
koperasi primer baik Sebagai pelaksana (executing) maupun penyalur (channeling) atau
kepada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai pelaksana pemberian kredit, untuk
keperluan petani yang tergabung dalam kelompok tani guna membiayai usaha taninya
dalam rangka intensifikasi padi, palawija dan hortikultura;
c. Kredit Pemilikan Rumah Sangat Sederhana (KPRSS), yaitu kredit yang diberikan oleh
bank kepada masyarakat untuk pemilikan rumah sangat sederhana (RSS);
d. Kredit Usaha Kecil (KUK), yaitu kredit yang diberikan kepada nasabah usaha kecil; dan
e. Kredit kecil lainnya dalam rangka kebijakan perkreditan Bank Indonesia dalam
mengembangkan usaha kecil dan koperasi.

Dari ketentuan dalam Peraturan Pemerintah tersebut jelas bahwa yang dimaksud dengan
debitur kecil adalah debitur dengan jumlah utang tidak lebih dari Rp 350.000.000,00 (tiga ratus
lima puluh juta rupiah), sehingga berdasarkan menurut ketentuan Pasal 6 ayat (1) atas debitur
kecil tersebut dalam penghapusan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tidak harus
memenuhi persyaratan Pasal 6 ayat (1) huruf h angka 3, yaitu telah diserahkan perkara
penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang
negara; atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara
kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau
khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah
utang tertentu.

Pelaksanaan tentang penghapusan piutang yang nyata-nyata tidak dapat tertagih diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 57/PMK.03/2010 tanggal 9 Maret 2010 tentang Perubahan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.03/2008 tentang Piutang yang Nyata-nyata Tidak
Dapat Ditagih yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto.
Dalam Keputusan Menteri Keuangan tersebut ditetapkan kriteria debitur kecil yang
dibedakan antara debitur kecil dan debitur kecil lainnya. Yang dimaksud dengan debitur kecil
adalah piutang yang jumlahnya tidak melebihi Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah), yang
merupakan gunggungan jumlah piutang dari beberapa kredit yang diberikan oleh suatu institusi
bank/lembaga pembiayaan dalam negeri sebagai akibat adanya pemberian:
a. Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra), yaitu kredit lunak untuk usaha ekonomi
produktif yang diberikan kepada Keluarga Prasejahtera dan Keluarga Sejahtera I yang telah
menjadi peserta Takesra dan tergabung dalam kegiatan kelompok Prokesra-OPPKS
b. Kredit Usaha Tani (KUT), yaitu kredit modal kerja yang diberikan oleh bank kepada
koperasi primer baik sebagai pelaksana (executing) maupun penyalur (channeling) atau
kepada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai pelaksana pemberian kredit, untuk
keperluan petani yang tergabung dalam kelompok tani guna membiayai usaha taninya
dalam rangka intensifikasi padi, palawija, dan hortikultura;
c. Kredit Pemilikan Rumah Sangat Sederhana (KPRSS), yaitu kredit yang diberikan oleh
bank kepada masyarakat untuk pemilihan rumah sangat sederhana (RSS);
d. Kredit Usaha Kecil (KUK), yaitu kredit yang diberikan kepada nasabah usaha kecil
e. Kredit Usaha Rakyat (KUR), yaitu kredit yang diberikan untuk keperluan modal usaha
kecil lainnya selain KUK; dan/atau
f. Kredit kecil lainnya dalam rangka kebijakan perkreditan Bank Indonesia dalam
mengembangkan usaha kecil dan koperasi.
Sedangkan debitur kecil lainnya adalah piutang yang jumlahnya tidak melebihi Rp 5.000.000,00
(lima juta rupiah).
Jika dibandingkan antara Peraturan Pemerintah Nomor 130 tahun 2000 dengan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 57/PMK.03/2010 jo. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
105/PMK.03/2008, telihat perbedaan yang mendasar dalam menetapkan suatu piutang apakah
termasuk dalam kriteria debitur kecil sebagai berikut:

PP nomor 130 tahun 2000 PMK No. 57/PMK.03/2010 jo.


PMK No. 105/PMK.03/2008
Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada
dengan Utang Debitur Kecil adalah utang usaha debitur kecil adalah piutang debitur kecil yang
yang jumlahnya tidak lebih dari Rp 350.000.000,00 (tiga jumlahnya tidak melebihi Rp100.000.000,00 (seratus
ratus lima puluh juta rupiah), termasuk : juta rupiah), yang merupakan gunggungan jumlah
a. Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra), yaitu piutang dari beberapa kredit yang diberikan oleh suatu
kredit lunak untuk usaha ekonomi produktif yang institusi bank/lembaga pembiayaan dalam negeri
diberikan kepada Keluarga Prasejahtera dan sebagai akibat adanya pemberian:
Keluarga Sejahtera I (alasan ekonomi hasil
pendataan KS) yang telah menjadi peserta Takesra a. Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra), yaitu
dan tergabung dalam kegiatan kelompok Prokesra- kredit lunak untuk usaha ekonomi produktif yang
OPPKS; diberikan kepada Keluarga Prasejahtera dan Keluarga
b. Kredit Usaha Tani (KUT), yaitu kredit modal kerja Sejahtera I yang telah menjadi peserta Takesra dan
yang diberikan oleh bank kepada koperasi primer tergabung dalam kegiatan kelompok Prokesra-
baik Sebagai pelaksana (executing) maupun penyalur OPPKS;
(channeling) atau kepada Lembaga Swadaya b.Kredit Usaha Tani (KUT), yaitu kredit modal kerja
Masyarakat (LSM) sebagai pelaksana pemberian yang diberikan oleh bank kepada koperasi primer
kredit, untuk keperluan petani yang tergabung baik sebagai pelaksana (executing) maupun penyalur
dalam kelompok tani guna membiayai usaha (channeling) atau kepada Lembaga Swadaya
taninya dalam rangka intensifikasi padi, palawija dan Masyarakat (LSM) sebagai pelaksana pemberian
hortikultura; kredit, untuk keperluan petani yang tergabung dalam
c. Kredit Pemilikan Rumah Sangat Sederhana kelompok tani guna membiayai usaha taninya dalam
(KPRSS), yaitu kredit yang diberikan oleh bank rangka intensifikasi padi, palawija, dan hortikultura;
kepada masyarakat untuk pemilikan rumah sangat c. Kredit Pemilikan Rumah Sangat Sederhana
sederhana (RSS); (KPRSS), yaitu kredit yang diberikan oleh bank
d. Kredit Usaha Kecil (KUK), yaitu kredit yang kepada masyarakat untuk pemilihan rumah sangat
diberikan kepada nasabah usaha kecil; dan sederhana (RSS);
e. Kredit kecil lainnya dalam rangka kebijakan d.Kredit Usaha Kecil (KUK), yaitu kredit yang
perkreditan Bank Indonesia dalam diberikan kepada nasabah usaha kecil;
mengembangkan usaha kecil dan koperasi e. Kredit Usaha Rakyat (KUR), yaitu kredit yang
diberikan untuk keperluan modal usaha kecil lainnya
selain KUK; dan/atau
f. Kredit kecil lainnya dalam rangka kebijakan
perkreditan Bank Indonesia dalam mengembangkan
usaha kecil dan koperasi.

Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada


debitur kecil lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) adalah piutang debitur kecil lainnya yang jumlahnya
tidak melebihi Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Walaupun Pasal 6 ayat (1) huruh h angka 4 secara tegas mengatur tentang kriteria debitur kecil
adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 1 huruf k, yaitu debitur kecil yang
penetapannya melalui Peraturan Pemerintah, akan tetapi PMK No. 57/PMK.03/2010 jo. PMK
No. 105/PMK.03/2008 menetapkan sendiri kriteria debitur kecil. Akibat ketentuan dalam
Peraturan Menteri Keuangan tersebut tentunya mengurangi semangat perubahan undang-undang
yang semula dilakukan untuk memberikan kemudahan persyaratan bagi WP dalam hal
membebankan penghapusan piutang sebagai pengurang penghasilan bruto.

Contoh:
Wajib Pajak PT A akan menghapuskan piutang dagang PT. B sebesar Rp. 150.000.000,-
Bagi PT. A Persyaratan untuk menghapuskan Piutang tersebut adalah:
 telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
 PT A harus menyerahkan daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada
Direktorat Jenderal Pajak dalam bentuk soft copy atau hard copy; dan
 Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut telah diserahkan perkara
penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani
piutang negara, atau terdapat perjanjian tertulis mengenai penghapusan
piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur atas piutang yang nyata-nyata
tidak dapat ditagih tersebut, atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau
khusus, atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk
jumlah utang tertentu.
Seandainya Peraturan Menteri Keuangan No. 57/PMK.03/2010, tunduk pada Ketentuan
Pasal 6, ayat 1 huruf h angka 4, maka kriteria debitur kecil adalah sama dengan yang dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k yaitu sesuai dengan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah
nomor 130 tahun 2000, Diana ditetapkan criteria debitur kecil utang usaha dengan jumlah yang
tidak melebihi RP. 350.000.000,-
Jika demikian persyaratan untuk penghapusannya cukup memenuhi persyaratan telah dibebankan
dalam rugi laba komersial dan memberikan daftar nominatif kepada Direktorat Jenderal Pajak.

You might also like