You are on page 1of 13

Teori disonansi kognitif

Teori disonansi kognitif merupakan sebuah teori komunikasi yang membahas mengenai
perasaan ketidaknyamanan seseorang yang diakibatkan oleh sikap, pemikiran, dan perilaku yang
tidak konsisten dan memotivasi seseorang untuk mengambil langkah demi mengurangi
ketidaknyamanan tersebut. [1]

Asumsi
Teori disonansi kognitif memiliki sejumlah anggapan atau asumsi dasar diantaranya adalah:

• Manusia memiliki hasrat akan adanya konsistensi pada keyakinan, sikap, dan
perilakunya.[1] Teori ini menekankan sebuah model mengenai sifat dasar dari manusia
yang mementigkan adanya stabilitas dan konsistensi. [1]

• Disonansi diciptakan oleh inkonsistensi biologis. [1] Teori ini merujuk pada fakta-fakta
harus tidak konsisten secara psikologis satu dengan lainnya untuk menimbulkan
disonansi kognitif. [1]

• Disonansi adalah perasaan tidak suka yang mendorong orang untuk melakukan suatu
tindakan dengan dampak-dampak yang tidak dapat diukur. [1] Teori ini menekankan
seseorang yang berada dalam disonansi memberikan keadaan yang tidak nyaman,
sehingga ia akan melakukan tindakan untuk keluar dari ketidaknyamanan tersebut. [1]

• Disonansi akan mendorong usaha untuk memperoleh konsonansi dan usaha untuk
mengurangi disonansi. [1] Teori ini beranggapan bahwa rangsangan disonansi yang
diberikan akan memotivasi seseorang untuk keluar dari inkonsistensi tersebut dan
mengembalikannya pada konsistensi. [1]

Tingkat Disonansi
[1]
Merujuk kepada jumlah inkonsistensi yang dialami seseorang. Tiga hal yang merujuk kepada
tingkat disonansi seseorang:

• Tingkat kepentingan, yaitu seberapa signifikan tingkat masalah tersebut berpengaruh


pada tingkat disonansi yang dirasakan. [1]

• Rasio disonansi, yaitu jumlah disonansi berbanding dengan jumlah konsistensi. [1]

• Rasionalitas merupakan alasan yang dikemukakan oleh seseorang yang merujuk mengapa
suatu inkonsistensi muncul. [1]
Mengatasi Disonansi
Ada banyak cara untuk mengatasi disonansi kognitif, namun cara yang paling efektif untuk
ditempuh adalah:

• Mengurangi pentingnya keyakinan disonan kita. [1]

• Menambahkan keyakinan yang konsonan. [1]

• Menghapus disonansi dengan cara tertentu. [1]

Kritik Terhadap Teori


• Teori ini dinilai kurang memiliki kegunaan karena teori ini tidak menjelaskan secara
menyeluruh kapan dan bagaimanaseseorang akan mencoba untuk mengurangi disonansi.
[1]

• Kemungkinan pengujian tidak sepenuhnya terdapat dalam teori ini. Kemungkinan


pengujian berarti kemampuan untuk membuktikan apakah teori tersebut benar atau salah.
[1]

Teori Pertukaran Sosial


Tokoh-tokoh yang mengembangkan teori pertukaran sosial antara lain adalah
psikolog John Thibaut dan Harlod Kelley (1959), sosiolog George Homans (1961),
Richard Emerson (1962), dan Peter Blau (1964).

Teori ini memandang hubungan interpersonal sebagai suatu transaksi dagang. Orang
berhubungan dengan orang lain karena mengharapkan sesuatu yang memenuhi kebutuhannya.
Thibaut dan Kelley, pemuka utama dari teori ini menyimpulkan teori ini sebagai
berikut: “Asumsi dasar yang mendasari seluruh analisis kami adalah bahwa setiap individu
secara sukarela memasuki dan tinggal dalam hubungan sosial hanya selama hubungan tersebut
cukup memuaskan ditinjau dari segi ganjaran dan biaya”. Berdasarkan teori ini, kita masuk ke
dalam hubungan pertukaran dengan orang lain karena dari padanya kita memperoleh imbalan.
Dengan kata lain hubungan pertukaran dengan orang lain akan menghasilkan suatu imbalan bagi
kita. Teori pertukaran sosial pun melihat antara perilaku dengan lingkungan terdapat hubungan
yang saling mempengaruhi (reciprocal). Karena lingkungan kita umumnya terdiri atas orang-
orang lain, maka kita dan orang-orang lain tersebut dipandang mempunyai perilaku yang saling
mempengaruhi Dalam hubungan tersebut terdapat unsur imbalan (reward), pengorbanan (cost)
dan keuntungan (profit). Imbalan merupakan segala hal yang diperloleh melalui adanya
pengorbanan, pengorbanan merupakan semua hal yang dihindarkan, dan keuntungan adalah
imbalan dikurangi oleh pengorbanan. Jadi perilaku sosial terdiri atas pertukaran paling sedikit
antar dua orang berdasarkan perhitungan untung-rugi. Misalnya, pola-pola perilaku di tempat
kerja, percintaan, perkawinan, persahabatan – hanya akan langgeng manakala kalau semua pihak
yang terlibat merasa teruntungkan. Jadi perilaku seseorang dimunculkan karena berdasarkan
perhitungannya, akan menguntungkan bagi dirinya, demikian pula sebaliknya jika merugikan
maka perilaku tersebut tidak ditampilkan. Empat Konsep pokokGanjaran, biaya, laba, dan
tingkat perbandingan merupakan empat konsep pokok dalam teori ini.

• Ganjaran ialah setiap akibat yang dinilai positif yang diperoleh seseorang dari
suatu hubungan. Ganjaran berupa uang, penerimaan sosial atau dukungan
terhadap nilai yang dipegangnya. Nilai suatu ganjaran berbeda-beda antara
seseorang dengan yang lain, dan berlainan antara waktu yang satu dengan
waktu yang lain. Buat orang kaya mungkin penerimaan sosial lebih berharga
daripada uang. Buat si miskin, hubungan interpersonal yang dapat mengatasi
kesulitan ekonominya lebih memberikan ganjaran daripada hubungan yang
menambah pengetahuan.
• Biaya adalah akibat yang dinilai negatif yang terjadi dalam suatu hubungan.
Biaya itu dapat berupa waktu, usaha, konflik, kecemasan, dan keruntuhan
harga diri dan kondisi-kondisi lain yang dapat menghabiskan sumber
kekayaan individu atau dapat menimbulkan efek-efek yang tidak
menyenangkan. Seperti ganjaran, biaya pun berubah-ubah sesuai dengan
waktu dan orang yang terlibat di dalamnya.
• Hasil atau laba adalah ganjaran dikurangi biaya. Bila seorang individu
merasa, dalam suatu hubungan interpersonal, bahwa ia tidak memperoleh
laba sama sekali, ia akan mencari hubungan lain yang mendatangkan laba.
Misalnya, Anda mempunyai kawan yang pelit dan bodoh. Anda banyak
membantunya, tetapi hanya sekedar supaya persahabatan dengan dia tidak
putus. Bantuan Anda (biaya) ternyata lebih besar daripada nilai persahabatan
(ganjaran) yang Anda terima. Anda rugi. Menurut teori pertukaran sosial,
hubungan anda dengan sahabat pelit itu mudah sekali retak dan digantikan
dengan hubungan baru dengan orang lain.
• Tingkat perbandingan menunjukkan ukuran baku (standar) yang dipakai
sebagai kriteria dalam menilai hubungan individu pada waktu sekarang.
Ukuran baku ini dapat berupa pengalaman individu pada masa lalu atau
alternatif hubungan lain yang terbuka baginya. Bila pada masa lalu, seorang
individu mengalami hubungan interpersonal yang memuaskan, tingkat
perbandingannya turun. Bila seorang gadis pernah berhubungan dengan
kawan pria dalam hubungan yang bahagia, ia akan mengukur hubungan
interpersonalnya dengan kawan pria lain berdasarkan pengalamannya
dengan kawan pria terdahulu. Makin bahagia ia pada hubungan interpersonal
sebelumnya, makin tinggi tingkat perbandingannya, berarti makin sukar ia
memperoleh hubungan interpersonal yang memuaskan.

Homans dalam bukunya “Elementary Forms of Social Behavior, 1974 mengeluarkan beberapa
proposisi dan salah satunya berbunyi :”Semua tindakan yang dilakukan oleh seseorang, makin
sering satu bentuk tindakan tertentu memperoleh imbalan, makin cenderung orang tersebut
menampilkan tindakan tertentu tadi “. Proposisi ini secara eksplisit menjelaskan bahwa satu
tindakan tertentu akan berulang dilakukan jika ada imbalannya. Proposisi lain yang juga
memperkuat proposisi tersebut berbunyi : “Makin tinggi nilai hasil suatu perbuatan bagi
seseorang, makin besar pula kemungkinan perbuatan tersebut diulanginya kembali”. Bagi
Homans, prinsip dasar pertukaran sosial adalah “distributive justice” – aturan yang mengatakan
bahwa sebuah imbalan harus sebanding dengan investasi. Proposisi yang terkenal sehubungan
dengan prinsip tersebut berbunyi ” seseorang dalam hubungan pertukaran dengan orang lain
akan mengharapkan imbalan yang diterima oleh setiap pihak sebanding dengan pengorbanan
yang telah dikeluarkannya – makin tingghi pengorbanan, makin tinggi imbalannya – dan
keuntungan yang diterima oleh setiap pihak harus sebanding dengan investasinya – makin
tinggi investasi, makin tinggi keuntungan”. Inti dari teori pembelajaran sosial dan pertukaran
sosial adalah perilaku sosial seseorang hanya bisa dijelaskan oleh sesuatu yang bisa diamati,
bukan oleh proses mentalistik (black-box). Semua teori yang dipengaruhi oleh perspektif ini
menekankan hubungan langsung antara perilaku yang teramati dengan lingkungan.
Pendekatan ObyektifTeori Pertukaran sosial ada di pendekatan objektif. Pendekatan ini disebut
“obyektif” berdasarkan pandangan bahwa objek-objek, perilaku-perilaku dan peristiwa-peristiwa
eksis di suatu dunia yang dapat diamati oleh pancaindra (penglihatan, pendengaran, peraba,
perasa, dan pembau), dapat diukur dan diramalkan.

Teori Pertukaran sosial beranggapan orang berhubungan dengan orang lain karena
mengharapkan sesuatu yang memenuhi kebutuhannya. Pada pendekatan obyektif
cenderung menganggap manusia yang mereka amati sebagai pasif dan
perubahannya disebabkan kekuatan-kekuatan sosial di luar diri mereka.
Pendekatan ini juga berpendapat, hingga derajat tertentu perilaku manusia dapat
diramalkan, meskipun ramalan tersebut tidak setepat ramalan perilaku alam.
Dengan kata lain, hukum-hukum yang berlaku pada perilaku manusia bersifat
mungkin (probabilistik). Misalnya, kalau mahasiswa lebih rajin belajar, mereka
(mungkin) akan mendapatkan nilai lebih baik; kalau kita ramah kepada orang lain,
orang lain (mungkin) akan ramah kepada kita; bila suami isteri sering bertengkar,
mereka (mungkin) akan bercerai.

Sumber:

Modul 4 & Modul 6 Teori Komunikasi Farid Hamid M Si

TEORI KESEIMBANGAN (HEIDER)


Teori Keseimbangan dari Heider

Ruang lingkup teori keseimbangan (balance theory) dari Heider adalah mengenai
hubungan-hubungan antarpribadi. Teori ini berusaha menerangkan bagaimana
individu-individu sebagai bagian dari struktur sosial (misalnya sebagai suatu
kelompok) cenderung untuk menjalin hubungan satu sama lain.
Teori Heider memusatkan perhatiannya pada hubungan intra-pribadi (intrapersonal)
yang berfungsi sebagai “daya tarik”, yaitu semua keadaan kognitif yang
berhubungan dengan perasaan suka dan tidak suka terhadap individu-individu dan
objek-objek lain.
Teori Heider merupakan penjelasan yang sangat menarik tentang gejala-gejala
kelompok dan menyediakan bagi para sarjana komunikasi beberapa cara yang
bermanfaat untuk melihat kelompok yang mempunyai hubungan dengan kejadian-
kejadian intra-pribadi yang berkaitan dengan dimensi-dimensi struktural dari
perasaan suka. Teori ini mungkin juga bermanfaat untuk menerangkan beberapa
kehadiran komunikasi terbuka di dalam kelompok, walau tidak secara langsung
berhubungan dengan tingkah laku pesan.

Diposkan oleh denontarr di 07:19

SISTEM A - B - X (NEWCOMB)
Sistem A-B-X dari Newcomb

Sistem A-B-X dari Newcomb memperluas teori hubungan intrpribadi Heider sampai
kepada interaksi yang terjadi di antara anggota dari kelompok yang hanya terdiri
dari dua orang anggota. Model dari Newcomb melibatkan tiga unsur, yaitu A dan B
yang mewakili dua orang individu yang berinteraksi, dan X sebagai objek
pembicaraan (komunikasi). Menurut Newcomb tingkah laku komunikasi terbuka
antara A dan B, dapat diterangkan melalui kebutuhan mereka untuk mencapai
keseimbangan atau keadaan simetris antara satu sama lain dan juga terhadap X.
Teori dari Newcomb dapat membantu ahlikomunikasi kelompok dalam menjelaskan
dan memperkirakan tingkah laku kelompok-kelompok yang beranggotakan 2 orang.
Pada tingkat antarpribadi, teori menjelaskan beberapa motivasi dan tekanan yang
akan menimbulkan beberapa tindakan komuniaksi. Teori ini juga menguraikan dan
menjelaskan kegiatan itu sendiri.

TEORI PERBANDINGAN SOSIAL


Teori Perbandingan Sosial (Social Comparison Theory)

Tindak komunikasi dalam kelompok berlangsung karena adanya kebutuhan-


kebutuhan dari individu untuk membandingkan sikap, pendapat, dan
kemampuannya dengan individu-individu lainnya.
Dalam teori perbandingan sosial ini, tekanan seseorang untuk berkomunikasi
dengan anggota kelompok lainnya akan mengalami peningkatan, jika muncul
ketidaksetujuan yang berkaitan dengan suatu kejadian atau peristiwa; kalau tingkat
pentingnya peristiwa tersebut meningkat dan apabila hubungan dalam kelompok
(group cohesiveness) juga menunjukkan peningkatan. Selain itu, setelah keputusan
kelompok dibuat, para anggota kelompok akan saling berkomunikasi untuk
mendapatkan informasi yang mendukung atau membuat individu-individu dalam
kelompok lebih merasa senang dengan keputusan yang dibuat tersebut. Teori
perbandingan sosial ini diupayakan untuk dapat menjelaskan bagaimana tindak
komunikasi dari para anggota kelompok mengalami peningkatan atau penurunan.
Teori Pembelajaran Sosial

Sejauh ini kita telah mendiskusikan teori yang memandang


penerima pesan yang aktif terlibat dalam memproses informasi. Teori pembelajaran sosial
berusaha menjelaskan dan memprediksi perilaku dengan melihat cara lain yang dilakukan
individu dalam memproses informasi. Teori ini membantu kita memahami bahwa contoh dari
personal tertentu atau media massa dapat menjadi penting dalam usaha memperoleh perilaku
yang baru.

Psikologi sosial, Albert Bandura, mengatakan bahwa kita bisa mempelajari sebuah perilaku baru
hanya dengan mengamati perilaku orang lain. Ketika kita melihat sebuah perilaku yang menarik
hati kita, kita akan memperhatikan apakah perilaku tersebut memberi keuntungan kepada
pelakunya atau tidak. Keuntungan ini dapat berupa keuntungan eksternal, seperti mendapatkan
pujian, atau internal, seperti “kelihatan keren”. Bandura berpendapat bahwa kita
mengujicobakan perilaku tersebut di pikiran kita. Jika kita setuju bahwa perilaku tersebut
berpotensi memberi kita keuntungan, maka pemikiran ini akan bersemayam dalam masa cukup
lama di dalam pikiran kita sampai kita membutuhkannya.

Kemungkinan akan munculnya sebuah perilaku tertentu lebih ditentukan oleh konsekuensi yang
diharapkan dengan melakoni perilaku tersebut. Semakin positif dan semakin banyak keuntungan
yang kita peroleh, akan semakin mungkin perilaku tersebut muncul.

Dengan mengetahui hal ini, orang-orang public relations bisa melakukan antisipasi bahwa
karyawan yang belum berpengalaman akan mencontoh perilaku dari karyawan yang sudah
berpengalaman, terutama jika perilaku itu membawa keuntungan. Jika sebuah perusahaan
mengenali prestasi dan memberi keuntungan kepada karyawan yang melakukan kerja terbaik
dalam melayani dan memuaskan konsumen, Anda dapat memperkirakan bahwa mereka yang
juga ingin maju dan sukses akan mencontoh perilaku ini.

Ingat : Anda akan berperilaku sesuai dengan apa yang menguntungkan Anda. Teori
pembelajaran sosial menjelaskan salah satu rute menuju peilaku ini.

Sumber Buku :
( Public Relations Profesi dan Praktik, Dan Lattimore, Otis Baskin, Suzette T.Heiman, Elizabeth
L.Toth. Hal. 58-59)

Teori ketergantungan media

Teori Ketergantungan Media (bahasa Inggris: Dependency Theory) adalah teori tentang
komunikasi massa yang menyatakan bahwa semakin seseorang tergantung pada suatu media
untuk memenuhi kebutuhannya, maka media tersebut menjadi semakin penting untuk orang itu
[1]
. Teori ini diperkenalkan oleh Sandra Ball-Rokeach dan Melvin DeFleur. Mereka
memperkenalkan model yang menunjukan hubungan integral tak terpisahkan antara pemirsa,
media dan sistem sosial yang besar.

Konsisten dengan teori-teori yang menekankan pada pemirsa sebagai penentu media, model ini
memperlihatkan bahwa individu bergantung pada media untuk pemenuhan kebutuhan atau untuk
mencapai tujuannya, tetapi mereka tidak bergantung pada banyak media dengan porsi yang sama
besar.

Besarnya ketergantungan seseorang pada media ditentukan dari dua hal.

• Pertama, individu akan condong menggunakan media yang menyediakan kebutuhannya


lebih banyak dibandingkan dengan media lain yang hanya sedikit. Sebagai contoh, bila
anda menyukai gosip, anda akan membeli tabloid gosip dibandingkan membeli koran
Kompas, dimana porsi gosip tentang artis hanya disediakan pada dua kolom di halaman
belakang, tetapi orang yang tidak menyukai gosip mungkin tidak tahu bahwa tabloid
gosip kesukaan anda, katakanlah acara Cek dan ricek, itu ada, ia pikir cek dan ricek itu
hanya acara di televisi, dan orang ini kemungkinan sama sekali tidak peduli berita tentang
artis di dua kolom halaman belakang Kompas.

• Kedua, persentase ketergantungan juga ditentukan oleh stabilitas sosial saat itu. Sebagai
contoh, bila negara dalam keadaan tidak stabil, anda akan lebih bergantung/ percaya pada
koran untuk mengetahui informasi jumlah korban bentrok fisik antara pihak keamanan
dan pengunjuk rasa, sedangkan bila keadaan negara stabil, ketergantungan seseorang
akan media bisa turun dan individu akan lebih bergantung pada institusi - institusi negara
atau masyarakat untuk informasi. Sebagai contoh di Malaysia dan Singapura dimana
penguasa memiliki pengaruh besar atas pendapat rakyatnya, pemberitaan media
membosankan karena segala sesuatu tidak bebas untuk digali, dibahas, atau dibesar-
besarkan, sehingga masyarakat lebih mempercayai pemerintah sebagai sumber informasi
mereka.

TEORI DIFUSI INOVASI


Diterbitkan 25 Januari, 2009 Komunikasi Pembangunan 20 Comments
Tag:Adopsi inovasi, Adopter, Difusi Inovasi, Everett M. Rogers, Keputusan inovasi

Latar Belakang Teori


Munculnya Teori Difusi Inovasi dimulai pada awal abad ke-20, tepatnya tahun
1903, ketika seorang sosiolog Perancis, Gabriel Tarde, memperkenalkan Kurva
Difusi berbentuk S (S-shaped Diffusion Curve). Kurva ini pada dasarnya
menggambarkan bagaimana suatu inovasi diadopsi seseorang atau sekolompok
orang dilihat dari dimensi waktu. Pada kurva ini ada dua sumbu dimana sumbu
yang satu menggambarkan tingkat adopsi dan sumbu yang lainnya
menggambarkan dimensi waktu.

Pemikiran Tarde menjadi penting karena secara sederhana bisa


menggambarkan kecenderungan yang terkait dengan proses difusi inovasi. Rogers
(1983) mengatakan, Tarde’s S-shaped diffusion curve is of current importance
because “most innovations have an S-shaped rate of adoption”. Dan sejak saat itu
tingkat adopsi atau tingkat difusi menjadi fokus kajian penting dalam penelitian-
penelitian sosiologi.

Pada tahun 1940, dua orang sosiolog, Bryce Ryan dan Neal Gross,
mempublikasikan hasil penelitian difusi tentang jagung hibrida pada para petani di
Iowa, Amerika Serikat. Hasil penelitian ini memperbarui sekaligus menegaskan
tentang difusi inovasimodel kurva S. Salah satu kesimpulan penelitian Ryan dan
Gross menyatakan bahwa “The rate of adoption of the agricultural innovation
followed an S-shaped normal curve when plotted on a cumulative basis over time.”

Perkembangan berikutnya dari teori Difusi Inovasi terjadi pada tahun 1960, di
mana studi atau penelitian difusi mulai dikaitkan dengan berbagai topik yang lebih
kontemporer, seperti dengan bidang pemasaran, budaya, dan sebagainya. Di
sinilah muncul tokoh-tokoh teori Difusi Inovasi seperti Everett M. Rogers dengan
karya besarnya Diffusion of Innovation (1961); F. Floyd Shoemaker yang bersama
Rogers menulis Communication of Innovation: A Cross Cultural Approach (1971)
sampai Lawrence A. Brown yang menulis Innovation Diffusion: A New Perpective
(1981).

Esensi Teori
Teori Difusi Inovasi pada dasarnya menjelaskan proses bagaimana suatu
inovasi disampaikan (dikomunikasikan) melalui saluran-saluran tertentu sepanjang
waktu kepada sekelompok anggota dari sistem sosial. Hal tersebut sejalan dengan
pengertian difusi dari Rogers (1961), yaitu “as the process by which an innovation is
communicated through certain channels over time among the members of a social
system.” Lebih jauh dijelaskan bahwa difusi adalah suatu bentuk komunikasi yang
bersifat khusus berkaitan dengan penyebaranan pesan-pesan yang berupa gagasan
baru, atau dalam istilah Rogers (1961) difusi menyangkut “which is the spread of a
new idea from its source of invention or creation to its ultimate users or adopters.”

Sesuai dengan pemikiran Rogers, dalam proses difusi inovasi terdapat 4


(empat) elemen pokok, yaitu:

(1) Inovasi; gagasan, tindakan, atau barang yang dianggap baru oleh seseorang.
Dalam hal ini, kebaruan inovasi diukur secara subjektif menurut pandangan
individu yang menerimanya. Jika suatu ide dianggap baru oleh seseorang maka
ia adalah inovasi untuk orang itu. Konsep ’baru’ dalam ide yang inovatif tidak
harus baru sama sekali.

(2) Saluran komunikasi; ’alat’ untuk menyampaikan pesan-pesan inovasi dari


sumber kepada penerima. Dalam memilih saluran komunikasi, sumber paling
tidakperlu memperhatikan (a) tujuan diadakannya komunikasi dan (b)
karakteristik penerima. Jika komunikasi dimaksudkan untuk memperkenalkan
suatu inovasi kepada khalayak yang banyak dan tersebar luas, maka saluran
komunikasi yang lebih tepat, cepat dan efisien, adalah media massa. Tetapi jika
komunikasi dimaksudkan untuk mengubah sikap atau perilaku penerima secara
personal, maka saluran komunikasi yang paling tepat adalah saluran
interpersonal.

(3) Jangka waktu; proses keputusan inovasi, dari mulai seseorang mengetahui
sampai memutuskan untuk menerima atau menolaknya, dan pengukuhan
terhadap keputusan itu sangat berkaitan dengan dimensi waktu. Paling tidak
dimensi waktu terlihat dalam (a) proses pengambilan keputusan inovasi, (b)
keinovatifan seseorang: relatif lebih awal atau lebih lambat dalammenerima
inovasi, dan (c) kecepatan pengadopsian inovasi dalam sistem sosial.
(4) Sistem sosial; kumpulan unit yang berbeda secara fungsional dan terikat dalam
kerjasama untuk memecahkan masalah dalam rangka mencapai tujuan
bersama

Lebih lanjut teori yang dikemukakan Rogers (1995) memiliki relevansi dan
argumen yang cukup signifikan dalam proses pengambilan keputusan inovasi. Teori
tersebut antara lain menggambarkan tentang variabel yang berpengaruh terhadap
tingkat adopsi suatu inovasi serta tahapan dari proses pengambilan keputusan
inovasi. Variabel yang berpengaruh terhadap tahapan difusi inovasi tersebut
mencakup (1) atribut inovasi (perceived atrribute of innovasion), (2) jenis keputusan
inovasi (type of innovation decisions), (3) saluran komunikasi (communication
channels), (4) kondisi sistem sosial (nature of social system), dan (5) peran agen
perubah (change agents).

Sementara itu tahapan dari proses pengambilan keputusan inovasi


mencakup:

1. Tahap Munculnya Pengetahuan (Knowledge) ketika seorang individu (atau unit


pengambil keputusan lainnya) diarahkan untuk memahami eksistensi dan
keuntungan/manfaat dan bagaimana suatu inovasi berfungsi

2. Tahap Persuasi (Persuasion) ketika seorang individu (atau unit pengambil


keputusan lainnya) membentuk sikap baik atau tidak baik

3. Tahap Keputusan (Decisions) muncul ketika seorang individu atau unit


pengambil keputusan lainnya terlibat dalam aktivitas yang mengarah pada
pemilihan adopsi atau penolakan sebuah inovasi.

4. Tahapan Implementasi (Implementation), ketika sorang individu atau unit


pengambil keputusan lainnya menetapkan penggunaan suatu inovasi.

5. Tahapan Konfirmasi (Confirmation), ketika seorang individu atau unit


pengambil keputusan lainnya mencari penguatan terhadap keputusan
penerimaan atau penolakan inovasi yang sudah dibuat sebelumnya.

Kategori Adopter
Anggota sistem sosial dapat dibagi ke dalam kelompok-kelompok adopter
(penerima inovasi) sesuai dengan tingkat keinovatifannya (kecepatan dalam
menerima inovasi). Salah satu pengelompokan yang bisa dijadikan rujuakan adalah
pengelompokan berdasarkan kurva adopsi, yang telah duji oleh Rogers (1961).
Gambaran tentang pengelompokan adopter dapat dilihat sebagai berikut:

1. Innovators: Sekitar 2,5% individu yang pertama kali mengadopsi inovasi. Cirinya: petualang,
berani mengambil resiko, mobile, cerdas, kemampuan ekonomi tinggi
2. Early Adopters (Perintis/Pelopor): 13,5% yang menjadi para perintis dalam penerimaan
inovasi. Cirinya: para teladan (pemuka pendapat), orang yang dihormati, akses di dalam
tinggi
3. Early Majority (Pengikut Dini): 34% yang menjadi pera pengikut awal. Cirinya: penuh
pertimbangan, interaksi internal tinggi.
4. Late Majority (Pengikut Akhir): 34% yang menjadi pengikut akhir dalam penerimaan
inovasi. Cirinya: skeptis, menerima karena pertimbangan ekonomi atau tekanan social,
terlalu hati-hati.
5. Laggards (Kelompok Kolot/Tradisional): 16% terakhir adalah kaum kolot/tradisional.
Cirinya: tradisional, terisolasi, wawasan terbatas, bukan opinion leaders,sumberdaya terbatas.

Penerapan dan keterkaitan teori

Pada awalnya, bahkan dalam beberapa perkembangan berikutnya, teori Difusi Inovasi
senantiasa dikaitkan dengan proses pembangunan masyarakat. Inovasi merupakan awal untuk
terjadinya perubahan sosial, dan perubahan sosial pada dasarnya merupakan inti dari
pembangunan masyarakat. Rogers dan Shoemaker (1971) menjelaskan bahwa proses difusi
merupakan bagian dari proses perubahan sosial. Perubahan sosial adalah proses dimana
perubahan terjadi dalam struktur dan fungsi sistem sosial. Perubahan sosial terjadi dalam 3 (tiga)
tahapan, yaitu: (1) Penemuan (invention), (2) difusi (diffusion), dan (3) konsekuensi
(consequences). Penemuan adalah proses dimana ide/gagasan baru diciptakan atau
dikembangkan. Difusi adalah proses dimana ide/gagasan baru dikomunikasikan kepada anggota
sistem sosial, sedangkan konsekuensi adalah suatu perubahan dalam sistem sosial sebagai hasil
dari adopsi atau penolakan inovasi.
Sejak tahun 1960-an, teori difusi inovasi berkembang lebih jauh di mana fokus kajian
tidak hanya dikaitkan dengan proses perubahan sosial dalam pengertian sempit. Topik studi atau
penelitian difusi inovasi mulai dikaitkan dengan berbagai fenomena kontemporer yang
berkembang di masyarakat. Berbagai perpektif pun menjadi dasar dalam pengkajian proses difusi
inovasi,seperti perspektif ekonomi, perspektif ’market and infrastructure’ (Brown, 1981). Salah
satu definisi difusi inovasi dalam taraf perkembangan ini antara lain dikemukakan Parker
(1974), yang mendefinisikan difusi sebagai suatu proses yang berperan memberi nilai tambah
pada fungsi produksi atau proses ekonomi. Dia juga menyebutkan bahwa difusi merupakan suatu
tahapan dalam proses perubahan teknik (technical change). Menurutnya difusi merupakan suatu
tahapan dimana keuntungan dari suatu inovasi berlaku umum. Dari inovator, inovasi diteruskan
melalui pengguna lain hingga akhirnya menjadi hal yang biasa dan diterima sebagai bagian dari
kegiatan produktif.

Berkaitan dengan proses difusi inovasi tersebut National Center for the
Dissemination of Disability Research (NCDDR), 1996, menyebutkan ada 4 (empat)
dimensi pemanfaatan pengetahuan (knowledge utilization), yaitu

1. Dimensi Sumber (SOURCE) diseminasi, yaitu insitusi, organisasi, atau


individu yang bertanggunggung jawab dalam menciptakan pengetahuan dan
produk baru.

2. Dimensi Isi (CONTENT) yang didiseminasikan, yaitu pengetahuan dan


produk baru dimaksud yang juga termasuk bahan dan informasi pendukung
lainnya.

3. Dimensi Media (MEDIUM) Diseminasi, yaitu cara-cara bagaimana


pengetahuan atau produk tersebut dikemas dan disalurkan.

4. Dimensi Pengguna (USER), yaitu pengguna dari pengetahuan dan produk


dimaksud.

Bahan Referensi

Hanafi, Abdillah. 1987. Memasyarakatkan Ide-Ide Baru. Surabaya: Penerbit Usaha Nasional
Rogers, E.M. dan Shoemaker, F.F., 1971, Communication of Innovations, London: The Free
Press.
Rogers, Everett M., 1983, Diffusion of Innovations. London: The Free Press.
Rogers, Everett M, 1995, Diffusions of Innovations, Forth Edition. New York: Tree Press.
Brown, Lawrence A., Innovation Diffusion: A New Perpevtive. New York: Methuen
and Co

You might also like