You are on page 1of 21

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Pengertian nyeri 3

Menurut IASP 1979 (International Association for the Study of Pain) nyeri adalah
suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan, yang berkaitan dengan
kerusakan jaringan yang nyata atau yang berpotensi untuk menimbulkan kerusakan jaringan,
dari definisi tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa nyeri bersifat subyektif dimana individu
mempelajari apa itu nyeri, melalui pengalaman yang langsung berhubungan dengan luka
(injuri), yang dimulai dari awal masa kehidupannya.

Pada tahun 1999, the Veteran’s Health Administration mengeluarkan kebijakan untuk
memasukan nyeri sebagai tanda vital ke lima, jadi perawat tidak hanya mengkaji suhu tubuh,
nadi, tekanan darah dan respirasi tetapi juga harus mengkaji tentang nyeri.

Sternbach (1968) mengatakan nyeri sebagai konsep yang abstrak yang merujuk
kepada sensasi pribadi tentang sakit, suatu stimulus berbahaya yang menggambarkan akan
terjadinya kerusakan jaringan, suatu pola respon untuk melindungi organisme dari bahaya.

McCaffery (1979) mengatakan nyeri sebagai penjelasan pribadi tentang nyeri ketika
dia mengatakan tentang nyeri apapun yang dikatakan tentang nyeri dan ada dimanapun ketika
dia mengatakan hal itu ada.

1.2 Manfaat Skala Nyeri

Skala nyeri sering digunakan para praktisi umum untuk mengevaluasi tingkat rasa
nyeri yang dialami orang sakit. Skala ini membantu dalam membedakan tingkat beratnya
suatu penyakit, tipe penyakit, dan durasi dari nyeri tersebut. Dan juga digunakan untuk
membuat diagnosis yang akurat, mengetahui rencana pengobatannya, dan mengevaluasi
efektivitas pengobatannya.4

1.3 Tujuan Pembuatan Makalah

1
Makalah ini dibuat agar mahasiswa dapat mengerti definisi nyeri, patofisiologinya,
dan dapat menggunakan skala nyeri untuk menilai kondisi klinis pasien, dan prinsip cara
penanganan kasus nyeri yang sering jumpai pada praktisi umum.

2
BAB 2

PATOFISIOLOGI NYERI

Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri.
Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang
berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut
juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada
juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer.1

Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagaian


tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral,
karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang
berbeda.1

Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah
ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus)
terbagi dalam dua komponen yaitu :1

a. Reseptor A delta

Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang memungkinkan
timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan

b. Serabut C

Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang terdapat pada
daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi. Struktur
reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh
darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya komplek,
nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.

Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-organ
viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini

3
biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan,
iskemia dan inflamasi.

2.1 Teori pengontrolan nyeri (gate control theory)

Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan bagaimana nosireseptor dapat


menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal berbagai teori yang mencoba
menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori gerbang kendali nyeri dianggap
paling relevan.1

Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965) mengusulkan bahwa impuls nyeri
dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Teori
ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls
dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan
dasar teori menghilangkan nyeri.1

Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol desenden dari
otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A dan C melepaskan substansi C melepaskan
substansi P untuk mentranmisi impuls melalui mekanisme pertahanan. Selain itu, terdapat
mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang melepaskan
neurotransmiter penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A,
maka akan menutup mekanisme pertahanan. Diyakini mekanisme penutupan ini dapat terlihat
saat seorang perawat menggosok punggung klien dengan lembut. Pesan yang dihasilkan akan
menstimulasi mekanoreseptor, apabila masukan yang dominan berasal dari serabut delta A
dan serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan sensasi
nyeri. Bahkan jika impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi
di otak yang memodifikasi nyeri. Alur saraf desenden melepaskan opiat endogen, seperti
endorfin dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh. Neuromedulator
ini menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan substansi P. tehnik
distraksi, konseling dan pemberian plasebo merupakan upaya untuk melepaskan endorfin.1

2.2 Respon Psikologis 1

4
respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien terhadap nyeri yang terjadi atau
arti nyeri bagi klien.

Arti nyeri bagi setiap individu berbeda-beda antara lain :

1) Bahaya atau merusak

2) Komplikasi seperti infeksi

3) Penyakit yang berulang

4) Penyakit baru

5) Penyakit yang fatal

6) Peningkatan ketidakmampuan

7) Kehilangan mobilitas

8) Menjadi tua

9) Sembuh

10) Perlu untuk penyembuhan

11) Hukuman untuk berdosa

12) Tantangan

13) Penghargaan terhadap penderitaan orang lain

14) Sesuatu yang harus ditoleransi

15) Bebas dari tanggung jawab yang tidak dikehendaki

Pemahaman dan pemberian arti nyeri sangat dipengaruhi tingkat pengetahuan,


persepsi, pengalaman masa lalu dan juga faktor sosial budaya

2.3 Respon fisiologis terhadap nyeri

1) Stimulasi Simpatik:(nyeri ringan, moderat, dan superficial)


5
a) Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate

b) Peningkatan heart rate

c) Vasokonstriksi perifer, peningkatan BP

d) Peningkatan nilai gula darah

e) Diaphoresis

f) Peningkatan kekuatan otot

g) Dilatasi pupil

h) Penurunan motilitas GI

2) Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam)

a) Muka pucat

b) Otot mengeras

c) Penurunan HR dan BP

d) Nafas cepat dan irreguler

e) Nausea dan vomitus

f) Kelelahan dan keletihan

Respon tingkah laku terhadap nyeri

1) Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup:

2) Pernyataan verbal (Mengaduh, Menangis, Sesak Nafas, Mendengkur)

3) Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan gigi, Menggigit bibir)

4) Gerakan tubuh (Gelisah, Imobilisasi, Ketegangan otot, peningkatan gerakan jari & tangan

6
5) Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (Menghindari percakapan, Menghindari kontak
sosial, Penurunan rentang perhatian, Fokus pd aktivitas menghilangkan nyeri)

Individu yang mengalami nyeri dengan awitan mendadak dapat bereaksi sangat
berbeda terhadap nyeri yang berlangsung selama beberapa menit atau menjadi kronis. Nyeri
dapat menyebabkan keletihan dan membuat individu terlalu letih untuk merintih atau
menangis. Pasien dapat tidur, bahkan dengan nyeri hebat. Pasien dapat tampak rileks dan
terlibat dalam aktivitas karena menjadi mahir dalam mengalihkan perhatian terhadap nyeri.

Meinhart & McCaffery mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri: 1

1) Fase antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima)

Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena fase ini bisa
mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang belajar tentang nyeri
dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran perawat dalam fase ini sangat penting,
terutama dalam memberikan informasi pada klien.

2) Fase sensasi (terjadi saat nyeri terasa)

Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat subyektif, maka
tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda. Toleraransi terhadap nyeri juga akan
berbeda antara satu orang dengan orang lain. orang yang mempunyai tingkat toleransi tinggi
terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil, sebaliknya orang yang
toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri dengan stimulus nyeri kecil.
Klien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri mampu menahan nyeri tanpa bantuan,
sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah sudah mencari upaya mencegah
nyeri, sebelum nyeri datang.

Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan bagaimana orang yang


berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus yang sama. Kadar endorfin berbeda tiap
individu, individu dengan endorfin tinggi sedikit merasakan nyeri dan individu dengan sedikit
endorfin merasakan nyeri lebih besar.

7
Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan, mulai dari ekspresi
wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh. Ekspresi yang ditunjukan klien itulah yang digunakan
perawat untuk mengenali pola perilaku yang menunjukkan nyeri. Perawat harus melakukan
pengkajian secara teliti apabila klien sedikit mengekspresikan nyerinya, karena belum tentu
orang yang tidak mengekspresikan nyeri itu tidak mengalami nyeri. Kasus-kasus seperti itu
tentunya membutuhkan bantuan perawat untuk membantu klien mengkomunikasikan nyeri
secara efektif.

3) Fase akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti)

Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini klien masih
membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis, sehingga dimungkinkan klien
mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila klien mengalami episode nyeri berulang, maka
respon akibat (aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang berat. Perawat berperan
dalam membantu memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan rasa takut akan
kemungkinan nyeri berulang.

2.4 Faktor yang mempengaruhi respon nyeri : 1

1) Usia

Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon
nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan
mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena
mereka mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau
mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan.

2) Jenis kelamin

Gill mengungkapkan laki-laki dan wnita tidak berbeda secara signifikan dalam
merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya (ex: tidak pantas kalo laki-laki
mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri).

3) Kultur

8
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap nyeri
misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus
diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri.

4) Makna nyeri

Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan dan


bagaimana mengatasinya.

5) Perhatian

Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi


persepsi nyeri. Menurut Gill, perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang
meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun.
Tehnik relaksasi, guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri.

6) Ansietas

Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang
cemas.

7) Pengalaman masa lalu

Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri
yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang
mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri.

8) Pola koping

Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan sebaliknya
pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang mengatasi nyeri.

9) Support keluarga dan sosial

Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau
teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan

9
BAB 3

PEMBAGIAN SKALA NYERI

3.1 Intensitas nyeri 1

Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh
individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan kemungkinan nyeri
dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua
orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin
adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran
dengan tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri.

Menurut smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut :

1) skala intensitas nyeri deskritif

2) Skala identitas nyeri numerik

3) Skala analog visual

10
4) Skala nyeri menurut bourbanis

Keterangan :

0 :Tidak nyeri

1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik.

4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi
nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik.

7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih
respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya,
tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi

10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul.

Karakteristik paling subyektif pada nyeri adlah tingkat keparahan atau intensitas nyeri
tersebut. Klien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri sebagai yang ringan, sedang
atau parah. Namun, makna istilah-istilah ini berbeda bagi perawat dan klien. Dari waktu ke
waktu informasi jenis ini juga sulit untuk dipastikan.

Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih
obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis
yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di
sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak
11
tertahankan”. Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih
intensitas nyeri trbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa
paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini
memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri. Skala penilaian
numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi
kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif
digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila
digunakan skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm.

Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi. VAS adalah
suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal
pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi
keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif
karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih
satu kata atau satu angka.

Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan tidak
mengkomsumsi banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila klien dapat membaca dan
memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala deskritif bermanfaat bukan
saja dalam upaya mengkaji tingkat keparahan nyeri, tapi juga, mengevaluasi perubahan
kondisi klien. Perawat dapat menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih
memburuk atau menilai apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan (Potter, 2005).

3.2 Pengukuran nyeri 2

Ada 3 tipe pengukuran nyeri yaitu : self-report measure, observational measure, dan
pengukuran fisiologis.

Self-report measure 2

Pengukuran tersebut seringkali melibatkan penilaian nyeri pada beberapa jenis skala
metrik. Seorang peenderita diminta untuk menilai sendiri rasa nyeri yang dirasakan apakan
nyeri yang berat (sangat nyeri), kurang nyeri dan nyeri sedang. Menggunakan buku harian
merupakan cara lain untuk memperoleh informasi baru tentang nyerinya jika rasa nyerinya

12
terus menerus atau menetap atau kronik. Cara ini sangat membantu untuk mengukur
pengaruh nyeri terhadap kehidupan pasien tersebut. Penilaian terhadap intensitas nyeri,
kondisi psikis dan emosional atau keadaan affektif nyeri juga dapat dicatat. Self-report
dianggap sebagai standar gold untuk pengukuran nyeri karena konsisten terhadap
definisi/makna nyeri. Yang termasuk dalam self-report measure adalah skala pengukuran
nyeri (misalnya VRS, VAS, dll), pain drawing, McGill Pain Quesioner, Diary, dll).

Observational measure (pengukuran secara observasi) 2

Pengukuran ini adalah metode lain dari pengukuran nyeri. Observational measure
biasanya mengandalkan pada seorang terapis untuk mencapai kesempurnaan pengukuran dari
berbagai aspek pengalaman nyeri dan biasanya berkaitan dengan tingkah laku penderita.
Pengukuran ini relatif mahal karena membutuhkan waktu observasi yang lama. Pengukuran
ini mungkin kurang sensitif terhadap komponen subyektif dan affektif dari nyeri. Yang
termasuk dalam observational measure adalah pengukuran tingkah laku, fungsi, ROM, dan
lain-lain.

Pengukuran fisiologis 2

Perubahan biologis dapat digunakan sebagai pengukuran tidak langsung pada nyeri
akut, tetapi respon biologis pada nyeri akut dapat distabilkan dalam beberapa waktu karena
tubuh dapat berusaha memulihkan homeostatisnya. Sebagai contoh, pernapasan atau denyut
nadi mungkin menunjukkan beberapa perubahan yang kecil pada awal migrain jika terjadi
serangan yang tiba-tiba dan keras, tetapi beberapa waktu kemudian perubahan tersebut akan
kembali sebelum migrain tersebut menetap sekalipun migrainnya berlangsung lama.
Pengukuran fisiologis berguna dalam keadaan dimana pengukuran secara observasi lebih sulit
dilakukan. Yang termasuk dalam pengukuran fisiologis adalah pemeriksaan denyut nadi,
pernapasan, dll.

Jenis-jenis Pengukuran Nyeri 2

Pengukuran nyeri terdiri dari pengukuran komponen sensorik (intensitas nyeri) dan
pengukuran komponen afektif (toleransi nyeri).

Pengukuran komponen sensorik 2


13
Ada 3 metode yang umumnya digunakan untuk memeriksa intensitas nyeri yaitu
Verbal Rating Scale (VRS), Visual Analogue Scala (VAS), dan Numerical Rating Scale
(NRS).

VRS adalah alat ukur yang menggunakan kata sifat untuk menggambarkan level
intensitas nyeri yang berbeda, range dari “no pain” sampai “nyeri hebat” (extreme pain). VRS
merupakan alat pemeriksaan yang efektif untuk memeriksa intensitas nyeri. VRS biasanya
diskore dengan memberikan angka pada setiap kata sifat sesuai dengan tingkat intensitas
nyerinya. Sebagai contoh, dengan menggunakan skala 5-point yaitu none (tidak ada nyeri)
dengan skore “0”, mild (kurang nyeri) dengan skore “1”, moderate (nyeri yang sedang)
dengan skore “2”, severe (nyeri keras) dengan skor “3”, very severe (nyeri yang sangat keras)
dengan skore “4”. Angka tersebut berkaitan dengan kata sifat dalam VRS, kemudian
digunakan untuk memberikan skore untuk intensitas nyeri pasien. VRS ini mempunyai
keterbatasan didalam mengaplikasikannya. Beberapa keterbatasan VRS adalah adanya
ketidakmampuan pasien untuk menghubungkan kata sifat yang cocok untuk level intensitas
nyerinya, dan ketidakmampuan pasien yang buta huruf untuk memahami kata sifat yang
digunakan

Numeral Rating Scale adalah suatu alat ukur yang meminta pasien untuk menilai rasa
nyerinya sesuai dengan level intensitas nyerinya pada skala numeral dari 0 – 10 atau 0 – 100.
Angka 0 berarti “no pain” dan 10 atau 100 berarti “severe pain” (nyeri hebat). Dengan skala
NRS-101 dan skala NRS-11 point, dokter/terapis dapat memperoleh data basic yang berarti
dan kemudian digunakan skala tersebut pada setiap pengobatan berikutnya untuk memonitor
apakah terjadi kemajuan.

VAS adalah alat ukur lainnya yang digunakan untuk memeriksa intensitas nyeri dan
secara khusus meliputi 10-15 cm garis, dengan setiap ujungnya ditandai dengan level
intensitas nyeri (ujung kiri diberi tanda “no pain” dan ujung kanan diberi tanda “bad pain”
(nyeri hebat). Pasien diminta untuk menandai disepanjang garis tersebut sesuai dengan level
intensitas nyeri yang dirasakan pasien. Kemudian jaraknya diukur dari batas kiri sampai pada
tanda yang diberi oleh pasien (ukuran mm), dan itulah skorenya yang menunjukkan level
intensitas nyeri. Kemudian skore tersebut dicatat untuk melihat kemajuan pengobatan/terapi
selanjutnya. Secara potensial, VAS lebih sensitif terhadap intensitas nyeri daripada
14
pengukuran lainnya seperti VRS skala 5-point karena responnya yang lebih terbatas. Begitu
pula, VAS lebih sensitif terhadap perubahan pada nyeri kronik daripada nyeri akut. Ada
beberapa keterbatasan dari VAS yaitu pada beberapa pasien khususnya orang tua akan
mengalami kesulitan merespon grafik VAS daripada skala verbal nyeri (VRS). Beberapa
pasien mungkin sulit untuk menilai nyerinya pada VAS karena sangat sulit dipahami skala
VAS sehingga supervisi yang teliti dari dokter/terapis dapat meminimalkan kesempatan error.
Dengan demikian, jika memilih VAS sebagai alat ukur maka penjelasan yang akurat terhadap
pasien dan perhatian yang serius terhadap skore VAS adalah hal yang vital.

Wong-Baker FACES Pain Rating Scale.4

Skala nyeri ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Skala nyeri ini simple dan mudah
untuk menilai skor nyeri tersebut dalam banyak kasus. Meskipun demikian, metode VRS,
VAS dan NRS, tidak dapat digunakan pada semua pasien karena skala tersebut tidak efektif
digunakan pada pasien yang memiliki gangguan kognitif ataupun motorik, pasien yang tidak
responsif (seperti injuri), anak usia muda, dan pasien dengan umur yang tua.

Satu kekurangan skala nyeri ini bahwa nyeri tidak selalu dapat dijelaskan secara
akurat ataupun diukur berdasarkan tingkat keparahannya saja. Untuk menggambarkan nyeri
hanya dalam hal intensitasnya seperti menggambarkan apa yang dapat kita lihat hanya dari
segi cahaya atau gelap, tanpa mempertimbangkan warna, pola, atau tekstur. Sejumlah
penelitian telah dilakukan untuk menentukan kualitas rasa sakit lebih lanjut.

3.3 Penanganan nyeri

1. Manajemen nyeri non farmakologik.3

15
Pendekatan non farmakologik biasanya menggunakan terapi perilaku (hipnotis,
biofeedback), pelemas otot/relaksasi,akupuntur, terapi kognitif (distraksi), restrukturisasi
kognisi, imajinasi dan terapi fisik. Nyeri bukan hanya unik karena sangat berbeda satu
dengan yang lainnya mengingat sifatnya yang individual, termasuk dalam penanganannya
pun kita seringkali menemukan keunikan tersebut, baik itu yang memang dapat kita terima
dengan kajian logika maupun yang sama sekali tidak bisa kita nalar walaupun kita telah
berusaha memaksakan untuk menalarkannya.

Berikut ini adalah faktor-faktor yang mungkin dapat menerangkan mengapa nyeri tidak
mendapatkan medikasi sama sekali:

a. Faktor-faktor yang berhubungan dengan staf medis

Petugas kesehatan (dokter, perawat, dsb) seringkali cenderung berpikiran bahwa


pasien seharusnya dapat menahan terlebih dahulu nyerinya selama yang mereka bisa,
sebelum meminta obat atau penangannya, hal ini mungkin dapat dibenarkan ketika kita telah
mengetahui dengan pasti bahwa nyeri itu adalah nyeri ringan, dan itupun harus kita evaluasi
secara komprehensif, karena bisa saja nyeri itu menjadi nyeri sedang atau bahkan nyeri yang
berat, apakah kondisi seperti ini dapat terus dibiarkan tanpa penanganan? Apakah ketakutan
untuk terjadinya adiksi apabila mendapatkan analgetik dapat menyelesaikan masalah ?

b. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pasien

Pasien adalah manusia yang mempunyai kemampuan adaptif, yang dipengaruhi oleh
faktor biologis, psikologis, sosial, kultural dan spiritual.

Ketika pasien masuk ke dunia rumah sakit sebenarnya ia telah “siap” untuk menerima
aturan dan konsekuensi di dunia tersebut, sehingga kadang-kadang, karena “takut” dianggap
tidak menyenangkan oleh “petugas” atau biar dapat menyenangkan dimata “petugas” maka ia
akan “menahan” informasi yang menyatakan bahwa ia sekarang sedang mengalami nyeri,
atau karena kondisi fisiknya yang menyebabkan ia tidak mampu untuk mengatakan bahwa ia
nyeri, pada kondisi CKB misalnya.

Pada beberapa kasus seringkali nyeri ini juga merupakan suatu cara agar ia
mendapatkan perhatian yang lebih dari petugas kesehatan, apalagi apabila ia merasa sudah
16
melakukan apa yang menjadi kewajibannya sebagai seorang pasien, pada kondisi ini mungkin
ada perbedaan yang mencolok antara pasien kelas III dengan pasien yang di rawat di VVIP
pada kondisi jeis nyeri yang sama.

c. Faktor-faktor yang berhubungan dengan sistem

Sebagian pasien di rumah sakit adalah pasien dengan asuransi, yang telah mempunyai
standart tertentu di dalam paket pelayanan mereka, terkadang pasien membutuhkan obat yang
tidak termasuk dalam paket yang telah ditentukan, sehingga ia harus mengeluarkan dana
ekstra untuk itu, ceritanya menjadi lain ketika ia tidak mempunyai dana ekstra yang
dibutuhkan.

2. Manajemen nyeri dengan pendekatan farmakologik 3

Ada tiga kelompok utama obat yang digunakan untuk menangani rasa nyeri :

• Analgetika golongan non narkotika

• Analgetika golongan narkotika

• Adjuvan

3. Prosedur invasif 3

Prosedur invasif yang biasanya dilakukan adalah dengan memasukan opioid ke dalam
ruang epidural atau subarakhnoid melalui intraspinal, cra ini dapat memberikan efek
analgesik yang kuat tetapi dosisnya lebih sedikit. Prosedur invasif yang lain adalah blok
saraf, stimulasi spinal, pembedahan (rhizotomy,cordotomy) teknik stimulasi, stimulasi
columna dorsalis.

3.4 Hambatan dalam memberikan manajemen nyeri yang tepat 3

Menurut Blumenfield (2003), secara garis besar ada 2 hambatan dalam manajemen nyeri
yaitu :

1. Ketakutan akan timbulnya adiksi

17
Seringkali pasien, keluarga, bahkan tenaga kesehatanpun mempunyai asumsi akan
terjadinya adiksi terhadap penggunaan analgetik bagi pasien yang mengalami nyeri, adiksi
sering persepsikan sama dengan pengertian toleransi dan ketergantungan fisik.

Ketergantungan fisik adalah munculnya sindrom putus zat akibat penurunan dosis zat
psikoaktif atau penghentian zat psikoaktif secara mendadak. Toleransi adalah kebutuhan
untuk terus meningkatkan dosis zat psikoaktif guna mendapatkan efek yang sama, sedangkan
adiksi adalah suatu perilaku yang merujuk kepada penggunaan yang berulang dari suatu zat
psikoaktif, meskipun telah diketahui adanya efek yang merugikan.

Ketakutan tersebut akan lebih nyata pada pasien atau keluarga dengan riwayat
penyalahgunaan alkohol atau zat psikoaktif lainnya, mereka biasanya takut untuk
mendapatkan pengobatan nyeri dengan menggunakan analgetik apalagi bila obat itu
merupakan golongan narkotika. Hal ini salah satunya disebabkan oleh minimnya informasi
yang mereka dapatkan mengenai hal itu, sebagai bagian dari tim yang terlibat dalam
pelayanan kesehatan perawat semestinya mempunyai kapasitas yang cukup hal tersebut
diatas.

2. Pengetahuan yang tidak adekuat dalam manajemen nyeri

Pengetahuan yang tidak memadai tentang manajemen nyeri merupakan alasan yang
paling umum yang memicu terjadinya manjemen nyeri yang tidak memadai tersebut, untuk
itu perbaikan kualitas pendidikan sangat diperlukan sehingga tercipta tenaga kesehatan yang
handal, salah satu terobosan yang sudah dilakukan adalah dengan masuknya topik nyeri
dalam modul PBL dalam pendidikan keperawatan, hal ini diharapkan dapat menjadi
percepatan dalam pendidikan profesi keperawatan menuju kepada perawat yang profesional.

Dalam penanganan nyeri, pengkajian merupakan hal yang mendasar yang


menentukan dalam kualitas penanganan nyeri, pengkajian yang terus menerus harus
dilakukan baik pada saat awal mulai teridentifikasi nyeri sampai saat setelah intervensi,
mengingat nyeri adalah suatu proses yang bersifat dinamik, sehingga perlu dinilai secara
berulang-ulang dan berkesinambungan. Ada beberapa perangkat yang dapat digunakan untuk
menilai nyeri yaitu Simple Descriptive Pain Distress Scale, Visual Analog Scale (VAS), Pain
Relief Visual Analog Scale, Percent Relief Scale serta 0 – 10 Numeric Pain Distress Scale ,
18
diantara kelima metode tersebut diatas 0 – 10 Numeric Pain Distress Scale yang paling sering
digunakan, dimana pasien diminta untuk “merating” rasa nyeri tersebut berdasarkan skala
penilaian numerik mulai angka 0 yang berarti tidak da nyeri sampai angka 10 yang berarti
puncak dari rasa nyeri, sedangkan 5 adalah nyeri yang dirasakan sudah bertaraf sedang.

19
BAB 4

KESIMPULAN

Pasien adalah individu-individu yang berbeda yang berrespon secara berbeda terhadap
nyeri, sehingga penangananyapun tidak bisa disamakan antar individu yang satu dengan yang
lainnya. Pengkajian yang tepat, akurat tentang nyeri sangat diperlukan sebagai upaya untuk
mencari solusi yang tepat untuk menanganinya, untuk itu pengkajian harus selalu dilakukan
secara berkesinambungan, sebagai upaya mencari gambaran yang terbaru dari nyeri yang
dirasakan oleh pasien.

Manajemen nyeri harus menggunakan pendekatan yang holistik/ menyeluruh, hal ini
karena nyeri mempengaruhi keseluruhan aspek kehidupan manusia, oleh karena itu kita tidak
boleh hanya terpaku hanya pada satu pendekatan saja tetapi juga menggunakan pendekatan-
pendekatan yang lain yang mengacu kepada aspek kehidupan manusia yaitu
biopsikososialkultural dan spiritual, pendekatan non farmakologik dan pendekatan
farmakologik tidak akan berjalan efektif bila digunakan sendiri-sendiri, keduanya harus
dipadukan dan saling mengisi dalam rangka mengatasi/ penanganan nyeri pasien.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Konsep dasar nyeri, last updated october 29 2008, available from :


http://qittun.blogspot.com/2008/10/konsep-dasar-nyeri.html

2. Pengukuran Nyeri. Last updated 2008. Available from :


http://dhaenkpedro.wordpress.com/pengukuran-nyeri/

3. Manajemen Nyeri, last updated 11 maret 2009, available fom :


http://hidayat2.wordpress.com/2009/04/11/manajemen-nyeri/

4. Swierzewski, SJ. Pain Rating Scale. Last updated 1 December 2007. available from :
http://pain.healthcommunities.com/pain-scales/index.shtml

21

You might also like