Professional Documents
Culture Documents
Kesadaran akan pentingnya gizi belum dirasakan akibat Permintaan pangan yang tumbuh lebih cepat dari
kemiskinan dan kondisi masyarakat buruk. produksinya akan terus berlanjut. Akibatnya, akan terjadi
Untuk mengatasi masalah gizi dalam masyarakat, Poerwo kesenjangan antara kebutuhan dan produksi pangan domestik yang
kemudian melaksanakan serangkaian program. Prioritas utamanya makin lebar. Penyebab utama kesenjangan itu adalah adanya
adalah memberikan kesadaran dan pendidikan kepada masyarakat pertumbuhan penduduk yang masih relatif tinggi, yaitu 1,49 persen
tentang pentingnya gizi. Terlebih saat itu, kondisi masyarakat per tahun, dengan jumlah besar dan penyebaran yang tidak merata.
masih sangat memprihatinkan. Banyak yang masih buta aksara dan
miskin. Untuk itu, Poerwo memprioritaskan pendidikan kader-kader Dampak lain dari masalah kependudukan ini adalah
gizi yang dapat langsung berhubungan dengan masyarakat dengan meningkatnya kompetisi pemanfaatan sumber daya lahan dan air
mendirikan Sekolah Djuru Penerang Makanan (SDPM) pada 25 disertai dengan penurunan kualitas sumber daya tersebut. Hal ini
Januari 1951. dapat menyebabkan kapasitas produksi pangan nasional dapat
Sambil memberikan pendidikan kepada masyarakat terhambat pertumbuhannya.
mengenai peran dan pentingnya gizi, tugas utama LMR adalah
melanjutkan penelitian tentang pola makan dan penyakit-penyakit
Rendahnya konsumsi pangan atau tidak seimbangnya gizi
yang berhubungan dengan makanan. Selain mendirikan SDPM,
makanan yang dikonsumsi mengakibatkan terganggunya
secara berturut-turut, kemudian sekolah-sekolah yang terkait
pertumbuhan organ dan jaringan tubuh, lemahnya daya tahan tubuh
dengan masalah gizi dan kesehatan turut dibangun, misalnya
terhadap serangan penyakit, serta menurunnya aktivitas dan
Akademi Pendidikan Nutrisionis (APN) pada 1956 yang akhirnya
produktivitas kerja.
berubah nama menjadi Akademi Gizi setelah Poerwo meminta
masukan dari ahli bahasa saat itu, Harjati Soebadio, untuk
menggantikan kata nutriont yang berasal dari bahasa Latin. Pada bayi dan anak balita, kekurangan gizi dapat
Di antara dua pilihan, gizi dari bahasa Arab dan herena mengakibatkan terganggunya pertumbuhan dan perkembangan fisik,
dari bahasa Sansekerta, akhirnya dipilih kata gizi. Istilah gizi ini mental dan spiritual. Bahkan pada bayi, gangguan tersebut dapat
pun mulai populer setelah pengukuhan Profesor Djuned bersifat permanen dan sangat sulit untuk diperbaiki. Kekurangan
DPoesponegoro sebagai guru besar penyakit anak pada FKUI dan gizi pada bayi dan balita, dengan demikian, akan mengakibatkan
Poerwo sendiri sebagai guru besar ilmu gizi pada 1958. rendahnya kualitas sumber daya manusia.
Sejak saat itu, pendidikan gizi terus berkembang di Kelambanan Indonesia menangani masalah gizi makro
Indonesia, termasuk pendirian bagian gizi pada Fakultas dalam bentuk gizi kurang dan gizi buruk menurut pendapat saya ada
Kedokteran Univeritas Indonesia pada 1958. Hingga saat ini, banyak kaitannya dengan kebijakan program gizi kita yang masih
perguruan yang mengembangkan ilmu gizi. mengedepankan pangan, makanan dan konsumsi sebagai penyebab
Beragam organisasi profesi di bidang gizi kemudian utama masalah gizi. Kebijakan ini cenderung mengabaikan peran
bermunculan, seperti Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi), faktor lain sebagi penyebab timbulnya masalah gizi seperti air
Perhimpunan Dokter Gizi Medik Indonesia (PDGMI), dan bersih, kebersihan lingkungan dan pelayanan kesehatan dasar.
Perhimpunan Dokter Gizi Klinik Indonesia (PDGKI). Hari Gizi Akibatnya program gizi lebih sering menjadi program sektoral yang
Nasional pun pertama kali diselenggarakan oleh LMR pada masing-masing berdiri sendiri dengan persepsi berbeda mengenai
pertengahan 1960-an dan berlangsung hingga saat ini. masalah gizi dan indikatornya. Kebijakan ini dalam makalah ini saya
sebut sebagai kebijakan dengan paradigma input.
Masalah Gizi di Indonesia Salah satu kelemahan paradigma input bagi program
perbaikan gizi adalah digunakannya indikator agregatif makro
Sekitar 37,3 juta penduduk hidup di bawah garis seperti persediaan energi dan protein perkapita. Indikator ini tidak
kemiskinan, separo dari total rumah tangga mengonsumsi makanan dapat menggambarkan keadaan sesungguhnya diri individu anggota
kurang dari kebutuhan sehari-hari, lima juta balita berstatus gizi keluarga terutama anak dan wanita. Paradigma ini tidak mengenal
indikator pertumbuhan anak dan status gizi yang mengukur “the
real thing”.
Sudah saatnya indikator pertumbuhan dan status gizi
anak menjadi salah satu indikator kesejahteraan. Untuk itu program
gizi memerlukan pendekatan paradigma baru, yang didalam makalah
ini saya namakan paradigma outcome. Dengan paradigma ini
beberapa hal dibawah ini memerlukan perhatian lebih besar dalam
program gizi.
Pertama, dalam menangani masalah gizi makro, khususnya
kurang energi protein, titik tolak kebijakannya terletak pada
adanya pertumbuhan dan status gizi anak yang tidak normal. Dengan
demikian tujuan program adalah memperbaiki pola pertumbuhan
anak dan status gizi anak dari tidak normal menjadi normal atau
lebih baik. Oleh karena pola pertumbuhan dan status gizi anak tidak
hanya disebabkan oleh makanan, maka pendekatan ini mengharuskan
program gizi dikaitkan dengan kegiatan program lain diluar program
pangan secara konvergen seperti dengan program air bersih dan
kesehatan lingkungan, imunisasi, penyediaan lapangan kerja dan
penanggulangan kemiskinan. Dengan program yang bersifat
terintegrasi seperti itu, program gizi akan rasional untuk menjadi
bagian dari pembangunan nasional secara keseluruhan. Kebijakan ini
pada dasarnya telah diberlakukan pada Repelita II sampai VI dalam
Bab Pangan dan Gizi. Sayangnya banyak kebijakan Repelita yang lalu
tidak terlaksana dengan semestinya.