You are on page 1of 9

PRASASTI TALANG TUO DAN PRASASTI KEDUKAN BUKIT

Oleh
Diar Luthfi Khairina, 1006776201
Dinar Widyaisha, 1006764492
Putri Rosmalia Octaviyani, 1006699505

BAB I
PENGANTAR

Kata prasasti berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti "pujian". Namun, kemudian
dianggap sebagai piagam, maklumat, surat keputusan, undang-undang, atau tulisan. Prasasti
merupakan peninggalan sejarah yang umumnya merujuk pada sumber sejarah yang ditulis di
atas batu atau logam yang pada umumnya dibuat atas perintah penguasa suatu daerah.
Penemuan prasasti pada sejumlah situs arkeologi menandai akhir dari zaman prasejarah,
yakni babak dalam sejarah kuno Indonesia yang masyarakatnya belum mengenal tulisan,
menuju zaman sejarah, dimana masyarakatnya sudah mengenal tulisan.
Prasasti-prasasti yang ditemukan umumnya ditulis dalam bahasa Melayu Kuno dan
menggunakan huruf Palawa. Kemudian, prasasti tersebut diterjemahkan kedalam bahasa
Indonesia agar mudah dipahami isi dari prasasti tersebut. Proses penerjemahan tersebut dapat
mengalami perubahan dalam segi fonologis ataupun morfologis.
Dalam tulisan ini akan diulas mengenai prasasti Talang Tuo dan prasasti Kedukan
Bukit dari segi fonologis dan morfologis. Selain itu, dalam tulisan ini akan diberikan
informasi mengenai sejarah dan asal-usul prasasti Talang Tuo dan Kedukan Bukit dan isi dari
prasasti Talang Tuo dan Kedukan bukit.

BAB II

1. PRASASTI TALANG TUO

Prasasti Talang Tuo ditemukan di Desa Gandus yang terletak sekitar 6 km dari
Kedukan Bukit, Sumatera Selatan, Indonesia, pada tanggal 17 November 1920. Prasasti ini
ditemukan oleh L.C. Westenenk (Residen Palembang). Keadaan fisik dari prasasti ini masih
baik dengan bidang datar yang berukuran 50 x 80 cm. Prasasti ini berangka tahun 606 Śaka
(23 Maret 684 Masehi), ditulis dalam aksara Pallava, berbahasa Melayu Kuno, dan terdiri
dari 14 baris. Sarjana pertama yang berhasil membaca dan mentranskripsikan prasasti Talang
Tuo adalah Van Ronkel dan Bosch yang dimuat dalam ActaOrientalia. Sejak tahun 1920,
prasasti tersebut disimpan di Museum Nasional, Jakarta dengan nomor D.145.
Adapun isi dari prasasti Talang Tuo adalah sebagai berikut:
1. svasti çrï çakavarsâtïta 606 dim dvitïya çuklapaksa vulan caitra sana tatkâlânya parlak
çrïksetra ini niparvuat
Svasti! Pada tahun Saka 606, pada hari ke-2 di bulan purnama caitra, inilah waktu
Taman Sriksetra dibuat.
2. parvâ n dapunta hiyang çrï jayanâça mi pranidhânâm dapunta hiyang savaňyakňya yang
ditánam di sini ňyiyur pinang hanâu o ru
Yang diberikan oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa sebagai suatu pemberian dengan
pesan untuk menanam sebanyak mungkin pohon kelapa, pinang, aren,
3. mviya dngan samiçrânya yang kâyu nimâkan vuahňya tathâpi haur vuluh pattung
ityevamadi  punarapi yang parlak vukan
sagu, dan sebagainya dimana buahnya dapat dimakan, termasuk aur, buluh, betung, dan
tanaman sejenisnya.
4. dngan tavad talâga savaňyakňya yam vuatku sucarita parâvis prayojanâkan punyânya
sarvvasatva sacarâcara varo páyáňya tmu
Bersama dengan kebun-kebun, telaga-telaga, dan danau-danau lainnya. Semua ini
didedikasikan demi kebahagiaan semua makhluk, demi kesejahteraan semua makhluk
dan demi kebaikan lingkungan.
5. sukha di âsannakâla di antara mârgga lai tmu muah ya áhára dngan áir niminumňya 
savaňakňya vuatňa huma parlak maňcak mu-
Agar semua upaya mulia ini membawa kebahagiaan dalam banyak cara. Semoga beliau
tak pernah kekurangan makanan dan air untuk diminum. Agar semua yang telah beliau
buat seperti ladang dan kebun.
6. ah ya manghidupi раcu prakára marhulun tuvi vrddhi muahya jáňgan ya niknái
savaňyakňya yang upasargga piddana svapnavíghna  varang vua-
Menghidupi kehidupan banyak orang. Agar semua rakyatnya hidup sejahtera. Agar
beliau selalu bebas dari semua mara bahaya, kejahatan, sakit dan susah tidur.
7. tňya kathamapi anukula yam graha naksatra parávis diya nirvyádhi ajara kavuatanáňya 
tathápi savaňakňa yam bhrtyáňya
Agar beliau selalu sukses, bintangnya bersinar terang, bebas dari penyakit dan awet
muda.
8. satyârjjava drdhabhakti muah ya dya yang mitráňya tuvi jáňgan ya kapata yang viniňya
muláng anukula bhâryyâ muah ya varang sthá
Agar semua rakyatnya setia dan berdedikasi kepadanya. Agar tak seorang teman pun
pernah mengkhianatinya dan para istrinya selalu setia. Di manapun beliau berada, agar
tak ada pencurian, penipuan, pembunuhan, dan pelecehan seksual.
9. naňya lági curi ucca vadhaňya paradára di sána punarapi tmu ya kalyánamitra
marvvaňgun vodhicitta dňgan maitri-
Agar beliau bertemu sahabat spiritual (kalyanamitra), mengembangkan bodhicitta
dengan cinta kasih–
10. -dhari di dang hyang ratnatraya jaňgan marsárak dňgan dam hyang ratnatraya tathâpi
nityakala tyaga marçila ksânti marvvaňgun viryya rájin
Mengandalkan Triratana dan tak pernah meninggalkan Triratna, selalu menjalankan
pengentasan diri  (nihsarana),  sila, kshanti dengan virya.
11. tâhu di samiçrâiia cilpakalá paruvis samadhitacinta tmu ya prajnya smreti medhávi
punarapi dhairyyamânï mahâsattva
Mengetahui perbedaan antara baik dan tidak, memiliki samadhi, prajna (intelek
spiritual), smreti (perhatian penuh), untuk mencapai keadaan mahasattva.
12. vajraçarïra anupamaçakti jaya tathapi játismara avikalendriya maňcak rupa stibhaga
hásin halap ade-
Dengan vajrasarira  – tubuh vajra yang sempurna dan penuh daya, menghilangkan
kesalahpengertian (avidya), mempunyai kemampuan mengingat kehidupan-kehidupan
lampau, memiliki indera-indera dan penampilan yang sempurna,
13. yavákya vrahmasvara jádi láki svayambhu puna(ra)pi tmu ya cintâmani nidhana tmu
jnanavaçitâ karmmavaçita kleçavaçitâ
Dengan ucapan sempurna bagaikan suara Brahma yang muncul secara spontan seperti
permata pengabul keinginan (cintamani nidhana), mengatasi halangan-halangan
pengetahuan (jnanavacita), halangan-halangan karma (karmavacita) dan halangan-
halangan klesha (kleshavacita).
14. avasâna tmu ya anuttarábhisamyaksamvodhi.
Hingga akhirnya mencapai Penggugahan yang Tak Terbandingkan, Lengkap dan
Sempurna (Anuttarabhisamyaksambodhi).

Dapat diambil kesimpulan bahwa isi dari prasasti tersebut adalah mengenai
pemerintahan kerajaan Sriwijaya. Pada tahun 684 M kerajaan Sriwijaya telah memperluas
daerah kekuasaannya hingga ke tenggara. Setelah itu, Raja Sriwijaya tidak lagi memfokuskan
diri pada peperangan untuk perluasan wilayah kerajaan, tetapi lebih konsentrasi pada upaya
memakmurkan negerinya. Sebagai contoh, raja membangun sebuah taman yang diberi nama
Sriksetra, dan juga sebuah vihara. Selain berisi pesan dari raja, prasasti tersebut juga memuat
doa-doa dedikasi untuk kebahagiaan raja Sriwijaya dan kebahagiaan semua makhluk.
Dalam prasasti Talang Tuo terdapat pengaruh perbedaan dialek. Berikut merupakan
bukti adanya pengaruh dialek Jawa dan dialek Sumatra pada prasasti Talang Tuo:

Kata Dialek Jawa Dialek Sumatera

Disamiçrâiia di- -

Nidhana - ni-

Nimâkan - ni-

Nivarvuat - ni-

Kata yang tertera di atas memperlihatkan bahwa dalam prasasti Talang Tuo terdapat
dua dialek. Dalam kata disamiçrâiia, ditandai dengan prefiks di- yang menunjukkan bahwa
kata tersebut berasal dari dialek Jawa Tengah sedangkan kata nidhana ditandai dengan prefiks
ni- yang menunjukkan bahwa kata tersebut berasal dari dialek Sumatra. Pengetahuan bahwa
prefiks di- adalah dialek Jawa dan ni- adalah dialek Sumatra didasarkan pada perbandingan
prasasti Sang Hyang Wintang dan prasasti-prasasti kuna di Sumatra.

Perbedaan Melayu Kuna Melayu Modern

tathapi, stibhaga, svayambhu, tetapi, (tidak diktahui


Ada sisipan suku kata th, bh, dh nidhana, anuttarábhisamyaksamvodhi. arti yang lain)
Huruf e diganti huruf a atau
menghilangkan huruf e tathapi, tmu tetapi, temu
Ada huruf h hásin, halap asin, alap
/v / - /b/ vulan, vuah bulan, buah

Tabel di atas merupakan ciri yang dapat membedakan antara bahasa Melayu Kuna
yang ada dalam prasasti dengan Melayu Modern saat ini. Pada bahasa Melayu Kuna ada
beberapa sisipan konsonan aspiratif th, bh, dan dh. Hal tersebut dapat dilihat dari kata tathapi
yang memiliki arti tetapi dalam bahasa Melayu Modern. Kemudian dalam bahasa Melayu
Kuna yang terdapat pada prasasti Talang Tuo juga ditemukan sisipan huruf a dan
penghilangan huruf e, yaitu kata tathapi dan tmu. Dalam Melayu Modern, kedua kata tersebut
ditulis menjadi tetapi dan temu. Selain itu, penambahan huruf h dalam bahasa Melayu Kuna
juga ditemukan dalam kalimat “vajraçarïra anupamaçakti jaya tathapi játismara avikalendriya
maňcak rupa stibhaga hásin halap ade-”. Di dalam kalimat tersebut, terdapat kata hasin dan
halap, kata tersebut dalam bahasa Melayu Modern seharusnya dihilangkan sehingga menjadi
kata asin dan alap.
Dipandang dari segi perubahan fonetisnya, dalam prasasti Talang Tuo terdapat
perubahan fonetis seperti pewarisan dengan perubahan, pewarisan dengan penghilangan, dan
pewarisan dengan penambahan. Contohnya pada kata /vulan/ yang berubah menjadi /bulan/
pada bahasa sekarang. Kata /haur/ menjadi /aur/ yang mengalami penghilangan fonem pada
bahasa sekarang. Kemudian pada kata /tmu/ yang mengalami penambahan fonem menjadi
/temu/.
Prasasti Talang Tuo juga dapat dianalisis dengan menggunakan metode morfologis.
Berikut merupakan uraian analisis prasasti Talang Tuo:
No Kata Keterangan Jumlah
dua
1 Nimâkan terdiri dari morfem dasar dan morfem terikat memakai prefiks ni-
morfem
dua
2 Nivarvuat terdiri dari morfem dasar dan morfem terikat memakai prefiks ni-
morfem
satu
3 vulan hanya terdiri dari morfem dasar
morfem
terdiri dari morfem dasar dan morfem terikat memakai prefiks tiga
4 manghidupi
mang- dan sufiks -i morfem
satu
5 tmu hanya terdiri dari morfem dasar
morfem

Prasasti Talang Tuo memakai huruf Palawa dan berbahasa Melayu Kuno. Prasasti
Talang Tuo ini, banyak dipengaruhi oleh bahasa sansekerta. Hal ini menunjukkan pengaruh
India banyak terserap serta banyak menyumbang penambahan kosakata bahasa Melayu.
Ditemukannya prasasti Talang Tuo membuktikan bahwa pengaruh bahasa Melayu Kuna
bukan hanya berkembang di Sumatera melainkan juga di Jawa. Pengaruh tersebut dibuktikan
dengan kata dalam prasasti Talang Tuo yang memakai prefiks di- dan ni-. Menurut Aichele,
penggunaan prefiks di- merupakan ciri dari dialek Jawa sedangkan prefiks ni- merupakan
ciri dialek Sumatera. Selain itu, prasasti Talang tuo memiliki sisipan konsonan aspiratif yaitu
th, bh, dan dh.
2. PRASASTI KEDUKAN BUKIT

Prasasti Kedukan Bukit pertama ditemukan pada akhir Desember 1920 M di Kedukan
Bukit tepatnya di tepi Sungai Tatang, Palembang, Sumatera Selatan. Prasasti Kedukan Bukit
merupakan prasasti pertama yang memuat nama Sriwijaya. Prasasti ini berangka tahun 604
Caka atau bertepatan dengan 682 M dan menggunakan huruf Palava dengan bahasa Melayu
Kuno.
Prasasti Kedukan Bukit merupakan prasasti yang paling menarik diperbincangkan
diantara prasasti-prasasti Kerajaan Sriwijaya yang lainnya. Hal tersebut terjadi karena pada
prasasti Kedukan Bukit banyak mengandung kata yang tidak mudah ditafsirkan, prasasti
tersebut oleh beberapa sarjana dianggap mengandung kunci pemecahan masalah lokasi
ibukota kerajaan Sriwijaya yang mendominasi pelayaran dan perdagangan internasional
selama empat abad. Dari segi ilmu bahasa, prasasti Kedukan Bukit merupakan pertulisan
bahasa Melayu-Indonesia tertua yang pernah ditemukan sampai saat ini.
Prasasti Kedukan Bukit merupakan prasasti dengan angka tahun yang tertua yang
ditemukan di Indonesia. Prasasti Kedukan Bukit menguraikan jayasiddhayatra (perjalanan
jaya) dari penguasa Kerajaan Sriwijaya yang bergelar Dapunta Hyang (Yang Dipertuan
Hyang). Oleh karena Dapunta Hyang membawa puluhan ribu tentara lengkap dengan
perbekalan, sudah tentu perjalanan itu bukanlah piknik, melainkan ekspedisi militer
menaklukkan suatu daerah. Adapun isi dari prasasti Kedukan Bukit berupa sepuluh baris
yang berisi:
1. Swasti, sri. Sakawarsatita 604 ekadasi su-
2. klapaksa wulan Waisakha Dapunta Hyang naik di
3. samwau mangalap siddhayatra. Di saptami suklapaksa
4. wulan Jyestha Dapunta Hyang marlapas dari Minanga
5. tamwan mamawa yang wala dua laksa dangan kosa
6. dua ratus cara di samwau, dangan jalan sariwu
7. telu ratus sapulu dua wanyaknya, datang di Mukha Upang
8. sukhacitta. Di pancami suklapaksa wulan Asada
9. laghu mudita datang marwuat wanua .....
10. Sriwijaya jayasiddhayatra subhiksa

Terjemahan dalam bahasa Indonesia modern:


1. Bahagia, sukses. Tahun Saka berlalu 604 hari kesebelas
2. paroterang bulan Waisaka Dapunta Hyang naik di
3. perahu melakukan perjalanan. Di hari ketujuh paroterang
4. bulan Jesta Dapunta Hyang berlepas dari Minanga
5. tambahan membawa balatentara dua laksa dengan perbekalan
6. dua ratus koli di perahu, dengan berjalan seribu
7. tiga ratus dua belas banyaknya, datang di Muka Upang
8. sukacita. Di hari kelima paroterang bulan Asada
9. lega gembira datang membuat wanua .....
10. Perjalanan jaya Sriwijaya berlangsung sempurna

Dari isi prasasti Kedukan Bukit diatas dapat dianalisis beberapa hal dari segi
fonologis dan morfologis. Secara fonologis dapat dilihat perbedaan yang terdapat dalam isi
prasasti Kedukan bukit yang menggunakan huruf Palawa dengan bahasa Melayu Kuno
dengan bahasa Melayu Modern. Perbedaan-perbedaan tersebut terletah pada cara pengucapan
fonem-fonem tertentu, yaitu:
- Hilangnya bunyi /h/.
- Digantinya bunyi /e/ pepet dengan bunyi /a/ seperti yang terdapat pada kata ‘wanua’
yang berubah menjadi ‘benua’.
- Hilangnya fonem /w/ yang digantikan dengan fonem /b/ seperti yang terjadi pada
kata ‘wulan’ yang berubah menjadi ‘bulan’.

Selain dari segi fonologis, prasasti Kedukan Bukit juga dapat dianalisis dengan
menggunakan metode morfologis. Berikut merupakan uraian analisis prasasti Kedukan Bukit:

No Kata Keterangan Jumlah


terdiri dari morfem dasar dan morfem terikat memakai prefiks
1 mangalap dua morfem
mang-
2 wala hanya terdiri dari morfem dasar satu morfem
3 laksa hanya terdiri dari morfem dasar satu morfem
terdiri dari morfem dasar dan morfem terikat memakai prefiks
4 marlapas dua morfem
mar-
5 datang hanya terdiri dari morfem dasar satu morfem
6 suklapaksa terdiri dari dua morfem dasar dua morfem
7 laghu hanya terdiri dari morfem dasar satu morfem
8 mudita hanya terdiri dari morfem dasar satu morfem
terdiri dari morfem dasar dan morfem terikat memakai prefiks
9 marwuat dua morfem
mar-
10 wanua hanya terdiri dari morfem dasar satu morfem

Berdasarkan kata-kata yang tertera di atas, memperlihatkan bahwa jumlah morfem


dalam prasasti Kedukan Bukit hanya terdiri dari satu atau dua morfem saja. Dalam kata
mangalap misalnya, terdiri dari morfem terikat yang diawali dengan prefiks mang- dan
diikuti oleh morfem dasar yaitu kata alap. Kata dasar alap terdiri dari dua unsur yaitu a dan
lap . Kata mangalap mengandung awalan mang- yang mempunyai tugas dalam membentuk
arti. Kemudian awalan mang- bergabung dengan kata alap sehingga membentuk kesatuan arti
menjadi mangalap yang berarti melakukan dalam bahasa Indonesia.

Dalam kata marlapas misalnya, terdiri dari morfem terikat yang diawali dengan prefiks
mar- dan diikuti oleh morfem dasar yaitu kata lapas sehingga menjadi kata marlapas. Kata
dasar lapas terdiri dari dua unsur yaitu la dan pas. Kata marlapas mengandung awalan mar-
yang mempunyai tugas membentuk arti. Kemudian awalan mar- bergabung dengan kata
dasar lapas sehingga membentuk kesatuan arti menjadi marlapas yang berarti berlepas dalam
bahasa Indonesia. Selain itu, dalam prasasti Kedukan Bukit juga terdiri dari satu morfem,
misalnya kata wala hanya terdiri dari kata dasar wala yang memiliki dua unsur wa dan la.

BAB III
PENUTUP

Prasasti merupakan salah satu sumber sejarah yang paling penting. Prasasti umumnya
merupakan pesan yang ditinggalkan oleh penguasa daerah dan dituliskan pada batu, nisan,
dll. Prasasti Talang Tuo adalah prasasti yang berangka tahun 606 Śaka (23 Maret 684
Masehi), ditulis dalam aksara Pallava dan berbahasa Melayu Kuno. Isi dari prasasti Talang
Tuo menceritakan tentang Kerajaan Sriwijaya yang memperluas kekuasaannya hingga ke
Tenggara. Raja Sriwijaya tidak memikirkan tentang peperangan, melinkan lebih fokus
terhadap kesejahteraan rakyatnya.
Terdapat pengaruh dialek Sumatera pada bahasa yang terdapat dalam pasasti Talang
Tuo. Walaupun prasasti tersebut terdapat pada zaman Sriwijaya di daerah Sumatera, terdapat
pula pengaruh dialek dari bahasa Jawa. Hal tersebut dibuktikan dengan isi dari prasasti
Talang Tuo yang banyak menggunakan prefiks di- yang merupakan ciri dari dialek Jawa.
Terdapat juga perubahan fonetis yaitu pewarisan perubahan, penghilangan, dan penambahan.
Pada prasasti Kedukan Bukit dapat ditafsirkan bahwa pada tanggal 11 Waisaka 604
(23 April 682) raja Sriwijaya yang bergelar Dapunta Hyang naik perahu dari suatu tempat
untuk bergabung dengan tentaranya yang baru saja menaklukkan Minanga (Binanga). Lalu
pada tanggal 7 Jesta (19 Mei) Dapunta Hyang memimpin laskarnya meninggalkan Minanga
untuk pulang ke ibukota. Mereka bersukacita karena pulang dengan membawa kemenangan.
Mereka mendarat di Muka Upang, sebelah timur Palembang, lalu menuju ibukota. Kemudian
pada tanggal 5 Asada (16 Juni) Dapunta Hyang menitahkan pembuatan sebuah wanua
(bangunan) berupa wihara di ibukota sebagai manifestasi rasa syukur dan gembira. Oleh
karena isi prasasti Kedukan Bukit (juga prasasti Talang Tuwo) menceritakan peristiwa
penting dalam perkembangan Kerajaan Sriwijaya, sudah sewajarnya prasasti itu ditempatkan
di ibukota kerajaan. Dengan demikian, prasasti Kedukan Bukit memperkuat bukti bahwa
pusat pemerintahan Sriwijaya berlokasi di Palembang.

Berdasarkan analisis fonologis dan morfologis yang dilakukan, dapat diketahui bahwa
dari segi fonologis isi prasasti Kedukan Bukit memiliki banyak penghilangan atau
penggantian fonem. Seperti hilangnya fonem /h/ dan /w/ serta penggantian fonem /a/ menjadi
fonem /e/. Dari segi morfologis dapat diketahui bahwa sebagian besar kata yang dipakai
dalam prasasti Kedukan Bukit terdiri dari satu atau dua morfem saja, tidak ditemukan lebih
dari dua morfem. Selain itu, dalam prasasti Kedukan Bukit sebagian besar menggunakan
prefiks dengan diawali imbuhan mar- dan mang-.

You might also like