You are on page 1of 9

Suara mahasiswa 006 : Mengkritisi Clean and Good

Governance di Indonesia
In anggaran, bLog, country, dEmokrasi, e-goverment, eKsekutif, eValuasi, indonesia, informasi,
kEpemimpinan, kEwarganegaraan, kOrupsi, lEgislatif, mAhasiswa, mAnajemen, money, nUrani,
pEndidikan, pEringkat iNdonesia, pers, pErtahanan, pOlitik, saing, sUbsidi, sumber daya, teknologi,
tEknologi iNformasi, uang on Thursday , 23 April 2009 at 1:14 pm

Pemerintahan yang bersih dan baik (clean and good government) adalah idaman. Istilah
yang semakin populer dalam beberapa dekade ini, semakin menjadi tuntutan, dalam
kondisi dimana korupsi, kolusi, nepotisme dan penyalahgunaan wewenang (abuse of
power) lainnya begitu menggejala di berbagai belahan dunia. Kekecewaan terhadap
performance pemerintahan di berbagai negara, baik di negara berkembang maupun di
negara maju, telah mendorong berkembangnya tuntutan akan kehadiran pemerintahan
yang baik dan bersih.

Pemerintahan yang bersih umumnya berlangsung di negara yang masyarakatnya


menghormati hukum. Pemerintahan yang seperti ini juga disebut sebagai pemerintahan
yang baik (good governance). Pemerintahan yang baik itu hanya bisa dibangun melalui
pemerintahan yang bersih (clean government) dengan aparatur birokrasinya yang
terbebas dari KKN. Dalam rangka mewujudkan clean government, pemerintah harus
memiliki moral dan proaktif mewujudkan partisipasi serta check and balances. Tidak
mungkin mengharapkan pemerintah sebagai suatu komponen dari proses politik
memenuhi prinsip clean government dalam ketiadaan partisipasi.

Good Governance adalah suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid


dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien,
penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik
maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political
framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha.” (World Bank).

Good Governance hanya bermakna bila keberadaannya ditopang oleh lembaga yang
melibatkan kepentingan publik. Jenis lembaga tersebut adalah sebagai berikut:

1. Negara

a. Menciptakan kondisi politik, ekonomi dan sosial yang stabil

b. Membuat peraturan yang efektif dan berkeadilan

c. Menyediakan public service yang efektif dan accountable

d. Menegakkan HAM

e. Melindungi lingkungan hidup


f . Mengurus standar kesehatan dan standar keselamatan publik

2. Sektor Swasta

a. Menjalankan industri

b. Menciptakan lapangan kerja

c. Menyediakan insentif bagi karyawan

d. Meningkatkan standar hidup masyarakat

e. Memelihara lingkungan hidup

f. Mentaati peraturan

g.Transfer ilmu pengetahuan dan teknologi kepada masyarakat

h.Menyediakan kredit bagi pengembangan UKM

3. Masyarakat Madani

a. Menjaga agar hak-hak masyarakat terlindungi

b. Mempengaruhi kebijakan publik

c. Sebagai sarana checks and balances pemerintah

d. Mengawasi penyalahgunaan kewenangan sosial pemerintah

e. Mengembangkan SDM

f. Sarana berkomunikasi antar anggota masyarakat

Namun untuk ringkasnya Good Governance pada umumnya diartikan sebagai


pengelolaan pemerintahan yang baik. Bertolak dari prinsip-prinsip ini akan didapatkan
tolak ukur kinerja suatu pemerintahan. Baik-buruknya pemerintahan bisa dinilai bila ia
telah bersinggungan dengan semua unsur prinsip-prinsip Good Governance, yaitu:

1. Partisipasi Masyarakat. Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam


pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga
perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut
dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta
kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif.
2. Tegaknya Supremasi Hukum. Kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa
pandang bulu, termasuk di dalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia.

3. Transparansi. Tranparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh
proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-
pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat
dimengerti dan dipantau

4. Peduli. Lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha melayani


semua pihak yang berkepentingan.

5. Berorientasi Kepada Konsensus. Tata pemerintahan yang baik menjembatani


kepentingan-kepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu konsensus menyeluruh
dalam hal apa yang terbaik bagi kelompok-kelompok masyarakat, dan bila mungkin,
konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur.

6. Kesetaraan. Semua warga masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau


mempertahankan kesejahteraan mereka.

7. Efektifitas dan Efisiensi. Proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga


membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan
sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin.

8. Akuntabilitas. Para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta dan organisasi-


organisasi masyarakat bertanggung jawab baik kepada masyarakat maupun kepada
lembaga-lembaga yang berkepentingan. Bentuk pertanggungjawaban tersebut berbeda
satu dengan lainnya tergantung dari jenis organisasi yang bersangkutan.

9. Visi Strategis. Pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke
depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan
apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka
juga harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya dan sosial yang
menjadi dasar bagi perspektif tersebut.

Dari prinsip-prinsip di atas, maka dapat disimpulkan bahwa wujud daripada Good
Governance adalah penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid dan bertanggung
jawab, serta efisien dan efektif dengan menjaga kesinergisan interaksi yang konstruktif di
antara domain-domain negara/pemerintah (state), sektor swasta (private sector) dan
masyarakat (society). Sektor negara/pemerintah lebih banyak memainkan peran sebagai
pembuat kebijakan, pengendali dan pengawasan. Sektor swasta lebih benyak
berkecimpung dan menjadi penggerak aktivitas di bidang ekonomi. Sedangkan
masyarakat merupakan obyek sekaligus subyek dari pemerintah maupun swasta.

Pemerintahan yang baik dan bersih diukur dari performance birokrasinya. Pengalaman
dan kinerja birokrasi di berbagai negara telah melahirkan dua pandangan yang saling
bertentangan terhadap birokrasi. Pandangan pertama melihat birokrasi sebagai kebutuhan,
yang akan mengefisiensikan dan mengefektifkan pekerjaan pemerintahan. Pandangan
kedua, melihat birokrasi sebagai “musuh” bersama, yang kerjanya hanya mempersulit
hidup rakyat, sarangnya korupsi, tidak melayani, cenderung kaku dan formalistis, penuh
dengan arogansi (yang bersembunyi di balik hukum), dan sebagainya.

Padahal secara konseptual, birokrasi, sebagai sebuah organisasi pelaksana pemerintahan,


adalah sebuah badan yang netral. Faktor di luar birokrasilah yang akan menentukan
wajah birokrasi menjadi baik atapun jahat, yaitu manusia yang menjalankan birokrasi dan
sistem yang dipakai, dimana birokrasi itu hidup dan bekerja. Artinya, bila sistem (politik,
pemerintahan dan sosial budaya) yang dipakai oleh suatu negara adalah baik dan para
pejabat birokrasi juga orang-orang yang baik, maka birokrasi menjadi sebuah badan yang
baik, lagi efektif. Sebaliknya, bila birokrasi itu hidup di dalam sebuah sistem yang jelek,
hukumnya lemah, serta ditunggangi oleh para pejabat yang tidak jujur, maka birokrasi
akan menjadi buruk dan menakutkan bagi rakyatnya.

Indikator buruknya kerja birokrasi pada umumnya berfokus pada terjadinya korupsi di
dalam birokrasi tersebut. Indonesia dari waktu ke waktu terkenal dengan tingkat korupsi
yang tinggi. Pada tahun 1998, siaran pers Tranparansi Internasional, sebuah organisasi
internasional anti korupsi yang bermarkas di Berlin, melaporkan, Indonesia merupakan
negara korup keenam terbesar di dunia setelah lima negara gurem, yakni; Kamerun,
Paraguay, Honduras, Tanzania dan Nigeria. (Kompas, 24/09/1998). Tiga tahun kemudian,
2001, Transparansi Internasional telah memasukkan Indonesia sebagai bangsa yang
terkorup keempat dimuka bumi. Sebuah identifikasi yang membuat bangsa kita tidak lagi
punya hak untuk berjalan tanpa harus menunduk malu (Hamid Awaludin, Korupsi
Semakin Ganas, Kompas, 16/08/2001). Dan, ditahun 2002, hasil survey Political and
Economic Risk Consultancy (PERC) yang bermarkas di Hongkong, menempatkan
Indonesia sebagai negara terkorup di Asia, dikuntit India dan Vietnam (Teten Masduki,
Korupsi dan Reformasi “Good Governance”, Kompas, 15/04/2002).

Survey Nasional Korupsi yang dilakukan oleh Partnership for Governance Reform
melaporkan bahwa hampir setengahnya (48 %) dari pejabat pemerintah diperkirakan
menerima pembayaran tidak resmi (Media Indonesia, 19/11/2001). Artinya, setengah dari
pejabat birokrasi melakukan praktek korupsi (uang). Belum lagi terhitung korupsi dalam
bentuk penggunaan waktu kerja yang tidak semestinya, pemanfaatan fasilitas negara
untuk kepentingan selain itu. Maka hanya tinggal segelintir kecil saja aparat birokrasi
yang mempertahankan kesucian dirinya, dilingkungan yang demikian kotor. Dengan
begitu, ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang
Bersih dan Bebas KKN, hanya manis di mulut tanpa political will yang memadai.

Praktek korupsi di Indonesia, sebenarnya bukan saja terjadi pada dua-tiga dekade
terakhir. Di era pemerintahan Soekarno, misalnya, Bung Hatta sudah mulai berteriak
bahwa korupsi adalah budaya bangsa. Malah, pada tahun 1950-an, pemerintah sudah
membentuk tim khusus untuk menangani masalah korupsi. Pada era Soekarno itulah kita
kenal bahwa salah satu departemen yang kotor, justru Departemen Agama dengan
skandal kain kafan. Saat itu, kain untuk membungkus mayat (kain kaci), masih harus
diimpor. Peran departemen ini sangat dominan untuk urusan tersebut (Hamid Awaludin,
Korupsi Semakin Ganas, Kompas, 16/08/2001).

Buruknya kinerja birokrasi bukan saja menggerogoti uang negara. Birokrasi yang buruk
juga akan menyebabkan pelayanan yang jelek, sehingga menimbulkan high cost economy
di semua lini kehidupan. Harga BBM yang terus menerus naik, bukan saja disebabkan
oleh harga minyak di pasaran dunia, tapi juga disebabkan oleh tidak efisiennya kerja
Pertamina.

Faktor penyebab suburnya korupsi bukan faktor tunggal, dia merupakan multi faktor
yang kompleks dan saling bertautan. Syed Hussein Alatas (Sosiologi Korupsi, LP3ES,
1986) mencoba mendiskripsikan faktor-faktor yang menyebabkan suburnya korupsi
sebagai berikut:

1. Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang mampu


memerikan ilham dan mempengaruhi tingkah laku yang menjinakkan korupsi.

2. Kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan etika.

3. Kolonialisme. Suatu pemerintahan asing tidaklah menggugah kesetiaan dan kepatuhan


yang diperlukan untuk membendung korupsi.

4. Kurangnya pendidikan.

5. Kemiskinan.

6. Tiadanya tindak hukuman yang keras.

7. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti korupsi.

Bahkan di era pemerintahan sekarang ini, birokrasi masih berkutat dengan patron-klien
dan korupsi. Kebijakan pemerintah untuk memberantas korupsi di semua lembaga baik
eksekutif, legislatif, maupun yudikatif tampaknya masih harus melalui jalan panjang
karena hokum di negeri ini masih belum bisa ditegakkan secara penuh. Perkembangan
terakhir upaya untuk mereformasi birokrasi mangambil bentuk jalur UU, yaitu dengan
mengajukan usulan RUU berkaitan dengan perbaikan birokrasi atau administrasi publik.
Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, Taufiq Effendi, mengumumkan akan
mereformasi birokrasi melalui lima RUU. Dikatakan bahwa RUU ini disiapkan untuk
menata sistem manajemen berbasis kinerja yang meliputi kelembagaan, tata laksana,
sumber daya manusia, budaya kerja dan hubungan teknologi (Kompas, 8 Juni 2006).
Adapun lima RUU yang disiapkan tersebut meliputi: RUU Administrasi Pemerintahan,
RUU Pelayanan Publik, RUU Etika Penyelenggaraan Negara, RUU Kementrian Negara
dan RUU Kepegawaian Negara.

Masalahnya, bila lima RUU tersebut berhasil disahkan dan diterapkan, apakah birokrasi
Indonesia akan mengalami perubahan yang signifikan? Sejarahnya, birokrasi Indonesia
mengalami perubahan dari periode ke periode. Namun, perubahan tersebut tidak
selalunya berdampak positif bagi perkembangan birokrasi, dan justru melanggengkan
sifat birokrasi patrimonial yang sarat dengan patron-klien.

Pengalaman politisasi birokrasi di era Orde Baru menjadikan institusi ini tidak netral dan
tidak professional. Sedangkan di pemerintahan sekarang ini, peran birokrasi tampak
kabur meskipun relatif tidak terpolitisasi sebagaimana era Orba. Dengan kata lain, apakah
kelima RUU tersebut cukup menjanjikan bila kultur lama birokrasi (yang hanya
berorientasi kepada penguasa dan mengabaikan pelayanan publik) dan kepastian hukum
di Indonesia juga tak diperbaiki?

Artinya, yang paling mendesak untuk diperbaiki seiring dengan reformasi birokrasi
adalah reformasi hukum atau penegakan hukum. Penciptaan hukum yang mengikat yang
mampu memberi penalti kepada warga negara sangat diperlukan karena tanpa itu sulit
memberantas korupsi di birokrasi.

Karena penciptaan UU sebagaimana yang diupayakan melalui kelima RUU di atas akan
sia-sia bila tidak mengikat secara utuh aparat birokrasi. Selain itu, perbaikan sistem
penggajian dan perubahan yang mendasar yang berkaitan dengan orientasi PNS pada
etika profesionalisme sangat relevan untuk diterapkan seiring dengan usulan kelima RUU
tersebut. Semua upaya tersebut akan bisa maksimal bila ditunjang oleh kepemimpinan
yang kokoh (strong leadership) yang memahami pentingnya mereformasi birokrasi.

Dalam 10 tahun terakhir (1998-2008), pembangunan di Indonesia mengalami kemajuan


signifikan. Pertumbuhan ekonomi, misalnya, pada tahun 1998 minus 13.1 persen. Pada
tahun 2004, pertumbuhan ekonomi naik pesat menjadi 5.1 persen. Dan tahun 2008
diproyeksikan sebesar 6,4 persen. Cadangan devisa yang semula 33.8 miliar dolar AS,
pada tahun 2008 naik menjadi 69.1 persen.

Tingkat kemiskinan juga terus berkurang. Pada tahun 1998, angka kemiskinan mencapai
24.2 persen. Pada tahun 2004, tingkat kemiskinan ini turun menjadi 16.7 persen. Dan
pada 2008 tinggal 15.4 persen dari total penduduk Indonesia.

Hutang kepada Dana Moneter Internasional (IMF) dipangkas habis. Tengok saja, pada
tahun 1998, utang Indonesia kepada IMF sebesar 9.1 miliar dolar AS. Pada tahun 2006,
Indonesia berhasil melunasi hutang hingga sebesar 7.8 miliar dolar AS.

Pemerintah mengklaim Indonesia bukan lagi negara berkembang yang miskin. Indonesia
kini adalah negara berkembang menengah. Pendapatan per kapita US$ 1.800-2.000
dijadikan indikator. (INILAH.COM, Jakarta). Tetapi masih banyak pekerjaan rumah (PR)
yang harus diselesaikan. PR itu, antara lain, mengatasi minimnya distribusi pendapatan,
tingkat kemiskinan, dan tingginya angka pengangguran.

Deputi Otda Bappenas, Max Pohan, mengatakan, hingga tahun 2025 ada berbagai
tantangan yang bakal dihadapi Indonesia, antara lain tantangan sosial budaya dan
kehidupan beragama, tantangan perekonomian, sarana dan prasarana, politik, pertahanan
dan keamanan, hukum dan aparatur, bidang wilayah dan tata ruang serta SDA dan
lingkungan hidup.

Meski banyak tantangan, namun menurut dia Indonesia juga punya modal dasar untuk
pembangunan, yakni wilayahnya yang luas, kekayaan alam dan keanekaragaman hayati,
jumlah penduduk yang besar serta perkembangan politik yang telah melalui tahap awal
reformasi berupa demokratisasi dan desentralisasi.

Sasaran pokok pembangunan dalam 20 tahun ke depan antara lain terwujudnya


masyarakat yang berakhlak mulia, berdaya saing, demokratis yang berlandaskan hukum,
rasa aman dan damai, pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan, negara yang
mandiri dan maju serta peranan yang meningkat di dunia internasional,” katanya

Jadi dapat disimpulkan, salah satu jalur strategis bagi tercapainya good governance
adalah dengan melakukan reformasi pemerintahan negara (governance reform) yang
terfokus pada pihak eksekutif dan administrasi negara. Untuk itu, ada beberapa strategi
pencapaiannya:

Pertama, usaha telah dijalankan untuk menghasilkan pemerintahan yang demokratik dan
legitimate. Perkembangan sistem multipartai menjadi saluran bagi masyarakat untuk
mendirikan asosiasi politik dan menjatuhkan pilihannya secara bebas. Penyelenggaraan
pemilu oleh lembaga yang independen (KPU) dan pemantauan oleh masyarakat sipil
(domestik dan international), telah meningkatkan kredibilitas sistem pembentukan
legislatif dan eksekutif.

Kedua, seharusnya diperjelas otoritas pemerintahan baru di hadapan birokrasi lama.


Tetapi hal ini belum memungkinkan, baik karena ketidakjelasan pengaturan, tidak adanya
dukungan legislatif, maupun resistensi birokrasi lama. Masalah-masalah yang muncul
dalam penunjukan pejabat-pejabat politik (political appointess), misalnya, mencerminkan
bahwa watak Indonesia sebagai negara birokrasi (beambtenstaat) masih menonjol. Dalam
sistem politik yang demokratik dan menghasilkan pemerintahan yang legitimate,
seharusnya wajar jika pemerintah berhak menentukan jabatan-jabatan tertentu dalam
birokrasi negara. Jika tidak, maka pemerintahan yang demokratik akan dibajak oleh
sistem birokrasi lama. Upaya memperjelas masalah ini dapat dimulai dengan
menghasilkan perundang-undangan tentang lembaga kepresidenan. Dalam pengaturan itu
ditentukan tentang otoritas politik, hak-hak dan kewajibannya, dan akuntabilitas.

Ketiga, reformasi administrasi negara. Seperti diketahui bersama, birokrasi di Indonesia


merupakan birokrasi yang menggurita. Mereka bukan hanya berada di lingkaran
eksekutif seperti Sekretariat Negara, Departemen, Lembaga Non-Departemen, dan
BUMN, melainkan juga di lembaga perwakilan rakyat dan peradilan.

Keempat, kultur dan etika birokrasi. Kultur keterbukaan, pelayanan yang cepat, dan etika
pejabat harus ditingkatkan. Pelayanan yang lamban sudah menjadi ciri birokrasi kita
(perhatikan layanan KTP, pemasangan saluran telepon baru atau air minum). Etika
jabatan menyangkut hal-hal seperti larangan perangkapan jabatan, berkolusi, penerimaan
uang pelicin dan lain-lain.

Kelima, masalah sumber daya manusia yang memerlukan rekruitmen berdasarkan


kualitas dan profesionalisme, peningkatan pelatihan, promosi reguler berdasarkan merit
system, dan meningkatnya kesejahteraan (bandingkan antara gaji guru dengan pejabat
esselon, juga pegawai negeri sipil-militer dengan pegawai BUMN).

Keenam, pengawasan administrasi negara. Hal ini dapat dilakukan secara preventif
maupun represif. Pengawasan preventif melekat pada sistem administrasi negara yang
bersangkutan, seperti kejelasan job description, pengawasan oleh atasan, dan secara
umum berupa penyelenggaraan pemerintah berdasarkan prinsip-prinsip yang baik, yang
harus diikuti atau diwujudkan dalam menghasilkan legislasi. Indonesia belum memiliki
ketentuan hukum dalam hal ini. Sedangkan secara represif, pengawasan ini dapat
berwatak politis, yaitu melalui DPR dan DPRD, maupun berwatak yudisial melalui
peradilan administrasi yang terbatas pada keputusan konkrit (beschikking).

Membangun pemerintahan yang bersih dan baik bukanlah pekerjaan yang mudah. Dia
akan menggerakkan segenap aspek kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan. Dia juga
membutuhkan dukungan dari segenap aparat pemerintahan, masyarakat dan sistem yang
baik. Hanya dengan pemilihan akan sistem yang terbaiklah, maka upaya membangun
pemerintahan yang baik itu akan menemukan jalan yang jelas.

Pemerintahan yang bersih dan baik, dengan kata lain, birokrasi yang bersih dan baik,
haruslah dibangun secara sistematis dan terus menerus.

Masyarakat juga perlu didasarkan bahwa sistem yang baik dan pemimpin yang baik
tidak bisa dibiarkan menjalankan pemerintahan sendiri, mereka harus terus dijaga,
dinasehati, diingatkan dengan cara yang baik.

Sebagai catatan akhir, ada beberapa pesan yang disampaikan oleh Prof Dr
Mustopadidjaja AR. untuk generasi muda. Sejarah perjuangan bangsa kita telah banyak
memberikan pelajaran yang bermakna yang perlu mendapatkan perhatian sungguh-
sungguh dalam pengembangan “sistem penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan
bangsa”. Dalam hubungan itu, saya ingin menyampaikan beberapa hal sebagai berikut:

Pertama, hayati dan amalkan etos bangsa bernegara yang tersurat dan tersirat pada
lambang negara yang berbunyi “Bhineka Tunggal Ika”, putra putri bangsa Indonesia
senantisa menghargai perbedaan dan kemajemukan, serta menjunjung tinggi semangat
persatuan dan kesatuan, Bangsa Indonesia.

Kedua, senantiasa siap berkorban untuk mempertahankan Wilayah dan Negara Kesatuan
Republik Indonesia, dan berjuang maksimal untuk memberikan kontribusi terbaik dalam
perjuangan bangsa mewujudkan cita-cita bernegara di seluruh bumi pertiwi.
Ketiga, Pancasila dan UUD 1945 merupakan dasar palsafah hidup bangsa bernegara, dan
konstitusi negara, yang perlu dipertahankan sebagai landasan hidup bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara; perubahan-perubahan yang diperlukan dalam batang tubuh
UUD diselenggarakan secara demokratis dan konstitusional, sesuai Pasal 37 UUD 1945.

Keempat, sila Ketuhanan Yang Maha Esa menghikmati dan menjadi dasar keridlaan
Tuhan atas sila-sila lainnya dari Pancasila, sebab itu pengembangannya harus didasarkan
pada ajaran Tuhan yang otentik, dengan keariefan dalam pengama-lannya yang
menghargai perbedaan dan keragaman, sebagai rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa.

Kelima lakukan segala sesuatu dengan niat dan sebagai wujud ibadah dengan
memadukan imtaq dan iptek sebagai kesatuan paradigma dalam melangsungkan ibadah
bagi kemajuan masyarakat, bangsa, negara, dan ummat manusia secara keseluruhan,
sehingga berani mengatakan “yang salah adalah salah, yang benar adalah benar”, dan
memiliki kemampuan “untuk memperbaiki yang salah dan menegakkan yang benar”
dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan, sebagai bentuk peranserta aktif dalam
upaya bersama mewujudkan cita-cita bangsa bernegara.

http://mardoto.wordpress.com/2009/04/23/suara-mahasiswa-006-mengkritisi-clean-and-
good-governance-di-indonesia/

You might also like