You are on page 1of 13

EPISTEMOLOGI DAN BEBERAPA PEMIKIRAN RENE DESCARTES

disusun guna memenuhi tugas terstruktur


mata kuliah Epistemologi

oleh :
Alfian Rahmat 1006691805
Dana Rahjagad 1006691875
Rasikh Fuadi 1006771970
Taufiq Rahmat H. 1006771996

PROGRAM STUDI FILSAFAT


FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
UNIVERSITAS INDONESIA
2011
EPISTEMOLOGI DAN BEBERAPA PEMIKIRAN RENE DESCARTES

A. RENE DESCARTES

Rene Descartes adalah filsuf yang digelari Bapak Filsafat Modern. Ia hidup di
Paris pada tahun 1590 – 1650. Dialah yang meletakkan dasar aliran rasionalisme. Dalam
buku discurs de la method (uraian tentang metode), ia melukiskan perkembangan
intelektualnya. Descartes belajar filsafat pada Colese yang dipimpin oleh para pater
Yesuit. Tapi ia tidak puas dengan filsafat dan ilmu pengetahuan yang menjadi bahan
pendidikannya. Kemudian ia belajar ilmu hukum, ilmu kedokteran dan ilmu alam. Baru
pada tahun 1619 ia memperoleh jurusan yang pasti dalam studinya. Menurut pendapat
Descartes, ilmu pengetahuan itu haruslah satu tanpa banding, dan haruslah disusun
hanya oleh satu orang.

Adapun yang harus dipandang sebagai yang benar haruslah terpilah-pilah, clear
and distinctly. Artinya bahwa gagasan-gagasan atau idea-idea itu harusnya dapat
dibedakan dengan gagasan-gagasan dan idea-idea yang lain. Descartes tidak bermaksud
untuk mendirikan filsafatnya sendiri diatas asas-asas logis yang berlaku pada saat itu,
sebab ia juga memerhatikan realitas yang ada lingkungaannya saat itu.

Sebenarnya Descartes pada zamannya diharukan dengan ketidakpastian ilmu


pengetahuan dan pemikiran yang berkembang pada zamannya. Pemikiran yang ia dapat
dari skolastik ternyata tidak membuat ia tahu bagaimana harus menangani kasus-kasus
logis hasil ilmu pengetahuan positif yang dihadapinya. Dan juga ia mengkritik
pemikiran Aristoteles yang terdapat di dalam ajaran skolastik, pemikiran itu
dianggapnya menghambat kemajuan ilmu pengetahuan. Termasuk juga beberapa
pemikiran yang bermacam macam pada zaman Renaissance yang saling bertentangan.
Pada akhirnya pertentangan itu tidak berhasil menjadikan ilmu pengetahuan lebih
bermakna. Ia menganggap pada waktu itu pemikiran manusia masih dipengaruhi oleh
khayalan-khayalan. Oleh sebab itu, Descartes merasa terdorong untuk membebaskan
dirinya dari pemikiran-pemikiran yang dianggapnya tradisional. Ia ingin memulai
dengan pemikirannya yang baru, dengan mengungkapkan sesuatu yang akan dijadikan
sebagai pangkal untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Pangkal yang pasti itu menurut
Descartes dapat diperoleh melalui keraguan-raguan, yaitu dengan meragukan segala
sesuatu.

Dalam bidang ilmiah tidak satu pun yang dianggapnya pasti, semuanya dapat
dipersoalkan dan pada kenyataannya memang dipersoalkan juga kecuali ilmu pasti itu
sendiri. Oleh karena itu cita-cita Descartes adalah memperbarui filsafat dan ilmu
pengetahuan. Adapun beberapa pemikiran Descartes adalah mengenai metode, idea-idea
bawaan, substansi, dan manusia. Menurut Descartes, ilmu pengetahuan juga harusnya
mengikuti jejak ilmu pasti, sebab ilmu pasti itu lebih bisa dijadikan suatu contoh bagi
cara mengenal atau mengetahui dan memahami kemajuan dalam sendi-sendi kehidupan.
B. EPISTEMOLOGI DESCARTES

1. Metode Kesangsian / Keragu-raguan


Descartes berpendapat bahwa ia telah menemukan metode yang dicarinya
sebagai dasar kokoh kuat pada filsafatnya, yaitu dengan menyangsikan segala-galanya.
Ia bemaksud mengupas metode ini secara radikal. Maka konsekuensinya, seluruh
pengetahuan yang dimiliki seseorang harus diragu-ragukan. Hal ini berarti bahwa
kesangsian metodis harus meliputi juga kebenaran-kebenaran yang sampai saat ini
dianggap pasti, misalnya: bahwa saya memiliki tubuh, bahwa ada suatu dunia material,
bahwa Allah itu ada. Adapun jika terdapat suatu kebenaran yang dapat bertahan dalam
kesangsian yang radikal ini, maka itulah pengetahuan yang seratus persen pasti dan
harus dijadikan fundamen bagi seluruh ilmu pengetahuan. Seperti yang terdapat dalam
buku “Sari Sejarah Filsafat Barat 2” oleh Dr. Harun Hadiwijono bahwa jika kita
memperhatikan sebuah lilin (jawa : malam) dan sarang madu (jawa : tala). Jika kita
mengamati sebuah sarang madu, kemudian kita mendekati dan mencoba merasakannya,
ada beberapa hal yang tampak dan terasa pada indra kita: lidah kita merasakan
madunya, hidung kita mencium bau bunganya, mata kita melihat rupa dan warnanya,
jari kita merasakan keras dan rasa dinginnya. Akan tetapi, jika sarang madu itu kita
letakkan diatas suatu wadah yang berada diatas api, sifat-sifatnya berubah, sekalipun
lilinnya tetap ada. Sifat-sifat itu sekarang cair, lunak, lemah, lentur, dan lain sebagainya.
Jadi yang tampak, yang dapat kita amati bukanlah lilin itu sendiri. Adanya lilin kita
ketahui dengan rasio/akal kita. Maka benda yang disebut lilin itu pada dirinya tidak
dapat diamati. Sebab benda itu dengan cara yang sama tercakup dalam segala
penampakannya. Pengetahuan tentang lilin tadi bukan karena wahyu, bukan karena
pengamatan, atau sentuhan atau khayalan, melainkan karena pemeriksaan rasio. Apa
yang kita duga dan kita lihat dengan mata kita itu hanya dapat kita ketahui semata-mata
dengan kuasa penilaian kita yang terdapat dalam rasio atau akal kita. Pengetahuan
melalui indra adalah kabur, dalam hal ini kita sama dengan binatang, oleh karena itu
kita harus meragukan apa yang kita amati dan kita ketahui sehari-hari. Semua itu harus
dengan sadar kita pandang sebagai sesuatu yang tidak pasti.
Dilihat dari contoh diatas, terlihat Descartes mulai menemukan sumber dasar
ilmu pengetahuan untuk dapat dijadikan dasar yang kokoh dalam filsafat dan ilmu
pengetahuan yang diperbaruinya. Kita terutama memerlukan suatu metode yang baik.
Descartes berpendapat bahwa ia telah menemukan metode yang dicarinya, yaitu dengan
menyangsikan segala-galanya dan ia bermaksud menjalankan metode tersebut seradikal
mungkin. Oleh karena itu seluruh pengetahuan yang kita miliki harus diragu-ragukan.
Hanya satu hal yang tidak dapat menipu kita, apapun itu, bahwa kita ragu-ragu.
Semboyan Descartes yang terkenal tentang metode ini adalah “cogito ergo sum” (Aku
berpikir maka aku ada).
Inilah suatu pengetahuan langsung yang disebut dengan kebenaran filsafat yang
pertama. Yang dimaksudkan Descartes dengan istilah berfikir adalah menyadari yang
bersumber dari kesadaran. Aku berada karena aku berfikir. Jadi aku adalah sesuatu yang
berfikir, suatu substansi yang seluruh tabiat dan hakekatnya terdiri dari fikiran, dan
untuk berada itu tidak memerlukan suatu tempat atau sesuatu yang bersifat bendawi.
Dalam artian ‘cogito’ yang artinya aku berfikir, adalah sesuatu yang bena-benar pasti.
Sebab ‘aku berfikir’ jelas terpilah-pilah. Ciri khas kebenaran yang dapat dipastikan
adalah ‘jelas dan terpilah-pilah’. Dengan demikian, Descartes berkeyakinan bahwa ia
telah menemukan norma untuk menentukan kebenaran.
2. Idea – idea Bawaan
Menurut descartes, apa yang hakikat itu tidak mungkin didapatkan dari sesuatu
diluar diri kita. Menggunakan contoh yang sama seperti lilin dan madu pada
sebelumnya, maka kesaksian dari luar diri kita tidak dapat dipercaya, oleh sebab itu kita
harus mencari kebenaran-kebenaran yang terdapat dalam diri kita sendiri. Pada tiap-tiap
manusia mengandung idea-idea bawaan yang telah melekat pada kita sejak lahir, dan
idea-idea bawaan itu terbagi atas tiga hal sebagai berikut:
1. Idea Pemikiran
Karena kita dapat memahami bahwa kita adalah makhluk yang dapat berpikir,
maka harus dikatakan pula bahwa suatu pemikiran adalah yang utama bagi kita.
2. Idea Allah
Karena kita memiliki idea yang sempurna, maka berarti pula terdapat suatu idea
yang sempurna yang menjadi penyebab atas segalanya. Wujud yang sempurna
itu tidak lain adalah Allah.
3. Idea Keluasan
Sebagaimana kita mengerti suatu materi, maka suatu materi itu dapat dilukiskan
dan dipelajari oleh ilmu ukur.

Bagi manusia pertama-tama yang jelas dan terpilah-pilah adalah pengertian


tentang Allah (sebagai tokoh yang secara sempurna tidak terbatas atau berada dimana-
mana). Di dalam ruh kita ada suatu pengertian atau suatu idea tentang sesuatu yang
secara sempurna tiada terbatas. Oleh karena kita sendiri sebagai manusia ialah mahluk
yang terbatas, maka tidak mungkin bahwa pengertian atau idea tentang suatu yang tiada
batasnya itu adalah hasil pemikiran kita sendiri yang menyebabkan adanya pengertian
atau idea tentang suatu yang tiada batasnya. Jika demikian, sesuatu yang tidak terbatas
itu jelas adanya dan jelas dibedakan dengan pengertian-pengertian yang lain. Yang tidak
terbatas itu adalah yang disebut Allah itu sendiri. Allah yang kita dipahami, menurut
Descartes adalah suatu pengertian tentang peng-ada yang sempurna dan tidak terbatas.
Pengertian tentang Allah penting sekali artinya bagi ajaran tentang pengenalan. Jika
Allah yang sempurna tanpa batas itu benar-benar ada, maka ia tidak akan menipu kita
dalam persoalan yang ditujukkan oleh akal kita sebagai hal yang jelas dan terpilah-
pilah.

Dari pengertian diatas Descartes menyimpulkan bahwa pengetahuan yang kita


peroleh dari indra kita itu tidak bermakna, sebab pengetahuan indrawi hanya memberi
nilai praktis, sebagaimana contoh yang dijelaskan diatas yaitu tentang fenomena lilin.
Yang diungkapkan oleh Descartes adalah, barang-barang diluar kita hanya memberikan
idea yang samar-samar saja. Jika kita menggunakan indra mata maka kita melihat
bentuk lilin tersebut, jika kita menggunakan indra hidung maka kita akan memperoleh
pengetahuan yang berbeda lagi, yaitu baunya. Hal ini menjelaskan pada kita bahwa
pengetahuan indrawi itu memang samar-samar. Idea yang samar samar hanya
memberitahukan pada kita mengenai hal perasaan subjek yang mengamatinya. Jadi,
hanya pemikiran yang jelas dan terpilah-pilahlah yang dapat mengajar kita secara
sempurna tentang hakikat sesuatu dan sifat-sifatnya, yaitu melalui pengertian atau idea
yang secara langsung jelas dan dapat diketahui pikiran tanpa perantaraan melainkan
dirinya semata-mata dan karena barang-barang diluar kita hanya kita kenal secara tidak
langsung dengan perantaraan. Pengertian benda-benda diluar kita itu semula kita kenal
dalam realitas benda itu sendiri. Dalam hal ini idea-idea juga berfungsi atau kita pakai
untuk menganalisis benda-benda yang ada diluar kita sendiri, selain sebagai idea-idea
bawaan.
C. ONTOLOGI DESCARTES : SUBSTANSI-ATRIBUT-MODUS

Substansi adalah apa yang berada sedemikian rupa sehingga tidak memerlukan
sesuatu yang lain untuk berada. Substansi yang dapat dipikirkan seperti tersebut
senbenarnya hanya ada satu, yaitu Allah. Segala being yang lain hanya dapat terpikirkan
sebagai berada, hanya jika berada dalam pertolongan Allah. Maka, sebutan substansi
sebenarnya tidak dapat dengan cara yang sama diberikan kepada Allah dan kepada hal-
hal lain. Hal-hal lain yang bersifat rohani dan bendawi dapat dimaksudkan kedalam
pengertian ‘substansi’. Menurut Descartes, selain Allah, ada dua substansi lain yaitu
Jiwa dan Materi. Pengertian lain selain ‘substansi’ yang di gunakan Descartes untuk
menentukan hakikat segala sesuatu adalah pengertian ‘atribut’ dan ‘modus’. Atribut
disebutnya sebagai sifat asasi. Setiap substansi memiliki sifat asasi yang menentukan
hakikat siubstansi tersebut. Sifat asasi mutlak perlu dan tidak dapat ditiadakan.
Keberadaan sifat substansi diandaikan oleh segala sifat yang lain. Segala substansi
bendawi memiliki keluasan sebagai sifat asasi atau atributnya. Roh dan jiwa juga
mempunyai atribut, yang disebut pemikiran.

Setiap substansi tidak hanya mempunyain atribut, tetapi juga mempunyai


sesuatu yang disebut modi (tunggal: modus), yang berarti sifat-sifat substansi yang
tidak mutlak perlu dan yang dapat diubah-ubah. Jiwa memiliki modi berupa pikiran-
pikiran individual, gagasan-gagasan dan gejala-gejala kesadaran yang lain. Materi dan
substansi bendawi juga memliki modi berupa bentuk dan besarnya yang lahiriah serta
gerak dan perhentiannya. Maka, segala benda tidak memiliki ketentuan yang kualitatif,
yang menunjukkan kualitas atau mutu dari benda itu. Keseluruhan realitas bendawi
diisapkan kedalam kuantitas atau bilangan. Dengan demikian, segala benda yang
bersifat bendawi pada hakikatnya adalah sama. Perbedaan-perbedaan antarbenda tidak
mewujudkan hal yang asasi, melainkan hanya berupa penambahan-penambahan saja.
Sementara yang berbeda secara asasi adalah roh (jiwa) dan benda, sebab jiwa pada
hakikatnya merupakan pemikiran, sedangkan materi pada hakikatnya adalah keluasan.
Roh dapat dipikirkan dengan jelas dan terpilah-pilah, tanpa memerlukan sifat asasi
benda. Hal tersebut berarti bahwa jiwa dan materi tidak hanya berbeda secara hakiki
tetapi juga terpisah satu sama lain. Maka, secara apriori tidak terdapat kemungkinan
bahwa yang satu dapat mempengaruhi yang lain, biarpun dalam kenyataanya pengaruh
tersebut sekilas tampak ada.

Pengertian-pengertian yang tunggal tentang substansi bendawi (seperti tentang


substansi rohani dan substansi yang tiada batasnya, yaitu Allah) dimiliki oleh jiwa
sebagai bawaanya. Implikasi dari penyangsian Descartes tentang adanya ‘dunia diluar
saya’, membuat ia kesulitan sendiri dalam membuktikan bahwa idea materi itu juga ada.
Dalam artian, idea tersebut mempunyai eksistensi, juga ‘terwujud’ dalam realitas ekstra-
subjek. Menurut Descartes, satu-satunya jalan untuk menerima adanya dunia material,
bahwa Allah akan menipu saya kalau sekiranya Ia memberi saya idea keluasan
sedangkan diluar diri saya tidak ada sesuatupun yang sesuai denganNya. Maka tidak
mungkin bahwa Wujud yang sempurna menipu saya. Maka, dunia material diluar saya
itu sungguh-sungguh ada.
D. ANTROPOLOGI (PEMIKIRAN TENTANG MANUSIA)

Descartes adalah penganut aliran rasionalisme. Jadi pandangan Descartes ini


berhubungan dengan dualisme, yang diturunkan dari asas-asas metafisis yang
menganggap jiwa dan tubuh itu suatu substansi yang berbeda.

Jiwa merupakan substansi yang berdiri sendiri yang terlepas dari tubuh dan jiwa.
Ini bersifat kekal tidak dapat mati. Jiwa itu termasuk didalamnya ‘pemikiran’ yang
merupakan sifat asasinya. Yang termasuk pemikiran ialah segala sesuatu yang terjadi
dalam diri manusia dengan sepengetahuan manusia tersebut, yaitu segala perbuatan
pengenalan indrawi, khayalan, akal, kehendak. Sifat hakiki pemikiran ialah kesadaran.

Sedangkan tubuh adalah suatu ‘physics’ yang memiliki sifat asasinya seperti
halnya dengan segala hal yang bersifat bendawi, tubuh adalah sasaran ilmu fisik.
Segala sesuatu disebabkan karena sebab-sebab mekanisnya sendiri. Diantara tubuh dan
jiwa ada pertentangan yang tak terjembatani. Kesatuan yang tampak hanya bersifat
lahiriah saja, sebab masing masing mewujudkan hal yang berdiri sendiri-sendiri.
Hakekat manusia ada pada jiwanya. Jiwa itu mengatur tubuh atau memperalat tubuh
untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan kesadaran (jiwa). Sekalipun
tiada titik pertemuan antara pemikiran dan keluasan, namun jiwa dan tubuh saling
mempengaruhi juga. Jiwa dalam pandangan Descartes, jiwa berada dalam sebuah
kelenjar kecil yang letaknya dibawah otak kecil (glandula pinealis). Secara tidak
langsung jiwa berperan mempengaruhi tubuh dengan mengambil gerak-gerak tubuh
dengan perantaraan nafas hidup, yaitu bagian-bagian darah yang paling banyak
geraknya, yang mengaliri segala saraf dan otot. Nafas hidup membawa perangsang-
perangsang indra kepada kelenjar kecil di bawah otak kecil tadi. Gerak kelenjar ini
ditangkap oleh jiwa yang menjawabnya dengan pengamatan yang sesuai dengan
perangsang-perangsang tadi. Sebaliknya jiwa juga dapat menyebabkan adanya gerak
dikelenjar kecil dengan akibat bahwa ada perubahan dalam jalan nafas hidup yang
menggerakkan syaraf dan otot-otot bagian tubuh yang bermacam-macam.
Dari penjelasan diatas kita dapat menyimpulkan bahwa suatu yang utama
didalam diri manusia itu adalah jiwa, karena pengamatan-pengamatan itu terjadi dalam
jiwa, sejauh jiwa dihubungkan dengan tubuh. Dilihat dari segi tubuh segala perbuatan
indrawi termasuk kawasan fisik. Pemikiran adalah perbuatan jiwa berdasarkan
hakekatnya sendiri, bebas dari pada tubuh.

E. ETIKA

Dalam bidang etika Descartes tidak memberikan pandangan-pangdangan yang


khusus, ia hanya memberikan pandangan-pandangan yang etis, yang menampakkan
pengaruh ‘stoa’ dengan mengandaikan adanya kebebasan kehendak. Kebebasan adalah
ciri khas kesadaran yang berfikir. Tubuh kita pada hakekatnya tidaklah bebas, karena
tubuh itu diatur oleh jiwa. Kebebasan itu menurut Descartes hanyalah hiasan pada
manusia, kebebasan manusia tidak lebih kurang dari pada kebebasan Allah. Manusia
merealisasikan kebebasannya itu dengan mengekang segala nafsunya. Dapat kita
katakan bahwa Descartes menekankan penaklukan diri pada pimpinan, yakni berupa
akal, dan menganggap remeh kepada kehidupan duniawi dengan kebaikan dan
kejahatannya.

Manusia bukanlah tujuan penciptaan dan juga bukan menjadi pusat penciptaan.
Manusia merupakan organisme yang besar, sedangkan perorangan itu adalah bagian
dari yang besar. Jadi manusia perorangan itu harus mau berkorban untuk kepentingan
organisme yang besar tersebut.
F. KESIMPULAN

Cita-cita Descartes untuk mendirikan filsafat dan ilmu pengetahuan yang mulai
dari nol, tidak mungkin diciptakan olehnya, juga manusia-manusia lain yang notabene
merupakan makhluk menyejarah. Tapi, atrti penting dari pemikiran Descartes dapat kita
ketahui, bahwa ia telah memberi suatu arah yang pasti pada pemikiran modern, dan
menjadikan orang-orang sesudahnya dapat mengerti aliran-aliran filsafat yang timbul di
kemudian hari. Descartes memberikan kontribusi yang sangat besar dalam aliran
pemikiran filsafat rasionalisme dan positivisme. Banyak pemikiran filosofis yang timbul
sebagai reaksi dari pemikiran Descartes, seperti empirisme dan kritisisme. Descartes
juga memberikan sumbangan yang besar terhadap pemikiran modern tentang persoalan-
persoalan yang harus dibawa sepanjang abad-abad selanjutnya hingga sampai saat ini.
Descartes dianggap sebagai orang yang membuka jalan untuk pemikiran selanjutnya,
maka tidak berlebihanlah jika Descartes disebut-sebut sebagai Bapak Pemikiran Filsafat
Modern.
DAFTAR PUSTAKA

Bertens, K., 1986, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta : Kanisius.

Copleston, F., 1958, A History of Philosophy, New York. Vol.IV. Descartes to Leibniz.

Hadiwiyono, H., 1998, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta : Kanisius.

Russel, Betrand, 1947, A History of Western Philosophy, London.

You might also like