You are on page 1of 24

10sahabat dijamin masuk syurga

1. Abu Bakar Siddiq ra. 


Beliau adalah khalifah pertama sesudah wafatnya Rasulullah Saw. Selain itu Abu bakar juga merupakan laki-
laki pertama yang masuk Islam, pengorbanan dan keberanian beliau tercatat dalam sejarah, bahkan juga
didalam Quran (Surah At-Taubah ayat ke-40) sebagaimana berikut : “Jikalau tidak menolongnya (Muhammad)
maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah)
mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seseorang dari dua orang (Rasulullah dan Abu Bakar) ketika
keduanya berada dalam gua, diwaktu dia berkata kepada temannya:”Janganlah berduka cita, sesungguhya
Allah bersama kita”.
 

Maka Allah menurunkan ketenangan kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak
melihatnya, dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang
tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” Abu Bakar Siddiq meninggal dalam umur 63 tahun, dari beliau
diriwayatkan 142 hadiets.
 
2. Umar Bin Khatab ra. 
Beliau adalah khalifah ke-dua sesudah Abu Bakar, dan termasuk salah seorang yang sangat dikasihi oleh Nabi
Muhammad Saw semasa hidupnya. Sebelum memeluk Islam, Beliau merupakan musuh yang paling ditakuti
oleh kaum Muslimin. Namun semenjak ia bersyahadat dihadapan Rasul (tahun keenam sesudah Muhammad
diangkat sebagai Nabi Allah), ia menjadi salah satu benteng Islam yang mampu menyurutkan perlawanan
kaum Quraish terhadap diri Nabi dan sahabat. Dijaman kekhalifaannya, Islam berkembang seluas-luasnya dari
Timur hingga ke Barat, kerajaan Persia dan Romawi Timur dapat ditaklukkannya dalam waktu hanya satu
tahun. Beliau meninggal dalam umur 64 tahun karena dibunuh, dikuburkan berdekatan dengan Abu Bakar dan
Rasulullah dibekas rumah Aisyah yang sekarang terletak didalam masjid Nabawi di Madinah.
 
3. Usman Bin Affan ra. 
Khalifah ketiga setelah wafatnya Umar, pada pemerintahannyalah seluruh tulisan-tulisan wahyu yang pernah
dicatat oleh sahabat semasa Rasul hidup dikumpulkan, kemudian disusun menurut susunan yang telah
ditetapkan oleh Rasulullah Saw sehingga menjadi sebuah kitab (suci) sebagaimana yang kita dapati sekarang.
Beliau meninggal dalam umur 82 tahun (ada yang meriwayatkan 88 tahun) dan dikuburkan di Baqi’.
 
4. Ali Bin Abi Thalib ra.
Merupakan khalifah keempat, beliau terkenal dengan siasat perang dan ilmu pengetahuan yang tinggi. Selain
Umar bin Khatab, Ali bin Abi Thalib juga terkenal keberaniannya didalam peperangan. Beliau sudah mengikuti
Rasulullah sejak kecil dan hidup bersama Beliau sampai Rasul diangkat menjadi Nabi hingga wafatnya. Ali Bin
Abi Thalib meninggal dalam umur 64 tahun dan dikuburkan di Koufah, Irak sekarang.
 
5. Thalhah Bin Abdullah ra. 
Masuk Islam dengan perantaraan Abu Bakar Siddiq ra, selalu aktif disetiap peperangan selain Perang Badar.
Didalam perang Uhud, beliaulah yang mempertahankan Rasulullah Saw sehingga terhindar dari mata pedang
musuh, sehingga putus jari-jari beliau. Thalhah Bin Abdullah gugur dalam Perang Jamal dimasa pemerintahan
Ali Bin Abi Thalib dalam usia 64 tahun, dan dimakamkan di Basrah.
 

6. Zubair Bin Awaam 


Memeluk Islam juga karena Abu Bakar Siddiq ra, ikut berhijrah sebanyak dua kali ke Habasyah dan mengikuti
semua peperangan. Beliau pun gugur dalam perang Jamal dan dikuburkan di Basrah pada umur 64 tahun.

 
7. Sa’ad bin Abi Waqqas 
Mengikuti Islam sejak umur 17 tahun dan mengikuti seluruh peperangan, pernah ditawan musuh lalu ditebus
oleh Rasulullah dengan ke-2 ibu bapaknya sendiri sewaktu perang Uhud. Meninggal dalam usia 70 (ada yang
meriwayatkan 82 tahun) dan dikuburkan di Baqi’.
 
8. Sa’id Bin Zaid 
Sudah Islam sejak kecilnya, mengikuti semua peperangan kecuali Perang Badar. Beliau bersama Thalhah Bin
Abdullah pernah diperintahkan oleh rasul untuk memata-matai gerakan musuh (Quraish). Meninggal dalam
usia 70 tahun dikuburkan di Baqi’.
 
9. Abdurrahman Bin Auf 
Memeluk Islam sejak kecilnya melalui Abu Bakar Siddiq dan mengikuti semua peperangan bersama Rasul.
Turut berhijrah ke Habasyah sebanyak 2 kali. Meninggal pada umur 72 tahun (ada yang meriwayatkan 75
tahun), dimakamkan di baqi’.
 
10. Abu Ubaidillah Bin Jarrah 
Masuk Islam bersama Usman bin Math’uun, turut berhijrah ke Habasyah pada periode kedua dan mengikuti
semua peperangan bersama Rasulullah Saw. Meninggal pada tahun 18 H di urdun (Syam) karena penyakit
pes, dan dimakamkan di Urdun yang sampai saat ini masih sering diziarahi oleh kaum Muslimin.
1.Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq ra (Khalifah Pertama, Teman Setia Yang Banyak Berkorban)

Muhammad SAW wafat tanpa meninggalkan pesan siapa yang harus menggantikannya sebagai pemimpin
umat.. Beberapa kerabat Rasul berpendapat bahwa Ali bin Abu Thalib – misan dan menantu yang dipelihara
Muhammad SAW sejak kecil – yang paling berhak. Namun sebagian kaum Anshar, warga asli Madinah,
berkumpul di Balai Pertemuan (Saqifa) Bani Saudah. Mereka hendak mengangkat Saad bin Ubadah sebagai
pemimpin umat.

Ketegangan terjadi, Abu Bakar, Umar dan Abu Ubaidah datang untuk mengingatkan mereka. Perdebatan
terjadi, sampai dua tokoh Muhajirin dan Anshar – Abu Ubaidah dan Basyir anak Saad – membaiat Abu Bakar.
Umar menyusul membaiat. Demikian pula yang lainnya. Pertikaian selesai. Selasa malam menjelang salat Isya –
setelah Muhammmad SAW dimakamkan – Abu Bakar naik ke mimbar di masjid Nabawi. Ia mengucapkan
pidato pertamanya sebagai khalifah. Pidato yang ringkas dan dan berkesan di kalangan umat. Itu terjadi pada
Juni 632, atau 11 Hijriah.

Abu Bakar adalah orang pertama di luar kerabat Rasul yang memeluk Islam. Ia dikenal sebagai orang yang
selalu membenarkan ucapan Muhammad SAW. Ketika orang-orang menghujat Muhammad SAW karena
mengatakan baru mengalami Isra’ Mi’raj, Abu Bakar menyatakan keyakinannya terhadap peristiwa itu. Ia
menyiapkan perjalanan serta menemani Muhammad Saw saat hijrah ke Madinah. Ia juga menikahkan
putrinya, Aisyah, dengan Rasul.

Namun tak bererti kepemimpinan Abu Bakar mulus. Wafatnya Muhammad SAW menimbulkan pembelotan
besar-besaran dari berbagai kabilah yang baru masuk Islam. Mereka tidak lagi patuh pada pemerintahan di
Madinah. Beberapa orang malah menyatakan diri sebagai Nabi. Aswad Al-Insa di Yaman yang menyatakan diri
sebagai Nabi dan membolehkan orang tidak solat dan berzina, telah dibunuh oleh orang dekatnya saat
Rasulullah sakit. Sekarang ada Tulaihah dan Musailamah yang berbuat serupa.

Di Madinah pun, Abu Bakar berselisih pendapat dengan Fatimah, putri Muhammad SAW, mengenai cara
pengelolaan uang negara. Keluarga Rasul – termasuk Ali bin Abu Thalib – baru mengakui kepemimpinan Abu
Bakar enam bulan kemudian, setelah Fatimah wafat.

Tugas pertama yang dilakukan Abu Bakar adalah melaksanakan amanat Rasul: memberangkatkan pasukan
Usamah bin Zaid ke arah Palestina dan Syam. Ia sendiri – dalam usia 61 tahun – kemudian memimpin tentara
menggempur Tulaiha. Operasi militernya sukses. Setelah itu, Abu Bakar membentuk 11 regu untuk
menaklukkan kabilah-kabilah yang menolak membayar zakat. Yakni dari Tihama di Laut Merah, Hadramaut di
ujung Lautan Hindia, sampai ke Oman, Bahrain, Yamama hingga Kuwait di Teluk Persia.

Pertempuran paling sengit terjadi melawan pasukan Musailamah yang memiliki 40 ribu pasukan. Tentara dari
Madinah sempat hancur. Berkat kecerdikan panglima Khalid bin Walid, mereka memukul balik lawan. Seorang
tentara Khalid, Al-Barra, berhasil melompati benteng Al-Hadikat dan membuka pintu dari dari dalam.
Musailamah tewas.

Pasukan Khalid kemudian bergerak ke Utara, menuju lembah Iraq yang saat itu dikuasai kerajaan besar Persia.
Pada 8 Hijriah, Raja Persia Kisra merobek-robek surat yang dikirimkan Muhammad SAW. Rasul lalu menyebut
Allah akan merobek-robek kerajaan Persia pula. Saat itu tiba melalui tangan Khalid bin Walid yang hanya
membawa sedikit pasukan. Dalam perang di Allais tercatat 70 ribu orang tewas. Setelah itu Kerajaan Hira pun
ditaklukkan. Jadilah seluruh wilayah Iraq sekarang masuk dalam wilayah kekhalifahan Abu Bakar.

Setelah itu, Khalifah Abu Bakar mengirim 24.000 pasukan ke arah Syria, di bawah komando empat panglima
perang. Mereka bersiap menghadapi 240.000 pasukan Romawi – kekuatan terbesar di dunia pada masa itu –
yang diperintah Heraklius. Abu Bakar menetapkan Yarmuk sebagai pangkalan mereka. Ia juga memerintahkan
Khalid bin Walid – yang berada di wilayah Iraq – untuk pergi ke Yarmuk dan menjadi Panglima Besar di situ.
Sebanyak 9000 pasukan dibawanya.

Abu Bakar mencatat banyak keberhasilan. Di jazirah Arab, ia telah berhasil menyatukan kembali umat Islam
yang pecah setelah Rasul wafat. Di masanya pula, Islam mulai menyebar ke luar jazirah Arab. Meskipun
demikian, ia tetap dikenal sebagai seorang yang sederhana. Ia hidup sebagaimana rakyat. Tetap pergi sendiri
ke pasar untuk berbelanja, serta tetap menjadi imam solat di masjid Nabawi.

Selama dua tahun tiga bulan memimpin umat, ia hanya mengeluarkan 8.000 dirham wang negara untuk
kepentingan keluarganya. Jumlah yang sangat sedikit untuk ukuran waktu itu sekalipun. Ia juga
memerintahkan pengumpulan catatan ayat-ayat Quran dari para sekretaris Rasul. Catatan-catatan itu
dikumpulkan di rumah Hafshah, putri Umar. Abu Bakar meninggal dalam usia yang hampir sama dengan Rasul,
63 tahun.

2.Khalifah Umar al-Khattab ra (Saidina Khalifah Kedua, Pintar Membezakan Antara Haq dan Batil)

Pengenalan:
Khalifah Umar b. Al-Khattab ra merupakan khalifah Islam yang kedua selepas Khalifah Abu Bakar ra.
Perlantikannya merupakan wasiat daripada Khalifah Abu Bakar.

Sirah Umar Al-Khattab:


Nama penuhnya ialah Umar b. Al-Khattab b. Naufal b. Abdul Uzza b. Rabah b. Abdullah b. Qarth b. Razah b.
Adiy b. Kaab. Di lahirkan pada tahun 583 M daripada Bani Adi iaitu salah satu bani dalam kabilah Quraish yang
dipandang mulia, megah, dan berkedudukan tinggi. Waktu kecilnya pernah mengembala kambing dan
dewasanya beliau berniaga dengan berulang alik ke Syam membawa barang dagangan. Waktu Jahiliah beliau
pernah menjadi pendamai waktu terjadi pertelingkahan hebat antara kaum keluarganya. Beliau merupakan
seorang yang berani, tegas dalam kira bicara, berterus terang menyatakan fikiran dan pandangannya dalam
menghadapi satu-satu masalah. Beliau juga terkenal sebagai pemidato dan juga ahli gusti.

Saidina Umar memeluk Islam pada tahun ke enam selepas kerasulan Nabi. Beliau kemudiannya memberi
sumbangan yang besar terhadap perkembangan Islam. Sebelum ini beliau merupakan musuh ketat kepada
Islam dan sentiasa menghalangi perkembangan Islam. Orang Islam ramai yang berasa takut untuk melakukan
ibadah kerana bimbangkan kepada orang Quraish yang selalu mengancang dan mengusir mereka. Setelah
Umar memeluk Islam ramai dari kalangan orang-orang Islam yang tidak merasa apa-apa curiga lagi dalam
mengerjakan ibadat. Beliau digelar “al-Faruq” yang bermaksud orang yang membezakan hak dengan yang
batil. Gelaran ini diberikan oleh Rasulullah semasa beliau membawa sekumpulan umat Islam untuk
bersembahyang di hadapan Kaabah secara terbuka untuk pertama kalinya dalam sejarah Islam. Beliau sendiri
yang menjaganya daripada gangguan orang-orang Quraish. Nabi Muhammad SAW juga mengelarkannya
sebagai “Abu Hafs” kerana kegagahannya.

Ketika berhijrah ke Madinah, ramai orang Islam yang keluar dari Kota Mekah secara bersembunyi, tetapi Umar
keluar secara berterang-terangan. Pedang di tangannya sedia menghunus kepada sesiapa sahaja yang cuba
menghalangnya.

Ketika khalifah Abu Bakar sedang sakit dan merasa ajalnya akan tiba, beliau memanggil sahabat dan meninjau
fikiran mereka untuk mencari tokoh Islam bagi dilantik menggantikan pentadbiran khalifah. Abu Bakar
mencadangkan nama Umar untuk dicalonkan memegang jawatan itu. Cadangan tersebut mendapat
persetujuan dari kalangan sahabat dan orang-orang ramai.

Selepas memerintah negara Islam selama 10 tahun 6 bulan dan 4 hari, beliau pun wafat pada malam Rabu di
akhir bulan Zulhijjah tahun 23 Hijrah, sewaktu berumur 63 tahun. Beliau mati kerana ditikam oleh Abu Lu’luah,
bangsa Parsi yang beragama Majusi. Beliau dimakamkan berhampiran dengan makam Rasulullah dan Abu
Bakar di Madinah.

Kepimpinan Khalifah Umar Al-Khattab:


A. Pembaharuan Dalam Bidang Pentadbiran
- Membentuk Majlis Syura
Khalifah Umar telah membentuk satu Majlis Syura yang merupakan lembaga atau majlis perunding yang
tertinggi. Ianya terbahagi kepada dua iaitu Majlis Syura Tertinggi dan majlis Syura Am.
Anggota Majlis Syura Tertinggi ialah terdiri daripada Uthman b. Affan, Ali b. Abi Talib, Zaid b. Tsabit, Abdul
Rahman b. Auf, Saad b. Abi Waqas dan Muaz b. Jabal. Semua pekara yang melibatkan masalah politik,
keselamatan dan sosial negara akan dibincangkan bersama-sama dalam majlis tersebut. Majlis Syura ini juga
bertanggungjawab menentukan polisi negara dalam soal pemerintahan dalaman dan hubungan luar.
Melalui amalan sistem syura, Khalifah Umar dapat mengetahui apa-apa permasalahan yang berlaku kepada
dalam semua segi. Beliau juga membuka peluang dan kebebasan yang seluas-luasnya kepada semua orang
untuk mengemukakan fikiran dan pendapat mereka demi kebaikan dan keadilan Islam, Sehingga beliau
menggangap semua manusia yang tidak mahu memberikan pendapat adalah manusia yang tidak berfaedah.

- Membahagikan Wilayah-Wilayah Islam


Perkembangan Islam yang semakin luas dengan pembukaan negara-negara Islam yang baru telah memerlukan
kepada pentadbir bagi menguruskan sesebuah negara. Dengan perluasan kuasa ini, Khalifah Umar telah
membahagikan kerajaan Islam yang semakin luas kepada beberapa wilayah demi menjaga kelicinan
pentadbiran Islam. Umar meletakkan beberapa orang pegawai untuk menjalankan pentadbiran. Mereka yang
dilantik hendaklah datang ke Mekah pada tiap-tiap tahun selepas menunaikan haji untuk membuat laporan.
Khalifah Umar dikatakan berkebolehan dalam memilih pegawai-pegawai yang cekap bagi melicinkan
pentadbiran, sebagai contohnya Muawiyah b. Abu Sufian, Amru b. al-Ass, Mughirah b. Syu’bah dan Zaid b.
Sumyah.

Sebelum seorang Gabenor itu dilantik, mereka haruslah mengisytiharkan harta mereka bagi mengelakkan dari
menerima rasuah. Inilah syarat yang dikenakan oleh Khalifah Umar Al-Khattab bagi menjamin keadilan dan
kesucian Islam.

- Memperbaharui undang-undang pentadbiran tanah


Perluasan kuasa Islam menuntut kepada Khalifah Umar untuk melakukan pembaharuan terhadap sistem
tanah. Di Mesir, Syria, dan Iraq misalnya, segala tanah-tanah awam adalah menjadi milik kerajaan tempatan
dan segala hasil dari tanah tersebut akan digunakan untuk membiayai kemudahan-kemudahan awam negara
itu juga. Khalifah Umar menetapkan tanah-tanah yang dimiliki oleh penduduknya tidak akan dirampas tetapi
ianya akan dikenakan cukai.

Tentera atau umat Islam dari negara lain tidak dibenarkan mengambil tanah dari negara jajahan kecuali
melalui pembelian. Ini berbeza dengan amalan-amalan sebelumnya dimana tanah-tanah akan dibahagikan
kepada tentera yang menyertai peperangan.

B. Pembaharuan dalam bidang ekonomi


Banyak pembaharuan yang dilakukan oleh Umar bagi mengagihkan pendapatan kepada rakyat dan juga negara
mengikut kehendak Islam. Kadar dan sistem cukai telah diubah. Cukai yang dikenakan mengikut jenis tanaman
yang ditanam. Syarat-syarat yang menyusahkan rakyat dan tidak adil akan dihapuskan. Beliau juga sering
bertanyakan kepada golongan-golongan Dzimmi (orang bukan Islam) untuk mengetahui samada cukai yang
dikenakan membebankan mereka. Inilah langkah yang dilakukan oleh Umar sebelum pekara ini diperbaharui.
Kesemua ini menyebabkan pungutan cukai menjadi cekap dan perbendaharan negara bertambah.
Beliau juga turut memajukan sistem pertanian dengan membuka tanah-tanah baru dan juga mengadakan
projek pengairan, yang mana ianya telah dilaksanakan di Mesir dan Iraq bagi menambahkan lagi hasil
pertanian.

C. Pembaharuan Dalam Bidang Sosial


- Melakukan polisi baru untuk golongan Dzimmi
Khalifah Umar telah mengadakan cukai tanah dan juga jizyah kepada golongan ini. Cukai ini adalah berpatutan
kerana rendah kadarnya dan tidak menyusahkan mereka. Pernah suatu kali khalifah Umar memanggil 10 orang
Dzimmi dari Kufah dan 10 orang Dzimmi dari Basyrah supaya mereka bersumpah, bahawa cukai yang
dikenakan keatas mereka tidak membebankan.

Taraf dan hak awam di berikan sama rata seperti apa yang dinikmati oleh orang Islam. Golongan Dzimmi yang
masih menentang Islam akan dibuang atau dihalau keluar negara. Harta mereka tidak akan dirampas, malah
harta mereka yang tidak dapat dipindahkan seperti ladang akan dibayar ganti rugi oleh kerajaan Islam.

- Memperbaharui taraf kedudukan hamba


Golongan hamba pada masa itu telah diberikan hak kepentingan sosial dan taraf yang baik. Hamba tidak lagi
dihina dan ditindas, mereka boleh hidup bebas seperti orang-orang biasa, kecualilah bagi orang-orang yang
benar menentang Islam dalam peperangan. Umar menetapkan bahawa hamba perempuan yang menjadi ibu
tidak boleh dijual sewenang-wenangnya seperti hamba-hamba lain. Begitu juga dengan hamba yang
berkeluarga tidak boleh dipisahkan dari keluarga mereka.

Taraf golongan hamba juga disamakan dengan tuannya dalam apa-apa hal tertentu, pegawai-pegawai yang
tidak menghormati dan menjaga hal kebajikan hamba akan dikenakan tindakan oleh Khalifah Umar. Sebagai
contoh, Umar pernah melucutkan jawatan seorang pegawainya yang tidak menziarahi pekerjanya yang sakit.

- Mengalakkan kegiatan keilmuan dan pelajaran


Pelbagai langkah telah dilakukan oleh Khalifah Umar untuk mengembangkan pelajaran al-Quran. Beliau
menyediakan guru-guru bagi mengajar pelbagai ilmu berhubung dengan keilmuan dan dihantar ke serata
tempat bagi yang memerlukan serta diberi gaji yang lumayan. Sekolah-sekolah ditubuhkan di masjid-masjid
bagi diajar pelajaran Islam di seluruh wilayah Islam. Umat Islam diwajibkan menghafal surah-surah tertentu
didalam al-Quran bagi menghuraikan prinsip-prinsip utama ajaran Islam seperti surah al-Baqarah, an-Nisa, al-
Maidah dan sebagainya. Golongan ini akan diberikan pelbagai ganjaran sebagai satu usaha untuk
menggalakkan menghafal kandungan al-Quran.

D. Pembaharuan Dalam Bidang Ekonomi


- Memajukan sistem pertanian
Khalifah Umar telah mewujudkan terusan bagi memajukan sistem pertanian yang mana terusan tersebut
seperti Terusan Amirul Mukminin yang menghubungkan Sungai Nil dengan Laut Merah sepanjang 69 batu dari
bandar Fustat. Di Iraq pula beliau telah membina Empangan Abu Musa yang menyambungkan Sungai Dujlah
(Tigres) dengan bandar Basrah.

Tanah juga telah dikajiselidik bagi menempatkan tanaman-tanaman yang bermutu. Rakyat juga digalakan
untuk membuka tanah-tanah baru bagi memperbanyakkan hasil pertanian. Tanah yang tidak dikerjakan akan
ditarik balik sekiranya tidak terdapat hasil pertanian di dalamnya. Begitu juga beliau juga telah mengadakan
sistem cukai bagi menambahkan pendapatan negara.

Rumusan:
Khalifah Umar adalah merupakan Khalifah yaang banyak melakukan pembaharuan kepada negara Islam.
Pentadbiran khalifah selepasnya pula diberikan kepada saidina Uthman b. Affan ra.

3.Khalifah Uthman bin Affan ra (Khalifah Ketiga, Malaikat Berasa Malu Kepadanya)

Pengenalan
Khalifah Uthman merupakan khalifah Islam yang ketiga selepas Khalifah Abu Bakar dan Khalifah Umar al-
Khattab. Beliau dilantik menjadi khalifah melalui persetujuan orang ramai.
Sirah Khalifah Uthman bin Affan

Nama beliau sebenarnya ialah Uthman b. Affan b. Abul-As yang mana beliau dilahirkan ketika Baginda Nabi
Muhammad SAW berumur 5 tahun. Uthman merupakan seorang bangsawan dari golongan Quraish dari Bani
Ummayah.

Beliau terkenal sebagai seorang yang lemah lembut, pemurah dan baik hati. Beliau merupakan salah seorang
dari saudagar yang terkaya di Tanah Arab, sehingga beliau digelarkan dengan gelaran “al-Ghani”. Selepas
memeluk Islam beliau banyak mendermakan hartanya ke arah kepentingan agama Islam, sebagai contohnya
dalam peperangan Tabuk, beliau telah mendermakan hartanya iaitu 950 ekor unta, 50 ekor kuda dan 1000
dinar. Begitu juga ketika umat Islam berhijrah ke Madinah, umat Islam menghadapi masalah untuk
mendapatkan air minuman. Oleh itu Saidina Uthman telah membeli telaga Ruma dari seorang Yahudi dengan
harga 20 000 dirham untuk digunakan oleh umat Islam dengan percuma.

Saidina Uthman bin Affan ra adalah seorang yang bertaqwa dan bersikap wara’. Tengah malamnya tak pernah
disia-siakan. Beliau memanfaatkan waktu itu untuk mengaji Al-Quran dan setiap tahun beliau menunaikan
ibadah haji. Bila sedang berzikir dari matanya mengalir air mata haru. Beliau selalu bersegera dalam segala
amal kebajikan dan kepentingan umat, dermawan dan penuh belas kasihan. Khalifah Uthman telah
melaksanakan hijrah sebanyak dua kali, pertama ke Habasyah, dan yang kedua ke Madinah.
Beliau digelarkan sebagai “Zunnurain” yang bermaksud dua cahaya kerana menikahi dua orang puteri
Rasulullah iaitu Ruqayyah dan Ummi Kalthum. Setelah Ruqayyah meninggal dunia, Rasulullah SAW telah
menikahkan beliau dengan puteri Baginda iaitu Ummi Kalthum. Uthman berkahwin sebanyak 7 kali lagi selepas
kematian Ummi Kalthum dan seluruh anaknya berjumlah seramai 16 orang. Isterinya yang terakhir ialah Nailah
binti Furaifisha.

Beliau dilantik menjadi khalifah selepas kematian Khalifah Umar ra yang ditikam. Beliau dilantik menjadi
khalifah pada tahun 23 Hijrah oleh jawatankuasa yang ditubuhkan oleh Khalifah Umar al-Khattab ra.

Kepimpinan Dan Sejarah Pentadbiran:


Ahli sejarah telah membahagikan tempoh pemerintahan Khalifah Uthman selama 12 tahun kepada dua
bahagian iaitu pertamanya zaman atau tahap keamanan dan keagungan Islam, manakala yang keduanya pula
ialah tahap atau zaman “Fitnatul-Kubra” iaitu zaman huru hara.

Zaman Keamanan Dan Keagungan Islam


Banyak jasa-jasa dan juga kejayaan yang telah dilakukan oleh Khalifah Uthman dalam menyebar dan
memperkembangluaskan Islam. Ini termasuklah kejayaannya dalam:

1. Bidang Ketenteraan
Khalifah Uthman banyak melakukan perluasan kuasa terhadap beberapa buah negara dalam usahanya
menyebarkan Islam, ini dapat dilihat pada keluasan empayar Islam yang dapat mengatasi keluasan empayar
Rom Timur dan juga empayar Parsi pada zaman kegemilangan mereka. Antara wilayah baru yang telah berjaya
ditakluki ialah Cyprus, Afganistan, Samarqand, Libya, Algeria, Tunisia, Morocco dan beberapa buah negara lagi.
Beliau juga bertanggungjawab dalam menubuhkan angkatan tentera laut Islam yang pertama bagi menjamin
keselamatan dan melakukan perluasan kuasa. Banyak negara-negara yang telah dibuka melalui angkatan
tentera ini.

2. Melakukan Pembukuan Al-Quran


Perluasan kuasa telah menyebabkan penyebaran Islam terjadi secara meluas. Apabila ramainya orang-orang
yang memeluk Islam sudah tentu banyaknya perbezaan antara sesuatu wilayah dengan wilayah yang lain dari
segi mereka mempelajari Islam. Apa yang paling ketara sekali ialah dalam masalah mereka mempelajari al-
Quran. Banyak terdapatnya perbezaan bacaan yang membawa kepada salah bacaan antara satu tempat
dengan tempat yang lain. Dengan keadaan ini banyak terjadinya salah faham dan saling tuduh menuduh
sesama orang Islam dalam menyatakan siapakah yang betul pembacaannya.

Oleh itu Khalifah Uthman telah mengadakan satu naskhah al-Quran yang baru yang mana ianya digunakan
secara rasmi untuk seluruh umat Islam. Khalifah Uthman telah menggunakan lahjah Bahasa Quraish dan yang
mana al-Quran yang berbeza telah dibakar. Al-Quran inilah yang digunakan hingga kehari ini yang mana ianya
dikenali dengan nama Mushaf Uthmani. Langkah-langkah ini bertujuan untuk menjamin kesucian al-Quran
sebagai sumber perundangan Islam.

3. Beliau Telah Membesarkan Masjid Nabawi


Masjid Nabawi telah menjadi padat kerana dipenuhi dengan jemaah yang semakin ramai, Oleh itu Khalifah
Uthman telah membesarkan masjid tersebut dengan membeli tanah bagi memperluaskan kawasan tersebut.
Masjid tersebut telah diluaskan pada tahun 29 Hijrah.

4. Usaha Khalifah Uthman Dalam Menyebarkan Dakwah Islam


Khalifah Uthman sering berdakwah di penjara dan beliau berjaya mengislamkan ramai banduan. Beliau juga
banyak mengajar hukum-hukum Islam kepada rakyatnya. Ramai pendakwah telah dihantar keserata negeri
bagi memperluaskan ajaran Islam. Beliau juga telah melantik ramai pengajar hukum Islam dan juga melantik
petugas khas yang membetulkan saf-saf sembahyang. Beliau juga banyak menggunakan al-Quran dan as-Sunah
dalam menjalankan hukum-hukum.

Al-Fitnah al-Kubra (Zaman Fitnah)


Pada akhir tahun 34 Hijrah, pemerintahan Islam dilanda fitnah. Sasaran fitnah tersebut adalah Saidina Uthman
ra hingga mengakibatkan beliau terbunuh pada tahun berikutnya.
Fitnah yang keji datang dari Mesir berupa tuduhan-tuduhan palsu yang dibawa oleh orang-orang yang datang
hendak umrah pada bulan Rajab.

Saidina Ali bin Abi Thalib ra bermati-matian membela Saidina Uthman dan menyangkal tuduhan mereka.
Saidina Ali menanyakan keluhan dan tuduhan mereka, yang segera dijawab oleh mereka, “Uthman telah
membakar mushaf-mushaf, shalat tidak diqasar sewaktu di Makkah, mengkhususkan sumber air untuk
kepentingan dirinya sendiri dan mengangkat pejabat dari kalangan generasi muda. la juga mengutamakan
segala fasilitas untuk Bani Umayyah (golongannya) melebihi orang lain.”

Pada hari Jumaat, Saidina Uthman berkhutbah dan mengangkat tangannya seraya berkata, “Ya Allah, aku
beristighfar dan bertaubat kepadaMu. Aku bertaubat atas perbuatanku.”
Saidina Ali ra menjawab, “Mushaf-mushaf yang dibakar ialah yang mengandungi perselisihan dan yang ada
sekarang ini adalah yang disepakati bersama keshahihannya. Adapun shalat yang tidak diqasar sewaktu di
Makkah, adalah kerana dia berkeluarga di Makkah dan dia berniat untuk tinggal di sana. Oleh kerana itu
shalatnya tidak diqasar. Adapun sumber air yang dikhususkan itu adalah untuk ternak sedekah sehingga
mereka besar, bukan untuk ternak unta dan domba miliknya sendiri. Umar juga pernah melakukan ini
sebelumnya. Adapun mengangkat pejabat dari generasi muda, hal ini dilakukan semata-mata kerana mereka
mempunyai kemampuan dalam bidang-bidang tersebut. Rasulullah SAW juga pernah melakukan ini hal yang
demikian. Adapun beliau mengutamakan kaumnya, Bani Umayyah, kerana Rasulullah sendiri mendahulukan
kaum Quraish daripada bani lainnya. Demi Allah seandainya kunci syurga ada di tanganku, aku akan
memasukkan Bani Umayyah ke syurga.”

Setelah mendengar penjelasan Ali ra, umat Islam pulang dengan rasa puas. Tetapi para peniup fitnah terus
melancarkan fitnah dan merencanakan makar jahat mereka. Di antara mereka ada yang menyebarkan tulisan
dengan tanda tangan palsu dari pada sababat termuka yang menjelek-jelekkan Uthman. Mereka juga
menuntut agar Uthman dibunuh.

Fitnah kejipun terus menjalar dengan kejamnya, sebahagian besar umat termakan fitnah tersebut hingga
terjadinya pembunuhan atas dirinya, setelah sebelumnya terkepung selama satu bulan di rumahnya. Peristiwa
inilah yang disebut dengan “Al-Fitnah al-Kubra” yang pertama, sehingga merobek persatuan umat Islam.
Saidina Uthman ra telah mati dibunuh oleh pemberontak-pemberontak yang mengepung rumahnya pada
tahun 35 Hijrah, bersamaan dengan tahun 656 Masihi. Pemerintahannya memakan masa selama 12 tahun,
yang mana ianya merupakan pemerintah yang paling lama dalam pemerintahan Khulafa’ ar-Rasyidin.

4.Khalifah Ali bin Abu Thalib ra (Khalifah Keempat, Singa Allah Yang Dimuliakan Wajahnya Oleh Allah)

Ketika Khalifah Uthman bin Affan ra wafat, warga Madinah dan tiga pasukan dari Mesir, Basrah dan Kufah
bersepakat memilih Ali bin Abu Thalib sebagai khalifah baru. Menurut riwayat, Ali sempat menolak
penunjukan itu. Namun semua mendesak beliau untuk memimpin umat. Pembaiatan Ali pun berlangsung di
Masjid Nabawi.

Nama beliau sebenarnya ialah Ali bin Abi Talib bin Abdul Mutalib bin Hasyim bin Abdul Manaf. Beliau
dilahirkan pada tahun 602 M atau 10 tahun sebelum kelahiran Islam. Usianya 32 tahun lebih muda dari
Rasulullah SAW. Saidina Ali merupakan sepupu dan merupakan menantu Baginda SAW melalui pernikahannya
Fatimah. Beliau adalah orang pertama yang memeluk Islam dari kalangan kanak-kanak. Beliau telah dididik di
rumah Rasulullah dan ini menyebabkan beliau mempunyai jiwa yang bersih dan tidak dikotori dengan naluri
Jahiliyah.

Saidina Ali adalah salah seorang sahabat paling dekat dengan Rasul. Sewaktu kecil, Nabi Muhammad SAW
diasuh oleh Abu Thalib, pamannya yang juga ayah kepada Saidina Ali. Setelah berumah tangga dan melihat
Abu Thalib hidup kekurangan, Nabi Muhammad SAW memelihara Ali di rumahnya. Ali dan Zaid bin Haritsah –
anak angkat Nabi Muhammad SAW, adalah orang pertama yang memeluk Islam setelah Khadijah. Mereka
selalu shalat berjamaah.

Kecerdasan dan keberanian Ali sangat menonjol dalam lingkungan Quraisy. Saat masih kanak-kanak, beliau
telah menentang tokoh-tokoh Quraisy yang mencemuh Nabi Muhammad SAW. Ketika Nabi Muhammad SAW
berhijrah dan kaum Quraisy telah menghunus pedang untuk membunuhnya, Ali tidur di tempat tidur Nabi
Muhammad SAW serta mengenakan mantel yang dipakai oleh Rasulullah.

Di medan perang, beliau adalah ahli tempur yang sangat disegani. Baik di perang Badar, Uhud hingga Khandaq.
Namanya semakin sering dipuji setelah beliau berhasil menjebol gerbang benteng Khaibar yang menjadi
pertahanan terakhir Yahudi. Menjelang Rasul menunaikan ibadah haji, Ali ditugasi untuk melaksanakan misi
ketenteraan ke Yaman dan dilakukannya dengan baik.

Mengenai kecerdasannya, Nabi Muhammad SAW pernah memuji Ali dengan kata-kata: “Saya adalah ibukota
ilmu dan Ali adalah gerbangnya.” Kefasihan bicara Ali dipuji oleh banyak kalangan. Rasul SAW kemudiannya
menikahkan Ali dengan puteri bongsunya, Fatimah Az-Zahra. Setelah Fatimah Az-Zahra wafat, Ali menikah
dengan Ashma’, janda yang dua kali ditinggal mati suaminya, yakni Ja’far bin Abu Thalib dan Khalifah Abu
Bakar.

Sebagai khalifah, beliau mewarisi pemerintahan yang sangat kacau. Juga ketegangan politik akibat
pembunuhan Uthman. Keluarga Umayyah menguasai hampir semua kerusi pemerintahan. Dari 20 gabenor
yang ada, hanya Gabenor Iraq iaitu Abu Musa Al-Asyari saja yang bukan dari keluarga Umayyah. Mereka
menuntut Ali untuk mengadili pembunuh Khalifah Uthman. Tuntutan demikian juga banyak diajukan oleh
tokoh lainnya seperti Saidatina Aisyah rha, juga Zubair dan Thalhah – dua orang pertama yang masuk Islam
seperti Ali.

Kesan dari kematian Khalifah Uthman adalah amat sulit bagi Khalifah Ali untuk menyelesaikan terutamanya
dalam masalah menjalankan pentadbiran. Untuk melicinkan pentadbiran, Khalifah Ali telah memecat jawatan
pegawai-pegawai yang dilantik oleh Khalifah Uthman yang terdiri dari kalangan Bani Umayyah. Ini telah
menimbulkan rasa tidak puas hati dikalangan Bani Umayyah.

Beliau juga telah bertindak mengambil kembali tanah-tanah kerajaan yang telah dibahagikan oleh Khalifah
Uthman kepada keluarganya. Ini telah menambahkan lagi semangat kebencian Bani Umayyah terhadap
Khalifah Ali. Oleh itu golongan ini telah menuduh Khalifah Ali terlibat dalam pembunuhan Khalifah Uthman.
Beberapa orang menuding Ali terlalu dekat dengan para pembunuh itu. Ali menyebut pengadilan sulit
dilaksanakan sebelum situasi politik reda. Beliau bermaksud menyatukan negara lebih dahulu. Untuk itu,
beliau mendesak Muawiyyah bin Abu Sufyan – Gabenor Syam, yang juga pimpinan keluarga Umayyah untuk
segera berbaiat kepadanya.

Muawiyyah menolak berbaiat sebelum pembunuh Uthman dihukum. Bahkan Muawwiyah menyiapkan
pasukan dalam jumlah besar untuk menentang Ali. Ali pun siap menggempur Muawiyyah. Sejumlah sahabat
penting seperti Mughairah, Saad bin Abi Waqqas dan Abdullah bin Umar menyarankan kepada Saidina Ali agar
menunda serangan itu. Begitu juga sepupu Ali, Ibnu Abbas. Tapi Ali berkeras, sehingga Ibnu Abbas
mengkritiknya.

Ali segera menyusun pasukan. Beliau berangkat ke Kufah, wilayah yang masyarakatnya menyokong Saidina Ali.
Beliau meninggalkan ibu kota Madinah sepenuhnya, bahkan seterusnya, untuk langsung memimpin perang.
Hal yang tak lazim dilakukan para pemimpin negara. Setahun sudah berlalu, pembunuh Uthman masih belum
dihukum.

Langkah ini makin mengundang kritik dari kelompok Aisyah. Aisyah, Thalhah dan Zubair lalu memimpin 30 ribu
pasukan dari Makkah. Pasukan Ali yang awalnya diarahkan ke Syam terpaksa dibelokkan untuk menghadapi
Aisyah. Terjadilah peristiwa menyedihkan itu, peperangan antara kaum Muslim.

Aisyah memimpin pasukannya dalam tandu tertutup di atas unta. Banyak pasukan juga mengendarai unta.
Maka perang itu disebut Perang Jamal (Unta). Sekitar 10 ribu orang tewas dalam perang sesama Muslim ini.
Aisyah tertawan setelah tandunya penuh dengan anak panah. Zubair tewas dibunuh di Waha Al-Sibak. Thalhah
terluka di kaki dan meninggal di Basra.

Kesempatan ini pun dimanfaatkan oleh Muawiyyah. Beliau menggantungkan jubah Uthman yang berlumur
darah serta potongan jari isteri Uthman, di masjid Damaskus untuk menyudutkan Ali. Muawiyyah berhasil
menarik Amru bin Ash ke pihaknya.
Amru seorang politisi ulung yang sangat disegani. Beliau diiming-imingi menjadi Gabenor Mesir. Abdullah, anak
Amru yang shaleh, menyarankan ayahnya untuk menolak ajakan Muawiyyah. Namun Muhammad – anaknya
yang suka berpolitik -menyarankan Amru mengambil kesempatan. Amru tergoda. Beliau mendukung
Muawiyyah untuk menjadi khalifah tandingan.

Kedua pihak bertempur di Shiffin, hulu Sungai Eufrat di perbatasan Iraq-Syria. Puluhan ribu Muslim tewas. Di
pihak Ali, korban sebanyak 35 ribu manakala di pihak Muawiyyah seramai 45 ribu. Dalam keadaan terdesak,
pihak Muawiyyah bersiasat. Atas usulan Amru, mereka mengikat al-Quran di hujung tombak dan mengajak
untuk “berhukum pada al-Quran” (Majlis Tahkim).

Pihak Ali berpecah. Sebahagian berpendapat, seruan itu harus dihormati. Yang lain menyebut itu hanyalah cara
Muawiyyah untuk menipu dan menghindari kekalahan. Ali tetap mengalah. Kedua pihak berunding. Amru bin
Ash di pihak Muawiyyah, Abu Musa – yang dikenal sebagai seorang shaleh dan tak suka berpolitik – di pihak
Ali. Keduanya sepakat untuk “menurunkan” Ali dan Muawiyyah. Namun Amru kembali mengingkari
kesepakatannya.

Situasi yang tak menentu itu menimbulkan kemarahan Hurkus – komandan pasukan Ali yang berasal dari
keluarga Tamim. Hurkus adalah seorang yang lurus, berwawasan sempit dan keras. Caranya memandang
masalah selalunya “hitam- putih”. Dia menganggap Muawiyyah mahupun Ali telah melanggar hukum Allah.
“Laa hukma illallah (tiada hukum selain Allah),” serunya. Pelanggar hukum Allah boleh dibunuh, demikianlah
pendapatnya.

Kelompok Hurkus segera menguat. Orang-orang menyebut kelompok radikal ini sebagai “Khawarij” (barisan
yang keluar). Mereka menyerang dan bahkan membunuh orang-orang yang berbeza pendapat dengannya.
Pembunuhan berlangsung di beberapa tempat. Mereka berfikir, negara baru akan dapat ditegakkan jika tiga
orang yang dianggap penyebab masalah yakni Ali, Muawiyyah dan Amru dibunuh.

Hujaj bertugas membunuh Muawiyyah di Damaskus, Amru bin Abu Bakar bertugas membunuh Amru bin Ash
di Mesir dan Abdurrahman bertugas membunuh Ali di Kufah. Muawiyyah yang kini hidup dengan pengawalan
ketat seperti seorang raja selamat dari pembunuhan tersebut dan hanya terluka. Amru bin Abu Bakar tersilap
dalam menjalankan tugasnya, beliau membunuh imam yang menggantikan Amru bin Ash. Di Kufah, Saidina Ali
ra sedang berangkat ke masjid ketika diserang dengan pedang. Dua hari kemudian beliau pun wafat. Peristiwa
itu terjadi pada Ramadhan 40 Hijrah bersamaan 661 Masihi.

Berakhirlah model kepemimpinan Islam untuk negara yang dicontohkan Rasulullah SAW. Muawiyyah lalu
menggunakan model “kerajaan”. Ibukota pun dipindah dari Madinah ke Damaskus.

5.Saidina Thalhah bin Ubaidillah ra (Syahid Yang Hidup)

Thalhah bin Ubaidillah berpergian dengan sebuah kafilah Quraisy berniaga ke Syam. Setibanya di Bushra, para
pedagang Quraisy masuk ke pasar yang ramai hendak berjual beli. Lain halnya dengan Thalhah yang muda usia,
pengetahuan dan pengalamannya mengenai perdagangan tidak seperti para pedagang yang tua-tua. Tetapi
pemuda itu pintar dan cerdik, sehingga memungkinkannya untuk berlumba dengan mereka yang tua dan
berpengalaman memperoleh keuntungan dalam berdagang.

Ketika mereka sedang berada dalam pasar yang ramai dengan para pengunjung dari segala tempat, Thalhah
mengalami suatu peristiwa yang mengubah jalan hidupnya secara menyeluruh. Marilah kita dengarkan
Thalhah mengisahkan riwayat hidupnya sendiri.

Kata Thalhah, “Ketika kami berada di pasar Bushra, tiba-tiba seorang pendeta berseru: “Perhatian! Perhatian
bagi kaum pedagang! Adakah di antara tuan-tuan yang berasal dari kota Makkah?”
Kebetulan aku berdiri tidak jauh dari pendeta tersebut. Lalu kuhampiri dia seraya berkata, “Ya, aku penduduk
Makkah!”
‘Sudah munculkah di tengah-tengah kalian orang yang bernama Ahmad?” tanya pendeta kepadaku.
“Ahmad yang mana?” jawabku balik bertanya
“Ahmad Ibnu ‘Abdullah bin ‘Abdul Muththalib. Bulan ini dia pasti muncul. Dia adalah Nabi penutup. Dan dia
akan keluar (hijrah dan mengungsi) dari negerimu Tanah Haram, pindah ke negeri berbatu- batu hitam,
banyak pohon kurma, negeri yang subur makmur memancarkan air dan garam. Sebaiknya Anda segera
menemuinya, hai pemuda!” kata pendeta itu menjelaskan. Berita yang kuterima dari pendeta itu tertanam ke
dalam hatiku. Lalu kuambil unta, dan aku segera pulang kembali ke Makkah. Kafilah aku tinggalkan di belakang,
sampai di Makkah, aku bertanya kepada keluargaku. “Adakah suatu peristiwa yang terjadi di Makkah
sepeninggalku?”
“Ada! jawab mereka. “Muhammad bin ‘Abdullah mengatakan dia Nabi. Putera Abu Quhafah (Abu Bakar
Shiddiq) percaya dan mengikuti apa yang dikatakannya.”
Kata Thalhah, “Ya, aku kenal Abu Bakar. Dia seorang yang lapang dada, penyayang dan lemah lembut. Dia
pedagang yang berbudi tinggi dan berpendirian lurus. Kami berteman baik dengan dia, dan menyukai majlisnya
karena dia ahli sejarah Quraisy dan silsilah keturunan suku itu.” Aku pergi menemui Abu Bakar dan bertanya
kepadanya, “Betulkah berita mengenai Muhammad bin ‘Abdullah, bahwa dia diangkat Nabi, dan Anda menjadi
pengikutnya?”
“Betul!” jawab Abu Bakar. Lalu diceritakannya kepadaku kisah Muhammad menjadi Nabi dan Rasul (sejak
peristiwa di gua Hira’, sampai turunnya ayat pertama). Kemudian diajaknya aku masuk agama baru itu.
Sebaliknya aku ceritakan pula kepadanya peristiwa pertemuanku dengan pendeta Bushra, dan berita yang
disampaikannya kepadaku.
Abu Bakar tercengang mendengar ceritaku. Lalu katanya, “Marilah kita pergi menemui Muhammad. Ceritakan
kepadanya peristiwa yang engkau alami dengan pendeta Bushra itu, dan dengarlah pula apa yang dikatakan
Muhammad tentang agama yang dibawanya, supaya engkau tahu dan memasukinya.”
“Aku pergi bersama Abu Bakar menemui Muhammad, Setelah bertemu dengannya, dia menjelaskan tentang
Islam dan membacakan beberapa ayat Al-Quran kepadaku. Kemudian digembirakannya aku dengan kebaikan
dunia dan akhirat.“ kata Thalhah melanjutkan ceritanya.
Dadaku terasa lapang untuk menerima Islam. Aku ceritakan pula kepadanya pertemuanku dengan pendeta di
Bushra. Beliau sangat gembira mendengar ceritaku, sehingga kegembiraan itu terpancar jelas di wajahnya.
Kemudian aku mengucapkan syahadat di hadapannya, tidak ada Tuhan selain Allah, dan sesungguhnya
Muhammad adalah Rasulullah. Dengan syahadatku itu, maka aku tercatat sebagai orang ke-empat yang
menyatakan Islam di hadapan Abu Bakar.

Peristiwa masuknya pemuda Quraisy ini ke dalam Islam, tak ubahnya bagaikan petir menyambar keluarganya.
Mereka mengeluh, gelisah dan berkeluh kesah. Dan yang paling sedih ialah ibu Thalhah sendiri. Ibunya
mengharapkan Thalhah menjadi pemimpin bagi kaumnya, karena si ibu telah melihat bakat yang terkandung
dalam pribadi anaknya, tinggi dan mulia.

Orang-orang sepersukuan dengan Thalhah berusaha keras mengembalikannya ke dalam agama nenek moyang
mereka, agama berhala. tetapi mereka tidak berhasil, karena pendirian Thalhah amat kokoh dan kuat,
bagaikan gunung karang yang terhunjam dalam perut bumi, tak dapat digoyahkan sedikit jua. Setelah mereka
putus asa membujuk Thalhah dengan cara lemah lembut, akhirnya mereka bertindak kasar dengan menyiksa
dan menyakitinya.

Mas’ud bin Kharasy bercerita, “Pada suatu hari, ketika aku sa’i antara Shafa dan Marwa, aku melihat
sekelompok orang menggiring seorang pemuda dengan tangan terbelenggu ke kuduknya. Orang banyak itu
berlari-lari di belakang pemuda tersebut, sambil mendorongnya, memecut dan memukuli kepalanya. Bersama
orang banyak itu terdapat seorang wanita lanjut usia, meneriaki si pemuda dengan caci makian.
Aku bertanya, “Mengapa pemuda itu?”
Jawab mereka, “Pemuda itu Thalhah bin Ubaidillah. Dia keluar dari kepercayaan nenek moyang, lalu mengikuti
Muhammad anak Bani Hasyim.”
Tanyaku, “Siapa wanita tua itu?”
Jawab mereka, “Ash Sha’bah binti Al Hadhramy, ibu kandung pemuda itu!”

Kemudian, Naufal bin Khuwalid yang dijuluki sebagai “Asadul Quraisy” (Singa Quraisy), berdiri di hadapan
Thalhah dan mengikatnya dengan tali. Kemudian diikatnya pula Abu Bakar Shiddiq. Sesudah itu, kedua-duanya
disatukannya, lalu diserahkannya kepada para jagoan dan tukang pukul kota Makkah, untuk disiksa sesuka hati
mereka. Maka sejak itu, Thalhah dan Abu Bakar digelari orang “Al Qarinain” (Sepasang sahabat yang terikat).
Hari demi hari berjalan terus. Satu peristiwa dan peristiwa yang lain sambung-menyambung. Thalhah bin
Ubaidillah semakin hari semakin dewasa. Cobaan-cobaan yang dialaminya karena mempertaruhkan agama
Allah dan Rasul-Nya tambah meningkat dan semakin besar pula. Tetapi bakti dan perjuangan Thalhah
menegakkan agama Islam dan membela kaum muslimin semakin tumbuh dan tambah meluas. Sehingga kaum
muslimin menggelarinya “Asy Syahidul Hayy” (Syahid yang hidup), dan Rasulullah menjulukinya dengan
“Thalhah Al Khair” (Thalhah yang baik), atau “Thalhah Al Jaud” (Thalhah yang pemurah), dan “Thalhah Al
Fayyadh” (Thalhah yang dermawan).

Setiap nama jolokan itu mempunyai latar belakang kisah sendiri-sendiri, yang masing-masing tidak kalah
penting dari yang lain. Adapun nama jolokan “Asy Syahid Hayy” (Syahid yang hidup), diperolehnya dalam
perang Uhud. Ketika barisan kaum muslimin terpecah belah dan kocar-kacir dari samping Rasulullah, perajurit
muslim yang tinggal di dekat beliau hanya sebelas orang Anshar dan Thalhah bin Ubaidillah dari kaum
Muhajirin. Rasulullah dan orang-orang yang mengawal beliau naik ke sebuah bukit, tetapi beliau dihadang oleh
ratusan kaum musyrikin yang hendak membunuhnya.

Maka bersabda Rasulullah, “Siapa yang berani melawan mereka, maka dia menjadi temanku kelak di syurga.”
“Saya, ya Rasulullah! kata Thalhah.
“Tidak! Jangan engkau! Engkau harus tetap di tempatmu! Rasulullah memerintahkan.
“Saya, ya Rasulullah! kata seorang sahabat Anshar.
“Ya! Engkau!” kata Rasulullah.
Perajurit Anshar itu maju melawan perajurit musyrikin, sehingga perajurit Anshar gugur karena membela
nabinya. Rasulullah terus naik, tetapi dihadang pula oleh tentara musyrikin. Kata Rasulullah, “Siapa yang berani
melawan mereka ini?”
“Saya, ya Rasulullah! kata Thalhah mendahului yang lain-lain.
“Tidak! Jangan engkau! Engkau tetap di tempatmu! “ kata Rasulullah memerintah.
“Saya, ya Rasulullah!” kata seorang perajurit Anshar.
“Ya! Engkau! Maju!” kata Rasulullah.
Perajurit Anshar itu maju melawan tentara musyrikin, sehingga dia gugur pula. Demikianlah seterusnya, setiap
Rasulullah meminta pahlawannya untuk melawan tentara musyrikin, Thalhah selalu memajukan diri, tetapi
senantiasa ditahan oleh Rasulullah dan diperintahkannya tetap di tempat, dan memberi peluang perajurit
Anshar, sehingga sebelas orang perajurit Anshar gugur semuanya menemui syahid. Maka tinggallah Thalhah
seorang.
Kata Rasulullah kepada Thalhah, “Sekarang engkau, hai Thalhah!”
Dalam perang itu, Rasulullah mengalami patah taring kening dan bibirnya luka, sehingga darah mengucur di
muka beliau, dan beliau kepayahan. Karena itu Thalhah menerkam musuhnya dan menghalau mereka sekuat
tenaga, supaya mereka tidak dapat menghampiri Rasulullah. Kemudian Thalhah kembali ke dekat Rasulullah,
lalu dinaikkannya beliau sedikit ke bukit, dan disandarkannya ke tebing. Sesudah itu kembali menyerang
musuh, sehingga dia berhasil menyingkirkan mereka dari Rasulullah.

Kata Abu Bakar, “Saya dan Abu Ubaidillah bin Jarah ketika sedang berada agak jauh dari Rasulullah. Setelah
kami tiba untuk membantu, beliau berkata, “Tinggalkan aku! Bantulah Thalhah, kawan kalian!” Kami dapati
Thalhah berlumuran darah, yang mengalir dari seluruh tubuhnya. Di tubuhnya terdapat tujuh puluh sembilan
luka bekas tebasan pedang, atau tusukan lembing, dan lemparan panah. Pergelangan tangannya putus
sebelah, dan dia terbaring di tanah dalam keadaan pengsan.”

Rasulullah bersabda sesudah itu mengenai Thalhah, “Siapa yang ingin melihat orang berjalan di muka bumi
sesudah mengalami kematiannya, maka lihatlah Thalhah bin Ubaidillah!” Bila orang membicarakan perang
Uhud di hadapan Abu Bakar Shiddiq, maka Abu Bakar berkata, “Perang hari itu adalah peperangan Thalhah
keseluruhannya.”

Begitulah kisahnya, sehingga Thalhah dijuluki “Asy Syahidul Hayy” (Syahid yang hidup). Adapun sebabnya
bergelar “Thalhah Al Khair “ atau “Thalhah Al Jaud”, mengandung seratus satu macam kisah. Akan tetapi kita
nukilkan di sini dua diantaranya.

Thalhah adalah pedagang besar. Pada suatu sore hari dia mendapat untung dari Hadhramaut kira-kira 700 000
dirham. Malamnya dia ketakutan, gelisah dan risau. Maka ditanya oleh istrerinya Ummu Kaltsum binti Abu
Bakar Shiddiq, “Mengapa Anda gelisah, hai Abu Muhammad, Apa kesalahan kami sehingga Anda gelisah?”
Jawab Thalhah, “Tidak! Engkau adalah isteri yang baik dan setia! Tetapi ada yang terfikir olehku sejak semalam,
seperti biasanya pikiran seseorang tertuju kepada Tuhannya bila dia tidur, sedangkan harta ini bertumpuk di
rumahnya.”
Jawab isterinya, Ummu Kalthum, “Mengapa Anda begitu risau memikirkannya. Bukankah kaum Anda banyak
yang membutuhkan pertolongan Anda. Besok pagi bagi-bagikan wang itu kepada mereka.”
Kata Thalhah, “Rahimakillah. (Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadamu!). Engkau wanita beroleh
taufiq, anak orang yang selalu diberi taufiq oleh Allah.” Pagi-pagi, dimasukkannya wang itu ke dalam pundi-
pundi besar dan kecil, lalu dibagi-bagikannya kepada fakir miskin kaum Muhajirin dan kaum Anshar.

Diceritakanya pula, seorang laki-laki pernah datang kepada Thalhah bin Ubaidillah meminta bantuannya. Hati
Thalhah tergugah oleh rasa kasihan terhadap orang itu. Lalu katanya, “Aku mempunyai sebidang tanah
pemberian Uthman bin ‘Affan kepadaku, seharga tiga ratus ribu. Jika engkau suka, ambilah tanah itu, atau aku
beli kepadamu tiga ratus ribu dirham.”
Kata orang itu, “Biarlah aku terima wangnya saja.” Thalhah memberikan kepadanya wang sejumlah tiga ratus
ribu.

Sewaktu terjadi Perang Jamal, Thalhah bertemu dengan Saidina Ali ra dan Saidina Ali memperingatkan agar
beliau mundur ke barisan paling belakang. Sebuah panah mengenai betisnya, maka beliau segera dipindahkan
ke Basrah dan tidak berapa lama kemudian karena lukanya yang cukup dalam beliau pun wafat. Thalhah wafat
pada usia 60 tahun dan dikubur di suatu tempat dekat padang rumput di Basrah.

Rasulullah pernah berkata kepada para sahabat radhiallahu ‘anhum, “Orang ini termasuk yang gugur dan
barang siapa senang melihat seorang syahid berjalan di atas bumi, maka lihatlah Thalhah.
Hal itu juga dikatakan Allah SWT dalam firmanNya: “Di antara orang-orang mukmin itu ada orang -orang yang
menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah, maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara
mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak merubah janjinya.” (Al-Ahzaab: 23)

6.Saidina Zubayr ibn al-Awwam ra (Perajurit Allah Pengiring Rasulullah)

Antara Thalhah dan Zubayr adalah dua serangkai. Bila yang seorang disebut maka yang kedua pun disebut.
Mereka sama-sama beriman pada tahun yang sama dan wafat dalam tahun yang sama pula. Kedua-duanya
tergolong dalam sepuluh orang yang “mubasyarin bil jannah”.

Zubayr masuk Islam dalam usia lima belas tahun dan ia hijrah dalam usia delapan belas tahun sesudah
menderita penganiayaan dan siksaan bertubi-tubi karena mempertahankan keimanannya. Pamannya
sendirilah yang menyiksanya. Zubayr digulung ke dalam tikar, lalu kakinya digantung diatas dan dibawah
kepalanya ditaruh api yang membara. Pamannya berkata, “Kembali kamu kepada penyembahan berhala !”
Tapi Zubayr menjawab, “Saya tidak akan kembali kafir lagi sama sekali.”

Ibnu Asakir telah mengeluarkan dari Said bin Al-Musaiyib, dia berkata: Orang pertama yang menghunus
pedangnya fisabilillah ialah Zubayr bin Al-Awwam ra. Pada suatu hari, sedang dia sibuk dengan kerjanya, tiba-
tiba terdengar olehnya desas-desus bahwa Rasulullah SAW telah dibunuh orang.

Zubayr tidak membuang waktu lagi, lalu mengambil pedangnya keluar mencari-cari sumber berita itu. Di
tengah jalan dia bertemu dengan Rasulullah SAW sedang berjalan, wajahnya tertegun. Rasulullah SAW lalu
bertanya: “Mengapa engkau wahai Zubayr, terkejut?”
Jawabnya: “Aku dengar berita, bahwa engkau telah dibunuh orang!” Rasulullah SAW juga terkejut, lalu
berkata: “Kalau aku dibunuh orang, maka apa yang hendak engkau buat?” Jawab Zubayr: “Aku akan
menentang semua orang Makkah, karena itu!” Rasulullah SAW lalu mendoakan segala yang baik-baik baginya.
Ibnu Asakir dan Abu Nuaim memberitakan dari Urwah bahwa Zubayr bin Al-Awwam pernah mendengar
bisikan syaitan yang mengatakan bahwa Muhammad SAW telah dibunuh dan ketika itu Zubayr baru saja
berusia dua belas tahun. Zubayr lalu mengambil pedangnya, dan berkeliaran di lorong-lorong Makkah mencari
Nabi SAW yang ketika itu berada di daerah tinggi Makkah, sedang di tangan Zubayr pedang yang terhunus.

Apabila dia bertemu dengan Nabi SAW, Baginda bertanya: “Kenapa engkau dengan pedang yang terhunus itu
hai Zubayr?” Beliau menjawab: “Aku dengar engkau dibunuh orang Makkah.”
Rasulullah SAW tersenyum, lalu bertanya lagi: “Apa yang hendak engkau perbuat, jika aku terbunuh?” Maka
jawab Zubayr: “Aku akan menuntut balas akan darahmu kepada siapa yang membunuhmu!”
Rasulullah SAW lalu mendoakan bagi Zubayr dan bagi pedangnya, kemudian menyuruhnya kembali saja. Maka
itu dianggap sebagai pedang pertama yang terhunus fisabilillah. (Kanzul Ummal 5:69; Al-Ishabah 1:545)
Zubayr adalah prajurit dakwah yang menyandang senjata untuk melawan orang-orang yang menghendaki
gugurnya dakwah Islamiah selagi dalam kandungan. Kepahlawanannya telah tampak pertama kali pada waktu
perang Badar. Dalam peperangan itu, pasukan Quraisy menempatkan pendekarnya di barisan paling hadapan
yang dipimpin oleh Ubaidah bin Said Ibnul Aash. Beliau dikenal sebagai seorang yang paling berani, paling
pandai dalam menunggang kuda dan paling kejam terhadap lawan. Kaum Quraisy sengaja menempatkannya di
barisan terdepan untuk menentang pahlawan-pahlawan berkuda kaum muslimin.

Zubayr segera memandang ke arah Ubaidah. Ternyata seluruh tubuhnya berbalut senjata (baju besi) sehingga
sulit ditembus dengan senjata. Yang tampak dari Ubaidah hanya kedua matanya saja. Zubayr berpikir
bagaimana caranya mengalahkan musuhnya yang berbaju besi itu dan ia menemukan cara yang jitu. Setelah
siap, Zubayr terjun kemedan tempur dan terjadilah perang tanding yang seru sekali.

Dalam dua kali putaran Zubayr mengarahkan lembingnya ke mata Ubaidah dan berhasil menusuk kedua mata
itu sampai ke belakang kepalanya. Ubaidah, pendekar Quraisy itu berteriak dan jatuh tersungkur tanpa gerak.
Menyaksikan terbunuhnya Ubaidah yang tragis ini, barisan kaum musyrikin ketakutan. Lembing milik Zubayr
kemudian diminta oleh Rasulullah SAW. Lembing itu kemudian berada di tangan Abu Bakar, Umar, Uthman, Ali
dan Abdullah ibnu Zubayr meminta lembing itu untuk disimpannya. Terbunuhnya pendekar Quraisy Ubaidah
menambah semangat juang Umat Islam dalam setiap peperangan dan mereka selalu dapat memenangkannya.
Yunus menyebut dari Ibnu Ishak, bahwa Talhah bin Abu Talhah Al-Abdari, pembawa bendera kaum Musyrikin
pada hari Uhud telah mengajak perang tanding, tetapi tiada seorang pun yang mau keluar menemuinya. Maka
Zubayr bin Al-Awwam ra keluar untuk menghadapinya.

Mereka berdua bertarung sampai Zubayr melompat ke atas untanya, dan menariknya jatuh ke atas tanah, dan
di situ dia bertarung dengan Talhah, sehingga akhirnya Zubayr dapat mengalahkan Talhah dan membunuhnya
dengan pedangnya. Lantaran itu Rasulullah SAW telah berkata: “Tiap-tiap Nabi ada pengiringnya, dan
pengiringku ialah Zubayr.” Kemudian Baginda berkata lagi: “Kalau Zubayr tidak keluar melawannya, nescaya
aku sendiri yang akan keluar dan melawannya, karena melihat banyak orang yang tidak sanggup
melawannya.2 (Al-Bidayah Wan-Nihayah 4:20)

Yunus memberitakan lagi dari Ibnu Ishak yang berkata: Pada hari pertempuran Khandak, telah keluar Naufal
bin Abdullah bin Al-Mughirah Al-Makhzumi seraya mengajak untuk lawan tanding. Maka segera keluar
menghadapinya Zubayr bin Al-Awwam ra. dan melawannya sehingga dia dapat membelah tubuh musuhnya
menjadi dua, sehingga pedangnya menjadi tumpul. (Al-Bidayah Wan-Nihayah 4:107)
Ibnu Jarir telah mengeluarkan dari Asma binti Abu Bakar ra, bahawa beliau berkata:

Telah datang seorang Musyrik yang lengkap dengan senjatanya, dia lalu mendaki di sebuah tempat yang tinggi,
seraya berteriak: “Siapa yang mau bertanding dengan aku!” Rasulullah SAW berkata kepada seseorang di situ:
“Boleh engkau bertanding dengan dia?” Jawab orang itu: “Jika engkau suruh, hai Rasulullah!”
Maka tiba-tiba Zubayr menjengukkan dirinya, maka dia dilihat oleh Rasulullah SAW seraya berkata kepadanya:
“Hai putera Shafiyah! Bangun menghadapinya!” Zubayr ra segera mendatangi musuh itu dan mendaki bukit
hingga tiba di puncaknya. Mereka lalu berduel, sehingga kedua-duanya berguling-guling dari atas bukit itu.
Lalu Rasulullah SAW yang dari tadi melihat peristiwa itu, berkata: “Siapa yang tersungkur ke bawah bukit itu,
dialah yang akan mati.” Maka masing-masing Nabi SAW dan kaum Muslimin mendoakan supaya yang jatuh
dahulu itu si kafir. Maka benarlah si kafir itu yang jatuh dulu, manakala Zubayr jatuh ke atas dadanya, lalu si
kafir itu mati. (Kanzul Ummal 5:69)

Baihaqi memberitakan dari Abdullah bin Zubayr ra, beliau berkata: Pada hari pertempuran Khandak, aku masih
kecil dan aku dikumpulkan dengan kaum wanita dan anak-anak kecil di tempat yang tinggi, dan bersama kami
ialah Umar bin Abu Salamah. Kerap Umar membenarkan aku menaiki bahunya untuk melihat apa yang terjadi
di bawah sana. Aku melihat ayahku mengayunkan pedangnya ke kanan dan ke kiri, pendek kata siapa saja yang
coba mendekatinya, dihabisinya dengan pedangnya.

Pada waktu petang, datang ayahku ke tempat kami untuk menjenguk, lalu aku berkata kepadanya: “Ayah! Aku
lihat engkau berperang pada hari ini, dan apa yang engkau lakukan tadi!” Ayahku menjawab: “Engkau lihat apa
yang ayah buat, duhai anakku?” Jawabku: “Ya.” Dia lalu berkata lagi: “Aku lakukan untuk mempertahankanmu,
demi ayah dan ibuku!” (Al-Bidayah Wan-Nihayah 4:107)
Bukhari telah mengeluarkan dari Urwah ra bahwa para sahabat Rasulullah SAW berkata kepada Zubayr ra pada
hari pertempuran di Yarmuk: “Pimpinlah kami untuk menerobos barisan musuh, kami akan ikut di
belakangmu!” Zubayr menjawab: “Nanti kalau aku menggempur mereka, kamu akan duduk di belakang saja.”
Jawab mereka: “Tidak, kami akan sama-sama menggempur!” Maka Zubayr pun menerobosi barisan musuh
serta menggempur mereka, dan tidak ada seorang pun bersamanya ketika itu, lalu dia kembali lagi ke
barisannya, sedang lehernya penuh luka-luka oleh pukulan musuh. Ada dua bekas luka di situ, yang satu adalah
dari bekas kena pukulan di hari Badar.

Berkata Urwah ra: “Aku pernah memainkan tempat bekas luka itu ketika aku kecil, dan ketika itu Abdullah juga
masih kecil, umurnya sepuluh tahun, lalu ayah kami Zubayr mengajaknya naik di atas kuda, kemudian
diserahkannya kepada orang lain.” (Al-Bidayah Wan-Nihayah 7:11)

Rasulullah SAW merasa bangga terhadap Zubayr, dan ia bersabda : “Setiap nabi mempunyai pengikut
pendamping yang setia (Hawari) dan hawariku adalah Zubayr ibnul Awwam.” Kecintaan Rasulullah SAW
kepada Zubayr bukan hanya disebabkan ia anak bibi Rasulullah SAW, tetapi karena Zubayr memang seorang
pemuda yang setia, ikhlas, jujur, kuat, berani,murah tangan dan telah menjual diri dan hartanya kepada ALLAH.
Dia adalah seorang pengelola perdagangan yang berhasil dan hartawan, tapi hartanya selalu diinfakan untuk
perjuangan Islam.

Bila diserukan “Hayo berjihad fi Sabilillah”, maka ia akan segera menjadi orang pertama yang datang
menyambut seruan itu. Oleh karena itulah Zubayr selalu mengikuti seluruh peperangan bersama Rasulullah
SAW. Selama hidupnya ia tidak pernah tinggal berjihad. Ketika kaum muslimin mengepung perbentengan bani
Quraidah yang kokoh dan sulit dikuasai, Zubayr bersama Ali bin Abi Thalib menyerbu dengan memanjat
benteng itu sehingga kaum muslimin dapat memasuki dan menguasai benteng tersebut.

Begitu pula kesigapan Zubayr dalam menyambut seruan jihad pada perang Ahzaab dan peperangan lainnya
sehingga bila Rasulullah SAW melihatnya, Beliau tersenyum ridho dan gembira, seraya bersabda: “Tiap nabi
mempunyai kawan dan pembela setia (Hawari) dan di antara hawariku adalah Zubayr.” Zubayr tercatat dalam
rombongan yang pernah hijrah ke negeri Habasyah sebelum hijrah ke Madinah.

Ketika Amru Ibnul Aash meminta bala bantuan tentara kepada Amirul Mukminin, Umar Ibnul Khattab untuk
memperkuat pasukan memasuki negeri Mesir dan mengalahkan tentara Romawi yang kala itu menduduki
Mesir, Saidina Umar ra mengirim empat ribu prajurit yang dipimpin oleh empat orang komandan dan ia juga
menulis surat yang isinya:

“Aku mengirim empat ribu prajurit bala bantuan yang dipimpin empat orang sahabat yang terkemuka dan
masing-masing bernilai seribu orang. Tahukah anda siapa empat orang komandan itu? Mereka adalah Zubayr
Ibnul Awwam, Ubadah Ibnu Assamit, Almiqdaad Ibnul Aswad dan Maslamah bin Mukhallid.”

Ketika menghadapi benteng Babylon, kaum muslimin sukar membuka dan menguasainya. Zubayr ra memanjati
dinding benteng dengan tangga. Lalu ia berseru “Allahu Akbar” dan disambut dengan kalimat tahuid oleh
pasukan yang berada di luar benteng. Hal ini membuat pasukan musuh gentar, panik dan meninggalkan pos-
pos pertahanan mereka sehingga Zubayr dan kawan-kawannya bergegas membuka pintu gerbang maka
tercapailah kemenangan yang gilang gemilang pada kaum Muslimin.

Ketika terjadinya Perang Jamal antara pasukan yang dipimpin Saiditina Aisyah ra dengan pasukan Ali ra, Zubayr
bertemu dengan Ali dan menyatakan dirinya tidak lagi memihak dan akan berusaha mendamaikan kedua
pasukan itu. Setelah itu maka beliau pun pergi. Tetapi beliau diikuti oleh beberapa orang yang menginginkan
berlanjutnya fitnah dan perang. Zubayr ditikam ketika sedang menghadap Allah (dalam keadaan menunaikan
shalat). Moga Allah merahmati rohnya dan roh para sahabat radhiallahu ‘anhum.

7.Saidina Abdurrahman bin ‘Auf ra (Saudagar Yang Berniaga Dengan Allah)

Saidina Abdurrahman bin ‘Auf ra termasuk dalam kelompok delapan orang yang mula-mula memeluk Islam;
termasuk dalam kelompok sepuluh yang diberi khabar gembira oleh Rasulullah SAW masuk syurga; termasuk
enam orang sahabat yang bermusyawarah (sebagai formatur) dalam pemilihan khalifah sesudah ‘Umar bin
Khattab al-Faruq; dan seorang mufti yang dipercayai Rasulullah berfatwa di Madinah selagi beliau masih hidup
di tengah-tengah masyarakat kaum muslimin.

Namanya pada masa jahiliyah ialah ‘Abd ‘Amr. Setelah masuk Islam, Rasulullah memanggilnya Abdurrahman.
Itulah beliau Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu. Abdurrahman bin ‘Auf masuk Islam sebelum Rasulullah
masuk ke rumah Al-Arqam, yaitu dua hari sesudah Abu Bakar Shiddiq masuk Islam.

Sama halnya dengan kelompok kaum muslimin yang pertama-tama masuk Islam, Abdurrahman pun tidak luput
dari penyiksaan dan tekanan kaum kafir Quraisy. Tetapi beliau sabar dan tetap sabar. Pendiriannya teguh dan
senantiasa teguh. Beliau menghindar dari kekejaman kaum kafir Quraisy, tetapi selalu setia dan patuh
membenarkan risalah Muhammad SAW. Kemudian beliau turut berhijrah ke Habsyah bersama-sama kawan se-
iman untuk menyelamatkan diri dan agama dari tekanan kaum kafir Quraisy yang senantiasa menzalimi
mereka.

Tatkala Rasulullah SAW dan para sahabat beliau diizinkan Allah berhijrah ke Madinah, Abdurrahman menjadi
pelopor orang-orang yang berhijrah karena dan untuk Allah dan Rasul-Nya. Dalam perantauan, Rasulullah
mempersaudarakan orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar. Maka Abdurrahman bin Auf
dipersaudarakan beliau dengan Sa’ad ibnu Rabi’ al Anshari ra.

Pada suatu hari Sa’ad berkata kepada saudaranya, “Wahai saudaraku Abdurrahman! Aku termasuk orang kaya
di antara penduduk Madinah. Hartaku banyak. Saya mempunyai dua bidang kebun yang luas dan dua orang
pembantu. Pilihlah olehmu salah satu di antara kedua kebunku itu, ku berikan kepadamu mana yang kamu
sukai. Begitu pula salah seorang di antara kedua orang pembantuku, akan ku serahkan mana yang kamu
senangi, kemudian aku kawinkan engkau dengan beliau.”
Jawab Abdurrahman bin ‘Auf, “Semoga Allah melimpahkan berkah-Nya kepada saudara, kepada keluarga
saudara, dan kepada harta saudara. Saya hanya akan minta tolong kepada saudara untuk menunjukkan di
mana letaknya pasar Madinah ini.”
Sa’ad menunjukkan pasar tempat berjual beli kepada Abdurrahman. Maka mulailah Abdurrahman berniaga di
sana. Belum berapa lama beliau berdagang, terkumpullah wang sekadar cukup untuk mahar kahwin. Beliau
datang kepada Rasulullah memakai harum-haruman. Beliau menyambut kedatangan Abdurrahman seraya
berkata,
“Wah. Alangkah wanginya kamu, hai Abdurrahman.”
Kata Abdurrahman, “Saya hendak bernikah, ya Rasulullah.”
Tanya Rasulullah, “Apakah mahar yang kamu berikan kepada istrimu?”
Jawab Abdurrahman, “Emas seberat biji kurma.”
Sabda Rasulullah, “Adakan kenduri, walau hanya dengan menyembelih seekor kambing. Semoga Allah
memberkati pernikahan dan harta kamu.”
Kata Abdurrahman, “Sejak itu dunia datang menghadap kepadaku (hidupku makmur dan bahagia). Hingga
seandainya aku angkat sebuah batu, maka di bawahnya kudapati emas dan perak.”

Dalam Perang Badar Abdurrahman turut berjihad fisabilillah, dan beliau berhasil menewaskan musuh-musuh
Allah, antaranya ialah ‘Umair bin Uthman bin Ka’ab at-Taimy. Dalam perang Uhud beliau tetap teguh bertahan
di samping Rasulullah, ketika tentara muslimin banyak yang meninggalkan barisan hadapan. Ketika selesai
perang, dan kaum muslimin keluar sebagai pemenang, Abdurrahman mendapat hadiah sembilan luka parah
menganga di tubuhnya, dan dua puluh luka-luka kecil. Walaupun luka kecil, namun di antaranya ada yang
sedalam anak jari. Sungguh pun begitu, perjuangan dan pengorbanan Abdurrahman di medan tempur jauh
lebih kecil bila dibandingkan dengan perjuangan dan pengorbanannya dengan harta benda.

Pada suatu hari Rasulullah SAW berpidato membangkitkan semangat jihad dan pengorbanan kaum muslimin.
Beliau berdiri di tengah-tengah para sahabat. Kata beliau antara lain, “Bershadaqahlah tuan-tuan! Saya hendak
mengirim suatu pasukan ke medan perang.”
Mendengar ucapan Rasulullah tersebut, Abdurrahman bergegas pulang ke rumahnya dan cepat kembali ke
hadapan Rasulullah di tengah-tengah kaum muslimin. Katanya, “Ya, Rasulullah! Saya mempunyai wang empat
ribu. Dua ribu saya pinjamkan kepada Allah, dan dua ribu saya tinggalkan untuk keluarga saya.” Lalu wang yang
dibawanya dari rumah diserahkannya kepada Rasulullah dua ribu.
Sabda Rasulullah, “Semoga Allah melimpahkan berkat-Nya kepadamu, terhadap harta yang kamu berikan, dan
semoga Allah memberkati pula harta yang kamu tinggalkan untuk keluargamu.”
Ketika Rasulullah bersiap untuk menghadapi Perang Tabuk beliau membutuhkan jumlah dana dan tentara yang
tidak sedikit, karena jumlah tentara musuh, yaitu tentara Rum sangat banyak. Di samping itu di Madinah
tengah mengalami musim panas. Perjalanan ke Tabuk sangat jauh dan sulit. Dana yang tersedia hanya sedikit.
Begitu pula hewan kendaraan tidak mencukupi.

Banyak di antara kaum muslimin yang kecewa sedih karena ditolak Rasulullah menjadi tentera yang akan turut
berperang. Sebab kenderaan untuk mereka tidak mencukupi. Mereka yang ditolak itu pulang kembali dengan
air mata bercucuran kesedihan, karena mereka tidak mempunyai apa-apa untuk disumbangkannya. Mereka
yang tidak diterima itu terkenal dengan nama “Al-Bakkaain” (orang yang menangis). Dan pasukan yang
berangkat terkenal dengan sebutan “ Jaisyul ‘Usrah” (pasukan susah).

Karena itu Rasulullah memerintahkan kaum muslimin mengorbankan harta benda mereka untuk berjihad
fisabilillah. Dengan patuh dan setia kaum muslimin memperkenankan seruan Nabi yang mulia. Abdurrahman
turut mempelopori dengan menyerahkan dua ratus uqiyah emas. Maka kata ‘Umar bin Khattab berbisik
kepada Rasulullah, “Agaknya Abdurrahman berdosa, tidak meninggali wang belanja sedikit juga untuk
isterinya.”

Rasulullah bertanya kepada Abdurrahman, “Adakah engkau tinggalkan untuk wang belanja isterimu?”
Jawab Abdurrahman, “Ada! Mereka saya tinggali lebih banyak dan lebih baik daripada yang saya sumbangkan.”
Tanya Rasulullah, Berapa?”
Jawab Abdurrahman, “Sebanyak rezeki, kebaikan, dan upah yang dijanjikan Allah.”
Pasukan muslimin berangkat ke Tabuk. Allah memuliakan Abdurrahman dengan kemuliaan yang belum pernah
diperoleh kaum muslimin seorang jua pun, yaitu ketika waktu shalat sudah masuk. Rasulullah terlambat hadir.
Maka Abdurrahman menjadi imam shalat berjamaah bagi kaum muslimin waktu itu. Setelah hampir selesai
rakaat pertama, Rasulullah tiba, lalu beliau shalat di belakang Abdurrahman dan mengikuti sebagai makmum.
Apakah lagi yang lebih mulia dan utama dari menjadi Imam bagi pemimpin umat dan pemimpin para Nabi,
yaitu Muhammad Rasulullah SAW.

Setelah Rasulullah SAW wafat, Abdurrahman bin ‘Auf bertugas menjaga kesejahteraan dan keselamatan
Ummahatul Mu’min (para istri Rasulullah). Beliau bertanggungjawab memenuhi segala kebutuhan mereka dan
mengadakan pengawalan bagi ibu-ibu yang mulia itu bila bepergian. Apabila para ibu tersebut pergi haji,
Abdurrahman turut pula bersama-sama mereka. Beliau yang menaikkan dan menurunkan para ibu itu ke atas
haudaj (penutup) khusus mereka. Itulah salah satu bidang khusus yang ditangani Abdurrahman. Beliau pantas
bangga dan bahagia dengan tugas dan kepercayaan yang dilimpahkan para ibu orang-orang mukmin
kepadanya.

Salah satu bukti yang dibaktikan Abdurrahman kepada ibu-ibu yang mulia, ia pernah membeli sebidang tanah
berharga empat ribu dinar. Lalu tanah itu dibagi-bagikannya kepada fakir miskin Bani Zuhrah, dan kepada para
ibu-ibu orang mukmin, isteri Rasulullah. Ketika jatah Saidatina Aisyah ra disampaikan orang kepadanya, ibu
yang mulia itu bertanya, “Siapa menghadiahkan tanah itu buat saya?”
“Abdurrahman bin ‘Auf, jawab orang itu.
Kata Ibu ‘Aisyah ra, “Rasulullah SAW pernah bersabda; Tidak ada orang yang kasihan pada kalian
sepeninggalku, kecuali orang-orang yang sabar.”

Begitulah doa Rasulullah bagi Abdurrahman selalu melindunginya sepanjang hidupnya, sehingga Abdurrahman
menjadi orang terkaya di antara para sahabat. Perniagaannya selalu meningkat dan berkembang. Kafilah
dagangnya terus menerus hilir mudik dari dan ke Madinah mengangkut gandum, tepung, minyak, pakaian,
barang pecah belah, wangi-wangian dan segala kebutuhan penduduk.

Pada suatu hari iring-iringan kafilah dagang Abdurrahman, terdiri dari tujuh ratus unta bermuatan sarat tiba di
Madinah. Semuanya membawa pangan, sandang dan barang-barang lain kebutuhan penduduk. Ketika mereka
masuk kota, bumi seolah-olah bergetar. Terdengar suara gemuruh dan hiruk pikuk. Sehingga ibu ‘Aisyah
bertanya, “Suara apa yang hiruk pikuk itu?”
Dijawab orang, “Kafilah Abdurrahman dengan iring-iringan tujuh ratus ekor unta bermuatan sarat membawa
pangan dan sandang serta lain-lainnya.
Kata Ibu ‘Aisyah ra, “Semoga Allah melimpahkan berkat-Nya bagi Abdurrahman dengan baktinya di dunia,
serta pahala yang besar di akhirat. Saya mendengar Rasulullah bersabda, “Abdurrahman bin Auf masuk syurga
dengan merangkak (karena syurga sudah dekat sekali kepadanya).”

Sebelum menghentikan iring-iringan unta, seseorang pembawa berita mengatakan kepada Abdurrahman
berita gembira yang disampaikan Ibu ‘Aisyah, bahwa Abdurrahman masuk syurga. Serentak mendengar berita
itu, bagaikan terbang beliau pergi menemui Saidatina ‘Aisyah. Katanya, “Wahai Ibu, apakah Ibu mendengar
sendiri ucapan itu diucapkan Rasulullah?”
Jawab Ibu ‘Aisyah, “Ya, saya mendengar sendiri!” Abdurrahman melonjak kegirangan. Katanya, “Seandainya
aku sanggup, aku akan memasukinya sambil berjalan. Sudilah Ibu menyaksikan, kafilah ini dengan seluruh
kenderaan dan muatannya kuserahkan untuk jihad fisabilillah.”

Sejak berita yang membahagiakan, bahwa Abdurrahman pasti masuk syurga, maka semangatnya semakin
memuncak mengorbankan kekayaannya di jalan Allah. Hartanya dinafkahkan dengan kedua belah tangan, baik
secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan, sehingga mencapai 40.000 dirham perak. Kemudian
menyusul pula 40.000 dinar emas. Sesudah itu beliau bersedekah lagi 200 uqiyah emas. Lalu diserahkannya
pula 500 ekor kuda kepada para pejuang yang lain.

Tatkala beliau hampir meninggal dunia, dimerdekakannya sejumlah besar budak yang dimilikinya. Kemudian
diwasiatkan supaya memberi 400 dinar emas kepada para pejuang Badar. Mereka berjumlah seratus orang,
dan semua mengambil bagiannya masing-masing. Beliau berwasiat pula supaya memberikan hartanya yang
paling mulia untuk para ibu-ibu orang mukmin, sehingga Ibu ‘Aisyah sering mendoakan, “Semoga Allah
memberinya minum dengan minuman dari telaga Salsabil.”

Di samping itu beliau meninggalkan warisan pula untuk ahli warisnya sejumlah harta. Beliau meninggalkan
kira-kira 1.000 ekor unta, 100 ekor kuda, 300 ekor kambing. Beliau beristri empat orang. Masing-masing
mendapat pembagian khusus 80.000. Di samping itu masih ada peninggalannya berupa emas dan perak, yang
kalau dibagi-bagikan kepada ahli warisnya dengan mengampak, maka potongan-potongannya cukup
menjadikan seorang ahli warisnya menjadi kaya-raya.

Walaupun begitu kaya-rayanya, namun harta kekayaannya itu seluruhnya tidak mempengaruhi jiwanya yang
penuh iman dan taqwa. Apabila beliau berada di tengah-tengah budak-budaknya, orang tidak dapat
membedakan di antara mereka, mana yang majikan dan mana budak.

Berbahagialah Abdurrahman bin ‘Auf dengan ribuan karunia dan kebahagiaan yang diberikan Allah kepadanya.
Rasulullah SAW yang ucapannya selalu terbukti benar, telah memberinya khabar gembira dengan syurga
Jannatun Na’im.

Telah turut menghantar jenazahnya ke tempat terakhir di dunia, antara lain sahabat mulia Sa’ad bin Abi
Waqqas. Shalat jenazah turut dihadiri pula antara lain, Dzun Nurain ‘Uthman bin ‘Affan. Kata sambutan saat
pemakaman, Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib Karamallahu Wajhah.
Dalam kata sambutannya antara lain ‘Ali berkata: “Anda telah mendapatkan kasih sayang Allah, dan Anda telah
berhasil menundukkan kepalsuan dunia.”
Subhannallah, demikian mulia perilaku dan keimanan para sahabat Rasulullah SAW.

8.Saidina Sa’ad bin Abi Waqqash ra (Pelempar Panah Pertama Pada Jalan Allah)

Siapakah dia singa yang menyembunyikan kukunya itu? Dan siapakah dia yang bila datang kepada Rasulullah
ketika berada di antara shahabat-shahabatnya; akan disambutnya dengan ucapan selamat datang sambil
bergurau, sabdanya: “Ini dia pamanku! Siapa orang yang punya paman seperti pamanku ini?” Itulah dia Sa’ad
bin Abi Waqqash! Kakeknya ialah Uhaib, putera dari Manaf yang menjadi paman dari Aminah ibunda dari
Rasulullah SAW.

Sa’ad masuk Islam sewaktu berusia l7 tahun, dan keislamannya termasuk yang terdahulu di antara para
sahabat. Hal ini pernah diceritakannya sendiri, katanya:
“Pada suatu saat saya beroleh kesempatan termasuk tiga orang pertama yang masuk Islam.” Maksudnya
bahwa beliau adalah salah seorang di antara tiga orang yang paling awal masuk Islam.
Maka pada hari-hari pertama Rasulullah menjelaskan tentang Allah Yang Esa dan tentang agama baru yang
dibawanya, dan sebelum beliau mengambil rumah al-Arqam untuk tempat pertemuan dengan sahabat-
sahabatnya yang telah mulai beriman, Sa’ad bin Abi Waqqash telah mengulurkan tangan kanannya untuk
bai’at kepada Rasulullah SAW.

Sementara itu buku-buku tarikh dan riwayat menceritakan kepada kita bahwa beliau termasuk salah seorang
yang masuk Islam bersama dan atas hasil usaha Abu Bakar. Boleh jadi ia menyatakan keislamannya secara
terang-terangan bersama orang-orang yang dapat diyakinkan oleh Abu Bakar, yaitu Uthman bin Affan, Zubayr
bin al-Awwam, Abdurrahman bin ‘Auf dan Thalhah bin ‘Ubaidillah. Dan ini, tidak menutup kemungkinan bahwa
ia lebih dulu masuk Islam secara sembunyi-sembunyi.

Banyak sekali keistimewaan yang dimiliki oleh Sa’ad ini, yang dapat ditonjolkan dan dibanggakannya. Tetapi di
antara semua itu dua hal penting yang selalu menjadi dendang dan senandungnya. Pertama, bahwa beliaulah
yang mula-mula melepaskan anak panah dalam membela agama Allah, dan juga orang yang mula-mula
terkena anak panah. Dan kedua, bahwa beliau merupakan satu-satunya orang yang dijamin oleh Rasulullah
dengan jaminan kedua orang tua beliau. Bersabdalah Rasulullah SAW di waktu perang Uhud, “Panahlah hai
Sa’ad! Ibu bapaku menjadi jaminan bagimu.”

Memang! Kedua ni’mat besar ini selalu menjadi dendangan Sa’ad buah syukurnya kepada Allah. Katanya,
“Demi Allah sayalah orang pertama yang melepaskan anak panah di jalan Allah!” Dan berkata pula Ali bin Abi
Thalib, “Tidak pernah saya dengar Rasulullah menyediakan ibu bapanya sebagai jaminan kepada seseorang,
kecuali bagi Sa’ad. Saya dengar beliau bersabda waktu Perang Uhud, “Panahlah, hai Sa’ad Ibu bapakku menjadi
jaminan bagimu.”

Sa’ad termasuk seorang kesatria berkuda Arab dan Muslimin yang paling berani. Beliau mempunyai dua
macam senjata yang amat ampuh, yaitu panahnya dan do’anya. Jika beliau memanah musuh dalam
peperangan, pastilah akan mengenai sasarannya, dan jika beliau menyampaikan suatu permohonan kepada
Allah pastilah dikabulkan-Nya. Menurut Sa’ad sendiri dan juga para sahabatnya, hal itu adalah disebabkan do’a
Rasulullah juga bagi pribadinya. Pada suatu hari ketika Rasulullah SAW menyaksikan dari Sa’ad sesuatu yang
menyenangkan dan berkenan di hati beliau, diajukannyalah do’a yang maqbul ini, “Ya Allah, tepatkanlah
bidikan panahnya, dan kabulkanlah do’anya.”

Demikianlah beliau terkenal di kalangan saudara-saudara dan handai taulannya bahwa do’anya tak ubah bagai
pedang yang tajam. Hal ini juga disedari sepenuhnya oleh Sa’ad sendiri, hingga beliau enggan berdo’a bagi
kerugian seseorang, kecuali dengan menyerahkan urusannya kepada Allah Ta’ala. Sebagai contoh ialah
peristiwa yang diriwayatkan oleh ‘Amir bin Sa’ad.

“Sa’ad mendengar seorang laki-laki memaki Ali, Thalhah dan Zubayr. Ketika dilarangnya, orang itu enggan
menurut. Maka katanya, ‘Kalau begitu saya do’akan kamu kepada Allah’ Ujar laki-laki itu, ‘Rupanya kamu
hendak menakut-nakuti aku, seolah-olah kamu seorang Nabi.’ Maka Sa’ad pun pergi berwudhu dan shalat dua
raka’at. Lalu diangkatlah kedua tangannya, katanya, ‘Ya Allah, kiranya menurut ilmu-Mu laki-laki ini telah
memaki segolongan orang yang telah beroleh kebaikan dari-Mu, dan tindakan mereka itu mengundang
amarah murka-Mu, maha mohon dijadikan hal itu sesuatu pertanda dan suatu pelajaran!’”

“Tidak lama kemudian, tiba-tiba dari salah satu pekarangan rumah, muncul seekor unta liar dan tanpa dapat
dibendung masuk ke dalam lingkungan orang banyak seolah-olah ada yang dicarinya. Lalu diterjangnya laki-laki
tadi dan dibawanya ke bawah kakinya, serta beberapa lama menjadi bulan-bulanan injakan dan sepakannya
hingga akhirnya tewas menemui ajalnya!”

Kenyataan ini pertama kali mengungkapkan kebeningan jiwa, kebenaran iman dan keikhlasannya yang
mendalam. Begitu pula Sa’ad, jiwanya adalah jiwa merdeka, keyakinannya keras membaja serta keikhlasannya
dalam dan tidak bernoda. Dan untuk menopang ketaqwaannya ia selalu memakan yang halal, dan menolak
dengan keras setiap dirham yang mengandung syubhat.

Dalam kehidupan akhirnya Sa’ad termasuk Kaum Muslimin yang kaya dan berharta. Waktu wafat, ia
meninggalkan kekayaan yang tidak sedikit. Tapi kalau biasanya harta banyak dan harta halal jarang sekali dapat
terhimpun; maka di tangan Sa’ad hal itu telah terjadi. Ia dilimpahi harta yang banyak, yang baik dan yang halal
sekaligus. Di samping itu ia dapat dijadikan seorang mahaguru pula dalam soal membersihkan harta. Dan
kemampuannya dalam mengumpulkan harta dari barang bersih lagi halal, diimbangi bahkan mungkin diatasi
oleh kesanggupan menafqahkannya di jalan Allah.

Ketika Hajji Wada’, Sa’ad ikut bersama Rasulullah SAW. Kebetulan beliau jatuh sakit, maka Rasulullah datang
menziarahinya. Tanya Sa’ad, “Wahai Rasulullah, saya punya harta dan ahli warisku hanya seorang puteri saja.
Bolehkah saya shadaqahkan dua pertiga hartaku?”
“Tidak,” jawab Nabi. “Kalau begitu, separuhnya?” tanya Sa’ad pula. “Jangan,” ujar Nabi. “Jadi, sepertiganya?”
“Benar,” ujar Nabi, “Dan sepertiga itupun sudah banyak. Lebih baik anda meninggalkan ahli waris dalam
keadaan mampu daripada membiarkannya dalam keadaan miskin dan menadahkan tangannya kepada orang
lain. Dan setiap nafqah yang anda keluarkan dengan mengharap keridhaan Allah, pastilah akan diberi ganjaran,
bahkan walau sesuap makanan yang anda taruh di mulut isteri anda!” Beberapa lama Sa’ad hanya mempunyai
seorang puteri. Tetapi setelah peristiwa di atas, beliau beroleh lagi beberapa orang putera.

Saidina Umar ra tidak lupa akan kisah Sa’ad dengan ibunya sewaktu beliau masuk Islam dan mengikuti
Rasulullah SAW. Ketika itu segala usaha ibunya untuk membendung dan menghalangi puteranya dari agama
Allah mengalami kegagalan. Maka segala jalan yang tak dapat tidak, pasti akan melemahkan semangat Sa’ad
dan akan membawanya kembali ke pangkuan agama berhala dan kepada kaum kerabatnya. Wanita itu
menyatakan akan mogok makan dan minum sampai Sa’ad bersedia kembali ke agama nenek moyang dan
kaumnya. Rencana itu dilaksanakannya dengan tekad yang luar biasa, ia enggan menjamah makanan atau
minuman hingga hampir menemui ajalnya. Tetapi Sa’ad tidak terpengaruh oleh hal tersebut, bahkan beliau
tetap pada pendiriannya, beliau tidak menjual agama dan keimanannya dengan sesuatu pun, bahkan walau
dengan nyawa ibunya sekali pun.

Ketika keadaan ibunya telah demikian gawat beberapa orang keluarganya membawa Sa’ad kepadanya untuk
menyaksikannya kali yang terakhir, dengan harapan hatinya akan menjadi lunak jika melihat ibunya dalam
sakarat. Sesampainya di sana, Sa’ad menyaksikan suatu pemandangan yang amat menghancurkan hatinya
yang bagaikan dapat menghancurkan baja dan meluluhkan batu karang. Tapi keimanannya terhadap Allah dan
Rasul mengatasi baja dan batu karang mana pun jua. Didekatkan wajahnya ke wajah ibunya dan dikatakannya
dengan suara keras agar kedengaran olehnya.

“Demi Allah ketahuilah wahai ibunda, seandainya bunda mempunyai seratus nyawa, lalu ia keluar satu
persatu, tidaklah anak anda akan meninggalkan agama ini walau ditebus dengan apa pun juga! Maka
terserahlah kepada bunda, apakah bunda akan makan atau tidak!”

Akhirnya ibunya mundur teratur, dan turunlah wahyu menyokong pendirian Sa’ad serta mengucapkan selamat
kepadanya, sebagai berikut, “Dan seandainya kedua orang tua memaksamu untuk mempersekutukan Aku,
padahal itu tidak sesuai dengan pendapatmu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya!” (QS Luqman: l5)
Sa’ad bin Abi Waqqash adalah pahlawan perang terkenal dan seorang panglima Arab yang memainkan
peranan penting dalam pertempuran Badar dan Uhud serta usaha-usaha berikutnya. Ketika Muthana,
komandan pasukan Muslim di al-Hira (Iraq) setelah keberangkatan Khalid bin al-Walid ke Syria, meminta
bantuan pasukan untuk menghadapi ancaman gerombolan Persia yang semakin bertambah, Khalifah Islam
kedua (Umar bin al-Khattab ra) berkeinginan memimpin sendiri pasukan bantuan itu. Sebuah pasukan
berkumpul di Madinah dan Umar ingin maju ke medan perang sebagai komandan dan pasukan tersebut.
Semangat yang menggelora menyelimuti pasukan itu. Tapi beliau dicegah oleh sahabat-sahabatnya yang
berpendapat agar kekuasaan pusat harus selalu berada di ibu kota. Akhirnya Sa’ad bin Abi Waqqash dipilih
untuk mengambil alih tampuk kepemimpinan. Seluruh perjuangan di Iraq direncanakan sendiri oleh Sang
Khalifah yang setiap hari diberitahu perkembangan situasi militer.

Sa’ad bin Abi Waqqash, sahabat Nabi SAW yang terpercaya ini maju dengan 20 000 pasukan. Sebanyak kurang
lebih 400 sahabat Nabi berserta 700 putera mereka turut dalam pasukannya. Sa’ad bin Abi Waqqash maju ke
Kadessia, di mana pasukan-pasukan Persia di bawah panglima mereka yang termasyhur, Rustam, mendirikan
khemahnya yang berdekatan letaknya. Di tempat ini, pada masa musim panas tahun 637 M, sebuah
pertempuran yang patut dicatat berlangsung sebagai pejuang sejati, memperagakan tindakan-tindakan yang
gagah berani dan berhasil melemahkan serta mengacaukan pasukan musuh. Karena sakit, Sa’ad bin Abi
Waqqash tidak bisa terjun sendiri ke kancah pertempuran. Tetapi dengan kecekapan dan keahliannya sebagai
komandan, ia dapat memimpin seluruh operasi dari bahagian atas sebuah rumah yang terletak di pinggir
medan perang.

Khalifah Umar bin al-Khattab, Khalifah Islam kedua, sangat was-was akan hasil perang Kadessia. Biasanya di
luar Madinah beliau menunggu seseorang yang datang secara teratur memberinya laporan mengenai keadaan
medan perang. Akhirnya, pada suatu hari, beliau memperoleh kabar kemenangan dari seorang penungga unta.
Sang Khalifah yang tidak mahu menyebutkan namanya, segera mengikuti si penunggang unta tersebut untuk
mengecek kebenaran berita yang dibawa itu. Baru kemudian disebarkan berita tentang kemenangannya itu
kepada masyarakat yang berkumpul di Masjid Nabi.
Pada masa pemerintahan Gabenor Sa’ad bin Abi Waqqash, pemukiman Arab di Kufah mula dibangunkan.
Kawasan ini kemudiannya berkembang menjadi kota penting dan makmur serta menjadi pusat militer dan
kesusasteraan.
Sayidina Umar ra di samping ranjangnya, sebelum meninggal, beliau menunjukkan Sa’ad bin Abi Waqqash
sebagai salah seorang dari enam sahabat Nabi SAW yang terpercaya untuk memilih khalifah penggantinya.
Saidina Uthman bin Affan ra, khalifah ketiga dalam Islam, mengangkat Sa’ad bin Abi Waqqash kembali menjadi
Gabenor di Kufah.
Sa’ad bin Abi Waqqash mengundurkan diri ke Akik pada masa kekhalifahan Ali bin Abu Thalib ra, serta
menghabiskan masa pensiunnya dengan tenang dan damai hingga ajalnya pada tahun 500 H (670 M) pada usia
70 tahun, dan beliau dikebumikan di Madinah.

9.Abu Ubaidah bin Jarrah ra (Orang Kepercayaan Umat Ini)

Beliau termasuk orang yang pertama masuk Islam. Kualitasnya dapat kita ketahui melalui sabda Nabi SAW:
“Sesungguhnya setiap umat mempunyai orang kepercayaan, dan kepercayaan umat ini adalah Abu Ubaidah
bin Jarrah.”

Abu Ubaidah bin Jarah ra lahir di Mekah, di sebuah rumah keluarga suku Quraisy terhormat. Nama lengkapnya
adalah Amir bin Abdullah bin Jarah yang dijuluki dengan nama Abu Ubaidah. Abu Ubaidah adalah seorang yang
berperawakan tinggi, kurus, berwibawa, bermuka ceria, rendah diri dan sangat pemalu. Beliau termasuk orang
yang berani ketika dalam kesulitan, beliau disenangi oleh semua orang yang melihatnya, siapa yang
mengikutinya akan merasa tenang.

Abu Ubaidah termasuk orang yang masuk Islam dari sejak awal, beliau memeluk Islam selang sehari setelah
Saidina Abu Bakar as-Shiddiq ra memeluk Islam. Beliau masuk Islam bersama Abdurrahman bin ‘Auf, Uthman
bin Mazun dan Arqam bin Abu al-Arqam, di tangan Abu Bakar as-Shiddiq. Saidina Abu Bakarlah yang
membawakan mereka menemui Rasulullah SAW untuk menyatakan syahadat di hadapan Baginda.
Kehidupan beliau tidak jauh berbeza dengan kebanyakan sahabat lainnya, diisi dengan pengorbanan dan
perjuangan menegakkan Deen Islam. Hal itu tampak ketika beliau harus hijrah ke Ethiopia pada gelombang
kedua demi menyelamatkan aqidahnya. Namun kemudian beliau balik kembali untuk menyertai perjuangan
Rasulullah SAW.

Abu Ubaidah sempat mengikuti semua peperangan bersama Rasulullah SAW. Beliaulah yang membunuh
ayahnya yang berada di pasukan musyrikin dalam perang Uhud, sehingga ayat Al-Quran turun mengenai beliau
seperti yang tertera dalam surah Al Mujadilah ayat 22, artinya:
“Engkau tidak menemukan kaum yang beriman kepada Allah dan hari kiamat yang mengasihi orang-orang yang
menentang Allah SWT dan Rasulullah, walaupun orang tersebut ayah kandung, anak, saudara atau keluarganya
sendiri. Allah telah mematri keimanan di dalam hati mereka dan mereka dibekali pula dengan semangat. Allah
akan memasukkan mereka ke dalam syurga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, mereka akan kekal di
dalamnya. Akan menyenangi mereka, di pihak lain mereka pun senang dengan Allah. Mereka itulah perajurit
Allah, ketahuilah bahwa perajurit Allah pasti akan berjaya.”

Masih dalam perang Uhud, ketika pasukan muslimin kucar kacir dan banyak yang lari meninggalkan
pertempuran, justeru Abu Ubaidah berlari untuk mendapati Nabinya tanpa takut sedikit pun terhadap
banyaknya lawan dan rintangan. Demi didapati pipi Nabi terluka, iaitu terhujamnya dua rantai besi penutup
kepala beliau, segera ia berusaha untuk mencabut rantai tersebut dari pipi Nabi SAW.
Abu Ubaidah mulai mencabut rantai tersebut dengan gigitan giginya. Rantai itu pun akhirnya terlepas dari pipi
Rasulullah SAW. Namun bersamaan dengan itu pula gigi seri Abu Ubaidah ikut terlepas dari tempatnya. Abu
Ubaidah tidak jera. Diulanginya sekali lagi untuk mengigit rantai besi satunya yang masih menancap dipipi
Rasulullah SAW hingga terlepas. Dan kali ini pun harus juga diikuti dengan lepasnya gigi Abu Ubaidah sehingga
dua gigi seri sahabat ini ompong karenanya. Sungguh, satu keberanian dan pengorbanan yang tak terperikan.
Rasulullah SAW memberinya gelaran “Gagah dan Jujur”. Suatu ketika datang sebuah delegasi dari kaum Kristen
menemui Rasulullah SAW. Mereka mengatakan, “Ya Abul Qassim! Kirimkanlah bersama kami seorang
sahabatmu yang engkau percayai untuk menyelesaikan perkara kebendaan yang sedang kami pertengkarkan,
karena kaum muslimin di pandangan kami adalah orang yang disenangi.” Rasulullah SAW bersabda kepada
mereka, “Datanglah ke sini nanti sore, saya akan kirimkan bersama kamu seorang yang ‘gagah dan jujur’..”
Dalam kaitan ini, Saidina Umar bin Al-Khattab ra mengatakan, “Saya berangkat mahu shalat Zuhur agak cepat,
sama sekali bukan karena ingin ditunjuk sebagai delegasi, tetapi karena memang saya senang pergi shalat
cepat-cepat. Setelah Rasulullah selesai mengimami salat Zuhur bersama kami, beliau melihat ke kiri dan ke
kanan. Saya sengaja meninggikan kepala saya agar beliau melihat saya, namun beliau masih terus membalik-
balik pandangannya kepada kami. Akhirnya beliau melihat Abu Ubaidah bin Jarrah, lalu beliau memanggilnya
sambil bersabda, ‘Pergilah bersama mereka, selesaikanlah kasus yang menjadi perselisihan di antara mereka
dengan adil.’ Lalu Abu Ubaidah pun berangkat bersama mereka.”

Sepeninggalan Rasulullah SAW, Umar bin Al-Khattab ra mengatakan kepada Abu Ubaidah bin Jarah di hari
Saqifah, “Hulurkan tanganmu! Agar saya baiat kamu, karena saya mendengar Rasulullah SAW bersabda,
‘Sungguh dalam setiap kaum terdapat orang yang jujur. Orang yang jujur di kalangan umatku adalah Abu
Ubaidah.’ Lalu Abu Ubaidah menjawab, “Saya tidak mungkin berani mendahului orang yang dipercayai oleh
Rasulullah SAW menjadi imam kita di waktu shalat (Saidina Abu Bakar as-Shiddiq ra), oleh sebab itu kita
sayugia membuatnya jadi imam sepeninggalan Rasulullah SAW.”

Sisi lain dari kehebatan sahabat yang satu ini adalah kezuhudannya. Ketika kekuasaan Islam telah meluas dan
kekhalifahan dipimpin oleh Saidina Umar ra, Abu Ubaidah menjadi pemimpin di daerah Syria. Saat Umar
mengadakan kunjungan dan singgah di rumahnya, tak terlihat sesuatu pun oleh Umar ra kecuali pedang,
perisai dan pelana tunggangannya. Umar pun lantas berujar, “Wahai sahabatku, mengapa engkau tidak
mengambil sesuatu sebagaimana orang lain mengambilnya?”
Beliau menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, ini saja sudah cukup menyenangkan.”

Abu Ubaidah bin Jarrah ra ikut serta dalam semua peperangan Islam, bahkan selalu mempunyai andil besar
dalam setiap peperangan tersebut. Beliau berangkat membawa pasukan menuju negeri Syam, dengan izin
Allah beliau berhasil menaklukan semua negeri tersebut.

Ketika wabak penyakit Taun bermaharajalela di negari Syam, Khalifah Umar bin Al-Khattab ra mengirim surat
untuk memanggil kembali Abu Ubaidah. Namun Abu Ubaidah menyatakan keberatannya sesuai dengan isi
surat yang dikirimkannya kepada khalifah yang berbunyi,
“Hai Amirul Mukminin! Sebenarnya saya tahu, kalau kamu memerlukan saya, akan tetapi seperti kamu ketahui
saya sedang berada di tengah-tengah tentera Muslimin. Saya tidak ingin menyelamatkan diri sendiri dari
musibah yang menimpa mereka dan saya tidak ingin berpisah dari mereka sampai Allah sendiri menetapkan
keputusannya terhadap saya dan mereka. Oleh sebab itu, sesampainya surat saya ini, tolonglah saya
dibebaskan dari rencana baginda dan izinkanlah saya tinggal di sini.”

Setelah Umar ra membaca surat itu, beliau menangis, sehingga para hadirin bertanya, “Apakah Abu Ubaidah
sudah meninggal?” Umar menjawabnya, “Belum, akan tetapi kematiannya sudah di ambang pintu.”
Sepeninggalan Abu Ubaidah ra, Saidina Muaz bin Jabal ra berpidato di hadapan kaum Muslimin yang berbunyi,
“Hai sekalian kaum Muslimin! Kalian sudah dikejutkan dengan berita kematian seorang pahlawan, yang demi
Allah saya tidak menemukan ada orang yang lebih baik hatinya, lebih jauh pandangannya, lebih suka terhadap
hari kemudian dan sangat senang memberi nasihat kepada semua orang dari beliau. Oleh sebab itu kasihanilah
beliau, semoga kamu akan dikasihani Allah.”

Menjelang kematian Abu Ubaidah ra, beliau memesankan kepada tenteranya, “Saya pesankan kepada kalian
sebuah pesan. Jika kalian terima, kalian akan baik, ‘Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, puasalah di bulan
Ramadhan, berdermalah, tunaikanlah ibadah haji dan umrah, saling nasihat menasihatilah kalian,
sampaikanlah nasihat kepada pimpinan kalian, jangan suka menipunya, janganlah kalian terpesona dengan
keduniaan, karena betapa pun seorang melakukan seribu upaya, beliau pasti akan menemukan kematiannya
seperti saya ini. Sungguh Allah telah menetapkan kematian untuk setiap pribadi manusia, oleh sebab itu semua
mereka pasti akan mati. Orang yang paling beruntung adalah orang yang paling taat kepada Allah dan paling
banyak bekalnya untuk akhirat. Assalamu’alaikum warahmatullah.”

Kemudian beliau melihat kepada Muaz bin Jabal ra dan mengatakan, “Ya Muaz! Imamilah shalat mereka.”
Setelah itu, Abu Ubaidah ra pun menghembuskan nafasnya yang terakhir.

10.Said Bin Zaid ra (Kekasih Kepada Yang Maha Pengasih)

Zaid bin ‘Amr Bin Nufayl berdiri dari orang banyak yang berdesak-desak menyaksikan kaum Quraisy berpesta
merayakan salah satu hari besar mereka. Kaum pria memakai serban Sundusi yang mahal. Kaum wanita dan
anak-anak berpakaian bagus warna menyala, dan mengenakan perhiasan indah-indah. Haiwan-haiwan
ternakpun dipakaikan bermacam-macam perhiasan ditarik orang untuk disembelih di hadapan patung-patung
yang mereka sembah.

Zaid bersandar ke dinding Ka’bah seraya berkata, “Hai kaum Quraisy! Haiwan itu diciptakan oleh Allah. Dialah
yang menurunkan hujan dari langit supaya haiwan-haiwan itu minum sepuas-puasnya. Dialah yang
menumbuhkan rumput-rumput, supaya haiwan-haiwan itu makan sekenyang-kenyangnya. Kemudian kalian
sembelih haiwan-haiwan itu tanpa menyebut nama-Nya. Sungguh bodoh dan sesat kalian!”
Al-Khattab, ayah Saidina Umar ra pun berdiri menghampiri Zaid, lalu ditamparnya Zaid. Kata Al-Khattab,
“Kurang ajar kamu! Kami sudah sering mendengar kata-katamu yang kotor itu. Namun kami biarkan saja. Kini
kesabaran kami sudah habis!”

Kemudian dihasutnya orang-orang jahiliyah supaya menyakiti Zaid. Zaid benar-benar disakiti mereka dengan
sungguh-sungguh sehingga dia terpaksa menyingkir dari kota Makkah ke bukit Hira’.
Al Khatthab menyerahkan urusan Zaid kepada sekelompok pemuda Quraisy untuk menghalang-halanginya
masuk kota. Karena itu Zaid terpaksa pulang dengan sembunyi-sembunyi.

Kemudian Zaid bin ‘Amr bin Nufayl berkumpul ketika orang-orang Quraisy tengah bersama-sama dengan
Waraqah bin Naufal, ‘Abdullah bin Jahsy, Uthman bin Harith, dan Umaimah binti ‘Abdul Muthalib; bibi Nabi
Muhammad SAW. Mereka berbicara mengenai kepercayaan masyarakat Arab yang sudah jauh tersesat. Kata
Zaid, “Demi Allah! Sesungguhnya saudara-saudara sudah maklum bangsa kita sudah tidak mempunyai agama.
Mereka sudah sesat dan menyeleweng dari agama Ibrahim yang lurus. Karena itu marilah kita pelajari suatu
agama yang dapat kita pegang jika saudara-saudara ingin beruntung.”

Keempat-empat orang itu pergi menemui pendeta-pendeta Yahudi, Nasrani, dan pemimpin-pemimpin agama
lain untuk menyelidiki dan mempelajari agama Ibrahim yang murni. Waraqah bin Naufal meyakini agama
Nasrani. ‘Abdullah bin Jahsy dan Uthman bin Harith tidak menemukan apa-apa. Sedangkan Zaid bin ‘Amr bin
Nufayl mengalami kisahnya tersendiri:
Kata Zaid, “Saya pelajari agama Yahudi dan Nasrani. Tetapi keduanya saya tinggalkan karena saya tidak
memperoleh sesuatu yang dapat menenteramkan hati saya dalam kedua agama tersebut. Lalu saya berkelana
ke seluruh pelosok mencari agama Ibrahim. Ketika saya sampai ke negeri Syam, saya diberitahu tentang
seorang Rahib yang mengerti Ilmu Kitab. Maka saya datangi Rahib tersebut, lalu saya ceritakan kepadanya
pengalaman saya belajar agama.
Kata Rahib tersebut, “Saya tahu anda sedang mencari agama Ibrahim, hai putra Makkah.” Jawabku, “Betul,
itulah yang saya inginkan!” Kata Rahib, “Anda mencari agama yang dewasa ini sudah tak mungkin lagi
ditemukan. Tetapi pulanglah anda ke negeri anda. Allah akan membangkitkan seorang Nabi di tengah-tengah
bangsa anda untuk menyempurnakan agama Ibrahim. Bila anda bertemu dengan beliau, tetaplah anda
bersamanya.”

Zaid berhenti berkelana. Beliau kembali ke Makkah menunggu Nabi yang dijanjikan. Ketika Zaid sedang dalam
perjalanan pulang, Allah mengutus Muhammad menjadi Nabi dan Rasul dengan agama yang haq. Tetapi Zaid
belum sempat bertemu dengan beliau, dia dihadang perompak-perompak Badwi di tengah jalan, dan terbunuh
sebelum ia sampai kembali ke Makkah. Sewaktu beliau akan menghembuskan nafasnya yang terakhir, Zaid
menengadah ke langit dan berkata, “Wahai Allah! Jika Engkau mengharamkanku dari agama lurus ini, maka
janganlah anakku Said diharamkan pula dari padanya.”
Allah memperkenankan doa Zaid. Serentak Rasulullah SAW mengajak orang banyak masuk Islam, Said segera
memenuhi panggilan beliau, menjadi pelopor orang-orang yang beriman dengan Allah dan membenarkan
kerasulan Nabi-Nya, Muhammad SAW.

Tidak menghairankan jika Said secepat itu memperkenankan seruan Muhammad. Said lahir dan dibesarkan
dalam rumahtangga yang mencela dan mengingkari kepercayaan dan adat istiadat orang-orang Quraisy yang
sesat itu.

Said dididik dalam kamar seorang ayah yang sepanjang hidupnya giat mencari agama yang hak. Bahkan dia
mati ketika sedang berlari kepayahan mengejar agama yang hak.

Said masuk Islam tidak seorang diri. Dia Islam bersama-sama istrinya, Fatimah binti Al-Khattab, adik
perempuan Umar bin al-Khattab. Karena pemuda Quraisy ini masuk Islam, beliau disakiti dan dianiaya, dipaksa
oleh kaumnya supaya kembali kepada agama mereka. Sebaliknya Said dan istrinya sanggup menarik seorang
laki-laki Quraisy yang paling berbobot baik fisik mahu pun intelektualnya itu masuk ke dalam Islam. Mereka
berdualah yang telah menyebabkan Umar bin al-Khattab memeluk Islam.

Said bin Zaid bin ‘Amr bin Nufayl membaktikan segenap daya dan tenaganya yang muda untuk berkhidmat
kepada Islam. Ketika beliau masuk Islam, umurnya belum lebih dari dua puluh tahun. Beliau turut berperang
bersama-sama Rasulullah dalam setiap peperangan, selain peperangan Badar karena ketika itu beliau sedang
melaksanakan suatu tugas penting lainnya yang ditugaskan oleh Rasulullah kepadanya. Beliau turut mengambil
bahagian bersama-sama kaum Muslimin mencabut singgasana Kisra Persia dan menggulingkan kekaisaran
Rom. Dalam setiap peperangan yang dihadapi kaum Muslimin, Said selalu memperlihatkan penampilan dengan
reputasi terpuji. Agaknya yang paling mengejutkan ialah reputasinya yang tercatat dalam peperangan Yarmuk.
Berkata Said bin Zaid bin ‘Amr bin Nufayl:
“Ketika terjadinya Perang Yarmuk, pasukan kami semuanya berjumlah 24.000 orang tentera. Sedangkan
tentera Rom yang kami hadapi berjumlah 120.000 orang. Musuh bergerak ke arah kami dengan langkah-
langkah yang mantap bagaikan sebuah bukit yang digerakkan tangan-tangan tersembunyi.

Di muka hadapan sekali berbaris pendeta-pendeta, perwira-perwira tinggi, panglima-panglima, dan Paderi-
paderi yang membawa kayu salib sambil mengeraskan suara mereka membaca doa. Doa itu diulang-ulang oleh
tentera yang berbaris di belakang mereka dengan suara mengguntur. Tatkala tentera kaum Muslimin melihat
musuh mereka seperti itu, kebanyakan mereka terkejut lalu timbul rasa takut di hati mereka.

Abu Ubaidah mengobarkan semangat jihad kepada mereka. Kata Abu Ubaidah dalam pidatonya antara lain,
“Wahai hamba-hamba Allah! Menangkanlah agama Allah! Pasti Allah akan menolong kamu dan memberikan
kekuatan kepada kamu! Wahai hamba-hamba Allah! Tabahkanlah hati kalian! Karena ketabahan adalah jalan
keluar dari kekafiran, jalan mencapai keredhaan Allah dan menolak kehinaan. Siapkan lembing dan perisai!
Tetaplah tenang dan diam, kecuali dzikrullah (mengingat Allah) dalam hati masing-masing. Tunggulah perintah
saya selanjutnya. Insya Allah!”

Kemudian Said melanjutkan ceritanya.


“Tiba-tiba seorang prajurit muslim keluar dan berkata kepada Abu Ubaidah, “Saya ingin syahid sekarang.
Adakah pesan-pesan anda kepada Rasulullah?” Jawab Abu Ubaidah, “Ya, ada! Sampaikan salam saya dan salam
kaum Muslimin kepada Baginda. Katakanlah kepada Baginda SAW, sesungguhnya kami mendapati apa yang
dijanjikan oleh Tuhan kami benar-benar terbukti!”

Sesudah beliau mengucapkan kata-katanya itu, saya lihat beliau menghunus pedang dan terus maju
menyerang musuh-musuh Allah. Saya membanting diri ke tanah, dan berdiri di atas lutut saya. Saya bidikkan
lembing saya, lalu saya tikam seorang yang melompat menghadang musuh. Tanpa terasa, perasaan takut
lenyap dengan sendirinya di hati saya. Tentera muslimin bangkit menyerbu tentera Rom. Perang berkecamuk
segera, berkobar dengan hebat. Akhirnya Allah memberikan kemenangan kepada kaum Muslimin.”
Sesudah itu Said bin Zaid turut berperang menakluk Damsyiq. Setelah kaum muslimin memperlihatkan
kepatuhan, Abu Ubaidah bin Jarrah ra mengangkat Said menjadi Wali di sana. Dialah Wali kota pertama dari
kaum Muslimin setelah kota itu dikuasai.
Di masa pemerintahan Bani Umayah, ada wanita yang mengatakan Said bin Zaid merampas tanahnya yang
saling berbatasan. Tuduhan tersebut digunjingkan kepada kaum Muslimin. Kemudian beliau mengadu kepada
Marwan bin Hakam, Wali Kota Madinah ketika itu. Marwan mengirim beberapa petugas menanyakan kepada
Said tentang tuduhan wanita tersebut. Sahabat Rasulullah ini merasa prihatin atas tuduhan yang dituduhkan
kepadanya.

Kata Said, “Dia menuduh saya menzaliminya (merampas tanahnya yang berbatasan dengan tanah saya).
Bagaimana mungkin saya menzaliminya, padahal saya telah mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Sesiapa
yang mengambil tanah orang lain walaupun sejengkal, nanti di hari kiamat Allah akan memikulkan tujuh lapis
bumi kepadanya.” Wahai Allah! Dia menuduhkan saya menzaliminya. Seandainya tuduhan itu palsu,
butakanlah matanya dan ceburkan dia ke dalam sumur yang dipersengketakannya dengan saya. Buktikanlah
kepada kaum Muslimin sejelas-jelasnya bahwa tanah itu adalah hak saya dan bahwa saya tidak pernah
menzaliminya.”

Tidak berapa lama kemudian, terjadi banjir yang belum pernah terjadi seperti itu sebelumnya. Maka
terbukalah tanda batas antara tanah Said dan tanah Arwa (wanita tersebut) yang diperselisihkan. Kaum
Muslimin memperoleh bukti bahwa Saidlah yang benar, sedangkan tuduhan wanita itu palsu.
Hanya sebulan antaranya sesudah itu, wanita tersebut menjadi buta. Ketika dia sedang berjalan meraba-raba
di tanah yang dipersengketakannya, dia pun jatuh ke dalam sumur. Kata Abdullah bin Umar, “Memang ketika
kami masih kanak-kanak, kami mendengar orang berkata bila mengutuk orang lain; dibutakan Allah kamu
seperti Arwa.”

Peristiwa itu sesungguhnya tidak begitu menghairankan. Karena Rasulullah SAW pernah bersabda, “Takutlah
kepada doa orang yang teraniaya. Karena antaranya dengan Allah tiada batas.” Maka apatah lagi andai yang
teraniaya itu salah seorang dari sepuluh sahabat Rasulullah SAW yang telah dijamin masuk syurga; Saidina Said
bin Zaid ra.

You might also like