You are on page 1of 23

ASPEK BIOOLOGI

IKANN BAUNG (Hemibagrus nemurus Valencienes, 1840)

Oleh :
SUPYAN

Latar Belakang

Secara umum yang dimaksud dengan ikan adalah hewan vertebrata yang
berdarah dingin yang hidup di air, perkembangan dan keseimbangannya menggunkan
sirip, pada umumnya bernapas dengan insang. (Ridwan, 1980). Ikan merupakan
kelompok vertebrata yang paling besar jumlahnya. Ikan mendominasi kehidupan
perairan di seluruh permukaan bumi. Jumlah spesies ikan yang telah berhasil dicatat
adalah sekitar 21.723 spesies dan diperkirakan berkembang mencapai 28.000 spesies,
sementara jumlah spesies vertebrata yang ada diperkirakan sekitar 43.173 spsies
(Nelson, 1984). Namun hal demikian harus dimaklumi bahwa penemuan spesies ikan
baru terus berlangsung setiap tahun, dan jauh lebih cepat dibandingkan dengan
penemuan spesies hewan lain, seperti bangsa burung atau hewan vertebrata lain (Davi
dan Chounard, 1980).
Sebagai Negara kepulauan, Indonesia memiliki potensi yang besar di
bidang perikanan dan luas wilayah Indonesia sebesar 7,9 juta Km² atau sektar 81%
dari wilayah seluruh Indonesia. Sedangkan luas perairan Indonesia saat ini lebih
kurang 14 juta Ha. Yang terdiri dari rawa, sungai sebesar 11,9 juta Ha, 1,78 juta Ha
danau alam dan 0,93 juta Ha danau buatan hal ini merupakan potensi yang sangat
bagus pengembangan usaha perikanan. (Nazaruddin, 1993 dalam Tim Ikhtiologi
1989). Dalam perairan Indonesia yang sangat luas ini mengandung ± 6000 jenis ikan
yang belum teridentifikasi dan ini merupakan sumberdaya hayati perikanan yang
potensial bila dikelola secara maksimal tanpa menggangu kelestarian sumberdaya
tersebut sehingga akan memberikan sumbangan yang berarti bagi kesejahteraan
masyarakat (Effendie, 1997).
Di indonesia, salah satu jenis ikan yang bernilai ekonomis penting adalah Ikan
Baung (Hemibagrus nemurus) (DJAJADIREDJA et al. 1977). Ikan Baung dikenal
sebagai salah satu ikan air tawar yang mempunyai kandungan protein cukup tinggi,
tetapi rendah lemak. Rasa dagingnya enak, gurih, dan lezat melebihi rasa daging ikan
patin atau ikan jambal air tawar. Tidak mengherankan jika kelezatannya tersebut
membuat harga jual ikan ini selalu lebih mahal, disamping karena jumlah pasokannya
masih sedikit. Ikan yang merupakan spesies asli perairan Indonesia ini sebenarnya
mampu bersaing dengan ikan-ikan ekonomis penting lainnya. Namun karena sulit
didapat di luar daerah asalnya menjadikan baung belum sepopuler ikan konsumsi
jenis lainnya. Di Kawasan Asia, terutama di Kawasan Asia Tenggara, menjadi ikan
ekonomis penting. Ikan ini merupakan komoditas yang popular dan memiliki nilai
ekonomis tinggi di Sumatera (Sumatera Selatan, Jambi, dan Riau) dan Kalimantan
(Kalbar, Kalteng, dan Kalsel).

RUANG LINGKUP IKAN BAUNG

Baung adalah nama segolongan ikan yang termasuk ke dalam marga


Hemibagrus, suku Bagridae. Ikan yang menyebar luas di India, Cina selatan dan Asia
Tenggara ini (Peter K. L., Ng, H. H, 1995) juga dikenal dengan banyak nama daerah,
seperti Ikan Sogo (Jawa Tengah) , Sengol/Singgal/Singgah (Jawa Barat) , Baung
(kebanyakan Sumatera) , Ikan Teiken (Sumatera Utara) , Ikan Tagih atau Tegeh (Jawa
Timur) , Ikan Niken (Kalimantan Barat) , Ikan Patik (Kalimantan Selatan) , Ikan
Kendiya (Kalimantan Tengah) , Ikan Baung Putih (Kalimantan Timur) (Weber, M.
and L.F. de Beaufort, 1913).
Baung masih sekerabat dengan Lele (bangsa Siluriformes). Nama marganya,
Hemibagrus, berasal dari kata bahasa Latin hemi yang berarti “setengah” atau
“separuh”, dan bagrus, yang dipungut dari pelafalan Muzarab bagre atas perkataan
Yunani pagros, yakni nama sejenis ikan laut (Ingg.: seabream).
Ikan baung tergolong ke dalam benthopelagic, dan hidup di perairan tawar dan
0
payau dengan kisaran pH 7 - 8,2 dan suhu 22 - 25 C. Secara umum Ikan Baung
terdistribusi di beberapa daerah atau negara yaitu; Asia: Mekong, Chao Phraya dan
Xe Bangfai basins; juga dari Malay Peninsula, Sumatra, Java, Borneo.
Daerah yang paling disukai adalah perairan yang tenang, bukan air yang deras.
Karena itu, ikan baung banyak ditemukan di rawa-rawa, danau-danau, waduk dan
perairan yang tenang lainnya. Meski begitu, ikan baung tetap memerlukan oksigen
yang tinggi untuk kehidupannya.
Ikan baung tumbuh dan berkembang di perairan tropis. Daya adaftasinya
tergolong rendah, kurang tahan terhadap perubahan lingkungan, dan serangan
penyakit. Ketidaktahanan pada keduanya terutama terjadi pada fase benih yaitu dari
ukuran 0,5 – 2 cm. Ikan baung dapat hidup pada ketinggian sampai 1.000 m di atas
permukaan laut, kandungan oksigen minimal 4 ppm, dan air yang tidak terlalu keruh
dengan kecerahan pada pengukuran alat secchi disk.
Di Sumatra, ikan baung banyak ditemukan di Danau Toba, tetapi populasinya
terus berkuang, karenba danya penangkapan yang tidak selektif. Di Danau Tondano
Sulawesi, ikan baung juga banyak ditemukan, tetapi jumlahnya sudah sangat sedikit.
Demikian juga dengan danau-danau, dan rawa-rawa lain yang ada diseluruh
Indonesia. Di Jawa Barat, ikan baung banyak ditemukan di tiga waduk besar, yaitu
Waduk Jatiluhur, Saguling dan Cirata. Populasi ikan baung di ketiga waduk itu cukup
tinggi, mengingat keadaan perairan yang sesuai dengan habitat hidupnya. Bagi
masyarakat sekitar waduk, Ikan Baung telah menjadi salah satu ikan tangkapan yang
dapat menjadi sumber kehidupan (Anonimous. 2010).
Selain di danau, rawa dan waduk, ikan baung juga sering ditemukan di sungai-
sungai. Tentu saja bukan sungai yang berair deras, tetapi sungai yang arus airnya
lambat. Menurut Sriyusanti (2002) dalam Anonimous. (2010), ikan baung banyak
ditemukan di sungai-sungai di Propinsi Riau. Selain di sana, ikan baung juga banyak
ditemukan di sungai lain di seluruh Indonesia.
Ikan Baung termasuk ikan yang penyebarannya cukup luas. Selain di
Indonesia, ikan baung juga banyak ditemukan di Hindia Timur, yang meliputi
Malaya, Indocina, Singapura dan Thailand (Smith, 1945; Bleeke et al., 1965 dalam
Solih, 1987). Menurut Sriyusanti, selain di Benua Asia, ikan baung juga banyak
ditemukan di Benua Afrika

Taksonomi

Dalam taksonomi (sistem penamaan), baung mengalami beberapa kali


pergantian nama ilmiah. Nama ilmiah yang pertama kali disandangnya adalah
Macrones nemurus (Weber & de Beaufort, 1916), lalu berubah monjadl Mystus
nemurus (Roberts, 1989; Kottelat et.al, 1993). Setelah itu, berubah lagi menjadi
Hemibagrus nemurus (Kottelat and Whitten, 1996; Rachmatika. et.al, 2005). Nama
yang terakhir inilah yang dinyatakan sebagai nama valid bagi baung. Nama-nama
sebelumnya seperti Macrones nemurus dan Mystus nemurus sudah tidak digunakan
lagi, hanya dinyatakan sebagai nama sinonim.
Ikan baung diklasifikasikan ke dalam Phylum Chordata, Kelas Pisces, Sub-
kelas Teleostei, Ordo Ostariophysi, Sub-ordo Siluroidea, Famili Bagridae, Genus
Macrones, dan Spesies Macrones nemurus CV. (Saanin, 1968). Sedangkan Menurut
Imaki et al. (1978), ikan baung dimasukkan dalam Genus Mystus dengan spesies
Mystus nemurus CV dan Hemibagrus nemurus menurut Eschmeyer (1998) dan
Kottelat (1996). Sinonim Mystus nemurus adalah Bagrus nemurus CV., Bagrus
hoevenii Blkr., Bagrus sieboldi Bikr., Hemibagrus nemurus Blkr., Macrones nemurus
Gunther., Macrones bleekeri Volza., Macrones howony Popla., dan Macrones borga
Popla (Weber and de Beaufort, 1965 dalam Buyon dkk, 2005).
Melihat bentuk fisiknya secara sepintas, dengan mudah kita dapat
menggolongkan ikan ini ke dalam golongan ikan jenis lele-lelean (catfish). Di daerah
Karawang, Ikan Baung dikenal dengan nama Ikan Tagih atau Senggal, sedangkan di
Jakarta dan Malaysia dikenal sebagai Ikan Bawon, Senggal, Singgah, dan Singah
(Sunda/Jawa Barat); Tageh (Jawa); Boon (Serawak); Niken, Siken, Tiken, Tiken-
Bato, Baung Putih, dan Kendinya (Kalimantan Tengah); baong (Sumatra) (Weber and
de Beaufort, 1965; Djajadiredja et al., 1977)
Secara umum bentuk Ikan Baung memang hampir serupa dengan ikan lele,
yaitu mempunyai sungut di bagian mulutnya. Bedanya hanya terletak pada ukuran
dan warna tubuhnya. Karena mirip dengan ikan lele, para ahli perikanan lantas
memasukkan ikan ini ke dalam keluarga Bagridae. Sementara ordonya tergolong
dalam ordo Siluriformes (Kottelat et.al., 1993), karena bentuk tubuhnya yang bulat
memanjang seperti belut. Dahulu ada juga ahli perikanan yang memasukan ikan ini
ke dalam ordo Ostariophysi. Adapun urutan sistematika Ikan Baung secara lengkap
berdasarkan Eschmeyer (1998) dan Kottelat (1996) dalam
Amri (2008) sebagai berikut.
Filum : Chordata Kelas :
Actinopterygii Subkelas :
Toleostei Ordo :
Siluriformes Famili :
Bagridae Genus :
Hemibagrus Species :
Hemibagrus nemurus
(Sinonim: Mystus
nemurus; Macrones
nemurus)

Nama Asing : Tripical catfish, Green catfish, Rivet- catfish


Nama Umum : Baung
Nama Lokal : Baung (Sumatera), Sengol : Jawa Barat, Ikan Sogo (JawaTengah),
Ikan Tagih atau Tageh (JawaTimur).
Berdasarkan hasil penelitian para ahli lapangan, ditemukan sekitar 11 jenis
ikan yang tergolong dalam genus Mystus/Hemibagrus, namun yang terpenting
adalah Ikan Baung menyandang nama Hemibagrus/Mystus nemurus dengan
sinonim Macrones nemurus (C.V).
SynonimBagrus nemurus C.&V., Bagrus hoevenii Blkr., Bagrus sieboldi Blkr.,
Hemibagrus nemurus Blkr., Macrones nemurus Gunther, Macrones
nemurus Vinciguerra, Macrones hoevenii Vinciguerra, Macrones
bleekeri Volza, Macrones howong Popta, Macrones bongan Popta,
Macrones Popta (Weber dan de Beaufort, 1965).

Nama Umum Hemibagrus di Beberapa Negara

Nama Umum Tempat Digunakan Bahasa


Asian redtail Catfish FishWise English
Asian redtail Catfish USA English
River catfish Malaysia English
A gigi Japan Japanese
Asiatischer Germany, Fed.Rep. German
Rotflossenwels
Cá Lang Vietnam Vietnamese
Baung Malaysia Malay/Indonesian
Kot luang Thailand Thai

Kot na Thailand Thai Pa kot Laos, Pop. Dem.Rep. Laotian Sopong Malaysia
Malay/Indonesian Trey chhlang Cambodia Khme

Morofologi

Bila dilihat secara fisik sekilas warna tubuh ikan ini sangat mirip dengan ikan
patin, yaitu putih keperakan dengan punggung berwarna kecokelatan. Ada juga jenis-
jenis tertentu yang berwarna kehitaman, tetapi yang dominan adalah warna
kecokelatan.

Seperti umumnya ikan kelompok lele-lelean, morfologi umum ikan dari


Famili Bagridae adalah tubuh bentuk memanjang, agak pipih, kepala ikan kasar, sirip
lemak dipunggung sama panjang dengan sirip dubur, pinggiran ruang mata bebas,
bibir tidak bergerigi yang dapat digerakkan, daun-daun insang terpisah. Pada rahang
terdapat 3-4 pasang sungut peraba yang panjang, sirip punggung pendek, mempunyai
satu patil dan mempunyai sirip punggung tambahan atau sirip lemak, sirip ekor
bercagak dan tidak berhubungan dengan sirip punggung dan dubur, sirip dubur
pendek, sirip dada mempunyai jari-jari keras yang tajam dan sangat kuat serta
bergerigi. (Kottelat et al, 1993).

Ikan baung (Hemibagrus nemurus)

Langit-langit bergerigi, lubang hidug berjauhan, yang di belakang dengan satu


sungut hidung. Sirip punggung berjari-jari keras tajam. Ikan ini tidak bersisik,
mulutnya tidak dapat disembulkan, biasanya tulang rahang atas bergerigi, 1- 4 pasang
sungut dan umumnya berupa sirip tambahan (fish base, 2006). Di bagian sirip
dadanya terdapat tulang tajam dan bersengat yang berfungsi seperti patil, yaitu
sebagai senjata pembela diri. Ciri yang sangat membedakannya dengan ikan patin
adalah ikan ini mempunyai empat sungut peraba dan satu diantaranya panjang sekali
terletak pada sudut rahang atas, panjangnya mencapai sirip dubur. Selain itu, ikan ini
juga memiliki sirip lemah yang biasa disebut sebagai adiposefin yang panjangnya
hampir sama dengan panjang sirip duburnya. Sirip punggung mempunyai dua jari-jari
keras, sedangkan jari-jari lunaknya ada tujuh buah, sirip dubur mempunyai 12-13
jari-jari lunak, sirip perut mempunyai 6 jarijari lunak dan dua jari-jari keras yang
menjadi patil serta kepalanya besar. (Djuhanda, 1981)
Dari segi ukuran, ikan baung ini termasuk cukup besar untuk ukuran ikan dari
golongan lele-lelean. Ikan baung dewasa yang pernah tertangkap di sungai besar di
kalimantan dan sumatera mencapai panjang sekitar 83 cm yang diduga sudah cukup
tua. Bentuk tubuhnya sangat mirip dengan patin yaitu berwarna putih perak pada
bagian bawah perutnya dan kecoklatan di bagian punggungnya. Perbedaan yang
paling mencolok dengan ikan patin adalah perut ikan baung jauh lebih ramping dan
memanjang. Bentuk perutnya lebih miripi dengan lele. Selain itu yang paling jelas
membedakannya adalah adalah sungut rahang atasnya yang sangat panjang sampai
mencapai sirip dubur. Proporsi Ukuran panjang tubuhnya adalah 5 kali tinggi atau 3 -
3,5 panjang kepalanya. Di bagian sirip dadanya terdapat tulang tajam dan bersengat
yang berfungsi seperti patil, yaitu sebagai senjata pembela diri.
Ikan baung yang terdapat didaerah Riau mempunyai warna yang Abu-abu
dengan pita tipis memanjang yang berawal dari tutup insang hingga pangkal sirip
ekor. Sungut hidung mencapai mata dan sungut rahang atas memanjang hampir
mencapai sirip ekor. Bagian atas kepala agak kasar, terdapat garis gelap memanjang
dan mempunyai titik hitam di ujung sirip lemah (Djuhanda, 1981).

Mystus armiger, CAS 218896, holotype, 107.9 mm SL; Malaysia: Kelantan, Kelantan
River. Dorsal, lateral and ventral views. (Ng. Heok Hee. 2004)

Jenis-jenisnya dan Penyebarannya

Secara biogeografi, marga Hemibagrus diketahui menyebar luas di sebelah


Timur Lembah Sungai Gangga-Brahmaputra dan di sebelah Selatan aliran Sungai
Yangtze. Ikan baung tersebar luas di benua asia dan afrika dan menghuni berbagai
tipe perairan umum. Baung atau Hemibagrus nemurus tersebar di Perairan Barat
Indonesia yaitu Jawa, Sumatera dan Kalimantan (Nugroho. dkk, 1995; Robert, 1989)
namun ragam jenis yang tertinggi berkembang di wilayah Paparan Sunda. Secara
spesifik disebutkan bahwa penyebaran ikan ini meliputi Jakarta, Karawang, Garut,
Surabaya, Malang, Pasuruan, Palembang, Bengkulu, Muara Kumpeh, Banyu Asin,
Danau Singkarak, Barito, Rasau, Kapuas, dan Sambas. Ikan baung juga terdapat di
Malaysia dan Thailand (Weber and Beufort,1913)
Selain di Indonesia, ikan ini juga ditemukan di Asia Tenggara. Di beberapa
daerah, terutama di Sumatera, nama Baung merupakan nama umum yang dikenal
secara luas. Masyarakat Melayu di Malaysia, Singapura, Brunei juga menyebutnya
sebagai Baung atau Bawon (Serawak). Sebenarnya nama baung digunakan oleh
masyarakat di Sumatera seperti Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, dan
sekitarnya. Namun beberapa daerah lain menggunakan nama yang juga populer di
daerah tersebut , misalnya daerah Sunda Jawa Barat menyebut ikan ini sebagai Ikan
Tagih atau Sengol/Singal/Singgah. Sementara masayarakat Jawa Tengah lebih
mengenalnya dengan sebutan Beong atau Sogo dan masyarakat Jawa Timur
menyebutnya Ikan Tagih atau Tageh. Di Medan dan Sumatera Utara pada umumnya
menyebut ikan ini sebagai Ikan Taiken. Di Pulau Kalimantan ada empat nama
berbeda untuk Baung yaitu Nikena (Kalbar), Ikan Patik (Kalsel), Ikan Baung Putih
(Kaltim) dan Ikan Kendiya (Kalteng). Sebagian lagi menyebutnya Ikan Sengiringan,
Senggal dan Ikan Duri.

Tabel 1. Spesies anggota marga Hemibagrus beserta penyebebarannya menurut


daftar yang disusun Ferraris (2007) :

Spesies Author Penyebaran


Hemibagrus baramensis (Regan, 1906). Endemik di Sungai Baram, Serawak.
H. bongan (Popta, 1904) Endemik di aliran sungai-sungai
Kapuas, Rajang dan Baram,
Kalimantan bagian barat.
H. caveatus Ng, Wirjoatmodjo & Endemik di sekitar lembah Sungai
Hadiaty, 2001 Alas, Aceh
H. centralus Mai, 1978 Vietnam bagian utara
H. chrysops Ng & Dodson, 1999 Terbatas di aliran sungai-sungai
Sadong dan Rajang, Serawak.
H. filamentus (Fang & Chaux, 1949) Lembah sungai Mekong bagian tengah
dan hilir
H. fortis (Popta, 1904) Kalimantan
H. furcatus Ng, Martin-Smith & Lembah sungai Segama, Sabah
Ng, 2000
H. gracilis Ng & Ng, 1995 Wilayah Endau-Rompin, Semenanjung
Malaya
H. guttatus (La Cepède, 1803) Cina selatan dan Laos
H. hainanensis (Tchang, 1835) Hainan
H. hoevenii (Bleeker, 1846) Sungai-sungai Kapuas dan Baram
(Kalimantan bagian barat), Musi dan
Batanghari (Sumatra bagian timur),
serta lembah sungai Muar,
Semenanjung Malaya.
H. hongus Mai, 1978 Vietnam bagian utara
H. imbrifer Ng & Ferraris, 2000 Lembah sungai Salween, Thailand
H. johorensis (Herre, 1940) Semenanjung Malaya dan Sumatra
H. macropterus Bleeker, 1870 Cina selatan
H. major Roberts & Phetchabun, Thailand.
Jumnongthai, 1999
H. maydelli (Rössel, 1964) Sungai Khrisna, India
H. menoda (Hamilton, 1822) Sungai-sungai Gangga, Brahmaputra,
Mahanadi dan Godawari di India dan
Bangladesh
Daerah Pennyebaran Hemmibagrus (UUniversal Fissh Cataloguee)

Pengecualian

Nama baung terkadang juga digunakan untuk menyebut jenis-jenis ikan yang
berbentuk serupa dalam suku Bagridae, namun tergolong ke dalam marga yang lain
di luar Hemibagrus. Misalnya, (List of Freshwater Fishes for Indonesia dari Fish
Base :
Baung burai, Pseudomystus stenomus
Baung duri, Leiocassis poecilopterus
Baung layar, Bagrichthys hypselopterus
Baung lebang, Pseudomystus fuscus
Baung tikus, Bagroides melapterus

Marga Hemibagrus pada mulanya dianggap satu dengan marga Mystus (ikan-
ikan keting atau lundu), atau yang sebelumnya dikenal sebagai Macrones. Marga ini
dipisahkan, salah satunya ialah karena anggotanya yang dewasa umumnya memiliki
tubuh yang berukuran besar.

ASPEK BIOLOGIS

Kondisi Peraian dan Pola Kebiasaan Makanan

Berdasarkan makanannya secara garis besar ikan dapat digolongkan menjadi


herbivora, karnivora, dan omnivora. Akan tetapi, dalam kenyataannya banyak sekali
terjadi tumpang tindih (overlap) yang disebabkan oleh keadaan habitat ikan itu hidup.
Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam hubungan ini diantaranya faktor
penyebaran organisme sebagai makanan ikan, faktor ketersediaan makanan, faktor
pilihan dari ikan itu sendiri serta faktor-faktor fisik yang mempengaruhi perairan
(Effendie, 2002 dalam Siregar dkk 2007).
Ikan pada umumnya mempunyai kemampuan beradaptasi tinggi terhadap
makanan dan pemanfaatan makanan yang tersedia di suatu perairan. Dengan
mengetahui kebiasaan makan ikan, maka kita dapat mengetahui hubungan ekologi
organisme dalam suatu perairan, misalnya bentuk-bentuk pemangsaan persaingan
makanan dan rantai makanan (Djajadiredja et al., 1977).
Menurut Kottelat et al, (1993) bahwa Famili Bagridae adalah ikan berkumis
air tawar yang bersifat nokturnal, yang hidup di air keruh aktif sepanjang hari.
Beberapa ikan bersuara katak pada waktu ditangkap, merupakan penghuni dasar air
dan memakan segala macam makanan. Sementara Djadjadiredja, dkk, (1977)
menyatakan bahwa ikan ini hidup di dasar perairan dan bersifat omnivora yang
makanan utamanya terdiri atas anak ikan, udang remis, insekta, molusca dan rumput.
Makanan utama ikan baung yang hidup di Waduk Juanda terdiri atas udang dan
makanan pelengkapnya berupa ikan dan serangga air, sehingga digolongkan dalam
jenis ikan kamivora. Berdasarkan hasil penelitian Alawi et al. (1990), terdapat 4
kategori organisme yang ditemui dalam lambung ikan baung, yaitu insekta air, ikan,
udang, dan detritus. Detritus ditemukan 41,4 %, insekta 36,4 %, ikan 31,3 %, dan
udang terdapat 5,1 % dari jumlah sampel ikan baung. Jika dirinci berdasarkan famili
dari organisme yang dijumpai, maka akan terlihat bahwa famili Gyrinidae menempati
urutan yang teratas. Gyrinidae adalah insekta air sejenis kumbang yang hidup di
perairan tenang atau mengalir, suka berenang di permukaan dan menyelam ke dasar
perairan terutama yang banyak akar kayu dan atau rerumputan sehingga dapat
bersembunyi dan mencari makan (Menit and Cumming, 1978). Jika dilihat di perairan
Sungai Kampar (Riau), banyak sekali dijumpai rerumputan dan pohon kayu di
sepanjang pinggir sungai yang merupakan habitat yang baik bagi insekta air.
Ikan baung yang terdapat di Sungai Klawing Kabupaten Purbalingga
menunjukkan bahwa ikan ini tidak melakukan pemilihan pakan alami kelompok
planktonik baik fitoplankton maupun zooplankton serta benthik, tetapi hanya
melakukan pemilihan positif terhadap kelompok nektonik, serpihan tumbuhan dan
serpihan hewan. Hal ini disebabkan karena hampir seluruh bagian Sungai Klawing
tersebut mengalir melalui daerah hutan sekunder, sawah, dan hanya sedikit yang
melalui pinggiran kota, selanjutnya dipinggiran sungai tersebut banyak terdapat
tumbuhan air baik mikroalga maupun makroalga. Serpihan hewan merupakan pakan
alami yang disukai oleh Ikan Baceman yang berada di sungai tersebut,. Hal ini
disebabkan kepadatan makrobenthos yang tinggi yaitu 37 individu/L atau 67
individu/m2 dan kelompok hewan makrobenthos yang mendominasi adalah dari kelas
Insecta. Ketersediaan pakan di perairan sangat mempengaruhi kebiasaan pakan ikan
di perairan tersebut (Demirhan et al., 2007 dalam Siregar dkk, 2007). Perbedaan
kebiasaan pakan diduga disebabkan antara lain oleh kondisi habitat yang berpengaruh
terhadap ketersediaan bahan makanan di tempat itu, ukuran ikan, jenis kelamin, umur,
ukuran pakan, waktu dan sebagainya
Menurut Samuel dkk (1995), makanan utama ikan baung adalah ikan (IBT >
25) yang berarti ikan baung tergolong ikan karnivora. Makanannya yang kedua adalah
detritus, rumput air dan udang (IBT : 4 - 25) dan makanan pelengkapnya adalah
golongan insekta, oligochaeta dan moluska (IBT < 4).
Di sini terlihat jelas bahwa di luar makanan utamanya yaitu ikan, makanan
kedua dan pelengkap ikan baung sangat bergantung kepada tipe habitat perairan di
mana ikan tersebut hidup. Rumput air cukup tersedia di perairan tipe rawang dan
danau sehingga tumbuhan ini menempati urutan ketiga dalam komposisi makanannya,
sedangkan udang yang menempati urutan ketiga di perairan tipe sungai diduga karena
udang cukup tersedia di perairan sungai dibandingkan dengan di perairan danau dan
rawang. Detritus, yang pada setiap habitat perairan selalu menduduki urutan kedua
dalam komposisi makanan alami ikan baung, merupakan indikator bahwa ikan baung
lebih menyukai hidup dekat dasar perairan, dan detritus merupakan bahan ikutan yang
masuk kedalam lambung sewaktu ikan baung memakan organisme dasar yang ada di
sekitarnya, sehingga memungkinkan IBT nya cukup tinggi.
Baung bersifat noktural, artinya aktivitas kegiatan hidupnya (mencari makan,
dan aktivitas lainnya) lebih banyak dilakukan pada malam hari. Selain itu, baung juga
memiliki sifat suka bersembunyi di dalam liang-liang di tepi sungai tempat habitat
hidupnya. Di alam, baung termasuk ikan pemakan segala (omnivora). Namun ada
juga yang menggolongkannya sebagai ikan carnivora, karena lebih dominan
memakan hewan-hewan kecil seperti ikan-ikan kecil (Arsyad, 1973). Pakan baung
antara lain ikan-ikan kecil, udang-udang kecil, remis, insekta, molusca, dan rumput.
Salah satu kondisi alam yang erat kaitannya dengan kebiasaan makanan adalah
keberadaan organisme dasar (benthos) di habitat perairan. Hasil penelitian yang
dilakukan Samuel dkk (1995), menemukan bahwa dari ketiga kelompok organisme
dasar (golongan insekta, oligochaeta dan moluska), golongan moluska lebih disuukai
oleh ikkan baung uuntuk makaanannya. HHal ini dapaat diketahuii dari nilai indekks
pilihan (IIndex of Eleectivity) kellompok org anisme dasaar yang dimmakan oleh ikan
bbaung.
Anndel. (20044) juga meenyatalan bbahwa kekeeruhan peraarian dari Hulu
hingga muuara Sungaai Kahayaann Kalimantaan Tengah, lebih banyyak disusunn
oleh ikan-ikan tidak bersissik, namunn Ikan Baung (Hemibaggrus nemuruus)
ditemukkan di semua lokkasi. Hal inni menunjukkkan bahwaa ikan Baunng
memilikki toleransi yang lebar terhaadap perubaahan kekeruuhan dan aruus.

Tabel 2.Indeks Pilihan (Indexx of Electivvity) kelommpok organiisme dasar yang


dimakan o leh ikan baaung, Hemiibagrus nemmurus selamma April 19992
-Januari 19993 (Samuel dkk (1995).

Reprroduksi

Meenurut Alawwi et al (19990) pada ikkan baung jantan lubaang genital agak
memanjanng dan terdaapat bagian yang merunncing ke araah caudal. AAlat ini
munngkin sebagai aalat bantu dalam meentransfer sperma saaat melakuukan
pemijahan. Sedangkann pada ikaan betina, llubang gennital bulat, lubang ini akan
berwwarna kemerahann bila ikan tersebut teelah mengaandung teluur pada tinggkat
kemataangan gonad (TKKG) V. Ovvarium merrupakan baggian alat kelamin betiina
yang uutama, karena menghasilkann telur seriing disebutt indung teelur. Ovariuum
menganndung komponen yang sangat penting yaitu folikel. Folikel pada uvarium
berasal dari epitel.

Menurut Hardjamulia dan Suhenda (2000) ikan baung dapat memijah


sepanjang tahun, tanpa mengenal musim. Pemijahan ikan baung secara alami masih
sulit dilakukan (Djajadireja, 1977). Pemijahan hanya bisa dilakukan dengan cara
buatan, yaitu dengan menyuntikan ovaprim, kemudian dilakukan pengurutan
(streefing). Telur-telur ikan baung juga bersifat adhesif atau melekat pada benda-
benda yang ada di perairan. Menurut Woynarovich dan Hovarth (1980), sifat adhesif
pada telur disebabkan oleh adanya lapisan glukoprotein. Lapisan itulah yang
menyebabkan telur-telur melekat pada setiap benda dalam air. Lapisan itu pula yang
menyebabkan antara telur yang satu dengan telur lainnya menempel. Keadaan itu
menyebabkan terjadi kekuarangan oksigen pada bagian tengahnya. Inilah salah
masalah dalam penetasan telur ikan baung yang menjadikan daya tetas telr ikan baung
menjadi rendah. Beberapa percobaan telah dilakukan untuk menghialngakan daya
lekat telur itu, diantaranya dengan menggunakan larutan susu dan tanin.

Perkembangan Gonad dan Fekunditas

Ikan baung mengalami enam fase kehidupan, sama dengan ikan mas dan ikan-
ikan lainnya. Bila fase ini dimulai dari telur, sikulus ikan baung adalah telur, larva,
benih, konsumsi, calon induk dan induk. Masa kematangan jantan dan betina ikan
baung berbeda. Ikan jantan lebih cepat matang gonad dari betina, dan mulai matang
pada umur 10 bulan, yaitu berukuran 100 gram. Sedangkan betina mulai matang
gonad pada umu 12 bulan, dengan ukuran yang sama.
Dari aspek perkambangan gonad, dalam kondisi yang baik, yaitu pada suhu 24
O
– 28 C dan oksigen minimal 4 ppm, telur Ikan Baung akan menetas dalam waktu 28
jam (Arifin (1985). Selama penetasan, dalam telur terjadi beberapa kali pembelahan
sel. Menurut Lagler et al., (1962) dalam Samuel (1995) ada 5 tahapan dalam
perkembangan telur menjadi embryo, yaitu impregnation, fertilization, cleavage,
gastrulasi dan organogenesis. Selanjutnya larva akan menjadi benih, dan dipelihara di
kolam-kolam. Untuk mencapai ukuran 1 – 2 cm pada umumnya dibutuhkan waktu
selama sebulan, ukuran 3 – 5 cm dibutuhkan waktu 2 bulan, ukuran 5 – 8 cm
dibutuhkan waktu selama 3 bulan, dan ukuran 10 cm – 12 dibutuhkan waktu selama 5
bulan. Selanjutnya benih dipelihara ditempat pembesaran hingga menjadi konsumsi
selama 6 bulan dari benih, dan menjadi calon induk dipelihara lagi sela tiga bulan.
Perkembangan tingkat kematangan gonad telur ikan baung selama penelitian
yang dilakukan Samuel dkk (1995) di Sungai Batanghari Jambi menunjukkan bahwa
tingkat kematangan gonad III, IV dan V terjadi pada saatsaat air menjelang naik.
Bulan Agustus merupakan batas terbawah tinggi air sungai Batanghari dan dari
Agustus sampai Desember air terus naik karena pada bulan-bulan tersebut terjadi
musim penghujan. Pada bulan Januari, ikan baung yang mencapai TKG V tersisa 4%
dan TKG VI ada 28%. Dari informasi ini diperkirakan bahwa ikan baung telah
melakukan pemijahan sebelum bulan Januari. Kalau Batanghari, maka diduga ikan
baung mulai memijah pada saat air menjelang naik (masuk pada musim penghujan).
Dari hasil wawancara dengan para nelayan diperoleh informasi bahwa ikan baung
waktu mau mijah melakukan migrasi dari sungai utama ke wilayah dataran banjir.
Samuel dkk (1995) menyebutkan bahwa fekunditas terendah ikan baung
adalah 4876 butir pada ikan yang berukuran panjang total 315 mm, berat 310 gram,
berat gonad 5 gram, IKG 1,61%, TKG III dan tertangkap pada bulan Agustus 1992.
Fekunditas tertinggi adalah 79594 butir pada ikan baung berukuran panjang 420 mm,
berat 800 gram, berat gonad 130 gram, IKG 16,25%, TKG V dan tertangkap pada
bulan Oktober 1992. Selanjutnya Menurut Alawi, et al., (1992) induk betina yang
berukuran 250 – 634 gram dapat menghasilkan telur (ovulasi) antara 50.000 –
150.000 butir, tetapi fekunditasnya antara 1.395 –
160.000 butir, dengan rata 60.000 butir setiap kilogramnya. Sementara Djajadiredja,
dkk, (1977) menyebutkan bahwa fekunditas ikan baung berada pada rentangan 1.365 -
160.235 butir. Seperti yang dikatakan oleh Snyder (1983) dalam Djajadiredja, dkk,
(1977) bahwa fekunditas dipengaruhi oleh ukuran ikan (panjang dan berat) dan umur.
Ikan yang berukuran besar cenderung memiliki fekunditas lebih besar daripada ikan
yang berukuran kecil. Fekunditas yang terbesar adalah
160.235 butir yang terdapat pada ikan baung yang memiliki berat tubuh 2.752 g dan
berat gonad 224 g. Fekundditas juga ddapat dipenggaruhi oleh fekunditas telur
(Woynaroovich and HHorvarth, 19980). Pada uumumnya, iikan yang bberdiameterr
telur 0,8 - 1,1 mmempunyai fekunditas 100.000 - 3300.000 buttir/kg berat iikan. Ikan
bbaung mempunyyai fekunditaas lebih keccil daripadaa jumlah terrsebut, yaknni
sekitar 600.000 butir/kg bberat tubuh. Jika dibanndingkan deengan fekunnditas ikan
channel caatfish, fekunditass ikan baunng jauh lebihh besar. Fekkunditas ikan catfish
((baung putihh asli Amerika) adalah sekiitar 7.000 buutir/kg beraat tubuh.

Tabel 3. NNilai Indekss Kematanggan Gonad ddan Fekundditas Ikan BBaung pada
TKG IIII, IV dan VV (Samuel eet al 1995)

Tabel 4. Peerkembangann TKG Ikan BBaung, di DAAS Batanghhari, Jambi (SSamuel dkk
1995)

Daari frekuenssi sebaran garis tengaah telur ikaan baung (TTabel 4) teerlihat
bahwa moodus diameeter telur ppada TKG III terjadi dalam kisaaran 0,70 -0,89
dengan nillai rata-rataa 0,771 mm . Pada TKGG IV moduss berada padda kisaran
11,30 -1,49 mm dengan nilaai rata-rata 1,332 mm dan pada TTKG V mo odus berada
pada kisaran 1,70 -1,89 mmm dengan nilai rata-raata 1,774 mmm. Nilai raata-rata
diammeter telur pada TKG III, IVV dan V berturut-turut 0,713 mm, 1,209 mm dan
1,707 mmm.
Tabel 5. Diistribusi gariis tengah teluur ikan batingg berdasarkaan tingkat kemmatangan
goonad dallam Samuel ddkk (1995

Billa TKG IV dan V merrupakan tinggkat kemataangan telur yang sudahh siap
memijah, dapat disimmpulkan bahhwa ikan baaung dengann kisaran IKKG antara
11,84 -16,25% ddan diameteer telur antarra 1,332 -11,774 mm yyang ditemuukkan
pada bbulan Oktober ddan Januari sudah siap untuk melaakukan pemmijahan. Haasil
ini tidakk jauh berbeda ddengan hassil penelitiaan laian yaang menyebbutkan bahhwa
ikan bbaung matang tellur pada IKG antara 1,K89 - 16,37%%.
Di danau Sipiin dan Kenaali, ikan bauung betina dengan tinggkat
kemataangan gonad IV (matang) ddidapatkan ppada bulan Oktober-MMaret,
sedanngkan untukk ikan baung janntan dengann TKG IV hanya terddapat padaa bulan
Okttober-Desemmber. Bersamaann dengan tidak terdappatnya ikan baung janntan dan
berrkurangnyaa ikan baung bettina yang mmatang gonaad setelah bbulan Desemmber,
makaa anak-anakk ikan baung barru didapatkaan pada bullan Januari.. Ikan baung di
Wadukk Juanda deengan TKG IV ditemukann dalam bbulan Oktoober-Maret,,
sehinggaa anaknya baru didapatkann pada bulaan Januari-MMaret denggan ukuran
panjang tootal 3,5 - 9,,5 cm dan bobot 0,33 - 6,466 g.

Beerdasarkan llaporan Alaawi et al. ((1990), ikann baung di perairan suungai


Kampar (RRiau) memiijah pada seekitar bulann Oktober saampai bulann Desemberr.
Hal ini merup akan fenommena umumm karena paada saat itu biasanya mmusim
hujann dan sebagian bbesar ikan ddi perairan umum memmijah pada aawal atau
ssepanjang mmusim hujan. Hall ini terjadi karena ikann yang akann memijah
uumumnya mmencari kawwasan yang amann dan banyyak makanaan. Kawasann
seperti inni didapatkaan pada kawwasan rerumputaan yang digeenangi air ppada saat
muusim hujan tiba.

Jenis Kelaamin

Jennis kelaminn ikan baunng dapat dikketahui denngan dua caara, yaitu
deengan membelahh perut daan memerikksa gonadnnya dan dengan menngamati
cirri-ciri morfologis. Gonad ikkan baung betina dan ikan baunng jantan teerletak di
roongga perut bagiian dorsal intestin. Go nad ikan baaung barn ddapat diperiiksa
setelahh ikan baung terssebut berukkuran 90 g aatau kira-kirra panjangnnya 20 cm.
Oleh karenna itu, ikan baunng yang leebih kecil dari ukuraan tersebutt dapat
dibbedakan deengan mengamatti lobang geenital (geniital pore). PPada ikan b aung
jantann, lobang genital agak memmanjang dann terdapat bbagian yanng meruncinng
ke arah caudal. Al at ini merupakann alat banttu untuk mmentransfer sperma.
Seedangkan pada ikan b etina, lobang geenitalnya beerbentuk buulat. Lobangg genital
inni akan berrwama kemmerahmerahanji ka ikan baaung betina tersebut teelah
mengaandung teluur pada TKKG V. Kromosomm berjumlaah 23 pasang yangg terdiri
aatas 2 passang krommosom metasentriik, 6 pasaang kromoosom akrosentrik, daan 15
passang krommosom telosentrikk.

Gambar PPerbedaan jantan dan bbetina (Handdoyo, dkk 2005)


Perkembaangan Teluur Ikan Bauung (Handooyo, dkk 20005)
Hubuungan Panjjang Berat dan Faktorr Kondisi

Saall (1995) mmengemukakkan bahwa berdasarka nnalisa

muel et aan hasil ahubungan panjang -berat ddan faktorr kondisi ikan
baunng (jantan dan betina),diddapatkan niilai parametter b untuk kelompok ikan
jantann berkisar aantara 2,52 - 3,30 dan untukk kelompokk ikan baunng betina, nilai b
berki sar antara 22,54 3,06. Nilaai parameteer b tersebbut menuruut CARLANNDER
(dallam EFFENNDIE 1997) ma sih dalam kkisaran benntuk tubuh ikan-ikan ppada
umummnya yaitu aantara 2,5 - 3,5.. Selanjutnnya dikemuukakan bahhwa hasil uuji-t
terhadap parametter b, terlihat bahwa polaa pertumbuuhan ikan baung, baik jantan
maupun b etina, cenderungg bersifat aloometrik yaiitu b berbedda dengan 3..
Tabel 6. HHubungan PPanjang Beraat dan faktro Kondisi Ikan baung jjantan yangg
teertangkap ddi sungai Baatanghari Jammbi (Samueel et al 19955)
Tabel 7. HHubungan PPanjang Beraat dan faktro Kondisi Ikan baung bbetina yangg
teertangkap ddi sungai Baatanghari Jammbi (Samueel et al 19955)

Keterangaan : * = b beerbeda dan 33 ( P= 0,05))

Nilai faktor kkondisi (KTTL) rata-rataa untuk ikann baung janntan adalah
1,12, jadi lebih kecil dari yang betinna (KTL = 1,20) dan ini membeerikan gambbaran
bahwa koondisi ikan baung betiina rata-rataa lebih moontok dibanndingkan deengan
kondisi ikkan baung jjantan. Sebbagaimana ddikemukakaan oleh EFFENDIE (11979)
salah satu pengaruh kkemontokann ikan betinna disebabkan oleh tinggkat
kemataangan gonad, di samping ittu faktor-faaktor lain sseperti makkanan dan uumur
juga dapat menyebabbkan perbeddaan nilai tersebut. TTabel 6 daan 7
mempperlihatkan nilai kondisi anntara 1,02 - 1,60, beerarti ikan baung (Heemibagrus
nnemurus) mmasih tergolong ikan-ikan yyang bentukk badannya tidak pipihh. Rasio
sekks antara janntan : betina = 97 : 100 mmasih dalamm perbandinngan yang ideal
dalamm suatu poppulasi ikan.
Pola Pertumbuhan
Pola pertumbuhan ikan baung adalah allometrik (b > 3). Pertambahan berat
lebih cepat daripada pertambahan panjang badan. Sedangkan berdasarkan jenis
kelamin, pertumbuhan ikan baung jantan berpola isometrik (b = 3), di mana
pertambahan berat sebanding dengan pertambahan panjang badan.
Ukuran ikan baung berhubungan dengan agresivitasnya dalam mencari makan
dan kematangan gonad. Karena harga b di atas 3, maka pertumbuhan berat ikan baung
cendemng lebih cepat daripada pertumbuhan panjang badan. Dengan demikian, faktor
makanan memegang peranan yang sangat penting. Jika ikan baung semakin banyak
mendapat makanan, maka pertumbuhan beratnya semakin tinggi. Karena itu, ikan
baung berukuran besar cenderung lebih agresif mencari makan sehingga
pertumbuhannya berpola allometrik.
Faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan ikan baung adalah kematangan
gonad. Ikan baung betina memiliki pola pertumbuhan allometrik. Hampir 77 % ikan
baung betina mengandung telur sehingga berat telur tersebut mempengaruhi pola
pertumbuhannya. Hal ini juga menyebabkan pola pertumbuhan ikan baung (jantan
dan betina) berpola allometrik. Pada waktu musim memijah, pola pertumbuhan ikan
baung betina bisa berbeda dengan ikan baung jantan.

3.5. Keragaman Genetik

Untuk mendukung program pembiakan spesies ini, kualitas benih yang bagus
sangat dibutuhkan. Untuk analisis genetik dari populasi yang ada. Sebuah alternatif
untuk menilai variasi genetik suatu populasi dapat dilakukan dengan penanda DNA.
Dendogramm dari ikann baung yangg dikoleksi dari 4 lokassi
Unntuk menjeelaskan varriasi genetiik Hemibaggrus nemuurus dari eempat
waduk, (Nugrohoo. E dkk., 1995) tellah melaukkan analisiss genetikannd ari
Hemibagrrus nemuruss dengan haasil sebagai bberikut :

Jattiluhur Cirata Wonogiri Wadaslintang


Jatiluhur xxxxxxxxxxx 0.336 0.859 0.3400
Cirata xxxxxxxxxx 1 0.247
Wonogiri xxxxxxxxxx 0.842
Wadaslinttang xxxxxxxxxxxx

Deendogram ddi atas memmperlihatkann perbedaann yang signnifikan antaara


ke empat poppulasi ikan baung denggan populassi cirata sebbagai daerahh yang
memmiliki keragamann genetik yang paliing tinggi. Hal inii mengindikasikan bbahwa
sumberdayya di daerahh ini sangat potensial uuntuk dibudiidayakan
PENUTUP

Mengingat begitu mendesaknya kebutuhan akan protein hewani yang berasal


dari ikan, maka sudah seharusnya memanfaatkan sumber-sumber hayati perairan yang
ada termasuk sumbedaya Ikan Baung dan dimanfaatkan semaksimal mungkin karena
akan dapat menunjang perluasan kesempatan kerja, meningkatkan pendapatan
nelayan dan perbaikan gizi masyarakat. Potensi perikanan tidak ada artinya, apabila
tidak dimanfaatkan secara optimal dengan usaha perencanaan yang baik. Untuk itu
diperlukan adanya suatu perencanaan suatu produksi yang diinginkan dengan potensi
yang ada, demi kelestarian sumberdaya perikanan.

Pengelolaan sumberdaya ikan baung hendaknya dilakukan berdasarkan azas


manfaat, keadilan, kemitraan, efisiensi dan kelestarian yang berkelanjutan.
Pengelolaannya dapat efektif dan efisien apabila melibatkan users dan stakeholder
lainnya di dalam perencanaan, implementasi, monitoring dan sebagainya dan dalam
yang paling penting adalah bahwa model pengelolaannya harus mengacu pada aspek
biologi (biological considerations), aspek fisik, aspek ekonomi, aspek budaya dan
kearifan lokal.

You might also like