You are on page 1of 24

MAKALAH

PRINSIP-PRINSIP TAUHUD
MENURUT Ismāīl Rājī al-Fārūqī

DISUSUN
DALAM RANGKA MEMENUHI
SALAH SATU PERSYARATAN KENAIKAN
PANGKAT JABATAN GURU

Oleh :
N a m a : Drs. Nur Kholiq
NIP : 196301081987031004

PEMERINTAH KABUPATEN JEPARA


DEPARTEMEN PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAHRAGA
UNIT PELAKSANA TEKNIS DINAS
SMA NEGERI 1 KEMBANG
Jl. Bangsri Keling, Km 6  (0291) 771186  59453

0
KATA PENGANTAR

1
DAFTAR ISI

Halaman Judul ……………………………………………………………….


Kata Pengantar ………………………………………………………………
Surat Keterangan ……………………………………………………………
Daftar Isi ………………………………………………………………………

Bab I : Pendahuluan ……………………………………………………….

Bab II : Pembahasan ……………………………………………………….


A. Pemikiran Al-Faruqi tentang Tauhid ………………………………...
B. Riwayat Hidup Ismāīl Rājī al-Fārūqī ……………………………….
C. Prinsip-Prinsip Tauhid ..........................................................................

Bab III Penutup ………………………………………………………………

Catatan Kaki
Daftar Pustaka

2
BAB I
PENDAHULUAN

Dalam khazanah buku-buku kalam/teologi Islam klasik sampai dengan kalam


modern, tema tauhid selalu menjadi bahasan utama. Hampir semua aliran teologi
atau kalam yang muncul seperti Muktazilah, Asy`ariyah, pemikiran ulama salaf
maupun khalaf selalu menjadikan masalah ketuhanan (baca: tauhid) sebagai
prinsipprinsip dasar pemikiran mereka.
Pembahasan tauhid dalam ilmu kalam/teologi Islam, oleh para mutakallimin
dimaknai sebagai paham "memahaesakan Tuhan" atau secara lebih sederhana
adalah paham "Ketuhanan Yang Maha This is a close examination of the book al-
Tawhīd: Its Implications for Thought and Life which is the work of al-Fārūqī.
Tauhid, as the core of religious experience, contains all human experience, as well
as its actualisation in a concrete and factual form. The essence of religious
experience in Islam is Allah. The epistemology of tauhid developed in this book is
how to comprehend God as the normative core in the Islamic cosmological
doctrine which requires the presence of creatures capable of understanding and
realizing God’s norms. This book clarifys that the tauhid of God directly forms the
reason for everything and is behind all phenomena. Tauhid means the
secularization of the world which is a condition for scientific knowledge.

Kata kunci: al- Fārūqī, tauhid, ilmu pengetahuan, kosmologi Islam.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pemikiran Al-Faruqi tentang Tauhid


Esa", 1 atau monoteisme murni. 2 Muktazilah misalnya, berpendirian bahwa tauhid
adalah mengesakan Allah baik sifat dan zat-Nya. Sedang menurut Asy'ariyah,
tauhid adalah mengesakan Allah dalam zat-Nya, tetapi Dia masih memiliki sifat-
sifat yang mutlak. 3 Karena begitu pentingnya pembahasan tauhid tersebut di dalam
ilmu kalam, sehingga sering juga disebut dengan Ilmu Aqa`id (Ilmu Akidah), Ilmu
Ushuluddin (Ilmu Pokok-Pokok Agama), dan Ilmu Tauhid.4
Adapun menurut Muhammad Abduh, tauhid adalah keyakinan bahwa Allah adalah
satu tidak ada syarikat bagi-Nya.5 Sedang Abu Sulayman, tauhid adalah eksistensi,
keesaan, dan keunikan Allah. Implikasinya adalah harus ada kesatuan dan
kesederajatan umat manusia karena manusia merupakan khalifah Allah yang akan
mengatur dunia menurut irādah-Nya. 6 Sementara menurut Sayyid Qutb, tauhid
merupakan karakteristik yang menonjol dalam setiap agama yang dibawa oleh
setiap rasul dari sisi Allah, di samping itu tauhid juga merupakan sendi pertama
agama Islam.7
Adapun pengertian tauhid secara bahasa berasal dari kata benda kerja (masdar) dari
wahhada, yang secara harfiah berarti menyatukan dan mengesakan.8 Namun,
makna generiknya diartikan sebagai "mempersatukan" hal-hal yang terserak atau
terpecah-pecah. Sebagaimana dalam bahasa Arab ada ungkapan tawhīd al-kalimah
yang berarti mempersatukan kata-kata, ucapan, persepsi, dan paham, dan dalam
ungkapan yang lain adalah tawhīd al-quwwah yang maknanya mempersatukan
kekuatan.
Dalam Al-Qur’an kata tauhid tidak ditemukan, yang ada adalah kata ahad dan
wāhid.9 Tetapi walaupun demikian menurut Nurcholish Madjid, tauhid telah

4
menggambarkan isi pokok ajaran Al-Qur'an.10 Bahkan, inti ajaran semua nabi dan
rasul yang diutus sebelum Nabi Muhammad adalah juga mengandung tauhid.11
Bila dibandingkan dengan buku-buku teologi/kalam yang ada baik buku klasik
sampai modern, buku al-Tawhid Its Implications for Thought and Life karya al-
Fārūqī memiliki kekhasan tersendiri. Letak kekhasan buku tersebut adalah bahwa
tauhid selalu dikaitkan dengan tanggung jawab moralitas, baik kepada Tuhan
maupun manusia, dan tauhid tidak semata-mata dikaitkan dengan permasalahan
ketuhanan tetapi juga mengaitkannya dengan permasalahan kebutuhan
kemanusiaan (basic human need). Oleh karena itu, tulisan ini ingin mengkaji buku
al-Tawhid tersebut sekaligus memperkenalkan tokoh pemikir Islam bernama
Ismā’īl Rājī al-Fārūqī ke hadapan pembaca.

B. Riwayat Hidup Ismāīl Rājī al-Fārūqī

Ismāīl Rājī al-Fārūqī adalah seorang ilmuwan dan aktivis muslim terkemuka yang
lahir di Jaffa, Palestina, pada tanggal 1 Januari 1921, 12 di mana Palestina saat itu
masih merupakan bagian dari Arab, sebelum pendudukan kaum zionis-Israel. Ia
sarjana dengan beberapa gelar akademis dan sekaligus aktivis dakwah dengan
mengecam kekakuan kesarjanaan karena cenderung mensterilkan manusianya. Ia
banyak mendalami filsafat dan perbandingan agama, tetapi komitmen
keislamannya hingga pada tingkat tertentu tampak memandulkan ketajaman
filosofis dan analitisnya.13 Al-Fārūqī adalah pendiri Pusat Pengkajian Islam di
Temple University Philadelphia, Amerika Serikat. Ia menginginkan aktualisasi
Islam dan tokoh Pan-Islamisme. 14 Pendidikan awalnya adalah di Madrasah Masjid
dan College de Freres di Libanon sejak tahun 1926-1936. Gelar sarjana muda
diraihnya dari American University di Beirut tahun 1941. Dengan penguasaan
bahasa Arab, Inggris, dan Prancis yang mahir, dia memahami khazanah intelektual
dari berbagai budaya dan peradaban yang kemudian membentuk karakter pribadi
maupun pola pemikirannya.15 Al-Fārūqī kemudian menjadi pegawai pemerintahan

5
Palestina atas mandat pemerintah Inggris selama empat tahun dan kemudian
diangkat menjadi Gubernur Galilea yang terakhir. Dengan jatuhnya provinsi ini ke
tangan Israel tahun 1947, ia memutuskan hijrah ke Amerika Serikat pada tahun
1948.
Hijrahnya ke Amerika Serikat tersebut, mengubah haluan hidupnya. Ia mulai
menggeluti dunia akademisnya di Amerika Serikat. Pada tahun 1949, dia meraih
gelar MA (S2) dalam bidang filsafat di Indiana University. Ia juga kuliah di
Harvard University dan mendapat gelar MA (S2) yang kedua kalinya dengan judul
tesis On Justifying the Good: Methaphysic and Epistemology of Value (Tentang
Pembenaran Kebaikan: Metafisika dan Epistemologi Nilai). Sedangkan gelar
doktor (S3) diperolehnya dari Indiana University pada tahun 1952.16 Ketika
konsep-konsep pemikiran al-Fārūqī belum biasa diterima oleh masyarakat di
sekelilingnya, ia pun terdorong untuk kembali ke dunia Arab. Selanjutnya selama
empat tahun ia mempelajari dan memperdalam ilmu pengetahuan keislaman di
Univesitas Al-Azhar Kairo, Mesir, dari tahun 1954-1958. Kemudian karier
mengajarnya terus berlanjut di McGill University Montreal, Kanada pada tahun
1959. Di McGill ia bertemu dan bergaul dengan Fazlur Rahman selama dua tahun
1959-1961. Selain mengajar al-Fārūqī juga mempelajari agama di luar Islam,
seperti Etika Yahudi dan Kristen. Pada tahun 1961-1963, al-Fārūqī pindah ke
Karachi Pakistan, memenuhi undangan Fazlur Rahman untuk ikut ambil bagian
dalam kegiatan "Central Institute for Islamic Research" dengan jurnalnya bernama
Islamic Studies. 17 Pada tahun 1963, al-Fārūqī kembali ke Amerika Serikat dan
memberi kuliah pada Fakultas Agama University of Chicago (1963-1964),
kemudian pindah ke program pengkajian Islam di Syiracuse University, New York
(1964-1968). Tahun 1968, ia pindah ke Temple University, Philadelphia, sebagai
Guru Besar Studi Islam dan Perbandingan Agama, 18 dan mendirikan Pusat
Pengkajian Islam. Ia mengabdi sebagai pengajar di universitas ini sampai akhir
hayatnya.

6
Di samping itu, al-Fārūqī juga menjadi dosen luar biasa di berbagai Perguruan
Tinggi di dunia, seperti Mindanou State University, Marawi City, Philipina, dan
Universitas Islam di Qum. Dialah perancang utama kurikulum The American
Islamic College, Chicago. 19 Al-Fārūqī banyak terlibat dalam perancangan program
pengkajian Islam di berbagai negara, seperti Pakistan, Afrika Selatan, India,
Malaysia, Libya, Arab Saudi, dan Mesir.
Al-Fārūqī duduk sebagai anggota dewan redaksi di delapan jurnal ilmiah
terkemuka, di antaranya, jurnal Islamic Studies, Islam and the Modern Age, dan
American Journal of Islamic Social Sciencies (AJISS). Karena prestasinya yang
menonjol dalam bidang akademik itulah, maka al-Fārūqī banyak menerima
penghargaan ilmiah. 20 Selama 30 tahun karier akademisnya, al-Fārūqī telah
menulis, menyunting, dan menerjemah sekitar 25 buku dan 104 artikel. 21 Semua
pemikirannya meliputi pemikiran Islam, teologi, filsafat, metafisika, sosial-politik,
ekonomi, kebudayaan, etika, sejarah, dan perbandingan agama. Selama hidup di
Barat, al-Fārūqī mengaktualisasikan Islam di dalam kehidupan modern, sekaligus
menjadikannya lebih dapat dipahami dan diterima. Seperti halnya pemimpin
modernis Islam akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ia mengatakan bahwa Islam
harus par excellence dengan akal, ilmu pengetahuan, serta kemajuan dengan
penekanan kuat kepada etika aksi dan etika kerja.22
Jika di sepanjang tahun 1950-1960-an al-Fārūqi menyuarakan dirinya sebagai ahli
waris Arab dalam hubungannya vis a vis dengan modernisme Islam dan empirisme
Barat, maka pada akhir tahun 1960-an dan awal 1970-an dia semakin banyak
mengemban tugas seorang sarjana aktivis Muslim. Perubahan dalam orientasi ini
merupakan bukti penyusunan kembali kerangka kerjanya, di mana Islam
menggantikan arabisme sebagai titik acuan utama. Karenanya, Islam selalu
menempati kedudukan penting dalam karya-karya al-Fārūqi, bahkan Islam telah
menjadi prinsip pengorganisasian. Islam dihadirkan sebagai ideologi yang
mencakup segala sesuatu, sebagai identitas utama dari komunitas orang-orang

7
yang beriman yang meliputi seluruh dunia dan sebagai prinsip penuntun
masyarakat dan kebudayaan.
Al-Fμrμq³ berhasrat kuat untuk mengislamkan ilmu pengetahuan. Dalam rangka
mencapai tujuan ini, ia mendirikan dan memimpin banyak organisasi, termasuk
Muslim Student Association, The Association of Muslim Professionals, dan
Association of Muslim Social Scientiests yang didirikannya pada tahun 1972, dan
menjadi presidennya yang pertama sampai 1978, dan dijabat lagi pada tahun 1980-
1982. Pada tahun 1981 ia mendirikan International Institute for Islamic Thought—
IIIT di Virginia.23 Organisasi yang bergerak dalam ilmu-ilmu sosial ini kemudian
menerbitkan jurnal American Journal of Islamic Social Sciencies, dan presiden
pertama pada The American Islamic College, Universitas Chicago, dan dewan
pengawas Masyarakat Islam Amerika Utara (Islamic Society of North America--
ISNA).
Di tengah suasana meningkatnya serangan terorisme di Eropa Barat yang memicu
gerakan anti Arab di Amerika Serikat pada awal tahun 1986, beberapa orang Arab
dibunuh dan dianiaya oleh kelompok tidak dikenal. Banyak tersebar poster-poster
berbau anti Arab yang diduga disebarkan oleh kelompok Jewish Defense League
dan Jewish Defense Organization. Prof. Dr. Ismāīl Rājī al- Fārūqī dan istrinya Lois
Lamya' al-Fārūqī dibunuh di dalam rumahnya dalam suatu serangan oleh
kelompok tak dikenal di Wycote Philadelphia, tengah malam menjelang sahur pada
tanggal 18 Ramadan 1406 H/27 Mei 1986 M. 24 Ismāīl Rāji al-Fārūqī wafat seketika
dengan cara ditikam dan disayat lebih dari 13 kali yang mengenai jantungnya,
sedangkan istrinya Lamya' ditusuk 8 kali, dan satu di antaranya mengenai dadanya.
25 Pada peristiwa ini, juga menyebabkan dua anak beliau wafat akibat keganasan
tersebut yang di duga agen Mossad berperan di balik kejadian itu.
Untuk mengenang usaha dan karya al-Fārūqī, Organisasi Masyarakat Islam
Amerika Utara (ISNA) mendirikan The Ismā’īl and Lamya' al-Fārūqi Memorial
Fund, yang bermaksud memberikan beasiswa dalam penelitian dan pengembangan
ilmu-ilmu Islam, selaras dengan islamisasi ilmu pengetahuan yang dicita-

8
citakannya. Gambaran Buku Al-Tawhīd Its Implications for Thought and Life.
Buku ini diterbitkan oleh penerbit International Institute of Islamic Thought (IIIT)
Herndon, Virginia, U.S.A. Buku ini berjumlah 248 halaman plus indeks, kata
persembahan, dan lampiran-lampiran glosari karya al-Fārūqī. Karya ini telah terbit
dalam tiga edisi, edisi pertama terbit pada tahun 1982, kedua tahun 1992, dan edisi
ketiga tahun 1995.
Buku al-Tawhīd, merupakan penuangan dari konsep-konsep pemikiran al-Faruqi
menjelang akhir hayatnya. Terlebih dari kekurangan dan kelebihannya, buku ini
merupakan suatu sintesis yang sangat impresif, merangkum tulisan-tulisan yang ia
buat sebelumnya. 26 Al-Tawhīd, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
oleh Penerbit Pustaka, Bandung pada tahun 1995. Penerjemahnya adalah Rahmani
Astuti, dan penyuntingnya adalah Ahsin Mohammad. Buku ini terdiri dari 13 bab,
bab pertama berisi tentang esensi pengalaman keagamaan, yaitu tauhid sebagai
pengalaman keagamaan, dan dan tauhid sebagai pandangan dunia (worldview), dan
bab kedua berisi tentang intisari Islam, yaitu pentingnya tauhid, transendensi
ketuhanan dalam agama Yahudi dan Kristen, transendensi ketuhanan dalam Islam,
dan sumbangan khusus Islam terhadap budaya dunia. Adapun bab ketiga sampai
bab ketigabelas berisi tentang prinsip-prinsip tauhid, yaitu prinsip sejarah, ilmu
pengetahuan, metafisika, etika, tata sosial, ummah, keluarga, tata politik, tata
ekonomi, tata dunia, dan estetika.

C. Prinsip-Prinsip Tauhid

Dalam buku al-Tawhīd Its Implications for Thought and Life, al-Fārūqī
menyatakan bahwa esensi peradaban Islam adalah Islam dan esensi Islam adalah
tauhid—suatu afirmasi atau pengakuan bahwa Allah adalah Yang Maha Esa,
Pencipta yang Mutlak, Transenden, dan Penguasa alam semesta.27 Di dalam buku
ini dijelaskan bahwa prinsip-prinsip tauhid yang mencakup 11 aspek, yaitu:

1. Tauhid sebagai Prinsip Sejarah28

9
Tauhid menempatkan manusia pada suatu etika berbuat atau bertindak, yaitu etika
di mana keberhargaan manusia sebagai pelaku moral diukur dengan tingkat
keberhasilan yang dicapainya dalam mengisi aliran ruang dan waktu, dalam dirinya
dan lingkungan sekitarnya. Dalam banyak ayatnya, Al-Qur'an telah memberikan
pembenaran kepada ciptaan dan melukiskannya sebagai tempat di
mana manusia menjalankan tugas kosmiknya. Secara empatis Al- Qur'an
menegaskan bahwa dunia adalah lapangan yang harus direalisasikan oleh manusia
dengan sebaik-baiknya. Konsekuensinya, urusan-urusan di dunia ini dalam Islam
mempunyai arti yang sangat penting dan serius. Sejarah adalah penting bagi umat
Islam dan akan dipertanggungjawabkan kepada Yang Mutlak. Harus dipahami
bahwa hasil akhir dari sejarah adalah konsekuensi langsung dari tindakan mereka
sendiri dalam sejarah, baik pada tingkat pribadi, maupun pada tingkat komunal.
Tauhid dengan demikian memungkinkan umat Islam untuk memandang dirinya
sendiri sebagai pusat pusaran sejarah, karena dia adalah
satu-satunya wakil Tuhan yang dapat membawa kehendak-Nya menuju realisasi
pemenuhannya dalam sejarah.

2. Tauhid sebagai Prinsip Pengetahuan 29


Bagi al-Fārūqī, kata belief (kepercayaan) ataupun faith tidak tepat digunakan bagi
orang Islam. Kata tersebut mengandung ketidakbenaran, kemungkinan, keraguan,
dan kecurigaan, karena orang atau kelompok tertentu menganggap suatu proposisi
tertentu sebagai kebenaran. Istilah itu hanya sahih bila dikenakan bagi
seseorangatau kelompok tertentu. Istilah tersebut berbeda dengan ³m±n dari kata
amn atau keamanan, yang berarti bahwa proposisi-proposisi yang diajukannya
sungguh-sungguh benar, dan kebenaran mereka telah dimiliki, dipahami dan
diterima oleh akal pikiran. Sifat reasonable dari iman terhadap pikiran adalah
dalam keadaannya yang sangat kritis, ia tidak takut tandingan, dan tidak bekerja
secara rahasia.

10
Tauhid sebagai prinsip pengetahuan adalah pengakuan bahwa Allah, Kebenaran
(al-¦aqq), itu ada, dan dia Esa. Lewat tauhid, kebenaran bisa diketahui dan manusia
mampu mencapainya. Sebagai prinsip metodologi, tauhid memiliki prinsip,
pertama, penolakan terhadap segala sesuatu yang tidak berkaitan dengan realitas,
artinya tidak boleh berdusta dan menipu, karena sesuatu dalam agama terbuka
untuk diselidiki dan dikritik; kedua, penolakan kontradiksi-kontradiksi hakiki, di
sini berlaku prinsip rasionalisme; dan, ketiga, keterbukaan bagi bukti yang baru,
yaitu melindungi kaum muslimin dari literalisme, fanatisme, dan konservatisme
yang mengakibatkan kemandegan. Singkatnya adalah bahwa tauhid merupakan
kesatuan kebenaran.

3. Tauhid sebagai Prinsip Metafisika 30


Dalam Islam, alam adalah ciptaan dan anugerah. Sebagai ciptaan, ia bersifat
teleologis, sempurna, dan teratur; sebagai anugerah, ia merupakan kebaikan yang
tak mengandung dosa yang disediakan untuk manusia. Tujuannya adalah untuk
memungkinkan manusia melakukan kebaikan dan mencapai kebahagiaan. Dengan
sendirinya, tauhid berarti penghapusan terhadap setiap kekuatan yang
bekerja dalam alam di samping Tuhan. Tauhid mengumpulkan seluruh benang
rajut kausalitas dan mengembalikan kepada Tuhan, bukan kepada kekuatan yang
lain. Tauhid di dalam Islam menjadi syarat bagi ilmu pengetahuan bukan
penghalang. Alam yang dipandang melalui tauhid, sangat sesuai dan siap diamati
dan dianalisis secara ilmiah.
Islam mengajarkan bahwa alam diciptakan sebagai panggung bagi manusia sebagai
lapangan tempat tumbuh dan berkembang, menikmati anugerah Tuhan dengan
aturan-aturan-Nya, yakni, 1) alam bukanlah milik manusia melainkan milik Tuhan.
Manusia harus mampu menjaga keseimbangan ekologisnya, bukan
mengeksploitasi atau merusak alam tersebut; 2) tatatan alam tunduk kepada
manusia yang dapat mengubah seperti yang dikehendakinya dengan syarat ada
tanggung jawab di dalamnya; 3) dalam memanfaatkan dan menikmati alam,

11
manusia diperintahkan untuk bertindak sesuai dengan aturan moral; dan, 4) Islam
menuntut manusia untuk menyelidiki dan memahami pola-pola Tuhan dalam alam,
tidak hanya pola-pola yang terkandung dalam ilmu-ilmu kealaman, tapi juga pola-
pola yang terkandung dalam tatanan umum dan keindahan alam.
4. Tauhid sebagai Prinsip Etika 31
Tauhid menegaskan bahwa Tuhan telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
paling baik dengan tujuan mengabdi kepada-Nya. Manusia berfungsi sebagai wakil
Tuhan di muka bumi dan mengemban amanat di dalamnya. Amanat atau
kepercayaan Ilahi tersebut berupa pemenuhan unsur etika dari kehendak Ilahi yang
sifatnya mensyaratkan ia harus direalisasikan dengan kemerdekaan, dan manusia
adalah satu-satunya makhluk yang mampu melaksanakan tugas dan amanatnya itu.
Tanggung jawab atau kewajiban (taklīf) yang dibebankan pada manusia sama
sekali tidak mengenal batas. Ia mencakup seluruh alam semesta, di mana taklīf atau
kewajiban manusia bersifat universal, kosmik. Ia hanya berakhir pada hari kiamat.
Dalam Islam, etika dan agama tidak dapat dipisahkan. Tidak ada dalam pikiran
Islam kata yang bertentangan, seperti religius-sekular, sakralprofan, dan lain-lain.
Kesadaran dalam diri manusia bersifat terikat, begitu juga terhadap lingkungannya.
Ia bersifat posesif, sekaligus tremendum dan fascinosum. Artinya, bahwa pada satu
sisi Allah swt. menampakkan sifat-sifat keangkerannya, namun pada sisi lain Ia
juga memperlihatkan sifat kasih sayangnya terhadap manusia.
Maka, harus dipahami adalah ketika Allah menampakkan sifat keangkeran tersebut
semata-mata karena cinta-Nya kepada manusia agar tidak terjerembab dalam
kubangan kenistaan, kehinaan dan hidup penuh dengan dosa.

5. Tauhid sebagai Prinsip Tata Sosial32


Islam adalah agama yang sesuai dengan ruang dan waktu. Islam menghendaki agar
manusia memenuhi kebutuhannya secara wajar, seperti makan-minum, rumah yang
nyaman, mengubah dunia menjadi taman yang indah; menikmati seks,

12
persahabatan yang baik dalam kehidupan, mengembangkan ilmu pengetahuan,
mengelola alam, berserikat, berkumpul dan membangun struktur sosio-politik.
Dalam Islam, tata sosial adalah inti dari ajaran dan lebih penting dari tata pribadi,
meskipun tata pribadi menjadi prasyarat menjadi tata sosial. Islam sepakat dengan
semua agama yang mementingkan nilai-nilai pribadi dan mengakuinya sebagai
sine qua non dari seluruh kebajikan dan kesalehan.
Dalam etika, niat di mana kebajikan moral merupakan fungsi dari keterikatan diri
(self commitment) yang tidak ada hakim yang dapat menilai dirinya selain
nuraninya sendiri—Tuhan. Tetapi hal ini sama sekali tidak menafikan pentingnya
nurani yang tetap bekerja. Di atas dan di luar nurani, perangkat mekanisme
masyarakat (legislatif, yudikatif, dan eksekutif) harus terjun ke lapangan dan
mengatur kehidupan manusia.
Sebagaimana pola-pola Tuhan dalam alam yang mencakup seluruh ciptaan, dan
dengan demikian, ciptaan itu harus dibentuk menjadi kosmos yang tertib. Nilai
ketentuan moral berlaku bagi semua orang, tidak terbatas kepada sekelompok
manusia saja. Dari sini akan muncul dua konsekuensi dari prinsip masyarakat
Islam; pertama, masyarakat Islam tidak akan pernah bisa membatasi dirinyapada
suku, bangsa, ras atau kelompok tertentu saja; dan, kedua, masyarakat Islam mesti
dikembangkan ke semua umat manusia. Masyarakat Islam adalah masyarakat
terbuka, dan setiap manusia boleh bergabung di dalamnya.

6. Tauhid sebagai Prinsip Ummah 33


Dalam Islam ada dua istilah yang sejajar dengan komunitas, yaitu sya‘b dan qaum.
Kedua istilah ini dipakai hanya kepada kelompok tertentu saja, tapi ia akan
menjadi komunitas atau "masyarakat" Islam apabila memiliki kebudayaan dan
peradaban yang integral dan sama-sama memeluk agama Islam, dan inilah yang
disebut ummah. Ummah adalah masyarakat universal, mencakup ragam etnisitas,
tetapi komitmennya terhadap Islam mengikat mereka dalam tata sosial yang

13
spesifik. Ummah bersifat trans-lokal, tidak ditentukan oleh pertimbangan
geografis, dan trans-statal, yang bisa mencakup beberapa atau banyak negara.
Oleh karena itu, hakekat ummah adalah; 1) menentang etnosentrisme, maka ketika
etnisitas menjadi etnosentrisme, Islam mengutuknya sebagai kekufuran; 2)
universalisme, di mana cita-cita komunitas universal adalah cita-cita Islam; 3)
totalisme, artinya Islam relevan dengan setiap bidang kegiatan hidup manusia yang
berdasarkan kehendak Tuhan; 4) kemerdekaan, tidak ada kekerasan, pemaksaan
terhadap rakyat, regimentasi mungkin penting itu pun sebatas pelaksanaan saja;
dan 5) misi, di mana ummah merupakan matriks wahyu Tuhan yang definitif, alat
kehendak-Nya, dan titik di mana yang Ilahiah bertemu dengan kosmos, dan tujuan
eksistensinya adalah agar firman Tuhan terjunjung tinggi.

7. Tauhid sebagai Prinsip Keluarga 34


Keluarga Islam tetap akan lestari sebab ia ditopang oleh hukum Islam, dan
dideterminasi oleh hubungan eratnya dengan tauhid sebagai pengalaman agama
Islam. Islam menganggap bahwa keluarga mutlak perlu bagi pemenuhan tujuan
Ilahi. Tidak akan ada tauhid tanpa pemenuhan keluarga tersebut. Berpegang pada
tauhid berarti menghayati perintah-perintah Tuhan sebagai satu kewajiban, dan
pada saatnya harus mengaktualisasikan nilai-nilai yang tersirat dalam perintah-
perintah itu. Dalam membentuk keluarga, perlu diperhatikan hal-hal berikut, yaitu:
pertama, kesamaan derajat,35 karena Allah menjadikan laki-laki dan perempuan
sederajat dalam hak-hak keagamaan, etika dan sipil, serta tugas-tugas dan
kewajiban-kewajiban mereka. Mereka akan memiliki perbedaan fungsi ketika
menjadi ayah dan ibu. Kedua, pembedaan peranan, Islam menganggap laki-laki
dan perempuan diciptakan dalam fungsi yang berbeda tetapi saling melengkapi.
Ketiga, busana muslimah, Islam memerintahkan wanita muslim untuk menutup
auratnya. Mereka harus punya fungsi di dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.36

8. Tauhid sebagai Prinsip Tata Politi k37

14
Ummah sama dengan negara, artinya ia berdaulat dan memiliki organ-organ serta
kekuasaan yang diperlukan oleh kedaulatan tersebut. Sebagai negara ummah lebih
tepat disebut khil±fah daripada daulah, karena yang pertama lebih dekat dengan
tradisi Islam dan tauhid yang bersumber dari Al-Qur'an. Di sini akan dilihat
khilafah mempunyai implikasi tauhid terhadap teori politik. Kekhalifahan
merupakan kesepakatan dari tiga dimensi, yaitu: pertama, kesepakatan wawasan
(ijma‘ al-ru’yah), kesepakatan pikiran atau kesadaran akan pengetahuan nilai-nilai
yang membentuk kehendak Ilahi dan gerakan dalam sejarah yang telah
dihasilkannya. Bersama-sama dengan ijma‘ dan ijtih±d merupakan suatu gerak
dialektika yang membentuk dinamisme Islam di bidang gagasan. Kedua,
kesepakatan kehendak (ijma‘ al-ir±dah), di sini ada sensus communis antara kaum
muslimin dalam kepatuhan yang padu terhadap seruan Tuhan, dan menerjemahkan
nilai-nilai menjadi tugas konkret bagi individu, kelompok, dan pemimpin. Ketiga,
kesepakatan tindakan (ijma‘ al-‘amal), ia merupakan titik klimaks dalam peristiwa
aktual, dan merupakan pelaksanaan dari kewajiban-kewajiban yang timbul dari
ijma‘. Hal terpenting yang harus diperhatikan dalam kesepakatan tindakan ini
adalah pemberian pendidikan kepada setiap anggota ummah sampai pada batas dan
ketinggian di mana realisasi diri yang sepenuhnya dapat dicapai.

9. Tauhid sebagai Prinsip Tata Ekonomi 38


Muhammad Iqbal menegaskan bahwa "tindakan politik adalah ungkapan
spiritualitas Islam". Senada dengan Iqbal, al-Fārūqī juga menyatakan bahwa
"tindakan ekonomi adalah ungkapan spiritualitas Islam". Baginya, ekonomi adalah
esensi Islam, tanpa ekonomi yang berkeadilan tidak akan ada spiritualitas Islam
yang adil. Dengan tegas Islam melarang orang untuk mengemis, hidup sebagai
benalu atas hasil kerja orang lain. Nabi saw. menunjukkan kepada kita sejumlah
kesempatan di mana ia memuji usaha ekonomi manusia dan mencela kepasrahan
ekonomi.

15
Tauhid menempatkan manusia pada lapangan etika tindakan; yaitu etika di mana
kebaikan dan keburukan diukur dengan tingkat keberhasilan subjek moral dalam
mengisi ruang dan waktu di dalam dirinya dan juga di lingkungan sekitarnya.
Menurut Islam materi dan kerohanian adalah satu hal yang saling terkait, dan tidak
bisa dipisahkan. Maka perubahan ke arah yang lebih baik di bidang spiritual atau
politik haruslah menunjukkan pengaruh yang nyata di bidang materi. Setiap
ketimpangan atau kekurangan di satu segi akan merusak seluruh sistem, terutama
transendensi Tuhan sendiri. Transendensi Ilahi tidak membolehkan pembedaan
yang berbentuk apa pun antara umat manusia sebagai objek pemeliharaan Ilahi dan
objek kenormativan etika.
Implikasi premis ini dalam tata ekonomi melahirkan dua prinsip utama, yaitu;
pertama, bahwa tidak satu individu atau kelompok pun boleh memeras yang lain;
kedua, tidak satu kelompok pun yang boleh mengasingkan atau memisahkan diri
dari kelompok umat manusia lainnya dengan tujuan untuk membatasi kondisi
ekonomi mereka sendiri. Tauhid menetapkan bahwa prinsip negara Islam harus
bebas dari monopoli dan penimbunan barang. Tauhid mempersiapkan ummah
untuk meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Kehidupan ekonomi harus diatur
secara baik untuk memastikan kedua kebahagiaan tersebut. Kegagalan
mengaturnya berarti kegagalan ummah secara kolektif, dan menuntut dilakukannya
perubahan yang lebih berakar dari perubahan pemerintahan.

10. Tauhid sebagai Prinsip Tata Dunia 39


Tauhid menuntut satu formasi dalam tata dunia, yaitu universalisme. Karena
ummah adalah suatu masyarakat baru yang diorganisasikan bukan atas dasar suku
atau ras, melainkan agama. Tata dunia baru (pax islamica) Islam adalah tatanan
yang penuh kedamaian. Perdamaian bersifat umum dan terbuka bagi semua
manusia, individu dan kelompok. Di luar semua hubungan ekonomi dan sosial
adalah klaim ideasional Islam bahwa manusia mesti memiliki tata kedamaian
universal, suatu tata komunikasi di mana orang-orang bebas memberi dan

16
menerima, mendengar dan didengar, meyakinkan dan diyakinkan terhadap suatu
kebenaran. Syariat mengakui hak setiap orang untuk memanfaatkan proses hukum.
Hukum Islam bertujuan mencari keadilan yang didefinisikan dalam terma-terma
individu. Keadilan mutlak gratis bagi seorang yang dinilai tidak bersalah oleh
pengadilan dan ongkos perkara dipikul oleh pihak yang bersalah. Pengadilan Islam
secara ipso facto memiliki kekuasaan atau mempelajari setiap tuntutan dan
bertindak sesuai dengan tindakan hukum. Jelas sekali bahwa tidak ada diskriminasi
dalam tata dunia Islam, dan menjamin seluruh hak dan kewajiban setaip individu
maupun organisasi atau kelompok.

11. Tauhid sebagai Prinsip Estetika 40


Tauhid berarti pemisahan secara ontologis antara Tuhan dan seluruh yang bersifat
alam. Segala bentuk ciptaan Allah adalah makhluk dan tidak transenden serta
tunduk kepada hukum ruang dan waktu. Dengan pengalaman estetik (aesthetic
experience), tauhid bermakna sebagai satu tangkapan yang dilakukan melalui alat
indera terhadap esensi metanatural yang bersifat a priori –– dengan demikian
berarti ia bersifat transenden. Pengalaman estetik berkaitan dengan hasil
pengamatan tentang keindahan (the beauty) atau yang indah (the beautiful). The
beauty bersifat objektif, tansendental, mistik, dan unspeakable; yaitu objek atau
sumber keindahan itu sendiri adalah Tuhan dan alam semesta.
Sedangkan the beautiful bersifat subjektif, ekspresif, kultural, dan pemahaman
yang berkaitan dengan pengalaman estetik dan tangkapan pengamatan terhadap the
beauty.
Dalam kehidupan manusia, binatang dan tumbuhan, rasa keindahan hadir sedekat
mungkin dengan esensi a priori. Objek yang indah adalah apa yang terungkap
dalam alam. Seni sebagai benda estetik merupakan hasil penemuan atas esensi
metanatural yang ditampilkan dalam wujudnya yang jelas. Tauhid tidak
bertentangan dengan kreativitas seni, sebaliknya tauhid mendorong pengembangan

17
nilai keindahan dalam kehidupan. Nilai keindahan yang mutlak itu adalah diri
Tuhan di dalam firman atau kehendak yang difirmankan-Nya.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan ;
Pembahasan tauhid dalam buku al-Tawhīd Its Implications for Thought and
Life jauh melampaui buku-buku para pemikir dan ulama sebelumnya. Al-
Farμq³ dalam merumuskan tauhid tidak lagi berorientasi pada
pemberantasan takhayul, bid`ah, dan khurafat serta sama sekali tidak
terkungkung oleh polemik teologis yang bersifat spekulatif sebagaimana
pada masa teologi Islam klasik. Buku al-Tawhīd dibangun atas konsepsi
tauhidnya kepada dua hal; pertama, meliputi prinsip dualitas,
ideasionalitas, teleologis, kapasitas manusia dan adaptasi alam serta
tanggung jawab dan perhitungan; kedua, esensi peradaban, yaitu mencakup
dimensi metodologis yang terdiri dari unitas, rasionalisme dan toleransi,
dan dimensi isi, yang mencakup tauhid sebagai inti pengalaman
keagamaan, metafisika, etika, estetika, aksiologi ilmu pengetahuan, dan
prinsip dasar kemasyarakatan. Sebagai inti pengalaman keagamaan, tauhid
mencakup bentuk pengalaman kemanusiaan maupun perwujudan konkret
dan faktual. Sedangkan esensi pengalaman keagamaan dalam Islam adalah
Allah swt.
Kerangka epistemologi yang dibangun oleh al-Fārūqī adalah bagaimana
memahami Tuhan sebagai inti normatif dalam doktrin kosmologi Islam

18
yang mengharuskan ada makhluk yang mampu memahaminya, dan
merealisasikan norma-norma Tuhan tersebut. Tauhid menegaskan bahwa
Tuhan secara langsung merupakan sePrinsip- bab dari segala sesuatu di balik
setiap peristiwa. Tauhid juga berarti profanisasi dan sekularisasi alam, yang
merupakan syarat dari ilmu pengetahuan. Akhirnya, terlepas dari
kekurangan dan kelebihannya sebagai aktivis dakwah dan intelektual Islam
kontemporer, maka buku al-Fārūqī ingin mengupayakan integralisasi ilmu
pengetahuan modern dengan doktrin Islam menjadi suatu yang organis.
Buku tersebut dapat disetarakan dengan buku-buku karya tokoh
neomodernisme, seperti Muhammad Iqbal dan Fazlur Rahman, meskipun
di sisi lain buku al-F±rμq³ cenderung kepada neosalafisme karena
penekanannya terhadap ajaran-ajaran Ibn Taimiyah dan Muhammad ibn
Abdul.

B. Saran ;

19
Catatan Kaki :

1 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 72


2 Mircea Eliade (ed.), Encyclopedia of Religion Experience (New York: Macmillan, 1986), Vol.
X, h. 68.
3 Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press,
1986), h. 52-53.
4 Nurcholish Madjid, o. cit., h. 202.
5 Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), h. 3.
6 Abdul Hamid A. Abu Sulayman, Toward an Islamic Theory of International Relations,
(Herndon Virginia: IIIT, 1993), h. 128.
7 Ibid., h. 439.
8 Ahmad Syantanawi, et. al., Dairat al-Ma'arif al-Islamiyah (Beirut: Dar al-Fikr, 1933), Jilid V,
h. 528
9 Ibid.
10 Nurcholish Madjid, op. cit., h. 72.
11 Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Qur'an, (Bandung: Pustaka, 1983), h. 121.
12 John L. Esposito (ed.), Oxford Encylopedia of the Islamic Modern World (New York: Oxford
U.P., 1995), Vol. II, h. 3.
13 Ihsan Ali Fauzi, "Faruqi Sebagai Sarjana dan Aktivis", dalam Majalah Ummat, No. 25, Tahun I,
10 Juni 1996, h. 50.
14 John L. Esposito (ed.), op. cit., h. 3.
15 Ibid.
16 Tentang judul desertasi al-Fārūqi, pembacaan dari berbagai sumber tidak disebutkan apa judul
desertasinya.
17 Kafrawi Ridwan, dkk., Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993), jilid I,
h. 334.
18 Ismāīl Rāji al-Fārūqi, Historical Atlas of Religion of the World (New York: Macmillan, 1974),
h. xi.
19 Kafrawi Ridwan, dkk., op. cit., h. 334-335.
20 Ibid., h. 335
21 Muhammad Syafiq, Mendidik Generasi Baru Muslim, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000)
22 John L. Esposito (ed.), op. cit., h. 4.

20
23 M. Thariq Quraishi, Isma'il Raji al-Faruqi: An Enduring Legacy (Plainfield, 1986).
24 Kafrawi Ridwan, op. cit., h. 336.
25 Lihat Pengantar "Suami-Istri yang Bersama-sama Mewariskan Kekayaan Intelektual Islam
Tiada Tara", dalam Isma’il Raji al-Faruqi dan Lois Lamya’ al-Faruqi, Ilyas Hasan (penerjemah),
Atlas Budaya Islam Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang (Bandung: Mizan, 1998), h. 5-
8.
26 Ismā’īl Rāji al-Fārūqi dan Lois Lamya’ al-Fārūqi, Atlas Budaya Islam Menjelajah Khazanah
Peradaban Gemilang, terjemah Ilyas Hasan, (Bandung: Mizan, 1998), h. 6
27 Ismā’īl Rājī al-Fārūqi, Al-Tawhīd Its Implications for Thought and Life (Herndon Virginia: IIIT,
1986), h. 17.
28 Ibid., h.33-37.
29 Ibid., h. 39-48.
30 Ibid., h. 49-59.
31 Ibid., h. 61-84.
32 Ibid., h.. 85-102.
33 Ibid., h. 103-128.
34 Ibid., h. 129-139.
35 Tentang kesamaan derajat dan kesederajatan etis, lihat Q.S. 3: 195; 9: 71-72, dan 16: 97;
kesederajatan sipil Q.S. 60: 12; 5: 38; 24: 2; 4: 34.
36 Lihat Q.S. 60: 12; 9: 71-72; 3: 195.
37 Ismā’īl Rājī al-Fārūqi, Al-Tawhīd Its Implications for Thought and Life, h. 141-155.
38 Ibid., h. 157-191.
39 Ibid., h. 185-193.
40 Ibid., h. 195-216.

21
Daftar Pustaka
Abduh, Muhammad. 1989. Risalah Tauhid. Jakarta: Bulan Bintang.
Abu Sulayman, Abdul Hamid A. 1993. Toward an Islamic Theory of International
Relations. Herndon Virginia: IIIT.
Ali Fauzi, Ihsan. 1996. "Faruqi Sebagai Sarjana dan Aktivis" dalam Majalah
Ummat. No. 25, Tahun I, 10 Juni.
al-Fārūqi, Ismāīl Rājī. 1986. Al-Tawhīd Its Implications for Thought and Life,
Herndon Virginia: IIIT.
_____, (1974), Historical Atlas of Religion of the World, New York: Macmillan.
_____, (1998), Ilyas Hasan (penerjemah), Atlas Budaya Islam Menjelajah
Khazanah Peradaban Gemilang, Bandung: Mizan.
Eliade, Mircea (ed.). 1986. Encyclopedia of Religion Experience. New York:
Macmillan, Vol. X.
Ridwan, Kafrawi, dkk. 1993. Ensiklopedi Islam. jilid I. Jakarta: PT. Ichtiar Baru
Van Hoeve.
Esposito, John L. (ed.). 1995. Oxford Encylopedia of the Islamic Modern World.
New York: Oxford U.P., Vol. II.
Madjid, Nurcholish. 1995. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta, Paramadina.
M. Nazir. 1988. Metodologi Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan. Jakarta: UI-Press.

22
Quraishi, M. Thariq. 1986. Isma'il Raji al- Fārūqī: An Enduring Legacy,
Plainfield.
Rahman, Fazlur. 1983. Tema Pokok Al-Qur'an. Bandung: Pustaka.
Syafiq, Muhammad. 2000. Mendidik Generasi Baru Muslim. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Syantanawi, Ahmad, et. al. 1933. Dairat al-Ma'arif al-Islamiyah. Beirut: Dar al-
Fikr.

23

You might also like