You are on page 1of 8

Korupsi merupakan fenomena menarik yang tidak hanya terjadi di

Indonesia saja, melainkan juga melanda Negara-negara di dunia, khususnya


Negara berkembang. Masalah korupsi bukan lagi sebagai masalah baru dalam
persoalan hukum dan ekonomi bagi suatu Negara karena masalah korupsi
telah ada ribuan tahun yang lalu. Perkembangan korupsi di Indonesia saat ini
menjadi masalah yang luar biasa karena sudah menjangkit dan menyebar ke
seluruh lapisan masyarakat.
Tanpa disadari, korupsi muncul dari kebiasaan yang dianggap
lumrah dan wajar oleh masyarakat umum. Seperti memberi hadiah kepada
pejabat/pegawai negeri atau keluarganya sebagai imbal jasa sebuah pelayanan.
Kebiasaan yang dianggap wajar dan lumrah ini seiring berjalannya waktu akan
menjadi bibit-bibit korupsi yang nyata.
Kebiasaan yang menjadi bibit tindak pidana korupsi disadari atau
pun tidak disadari merupakan warisan perbuatan yang telah dilakukan oleh
masyarakat di masa yang lalu. Bahkan ada beberapa kebiasaan yang
merupakan adat masyarakat setempat. Seperti diketahui, Bangsa Indonesia
terdiri dari berbagai macam suku dan adat istiadat yang menurut Van
Vollenhoven dapat dikualifikasikan dalam 19 daerah hukum adat
(rechtskring).
Minangkabau (Sumatera Barat) adalah salah satu daerah adat yang
masih eksis sampai saat ini. Seperti halnya Indonesia, Minangkabau adalah
negeri hukum, namun lingkup berlakunya hanya di tanah pusaka “Bundo
Kanduang” dan untuk orang Minangkabau semata serta tidak terkodifikasi.
Oleh karena itu dikenal dengan sebutan Hukum Kekerabatan Minangkabau
(verwantschaprecht).
Di daerah Minangkabau ini,sebagaimana daerah lainnya di
Indonesia pun tidak terlepas dari tindak pidana korupsi. Pola dan modus
operandi tindak pidana korupsi semakin beragam. Namun hal itu tidak terlepas
dari dinamisnya masyarakat dalam bertindak dan bertingkah laku.
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi selalu mempunyai hambatan dan
rintangan dari berbagai sudut. Oleh karena itu dalam makalah ini Penulis
mencoba mencari dan menggambarkan hambatan yang ada dalam pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana korupsi di daerah Minangkabau.
Korupsi berasal dari perkataan corruptio yang berarti kerusakan.
Menurut Kamus Istilah Hukum Latin – Indonesia, corruptio berati
penyogokan.1 Sedangkan menurut Sudarto adalah :
“Perkataan korupsi semula hanyalah bersifat umum dan baru menjadi
istilah hukum untuk pertama kalinya adalah di dalam Peraturan Penguasa
Militer Nomor Prt/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi.
Dalam konsiderans peraturan tersebut dikatakan antara lain bahwa
berhubung tidak adanya kelancaran dalam usaha-usaha memberantas
dalam perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan negara dan
perekonomian negara yang oleh khalayak dinamakan korupsi perlu
segera menetapkan sesuatu tata kerja untuk dapat menerobos kemacetan
usaha memberantas korupsi…..”2
William Chamblis, pakar dan guru besar sosiologi hukum pidana
yang melakukan studi tentang peranan hukum (undang-undang) dalam upaya
menanggulangi kejahatan, mengetengahkan teori yang ditopang oleh
penelitian yang representatif, mengetengahkan ajarannya sebagai berikut :
“ Orang dalam melakukan kejahatan “didorong” oleh dua alasan. Pertama, alasan
ekspresif, yang spontan (tanpa memikirkan akibatnya) dan kedua, dorongan
instrumental, yaitu alasan untuk lebih meningkatkan keadaan yang telah
dimilikinya dengan melakukan “kejahatan” yang umumnya cukup tersembunyi
(padahal tanpa berbuat kejahatan pun ia sudah hidup cukup layak). Di samping
itu, si pelaku takut akibatnya. “3
Sedangkan Menurut Andi Hamzah, Korupsi dilatarbelakangi
beberapa faktor antara lain:4
a. Kurangnya gaji Pegawai Negeri Sipil dibandingkan dengan kebutuhan
yang makin hari makin meningkat.

1
S.Adiwinata, Kamus Istilah Hukum-Latin-Indonesia, (alih bahas). PT Intermasa, Jakarta, cetakan
1, 1977, halaman 30.
2
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, hal. 115
3
Soedjono Dirdjosisworo, Kriminalitas Pasca-Pemilu 2004, Harian Umum Pikiran Rakyat,
tanggal 20 Desember 2004, hlm. 20.
4
Masyarakat Transparansi Indonesia : Studi tentang Pertanggungjaaban dalam Pembuatan
Keputusan Peradilan. Lampiran Tim Kerja Bidang Hukum, Jakarta, 1995.
b. Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang merupakan sumber
atau sebab meluasnya korupsi.
c. Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan efisien
yang akan memberikan peluang orang untuk korupsi.
d. Modernisasi mengembangbiakan korupsi.
Syed Hussein Alatas menjelaskan tentang sosiologi korupsi yaitu
tentang sebab-sebab terjadinya korupsi adalah: 5
a. Ketiadaan atau Kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang
mampu memberikan ilham dan mempengaruhi tingkah laku yang
menjinakkan korupsi.
b. Kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan etika
c. Kolonialisme
d. Kurangnya pendidikan
e. Kemiskinan
f. Tiada tindak hukuman yang keras
g. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti korupsi
h. Struktur pemerintahan
i. Perubahan radikal, dimana tatkala suatu sistem nilai mengalami perubahan
radikal, korupsi muncul sebagai suatu penyakit transisional
j. Keadaan masyarakat, dimana korupsi dalam suatu birokrasi bisa
memberikan cerminan keadaan masyarakat keseluruhan
Berdasarkan pendapat para sarjana tersebut di atas ternyata korupsi
bukan hanya dikarenakan sistem hukumnya yang lemah. Namun lebih
berorientasi kepada masyarakatnya sebagai subyek hukum itu sendiri.
Masyarakat mempunyai pengaruh yang besar dalam perilaku koruptif ini
karena hubungan yang terjadi dalam masyarakat itu sendiri sangat kompleks
dan bergerak dinamis.
Minangkabau merupakan salah satu daerah adat yang masih
memiliki hukum adat dan dipatuhi oleh masyarakatnya. Minangkabau seperti
halnya masyarakat adat di daerah lain di Indonesia mempunyai persekutuan
5
Syed Hussein Alatas dalam Edi Yunara, “Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi”,
PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal.5.
hukum (rechtgemeenschap). Persekutuan Hukum yang terdapat di
Minangkabau merupakan Persekutuan Hukum Geneologis, yaitu persekutuan
karena ikatan keluarga dan sama-sama tinggal di satu tempat dan mempunyai
kepentingan bersama.
Persekutuan karena ikatan keluarga ini menganut prinsip silsilah
keturunan yang diperhitungkan melalui garis ibu atau disebut matrilineal.
Sedangkan yang berkuasa seorang laki-laki yang disebut mamak rumah atau
tungganai, yaitu saudara pria sekandung menurut garis ibu serumah gadang
untuk menjadi pembimbing anggota-anggota keluarga yang terdekat disebut
kemenakan. Pada umumnya saudara laki-laki yang tertua sekaligus juga
menjadi mamak kepala waris dari kaumnya.
Selain dari mamak rumah ada lagi mamak-mamak yang memegang
kendali pengaturan dan pemeliharaan dalam kekuasaannya masing-masing
yaitu mamak kaum, mamak suku yang berpangkat penghulu dan diberi gelar
Datuak dari gelar pusaka kaumnya (sako), turun temurun dari ninik turun ke
mamak, dari mamak turun ke kemenakan.
Pada awalnya, masyarakat Minangkabau mendirikan
perkampungan di atas bukit yang dikenal dengan taratak. Kemudian taratak itu
semakin banyak dan ramai berkembang menjadi dusun, dusun menjadi koto,
koto menjadi kampuang, kampuang menjadi nagari. Nagari pertama menurut
Tambo Alam Minangkabau adalah nagari Pariangan-Padang Panjang terletak
di daerah Gunung Merapi.
Orang Minangkabau sesungguhnya tidak mengenal istilah Hukum
Adat tetapi sepanjang adat. Istilah hukum adat berasal dari
Snouckhourgronje sebagai terjemahan adatrecht. Prof.Hazairin mengatakan
bahwa keistimewaan Hukum Adat Minangkabau terletak pada rasa
kebangsaan, pada penghargaan terhadap kebudayaan, bukan pada individual,
melainkan pada rakyat yang ada di perkampungan, dan urusan adat adalah
sebagian dari jiwanya meliputi hak dan perihal hidupnya.6

6
Dt.B.Nurdin Yakub, Hukum Kekerabatan Minangkabau Jilid 1, CV.Pustaka Indonesia,
Bukittinggi, 1995, hal.26.
Berdasarkan pendapat Prof.Hazairin tersebut dapat diketahui
bahwa masyarakat Minangkabau menjunjung tinggi kekerabatan ikatan
keluarga yang ada dengan mengedepankan prinsip kolektifitas berdasarkan
lokasi wilayah tempat tinggalnya. Oleh karena itu dalam kehidupan sehari-
harinya, masyarakat Minangkabau berpegang teguh pada adat yang berlaku.
Kehidupan Pemerintahan di Minangkabau pun terikat dengan sistem
kekerabatan yang ada.
Permasalahan akan muncul apabila terjadinya suatu tindak pidana.
Persekutuan yang erat diantara masyarakat Minangkabau bagaikan pedang
bermata dua. Di satu sisi dapat digunakan untuk membantu menyelesaikan
permasalahan hukum, di sisi lain akan menghambat penyelesaian hukum ini.
Dalam tindak pidana korupsi, ada beberapa celah yang
dimungkinkan dilakukan yaitu pada saat perencanaan (anggaran), pelaksanaan
dan pasca pelaksanaan. Sebagai contoh adalah pada saat adanya suatu proyek
pengadaan dan pembangunan fasilitas Negara. Persekutuan yang erat ini
tentunya memberi dampak bagi para pelaku di dalamnya. Misalnya Pimpro
dari suatu proyek adalah kemenakan Mamak. Sedangkan Pemilik Perusahaan
yang mengajukan diri untuk melaksanakan proyek adalah sang Mamak itu
sendiri, bagaimana mungkin kemenakan menolak proposal Mamaknya itu
padahal di alam Minangkabau berlaku kemenakan seperintah mamak.
Kondisi itu seperti dimaksudkan oleh Andi Hamzah tentang latar
belakang terjadinya tindak pidana korupsi yaitu latar belakang kebudayaan
atau kultur Indonesia yang merupakan sumber atau sebab meluasnya korupsi.
Kebudayaan dalam arti ini adalah kebudayaan Minangkabau.
Dalam proses pemberantasan tindak pidana korupsi juga menemui
hambatan di Minangkabau. Kemenakan tidak akan pernah mau apabila
mamaknya ataupun Datuk ditahan karena diduga melakukan tindak pidana
korupsi. Kemenakan harus tahu bacapek kaki, baringan tangan yaitu
menyelenggarakan dan memikul segala buruk dan baik yang terjadi dengan
mamaknya. Sehingga dapat dibayangkan apabila mamak-mamak di tahan dan
diproses secara hukum maka para kemenakan akan kehilangan pegangan
hidupnya sebab mamak “Ka pai tampek batanyo, ka pulang tampek babarito”.
Masyarakat Minangkabau mempunyai tujuan hidup yang disebut
Masyarakat nan Sakato yang terdiri dari 4 unsur. Unsur-unsurnya yaitu Saiya
Sakato, Sahino Samalu, Anggo Tanggo dan Sapikue Sajinjing.7 Kehidupan
kelompok sesuku sangat erat. Hubungan Individu sesama anggota kelompok
kaum sangat dekat bagaikan suatu kesatuan yang tunggal-bulat. Kedekatan
hubungan dalam kelompok suku ini menjadikan harga diri individu melebur
menjadi satu menjadi harga diri kelompok. Apabila terjadi suatu masalah
maka akan diselesaikan dengan cara “awak samo awak”. Kesetiaan terhadap
kaum-kerabat dan rasa kesatuan-persatuan diungkapkan dengan kata-kata
Tagak basuku mamaga suku untuk membentengi kepentingan bersama dalam
serasa dan semalu.
Konsepsi adat tersebut tentunya akan memberikan gambaran
betapa sulitnya pemberantasan korupsi di Minangkabau. Lebih jauh lagi,
konsepsi itu merupakan suatu bibit terjadinya tindak pidana korupsi.
Oleh karena itu walaupun Undang-undang No. 31 tahun 1999. jo
Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi telah memberikan landasan hukum bagi masyarakat dan penegak
hukum untuk menyikapi perilaku korupsi yang semakin mewabah, namun
dalam teknis pelaksanaannya khususnya di Minangkabau akan menemui
hambatan-hambatan. Sehingga makna Hukum sebagai kaedah yang bersanksi
yang berat ringannya tergantung pada sifat pelanggaran, anggapan-anggapan,
serta keyakinan masyarakat tentang baik buruknya suatu tindakan merupakan
suatu tantangan untuk diterapkan dalam lingkup Sumatera
Barat/Minangkabau.
Hambatan itu akan memudar setelah memahami esensi bahwa
perilaku korupsi bukanlah suatu kewajaran dan tidak patut menerima
perlindungan menurut kekerabatan yang ada. Pemahaman ini seharusnya
membawa ke arah lebih baik dari masyarakat dalam menyikapi perilaku-
7
Amir, MS. Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang, PT.Mutiara Sumber
Widya,Jakarta, 2001, hal.111
perilaku korupsi. Keberadaan Undang-undang No. 31 tahun 1999. jo Undang-
undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
bukanlah sesuatu yang ada tanpa melalui proses penyerapan nilai-nilai yang
berlaku di masyarakat. Sebab Hukum yang berlaku yang mengatur masyarakat
tidak mengalir secara langsung dari dasar hukum normatif. Prinsip-prinsip
abstrak itu harus dikonkretkan dalam suatu tata hukum tertentu supaya
berlaku.8
Memberantas korupsi bukanlah pekerjaan membabat rumput
karena memberantas korupsi adalah layaknya mencegah dan menumpas virus
suatu penyakit yaitu penyakit masyarakat. Oleh karena itu diperlukan diagnosa
dan kesimpulan serta “treatment” yang tepat agar virus penyakit tersebut
bukan hanya dicegah akan tetapi dikemudian hari tidak akan terulang lagi.
Menghadapi korupsi adalah menghadapi sosok manusia yang
sedang sakit parah yaitu manusia psikopat bukan hanya kleptoman karena si
sakit sangat bahagia atau memperoleh kesenangannya di atas penderitaan
orang. Namun juga pelaku korupsi akan berusaha mencari perlindungan agar
terbebas dari dugaan melakukan tindak pidana korupsi dengan memanfaatkan
eratnya sistem kekrabatan terutama terjadi di Minangkabau.
Masalah korupsi ini tidak akan menjadi rumit apabila semua
individu / manusia dalam masyarakat itu mempunyai pandangan yang sama
tentang persepsi korupsi. Kesamaan definisi korupsi di dalam diri setiap
individu akan membuat setiap orang mampu berpikir dan bertindak untuk
tidak melakukan korupsi.
Hukum bersama-sama masyarakat berbuat sebagai kaidah dan
norma dalam pembentukan perilaku yang baik dan terkendali. Apabila hukum
terbuka terhadap dinamika perubahan masyarakat dan bersedia
mengakomodasi segala permasalahan, maka hukum dapat bekerja dengan baik
dan bersifat fleksibel. Sebaliknya hukum akan menjadi antagonis atau
berseberangan dengan masyarakat manakala hukum masih berada pada
pijakan yang tertutup terhadap adat yang berlaku.
8
Theo Huibers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Yayasan KanisiusYogyakrta, 1982, hal.
294
Berdasarkan tulisan ini, maka didapat suatu kesimpulan yang pada
pokoknya adalah: Persekutuan Hukum yang terdapat di Minangkabau
merupakan Persekutuan Hukum Geneologis, yaitu persekutuan karena ikatan
keluarga dan sama-sama tinggal di satu tempat dan mempunyai kepentingan
bersama. Dalam proses pemberantasan tindak pidana korupsi menemui
hambatan di Minangkabau. Kemenakan tidak akan pernah mau apabila Ninik
Mamak, ataupun Datuk/Penghulu ditahan karena diduga melakukan tindak
pidana korupsi. Kemenakan harus tahu bacapek kaki, baringan tangan yaitu
menyelenggarakan dan memikul segala buruk dan baik yang terjadi dengan
mamaknya. Hal ini menunjukkan adanya Kesetiaan terhadap kaum-kerabat
dan rasa kesatuan-persatuan untuk membentengi kepentingan bersama dalam
serasa dan semalu.

You might also like