You are on page 1of 26

Sejarah Pemikiran Ekonomi

Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Syathibi, Ibnu


Khaldun,
Al-Maqrizi dan Shah Waliyullah

Makalah

Oleh:

Iu Rusliana (0806450703)
Husni Shabri (0806450615)

Kekhususan Ekonomi Dan Keuangan Syariah


Program Studi Timur Tengah dan Islam
Universitas Indonesia
1
1430 H/ 2009 M

Bab I
Pendahuluan

Sejarah yang dikontruksi oleh Barat sulit untuk jujur


menyatakan bahwa peradaban Islam memberikan kontribusi nyata dan
sangat besar bagi tumbuh kembangnya peradaban Barat pasca jaman
kegelapan. Padahal jika saja saat itu tidak ada komunikasi budaya,
proses penerjemahan, proses belajar bangsa Eropa kepada intelektual
muslim di Cordova (Spanyol) seperti Ibnu Rusyd (Avveroes),
keterbukaan ilmu pengetahuan para pemikiran Islam, peradaban Barat
Modern yang awal mulanya dibangun oleh Bapak filosof modern
Rene Descartes (1596-1650) tidak akan pernah ada. Barat akan
selamanya berada di zaman kegelapan.
Fakta ini pun sangat jelas terlihat ketika kita membaca teori
ekonomi yang telah disusun oleh ekonom muslim klasik seperti Imam
Al-Ghazali, Ibn Taimiyyah, Ibn Khaldun dan yang lainnya. Ada
benang merah pemikiran dan pengaruh pemikiran filsafat, termasuk
ekonomi bagi para pemikir Barat modern.
Karena itu, naif jika ada intelektual Barat dan Muslim yang
menilai bahwa ekonomi Islam tidak memiliki akar geneologis dan
historis yang kuat. Karena ekonomi adalah bagian tak terpisahkan dari
kehidupan sosial budaya yang tercipta. Jika ada yang menilai tidak
ada sistem dan pemikiran ekonomi di jaman Rasulullah Saw,
Khulafaurrasyidin, dan era kedinastian Islam, sama dengan tidak
mengakui adanya peradaban Islam. Peradaban suatu bangsa pasti di
dalamnya ada kehidupan ekonomi, pemikiran dan kebijakan ekonomi
yang berkembang.
Dengan demikian, ekonomi Islam bukan sekedar copy paste
(baca: menempelkan) nilai-nilai Islam ke dalam ekonomi
konvensional. Sejarah yang dihilangkan dengan sengaja oleh para
intelektual Barat dan intelektual Muslim yang dungu itu harus
diungkapkan dengan jelas supaya kebenaran terungkap.
Semangat itu lah yang melatarbelakangi penulisan makalah ini
yang memotret sejarah dan pemikiran ekonomi para ahli fiqih
(fuqoha) dan filosof zaman Daulah Abbasiyah II yang di dalamnya
lahir para pemikir ekonomi Islam seperti Ibn Taimiyyah, Ibnul
Qayyim, Syathibi, Ibnu Khaldun, Al-Maqrizi dan Shah Waliyullah.
2
Bab II
Lingkup Historis, Sosial Politik dan Ekonomi
Dinasti Abbasiyah II (659-903 H/1261-1505 M)

Pemikiran ekonomi tidak lahir di ruang hampa. Ekonom


muslim lahir dari upaya merespon kondisi sosial ekonomi yang
terjadi. Pendekatannya, sebagaimana disebutkan di pembahasan awal,
ada yang bersifat normatif (seharusnya, sesuai dengan ajaran Islam)
dan ada yang bersifat positif (yang terjadi, kondisi riil, pendekatan
historis).
Dalam pemikiran ekonomi Islam, idealnya kedua pendekatan
itu diintegrasikan secara utuh. Ini pula yang diajarkan oleh para
khulafaurrasyidin. Pendekatan normatif sangat utuh dilaksanakan,
disamping melakukan pendekatan positif, merespon kondisi sosial,
politik dan ekonomi yang terjadi.
Pendekatan positif memberikan jawaban bahwa historis,
semakin jauh suatu kebijakan ekonomi di era kedinastian itu dari
ajaran Islam (menjauhi pendekatan normatif), maka kehancuran pun
segera tiba. Sebaliknya, semakin dekat kebijakan ekonomi dengan
nilai Islam, maka kejayaan dan kesejahteraanpun diraih.
Lantas bagaimana kondisi sosial politik dan ekonomi era
Dinasti Abbasiyah II? Meski selama dua tahun, 657 dan 658 H, dunia
Islam tak memiliki khalifah, namun bukan berarti kejayaan Islam
berakhir.
Dinasti Abbasiyah II akhirnya lahir lagi. Tentunya sudah tidak
di Baghdad lagi, karena telah hancur oleh serangan bangsa Mongol
yang dipimpin oleh Hulaghu Khan dan Timur Lenk, tapi berpindah ke
Kairo, Mesir. Saat itu, Mesir di bawah kekuasaan dinasti Mamalik.1
Dengan demikian, sebenarnya di bawah kedinastian Abbasiyah I, ada
banyak kedinastian kecil, namun semuanya tunduk ke kedinastian
Abbasiyah I. Jadi, ketika terjadi penyerangan dari bangsa Mongol,
kedinastian yang tunduk dan berada di bawah kekuasaan Dinasti
Abbasiyah I tinggal Mamalik di Kairo, Mesir.
Kemenangan tentara Islam atas tentara Tartar dalam perang Ain
Jalut, dilanjutkan juga dengan masuknya bangsa Mongol ke dalam
Islam menjadikan kondisi politik semakin kondusif. Kondisi ini lah
1 Perwataatmadja; Jejak Rekam Ekonomi Islam; Refleksi Peristiwa Ekonomi dan Pemikiran Para
Ahli Sepanjang Sejarah Kekhalifahan, (Jakarta, Cicero Publishing, 2008), h. 147
3
yang mendorong dinasti Mamalik untuk melakukan berbagai
reformasi internal. Baka baru dalam kedinastian Islam, lahirnya
Dinasti Abbasiyah II, dimana keturunan Bani Abbas, yaitu al-
Mustanshir dibaiat sebagai khalifah pada tanggal 13 Rajab 659 H di
Kairo.2
Al-Mustanshir II atau dikenal pula dengan nama Al-Mustanshir
Billah, bergelar Abu al-Qasim, dengan nama lengkap Ahmad bin Azh-
Zhahir Biamrillah Abu Nashr Muhammad bin an-Nashir Lidinillah
adalah Khalifah Bani Abbasiyah pertama yang berkuasa dari 1261
sampai 1262 dan dilantik di Kairo, Mesir, setelah penaklukan
Baghdad oleh orang Mongol pada tahun 1258.
Yang pertama kali membaiatnya sebagai khalifah adalah Sultan
azh-Zhahir sendiri, disusul kemudian oleh Hakim Tajuddin, lalu
Syaikh al-'Izz bin Abdus Salam dan disusul oleh pejabat lain secara
bergilir sesuai dengan kedudukan mereka masing-masing. Pembaiatan
tersebut berlangsung pada tanggal 13 Rajab 659 H / 13 Juni 1261.
Saat itu pula, seorang penguasa di Halb, Syamsuddin Aqusy juga
mendirikan khilafah dan bergelar Al-Hakim Biamrillah.
Al-Mustanshir berencana untuk pergi ke Irak, sultan pun ikut
mengantarkan kepergiannya sampai Damaskus. Khalifah berangkat
bersama raja-raja Timur dan Sinjar, serta penguasa Halb pun
bergabung dan menyatakan diri taat kepada perintah Al-Mustanshir.
Khalifah berhasil menaklukkan al-Haditsah, lalu Hita. Saat itulah
datang tentara Mongol, dimana kedua pasukan bertempur sengit.
Sebagian kaum muslimin terbunuh dalam pertempuran itu. Sedangkan
khalifah sendiri dihukum pancung. Tetapi ada pula yang menyatakan
bahwa dia selamat dan melarikan diri.
Peristiwa ini terjadi pada 3 Muharram 660 H / 28 November
1261. Dengan demikian dia hanya menjabat sebagai khalifah dalam
waktu tiga bulan lebih. Setelah itu al-Hakim Biamrillah menjadi
khalifah yang sebelumnya telah dilantik di Halb.
Berikut ini daftar nama khalifah Abbasiyah II:

•Al-Mustanshir II 1261 •Al-Mutawakkil I (kembali


berkuasa) 1389-1406
•Al-Hakim 1262-1302
•Al-Musta'in 1406-1414
•Al-Mustakfi I 1302-1340
•Al-Mu'tadid II 1414-1441

2 Ibid. h. 148
4
•Al-Wathiq I 1340-1341 •Al-Mustakfi II 1441-1451
•Al-Hakim II 1341-1352 •Al-Qa'im 1451-1455

•Al-Mu'tadid I 1352-1362 •Al-Mustanjid 1455-1479


•Al-Mutawakkil I 1362-1383 •Al-Mutawakkil II 1479-1497
•Al-Wathiq II 1383-1386 •Al-Mustamsik 1497-1508
•Al-Mu'tasim 1386-1389 •Al-Mutawakkil III 1508-1517

Khalifah terakhir Kedinastian Abbasiyah II adalah Muhammad


al-Mutawakkil 'Alallah III (m. 1543) berkuasa 1509 hingga 1516, dan
kembali pada tahun 1517, adalah khalifah terakhir Bani Abbasiyah
yang beribukota di Kairo. Al-Mutawakkil III didepak di masa yang
singkat sebelum akhir masa pemerintahannya pada tahun 1516 oleh
pendahulunya Al-Mustamsik, namun kedudukannya segera dipulihkan
di tahun berikutnya. Pada tahun 1517, Sultan Ottoman Selim I
mengalahkan Kekhalifahan Mamluk dan menjadikan Mesir bagian
dari negaranya. Al-Mutawakkil ditangkap dan dibawa ke Istambul, di
mana secara resmi ia setuju untuk menyerahkan jabatan khalifah dan
lambangnya, pedang dan mantel Nabi Muhammad, kepada Sultan
Ottoman Selim I.3 Selama 264 tahun (659 H- 923 H), Dinasti
Abbasiyah II memimpin umat Islam.
Demikian lah, peradaban Islam terus berkembang. Jatuh
bangunnya para khalifah ada yang mempengaruhi pemikiran para
ulama dan ada juga yang tidak. Yang dipengaruhi adalah mereka yang
dekat dengan kekuasaan, yang tidak adalah mereka yang tidak terlalu
dekat. Namun demikian, tradisi keilmuan yang berkembang memberi
ruang apresiasi pemikiran tertentu. Tradisi keilmuan umat Islam saat
itu tidak hanya tumbuh karena dukungan khalifah, namun semata
tumbuh dari sprit umat Islam bahwa mencari ilmu adalah wajib dan
mengamalkan ilmu adalah pahala yang tak pernah putus hingga di
alam kubur sekalipun. Dengan demikian, pertumbuhan ilmu
pengetahuan tak sepenuhnya dipengaruhi oleh faktor politik,
independen dan tumbuh dengan dewasanya. Berbeda dengan awal-
awal tumbuhkembangnya ilmu pengetahuan Islam yang memang
disokong oleh khalifah, dengan didirikannya Bait al-Hikmah.
Semaian pemikiran Islam pun tumbuh bak bunga di musim
3 Lihat di http//:id.wikipedia.org/wiki/Bani_Abbasiyah
5
semi. Meski demikian, jatuh bangun dan pergantian khalifah sangat
mewarnai corak pemikiran para ekonom muslim klasik saat itu.
Bab III
Pemikiran Ekonomi Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Syathibi,
Ibnu Khaldun, Al-Maqrizi dan Shah Waliyullah

Di era Dinasti Abbasiyah II, setidaknya ada beberapa ahli


ekonomi yang terkemuka yaitu Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim,
Syathibi, Ibnu Khaldun, Al-Maqrizi dan Shah Waliyullah. Makalah ini
secara berurutan akan menguraikan bagaimana konsep pemikiran
ulama yang sangat berpengaruh tersebut.

1. Ibnu Taimiyyah (661 -728 H/ 1261-1328 M)

Nama lengkapnya Taqiyuddin Ahmad bin Abdul Halim.


Dilahirkan di Harran pada 10 Rabiul Awwal 661 H/ 27 Januari 1263
M. Hidup di masa Khalifah al-Hakim I sampai Khalifah al-Mustakfi.4
Pemikiran ekonomi Ibnu Taimiyah banyak diambil dari
berbagai karya tulisnya, antara lain Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam,
as-Siyasah asy-Syar’iyyah fi Ishlah ar-Ra’i wa ar-Ra’iyah i dan al-
Hisbah fi al-Islam.
Intisari dari konsep ekonominya adalah keadilan sosial
ekonomi. Keadilan ini harus dirasakan semua umat, tanpa terkecuali.
Meski menekankan pendekatan normatif dalam ekonomi, Ibnu
Taimiyyah juga adalah sosok ekonom yang brilian dan memahami
kondisi ekonomi yang terjadi. Konsep pasar sempurna yang dia
tawarkan menunjukkan bahwa melakukan pendekatan positif dalam
memahami ekonomi. Meski, bingkainya disertai dengan moralitas dan
nilai-nilai Islam.
Ibnu Taimiyyah mendambakan suatu masyarakat yang dibekali
dengan baik, terorganisir pada basis kebebasan berusaha, dan
kekayaan pribadi dengan batas-batas yang ditetapkan oleh
pertimbangan moral dan diawasi oleh suatu ketentuan yang adil yang
menegakkan syariah dan bekerja untuk masyarakat.5
Beberapa konsep pemikiran ekonomi yang dikembangkannya,
antara lain:

4 Ibid, h. 150-151
5 Karnaen. Ibid. h. 152
6
1.A. Mekanisme Pasar

a. Harga Yang Adil


Hukum permintaan dan penawaran rupanya telah menjadi salah
satu konsep yang ditawarkan oleh Ibnu Taimiyyah. Menurutnya, harga
ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran. Naik turunnya
harga tidak ditentukan oleh tindakan tidak adil dari sebagian orang
yang terlibat transaksi. Bisa jadi penyebabnya adalah penawaran yang
menurun akibat inefisiensi produksi, penurunan jumlah impor barang
yang diminta atau juga tekanan pasar.6

Meski demikian, Ia mengingatkan pentingnya harga yang adil.


Ibnu Taimiyyah tampaknya merupakan orang yang pertama kali
menaruh perhatian khusus terhadap permasalahan ini.
Dalam membahas persoalan yang berkaitan dengan harga, ia
sering kali menggunakan dua istilah, yakni kompensasi yang setara
(‘iwadh al-mitsl), dan harga yang setara (tsaman al-mitsl). Ia
menyatakan,
“ Kompensasi yang setara akan diukur dan ditaksir oleh
hal-hal yang setara, dan inilah esensi keadilan (nafs
al-‘adl).”7
Ibnu Taimiyyah juga membedakan antara dua jenis harga, yakni
harga yang tidak adil dan dilarang serta harga yang adil dan disukai.
Ibnu Taimiyah menganggap harga yang setara sebagai harga yang
adil. Oleh karena itu, ia menggunakan kedua istilah ini secara
bergantian.
Konsep Ibnu Taimiyyah mengenai kompensasi yang setara
(‘iwadh al-mitsl) tidak sama dengan harga yang adil (tsaman al-mitsl).
Persoalan tentang kompensasi yang adil atau setara (‘iwadh al-mitsl)
muncul ketika mengupas persoalan kewajiban moral dan hukum.
Dalam mendefinisikan kompensasi yang setara (‘iwadh al-
mitsl), Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
kesetaraan adalah jumlah yang sama dari objek khusus dimaksud
dalam pemakaian yang umum (urf). Hal ini juga terkait dengan tingkat
harga (si’r) dan kebiasaan (‘adah). Lebih jauh, ia
mengemukakanbahwa evaluasi yang benar terhadap kompensasi yang
6 Sebagaimana dikutif Karnaen, dari Adiwarman Karim, Pasar Yang Sehat Menurut Ibnu
Taimiyyah. Ibid. h. 154
7 Sebagaimana dikutif oleh Adiwarman Azwar Karim. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam.
(PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta; 2004). h. 354
7
adil didasarkan atas analogi dan taksiran dari barang tersebut dengan
barang lain yang setara.
Ibnu Taimiyyah membedakan antara legal-etik dengan aspek
ekonomi dari suatu harga yang adil. Ia menggunakan istilah
kompensasi yang setara ketika menelaah dari sisi legal etik dan harga
yang setara ketika meninjau dari aspek ekonomi.8
Ia menyatakan,

“Sering kali terjadi ambiguitas di kalangan para fuqaha dan mereka


saling berdebat tentang karakteristik dari suatu harga yang setara, terutama
yang berkaitan dangan jenis (jins) dan kuantitas (miqdar).”9

Karena merupakan sebuah konsep hukum dan moral, Ibnu


Taimiyyah mengemukakan konsep konpensasi yang setara
berdasarkan aturan hukum yang minimal harus dipenuhi dan aturan
moral yang sangat tinggi. Ia menyatakan,

“Mengompensasikan suatu barang dengan yang lain yang


setara merupakan keadilan yang wajib (‘adl wajib) dan apabila
pembayaran yang dilakukan secara sukarela itu dinaikkan, hal
tersebut adalah jauh lebih baik dan merupakan perbuatan baik
yang diharapkan (ihsan mustahab). Namun,jika mengurangi
kompensasi tersebut, maka hal tersebut adalah kezaliman yang
diharamkan (zhulm muharram). Begitu pula halnya menukar
barang yang cacat dengan yang setra merupakan keadilan yang
diperbolehkan (‘adl jaiz). Meningkatkan kerusakannya justru
melanggar hukum (muharram) dan menguranginya merupakan
perbuatan baik yang diharapkan (ihsan mustahab).10

Tentang perbedaan kompensasi yang setara dengan harga yang


adil, ia menjelaskan:

“Jumlah yang tertera dalam suatu akad ada dua macam.


Pertama, jumlah yang telah dikenal baik di kalangan masyarakat.
Jenis ini telah dapat diterima secara umum. Kedua, jenis yang
tidak lazim sebagai akibat dari adanya peningkatan atau
penurunan kemauan (rugbah) atau faktor lainnya. Hal ini
dinyatakan sebagai harga yang setara.”11
8 Oweiss, M Ibrahim. Economic Concepst of Ibn Taimiyyah, dalam Http//:www.islamic-
world.net/economics
9 Adiwarman Azwar Karim. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. (PT.RajaGrafindo Persada,
Jakarta; 2004). h. 356
10 Ibid. h. 356-357
11 Ibid. h. 357
8
Tampak jelas bagi Ibnu Taimiyah bahwa kompensasi yang
setara itu relatif merupakan sebuah fenomena yang dapat bertahan
lama akibat terbentuknya kebiasaan, sedangkan harga yang setara itu
bervariasi, ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran serta
dipengaruhi oleh kebutuhan dan keinginan masyarakat.
Persoalan harga yang adil muncul ketika menghadapi harga
yang sebenarnya, pembelian dan pertukaran barang. Dalam
mendefinisikan hal ini, ia menyatakan:

“Harga yang setara adalah harga standar yang berlaku ketika


masyarakat menjual barang-barang dagangannyadan secara
umum dapat diterima sebagai sesuatu yang setara bagi barang-
barang tersebut atau barang-barang yang serupa pada waktu dan
tempat yang khusus.”12

Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwa harga yang setara adalah


harga yang dibentuk oleh kekuatan pasar yang berjalan secara bebas,
yakni pertemuan antara kekuatan permintaan dan penawaran. Ia
menggambarkan perubahan harga pasar sebagai berikut:

“Jika penduduk menjual barang-barangnya secara normal


(al-wajh al-ma’ruf) tanpa menggunakan cara-cara yang tidak adil
kemudian harga tersebut meningkat karena kelangkaan barang
(yakni penurunan supply) atau karena peningkatan jumlah
penduduk (yakni peningkatan demand), kenaikan harga-harga
tersebut merupakan kehendak Allah swt, dalam kasus ini,
memaksa penjual untuk menjual barang-barang mereka pada
harga tertentu adalah pemaksaan yang salah (ikrah bi ghairi
haq).”13

Karena itu, Ibnu Taimiyyah menekankan pentingnya regulasi


harga. Tujuan regulasi harga adalah untuk menegakkan keadilan serta
memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Ini lah yang dimaksud
dengan penetapan harga yang adil. Dimana ada kondisi darurat yang
mengharuskan hal itu diambil, seperti kelaparan.
Ibnu Taimiyah membedakan dua jenis penetapan harga, yakni
penetapan harga yang tidak adil dan cacat hukum serta penetapan
harga yang adil dan sah menurut hukum. Penetapan harga yang yang
tidak adil dan cacat hukum adalah penetapan harga yang dilakukan
12 Ibid. h. 357-358
13 Ibid. h. 358
9
pada saat kenaikan harga-harga terjadi akibat persaingan pasar bebas,
yakni kelangkaan supply atau kenaikan demand.

b. Pasar Yang Adil


Penawaran ada dari produksi domestik dan impor. Permintaan
ditentukan oleh selera dan pendapatan. Sifat dasar dari pasar adalah
impersonal. Harga pasar ditentukan oleh intensitas dan besarnya
permintaan, kelangkaan dan melimpahnya barang, kondisi
kredit/pinjaman dan diskonto pembayaran tunai.14
Baginya, memaksa orang agar menjual berbagai benda yang
tidak diharuskannya untuk menjual, atau melarang orang menjual
barang yang boleh dijual adalah tidak adil dan melanggar hukum.
Dengan demikian, jauh sebelum pemikiran ekonomi Barat modern
berkembang, Ibnu Taimiyyah telah menawarkan konsep kebebasan
penuh untuk keluar masuk pasar, pasar kompetisi sempurna, perfect
competition. Meski demikian, ketika ada tindakan zalim dari pedagang
dengan menimbun atau kelaparan, pasar tidak sempurna, perang atau
kekeringan, maka pemerintah harus melakukan kebijakan penetapan
harga.
Dalam konteks ini juga, Ibnu Taimiyyah memiliki sebuah
pemahaman yang jelas tentang bagaimana, dalam suatu pasar bebas,
harga ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran. Ia
mengemukakan,

“Naik turunnya harga tidak selalu diakibatkan oleh


kezaliman orang-orang tertentu. Terkadang, hal tersebut
disebabkan oleh kekurangan produksi atau penurunan impor
barang-barang yang diminta. Oleh karena itu, apabila
permintaan naik dan penawaran turun, harga-harga naik. Di
sisi lain apabila persediaan barang meningkat dan
permintaan terhadapnya menurun, harga pun turun.
Kelangkaaan atau kelimpahan ini bukan disebabkan oleh
tindakan orang-orang tertentu. Ia bisa disebabkan oleh
sesuatu yang tidak mengandung kezaliman, atau terkadang,
ia juga bisa disebabkan oleh suatu kezaliman. Hal ini adalah
kemahakuasaan Allah yang telah menciptakan keinginan di
hati manusia.” 15

Ibnu Taimiyah menyebutkan dua sumber persediaan, yaknin


14 Muhammad. Ekonomi Mikro Dalam Perspektif Islam. (BPFE-Yogyakarta, 2004). h. 359
15 Sebagaimana dikutif oleh Adiwarman Azwar Karim. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam.
(PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta; 2004). h 364
10
produksi lokal dan impor barng-barang yang diminta (mayukhlaq aw
yujlab min dzalik al-mal al-matlub). Untuk menggambarkan
permintaan terhadap suatu barang tertentu, ia menggunakan istilah
raghbah fi al-syai yang berarti hasrat terhadap sesuatu, yakni barang.
Hasrat merupakan salah satu hasrat terpenting dari permintaan, faktor
lainnya adalah pendapatan. Perubahan dalam supply digambarkannya
sebagai kenaikan atau penurunan dalam persediaan barang-barang,
yang disebabkan oleh dua faktor, yakni produksi lokal dan impor.
Ibnu Taimiyah mencatat beberapa faktor yang mempengaruhi
permintaan serta konsekuensinya terhadap harga, yaitu:
Keinginan masyarakat (raghbah) terhadap
berbagai jenis barang yang berbeda dan
selalub berubah-ubah. Perubahan ini sesuai
dengan langka atau tidaknya barang-barng
yang diminta. Semakin sedikit jumlah suatu
barang yang tersedia akan semakin diminati
oleh masyarakat.
Jumlah para peminat (tullab) terhadap suatu
barang. Jika jumlah masyarakat yang
menginginkan suatu barang semakin banyak,
harga barang tersebut akan semakin
meningkat, dan begitu pula sebaliknya.
Lemah atau kuatnya kebutuhan terhadap suatu
barang serta besar atau kecilnya tingkat dan
ukuran kebutuhan. Apabila kebutuhan besar
dan kuat, harga akan naik. Sebaliknya, jika
kebutuhan kecil dan lemah, harga akan turun.
Kualitas pembeli. Jika pembeli adalah seorang
yamg kaya dan terpercaya dalam membayar
hutang, harga yang diberikan lebih rendah.
Sebaliknya, harga yang diberikan lebih tinggi
jika pembeli adalah seorang yang sedang
bangkrut, suka mengulur-ulur pembayaran
utang serta mengingkari utang.
Jenis uang yang digunakan dalam transaksi.
Harga akan lebih rendah jika pembayaran
dilakukan dengan menggunakan uang yang
umum dipakai (naqd ra’ij) daripada uang
yang jarang dipakai.
11
Tujuan transaksi yang menghendak8i adanya
kepemilikan resiprokal diantara kedua belah
pihak. Harga suatu barang yang telah tersedia
di pasaran lebih rendah daripada harga suatu
barang yang belum ada di pasaran. Begitu
pula harga akan lebih rendah jika pembayaran
dilakukan secara tunai daripada pembayaran
dilakukan secara angsuran.
Besar kecilnya biaya yang harus dikeluarkan
oleh produsen atau penjual. Semakin besar
biaya yang dibutuhkan oleh produsen atau
penjualuntuk menghasilakn atau memproleh
barang akan semakin tinggi pula harga yang
diberikan, dan begitu pula sebaliknya.

c. Konsep Laba yang Adil


Berdasarkan definisinya tentang harga yang adil, Ibnu Taimiyah
mendefinisikan laba yang adil sebagai laba normal yang secara umum
diperoleh dari jenis perdagangan tertentu, tanpa merugikan orang lain.
Ia menentang tingkat keuntungan yang tidak lazim,bersifat eksploitatif
(ghaban fahisy) dengan memanfaatkan ketidakpedulian masyarakat
terhadap kondisi pasar yang ada(mustarsil).

d. Konsep Upah yang Adil


Pada abad pertengahan, konsep upah yang adil dimaksudkan
sebagai tingkat upah yang wajib diberikan kepada para pekerja
sehingga meraka dapat hidup secara layak di tengah-tengah
masyarakat.
Tentang bagaimana upah tersebut ditentukan, Ibnu Taimiyah
menjelaskan;

“Upah yang setara akan ditentukan oleh upah yang telah


diketahui (musamma) jika ada, yang dapat menjadi acuan bagi
kedua belah pihak. Separti halnya dalam kasus jual atau sewa,
harga yang telah diketahui (tsaman musamma) akan diperlakukan
sebagai harga yang setara.”16
16 Ibid. h. 359
12
e. Tujuannya Bagi Masyarakat

Tujuan utama dari harga yang adil dan berbagai permasalahan


lain yang terkait adalah untuk menegakkan keadilan dalam transaksi
pertukaran dan berbagai hubungan lainnya diantara anggota
masyarakat. Kedua konsep ini dimaksudkan sebagai panduan bagi
para penguasa untuk melindungi masyarakat dari berbagai tindak
eksploitatif. Dengan kata lain, pada hakikatnya, konsep ini akan lebih
memudahkan bagi masyarakat dalam mempertemukan kewajiban
moral dengan kewajiban finansial.
Dalam pandangan Ibnu Taimiyah, adil bagi para pedagang
berarti barang-barang dagangan mereka tidak dipaksa untuk dijual
pada tingkat harga yang dapat menghilangkan keuntungan normal
mereka. Tujuan dasar dari harga yang adil adalah untuk melindungi
kepentingan pekerja dan majikan serta melindungi mereka dari aksi
saling mengeksploitasi.

1.B. Uang dan Kebijakan Moneter

a.Karakteristik dan Fungsi Uang


Secara khusus, Ibnu Taimiyah menyebutkan dua fungsi utama
uang, yakni sebagai pengukur nilai dan media pertukaran bagi
sejumlah barang yang berbeda. Ia menyatakan,

“Atsman (harga atau yang dibayarkan sebagai harga,


yaitu uang) dimaksudkan sebagai pengukur nilai barang-
barang (mi’yar al-amwal) yang dengannya jumlah nilai
barang-barang (maqadir al-amwal) dapat diketahui; dan
uang tidak pernah dimaksudkan untuk diri mereka
sendiri.”17

Berdasarkan pandangannya tersebut, Ibnu Taimiyah menentang


keras segala bentuk perdagangan uang, karena hal ini berarti
mengalihkan fungsi uang dari tujuan sebenarnya. Apabila uang
dipertukarkan denagn uang yang lain, pertukaran tersebut harus

17 Ibid. h. 373
13
dilaikukan secra simultan (taqabud) dan tanpa penundaan (hulul).

b.Penurunan Nilai Mata Uang


Ibnu Taimiyah menentang keras terjadinya penurunan nilai
mata uang dan pencetakan mata uang yang sangat banyak. Ia
menyatakan,

“Penguasa seharusnya mencetak fulus (mata uang


selain dari emas dan perak) sesuai dengan nilain yang adil
(proporsional) atas transaksi masyarakat,tanpa
menimbulkan kezaliman terhadap mereka.

c.Mata Uang yang Buruk Akan Menyingkirkan Mata Uang yang


Baik
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa uang yang berkualitas buruk
akan menyingkirkan mata uang yang berkualitas baik dari peredaran.
Ia menggambarkan hal ini sebagai berikut:

“Apabila penguasa membatalkan penggunaan mata


uang tertentu dan mencetak jenis uang yang lain bagi
masyarakat, hal ini akan merugikan orang-orang kaya yang
memiliki uang karena jatuhnya nilai uang lama menjadi
hanya sebuah barang. Ia berarti telah melakukan sebuah
kezaliman karena menghilangkan nilai tunggi yang semula
mereka miliki. Lebih daripada itu, apabila nilai intrinsik
mata uang tersebut berbeda, hal ini akan menjadi sebuah
sumber keuntungan bagi para penjahat untuk mengumpulkan
mata uang yang buruk dan menukarkannya dengan mata
uang yang baik dan kemudian mereka akan membawanya ke
daerah lain dan menukarkannya denagn mata uang yang
buruk di daerah tersebut untuk dibawa kembali ke
daerahnya. Dengan demikian, nilai barang-barang
masyarakat akan menjadi hancur.”
Prinsip penting yang dikemukakan oleh Ibnu Taimiyyah terkait
dengan uang dan kebijakan moneter adalah:
1.Perdagangan uang akan memicu inflasi
2.Hilangnya kepercayaan orang akan stabilitas nilai uang
akan mencegah orang melakukan kontrak jangka panjang
dan menzalimi golongan masyarakat berpendapatan tetap
seperti pegawai negeri
3.Perdagangan domestik akan menurun karena
kekhawatiran stabilitas nilai uang
14
4.Perdagangan internasional akan menurun
5.Logam berharga akan mengalir ke luar negara

Gresham law: "Bad money will drive out good money" yang
dikemukan oleh Thomas Gresham (1857) tampaknya menjiplak
rumusan Ibnu Taimiyyah bahwa uang yang sama nominalnya, tetapi
lebih rendah kandungan emasnya, akan mendorong ke luar dan
menggantikan uang yang kandungan emasnya lebih tinggi. Oleh
karena itu, Ibnu Taimiyyah melarang tindakan muddájwah yang salah
satu contohnya: A menukar 1 gram perak yang dicampur dengan
tembaga dengan 1 gram perak murni. Transaksi yang demikian
dilarang karena mengandung riba. 18

1.C. Keuangan Negara dan Zakat


Negara harus mensejahterakan rakyatnya, tapi khusus yang
benar-benar tidak mampu, duáfa (asnaf zakat). Ibnu Taimiyyah
mengingatkan semua umat Islam yang mampu untuk bekerja keras
memenuhi kebutuhan hidupnya agar bisa membayar zakat, infaq dan
sedekah.
Dalam kontek penerimaan negara, menurut Ibnu Taimiyyah,
yang benar-benar sesuai syariah adalah ghanimah, zakat dan fai'. Faí'
meliputi jizyah (pajak) yang dikenakan kepada orang Yahudi dan
Nasrani, meliputi; harta tebusan perang, hadiah yang dipersembahkan
untuk raja, bea masuk atas komoditas milik negara musuh, denda dan
kharaj, yaitu pajak atas tanah pertanian.
Menurutnya, apabila penerimaan negara tersebut tidak
mencukupi, maka bisa dibuatkan kebijakan pengenaan pajak.
Kebutuhan negara yang terkait dengan rakyat adalah menyantuni fakir
miskin, membiayai perang jihad dan pertahanan, penguatan hukum
dan peradilan, dana pensiun dan gaji pegawai negara, pembangunan
infrastruktur dan kesejahteraan umum.19

-----------------------------

2. Ibnul Qayyim (691-751 H/ 1292-1350 M)


Shams aI-Din Abu 'Abdullah Muhammad Ibn Abu Bakr,
dikenal dengan nama besar Ibn Qayyim al-Jawziyyah, lahir di
18 Karnaen, Ibid. h. 157
19 Ibid. h. 158
15
Damaskus, 7 Safar 691 H(29 Januari, 1292 M) dan meninggal pada 23
Rajab 751 H (26 September, 1350 M).
Murid Ibnu Taimiyyah. Hidup di masa Sultan Nasir
Muhammad bin Qalawun (1293-1341 M). Kondisi sosial ekonomi dan
politik yang meliputinya memang cukup kondusif dan stabil. Khalifah
saat itu sangat peduli dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
pendidikan. Ulama memiliki peran penting dan berpengaruh kepada
khalifah dan rakyat saat itu. Khalifah saat itu melakukan redistribusi
kepemilikan tanah dan reformasi perpajakan.20
Sebagaimana sang guru, fokusnya lebih banyak pada soal
keadilan. Ini juga yang semakin menegaskan kepada kita, bahwa
ulama muslim klasik pengetahuannya bersifat ensiklopedis, merentang
luas dan dalam baik dari sisi ilmu ekonomi, fiqih, tasawuf, filsafat,
tafsir dan yang lainnya. Demikian halnya dengan Ibnul Qayyim al-
Jawziyyah, sebuah nama besar yang juga di kenal di kalang para sufi.
Konsep ekonominya meliputi:

2.A. Prinsip Dasar Ekonomi Islam


Bagi Ibnul Qayyim, penting dipahami bahwa manusia adalah
makhluk Allah. Rezeki yang dimiliki adalah titipan Allah, sebagai
ujian untuk manusia. Hidup ini tak lebih sebagai ujian dan cobaan.
Kekayaan bukan lah tujuan, melainkan alat untuk mencapai tujuan
yang bernama kebahagiaan.
Keadilan, menurutnya hanya dicapai dengan syariah yang akan
membawa keberkahan dan kebijaksanaan.21 Karena itu, IbnulQayyim
menekankan nilai moral seperti kejujuran, transparan, berniat baik
dalam kehidupan ekonomi. Kegiatan ekonomi, seperti berproduksi
dan bekerja sangat penting karena menyangkut upaya pemenuhan
kebutuhan hidup. Dalam konteks berproduksi dan prilaku ekonomi
tersebut, pembagian kerja dan kerjasama sangat ditekankan. Dengan
demikian, Ibnul Qayyim menawarkan konsep pembagian kerja.22
Nampak, konsep tasawuf sangat kental dalam pemikiran Ibnul
Qayyim tersebut.
Ibnul Qayyim lebih menonjolkan prinsip nilai dalam konsumsi,
yang dalam hal ini ditekankan hanya untuk memenuhi kebutuhan saja
agar mampu beribadah, bukan untuk pemenuhan keinginan,
20 Oweiss, M Ibrahim. Economic Thought of Ibn al-Qayyim, dalam Http//:www.islamic-
world.net/economics
21 Ibid
22 Ibid
16
hedonisme dan materialisme.
Dalam konteks ini, Ibnul Qayyim memperkenalkan konsep
zuhud. Menurutnya, zuhud bukan berarti menolak dunia, karena para
nabi sebelumnya seperti nabi Sulaiman As saja kaya raya. Namun
sikap yang tidak melihat harta sebagai berhala, melainkan sekedar alat
untuk beribadah.

2.B. Zakat
Selain memperkenalkan prinsip konsumsi dalam Islam dan nilai
hidup zuhud, Ibnul Qayyim juga menjelaskan konsep zakat. Zakat
memiliki dimensi ekonomi yang luas. Tujuannya untuk menciptakan
kedamaian, kasih sayang dan kebaikan. Untuk itu, pengenaan zakat
telah ditetapkan besarnya dan tidak berubah-ubah.23
Dalam konteks produksi dan zakat, Ibnul Qayyim meyakini
bahwa semakin banyak buruh yang terlibat dalam proses produksi,
maka akan kecil zakat yang disalurkan dan sebaliknya. Nampak
bahwa Ibnul Qayyim lebih menekankan pentingnya zakat ke sektor
produktif sehingga mampu menyerap sebanyak mungkin tenaga kerja.
Demikian halnya dengan pengenaan zakat, bagi sektor padat
karya, zakatnya harus semakin kecil. Sementara harta temuan,
zakatnya harus tinggi (20 %) karena tidak banyak pekerja yang
bekerja.
Panen dikenakan zakat 10 % kalau tadah hujan, kalau
menggunakan pengairan, 5 %. Menjadi 2,5 persen bagi sektor padat
karya. Dengan demikian aspek keadilan, kemanusian, keekonomian
dan solidaritas sosial menjadi penentu besaran zakat.24
Kegiatan ekonomi, bagi Ibnul Qayyim ditujukan untuk
kepentingan kehidupan masyarakat yang adil, pemenuhan kepentingan
publik dan mencagah kemadharatan.25

2.C. Mekanisme Pasar dan Regulasi Pasar


Dalam hal ini, beliau mengikuti apa yang disampaikan sang
guru, Ibnu Taimiyyah. Ibnul Qayyim menulis kitab Al-Turuq Al-
Hukmiyyah. Menurutnya, harga adil adalah harga normal yang
dilahirkan dari hukum permintaan dan penawaran, yang disebabkan
oleh kekuatan pasar persaingan sempurna.
23 Lihat Karnaen. Ibid. h. 160
24 Ibid. h. 161
25 Oweiss, M Ibrahim. Economic Thought of Ibn al-Qayyim, dalam Http//:www.islamic-
world.net/economics
17
Untuk mendorong itu semua, diperlukan lembaga hisbah yang
merupakan lembaga negara yang mengontrol, mengintervensi dan
mensupervisi berbagai aktivitas ekonomi.

-----------------------------

3. Al-Syatibi ( 790 H/ 1388 M)


Nama lengkapnya Abu Ishaq bin Musa bin Muhammad Al-
Lakhmi Al-Gharnati Al-Syatibi

3. A.Konsep Maqashid al-Syari’ah


Secara bahasa, Maqashid al- Syari’ah terdiri dari dua kata,
yakni maqashid dan al-syari’ah. Maqashid berarti kesengajaan atau
tujuan, sedangkan al-syari’ah jalan menuju sumber mata air,dapat
pula dikatakan sebagai jalan kearah sumber pokok kehidupan.
Menurut istilah Al-Syatibi mengatakan, sesungguhnya syariah
bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan di dunia dan akhirat.
Dari pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa tujuan syariah
menurut Al-Syatibi adalah kemaslahatan umat manusia. Lebih jauh, ia
menyatakan bahwa tidak ada satupun hukum Allah Swt yang tidak
mempunyai tujuan karena hukum yang tidak mempunyai tujuan sama
dengan membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan.
Kemaslahatan, dalam hal ini, diartikannya sebagai segala sesuatu yang
menyangkut rezeki manusia, pemenuhan penghidupan manusia, dan
perolehan apa-apa yang dituntut oleh kualitas-kualitas emosional dan
intelektualnya, dalam pengertian yang mutlak.26
Al-Syatibi menjelaskan bahwa syariah berurusan dengan
perlindungan mashalih, baik dengan cara yang positif, seperti demi
menjaga eksistensi mashalih, syariah mengambil berbagai tindakan
untuk menunjang landasan-landasan mashalih; maupun dengan cara
preventif, seperti syariah mengambil tindakan untuk melenyapkan
unsur apapun yang secara aktual atau potensial merusak mashalih.27
Maqashid al-Syari’ah dibagi menjadi tiga:
a)Dharuriyyat
b)Hajiyat
c)Tahsiniyat

26 Karim. Ibid. h. 380-381


27 Oweiss, M Ibrahim. Shatibi's Objectives of Shari'ah And Some Implications For Consumer
Theory, dalam Http//:www.islamic-world.net/economics
18
2.Korelasi antara Dharuriyyat, Hajiyat, dan Tahsiniyat
1.Maqashid dharuriyyat merupakan dasar bagi
maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat.
2.Kerusakan pada maqashid dharuriyyat akan
membawa kerusakan pula pada maqashid hajiyat dan
maqashid tahsiniyat.
3.Sebaliknya, kerusakan pada maqashid hajiyat dan
maqashid tahsiniyat tidak dapat merusak maqashid
dharuriyyat.
4.Kerusakan pada maqashid hajiyat dan maqashid
tahsiniyat yang bersifat absolut terkadang dapat
merusak maqashid dharuriyyat.
5.Pemeliharaan maqashid hajiyat dan mqaqshid
tahsiniyat diperlukan demi pemeliharaan maqashid
dharuriyyat secara tepat.28

3.B. Hubungan Konsep Maqasyid al-Syari'ah Dengan Ekonomi


Beberapa pemikiran ekonomi al-Syatibi adalah dalam hal
konsep kepemilikan. Menurutnya, kepemilikan individu itu memang
ada dan harus diakui, namun untuk hal-hal yang menyangkut hajat
hidup orang banyak, sepert air sungai atau oase, itu tidak bisa dimiliki
perorang.
Selain konsep kepemilikan, al-Syatibi juga bicara soal pajak.
Menurutnya, pemungutan pajak harus dilihat dari aspek maslahah.
Memelihara kepentingan umum adalah tanggungjawab masyarakat.
Dalam kondisi tidak mampu, hal tersebut dialihkan kepada Baitul
Mal, sehingga tujuan tersebut tercapai. Pajak baru harus dikenakan
meski belum dikenal oleh masyarakat.29
Aktivitas ekonomi ysng mengandung kemaslahatan bagi umat
manusia disebut sebagai kebutuhan (needs). Ini berbeda dengan wants
(keinginan). Karena itu, faktor halal dan kemanfaatan menjadi kunci
penting dalam aktivitas ekonomi. Dengan demikian, kebutuhan dasar
agama menjadi dasar bagi kebutuhan lain. Ini berbeda halnya dengan
Abraham Maslow yang memperkenalkan hierarchy of needs.30

28 Karim. Ibid. h. 383-384


29 Lihat Karnaen. Ibid. h. 163-164. Bandingkan dengan Karim. Ibid. h. 385-386 dan juga dengan
Oweiss.
30 Hirarki kebutuhan itu berdasarkan skala prioritas yaitu kebutuhan psikologi, keamanan, sosial,
penghargaan dan aktualisasi diri.
19
--------------------

4. Ibnu Khaldun
Abdurrahman Abu Zaid Waliuddin ibn Khaldun. Dilahirkan di
Tunisia, 1 Ramadhan 732 H/ 27 Mei 1332 dan meninggal di Kairo, 25
Ramadhan 808 H/ 19 Maret 1406 M.
Dikenal sebagai bagai sosiologi dan juga bapak filsafat sejarah.
Selain itu disebut sebagai bapak ilmu ekonomi. Ekonom muslim
terbesar yang diakui oleh ekonom Barat. Berbeda dengan ulama
sebelumnya yang cenderung normatif, Ibnu Khaldun menggunakan
pendekatan sejarah dan sosial dalam memahami ekonomi suatu
bangsa. Ibnu Khaldun sangat positif dalam memahami ekonomi.
Terlalu luas bentangan pengetahuan yang disampaikan oleh
Ibnu Khaldun. Namun dalam makalah ini akan disingkat hanya dalam
beberapa poin pembahasan saja.

4. A. Teori Produksi, Konsumsi Dan Pertumbuhan Ekonomi


Manusia adalah makhluk produksi dan itu lah yang membuat
manusia dianggap sebagai makhluk ekonomi. Produksi dilakukan
untuk memenuhi kebutuhan. Dalam proses produksi itu lah,
dibutuhkan tenaga kerja. Selain itu, diperlukan organisasi sosial dari
produksi. Dengan demikian, dibutuhkan pembagian kerja dan
spesialisasi. Ini lah yang menjadi kunci agar tercipta surplus dalam
produksi yang muaranya membawa kesejahteraan ekonomi.
Kesejahteraan ekonomi yang meningkat pada akhirnya akan
meningkatkan permintaan masyarakat atas barang dan jasa. Di sinilah
pertumbuhan ekonomi akan tercipta.31
Bukan hanya bersifat nasional, perdagangan internasional dan
organisasi internasional dari produksi harus tercipta. Keunggulan
komparatif perdagangan internasional bukan pada sumber daya alam,
tapi pada tenaga kerja yang menjadi faktor produksi. Tenaga kerja
yang terspesialisasi lebih menguntungkan dibandingkan sumber daya
alam yang dimiliki suatu negara.
Di sini lah Ibnu Khaldun sangat menekankan pasar bebas.
Beliau menentang intervensi dan hanya mengkhususkan pada layanan
untuk rakyat miskin.

31 Lihat Karim. Ibid. h. 397-398


20
4.B. Harga Moderat
Ibnu Khaldun juga mengakui adanya pengaruh antara
permintaan dengan penawaran dalam membentuk harga. Untuk itu,
dia menawarkan konsep harga moderat, dimana harganya memang
tidak memberatkan konsumen dan tidak merugikan produsen. Harga
yang moderat bisa mendorong kesejahteraan bersama. Meski
demikian, untuk rakyat miskin harus disubsidi dengan diberikan harga
yang lebih rendah dari harga pasar.32

4. C. Pajak, Belanja Negara dan Peran Swasta


Menurut Ibnu Khaldun, pajak menjadi faktor yang penting
dalam pertimbangan bisnis seseorang. Karena itu, harus ada
pertimbangan adil, karena pengusaha tentunya tidak bergairah ketika
pajaknya tinggi.
Sektor swasta merupakan bagian penting dalam pembangunan
ekonomi. Sementara, pajak adalah sumber pendapatan negara. Negara
adalah konsumen terbesar dan pelaku belanja terbesar. Menurut Ibnu
Khaldun, pemerintah adalah pasar bagi barang dan jasa.
Makin tinggi belanja pemerintah, ekonominya semakin baik.
Namun, Ibnu Khaldun mengingatkan agar belanja negara difokuskan
untuk kepentingan rakyat banyak, termasuk keperluan pelayanan.33

4. D. Ekonomi Politik
Dalam teori ekonomi politik modern, Ibnu Khaldun juga
menyampaikan konsep ekonomi politik yang luar biasa. Dia
mengajarkan delapan prinsip (kalimat hikamiyah).
Ke delapan prinsip itu antara adalah:
1.Kekuatan kedaulatan tidak dapat dipertahankan
kecuali dengan mengimplementasikan syariah
2.Syariah tidak dapat diimpelementasikan kecuali
oleh kedaulatan
3.Kedaulatan tak akan memperoleh kekuatan
kecuali bila didukung oleh sumber daya
manusia
4.Sumber daya manusia tidak dapat
32 Ibnu Khaldun. Muqaddimah. Terj. Ahmadie Thoha. (2000. Pustaka Firdaus, Jakarta). h. 447
33 Lihat Karnaen. Ibid. h. 169
21
dipertahankan kecuali oleh dengan harta benda
5.Harta benda tidak dapat diperoleh kecuali
dengan pembangunan
6.Pembangunan tidak dapat dicapai kecuali oleh
keadilan
7.Keadilan merupakan tolak ukur yang dipakai
Allah untuk mengevaluasi manusia
8.Kedaulatan mengandung muatan
tanggungjawab untuk menegakkan keadilan.34

4.E Teori Nilai dan Uang

Nilai suatu produk berdasarkan sejumlah tenaga kerja yang


dikandungnya. Dengan demikian, kekayaan bangsa-bangsa tidak
ditentukan oleh jumlah uang, tapi oleh jumlah produksi barang dan
jasa dan oleh neraca pembayaran yang sehat.
Dalam hal uang, emas dan perak adalah ukuran nilai. Logam
mulia ini diterima sebagai uang dimana nilainya tidak terkena
fluktuasi. Dia pun mendukung standar logam dan harga emas-perak
yang konstan. Uang bukan hanya ukuran nilai, tapi cadangan nilai.

4.F. Teori Distribusi


Menurut Ibnu Khaldun, suatu produk terdiri dari gaji, laba dan pajak.
Gaji imbal jasa bagi produsen, laba bagi pedagang dan pajak untuk
pegawai negeri dan pemerintah.
Banyak sekali penjelasan dari Ibnu Khaldun, tapi makalah ini
tidak mungkin menjelaskannya lebih lanjut.

--------------------

5. Al-Maqrizi (766- 845 H)


Nama lengkapnya Taqiyuddin Abul Abbas Ahmad bin Ali bin
Abdul Qadir al-Husaini. Lahir di Kairo, tahun 766 H. Posisinya
sebagai Muhtasib (pengawas pasar) membuat pendekatannya
cenderung positif.
Dipengarhui oleh Ibnu Khaldun, dia mengkritik keras
pemerintahan Murji Mamluk (784-922H/ 1382-1517 M). Ia menulis
kitab Ighatsatul Ummah bi Kasyfil Ghummah (Menolong Rakyat
34 Lihat M Umer Chapra. Masa Depan Ilmu Ekonomi, Sebuah Tinjauan Islam. Terj. Ikhwan
Abidin Basri. (Gema Insani Pers. Jakarta. 2001). h. 126
22
dengan Mengeluarkan Sebab-sebab Penyakit).
Ia mengidentifikasi bahwa administrasi politik telah semakin
lemah dan korup. Para pegawai diangkat berdasarkan suap dan bukan
karena kemampuan. Karena itu, pajak ditekan, akibatnya pengusaha
teriak karena pihaknya dirugikan.
Kondisi ini diperparah dengan penurunan nilai mata uang fulus
(uang logam dari tembaga) yang berlebihan, atau uang fiat, dengan
tujuan menutup defisit anggaran. Dia lah ekonom muslim yang
mempelajari soal uang dan inflasi. Tentang inflasi, al-Maqrizi
membaginya menjadi dua; disebabkan oleh faktor yang bersifat
alamiah dan kesalahan manusia. Bencana alam, gagal panen adalah
contoh inflasi yang bersifat alamiah. Sedangkan inflasi oleh manusia
disebabkan karena korupsi dan administrasi yang buruk, beban pajak
yang berat dan kenaikan pasokan mata uang fulus. Pada saat itu
rasionya 48 fulus untuk setiap dirham.35 Orang miskin pun makin
susah
Mencetak uang berlebihan juga menyebabkan harga-harga
semakin mahal. Uang lebih baik dicetak pada tingkat minimal untuk
kebutuhan bertransaksi, dalam nilai nominal kecil sehingga
meminimalkan orang untuk menumpuknya. Fulus sebaiknya
dipergunakan untuk kepentingan transaksi kecil saja, karena
menimbulkan inflasi. Dinar dan dirham lah yang harusnya menjadi
standar mata uang.

-------------------

6. Shah Waliyullah (1114-1176 H/ 1703-1762 M)


Ahmad Syah bin Abdurrahim al-Umari ad-Dahlawi Abu Abdil
Aziz. Lahir di Delhi, masa kekhalifahan Al-Mutawakkil III.
Menurutnya, kehidupan masyarakat tumbuh dalam tiga
tingkatan yang berbeda. Dimulai dari eksistensi masyarakat awal,
negara yang berkembang dan menerapkan undang-undang , tatanan
dan keadilan serta tahap ketiga apa yang ia sebut khilafah. Khilafah
adalah periode dimana negara menjamin secara materiil dan spiritual
wargannya.
Gaya hidup penguasa dan militer yang mewah dan korup,
praktik korupsi pegawai, pegawai yang tidak produktif menjadi awal
kehancuran bangsa. Para penguasa sendiri tidak bersemangat

35 Lihat Karnaen, Ibid. h. 173


23
menjalankan fungsinya karena pajaknya yang tinggi. Akibatnya
ekonomi merosot, sumber keuangan negara menurun dan negara
menjadi miskin.
Negara harusnya menghilangkan praktik korup dan memelihara
pertahanan, hukum dan ketertiban, menjamin keadilan dan
sebagainya.

Bab IV
Penutup

Begitu luar biasanya pemikiran ekonomi para ulama klasik dan itu
semua ternyata mempengaruhi pemikiran ekonomi modern. Sayang,
hanya segelintir yang mau jujur tentang pengaruh ulama klasik kepada
ekonomi Barat, yang lainnya lebih senang tidak jujur. Kini mereka
menutupi dan melindungi kepentingan keilmuan mereka dengan
prinsip bahwa metode ilmiah haru jujur.

24
DAFTAR PUSTAKA

- Chapra, Umer. 2001. Masa Depan Ilmu Ekonomi; Sebuah Tinjauan


Islam. Penerjemah Ikhwan Abidin Basri..
Gema Insani Press, Jakarta

- El-Ashker, Ahmad and Rodney Wilson. 2006. Islamic Economics; A


Short History. Koninklijke Brill NV,
Netherland.

- Karim, Adiwarman Azwar. 2001. Ekonomi Islam, Suatu Kajian


Kontemporer. Gema Insani Press. Jakarta

- --- 2004. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam,


edisi ketiga, Jakarta, RajaGrafindo Persada

25
- Khaldun, Ibn. 2000. Muqaddimah. Penerjemah Ahmadie Thoha,
Jakarta, Pustaka Firdaus.

- Nasution, Mustafa Edwin, Et.All. 2006. Pengenalan Ekslusif


Ekonomi Islam. Jakarta. Kencana Prenada
Media Group

- Perwataatmadja, Karnaen A dan Anis Byarwati. 2008. Jejak Rekam


Ekonomi Islam; Refleksi Peristiwa Ekonomi
dan Pemikiran Para Ahli Sepanjang Sejarah
Kekhalifahan. Cicero Publishing. Jakarta

- Oweiss, M Ibrahim. Ibn Khaldun, Father of Economics, dalam


Http//:www.islamic-world.net/economics.

- ---- Economic Concepst of Ibn Taimiyyah, dalam


Http//:www.islamic-world.net/economics

- ----- Shatibi's Objectives of Shari'ah And Some


Implications For Consumer Theory, dalam Http//:www.islamic-
world.net/economics

26

You might also like