You are on page 1of 17

Kajian Yuridis Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar Serta Pengenaan

Jenis dan Tarif PNBP Yang Berlaku Pada BPN Dalam Upaya Pelaksanaan
Kewenangan Daerah Di Bidang Pertanahan1
Oleh
Sarjita, S.H., M. Hum.2

Pendahuluan

Tanah tidak langsung memberikan kemakmuran, tetapi pembangunan (development) yang


dilakukan di atas tanah tersebut-lah yang langsung memberikan kemakmuran. Istilah pembangunan
merupakan terjemahan dari kata development, adalah kata benda netral dan digunakan dalam
menjelaskan proses dan/atau usaha untuk meningkatkan kehidupan ekonomi, politik, budaya,
insfrastruktur masyarakat, dan sebagainya. Namun, kata pembangunan dapat dijuga dimaknai sebagai
salah satu discourse, suatu pendirian atau paham, ideologi dan/atau teori tentang perubahan sosial, seperti
sosialisme, dependensia, ataupun teori lain. Dalam perkembangannya pembangunan sebagai sebuah
teori, akhirnya telah bergeser dan berubah menjadi suatu pendekatan dan ideologi, bahkan menjadi suatu
paradigma3 (paradigm) kacamata atau alat pandang dalam perubahan sosial.
Dalam ilmu sosial menurut Habermas,4 paradigma dibedakan menjadi tiga, yaitu: Pertama,
instrumental knowledge dimana ilmu pengetahuan lebih dimaksudkan sebagai alat untuk menaklukan dan
mendominasi objeknya; Kedua, hermeneutic knowledge atau paradigma interpretative, ilmu pengetahuan
dimaksudkan untuk memahami suatu objek secara sungguh-sungguh (eksploratif). Didasarkan pada
tradisi filsafat phenomenology dan hermeneutics, yaitu biarkan fakta bicara atas nama dirinya sendiri.
Ketiga, paradigma kritik atau critical/emancipator knowledge. Ilmu pengetahuan tidak boleh dan tidak
mungkin bersifat netral, akan tetapi memperjuangkan pendekatan yang bersifat holistik, serta
menghindari cara berpikir deterministic dan reduksionistik.
Mengkaji suatu fenomena sosial, misalnya terkait dengan regulasi tanah terlantar serta persoalan
yang menyertainya dalam semangat era reformasi, pembaruan UU Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA)
beserta peraturan pelaksanaannya yang sekarang sedang dan akan berproses merupakan sebuah
keniscayaan. Upaya-upaya tersebut merupakan realisasi dari prinsip-prinsip yang terkandung dalam
Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria Dan Pengelolaan Sumber Daya
Alam.
Ketetapan MPR RI di atas, merupakan suatu proses dalam rangka mewujudkan keadilan sosial
yang secara konstitusinal diamanatkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yaitu tanah untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Apabila dicermati secara seksama, kelahiran Ketetapan MPR tersebut, juga
didasarkan pada suatu keyakinan bahwa dalam pengelolaan SDA yang berlangsung selama ini telah
menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan,
dan pemanfaatannnya serta menimbulkan berbagai konflik. Kondisi dan situasi tersebut, terjadi
dikarenakan secara realitas pembentukan berbagai peraturan perundang-undangan yang bersifat sektoral
dilahirkan dengan tidak berlandaskan pada prinsip-prinsip UUPA. Bahkan dalam perkembangannya

1 Makalah Disampaikan Pada Diskusi Implementasi PP Nomor 11 dan PP Nomor 13 Tahun


2010 Di Kabupaten Sleman, Op Room Kabupaten Sleman: 8 April 2010.
2 S.H., M. Hum. Lektor (Pembina IV/a) pada Jurusan Manajemen Pertanahan Sekolah

Tinggi Pertanahan Nasional (STPN), Yogyakarta.


3 “a world view, a general perspective, a way of breaking down the complexity of the

real world”. Konstelasi teori, pertanyaan, pendekatan, serta prosedur yang dipergunakan oleh
suatu nilai dan tema pemikiran. Konstelasi dikembangkan dalam rangka memahami kondisi
sejarah dan keadaan social, untuk memberikan kerangka konsepsi dalam member makna
realitas social. Paradigma merupakan tempat kita berpijak dalam melihat suatu realitas.
Pemahaman mengenai paradigma memberikan kemampuan kita untuk membentuk apa yang
kita lihat, bagaimana cara kita melihat sesuatu, apa yang kita anggap masalah, apa masalah
yang kita anggap bermanfaat untuk dipecahkan serta apa metode yang akan digunakan
dalam meneliti dan berbuat. Patton (1975) dalam Mansour Fakih, (2001), Runtuhnya Teori
Pembangunan Dan Globalisasi, Yogyakarta, INSIST PRESS: 19.
4 Ibid: 23-29.

1
kedudukan UUPA didegradasi menjadi undang-undang yang bersifat sektoral yang hanya mengatur
masalah pertanahan.5
Prinsip-prinsip dalam Ketetapan MPR RI tersebut di atas, sejatinya telah tercermin dalam
semangat utama dan prinsip UUPA (UU No. 5 Tahun 1960) yang populis. Menurut Joyo Winoto6
prinsip-prinisp tersebut harus kita internalisasikan dalam batin, pikiran, dan proses-proses
penyelenggaraan pertanahan di tanah air. Sehubungan dengan hal tersebut BPN-RI menetapkan 11
agenda dan dinternasilisasikan ke dalam empat prinsip untuk diposisikan sebagai jiwa, semangat, dan
acuan dari setiap kebijakan, program, dan proses pengelolaan pertanahan di seluruh tanah air. Empat
prinsip tersebut adalah, bahwa Pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk: 1) meningkatkan
kesejahteraan rakyat dan melahirkan sumber-sumber baru kemakmuran rakyat; 2) tatanan kehidupan
bersama yang lebih berkeadilan dalam kaitannya dengan pemanfaatan, penggunaan, penguasaan dan
pemilikan tanah; 3) menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan
Indonesia dengan memberikan akses seluas-luasnya pada generasi akan dating pada sumber-sumber
ekonomi masyarakat-tanah; dan 4) menciptakan tatanah kehidupan bersama secara harmonis dengan
mengatasi berbagai sengketa dan konflik pertanahan di seluruh tanah air dan menata sistem pengelolaan
yang tidak lagi melahirkan sengketa dan konflik di kemudian hari.
Sementara itu, kita dihadapkan pula pada era globalisasi. Para aktor globalisasi secara langsung
ataupun secara terselubung berusaha mendesakan berbagai kepentingan agar pembaruan UUPA itu dapat
memperlicin kapitalisme global, sebagai contoh substansi di bidang investasi yang tertuang dalam Pasal
21-22 UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal terulang kembali pola tatanan masa Orde
Baru, meskipun sudah berlangsung pada era Reformasi. Berkat kejelihan para Hakim Di Mahkamah
Konstitusi yang melihat tidak hanya saja dengan pemikiran yang jernih, akan tetapi juga dirasakan dengan
melibatkan hati nurani, maka ketentuan dimaksud akhirnya telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Kemudian jika kita menengok sejarah pada masa Orde Baru7, tatanan pelaksanaan pembangunan,
tanah mengalami pergeseran nilai, yaitu dari tanah yang dikelola bersama, di mana tanah tidak lagi
semata-mata bernilai uang menjadi asset komoditi yang bisa diperdagangkan, yang memiliki nilai
ekonomis, dan objek spekulasi bagi orang yang mempunyai uang banyak. Tanah yang memiliki karakter
sosial telah dirubah menjadi masuk dalam skema pasar tanah. Kondisi tersebut mengakibatkan hak-hak
rakyat atas tanah terpangkas untuk kepentingan investor sehingga membuahkan kemiskinan dan rakyat
termarjinalkan.
Hal yang sama pula terjadi dengan dibatalkannya UU BHP oleh Mahkamah Konstitusi. Di sini
Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili UU BHP telah mencari dan menempuh jalan baru (rule
breaking) sebagaimana dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo.8

5 Sarjita, Penyelesaian Sengketa Pertanahan Dalam Era Otda (Disampaikan pada


Workshop Penguatan SDM Pemkab Sleman, 11 November 2008), (Tidak dipublikasikan).
6 Joyo Winoto, (2006), Pertanahan Dan Keagrariaan Nasional (Sambutan Kepala BPN RI

pada Hari Agraria Nasional 2006 (24 September 2006), Bogor, Brighten Press: 3-4
7 Ada beberapa alas an mengapa Orde Baru semakin menjauh dari UUPA, yaitu:

Pertama, pada awal Orba ada consensus di antara pendukungnya tentang perlunya stabilitasi,
rehabilitasi dan pembangunan ekonomi gaya kapitalis; Kedua, Angkatan darat menganggap
bahwa Landreform yang disponsori golongan kiri apada awal 1960-an dapat mengancam
pengendaliannya atas beberapa perkebunan milik Negara; Ketiga, dilihat dari segi ekonomi,
strategi radikal tersebut tidak menguntungkan. (Endang Suhendar dan Ifdal Kasim, (1996),
Tanah Sebagai Komoditas, Kajian Kritis Atas Kebijakan Pertanahan Orba, Jakarta, ELSAM: 33.).
8 Rule Breaking, yaitu Pertama, mempergunakan kecerdasan spiritual untuk bangun dari

keterpurukan hukum memberikan pesan peting bagi kita untuk berani mencari jalan baru (rule
breaking) dan tidak membiarkan diri terkekang oleh cara lama, menjalankan hukum yang lama
dan tradisional yang jelas-jelas lebih banyak melukai rasa keadilan. Kedua, pencarian makna
lebih dalam hendaknya menjadi ukuran baru dalam menjalankan hukum dan bernegara
hukum. Masing-masing fihak yang terlibat dalam proses penegakan hukum didorong untuk
selalu bertanya kepada hati nurani tentang makna hukum yang lebih dalam; Ketiga,. Hukum
hendaknya dijalankan tidak menurut prinsip logika saja, tetapi dengan perasaan, kepedulian
dan keterlibatan (compassion) kepada kelompok yang lemah. Satjipto Rahardjo dalam
Yusriyadi, (2006), Paradgma Sosiologis Dan Implikasinya Terhadap Pengembangan Ilmu Hukum
Dan Penegakan Hukum (Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Bidang Sosiologi hukum FH
Universitas Diponegoro, Semarang, 18 Pebruari 2006): 33).

2
Penerapan Azas Fungsi Sosial

Pemahaman dan keyakinan akan sifat dan hakikat manusia sebagai makluk individu dan
sekaligus makluk sosial, seharusnya tetap dijaga keberadaannya. Dari sisi kaidah agama maupun kaidah
sosial telah mengajarkan, bahwa pada setiap individu ada hak. Pada orang lainpun ada hak. Bahkan sang
Pencipta-pun juga ada hak. Kesemuannya harus dipenuhi dan diselaraskan. Bahkan menegasikan atau
peniadaan hak bagi salah satunya adalah kedzaliman.9
Sebagai individu, sudah benar dan spantasnyalah jika setiap WNI diberikan hak atas tanah (Hak
Milik) maupun hak-hak yang lainnya. Namun demikian, tidaklah dibenarkan hak atas tanah tersebut
dalam penggunaannnya hanya diorientasikan untuk kepentingan pribadinya (si empunya hak), tanpa
memperhatikan kepentingan sosial atau lingkungannya. Dengan kata lain, menurut Sudjito10, semua hak
atas tanah harus mempunyai fungsi individu/pribadi, sekaligus fungsi sosial. Implementasi azas tersebut,
harus dipahami secara hati-hati dan benar, agar tidak terjebak atau dipersamakan dengan paham sosialis
yang menyatakan bahwa semua hak atas tanah adalah fungsi sosial.
Penerapan prinsip bahwa tanah mempunyai fungsi sosial mengandung suatu maksud, bahwa
Pemerintah secara moral mempunyai kewajiban untuk menjaga keseimbangan antara dua kepentingan
yang bersifat antinomi, yaitu antara kepentingan individu di satu sisi, dan kepentingan masyarakat di sisi
yang lain.11 Notonagoro dalam M. Mahfud MD.12 menggunakan istilah bahwa untuk menyelaraskan dua
kepentingan yang ada dalam masyarakat tersebut, maka prinsip fungsi sosial terhadap hak milik atas
tanah menurut UUPA bercorak “dwitunggal”. Sementara Maria S.W Sumardjono13 menekankan bahwa
hubungan atau relasi antara orang perorangan dan masyarakat dalam kaitannya dengan tanah, bersifat
kedwitunggalan yang tidak dapat dipisahkan. Sedangkan untuk memberi isi dan ukuran dari fungsi
sosial, menurut Sunarjati Hartono, maka dalam pelaksanaan hak milik atas tanah harus memperhatikan
empat azas, yaitu: 1) azas manfaat; 2) azas usaha bersama dan kekeluargaan; 3) azas demokrasi; dan 4)
azas adil dan merata.
Konsekuensi lebih lanjut, jika secara nyata ditemukan pelanggaran dari prinsip fungsi sosial,
yaitu tanah diterlantarkan atau (ada unsur kesengajaan untuk menelantarkan) tanah, maka hak atas tanah
tersebut kembali kepada hak menguasai dari Negara.14 Pernyataan lebih ekstrim lagi dikemukakan oleh
Ari Sukanti Hutagalung,15 yaitu apabila kewajiban ini diabaikan Negara berwenang untuk membatalkan
hak, sehingga tanahnya menjadi tanah Negara. Dengan demikian pemegang hak atas tanah tidak hanya
mempunyai hak untuk menggunakan tanah yang dikuasai-nya tetapi juga berkewajiban menggunakan
tanahnya sedemikian rupa sehingga baik secara langsung dan tidak langsung memenuhi kepentingan
umum.

Regulasi Kebijakan Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 secara konstitusional telah mengamanatkan bahwa “Bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat”.
Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria Dan Pengelolaan Sumber
Daya Alam, dalam Pasal 2 disebutkan bahwa Pembaruan Agraria mencakup suatu proses yang
berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan sumberdaya agria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian huku dan perlindungan

9 Sudjito, Fungsi Sosial Hak Atas Tanah, Majalah Ilmiah Widya Bhumi Tahun 2007: 2.
10 Sudjito, Ibid.: 3.
11 Sarjita, (2002), Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar (PP Nomor 36 Tahun

1998 Jo. Kep. Ka. BPN No. 24 Tahun 2002), Yogyakarta, CV. Global Visindo Consultant: 1.
12 M. Mahfud MD (1998), Politik Hukum Di Indonesia, Jakarta, PT. Pustaka LP3ES: 186.
13 Maria S.W. Sumardjono, (2001), Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan
Implementasi, Jakarta, Kompas: 42.
14 Iman Sutiknjo, (1980), Proses Terjadinya UUPA, Yogyakarta, Gadjah Mada University

Press: 61.
15 Arie Sukanti Hutagalung , (1985), Program Redistribusi Tanah Di Indonesia Suatu Sarana

Ke Arah Pemecahan Masalah Penguasaan Tanah Dan Pemilikan Tanah, Jakarta, CV. Rajawali:
32.

3
hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Demikian pula dalam Pasal 4 huruf
h, disebutkan bahwa melaksanakan fungsi sosial, kelestarian dan fungsi ekojologis sesuai dengan kondisi
sosial budaya setempat.
Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 atau sering disebut dengan UUPA (Lembaran Negara
Tahun 1960 Nomor 104, TLN No. 2043), pada Pasal 6, menyatakan bahwa “Semua hak atas tanah
mempunyai fungsi sosial”. Rumusan Pasal tersebut mendapat penjelasan dalam Penjelasan Umum, Angka
Romawi II Angka 4 UUPA, yaitu hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang tidaklah dapat
dibenarkan, bahwa tanahnya akan dipergunakan atau tidak dipergunakan semata-mata untuk kepentingan
pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus
disesuaikan dengan keadaannya dan sifat dari pada haknya, hingga bermanfaat bagi baik kesejahteraan
dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan Negara.
Kemudian jika dikaitkan antara ketentuan Pasal 6 dengan Pasal 15 UUPA, maka semua hak atas
tanah harus dipelihara baik-baik, agar bertambah kesuburannya serta dicegah kerusakannya. Kewajiban
memelihara tanah tidak hanya menjadi beban pemilik atau pemegang hak semata, melainkan menjadi
beban pula dari setiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai suatu hubungan hukum
dengan tanah. Oleh karena itu, maka hak atas tanah hapus dengan sendirinya apabila tanahnya
diterlantarkan. Sebagaimana diatur dalam: 1) Pasal 27 huruf a angka 3: Hak Milik; 2) Pasal 34 huruf e:
HGU; 3) Pasal 40 huruf e: HGB.
Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun
2004 Nomor 125, TLN Nomor 4437). Ketentuan Pasal 13 UU Nomor 32 Tahun 2004, menyatakan bahwa
Urusan Wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi… meliputi: a. perencanaan dan
pengendalian pembangunan; b. perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang; … k. pelayanan
pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota. Pasal 14, menyatakan Urusan wajib yang menjadi
kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota…meliputi: a. perencanaan dan pengendalian
pembangunan; b. perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan ruang; … k. pelayanan pertanahan.16
Undang Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 149, TLN Nomor 5068). Dalam Pasal 1 butir 22
disebutkan bahwa tanah terlantar adalah tanah yang sudah diberikan hak oleh Negara berupa HM, HGU,
HGB, Hak Pakai, Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak
dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak
atau dasar penguasaannya. Pasal 29 ayat (3) menyatakan bahwa tanah terlantar merupakan salah satu
objek penyiapan lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 149,
TLN Nomor 5068). Pasal 29 ayat (4): Tanah terlantar dapat dialihfungsikan menjadi lahan Pertanian
pangan Berkelanjutan, apabila: a. tanah tersebut diberikan hak atas tanahnya tetapi sebagian atau
seluruhnya tidak diusahakan, tidak dipergunakan, dan tidak dimanfaatkan sesuai dengan sifat dan tujuan
pemberian haknya; atau b. tanah tersebut selama 3 (tiga) tahun atau lebih tidak dimanfaatkan sejak
tanggal pemberian hak diterbitkan.
Lebih lanjut dalam Penjelasan Pasal 29 UU tersebut, dinyatakan bahwa Untuk keperluan
pengembangan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, sebagai Lahan Cadangan Pertanian Pangan
Berkelanjutan, pengambilalihan dapat dilakukan oleh Negara tanpa kompensasi dan selanjutnya
dijadikan objek reforma agraria untuk didistribusikan kepada petani tanpa lahan atau berlahan
sempit yang dapat memanfaatkannya untuk lahan pertanian Pangan Pokok. Sehubungan dengan itu,
masyarakat berperan dalam pengawasan tanah terlantar dengan melaporkan pemanfaatan lahan yang
dinilai diterlantarkan untuk diusulkan sebagai LCPPB.
Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban memberikan perlindungan dan
pemberdayaan serta insentif yang sesuai kepada petani yang memiliki hak atas tanah yang ingin
memanfaatkan tanahnya untuk pertanian Pangan Pokok, tetapi miskin dan memiliki keterbatasan akses
terhadap factor-faktor produksi sehingga menelantarkan tanahnya.
Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 tentang HGU, HGB dan Hak Pakai Atas Tanah
(Tambahan Lembaran Negara Tahun 1996 No. 58, TLN Nomor 3643). Tentang hapusnya sesuatu hak

16Anonim, (2004), Undang Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan


Daerag Dan Undang Undang RI Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, Jakarta, CV. Eka Jaya.

4
atas tanah, seperti diatur dalam Pasal 17 ayat (1) huruf e: HGU, Pasal 35 ayat (1) huruf: HGB, dan Pasal
55 ayat (1) huruf e: Hak Pakai.
Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah (Lembaran Negara
Tahun 2004 Nomor 45, TLN Nomor 4385). PP ini lahir untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (2)
UU Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang. UU tersebut dalam perkembangannya berdasarkan
ketentuapn Pasal 79 UU Nomor 26 Tahun 2007dinyatakan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 6
PP tersebut, menyatakan bahwa Kebijakan Penatagunaan tanah diselenggarakan terhadap: a. bidang-
bidang tanah yang sudah ada haknya baik yang sudah atau belum terdfatar; b. tanah Negara; c. tanah
ulayat masyarakat hukum adat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 7 ayat (1) Terhadap tanah-tanah tersebut di atas, penggunaan dan pemanfaatan tanahnya
harus sesuai dengan RTRW; ayat (2) Kesesuaian penggunaan dan pemanfaatan tanah terhadap RTRW
ditentukan berdasarkan pedoman, standar dan kriteria teknis yang ditetapkan oleh Pemerintah. Ayat (3)
Pedoman, standar dan kriteria teknis tersebut, dijabarkan lebih lanjut oleh Pemerintah Kabupaten/Kota
dengan kondisi wilayah masing-masing. Ayat (4) Penggunaan tanah yang tidak sesuai dengan RTRW
tidak dapat diperluas atau dikembangkan penggunaannya.
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara
Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. (Lembaran
Negara Tahun 2007 Nomor 82, TLN No.4737). Dalam Pasal 7 disebutkan bahwa Urusan wajib
sebagaimana dimaksud dlam Pasal 6 meliputi: a. pendidikan; ….,; r. pertanahan; dstnya.
Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Pertanahan sebagaimaa tercantum dalam Lampiran I meliputi:17
1) Izin Lokasi; 2) Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum; 3) Penyelesaian Sengketa Tanah
garapan; 4) Penyelesaian Masalah Ganti Kerugian dan Santunan Tanah Untuk Pembangunan; 5).
Penetapan Subjek dan Objek Redistribusi Tanah, serta ganti Kerugian tanah Kelebihan Maksimum dan
Tanah Absente; 6) Penetapan Tanah Ulayat; 7) Pemanfaatan dan Penyelesaian Masalah Tanah Kosong; 8)
Ijin Membuka Tanah (tugas perbantuan/medebewind); 9). Perencanaan Penggunaan Tanah Wilayah
Kabupaten/Kota.
Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah
Terlantar (LN Tahun 2010 Nomor 16, TLN Nomor 5098), dalam Pasal 19 PP tersebut menyatakan
mencabut dan menyatakan tidak berlaku PP Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan
Pendayagunaan Tanah Terlantar serta peraturan pelaksanaannya.
Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang
(Lembaran Negara Tahun 2010 Nomor 21, TLN Nomor 5103). Yang dimaksud pengertian ruang
dalam PP tersebut adalah meliputi: a) ruang darat; b) ruang laut; dan c) ruang udara, termasuk ruang di
dalam tubuh bumi sebagai satu kesatuan wilayah tempat manusia dan makluk lain hidup, melakukan
kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. Dalam PP tersebut juga dilakukan pengaturan
mengenai Penyusunan dan Penetapan RTRW Nasional, RTRW Provinsi, RTRW Kabupaten, RTRW
Kota, Rencana Rinci Tata Ruang, Rencana Tata Ruang Pulau/Kepulauan, Rencana tata Ruang Kawasan
Strategis, Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), RTR Kawasan Perkotaan, RTR Kawasan Perdesaan, RTR
Kawasan Agropolitan. Khusus untuk Pedoman Penyusunan RTRW Kabupaten diatur dalam Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum Nomor 16/PRT/W/2009 tertanggal 27 Juli 2009.
Kemudian untuk pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang, dilakukan melalui instrumen
berupa pengaturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif dan pengenaan sanksi. Izin
dalam lingkup pemanfaatan dapat diberikan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota berupa: a. izin prinsip; b.
izin lokasi; c. izin penggunaan pemanfaatan tanah; dan d. izin mendirikan bangunan; serta e. izin lain
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1998 tentang Pemanfaatan Tanah
Kosong Untuk Tanaman Pangan.
Peraturan Kepala BPN RI Nomor 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar.
Peraturan Ka. BPN ini dalam Pasal 28 telah menyatakan tidak berlaku Keputusan Ka. BPN Nomor 24
Tahun 2002 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan
Pendayagunaan Tanah Terlantar.

Anonim, (2007), Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan


17

Daerah Provinsi Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, Bandung, Fokus Media: 215-226.

5
Profil PP Nomor 11 Tahun 2010 tentang P2T2

a. Dasar Pertimbangan Penerbitan PP Nomor 11 Tahun 2010


Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 diterbitkan berdasarkan pertimbangan
utama, Pertama, bahwa kondisi penelantaran tanah semakin menimbulkan kesenjangan
sosial, ekonomi, dan kesejahteraan rakyat serta menurunkan kualitas lingkungan; Kedua,
Instrumen regulasi berupa peraturan perundang-undangan yang telah ada yaitu PP Nomor 36
Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar beserta peraturan
pelaksanaannya tidak dapat lagi dijadikan acuan penyelesaian penertiban dan pendayagunaan
tanah terlantar. Namun secara politis sebenarnya ada tujuan yang lebih besar dan luas serta
strategis dengan diterbitkannya PP Nomor 11 Tahun 2010 yaitu untuk menunjang
keberhasilan pelaksanaan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Di mana tanah
terlantar telah ditetapkan sebgai salah satu objek Reforma Agraria18 di samping tanah Negara
Bekas Hak Barat dan/atau Swapradja dan tanah Negara lainnya, tanah Negara bekas HGU
dan HGB yang telah berakhir jangka waktu berlakunya hak dan tidak diperpanjang; serta
Tanah Negara Bekas Kawasan Hutan.

b. Pengertian Tanah Terlantar


Dalam PP ini tidak diatur secara jelas rumusan apa itu pengertian tanah terlantar. Baik
dalam Ketentuan Umum Pasal 1 yang biasanya menjelaskan istilah yang digunakan pada
Pasal-pasal berikutnya. Sebagai perbandingan pengertian tanah terlantar dapat dilihat pada
Pasal 1 butir 5 PP Nomor 36 tahun 1998 yang telah dicabut, yaitu tanah yang diterlantarkan
oleh pemegang hak atas tanah [HM, HGU, HGB, HP], pemegang Hak Pengelolaan, atau
pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan atas tanah [izin/keputusan/surat dari
pejabat yang berwenang yang menjadi dasar penguasaan atas tanah] tetapi belum
memperoleh hak atas tanah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penjelasan secara lebih dalam mengenai pengertian tanah terlantar, dapat diketemukan dalam
Penjelasan Pasal 2 PP Nomor 11 Tahun 2010, yaitu apabila tanahnya: a. tidak diusahakan; b;
tidak dipergunakan atau c. tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan
haknya. d. tanah yang ada dasar penguasaannya apabila tanahnya: a. tidak dimohon hak;
tidak diusahakan; atau ctidak dipergunakan; d. atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan
persyaratan atau ketentuan yang ditetapkan dalam iizin lokasi, surat keputusan pemberian
hak, surat keputusan pelepasan kawasan hutan, dan/atau dalam izin/keputusan/surat
lainnya dari pejabat yang berwenang.
Pengertian tanah terlantar dapat diketahui dalam Peraturan Kepala BPN RI Nomor 4
Tahun 2010, yaitu pada Pasal 1 butir 6: tanah yang sudah diberikan hak oleh Negara berupa
HM, HGU, HGB, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang
tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannnya
atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya.
Sehubungan dengan pengertian tanah terlantar ini, penulis dapat membedakan menjadi
dua,19 yaitu Pertama, tanah terlantar secara fisik dan Kedua, tanah terlantar secara yuridis.

18 Sarjita, Tantangam RA Di Kawasan Timur Indonesia (Makalah disampaikan pada


Seminar Lingkar Belajar RA (LIBRA) Kerjasama STPN-Fakultas Ekonomi Universitas Satya Wacana
Salatiga, 4 Mei 2009): 7.
19 Tanah Terlantar secara fisik (didasarkan pada kondisi lapang). Jika tanahnya tidak

dimanfaatkan atau dibiarkan dalam keadaan tidak digunakan sesuai keadaan, sifat dan
tujuan daripada haknya. Tanah Terlantar secara Yuridis, apabila tanah tersebut di samping
memenuhi kriteria tanah secara fisik, juga telah diterbitkan SK Kepala BPN tentang Penetapan
sebagai Tanah Terlantar. Sarjita, Ibid: 8-9

6
c. Kriteria Objek Tanah Terlantar
PP Nomor 11 Tahun 2010 yang baru ini ditentukan objek tanah terlantar sebagaimana
diatur dalam Pasal 2. Kemudian dalam Pasal 3 dirumuskan kriteria tanah yang tidak termasuk
objek penertiban tanah terlantar, yaitu:
1) Tanah HM atau HGB atas nama perseorangan yang secara tidak sengaja tidak
dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya; dan
2) Tanah yang dikuasai pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung dan sudah
berstatus maupun belum berstatus Barang Milik Negara/Daerah yang tidak sengaja tidak
dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya.
Hak atas tanah perseorangan yang berupa HM atau HGB tersebut tidak sengaja tidak
dipergunakan sesuai keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya karena pemegang hak
tidak memiliki kemampuan segi ekonomi untuk mengusahakan, mempergunakan, atau
memanfaatkan. Sedangkan khusus Tanah yang dikuasai Pemerintah (tanah asset Pemerintah)
tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian
haknya, karena keterbatasan anggaran Negara/daerah untuk mengusahakan, mempergunakan,
atau memanfaatkan.
Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan, apabila tanah HM atau HGB perseorangan
atau tanah yang dikuasai Pemerintah (tanah Asset Pemerintah)20 tersebut, Pemegang haknya
memiliki kemampuan secara ekonomi dan/atau Instansi Pemerintah (Pusat/Daerah) memiliki
cukup anggaran untuk mengusahakan, mempergunakan, atau memanfaatkan tanah sesuai
keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya, maka akan meningkat statusnya yang
semula bukan merupakan objek tanah terlantar, akan menjadi objek penertiban tanah
terlantar.
Dengan memperhatikan bahwa uraian tersebut di atas, maka yang termasuk objek tanah
terlantar:
1) Tanah HGU baik yang subjeknya Perseorangan maupun Badan Hukum yang didirikan
menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
2) Tanah Hak Pakai;

20 Tanah Asset Pemerintah. Yang berupa tanah menurut ketentuan Pasal 49 UU Nomor 1
Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara harus disertipikatkan atas nama pemerintah
RI/Pemerintah Daerah yang bersangkutan. Yang termasuk dalam pengertian tanah asset
pemerintah/pemerintah daerah adalah a. tanah-tanah bukan pihak lain dan yang telah
dikuasai secara fisik ileh instansi pemerintah; b. tanah-tanah bukan pihak lain yang dikelola dan
dipelihara/dirawat dengan dana dari isntansi Pemerintah; c. Tanah-tanah bukan pihak lain
yang telah terdaftar dalam Daftar Inventaris Instansi Pemerintah yang bersangkutan; d. Tanah-
tanah sebagaimana tersebut pada huruf a s/d b dan c, baik yang sudah ada sertipikatnya
maupun yang belum ada sertipikatn tanahnya; e. tanah yang secara fisik dikuasai atau
digunakan/dimanfaatkan oleh pihak lain berdasarkan hubungan hukum yang dibuat antara
pihak lain dengan instansi Pemerintah dimaksud. Sedangkan tanah yang tidak termasuk asset
Pemerintah, yaitu tanah kepunyaan pihak lain yang dikuasai atau dimanfaatkan/digunakan
oleh instansi Pemerintah, atau sering dipakai istilah “tanah dalam penguasaan”. Terhadap
tanah yang demikian perlu dilakukan penelitian lebih lanjut, apakah status tanahnya berstatus
tanah Negara atau tanah hak. Jika berstatus tanah Negara, maka perlu dijadikan asset
Pemerintah dan diajukan permohonan hak atas tanahnya kepada Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota setempat. Sarjita, (2005), Pelaksanaan Urusan Pertanahan Dalam Era otonomi
Daerah, Yogyakarta, Tugujogja Pustaka: 41-42. Kemudian untuk pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah pengaturanya dilakukan dengan PP Nomor 6 Tahun 2006 Jo. PP Nomor 38
Tahun 2008 tentang Perubahan Atas PP Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah.

7
3) Tanah Hak Guna Bangunan (HGB) yang pemegang haknya perorangan dan mempunyai
kemampuan dari segi ekonomi untuk mengusahakan, menggunakan dan memanfaatkan
tanah akan tetapi dengan sengaja tidak mempergunakan tanah sesuai dengan keadaan
atau sifat dan tujuan pemberian haknya.

4) Tanah Hak Guna Bangunan (HGB) yang pemegang haknya berupa Badan Hukum
(Perseroan Terbatas).

5) Tanah Yang dikuasai Pemerintah (Tanah asset Pemerintah) dan mempunyai cukup
anggaran untuk mengusahakan, menggunakan dan memanfaatkan tanah akan tetapi
dengan sengaja tidak mempergunakan tanah sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan
pemberian haknya.

6) Tanah Hak Pengelolaan.

7) Tanah-tanah yang dikuasai oleh pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan atas
tanah [izin/keputusan/surat dari pejabat yang berwenang yang menjadi dasar
penguasaan atas tanah] tetapi belum memperoleh hak atas tanah sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berkaitan dengan pembahasan tentang objek tanah terlantar ini, masih harus
diperjelas/dipertegas, bagimana dengan status tanah asset Pemerintah Desa yang sering
disebut dengan istilah Tanah Kas Desa (TKD), tanah yang secara tidak sengaja tidak
diusahakan, dipergunakan atau dimanfaatkan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan
pemberian haknya, dikarenakan tanah dihalang-halangi oleh pihak lain atau tanah masih
dalam sengketa/perkara baik yang belum atau yang sudah diajukan melalui gugatan di
Pengadilan, tanah hak ulayat masyarakat hukum adat, dan tanah Negara. Hal ini perlu kami
kemukakan karena secara riil di lapang besar kemungkinan ditemukan tanah yang terindikasi
terlantar status tanahnya termasuk sebagaimana diuraikan di atas.

d. Inventarisasi Tanah Yang Terindikasi Terlantar

Inventarisasi tanah terindikasi terlantar dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN
Provinsi berdasarkan informasi yang diperoleh dari hasil pemantauan lapnagan oleh Kepala
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota atau dari hasil laporan Dinas/instansi lainnya, laporan
tertulis dari masyarakat, atau para pemegang hak. Pemegang hak berkewajiban melaporkan
penggunaan dan pemanfaatan tanah sesuai dengan keputusan pemberian hak atas tanah atau
dasar penguasaan atas tanah dari pejabat yang berwenang.

Inventarisasi tanah terindikasi terlantar dilaksanakan melalui: 1) pengumpulan data


mengenai tanah yang terindikasi terlantar yang meliputi data tekstual (nama, alamat
pemegang hak atas tanah, tanggal keputusan pemberian hak atas tanah, Nomor dan Tanggal,
serta berakhirnya sertipikat, letak tanah, luas dan penggunaan tanah, serta luas tanah yang
terindikasi terlantar) dan data spasial (data grafis berupa peta yang dilengkapi dengan
koordinat posisi bidang tanah yang terindikasi terlantar). 2) pengelompokan data tanah yang
terindikasi terlantar dilakukan menurut wilayah kabupaten/kota, dan jenis hak/dasar
penguasaan. 3) mengadministrasikan data hasil inventarisasi tanah terindikasi terlantar secara
tertib dalam basis data untuk keperluan pelaporan bahan analsisi dan penentuan tindakan
selanjutnya.

8
e. Identifikasi dan Penelitian Tanah Yang Terindikasi Terlantar

Tanah yang terindikasi terlantar berdasarkan hasil inventarisasi dan telah ditetapkan
sebagai target, dilakukan identifikasi dari aspek administrasi dan dilakukan penelitian lapang
(fisik tanah) oleh Panitia C yang dibentuk dan ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah BPn
Provinsi Identifikasi dan penelitian aspek administrasi serta penelitian lapang dilakukan
terhadap tanah:

1) HM, HGU, HGB, Hak Pakai terhitung mulai 3 (tiga) tahun sejak diterbitkan sertipikat
hak atas tanahnya;

2) Tanah yang telah diperoleh dasar penguasaaannya (izin, keputusan/surat dasar


penguasaan atas tanah dari pejabat yang berwenang terhitung sejak berakhirnya dasar
penguasaan tersebut.

Setelah diperoleh data hasil identifikasi, Kepala Kantor Wilayah menyusun dan
menetapkan target yang akan dilakukan identifikasi dan penelitian terhadap tanah yang
terindikasi terlantar. Penetapan taget didasarkan pada pertimbangan lamanya tanah tersebut
diterlantarkan dan/atau luas tanah yang terindikasi terlantar. Penyiapan data tanah yang
terindikasi terlantar dengan melakukan penelitian administrasi dan penelitian lapang fisik
tanah. Data dan informasi yang diperlukan dari tanah yang terindikasi terlantar, meliputi:

1) Verifikasi data fisik dan data yuridis (jenis hak dan letak tanah);

2) Pengecekan buku tanah dan/atau warkah dan dokumen lainnya untuk mengetahui
keberadaan pembebanan, termasuk data, rencana, dan tahapan penggunaan dan
pemanfaatan tanah pada saat permohonan hak atas tanah diajukan oleh pemohon.

3) Meminta keterangan dari pemegang hak atas tanah atau pihak lain yang terkait, apabila
pemegang hak atas tanah/kuasanya/wakilnya tidak memberikan data dan informasi atau
tidak ditempat atau tidak dapat dihubungi, maka identifikasi dan penelitian tetap
dilaksanakan dengan cara lain untuk memperoleh data;

4) Melaksanakan pemeriksaan fisik berupa letak batas, openggunaan dan pemanfaatan tanah
dengan menggunakan teknologi yang ada.

5) Melaksanakan ploting letak penggunaan dan pemanfaatan tanah pada peta pertanahan
berdasartkan hasil pemeriksaan fisik;

6) Membuat analisis penyebab terjadinya tanah terlantar, antara lain menyangkut


permasalahan-permasalahan penyebab terjadinya tanah terlantar, kesesuaian dengan hak
yang diberikan, dan kesesuaian dengan tata ruang.

7) Menyusun laporan hasil identifikasi dan penelitian.

f. Pembentukan dan Susunan Panitia C

Panitia C, adalah suatu kepanitiaan yang dibentuk oleh Kepala Kantor Wilayah BPN
Provinsi dengan susunan keanggotaan sebagai berikut:

9
1) Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi sebagai Ketua;
2) Kepala Bidang Pengendalian Pertanahan Dan Pemberdayaan Tanah sebagai Sekretaris;

3) Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota, , Dinas/Instansi Provinsi yang berkaitan dengan


peruntukan tanah, Dinas/Instasni Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan peruntukan
tanah, dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota sebagai Anggota.

Tugas dan fungsi Panitia C adalah:

1) Melakukan verifikasi data fisik dan data yuridis;

2) Mengecek buku tanah dan/atau warkah tanah dan dokumen lainnya untuk mengetahui
keberadaan pembebabanan, sita jaminan dan lain sebagainya, termasuk data, rencana dan
tahapan penggunaan dan pemanfaatan tanah saat dijaukan permohonan hak atas
tanahnya;

3) Meminta keterangan ddari pemegang hak atas tanah atau pihak lain yang terkait, dan
pemegang hak atau pihak lain harus member keterangan atau menyampaikan data yang
diperlukan;

4) Pemeriksaan fisik dengan menggunakan teknologi yang ada;

5) Ploting letak penggunaan dan pemanfaatan tanah pada peta pertanahan;

6) Membuat analisis penyebab terjadinya tanah terlantar;

7) Menyusun hasil laporan identifikasi dan penelitian;


8) Melaksanakan sidang Panitia C untuk membahas dan memberikan saran pertimbangan
kepada Kakanwil BPN Provinsi dalam rangka mengambil tindakan penertiban tanah
terlantar;
9) Membuat dan menandatangani Beria Acara Sidang Panitia

g. Peringatan dan Pemberitahuan Kepada pemegang Hak Atas Tanah

Terhadap tanah yang terindikasi terlantar setelah dilakukan identifikasi dan penelitian
oleh Panitia C, dan kemudian diputuskan dalam Sidang Panitia C terdapat tanah terlantar
yang kemudian dituangkan dalam Berita Acara Sidang Panitia C, maka Kepala Kantor
Wilayah BPN Provinsi memberitahukan dan sekaligus memberikan Peringatan Tertulis I
kepada Pemegang Hak, agar dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkannya
Surat Peringatan, menggunakan tanahnya sesuai keadaannya atau menurut sifat dan tujuan
pemberian haknya atau sesuai izin/keputusan/surat sebagai dasar penguasaannya.

Secara garis besar tahapan peringatan tertulis kepada Pemegang Hak Atas Tanah
dilakukan sebagai berikut:

No Tahapan Jangka Waktu Keterangan

1. Peringatan Pertama 1 (satu) bulan 1) Dalam Surat peringatan disbutkan hal-hal secara
sejak tanggal kongkret yang harus dilakukan oleh Pemegang HAT dan

10
penerbitan Surat sanksi yang dapat dijatuhkan apabila pemegang HAT
Peringatan I tidak mengindahkan atau melaksanakan Peringatan ybs.

2) Dalam hal tanah yang di terbitkan Surat Peringatan


dibebani dengan Hak Tanggungan, maka surat
periingatan diberitahukan juga kepada Pemegang Hak
Tanggungan

3) Pemegang HAT wajib menyampaikan laporan kemajuan


penggunaan, pemanfaatan tanah setiap 2 (dua) minggu
kepada Kakanwil BPN dengan tembusan Kepala Kantor
Pertanahan Kab/Kota setempat.

2. Peringatan Kedua 1 (satu) bulan 1) Kakanwil BPN Provinsi melakukan pemantauan terhadap
sejak tanggal laporan kemajuan penggunaan dan pemanfaatan tanah
penerbitan Surat dari Pemegang HAT;
Peringatan II
2) Berdasarkan evaluasi data terhadap Surat Peringatan I,
pada Peringatan Ke-II disebutkan kembali mengenai
tindakan konkret dan sanksi yg dapat dijatuhkan kepada
Pemegang HAT yg tidak mengindahkan/melaksanakan
isi Surat Peringatan

3. Peringatan Ketiga 1 (satu) bulan 1) Berdasarkan Peringatan I, II dan III Kakanwil BPN
sejak tanggal Provinsi melaporkan kepada Kepala BPN RI.
penerbitan Surat
Peringatan III 2) Apabila Pemegang Hak Atas Tanah tetap tidak
melaksanakan substansi (isi) Peringatan Ke-III, maka
Kakanwil BPN Provinsi mengusulkan kepada Kepala
BPN RI untuk ditetapkan tanah tersebut sebagai tanah
terlantar.

3) Tanah yang diusulkan untuk ditetapkan sebagai tanah


terlantar, dinyatakan dalam keadaan status quo sejak
tanggal pengusulan sampai diterbitkannya SK penetapan
Tanah Terlantar. Konsekuensi hukumnya, maka
terhadap tanah yang bersangkutan tidak dapat dilakukan
perbuatan hukum (jual beli, tukar menukar, dsbnya).

Tindakan konkret yang wajib dilakukan oleh pemegang hak atas tanah, antara lain:

1) Mengusahakan, menggunakan dan memanfaatkan tanah sesuai keadaan dan sifat serta
tujuan pemberian haknya;
2) Dalam hal tanah yang digunakan tidak sesuai dengan sifat dan tujuan pemberian haknya,
pemegang HAT harus mengajukan permohonan perubahan hak atas tanah kepada Kepala
Kantor Pertanahan setempat sesuai peraturan yang berlaku.

3) Mengajukan permohonan hak untuk dasar penguasaan atas tanah mengusahakan,


menggunakan dan memanfaatkan tanahnya sesuai dengan izin/keputusan/surat dari
pejabat yang berwenang.

Sedangkan sanksi yang dapat dijatuhkan, yaitu ditetapkannya tanah yang bersangkutan
sebagai tanah terlantar, yang sekaligus hapus haknya, putus hubungan hukum, dan tanahnya
ditegaskan dikuasai langsung oleh Negara.

Surat Peringatan Kakanwil BPN Provinsi Ke III yang tidak diindahkan atau tidak
dilaksanakan oleh Pemegang HAT, kemudian oleh Kakanwil BPN Provinsi diusulkan

11
kepada Kepala BPN RI, untuk ditetapkan sebagai tanah terlantar. Apabila memenuhi kriteria
sebagai berikut: a) tidak menggunakan dan menafaatkan tanahnya sesuai dengan sifat dan
tujuan pemberian haknya; b) masih ada tanah yang belum diusahakan sesuai SK atau dasar
penguasaannnya; c) masih ada tanah yang penggunannya tidak sesuai dengan SK atau dasar
penguasaannya; d) tidak ada tindak lanjut penyelesaian pembangunan; e) penggunaan tanah
tidak sesuai dengan SK atau dasar penguasaan tanah; atau f) belum mengajukan permohonan
hak atas tanah apabila dasar penguasaan tanah masih berdasarkan Izin/Keputusan/Surat dari
pejabat yang berwenang.

h. Penetapan Tanah Terlantar Oleh Kepala BPN RI

Penetapan tanah ditetapkan sebagai tanah terlantar berdasarkan pertimbangan persentase


(%) dari luas tanah yang secara riil diterlantarkan, yaitu:

No Persentase dari SK Penetapan Tanah Terlantar Keterangan


Luas Riil Tanah
yang
diterlantarkan (%)

1. SK diberlakukan terhadap seluruh hamparan SK Penetapan Tanah Terlantar


tanah yang diterlantarkan yang telah diberikan dasar
100 % penguasaan (Izin/Keputusan/Surat
dari pejabat yang berwenang), dan
2. SK diberlakukan terhadap seluruh hamparan bekas pemegang dasar penguasaan
tanah yang diterlantarkan, dan selanjutnya mengajukan permohonan hak atas
< 25 % ≤ 100 % klepada bekas pemegang HAT diberikan tanah sesuai dengan peraturan
kembali sebagian tanah yang benar-benar perundang-undangan atas bidang
diusahakan/dimanfaatkan atau dipergunakan tanah yang benar-benar
sesuai keputusdan pemberian haknya, diusahakan, dipergunakan atau
melalui prosedur permohonan HAT atas dimanfaatkan sesuai
beban biaya pemohon; Izin/Keputusan/surat yang telah
ditetapkan oleh Pejabat yang
3. SK Diberlakukan hanya terhadap tanah yang berwenang.
diterlantarkan dan selanjutnya Pemegang
≤ 25 % HAT mengajukan permohonan revisi luas
bidang tanah hak tersebut dan biaya revisi
menjadi beban Pemegang HAT.

4.

SK Kepala BPN RI tentang Penetapan Tanah Sebagai Tanah Terlantar disampaikan kepada Pemgang
HAT, atau Bekas Pemegang HAT, dengan tembusan kepada Gubernur, Kakanwil BPN Provinsi,
Bupati/Walikota, Kepala Kantor Pertanahan serta Instansi terkait, dan Pemegang HT apabila tanah ybs
dibebani dengan HT.

5.

Kepala Kantor Pertanahan Kab/Kota setempat wajib mencoret sertipikat hak atas tanah dan/atau
sertipikat HT dari Daftar Umum dan Daftar Isian lainnya dalam Tata Usaha Pendaftaran Tanah, serta
mengumumkan di Surat Kabar 1 (satu) kali dalam waktu sebulan setelah dikeluarkannya SK Kepala
BPN yang menyatakan bahwa sertipikat tersebut tidak berlaku.

6.

12
Tanah yang telah ditetapkan sebagai tanah terlantar, dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak
ditetapkannya SK Penetapan sebagai tanah terlantar, wajib dikosongkan oleh bekas Pemegang HAT atas
benda-benda di atasnya dengan beban biaya yang bersangkutan. (Pasal 13 ayat (1) PP No. 11 Tahun
2010

7. Jika bekas Pemegang HAT tidak memenuhi kewajiban sebagaimana tersebut pada angka 6 di atas, maka
benda-benda di atasnya tidak lagi menjadi miliknya dan dikuasai langsung oleh Negara. (Psl 13 ayat (2)
PP No. 11 Tahun 2010

i. Pemberdayaan Tanah Negara Bekas Tanah Terlantar

Terhadap tanah Negara bekastanah terlantar, didayagunakan untuk kepentingan


masyarakat dan Negara melalui Reforma Agraria21 dan Program Strategis Negara serta untuk
Cadangan Negara lainnya. Sedangkan penataan asset dan penataan akses (Acces Reform)22
masyarakat terhadap tanah Negara bekas tanah terlantar dilakukan melalui distribusi dan
redistribusi tanah Negara.

Beberapa Permasalahan Yang Timbul Dan Peran Pemda Kabupaten/Kota Dalam


Pelaksanaan P2T2

Sesuai kewenangan yang dipunyai oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Bidang


Pertanahan sebagaimana di tetapkan dalam PP Nomor 38 Tahun 2007, sebagaimana telah
diuraikan di muka, bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota secara hukum telah dan sedang
mengemban amanah untuk menyelenggarakan kewenangan di bidang pertanahan. Ada delapan
kewenangan di bidang pertanahan yang didesentralisasikan dan satu kewenangan yang ditugas

21 Reforma Agraria merupakan suatu proses yang berkesinambungan berkenaan

dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan


sumberdaya agrarian, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian perlindungan hukum
serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. RA ini bertujuan untuk
menciptakan sumber-sumber kesejahteraan masyarakat yang berbasis agrarian (walfare);
menata kehidupan masyarakat yang lebih baik berkeadilan (equity), meningkatkan
keberlanjutan (sustainability) sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Indonesia
dan penggunaan/pemanfaatan tanah dan factor-faktor produksi lainya secara optimal
(efficiency); penyelesaian sengketa tanah (harmony) kemasyarakatan. (Joyo Winoto, (2007),
Reforma Agraria Mandat Politik Konstitusi Dan Hukum Dalam Rangka Mewujudkan Tanah Untuk
Keadilan Dan Kesejahteraan Rakyat, Jakarta, Badan Pertanahan Nasional RI.)
22 Antara lain dilakukan melalui penyediaan infrastruktur dan sarana produksi,

pembinaan dan bimbingan teknis kepada penerima manfaat, dukungan permodalan, distribusi
dan pemasaran hasil serta dukungan lainya. (Sarjita, Opcit.: 8).

13
perbantuan (medebewind). Kewenagan tersebut di atas, khususnya yang bukan tugas
perbantuan (medebewind) secara hukum berdasarkan PP Nomor 38 tahun 2007 telah menjadi
kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota, namun dalam perkembangannya belum semua
Pemerintah Kabupaten/Kota telah melaksanakan kewenangan tersebut. Sebagai contoh, pada
Pemerintah Kabupaten Sleman dengan Struktur Organisasi Dinas Pengendalian Pertanahan
Daerah yang dibentuk berdasarkan Perda Kabupaten Sleman Nomor 9 Tahun 2009 tentang
Organisasi Perangkat Daerah Pemerintah Kabupaten Sleman tertanggal 4 Agustus 2009, baru
dapat menyelenggarakan kewenangan Izin Lokasi, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan
Umum, dan Perencanaan Penggunaan Tanah Wilayah Kabupaten/Kota. Dengan demikian, masih
ada beberapa kewenangan yang belum dapat dilaksanakan/tertangani secara baik dan utuh.
Namun secara kelembagaan/institusi sudah menunjukan suatu keberhasilan/kemajuan yang
semula dari Perangkat Organisasi yang berbentuk Badan Pengendalian Pertanahan Daerah
(BPPD) sekarang telah meningkat menjadi Dinas Pengendalian Pertanahan Daerah (DPPD).
Melihat peluang yang ada, dari implementasi PP Nomor 11 Tahun 2010 muncul beberapa
permasalahan, antara lain:

a. Masih terdapat beberapa objek dari tanah yang terindikasi terlantar, tetapi oleh PP tersebut
tidak dijadikan sebagai objek identifikasi tanah terlantar. Sebagai contoh, terhadap status
tanah yang merupakan asset Pemerintah Desa yang berupa Tanah Kas Desa (TKD), tanah
Negara, Tanah Asset Pemerintah yang dikarenakan keterbatasan anggaran tidak sengaja dan
tidak diusahakan, dipergunakan dan dimanfaatkan sesuai sifat dan tujuan pemberian haknya,
serta Tanah HM atau HGB atas nama perseorangan yang secara tidak sengaja tidak
dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya sehingga tidak
dijadikan/dikecualikan sebagai objek identifikasi tanah terlantar. Terhadap persoalan
tersebut, Pemerintah Daerah yang dalam hal ini adalah Dinas Pengendalian Pertanahan
Daerah (DPPD) dapat segera menangkap peluang tersebut untuk dijadikan sebagai objek dari
kewenangan Pemda Kabupaten di Bidang Pertanahan khususnya berkaitan dengan
Pemanfaatan dan Penyelesaian Masalah Tanah Kosong. Dituangkan dalam bentuk kegiatan:
1) inventarisasi dan identifikasi tanah kosong untuk pemanfaatan tanaman pangan semusim;
2) Penetapan bidang-bidang tanah sebagai tanah kosong yang dapat digunakan untuk
tanaman pangan semusim bersama dengan pihak lain berdasarkan perjanjian (sewa
menyewa, bagi hasil, kontrak dan/atau kerjasama operasional). 3) Penetapan pihak-pihak
yang memerlukan tanah untuk tanaman pangan semusim dengan menguatamakan masyarakat
setempat; 4) Melakukasn fasilitasi perjanjian kerjasama antara Pemegang Hak Atas tanah
dengan Pihak yang akan memanfaatkan tanah kosong tersebut dihadapan dan diketahui
Kepala Desa/Lurah dan dikuatkan oleh Camat setempat; 5) serta Penanganan masalah yang
timbul dalam pemanfaatan tanah kosong, jika salah satu pihak tidak memenuhi isi perjanjian.
Adapun substansi pengaturanya dituangkan dalam bentuk Peraturan Bupati tentang
Kebijakan Pemanfaatan dan Penyelesaian Tanah Kosong. Tentunya luas ruang
lingkup/cakupannya disamping tanah-tanah yang menjadi objek penertiban tanah terlantar,
termasuk juga tanah-tanah asset Pemda yang diperoleh atau berasal dari Fasum/Fasos
Pengembang Perumahan yang telah diserahkan kepada Pemda sebagaimana diatur dengan
Permedagri Nomor 9 Tahun 2009. Hasil pelaksanaan inventarisasi dan identifikasi
tersebut, pada akhirnya dapat dijadikan embrio atau cikal bakal basis data tanah di wilayah
Kabupaten yang besar kemungkinan termasuk indikasi tanah terlantar. Karena Data
informasi tanah yang terindikasi terlantar dapat berasal dari laporan dari Dinas/Kantor
Pemerintah Daerah.

14
b. Terhadap tanah asset Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang tidak dengan sengaja, tidak
diusahakan, dipergunakan, dimanfaatkan karena keterbatasan anggaran yang tersedia pada
APBN/APBD yang bersangkutan. Pemerintah Daerah melalui DPPD dapat melakukan
fasilitasi dan pemberian saran serta masukan kepada Pengelola Asset Barang Milik Daerah
untuk diberdayakan sesuai mekanisme dalam PP Nomor 6 Tahun 2006 Jo,. PP Nomor 38
Tahun 2008, yaitu melalui pola pemanfaatan yang berupa sewa, pinjam pakai, kerjasama
pemanfaatan, dan bangun guna serah dan bangun serah guna. Hal tersebut dapat dilakukan
mengingat asset Pemerintah/Pemerintah Daerah tersebut, tentunya tidak digunakan untuk
pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya. Dengan demikian, besar kemungkinan sampai
terjadi tanah asset Pemerintah Daerah menjadi tanah yang terindikasi terlantar sangat kecil.
Upaya fasilitasi oleh DPPD tersebut dapat diberlakukan terhadap pula terhadap tanah-tanah
milik Pemerintah dan Pemerintah Desa yang ada di wilayah Kabupaten Sleman

c. Keberadaan Panitia C yang tugas dan fungsinya melakukan identifikasi dan penelitian lapang
(fisik Tanah) yang terindikasi terlantar, sebagaimana Kepanitian yang lain di bidang
Pertanahan, seperti Panitia Pemeriksaan Tanah A dan Panitia Pemeriksaan Tanah B, Petugas
Konstatasi, dan Tim Peneliti Tanah untuk dapat bekerja secara maksimal harus didukung
oleh tersedianya dana untuk operasional. Sehubungan hal tersebut, dalam PP Nomor 13
Tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif PNBP Yang Berlaku Pada BPN ternyata belum
mengakomodasi kebutuhan Panitia C. Tentunya dana operasional Panitia C, tidak mungkin
dikenakan/dibebankan pada Pemegang Hak Atas Tanah. Dengan demikian perlu segera
dikeluarkan kebijakan dari Kepala BPN agar penertiban tanah terlantar dapat segera
diselenggarakan.

d. Selama tanah yang terindikasi terlantar diusulkan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi
kepada Kepala BPN, maka status tanah tidak dapat dilakukan perbuatan hukum alias status
quo. Bagaimana jika hal tersebut, bukan merupakan perbuatan hukum melainkan karena
peristiwa hukum (pewarisan). Mengingat bahwa hak atas tanah dapat beralih dan
dialihkan. Perbuatan hukum termasuk pada peralihan hak karena dialihkan ada kesengajaan
dari Pemegang haknya.

e. Masalah hak keperdataan dari bekas pemegang hak atas tanah yang tanahnya ditetapkan
sebagai tanah terlantar. Pasal 9 ayat (2) PP Nomor 11 Tahun 2010 menyebutkan bahwa
Dalam hal tanah yang akan ditetapkan sebagai tanah terlantar merupakan tanah hak (HM,
HG, Hak Pakai) penetapan tanah terlantar memuat juga penetapan haspusnya hak atas tanah,
sekaligus memutuskan hubungan hukum serta ditegaskan sebagai tanah yang dikuasai
langsung oleh Negara. Selanjutnya dalam Pasal 13 ayat (1): Tanah yang ditetapkan sebagai
tanah terlantar, dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak ditetapkannya
keputusan penetapan tanah terlantar, wajib dikosongkan oleh bekas Pemegang Hak Atas
Benda-benda di atasnya dengan beban biaya yang bersangkutan. Kemudian jika dikaitkan
dengan ketentuan Pasal 37 ayat (2) serta ayat (4) PP Nomor 40 tahun 1996, yang menyatakan
bahwa Dalam hal bangunan dan benda-benda masih diperlukan, maka kepada bekas
pemegang hak diberikan ganti rugi yang bentuk dan jumlahnya diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Presiden. Ayat (4) menyatakan jika bekas pemegang Hak Guna Bangunan lalai
dalam memenuhi kewajiban (membongkar bangunan dan benda-benda yang ada di atasnya
dan menyerahkannya kepada Negara dalam keadaan kosong selambat-lambatnya dalam
waktu satu tahun sejak hapusnya HGB), maka bangunan dan benda-benda yang ada di
atasnya bekas HGB itu dibongkar oleh Pemerintah tas biaya bekas pemegang HGB.
Pengaturan substansi kedua regulasi antara PP Nomor 11 Tahun 2010 dengan PP Nomor 40
Tahun 1996 tersebut menjadi kontra produktif.

15
f. Dalam penetapan tanah sebagai tanah terlantar oleh Kepala BPN-RI yang dituangkan dalam
bentuk SK Penetapan merupakan salah satu bentuk produk hukum dari Keputusan Tata
Usaha Negara yang dapat menjadi Objek Gugatan di PTUN. Jika dalam pelaksanaan
identifikasi dan penel;itian tidak dilakukan berdasarkan AAUPB atau tahapannya besar
kemungkinan bertentangan atau tidak sejalan dengan Peraturan Perundang-undangan yang
berlaku, maka akan rawan terjadinya Gugatan di PTUN. Dengan demikian efektifitas
(keberlakuan) Substansi PP Nomor 11 Tahun 2010 akan diuji oleh Hakim yang memeriksa
dan mengadili perkara sengketa TUN.

Penutup

Dari beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan, bahwa secara politis pertimbangan
dikeluarkannya PP Nomor 10 Tahun2010 difokuskan untuk menunjang keberhasilan Reforma
Agraria, dimana tanah terlantar nmerupakan salah satu objeknya. Regulasi substansi penertiban
Tanah terlantar masih terdapat beberapa persoalan, antara lain objeknya yang masih sangat
terbatas, kriteria tanah diindikasikan sebagai tanah terlantar yang disebabkan karena tanah dalam
sengketa/perkara, belum menampung peralihan hak dikarenakan peristiwa hukum, masalah hak
keperdataan bekas pemegang hak atas tanah, serta pengaturan biaya operasional Panitia C yang
belum diatur dalam PP Nomor 13 Tahun 2010, rawan terjadinya gugatan produk hukum berupa
SK Penetapan sebagai Tanah Terlantar di Pengadilan Tata Usaha Negara. Peran Pemerintah
Daerah dengan kewenangan yang dimiliki olehnya di bidang pertanahan, dapat dioptimalkan
untuk bersinergi dalam pelaksanaan penertiban tanah terlantar dengan cara melakukan
inventarisasi dan identifikasi pemanfaatan tanah kosong yang dapat digunakan sebagai basis data
awal pendataan tanah terlantar di wilayah Kabupaten/Kota.

Daftar Pustaka

Anonim, (2007), Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan


Daerah Provinsi Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, Bandung,
Fokus Media

Arie Sukanti Hutagalung , (1985), Program Redistribusi Tanah Di Indonesia Suatu


Sarana Ke Arah Pemecahan Masalah Penguasaan Tanah Dan Pemilikan
Tanah, Jakarta, CV. Rajawali

Endang Suhendar dan Ifdal Kasim, (1996), Tanah Sebagai Komoditas, Kajian Kritis Atas
Kebijakan Pertanahan Orba, Jakarta, ELSAM

Iman Sutiknjo, (1980), Proses Terjadinya UUPA, Yogyakarta, Gadjah Mada University
Press

Joyo Winoto, (2006), Pertanahan Dan Keagrariaan Nasional (Sambutan Kepala BPN RI
pada Hari Agraria Nasional 2006 (24 September 2006), Bogor, Brighten
Press

Joyo Winoto, (2007), Reforma Agraria Mandat Politik Konstitusi Dan Hukum Dalam
Rangka Mewujudkan Tanah Untuk Keadilan Dan Kesejahteraan Rakyat,
Jakarta, Badan Pertanahan Nasional RI

16
Mansour Fakih, (2001), Runtuhnya Teori Pembangunan Dan Globalisasi, Yogyakarta,
INSIST PRESS

Maria S.W. Sumardjono, (2001), Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan


Implementasi, Jakarta, Kompas:

M. Mahfud MD (1998), Politik Hukum Di Indonesia, Jakarta, PT. Pustaka LP3ES:

Sarjita, (2002), Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar (PP Nomor 36 Tahun
1998 Jo. Kep. Ka. BPN No. 24 Tahun 2002), Yogyakarta, CV. Global Visindo
Consultant

-----------------, (2005), Pelaksanaan Urusan Pertanahan Dalam Era otonomi Daerah,


Yogyakarta, Tugujogja Pustaka

-----------------, (2008), Penyelesaian Sengketa Pertanahan Dalam Era Otda


(Disampaikan pada Workshop Penguatan SDM Pemkab Sleman, 11
November 2008), (Tidak dipublikasikan).

----------------,, (2009), Tantangam RA Di Kawasan Timur Indonesia (Makalah disampaikan


pada Seminar Lingkar Belajar RA (LIBRA) Kerjasama STPN-Fakultas
Ekonomi Universitas Satya Wacana Salatiga, 4 Mei 2009 (Tidak
dipublikasikan).

Sudjito, Fungsi Sosial Hak Atas Tanah, Majalah Ilmiah Widya Bhumi September Tahun
2007

Suhariningsih, (2009), Tanah Terlantar Asas dan Pembaharuan Konsep Menuju


Penertiban, , Jakarta, Prestasi Pustaka.

Yusriyadi, (2006), Paradgma Sosiologis Dan Implikasinya Terhadap Pengembangan


Ilmu Hukum Dan Penegakan Hukum (Pidato Pengukuhan Jabatan Guru
Besar Bidang Sosiologi hukum FH Universitas Diponegoro, Semarang, 18
Pebruari 2006):

17

You might also like