You are on page 1of 49

Perempuan Kampung Karampuang ( Juara 1 )

Desember 19th, 2008 by Emil Akbar

Malam ini purnama sedang penuh. Bulan benderang begitu bundar. Bercahaya menyinari seperti lindungan ibu
dalam dekapan yang menjelma dewi malam dan aku memperoleh restu di wajahnya yang bulat. Membuat langit
hitam tak begitu gelap. Dalam rindang hutan pekat melarut lewat hembusan angin yang dingin. Bukan gulita sebab
mataku masih bisa melihat. Hanya lindap dan kudapati kunang-kunang berkerlip, mengganti bintang yang tiada.

Aku menantimu di batas Dusun Karampuang. Kau belum juga muncul padahal aku sudah lama menunggu di sini.
Aku takut dan cemas. Itu sebabnya mataku terpaku pada ujung aspal yang menghilang seperti ingin menerobos
malam yang teduh, mencari bayanganmu yang berkelebat, dan sesekali aku menengok ke belakang membaca
situasi.

Rustam, tahukah kau? Di dalam sana, sunyi bukan berarti tidak ada bunyi walau tadi mereka sembunyi karena aku
tak peduli. Bunyi hewan malam, nyanyian serangga, suara berdesis-desis yang bukan ular, kicau kao-kao yang
mengerikan di rimbun daun di dalam hutan yang senyap, berbondong-bondong mengerubungi telingaku.
Berdenting serupa dawai, mengalun dan merambati udara, dan bakal meninggalkan luka di hatiku bila kau tidak
jadi menjemputku malam ini. Maka hadirlah di ujung jalan itu seperti dilahirkan oleh kabut yang merayap. Jangan
sampai aku menjadi batu di sini karena gigil atau habis karena dimakan angin dan kau harus tahu jiwaku mulai
beku meski sebenarnya kepalaku ingin meledak karena bosan. Aku tidak mungkin kembali setelah ingkar.

”Sepertinya lelaki itu tidak akan datang.”

Seseorang memegang bahuku dari belakang. Aku tersentak kaget dan terlonjak bangkit dari tugu batu yang
kududuki. Aku gemetar gugup mengetahui siapa yang menegur.

”La Gole! Sedang apa kau di sini? Kau mengikutiku?” Sontak aku menjauhinya.

”Jubaedah, pulanglah sebelum terlambat. Masih ada kesempatan dan aku akan membantumu,” ujarnya sembari
duduk di tugu batu yang kutinggalkan.

Dalam gelap aku tahu ia menatapku tajam, seruncing jarum yang pernah menusuk tanganku. Batinku tertohok
mengingat ia adalah mata-mata Puang Gella, pemangku yang sering menghukum bila ada orang yang melanggar di
kawasan dusun, meski ia temanku sejak kecil dan beberapa waktu silam aku menyimpan hati untuknya. Namun ia
menunjukkan sikap yang tidak kusuka. Ia bukan lelaki tangguh, pengecut yang tidak berani mengajakku kawin lari.

”Benar kau akan menolongku?” tanyaku pura-pura ragu.

”Kau tidak percaya padaku?” La Gole menghampiriku begitu dekat hingga bisa kuhirup bau badannya yang belum
disentuh sungai. Aroma napasnya purba.

”Baiklah kalau begitu. Ijinkan aku menunggu Rustam sebentar lagi,” pintaku. Lalu kedua kakiku tak mau diam
karena gelisah.

”Jika dia tidak muncul?”

”Kau boleh membawaku pulang!” jawabku sedikit kesal.

”Sepakat.”

Agak lama kami saling diam seolah jiwa kami raib meninggalkan raga yang kikuk, menguak hutan dengan lesat
untuk menemukanmu dengan tujuan yang berbeda. Kuperhatikan La Gole sedang duduk bersila sambil
mempermainkan parang bersarung yang biasanya terlilit di pinggangnya. Tidak kutahu apa maksudnya, tapi
membuatku bergidik membayangkan kulitmu robek dan menumpahkan darah jika badik itu keluar dari sarangnya.
Kau pasti akan kalah sebab La Gole bekerja dengan otot sedangkan kau lebih suka berpikir.

”Apa yang kalian lakukan jika sudah bertemu? Apakah kau akan lari dengannya?” La Gole mengajukan tanya yang
menyelidik, memecah hening. Posisi duduknya sudah berubah, satu kakinya berdiri dengan lutut menekuk.

”Tidak melakukan apa-apa. Aku hanya mau mengatakan sesuatu?” balasku berbohong sebab ia sudah curiga.
”Apa itu?”

”Kau tidak perlu tahu. Kenapa kau bertanya-tanya?”

”Ingin tahu saja. Bagaimanakah perasaanmu padanya?”

”Itu bukan urusanmu!” teriakku nyaris menuding, membuatnya bungkam.

Aku berbalik arah membelakanginya menahan amarah, antara jengkel dan putus asa. Kusandarkan kepalaku pada
pohon yang tak bisa kurangkul. Aku mencabut-cabuti kulit keringnya yang berlumut dan memang sudah
terkelupas, membuang geram. Mataku terasa panas bagai diperciki biji lombok. Pedih memerih.

Sekarang aku tidak ingin kau datang sebab itu akan mengantarkan nyawamu. Namun aku juga butuh kau datang
membawaku pergi dari sini, jangan biarkan aku berkalung rantai. Aku tidak mau menjadi perawan tua! Bagaimana
ini? Aku galau.

Tetapi tunggu. Mataku yang melirik menangkap bayangan sekilas, bersijingkat dan menunduk mirip gerak-gerik
babi hutan, berpindah dengan cepat ke semak-semak. Apakah itu kau? Tidak sebentar aku terpana, dadaku berdesir
dengan degupnya. Aku merasakan firasat tak baik. Aku mesti bersiasat.

”Aku menyerah. Seperti katamu, Rustam tidak datang. Mari pulang.” Sebisa mungkin kukulum senyum ini dan
menampakkan muka murung agar tidak ketahuan, supaya kau dapat mengikutiku dari jarak jauh. Aku akan
mengecohkan perhatiannya.

”Aku masih setia menemanimu menunggu jika kau mau?” Aku tahu ia mengejekku.

”Tidak usah! Barangkali dia pecundang yang lebih darimu.”

”Bagus kalau kau sadar. Orang kota memang tidak bisa dipegang janjinya!” timpalnya tak mau kalah.

Aku tidak lagi menyahut dan berjalan lebih dulu. Rustam, susul aku di puncak bukit!

***

Jubaedah, kau adalah gadis sunyi. Semerbak harum bunga desa, wangi menebarkan angan di setiap kepala jantan
muda sepertiku. Aku menemukanmu bagai mutiara diantara ribuan kerikil bebatuan yang terserak di tepi kali.
Namun ada yang hilang di wajahmu yang bulat langsat. Laksana embun pagi yang tak ada lagi, saat matahari tak
bisa lagi disebut mentari. Aku seperti pangeran yang menemukan bidadari.

Di batas Dusun Karampuang jalanan beraspal terputus seperti lorong buntu. Terdapat daun kelapa yang diikat
merintang di atas jalan. Mobil dinas kuparkir di luar kawasan adat karena dilarang masuk. Lagi pula hanya ada
jalan setapak yang sempit. Tanahnya berdebu di musim kemarau dan licin berlumpur di musim penghujan. Banyak
bebatuan. Di hari-hari biasa dusun ini begitu sepi bak kampung yang bisu.

Awal bulan November aku kembali. Aku sudah menjadi pegawai negeri di kabupaten. Setahun yang lalu aku
datang di kampung ini untuk menyusun skripsiku mengenai adat Karampuang. Setelah lulus kuliah tak mampu
kutahan hasrat hatiku, ingin kembali menggapaimu. Masihkah kau menjadi perawan suci yang tidak boleh
dijamah?

Kutinggalkan semua yang berbau teknologi dan barang yang terkesan mewah di mobil sebelum memasuki kawasan
adat yang dikeramatkan ini, lantaran pamali. Menurut keyakinan orang sini, segala yang datang dari luar lebih
banyak merusak dan akan mengubah tatanan tradisi yang mereka jaga selama berabad-abad, turun temurun. Itu
sebabnya aliran listrik tidak bisa masuk karena kaum adat menolak. Sungguh dilema, mengingat aku memegang
proyek dari Pemda untuk menjadikan Karampuang tempat wisata, yang mungkin bakal melunturkan kebiasaan dan
kepercayaan penduduk di dusun ini meski dengan maksud memberdayakan masyarakat.

Aku masih terkenang ketika pertama kali datang di kampung ini. Aku disambut dengan ramah. Tidak kurang isi
baki sudah ditambah, belum setengah isi gelas sudah diimbuh. Aku yang mengetuk pintu bukanlah orang lain,
malah dianggap keluarga sendiri. Sebab mereka memandang tamu itu membawa rezeki. Saat itu aku menumpang
tidur di rumah ayahmu di luar kawasan adat, di dusun tetangga. Lantaran aku butuh listrik buat menyalakan
laptopku, menulis hasil riset yang kudapat. Pernah aku menginap di rumah seorang warga. Alat penerangnya
berupa lampu minyak yang mereka sebut sulo. Semalam suntuk aku menulis di lembar kertas. Pulang pagi-pagi.
Kau berada di depan pintu. Tergelak tawamu melihatku. Suaramu renyah.
”Ada yang lucu?”

Kau tidak menjawab tapi memberikan isyarat. Kau pegang hidungmu yang mungil dan bangir. Aku mengikuti.
Astaga, cuping hidungku dipenuhi asap hitam. Aku lekas pergi ke belakang membasuh muka.

Seminggu dalam sebulan, kita bertemu. Kau melepas masa haidmu di rumah. Parasmu demikian sendu seperti
tidak terima seperti terpaksa, saat kau mengatakan sedang menuntut ilmu untuk kelak menjadi seorang sanro di
rumah adat Karampuang. Rumah panggung yang merupakan simbol sosok perempuan. Dari jauh kediaman yang
sakral itu memang tampak anggun. Atapnya dari anyaman daun nyiur berbentuk segitiga sama kaki. Tangganya
terletak di tengah di kolong rumah.

”Tangga naik ke dalam rumah adalah kelamin perempuan,” jelas La Gole, temanmu.

Ia pemandu yang baik, meladeni keingintahuanku dan bahkan memuntahkan semua yang ia tahu. Pemuda yang
bersemangat meski entah kenapa diam-diam ia sering menatapku dengan pandangan menghunus seperti tidak suka
seperti menaruh curiga. Ia membicarakan tubuh perempuan dengan sangat biasa.

Membuka pintunya pun harus ditolak ke atas biar bergeser. Aku menebak pasti ini selaput dara kemaluan, sebab
dibutuhkan sedikit usaha untuk membukanya. Ada batu bundar yang menindih.

”Arah dapur adalah rahim. Dan dua dapur di belakang itu adalah buah dada sebagai sumber kehidupan.”

Rumah ini tak bersekat, hanya ruang. Lantai dan dinding terbuat dari bambu. Ada loteng yang lumayan luas seperti
layak untuk dijadikan kamar, tempat persimpanan kebutuhan pokok terutama padi. Bahkan ada padi yang berumur
seabad.

”Semua warga sehabis panen tanpa diminta menyimpan sebagian padinya di sini untuk digunakan bersama jika
terjadi gagal panen. Padi ini tidak boleh di jual.”

Aku ingin sekali mengabadikan apa yang aku lihat. Namun lelaki yang terbiasa bertelanjang dada saat bekerja di
sawah ini melarangku dengan tegas. Badannya yang berotot dengan kulit secoklat kayu itu langsung tegap
menantang.

”Jangan coba-coba bawa kamera. Itu kesepakatan kita dari awal. Boleh jadi kau yang melanggar, kami sekampung
yang kena malapetaka. Kalau kau mau lama di sini hormati adat kami!”

Belum sempat aku minta maaf, La Gole sudah berlalu. Kulihat punggungnya digerogoti jamur, bercak-bercak
putih.

Ketika kuceritakan penjelasan La Gole kepadamu, kau tersenyum simpul membenarkan. Pipimu merona seperti
lembayung yang memerah bagai senja yang membakar langit. Aku jatuh hati.

Upacara Mappugau Sihanua sepertinya sudah dimulai. Selama tujuh hari tujuh malam. Aku berjalan santai
menikmati pagi yang mau pergi. Sepanjang jalan yang berkelok kulewati rumah penduduk yang kadang saling
berjauhan. Tak jarang aku berpapasan dengan warga yang masih kukenal. Di kiri kanan diselingi tanaman sayuran,
pohon pisang, pohon kopi dan pohon kakao, serta hamparan sawah yang tidak rata, berundak-undak dengan garis
pematang meliuk, sejauh mata memandang. Ada sumur tua berdinding susunan batu, aku menyebutnya kolam
karena dangkal. Bila airnya lagi penuh, penduduk memandikan anaknya dan bayi yang baru lahir, biar mendapat
berkah. Air mengalir khas pegunungan terdengar jernih menggelitik kesegaran. Hutan lebat dan belukar liar
tampak rimbun di puncak bukit, hijau nian seperti belum pernah disinggahi. Jubaedah, secantik apa kau sekarang?

***

Lelaki itu masih gagah. Badannya berisi dan kulitnya bersih seperti pasir laut, seperti belum pernah dicubit
matahari. Kini aku yakin kau makin terpikat, melirik pakaiannya yang sewarna kulit sapi. Lelaki idaman yang
menggiurkan bunga desa sepertimu. Dan aku terhempas ibarat hati yang terbuang. Sebab cintaku sedang cemburu.

Ah, lelaki bernama Rustam itu terlalu mau tahu tentang adat kita dan ia sebarkan ke mana-mana. Aku tidak
menyukainya karena itu, dan sebab ia mencuri hatimu dariku. Lebih dari itu, ia juga mencuci otakmu hingga
pikiranmu telah kota walau disebabkan juga karena kau pernah sekolah sampai SMA di kabupaten. Kau pernah
menjadi guru di dusun sebelah, mengajari kami baca tulis di usia kami yang sudah berkumis.
Kabarnya, Rustam akan mendirikan pasar rakyat dan penginapan di sekitar kampung ini. Makin ramai saja orang
datang ke sini. Melihat kami sebagai tontonan. Melihat upacara kami sebagai pesta. Oh, Karampuang bagaimana
nasibmu nanti? Ketika kebiasaan orang kota meracuni adat kami, menjarah apa yang kami jaga, yang kami miliki.
Aku ingin sekali mengumpat, mereka tidak beradab karena mereka biadab!

Mungkin kelak tidak ada lagi yang namanya gotong royong. Seperti yang pernah dihimbau orang dulu, ”Hai
sekalian anakku, kasih mengasihilah, rebah saling membangkitkan, hanyut saling mendamparkan, berkata saling
mengiyakan, dan berbuat saling bantulah. Khilaf saling mengingatkan, satu kata dengan perbuatan, bagaimana di
dalam begitu pula di luar, tegakkanlah yang keramat, sandarkanlah yang tabu, dan dudukkanlah yang makruh.”

Sekarang banyak yang mengerjakan sawah dengan cara bagi hasil, tidak lagi yang punya hajat memberi makan
untuk disantap bersama. Begitu pula saat membangun rumah, menggunakan tenaga upah. Mengumpulkan puing-
puing harta sehingga saling mencekik. Serakah sehingga saling menutup pintu.

Oh, Tomatoa! Hanya kamu yang murni. Kami akan teguh, tidak akan memasang paku tetap memakai tali rotan
untuk menyusun kerangkamu. Mengganti tiangmu yang lapuk dengan menebang pohon bertuah di rimba melalui
upacara madduik, menarik kayu bersama di hutan, wujud satu rasa. Tidak dipikul, sebab dipundak tanda mau
menang sendiri. Oh, Tomatoa, kamu perempuan luhur yang kami puja. Dan kau, Jubaedah adalah perempuan
Kampung Karampuang yang dijunjung. Darahmu adalah darah To Manurung. Mulia atas nama adat. Dan adat
mengajarkanku tentang hidup, tidak mungkin kukhianati. Aku mencintaimu sebagaimana aku memegang adat.
Disela itu terselip keinginan, yakni memilikimu yang tak boleh. Mencintai dan menginginkan itu serupa tapi tidak
sama. Mengertikah, kau?

***

Aku bukanlah Maryam dan kenapa pula sejarah harus berulang? Tuhan, bolehkah aku mengeluh sebab sudah lama
aku berpeluh? Aku tidak bangga dilahirkan sebagai makkunrai, perempuan. Tubuhku menyiksaku. Aku
dibelenggu.

Ayah dan Ibu yang berbuat, mengapa aku yang harus jadi tumbal? Apakah memang dibutuhkan orang lain untuk
menebus dosa? Lantas, salahkah mereka? Kau bisikkan di telinga Arung, tetua adat kami yang jarang bicara itu,
untuk menentukan garis hidupku yang mesti kujalani. Menjadi perempuan suci, perempuan yang terkunci supaya
tetap perawan. Jangan sampai sesuatu yang asing menyelinap masuk sebab akan melunturkan tradisi. Titah yang
tak terbantahkan kecuali kalau aku cacat moral. Karena nanti warga juga yang akan memilih. Dan Ayah, Ibu, tak
pernah membelaku. Ia wafat dengan patuh meski ia tak patut dipanggil Ayah, sebab tak pernah risau atau tak mau
tahu jeritan hati anak gadisnya. Ayah memilih diam sampai ia menutup usia. Ayah hanya melihatku tumbuh.

Dan aku memilih, berontak seperti ibu. Ibu yang mati karena melahirkanku. Ibu yang kawin dengan kaum
pendatang dan dikucilkan di desa tetangga. Ibu yang dipaksa bernazar, jika bayinya perempuan akan diambil
sebagai penggantinya. Dan Kau, Tuhan, mengabulkannya…

Tetapi tidak! Sebagai anak aku merasa berkewajiban melanjutkan perjuangannya. Memang Puang Sanro telah
renta, sudah layak istirahat. Perlu diganti. Tetapi mengapa harus aku? Tidak bolehkah orang lain? Aku selalu ingin
bertanya kepada Puang Sanro tapi aku urung dalam hati, apakah ia memendam apa yang aku pendam? Ah, tentu
tidak. Sebab aku tahu dari orang-orang, Puang Sanro adalah perempuan yang tidak laku.

”Dalam darahmu mengalir darah To Manurung, Anakku. Ikutilah takdirmu sebagaimana air yang mengalir,”
ucapnya bernasihat ketika aku sedang malas meramu obat.

”Betapa menyenangkannya membantu orang, Anakku. Itu akan membuatmu menjadi ada,” lanjutnya berpesan di
hari yang lain saat aku enggan mempelajari mantra-mantra.

Ketika menolong, haruskah berkorban? Cukup! Aku tak mau mendengar lagi. Aku mau tuli saja, sambil dalam
benak ini bertekad, aku akan melawan arus. Aku mesti berupaya meski tangis mendahului.

Ya, sebab aku hanyalah perempuan biasa meski aku adalah perempuan yang cantik. Kusadari itu karena banyak
yang merayuku semasa SMA dulu. Tapi aku tak hanyut. Aku mesti hati-hati meniti sebelum salah melangkah.
Maka kutambatkan cintaku pada sahabat kecilku, La Gole. Aku sering memperhatikannya sampai-sampai aku tak
sadar tubuhnya telah perkasa. Jika kami sedang berjalan beriringan aku senantiasa mendongak untuk melihatnya
berbicara. Telingaku akan mendengar suara beratnya yang menentramkan. Andaikan aku dipeluk, pasti aku akan
tenggelam dalam bahunya yang lebar. Saat kulit cokelat legamnya berkeringat, aku mencium bau khas manusia.
Pernah juga ia menggenggam tanganku erat, sesaat tapi kurasakan kehangatan yang kokoh hingga jiwaku
melambung. Hanya lidahku yang belum menafsirkan apa-apa. Namun ia tidak punya nyali, sikapnya terlalu lugu
tak sebanding dengan badannya yang garang.

”La Gole, kau ada hati denganku?”

“Ya. Aku sayang kamu.”

“Kalau begitu bawa aku pergi dari sini.”

“Aku tidak punya kampung selain dusun ini.”

“Tinggal di hutan pun tak apa, asal bersamamu.”

“Tidak bisa. Tanah ini adalah orangtuaku.”

“Ah, kau tidak mencintaiku sebab cinta itu perlu bukti.”

”Aku tidak perlu membuktikannya karena cinta soal hati, dan itu cukup buatku.”

”Bagiku tidak. Kau bohong! Aku membencimu.”

Aku gigit jari. Aku kecewa dan patah hati.

Lalu muncul dia. Lelaki dari kota. Hadir dengan senyumnya yang menawan memberi harapan. Kulitnya harum dan
langsat sepertiku. Kerap kubayangkan bila kami menyatu tak ada yang tahu bahwa kami berdua, bukan satu tubuh.
Dan tentu saja ia hangat, antara panas dan lembap. Ia lapar dan aku haus, di hubungan kami yang sempat terjeda.
Cukup lama hingga rindu mendera.

Kini malam sungguh malam karena awan yang menenteng air berlayar di langit kelam. Mengaburkan cahaya ibu di
atas sana hingga buram. Lepas maghrib, pelita rumah penduduk memang sudah padam. Obor La Gole yang
menuntun jalan juga telah redup. Kami tiba di sekitar rumah adat Karampuang.

”Kau tunggu di sini sebentar.” La Gole pergi menengok, mencari cara agar aku tidak terlacak sudah kabur.

“Jangan Lama,” kataku setelah ia agak menjauh, pura-pura khawatir.

Ah, lelaki itu memang baik tapi aku harus pamit mengejarmu. Berangkat diam-diam. Aku berlari dengan kain
terangkat mengangkangi tanah yang kupijak, kendati sesekali terjungkal karena kesandung akar pohon yang
mencuat. Hujan mengejarku seperti mengutuk.

Rustam, kau sudah berada di puncak bukit itu. Banyak peti batu berundak-undak di tempat ini, makam nenek
moyang kami yang luhur. Kau basah kuyup sama denganku oleh derai hujan. Ada senter di tanganmu. Ternyata di
atas sini tidak terlalu gelap seperti temaram. Paling tidak aku dapat melihat bayanganmu. Sementara jarum-jarum
langit masih menyerbu, mengguyur deras, jatuh merintik terdengar menitik dan menerabas. Angin bertiup meliuk
sangat kencang. Kau segera memelukku.

“Maafkan aku, datang tidak tepat waktu. La Gole mencegat dan mengancamku sebelum masuk desa. Karena aku,
kita terjebak di sini.”

“Tak apa. Bukan salahmu.”

“Sekarang aku siap membawamu pergi.”

“Tidak. Jangan sekarang, di bawah sana begitu rawan. Di sini kita aman.”

”Lalu kau mau kita menunggu di sini sampai pagi?”

”Mungkin. Rustam, aku meminta sesuatu.”

”Apa itu? Akan kupenuhi.”

”Wisuda aku menjadi perempuan seutuhnya, malam ini juga.”


Apakah rasa sakit itu? Bila hasrat terjerembap, ketika birahi yang terpendam peka pada setiap ransangan.
Melelehkan kebekuan dan meruntuhkan kekakuan. Aku gigil oleh getar. Di gubuk tua itu, tempat biasanya sesajian
di letakkan, aku rebah menerimamu. Sesajen yang baru tadi siang, berhamburan karena ulah kita. Aku ingin
perbuatan ini sakral seperti kematian. Rinai-rinai bersenandung seperti berkisah. Aku adalah hikayat perempuan
tanpa biduk yang terdampar setelah lelah mengarungi duka. Kini aku luka dan hina. Tak perlu airmata sebab akan
kutanggung semuanya.

”Terima kasih,” ucapku setelah usai.

Dan sudah kuduga. Semua makhluk punya mata. Senang mengintip yang terlarang. Lantaran nista mengusik siapa
pun sebab baunya tercium tajam. Di kejauhan terlihat obor berkeliaran serupa kunang-kunang. La Gole muncul
menaruh mata badik di lehermu. Mukanya murka. Aku mendorongmu supaya terhindar dan langsung
melindungimu. Kita berjalan mundur menuju tebing.

***

Puang Sanro pernah meramalkan. Jika perempuan tidak kembali ke dapur, lebih senang keluyuran atau suka
berkumpul, maka rentan berbuat dosa. Dan kau, Jubaedah sudah melakukan lebih dari itu. Kau telah haram di
hatiku yang meradang. Ah, sebetulnya aku ingin menabur benih di pucukmu yang kuncup. Di tanahmu yang subur
bakal tumbuh tanaman berbuah, darah dagingku. Kau memandikan bayi kita di sumur tua yang berkah itu supaya
kelak menjadi anak yang patuh. Aku membajak sawah, menanam dan menuai padi, anak kita yang mengembala
ternak, dan kau datang membawa makanan. Seandainya saja kau tahu angan-anganku yang sederhana ini, yang tak
mungkin terwujud. Dan segalanya sirna saat kudapati pakaianmu berceceran ke mana-mana.

”Bangsat kau, Rustam. Kubunuh kau!”

”Berani menyentuhnya, aku lompat dalam jurang.”

Kau mengancam dan aku masih hirau. Aku merintih dalam amuk saat kau menyuruh Rustam hengkang dari
kampung ini tanpa dijera. Kulempar lelaki durjana itu dengan sekepal batu hingga ia tersungkur, lalu bangkit
tersaruk-saruk. Kau telah mendurhakai tanah keramat ini, sadarkah kau? Argh! Jubaedah, wajahmu yang bersinar
dalam balutan pakaian putih yang menyejukkan hari-hariku kala memandangmu telah berubah busuk bagai
bangkai. Kelak, kau dianggap tidak pernah ada.

Hari berganti, begitu pun bulan berlalu, dan tahun terus bertambah. Sejak peristiwa malam itu, namamu tak pernah
lagi disebut nyaris dilupakan. Kau dikurung di rumah adat Karampuang di atas loteng untuk dikuduskan kembali
entah sampai kapan. Tidak seorang pun diperkenankan menemuimu dan tak ada yang tahu bagaimana rupamu
sekarang. Hingga pada suatu pagi, kami dikejutkan oleh kehadiran seorang bocah yang belum pernah kami lihat
sebelumnya, muncul begitu saja, turun dari tangga rumah adat Karampuang bagai baru dilahirkan. Melihat dunia
luar dengan muka gembira. Berlari lincah, berkeliaran seperti ingin mencari ayahnya.

***

Depok, 270908

(Kutulis ketika merindukan kampung halaman)

Catatan:

Karampuang: dusun yang terletak di puncak bukit 1000 meter dari permukaan laut, di Desa Tompobulu
kecamatan Bulupoddo kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Masih memegang adat kuno dan alergi dengan
teknologi. Rumah adatnya menyimbolkan sosok perempuan yang harus dijaga kehormatannya.

Mappugau Sihanua: Setiap tahun di pekan pertama bulan November diadakan pesta sebelum bercocok tanam
setelah menikmati panen melimpah sebagai tanda syukur, tujuh hari tujuh malam.

Puang: kata sandang untuk orang yang dituakan atau yang dihormati.

Gella: pemangku yang melaksanakan hukum yang berlaku di Karampuang.

Arung: ketua adat atau raja yang jarang bicara tapi sekali bicara adalah tuah yang tak terbantahkan. Hidup
matinya Karampuang ada di tangannya.
Sanro: pemimpin spritual di setiap prosesi adat yang harus dijabat oleh perempuan atau lebih tepatya disebut
dukun.

To Manurung: nenek moyang orang Karampuang berwujud perempuan.

Tomatoa: nama rumah adat Karampuang.

Aku Malang, Ibuku Jalang, Bapakku Jahanam Bukan Kepalang


( juara 2 )
Desember 30th, 2008 by Rien Al Anshari

Aku dibentuk dari dua nyawa yang terpisah. Nyawa seorang pria yang menabuhi seorang wanita bernyawa dengan
sperma. Aku ingat saat dulu berkejar-kejaran dengan teman-teman. Kami mencari tempat terhangat, sebelum salah
satu dari kami berhenti sesaat. Siapa bilang kami bernyawa setelah salah satu dari kami mempunyai rupa? Kami
telah bernyawa dari sejak kami menjadi sperma. Kalau kami tak bernyawa, mana mungkin kami punya tenaga
untuk mencapai indung telur wanita. Aku juga masih ingat, sesama teman sperma yang dimuntahkan dari penis
manusia, mati di jalan karena mereka berlari terlalu pelan atau kalah dalam himpit-himpitan jutaan teman yang
berkejar-kejaran mencari tempat buat makan. Nyawa pertamaku dari seorang pria. Tapi sambungan hidupku berada
pada wanita. Aku makan dari wanita yang kemudian kukenal dengan sebutan ibu. Ibu yang mengharapkan
kehadiranku atau Ibu yang menganggapku hanya sebagai benalu. Entah yang mana ibuku, aku belum tahu.

Saat ini, aku baru saja bersenyawa dengan tubuh Ibu. Membentuk sel baru yang menyatu. Meninggalkan rupa lama
yang dulu hanya berbentuk ekor dan kepala. Aku mulai tumbuh dan tak lama lagi akan membuat pergolakan rasa
yang perlahan akan membuat Ibu tahu bahwa aku ada. Aku sudah tidak sabar untuk mengabarinya bahwa ia telah
berhasil menciptakan bibit manusia. Aku makan dengan rakus. Aku minum karena selalu haus. Aku ingin cepat
mempunyai muka, kaki, tangan, untuk mengelus, menendang bahkan menerajang. Bukan aku tak sayang. Tapi ini
satu-satunya caraku untuk memberi tahu Ibu bahwa aku bukan bayang.

Tidak tahukah Ibu, bahwa aku begitu bangga. Aku juara. Aku mengalahkan berjuta ekor dan kepala lainnya yang
datang mencari Ibu. Tidak tahukah Ibu, walau belum mempunyai mulut dan bibir untuk tersenyum, aku sudah
tertawa, penuh rasa lega akhirnya aku tiba. Lelahku akhirnya terbalas juga. Ibu memberiku makan dari darah yang
mengandung sari yang dipompa dari jantung melalui aorta.

xxxxx

Malam pertama bersama Ibu. Aku melihat Ibu duduk di atas sebuah kursi memanjang dengan bantal yang kenyal.
Ia seperti menunggu. Apakah Ibu menunggu Bapakku? Aku belum tahu. Malam ini Ibu terlihat begitu cantik.
Pantaslah Bapakku tidak bisa munafik untuk tidak tertarik. Ibu benar-benar bersifat magnetik. Pintu diketuk. Ibu
bangkit dan berjalan secara perlahan. Seorang lelaki bertubuh tambun dengan perut menyembul, muncul. Dia
bukan Bapak. Aku tahu persis siapa Bapak. Aku diam berhari-hari di tubuh Bapak sebelum akhirnya bertemu Ibu.
Bapakku tampan. Wajahnya rupawan. Ia mempesona setiap perempuan. Bukan seperti lelaki yang datang ini,
perawakannya tak beraturan. Mungkin saja dia bapaknya Ibu. Wajah dan penampilannya menunjukkan seperti itu.
Tapi, tidak! Ia menyentuh Ibu dengan gerakan yang sama sekali tak malu-malu. Ada apa dengan Ibu? Ibu, dia
bukan Bapakku. Teganya Ibu mengkhianati Bapakku.

Aku lemas. Tapi, laki-laki itu semakin panas. Gerakan-gerakan yang ia ciptakan membuat salah satu bagian
tubuhnya menegang. Bagian tubuh itu, persis seperti tempatku dulu di tubuh Bapak. Aku ingat ketika Bapak
berlaku seperti itu pada Ibu. Bapak bereaksi. Reaksi itu menimbulkan ereksi. Ia seakan memberi pertanda pada
kami untuk siap-siap beraksi. Reaksi ereksi itu seperti permulaan arena balapan. Penuh ketegangan. Kami
menunggu dalam deru erangan, yang sebentar kemudian akan memunculkan pertanda, seperti bendera yang turun
di arena balapan, kami berkebut-kebutan.

Aku menunduk malu. Ibu dan lelaki itu saling beradu. Lelaki itu membolak-balik iIu seperti barbeque di arang
kayu. Lalu, tumpahan-tumpahan makhluk seperti aku membasahi muka Ibu. Mereka tidak berlarian, seperti aku, di
dalam liang hangat, tempat laki-laki itu singgah sesaat sebelum air maninya muncrat, mencuat, menggurat menjadi
lekat di kulit Ibu yang sekat oleh keringat.

xxxxx

Aku ingin bertemu Bapak. Malam ini, malam keduaku bersama Ibu. Ibu kembali menunggu. Apakah kali ini lagi-
lagi lelaki buncit yang memberi malu, atau sesungguhnya Bapak yang ditunggu? Aku belum juga tahu.
Ibu menunggu di dalam sebuah ruangan luas, megah dan nyaman. Ia sendirian. Tapi tidak sepenuhnya sendirian. Ia
ditemani segelas minuman. Minuman itu begitu elegan dalam gelas kaca dengan kaki panjang menawan. Ibu
menenggaknya. Beberapa menit kemudian aku merasakan sesuatu yang tak nyaman. Minuman itu memabukkan.
Oh Ibu, kali ini dia membuatku mabuk. Tubuhku yang belum sepenuhnya terbentuk ini terasa berputar-putar.
Dunia tempat Ibu berpijak, berguncang dan seakan tak berhenti bergetar. Aku gemetar. Tapi aku tak gentar. Aku
ingin tetap terjaga. Aku ingin bersamanya ketika ia bersama siapa saja, sehingga aku bisa mengenal wajah seorang
Bapak yang kutunggu kedatangannya.

Masih, yang datang lagi-lagi lelaki. Lelaki bertubuh tinggi dengan kulit putih sangat terawat. Wajahnya tampan
dengan senyum yang sangat memikat. Pantas saja seorang Ibu terjerat. Apakah ia Bapak? Bukan. Sudah kukatakan,
Bapakku memang tampan dan rupawan, ia mampu memikat perempuan. Tapi Bapakku berkulit kecokelatan.
Lelaki itu datang menjenguk Ibu. Tidak seperti lelaki tambun tak tahu malu yang langsung menyentuh Ibu tanpa
ragu. Ia duduk dan berbicara terlebih dulu. Bercanda. Lantas tertawa-tawa. Ia pun meminum minuman yang
diminum Ibu. Lalu berbaring dan membuka baju. Bajunya. Dan baju Ibu.

Ia menaiki Ibu yang tengah terbaring. Lalu ia menyatukan tubuhnya dan tubuh Ibu seperti anjing. Suara desah Ibu
terpecah melengking. Menciptakan bunyi yang membuat tubuh tanpa kepalaku pusing dan pening.

Makhluk-makhluk yang dulunya seperti aku, akhirnya keluar. Mereka seperti lahar yang mencahar karena panas
bergejolak yang membakar. Tumpahan-tumpahan itu berlalu bersama waktu, dengan gerakan yang membuat lelaki
itu bersimpuh layu. Ini tempatku. Matilah kalian sebelum sampai lebih dalam di rahim Ibu. Aku sudah tiba lebih
dulu. Sudah tidak kusisakan lagi sedikitpun tempat untuk kalian menyatu.

xxxxx

Dan aku masih menunggu. Menunggu Bapakku. Tapi Ibu tak pernah lagi bertemu Bapak. Sekian hari sekian waktu
Ibu selalu bersama laki-laki. Ibu bertemu laki-laki. Ibu tidur dengan laki-laki. Ibu mencampuri laki-laki. Ibu
bercinta dengan laki-laki. Kemudian mereka datang dan pergi, silih berganti. Lompat-lompatan. Desah-desahan.
Gerakan jumpalitan hingga ledakan tumpahan air kemaluan, bukan lagi keanehan. Tapi, lompat-lompatan, gerakan
jumpalitan, hingga ledakan tumpahan air kemaluan yang bukan lagi keanehan, tidak Ibu lalui bersama Bapak.

Dan hari ini, hari ketujuh bersama Ibu. Ibu masih belum tahu keberadaanku. Ia masih sibuk dengan dirinya yang
luar biasa. Luar biasa sempurna. Luar biasa menggoda. Luar biasa bercinta. Laki-laki manapun takluk dan bertekuk
lutut padanya. Aku marah pada keluarbiasaan Ibu. Aku kecewa pada gaya hidupnya. Aku putus asa pada sikapnya.
Dan aku menerjang. Walau tak punya kaki tangan aku menendang, membuat Ibu mabuk kepayang. Aku ingin Ibu
sadar. Aku ingin Ibu dengar. Aku ingin Ibu gentar, bahwa aku ada. Aku nyata. Aku bibit manusia buah bercinta
dengan pria yang belum kujumpa.

Ibu meraung. Ia memuntahkan isi perut yang ia kandung. Aku tak urung. Terus kugetar-getarkan tubuhku untuk
membuatnya terhuyung. Ibu tersandar. Ia lelah karena harus memuntahkan makanannya keluar. Wajahnya panik.
Lalu ia mengambil sesuatu dalam sebuah kotak yang berbungkus plastik. Benda itu berbentuk kertas tipis
memanjang secarik. Ibuku mengamat-amati benda itu. Kemudian ia menduduki kloset dan mengencinginya. Ia
diam. Menunggu dalam bimbang. Ia berdiri. Berjalan bolak-balik mondar-mandir sambil menggenggam benda itu
dan berpikir. Ia meliriknya. Dengan bola mata yang terbuka lebar, nanar, ia memaki.

“Bangsat!

xxxxx

Aku semakin besar kini. Aku berteman dengan benda yang kemudian kukenal dengan sebutan, ari-ari kembaran.
Aku sudah memiliki tangan dan kaki, walaupun belum sepenuhnya memiliki jari jemari. Aku tetap makan. Tapi tak
lagi makan dengan lahap. Aku tetap minum. Tapi tak lagi minum dengan harap. Aku tumbuh karena aku memang
tumbuh dan waktu perlahan membuatku begitu. Sebentar lagi aku akan membuat kulit Ibu meretas. Dan Ibu bukan
lagi sadar, tapi juga akan membesar.

Aku seperti tak berhenti meratapi diri, sementara ari-ari tak berhenti mencaci maki. Ia menyebut-nyebut aku si
tolol yang dungu. Aku memang tolol dan dungu. Itu semua karena Ibu.

“Hey Jabang Bayi, berhentilah kau berharap. Dunia yang sesungguhnya memang pengap. Kalau kau tak tau
caranya bertahan kau bisa megap-megap.”

“Masa bodoh dengan dunia di luar sana, Ari-ari. Aku tak pantas diperlakukan seperti ini. Tahukah Ibu bahwa aku
mani yang menang lomba lari terpanjang seantero bumi? Bukan salahku kalau aku kemudian menghuni tempat ini.
Aku disuruh lari, aku lari. Teman-teman berkejar-kejaran, aku ikutan. Mereka balapan, aku memimpin di depan,
hingga akhirnya aku tiba dalam rahim seorang perempuan. Perempuan yang tak berperasaan.”

“Dia jelas-jelas lupa saat ia masih menjadi sperma. Dunia sudah membuat ia lupa asal mula. Dunia kehidupan yang
berbeda, kata mereka.”

“Aku benci Ibu.”

“Ibumu pelacur.”

“Dan aku anak pelacur yang vaginanya selalu menjadi tempat bercampur.”

Ibuku benar-benar tak punya belas kasihan. Ia tak hanya membuatku mabuk dengan minuman. Ia mengisi udara
paru-paruku dengan asap yang membuatku jengap. Asap yang ia hirup dan ia jadikan oksigen sampingannya untuk
bernafas menjadi racun yang membekas. Ibu benar-benar tak pernah menginginkanku. Ia Ibu yang hanya
menganggapku benalu.

xxxxx

Malam ini ia kembali menunggu. Entah laki-laki mana lagi aku sudah tak mau tahu. Dia memang selalu seperti itu.
Tidur dengan laki-laki yang datang dan berlalu.

Malam ini, Ibuku tak cantik. Tak seperti biasa, ia terlihat kusut masai dengan rambut berantakan tergerai-gerai.
Tubuhnya hanya terbalut kaos singlet berwarna putih. Ia tak memakai bawahan, hanya mengenakan celana dalam
berwarna hitam. Ia duduk di sisi jendela di atas sebuah sofa berlengan. Dan dari dalam sini, bisa kurasa bahwa di
luar sana sedang hujan. Tangannya memegang sepuntung rokok yang abunya sudah bertumpuk menunggu jatuh.
Kakinya bertekuk dan ia peluk.

Seorang laki-laki tiba-tiba datang. Laki-laki itu berperawakan tinggi. Ia tampan dan rupawan. Wajahnya memikat
setiap perempuan dan kulitnya kecokelatan. Kulit muka yang sepertinya berewokan meninggalkan bekas cukuran
yang terlihat jantan. Ia sungguh laki-laki yang menawan. Dan ia Bapakku.

“Ari-ari, lihat siapa yang datang. Itu Bapakku. Bapak kita.”

“Tenanglah, Jabang Bayi bodoh.”

“Aku takkan bisa tenang, Ari-ari. Aku akan menendang perut Ibu sebagai pertanda agar ia tahu. Aku ingin ia
memberi tahu Bapak bahwa kita ada.”

“Diamlah, kau Jabang Bayi tolol. Kau tendang seperti apapun ia takkan memberitahunya. Ia tetap akan diam, dan
diam saja.”

“Kenapa ia takkan memberi tahunya, Ari-ari. Lelaki itu Bapak kita. Dan ia berhak tahu bahwa aku ada juga karena
dia.”

“Karena Ibumu jalang, makhluk malang. Perempuan itu pun tak tahu siapa yang telah mencampurinya. Jadi
memberi tahu laki-laki itu hanya akan sia-sia dan merusak acara bercinta mereka.”

Lelaki yang kusebut-sebut Bapak tidak langsung menyentuh Ibu, seperti lelaki tambun yang penuh nafsu. Ia juga
tidak seperti lelaki menarik yang memulai percintaan dengan candaan menggelitik. Ia diam seribu bahasa. Ibu pun
diam. Mereka tak saling berteguran. Lelaki yang kusebut Bapak itu kemudian bergerak ke depan Ibu yang masih
melihat hujan. Ibu masih tak membuat gerakan. Sesaat kemudian ia menoleh, Ibu dan menghujaninya dengan
tamparan.

Aku tersekat. Ibuku tetap diam. Lelaki itu menarik tubuh Ibu dan mencengkramkan kedua tangannya ke leher
jenjang Ibu. Ibu tak terpekik walau setengah mati ia tercekik. Bapakku semakin membabi buta. Ia merobek pakaian
Ibu sampai tak satupun tersisa. Ibu masih tak melawan. Bahkan ketika lelaki yang kusebut Bapak itu menunggangi
Ibu seperti binatang, Ibu terkesan pasrah dan melemah. Bapakku memaki. Setiap kata yang keluar dari mulutnya
adalah cacian meskipun ia begitu kenikmatan.

Aku menutup mukaku dengan kedua tangan yang baru terbentuk seakan menahan malu. Begitukah Bapakku saat
membuat aku. Hinanya aku. Hal yang sudah lama kutunggu berjumpa dengan Bapak tidak seperti apa yang
menjadi pengharapan rindu. Bapak tidak mencium Ibu dengan hangat, ia menamparnya. Bapak tidak memeluk Ibu
dalam dekap, ia mencekiknya. Bapak tidak bercinta dengan Ibu penuh dengan rasa, ia memakinya. Ia seperti
pawang yang menunggangi binatang yang telah terlebih dulu di cucuk lubang hidungnya. Ibuku benar-benar
perempuan binal. Ia pelacur profesional. Ia melayani laki-laki manapun yang tak ia kenal. Sampailah ia bertemu
Bapak yang tak kalah nakal. Jadilah aku hasil hubungan yang penuh malu. Lelaki itu tak akan pernah tahu bahwa
aku dulu adalah benda berekor dan berkepala yang ada di tubuhnya, dan kini melebur dalam tubuh pelacur, tubuh
Ibu, menjadi zygot, menjadi embrio, menjadi setengah manusia yang sudah memiliki kepala sesungguhnya kepala.

Argh! Aku penat. Ibuku perempuan laknat. Bapakku lelaki bangsat.

xxxxx

“Aku seakan tak punya harapan hidup, Ari-ari.”

“Bodohnya kau, Jabang Bayi. Tidak ingatkah perjuanganmu untuk sampai ke tempat ini?”

“Percuma saja, Ari-ari. Ibu Bapak tak menginginkanku.”

“Persetan dengan mereka. Kau tetap berhak melihat dunia.”

Aku terdiam sejenak. Ari-ari kembaranku benar. Aku tak mau mati di sini. Aku sudah hidup dan bernyawa.
Perjuangan sampai ke tempat ini sangat berharga. Aku bukan hanya makhluk berekor dan berkepala yang tumpah
di muka wanita, di lantai, di kasur, lalu dibuang sia-sia. Aku sudah menjadi setengah manusia, dan aku memiliki
hak seperti para manusia, karena aku sudah menjadi bagian dari mereka.

“Ari-ari, apa aku akan melupakan saat-saat ini ketika aku seutuhnya menjadi manusia sejati?”

“Maaf Jabang Bayi, aku rasa kau tidak akan pernah muncul di dunia untuk menghirup udara?”

“Kenapa, Ari-ari? Kenapa?”

Belum sempat ari-ariku menjawab, aku sudah merasakan guncangan hebat bergetar dalam ruang sempit di
sekelilingku. Aku bergerak, meronta, melawan, menerjang guncangan yang menarikku juga menarik ari-ari
kembaran. Tenaga yang kami miliki sungguh tak sebanding dengan kekuatan angin maha dahsyat yang menyedot
kami. Mataku terbuka lebar, nanar, persis seperti mata Ibu saat baru menyadari keberadaanku. Sungguh aku tak
percaya bahwa Ibu benar-benar tega. Tanpa sadar aku terisak, dalam tangisan yang rasanya sesak. Ari-ari dan aku
saling berpegangan, saling berpelukan. Dan ini adalah perpisahan.

Wahai Ibu, teganya kau padaku. Aku darah. Aku dagingmu. Aku bagian tubuhmu. Sekarang kau membuangku
seakan aku sampah. Benda tak berharga yang keberadaannya hanya menyesakkan dunia.

Aku sudah tak mampu lagi meronta. Ari-ariku sudah tak lagi berbicara. Tidak ada juga udara yang mampu kuhirup
untuk membakar tenaga. Hanya perasaan marah yang bergejolak dan tergelak-gelak seperti lava. Aku malang.
Ibuku jalang. Bapakku jahanam bukan kepalang.

“Kalau saja kau ingat seluruh perjuanganmu mencapai tempat di rahimmu, Ibu, kau pasti tak akan melakukan ini
semua. Hanya saja, dunia menggerus ingatanmu. Dan tak lagi membekaskan memori masa lalu asal muasalmu.
Aku manusia, Ibu. Walau setengah manusia. Aku berhak hidup dan melihat dunia, walau ia fana.”

Dan aku lemas, tak lagi bernafas. Aku hanya berharap untuk diberi lagi kesempatan menjadi mani pada laki-laki,
yang akan kembali membuatku berjuang dan berkejar-kejaran dalam himpitan. Mudah-mudahan aku sampai pada
perempuan yang menanti kedatanganku. Bukan Ibu yang hanya menganggapku sebagai benalu.

Pontianak, 17 December 2008: 03.05 a.m.

Untuk sperma, zygot, embrio, setengah manusia yang tak pernah menjadi manusia

45 Responses to “Aku Malang, Ibuku Jalang, Bapakku Jahanam


Di Dalam Toilet, di Atas Kloset ( Juara 3 )
Juni 4th, 2008 by Arki Atsema

Toilet begitu sunyi malam ini. Entah apa yang dipikirkan oleh lalat-lalat kecil yang terbang mengitari lampu redup
di atas kepalaku, yang tampak menikmati bau pekat di dalam ruangan menyedihkan ini bersama-sama. Betapa aku
telah mencapai suatu tingkat kenyamanan yang membuai dengan duduk di sini sambil merasakan bokongku
berkarat perlahan-lahan. Semilir angin dingin menerobos melalui ventilasi menyebarkan rasa kantuk berkali-kali.
Api rokok terpejam dan menyala mengikuti irama denyut jantung. Samarnya suara tikus yang mencicit jauh di
sana, menambah sempurnanya suasana tenang yang mengiringi parade ritual sakit perut yang kualami.

Walau sebenarnya perutku yang melilit itu sudah tenggelam di dasar WC beberapa menit yang lalu, namun sisa
batang rokok yang terbakar ini menahanku untuk menikmati kesendirian dari dalam bilik sempit ini barang
sejenak. Tak banyak yang kulakukan, selain melubangi paru-paruku lewat setiap tarikan napas dan memandangi
sekelompok lalat yang tampak malu-malu untuk menyapaku. Kesendirian memang selalu terasa dingin seperti
sebuah rumah kosong dimana kepulanganku dari keramaian dan berisiknya suara manusia dan keangkuhan wajah
kota besar, disambut dengan pintu-pintu yang terbuka lebar. Ketidakpedulian menyelimuti diriku, ini adalah saat-
saat yang indah untuk memikirkan diri sendiri dan menolak segala hal lain yang masuk ke dalam otak.

Empat sisi tembok putih menatapku dengan wajah yang pucat. Mereka tak mampu menyembunyikan lukanya yang
terkelupas oleh roda waktu dan tangan-tangan jahil yang telah merampas keperawanannya yang putih. Tetesan dan
rembesan air mata yang jatuh dari langit mewarnai umur tembok-tembok ini lewat garis-garis kecokelatan yang
merambat pelan dari atap menuju basahnya lantai keramik. Begitu banyak hal yang telah mereka lalui dan ribuan
wajah yang telah mereka lindungi. Tidak ada yang melebihi kesetiaan mereka dalam mendengarkan setiap keluhan
para penyendiri yang tak berdaya. Betapa mereka telah meredam isak tangis para manusia kesepian dan menjaga
setiap aduannya untuk tidak keluar dari ruangan ini. Dan lihatlah kerelaan mereka menyodorkan wajahnya untuk
dijadikan kanvas yang merekam sidik jari riwayat sifat tolol dan kekanak-kanakan manusia melalui goresan tinta
tak bertanggungjawab. Kini aku merasa sedikit malu dengan tembok-tembok ini yang mengepungku seakan sedang
menghakimi aku atas semuanya yang telah mereka alami.

Aku memperhatikan dengan mata yang sombong kepada setiap coretan di sisi kanan tembok tempatku duduk.
Seperti melihat sejarah kehidupan manusia yang pertama ditoreh lewat lukisan-lukisan di dalam gua-gua purba
yang gelap dan tanpa kusadari bahwa jarak waktu yang ditempuh dari jaman itu hingga sekarang adalah bukti jalur
perkembangan hidup umat manusia yang telah begitu panjang teraspal. Ratusan kata terangkai dalam warna-warni
yang tersusun dengan berantakan dan saling bertautan membentuk lukisan abstrak di atas alas yang pasrah. Karya
seni ini mengundang jiwa pengamatku untuk menelusurinya satu persatu.

’Sekali berarti, sudah itu mati’ tulisan itu berkata. Dilapisi oleh warna merah yang menyerupai darah dan goresan
tegas membentuk tiap hurufnya. Sebuah kutipan milik seorang penyair besar yang tampak telah merasuki jiwa si
penulis. ’Aku mau hidup seribu tahun lagi’ tulisan lain tak jauh dari yang pertama bersandar dengan berhiaskan
gambar kawat berduri di sekitarnya dan tiga buah tanda seru di belakangnya. Seketika tembok ini menyiratkan
hawa perasaan hangat manusia. Tampak jelas di mataku sekumpulan emosi yang tersurat dengan lantangnya
menyuarakan batin yang selalu berteriak. Lima baris puisi terpampang di atas tembok yang sama. Ditulis dengan
warna gelap. ’Yang terakhir mati adalah harapan’, begitu baris akhirnya berbunyi. Rasa kecewa terekam jelas lewat
kata-katanya.

Kesedihan, rasa pasrah, sedikit kemarahan, air mata, benci, harapan kosong dan tentunya perasaan kecewa adalah
tema yang menumpuk pada sastra tembok ruang WC ini. Sedikit demi sedikit semuanya merambat ke dalam diriku
dan dalam hati kecilku, aku mendapati segenggam kebenaran yang coba dipancarkan oleh tulisan-tulisan itu.
Betapa hidup tak ubahnya semacam arena perang untuk saling mengungguli, saling menyisihkan, dan saling
menjatuhkan. Dan kekalahan akan datang kepada mereka yang berani menanggung rasa nyeri, siap ataupun tidak.
Semakin lama aku semakin tertarik untuk membawa setiap tulisan-tulisan ini ke dalam ruang perenunganku.

Dalam keheningan yang membius, aku dibangunkan oleh rasa terkejut. Dari bawah tembok sastra ini, di celah
antara tembok dan lantai toilet, sebuah tangan manusia terjulur dengan telapak tangan menengadah ke arak
mukaku. Aku tak ingat bahwa ada seseorang di bilik sebelah.

”Boleh minta rokok?” telapak tangan kemerahan itu berkata. Lima detik kemudian aku bereaksi, mengambil
sebatang rokok dari saku kemeja dan meletakkannya bersama korek api di atas tangan itu.

”Ambil saja,” seruku.


”Oh terima kasih.” Dan tangan itu menghilang lalu tak lama kemudian suara percik api bergema memadati
ruangan.

Hembusan napasnya terdengar amat jelas di kedua telinga. Tangan kirinya muncul lagi dari celah bawah sambil
menggenggam korek api gas warna hijau yang tadi kuberikan padanya.

”Terima kasih,” ia berkata untuk yang kedua kalinya.

”Sama-sama.”

Gelombang hening berkeliaran di dalam toilet. Seseorang ada di sebelahku, dan entah mengapa aku merasa sedikit
canggung dengan kehadirannya. Salah satu dari kita harus memulai percakapan, begitu pikirku. Dalam situasi
sekarang, aku adalah tipe orang yang hanya bisa menunggu, walau bagaimanapun juga aku berusaha memikirkan
kata-kata yang tepat untuk memulai sebuah pembicaraan yang dapat memecahkan keheningan yang mengganggu
ini.

Aku hampir membuka mulut saat suara yang dingin itu datang, ”Kau sedang sibuk?”

”Maksudnya?”

”Apakah aku mengganggu kegiatanmu di sana?”

”Oh tidak. Aku hanya menghabiskan rokokku di sini.”

”Baguslah. Kita bisa sedikit mengobrol kalau begitu.”

”Boleh.”

Sedikit aneh, bahkan untuk orang sepertiku, untuk mengobrol dengan seseorang tak dikenal di dalam toilet yang
wujudnya terhalang oleh tipisnya tembok pembatas. Sepertinya dia juga tidak melakukan apa-apa di ruangannya,
hanya duduk-duduk sepertiku. Hanya duduk-duduk di atas kloset porselen warna putih yang keras.

”Apa yang akan kita bicarakan?” aku bertanya.

Ia diam tidak menjawab. Maka aku memulai dengan mengajukan pertanyaan yang paling mudah, ”Siapa
Namamu?”

”Tidak perlu tahu nama saya,” serunya dengan cepat, ”lebih enak kalau kita tidak saling kenal nama masing-
masing.” Dahiku berkerut.

Rokokku sudah setengahnya terbakar. Dari suaranya, aku menebak-nebak bahwa dia seorang anak lelaki seusia
remaja, atau tepatnya seorang remaja tanggung. Dan kini kami berdua kembali diam dengan tenang.

”Jadi, apa yang barusan kau makan?” aku mencoba membuka percakapan lagi.

”Makan?”

”Ya. Asal kau tahu, aku berada di sini gara-gara udang bakar sialan yang disajikan dengan….mungkin ratusan cabe
merah dan kerabatnya. Aku tak bisa menahan perutku yang melilit. Dahsyat sekali. Yang jelas perutku terbakar.
Untung saja restoran ini juga punya toilet.”

”Oh. Restoran ini memang membuatku mual.”

”Restoran sinting. Aku tidak akan makan lagi di sini. Jangan-jangan kau juga makan udang bakar itu?”

Aku tidak yakin tapi sepertinya aku mendengar sekilas suaranya bergema mengucapkan ’Eeeee…’ yang panjang,
seperti memikirkan jawaban yang akan keluar dari mulutnya. Entahlah, aku bingung dengan orang ini. Tadi dia
yang pertama mengajakku bicara, tapi sekarang dia kembali mengunci mulutnya rapat-rapat. Apa mungkin aku
mengajukan pertanyaan yang salah? Atau bisa jadi dia ini adalah seorang yang pendiam dan malu-malu.

Kali ini aku tidak mencoba mengajaknya bicara. Aku memilih tenggelam dalam keheningan yang ia ciptakan.
Detak jarum jam tanganku adalah satu-satunya suara yang kudengar. Lalat-lalat telah pergi entah kemana, aku
merindukan suara bising sayap mereka. Aku menghirup dan menghembuskan asap rokok dengan keras, sengaja
membuat sedikit keributan.

”Sup ayam,” tiba-tiba ia bicara, “satu-satunya makanan yang pernah kumakan di restoran ini adalah sup ayam. Dan
memang rasanya agak pedas,”,suaranya sedikit serak kali ini.

”Tapi aku tidak alergi dengan pedas. Maksudku, alasanku ke sini bukan karena sakit perut atau apalah, cuma…,”
jeda kembali terulang.

”Ingin bicara denganku kan?” Aku tak sabar menunggu.

Dia tertawa kecil, sedikit menyejukkan di telingaku.

”Yaa, bisa dibilang ini seperti sebuah ritual buatku. Hampir setiap malam aku datang ke sini, dan,” ia terkesan
berhati-hati dalam menyusun setiap kalimatnya, ”semacam duduk-duduk di tempatmu berada sekarang.
Menghabiskan sedikit waktuku.”

Biar kuanalisis sebentar. Anak ini datang ke toilet serba putih ini, tanpa suara, tanpa sepengetahuanku, dan tanpa
basa-basi langsung mengajakku bicara seolah-olah aku ini temannya. Tanpa perkenalan, tanpa jabat tangan –
kecuali dengan sebatang rokok dan korek api yang kuberikan padanya – dan tanpa nama sama sekali, aku tak tahu
harus memanggilnya apa. Aku yakin bahwa ia masuk ke restoran ini tanpa memesan apapun, mungkin juga tanpa
menoleh sedikitpun pada pelayan atau hanya sekedar duduk-duduk sebentar di kursi, melainkan langsung meluncur
menuju toilet ini, mengunci diri di dalamnya dan melakukan ritual. Satu-satunya ritual yang kukenal yang pantas
dilakukan di toilet adalah ritual yang baru saja kujalani beberapa menit yang lalu dengan susah payah. Inikah yang
terjadi pada remaja jaman sekarang? Masuk ke restoran hanya untuk menikmati nyamannya kloset sambil mungkin
berpikir tentang masa depannya?

”Kalau begitu kamu kenal dengan orang tak tahu malu yang mencoret-coret dinding di dalam sini?” Pertanyaan
basa-basi. Aku tak peduli siapa yang melakukannya.

”Ya,” serunya dengan nada pelan, ”aku orangnya.”

Mulutku seperti ditampar. Kehebohan terjadi di dalam otakku untuk mencari kalimat yang tepat untuk menanggapi
pernyataannya tadi. Bahkan asap rokokku ikut merasakan kalang-kabut. Lalat-lalat kembali berputar-putar di
sekitar lampu dengan kesetanan.

”Wow! Bagus kalau begitu,” semoga ia tidak menangkap irama kepanikanku, ”maksud saya, untuk karya seni
sebagus ini, sangat tak tahu malu apabila hanya dipajang di dinding WC yang jorok ini. Seharusnya kau bisa lebih
menghargai seni dengan menaruhnya di tempat-tempat yang pantas, atau di tembok kota sekalian biar orang-orang
bisa melihatnya.”

”Oh ya?”

”Tentu saja. Kamu pikir aku rela menghabiskan waktu lebih lama di dalam sini kalau bukan karena ingin
menikmati coretan-coretan ini. Ada kekuatan sastra di dalamnya,” aku tak tahu apa yang sedang kukatakan.

”Oh ya?”

”Ya. Aku punya latar belakang seni dan aku tahu apa yang sedang kukatakan,” aku berbohong lagi. Latar belakang
seniku adalah mencoret foto muka presiden di ruang kelas sekolah dasarku dulu. Tapi setidaknya setengah dari
daya tarik corat-coret ini memang berhasil menarik perhatianku. Sepertinya aku telah berhasil membawa
pembicaraan ini ke arah yang lebih baik.

”Ritual yang kumaksud adalah mencoret-coret dinding ruanganmu itu. Tak disangka ada juga orang seperti anda
yang memperhatikannya.” Tentu saja, dengan coretan sebesar ini, sebanyak ini, siapa yang tidak akan
memperhatikannya. Tanya saja lalat-lalat ini.

”Oh ya? Untuk apa?”

”Menurutmu?”

Menurutku karena kau adalah anak iseng yang tidak punya hal bermanfaat lain yang bisa dikerjakan selain
menginap semalaman di dalam toilet ini, sama seperti kelakuan remaja aneh lainnya. Dilihat dari isi tulisan dan
gambar-gambarnya - seperti seorang anak yang gantung diri, perempuan kerdil yang menangis, dan sebuah ledakan
dengan gradasi warna merah yang indah - aku mengira bahwa dinding ini adalah bagian dari buku hariannya yang
diisi oleh keluhan atau semacam curahan perasaan untuk seseorang yang bisa dibilang sangat kesepian. Persis
seperti kesan yang kutangkap sebelumnya bahwa orang ini adalah seorang pendiam yang gemar memendam api
dan membiarkannya menjalar di dalam hati. Barangkali hingga membusuk.

”Mmm…menurutku, ini adalah semacam cara anak muda jaman sekarang dalam mengekspresikan sesuatu, ya
kan? Seperti coretan-coretan lain yang sering kulihat di tembok-tembok pinggir jalan. Hanya saja ini lebih…
mmm…katakanlah, lebih kelam, lebih gelap, lebih menonjolkan sisi gelap manusia, lebih seperti perasaan
kesepian, atau…yah tak tahulah…tapi kau telah menggambarkan perasaan-perasaan tersebut dengan baik, seakan-
akan kau memang mengalaminya sendiri.”

Gemeretak tembakau yang terbakar terdengar nyaring dari tempat ia berada. Ia kembali mengatupkan mulutnya
setelah mendengar pendapatku, mungkin sedang mengolah setiap kata yang ia dengar di suatu tempat di kepalanya.
Rokok di tangan kananku mulai memendek dan aku mulai bosan berada di sini.

“Ya, aku memang…memang menuliskan semua yang kurasakan di sana,” serunya dengan nada yang semakin
muram.

“Semua yang kurasakan hampir tiap hari,” ia memberikan penekanan dan menambahkan unsur melodramatis
dalam kalimatnya.

Aku menolehkan mukaku ke arah biliknya.

“Remaja adalah tingkat paling rapuh dalam riwayat hidup manusia,” rasa simpati mulai merangkak keluar dari
kepalaku, “tapi selama kau bisa memanfaatkannya dengan baik, kau bisa menemukan apa yang kaucari selama ini.
Jangan terlalu disesali, kita adalah orang yang sama. Masa remajaku juga diisi oleh rasa kesal, seakan-akan tidak
ada hal benar yang dapat dilihat oleh matamu di dunia ini. Namun semuanya akan berubah.”

“Entahlah, aku tak yakin, dan kita bukan orang yang sama. Aku hanya membenci semua hal dan ingin sekali
berdiri di puncak bumi ini dan memarahi semua orang-orang yang pernah kukenal. Aku lelah ditertawakan. Aku
bertaruh bahkan seorang Gandhi pun akan memiliki keinginan untuk membunuh bila ia tahu apa yang kurasakan.”

Kali ini aku yang terdiam. Orang seperti dia memang kadang sulit untuk ditebak, karenanya aku memilih untuk
berhati-hati.

“Ya, kau benar. Kadang aku berpikir bila Gandhi diberi kesempatan kedua untuk hidup lagi, ia akan berubah
menjadi seorang maniak yang mencintai perang. Aku pernah bermimpi sedang berkelahi dengan Gandhi dan itu
membuatku senang.”

“Serius? Kau berkelahi dengan Gandhi? Siapa yang menang?”

“Aku lupa. Tapi aku membuat hidungnya berdarah.”

“Hebat. Seharusnya dia memang jadi ahli berkelahi. Atau mungkin saja saat ini, di akhirat ia mengajak para
malaikat untuk bertarung dengannya sebagai kekesalan atas emosinya yang tak tersalurkan di dunia.”

”Ya mungkin saja. Bagiku itu cukup masuk akal. Itu yang akan kulakukan kalau menjadi Gandhi. Aku akan
menghajar para malaikat.”

”Menurutmu siapa yang paling cocok untuk melawan Gandhi?”

”Mmm…siapa ya? Mmm…Adolf Hitler!”

”Brillian! Bayangkan bagaimana ia mencabuti kumisnya satu persatu,” ia setengah berteriak.

”Itu akan menjadi tontonan yang paling menarik di akhirat. Gandhi sang Gladiator mengalahkan Hitler si
Pecundang!”

Kami berdua tertawa.

”Ide yang bagus. Kalimat itu akan kutulis di tembok malam ini.”
”Asalkan kau senang Kawan, aku tak keberatan.”

”Bukan begitu, alasannya adalah aku mengenal seseorang yang wajahnya mirip seperti Hitler, bahkan
kelakuannyapun sangat kelewatan. Dia orang yang kubenci, selalu menuntutku untuk begini-begitu dan tak pernah
sama sekali mendengarkan apa yang kumau. Aku hanya membayangkan si Hitler itu akhirnya dikalahkan oleh
sosok Gandhi, orang yang selama ini tertindas oleh egonya.”

”Maksudmu kau yang menjadi Gandhi mengalahkan bapakmu si Hitler itu?”

Ia kembali membisu. Suara-suaranya yang tadi keluar seperti terhisap ke dalam lubang air di lantai basah.
Keriangan yang menyeruak sekarang terpendam di dasar bumi. Aku tak berani mengucapkan apa-apa. Waktuku
telah usai, rokok telah kubuang dan kuinjak, sekarang yang kuinginkan adalah pergi dari tempat ini dan
mengucapkan salam perpisahan pada tamu tak terlihat ini.

”Bagaimana kau tahu kalau dia adalah ayahku?”

Suaranya terdengar pelan. Aku bermaksud untuk pura-pura tidak mendengar dan menyelinap keluar, tapi aku
terdorong untuk mengakhiri perbincangan ini dengan baik.

”Eeee….tidak, aku….aku hanya menebak saja. Maaf kalau aku menyinggung perasaanmu. Aku tidak bermaksud
un…”

”Ah tidak apa-apa. Kau mau pergi?”

“Ya, aku harus…harus pulang.”

“Oke, tapi sebelumnya, maukah kau melihat tulisanku sekali lagi, dan memberitahuku kata-kata apa yang kausuka
dari sana?”

“Mmm….dari tadi aku tertarik dengan tulisanmu yang berbunyi ‘Daripada cinta, uang, kepercayaan, popularitas,
dan keadilan, lebih baik berikan aku kebenaran!’. Kalimat yang sangat provokatif.”

“Pilihan yang bagus, aku mengutipnya dari seorang penyair. Sekedar informasi, itu adalah kalimat pertama yang
kucoret di dalam toilet ini.”

“Ya, aku menyukainya.”

“Oh ya, sebelum kau pergi, kira-kira berapa menit waktu yang kaubutuhkan untuk keluar dari restoran ini?”

“Maksudmu?”

“Ya, kau tahu maksudku.”

“Mmm…mungkin sekitar 5 menit.”

“Kuanggap itu 10 menit.” Tat tit tat teet toot tit tut. Dari dalam biliknya terdengar suara tombol-tombol yang
ditekan, seperti suara yang timbul ketika aku menuliskan pesan singkat di handphone.

”Baiklah, aku pergi Kawan. Mungkin kita akan bertemu lagi suatu saat.” Aku mengetuk kepalan tangan kananku
pada pintu biliknya dan pergi melenggang dari ruangan itu.

”Kau tahu di mana kau akan menemukan aku.”

***

Jam digital di mobilku menunjukkan pukul 21.12, tepat sekitar 10 menit dari saat aku meninggalkan toilet itu
ketika dalam kegelapan malam yang beku, aku merasakan permukaan jalan bergerak-gerak seperti ada sesuatu
sedang menjalar di dalamnya. Ini terlalu singkat untuk disebut gempa bumi, karena getaran tersebut hanya
berlangsung kira-kira 2 detik dan disertai oleh suara berdebum yang memekakkan telinga.

Tanpa pikir panjang aku melompat keluar dari mobilku. Yang pertama terbesit adalah aku tak ingin terjebak di
dalam mobilku dan segera berlari mencari tempat perlindungan yang aman. Suara riuh manusia berceceran
memenuhi udara pengap ini. Diriku berada di ambang kepanikan dan terus memastikan diri bahwa aku masih
berdiri memijak tanah. Aku menoleh ke belakang, asal muasal suara keras tersebut. Dan disitulah aku menatap
pemandangan indah yang bersinar di kedua bola mataku yang menciut.

Restoran itu kini terbakar. Api dalam kobaran yang besar menari-nari dengan gemulai dan tak menghiraukan suara
teriak yang menghampirinya. Asap hitam mengepul menjangkau bulan yang sedang terang benderang. Restoran
telah menyatu dalam gradasi warna merah, oranye, dan kuning, menerangi sudut kota dengan kemegahan tak
terucapkan. Mahkota emas sang raja yang berkilauan, pantulan sekumpulan bunga matahari yang berbaris di
taman, wajah iblis sedang memancarkan senyum manisnya. Aku hanya terpana, diam tak bergerak.

Tak butuh waktu lama bagiku untuk menerka bahwa bom telah meledakkan restoran udang bakar pedas itu. Aku
tak tahu apa yang harus kulakukan, dan rasanya aku hanya dapat membayangkan momen terakhirku di toilet itu
dengan jelas. Hanya itu yang terus berdengung di pikiranku sekarang. Dan saat aku menengadahkan wajahku ke
langit, aku seperti melihat sosok teman toilet misteriusku itu terbang lepas menuju angkasa sambil membawa
kesendiriannya dalam keabadian.

”Selamat jalan. Semoga kau bertemu Gandhi di sana.”

Demi Emak, Semur Jengkol, dan Nasi Uduk


Januari 7th, 2008 by bidari

Untuk kesekian kalinya kami hanya diam, aku dan Emakku. Sudah lewat dua puluh menit kami terdiam dan sibuk
dengan pikiran masing-masing. Di dipan reot depan rumah kami ini, lagi-lagi kami bersama. Entah merenung,
entah bersyukur, entah meratapi nasib.

Ini hari kedua aku bebas. Tidak seperti biasanya, Emak lebih banyak diam. Emak tidak lagi menangis dan tidak
lagi meratapi pilihanku. Entah mengapa. Mungkin saja Emak sudah habis akal meluruskan jalanku, yang
menurutku sendiri tidaklah bengkok.

Menurut Sardi, adikku yang nomer dua, sejak aku kembali dipenjara untuk yang ke tujuh kalinya, Emak tidak lagi
menangis. Pernah suatu ketika Sardi bertanya perihal perubahan itu, tetapi Emak hanya menggeleng. Aneh.

Aku sendiri sebenarnya penasaran. Emakku yang penyayang tidak lagi menangisi kepergianku. Sejak aku
mendengar cerita Sardi itu, aku sempat dua hari tidak bisa tidur. Aku berpikir Emak sudah tidak sayang lagi
padaku. Sejak saat itu aku jadi sering melamun. Aku jadi begitu rindu pada Emak. Aku ingin cepat-cepat pulang
dan bertanya pada Emak perihal perubahan itu. Aku ingin memastikan bahwa Emak tetap sayang padaku.

Sebulan sebelum pembebasanku, Rani, adik pertamaku, datang menjenguk. Dia membawakanku semur jengkol
dan nasi uduk buatan Emak. Aku makan lahap sekali waktu itu. Aku berpikir bahwa ini adalah bukti bahwa Emak
masih sayang padaku. Aku ceritakan pada Rani tentang Sardi, perubahan Emak dan perasaanku. Di luar dugaanku,
Rani malah menangis sesenggukan.

“Ibu sakit, Bang. Sudah dua hari ini. Ibu memasak semur jengkol khusus untuk Abang. Tidak ada satu pun dari
kami yang boleh mencicipinya. Ibu menitip pesan untuk Abang, ‘Katakan pada Salim untuk banyak-banyak
berdoa.’ Ibu rindu pada Abang.”

Seketika itu nafsu makanku lenyap. Semur dan nasi yang biasanya tandas itu kubiarkan saja dikerubungi lalat.
Biarlah, sudah rejekinya.

“Sudah kau bawa ke dokter?”

“Belum. Sardi sedang tidak ada di rumah. Mengantar barang ke Cirebon. Nanti malam dia pulang bawa uang.“

Ah. Lagi-lagi. Masalah yang sama.

Aku pikir dengan hilangnya satu anggota keluarga, akan berkurang juga beban hidup. Tetapi ternyata belum cukup.
Hasil curianku yang terakhir lumayan besar. Sekotak berlian itu sudah kubagi-bagi hasil penjualannya dengan
Bakir. Aku berikan bagianku pada Sardi. Seperti biasa, Sardi dengan sigap mengatur penyimpanan dan
pengeluaran. Kepergiannya tentu bukanlah ke Cirebon. Aku sendiri tidak tahu di mana. Tetapi yang jelas, tempat
persembunyian itu pastilah aman. Sudah terbukti, dia tidak dipenjara.
“Sudahlah, kau tenang saja. Nanti malam Sardi akan pulang membawa uang untuk kalian. Jangan lupa kau belikan
obat untuk Emak.”

Rani, adikku yang bersih itu, menggangguk saja. Sebelum pulang, kupeluk dia dan kucium keningnya. Aku
terharu. Rani sangat baik. Dia begitu percaya padaku dan tidak pernah sekalipun membantahku.

“Abang baik-baiklah. Sebulan lagi aku datang menjemput Abang. Ingat pesan Emak ya.“

Sepeninggal Rani, kebisuanku semakin menjadi. Hari-hariku kuisi dengan melamun. Aku terus memikirkan kata-
kata Emak. ’Banyak-banyaklah berdoa’. Aku tidak mengerti apa maksud Emak. Mengapa Emak menyuruhku
banyak-banyak berdoa. Seingatku, aku tidak lupa berdoa. Sebelum melakukan aksiku, aku selalu berdoa. Aku
meminta kepada Tuhan agar melancarkan usahaku. ”Ya Allah semoga hari ini aku dapat tangkapan besar.”,
“Semoga kali ini tidak gagal.”, “Ya Tuhan Emakku sakit, aku butuh uang.”, dan berbagai variasi lain sesuai
kebutuhan.

Supri, teman satu sel, memperhatikan keadaanku. Dia bertanya tentang perubahanku yang drastis. Aku merasa dia
orang yang baik dan bisa dipercaya. Apalagi sejak dia belajar sholat tiga bulan yang lalu, dia terlihat lebih
menyenangkan.

“Aku sedang bingung.”

“Kenapa? Sebentar lagi kau kan bebas.”

“Bukan masalah itu, Pri. Aku bingung memikirkan nasehat Emakku. Dia memintaku banyak-banyak berdoa.“

“Ooo. Bagus lah.“

“Bagus apanya? Aku tidak mengerti harus berdoa dengan model apa lagi. Aku kan selalu berdoa setiap kali
melancarkan aksi. Meminta kelancaran.“

“Mungkin doa yang lain, Lim.“

“Doa yang lain bagaimana maksudmu? Doa supaya cepat bebas dari penjara? Ah, itu basi. Aku merasa baik-baik
saja hidup di penjara ini. Makan, minum, tidur gratis. Yah, anggap saja pengiritan.”

“Hahaha…ada-ada saja kau ini. Ngirit kok terus.”

“Lha, trus mau bagaimana? Sudah mencuri saja masih tetap melarat. Apa kau pikir aku ini kaya, hah?”

“Memangnya kau tidak berdoa untuk minta kaya?”

“Hahaha…ngarang!!! Aku ini orang biasa, Pri. Asal bisa makan, bayar sekolahnya Sardi dan Rani dan Emakku
tidak sakit, itu sudah bagus. Lha apa kau pikir aku mencuri untuk beli mobil? Ngimpi!!! Itu mah pejabat!!!“

“Hahaha…ada-ada saja kau.“

“Eh, tapi…memangnya boleh berdoa minta yang muluk-muluk gitu?“

“Muluk-muluk bagaimana? Minta kaya? Ya bolehlah.“

“Ooo…gitu ya. Oke lah, aku akan berdoa minta kaya kalau begitu. Biar sesekali bisa merasakan makan di
restoran.”

Sejak percakapan itu, aku dan Supri menjadi akrab. Kami sering ngobrol masalah ini itu. Baru aku tahu, bahwa
keadaan Supri jauh lebih parah dariku. Dia tidak hanya mencuri, tetapi juga mbegal dan membunuh. Hukumannya
kali ini bukan yang pertama, tetapi yang paling lama. Katanya, korban terakhirnya dia bunuh dengan terencana.
Dia membunuh laki-laki itu karena alasan balas dendam. Laki-laki itu berusaha memperkosa istrinya. Karena tidak
berhasil, laki-laki itu membunuh istrinya. Bangsat seperti itu memang layak menerimanya. Impas.

Seminggu sebelum hari bebasku, aku kehilangan Supri. Dia meninggal. Radang paru-paru yang menggerogoti
tubuhnya sudah tidak mau toleran. Aku sedih sekali. Aku seperti kehilangan teman berbagi.
Tidak banyak barang peninggalan Supri, hanya sebuah buku catatan kusam dan beberapa lembar foto usang. Foto-
foto itu tidak menarik perhatianku. Karena memang aku tidak kenal mereka. Buku catatan itu jauh lebih menarik.
Di sana, Supri menuliskan semua keluh kesah, perasaan, dan pikirannya.

Aku takjub. Aku membaca buku itu layaknya membaca kehidupan. Semuanya nampak jelas dan nyata. Supri yang
pembunuh, ternyata perasa. Di buku itu kujumpai puisi di sana sini. Satu yang menarik perhatianku adalah
ratapannya pada Tuhan.

’Jika aku ini tidak lebih dari setumpuk kotoran

Jika aku ini tidak lebih dari seonggok daging

Jika aku ini tidak lebih dari pengacau

Kenapa tidak Kau matikan saja aku sekarang

Bukankah Kau Maha Segala

Apalah sulitnya mematikan aku

Tinggal kau tiup saja

Kun faya kun, begitu kata ustad

Jika memang masih Kau ijinkan aku hidup

Berilah aku kebebasan

Jangan Kau tipu aku dengan uang

Dan jangan Kau tipu aku dengan foya

Tolonglah…

Sekali ini saja

Beri aku ini hidup yang berarti

Cukup sekali’

Aku meminta ijin kepada kepala untuk memiliki buku itu. Entah mengapa aku merasa wajib menyimpan buku itu.
Sepertinya, buku itu adalah warisan Supri untukku. Lanjutan dari obrolan yang terputus.

Selama seminggu menunggu sisa waktuku, aku membaca buku itu hingga selesai. Kulipat bagian-bagian yang
menarik perhatianku dan kubaca lagi dua – tiga kali. Aku mencoba mengerti kata-kata terakhir Supri waktu itu,
‘Benar kata Emakmu. Kau memang harus banyak-banyak berdoa. Kau orang baik, Lim. Pantas kalau Emakmu
begitu sayang padamu. Buatlah hidupnya tenang, Lim.” Aku mencoba memahami hubungan antara doa, Emak dan
tenang.

Demi menemukan jawaban itu, hari pertama bebas aku langsung menemui Emak. Seperti biasanya, kucium tangan
kanannya bolak-balik. Lalu kutempelkan di dahiku. Seperti memohon restu darinya. Kuceritakan pada Emak
semua hal yang mengganggu pikiranku akhir-akhir ini.

“Mak, apa hubungan semua itu? Emak tahu?”

“Lim, Emakmu ini tidak pernah sekolah. Mana Emak tahu tentang puisi. Yang Emak tahu, berdoa itu penting.“

“Apa Emak berdoa setiap hari? Emak meminta apa?”

“Yang biasa saja, Lim. Emak minta agar hidup kita tenang. Sardi dan Rani lulus sekolah. Dan kamu tidak dipenjara
lagi.”
“Oh. Kenapa Emak tidak minta jadi orang kaya? Kata Supri, kita boleh berdoa minta jadi orang kaya. Enak kan,
Mak. Kalo kaya, kita tidak usah repot cari uang untuk bayar sekolah dan makan tiap hari.”

“Buat apa, Lim? Biar bisa gegayaan seperti orang-orang? Tidak usah. Emak malah takut kena yang aneh-aneh.“

“Ah, Emak. Kan biar bisa makan di restoran. Sekali-sekali gitu.“

“Lim, Lim, sudah lah. Tidak usah neko-neko. Doa Emak dikabulkan saja, Emak sudah senang kok. Sudah tenang.“

Ah, lagi-lagi kata tenang. Permintaan Emak memang sangat sederhana. Apalagi bagi Tuhan yang Maha Kuasa.
Pastilah mudah. Aku masih belum begitu memahami hubungan doa, Emak dan tenang. Tetapi aku menyadari,
bahwa keinginan yang sederhana tidaklah sederhana pada pelaksanaannya. Pagi-pagi buta Emakku masih harus
bangun untuk membuat gorengan, Sardi masih harus bersepeda ke sana ke mari mengantar koran dan Rani masih
harus mencuci pakaian tetangga. Lalu aku? Apa yang kulakukan? Tidak banyak. Tetapi setidaknya aku berusaha
untuk tidak kembali ke penjara. Demi melihat senyum Emakku, makan semur jengkol, dan nasi uduk lebih sering.

Aku dan Emak masih belum beranjak dari dipan. Lamat-lamat terdengar suara adzan dari musholla di gang
sebelah. Anak-anak yang tadi main gundu, mulai berlari pulang ke rumah masing-masing, mengganti celana
dengan sarung. Ah, lagi-lagi aku jadi teringat Supri. Wajahnya sehabis wudhu terlihat lebih tenang. Mungkin
memang sudah waktunya untukku belajar sholat seperti dia. Bukan untuk merubah wajahku, tetapi agar aku bisa
melihat senyum Emakku, makan semur jengkol dan nasi uduk lebih sering.

Di Atas Kamar di Bawah Atap


Desember 12th, 2008 by Emil Akbar

Aku selalu berada di atas kamar di bawah atap ketika malam datang. Kamu tahu kan tempatnya? Itu di loteng!
Hampir tiap hari aku naik dan berdiam diri di sudut atas kamar itu. Senang sekali mendengar suara di bawah sana.
Seperti malam ini.

Kadang mereka tidak tahu waktu. Malam belumlah terlalu larut. Lampu di kamarku masih menyala. Aku belum
tidur. Sedang mengerjakan PR. Seperti menguji kepekaan telingaku, mereka mengeluarkan suara berbisik-bisik.
Samar terdengar bagai menembus dinding kamarku. Dulu, aku mengira mereka sedang bercanda atau tengah
bertengkar dan tidak mau diketahui orang lain. Namun sekarang aku tahu apa yang mereka lakukan.

Telingaku bisa langsung setajam kuping kelinci serupa antena mendapatkan sinyal yang diinginkan, jernih tanpa
gangguan, saat bisikan itu dibarengi dengan bunyi berderit-derit. Membuat suara serangga malam di luar rumah
tidak terdengar. Menggelitik gendang telingaku, mengganggu konsentrasiku belajar. Sebab jantungku seperti
berhenti berdetak saking cepatnya memacu. Dadaku bergemuruh bagai amuk badai menghancurkan segala
pertahanan diri. Tak satu pun soal bisa kujawab. Aku menyerah. Kutindih buku tulis dengan pena. Kumatikan
lampu dan gelap seketika. Aku berdiri tegap serupa hantu yang ingin mengusik.

Kawan, akan kujelaskan padamu bagaimana caranya aku bisa naik ke atas sana.

***

Mula-mula kusingkirkan segala alat tulis dan kupastikan meja belajar mampu menahan berat badanku saat aku
menginjaknya. Lalu kuangkat kaki kiri menapaki pinggir meja dan kaki kanan setelahnya untuk menjaga
keseimbangan. Sebisa mungkin tanpa bunyi, tapi tetap saja gerakanku menimbulkan suara, meski kecil. Namun
aku yakin tak kan terdengar sampai di seberang sana. Walau begitu aku tetap harus hati-hati.

Kutarik napas sejenak. Kemudian secara perlahan telapak kaki kananku menginjak gagang pintu sehingga
terdorong ke bawah. Pintu tidak terbuka lantaran sudah kukunci. Kedua tanganku menggenggam kosen pintu yang
berbentuk kotak-kotak dan tak berkaca. Sementara tungkai kaki kiriku terayun-ayun mengambil ancang-ancang.

Kakiku yang menginjak udara itu melayang ke atas dan hinggap di balok kosen paling bawah. Jari-jarinya saling
merekat dan menekuk bagai mencengkeram. Gayaku mirip dengan pemanjat tebing. Ototku yang tidak berotot
menjadi kejang karena tertarik.
Badanku mulai merayap seperti cicak raksasa menggerayangi dinding di keremangan malam. Tangan kananku
menggapai permukaan tembok yang kasar. Ada pipa kabel listrik tak sengaja kusentuh. Ibu selalu mengingatkan
agar jangan pernah memegang pipa tersebut, khawatir aku kesetrum. Biasanya Ibu mematikan hubungan listrik tiap
kali aku membersihkan loteng ini yang dipenuhi sarang laba-laba, yang tidak mengenakkan pandangan kala
mendongak. Kecuali ruang tamu, beberapa ruangan memang belum mempunyai plafon, termasuk kamarku dan
kamar Ibu.

Sekarang aku berada di atas kamar. Sering tanpa bisa kucegah, serpihan tembok berjatuhan seperti rintik hujan
menyentuh bebatuan. Agak berisik. Biasanya mereka beranggapan bahwa ada tikus berkeliaran di atas sini, jadi
aku aman.

Aku meringkuk sebentar di balik balok paling besar, terletak di tengah rumah yang merupakan pusat dari balok
yang bertebaran, penopang atap rumah. Ada juga balok yang melintang dan membujur, membentuk kerangka atap.
Rumah ini beratap seng.

Setelah jeda sesaat aku kembali berdiri. Di bawah sana sendu yang temaram. Hanya lampu di kamar ibu yang
menyala di dalam rumah, tidak terlalu terang tapi cukup membuat benda-benda yang diterpa cahayanya memiliki
bayang-bayang, menimbulkan gelap yang terlihat.

Aku melangkah dengan cara merunduk menuju balok yang rebah, seperti batang pohon yang dijadikan jembatan
untuk meniti. Aku berjalan merangkak serupa hewan berkaki empat. Di bawahku adalah langit-langit ruang tamu,
terbuat dari adonan kertas basah yang dicetak, mirip tripleks. Jangan sampai aku terpeleset dan mengenai lantai
loteng yang rapuh dan mudah pecah itu. Aku ngeri membayangkan bila itu terjadi. Seperti aku takut tercebur ke
dalam sungai karena tidak bisa berenang. Kuhirup bau pengap, udara agak panas, membuatku gerah sehingga
keringat membasahi bajuku. Mungkin sebentar lagi hujan.

Sarang laba-laba mulai menghadang ketika aku menerobos paksa. Ibarat Kabut tebal menghalangi melihat jalan di
depan, dan itu sangat mengganggu. Tadi pagi Ibu menyuruhku membersihkannya dengan sapu lidi tapi tidak
kulaksanakan karena asyik bermain di rumah teman. Besok mungkin Ibu akan marah dan mengingatkanku lagi.

Saat sarang laba-laba itu membalut wajahku, kusapu cepat karena lengket dan terasa gatal seperti kalau aku
kegelian. Juga melekat di bajuku dan susah sekali menghilangkannya seperti noda yang membandel. Tapi aku tak
peduli. Suara napas memburu di bawah sana melecut semangatku untuk segera mendekat. Kukoyak sarang laba-
laba itu menjadi helai-helai yang berjatuhan. Bahkan banyak yang tersangkut di sela-sela jari. Kukumpulkan dan
kuremas kemudian kujadikan bola-bola kecil lalu membuangnya begitu saja.

Setelah aku sampai di tempat bertemunya atap seng dengan tembok, aku jongkok membungkuk mendekap lutut.
Lubang hidungku kemasukan debu. Kuhela napas berkali-kali mengeluarkannya. Aku berjalan menyamping sambil
tetap duduk mendekap lutut dengan kepala tertunduk, supaya tidak terantuk atap seng yang akan menimbulkan
bunyi gaduh. Sesekali memang terdengar gemeretak seng seperti ada orang yang berjalan di atasnya. Dulu, aku
takut sebab mengira ada pencuri yang mau masuk rumah atau ada setan di luar sana ingin mengambilku. Kini aku
baru tahu kalau itu adalah proses seng kembali ke ukuran semula setelah siang tadi memuai karena dipanggang
panasnya matahari.

Sekarang aku telah tiba di tujuan. Lantaran bayanganku terlihat memanjang, aku pelan-pelan melongokkan kepala
dan menariknya kembali jika terlalu menjulur ke depan. Di salah satu sudut atas kamar inilah aku termangu
memandang perbuatan Ibu dan Bapak. Mataku tak berkedip dan menatap nanar seiring dengan debar yang
bergenderang seperti ada gendang ditabuh di dadaku. Sering begitu sejak pertama kali aku melihat adegan ini. Saat
aku masih duduk di bangku kelas dua sekolah dasar.

Akan kuceritakan, Kawan. Asal kamu mau menyimak dengan baik pengalamanku yang pahit, yang tak semestinya
kualami. Dulu.

***

Malam itu aku pulang larut malam. Lupa waktu saking asyiknya bermain di rumah teman, dia punya mainan baru,
video game. Aku pamit saat temanku itu sudah mengantuk. Mereka menyarankan sebaiknya aku menginap saja,
pagi-pagi benar baru pulang. Aku bakal dibangunkan dan orangtuanya akan bilang pada Ibuku. Tapi aku tetap mau
pulang. Belum pernah aku bermalam di rumah orang tanpa Ibu. Anehnya, Ibu tidak mencariku. Akhirnya aku
pulang sendiri. Kuberanikan diri karena jaraknya dekat, kami bertetangga sebelah rumah. Yang aku takutkan
anjing mulai menggonggong. Aku berlari dan berhenti setelah sampai di kolong rumah. Tempat tinggalku masih
rumah panggung yang hampir roboh waktu itu. Sedang direnovasi menjadi rumah batu. Pondasinya telah dibangun.
Aku lewat belakang, mengendap-ngendap menaiki tangga kayu. Istirahat sebentar di serambi. Aku melihat situasi
dalam rumah melalui lubang di papan, tempat aku memasukkan tangan untuk membuka palang pintu belakang.
Dan apa yang aku saksikan, belum cukup umur bagi seorang bocah yang baru saja pandai membaca. Mataku
membelalak tak berkedip mengamati tingkah laku orangtuaku. Mereka seperti bayi raksasa.

Aku menuruni tangga dengan perasaan hancur. Kembali berlari membawa hatiku yang kalut. Aku ingin marah
entah kepada siapa. Aku kembali ke rumah tetanggaku. Mulutku terkatup rapat, tenggorokanku tersumbat. Aku
hanya mematung, menunduk hampir menangis. Semuanya sudah tidur kecuali ibu dan kakak temanku. Mereka
hanya mengira aku tidak dibukain pintu. Ibu temanku menyuruh kakak lelakinya yang sudah SMA mengajakku
masuk, merangkulku bagai memapah orang yang terjatuh dan lututnya lecet. Aku disuruh cuci kaki sebelum masuk
kamarnya. Temanku sudah tidur di kamar orangtuanya.

Aku berbaring gelisah. Beberapa kali kupejamkan mata tetapi aku tidak bisa tidur. Adegan itu masih terbayang,
mencabut rasa kantuk. Kakak temanku berbaring di sampingku tapi juga tidak tidur. Karena tak lama, tangannya
meraba-raba tubuhku dan menyergapku dari belakang. Kurasakan napasnya memburu. Dia melucuti baju dan
melorotkan celanaku. Tubuhku bergetar menahan debar. Leherku terasa kering seperti dihisap. Dia membalikkan
badanku lalu menindihnya. Sakit, perih. Aku menggigit kain bantal. Perasaanku belum sembuh waktu itu, tapi aku
harus merasakan lagi luka, yang mungkin tidak ada obatnya.

Di luar sana kudengar Ibu berteriak memanggilku pulang dan dibalas oleh ibu temanku bahwa aku sudah tidur.
Padahal, aku sedang dibekuk tak berdaya, sampai kakak temanku itu habis tenaga. Dia kenakan kembali pakaianku
sebelum berbalik membelakangiku. Mendengkur, nyenyak sekali. Peluhnya masih tertinggal di badanku.
Sementara aku tergugu, gigiku saling beradu, bergemelutuk bagai menahan gigil. Kugigit satu persatu jari-jari
tanganku, berharap bisa menghilangkan nyeri. Ini rahasiaku. Akan kusimpan baik-baik. Sejak itu aku tahu masa
kecilku telah hilang.

Begitulah, Kawan. Aku tak mampu menyimpan rahasia ini, jadi kuceritakan saja padamu. Namun itu hanyalah
awal.

***

Lamunanku buyar ketika kudengar hujan turun memukul-mukul atap rumah. Satu-satu kemudian menderas.
Mengguyur kelamnya malam. Aku masih tetap duduk memeluk lutut dan membeku. Aku merasa basah. Andaikan
aku di bawah ranjang, mungkin aku dapat menyimak dengan jelas suara mereka yang mengerang disela bunyi
ranjang yang bergoyang. Tapi sayup masih bisa kudengar rintihan Ibu yang seperti disakiti. Terkadang mengejan
seperti orang buang air. Bahkan tak jarang suaranya hilang berganti desah bagai kehilangan napas.

Bapak lain lagi. Berteriak seperti lolongan panjang tapi tertahan. Merasuk ke telingaku menimbulkan kesan yang
dalam. Meraung serupa singa yang terluka. Aku pernah mendengar suara yang sama pada lelaki yang berbeda.
Adik lelaki bapak yang masih bujangan. Pamanku itu numpang tinggal sebagai tamu hanya beberapa hari sebelum
pergi meninggalkan benci di hatiku. Awalnya aku menyukainya karena baik padaku dan sering mengajakku jalan-
jalan mampir ke rumah temannya. Tapi sore itu mengubah segalanya.

Saat aku mandi tanpa menutup rapat pintu kamar mandi karena rusak, hampir lepas dari engselnya, hanya kutahan
dengan ember berisi pakaian kotor yang terendam, tapi tetap saja menyisakan cela untuk melongok ke dalam, dan
dia masuk ke kamar mandi tanpa keraguan sedikit pun. Padahal dia tahu ada orang yang sedang mandi. Apakah
lelaki itu tidak mendengar gemericik air yang bersimbah-simbah? Tentu aku kaget dan hanya bisa terhenyak serta
gugup. Matanya merah. Di mulutnya terkulum sebatang rokok yang membara dan asapnya mengepul ke mana-
mana. Sementara orangtuaku belum pulang dari pasar.

Kemudian pamanku itu kencing seolah-olah dia menganggapku tidak ada di sampingnya yang tengah telanjang
bulat. Lalu dia menyandarkan punggungnya di pintu kamar mandi hingga tertutup rapat. Menyingkirkan dengan
kaki, ember berisi cucian menjauh darinya. Timba di tanganku jatuh berdentang menimbulkan gaung yang lama.
Dia menarikku berlutut di hadapannya. Mengajariku merokok di pangkal paha. Ketika dia melenguh yang paling
aku ingat adalah, mataku membelalak dan berair yang bermuara di pelupuk. Setelah itu dia mengancamku. Aku
takut sekali. Dia melarangku bilang-bilang!

***

“Awas kamu Anto!”


Kawan, aku ketahuan. Entah di mana mata Ibu hingga bisa melihatku. Yang jelas mereka tetap melanjutkan, tapi
aku mesti beranjak dari persembunyianku ini sebelum mereka melabrak kamarku untuk memastikan aku tertidur
lelap. Biasanya aku tidak pernah mengunci kamar di malam hari. Jika Ibu tahu aku mengunci kamar berarti ia tidak
salah lihat, tadi aku berada di atas sana.

Dengan langkah tergesa-gesa aku berbalik ke jalur yang menuju kamarku, membawa perasaan cemas. Di luar,
hujan makin turun deras. Saat menegakkan badan sedikit kepalaku tertumbuk balok. Untungnya bukan seng
sehingga suaranya teredam meski sakitnya serupa disengat lebah. Gerakanku tidak terkontrol saking paniknya.
Kedua tanganku silih berganti memegang balok di atasku, menjaga keseimbangan. Kurasa ada seekor laba-laba
kecil hinggap di leherku, kutepis dengan cepat seperti memukul kulit. Barangkali dendam gara-gara rumahnya
kuberantas. Baru kusadari nyamuk berdengung menyerbu telingaku.

Aku menempelkan pantatku di permukaan tembok sambil menjulurkan kedua kakiku ke bawah, hendak turun.
Perlahan tapi pasti salah satu kakiku menjangkau gagang pintu. Dengan sigap aku membalikkan badan menghadap
tembok dan tepat saat itu kakiku yang satu lagi bertumpu pada pinggir meja belajar. Belum sempat aku menarik
napas ketika keseimbanganku goyah. Terpaksa aku harus terjun, melompat ke arah kasur busa yang tak jauh dari
situ. Tubuhku terhempas dalam. Kasur busa itu menggeliat seperti tidak mau ditimpa. Menolak badanku seperti
mendorong ke atas.

Aku menghirup udara banyak-banyak dan menghela habis-habisan. Telentang membuat perutku kembang-kempis.
Kuatur napas biar berirama kembali. Aku gerah sekali. Lekas aku beringsut dari pembaringan, mengganti pakaian.
Kuacak-acak rambutku, debu berhamburan bagai ketombe yang berjatuhan.

Pintu kamar Ibu terbuka. Buru-buru aku balik ke tempat tidur. Memeluk bantal erat-erat. Posisiku seperti udang,
tulang belakang melengkung. Kalau bisa aku ingin menggulung tubuhku sekecil mungkin. Aku merinding
menahan kencing. Terdengar gemericik air di kamar mandi. Suara gelas terisi air, diteguk dan diletakkan kembali.
Aku menunggu supaya tidak dihakimi malam ini. Berharap dan berjanji dalam hati akan membereskan semuanya
tanpa bekas, tanpa jejak.

Doakan aku, Kawan. Terima kasih! Doamu terkabul.

Lega tapi resah tak mau pergi dari hatiku. Aku dihantui bayang-bayang akan apa yang bakal terjadi besok?
Barangkali orangtuaku terlalu lelah buat membentakku malam ini atau mereka cuma menasehatiku untuk tidak
mengulanginya lagi? Mungkin juga hal ini tabu untuk dibicarakan dan mereka sedang berunding? Kali ini aku
tidak mendengar apa-apa selain gemuruh hujan.

Ketika bangun pagi aku merasa mataku sembab dan agak bengkak. Keluar dari kamar, Ibu sudah menghadang dan
bertanya, “Kapan kamu libur?”

Aku tidak menjawab, hanya menundukkan kepala karena merasa bersalah, sementara Ibu bosan menunggu.

“Baiklah, hari pertama kamu libur nanti, kita langsung ke rumah Pak Mantri. Kamu sudah kelas satu SMP. Astaga,
kok bisa sampai lupa! Sudah waktunya kamu disunat!”

Aku menganggap itu adalah hukuman buatku dan tanpa kusadari di hadapanku bukan lagi Ibu melainkan Bapak
yang sedang berkacak pinggang.

Depok, Januari- Juni 2008

Hipotesis Sebuah Parfum


September 25th, 2008 by andika destika khagen

Entah kenapa aku bertemu dengan Satria tadi pagi. Laki-laki jetset penganut kapitalisme. Aku juga heran, kenapa
kali ini aku terkesima. Bukan karena ketampanan laki-laki bangsawan itu, lebih karena bau parfumnya. Dari jarak
dua meter tempat aku duduk, parfumnya—entah merek apa—tercium. Sangat wangi. Kunikmati wewangian itu
agak lama. Sedikit kupejamkan mata. Aku baru tersadar ketika wewangian itu dikalahkan oleh bau badanku
sendiri.

Naluriku tersentak. Sejak itu aku ingin beli parfum. Merek apa saja, asalkan wangi. Pikirku, bukan untuk menggaet
perempuan dan berbeda dengan teman-teman aktivis lainnya. Aku cuma ingin menghargai diri sendiri. Ya, badan
ini mesti diubah komposisi wewangiannya.
Ini pertama kali aku punya keinginan beli parfum. Biasanya, sabun mandi saja sudah terasa cukup membasuh
badan lusuh ini. Toh, orang yang kuhadapi tiap hari hanya itu-itu saja: Sardi, Rusni, Rinto, dan Rini. Bau badan
mereka, termasuk juga aku, tak ada yang bisa membedakannya. Bau amis ketiak dan keringat menjadi satu
membentuk aroma yang tidak sedap. Kami tak pernah menghiraukannya. Itulah bau terindah yang selalu kami
hirup. Aku pikir, wajar adanya dan kami tak pernah mempermasalahkannya. Wangi atau tidak hanya sebuah
perumpamaan dan bentukan sosial dari keadaan. Untuk itulah, parfum bukan menjadi kebutuhan pokok.

Parfum hanya pantas dimiliki bagi mereka yang berpasangan. Menarik lawan jenis dengan parfum memang bukan
hal yang biasa lagi. Tak ada rasanya orang yang berani duduk di dekat pasangannya dalam keadaan amis. Ah,
bahkan bau keringat pun tak ada lagi orang yang menghargainya!

Tapi, memang ada yang berbeda dari parfum. Itu yang baru saja kukenali. Pikiranku sedikit keliru. Pelajaran itu
kudapat dari Satria.

“Tak apalah menyisihkan sedikit uang untuk menghargai diri sendiri.”

Tak mahal harga untuk sebuah parfum. Pasar selalu memberikan kemudahan bagi penganut konsumerisme. Tujuh
ribu rupiah, harga sebuah parfum (aku belum mampu membedakan antara parfum dengan splash cologne. Pikirku,
setiap yang wangi adalah parfum). Kupilih aroma terapi. Di antara puluhan yang berjejer di rak swalayan, cuma
aroma terapi yang membuat hidungku merasa nyaman.

***

Inilah langkah terindah yang pernah kuayunkan. Lima kali semprot, dari ketiak sampai buah baju, rasanya terasa
cukup membuatku lebih menikmati hari. Setidaknya, bau amis berganti menjadi aroma terapi.

“Aku telah menghargai diri sendiri di antara orang-orang yang selalu memikirkan orang lain.”

Setiap senyum kuanggap kasiat parfum.

Aroma terapi menyebar ke seluruh penjuru sampai sudut yang tak terhingga. Dari ujung ke ujung. Dari tatal ke
tatal. Aku bangga membuat dunia menjadi wangi. Rasanya, dunia memang butuh aroma mengganti bau amis darah
yang tiap hari keluar dari perut ibu pertiwi.

Aku merasa beruntung bertemu Satria tadi pagi. Pertama kalinya, Satria tak lagi jadi bahan diskusi kami. Ia jadi
pahlawan sekarang. Parfum ini membuat orang-orang menyapaku. “Senyummu indah Kus.”

Auraku sedikit bertambah. Senyumku lebih mengembang. Inikah alasan orang-orang pakai parfum? Parfum,
parfum, oh, kenapa tidak semua orang sadar akan wewangian?

Wajar saja Bidin jadi Walikota. Ia tentu pakai parfum yang harum dengan harga yang sama dengan uang kuliahku
dua semester. Dibeli di Jerman atau Amerika. Parfum di sana tentu lebih harum daripada yang dijual di swalayan-
swalayan yang hanya untuk kaum konsumerisme kelas menengah ke bawah. Atau mungkin juga dibeli pada
paranormal. Mereka biasanya menawarkan parfum dengan aroma yang berbeda. Diolah sendiri. Katanya, kasiatnya
lebih manjur daripada yang dijual dipasaran. Tidak semua orang yang bisa membeli parfum pada paranormal.
Biayanya lebih besar daripada membeli parfum buatan Jerman atau Amerika. Kelebihannya mungkin terletak pada
wangi natural yang ditawarkan. Bukankah tidak ada orang yang suka dengan bau amis?

Tak apalah. Parfum harga tujuh ribu saja rasanya sudah cukup untuk mahasiswa yang tak pernah punya anggaran
membeli parfum. Parfum Walikota tentu tak bisa aku beli dengan alat tukar yang hanya berjumlah tujuh lembar
uang kertas bergambar Kapiten Pattimura.

“Rambutmu rapi, Kus.”

Tiga orang yang berpapasan, mengeluarkan pujiannya. Tapi sayang, mereka tidak berkata, “Bau keringatmu
berbeda hari ini.” Oh, aku baru saja tersentak. Parfum ini telah menular ke rambut, wajah, dan senyumku.

Siapa lagi yang akan memujiku? Aku rindu pujian sebanyak mugkin untuk meyakinkan pada dunia bahwa wangi
itu penting. Bau keringat yang diberikan Tuhan harus dilawan dengan aroma terapi. Bau parfum ini sama halnya
dengan sedikit demokrasi yang dirindukan warga Pakistan pasca tertembaknya Benazhir Bhutto.

Parfum ini harus dinikmati semua orang—minimal warga kampus ini. Atau setidaknya lagi teman-teman diskusi.
Mereka mesti diberi penyadaran bahwa parfum itu penting. Kesadaran akan wangi benar-benar harus ditanamkan.
Diskusi dengan bau badan amis tak lagi menarik bagiku. Kodrat dan kebutuhan mesti diletakkan pada tempat yang
semestinya. Bau badan bukan kodrat, tapi kebutuhan.

“Celanamu baru, Kus.”

Apakah parfum ini menular juga ke celanaku? Roni, yang baru saja menyapa, bahkan tidak bisa membedakan
celana yang baru dan usang. Untuk beli parfum saja aku harus rela mengorbankan makan siang. Tidak sempat pula
kiranya untuk beli celana baru. Luar biasa, parfum ini ternyata membuat dunia menjadi absurd. Wewangian ini
begitu sempurna. Semua yang lusuh kelihatan baru; rambut yang tidak berminyak kelihatan rapi; dan senyum yang
kusam menjadi mengembang. Betapa kasiat ini tak pernah diduga sebelumnya!

Keterkejutanku berikutnya terus bertambah. Semakin menakjubkan. Hidung-hidung manusia ditusuk seperti
kerbau. Hidung-hidung itu punya kesimpulan yang sama: parfum di badanku begitu menggoda dengan aroma
terapi. Cuma lima kali semprot di setiap sisi yang dirasa perlu.

Bahkan Suci, seorang gadis berkepala batu hari ini mencair. ”Kau begitu berbeda hari ini, Kus. Celanamu beli di
mana?” Aku tersentak dan harus terima dengan perubahan yang serba tidak jelas ini. Apalagi melihat senyum Suci.
Untuk pertama kalinya Suci membagi senyumnya kepada orang yang tak pantas menerima senyuman. Lagi-lagi
parfum ini mempesona.

Apalagi yang kuharapkan dari parfum? Semuanya terlihat begitu sempurna. Walau belum tentu nyata. Inilah
sebenarnya yang diharapkan dari parfum: sebuah kamuflase akan tampilan bentuk. Aku menikmatinya. Sama
halnya dengan kenikmatan orang-orang pada umumnya akan tampilan bentuk.

“Sepatumu bagus, Kus. Kapan kamu beli?”

Apalagi ini? Hey, ini jelas tidak benar. Benar-benar tidak bisa diterima. Kelewatan. Nalarku berjalan. Kenapa tidak
ada yang bisa membedakan antara dua hal yang jelas berbeda? Sepatu ini jelas sudah lusuh. Tiga lobang menganga
di sisi kiri dan di depan. Kenapa Rudi bilang baru? Sedikit pun tidak ada tanda-tanda sepatu ini baru. Orang yang
bilang sepatu yang aku pakai baru, perlu diragukan otak yang sedang dibawanya.

Tapi, astaga, setelah berpapasan dengan Rudi, semua orang bilang sepatuku baru. Apakah mereka semua sudah
gila? Hipotesis ini begitu membingungkan. Ustadz Hamzah juga bilang sepatuku baru. Tentu ia tidak sedang
bercanda, apalagi berdusta. Hipotesis ini benar-benar membingungkan.

Parfum ini ternyata jauh lebih membingungkan. Baru dan usang tak ada yang bisa membedakan. Bagus dan buruk
tak jelas lagi mana batasnya. Gawatnya, tak ada yang sadar bahwa yang dilihat tidak seperti yang sedang aku
pakai!

Aku teringat akan kemunculan parfum ini ketika keluar dari toko. Pelbagai keanehan muncul. Sepertinya tubuhku
tak lagi mutlak menjadi milik pribadi. Seharusnya aku bangga dengan keadaan ini, tapi tidak dengan sepatu.

***

Lima semprot parfum beraroma terapi ini membuatku tak habis pikir. Semua yang ada, jelas nyata, berlawanan
dilihat, meskipun ia seorang yang harusnya bisa dipercaya. Aku mulai curiga pada parfum ini. Isinya masih
banyak, jika aku pakai, dua bulan baru parfum itu akan habis digunakan.

Setiap senyum kuanggap kasiat parfum.

Aku teringat Satria. Semua benda yang menggantung di leher, terpakai di badan, dan diletakkan di dekat kaki,
adalah barang konsumtif dengan harga tak terkira—mungkin juga tak terjangkau. Jika keadaannya setelah ia pakai
parfum, bagaimana orang melihat baju, senyum, dan sepatunya? Tentu jauh lebih bagus dari yang sekarang
dikenakannya. Sepatu lusuh saja terlihat baru. Bagaimana dengan sepatu baru? Tentu orang akan memandang new
baru atau double baru. Aku ngeri membayangkan Walikota yang menggunakan parfum yang dibeli dari Jerman dan
Amerika. Tak ada lagi keburukan yang akan menganga karena semuanya ditutupi dengan bau parfum.

Pantaslah banyak orang yang membeli parfum sampai ke luar negeri. Menghabiskan uang dengan hal, bila
dibandingkan dengan kaum duafa, tak pernah terpikirkan untuk menggunakannya.

Bagaimana dengan orang yang tak pakai parfum? Aku hanya mampu mengatakan bahwa parfum itu penting,
setidaknya untuk mengurangi bau amis. Tapi apakah bau amis mesti ditutupi? Bukankah ada pepatah mengatakan
”Sampai manapun, bau yang busuk tetap akan tercium.”
Pertentangan antara kebutuhan dan keinginan berkecamuk. Kebutuhan mengatakan bahwa tak perlu ada parfum
toh tujuannya mengaburkan makna yang sebenarnya. Di lain hal, keinginan tentu tak tega memperbiarkan bau
busuk mengotori udara yang tak lagi bersih. Tapi, ah, aku bingung dengan kata makna.

“Dari mana saja kau, Kus?”

Ini keterlaluan. Hari-hariku dihabiskan hanya di kampus ini. Aku tak pernah kemana-mana. Kos-kampus-sekre
tempat diskusi adalah tempat yang tak berubah kulalui dari waktu ke waktu. “Kau jelas mengada-ada, Rinto.” Aku
mulai tidak tahan lagi dengan perlakuan parfum ini.

“Aku baru saja melihat kau di Pasar Raya.

Oh, bahkan tubuhku sudah diduplikasi oleh parfum ini. Satu di tempat penuh kebohongan, satu lagi di lingkungan
akademis. Dua tempat ini begitu berbeda sangat. Rinto melihatku di pasar, juga di sini. Aku tidak akan terima ini.

“Aku selalu di sini Rinto, tidak ke mana-mana. Mari kita mulai saja diskusi ini.”

Parfum ini harus segera dibumi hanguskan. Di buang sejauh-jauhnya sampai tidak terlihat oleh Tuhan sekalipun.
Dikubur sedalam-dalamnya sampai di bawah tanah yang tidak terjangkau oleh cacing.

Sampai sekarang, sejak lima semprotan aroma terapi tadi pagi, tidak pernah ada yang bilang, “Bau keringatmu
berbeda hari ini.” Sebenarnya hanya itu yang kuharapkan dari tadi pagi. Rasanya tidak berlebihan, karna hari ini
berbeda dari waktu yang sebelumnya. Setidaknya, tidak lagi bau keringat.

Tak seorang pun yang tahu aku pakai parfum. Ketika kutanyakan pada Rini, ia hanya bilang, “Kau tetap bau
keringat, Kus.” Tidak ada yang berubah, tetap bau keringat dan amis.

“Yang berubah pada dirimu adalah, kau serba baru sekarang. Celana, baju, sepatu, dan senyummu begitu indah,
Kus.”

Tak ada lagi ampun, parfum itu mesti dibuang. Kalau bisa, dikembalikan lagi ke swalayan. Tujuh lembar uang
yang bergambar Kapiten Pattimura, yang seharusnya digunakan untuk makan siang, tidak bisa diganti dengan
ketidakbenaran yang diciptakan oleh parfum ini. Hipotesisku baru saja selesai: wangi parfum membuat orang lupa
akan sepatu buntut!

Oh, ke mana hilangnya parfum yang kutaruh tadi pagi di atas meja?***

Ibu dan Anak


Januari 28th, 2008 by Anekdot

Entah berapa umurku saat itu. Dua tahun. Atau mungkin tiga tahun. Sepertinya tiga tahun. Aku sedang duduk di
tempat tidur. Atau mungkin sedang berbaring. Aku lupa lagi. Tapi yang jelas pintu kamar terbuka. Terdengar
suara-suara bernada tinggi. Apakah aku menangis ketika itu? Mungkin. Iya, aku menangis. Menangis karena apa?
Lapar? Popok yang belum diganti? Haus? Atau aku hanya ingin mengeluarkan air mata saja? Tapi sepertinya aku
menangis karena suara-suara itu. Suara-suara bernada tinggi yang menakutkan. Suara-suara yang belum bisa
kumengerti kata-katanya. Suara-suara dari kedua orang tuaku.

Plak. Aku masih mengingatnya dengan jelas. Suara tamparan itu. Suara tangan ayahku yang menyentuh pipi ibuku.
Suara yang kemudian berlanjut kepada tangisan. Tunggu. Tangisan siapa? Aku atau ibuku? Aku sudah berhenti
menangis. Tampak ibuku berurai air mata.

Di mana aku? Aku berada dalam kebingungan. Aku berada di dalam suatu kendaraan panjang dengan kursi-kursi
ganda di setiap sisinya. Aku berada di pangkuan ibuku. Tampaknya aku baru terbangun dari tidur lelap yang
panjang. Ibuku tersenyum kepadaku. Ia mencium pipiku.

Aku melihat keluar jendela. Tampak sebuah jembatan. Atau seperti sebuah monumen. Aku tak bisa
menjelaskannnya. S-E-M-A-R-A-N-G. Begitulah huruf-huruf yang tertulis. Tapi aku masih belum bisa membaca.
Kendaraan itu berhenti. Para penumpang mulai keluar melalui pintu. Termasuk ibu dan aku. Panas. Itu yang aku
rasakan untuk pertama kali ketika keluar dari kendaraan itu. Cuaca panas yang gerah. Tidak seperti biasanya.

Tampak seorang lelaki yang berjalan menuju ibuku. Lelaki itu memanggil nama ibuku. Ibuku menyahut. Mereka
berdua saling menghampiri. Tampak dari muka mereka suatu perasaan senang dapat bertemu. Lelaki itu, lelaki
yang bukan ayahku.

Entah berapa lama aku tinggal di kamar itu. Udara yang panas dan gerah membuatku tidak betah. Kalau tidak salah
badanku menjadi merah karena gatal.

Lelaki itu cukup baik kepadaku. Dia membelikanku boneka. Dia juga sering memberiku permen dan coklat. Dia
sering mengajak aku dan ibuku berjalan-jalan. Aku sering menemukan diriku di tempat yang asing dan baru.

Kadang-kadang suka teringat wajah ayahku. Mungkin aku kangen kepadanya tapi sepertinya tidak juga. Lelaki ini
baik kepadaku. Dan ibuku juga tampak gembira.

Sudah berapa lama aku tinggal di kamar ini?

Wajah-wajah dari orang-orang yang kukenal. Ayah, dua orang yang dipanggil mama dan papa oleh ibuku, seorang
wanita dan seorang lelaki yang mukanya mirip dengan ibu.

Mereka semua sedang mengelilingi ibuku. Mereka tampak sedang berbicara pada saat yang hampir bersamaan.
Raut muka mereka tampak sayang, kesal, dan lega. Suara mereka mengisyaratkan rasa kesal dan menyesal. Aku
menyadari bahwa aku sudah tidak tinggal di kamar itu lagi.

Baru beberapa tahun kemudian aku akan tahu tentang arti dari semua ini. Kenapa ibuku sampai lari dan kenapa
ibuku ditemukan kembali. Apa yang telah dia lakukan dan apa yang telah dia jalani.

Tampak ibuku menyesal. Ayahku juga terlihat menyesal.

Ibuku sedang menangis di antara orang-orang itu.

Aku sudah lebih dari dua tahun tinggal di rumah Ua.

Ketika itu namanya masih Ebtanas. Aku masih belum tahu akan melanjutkan SMP ke mana. Apakah tetap di
Jakarta atau kembali ke Bandung.

Orang tuaku mengatakan bahwa itu terserah kepadaku. Aku bingung. Aku disuruh menetapkan keputusanku
sendiri. Seorang anak berumur 11 tahun disuruh memilih jalan hidupnya sendiri.

Rasa sakit itu kembali menyerang. Rasa sakit yang tidak tanggung-tanggung pada bagian perut dan payudara.
Entah sejak kapan aku jadi suka merasa gelisah dan depresi tanpa alasan yang jelas. Udara Jakarta yang panas dan
gerah membuat keringatku semakin berceceran. Entah sejak kapan keringatku jadi bau.

Mengapa aku sekarang tinggal di sini? Ayah sebetulnya tidak terlalu setuju aku tinggal dengan Ua di Jakarta. Aku
juga sebenarnya tidak terlalu antusias. Ini kehendakmu kan, Ibu? Ibu kan yang tampaknya benar-benar ingin aku
tinggal dengan Ua.

Kenapa? Apakah aku merepotkan ibu? Apakah ibu tidak mau mengurusku? Apakah aku menjadi benalu dalam
kehidupanmu?

Rasa sakit itu semakin merajalela. Kepalaku mulai terasa pening dan pusing. Ibu, di mana kau berada saat
menstruasi pertamaku?

Seperti de ja vu. Tamparan itu. Oleh orang yang sama. Kepada orang yang sama. Hanya di tempat dan suasana
yang berbeda.
Dago. Di tempat umum. Ayahku menyeret ibuku keluar dari mobil seorang laki-laki teman kerjanya. Orang-orang
melihat kejadian itu. Ayahku ditenangkan oleh seorang tukang baso. Ayahku tampak menjelaskan
permasalahannya.

Aku melihatnya dari kaca mobil ayahku. Aku kesal, bingung, sedih, dan malu. Aku tidak tahu harus berpihak ke
mana. Aku hanya seorang anak ABG. Aku sedang dalam masa pubertas.

Ayah, kenapa kau tega sekali kepada ibu? Ibu, apa yang telah kau lakukan hingga suamimu marah besar?

Aku tidak tahu harus berpihak ke mana.

Sepasang sepatu yang asing tampak di depan pintu. Terdengar suara ibuku dari dalam rumah. Terdengar juga suara
lelaki asing.

Kulihat dari jendela dua manusia sedang ngobrol dengan santai sambil sesekali bercanda. Aku melangkah masuk
ke dalam rumah. Mereka menengokkan kepala kepadaku.

Entah apa yang kurasakan saat itu. Emosi macam apa yang kurasakan saat itu. Mungkin aku memang seorang
wanita liar. Atau lebih tepatnya seorang remaja liar. Mungkin memang masa putih-abu adalah masa
pemberontakan. Masa di mana emosi dan mental ditantang.

Tanpa pikir panjang aku ambil vas bunga di meja. Aku lempar vas itu ke lelaki bajingan di depanku. Tepat
mengenai kepalanya. Vas itu pecah berantakan. Tampaknya dia menjadi tidak sadarkan diri.

Muka ibuku yang panik. Tubuhnya yang menghampiri lelaki itu. Muka ibuku yang tidak bisa aku definisikan.

Setelah itu aku tidak bisa merasakan apa-apa. Aku tidak merasakan apa-apa. Kepuasan, kemarahan, kesedihan,
atau kesenangan. Aku tidak tahu. Aku merasa hampa.

Sudah kesekian kali telepon berdering. Aku akhirnya mengangkatnya juga. Suara nenekku terdengar tua di
telingaku. Aku tahu alasan dia menelepon.

Beberapa jam yang lalu ibuku baru menikah. Wanita itu baru resmi bercerai dengan ayahku dua minggu yang lalu.
Sekarang sudah menikah lagi.

Setengah jam yang lalu ibuku menelepon. Aku bentak-bentak dia. Aku menyebutnya dengan berbagai macam
nama. Aku membuatnya menangis.

Nasihat-nasihat nenekku terdengar hampa. Aku tidak menaruh perhatian satu persen pun pada omongan wanita tua
itu.

Aku teringat pada ibuku. Aku membayangkan pernikahannya. Aku membayangkannya dalam baju kebaya. Pasti
dia terlihat cantik sekali.

Ibu. Aku tidak membencimu tapi aku tidak bisa menemukan alasan untuk menyayangimu. Menyayangi seorang ibu
seperti seharusnya seorang anak.

Sembilan bulan. Apakah itu cukup? Apakah itu satu-satunya alasan?

Pernikahan yang sederhana dan simpel. Itu yang kuinginkan. Itu yang kurasakan.

Kepuasan itu semakin besar karena seseorang. Orang itu tidak datang. Aku memang tidak mengundangnya.

Orang itu tidak suka dengan calon suamiku. Orang itu bersikeras bahwa aku tidak boleh menikahinya. Orang itu
mengatakan bahwa aku tidak akan bahagia. Orang itu mengatakan bahwa itu semua demi kepentinganku.

Penolakanmu semakin memuaskanku. Sikap seolah-olah kau peduli semakin memuaskanku.


Jangan sampai kamu merasakan apa yang kurasakan.

Jangan sampai kamu melalui apa yang kulalui.

Aku tidak percaya kalau kau mengatakan itu.

Ibu, sejak kapan aku harus mendengarkanmu?!

Hidup adalah alunan waktu yang tidak akan pernah kembali lagi. Tahun-tahun yang kulewati dalam kekangan
komitmen palsu ini terasa hampa dan menyebalkan.

Aku melihat foto pernikahanku. Kukenang saat itu. Tapi sesungguhnya tidak ada yang bisa kukenang.

Aku mengakuinya. Wanita itu memang benar. Dari awal aku memang tahu kalau wanita itu benar. Aku hanya ingin
membalasnya. Aku hanya ingin merasa puas.

Ternyata aku hanya memainkan diriku sendiri. Aku mempermainkan hidupku sendiri.

Aku menggosok debu pada foto pernikahanku. Tepat delapan belas tahun yang lalu. Sudah delapan belas tahun.
Apa yang kurasakan? Aku tdak merasakan apa-apa. Aku tidak merasakan cinta seorang suami.

Buah hati. Ketika aku melihatnya aku melihat diriku sendiri. Luar dan dalam. Jasadnya adalah aku. Hatinya adalah
aku. Buah hatiku adalah reinkarnasi diriku.

Entah sudah berapa lama aku tidak menangis selama ini.

Cimindi.

Rumah itu adalah rumah yang paling strategis di dunia. Pasar, jalan raya, stasiun kereta api, dan bandar udara.
Rumah itu terletak di tengah semuanya. Rumah bekas jaman penjajahan Belanda yang tidak terawat. Kulit tembok
yang warna aslinya putih sudah mengelupas di mana-mana.

Siang hari. Di tengah kebisingan dunia, aku berdiri di depan pintu kayu besar rumah itu. Aku mengetuk pintunya
dan mengucapkan salam. Seorang wanita tua membukanya.

Bagaimana menyebutnya? Karma? Aku tidak percaya dengan kata itu. Aku hanya percaya bahwa segala sesuatu
yang kita lakukan pasti akan mendapatkan balasan yang setimpal. Mempunyai arti yang sama dengan kata karma
tapi tetap saja aku tidak percaya dengan kata itu.

Wanita tua itu tersenyum padaku. Aku tersenyum kembali padanya. Aku mendekatinya dan mencium tangannya.
Sudah berapa lama aku tidak mencium tangan itu. Sudah berapa lama aku tidak membaui tangan itu. Sudah berapa
lama aku tidak berjumpa dengan ibuku.

Pada akhirnya aku mengerti. Pada akhirnya aku dapat mengerti. Setiap orang mempunyai jalan hidupnya masing-
masing. Ibuku mempunyai jalan hidupnya sendiri yang dia pilih dengan segala macam pertimbangan. Aku tidak
berhak merasa marah atau tidak senang dengan pilihan hidupnya. Aku hanya kecewa tapi sekarang aku dapat
mengerti.

Karma.

Kata itu muncul kembali dalam benakku.

Buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya.

Like mother like daughter.

Sudah berapa lama aku tidak berbicara dengannya?

Karma…
Ibu, bagaimana ibu dulu menghadapiku?

TAMAT

Perempuan Tepi Mekong


Oktober 7th, 2008 by radiani

Ayolah! Coba kau cari di mana airmata kesedihanku tersimpan! Kau tak kan pernah menemukannya. Karena aku
sendiripun tak tahu dimana letak airmata kesedihanku. Kalau airmata tawa aku punya berliter-liter. Tiap malam
mengucur deras dari sudut mataku sebanyak botol Lau Lao yang kutengak. Minuman alkohol kelas rakyat khas
Laos itu menghangatkan tubuhku dari terpaan angin sungai Mekong. Tanktop dan rok mini tipisku serasa bagai
gumpalan selimut bulu domba. Lau Lao selalu menguatkan hari-hariku di sudut kota Vientiane yang ramai ini.
Satu-satunya bagian kota yang selau ramai dengan kehidupan malam. Bagian kota yang lain sudah sepi seperti
pemakaman Prancis yang megah dengan nisan berpilar pualam. Minuman keras itu menjaga tawa dan
kegembiraanku setiap hari. Hingga tak kukenal lagi kesedihan. Airmataku hilang tiap bulirannya melayang entah
ke alam apa.

Atau aku terlahir dengan hati batu, hawa salju. Seumur hidupku tak kurasakan airmata kesedihan. Tak pernah
kurasakan hangatnya tetesan mengalir hangat merambati pipiku. Berakhir di ujung dagu. Seperti apa warnanya?
Berkilauankah bagai bulir permata menggelinding dari mata, atau kehitam-hitaman tercemar eyes shadow?
Airmata tawaku kehitam-hitaman, sengak bau alkohol.

“Sabai dee, phii huk! ( Apa kabar sayang!)” Seorang Thailand menyapaku. Sapaan itu adalah ajakan untukku. Uh!
hari masih terlalu pagi untuk masuk kamar lagi. Keluasan langit malam ini baru saja kurasakan. Kebebasan udara
belum lama kuhirup penuh-penuh. Paru-paruku rasanya belum setengah terisi. Aku bangun jam empat sore. Santai-
santai berdandan mematut-matut wajah di potongan cermin retak. Sambil sesekali melempar pandang ke televisi
yang siarannya tak kumengerti. Penyiar berwajah cantik itu berkali-kali bicara dengan bahasa tingkat tinggi, istilah
sulit, bahasa orang terpelajar. Baru setengah jam aku berdiri di depan klub ini. Belum lama kulitku terkena udara.
Rokokku baru setengah kuhisap, masih malas untuk kembali ke ranjang. Lagipula aku lebih senang melayani tamu
bule atau negro, uangnya lebih banyak. Tamu Asia tak menyenangkan. Rewel dan banyak tuntutan.

“Bor! Bor! ( Tidak! Tidak!),” tolakku. Senyum segera lenyap dari wajah Thailand. Secepat kilat berubah jadi
cibiran akibat penolakanku. Cuh! Dia meludah di hadapanku. Huh! Sayang katamu? Sudah lama kata itu jadi hantu
buatku. Menakutkan! Aku sering kecewa karena percaya pada kata itu. Seperti juga yang terjadi padamu Thailand!
Sayangmu itu dalam semenit telah berubah jadi ludah yang jatuh ke tanah kotor.

Ibuku bilang, ia sayang aku. Tapi ia memukuliku sebagai ungkapan sayangnya. Tanpa dijelaskan dulu kenapa
sayangnya diwujudkan dengan menampar pipiku, atau memukul kakiku dengan tongkat. Ayahku bilang, aku anak
kesayangannya, tapi waktu Ibu menyiksaku dengan kasih sayangnya. Ayah tak membelaku tapi membelaiku
dengan sumpah serapah.

Pamanku bilang, ia adalah dewa penyelamatku. Aku akan dilimpahinya dengan banyak kasih sayang. Lalu
dibawanya aku ke Vat Xieng Gneun. Sebuah jalan di tepian Mekong. Sisi barat kota Vientiane. Dijualnya aku
disana. Paman tak salah. ‘Sayang’ memang benar-benar melimpah ruah di tempat ini walau hanya sebatas kata-
kata. Murah meriah bertebaran di mana-mana. Membuatku semakin yakin bahwa sayang yang sebenarnya tak
pernah ada di muka bumi ini.

Sayang tak pernah ada bila tak ada uang. Ibu memukul karena kehabisan pangan. Ayah marah karena tak tahu cara
untuk menambah penghasilan. Paman hanya memanfaatkan kesempatan melihat kemiskinan. Semua itu
membuatku harus berkorban demi kasih sayang kepada keluarga. Atau demi apa aku tak paham. Apa demi adik-
adikku yang berjumlah lima orang? Atau untuk Ayah yang tak mampu bertanggung jawab, karena sebagai petani
kecil penghasilannya juga kecil. Mungkin hanya sekedar mengendorkan saraf Ibu, yang selalu menegang bila
melihat adik-adikku berebut makanan. Bisa juga untuk menambah modal berjudi Paman. Sungguh sayang yang
menyakitkan.

“Chau sa bai dee bor? (Apa kabarmu baik saja)” Oley pengemudi tuk-tuk tertampan di sepanjang Vat Xieng
Gneun, menanyakan kabarku hari ini.
“Dee Chai (Baik saja),” jawabku sambil mengalihkan pandang. Tatapan mata Oley selalu membuatku bergetar.
Hatiku mengeligis pedih, aku sadar akan perasaan yang sedang tumbuh di hatiku. Perasaan yang ditimbulkan
tatapan mata Oley

“Thuppy, koi hak choi ( Thuppy, aku cinta padamu).”

“La kon Oley! ( Sampai jumpa Oley).” Aku mengusirnya. Bukan karena aku tak suka tapi karena keberadaan Oley
yang begitu dekat membuatku salah tingkah, aku jadi tak bisa menjajakan senyumku dengan baik. Bisa-bisa
senyumku tak laku malam ini, karena terlihat kaku. Tatapan mata Oley sering membuatku beku. Apalagi
pernyataan cintanya, hatiku kaku-kaku tak bisa bergerak bila Oley berkata begitu.

Kata cinta itu telah begitu banyak meluncur dari mulut Oley. Tapi tak sedikit pun aku memberinya kesempatan
untuk berkata lebih dari itu. Tak kuberikan sedikitpun kesempatan pada diriku untuk mendengar lebih dari itu.
Seandainya aku bukan pelacur dan Oley bukan penjaja mariyuana yang berkedok supir tuk-tuk. Kami pasti sudah
beranak dua tahun ini.

Andai aku tak terdampar di jalan kelam ini. Dan Oley masih menggarap ladang orang tuanya di Luang Prabang.
Kami pasti bisa membentuk keluarga kecil yang tenang. Dengan kesederhanaan. Tanpa kemeriahan yang
memabukkan seperti di jalan ini. Hanya desah sawah, derai sungai, berisik jengkerik yang memenuhi hari-hari.

Perkawinan seorang pelacur dan penjaja mariyuana tak akan berjalan lancar. Perkawinan Jay dan Kova hanya
berjalan tiga bulan. Dan yang tiga bulan itu merenggut semua senyum Kova. Sekarang tanpa mariyuana Kova
teronggok lemas tak berdaya. Aku tak mau itu terjadi padaku. Aku tak mau kehilangan senyumku hanya karena
cinta Oley.

Aku ini perempuan yang harus selalu tersenyum. Karena tanpa senyum aku tak bisa menyambung hidupku. Aku
harus selalu tersenyum karena senyum adalah bagian dari pekerjaanku. Pelanggan akan memberi uang lebih, bila
aku lebih banyak memberinya senyuman. Senyumku adalah hidupku. Senyum model apapun itu. Senyum manis
yang mengundang, senyum nakal dengan sedikit godaan, atau senyum puas sesaat sesudah melayani. Senyum tak
boleh lepas dari bibirku.

Aku selalu tersenyum. Ketika sedang duduk menunggu pelanggan, ketika telentang di hadapan lelaki hidung
belang, ketika hari teriris sepi di sudut tikungan jalan. Saat menatap Oley yang termangu di belakang kemudi tuk-
tuk terbungkus asap rokok. Senyumku untuk setiap kata sayang yang terucap. Senyumku untuk setiap lembaran
kip, dolar, atau bath. Mata uang negeri manapun. Senyumku yang palsu untuk setiap kata sayang yag juga palsu
itu.

Bibir ini sekarang sudah jadi mesin senyum saja. Kompak dengan mataku. Kata orang mata tak bisa bebohong.
Tapi mataku bekerja sama dengan bibirku adalah pembohong yang ulung. Mereka membohongi semua orang
dengan senyum dan kerling. Membohongi hatiku yang selalu merasa muram.

Oley melambaikan tangan dengan wajah sendu, setiap aku digandeng lelaki untuk diajak kencan. Malam ini pun
dia hanya memandang saja ketika aku sengaja lewat di depan tuk-tuknya mangkal. Sambil menyandarkan kepala
pada bahu seorang negro kupandang wajahnya yang tampak pasrah. Uh! Kenapa tak kau tonjok saja negro mata
keranjang ini! Bawa aku lari dengan tuk-tukmu, seperti seorang super hero yang muncul dari langit dan
membawaku terbang ke angkasa.

Bukankah seharusnya ia cemburu? Bila ia memang punya cinta untukku. Cinta dan cemburu seperti sendok garpu,
tak lengkap bila salah satu tak ada. Tapi tetap saja bisa digunakan walau pasangannya tak ada. Sendok bisa
digunakan tanpa garpu begitu pula sebaliknya. Bisa cinta atau cemburu saja, atau tidak keduanya sekaligus. “Jadi
seperti apa cintamu itu? serasa apa sayangmu itu? Oh, Oley sampai hari ini aku hanya mendengarnya terucap dari
mulutmu saja. Kurasa itu perlu dibuktikan lebuh dulu. Entah dengan cara apa. Aku tak tahu Oley.”

Selembar kertas terjatuh dari tanganku, aku menemukannya terselip di bawah pintu. Tanganku bergetar tak
sanggup menyangga beban yang tertulis di atasnya.

Aku tak tahan melihat senyuman di bibirmu Thuppy. Betapa aku ingin juga meikmati senyummu seperti banyak
laki-laki lain. Tapi aku terlalu mencintaimu. Aku tak bisa menyikapimu seperti semua laki-laki itu. Seandainya aku
elang, akan kusambar tubuhmu. Kubawa ke sarangku di puncak tebing curam yang tak terjangkau mahluk
apapun. Hanya ada kau dan aku. Tapi aku dan kau seperti Laos dan Thailand. Hanya tipis terbatasi Mekong.
Begitu dekat tapi tetap saja di seberang.

Maafkan aku Thuppy, Pada kenyataanya aku terlalu pengecut. selamat tiggal Thuppy.
Oley

Membaca surat Oley, ada rasa panas yang keluar dari dada. Merambat ke atas ke arah kepala. Hendak menuju
mata, Tapi terhenti sampai di leher saja. Senyumku menghambatnya. Akibatnya leherku terasa tercekik.

Aku ini perempuan yang selalu terseyum. Apapun yang terjadi aku selalu tersenyum. Cobalah kau cari dimana
airmata kesedihanku tersimpan. Tak mungkin ditemukan. Karena sekarang aku yakin aku tak memilikinya.

Aku tetap tersenyum. Bahkan ketika kulihat mayat Oley terapung-apung di Mekong.

Rapor
November 11th, 2008 by birulangit

Diam-diam aku memerhatikannya sedari tadi. Dari tempatku duduk sebagai notulen, gerak-geriknya terbaca jelas.
Sangat jelas. Bahkan orang bodoh pun tahu, dia sangat gelisah.

Dia baru tiba saat pembawa acara baru saja selesai membacakan agenda pertemuan hari ini. Rambut panjangnya
yang tergerai berayun-ayun mengikuti langkahnya yang tergesa. Sesaat dia berhenti di ambang aula. Matanya
berkeliling mencari-cari tempat duduk yang kosong. Hanya kursi di barisan depan yang masih tersisa. Dengan
enggan, tapi berusaha tetap terlihat elegan, dia pun mengambil tempat duduk di kursi pojok barisan depan. Jauh
dari orang tua murid yang lain.

Sedari tadi dia tidak tenang. Seperti ada bara di bawah pantatnya yang menggunung itu. Pantat yang terlalu
kencang untuk perempuan yang sudah tiga kali melahirkan. Memang sering kali kulihat mobilnya terparkir di
depan fitness center di samping sekolah. Tapi aku curiga, pantat itu bukan hanya didapatnya melulu melalui
latihan-latihan di fitness center itu. Entah apa yang sudah dijejalkannya di dalam sana, sehingga si pantat bisa
berbentuk sedemikian rupa.

Digeser-gesernya duduknya. Kadang ke kanan, kadang ke kiri, ke depan, ke belakang. Aku sempat khawatir kalau-
kalau celananya yang berbahan halus dan mahal itu akan sobek karena bergesekan dengan kursi yang didudukinya.
Bolak-balik diangkatnya tangannya untuk menengok jam berlapis emas putih di pergelangan tangannya itu.
Padahal sudah ada jam tergantung di dinding aula. Seakan dia ingin memastikan kalau jarum jam dinding itu sudah
berputar sebagaimana seharusnya.

Sesekali dihelanya nafasnya. Beban ribuan ton rupanya menimpa dadanya yang penuh (terlalu penuh juga untuk
ukuran perempuan yang sudah tiga kali melahirkan?). Sebentar kaki kanannya disilangkan ke kaki kirinya.
Sebentar kemudian diturunkannya. Ganti kaki kirinya yang disilangkan ke kaki kanannya. Begitu seterusnya. Kini
kedua kaki langsingnya sedang mengetuk-ngetuk lantai tanpa irama. Untung saja bunyi ketukan sandalnya tertelan
gemuruh suara orang-orang berbisik di aula ini.

Sementara itu kepalanya terus berkeliling. Kalau tidak menunduk berlagak mencari-cari sesuatu dari dalam tas
kulit merk luar negerinya. Sekilas dapat kulihat setitik keringat meluncur di dahinya yang putih mulus. Tentu saja
keringat itu tak akan melunturkan riasannya. Maklum harga seperangkat make up yang dikenakannya setara
dengan sebulan gajiku sebagai guru di sini.

Aku terpaksa mengangguk (sok) ramah padanya ketika tatapan kami bertemu. Sekedar untuk menyembunyikan
seringai yang terlanjur muncul di ujung bibirku. Dia membalasku dengan anggukan dan senyuman teramat tipis
sembari dengan angkuh mengangkat dagunya. Kini benar-benar kunampakkan seringaianku, tanpa usaha untuk
menutupinya lagi.

Sesaat kemudian aku berpaling, kembali berlagak serius mendengarkan paparan kepala sekolah mengenai
pencapaian-pencapaian sekolah kami di tahun ajaran ini. Paparan yang terlalu panjang dan terlalu lebar.
Membosankan. Kenapa tidak langsung ke menu utama saja, pengambilan rapor. Aku sudah tak sabar.

****

Tinggal kami bertiga di ruang kelas ini. Aku yang sedang melayani Bu Mira, dan dia yang duduk dengan gelisah di
deretan kursi tunggu yang kosong. Perilaku gelisahnya sama persis dengan sewaktu dia ada di aula tadi: pantat
digeser-geserkannya, kaki ditopangkan bergantian kalau tidak diketuk-ketukan di lantai, pandangan berkeliling
atau menunduk berlagak mencari-cari sesuatu dalam tas, maupun jam tangan yang berkali-kali ditengoknya.
Dagunya mendongak setiap kali mata kami bersitatap. Dasar angkuh!
Aku tahu dia sedang memakiku habis-habisan dalam hatinya. Biar saja, memang kusengaja. Setelah pertemuan di
aula selesai, para orang tua dipersilakan masuk ke ruang kelas anak mereka masing-masing untuk menerima
pembagian rapor. Dan kira-kira sejak dua jam yang lalu dia sudah duduk di sini menunggu giliran kupanggil
menghadapku untuk mendapatkan rapor anaknya.

Dari lima belas muridku, anaknya memang nomor absen terakhir. Jadi bukan salahku jika sampai saat ini dia
belum juga kupanggil. Aku baru sampai nomor absent empat belas. Rachel, anak Bu Mira. Hanya saja, aku
memang sengaja berlama-lama berbincang dengan setiap orang tua murid. Kujelaskan sampai sedetail-detailnya
perkembangan anak mereka selama satu tahun ajaran ini. Hal yang tidak perlu kulakukan sebenarnya.
Perkembangan setiap anak didik sudah tercantum dalam rapor khusus kami yang berupa laporan narasi deskriptif.
Belum lagi jika kebetulan sang orang tua murid memang suka ngobrol, pembicaraan bisa melebar sampai ke mana-
mana. Seperti yang sedang kulakukan dengan Bu Mira ini.

“Ibu ini bisa aja!” Bu Mira tertawa panjang. Muka putihnya bersemu merah. Bu Mira bercerita kalau Rachel baru
saja menjadi juara satu lomba wajah fotogenik. Aku bilang pantas saja, karena dia mewarisi kecantikan ibunya.
Gombal sekali memang, tapi yang seperti ini orang tua murid suka.

Dimasukkannya rapor, laporan perkembangan, dan beberapa lembar pengumuman ke dalam tas, lalu
dikeluarkannya sebuah bungkusan dari dalam tasnya.

“Rachel sendiri yang memilih, Bu. Semoga suka!” Tangannya mengangsurkan sebuah kotak kecil yang terbungkus
kertas kado bergambar kartun Naruto.

“Aduh, malah merepotkan!” kataku berbasa-basi, “terima kasih banyak lho, Bu!”

“Ah, biasa aja! Terima kasih banyak Bu, sudah membimbing Rachel. Maaf, sudah banyak merepotkan!”

“Tidak apa-apa, Bu, sudah menjadi tugas saya!” Jawaban ini sudah secara mekanis keluar dari mulutku setiap
semesternya.

“Mari Bu, saya permisi!” Bu Mira beranjak keluar ruang kelas.

“Terima kasih, Bu. Salam buat Rachel!”

Kutumpukkan bingkisan dari Bu Mira di atas bingkisan-bingkisan orang tua murid sebelumnya. Selain bingkisan-
bingkisan itu ada beberapa amplop di dalam laci mejaku. Hatiku bertanya-tanya, apa gerangan yang dibawa oleh
perempuan yang kini sedang melangkah menghampiriku ini. Setelah parcel segede gunungnya yang kukembalikan
seminggu yang lalu!

Hari gini menyogok guru agar mau mengatrol nilai! Rupanya dia sudah merasa rapor anaknya bakalan jelek.
Ardian, anaknya, memang berkebutuhan khusus. Gangguan konsentrasinya membuatnya sulit mengikuti pelajaran.
Nilai-nilainya selalu di bawah teman-temannya. Tidak hanya itu, agaknya dia juga mulai sadar kalau kelakuannya
padaku selama ini bisa saja membuatku mengurangi nilai-nilai anaknya.

Sebenarnya kesempatan ini sudah kutunggu-tunggu. Pembalasan dendamku untuk perempuan berpantat terlalu
kencang dan berdada terlalu penuh yang angkuh ini. Di sinilah ajang pembuktianku bahwa aku bukan orang
sembarangan. Bahwa aku punya kekuasaan. Kalau sebenarnya dia tidak bisa macam-macam denganku. Sebagian
masa depan anaknya aku yang menentukan.

“Mari, Bu, silakan duduk!”

Tanpa sepatah kata dia hanya tersenyum tipis, duduk di hadapanku. Senyum bernada segan. Bukan senyum sinis
seperti yang beberapa kali dilemparkannya padaku, saat dia mencercaku. Untuk penilaian-penilaiannya padaku:
guru konvensional, guru pilih kasih, guru yang kurang perhatian, dan lain-lain.

Aku berlagak sibuk menyiapkan rapor, laporan perkembangan, dan beberapa lembar pengumuman yang akan
kuberikan kepadanya. Sedangkan sudut mataku mencuri-curi pandang wajah cemasnya. Wajahnya yang pucat.
Seperti aku ini hantu baginya. Dalam hatiku tertawa. Mati kau, kutukku.

Kutumpukkan berkas-berkas yang akan kuberikan padanya di sudut meja. “Selamat pagi, Bu!” Kataku sambil
menjabat tangannya yang dingin. Tangan yang pernah melemparkan kertas ulangan anaknya ke mukaku, sembari
berkata kalau percuma saja bayar mahal-mahal kalau lagi-lagi dapat nilai lima puluh. Tanganku menjadi ikut basah
oleh keringat di telapak tangannya.
“Pagi …, pagi Bu,” jawabnya tanpa bisa mengatasi kegugupannya.

Lagi-lagi dalam hatiku tertawa. Teringat aku bagaimana dia meneleponku malam-malam, tanpa ucapan selamat
malam, hanya untuk menanyakan keberadaan pensil atau penghapus anaknya yang hilang. Setengah mati aku
berusaha menyembunyikan tawaku. “O ya, Bu. Mohon maaf sebelumnya. Kemarin terpaksa saya mengembalikan
bingkisan Ibu. Bukannya apa-apa, Bu. Peraturan sekolah melarang guru menerima bingkisan dari orang tua murid
sebelum rapor dibagikan. Saya tidak berani melanggarnya, Bu. Semoga Ibu maklum.” Padahal mana ada sekolah
mengatur perihal itu. Macam pejabat saja, dilarang menerima gratifikasi.

“Tidak apa-apa, Bu. Saya yang minta maaf. Saya tidak tahu ada peraturan seperti itu di sini. Di sekolah Ardian
yang dulu diperbolehkan. Saya hanya bermaksud mengucapkan terima kasih saja.” Dia menelan ludah sebentar. “O
ya, bagaimana Ardian, Bu Lily?” Wajahnya terlihat sangat memelas. Layaknya pengemis yang sudah tiga hari
tidak makan memohon sedekah saja. Ke mana gerangan dongakan dagunya yang angkuh itu? Ho ho, betapa aku
rindu!

Kuambil tumpukan berkas di sudut meja. Sengaja tidak segera kuserahkan kepadanya. “Mohon maaf, Bu. Sejak
kepindahan Ardi awal semester dua ini, saya sudah berusaha sebaik mungkin membimbing Ardi ….” Kalimatku
menggantung. Berkas-berkasnya masih di tanganku.

Wajahnya seperti orang yang sudah mati saja. Seperti tidak ada lagi darah yang mengalir di pembuluh darahnya.
Matanya berkaca-kaca. Bibirnya gemetar. “Ja … jadi … bagaimana, Bu? Bisa tidak naik ke kelas tiga?”
Pertanyaannya lebih terdengar sebagai ratapan.

Tapi aku tidak juga jatuh iba. Seperti ketika dia memohonku untuk melupakan apa yang pernah dilakukannya
padaku. Mengiba-iba meminta maaf. Semata-mata karena dia takut sakit hatiku akan mempengaruhi nilai rapor
anaknya. Ataupun ketika seminggu yang lalu dia memohonku “kebijaksanaanku” untuk menaikkan anaknya. Dia
tidak tahu di mana dia akan menaruh mukanya jika anaknya lagi-lagi tidak naik kelas.

Berkas-berkasnya masih kutahan. Biar kunikmati dulu penderitaannya ini. Nikmat, sungguh nikmat! “Seperti yang
Ibu ketahui sebelumnya, sekolah kita memang berbeda dengan sekolah yang lain, Bu. Berbeda dari sekolah Ardi
sebelumnya. Dari segi metode maupun substansi pembelajarannya. Tapi tetap saja kita mengacu pada peraturan
dinas pendidikan, karena kita pakai kurikulum nasional, Bu. Mungkin Ibu juga sudah tahu. Sebagai syarat kenaikan
kelas, rata-rata nilai rapor siswa semester satu dan dua tidak boleh lebih dari,” sengaja kuberi penekanan, “empat
mata pelajaran yang di bawah KKM…” Akhir kalimatku kembali menggantung.

Manusia di hadapanku ini semakin terlihat mengenaskan. Butir-butir keringat meluncur di dahinya. Sebagian sudah
sampai di pipinya. Ada kemungkinan dia sudah akan pingsan dulu sebelum aku menyelesaikan penjelasanku ini.
Bahagianya, siang ini aku merasa menjadi Tuhan.

Kubuka rapor Ardi. Kuhadapkan ke arahnya. “Semester ini Bu, nilai Ardi kurang memuaskan. Seperti yang Ibu
lihat di sini.” Kutunjuk dengan jariku. “Agama, Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS, dan SBK ada di bawah
KKM. Jadi ada lima mata pelajaran yang ada di bawah KKM ….”

Tangannya sampai gemetar menerima buku rapor ini. “Tidak naik, Bu? Benar-benar tidak bisa ditolong?” Kalau
teringat bagaimana dia mengangkat dagunya, ekspresinya kali ini tampak begitu menggelikan.

Kubuka halaman sebelumnya, rapor semester satu. “Semester satu juga ada lima mata pelajaran yang di bawah
KKM. PKn, Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS, dan SBK ….” Sengaja aku berhenti untuk memandang
wajahnya. Aih, aih. Seperti habis kecopetan uang semilyar!

Dia membolak-balik halaman rapor anaknya. “Lima mata pelajaran, ya?” Suaranya tersendat di kerongkongan.

Aku tersenyum. Lebar. Kini tidak kututup-tutupi. “Lima, Bu ….”

Matanya nanar menatap angka-angka itu.

Senyumku semakin lebar. “Ibu, tapi setelah dirata-rata, ternyata hanya empat mata pelajaran saja yang di bawah
KKM. Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS, dan SBK ….”

Dia melongo, tak menyangka. “Ja … jadi … Bu?”

Kini aku ingin tertawa. “Masih naik, Bu. Walau mepet ….”
Seketika wajahnya menjadi bercahaya. Berbinar-binar, seperti seribu kunang-kunang beterbangan mengitarinya.
“Syukurlah!” Dia tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya. “Syukurlah!” Dia mendekap rapor anaknya dalam
dadanya yang terlalu penuh itu. “Syukurlah!”

Aku manusia biasa, aku menyimpan dendam. Aku pun pantas membencinya, karena aku punya harga diri. Tapi aku
juga masih punya nurani. Tidak mungkin aku mengubah angka-angka itu. Walaupun hal itu sebenarnya sangat
mudah bagiku. Tidak akan ada seorang pun yang bertanya mengapa anak itu tinggal kelas. Dunia akan
memakluminya.

Sudahlah. Aku sudah sangat puas melihat perempuan berpantat dan berdada terlalu bulat yang angkuh itu hampir
mati ketakutan. Itu saja cukup. Dendamku sudah terbalaskan.

The Tower of Ka Borak


Desember 26th, 2008 by catur amrullah

Aku seperti seorang terusir yang menyusuri dasar lautan seorang diri, melintasi terumbu karang berbisa yang
meracuni tiap helaan nafas yang makin tinggal sisa. Aku menjadi orang asing, berbicara pada orang-orang tapi
suaraku hanya memantul kembali dan hilang. Sedangkan monster-monster laut dan serigala separuh gurita
mengintai-ngintai hendak menerkam saat aku lengah. Aku tercekam oleh pikiranku sendiri. Dan mulai detik itu,
aku paham makna dari kata-kata bijak ini, ‘sendirian dalam keramaian adalah ancaman.’ Aku sendirian. Berdiri
dengan keyakinan dan pemikiran yang tidak sejalan bukan hanya dengan orang-orang kebanyakan, tapi bahkan
bertentangan dengan Se Moljo Banahung, kepala suku kami, suku Mota Pedalaman.

‫פּ‬

Ratusan orang berkumpul di tanah lapang. Matahari baru mengintip dari celah bukit. Sinarnya hangat sedikit.
Semua mata terpacak pada sosok menggetarkan yang tegak menjulang di ujung timur lapangan. Hitam berkilau
karena embun yang berkelip dilanun semburat matahari melamur seluruh tubuhnya. Menara besar dari dua kayu
ulin yang disambung berukir ular gato menelan matahari. Sisiknya besar-besar bertumpuk. Menara itu, menara Ka
Borak. Bukti kekuasaan atas Tanah Mota.

“Ini seperti dalam mimpi para peramal, benar! Tepat sekali! Inilah menara Ka Borak, bukti penguasa Tanah Mota
yang dinanti!” Seorang sepuh di antara kerumunan bersuara. Suaranya yang parau hilang tenggelam dalam
kegaduhan massa. 1320 warga suku berkumpul di sini, menyaksikan menara Ka Borak yang selama sembilan
bulan ini dengan susah mereka buat-dirikan.

Di depan menara, dibangun sebuah mimbar besar, tinggi, dan anggun. Penuh dengan ukiran ular Gato yang meliuk-
liuk, melata dan melingkar, menelan matahari; simbol keagungan suku Mota. Seorang lelaki tinggi besar, kulit
coklat mengkilat memakai jubah kulit kijang, naik ke mimbar. Tongkat kayu setiginya dihentaknya beberapa kali
ke lantai mimbar. Dentamnya menggema mengatasi kegaduhan orang-orang. Seketika tanah lapang itu jatuh sepi,
tak ada suara manusia terdengar. Kelengangan yang mistis menyelisik di tiap-tiap tubuh, detak jantung seseorang
seakan tertangkap telinga orang di sebelahnya. Semua mata tertuju pada lelaki di atas mimbar itu. Dialah Se Moljo
Banahung, ketua suku kami, pemimpin spiritual sekaligus penentu jalan hidup kami.

Tenang sekali. Kicau burung di pohon riuh menanti.

“Wahai orang Mota, persaksikanlah, di depan kalian telah tegak bukti yang dikabarkan dalam Ketab Se Lambok,
menara Ka Borak. Menara yang membuktikan bahwa pendirinya adalah penguasa sejati atas Tanah Mota. Bahwa
yang membangunnya adalah lelaki yang dijanjikan akan datang dan membawa keagungan, bahwa pendirinya
adalah lelaki darah murni yang akan meletakkan suku Mota Pedalaman, suku Mota Pesisir, dan suku Mota Tanah
Batu berada di bawah tongkat kekuasaannya. Wahai orang Mota Pedalaman, kalian adalah darah murni suku Mota.
Kalian ditakdirkan menjadi pasukan pemersatu suku-suku Mota yang terpencar. Kalianlah penggenggam masa
depan itu, menara Ka Borak yang kita dirikan ini menjadi saksi atas kejayaan yang dijanjikan itu. Kita adalah
penguasa Tanah Mota!” pekik semangat Se Moljo Banahung menggema-gema dalam tempurung kepala tiap orang
yang hadir di situ, dan, seperti ada suatu komando bawah sadar yang amat kuat mengendalikan mereka semua,
serentak pekik gegap gempita membahana dari mereka itu.

“Hidup Se Moljo Banahung! Hidup Se Moljo Banahung!”

1320 macam suara memekik satu kalimat yang sama, 1320 jenis kepalan tangan mengacung ke angkasa. 1320
macam semangat melebur menjadi satu ambisi kolektif. Semua itu, 1320 manusia itu, menggumpal ke dalam satu
tekad yang amat keras, sekeras menara Ka Borak dari kayu bullin yang tegak di depan mereka, tak bisa ditawar-
tawar. Suku Mota Pedalaman telah berhasil menegakkan menara Ka Borak, sebuah menara berukirkan ular gato
menelan matahari yang menjadi bukti bahwa pendirinya adalah suku yang berhak memerintah dua suku Mota
lainnya, sebagaimana tercantum dalam Ketab Se Lambok, kitab spiritual suku Mota. Dengan ini, suku Mota
Pedalaman telah-dengan sepihak-menetapkan ketunggalan kekuasaannya atas dua suku Mota lainnya.

Dalam gemuruh euphoria kekuasaan dan kemenangan yang menari-nari di pelupuk mata, pekik lantang Se Moljo
Banahung merengkah:

“Mulai besok, kita akan mengirim utusan pada suku Mota Pesisir dan Tanah Batu, mengabarkan bahwa pemimpin
tunggal telah tiba, bahwa mereka kini harus tunduk patuh di bawah tongkat kekuasaan suku Mota Pedalaman.
Bukan hanya itu, kita juga akan menundukkan suku-suku lain di sekitaran Tanah Mota. Dan kita, seperti yang
dijanjikan dalam Ketab Se Lambok, akan menundukkan matahari!”

Pekik gelora semangat perebutan kekuasaan berkobar menggelegak. Mengema menggetarkan tanah dan batang
pohonan. Burung-burung beterbangan ketakutan, berhamburan kacau balau dari dahan tempatnya bertengger. Kera
berlompatan dari cabang ke cabang. Harimau dan serigala bersijingkat kabur ke pelosok-pelosok hutan.
Kumandang semangat 546 warga suku Mota Pedalaman menggentarkan nyali tiap penghuni hutan, mengabarkan
pada semua bahwa kekuatan dan penguasa baru telah datang.

“Sedangkan siapapun itu yang menolak dan menentang kekuasaan kita yang agung ini, maka tiada lain pilihan,
kita, suku Mota Pedalaman, tidak akan mendiamkannya begitu saja. Tahukah kalian jawaban bagi pembangkang?
Yaitu…..”

Suara lantang Se Moljo Banahung tenggelam dalam gemuruh suara warga sukunya, ‘hidup Se Moljo Banahung!’
Nyaring mendebarkan jantung. Tangan-tangan terkepal diangkat tinggi-tinggi ke angkasa. Menyiratkan tekad dan
ambisi yang membuncah. Di barisan belakang, aku tergetar menyaksikan semua prosesi ini. Aku tak bisa bersuara,
bukannya ikut larut dalam badai semangat yang dahsyat, tapi terjebak di suatu sudut yang penuh dengan ketakutan
dan kekhawatiran. Aku berkeringat dingin.

“Mereka takkan berhenti, takkan bisa dicegah, takkan terbendung oleh apapun. Menara Ka Borak telah membius
meraka, dan darah….. akan tercecer di tiap jengkal Tanah Mota!”

‫פּ‬

Semakin membuncah semangat di sekelilingku, semakin terkucil aku dalam sudut takut dan khawatir yang kian
runcing. Di sekeliling kami, hutan rimbun mengitari dengan amat rapatnya. Di ujung barat lapangan, di belakang
jajaran rumah panggung, terlentang jalan setapak yang panjang berkelok menyusur di antara pohon-pohon besar
berusia ratusan tahun. Di ujungnya, jalan setapak itu menurun, terus menurun, berputar-putar mengelilingi
punggung gunung, membawa kita pada sebuah lereng yang landai, luas membentang. Angin berembus kencang di
sini. Ujung bajumu akan berkibar-kibar semarak dibuatnya. Di depanmu, menghampar padang rumput amat luas
terbentang, hijau bergelombang oleh rumputan yang digoyang angin, seakan tak bertepi. Nun di hujung barat sana,
warna biru terhampar di bawah cakrawala, batas bentangan laut lepas. Berjalab lurus menyeberang lembah, terus
ke barat, akan sampailah ke pantai dengan hamparan pasir putihnya. Rumah-rumah dari jalinan batang bambu
berderet rapi. Di sebelah tenggara, tebing batu cadas memagar. Merentang sepanjang bibir pantai. Tebing cadas
yang telah tegak sedari jutaan tahun lalu, menghadang dentaman gelombang dan badai yang menyerbu dari tengah
laut sana. Menjadi saksi dari tiap perahu nelayan yang karam diamuk lanun ditelan topan, menjadi candi dari tiap
perpindahan generasi manusia yang hidup si situ. Kaki tebing itu menceruk jauh kedalam, aus karena gesekan
gelombang selama masa berjuta tahun. Di bawah tebing itu, menghampar pantai berbatu dan berpasir hitam seperti
lumpur, luas membentang. Batu-batu yang menjadi rumah bagi tiram, kerang, jangkang, dan ribuan lagi lainnya.

Sejarah yang mungkin tak termaafkan, atau mungkin yang ‘kan paling diagungkan oleh mereka, terjadi di situ;
sembilan hari lalu. Sebelum hari itu, hampir setahun penuh, denting suara pahat besi menghantam batu cadas
memecah ketenangan pantai, menyelisik antara debur ombak di bongkahan batu. Tiga puluh orang bergelantungan
di dinding tebing batu cadas dengan tubuh terikat tali dari atas. Masing-masing menggenggam sebuah pahat besi
terkuat yang ada, dan sebuah palu. Kesepuluh orang itu, para pemahat terbaik suku Mota Pesisir, tanpa kenal lelah
bekerja dari pagi hingga sore. Sedikit demi sedikit memahat tebing batu cadas, mengukir suatu rupa yang luar
biasa. 500 pahat telah rusak dan remuk, 467 palu pun patah. Mereka, atas instruksi Se Moljo Mapadong, kepala
suku Mota Pesisir, mengukir suatu simbol paling sakral yang tercantum dalam Ketab Se Lambok. Symbol kejayaan
dan kekuasaan. Ular gato menelan matahari, menara Ka Borak, simbol atas kedatangan sang pemimpin yang
dinanti.
Sembilan hari yang lalu, semua orang suku Mota Pesisir berkumpul di depan tebing batu cadas itu. 1543 orang.
Mereka menatap takzim tebing cadas yang kini tak lagi polos. Seekor ular gato raksasa melata dengan ganas,
meliuk-liuk tak terbendung, mulutnya menganga lebar, menelan matahari. Semua nafas tertahan-tahan. Di depan
mereka, menara Ka Borak. Samudera di belakang punggung orang-orang itu seakan membeku disihir aura magis
menara luar biasa itu. Semuanya takzim; gelombang, angin, batu, kerang, kepiting, pun manusia. Larut dalam
keterpesonaan.

“…lima lautan telah kita jelajah, tak ada sisa lagi yang belum kita datangi.” Se Moljo Mapadong berorasi di
hadapan mereka, di atas sebuah batu karang hitam persegi sebesar kerbau. “Badai dan topan samudera tak kuasa
membunuh kita! Gelombang dan pasang kita taklukkan! Di setiap pantai ada jejak kaki kita, kekuatan kita
terkhabar kesetiap penjuru Tanah Mota, maka siapa lagi yang lebih kuat dari kita?” Suara menggelegarnya
bependar-pendar memantul terbentur hamparan tebing cadas, terlempar jauh-jauh ke tengah samudera tak bertepi.
Dibawa angin ke buritan tiap perahu yang tengah berlayar, dipatuk burung dibawa kepulau-pulau di seberang sana.
Semua yang di situ berseru serempak:

“Tidak ada! Suku Mota Pesisir terkuat! Se Moljo Mapadong terkuat!” Gemuruh ini hampir-hampir membenamkan
pantai berbatu itu.

“…Menara Kaborak telah kita buat, ramalan Ketab Se Lambok telah kita wujudkan, dan, kekuasaan dan kekuatan
yang dijanjikan telah datang ke suku kita, kemenangan dan kemulyaan telah masuk pintu-pintu rumah kita!!!”

“Hidup Se Moljo Mapadong! Hidup Se Moljo Mapadong! Hidup…”

“…dan kita akan taklukkan seluruh Tanah Mota! Semua akan kita kuasai! Semua akan tunduk! Akan kita miliki!
Semua…”

‫פּ‬

Sorak sorai 1543 orang Mota Pesisir terbang membubung ke angkasa, menggiring potongn-potongan awan ke
batas cakrawala, melesat jauh ke tengah samudera membentuk gelombang-gelombang ambisi, keras menghantam
tebing cadas dan berulang-ulang menggema. Orang-orang terbius oleh semacam zat adiktif kekuasaan yang
mengerikan. Melonjak-lonjak kegirangan. Berteriak-teriak kalap. Di depannya, pada tebing cadas, menara Ka
Borak diam membeku. Ular gato yang besar, panjang, liar, meliuk-liuk, hitam gelap penuh misteri, gelap yang
menekan dan mnyelubung, gelap yang senantiasa datang pada tiap penghujung senja, menempatkan aku sendiri
termangu di bawah pohon randu di belakang rumah. Menyembunyikan dalam malam. Aku tak berkedip, menatap
bulan sabit seperti anak kecil lagi sakit. Angin yang berputar-putar menerbangkan daunan gugur juga helai
rambutku.

“Ini salah! Tidak boleh begini kita berada Paman, ini salah! Lakukanlah sesuatu!”

Lelaki tua di sebelahku itu hanya diam. Dari tadi dia hanya menunduk, menatap-sepertinya-jemari kakinya yang
tersembunyi dalam pekatnya malam tengah hutan.

“Mota Pedalaman telah membangun menara Ka Borak, dan sembilan hari yang lalu, Mota Pesisir rampung
mengukir Ka Borak di dinding tebing batu cadas. Paman, keduanya mengklaim sebagai sang Pemimpin yang
dinanti, tak bisa ditawar lagi!” Suaraku lirih bersama hembus perih. Di kejauhan, burung hantu menangis sendu.

“Bagaimana dengan Mota Tanah Batu? Bukankah Ka Borak telah mereka dirikan jauh hari sebelum kita dan
sebelum Mota Pesisir.” Paman bertanya, dan jelas sekali ada selendang gelisah yang melingkari suara beratnya itu.

“Ya, semenjak lima belas bulan lalu mereka telah menggergaji bukit batu putih. Mereka membuat kubus-kubus
batu raksasa, mengukirnya, menyusunnya, menjadikannya ancaman bagi yang lain. 124 kubus batu, disusun
setingngi 22 depa, berukir ular gato yang tengah menelan matahari. Menara Ka Borak paman. Dan sekarang,
masing-masing suku Mota punya Ka Borak!”

Tak ada jawaban, hanya desah nafas berat yang makin mengerikan dia jawabkan. Pundaknya makin jatuh,
kepalanya tunduk seakan bertengger di atasnya hantu keputusasaan. Beban berat yang hampir dua tahun ini dia
tanggungkan sampai sudah pada titik kulminasinya. Dua tahun dia berusaha menjelaskan bahwa pendirian menara
Ka Borak hanya akan mengundang kehancuran Tanah Mota.

“Ah, tak kuiura Paman, tak kukira engkau akan sebenar ini. Lima belas bulan lalu, ketika Mota Tanah Batu mulai
menggergaji batu pertama menara Ka Borak, engkau tahu bahwa itu adalah awal dari kebinasaan kita. Ah, tiada
kukira engkau akan sebenar ini Paman, tiada kukira Paman!…”
Aku diam lagi, tak sanggup meneruskan ketakutanku, sepi sekali. Kemana burung hantu? Jangkrik pun bungkam,
lalu di pelosok hutan yang jauh merusuk ke dalam, serigala melolong-lolong, menjerit-jerit kesepian.

“Anakku,” Paman bicara, lemah semilir suaranya, “kekuasaan itu seperti sari pati jubok. Sekali kau mencicipi, kau
tak bisa berhenti, terus dan terus tak terkendali menjilati sari itu. Sampai baru kemudian, setelah terlambat, kau
tahu bibirmu membiru, perutmu panas, tenggorokanmu pahit, dan kau langsung tergeletak tanpa sempat beranjak
dari tempatmu berada saat itu. Kekuasaan mengumpan dan meracuni siapapun itu anakku.”

Paman kembali diam. Tangannya mengambil sesuatu dari sebelahnya. Sebuah kitab yang dalam keremangan
tampak amat tua tapi amat kuatnya aura sakralnya. Beliau memegangnya erat, seakan ia bisa melarikan diri dari
tangannya.

“Begitu seseorang mencicipi kekuasaan selebar daun, dia akan menuntut yang sebesar batang pohon, dan besok
akan meminta yang seluas hutan, hingga nanti hanya kematianlah yang akan memotong nafsu serakahnya. Dan,
menara Ka Borak, kau tahu apa sebenarnya menara Ka Borak itu anakku?” Aku hanya diam, tak berani menjawab.

“Menara Ka Borak, dalam waktu yang bersamaan, dia juga adalah sari pati jubok, yang meracuni siapa saja yang
mencicipinya!”

Aku kaget, tak terbayang paman akan mengumpamakan menara Ka Borak sebagai saripati jubok bagi manusia,
menyamakan simbol suci itu dengan tanaman beracun paling mematikan di hutan ini.

“Anakku, awalnya orang-orang Mota tinggal di Tanah Batu, tanah leluhur kita. Lalu mereka berpencar setelah
jumlah mereka semakin banyak. Anehnya, hal itu sudah termaktub dalam Ketab Se Lambok. Sebagian pergi ke
pesisir, jadilah suku Mota Pesisir. Sebagian yang lain pergi ke pelosok hutan, jadilah suku Mota Pedalaman.
Masing-masing mereka berjanji akan terus menjaga persaudaraan, saling melindungi, dan, tentu saja mereka
membawa Ketab Se Lambok. Tapi itu kejadian entah berapa ratus tahun yang lampau anakku. Masing-masing suku
Mota bertambah besar, bersaing, berebut pengaruh, dan pernah saling serbu, itu kejadian saat kakekku masih
belia.”

Paman membuka Ketab Se Lambok. Hitam tiap halamannya, tulisannya tersembunyi dalam gelap pekatnya malam.

“Apa kau sudah faham sekarang anakku mengapa menara Ka Borak berdiri di masing-masing suku?”

Aku mengangguk. Ya, tentu saja, kekuasaan adalah sari pati jubok. Dan sekarang, sari patu jubok itu
menampakkan dirinya dalam wujud yang paling menakutkan, menara Ka Borak. Masing-masing suku Mota ingin
menjadi penguasa tunggal Tanah Mota, memimpin dua suku Mota lainnya dan menguasai suku-suku kecil lain.
Mengajak warga suku berperang bukanlah cara yang tepat jika ingin mendapatkan dukungan penuh dari mereka,
para pemimpin suku itu butuh legitimasi sakral, butuh stempel perijinan suci yang akan dijalankan mati-matian
oleh tiap warga sukunya. Dan, tanpa ada yang menyadarinya sebelumnya, solusi itu ternyata ada di dalam Ketab Se
Lambok. Di dalamnya tertulis bahwa ketika suku Mota menjadi tubuh yang terpisah, seorang lelaki darah murni
akan muncul demi menegakkan menara Ka Borak. Menara yang berpahatkan ular gato sedang menelan matahari.
Maka ikutilah dia, taatilah dia, karena lelaki yang mendirikan menara Ka Borak adalah orang yang di tangannya
persatuan tubuh suku Mota tergenggam. Dan kenyataanya kini, tiap-tiap suku Mota memiliki menara Ka Borak.
Masing-masing pimpinan dari suku tersebut mengklaim dirinya sebagai lelaki darah murni seperti yang dijanjikan
dalam Ketab Se Lambok. Akulah sang penguasa tunggal Tanah Mota! Akulah sang pemersatu! Akulah raja kalian!
Dan suku-suku lainnya harus tunduk taat, jika berani menentang, tidak segan-segan perang penaklukan akan di
gelar di atas Tanah Mota. Darah akan dialirkan di padang-padang sunyi tiap penjuru Tanah Mota yang suci.

Aku tertegun. Gambaran kehancuran suku-suku Mota dalam perang saudara yang dahsyat dengan amat nyata
berkilatan dalam kegelapan malam yang melingkupi tubuh kami. Setiap suku mengaku yang paling benar, dan,
nafsu kekuasaan telah tersulut terbakar.

“Besok kau akan menjalankan tugas terberat dalam hidupmu, berhati-hatilah. Kau tentu tahu Mota Pesisir telah
mengirim utusannya kepada kita empat hari yang lalu, mengabarkan keberadaan menara Ka Borak di tanah
mereka, meminta ketaatan dan ketundukan kita, tapi kini, malah kita yang mengirim utusan pada mereka untuk
meminta hal yang mereka tuntut dari kita. Aduhai Anakku, alangkah bodohnya, alangkah bodohnya manusia itu!”
Paman tampak amat sedih, jiwanya tertekan sungguh.

Sejak kecil aku telah hidup dengannya, semenjak orang tuaku mati jatuh kejurang, dua puluh enam tahun lalu. Dan
kini, aku harus mempertaruhkan nyawaku untuk kegilaan pemimpin kami, juga orang-orang fanatik lainnya. Tentu
dia menghawatirkan aku dengan amat sangat. Bisa saja hal ini terjadi, begitu aku menyerahkan surat dari Se Moljo
Banahung pada Se Moljo Mapadong, serta merta akan memenggal kepalaku begitu selesai membaca isinya. Karena
bukannya surat pernyataan ketundukan yang kubawa, tapi tuntutan ketaklukan. Perang akan segera dimulai.

“Kalau demikian Paman, apakah Ketab Se Lambok telah membohongi kita semua? Telah menggiring kita yang
mensucikannya ke dalam jurang kematian?”

“Tidak anakku, tidak demikian anakku, tapi kitalah yang salah memahami kitab itu. Apa kau pikir menara Ka
Borak adalah suatu menara seperti yang kalian pikirkan? Tidakkah kau mengerti bahwa itu hanyalah suatu
perlambang?”

“Membangun menara menunjukkan pada suatu usaha tanpa henti yang amat melelahkan, sebuah pengorbanan.
Pengorbanan apakah itu Anakku? Yaitu pengorbanan kebanggaan diri demi mempersatukan tubuh yang terberai,
bukan menjatuhkan korban dari tubuh yang telah luka! Bukan Anakku. Menara Ka Borak bukanlah suatu bangunan
seperti yang kau lihat, tapi ia adalah perlambang dari suatu perjuangan suci menyatukan Mota yang terberai.”

‫פּ‬

Ini bukan perangku, bukan perang kami para warga suku Mota Pedalaman, bukan pula perang warga suku Mota
lainnya. Kami tidak ada urusan dengan kekuasaan! Kami tidak ada perlu dengan pengaruh dan perluasan wilayah,
ini bukan perang kami, bukan! Ini adalah ambisi jahat mereka, ambisi para Se Moljo beserta para pembantu
setianya. Dan kami, orang-orang yang tiada ambisi dengan segala macam penaklukan, terjebak dalam perangkap
racun sari pati jubok yang mereka jilati siang malam. Dan, karena kami tidak boleh berpendapat, pada ahirnya,
kami pun sama gilanya dengan mereka. Kami tahu, kami tidak pernah turut mencicipi sari pati jubok itu, tapi
racunnya turut serta dalam aliran darah kami, karena apa yang kami yakini adalah apa yang para Se Moljo
perintahkan untuk kami yakini. Perang yang hakikinya bukan milik kami pun ahirnya dengan membabi buta kami
mamah masukkan ke dalam jiwa. Dan, semua manusia suku Mota kini masing-masing punya perang untuk
dituntaskan. Kami seperti tersesat di lautan, lalu perahu bocor, perlahan-lahan, kami tenggelam dan mati sia-sia.
Tubuh tak berdaya inipun perlahan terasinkan oleh dahsyatnya garam air laut, hingga tubuh ini kemudian bukan
tubuh kami lagi. Dan yang menyedihkan, untuk orang seperti aku dan Paman, orang-orang yang masih waras
dalam lautan kegilaan ini, semuanya berubah menjadi dilema yang menyakitkan.

Aku seperti seorang terusir yang menyusuri dasar lautan seorang diri, melintasi terumbu karang berbisa yang
meracuni tiap helaan nafas yang makin tinggal sisa. Aku menjadi orang asing, berbicara pada orang-orang tapi
suaraku hanya memantul kembali dan hilang. Sedangkan monster-monster laut dan serigala separuh gurita
mengintai-ngintai hendak menerkam sasat aku lengah. Aku tercekam oleh pikiranku sendiri. Dan mulai detik itu,
aku paham makna dari kata-kata bijak ini, ‘sendirian dalam keramaian adalah ancaman.’ Aku sendirian. Berdiri
dengan keyakinan dan pemikiran yang tidak sejalan bukan hanya dengan orang-orang kenanyakan tapi bahkan
bertentangan dengan Se Moljo Banahung, kepala suku kami.

‫פּ‬

Beratus-ratus lelaki bertubuh kekar dan legam berbaris tegak. Tangan kanan mereka ada yang mengenggam
parang, tombak, dan pendulum berkepala besi berduri. Tangan kiri membawa perisai. Mata mereka tajam menatap
ke depan. Di sebelah timur, matahari menerangi dataran batu yang amat luas ini.

“…suku Mota Pedalaman dan Pesisir telah berkhianat! Mereka membelakangi isi Ketab Se Lambok, mereka lupa
jati dirinya! Mereka menyangkal bukti kebenaran menara Ka Borak. Maka, hari ini, hukuman bagi pembangkang
akan di jatuhkan. Siapkah kalian untuk menjalankan tugas mulia ini? Melaksanakan perang yang akan
membimbing kita pada jalan menuju kemulyaan dan kejayaan?”

Gemuruh manusia membahana. Debu putih membubung tinggi, beterbangan ke angkasa. Di sudut sana, berdiri
tegak menara Ka Borak menyongsong langit, tersusun dari 124 kubus batu.

Brondong, 10 Mei 2008

Vaginalia
Oktober 9th, 2008 by prince-adi

Saya sudah sering dihina dan terhina. Jadi sudah biasa kalau kamu mengernyitkan dahi, mempertanyakan, (atau
malah) menertawakan nama saya. Sebab nama saya Vaginalia. Asli dari akte lahir, murni pemberian kedua orang
tua saya. Silahkan kalau kamu mau tertawa. Toh sudah biasa.
Kamu mengenalkan namamu sebagai Muhammad. Nama yang bagus, dan agung. Sebab namamu itu, juga nama
nabi yang paling diagungkan. Yang dijuluki Al-Amin, artinya dapat dipercaya. Diteladani banyak manusia,
termasuk saya. Sebab katanya akan mendapat pahala jika saya memuji namanya, mendapat sesuatu yang bernama
‘Syafa’at’ di kehidupan akhirat.

Nama kamu Muhammad. Orang yang terpuji. Sebab itulah saya percaya sama kamu.

*****

Saya masih perawan, belum kawin. Orang-orang seringkali merendahkan harga diri saya sebab nama saya
Vaginalia. Mendekati saya dengan alasan nafsu saja. Saya benci. Saya jijik. Sebab saya juga perempuan baik-baik.
Mendambakan laki-laki yang baik-baik. Tidak seperti laki-laki pada umumnya yang menilai saya dengan harga.
Pernah saya ditawar dua juta untuk sebuah malam bersama dengannya. Saya tidak mau. Meski saya miskin, saya
punya harga diri. Saya benar-benar tersinggung. Saya tampar dia, dan dia memaki saya. Mengatakan saya hanya
jual mahal. Padahal saya benar-benar tak mau dibeli, dengan harga berapapun yang kamu beri.

Nama kamu Muhammad. Saya suka perilakumu terhadap saya. Kamu menemani saya duduk di sebuah kantin.
Memesan dua mangkok bakso; satu buat kamu, satu buat saya.

“Saya yang traktir,” katamu sambil tersenyum merekah.

Saya bahagia, kamu mau duduk di samping saya. Mau berbicara dengan saya meski tatapan curiga mengarah ke
arah kita berdua. Sebab nama saya Vaginalia. Vagina, nama organnya wanita. Barang yang sudah banyak diobral
murah. Itu untuk kelas biasa, limapuluh ribu semalam. Bisa juga sampai ratusan juta. Tergantung jaminan
kepuasan yang diberikan. Tapi sekali lagi, saya tidak seperti itu. Saya wanita baik-baik, mendambakan laki-laki
baik-baik.

Nama kamu Muhammad. Dan kamu memanggil saya “Va”. Saya tidak menolak. Saya justru senang. Sebab kamu
teman pertama saya. Kamu selalu sabar menemani saya meski mereka masih menatap curiga.

Nama kamu Muhammad. Dan segalanya telah berubah menjadi kamu. Saya jatuh cinta sama kamu. Tapi apa saya
pantas untuk mencintai dan dicintai? Saya tidak berharap lebih. Saya sudah cukup senang dengan keberadaan kamu
sebagai teman saya. Sampai bulan kedua, kamu mendadak muncul di depan pintu kostan saya. Padahal hujan
sedang deras. Kamu basah kuyup. Belum sempat saya ambilkan handuk, kamu sudah memegang tangan saya. Dan
kamu ungkapkan cinta. Kamu tahu, itu pertama kalinya tangan saya digenggam laki-laki. Tapi saya bahagia.
Karena itu kamu. Terlebih kamu mengatakan cinta. Mimpi yang menjadi nyata. Sejak itu kita pacaran.

Satu bulan.

Dua bulan.

Kita masih hanya berpegangan tangan. Sebab saya tak mau macam-macam. Belum waktunya. Sebab saya tahu
bahwa zinah adalah dosa besar. Sama saja dengan menyekutukan Tuhan. Toh saya cukup bahagia dengan
berpegangan tangan.

*****

Saya cantik, katamu.

Malam itu saya membiarkan kamu mencium bibir saya. Saya hanya mampu memejamkan mata. Sementara
bibirmu terus melumat bibir saya. Saya takut. Benar-benar takut. Sebab saya tahu ini dosa. Tapi kamu terlalu
mempesona, membuat saya tidak berdaya. Sebab sebelumnya kamu memasangkan cincin di jari saya, kembali
mengatakan cinta, dan berjanji akan menikahi saya.

Saya tidak tahu lagi harus berbuat apa ketika tanganmu mulai menelusup di balik kemeja saya. Mengelus tubuh
saya. Saya ingin katakan jangan, tapi bibir saya kamu bungkam begitu nakalnya. Saya mulai menangis, tapi kamu
dengan hebatnya kembali mengatakan cinta, menenangkan hati saya.
Tiba-tiba hari telah pagi. Menyaksikan kamu tanpa busana, begitu pula saya. Ada bercak darah di sana. Saya
menangis. Sebab saya tahu, saya tidak lagi perawan. Tapi lagi-lagi kamu memeluk saya, mengecup kening saya,
berjanji menikahi saya. Saya percaya. Sebab nama kamu Muhammad.

*****

Berkali-kali setelah itu kamu melakukan hal yang sama. Saya ingin menolak. Benar-benar ingin menolak. Tapi
kamu begitu pintar untuk memancing hasrat saya keluar, tanpa malu, tanpa bisa lagi memikirkan bahwa kita adalah
pendosa yang tidak akan diterima ibadahnya. Dan neraka balasannya. Sebab namu kamu Muhammad, saya percaya
kamu akan menikahi saya.

*****

Bulan keenam kamu mengatakan perpisahan. Tanpa alasan yang bisa dipertanggungjawabkan. Kamu benar-benar
pergi meninggalkan saya, seperti angin. Tak tertinggal suatu apapun kecuali membawa debu melekat pada tubuh
saya. Padahal kita sudah pernah bercinta dengan dosa, berkali-kali. Tapi kamu tetap tak menggubris itu semua.
Akhirnya kamu mengatakan bosan kepada saya. Dan saya hanya bisa tertawa. Tertawa akan kebodohan saya
mempercayai kamu selama ini.

Padahal nama kamu Muhammad. Orang yang terpuji. Tapi mungkin setan-setan yang kegirangan memujimu.
Sedangkan saya lebih memilih menghujatmu, melaknatmu. Tapi saya akhirnya sadar, sia-sia saya melakukan itu.

*****

Kamu tahu dimana saya berada saat ini?


Penjara!

Saya membunuhi Muhammad, satu per satu. Di jalan, di keramaian, atau di tempat remang-remang yang
menjajakan kebahagiaan. Saya mencari Muhammad. Muhammad mana saja yang matanya belingsatan melihat
kecantikan saya.
Dan lagi-lagi saya menyebut Muhammad, merindukan Muhammad yang pernah saya puji. Sebab ia orang yang
terpuji. Yang pernah begitu saya teladani. Tidakkah kamu mengerti?

Bibir
Februari 13th, 2008 by Ge

“Sepertinya kita pernah bersebelahan jiwa,” kata perempuan itu kepada laki-laki yang duduk berhadapan
dengannya, hanya sepotong kayu imitasi yang dinamakan coffee table dan dua mug gemuk kopi hangat masih
berasap menjembatani ruang antara mereka berdua dari kursinya masing-masing. “Atau setidaknya kita pernah
yakin tentang hal itu.”

Laki-laki itu mengangkat pandangannya dari merenungi asap-asap tipis yang keluar dari mug-nya dan menatap
perempuan itu, ia menemukan dirinya merasa sangat asing. Ditariknya nafas dalam-dalam lalu menjawab,
“Mungkin aku memang tidak penah mampu untuk mengerti kamu. Mungkin otakku yang bebal. Kata-katamu
selalu saja asing bagi telingaku, namun selalu saja keluar dengan wajar dari bibirmu.”

Dan bibir itu sangat manis bentuknya, namun tidak lagi menimbulkan rasa ingin. Ah, laki-laki itu menggelengkan
kepalanya dengan heran. Ia merasa seperti orang mabuk, namun tidak tahu lagi karena apa dan dimana. Beberapa
putaran musim yang lalu bukankah hanya bibir itu yang ada dalam ingatannya sepanjang pagi, siang dan malam,
dan pagi lagi, tidak pernah berhenti melingkar-lingkarkan jerat di dalam kepalanya. Cara bibir itu bergerak saat
bicara, sudut-sudutnya yang naik turun tergantung emosi pemiliknya, merekahnya ketika minum kopi dan
mengintipkan gigi putih yang sangat cocok untuk iklan pasta gigi ketika mengigit sepotong kue. Bukankah bibir itu
yang dikulumnya tanpa puas ketika gairah-gairah mereka memuncak di malam-malam penuh gelegak yang mereka
reguk bersama-sama. Mengapa semuanya saat ini rasa-rasanya tidak pernah benar-benar terjadi tak dapat
dimengerti oleh pikirannya yang biasanya jago mengkalkulasi rumusan-rumusan jual-beli, untung dan rugi.
“Apa yang sudah terjadi?” Bibir itu bergerak turun seirama dengan ekspresi di wajahnya yang bebas jerawat, bebas
komedo, bebas kerut-merut dan halus rupawan itu.

Perempuan itu melihat bagaimana bekas suaminya menggelengkan kepala dengan cara yang sangat khas, seakan
mencoba menebak sesuatu. Dan laki-laki itu memang sedang mencoba menebak apakah pertanyaan yang barusan
keluar dari bibir itu adalah sebuah pertanyaan sungguhan ataukah jebakan seperti yang seringkali terjadi dalam
pembicaraan mereka.

“Sudah makan ya?” tanya bibir itu.


“Sudah,” jawab laki-laki itu seraya mencoba mencium kemanisannya.
“Kok nggak ngajak-ngajak?” Bibir itu menurun membentuk kurva setengah lingkaran dan lampu merah di kepala
laki-laki itu mulai berkedip-kedip.

“Lho, waktu aku telpon katamu kamu tidak suka masakan Itali dan kamu ada janji dengan teman-temanmu mau
shopping. Jadi aku kira kamu pasti tidak mau ikut.”

“Aku memang tidak suka, tapi kan kamu bisa menawarkannya kepadaku.”

Hm, laki-laki itu garuk-garuk kepala.

“Ya sudah, kalau kamu mau kita pergi makan berduaan saja sekarang. Mau kan?”

“Jangan merubah pembicaraan! Kamu makan-makan dengan siapa-siapa saja tadi?”

“Lho…ya dengan teman-teman kantor.”

“Pasti ada dia!” Bibir itu melancip, tajam sekali, seperti pedang dan berkilau-kilau karena lipgloss-nya. Laki-laki
itu tanpa sadar merasa bergidik. Kok jadi menakutkan sekali?
“Dia siapa sih?”

“Pura-pura tidak mengerti. Ya, dia. Siapa lagi? Pasti ada perempuan itu.”

“Perempuan yang mana lagi?”

“Wulan, yang janda cantik itu!”

“Ya iyalah, bukan, maksudku bukan janda cantiknya, tapi memang iya Wulan ada, Angki juga, Jeffry juga, Asep
juga, pokoknya semuanya. Aku sudah bilang akan makan dengan rekan-rekan kerjaku, iya kan?”

“Sebal aku! Itu sebabnya kamu tidak mau aku ikut, supaya kamu bisa main mata dengan leluasa, iya kan?!?!”

“Lho, lho… Apa-apaan sih kamu? Jangan cemburu yang tidak-tidak dong.”

“Pasti! Makanya aku tidak diajak!”

Jelas sekali tuduhan dan tudingan tersirat dari bibir itu. Maka malam itu kemudian menjadi malam yang sangat
dingin, hampir-hampir membekukan, ciumannya pun membentur gunung batu yang menjulang tinggi dan menukik
tajam di sudut-sudut dan lekuk-lekuk bibir itu.

Maka, laki-laki itu kemudian berlatih untuk diam sejenak sebelum menjawab segala sesuatu yang keluar dari bibir
itu, betapapun manis dan lembutnya terdengar di telinga, karena dua tambah dua tidak selalu menjadi empat dalam
kalkulasi pemikiran otak yang terletak dua jengkal saja jauhnya dari bibir itu. Atau, bila ia tidak yakin pada
jawabannya maka dia akan membisu seribu bahasa.

“Apa yang sebenarnya terjadi?” Bibir itu kembali menyadarkannya dari kenangan yang sempat menyerempet
ingatannya tadi. Laki-laki itu mengangkat bahu. Dia benar-benar tidak tahu bagaimana menjawabnya, karena dia
tidak pandai menyusun kalimat di depan bibir itu. Atau, lebih tepatnya dia takut mengucapkan lebih banyak kata-
kata karena akan berarti lebih banyak lagi kesalahan yang dapat saja dilakukannya menurut logika bibir itu yang
mengakibatkan bibir itu akan mengeluarkan lebih, lebih, lebih dan lebih banyak lagi hamburan kata-kata yang
sangking terlampau banyak tidak dapat dicerna oleh otaknya dengan baik dan kepalanya kemudian akan menjadi
seperti sebuah komputer yang cupu, tidak mampu memproses data lalu macet, hang. Kemudian ia jadi sering
merasa mual, pening dan gelisah setiap melihat bibir itu.
Entahlah, katanya perlahan, karena getar-getar bibir itu membuatnya tidak tega untuk berdiam diri lebih lama lagi.

“Ehemm…” Laki-laki itu membersihkan tenggorokannya yang mendadak rasanya tercekat oleh serpihan-serpihan
kerikil yang masuk entah dari mana. “Mungkin karena bibirmu,” katanya akhirnya, karena setelah berpikir begitu
keras memang hanya itu saja yang terbayang-bayang di kepalanya.

“Bibirku? Apa yang salah dengan bibirku! Aku pikir kamu menyukai bibirku! Memangnya bibirnya lebih indah
dari bibirku?”

“Bukan begitu maksudku.”

“Jadi? Lebih seksi?”

Lelaki itu menatap bibir bekas isterinya dan melihat, amboi…betapa manis sesungguhnya memang bibir itu dari
jarak aman ini, ia tidak memiliki keinginan untuk lebih mendekat atau melakukan apapun dengan bibir itu, karena
selalu saja ia mendapatkan dirinya dan harga dirinya kemudian terkapar di suatu tempat dan waktu yang
membingungkan.
“Bukan itu.”

“Lebih pandai mencium?”

“Bukan itu.”

“Kamu hanya bisa bilang bukan itu, bukan itu, bukan itu, seperti kaset rusak yang diputar berulang-ulang! Apa sih
maksudnya! Kenapa berbicara dengan kamu selalu saja membosankan!”

“Maaf…”

Bibir itu merapat.

“Kenapa harus minta maaf? Kamu menyesal karena berselingkuh kan? Padahal kamu pernah berjanji bahwa kamu
akan selalu mencintai aku, menghormati aku, tidak akan pernah menyakiti aku, dan katamu sendiri, tidak ada
perempuan lain yang mampu mencintai kamu seperti aku mencintai kamu. Kenapa kamu justru ingkar janji!
Kenapa justru memilih untuk bersama dia daripada aku?”

Banyaknya pertanyaan yang meluncur sekaligus dari bibir itu membuat mantan suaminya merasa tegang sekali,
bahkan lebih menegangkan daripada dimarahi oleh atasannya di kantor. Laki-laki itu merasa tidak memiliki
jawaban yang tepat untuk menjawab semua pertanyaan itu dan ia pun tidak dapat mendeteksi mana yang aman
untuk dijawab dan mana yang adalah ranjau darat yang bila diinjak akan mengakibatkan ledakan yang dahsyat dan
menghancurkannya berkeping-keping. Dasar pengecut! Dia memaki dirinya sendiri, karena dia sadar dia memang
merasa sangat kecut sekali. Ah! Pusing jadinya. Dia memijat-mijat pelipis kirinya yang berdenyut-denyut.
“Kamu kenapa sih? Selalu saja begitu kalau diajak bicara serius! Selalu pura-pura sakit kepala. Aku kan tidak
menanyakan hal yang sulit atau terlampau mustahil untuk dijawab! Aku hanya ingin kamu jujur! JUJUR!
Bukannya jadi pengecut terus, menghindar terus!”

Dan kepala laki-laki itu semakin pusing jadinya, apalagi karena beberapa orang di meja sebelah mulai tertarik ikut
mendengarkan percakapan mereka yang saat ini lebih mirip sebuah monolog dari bibir itu. Ada beberapa yang
bahkan nampak sekali sangat tertarik dengan gerak-gerik bibir itu. Tidak dapat disalahkan, pikir laki-laki itu,
dulupun dia merasa seperti itu, bahkan lebih terbius, lebih tergila-gila, dan rasa-rasanya tidak mungkin ada yang
lebih lembut lagi dari bibir itu yang rasanya seperti gulali ketika disentuh, begitu enak untuk dinikmati, bagaimana
mungkin bibir secantik itu bisa melukai seperti pedang, merobek-robek seperti cakar, dan menusuk-nusuk seperti
sembilu?

Tidak mungkin kan rasa-rasanya. Bibir seperti itu gunanya untuk tersenyum, menyejukkan hati. Mencium,
mendebarkan sanubari. Menyapa, mengelus-elus kerinduan. Dan tertawa, membuat matahari bersinar lebih lembut
saat siang terik. Itulah yang ingin sekali ditemukannya pada bibir itu.

“Pelankan sedikit suaramu, kita ada di tempat umum.”

“Aahhh,” bibir itu bergerak naik, tanggung, membentuk sebuah senyum sinis, “jadi kamu malu ya?’ bisikannya
mengejek.

“Kamu malu karena suaraku keras, begitu? Kalau berselingkuh itu tidak memalukan ya!”
Suara yang keluar dari bibir itu berdentum keras sekali sangat mengejutkan, berbanyak kepala langsung menoleh
ke meja mereka dan laki-laki itu menemukan dirinya menjadi pusat perhatian, mata-mata para perempuan
mendelik dan beberapa laki-laki agak salah tingkah sementara yang sebagian malah tersenyum mencemooh.
“Ssstt…” Serba salah laki-laki itu menengok ke kiri dan ke kanan. “Sebaiknya aku pergi saja karena ternyata kamu
masih terlalu emosi.”

“Bagus! Pergi saja sana! Melarikan diri. Ya. Kamu memang ahlinya! Selalu saja begini ini, tidak
bertanggungjawab!”

Bibir itu bergerak turun naik ke kiri dan ke kanan, dan di kepala laki-laki itu timbul pertanyaan, bagaimana
mungkin dia pernah mencium bibir yang seperti itu di suatu masa yang rasanya sudah berabad-abad yang lampau?
Bagaimana caranya bertahan tetap waras berhadapan dengan bibir itu selama lima tahun hidup pernikahan mereka?

Saat bibir itu mencang-mencong di hadapannya dia tidak lagi mampu mencerna kata-kata yang mengucur begitu
deras dari bibir itu. Dia bahkan tidak lagi dapat mendengar suara apapun! Secara naluriah, laki-laki itu menutup
indera pendengarannya dan menyisakan visualisasi dari drama yang terjadi di depan matanya ini, sambil berpikir,
kapan semuanya akan berakhir ya?

Konsentrasinya pada bibir itu membuatnya mampu menangkap garis-garis halus di bibir itu, lekukan atasnya yang
sensual dan sempurna, warna lembut lipstick yang masih melekat dengan sangat apik yang nampaknya tidak akan
berguguran walau terguncang-guncang, juga sebuah dekik yang timbul tenggelam di sebelah kiri bibir itu, dan
kekenyalan bibir itu yang begitu nyata, begitu elastisnya bibir itu sehingga tidak jadi masalah ditarik ke kiri atau ke
kanan, mencong ke atas atau ke bawah, luarbiasa. Tapi, apakah bibir itu sendiri tidak pernah merasa lelah? Dalam
hati laki-laki itu mempertanyakan. Kalau saja dia bisa bertanya langsung kepada bibir itu, apa yang dirasakannya
saat dihempas-hempas begitu rupa oleh pemiliknya, satu saat ditarik ke sana dan dilain saat ke sini. Tiba-tiba saja
dia merasa sangat, sangat, sangat, sangat kasihan kepada bibir itu.

“Jawaaaaaab!” Tiba-tiba saja dinding pelindung anti-suaranya pecah berantakan. Bibir itu sekarang berguncang-
guncang, laki-laki itu terkejut, apakah itu sebuah isakan? Dia merasa diterobos oleh rasa kasihan, yang sudah lama
tidak mampir di hatinya. Saat itu dia merasa berhadapan bukan lagi dengan pedang, tapi gulali yang mulai meleleh
karena dibiarkan terlalu lama di bawah matahari. Kasihan.
“Sebaiknya kamu pulang, ayo aku antar.”

Tiba-tiba saja dia menemukan dirinya bisa berbicara tegas, dan dengan takjub menemukan tidak ada perlawanan
dari bibir itu maupun anggota-anggota tubuh yang lainnya. Digandengnya bekas isterinya ke luar dari tempat
minum kopi itu.

“Bibirmu,” kata lelaki itu sambil menatap jalan di depan kemudi, “itulah masalah kita.”

“Tapi…”

“Biarkan aku bicara dulu, bukankah kamu selalu berkata ingin ada jawaban? Boleh kan aku mencoba menjawab,
dan kamu mencoba mendengarkan? Lagipula, aku kasihan dengan bibirmu, kalau dieksploitasi terus-menerus.
Bibir itu perlu istirahat juga dan memberikan kesempatan kepada telinga untuk bisa mendengar suara lain selain
suara-suara milikimu sendiri. Bisa kan?”

Bibir itu bergerak seakan hendak melakukan sesuatu lalu tiba-tiba saja tidak jadi melakukannya. Kepala
perempuan itu mengangguk, matanya beralih memandang jalan di depannya.
“Jadi, boleh aku bicara?”

Laki-laki itu menepikan mobil, jalan lengang, seakan memang seluruh semesta mempersiapkan tempat dan ruang
untuk mereka saat itu. Atau lebih tepatnya, untuk laki-laki itu, saat ini.

“Aku pernah mencintaimu. Kamu tahu itu. Bahwa aku sungguh-sungguh jatuh cinta dan mencintaimu ketika kita
menikah. Ya, aku memang mencintai bibir itu, karena, bila di matamu aku bisa berkaca dan menemukan diriku, di
bibirmu aku menemukan cinta, dan kegairahan. Di lekuk-lekuk senyummu ada semangat dan kekuatanku untuk
meraih masa depan. Aku bahkan mau mempertaruhkan hidupku demi bibir itu, demi merekahnya senyum, dan
derai tawa, yang membuat jantungku berdebar-debar melaju ditengah kemacetan jalan saat pulang kerja sehingga
rasanya semakin tersiksa karena aku ingin sekali segera pulang agar dapat mengecup sudut-sudutnya.”

“Lalu, mengapa…”
Laki-laki itu memberi isyarat dengan tangannya, dan bekas isterinya menggigit bawah bibirnya, menahan diri.
“Lalu mengapa kita bercerai?”

Laki-laki itu menebak dengan tepat. Karena itu adalah pertanyaan yang sama yang diajukannya berulang-ulang
kepada dirinya sendiri. Bekas isterinya mengangguk, bibirnya terbuka sedikit, dan matanya berkaca-kaca.
“Ya, mengapa? Aku sendiri heran, mengapa semakin lama aku malah semakin menikmati jam-jam lemburku dan
mengharapkan waktu-waktu kerja menjadi lebih panjang. Aku bahkan sering berharap terjebak saja terus di
tengah-tengah kemacetan. Mengapa? Karena aku tidak lagi menemukan debaran-debaran jantung ketika
berhadapan dengan bibirmu, yang aku dengar hanya bergodam-godam palu kecurigaan dan tuduhan yang pada
mulanya aku tidak mengerti dari mana asalnya. Akhirnya, setiap kali aku memandangmu dan bibirmu mulai
berbicara, yang aku rasakan adalah rasa mulas di perutku, bukan lagi seperti kupu-kupu yang naik turun tetapi
lebih mirip sengatan sekawanan lebah yang menyerang lambungku, karena begitu bibirmu terbuka, bukan madu
yang keluar namun begitu banyak dakwaan yang, pada mulanya, tidak berdasar.”

Laki-laki itu menatap perempuan cantik di sampingnya.

“Sungguh. Aku tidak pernah berniat mengkhianati, berselingkuh, tidak pernah selintaspun. Namun kemudian, aku
berpikir, mengapa tidak? Mungkin dengan begitu kamu akan merasa puas, merasa menang, bahwa aku memang
suami kalahan. Kuakui bahwa aku lelah dihukum untuk sebuah kesalahan yang tidak aku lakukan, dan godaan
yang datang, yang pada awalnya sama sekali tidak punya arti, tidak punya peluang, menjadi sebuah jalan alternatif
bagiku. Mungkin imanku yang tidak kuat, atau malam-malam kita yang terlalu banyak diisi dengan kebekuan. Atau
dua-duanya. Yang pasti, aku jatuh. Aku mengaku kalah. Aku memang bersalah. Aku minta maaf. Namun
nampaknya dosaku sudah terlampau besar. Aku tidak pernah menghendaki kita berpisah, kamu yang
menginginkannya, dan aku tidak punya keberanian atau kemampuan untuk mempertahankan apa yang memang
tidak kamu anggap perlu untuk dipertahankan lagi… Maafkan aku. Karena aku tidak mampu pulang, aku mencari
kedamaian di bibir yang lain, dan aku sudah menemukannya. Aku memang pengecut. Bahkan tidak berani
mengecup bibirmu saat aku sangat ingin melakukannya karena aku takut lidahku tidak mampu merasakan rasa
yang lain selain rasa pahit” Laki-laki itu mengedipkan matanya, ada air yang membuat matanya berkaca-kaca.
“Masih ingat? Dulu kau pernah bilang bibirku rasanya seperti es krim vanila dan lembut seperti gulali,” kata
perempuan itu lirih, sebuah senyum rawan menggantung di bibirnya, manis sekaligus sangat pahit.
Laki-laki itu mengangguk. Oh, masa-masa yang sangat indah di sebuah waktu yang berbeda dan begitu jauh. Ia
menghela nafas dalam diam, betapa terlambatnya.

“Kita sudah benar-benar gagal bukan?” perempuan itu berbisik.


“Kita sudah pergi terlalu jauh dan kehilangan jalan pulang.”

Perempuan itu menatap laki-laki itu dengan pandangan yang berbeda, “Seandainya aku lebih banyak
mendengarkan?’’

“Aku akan lebih mudah berbicara.”

“Kalau kau lebih mudah berbicara?”

“Kau akan lebih mudah mendengarkan dan kita akan lebih mudah saling mengerti.”

“Seandainya kita lebih mudah saling mengerti?”

“Kita akan lebih banyak berciuman.”

“Kalau kita lebih banyak berciuman?”

“Kita akan lebih mudah bergandengan.”

“Kalau kita lebih mudah bergandengan?”

“Kita tidak akan pernah terlalu mudah untuk saling melepaskan.”

Ah, ada sebutir bening jatuh diujung bibir itu, dan lelaki itu mengusapnya lembut dengan jari telunjuknya. Mereka
sudah sampai di persimpangan tempat dia dan pemilik bibir manis itu harus berpisah. Tetapi sedetik saja pada saat
ini, ingin sekali disimpannya tetes bening itu di dalam sakunya. Namun, ketika dirabanya sakunya itu, sudah
penuh, terisi dengan cinta untuk sebuah bibir yang lain.

Jakarta 24 Juni 2003.


Bukan Ismail
Desember 10th, 2008 by piko aguno

Gi, pulang. Bapak mau bicara.

Hanya itu isi surat yang kuterima tadi pagi. Aku tak habis pikir mengapa Bapak tidak menelepon saja. Nomor
ponsel dan nomor telepon Ibu kost-ku sudah ada di tangan Bapak.

Namun begitulah Bapakku. Ia mengirim surat dengan kertas dan amplop kelas atas serta prangko kilat namun
isinya hanya lima kata itu saja. Meski surat itu tanpa tanda tangannya, aku bisa mengenali tulisan Bapak yang khas.
Tulisannya miring bersambung dan banyak hiasan di huruf G dan B besar. Benar-benar surat yang simpel namun
juga mengusik hatiku. Apa gerangan yang mau dibicarakan?

Ini agak sulit karena aku sedang mengemban tugas sebagai pembicara seminar yang akan dilaksanakan besok di
kampus. Terbersit niatku untuk menunda kepulangan sampai tanggung jawabku itu selesai. Namun rasa penasaran
yang sangat menyelimuti otakku sedemikian rupa. Tumben sekali Bapak berkomunikasi dengan cara seperti ini
belum lagi isi pesannya yang benar-benar menyita perhatianku sepanjang hari ini.

Apa yang akan dibicarakan Bapak? Tentang pernikahankah? Karena aku sudah termasuk telat untuk menikah dan
begitu gencarnya Orangtua beserta adik-adikku membujukku untuk mencari belahan jiwa. Aku memutuskan untuk
lanjut ke S2 jadi tidak ada waktu untuk menikah. Umurku 28 tahun dan aku memang kurang laku di mata kaum
hawa walau banyak orang bilang wajahku termasuk lumayan. Tapi aku tetap merasa kurang, aku memang tidak
pandai bersyukur. Yang paling kesal adalah adikku si Nuning. Dia sudah kebelet nikah namun tidak sampai hati
melangkah mendahuluiku, jadilah ia menganggur di rumah. Kuliahnya sudah selesai dan belum punya pekerjaan.
Aku merasa bersalah juga tapi aku akan menikah setelah selesai kuliah.

Atau mungkin tentang warisan? Mungkin Bapak sedang sakit keras baru-baru ini dan merasa akan meninggalkan
dunia fana ini sehingga merasa perlu membicarakan warisan hartanya yang melimpah. Ataukah Bapak jatuh miskin
di luar sepengetahuanku lalu akan menyuruhku berhenti kuliah? Tapi toh meski selama ini ongkos kuliah ditransfer
Bapak, aku merasa bisa terus sekolah dengan upah kerja part time atau dengan belajar lebih rajin agar dapat
beasiswa. Aku bukan anak-anak yang mau menjadi benalu bagi Bapak. Yang terakhir ini agak kuragukan karena
Bapak orang sukses dan terhormat.

Akhirnya aku lelah berpikir yang tidak-tidak dan memutuskan mengepak koper sore ini lalu berangkat nanti
malam. Kuhubungi teman-teman sesama panitia dan mereka semua pengertian.

“Tidak masalah, aku penggantinya. Hati-hati nanti di jalan,” begitu kata salah satu temanku yang menjabat sebagai
wakil ketua panitia.

Setelah mengurus tiket yang agak bermasalah, akhirnya aku kembali terbang ke kota kelahiranku, Jogja. Meski
sulit, aku berusaha menyingkirkan semua pikiran-pikiran aneh tentang apa yang akan dibicarakan Bapak.

Keluargaku kaget melihatku pulang, kecuali Bapak. Rupanya beliau tidak memberitahu yang lain bahwa aku
disuruhnya pulang. Tak apa, toh mereka semua senang aku pulang. Kulihat Bapak hanya diam saja menyambut
kepulanganku. Wajahnya menunjukkan bahwa dia sedang berpikir keras tentang suatu hal dan bayang-bayang
keraguan muncul timbul tenggelam.

Bapakku orang terhormat, bertitel kyai, punya banyak koneksi, kaya raya, dan disegani siapa pun yang
mengenalnya. Semenjak aku diasuhnya sedari kecil, aku mengenalnya sebagai orang yang sangat taat beribadah
dan selalu membangunkanku saat sepertiga malam untuk salat tahajud yang kemudian menjadi rutinitasku dalam
keseharian. Ia bisa
diasumsikan sebagaimana orang-orang melihat seorang manusia yang sempurna akhlak dan materi. Hampir-hampir
orang lain berani bertaruh manusia macam itu bakal masuk surga. Di dunia sebagai orang baik dan rezeki dicukupi,
apalagi di akhirat. Pendek kata, ia dianggap sukses di dunia dan akhirat.

Ia pendakwah yang gigih. Banyak majelis-majelis mengharap kedatangannya untuk sekadar memberikan sambutan
atau ceramah pendek. Saking dihormatinya, ia dimintai ‘doa’ oleh orang-orang yang datang dari luar kota.
Bapakku tidak bisa menerima dan menganggap hal itu syirik. Ia bilang ia bukan dukun yang bisa dimintai hal-hal
seperti
itu. Aku setuju saja. Ia mengusir dengan halus tamu-tamunya saat itu.

Bapak sangat pendiam. ‘Diam itu emas’ rupanya benar-benar menjadi prinsip hidupnya. Bapak hanya bicara bila
benar-benar perlu jadi kebanyakan mulutnya hanya digunakan untuk tersenyum menanggapi perkataan orang lain.
Begitu bangga dan bersyukurnya aku mempunyai Bapak seperti beliau.

Karena setiba di rumah Bapak hanya diam saja, aku agak heran juga, jadi kutunggu dengan tidur yang lelap hingga
tiba-tiba ia membangunkanku sepertiga malam untuk salat tahajud. Akhirnya kami shalat berjamaah sekidmat
mungkin.

Setelahnya Bapak menyalakan rokoknya dan mengepulkan keras-keras. Ia mengajakku bicara empat mata
berhadap-hadapan. Darinya mengalir nasihat-nasihat kehidupan juga kisah-kisah para nabi. Ia berbicara panjang
lebar dan tak ada hentinya kecuali mungkin aku menyelanya. Aku jadi jenuh dengan perkataannya yang panjang
lebar dan tak biasa.
Aku disuruhnya pulang hanya untuk mendengar celotehan yang sudah sering kudengar di masa kecil. Dengan agak
kurang sopan aku menyela.

“Pak, sebenarnya apa yang mau dibicarakan sampai saya harus pulang?”

Bapak mengisap rokoknya dalam-dalam, seolah itu hisapan yang terakhir. Aku tidak mengeluh kali ini meski aku
benci sekali asap rokok.

“Apakah kamu percaya sama Bapak?” tanyanya.

“Yah,” jawabku ragu, tidak mengerti apa maksud Bapak bertanya begitu.

“Bapak tidak percaya kamu percaya sama Bapak”

Aku jadi bingung, “Saya percaya Bapak.”

Bapak terdiam agak lama dan menciptakan keheningan yang janggal di antara kami. Bapak hanya menatap kosong
ke langit-langit rumah, membiarkan rokoknya memendek digerogoti ulat api di ujung. Hanya asap rokoknya yang
bergerak kesana kemari di antara kami, seolah berusaha memancing komunikasi kami berdua. Lalu ia berkata tiba-
tiba, tegas.

“Bapak yakin kamu anak shaleh dan selalu ingat bahwa Tuhan itu ada.” Ia terbatuk karena asap rokoknya sendiri
lalu melanjutkan, “Dua hari yang lalu Bapak bermimpi bertemu Tuhan.”

Aku tersontak kaget. Pantatku jadi sakit karena terlompat. Mana mungkin? Pasti Bapak mengada-ngada.
Mengalami mimpi bertemu Rasulullah saja sudah merupakan karunia luar biasa dan diperuntukkan hanya kepada
hamba-hamba Allah yang tertentu, apalagi bertemu Tuhan. Apa wujudnya? Aku tak boleh bertanya demikian. Aku
tidak percaya sedikit pun tapi aku diam saja.

“Terus?” tanyaku.

“Seperti halnya Nabi Ibrahim, Tuhan menyuruh Bapak menyembelih anak Bapak sendiri,” ujar Bapak tanpa
ekspresi, memandang langit-langit.

Untuk kedua kalinya aku terlonjak, “Astagfirullah! Apa nggak salah dengar?”

Bapak mengangkat tangannya agar aku jangan menyela.

“Pasti Tuhan sedang menguji keikhlasan Bapak dalam beribadah. Tuhan menguji sejauh mana Bapak bisa bersabar
atas apa yang Tuhan minta. Bapak tidak bisa mengelak. Selama ini Bapak hidup tanpa hambatan yang berarti.
Harta banyak, kedudukan terhormat, keluarga sejahtera. Rupanya tidak cukup hanya dibalas dengan ibadah dan
rasa syukur kepada Tuhan. Bapak harus memenuhinya.”

“Tapi Pak… bagaimana mungkin? Itu kan cuma mimpi,” kataku spontan.

“Kamu percaya sama Bapak?” tanyanya.

“Eh..ya..” Agak menyesal kukatakan ini.


“Begitulah Tuhan menyampaikan kepadaku.”

“Tapi bagaimana Bapak yakin Bapak mimpi begitu? Mungkin hanya halusinasi—”

“Bukan, bukan halusinasi. Ini benar-benar mimpi. Maksudnya mimpi yang nyata.”

“Saya kira mimpi itu ada tiga. Mimpi dari Allah, mimpi dari setan, dan mimpi biasa. Yang terakhir semacam tidur
lelap karena kekenyangan. Tapi saya tidak tahu apakah Bapak bisa menentukan mimpi itu dari Tuhan atau dari
setan.”

Bapak tersinggung, ia mengencerkan tenggorokannya sambi berpaling dariku.

“Le, Bapak yakin sekali mimpi ini dari Tuhan. Dari Allah. Seolah-olah malaikat Jibril masuk ke dalam mimpi
Bapak lalu mengajak Bapak ke depan arsy Tuhan di langit ke tujuh. Maha Besar. Perjalanan yang panjang.
Melelahkan tapi asyik. Mau kuceritakan?”

Aku menggeleng lemah. Ini sudah kelewat batas. Tapi aku kaget hal-hal yang merusak aqidah seperti ini
menyentuh Bapak. Aku takut tiba-tiba ia mengaku-ngaku diutus sebagai Nabi. Bisa jadi ia akan punya pengikut
seperti halnya Ahmadiyah. Ini bisa menjadi aib keluarga dan aku bakal malu berat. Aku harus menyadarkan Bapak,
apapun caranya.

“Bapak yakin kalau Bapak disuruh nyembelih anak sendiri?” tanyaku takut-takut.

Bapak mengangguk takzim.

“Sebenarnya bisa saja Bapak memilih satu di antara adik-adikmu tapi adikmu perempuan semua. Bapak orangnya
tidak tega melukai mahluk Tuhan yang namanya perempuan. Hanya kamu sendiri yang laki-laki. Lagipula kamulah
yang Bapak rasa paling bisa menerima tugas ini dengan lapang dada. ”

Lapang dada! Ah, aku masih ingin hidup seribu tahun lagi. Kuraba dadaku. Rasanya sesak dan perutku mulas
sekali.

“Tapi Pak…. Untuk apa Tuhan meminta hal seperti itu kepada mahluk ciptaan-Nya? Ini menyalahi Asma’ul
Husna. Allah Maha Berdiri Sendiri. Allah tidak butuh sesuatu pada mahluknya. Manusialah yang selalu butuh
Allah untuk bisa hidup meski mereka tidak pernah menyadarinya. Dan Bapak sendiri, aku juga—semua—hanya
manusia biasa.”

Bapak tertawa terkekeh-kekeh mendengar perkataanku. Aku merasa akan kalah. Dikepulkannya asap rokok
menjadi lingkaran-lingkaran asap yang menawan. Perhatianku teralih namun sekejap kembali pada tempatnya.

“Lalu bagaimana dengan Nabi Ibrahim? Mengapa Tuhan meminta hal seperti itu kepada Nabi-Nya? Itulah Ibadah.
Perintah Allah. Dan Bapak pun menerima hal yang serupa.”

Telingaku serasa terkulai.

“Tapi Bapak bukan Nabi. Muhammad adalah Nabi terakhir,” kataku tegas.

Bapak memperlihatkan mimik tersinggung lagi. Aku jadi malu di hadapannya, sedikit nyengir mau minta maaf.

“Memang. Bapak bukan Nabi tapi hanya manusia biasa yang dikaruniai hidayah-Nya sehingga bisa seperti
sekarang.”

“Tapi mengapa Tuhan memberikan tugas itu kepada Bapak kalau Bapak manusia biasa, bukannya Nabi atau
bahkan orang saleh?”

“Kamu menilai Bapak bukan orang saleh?” tanya Bapakku agak keras lalu kemudian ia jadi salah tingkah begitu
juga aku.

“Apa kamu percaya selama ini Bapak beribadah bukan atas dasar riya? Tidak untuk menarik perhatian orang lain
supaya jatuh hormat pada Bapak?” tanya Bapak.

“Ya… tentu. Bapak orang saleh,” kataku mengalah.


“Begitulah,” kata Bapak seraya mematikan rokoknya yang sudah pendek sekali, “Bapak mau melakukan tugas itu
malam ini.”

Jantungku berdegup dan bisa kurasakan wajahku memucat meski aku tidak bisa melihatnya.

“Tunggu dulu! Bapak jangan bikin sensasi,” kataku marah.

“Ini bukan sensasi. Ini misi Tuhan, dari Allah,” Bapak ikut marah

Hilang sudah rasa hormatku pada Bapak. Rupanya sikap takabur sudah menggerogoti otak kanan Bapak sehingga
penuh dengan khayalan seperti ini.

“No…no…no… Aku masih ingin hidup,” elakku.

“Ah, Tole… Kamu tidak akan mati. Bukankah Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang? Allah akan
menggantikan dirimu dengan seekor kambing gemuk yang nanti kita jadikan gulai untuk dimakan sekeluarga.”

“Kalau begitu beli saja kambing lalu sembelih, itu sama saja.”

“Uh oh, tentu saja berbeda. Keikhlasanku diuji ketika detik-detik terakhir aku memutuskan urat-uratmumu. Saat
pisau yang tajam bersentuhan dengan kulit lehermu. Kalau kambing sih, Bapak tidak punya kendala. Tinggal tebas,
masak, makan. Itulah bedanya. Aku akan diuji apakah aku sanggup menyembelih anakku sendiri atas dasar
perintah Tuhan. ”

“Aku tidak ikhlas, Pak. Dalam kisah Nabi Ibrahim, putranya Ismail ikhlas untuk disembelih. Sedangkan aku tidak
ikhlas. Berarti acara sembelihan Bapak jadi tidak afdhal dong. Lebih baik sudahi saja, jangan dilakukan. Saya mau
tidur dulu, Pak.”

Bapak menahanku.

“Ha..ha…ha… Yang diuji itu Bapakmu ini, bukan kamu. Entah kamu ikhlas atau tidak Bapak peduli apa? Tuhan
tidak menitipkan pesan apa pun untuk kamu. Bapak cuma minta kesediaanmu untuk Bapak sembelih.”

“Oh… saya tidak bersedia,” kataku gemetar.

“Bapak memaksa, Tole.”

“Saya tidak mau.”

“Harus. Kamu harus—.”

“Tidak mau. Sadar, Pak, sadar…”

“Dengar dulu—.”

“Cukup!”

“Ini ibadah.”

“Salah, ini pembunuhan.”

“Kamu jangan ngeyel.”

“Wah, bukan gitu Pak. Saya cuma…”

“Tapi Bapak harus melaksakannya”

“Pak…”

“Malam ini.”

“Tidak! Saya tidak mau. Ini edan.”


“Kita bakal dapat pahala, lho.”

“Bapak sudah keblinger!”

“Meski dengan kekerasan, kali ini.”

“Aduh, jangan Pak! Gila!”

Akhirnya sambil tersenyum tulus Bapak mengeluarkan pisau besar semacam parang dari balik sarungnya. Pisau itu
sudah terasah tajam dan mengkilap menyilaukan mataku. Bapak berdiri, mengucapkan basmalah, dan bersiap-siap
memegang leherku. Aku hampir lengah.

“Sini kamu.”

“Tiidaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaak!!!”

Tapi itu sudah berlalu satu tahun yang lalu. Keluarga dan tetanggaku menyelamatkanku tepat pada waktunya.
Akhirnya Bapak dideportasi dari rumah dan diungsikan ke Rumah Sakit Jiwa. Aku sudah diwisuda, bekerja,
menikah dan kini tinggal bersama ibuku yang kecewa berat Bapak jadi gila. Nuning juga sudah menikah dan
tinggal di rumah suaminya. Untuk beberapa waktu, keluargaku menjadi bahan gunjingan di masyarakat. Meski
demikian orang-orang yang dulu mengenal Bapak masih menaruh hormat pada keluargaku.

Aku membayar mahal seorang psikiater profesional untuk mengawasinya namun laporan setiap bulannya tidak
banyak mengalami kemajuan. Kata si psikiater, Bapak bersikap seperti orang normal bahkan kelewat saleh. Setiap
sepertiga malam ia selalu shalat sampai subuh. Bapak masih selalu berpuasa Senin Kamis dan masih melantunkan
ayat Al Quran dengan fasih. Juga mendakwahi setiap pasien di sana, mengajak-ajak dalam kebajikan, yang tentu
saja takkan berhasil. Si psikiater curiga itu hanya akal-akalan agar dia dinyatakan sembuh namun niat untuk
membunuhku masih ada.

Aku jadi bimbang sendiri. Aku ragu jika Bapak tidak gila, menduga-duga mungkin mimpi itu benar dari Tuhan dan
aku memang harus disembelihnya. Apakah ini berarti aku mengabaikan Tuhan? Jika Bapak memang benar
bermimpi demikian dan mimpi itu memang dari Tuhan maka aku orang yang berdosa. Aku menjadi merasa
bersalah pada Bapak.

Sejenak timbul niat untuk memulangkan Bapak karena mungkin Bapak memang tidak gila. Tapi pastinya Ibu dan
adik-adikku tidak akan menerimanya lagi. Mungkin trauma mengingat-ingat bagaimana Bapak mengejarku di
jalanan dengan pisau besar terasah tajam dan mengkilat sambil bertakbir. Aku juga ragu mimpi Bapak tidak
relevan untuk zaman sekarang.

Lalu bagaimana dengan Ismail putra Ibrahim? Mengapa ia tidak ragu bahwa mimpi ayahnya dari Tuhan? Mengapa
ia mau menerimanya begitu saja? Karena ia punya iman yang kuat. Ia percaya bahwa Tuhan itu ada. Ia percaya
ayahnya selalu beribadah dengan ikhlas kepada Tuhan. Ia percaya mimpi ayahnya itu tidak salah. Ia percaya bukan
karena ia bodoh tapi karena imannya yang terang benderang. Sungguh aku merasa menjadi manusia paling berdosa
dan tak punya iman sama sekali. Dan hal penting kedua ialah ia ikhlas untuk disembelih.

Bagaimanapun juga, orang-orang zaman sekarang takkan bisa menerima. Siapapun itu.

Yang jelas, aku bukan Ismail.

You might also like