You are on page 1of 89

10

10 Fruit Good for Your Skin


1. Grapes 3. Tomatoes Grate or blend a cucumber.
Apply this over the face, eyes
Grapes have various vitamins Tomatoes have lots of pectin, a and neck for 15 to 20 minutes.
other than glucose and vegetable fiber. They help blood It is a great tonic for the facial
fructose. These enhance the circulation, which is vital for a skin and regular use prevents
action of skin cells, are good good complexion. pimples, blackheads,
for reviving skin and have Apply the pulp of a tomato wrinkles, and dryness of the
detoxification effects. liberally to the face and leave face. By applying cucumber
2. Watermelon for an hour. Then wash off with slices onto your skin, you can
warm water. Repeating this have soothed, smoothed and
Watermelons provide water daily produces a good cooled skin.
to skin that is exhausted by complexion and quickly 5. Corn
strong heat and are also good removes ugly-looking pimples. Corn is effective for
for easing fatigue their large 4. Cucumber preventing dryness and aging
great amounts of glucose and of your skin since it has lots
fructose. Cucumber is a surprising beauty of lecithin and vitamin E.
  secret for the skin, with its  
  hydrating, nourishing and  
  astringent properties.  
6. Blueberries Cucumbers have the same pH as  
  the skin so they help restore the  
Blueberries are one of the skin’s protective and natural  
best fruits out there because acid mantle. 9. Avocado
of the high amount of   Avocado  is an effective facial
antioxidants that are found in   mask.
them. Antioxidants are    
known to help prevent aging 8. Bananas  
of the skin. So, add some of   10. Apples
these berries to your diet on a Fresh, ripe bananas make Apple juice - is an effective
daily basis excellent face masks. Bananas home remedy for healing
  don’t only tighten and cleanse wrinkles, itching and
7. Lemons pores, they also revitalise dry inflammation, they can also
  skin. be used as conditioner and
Lemons are the most popular Mash two ripe bananas with a toner. For many centuries,
home beauty ingredient. tablespoon of honey. Smooth apples have been used in skin-
People preferred using over the face and leave for 10- healing. When taking a bath,
lemons to cleanse and 15 minutes. Rinse with cold remember to add a cup of
freshen the skin and hair. A water to reveal soft, supple and apple juice and that will helps
few lemon slices to soften hydrated skin. to cleanse and soften your
rough skin spots such as   skin. After each time you
elbows and heels.   shampooing your hair, don�t
forget to put a final rise with
apple juice, because its power
can prevent dandruff.
Semester IV B
Marwah 032001DO7518
 
Posted by marwah chu under Uncategories | Comment( 0) |
25 Mei

Medulla Spinal
 

BAB I
PENDAHULUAN
 
1.                  Latar Belakang
            Penyakit tumor sumsum tulang belakang ( medulla spinalis ) merupakan penyakit 
yang berbahaya, dapat mengakibatkan kematian atau  kecacatan, sementara banyak
masyarakat belum mengetahui tanda-tanda, gejala dan cara pengobatan penyakit ini.  Untuk
memastikan diagnosa dibutuhkan pemeriksaan dengan alat-alat diagnostik bedah saraf,
seperti; CT-scan, MRI, Stereotatic  Radiosurgery,  Micro- neurosurgery, Minimal invasive
atau Gamma knife surgery disamping pemeriksaan laboratorium, neurologi klinis dan
patologi anatomi.
Cara penanggulangan bisa secara operatif atau konservatif tetapi yang terbaik adalah tindakan
operasi di sertai  dengan radioterapi dan kemoterapi. Prognosa penyakit tumor sumsum
tulang belakang ( medulla spinalis ) tergantung dari jenis, lokasi tumor dan sifatnya setelah
dioperasi ( reseksi ) dan dilanjutkan dengan radioterapi, didapati hasilnya 80 % baik.
 
2.                  Tujuan
Makalah ini dibuat dengan tujuan:
·         Mengetahui dan mempelajari tentang Keperawatan Medikal Bedah tentang tumor
medulla spinalis.
·         Memenuhi tugas Keperawatan Medikal Bedah.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
BAB II
TUMOR MEDULA SPINALIS
 
A.ANATOMI DAN FISIOLOGI MEDULLA SPINALIS
Medula spinalis tersusun dalam kanalis spinalis dan diselubungi oleh sebuah lapisan jaringan
konektif, dura mater.
Dari batang otak berjalan suatu silinder jaringan saraf panjang dan ramping, yaitu medulla
spinalis, dengan ukuran panjang 45 cm (18 inci) dan garis tengah 2 cm (seukuran kelingking).
Medulla spinalis, yang keluar dari sebuah lubang besar di dasar tengkorak, dilindungi oleh
kolumna vertebralis sewaktu turun melalui kanalis vertebralis. Dari medulla spinalis spinalis
keluar saraf-saraf spinalis berpasangan melalui ruang-ruang yang dibentuk oleh lengkung-
lengkung tulang mirip sayap vertebra yang berdekatan.
 

 
Saraf spinal berjumlah 31 pasang dapat diperinci sebagai berikut : 8 pasang saraf servikal, 12
pasang saraf thorakal, 5 pasang saraf lumbal, 5 pasang saraf sakral, dan 1 pasang saraf
koksigeal.
Selama perkembangan, kolumna vertebra tumbuh sekitar 25 cm lebih panjang daripada
medulla spinalis. Karena perbedaan pertumbuhan tersebut, segmen-segmen medulla spinalis
yang merupakan pangkal dari saraf-saraf spinal tidak bersatu dengan ruang-ruang antar
vertebra yang sesuai. Sebagian besar akar saraf spinalis harus turun bersama medulla spinalis
sebelum keluar dari kolumna vertebralis di lubang yang sesuai. Medulla spinalis itu sendiri
hanya berjalan sampai setinggi vertebra lumbal pertama atau kedua (setinggi sekitar
pinggang), sehingga akar-akar saraf sisanya sangat memanjang untuk dapat keluar dari
kolumna vertebralis di lubang yang sesuai. Berkas tebal akar-akar saraf yang memanjang di
dalam kanalis vertebralis yang lebih bawah itu dikenal sebagai kauda ekuina (”ekor kuda”)
karena penampakannya.
Walaupun terdapat variasi regional ringan, anatomi potongan melintang dari medulla spinalis
umumnya sama di seluruh panjangnya. Substansia grisea di medulla spinalis membentuk
daerah seperti kupu-kupu di bagian dalam dan dikelilingi oleh substansia alba di sebelah luar.
Seperti di otak, substansia grisea medulla spinalis terutama terdiri dari badan-badan sel saraf
serta dendritnya antarneuron pendek, dan sel-sel glia. Substansia alba tersusun menjadi
traktus ( jaras ), yaitu berkas serat-serat saraf (akson-akson dari antarneuron yang panjang )
dengan fungsi serupa. Berkas-berkas itu dikelompokkan menjadi kolumna yang berjalan di
sepanjang medulla spinalis. Setiap traktus ini berawal atau berakhir di dalam daerah tertentu
di otak, dan masing-masing memiliki kekhususan dalam mengenai informasi yang
disampaikannya.
Perlu diketahui bahwa di dalam medulla spinalis berbagai jenis sinyal dipisahkan, dengan
demikian kerusakan daerah tertentu di medulla spinalis dapat mengganggu sebagian fungsi
tetapi fungsi lain tetap utuh. Substansia grisea yang terletak di bagian tengah secara
fungsional juga mengalami organisasi. Kanalis sentralis, yang terisi oleh cairan serebrospinal,
terletak di tengah substansia grisea. Tiap-tiap belahan substansia grisea dibagi menjadi kornu
dorsalis ( posterior ), kornu ventralis ( anterior ), dan kornu lateralis. Kornu dorsalis
mengandung badan-badan sel antarneuron tempat berakhirnya neuron aferen. Kornu ventralis
mengandung badan sel neuron motorik eferen yang mempersarafi otot rangka. Serat-serat
otonom yang mempersarafi otot jantung dan otot polos serta kelenjar eksokrin berasal dari
badan-badan sel yang terletak di tanduk lateralis.
Saraf-saraf spinalis berkaitan dengan tiap-tiap sisi medulla spinalis melalui akar spinalis dan
akar ventral. Serat-serat aferen membawa sinyal datang masuk ke medulla spinalis melalui
akar dorsal; serat-serat eferen membawa sinyal keluar meninggalkan medulla melalui akar
ventral. Badan-badan sel untuk neuron-neuronaferen pada setiap tingkat berkelompok
bersama di dalam ganglion akar dorsal. Badan-badan sel untuk neuron-neuron eferen
berpangkal di substansia grisea dan mengirim akson ke luar melalui akar ventral.
Akar ventral dan dorsal di setiap tingkat menyatu membentuk sebuah saraf spinalis yang
keluar dari kolumna vertebralis. Sebuah saraf spinalis mengandung serat-serat aferen dan
eferen yang berjalan diantara bagian tubuh tertentu dan medulla spinalis spinalis. Sebuah
saraf adalah berkas akson neuron perifer, sebagian aferen dan sebagian eferen, yang
dibungkus oleh suatu selaput jaringan ikat dan mengikuti jalur yang sama. Sebagaian saraf
tidak mengandung sel saraf secara utuh, hanya bagian-bagian akson dari banyak neuron.
Tiap-tiap serat di dalam sebuah saraf umumnya tidak memiliki pengaruh satu sama lain.
Mereka berjalan bersama untuk kemudahan, seperti banyak sambungan telepon yang berjalan
dalam satu kabel, nemun tiap-tiap sambungan telepon dapat bersifat pribadi dan tidak
mengganggu atau mempengaruhi sambungan yang lain dalam kabel yang sama.
Dalam medulla spinalis lewat dua traktus dengan fungsi tertentu, yaitu traktus desenden dan
asenden. Traktus desenden berfungsi membawa sensasi yang bersifat perintah yang akan
berlanjut ke perifer. Sedangkan traktus asenden secara umum berfungsi untuk mengantarkan
informasi aferen yang dapat atau tidak dapat mencapai kesadaran. Informasi ini dapat dibagi
dalam dua kelompok, yaitu :
a. informasi eksteroseptif, yang berasal dari luar tubuh, seperti rasa nyeri, suhu, dan raba, dan
b. informasi proprioseptif, yang berasal dari dalam tubuh, misalnya otot dan sendi
 
·   Traktus desenden yang melewati medulla spinalis terdiri dari:
1. Traktus kortikospinalis, merupakan lintasan yang berkaitan dengan gerakan-gerakan
terlatih, berbatas jelas, volunter, terutama pada bagian distal anggota gerak.
2. Traktus retikulospinalis, dapat mempermudah atau menghambat aktivitas neuron motorik
alpha dan gamma pada columna grisea anterior dan karena itu, kemungkinan mempermudah
atau menghambat gerakan volunter atau aktivitas refleks.
3. Traktus spinotektalis, berkaitan dengan gerakan-gerakan refleks postural sebagai respon
terhadap stimulus verbal.
4. Traktus rubrospinalis bertidak baik pada neuron-neuron motorik alpha dan gamma pada
columna grisea anterior dan mempermudah aktivitas otot-otot ekstensor atau otot-otot
antigravitasi.
5. Traktus vestibulospinalis, akan mempermudah otot-otot ekstensor, menghambat aktivitas
otot-otot fleksor, dan berkaitan dengan aktivitas postural yang berhubungan dengan
keseimbangan.
6. Traktus olivospinalis, berperan dalam aktivitas muskuler
 
·   Traktus asenden yang melewati medulla spinalis terdiri dari:
1. Kolumna dorsalis, berfungsi dalam membawa sensasi raba, proprioseptif, dan berperan
dalam diskriminasi lokasi.
2. Traktus spinotalamikus anterior berfungsi membawa sensasi raba dan tekanan ringan.
3. Traktus spinotalamikus lateral berfungsi membawa sensasi nyeri dan suhu.
4. Traktus spinoserebellaris ventralis berperan dalam menentukan posisi dan perpindahan,
traktus spinoserebellaris dorsalis berperan dalam menentukan posisi dan perpindahan.
5. Traktus spinoretikularis berfungsi membawa sensasi nyeri yang dalam dan lama.
 
B.PENGERTIAN
Tumor adalah pertumbuhan abnormal yang terjadi pada suatu jaringan tubuh. Secara umum,
bibit tumor tercetus ketika ada semacam masalah dalam pertumbuhan dan pergantian sel di
dalam tubuh. Memang tidak mudah mengukur bagaimana tumor dapat timbul di dalam tubuh
kita. Setiap hari sel mengalami regenerasi, sel baru diproduksi untuk menggantikan sel lain
yang telah tidak berfungsi dengan baik.Sel yang rusak secara otomatis diganti dan
disingkirkan dari tubuh karena berpotensi menimbulkan penyakit.
            Jika keseimbangan jumlah antara sel baru dan yang mati terganggu, kemungkinan
besar tumor akan terjadi. Hal ini mengakibatkan sistem imunitas tubuh akan terganggu.
Tumor medulla spinalis adalah suatu lesi ekspansif yang bersifat jinak (benigna) ataupun
ganas (maligna), membentuk massa dalam ruang sumsum tulang belakang (medulla spinalis).
Tumor medula spinalis merupakan suatu kelainan yang tidak lazim, dan hanya sedikit
ditemukan dalam populasi. Namun, jika lesi tumor tumbuh dan menekan medula spinalis,
tumor ini dapat menyebabkan disfungsi anggota gerak, kelumpuhan dan hilangnya sensasi.
 
C. ETIOLOGI
Patogenesis dari neoplasma medula spinalis belum diketahui, tetapi kebanyakan muncul dari
pertumbuhan sel normal pada tempat tersebut. Riwayat genetik terlihat sangat berperan dalam
peningkatan insiden pada keluarga tertentu atau syndromic group (neurofibromatosis).
Astrositoma dan neuroependymoma merupakan jenis yang tersering pada pasien dengan
neurofibromatosis tipe 2, yang merupakan kelainan pada kromosom 22. Spinal
hemangioblastoma dapat terjadi pada 30% pasien dengan von hippel-lindou syndrome
sebelumnya,yang merupakan abnormalitas dari kromosom
 
D. KLASIFIKASI
Tumor pada medulla spinalis dapat dibagi menjadi tumor primer dan tumor metastasis.
Kelompok yang dominan dari tumor medula spinalis adalah metastasis dari proses keganasan
di tempat lain. Tumor medula spinalis dapat dibagi menjadi tiga kelompok, berdasarkan letak
anatomi dari massa tumor. Pertama, kelompok ini dibagi dari hubungannya dengan selaput
menings spinal, diklasifikasikan menjadi tumor intradural dan tumor ekstradural. Selanjutnya,
tumor intradural sendiri dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu tumor yang tumbuh pada
substansi dari medula spinalis itu sendiri intramedullary tumours serta tumor yang tumbuh
pada ruang subarachnoid (extramedullary).
 
Ekstra dural Intradural ekstramedular Intardural intramedular
Chondroblastoma Ependymoma Astrocytoma
Chondroma myxopapillary Ependymoma
Hemangioma Epidermoid Ganglioglioma
Lipoma Lipoma Hemangioblastoma
Lymphoma Meningioma Hemangioma
Meningioma Neurofibroma Lipoma
Metastasis Paraganglioma Medulloblastoma
Neuroblastoma Schwanoma Neuroblastoma
Neurofibroma Neurofibroma
Osteoblastoma Oligodendroglioma
Osteochondroma Teratoma
Osteosarcoma
Sarcoma
Vertebral hemangioma
 
Table 1 distribusi anatomi dari tumor medulla spinalis berdasarkan gambaran histologisnya

Gambar 2, letak tumor medulla spinalis, ed = ekstradural; ie = intradural ekstramedular; ii =


intradural intramedular*
E. GEJALA-GEJALA KLINIS
            Tumor-tumor ini umumnya mempunyai gejala-gejala klinis yang hamper kebanyakan
sama satu dengan yang lainnya, baik intradural ekstra-medural, ekstradural atau intra-
meduler, yaitu sebagai berikut ;

1. Gejala-gejala redikulair : hiperestesi, nyeri akar


2. Gejala-gejala segmental
3. Gejala-gejala penekanan
4. Disosiasi sensorik ( = sindroma brown-sequard ) terutama pada tumor-tumor ekstra-
dural
5. Peninggian refleks-refleks fisiologi dan timbulnya refleks patologis
6. Sindroma Bladder-Rectum ; inkontinensia urine, retensio urine, konstipasi
7. Gangguan saraf simphatis ; refleks pilomotor ( merinding ), refleks vasomotor ( pucat
kalau kulit ditusuk ), berkeringat.

 
F. EPIDEMOLOGI
Insiden dari semua tumor primer medula spinalis sekitar 10% sampai 19% dari semua tumor
primer susunan saraf pusat. (SSP), dan seperti semua tumor pada aksis saraf, insidennya
meningkat seiring dengan umur. Prevalensi pada jenis kelamin tertentu hampir semuanya
sama, kecuali pada meningioma yang pada umumnya terdapat pada wanita, serta
ependymoma yang lebih sering pada laki-laki. Sekitar 70% dari tumor intradural merupakan
ekstramedular dan 30% merupakan intramedular.
 
Histologi Insiden
Tumor sel glia 23 %
Ependymoma 13%-15%
Astrositoma 7%-11%
Schwanoma 22%-30%
Meningioma 25%-46%
Lesi vascular 6%
Chondroma/chondrosarkoma 4%
Jenis tumor yang lain 3%-4%
 
Table 2. distribusi insiden tumor primer medulla spinalis berdasarkan histology
 
Jenis tumor Total insiden Umur Jenis kelamin Lokasi anatomis
Schwanoma 53,7 % 40-60 tahun > Laki-laki >lumbal
Meningioma 31,3% 40-60 tahun >perempuan >thorakal
Ependymoma 14,9% <>  Laki-laki=perempuan >lumbal
 
Tabel 3, distribusi tumor intradural ekstramedular berdasarkan umur, jenis kelamin dan lokasi
tersering.
Lokasi Insiden  
Thorakal 50%-55%  
Lumbal 25%-30%  
Servikal + Foramen magnum 15%-25%  
 
Tabel 4, insiden tumor primer medulla spinalis berdasarkan lokasi
·         Tumor intradural intramedular
Tumor intradural intramedular yang tersering adalah ependymoma, astrositoma dan
hemangioblastoma. Ependymoma merupakan tumor intramedular yang paling sering pada
orang dewasa. Tumor ini lebih sering didapatkan pada orang dewasa pada usia
pertengahan(30-39 tahun) dan lebih jarang terjadi pada usia anak-anak. insidensi ependidoma
kira-kira sama dengan astrositoma. Dua per tiga dari ependydoma muncul pada daerah
lumbosakral.
Diperkirakan 3% dari frekuensi astrositoma pada susunan saraf pusat tumbuh pada medula
spinalis. Tumor ini dapat muncul pada semua umur, tetapi yang tersering pada tiga dekade
pertama. Astrositoma juga merupakan tumor spinal intramedular yang tersering pada usia
anak-anak, tercatat sekitar 90% dari tumor intramedular pada anak-anak dibawah umur 10
tahun, dan sekitar 60% pada remaja. Diperkirakan 60% dari astrositoma spinalis berlokasi di
segmen servikal dan servikotorakal. Tumor ini jarang ditemukan pada segmen torakal,
lumbosakral atau pada conus medialis.
Hemangioblastoma merupakan tumor vaskular yang tumbuh lambat dengan prevalensi 3%
sampai 13% dari semua tumor intramedular medula spinalis. Rata-rata terdapat pada usia 36
tahun, namun pada pasien dengan von Hippel-Lindau syndrome (VHLS) biasanya muncul
pada dekade awal dan mempunyai tumor yang multipel. Rasio laki-laki dengan perempuan
1,8 : 1.
·                     Tumor intradural ekstramedular
Tumor intradural ekstramedular yang tersering adalah schwanoma, dan meningioma.
Berdasarkan table 3, schwanoma merupakan jenis yang tersering (53,7%) dengan insidensi
laki-laki lebih sering dari pada perempuan, pada usia 40-60 tahun dan tersering pada daerah
lumbal.
Meningioma merupakan tumor kedua tersering pada kelompok intradural-ekstramedullar
tumor. Meningioma menempati kira-kira 25% dari semua tumor spinal. Sekitar 80% dari
spinal meningioma terlokasi pada segmen thorakal, 25% pada daerah servikal, 3% pada
daerah lumbal, dan 2% pada foramen magnum.
 
G. GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinik dari tumor pada aksis spinal tergantung dari fungsi pada daerah anatomis
yang terkena. Tumor medulla spinalis dapat menyebabkan gejala lokal dan distal dari segmen
spinal yang terkena ( melalui keterlibatan traktus sensorik dan motorik pada medula spinalis.)
akibat organisasi anatomik dalam medula spinalis, maka kompresi lesi-lesi diluar medula
spinalis biasanya menimbulkan gejala dibawah tingkat lesi. Tingkat gangguan sensorik naik
secara berangsur-angsur bersama dengan meningkatnya kompresi, dan melibatkan daerah
yang lebih dalam. Lesi yang terletak jauh didalam medula apinalis mungkin tidak menyerang
serabut-serabut yang terletak sperfisial, dan hanya menimbulkan disosiaasi sensorik, yaitu
sensasi nyeri dan suhu yang hilang, dan sensasi raba yang masih utuh. Kompresi medula
spinalis akan mengakibatkan ataksia karena mengganggu sensasi posisi.
Gambaran klinik pada tumor medulla spinalis sangat ditentukan oleh lokasi serta posisi
pertumbuhan tumor dalam kanalis spinalis.
a. Gejala klinik berdasarkan lokasi tumor
·         Tumor foramen magnum
Gejala awal dan tersering adalah nyeri servikalis posterior yang disertai dengan hiperestesi
dermatom daerah vertebra servikalis 2 (C2). Setiap aktivitas yang meningkatkan tekanan
intrakranial (misal, batuk, mengedan, mengangkat barang atau bersin) dapat memperburuk
nyeri. Gejala tambahan adalah gangguan sensorik dan motorik pada tangan dengan pasien
yang melaporkan kesulitan menulis atau memasang kancing. Perluasan tumor menyebabkan
kuadraplegia spastik dan hilangnya sensasi secara bermakna. Gejala lainnya adalah pusing,
disatria, disfagia, nistagmus, kesulitan bernafas, mual dan muntah, serta atrofi otot
sternokleidomastiodeus dan trapezius. Temuan neurologik tidak selalu timbul tetapi dapat
mencakup hiperrefleksia, rigiditas nuchal, gaya berjalan spastic, palsy N.IX sampai XI, dan
kelemahan ekstremitas.
·         Tumor daerah servikal
Lesi daerah servikal menimbulkan gejala sensorik dan motorik mirip lesi radikular yang
melibatkan bahu dan lengan dan mungkin juga melibatkan tangan. Keterlibatan tangan pada
lesi servikalis bagian atas diduga disebabkn oleh kompresi suplai darah ke kornu anterior
melaui arteria spinalis anterior. Pada umumnya terdapat kelemahan dan artrofi gelang bahu
dan lengan. Tumor servikalis yang lebih rendah ( C5, C6, C7) dapat menyebabkan hilangnya
refleks tendon ekstremitas atas (biseps,brakhioradialis, triseps). Defisit sensorik membentang
sepanjang tepi radial lengan bawah dan ibu jari pada kompresi C6, melibatkan jari tengah dan
jari telunjuk pada lesi C7; dan lesi C7 menyebabkan hilangnya sensorik jari telunjuk dan jari
tengah.
·         Tumor daerah thorakal
Penderita lesi daerah thorakal seringkali datang dengan kelemahan spastik yang timbul
perlahan pada ekstremitas bagian bawah dan kemudian mengalami parastesia. Pasien dapat
mengeluh nyeri dan perasaan terjepit dan tertekan pada dada dan abdomen, yang mungkin
dikacaukan dengan nyeri akibat intrathorakal dan intraabdominal. Pada lesi thorakal bagian
bawah, refleks perut bagian bawah dan tanda beevor dapat menghilang.
·         Tumor daerah lumbosakral
Kompresi segmen lumbal bagian atas tidak mempengaruhi refleks perut, namun
menghilangkan refleks kremaster dan mungkin menyebabkan kelemahan fleksi panggul dan
spastisitas tungkai bawah. Juga terjadi kehilangan refleks lutut dan refleks pergelangan kaki
dan tanda babynski bilateral. Nyeri umunya dialihkan ke selangkangan. Lesi yang melibatkan
lumbal bagian bawah dan segmen-segmen sakral bagian atas menyebabkan kelemahan dan
atrofi otot-otot perineum, betis dan kaki. Hilangnya sensasi daerah perianal dan genitalia
yang disertai gangguan kontrol usus dan kandung kemih merupakan tanda khas lesi yang
mengenai daerah sakral bagian bawah.
·         Tumor kauda ekuina
Lesi dapat menyebabkan nyeri radikular yang dalam., kelemahan dan atrofi dari otot-otot
termasuk gluteus, otot perut, gastrocnemius, dan otot anterior tibialis. Refleks APR mungkin
menghilang, muncul gejala-gejala sfingter dini dan impotensi. Tanda-tanda khas lainnya
adalah nyeri tumpul pada sakrum dan perineum yang kadang-kadang menjalar ke tungkai.
Paralisis flaksid terjadi sesuai dengan radiks saraf yang terkena dan terkadang asimetris.
Refleks lain dapat terpengaruh tergantung letak lesi.
 
b. Perjalanan klinis tumor berdasarkan letak tumor dalam kanalis spinalis .
·         Lesi Ekstradural
Perjalanan klinis yang lazim dari tumor ektradural adalah kompresi cepat akibat invasi tumor
pada medula spinalis, kolaps kolumna vertebralis, atau perdarahan dari dalam metastasis.
Begitu timbul gejala kompresi medula spinlis, maka dengan cepat fungsi medula spinalis
akan hilang sama sekali. Kelemahan spastik dan hilangnya sensasi getar dan posisi sendi
dibawah tingkat lesi merupakan tanda awal kompresi medula spinalis.
·         Lesi Intradural
1. Intradural Ekstramedular
Lesi medula spinalis ekstramedular menyebabkan kompresi medula spinalis dan radiks saraf
pada segmen yang terkena. Sindrom Brown-Sequard mungkin disebabkan oleh kompresi
lateral medula spinalis.Sindrom akibat kerusakan separuh medula spenalis ini ditandai
dengan tanda-tanda disfungsi traktus kortikospinalis dan kolumna posterior ipsilateral di
bawah tingkat lesi. Pasien mengeluh nyeri, mula-mula di punggung dan kemudian di
sepanjang radiks spinal. Seperti pada tumor ekstradural, nyeri diperberat oleh traksi oleh
gerakan, batuk, bersin atau mengedan, dan paling berat terjadi pada malam hari. Nyeri yang
menghebat pada malam hari disebabkan oleh traksi pada radiks saraf yang sakit, yaitu
sewaktu tulang belakang memanjang setelah hilangnya efek pemendekan dari gravitasi.
Defisit sensorik mula-mula tidak jelas dan terjadi di bawah tingkat lesi (karena tumpah tindih
dermaton). Defisit ini berangsur-angsur naik hingga di bawah tingkat segmen medula
spinalis. Tumor pada sisi posterior dapat bermanifestasi sebagai parestesia dan selanjutnya
defisit sensorik proprioseptif, yang menambahkan ataksia pada kelemahan. Tumor yang
terletak anterior dapat menyebabkan defisit sensorik ringan tetapi dapat menyebabkan
gangguan motorik yang hebat.
2. Intradural Intramedular
Tumor-tumor intramedular tumbuh ke bagian tengah dari medula spinalis dan merusak
serabut-serabut yang menyilang serta neuron-neuron substansia grisea. Kerusakan serabut-
serabut yang menyilang ini mengakibatkan hilangnya sensasi nyeri dan suhu bilateral yang
meluas ke seluruh segmen yang terkena, yang pada gilirannya akan menyebabkan kerusakan
pada kulit perifer. Sensasi raba, gerak, posisi dan getar umumnya utuh kecuali lesinya besar.
Defisit sensasi nyeri dan suhu dengan utuhnya modalitas sensasi yang lain dikenal sebagai
defisit sensorik yang terdisosiasi. Perubahan fungsi refleks renggangan otot terjadi kerusakan
pada sel-sel kornu anterior. Kelemahan yang disertai atrofi dan fasikulasi disebabkan oleh
keterlibatan neuron-neuron motorik bagian bawah. Gejala dan tanda lainnya adalah nyeri
tumpul sesuai dengan tinggi lesi, impotensi pada pria dan gangguan sfingter.
 
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Radiologi
Modalitas utama dalam pemeriksaan radiologis untuk mediagnosis semua tipe tumor medula
spinalis adalah MRI. Alat ini dapat menunjukkan gambaran ruang dan kontras pada struktur
medula spinalis dimana gambaran ini tidak dapat dilihat dengan pemeriksaan yang lain.
Tumor pada pembungkus saraf dapat menyebabkan pembesaran foramen intervertebralis.
Lesi intra medular yang memanjang dapat menyebabkan erosi atau tampak berlekuk-lekuk
(scalloping) pada bagian posterior korpus vertebra serta pelebaran jarak interpendikular.
Mielografi selalu digabungkan dengan pemeriksaan CT. tumor intradural-ekstramedular
memberikan gambaran filling defect yang berbentuk bulat pada pemeriksaan myelogram.
Lesi intramedular menyebabkan pelebaran fokal pada bayangan medula spinalis.

Gambar 3, gambaran MRI tumor medula spinalis (intradural intramedular)

Gambar 4, gambaran MRI tumor intradural ekstramedular


 
 
b.CSF
Pada pasien dengan tumor spinal, pemeriksaan CSS dapat bermanfaat untuk differensial
diagnosis ataupun untuk memonitor respon terapi. Apabila terjadi obstruksi dari aliran CSS
sebagai akibat dari ekspansi tumor, pasien dapat menderita hidrosefalus. Punksi lumbal harus
dipertimbangkan secara hati- hati pada pasien tumor medula spinalis dengan sakit kepala
(terjadi peninggian tekasan intrakranial).
Pemeriksaan CSS meliputi pemeriksaan sel-sel malignan (sitologi), protein dan glukosa.
Konsentrasi protein yang tinggi serta kadar glukosa dan sitologi yang normal didapatkan pada
tumor-tumor medula spinalis, walaupun apabila telah menyebar ke selaput otak, kadar
glukosa didapatkan rendah dan sitologi yang menunjukkan malignansi. Adanya xanthocromic
CSS dengan tidak terdapatnya eritrosit merupakan karakteristik dari tumor medula spinalis
yang menyumbat ruang subarachnoid dan menyebabkan CSS yang statis pada daerah kaudal
tekal sac.
 
I. PENGOBATAN
            Pasien dengan tumor medulla spinal diberikan pengobatan untuk meringankan nyeri
dan mengontrol edema. Jika nyeri akut dan hasil dari metastasis tumor, boleh diberikan
analgesik narkotik. Penanganan nyeri untuk pasien dengan tumor medulla spinalis diberikan
analgesik narkotik.
Steroid, seperti Dexamethasone ( decadrone ) adalah mengatur pengontrolan edema pada
medulla spinalis. Steroid diberikan dalam dosis tinggi dalam tiga hari dan kemudian dengan
cepat menurunkannya.
 
J. DIAGNOSIS
Diagnosis tumor medula spinalis diambil berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisis
serta penunjang. Tumor ekstradural mempunyai perjalanan klinis berupa fungsi medula
spinalis akan hilang sama sekali disertai Kelemahan spastik dan hilangnya sensasi getar dan
posisi sendi dibawah tingkat lesi yang berlangsung cepat. Pada pemeriksaan radiogram tulang
belakang, sebagian besar penderita tumor akan memperlihatkan gejala osteoporosis atau
kerusakan nyata pada pedikulus dan korpus vertebra. Myelogram dapat memastikan letak
tumor.
Pada tumor ekstramedular, gejala yang mendominasi adalah kompresi serabut saraf spinalis,
sehingga yang paling awal tampak adalah nyeri, mula-mula di punggung dan kemudian di
sepanjang radiks spinal. Seperti pada tumor ekstradural, nyeri diperberat oleh traksi oleh
gerakan, batuk, bersin atau mengedan, dan paling berat terjadi pada malam hari. Nyeri yang
menghebat pada malam hari disebabkan oleh traksi pada radiks saraf yang sakit, yaitu
sewaktu tulang belakang memanjang setelah hilangnya efek pemendekan dari gravitasi.
Defisit sensorik berangsur-angsur naik hingga di bawah tingkat segmen medulla spinalis.
Pada tomor ekstramedular, kadar proteid CSS hampir selalu meningkat. Radiografi spinal
dapat memperlihatkan pembesaran foramen dan penipisan pedikulus yang berdekatan. Seperti
pada tumor ekstradural, myelogram, CT scan, dan MRI sangat penting untuk menentukan
letak yang tepat.
Pada tumor intramedular, Kerusakan serabut-serabut yang menyilang pada substansia grisea
mengakibatkan hilangnya sensasi nyeri dan suhu bilateral yang meluas ke seluruh segmen
yang terkena, yang pada gilirannya akan menyebabkan kerusakan pada kulit perifer. Sensasi
raba, gerak, posisi dan getar umumnya utuh kecuali lesinya besar. Defisit sensasi nyeri dan
suhu dengan utuhnya modalitas senssi yang lain dikenal sebagai defisit sensorik yang
terdisosiasi. Radiogram akan memperlihatkan pelebaran kanalis vertebralis dan erosi
pedikulus. Pada myelogram, CT scan, dan MRI, tampak pembesaran medulla spinalis.
 
K. DIAGNOSIS BANDING
Tumor medula spinalis harus dibedakan dari kelainan-kelainan lainnya pada medula spinalis.
Beberapa diferensial diagnosis meliputi : transverse myelitis, multiple sklerosis,
syringomielia, syphilis,amyotropik lateral sklerosis (ALS), anomali pada vertebra servikal
dan dasar tengkorak, spondilosis, adhesive arachnoiditis, radiculitis cauda ekuina, arthritis
hipertopik, rupture diskus intervertebralis, dan anomaly vascular.
Multiple sklerosis dapat dibedakan dari tumor medula spinalis dari sifatnya yang mempunyai
masa remisi dan relaps. Gejala klinis yang disebabkan oleh lesi yang multiple serta adanya
oligoklonal CSS merujuk pada multiple sklerosis. Transverse myelitis akut dapat
menyebabkan pembesaran korda spinalis yang mungkin hampir sama dengan tumor
intramedular.
Diferensial diagnosis antara syringomielia dan tumor intramedular sangat rumit, karena kista
intramedular pada umumnya berhubungan dengan tumor tersebut. Kombinasi antara atrofi
otot-otot lengan dan kelemahan spastic pada kaki pada ALS mungkin dapat membingungkan
kita dengan tumor servikal. Tumor dapat disingkirkan apabila didapatkan fungsi sensorik
yang normal, adanya fasikulasi, dan atrofi pada otot-otot kaki. Spondilosis servikal, dengan
atau tanpa rupture diskus intervertebralis dapat menyebabkan gejala iritasi serabut saraf dan
kompresi medulla spinalis. Osteoarthritis dapat didiagnosis melalui pemeriksaan radiologi.
Anomali pada daerah servikal atau pada dasar tengkorak, seperti platybasia atau klippel-feil
syndrome dapat didiagnosis melalui pemeriksaan radiologi. Kadang kadang arakhnoiditis
dapat memasuki sirkulasi dalam medulla spinalis yang dapat menunjukkan gejala seperti lesi
langsung pada medulla spinalis. Pada arakhnoiditis, terdapat peningkatan protein CSS yang
sangat berarti.
Tumor jinak pada medulla spinalis mempunyai ciri khas berupa pertumbuhan yang lambat
namun progresif selama bertahun-tahun. Apabila sebuah neurofibroma tumbuh pada radiks
dorsalis, akan terasa nyeri yang menjalar selama bertahun-tahun sebelum tumor ini
menunjukkan gejala-gejala lainnya yang dikenali dan didiagnosis sebagai tumor. Sebaliknya,
onset yang tiba-tiba dengan defisit neurologis yang berat, dengan atau tanpa nyeri, hampir
selalu mengindikasikan suatu tumor ekstradural malignan, seperti karsinoma metastasis atau
limfoma.
 
L. TERAPI
Penatalaksanaan untuk sebagian besar tumor baik intramedular maupun ekstramedular adalah
dengan pembedahan. Tujuannya adalah untuk menghilangkan tumor secara total dengan
menyelamatkan fungsi neurologis secara maksimal. Kebanyakan tumor intradural-
ekstramedular dapat direseksi secara total dengan gangguan neurologis yang minimal atau
bahkan tidak ada post operatif. Tumor-tumor yang mempunyai pola pertumbuhan yang cepat
dan agresif secara histologist dan tidak secara total di hilangkan melalui operasi dapat
diterapi dengan terapi radiasi post operasi.
·         Terapi yang dapat dilakukan pada tumor medulla spinalis adalah :
a. Pembedahan
Pembedahan sejak dulu merupakan terapi utama pada tumor medulla spinalis. Pengangkatan
yang lengkap dan defisit minimal post operasi, dapat mencapai 90% pada ependymoma, 40%
pada astrositoma dan 100% pada hemangioblastoma. Pembedahan juga merupakan
penatalaksanaan terpilih untuk tumor ekstramedular. Pembedahan, dengan tujuan
mengangkat tumor seluruhnya, aman dan merupakan pilihan yang efektif. Pada pengamatan
kurang lebih 8.5 bulan, mayoritas pasien terbebas secara keseluruhan dari gejala dan dapat
beraktifitas kembali.
b. Terapi radiasi
Tujuan dari terapi radiasi pada penatalaksanaan tumor medulla spinalis adalah untuk
memperbaiki kontrol lokal, serta dapat menyelamatkan dan memperbaiki fungsi neurologik.
Tarapi radiasi juga digunakan pada reseksi tumor yang inkomplit yang dilakukan pada daerah
yang terkena.
c. Kemoterapi
Penatalaksanaan farmakologi pada tumor intramedular hanya mempunyai sedikit manfaat.
Kortikosteroid intravena dengan dosis tinggi dapat meningkatkan fungsi neurologis untuk
sementara tetapi pengobatan ini tidak dilakukan untuk jangkawaktu yang lama. Walaupun
steroid dapat menurunkan edema vasogenik, obat-obatan ini tidak dapat menanggulangi
gejala akibat kondisi tersebut. Penggunaan steroid dalam jangka waktu lama dapat
menyababkan ulkus gaster, hiperglikemia dan penekanan system imun dengan resiko cushing
symdrome dikemudian hari. Regimen kemoterapi hanya meunjukkan angka keberhasilan
yang kecil pada terapi tumor medulla spinalis. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya
sawar darah otak yang membatasi masuknya agen kemotaksis pada CSS.
 
M. PROGNOSIS
Tumor dengan gambaran histopatologi dan klinik yang agresif mempunyai prognosis yang
buruk terhadap terapi. Pembedahan radikal mungkin dilakukan pada kasus-kasus ini.
Pengangkatan total dapat menyembuhkan atau setidaknya pasien dapat terkontrol dalam
waktu yang lama. Fungsi neurologis setelah pembedahan sangat bergantung pada status pre
operatif pasien. Prognosis semakin buruk seiring meningkatnya umur (>60 tahun)
 
N. PENATALAKSANAAN
·         Penatalaksanaan pra.operasi
Pasien dikaji terhadap adanya kelemahan, kejang dan gangguan sensori atau sfingter. Pasien
dikaji terhadap kemungkinan masalah paru, terutama pada tumor servikal. Pasien juga
dievaluasi terhadap adanya defisiensi koagulasi. Riwayat penggunaan aspirin yang diberikan
dan dilaporkan karena penggunaan aspirin dapat menimbulkan masalah-masalah hemostasis
setelah operasi. Ajarkan dan demonstrasikan latihan nafas dalam sebelum operasi
 
·         Penatalaksanaan pembedahan
Tekhnik bedah mikro meningkatkan prognosis pengobatan melalui pembedahan pada tumor
intra medular. Prognosis dihubungkan dengan derajat kerusakan neurologik pada saat
dibedah, kecepatan gejala yang timbul dan asala mula tumor. Modalitas pengobatan lain
mencakup pengangkatan sebagian tumor dekompresi medulla spinalis, kemoterapi dan terapi
radiasi.
Jika pasien mengalami kompresi medulla spinalis epidural yang disebabkan metastase kanker
( dari payudara, prostat atau paru-paru ) maka kombinasi deksametason dosis tinggi dengan
terapi radiasi efektif dalam mengurangi nyeri.
 
·         Penatalaksanaan Pasca.operasi
Pasien dipantau untuk adanya penyimpangan status neurologi. Awitan tiba-tiba defisit
neurologik dapat terjadi dikarenakan adanya kolaps vertebral yang dihubungkan dengan
infrak medulla spinalis. Dilakukan pemeriksaan neurologik dengan penekanan pada gerakan
tangan dan kaki, kekuatannya dan sensasi. Fungsi sensori dikaji dengan mencubit kulit
tangan, kaki dan batang tubuh untuk menentukan jika terjadi kehilangan rasa dan juga
tingkatannya. Tanda vital dipantau dengan teratur.
Jika tumor didaerah servikalis maka ada kemungkinan gangguan pernafasan pasca operasi.
Gerakan dada diobservasi untuk pernafasan simetri dan abdominal dan dada diauskultasi
untuk bunyi nafas abnormal. Nafas dalam dan batuk dianjurkan
Area diatas kandung kemih pasien dipalpasi untuk mengetahui adanya retensi urine.
Gangguan fungsi urinarius biasanya menimbulkan dekompensasi yang berarti terhadap
medulla spinalis. Asupan dan pengeluaran tetap dicatat. Selain itu ausluktasi bising usus
Medikasi nyeri yang diresepkan harus diberikan dalam jumlah adekuat dan pada interval
yang tepat untuk meredakan nyeri dan mencegah kekambuhannya.nyeri adalah tanda dari
metastasis spinal. Pasien dengan keterlibatan ridiks sensori atau kolaps vertebra dapat
mengalmi nyari hebat dan memerlukan penatalaksanaan yang efektif
Tempat tidur biasanya dipertahankan datar. Pasien dibalik posisinya sebagai satu kesatuan,
pertahankan bahu dan pinggul tetap sejajar. Pungggung dipertahankan lurus. Posisi berbaring
miring biasanya paling nyaman karena ini menghindari tekanan pada luka. Bantal
ditempatkan dinatara lutut pasien pada posisi berbaring miring dan hindari lutut fleksi
berlebihan
Balutan yang kotor dapat mengindikasikan adanya kebocoran CSS. Adanya kebocoran CSS
dari sisi pembedahan dapat menimbulkan infeksi serius atau reaksi radang disekitar jaringan
yang dapat menyebabkan nyeri hebat dalam periode pasca operasi.
 
O. DIAGNOSA KEPERAWATAN
            Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan tumor medulla
spinal, adalah ;

1. Ansietas berhubungan dengan keganasan tumor medulla spinalis


2. Konstipasi berhubungan dengan efek kompensasi dari medulla spinalis
3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan ekstremitas
4. Nyeri akut berhubungan dengan kompresi saraf spinal
5. Disfungsi seksual berhubungan dengan efek komprersi medulla spinal
6. Retensi urinarius berhubungan dengan efek kompresi medulla spinal

 
P. INTERVENSI

1. Ansietas berhubungan dengan keganasan tumor medulla spinalis


 Tentukan persepsi pasien tentang tumor dan pengobatan tumor ; tanyakan
tentang pengalaman pasien sendiri/sebelumnya atau pemgalaman orang lain
yang mempunyai ( pernah mengalami ) kanker

Rasional : Membantu identifikasi ide, sikap, rasa takut, kesalahan konsepsi, dan kesenjangan
pengetahuan tentang tumor

 Berikan informasi yang jelas dan akurat tentang tumor medulla spinal

Rasional : Membantu penilaian diagnosa tumor, memberikan informasi yang diperlukan,


menurunkan ansietas pasien dan meningkatkan kemampuan untuk mengasimilasi informasi

 Anjurkan orang terdekat atau keluarga pasien untuk ikut berperan serta dalam
perawatan pasien

Rasional : memberikan motivasi agar pasien tidak ansietas

 Berikan kesempatan untuk pasien mengungkapkan perasaan dan beban yang


dirasakannya. Pertahankan situasi yang tenang, rileks, tunjukkan sikap tak
menilai, dan mendengarkan dengan penuh perhatian. Identifikasi sistem
pendukung pasien dan mekanisme koping, dan anjurkan pilihan sesuai
kebutuhan
Rasional : Pengungkapan perasaan secara terbuka memudahkan rasa percaya dan membantu
mengurangi ansietas.

 Diskusikan adanya perubahan citra diri, ketakutan akan kehilangan


kemampuan yang menetap, kehilangan fungsi, kematian, masalah mengenai
penyembuhan

Rasional : Memberikan kesempatan untuk mengkaji persepsi informasi yang salah dari


pasien dan memberikan jalan dalam pemecehan masalah yang diharapkan

2. Konstipasi berhubungan dengan efek kompensasi dari medulla spinalis


 Auskultasi bising usus, catat lokasi dan karakteristiknya

Rasional : Bising usus mungkin tidak ada selama syok spinal. Hilangnya bising menandakan
adanya paralitik ileus

 Observasi adanya distensi abdomen jika bising usus tidak ada atau berkurang

Rasional : Hilangnya peristaltic ( karena gangguan saraf ) melumpuhkan usus, membuat


ditensi ileus dan usus

 Catat frekuensi, karakteristik dan jumlah feses

Rasional : Mengidentifikasikan derajat gangguan/ disfungsi dan intervensi selanjutnya

 Anjurkan pasien untuk makan makanan yang sehat dan berserat, pemasukan
cairan yang lebih banyak

Rasional : Meningkatkan konsistensi feses untuk dapat melewati usus dengan mudah

 Berikan obat Laksatif, suppsitoria, enema, pelunak feses

Rasional : Menstimulasi peristaltic dan pengeluaran feses secara rutin

3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan ekstremitas


 Kaji secara teratur fungsi motorik

Rasional : Mengevakuasi keadaan secara khusus dan menentukan intervensi

 Bantu atau lakukan latihan ROM pada semua ekstremitas dan sendi secara
teratur ( periodik )

Rasional : Meningkatkan sirkulasi, mempertahankan tonus otot dan mobilisasi sebi,


meningkatkan mobilisasi sendi dan mencegah kontraktur, atropi otot

 Anjurkan pasien untuk berperan srrta dalam aktivitas sesuai dengan


kemampuan / intoleransi
Rasional : mencegah kelelahan, memberikan kesempatan untuk berperan serta / melakukan
upaya maksimal

 Ganti posisi secara periodik

Rasional : Mengurangi tekanan pada salah satu area dan meningkatkan sirkulasi perifer

4. Nyeri akut berhubungan dengan kompresi saraf spinal


 Kaji terhadap adanya nyeri misalnya lokasi, tipe dan intensitas nyeri

Rasional : Membantu menentukan pilihan intervensi dan evaluasi terhadap terapi

 Berikan tindakan kenyamanan, misalnya perubahan posisi, masase, kompres


hangat atau dingin sesuai indikasi

Rasional : Menurunkan spasme otot dan menurunkan penekanan pada bagian tubuh tertentu

 Berikan posisi senyaman mungkin ( berbaring miring )

Rasional : Menghindari tekanan pada medulla spinalis

 Ajarkan tekhnik relaksasi atau visualisasi

Rasional : Memfokuskan perhatian pasien, membantu menurunkan tegangan otot dan


meningkatkan proses penyembuhan

 Batasi aktivitas selama fase akut sesuai dengan kebutuhan

Rasional : Menurunkan gerak yang dapat menghilangkan spasme otot dan menurunkan
tekanan pada struktur sekitar discus intervertebralis yang terkena

 Kolaborasi pemberian obat analgesic

Rasional : Membantu menghilangkan nyeri dan meningkatkan istirahat

5. Disfungsi seksual berhubungan dengan efek kompresi medulla spinal


 Lakukan pembahasan mengenai masalah yang berhubungan dengan fungsi
seksual dan seksualitas

Rasional : Banyak pasien enggan untuk mendiskusikan masalah seksual dengan melakukan
menunjukkan empati dan perhatian anda

 Berikan informasi akurat tentang efek tumor medulla spinalis terhadap fungsi
seksual

Rasional : Informasi akurat dapat mencegah harapan yang salah atau memberikan harapan
yang nyata dengan tepat
 Tekankan kembali tentang pentingnya diskusi terbuka diantara pasangan
seksual

Rasional : Kedua pasangan mengalami rasa takut dan masalah tentang aktivitas seksual.
Memendam perasaan ini ssecara negatif mempengaruhi hubungan

 Jelaskan bagaimana pasien dan pasangan dapat menggunakan bermain peran


untuk mengungkapkan masalah tentang seksual secara terbuka

Rasional : Bermain peran membantu individu dapat pandangan dengan menempatkan dirinya
sendiri pada posisi orang lain dan memungkinkan pengungkapkan secara spontan tentang
rasa takut dan masalah

 Rujuk pasien dan pasangan pada profesional kesehatan seksual dan mental
bersertifikat, bila diinginkan

Rasional : Masalah seksual tertentu memerlukan terapi berkelanjutan.

6. Retensi urinarius berhubungan dengan efek kompresi medulla spinal

·         Kaji pola berkemih seperti frekuensi dan jumlahnya. Bandingkan pengeluaran urine
dan pemasukan cairan
Rasional : Mengidentifikasi fungsi kandung kemih
·         Palpasi adanya distensi kandung kemih dan abserpasi pengeluaran urine
Rasional : Ketidakmampuan berhubungan dengan hilangnya kontraksi kandung kemih untuk
merilekskan springter urinarius
·         Anjurkan pasien untuk minum atau masukan cairan ( 2 – 4 liter/hari )
Rasional : Membantu mempertahankan fungsi ginjal, mencegah infeksi dan pembentukan
batu
·         Mulailah latihan kandung kemih bila diperlukan
Rasional : Meningkatkan kemampuan pengeluaran urine
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
DASAR DATA PENGKAJIAN
PASIEN TUMOR MEDULLA SPINALIS
 
AKTIVITAS / ISTIRAHAT
Tanda        : Kelumpuhan otot ( terjadi kelemahan selama syok spinal ) pada /     dibawah lesi
                  Kelemahan umum / kelemahan otot ( trauma dan adanya kompresi saraf )
SIRKULASI
Gejala        : Berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi atau bergerak
Tanda        : Hiopotensi, hipotensi postural, bradikardi, ekstremitas dingin dan pucat.
Hilangnya keringat pada daerah yang terkena.
ELIMINASI
Tanda        : Inkontinensia defekasi dan berkemih.
                   Retensi urine. Distensi abdomen. Peristaltik usus hilang. Melena, emesis
berwarna seperti kopitanah / hematemesis
INTEGRITAS EGO
Gejala        : Menyangkal, tidak percaya, sedih, marah
Tanda        : Takut, cemas, gelisah, manarik diri
MAKANAN / CAIRAN
Tanda        : Mengalami distensi abdomen, peristaltik usus hilang ( ileus Paralitik )
HIGIENE            
Tanda        : Sangat ketergantungan dalam melakukan aktivitas sehari-hari
 ( bervariasi )
NEUROSENSORI
Gejala        : Kebas, kesemutan, raa terbakar pada lengan / kaki. Paralisis flaksid / spastisitas
dapat terjadi saat syok spnal teratasi, tergantung pada area spinal yang sakit
Tanda        : Kelumpuhan, kelemahan ( kejang dapat berkembang saat terjadi perubahan pada
syok spinal ).
Kehilangan sensasi ( derajat bervariai dapat kembali normal setelah syok spinal sembuh )
Kehilangan tonus otot / vasomotor
Kehilangan refleks / refleks asimetris termasuk tendon dalam. Perubahan reaksi pupil, ptosis,
hilangnya keringat dari bagian tubuh yang terkena karena pengaruh tumor medulla spinal
NYERI / KENYAMANAN
Gejala        : Nyeri / nyeri tekan otot, hiperestesia tepat diatas daerah tumor
Tanda        : Mengalami deformitas, postur, nyeri tekan vertebral.
PERNAFASAN
Gejala        :  Nafas pendek, “lapar udara”,sulit bernafas
Tanda        : Pernafasan dangkal / labored, periode apnea, penurunan bunyi nafas, ronchi,
pucat, sianosis.
KEAMANAN
Gejala        : Suhu yang berfluktuasi ( suhu tubuh ini diambil dalam suhu kamar ).
SEKSUALITAS
Gejala        : Keinginan untuk kembali seperti fungsi normal
Tanda         : Ereksi tidak terkendali ( priapisme ) menstruasi tidak teratur.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
BAB III
PENUTUP
 
A. KESIMPULAN
Tumor medulla spinalis adalah suatu lesi ekspansif yang bersifat jinak (benigna) ataupun
ganas (maligna), membentuk massa dalam ruang sumsum tulang belakang (medulla
spinalis).Tumor medula spinalis merupakan suatu kelainan yang tidak lazim, dan hanya
sedikit ditemukan dalam populasi. Namun, jika lesi tumor tumbuh dan menekan medula
spinalis, tumor ini dapat menyebabkan disfungsi anggota gerak, kelumpuhan dan hilangnya
sensasi.
Tumor medulla spinalis termasuk penyakit yang sulit terdiagnosa secara dini. Secara klinis
sukar membedakan antara tumor medulla spinalis yang benigna atau yang maligna, karena
gejala yang timbul ditentukan pula oleh lokasi tumor, kecepatan tumbuhnya, kecepatan
terjadi tekanan tinggi intrakranial dan efek masa tumor ke jaringan otak.
 Dipikirkan menderita tumor medulla spinalis bila didapat adanya gangguan cerebral umum
yang bersifat progresif, adanya gejala tekanan tinggi intrakranial dan adanya gejala sindrom
otak yang spesifik. Pemeriksaan radiologi, dalam hal ini CT Scan berperan dalam diagnosa
tumor medulla spinalis, sedang diagnosa pasti tumor medulla spinalis benigna atau maligna
dengan pemeriksaan patologi-anatomi.
 
B. SARAN
Semoga dengan dibuatnya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan penulis sendiri.
Dan dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.
 
 
 
 
 
 
 
DAFTAR PUSTAKA
 
Lemone, Priscilla.  Medical surgical nursing critical thinking in client care third edition.  
Missouri
 
C.Smeltzer, Suzanne. 2002. Keperawatan Medical Bedah Volume 3 edisi 8. Jakarta : EGC
 
Satyanegara. 2006. Ilmu Bedah Saraf edisi kedua. Jakarta
 
Doenges, Marilynn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan edisi 3. Jakarta : EGC
 
Carpenito, Lynda Juall. 2000. Diagnosa keperawatan edisi 8. Jakarta : EGC
 
www.google.com
http : Prof. dr. H. Adril Arsyad Hakim, Sp S, Sp BS (K). 2001. Permasalahan serta
Penanggulangan Tumor Otak dan Sumsum Tulang Belakang.
 
 

Posted by marwah chu under Medulla spinalis | Comment( 0) |


15 Mei
Malaria Bumil

BAB I
PENDAHULUAN
 
1.      Latar Belakang
Infeksi malaria sampai saat ini masih merupakan
problem klinik di negara-negara berkembang
terutama negara yang beriklim tropis, termasuk
Indonesia. Di Indonesia penyakit malaria masih
merupakan penyakit infeksi utama di kawasan
Indonesia bagian Timur. Infeksi ini dapat menyerang
semua masyarakat, termasuk golongan yang paling
rentan seperti wanita hamil.
Infeksi malaria pada kehamilan sangat merugikan baik
bagi ibu dan janin yang dikandungnya, karena dapat
meningkatkan morbiditas dan mortalitas ibu maupun
janin.
Pada ibu menyebabkan anemi, malaria serebral, edema
paru, gagal ginjal bahkan dapat menyebabkan
kematian. Pada janin menyebabkan abortus, persalinan
prematur, berat badan lahir rendah, dan kematian
janin. Infeksi malaria pada wanita hamil sangat mudah
terjadi karena adanya perubahan sistim imunitas ibu
selama kehamilan, baik imunitas seluler maupun
imunitas humoral, serta diduga juga akibat
peningkatan horman kortisol
pada wanita selama kehamilan.
Kejadian infeksi malaria di berbagai daerah sampai
saat ini masih cukup tinggi, yaitu sekitar 9% dari
kasus rawat inap di rumah sakit. Berdasarkan hal
tersebut, perlu dipahami bahwa wanita hamil
membutuhkan perhatian ketat bila terjangkit infeksi
malaria selama periode kehamilan, persalinan maupun
nifas.
 
2.      Tujuan
Makalah ini dibuat dengan tujuan:
·        Mengetahui dan mempelajari tentang
Keperawatan Maternitas tentang Asuhan
Keperawatan Ibu Hamil dengan Malaria
·        Memenuhi tugas Keperawatan Maternitas.
·        Agar makalah ini bermanfaat bagi orang lain
 
 
 
BAB II
Asuhan Keperawatan Ibu Hamil dengan Malaria
 
A.     Pengertian
Malaria adalah penyakit yang dapat bersifat akut
maupun kronik, disebabkan oleh protozoa genus
Plasmodium yang ditandai dengan demam, anemia dan
pembesaran limpa, sedangkan menurut ahli lain
malaria adalah penyakit infeksi parasit yang
disebabkan oleh Plasmodium yang menyerang eritrosit
dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual
didalam darah, dengan gejala demam, menggigil,
anemia, splenomegali yang dapat berlangsung akut
ataupun kronik
 
B.     Etiologi
Malaria disebabkan parasit malaria, suatu protozoa
darah yang termasuk dalam phyllum Apicomplexa,
kelas Sporozoa, subkelas Coccidiida, ordo
Eucoccidides, subordo Haemosporidiidea, famili
Plasmodiidae, genus Plasmodium4.
Empat spesies Plasmodium penyebab malaria pada
manusia adalah :
1. Plasmodium falciparum ( P. Falciparum )
2. Plasmodium vivax ( P. Vivax )
3. Plasmodium ovale ( P. Ovale )
4. Plasmodium malariae ( P. Malariae )
Penularan manusia dapat dilakukan oleh nyamuk betina
dari tribus anopheles. Selain itu juga dapat ditularkan
secara langsung melalui transfusi darah atau jarum
suntik yang tercemar serta ibu hamil kepada bayinya .
P. vivax menyebabkan malaria tertiana, P.malaria
merupakan penyebab malaria kuartana. P.ovale
menyebabkan malaria ovale, sedangkan P.falciparum
menyebabkan malaria tropika. Spesies terkhir ini
paling berbahaya karena malaria yang ditimbulkan
dapat menjadi berat. Hal ini disebabkan dalam waktu
singkat dapat menyerang eritrosit dalam jumlah
besar, sehingga menimbulkan berbagai komplikasi di
dalam organ-organ tubuh.
 
C.     Siklus Hidup Plasmodium
Parasit malaria memerlukan dua hospes untuk siklus
hidupnya, yaitu manusia dan nyamuk anopheles betina.
1. Siklus pada manusia
Pada waktu nyamuk anopheles infektif menghisap
darah manusia, sporozoit yang berada dalam kelenjar
liur nyamuk akan masuk ke dalam peredaran darah
selama lebih kurang 30 menit. Setelah itu sporozoit
akan masuk ke dalam sel hati dan menjadi tropozoit
hati. Kemudian berkembang menjadi skizon hati yang
terdiri dari 10.000 sampai 30.000 merozoit hati.
Siklus ini disebut siklus eksoeritrositer yang
berlangsung selama lebih kurang 2 minggu. Pada
P.vivax dan P.ovale, sebagian tropozoit hati tidak
langsung berkembang menjadi skizon, tetapi ada yang
menjadi bentuk dorman yang disebut hipnozoit.
Hipnozoit tersebut dapat tinggal di dalam sel hati
selama berbulan-bulan sampai bertahun-tahun. Pada
suatu saat bila imunitas tubuh menurun, akan menjadi
aktif sehingga dapat menimbulkan relaps ( kambuh ) .
Merozoit yang berasal dari skizon hati yang pecah
akan masuk ke dalam peredaran darah dan
menginfeksi sel darah merah. Di dalam sel darah
merah, parasit tersebut berkembang dari stadium
tropozoit sampai skizon ( 8 sampai 30 merozoit ).
Proses perkembangan aseksual ini disebut skizogoni.
Selanjutnya eritrosit yang terinfeksi (skizon) pecah
dan merozoit yang keluar akan menginfeksi sel darah
merah lainnya. Siklus ini disebut siklus eritrositer.
Setelah 2 sampai 3 siklus skizogoni darah, sebagian
merozoit yang menginfeksi sel darah merah dan
membentuk stadium seksual yaitu gametosit jantan
dan betina.
2. Siklus pada nyamuk anopheles betina
 
 
 
 
 
 
 
 
Apabila nyamuk anopheles betina menghisap darah
yang mengandung gametosit, di dalam tubuh nyamuk,
gamet jantan dan betina melakukan pembuahan
menjadi zigot. Zigot berkembang menjadi ookinet
kemudian menembus dinding lambung nyamuk. Pada
dinding luar lambung nyamuk ookinet akan menjadi
ookista dan selanjutnya menjadi sporozoit. Sporozoit
ini akan bersifat infektif dan siap ditularkan ke
manusia.
Masa inkubasi adalah rentang waktu sejak sporozoit
masuk sampai timbulnya gejala klinis yang ditandai
dengan demam. Masa inkubasi bervariasi tergantung
spesies Plasmodium.
Masa prepaten adalah rentang waktu sejak sporozoit
masuk sampai parasit dapat dideteksi dalam darah
dengan pemeriksaan mikroskopik.
Tabel 1. Masa inkubasi penyakit malaria.
Plasmodium Masa inkubasi
( hari )
P. falciparum 9 - 14 ( 12 )
P.vivax 12 - 17 ( 15 )
P.ovale 16 - 18 ( 17 )
P. malariae 18 - 40 ( 28 )
 
Gambar.1Siklus Hidup Plasmodium3.
 
D.    Patologi malaria
Sporozoit pada fase eksoeritrosit bermultiplikasi
dalam sel hepar tanpa menyebabkan reaksi inflamasi,
kemudian merozoit yang dihasilkan menginfeksi
eritrosit yang merupakan proses patologi dari
penyakit malaria. Infeksi eritrosit ini mengakibatkan
250 juta kasus malaria dan 2 juta kematian setiap
tahunnya di seluruh dunia 5.Proses terjadinya patologi
malaria serebral yang merupakan salah satu dari
malaria berat adalah terjadinya perdarahan dan
nekrosis sekitar venula dan kapiler. Kapiler dipenuhi
leukosit dan monosit, terjadi sumbatan pembuluh
darah oleh roset eritrosit yang terinfeksi 5,10.
 
E.     Epidemiologi
Pada dasarnya setiap orang dapat terkena malaria.
Perbedaan prevalensi menurut umur dan jenis kelamin
lebih berkaitan dengan perbedaan derajat kekebalan
karena variasi keterpaparan gigitan nyamuk.
Beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang dapat
terinfeksi malaria adalah :

1. Ras atau suku bangsa

Prevalensi Hemoglobin S ( HbS ) pada penduduk


Afrika cukup tinggi sehingga lebih tahan terhadap
infeksi P.falciparum karena HbS menghambat
perkembangbiakan P.falciparum.

2. Kurangnya enzim tertentu

Kurangnya enzim Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase


( G6PD ) memberikan perlindungan terhadap infeksi
P.falciparum yang berat. Defisiensi enzim G6PD ini
merupakan penyakit genetik dengan manifestasi
utama pada wanita.
 
3.   Kekebalan pada malaria terjadi apabila tubuh
mampu menghancurkan Plasmodium yang masuk atau
menghalangi perkembangbiakannya.
 
F.      Immunopatologi
A. Respon Imun Terhadap Infeksi Malaria Selama
Kehamilan
Respon imun spesifik terdiri dari imunitas seluler oleh
limfosit T dan imunitas humoral oleh limfosit B.
Limfosit T dibedakan menjadi limfosit T helper
( CD4+ ) dan sitotoksik ( CD8+ ) sedangkan
berdasarkan sitokin yang dihasilkannya dibedakan
menjadi subset Th-1 ( menghasilkan IFN-dan TNF- )
dan subset Th-2 ( menghasilkan IL-4, IL-5, IL-6,
IL10 ).
Sitokin tersebut berperan mengaktifkan imunitas
humoral. CD4+ berfungsi sebagai regulator dengan
membantu produksi antibodi dan aktivasi fagosit lain
sedangkan CD8+ berperan sebagai efektor langsung
untuk fagositosis parasit dan menghambat
perkembangan parasit dengan menghasilkan IFN-.
Epitop-epitop antigen parasit akan berikatan dengan
reseptor limfosit B yang berperan sebagai sel penyaji
antigen kepada sel limfosit T dalam hal ini CD4+.
Selanjutnya sel T akan berdiferensiasi menjadi sel
Th-1 dan Th-2. Sel Th-2 akan menghasilkan IL-4 dan
IL-5 yang memacu pembentukan Ig oleh limfosit B. Ig
tersebut juga meningkatkan kemampuan fagositosis
makrofag. Sel Th-1 menghasilkan IFN-dan TNF- yang
mengaktifkan komponen imunitas seluler seperti
makrofag dan monosit serta sel NK.
Wanita hamil memiliki risiko terserang malaria
falciparum lebih sering dan lebih beratdibandingkan
wanita tidak hamil. Konsentrasi eritrosit yang
terinfeksi parasit banyak ditemukan di plasenta
sehingga diduga respon imun terhadap parasit di
bagian tersebut mengalami supresi. Hal tersebut
berhubungan dengan supresi sistim imun baik humoral
maupun seluler selama kehamilan sehubungan dengan
keberadaan fetus
sebagai "benda asing" di dalam tubuh ibu.
Supresi sistim imun selama kehamilan berhubungan
dengan keadaan hormonal. Konsentrasi hormon
progesteron yang meningkat selama kehamilan
berefek menghambat
aktifasi limfosit T terhadap stimulasi antigen. Selain
itu efek imunosupresi kortisol juga berperan dalam
menghambat respon imun.
B. Peranan Sitokin Pada Infeksi Malaria
Antigen-antigen parasit merupakan pemicu pelepasan
zat-zat tertentu dari sel-sel pertahanan tubuh yang
disebut sitokin. Sitokin dihasilkan oleh makrofag atau
monosit dan limfosit T. Sitokin yang dihasilkan oleh
makrofag adalah TNF, IL-1 dan IL-6 sedangkan
limfosit T menghasilkan TNF-, IFN-, IL-4, IL-8, IL-
10 dan IL-12
Sitokin yang diduga banyak berperan pada mekanisme
patologi dari malaria adalah TNF (tumor necrosis
factor). TNF- menginduksi terjadinya perubahan pada
netrofil yaitu pelepasan enzim lisosomal, ekspresi
reseptor permukaan seperti reseptor Fc dan integrin,
adhesi dan migrasi kemotaktik.
Selanjutnya terjadi peningkatan daya adheren sel
netrofil terhadap berbagai substrat dan sel sehingga
daya bunuh netrofil terhadap parasit meningkat.
Selain itu TNF-
juga memacu pembentukan sitokin lain seperti Il-1,
IL-6, IL-12, IFN- dan meningkatkan sintesis
prostaglandin. TNF- juga meningkatkan ekspresi
molekul adhesi seperti ICAM1 dan CD36 pada sel-sel
endotel kapiler sehingga meningkatkan sitoadheren
eritrosit yang terinfeksi parasit.
Peningkatan sitoadheren tersebut meningkatkan
risiko malaria serebral. IFN- berfungsi memacu
pembentukan TNF- dan juga meningkatkan daya
bunuh netrofil. IL-1 bekerja sinergis dengan TNF-
sedangkan IL-6 memacu produksi Ig oleh sel limfosit
B dan memacu proliferasi dan deferensiasi sel
limfosit T. Selain berperan pada mekanisme patologi
malaria, sitokin diduga juga berperan menyebabkan
gangguan dalam kehamilan. Pada wanita hamil yang
menderita malaria terdapat kenaikan TNF-, IL-1 dan
IL-8 yang sangat nyata pada jaringan plasenta
dibandingkan wanita hamil yang tidak menderita
malaria. Sitokin-sitokin tersebut terutama dihasilkan
oleh makrofag hemozoin yang terdapat di plasenta.
Telah dijelaskan bahwa kadar TNF- yang tinggi dapat
meningkatkan sitoadheren eritrosit yang terinfeksi
parasit terhadap sel-sel endotel kapiler. Kadar TNF-
plasenta yang tinggi akan memacu proses penempelan
eritrosit berparasit pada kapiler plasenta dan
selanjutnya akan menimbulkan gangguan aliran darah
plasenta dan akhirnya gangguan nutrisi fetus. Bila
proses berlanjut dapat menyebabkan retardasi
pertumbuhan fetus sehingga bayi yang dilahirkan
memiliki berat badan rendah. Selain itu peningkatan
sintesis prostaglandin seiring dengan peningkatan
konsentrasi TNF- plasenta diduga dapat menyebabkan
kelahiran prematur.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa selain
kenaikan TNF-, IL-1 dan IL-8, selama kehamilan juga
didapatkan peningkatan IL-6, Il-2 dan IL-4.
 
G.    Histopatologi
Pada wanita hamil yang terinfeksi malaria, eritrosit
berparasit dijumpai di plasenta sisi maternal dari
sirkulasi tetapi tidak di sisi fetal, kecuali pada
penyakit plasenta. Pada infeksi aktif, plasenta
terlihat hitam atau abu-abu dan sinusoid padat
dengan eritrosit terinfeksi. Secara histologis
ditandai oleh sel eritrosit berparasit dan pigmen
malaria dalam ruang intervilli plasenta, monosit
mengandung pigmen, infiltrasi mononuklear, simpul
sinsitial (syncitial knotting), nekrosis fibrinoid,
kerusakan trofoblas dan penebalan membrana basalis
trofoblas. Terjadi nekrosis sinsitiotrofoblas,
kehilangan mikrovilli dan penebalan membrana basalis
trofoblas akan menyebabkan aliran darah ke janin
berkurang dan akan terjadi gangguan nutrisi pada
janin.
Lesi bermakna yang ditemukan adalah penebalan
membrana basalis trofoblas, pengurusan mikrovilli
fokal menahun. Bila villi plasenta dan sinus venosum
mengalami kongesti dan terisi eritrosit berparasit
dan makrofag, maka aliran darah plasenta akan
berkurang dan ini dapat menyebabkan abortus, lahir
prematur, lahir mati ataupun berat badan lahir
rendah.
 
 
 
H.    Gejala Klinis
Gejala utama infeksi malaria adalah demam yang
diduga berhubungan dengan proses skizogoni
( pecahnya merozoit/ skizon ) dan terbentuknya
sitokin dan atau toksin lainnya. Pada daerah
hiperendemik sering ditemukan penderita dengan
parasitemia tanpa gejala demam. Gambaran
karakteristik dari malaria ialah demam periodik,
anemi dan splenomegali. Sering terdapat gejala
prodromal seperti malaise, sakit kepala, nyeri pada
tulang/otot, anoreksi dan diare ringan.Namun
sebenarnya efek klinik malaria pada ibu hamil lebih
tergantung pada tingkat kekebalan ibu hamil terhadap
penyakit itu, sedangkan kekebalan terhadap malaria
lebih banyak ditentukan dari tingkat transmisi
malaria tempat wanita hamil tinggal/ berasal, yang
dibagi menjadi 2 golongan besar :
1. Stable transmission / transmisi stabil, atau
endemik( contoh : Afrika Sub-Sahara )
- Orang-orang di daerah ini terus-menerus terpapar
malaria karena sering menerima gigitan nyamuk
infektif setiap bulannya
- Kekebalan terhadap malaria terbentuk secara
signifikan
2. Unstable transmission / transmisi tidak stabil,
epidemik atau non-endemik
( contoh : Asia Tenggara dan Amerika Selatan )
- Orang-orang di daerah ini jarang terpapar malaria
dan hanya menerima rata-rata < 1 gigitan nyamuk
infektif/tahun. Wanita hamil ( semi-imun ) di daerah
transmisi stabil/ endemik tinggi akan mengalami:
- Peningkatan parasite rate ( pada primigravida di
Afrika parasite rate pada wanita hamil meningkat 30-
40% dibandingkan wanita tidak hamil )
- Peningkatan kepadatan ( densitas ) parasitemi
perifer
- Menyebabkan efek klinis lebih sedikit, kecuali efek
anemi maternal sebagai komplikasi utama yang sering
terjadi pada primigravida. Anemi tersebut dapat
memburuk sehingga menyebabkan akibat serius bagi
ibu dan janin. Sebaliknya di daerah tidak stabil/non-
endemik/endemik rendah yang sebagian besar
populasinya merupakan orang-orang non-imun
terhadap malaria, kehamilan akan meningkatkan risiko
penyakit maternal berat, kematian janin, kelahiran
prematur dan kematian perinatal. Ibu hamil yang
menderita malaria berat di daerah ini memiliki risiko
fatal lebih dari 10 kali dibandingkan ibu tidak hamil
yang menderita malaria berat di daerah yang sama.
 
I.       DIAGNOSIS MALARIA
DIAGNOSIS KLINIS ( Tanpa Pemeriksaan
Laboratorium )
1. Malaria klinis ringan / tanpa komplikasi
2. Malaria klinis berat / dengan komplikasi

 Malaria ringan / tanpa komplikasi

Pada anamnesis :
- Harus dicurigai malaria pada seseorang yang berasal
dari daerah endemis malaria dengan demam akut
dalam segala bentuk, dengan / tanpa gejala-gejala lain
- Adanya riwayat perjalanan ke daerah endemis
malaria dalam 2 minggu terakhir
- Riwayat tinggal di daerah malaria
- Riwayat pernah mendapat pengobatan malaria
Pada pemeriksaan fisik :
- Suhu > 37,5oC
- Dapat ditemukan pembesaran limpa
- Dapat ditemukan anemi
- Gejala klasik malaria khas terdiri dari 3 stadia yang
berurutan, yaitu menggigil ( 15 60 menit ), demam
( 2-6 jam ), berkeringat ( 2-4 jam )
Di daerah endemis malaria, pada penderita yang telah
mempunyai imunitas terhadap malaria, gejala klasik di
atas tidak timbul berurutan, bahkan tidak semua
gejala tersebut dapat ditemukan. Selain gejala klasik
di atas, dapat juga disertai gejala lain/gejala khas
setempat, seperti lemas, sakit kepala, mialgia, sakit
perut, mual/muntah,dan diare.

 Malaria berat
Malaria berat / severe malaria / complicated malaria
adalah bentuk malaria falsiparum serius dan
berbahaya, yang memerlukan penanganan segera dan
intensif. Oleh karena itu pengenalan tanda-tanda dan
gejala-gejala malaria berat sangat penting bagi unit
pelayanan kesehatan untuk menurunkan mortalitas
malaria. Beberapa penyakit penting yang mirip dengan
malaria berat adalah meningitis, ensefalitis,
septikemi, demam tifoid, infeksi viral, dll. Hal ini
menyebabkan pemeriksaan laboratorium sangat
dibutuhkan untuk menambah kekuatan diagnosis.
WHO mendefinisikan Malaria berat sebagai
ditemukannya P. falciparum bentuk aseksual dengan
satu atau beberapa komplikasi/manifestasi klinik
berat, yaitu :
1. Gangguan kesadaran sampai koma ( malaria serebral
)
2. Anemi berat ( Hb < 5 g%, Ht < 15 % )
3. Hipoglikemi ( kadar gula darah < 40 mg% )
4. Udem paru / ARDS
5. Kolaps sirkulasi, syok, hipotensi ( sistolik < 70
mmHg pada dewasa dan < 50 mmHg pada anak-anak ),
algid malaria dan septikemia.
6. Gagal ginjal akut ( ARF )
7. Jaundice ( bilirubin > 3 mg% )
8. Kejang umum berulang (  > 3 kali/24 jam )
9. Asidosis metabolik
10. Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit dan
asam-basa.
11. Perdarahan abnormal dan gangguan pembekuan
darah.
12. Hemoglobinuri
13. Kelemahan yang sangat ( severe prostration )
14. Hiperparasitemi
15. Hiperpireksi ( suhu > 40oC )
Malaria falsiparum tanpa komplikasi ( uncomplicated )
dapat menjadi berat (complicated) jika tidak diobati
secara dini dan semestinya.
 
J.      DIAGNOSIS MALARIA PADA
KEHAMILAN
Malaria pada kehamilan dipastikan dengan
ditemukannya parasit malaria di dalam: - Darah
maternal
- Darah plasenta / melalui biopsi.
Gambaran klinik malaria pada wanita non-imun ( di
daerah non-endemik ) bervariasi dari:
- Malaria ringan tanpa komplikasi (  uncomplicated
malaria ) dengan demam tinggi,
- Malaria berat ( complicated malaria ) dengan risiko
tinggi pada ibu dan janin ( maternal mortality rate
20-50 % dan sering fatal bagi janin ).
Sedangkan gambaran klinik malaria pada wanita di
daerah endemik sering tidak jelas, mereka biasanya
memiliki kekebalan yang semi-imun, sehingga :
- Tidak menimbulkan gejala, misal : demam
- Tidak dapat didiagnosis klinik
 
K. DIAGNOSIS LABORATORIUM ( dengan
Pemeriksaan Sediaan Darah )
Pemeriksaan mikroskopikmasih merupakan yang
terpentingpada penyakit malaria karena selain dapat
mengidentifikasi jenis plasmodium secara tepat
sekaligus juga dapat menghitung jumlah parasit
sehingga derajat parasitemi dapat diketahui.
Pemeriksaan dengan mikroskop:
- Pewarnaan Giemsa pada sediaan apusan darah untuk
melihat parasit
- Pewarnaan Acridin Orange untuk melihat eritrosit
yang terinfeksi
- Pemeriksaan Fluoresensi Quantitative Buffy Coat
( QBC )
Sedangkan pemeriksaan sediaan darah ( SD ) tebal
dan tipis di puskesmas/lapangan/rumah sakit
digunakan untuk menentukan nilai ambang parasit dan
mengetahui kepadatan parasit (terutama penderita
rawat inap) pada sediaan darah.
Metode diagnostik yang lain adalah deteksi antigen
HRP II dari parasit dengan metode Dipstick test,
selain itu dapat pula dilakukan uji immunoserologis
yang lain, seperti:
- Tera radio immunologik ( RIA )
- Tera immuno enzimatik ( ELISA )
Adapun pemeriksaan genetika dan biomolekuler yang
dapat dilakukan adalah dengan mendeteksi DNA
parasit, dalam hal ini urutan nukleotida parasit yang
spesifik, melalui pemeriksaan Reaksi Rantai
Polimerase ( PCR ). Di daerah yang tidak mempunyai
sarana laboratorium dan tenaga mikroskopis,
diagnosis malaria ditegakkan hanya berdasarkan
pemeriksaan klinis ( anamnesis dan pemeriksaan fisik )
tanpa pemeriksaan laboratorium.
 
 
L. PENGARUH MALARIA TERHADAP IBU HAMIL
1. Anemia
Infeksi malaria akan menyebabkan lisis sel darah
merah yang mengandung parasit sehingga akan
menyebabkan anemi. Jenis anemi yang ditemukan
adalah hemolitik normokrom. Pada infeksi P.
falciparum dapat terjadi anemi berat karena semua
umur eritrosit dapat diserang. Eritrosit berparasit
maupun tidak berparasit mengalami hemolisis karena
fragilitas osmotik meningkat. Selain itu juga dapat
disebabkan peningkatan autohemolisis baik pada
eritrosit berparasit maupun tidak berparasit
sehingga masa hidup eritrosit menjadi lebih singkat
dan anemi lebih cepat terjadi. Pada infeksi P. vivax
tidak terjadi destruksi darah yang berat karena
hanya retikulosit yang diserang. Anemi berat pada
infeksi P. vivax kronik menunjukkan adanya penyebab
immunopatologik.
Malaria pada kehamilan dapat menyebabkan anemi
berat terutama di daerah endemis dan merupakan
penyebab mortalitas penting. Anemi hemolitik dan
megaloblastik pada kehamilan mungkin akibat sebab
nutrisional atau parasit terutama sekali pada wanita
primipara.
2. Sistem sirkulasi
Bila terjadi blokade kapiler oleh eritrosit berparasit
maka akan terjadi anoksi jaringan terutama di otak.
Kerusakan endotel kapiler sering terjadi pada malaria
falciparum yang berat karena terjadi peningkatan
permeabilitas cairan, protein dan diapedesis eritrosit.
Kegagalan lebih lanjut aliran darah ke jaringan dan
organ disebabkan vasokonstriksi arteri kecil dan
dilatasi kapiler, hal ini akan memperberat keadaan
anoksi. Pada infeksi P. falciparum sering dijumpai
hipotensi ortostatik.
3. Edema pulmonum
Pada infeksi P. falciparum, pneumonia merupakan
komplikasi yang sering dan umumnya akibat aspirasi
atau bakteremia yang menyebar dari tempat infeksi
lain. Gangguan perfusi organ akan meningkatan
permeabilitas kapiler sehingga terjadi edema
interstitial. Hal ini akan menyebabkan disfungsi
mikrosirkulasi paru. Gambaran makroskopik paru
berupa reaksi edematik, berwarna merah tua dan
konsistensi keras dengan bercak perdarahan.
Gambaran mikroskopik tergantung derajat parasitemi
pada saat meninggal. Terdapat gambaran hemozoin
dalam makrofag pada septa alveoli. Alveoli
menunjukkan gambaran hemoragik disertai penebalan
septa alveoli dan penekanan dinding alveoli serta
infiltrasi sel radang.
Edema paru dapat terjadi karena beberapa sebab
yaitu peningkatan permeabilitas vaskuler sekunder
terhadap emboli dan DIC, disfungsi berat
mikrosirkulasi, fenomena alergi, terapi cairan yang
berlebihan bersamaan dengan gangguan fungsi kapiler
alveoli, kehamilan, malaria serebral, tingkat
parasitemi yang tinggi, hipotensi, asidosis dan uremia.
4. Hipoglikemi
Pada wanita hamil umumnya terjadi perubahan
metabolisme karbohidrat yang menyebabkan
kecenderungan hipoglikemi terutama saat trimester
terakhir. Selain itu, sel
darah merah yang terinfeksi memerlukan glukosa 75
kali lebih banyak daripada sel darah normal. Di
samping faktor tersebut, hipoglikemi dapat juga
terjadi pada penderita malaria yang diberi kina
secara intravena. Hipoglikemi karena kebutuhan
metabolik parasit yang meningkat menyebabkan
habisnya cadangan glikogen hati.
Pada orang dewasa hipoglikemi sering berhubungan
dengan pengobatan kina, sedangkan pada anak-anak
sering disebabkan penyakit itu sendiri. Hipoglikemi
sering terjadi pada wanita hamil khususnya pada
primipara. Gejala hipoglikemi juga dapat terjadi
karena sekresi adrenalin yang berlebihan dan
disfungsi susunan saraf pusat. Mortalitas hipoglikemi
pada malaria berat di Minahasa adalah 45%, lebih
baik daripada Irian Jaya sebesar 75%.
5. Infeksi plasenta
Pada penelitian terhadap plasenta wanita hamil yang
terinfeksi berat oleh falciparum ditemukan banyak
timbunan eritrosit yang terinfeksi parasit dan
monosit yang berisi pigmen di daerah intervilli. Juga
ditemukan nekrosis sinsisial dan proliferasi sel-sel
sitotrofoblas. Adanya kelainan plasenta dengan
penimbunan pigmen tetapi tidak ditemukan parasit
menunjukkan adanya infeksi yang sudah sembuh atau
inaktif.
6. Gangguan elektrolit
Rasio natrium/kalium di eritrosit dan otot meningkat
dan pada beberapa kasus terjadi peningkatan kalium
plasma pada saat lisis berat. Rasio natrium/kalium
urin sering terbalik. Hiponatremi sering ditemukan
pada penderita sakit berat dan karena ginjal terlibat
dapat terjadi peningkatan serum kreatinin dan BUN.
7. Malaria serebral
Malaria serebral merupakan ensefalopati simetrik
pada infeksi P. falciparum dan memiliki mortalitas 20-
50%. Serangan sangat mendadak walaupun biasanya
didahului oleh episode demam malaria. Kematian dapat
terjadi dalam beberapa jam. Akan tetapi banyak dari
mereka yang selamat mengalami penyembuhan
sempurna dalam beberapa hari. Pada anak-anak
sekitar 10% terjadi sekuele neurologik. Sejumlah
mekanisme patofisiologi ditemukan antara lain
obstruksi mekanis pembuluh darah serebral akibat
berkurangnya kemampuan deformabilitas eritrosit
berparasit atau akibat adhesi eritrosit berparasit
pada endotel vaskuler yang akan melepaskan faktor-
faktor toksik dan akhirnya menyebabkan
permeabilitas vaskuler meningkat, sawar darah otak
rusak, edema serebral dan menginduksi respon radang
pada dan di sekitar pembuluh darah serebral.
Malaria serebral sering dijumpai pada daerah
endemik seperti Jawa Tengah (Jepara ), Sulawesi
Utara, Maluku dan Irian Jaya. Di Sulawesi Utara
mortalitasnya 30,5% sedangkan di RSUP Manado
50%.
 
M. PENGARUH MALARIA PADA JANIN
1. Kematian janin dalam kandungan
Kematian janin intrauterin dapat terjadi akibat
hiperpireksi, anemi berat, penimbunan parasit di
dalam plasenta yang menyebabkan gangguan sirkulasi
ataupun akibat infeksi transplasental.
2. Abortus
Abortus pada usia kehamilan trimester I lebih sering
terjadi karena demam tinggi sedangkan abortus pada
usia trimester II disebabkan oleh anemia berat.
3. Persalinan prematur
Umumnya terjadi sewaktu atau tidak lama setelah
serangan malaria. Beberapa hal yang menyebabkan
persalinan prematur adalah febris, dehidrasi, asidosis
atau infeksi plasenta.
4. Berat badan lahir rendah
Penderita malaria biasanya menderita anemi sehingga
akan menyebabkan gangguan sirkulasi nutrisi pada
janin dan berakibat terhambatnya pertumbuhan dan
perkembangan janin dalam kandungan.
5. Malaria plasenta
Plasenta mempunyai fungsi sebagai barier protektif
dari berbagai kelainan yang terdapat dalam darah ibu
sehingga parasit malaria akan ditemukan di plasenta
bagian maternal dan hanya dapat masuk ke sirkulasi
janin bila terdapat kerusakan plasenta misalnya pada
persalinan sehingga terjadi malaria kongenital.
Prevalensi malaria plasenta biasanya ditemukan lebih
tinggi daripada malaria pada sediaan darah tepi
wanita hamil, hal ini mungkin karena plasenta
merupakan tempat parasit bermultiplikasi. Diagnosis
malaria plasenta ditegakkan dengan menemukan
parasit malaria dalam sel darah merah atau pigmen
malaria dalam monosit pada sediaan darah yang
diambil dari plasenta bagian maternal atau darah tali
pusat.
Infeksi P. falciparum sering mengakibatkan anemi
maternal, abortus, lahir mati, partus prematur, BBLR
serta kematian maternal. Gambaran histologik infeksi
aktif berupa plasenta yang bewarna hitam/abu-abu,
sinusoid padat dengan eritrosit terinfeksi, eritrosit
terinfeksi pada sisi maternal dan tidak pada sisi fetal
kecuali pada beberapa penyakit plasenta. Tampak
pigmen hemozoin dalam ruang intervilli dan makrofag
disertai infiltrasi sel radang. Dapat terjadi simpul
sinsitial disertai nekrosis fibrinoid dan kerusakan
serta penebalan membrana basalis trofoblas.
6. Malaria kongenital
Gejala klinik malaria kongenital antara lain iritabilitas,
tidak mau menyusu, demam, pembesaran hati dan
limpa ( hepatosplenomegali ) dan anemia tanpa
retikulositosis dan tanpa ikterus.
Malaria kongenital dapat dibagi menjadi 2 kelompok
yaitu:
a. True Congenital Malaria ( acquired during
pregnancy )
Pada malaria kongenital ini sudah terjadi kerusakan
plasenta sebelum bayi dilahirkan. Parasit malaria
ditemukan pada darah perifer bayi dalam 48 jam
setelah lahir dan gejalanya ditemukan pada saat lahir
atau 1-2 hari setelah lahir.
b. False Congenital Malaria ( acquired during labor )
Malaria kongenital ini paling banyak dilaporkan dan
terjadi karena pelepasan plasenta diikuti transmisi
parasit malaria ke janin. Gejala-gejalanya muncul 3-5
minggu setelah bayi lahir.
 
N.  PENANGANAN MALARIA PADA KEHAMILAN

 Pengontrolan Malaria

Pengontrolan malaria dalam kehamilan tergantung


derajat transmisi, berdasarkan gabungan hal-hal di
bawah ini :
1. Diagnosis dan pengobatan malaria ringan dan anemia
ringan sampai moderat
2. Kemoprofilaksis
3. Penatalaksanaan komplikasi malaria berat,
termasuk anemia berat
4. Pendidikan kesehatan dan kunjungan yang teratur
untuk ante natal care ( ANC ).
ANC teratur adalah dasar keberhasilan
penatalaksanaan malaria dalam kehamilan, yang
bertujuan untuk memberikan pendidikan kesehatan
termasuk penyuluhan tentang malaria dan dampaknya
( malaria serebral, anemi, hipoglikemi, edema paru,
abortus, pertumbuhan janin terhambat, prematuritas,
kematian janin dalam rahim, dll ) pada kehamilan di
semua lini kesehatan ( Posyandu, Pustu, Puskesmas
dan Rumah Sakit ).
- Memantau kesehatan ibu dan janin, serta kemajuan
kehamilan
- Diagnosis dan pengobatan yang tepat ( tepat waktu )
- Memberikan ibu suplai obat untuk kemoprofilaksis
5. Perlindungan pribadi untuk mencegah kontak
dengan vektor, misal : pemakaian kelambu.
6. Pemeriksaan hemoglobin dan parasitologi malaria
setiap bulan.
7. Pemberian tablet besi dan asam folat serta
imunisasi TT lengkap.
8. Pada daerah non resisten klorokuin :
- Ibu hamil non-imun diberi Klorokuin 2 tablet atau
minggu dari pertama datang atau setelah sakit sampai
masa nifas
- Ibu hamil semi imun diberi sulfadoksin-pirimetamin (
SP ) pada trimester II dan III awal
9. Pada daerah resisten klorokuin semua ibu hamil
baik non imun maupun semi imun diberi SP pada
trimester II dan III awal
Penanganan Malaria di Puskesmas dan Rumah Sakit
1. Kriteria rawat jalan
a. Gejala klinis malaria tanpa komplikasi
b. Bukan malaria berat
c. Parasitemia < 5%
2. Kritera rawat tinggal
a. Gejala klinis malaria dengan komplikasi
b. Malaria berat
c. Parasitemia > 5%

Cara Aman Penggunaan Kortikosteroid Topikal pada


Dermatitis Atopi Anak
Posted on December 31, 2007 by farmakoterapi-info| 4 Comments

Cara Aman Penggunaan Kortikosteroid Topikal

pada Dermatitis Atopi Anak

(Yuda Kristama – 078115073)

Dermatitis merupakan masalah kulit yang kerap dijumpai dalam kehidupan sehari – hari.
Salah satu dermatitis yang sering mendapat perhatian khusus adalah dermatitis atopi,
mengingat angka kejadiannya yang cenderung terus meningkat dan dampaknya yang
berakibat pada kualitas hidup pasien maupun keluarganya. Seperti ditulis Barnetson RSC dan
Rogers M dalam British Medical Journal, kejadian dermatitis atopi pada anak di negara maju
adalah satu berbanding sepuluh dan angka ini terus meningkat. Peningkatan disebabkan
diantaranya oleh tingginya tingkat polusi udara, maraknya binatang peliharaan, usia tua saat
hamil, dan banyaknya jenis makanan yang beredar. Disamping itu dermatitis atopi juga
sangat jelas faktor herediternya.

Lima puluh persen kasus penderita dermatitis atopi pada anak dapat menghilang saat remaja,
namun dapat juga menetap atau bahkan baru terjadi pada usia dewasa. Kehadiran dermatitis
atopi terkadang juga menyebabkan masalah psikologis yang cukup besar. Bahkan apabila
gejala yang muncul cukup parah dapat mengganggu aktivitas sehari-hari.

Secara sederhana dermatitis atopi dapat dipahami sebagai suatu kondisi inflamasi dari kulit
yang tidak diketahui penyebabnya dan secara primer terjadi pada bayi dan anak-anak.
Penyakit ini secara khas timbul pada orang – orang dengan riwayat atopi dalam keluarga
ataupun atopi pada orang itu sendiri. Atopi sendiri diartikan sebagai kelainan dasar genetik
yang ditandai oleh kecenderungan individu untuk membentuk antibodi berupa imunoglobulin
E (IgE) spesifik bila berhadapan dengan alergen yang umum dijumpai. Beberapa faktor yang
dapat mencetuskan terjadinya atopi di antaranya adalah alergen inhalan dan ingestan, iritan,
serta intoleransi. Kebanyakan dermatitis atopi terjadi pada anak karena alergi terhadap debu
rumah, serbuk rumput, dan bulu binatang.

Gejala umum dermatitis atopi yang sering dijumpai adalah rasa gatal yang hebat. Padahal
dengan menggaruk justru akan menambah gambaran klinis bahkan dapat memperparah
keadaan dengan kemungkinan timbulnya infeksi sekunder. Selain itu juga kulit menjadi
kering dan menebal (likenifikasi), disertai inflamasi dan eksudasi yang dapat kambuh
sewaktu – waktu.

Berbagai faktor dapat memicu dematitis atopi, antara lain alergen makanan, alergen hirup,
berbagai bahan iritan, dan stress, akan tetapi seberapa besar peran alergen makanan dan
alergen hirup ini masih kontroversial. Meski pada pasien dermatitis atopi kerap dijumpai
peningkatan IgE spesifik terhadap kedua jenis alergen ini, tetapi tidak selalu dijumpai
korelasi dengan kondisi klinisnya. Hasil tes positif terhadap suatu alergen, tidak selalu
menyatakan alergen tersebut sebagai pemicu dermatitis atopi, tetapi lebih menggambarkan
bahwa pasien telah tersensitasi terhadapnya. Secara umum, alergen makanan lebih berperan
pada dermatitis atopi usia dini. Dalam perkembangannya seiring dengan penambahan usia,
maka peran alergen makanan akan digantikan oleh alergen hirup. Selain itu, memang terdapat
sekitar 20% penderita dermatitis atopi tanpa peningkatan IgE spesifik, yang dikenal sebagai
dematitis atopi tipe intrinsik.

Patogenesis dermatitis atopi sampai saat ini belum diketahui secara pasti sehingga belum ada
pengobatan yang dapat memberikan kesembuhan total pada penderita. Saat ini
penatalaksanaan dermatitis atopi memerlukan pendekatan secara sistemik dan
multidimensional. Yang menjadi sasaran terapi pada penderita ini adalah inflamasi kulit (lesi
dermatitis atopi) beserta tanda dan gejala penyakit yang muncul. Sedangkan penatalaksanaan
terapi ini ditujukan untuk mengurangi dan mengatasi inflamasi beserta tanda dan gejala
penyakit yang menyertainya seperti kekeringan kulit, gatal – gatal. Disamping itu juga untuk
mencegah/mengurangi kekambuhan, dan yang tak kalah penting yaitu mengidentifikasi
sekaligus mengeliminasi faktor pencetus.

Keberhasilan pengobatan dermatitis atopi memerlukan pendekatan sistematik dan


menyeluruh. Walaupun berbagai cara pengobatan dasar telah digunakan masih banyak kasus
tertentu yang memerlukan pengobatan khusus. Strategi terapi untuk penatalaksanaan penyakit
ini meliputi terapi non farmakologi dan terapi secara farmakologi. Terapi non farmakologi
dapat dilakukan dengan melakukan identifikasi dan eliminasi faktor pencetus seperti
menggunting kuku, menghindari zat iritatif (deterjen, kosmetik, keringat, dsb.), sinar
matahari dan beberapa alergen spesifik (makanan, debu, stres, infeksi dsb). Untuk terapi
farmakologi dapat dilakukan dengan memberikan obat seperti kortikosteroid topikal, anti
gatal, antibiotik, dan krim hidrasi kulit.
Diantara obat – obat tersebut kortikosteroid topikal menjadi pilihan utama untuk dermatitis
atopi karena merupakan imunosupressan yang kuat dan sebagai anti inflamasi. Penggunaan
steroid topikal yang bersifat anti-inflamasi merupakan dasar terapi untuk pengobatan lesi –
lesi dermatitis atopi dan bila digunakan sesuai anjuran, kortikosteroid topikal cukup aman.
Kekuatan kortikosteroid yang dipilih harus memperhatikan pada keparahan gejala dan lokasi
lesi. Sebagai contoh pemakaian kortikosteroid topikal dengan potensi kuat harus dihindarkan
dari daerah wajah, genitalia, dan daerah lipatan tubuh. Untuk daerah – daerah tersebut obat
yang secara umum direkomendasikan merupakan obat dengan potensi ringan. Tujuanya
untuk menghidari adanya potensi efek samping yang dimungkinkan muncul. Semakin tinggi
potensinya, semakin besar pula kemungkinan terjadi efek samping. Penggunaan steroid
topikal ini juga hanya ditekankan pada daerah lesi dermatitis atopi saja sedangkan pada kulit
yang tidak terlibat, cukup dengan emolient untuk menghindari kulit kering dan proses
inflamasi.

Terdapat 7 golongan kortikosteroid berdasarkan potensinya yang tentunya juga mempunyai


potensi efek samping yang berbeda pada penggunaannya, terutama jika digunakan dalam
jangka panjang. Untuk potensi obat yang sangat kuat maka hanya untuk digunakan dalam
waktu yang sangat singkat dan hanya pada lokasi yang mengalami penebalan (likenifikasi)
berat, tidak untuk wajah dan daerah lipatan. Steroid potensi sedang dapat digunakan untuk
periode yang lebih lama dan ditujukan penggunaannya untuk lesi di badan dan ekstremitas.

POTENSI KORTIKOSTEROID TOPIKAL

Nama Konsentrasi dan Bentuk Dosis


Sediaan
Potensi Sangat Tinggi
Clobetasol Propionate 0,05% krim, salep, aplikasi kulit 1 – 2 x/hari
kepala
Halcinonide 0,1% krim, solution 2 – 3 x/hari
Potensi Tinggi
Amcinonide 0,1% krim 2 -3 x/hari
Beclometasone dipropionate 0,025% krim 2 x/hari
Betamethasone dipropionate 0,05% krim, salep, cair 0,064% 1 – 3 x/hari
krim, salep, solution
Betamethasone valerate 0,025% krim 2 – 3 x/hari
Betamethasone valerate 0,1% krim, gel, lotion, salep, 1 – 3 x/hari
solution
Desoximetasone 0,05% gel, 0,025% krim, salep 1 – 3 x/hari
Difluocortolone valerate 0,3% salep berlemak 2x/ hari
Difluocortolone valerate 0,1% krim, salep berlemak, salep 1 – 3 x/hari
Fluclorolone acetonide 0,025% krim 2 x/hari
Fluocinolone acetonide 0,025% krim, gel, salep 0,03% 1 – 3 x/hari
salep
Fluocinolone acetonide 0,2% krim 2 – 3 x/hari
Fluocinolone acetonide 0,005% krim 0,01% krim, salep 1 – 3 x/hari
0,0125% krim
Fluocinonide 0,05% krim, salep 2 – 3 x/hari
Fluocortolone/ fluocortolone 0,25%/0,25% krim 1 – 3 x/hari
caproate
Fluocortolone pivalate/ 0,25%/0.25% salep 1 – 3 x/hari
fluocortolone caproate
Fluticasone propionate 0,05% krim, 0,005% salep 1 – 2 x/hari
Hydrocortisone aceponate 0,127% krim 1 – 2 x/hari
Methylprednisolone 0,1% krim, salep berlemak, salep 1 – 2 x/hari
aceponate
Mometasone furoate 0,1% krim, salep, lotion 1 x/hari
Prednicarbate 0,25% krim 1 – 2 x/hari
Potensi Sedang
Alclometasone dipropionate 0, 05% krim, salep 2 – 3 x/hari
Clobetasone butyrate 0,05% krim, salep Sampai 4
x/hari
Desonide 0,05% krim, salep, lotion 2 x/hari
Fluprednidene acetate 0,1% krim, solution 2 x/hari
Triamcinolone acetonide 0,1% krim, salep, lotion 0,2% 2 – 3x/hari
krim, 0,02% krim
Potensi Rendah
Hydrocortisone 0,5% krim, 1% lotion, gel, krim 2 – 3 x/hari
2,5% krim
Hydrocortisone acetate 1% krim, salep 2,5% krim 2 – 3 x/hari

Dalam aplikasinya sebagian besar obat sebaiknya diberikan 1 – 2 x/hari. Untuk daerah
telapak tangan dan kaki dapat diberikan lebih sering. Penggunaan kortikosteroid topikal
dengan potensi sangat tinggi hanya direkomendasikan selama 1 – 2 minggu (paling lama 3
minggu) kemudian beralih ke potensi yang lebih ringan seiring dengan perbaikan kondisi dan
emolient untuk mencapai hidrasi kulit. Sebaiknya obat dengan potensi sangat tinggi tidak
digunakan untuk anak di bawah 1 tahun.

Efek Samping yang mungkin terjadi selama pemakaian kortikosteroid dan senantiasa harus
dikendalikan adalah efek lokal, meliputi penipisan kulit yang dapat membaik dengan
penghentian obat, perburukan kondisi infeksi, dermatitis kontak, jerawat pada tempat
pemberian, dan hipopigmentasi reversibel. Sedangkan efek sistemiknya dapat berupa
penyerapan melalui kulit yang dapat menyebabkan supresi sumbu pituitari – adrenal,
gangguan pertumbuhan dan Sindroma Cushing. Dalam prakteknya kortikosteroid topikal
dengan potensi rendah jarang menimbulkan efek samping begitu pula dengan potensi sedang
dan tinggi juga jarang menimbulkan masalah jika digunakan kurang dari 3 bulan.

Sebuah studi yang dimuat dalam Journal of the American Academy of Dermatology, Maret
2002 menyoroti kekhawatiran tentang potensi membahayakan efek samping steroid lokal
yang digunakan untuk mengatasi masalah kulit anak. Dalam studi Fase IV, Friedlander dkk
menggunakan fluticasone topikal untuk mengatasi dermatitis pada anak. sebanyak 51 anak
berusia antara 3 bulan hingga 6 tahun menerima terapi dengan krim fluticasone propionate,
0.05% dua kali sehari selama 3 hingga 4 minggu. Semua anak mengalami dermatitis atopi
dari tingkat moderat hingga berat dan menimpa 35% atau lebih kulit tubuh mereka. Rata-rata
kulit tubuh luar yang diterapi mencapai 64% tidak ada efek samping signifikan yang
dilaporkan. Fluticasone propionate krim 0.05% terbukti aman untuk berbagai masalah kulit
meski dipakai dalam jangka waktu lebih dari 4 minggu pada anak usia mulai 3 bulan.
Selain obat-obatan topikal, dapat pula dipertimbangkan obat-obatan oral. Dermatitis atopi
berat merupakan kondisi yang serius yang dapat menurunkan kualitas hidup anak. Karenanya
anak-anak ini harus diobati dengan adekuat. Steroid oral digunakan sebagai pilihan terakhir
dan sebisa mungkin dihindari karena efek rebound yang parah saat penghentian obat, yaitu,
dermatitisnya menjadi tidak stabil, serta efek samping jangka panjang yang cukup besar.

Pustaka

Anonim, 2000, Informatorium Obat Nasional Indonesia, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Anonim, 2006, MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi, edisi 6, Info Master, Indonesia.

Amiruddin M D. Dermatitis Atopi dan Penanganannya. Ilmu Penyakit Kulit. Bagian Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin FKUH. Makassar : LkiS Yogyakarta, 2003 : 297-312.

Amiruddin M D, 2005, Penatalaksanaan Dermatitis Atopik. Jurnal Med Nus Vol. 26 No. 1
Januari-Maret 2005.

Leung, D.Y.M.; Nicklas, R.A; Li, J.T; and Bernstein,I.L., 2004, Annals Of Allergy, Asthma
& Immunology; Volume 93, September. New York : Marcel Dekker Inc.

→ 4 Comments

Posted in Sistem Integumen

Penggunaan Carbamazepine pada Pasien Pediatri


Posted on December 31, 2007 by farmakoterapi-info| Leave a comment

Penggunaan Carbamazepine pada Pasien Pediatri

Yosepha Henny Ermawati

078115072

Epilepsi adalah suatu gangguan pada susunan saraf pusat yang timbul secara spontan dalam
episode singkat dengan gejala utama kesadaran menurun sampai hilang dan biasanya disertai
kejang (konvulsi). Kejang yang dialami oleh pasien epilepsi disebabkan adanya perubahan
aktivitas syaraf yang berupa pelepasan muatan listrik secara berlebihan. Beberapa kejadian
seperti trauma fisik (benturan atau memar) pada otak, berkurangnya aliran darah yang
membawa oksigen ke otak, pendesakan karena tumor, sclerosis jaringan otak dipercaya
sebagai penyebab terjadinya perubahan anatomis (meliputi bentuk dan struktur) dan
perubahan biokimiawi pada sel-sel atau lingkungan sekitarnya. Perubahan anatomis dan
biokimiawi ini yang nantinya akan menyebabkan perubahan aktivitas syaraf yang kemudian
menyebabkan kejang.

Serangan epilepsi pada dasarnya dibedakan menjadi dua, yaitu serangan kejang sebagian,
(partial seizure) dimana jenis kejang ini melibatkan sebagian kecil daerah di otak, dan
serangan kejang merata (generalized seizure) dimana jenis ini melibatkan seluruh otak sejak
otak aktif. Serangan atonik, klonik, tonik, tonik-klonik, dan unilateral adalah tipe serangan
epilepsi generalized seizure yang sering terjadi pada anak-anak. Tipe serangan klonik adalah
campuran gelombang cepat dan lambat dengan hilangnya ketegangan dan ketegapan sikap
diikuti klonik bilateral.Ciri serangan tipe klonik adalah aktivitas cepat, voltase rendah atau
irama cepat.

Data WHO menunjukkan bahwa lebih dari 50 juta penderita epilepsi di seluruh dunia dimana
85% dari total penderita hidup di negara berkembang, dan salah satunya adalah Indonesia.
Penderita epilepsi selalu bertambah setiap tahunnya dan diperkirakan pertambahan 2,4 juta
kasus setiap tahunnya. Setengah dari total kasus epilepsi telah diderita semenjak pasien masih
anak-anak atau remaja. Penyebab epilepsi yang sering dialami oleh pasien anak adalah karena
bawaan lahir, inflamasi yang didapat, kecenderungan genetik, trauma, ketidakseimbangan
neuro chemical, subselluler neurotransmitter, infeksi, dan proses neoplastik.

Ada banyak pertimbangan dalam memilih obat yang sesuai untuk pasien epilepsi, diantaranya
tipe seizure (kejang), umur pasien, jenis kelamin, faktor ekonomi, pola hidup, dan faktor
keluarga. Pengobatan epilepsi pada anak sangat perlu diperhatikan karena berkaitan dengan
perkembangan otak pada masa pertumbuhan. Beberapa anak yang mendapatkan pengobatan
dengan antiepilepsi dilaporkan mengalami kesulitan untuk berbicara.

Sasaran terapi untuk penderita epilepsi dengan mengurangi frekuensi terjadinya serangan dan
mencegah keparahan penyakit. Tujuan terapinya adalah aktivitas listrik syaraf yang
berlebihan.

Strategi dalam pengobatan epilepsi strategi terapi yang dapat digunakan ada dua, yaitu
farmakologi dan non farmakologi. Secara farmakologi dengan memberikan obat yang
mempunyai mekanisme kerja dengan memodifikasi penghantaran ion, menghambat transmisi
GABAergik, dan menghambat aktivitas eksitatori (glutamatergik). Menurut Kalra obat
antiepilepsi yang digunakan pada pediatri sebaiknya obat tunggal dengan peningkatan dosis
yang bertahap. Penggunaan carbamazepine pada bayi sebaiknya dihindari karena akan
memacu keparahan terjadinya kejang tipe kompleks. Selama dua sampai tiga minggu dosis
terapi yang digunakan adalah dosis rendah. Jika kejang yang terjadi semakin parah maka
dosis ditingkatkan hingga mencapai dosis terapi maksimum. Jika keadaan tidak membaik
maka obat dapat diganti dengan obat antiepilepsi yang lain. Penggantian dengan obat
antiepilepsi yang baru harus dilakukan monitoring. Jika kejang tetap terjadi dan tidak ada
perbaikan, maka digunakan politerapi. Terapi secara non farmakologi dengan memperhatikan
makanan yang dikonsumsi (pada pasien pediatric disarankan untuk melakukan diet
ketogenik), pembedahan syaraf, dan menghindari stress karena akan memacu terjadinya
serangan.

OBAT PILIHAN

Carbamazepine

Indikasi

Carbamazepin diindikasikan untuk kejang sebagian dengan gejala yang kompleks


(psychomotor, temporal lobe), kejang tonik-klonik (grand mal), pola kejang campuran,
neuralgia trigeminal. Unlabelled use: mengobati schizophrenia resisten, penghentian alcohol,
gangguan atau stress traumatis.
Kontraindikasi

Carbamazepine dikontraindikasikan untuk pasien yang hipersensitivitas terhadap


carbamazepine, antidepressant trisiklik, depresi sumsum tulang belakang, dalam terapi
dengan inhibitor MAO selama 14 hari, kehamilan.

Dosis

Penggunaan dosis berdasarkan respons pasien dan konsentrasi carbazepine dalam serum.

Epilepsi:

Anak < 6 tahun, awal: 10-20 mg/kg/hari terbagi dalam 3 kali pemberian (tablet), dan 4 kali
pemberian (sirup) dosis ditingkatkan setiap minggu sampai respon optimal dan tingkat terapi
didapatkan. Maintenance: terbagi dalam 3-4 kali pemberian dengan dosis mksimum yang
direkomendasikan 35 mg/kg/hari.

Anak 6-12 tahun, awal: 100 mg dua kali sehari (tablet atau tablet lepas kontrol) atau 200 mg
sirup dalam 4 kali pemberian Maintenance: 400-800 mg/hari, dosis maksimum yang
direkomendasikan 1000 mg/hari. Anak < 12 tahun yang menerima ≥ 400 mg/hari dapat
menggunakan sediaan lepas control.

Anak > 12 tahun dan dewasa, dosis awal: 200 mg dua kali sehari (tablet) atau 400 mg sehari
terbagi menjadi 4 kali pemberian. Dosis maksimum yang direkomendasikan, anak (12-15
tahun) 1000 mg/hari, anak (> 15 tahun): 1200 mg/hari, dewasa 1600 mg/hari dan beberapa
pasien membutuhkan 1.6-2,4 g/hari.

Efek Samping, frekuensi terjadinya efek samping tidak dilaporkan

Kardiovaskular: Arrhytmia, bradikardi, nyeri dada, CHF, edema, hiper/hypotension,


lymphadenopathy, tromboembolisme, tromboplebitis. CNS: Amnesia, ansietas, ataksia,
kebingungan, sakit kepala, sedasi. Dermatologi: perubahan pigmentasi kulit, erythema
multiforme, steven-johnson syndrome, reaksi fotosensitivitas, urtikaria. Gastrointestinal:
nyeri pada perut, anoreksia, konstipasi, diare, dyspepsia, nausea, pankreatitis, vomiting. Hati:
jaundice, uji fungsi hati menunjukkan abnormal. Neuromuskular & tulang: nyeri
punggung, nyeri. Mata: pandangan kabur, konjungtivitis, nystagmus. Telinga: hiperakusis,
tinnitus.

Resiko khusus:

Pada wanita hamil dengan factor resiko D. Carbamazepine dapat melewati sawar plasenta
sehingga menyebabkan kerusakan tulang tengkorak, kerusakan jantung,

Penggunaan pada ibu menyusui perlu diperhatikan karena carbazepine dapat memasuki ASI.

Pada pasien dengan riwayat gagal jantung, hati, atau ginjal berpotensi menyebabkan
abnormalitas sel darah yang fatal.

Bentuk Sediaan:
Tablet, tablet kunyah

Tablet lepas control : jangan digunakan jika terdapat kerusakan.

Kapsul salut selaput : dapat diberikan dengan atau tanpa makanan, jangan dihancurkan atau
dikunyah.

Sirup : Penggunaan bentuk sediaan sirup carbamazepine sebaiknya hindari penggunaan


bersamaan dengan obat cair atau diluen yang lain. Jika digunakan bentuk sediaan sirup maka
dosis awal yang diberikan sebaiknya dalam dosis yang rendah dan naik bertahap secara
perlahan untuk menghindari efek samping yang tidak diharapkan. Penggunaannya sebaiknya
bersamaan dengan makan.

Informasi tambahan

Carbamazepine dapat menyebabkan ketidaknyamanan pada saluran pencernaan, oleh karena


itu minum air yang banyak atau makanan dalam jumlah yang cukup untuk menghindari
ketidaknyamanan pada saluran pencernaan.

Nama Dagang

 Bamgetol® (Mersifarma TM) kapsul salut selaput 200 mg.


 Carbamazepine Indofarma® tablet 200 mg.
 Tegretol ® (Novartis) tablet 200 mg, tablet kunyah 100 mg, tablet lepas control 200
mg, sirup 100 mg/5 ml.
 Teril® (Merck) tablet 200 mg

DAFTAR PUSTAKA

Anonim 2007, MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi, Edisi 6, Info Master, Jakarta.

DiPiro, T.J., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Pasey, L.M., 2005,
Pharmacoteraphy: A Pathophysiological Approach, 6th Edition, McGraw Hill Inc, USA

Kalra, V., Indian Journal of Pediatrics, Volume 70, 2003, Management of Childhood
Epilepsi, http: www.ijppediatricsindia.org

Lacy, C.F., Armstrong, L.L., Goldman, M.P., dan Lance, L.L., 2006, Drug Information
Handbook, 14th Edition, Lexicomp, Inc., USA

→ Leave a comment

Posted in Sistem Saraf-Hormon

PENGGUNAAN INSULIN PADA PASIEN


DIABETES MELITUS
Posted on December 31, 2007 by farmakoterapi-info| Leave a comment
Oleh: Sinta Kiranawati (078115030)

Diabetes Melitus
Diabetes Melitus (DM) atau sering dikenal sebagai kencing manis, ditandai dengan kelompok
gejala hiperglikemia; perubahan metabolisme lemak, karbohidrat, dan protein; serta
meningkatnya resiko komplikasi penyakit vaskuler baik makrovaskuler (penyakit
kardiovaskuler) dan mikrovaskuler (nefropati, retinopati dan neuropati). Semua ini timbul
akibat defisiensi sintesis dan sekresi insulin. Di Amerika, sekitar 18,2 juta penduduknya
menderita DM dan hanya dua pertiganya saja yang dapat terdiagnosa. DM merupakan
penyebab utama terjadinya kebutaan pada usia sekitar 20–74 tahun, penyakit ginjal, serta
75% dapat menyebabkan kematian karena DM tipe 2.
DM diklasifikasikan menjadi dua yaitu DM tipe 1 yang bergantung pada insulin (IDDM), dan
DM tipe 2 yang tidak bergantung pada insulin (NIDDM). DM tipe 1 merupakan penyakit
autoimun yang biasa dialami oleh anak-anak atau remaja, dimana sel beta pankreas
dihancurkan sehingga tidak mampu memproduksi insulin endogen yang bertanggung jawab
terhadap peningkatan glukosa darah. DM tipe 2, terjadi defisiensi insulin yang didahului oleh
adanya resistensi insulin di otot, lemak dan hati (terutama pada obesitas viseral), dan
bersamaan itu disertai gangguan sekresi insulin sel beta pankreas yang lambat laun menjadi
defisiensi insulin yang permanen. Prevalensi terjadinya DM tipe 1 hanya sekitar 5-10% dari
semua kasus diabetes jika dibandingkan dengan DM tipe 2 yang mencapai 90-95%.
Selain itu, terdapat jenis diabetes mellitus gestasional (DMG) yang juga disebabkan oleh
resistansi insulin yang terjadi pada wanita hamil. DMG biasanya terjadi pada trimester kedua
atau ketiga. Saat ini insulin dipergunakan untuk DM tipe 1 dan DM tipe 2 dengan berbagai
macam indikasi. Umumnya, terapi insulin diberikan pada pasien DM tipe 2 apabila
pengobatan dengan antidiabetik oral gagal. Pasien DMG juga diberi terapi dengan insulin,
namun biasanya glukosa darah akan kembali normal setelah melahirkan.
Penyebab terjadinya DM sangat bervariasi, bisa karena faktor keturunan, usia, kegemukan,
ras, serta gaya hidup. Faktor genetik dan lingkungan berperan dalam timbulnya kedua tipe
DM, tetapi faktor genetik lebih nyata pada NIDDM. Pada IDDM, faktor genetik berhubungan
dengan pengaturan genetik pada respon imun sehingga IDDM sering muncul pada penyakit
autoimun terhadap sel beta pankreas. Penyebab terbanyak dari kehilangan sel beta pada
diabetes tipe 1 adalah kesalahan reaksi autoimunitas yang menghancurkan sel beta pankreas.
Reaksi autoimunitas tersebut dapat dipicu oleh adanya infeksi pada tubuh.
Komplikasi DM pada retina, ginjal, dan sistem saraf perifer, serta meningkatnya mortalitas
dan resiko penyakit vaskular dapat dicegah dengan mempertahankan kadar gula darah dalam
batas normal, menjaga agar kadar lipid dan tekanan darah tetap normal juga mencegah
meningkatnya resiko tersebut. Insulin eksogen dan obat antidiabetik oral dapat diberikan
untuk mempertahankan kadar gula darah normal. Terapi insulin yang intensif dapat
mengurangi morbiditas dan mortalitas pasien DM.

Insulin
Insulin termasuk hormon polipeptida yang awalnya diekstraksi dari pankreas babi maupun
sapi, tetapi kini telah dapat disintesis dengan teknologi rekombinan DNA menggunakan
E.coli. Susunan asam amino insulin manusia berbeda dengan susunan insulin hewani; insulin
rekombinan dibuat sesuai dengan susunan insulin manusia sehingga disebut sebagai human
insulin. Saat ini insulin biosintetik tersedia di Indonesia.
Insulin merupakan hormon yang diproduksi oleh sel beta di dalam pankreas dan digunakan
untuk mengontrol kadar glukosa dalam darah. Sekresi insulin terdiri dari 2 komponen.
Komponen pertama yaitu: sekresi insulin basal kira-kira 1 unit/jam dan terjadi diantara waktu
makan, waktu malam hari dan keadaan puasa. Komponen kedua yaitu: sekresi insulin
prandial yang menghasilkan kadar insulin 5-10 kali lebih besar dari kadar insulin basal dan
diproduksi secara pulsatif dalam waktu 0,5-1 jam sesudah makan dan mencapai puncak
dalam 30-45 menit, kemudian menurun dengan cepat mengikuti penurunan kadar glukosa
basal. Kemampuan sekresi insulin prandial berkaitan erat dengan kemampuan ambilan
glukosa oleh jaringan perifer.
Insulin berperan dalam penggunaan glukosa oleh sel tubuh untuk pembentukan energi,
apabila tidak ada insulin maka sel tidak dapat menggunakan glukosa sehingga proses
metabolisme menjadi terganggu. Proses yang terjadi yaitu karbohidrat dimetabolisme oleh
tubuh untuk menghasilkan glukosa, glukosa tersebut selanjutnya diabsorbsi di saluran
pencernaan menuju ke aliran darah untuk dioksidasi di otot skelet sehingga menghasilkan
energi. Glukosa juga disimpan dalam hati dalam bentuk glikogen kemudian diubah dalam
jaringan adiposa menjadi lemak dan trigliserida. Insulin memfasilitasi proses tersebut. Insulin
akan meningkatkan pengikatan glukosa oleh jaringan, meningkatkan level glikogen dalam
hati, mengurangi pemecahan glikogen (glikogenolisis) di hati, meningkatkan sintesis asam
lemak, menurunkan pemecahan asam lemak menjadi badan keton, dan membantu
penggabungan asam amino menjadi protein.
Insulin sampai saat ini dikelompokkan menjadi beberapa jenis antara lain:
1. Kerja cepat (rapid acting)
Contoh: Actrapid, Humulin R,Reguler Insulin (Crystal Zinc Insulin)
Bentuknya larutan jernih, efek puncak 2-4 jam setelah penyuntikan, durasi kerja sampai 6
jam. Merupakan satu-satunya insulin yang dapat dipergunakan secara intra vena. Bisa
dicampur dengan insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang.
2. Kerja menengah (intermediate acting)
Contoh: Insulatard, Monotard, Humulin N, NPH, Insulin Lente
Dengan menambah protamin (NPH / Neutral Protamin Hagedom) atau zinc (pada insulin
lente), maka bentuknya menjadi suspensi yang akan memperlambat absorpsi sehingga efek
menjadi lebih panjang. Bentuk NPH tidak imunogenik karena protamin bukanlah protein.
3. Kerja panjang ( long acting)
Contoh: Insulin Glargine, Insulin Ultralente, PZI
Insulin bentuk ini diperlukan untuk tujuan mempertahankan insulin basal yang konstan.
Semua jenis insulin yang beredar saat ini sudah sangat murni, sebab apabila tidak murni akan
memicu imunogenitas, resistensi, lipoatrofi atau lipohipertrofi.
Cara pemberian insulin ada beberapa macam: a) intra vena: bekerja sangat cepat yakni dalam
2-5 menit akan terjadi penurunan glukosa darah, b) intramuskuler: penyerapannya lebih cepat
2 kali lipat daripada subkutan, c) subkutan: penyerapanya tergantung lokasi penyuntikan,
pemijatan, kedalaman, konsentrasi. Lokasi abdomen lebih cepat dari paha maupun lengan.
Jenis insulin human lebih cepat dari insulin animal, insulin analog lebih cepat dari insulin
human.
Insulin diberikan subkutan dengan tujuan mempertahankan kadar gula darah dalam batas
normal sepanjang hari yaitu 80-120 mg% saat puasa dan 80-160 mg% setelah makan. Untuk
pasien usia diatas 60 tahun batas ini lebih tinggi yaitu puasa kurang dari 150 mg% dan kurang
dari 200 mg% setelah makan. Karena kadar gula darah memang naik turun sepanjang hari,
maka sesekali kadar ini mungkin lebih dari 180 mg% (10 mmol/liter), tetapi kadar lembah
(through) dalam sehari harus diusahakan tidak lebih rendah dari 70 mg% (4 mmol/liter).
Insulin sebaiknya disuntikkan di tempat yang berbeda, tetapi paling baik dibawah kulit perut.
Dosis dan frekuensi penyuntikan ditentukan berdasarkan kebutuhan setiap pasien akan
insulin. Untuk tujuan pengobatan, dosis insulin dinyatakan dalam unit (U). Setiap unit
merupakan jumlah yang diperlukan untuk menurunkan kadar gula darah kelinci sebanyak 45
mg% dalam bioassay. Sediaan homogen human insulin mengandung 25-30 IU/mg.
Salah satu insulin yang dapat menjadi pilihan untuk terapi DM yaitu LANTUS®(nama
dagang) dengan nama generik insulin glargine, indikasi dari LANTUS® yaitu untuk DM tipe
1 dan tipe 2. LANTUS® dikontraindikasikan bagi pasien yang hipersensitif terhadap insulin
glargine, efek samping yang mungkin terjadi yaitu nyeri pada sisi injeksi dan hipoglikemia.
LANTUS® (PT Sanofi-Aventis) bisa menjadi pilihan karena insulin glargine telah diuji dan
dinyatakan efektif dan aman untuk diberikan kepada kasus-kasus DM tipe 1 dan tipe 2 oleh
FDA dan oleh ’the European Agency for the Evaluation of Medical Products’. LANTUS®
juga memiliki keuntungan karena memberikan kenyamanan untuk pasien dengan satu kali
suntikan per hari dan pasien dapat dengan mudah dan aman mentitrasi LANTUS®.
Bentuk sediaan LANTUS® yaitu (1) Cartridges: 3 ml untuk digunakan OptiPen Pro (300 IU
insulin glargine), box cartridges 5 x 3 ml, (2) Vials: 10 ml vials (1000 IU insulin glargine),
(3) Pre-filled pens: 3 ml Optiset pre-filled, disposable pen (pen sekali pakai) dengan nama
OptiSet®, optiset 5×3 ml, incremental dose = 2 IU, max dose/inj = 40 IU. Dosis LANTUS®
yaitu pasien tipe 2 yang telah diobati dengan obat hiperglikemia oral, memulai dengan insulin
glargine dengan dosis 10 IU sekali sehari. Dosis selanjutnya diatur menurut kebutuhan
pasien,dengan dosis total harian berkisar dari 2-100 IU.Pasien yang mau menukar insulin
kerja sedang atau panjang sekali sehari menjadi insulin glargine sekali sehari, tak perlu
melakukan perubahan dosis awal. Tapi jika pemberian sebelumnya dua kali sehari, maka
dosis awal insulin glargine dikurangi sekitar 20% untuk menghindari kemungkinan
hipoglikemia. Untuk selanjutnya dosis diatur sesuai kebutuhan pasien.
Insulin glargine adalah ’long-acting basal insulin analouge’ yang pertama kali dipergunakan
dalam pengobatan DM baik tipe-1 maupun tipe-2, disuntikkan subkutan malam hari
menjelang tidur. Insulin glargine tidak diberikan secara intra vena karena dapat menyebabkan
hipoglikemia. Preparat ini dibuat dari modifikasi struktur biokimiawi ’native human insulin’
yang menghasilkan khasiat klinik yang baru yaitu ’delayed onset of action and a constant,
peakless effect’, yang mencapai hampir 24 jam efektif. Memiliki potensi yang setara dengan
insulin NPH dalam menurunkan HbA1c dan kadar glukosa darah, namun lebih aman oleh
karena ’peakless effect’ tersebut dapat mengurangi kejadian hipoglikemi malam hari.
Preparat ini dinyatakan efektif dan aman untuk diberikan kepada kasus-kasus diabetes
melitus tipe-1 maupun tipe-2, dan mampu memenuhi kebutuhan insulin basal.
Target pengendalian glukosa darah pada penggunaan monoterapi insulin glargine pada kasus-
kasus DMG mengacu pada ’American Collage of Obstetricians and Gynecologist for Women
with GDM’, yaitu glukosa puasa ≤ 95 mg/dl, 2 jam pp ≤ 120 mg/dl. Hasil penelitian pada
dasarnya menjelaskan bahwa insulin glargine berhasil mengendalikan glukosa darah pada
kasus-kasus DMG sesuai target seperti tersebut di atas, tanpa terjadi hipoglikemi, dengan
beberapa catatan sebagai berikut: (a) glukosa 2 jam pp sebelum perlakuan tidak lebih dari 150
mg/dl, (b) dosis awal bervariasi 10-50 unit, disuntikkan pagi hari sebelum makan pagi,
ditingkatkan 3-5 unit bertahap untuk mencapai target pengendalian glukosa darah, (c) dosis
waktu partus bervariasi 18-78 unit, (d) waktu dilahirkan tidak ada bayi dengan berat badan
lebih dari normal, dan tidak ada yang mengalami hipoglikemi, (e) dosis perhari dalam
trimester pertama adalah 0,4-0,5 unit/kg, trimester kedua 0,5-0,6 unit/kg, dan trimester ketiga
0,7-0,8 unit/ kg.

Pustaka
Anonim, 2007. Diabetes Mellitus, http://wapedia.mobi/id/Diabetes_mellitus. Diakses pada 21
Desember 2007.
Anonim, 2006, MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi, edisi 6, 251, CMP Medika, Jakarta.
Anonim, 2000, Informatorium Obat Nasional Indonesia, 263, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta.
Curtis L. Triplitt, Charles A. Reasner, and William L. Isley, 1999, Diabetes Mellitus in
Dipiro, J.T., Talbert, R.l., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., and Posey, L.M., (Eds.),
Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach, 3th edition, 1333-1363, Appleton & Lange,
Stamford.
Mayfield, J.A., 2004, Insulin Therapy for Type 2 Diabetes: Rescue, Augmentation, and
Replacement of Beta-Cell Function, http://www.postgradmed.com/issues/
1997/02_97/skyler.htm. Diakses pada 21 Desember 2007.
Tjokorda Gde Dalem Pemanyun, 2007, Rasionalisasi Terapi Kombinasi Insulin dengan OHO,
dalam Simposium “Insulin Sahabat Diabetisi” Dalam Rangka Memperingati Hari Diabetes
Nasional IV (12 Juli 2007).
Darmono, 2007, Pengobatan Insulin Glargine (Long-Acting Insulin Analouge) Pada
Penderita Diabetes Melitus, dalam Simposium “Insulin Sahabat Diabetisi” Dalam Rangka
Memperingati Hari Diabetes Nasional IV (12 Juli 2007).

→ Leave a comment

Posted in Sistem Saraf-Hormon

MENCEGAH MIGRAIN, MUNGKINKAH?
Posted on December 31, 2007 by farmakoterapi-info| Leave a comment

(by: Dewi Anggraini/07-8115-048)

Cerita ini merupakan kejadian nyata yang saya alami saat berada di bangku SMA.

Siang itu, jam dinding di kelas kami belum lagi menunjuk angka 12, tetapi sepertinya kami
sudah benar – benar merasa kepanasan. Maklumlah saat itu adalah hari-hari terpanas di
bulan agustus, terlebih lagi karena kami harus mengerjakan soal-soal yang lumayan rumit.
Jumlah soalnya sih sedikit tapi jawabannya itu loh yang panjang dan susah, yang membuat
kami tambah berkeringat. Kebetulan guru kami sedang ada urusan di kantor kepala sekolah,
jadi kami ditinggal deh.

“Waaah……kesempatan emas nich” pikir kami, tapi siapa yang mengira jika ternyata tidak
satu pun dari kami yang tahu jawaban yang sebenarnya. Alhasil kami hanya bisa saling
pandang sambil mengira-ira jawabannya. Sueeer…..soalnya susah banget, sepertinya kami
belum pernah menerima teorinya (ya emang…soalnya itu adalah semacam pre-test untuk
materi selanjutnya he..he..). Menit demi menit berlalu dan tak satu soal pun yang
terpecahkan, yang ada hanyalah desahan dan keluhan-keluhan kesal yang keluar dari mulut
kami.

Tidak sampai 30 menit berlalu, guru kami sudah kembali ke kelas sesaat kemudian beliau
meminta kami untuk mengumpulkan lembar jawaban kuis di mejanya.

“Haaaaaah………”sontak kami berbarengan, tapi apa daya. Jadilah lembar jawaban yang
masih kosong itu kami kumpulkan. Sambil duduk di kursinya, beliau meminta ijin permisi
dari kami untuk menerangkan materi dari kursinya karena katanya migrain nya kambuh
lagi. Guru bilang, Ia paling tidak tahan dengan AC, apalagi bila Ia baru berada di ruang
yang panas dan tiba-tiba berpindah ke ruangan ber-AC, seperti yang baru saja Ia alami di
ruangan kepala sekolah kami yang ber-AC. Beliau akan langsung merasa mual dan ingin
muntah tetapi kata beliau itu tidaklah seberapa bila dibandingkan dengan rasa nyeri yang
akan menyerang pada satu sisi kepalanya. Baginya, meskipun Ia sudah terbiasa dengan
kondisi migrain yang dideritanya tapi jika nyeri migrain itu datang menyerang, tak pelak
lagi aktivitasnya akan sedikit terganggu. Kami sungguh tidak tahu seberapa sakit nyeri yang
dialaminya, yang jelas Ia tetap berusaha untuk mengajar dengan penuh semangat.

(Salut untuk Guru kami tercinta)

Banyak orang yang memiliki riwayat migrain, merasa tidak tahan dengan nyeri yang
menyerangnya. Meskipun sebagian dari mereka mengaku sudah terbiasa dengan kondisi
migrainnya tetapi tetap saja serangan migrain yang terjadi itu ibarat “Petir di siang bolong”.
Bahkan WHO menempatkan migrain sebagai penyakit medis yang paling melumpuhkan.
Serangan migrain tidak akan menjadi “Petir di siang bolong” jika kita berhasil menemukan
atau tahu pencetusnya sebab sebenarnya serangan migrain itu dapat dicegah dan dihindari.

Kata migrain sendiri berasal dari perkataan Yunani, Hemikrania, yang berarti “Separo
Kepala”, seperti yang selama ini dikenal awam, migrain memang kerap muncul di satu sisi
kepala saja (Unilateral).

“Migraine is a familial disorder characterized by recurrent attacks of headache widely


variable in intensity, frequency and duration. Attacks are commonly unilateral and are
usually associated with anorexia, nausea and vomiting”

- World Federation of Neurology (cit. Anonim, 2007).

Migrain bisa terjadi pada siapa saja baik pria maupun wanita, tua maupun muda. Berdasarkan
data NEJM (2002) dan IHS (2004), 15 – 20 % wanita dan 10 – 15 % pria di dunia menderita
migrain, dengan perbandingan wanita : pria adalah 2 : 1, sedangkan pada anak – anak,
migrain memiliki ratio perbandingan yang sama antara anak laki-laki dengan anak
perempuan, namun saat memasuki usia pubertas, resiko terjadinya migrain lebih mengarah
pada anak perempuan (Anonim, 2007).

Kebanyakan masyarakat hanya mengenal migrain sebagai “rasa nyeri yang menyerang separo
kepala dan timbul secara mendadak” saja, padahal menurut Headache Classification
Committee dari International Headache Society, migrain dapat dibagi menjadi 3 tipe: (1)
migrain biasa yang tidak diawali dengan adanya aura; (2) migrain klasik yang timbulnya
didahului dengan aura, dan yang terakhir adalah migrain yang tidak termasuk ke dalam 2 tipe
migrain sebelumnya, seperti sakit kepala yang disebabkan oleh karena adanya gangguan pada
mata (Anonim, 2007). Serangan migrain juga tidak timbul secara mendadak, selalu ada faktor
pencetusnya. Menurut The National Headache Foundation (NHF), faktor pencetus timbulnya
migrain bisa berupa; faktor yang berhubungan dengan perubahan siklus harian, seperti telat
makan, terlalu banyak tidur, begadang, dan siklus menstruasi. Faktor lainnya adalah faktor
yang berhubungan dengan lingkungan dan diet, seperti cuaca, rokok, alkoholik, atau
penggunaan obat-obat tertentu yang menyebabkan munculnya serangan migrain seperti
kokain. Dan yang terakhir adalah faktor yang berhubungan dengan kondisi psikologi atau
keadaan mental seseorang (Anonim, 2007).

Faktor pemicu inilah yang harus segera dikenali oleh masing-masing individu agar serangan
migrain dapat dicegah atau diantisipasi. Selain faktor pencetus, pada migrain klasik biasanya
serangan migrain diawali dengan prodrome, yaitu gejala-gejala yang samar pada pagi hari
waktu bangun tidur atau pada setiap saat di siang hari (Asdie dan Dahlan, 2001) berupa
depresi, lesu atau perasaan menginginkan makanan tertentu (seperti orang menyidam) dan
bahkan ada pula yang justru membenci makanan tertentu. Prodrome ini akan berlangsung
selama 15-20 menit yang berlanjut menjadi sebuah aura, yaitu signal sebelum terjadinya
serangan sakit kepala, biasanya berupa kesulitan konsentrasi, terjadi gangguan penglihatan
seperti berkunang-kunang atau garis-garis silang. Aura akan terjadi selama 15-30 menit
(Anonim, 2007).

Satu hal yang terpenting adalah bahwa pada masing-masing individu gejala yang timbul
mungkin hanya satu atau lebih dan bisa timbul dalam berbagai macam kombinasi pada setiap
serangan migrain (Asdie dan Dahlan, 2001).

Sebagian besar dari mereka yang mengalami serangan migrain biasanya tidak bisa berbuat
banyak ketika rasa nyeri itu kembali datang selain mencoba untuk tidur atau sekedar minum
obat anti sakit kepala atau antimigrain saja. Serangan migrain membutuhkan penanganan
yang tidak hanya mampu meredakan nyeri sesaat saja tetapi yang terpenting adalah
bagaimana mengurangi frekuensi dan durasi serangannya. Sehingga seseorang yang
menderita migrain tidak pelu berkali-kali merasakan serangan migrain yang maha hebat, yang
sudah tentu akan sangat mengganggu aktivitas dan mengurangi kualitas hidupnya.

Mencegah migrain, mungkinkah? Hal tersebut sangat mungkin terjadi selain dengan
mengenali faktor pencetusnya, juga dengan menggunakan suatu obat-obatan yang
mampu mengurangi frekuensi serangan migrain. Terapi demikian dikenal juga sebagai
terapi preventif. Terapi ini terutamanya ditujukan bagi mereka yang menderita :

Serangan migrain lebih dari 2 kali dalam satu minggu

Durasi serangannya lebih dari 48 jam

Nyeri yang dirasakan sangat ekstrim

Serangannya disertai dengan aura yang berkepanjangan

Atau bagi mereka yang di kontraindikasikan terhadap obat-obat yang digunakan untuk
serangan migrain akut.

- US Headache Consortium Guidelines (cit. Anonim, 2007).

Mengapa terapi preventif semacam ini diperlukan ? Karena pencegahan migrain untuk
jangka panjang mampu meningkatkan kualitas hidup pasien dengan mengurangi
frekuensi, keparahan, dan durasi serangan migrain dan faktanya, 80% penderita
migrain memang membutuhkan terapi preventif ini bagi migrainnya (Anonim, 2007).
Selain itu, terapi ini juga mampu meningkatkan fungsi dan mengurangi
ketidakmampuan penderita (Lewis, et all, 2004).

Propranolol, apaan tuh? Ya, propranolol adalah salah satu obat yang digunakan dalam
terapi preventif migrain ini. Obat yang termasuk dalam golongan beta blocker ini
dilaporkan dapat mencegah timbulnya serangan migrain karena mempunyai efek
mencegah vasodilatasi kranial (Dipiro, et all, 2000; Asdie dan Dahlan, 2001). Obat yang
telah mendapatkan persetujuan FDA (semacam Balai POM di Amerika) sebagai “Gold
Standard” bagi preventif migrain ini (Anonim, 2000; Dipiro, et all, 2000), juga sangat
disarankan bagi mereka yang mempunyai penyakit hipertensi dan ansietas disamping
penyakit migrainnya. Karena, selain sebagai vasokonstriktor, propranolol juga
memiliki aksi ansiolitik dan mampu menurunkan aktivitas simpatetik (Anonim, 2007).

Mengapa Propranolol ? Beberapa obat seperti pindolol, praktolol, dan aprenolol


meskipun masih satu keluarga dengan propranolol, yaitu beta-blocker, namun obat-
obat tersebut tidak memiliki efek terapeutik untuk migrain, sehingga tidak bisa
digunakan untuk terapi preventif migrain (Asdie dan Dahlan, 2001). Sedangkan obat
lainnya seperti Flunarizine dari golongan calcium channel blockers, bisa juga
digunakan sebagai preventif migrain namun propranolol lah yang paling sering
digunakan (Anonim, 2000).

Pada propranolol, sediaan dalam bentuk tablet sustained-release/tablet lepas-lambat, sangat


disarankan oleh FDA (Dipiro, et all, 2000). Karena, dengan sediaan tablet seperti ini,
propranolol memiliki konsentrasi yang stabil dalam waktu 24 jam, sehingga tidak perlu repot
untuk sering-sering minum obat ini setiap beberapa jam sekali, dan hal ini tentu akan
meningkatkan kepatuhan seseorang dalam terapinya (Anonim, 2007). Dengan dosis awal atau
dosis pada waktu pertama kali pemakaian yaitu sebesar 40 mg untuk satu kali pemakaian, dan
maksimum dosis yang boleh dikonsumsi saat pertama kali adalah sebesar 240 mg untuk satu
harinya. Sedangkan untuk dosis hari berikutnya adalah dimulai dari 40 mg, dan maksimum
320 mg dalam satu hari dengan 2-3 kali minum (Anonim, 2000; Dipiro, 2000). Namun
demikian, meskipun obat ini digunakan untuk pencegahan jangka panjang , tetapi sebenarnya
terapi jangka panjang bukanlah sesuatu yang diharapkan maka terapi ini harus diulang setiap
6 bulan sekali (Anonim, 2000).

Sayangnya, obat ini tidak bisa digunakan bagi mereka yang memiliki riwayat penyakit asma
dan penyakit paru sebab obat ini di kontraindikasikan terhadap kondisi tersebut. Berhati-hati
pula bagi wanita hamil dan menyusui atau mereka yang memiliki penyakit hati dan gangguan
ginjal bila menggunakan obat ini, karena ada peringatan tertentu bagi kondisi – kondisi
khusus di atas. Hal lain yang perlu dicermati adalah efek samping dari obat ini, karena kita
tentu tidak ingin mendapatkan penyakit baru setelah meminum obat ini sebagai akibat dari
efek sampingnya. Efek samping yang bisa ditimbulkan dari propranolol ini adalah gagal
jantung, bronkospasme, gangguan tidur, gangguan saluran cerna, fatigue, atau bradikardi ,
yaitu suatu kondisi dimana denyut jantung kita berada di bawah 60 denyutan/menit (Anonim,
2000).

Obat ini bisa didapatkan di apotek-apotek terdekat dengan nama dagang Propranolol
(generik), Farmadral (Pratapa Nirmala), Propadex (Dexa Medica), ada juga Liblok (Holi)
atau Inderal (Astra Zeneca). Masyarakat bisa memilih obat-obat tersebut yang sesuai dengan
kondisi finansialnya, mau yang generik atau yang bermerk, terserah saja sebab meskipun
dengan efek yang sama, harga dari masing-masing obat tersebut bisa sangat berbeda.

Disarankan setiap penderita migrain untuk tidak segan-segan berkonsultasi dengan dokter
atau provider kesehatan lainnya, seperti apoteker. Hal ini akan sangat membantu penderita
migrain dalam menentukan jenis obat seperti apa yang tepat untuk migrainnya. Sebab
diagnosis yang tepat akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan terapi.

 
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2007, What You Can Do For Your Migraine Headache, diambil dari

http:// www.Headaches.org/consumer/presentations/migraine.ppt

http:// www.Headaches.org/consumer/educationindex.html#typehead, tanggal 22 Desember


2007 Anonim, 2007, Management of Migraine, diakses pada tanggal 23 Desember 2007 dari
http://

www.cipladoc.com/slides/migraine/management_of_migraine_files/frame.htm

Anonim, 2000, Informatorium Obat Nasional Indonesia, 64-64; 196-197, Depkes RI,
Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta.

Asdie dan Dahlan, 2001, Buku Ajar; Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi Ketiga, 755-759,
Balai FKUI, Jakarta.

Dipiro, et all, 2000, Pharmacotherapy Handbook, second edition, 594-603, McGraw Hill,
USA.

Lewis, et all, 2004, Practice Parameter : Pharmacological Treatment Of Migraine Headache


In Children And Adolescents : Report Of The American Academy Of Neurology Quality
Standard Subcommittee And The Practice Committee Of The Child Neurology Society,
Neurology, 2215-223, American Academy of Neurology Enterprises, Inc, USA.

→ Leave a comment

Posted in Sistem Saraf-Hormon

Penggunaan Antibiotika Golongan Penisilin (Ampisilin)


Dalam Terapi Sinusitis Akut
Posted on December 30, 2007 by farmakoterapi-info| Leave a comment

Penggunaan Antibiotika Golongan Penisilin (Ampisilin)

Dalam Terapi Sinusitis Akut

Ferry Mahardika, S.Farm.

(078115051)

Sinusitis adalah radang sinus pranasal. Bila terjadi pada beberapa sinus maka disebut
multisinusitis sedangkan bila mengenai seluruhnya disebut pansinusitis. Sinus maksila merupakan
salah satu sinus yang sering diderita, kemudian etmoid, frontal, dan sfenoid. Sinus maksila adalah
sinus yang terbesar, letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar, dasarnya adalah dasar akar gigi sehingga
dapat berasal dari infeksi gigi dan ostiumnya terletak di meatus medius, di sekitar hiatus semilunaris
yang sempit sehingga sering tersumbat. Pada sinusitis akut, mukosa sinus masih reversible sehingga
masih dapat disembuhkan dan dengan tindakan konservatif. Berdasarkan perjalanan penyakitnya,
sinusitis akut merupakan infeksi yang berlangsung selama beberapa hari sampai beberapa minggu dan
berdasarkan gejalanya disebut akut apabila terdapat tanda-tanda radang akut. Dari anamnesis biasanya
didahului oleh infeksi saluran pernafasan atas (terutama pada anak kecil), berupa pilek dan batuk yang
lama, lebih dari 7 hari.

Gejala subyektif terbagi atas gejala sistemik, yaitu demam dan lesu, serta gejala lokal yaitu
hidung tersumbat, ingus kental, halitosis, sakit kepala yang lebih berat pada pagi hari, nyeri pada
daerah sinus. Pada sinus maksila, nyeri terasa pada di bawah kelopak mata dan kadang menyebar ke
alveolus dan terasa di gigi. Pada sinusitis etmoid, nyeri di pangkal hidung dan kantus medius, kadang
nyeri di bagian mata terutama jika digerakkan. Pada sinusitis frontal, nyeri terpusat di dahi atau
seluruh kepala. Pada sinusitis sfenoid, nyeri di verteks, oksipital, retro orbital dan di sfenoid. Gejala
obyektif tampak pembengkakan di daerah muka. Pada sinusitis maksila terlihat di pipi dan kelopak
mata bawah, pada sinusitis frontal terlihat di dahi dan kelopak mata atas. Pada sinusitis etmoid jarang
bengkak kecuali bila ada komplikasi. Pada anak yang sedang demam tinggi diatas 39° C, ingus
purulen dan sebelumnya menderita infeksi saluran nafas atas, dicurigai adanya sinusitis akut terutama
jika tampak edema periorbital yang ringan. Khusus pada anak akan terdapat gejala batuk berat di
siang hari dan sangat mengganggu pada malam hari, kadang disertai mengi.

Kuman penyebab sinusitis akut yang tersering adalah Streptococcus pneumoniae dan
Haemophilus influenzae. Dalam terapi diberikan antibiotika selama 10-14 hari, namun dapat
diperpanjang sampai semua gejala hilang. Pemilihannya hampir selalu empirik karena kultur nasal
tidak dapat diandalkan dan aspirasi sinus maksila merupakan kontra indikasi. Jenis amoksisilin,
ampisilin, eritromisin, sefaklor monohidrat, asetil sefuroksim, trimetoprim-sulfametoksazol,
amoksisilin-asam klavulanat dan klaritromisin telah terbukti secara klinis. Jika dalam 48-72 jam tidak
ada perbaikan klinis, maka dapat diganti dengan antibiotika jenis ampisilin atau amoksisilin
dikombinasikan dengan asam klavulanat yang digunakan pada kuman penghasil beta laktamase.
Pemberian antihistamin pada sinusitis akut purulen tidak dianjurkan karena merupakan penyakit
infeksi dan dapat menyebabkan sekret menjadi kental dan menghambat drainase sinus.

Golongan penisilin merupakan antibiotik bakterisidal yang termasuk derivat natural dan
semisintetis. Semua golongan penisilin memiliki inti asam 6-β-aminopenisilin dan punya mekanisme
aksi yang sama. Semua jenis penisilin memberikan reaksi alergi silang. Perbedaan signifikan diantara
jenis penisilin adalah resistensinya terhadap inaktivasi asam lambung, penisilinase, dan spektrum
antimikroba. Ampisilin diekskresi ke dalam empedu dan urin. Obat ini terutama diindikasikan untuk
pengobatan eksaserbasi bronkitis kronis dan otitis media yang biasanya disebabkan oleh Str.
pneumonia dan H. influenzae. Ampisilin dapat diberikan per oral tapi yang diabsorpsi tidak lebih dari
separonya. Absorpsi lebih rendah lagi jika terdapat makanan di dalam lambung.

Obat

Nama Generik : Ampicilin

Nama Dagang : Ambiopi (Mersifarma), Ambripen (Infarmind), Amcillin (Dumex Alpharma


Indonesia), Ampex (Pharmac Apex), Ampi (Interbat), Arcocillin (Armoxindo), Bannsipen (Darya
Varia), Bimapen (Bima Mitra), Binotal (Bayer Farma Indonesia), Bintapen (Bintang Toedjoe),
Biopenam (Micosin), Cetacillin (Soho), Dancillin (Dankos), Decapen (Harsen), Dexypen (Dexa
Medica), Itrapen (Itrasal), Kalpicillin (Kalbe Farma), Opicillin (Otto), Parpicillin (Prafa), Penbiotic
(Bernofarm), Pharocillin (Pharos), Primacillin (Medikon), Ronexol (Zenith), Sanpicillin (Sanbe),
Standacillin (Novartis Indonesia), Viccillin (Meiji Indonesia).

Indikasi :

Pada saluran nafas : infeksi karena Haemophylus influenzae nonpenisilinase, staphylococcus


nonpenisilinase dan produksi penisilinase, streptococcus termasuk Streptococcus pneumoniae.

Pada saluran Gastro Intestinal (GI) : infeksi karena Shigella, Salmonella typhosa dan lainnya, E coli,
Proteus mirabilis dan enterococcus.

Pada saluran Genito Urinari (GU) : infeksi karena E coli, P. Mirabilis, enterococcus, Shigella, S.
Tiphosa, dan salmonella lain, serta Neisseria gonorrhoeae nonpenisilinase.

Meningitis (injeksi) : infeksi karena Neisseria meningitides, E. coli, Streptococcus grup B, dan
Listeria monocytogenes.

Septikemi dan endokarditis (injeksi) : infeksi karena Streptococcus, staphylococcus, enterococcus, E.


coli, P. mirabilis, dan Salmonella sp.

Kontraindikasi : sejarah hipersensitivitas terhadap penisilin


Bentuk sediaan : Kapsul 250 mg, 500 mg; Kaptab 250 mg, 500 mg; Serbuk Inj.250 mg/vial, 500
mg/vial, 1g/vial, 2 g/vial; Sirup 125 mg/5 ml, 250 mg/5 ml; Tablet 250 mg, 500 mg.

Dosis dan aturan pakai : Rute parenteral ( im atau iv) digunakan untuk infeksi moderat sampai berat
dan bagi pasien yang tidak bisa minum obat. Dalam pemakaian oral, obat sebaiknya diminum 30
menit sebelum makan atau 2 jam setelah makan agar absorbsi dapat meningkat.

Endokarditis karena enterococcus : 12 g/hari iv dalam dosis terbagi tiap 4 jam ditambah gentamisin 1
mg/kg im atau iv tiap 8 jam selama 4-6 minggu.

Infeksi saluran nafas dan jaringan lunak : pasien ≥ 40 kg 250-500 mg tiap 6 jam, < 40 kg 25-50
mg/kg/hari dalam dosis terbagi, interval 6-8 jam.

Meningitis bakterial : dewasa/anak 150 -200 mg/kg/hari dalam dosis terbagi tiap 3-4 jam

Septikemi : dewasa/anak 150-200 mg/kg/hari, berikan iv selama 3 hari, dilanjutkan im tiap 3-4 jam

Infeksi GI dan GU selain N gonorrhoeae : oral > 20 kg 500 mg tiap 6 jam; < 20 kg 100 mg/kg/hari
tiap 6 jam.

N gonorrhoeae : oral 3,5 g diberikan bersama 1g probenesid; parenteral ≥ 40 kg 500 mg iv atau im


tiap 6 jam, < 40 kg 50 mg/kg/hari iv atau im dalam dosis terbagi dengan interval 6-8 jam

Adverse reaction :

Kardiovaskuler : cardiac arrest, takikardi palpitasi, hipertensi pulmoner, emboli paru, sinkop, reaksi
vasovagal, hipotensi, vasodilatasi.

CNS : neurotoksisitas ( manifestasi : lethargy, hiperiritasi neuromuskuler, halusinasi, konvulsi dan


seizure ).

Gastro Intestinal : glossitis, stomatitis, gastritis, mulut kering, rasa lidah tidak enak, mual, muntah,
nyeri perut, diare, kolitis pseudomembran.

Geniro Urinari : vaginitis, neurogenik bladder, hematuri, proteinuri, gagal ginjal, impotensi.

Hematologi : pendarahan abnormal lebih sering terjadi pada pasien gagal ginjal.

Lokal : nyeri pada tempat injeksi, atropi, ulser kulit, ganngren, sianosis pada ekstrimitas dan
kerusakan neuromuskuler.
Renal : nefritis interstisial (misal oliguri, proteinuri, hematuri, pyuri) jarang terjadi.

Resiko khusus :

Reaksi hipersensitivitas : reaksi hipersensitivitas berat sampai fatal terjadi. Reaksi anafilaksis lebih
sering terjadi pada pemberian parenteral dibanding oral.

Kehamilan : kategori B. Tidak cukup bukti pada pemberian wanita hamil. Penisilin lewat plasenta.
Penggunaan selama kehamilan sebaiknya dihindari.

Laktasi : penisilin diekskresi di asi pada kadar rendah. Dapat menyebabkan diare, kandidiasis atau
alergi pada bayi yang minum asi.

Daftar Pustaka

Anonim, 2000, Informatorium Obat Nasional Indonesia 2000, Dirjend POM, Departemen Kesehatan,
Jakarta.

Anonim, 2006, Obat-Obat Penting Untuk Pelayanan Kefarmasian, edisi revisi, Fakultas Farmasi
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Hayes, C, Peter., Mackay, W, Thomas., 1997, Diagnosis dan Terapi, Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta.

Mansjoer, Arif, dkk., 2001, KAPITA SELEKTA KEDOKTERAN, edisi ketiga jilid pertama, Media
Aesculapius FKUI, Jakarta.

→ Leave a comment

Posted in Sistem Pernapasan

PENGGUNAAN ANTIBIOTIK KLORAMFENIKOL


SEBAGAI TERAPI PENYAKIT TIFUS ( DEMAM
TIFOID
Posted on December 30, 2007 by farmakoterapi-info| 7 Comments

PENGGUNAAN ANTIBIOTIK KLORAMFENIKOL SEBAGAI TERAPI PENYAKIT


TIFUS ( DEMAM TIFOID )

Adrianus Arinawa Yulianta ( 07 8115 041 )


1. Pendahuluan

Demam Tifoid atau Tifus merupakan penyakit infeksi akut pada usus halus yang
disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi. Bakteri ini dapat masuk kedalam tubuh manusia
melalui makanan dan air yang tercemar. Disebarkan melalui perpindahan dari manusia ke
manusia terutama pada keadaan hygiene buruk. Masa inkubasi sampai 18 hari. Sebagian
bakteri ini dapat dimusnahkan oleh asam lambung tetapi ada sebagian lagi yang masuk ke
usus halus dan mencapai jaringan limfoid dan bersarang di jaringan tersebut, selain itu bakteri
ini juga bersarang di limpa, hati dan bagian-bagian lain system retikuloendotelial. Endotoksin
atau racun dari Salmonella typhi berperan dalam proses inflamasi lokal pada jaringan tempat
bakteri tersebut berkembang biak. Salmonella typhi dan endotoksinnya merangsang sistesis
dan pelepasan zat pirogen dan leukosit pada jaringan yang meradangt, sehingga terjadi
demam.

Gejala-gejala yang muncul bervariasi, dalam minggu pertama sama dengan penyakit
infeksi akut pada umumnya yaitu demam, sakit kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual,
muntah, konstipasi atau diare, perasaan tidak enak pada perut, batuk dan peningkatan suhu
badan. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardi
relative, lidah tifoid (kotor ditengah, tepid an ujung merah dan tremor), hepatomegali,
splenomegali, meteorismus, gangguan kesadaran berupa samnolen sampai koma.

Penatalaksanaan terapi demam tifoid, Penggunaan antibiotik untuk menghentikan


dan memusnahkan penyebaran bakteri. Antibiotik yang dapat digunakan adalah klorafenikol (
dosis hari pertama 4 x 250 mg, hari kedua 4 x 500mg, diberikan selama demam dilanjutkan
sampai 2 hari bebas demam, kemudian dosis diturunkan menjadi 2 x 250mg selama 5 hari
kemudian ), Ampisilin/Amoksisilin ( dosis 50-150 mg/kg BB, diberikan selama 2 minggu),
Kotimoksazol 2 x 2 tablet ( 1 tablet mengandung 400mg sulafametoksazol-80mg trimetropin,
diberikan selama 2 minggu ), Sefalosporin generasi II dan III biasanya demam mereda pada
hari ke-3 atau menjelang hari ke-4 ( obat yang dipakai seftriakson 4 g/hari selama 3 hari,
norfloksasin 2 x 400 mg/hari selama 14 hari, siprofloksasin 2 x 500 mg/hari selama 6 hari,
ofloksasin 600 mg/hari selama 7 hari, pefloksasin 400 mg/hari selama 7 hari, fleroksasin 400
mg/hari selama 7 hari). Istirahat dan perawatan yang profesional ini bertujuan untuk
mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Pasien harus istirahat total sampai
minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari. Aktifitas dilakukan bertahap
sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien. Selama penyembuhan harus dijaga kebersihan
badan, tempat tidur, pakaian, dan peralatan yang dipakai. Diet dan terapi penunjang
pertama pasien diberi bubur halus, kemudian bubur kasar, dan akhirnya nasi sesuai dengan
tingkat kesembuhan pasien. Juga diperlukan pemberian vitamin dan mineral yang cukup
untuk mendukung keadaan umum pasien.

B. Obat

1. Nama generik : Klorafenikol

Nama dagang Indonesia : Combisetin (Combiphar), Farsycol (Ifars), Kalmicetine (Kalbe


Farma), Lanacetine (Landson)

Indikasi : Pengobatan tifus (demam tifoid) dan paratifoid, infeksi berat karena Salmonella sp,
H. influenza (terutama meningitis), rickettzia, limfogranuloma,
psitakosis, gastroenteristis, bruselosis, disentri.

Kontraindikasi : Hipersensitif, anemia, kehamilan, menyusui, pasien porfiria

Bentuk sediaan : Kapsul 250 mg, 500 mg, suspensi 125 mg/5 ml, sirup 125 ml/5 ml, serbuk
injek. 1g/vail.

Dosis dan aturan pakai : Dewasa : 50 mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi tiap 6 jam.

Anak : 50-75 mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi tiap 6 jam.

Bayi < 2 minggu : 25 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis terbagi tiap 6


jam. Berikan dosis lebih tinggi untuk infeksi lebih berat. Setelah
umur 2 minggu bayi dapat menerima dosis sampai 50 mg/kgBB/
hari dalam 4 dosis tiap 6 jam.

Efek samping : Kelainan darah reversible dan ireversibel seperti anemia aplastik anemia
(dapat berlanjut menjadi leukemia), mual, muntah, diare, neuritis
perifer, neuritis optic, eritema multiforme, stomatitis, glositis,
hemoglobinuria nocturnal, reaksi hipersensitivitas misalnya
anafalitik dan urtikaria, sindrom grey pada bayi premature dan bayi
baru lahir, depresi sumsum tulang

Resiko khusus : Anemia aplastik : jarang terjadi, terjadi hanya 1 pada 25.000-40.000
penggunaan klorafenikol, diperkirakan karena pengaruh genetic
dan terjadi tidak secara langsung pada saat menggunakan
kloramfenikol tetapi muncul setelah beberapa minggu atau
beberapa bulan setelah pemakaian
Gray-baby syndrome : terjadi pada bayi yang lahir premature dan pada bayi umur < 2
minggu dengan gangguan hepar dan ginjal. Klorafenikol
terakumulasi dalam darah pada bayi khususnya ketika pemberian
dalam dosis tinggi ini yang menyebabkan Gray-baby syndrome.

Daftar Pustaka

Anonim, 2000, Informatorium Obat Nasional Indonesia 2000, DepKes RI, Jakarta.

Anonim, 2006, Obat-Obat Penting ”Untuk Pelayanan Kefarmasian, edisis revisi,


Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada.

Hayes, C, Peter., Mackay, W, Thomas., 1997, Diagnosis dan Terapi, Penerbit Buku
Kedokteran, EGC.

Mansjooer, Arif, dkk., 2001, KAPITA SELEKTA KEDOKTERAN, edisi ketiga jilid
pertama, Media Aeculapius FKUI, Jakarta.

Reese, E, Richard., Betts, F, Robert., Gumustop, Bora., 2000, Handbook of


Antibiotics, 3rd Edition, Lippncott Williams & Wilkins, Philadelphia, USA.

→ 7 Comments

Posted in Infeksi

PENGGUNAAN BISOPROLOL FUMARAT PADA


PASIEN HIPERTENSI; Adistyawan Yoga
Wicaksono S,Farm.(078115040)
Posted on December 30, 2007 by farmakoterapi-info| 2 Comments

I.      SASARAN TERAPI

Bisoprolol adalah zat penyekat (blocker) adrenoreseptor β. Sasaran terapinya selektif pada
adrenoreseptor β1 (kardioselektif) tanpa aktivitas stabilisasi membran yang signifikan atau aktivitas
simpatomimetik intrinsik pada dosis terapi. Namun demikian, sifat kardioselektifnya tidak mutlak,
pada dosis tinggi (>20 mg) bisoprolol juga menghambat adrenoreseptor β 2 yang terutama terdapat
pada otot-otot bronkus dan pembuluh darah, untuk mempertahankan selektivitasnya, penting untuk
menggunakan dosis efektif terendah.  

II.      TUJUAN TERAPI


Tujuan terapi hipertensi adalah menurunkan tekanan darah hingga taraf yang direkomendasikan.
Menurut JNC7 tekanan yang disarankan yaitu di bawah 140/90 mmHg. 

III.      STRATEGI TERAPI

a.       Terapi non farmakologi

Terapi non fermakologis adalah terapi tanpa menggunakan obat. Untuk pasien hipertensi disarankan
untuk:

        mengurangi makan makanan berlemak

        tidak merokok

        tidak mengkonsumsi alkohol

        kurangi makan makanan yang banyak mengandung garam

        olah raga ringan secara teratur

        hindari aktivitas yang berlebih

b.      Terapi Farmakologis

Terapi farmakologi yaitu penanganan penyakit dengan menggunakan obat. Salah satu obat pilihan
yang dapat digunakan yaitu obat golongan β-blocker (bisoprolol). Obat golongan ini merupakan obat
utama pada penderita hipertensi ringan sampai moderat dengan penyakit jantung koroner atau dengan
aritmia. Bekerja dengan menghambat reseptor β1 di otak, ginjal dan neuron adrenergik perifer, di
mana β1 merupakan reseptor yang bertanggung jawab untuk menstimulasi produksi katekolamin yang
akan menstimulasi produksi renin. Dengan berkurangnya produksi renin, maka cardiac output akan
berkurang yang disertai dengan turunnya tekanan darah.Pada orang sehat, pengobatan dengan
bisoprolol menurunkan kejadian takikardia yang diinduksi oleh aktivitas fisik dan isoproterenol. Efek
maksimum terjadi dalam waktu 1-4 jam setelah pemakain. Efek tersebut menetap selama 24 jam pada
dosis ≥ 5 mg. Bisoprolol juga dapat diberikan bersamaan dengan diuretik tiazid.dan hidroklorotiazid
dosis rendah (6,25 mg) untuk menurunkan tekanan darah pada penderita hipertensi ringan sampai
sedang.  

IV.      OBAT PILIHAN

A.     Nama Generik: Bisoprolol

B.     Nama Dagang di Indonesia: B-BETA® (Ferron), CONCOR® (Merck), HAPSEN® (Pharos),
MAINTATE® (Tanabe Indonesia) BISOPROLOL FUMARAT OGB dexa (Dexa Medica).

C.     Indikasi: Bisoprolol diindikasikan untuk pengobatan hipertensi, bisa juga digunakan sebagai  
monoterapi atau kombinasi dengan antihipertensi golongan lain.

D.     Kontraindikasi
        Pasien yang hipersensitif terhadap bisoprolol.

        Bisoprolol dikontraindikasikan pada penderita cardiogenic shock, kelainan jantung, bradikardia
sinus.
E. Bentuk sediaan    

Bisoprolol yang beredar di pasaran semuanya berada dalam bentuk sediaan tablet salut selaput
dengan kekuatan 2,5 mg dan 5 mg.

D. Dosis dan Aturan Pakai    

Dosis awal yang  biasa digunakan yaitu 5 mg sekali sehari. Dosis dapat ditingkatkan menjadi 10-20
mg sekali sehari.

E. Efek Samping

 Pada sistem saraf pusat: sakit kepala, vertigo, ansietas, konsentrasi berkurang.
 Pada kardiovaskular: bradikardia, palpitasi, sakit dada, cold extremities, hipotensi dan gagal
jantung.
 Pada gastrointestinal: nyeri perut, gastritis, mual, muntah, diare, konstipasi.
 Pada kulit: kulit kemerahan,iritasi kulit, jerawat, gatal-gatal, dermatitis eksfoliatif
 Pada pernafasan: asma, bronkospasme, batuk, sinusitis

 F. Resiko Khusus

 Hati-hati bila diberikan pada pasien dengan kelainan ginjal dan hati.
 Obat ini sebaiknya tidak diberikan pada penderita dengan kelainan jantung
 Pada penderita bronkospastik sebaiknya tidak diberikan obat-obat golongan β-blocker karena
sifat selektivitas beta-1 yang relatif, tetapi bisoprolol dapat digunakan secara hati-hati pada
penderita bronkospastik yang tidak menunjukkan respon atau tidak toleran terhadap
pengobatan antihipertensi lain.
 Penggunaan bisoprolol dapat menutupi beberapa bentuk hipoglikemia khususnya takikardia.
Oleh karena itu penderita hipoglikemia atau diabetes yang mendapat insulin atau obat-obatan
hipoglikemia harus hati-hati.

G. Interaksi Obat

 Bisoprolol sebaiknya tidak dikombinasikan bersama obat-obatan golongan β-blocker


 Bisoprolol sebaiknya digunakan secara berhati-hati bila diberikan bersama dengan obat-obat
penekan otot jantung atau konduksi AV seperti kalsium antagonis khususnya fenilalkilamin
(verapamil) dan golongan benzotiazepin (diltiazem) atau obat-obat antiaritmik seperti
disopiramid.
 Penggunaan bersama rifampisin dapat meningkatkan bersihan metabolit bisoprolol.

V.      PUSTAKA

Anonim, 2006, MIMS 103rd edition, CMP Medica, Indonesia.

Dipiro, J.T., 2005, Pharmacotherapy : A Pathophysiologic Approach, 6th edition, The McGraw-Hill


Company, USA

Katzung, G. dan Bertram, M., 2007, Basic and Clinical Pharmacology, 10th edition, The McGraw-
Hill Company, USA

Tatro, David S., Pharm D, 2004, A to Z Drug Facts, 5th edition, Wolters Kluwer Health, Inc., USA
→ 2 Comments

Posted in sistem Kardiovaskular

PENGGUNAAN NNRTIs (NON-NUCLEOSIDE


REVERSE TRANSCRIPTASE INHIBITORS)-Based
Regimens UNTUK PENGOBATAN HIV (Human
Immunodeficiency Virus) PADA PEDIATRI
Posted on December 30, 2007 by farmakoterapi-info| Leave a comment

PENGGUNAAN NNRTIs (NON-NUCLEOSIDE REVERSE TRANSCRIPTASE


INHIBITORS)-Based Regimens UNTUK PENGOBATAN HIV (Human
Immunodeficiency Virus) PADA PEDIATRI

Bernadus Gallaeh Rama Erga Satria (078115005)


(Download Guideline)

PENDAHULUAN

HIV (human immunodeficiency virus) adalah sebuah retrovirus yang menginfeksi sel
sistem kekebalan tubuh manusia, terutama CD4+ T cell dan macrophage , komponen vital
dari sistem sistem kekebalan tubuh dan menghancurkan atau merusak fungsi mereka. Infeksi
HIV menyebabkan pengurangan sistem kekebalan tubuh dengan cepat (pengurangan imun).
HIV merupakan penyebab dasar AIDS (Acquired immune Deficiency Syndrome) yang
merupakan kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh secara
bertahap yang disebabkan infeksi HIV. Virus tersebut masuk ketubuh manusia terutama
melalui darah, semen dan sekret vagina, serta transmisi dari ibu ke anak.

Salah satu indikator yang digunakan untuk mendeteksi HIV adalah CD4. CD4 adalah
reseptor pada limfosit T4 yang menjadi target sel utama HIV. Penurunnya jumlah CD4 akibat
HIV adalah sekitar 50-100/mm3/tahun sehingga bila tanpa pengobatan rata-rata masa infeksi
HIV sampai menjadi AIDS adalah 8 – 10 tahun, dimana jumlah CD4 akan mencapai kurang
dari 200/mm3.
Penurunan sistem kekebalan tubuh ini akan memudahkan tubuh terserang penyakit – penyakit
yang lain terutama penyakit yang berhubungan dengan infeksi.

Pada saat ini pasien HIV yang mendapat perhatian cukup besar adalah pasien pediatri. Tidak
bisa kita pungkiri bahwa HIV dapat menular melalui transmisi antara ibu dengan anak. Bayi
yang dihasilkan dari hubungan sex antara orang tua yang salah satunya atau kedua-duanya
mengidap HIV tersebut akan mengidap HIV semenjak bayi tersebut ada dikandungan dan
akan terus berlangsung ketika bayi tersebut dilahirkan.

SASARAN TERAPI
Sasaran dari terapi ARV pada pediatri adalah HIV (human immunodeficiency virus) yang
merupakan retrovirus penginfeksi sel sistem kekebalan tubuh manusia

TUJUAN TERAPI

Terapi ARV yang ada pada saat ini belum mampu menghilangkan HIV karena lamanya
waktu paro dari sel CD4 yang terinfeksi. Berdasarkan ARV yang ada pada saat ini, tujuan
dari terapi ARV pada pediatri adalah untuk menekan perkembangbiakan atau replikasi virus
HIV.

STRATEGI TERAPI

A. Kapan terapi dimulai

Masalah yang timbul pertama kali dalam pelaksanaan terapi ARV adalah kapan terapi
tersebut dimulai. Ada beberapa pilihan pelaksanaan terapai yaitu memulai terapi sejak dini
atau menunggung sampai muncul tanda – tanda atau gejala HIV.

Beberapa faktor yang harus dipertimbangkan saat memulai terapi pada pediatri) adalah:

 Tingkat HIV RNA


 Jumlah CD4
 Simtom / gejala klinis

Berikut adalah tabel kriteria pelaksanaan terapi ARV pada pediatri:


(Lihat ukuran sebenarnya)

Keterangan:

 Perawatan ditunda: data klinis dan data lab harus dievaluasi setiap 3 – 4 bulan
 Dipertimbangkan : Karena infeksi HIV berkembang lebih cepat pada anak – anak
dibandingkan orang dewasa, maka perlu dipertimbangkan penggunaan ARV
berdasarkan parameter klinis, imunologik, dan virologik.
 Asimtomatik : CDC clinical category N
 Simtomatik : CDC clinical category A, B, dan C

B. Obat apa yang harus digunakan

Sejak September 2006 sudah ada 22 antiretroviral yang dapat digunakan pada pengobatan
HIV pada orang dewasa namun hanya 13 antiretroviral yang disetujui untuk digunakan pada
anak-anak. Obat – obat tersebut terbagi dalam beberapa golongan: Nucleoside analogue atau
nucleotide analogue reverse transcriptase inhibitor (NRTIs, NtRTIs); non-nucleoside reverse
transcriptase inhibitor (NNRTIs); protease inhibitor ; dan fusion inhibitor.

Terapi yang dianjurkan pada anak – anak adalah antiretroviral kombinasi yang terdiri dari 3
obat dan minimal berasal dari 2 golongan obat karena terapi dengan ARV kombinasi terbukti
dapat menjaga imun (sistem kekebalan tubuh) dan menghambat perkembangan penyakit
(HIV).

Antiretoviral kombinasi yang digunakan untuk terapi HIV pada pediatri terbagi menjadi tiga
golongan: NNRTI-based (2 NRTIs + NNRTI); PI-based (2 NRTIs + PI); dan NRTI-based (3
NRTI drug). NNRTI-based dan PI-based merupakan first line pengobatan HIV pada pediatri
sedangkan NRTI-based merupakan second line yang digunakan bila pengobatan first line
tidak dapat menunjukkan hasil yang optimal.

NNRTI-Based Regimens (1 NNRTI + 2NRTI backbone):

NNRTI atau non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor merupakan salah satu golongan
ARV yang bekerja pada tahap replikasi virus. NNRTI akan berikatan dengan enzim reverse
transcriptase sehingga dapat memperlambat kecepatan sintesis DNA HIV atau menghambat
replikasi (penggandaan) virus. Obat ini merupakan salah satu obat pilihan terapi HIV pada
pediatri.

Keuntungan NNRTI:

 Resiko dislipidemia dan fat maldistribution lebih rendah dibandingkan protese


inhibitor (PI)
 Mudah digunakan karena ada dalam bentuk sediaan cair

Kerugian NNRTI:

 Resiko terjadinya kasus Steven-Johnson syndrome dan hepatic toxicity


 Potensial terhadap interaksi obat karena NNRTI mempengaruhi hepatic enzim seperti
CYP3A4 meskipun pengaruhnya lebih rendah dibandingkan PI

Obat yang dianjurkan:

 Efavirenz dikombinasikan dengan 2 NRTIs untuk anak – anak usia > 3 tahun
 Nevirapine dikombinasikan dengan 2 NRTIs untuk anak – anak usia < 3 tahun atau
untuk pasien yang membutuhkan bentuk sediaan cair

Obat yang tidak dianjurkan: Delavirdine

Efavirenz

Keuntungan:

 Dapat diberikan bersamaan dengan makanan tapi hindari makanan berlemak. Lebih
baik diberikan saat perut kosong
 Pemberian dilakukan satu kali sehari (once daily)
 Aktivitas antireoviral cukup kuat

Kerugian:

 Neuropsychiatric side effects (dapat diatasi dengan pemberian sebelum tidur)

Nama dagang di Indonesia: Sustiva (Bristol-myers)

Indikasi: HIV Infection

Kontra indikasi: Breast feeding


Bentuk sediaan, dosis, dan aturan pakai:

Bentuk sediaan : kapsul: 50 mg, 100 mg, dan 200 mg. Tablet: 600 mg.

Pediatric dose:

Aturan pakai: Diberikan satu kali sehari (once daily)


Efek samping:
Steven-johnson syndrom, abdominal pain, diarrhea, nausea, vomiting, anxiety, depression,
dizziness

Nevirapine

Keuntungan:

 Dapat diberikan bersamaan dengan makanan tapi hindari makanan berlemak. Lebih
baik diberikan saat perut kosong
 Tersedia dalam bentuk sediaan cair
 Aktivitas antireoviral cukup kuat

Kerugian:

 Neuropsychiatric side effects (dapat diatasi dengan pemberian sebelum tidur)


 Resiko reaksi hipersensitifitas dan rash atau ruam lebih tinggi dibandingakan NNRTIs
yang lain
 Resiko Hepatic toksisitas lebih tinggi dibandingkan efavirenz
 Dosis awal rendah kemudian ditingkatkan secara bertahap

Nama dagang di Indonesia: Viramune (Bohringer-ingelheim)

Indikasi: HIV Infection

Kontra indikasi: Breast feeding


Bentuk sediaan, dosis, dan aturan pakai:

 Bentuk sediaan : Tablet: 200 mg. Suspensi: 10 mg/mL.


 Pediatric dose: 120 – 200 mg per m2 luas permukaan tubuh diberikan dua kali sehari.
Dosis awal 120 mg per m2 luas permukaan tubuh diberikan sekali sehari selama 14
hari. Jika tidak terjadi efeksamping seperi rash / ruam dosis dapat ditingkatkan
menjadi 200mg per m2 diberikan dua kali sehari atau 7mg/KgBB dua kali sehari untuk
anak dengan usia <8 tahun; 4 mg/KgBB untuk anak dengan usia > 8 tahun.
 Aturan pakai : Diberikan satu kali sehari sebagai dosis awal dan dapat ditingkatkan
menjadi dua kali sehari
Efek samping: Steven-johnson syndrom, abdominal pain, diarrhea, nausea, vomiting, anxiety,
depression, dizziness

NRTI backbone

NRTI atau Nucleoside/Nucleotide Reverse Transcriptase Inhibitors merupakan ARV yang


juga bekerja pada tahap replikasi virus. Perbedaan antara NRTI dengan NNRTI terletak pada
mekanisme kerjanya. NRTI mengandung nucleotide yang digunakan oleh enzim reverse
transcriptase untuk mengubah RNA menjadi DNA. Dengan menggunakan nucleotide dari
NRTI, DNA yang dihasilkan oleh reverse transcriptase akan rusak sehingga menghambat
replikasi virus. NRTI backbone adalah kombinasi 2 NRTI yang digunakan bersamaan dengan
NNRTI yang fungsinya menguatkan kerja antiretroviral. Kombinasi NRTI yang dianjurkan
adalah zidovudine + lamivudine; didanosine + lamivudine; dan zidovudine + didanosine.

Zidovudine

Nama dagang di Indonesia: Retrovir (GlaxoSmithKline)

Indikasi: Infeksi HIV asimtomatik

Kontra indikasi: Haemoglobin rendah, neutrofil rendah, hyperbilirubinemia


Bentuk sediaan, dosis, dan aturan pakai:

 Bentuk sediaan : Kapsul: 100 mg. Tablet: 300 mg. Syrup: 10 mg/mL

 Pediatric dose: 160 mg per m2 luas permukaan tubuh.


 Aturan pakai : Diberikan diberikan setiap 8 jam

Efek samping: Anemia, neuropathy, dizziness, drowsiness

Lamivudine
Nama dagang di Indonesia: 3TC ( GlaxoSmithKline)

Indikasi: Infeksi HIV

Kontra indikasi: Hipersensitifitas, pasien dengan neutrofil yang rendah


Bentuk sediaan, dosis, dan aturan pakai:

 Bentuk sediaan : Solution: 10mg/mL, Tablet kunyah: 100mg

 Pediatric dose: 4 mg/KgBB; dosis maksimal 150 mg


 Aturan pakai : Diberikan diberikan dua kali sehari

Efek samping: Pancreasistis, neuropathy, hipoglikemi, rhabdomyolysis

Didanosine

Nama dagang di Indonesia: Videx (Bristol-Myers Squibb)

Indikasi: Terapi pada dewasa dan anak – anak dengan infeksi HIV lanjut

Kontra indikasi: Hipersensitivitas


Bentuk sediaan, dosis, dan aturan pakai:

 Bentuk sediaan : Solution: 10mg/mL, 5mg/mL. Tablet: 100mg, 150mg, 300mg

 Pediatric dose: 90 - 150mg per m2 luas permukaan tubuh


 Aturan pakai : Diberikan diberikan dua kali sehari (setiap 12 jam)

Efek samping: Pancreasistis, neuropathy, hipoglikemi, rhabdomyolysis, diare, mual

DAFTAR PUSTAKA

Anonim 2007, MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi, Edisi 6, 233, Info Master, Jakarta.

Anonim 2006, Guidelines for the use of Antiretroviral Agents in Pediatric HIV Infection,
www.aidsinfo.gov
Anonim, 2006, British National Formulary, Edisi 52, 328, British Medical Association,
Royal Pharmaceutical Society of Great Britain.

→ Leave a comment

Posted in Sistem Imun

Krim Permethrin 5% untuk Pengobatan Scabies


Posted on December 30, 2007 by farmakoterapi-info| 2 Comments

Krim Permethrin 5% untuk Pengobatan Scabies

Disusun oleh :

Liana Yuliawati Sadana, S. Farm.

078115017

Scabies disebabkan oleh mite (tungau), Sarcoptes scabiei. Scabies mites tertarik pada bau
dan kehangatan dari manusia. Tungau ini ukurannya cukup besar sehingga dapat dilihat dengan mata
telanjang dan sering menular diantara orang-orang yang tidur besama. Kadang tungau ditularkan
melalui pakaian, seprei dan benda-benda lainnya yang digunakan secara bersama-sama; masa
hidupnya hanya sebentar dan pencucian biasa bisa menghancurkan tungau ini. Tungau betina
membuat terowongan di bawah lapisan kulit paling atas dan menyimpan telurnya dalam lubang.
Beberapa hari kemudian akan menetas tungau muda (larva). Infeksi menyebabkan gatal-gatal hebat,
kemungkinan merupakan suatu reaksi alergi terhadap tungau.

Ciri khas dari scabies adalah gatal-gatal hebat, yang biasanya semakin memburuk pada
malam hari. Lubang tungau tampak sebagai garis bergelombang dengan panjang sampai 2,5 cm,
kadang pada ujungnya terdapat beruntusan kecil. Lubang/terowongan tungau dan gatal-gatal paling
sering ditemukan dan dirasakan di sela-sela jari tangan, pada pergelangan tangan, sikut, ketiak, di
sekitar puting payudara wanita, alat kelamin pria (penis dan kantung zakar), di sepanjang garis ikat
pinggang dan bokong bagian bawah. Infeksi jarang mengenai wajah, kecuali pada anak-anak dimana
lesinya muncul sebagai lepuhan berisi air. Lama-lama terowongan ini sulit untuk dilihat karena
tertutup oleh peradangan yang terjadi akibat penggarukan.
Ada banyak infeksi tungau (mite) yang bukan merupakan scabies. Maka dari itu harus
dilakukan biopsy untuk memastikan infeksi disebabkan oleh apa. Tungau scabies pada manusia
(Human scabies mites) bukan merupakan sarcopic mange mites yang mengenai hewan. Sarcopic
mange mites bisa terbawa pada manusia tetapi tidak bisa menggali kulit manusia. Jika hewan
terinfeksi tungau mange, maka meraka harus diobati secara terpisah.

Pengobatan ditujukan untuk membunuh tungau scabies dan mengkontrol dermatitis, yang
akan bertahan untuk beberapa bulan setelah pemberantasan tungau. Selimut dan baju harus dicuci atau
dibersihkan atau disingkirkan selama 14 hari dalam kantong plastic. Apabila pyoderma lanjutan ada,
maka harus diobati dengan sistemik antibiotic. Kecuali kalau pengobatan ditujukan kepada semua
anggota keluarga yang terkena maka infestasi kembali akan terjadi.

Permethrin 5% cream efektif dan aman digunakan dalam terapi manajemen scabies.
Pengobatan terdirei dari aplikasi tunggal selama 8-12 jam. Kemudian bisa diulangi dalam kurun 1
minggu.

Pasien yang hamil harus diobati hanya bila mereka punya riwayat penyakit scabies.
Permethrin 5% cream bisa diaplikasikan sekali untuk 12 jam atau sulfur 5% – 6% dalam petrolatum
diaplikasikan setiap malam selama 3 malam dari tulang selangkang kebawah bisa digunakan. Pasien
akan terus mengalami gatal-gatal selama beberapa minggu setelah pengobatan. Bisa digunakan
triamcolone 0,1% cream untuk mengobati dermatitis nya.

Kebanyakan gagalnya pengobatan scabies berhubungan dengan salah pengunaan obat atau
pengobatan yang tidak tuntas. Dalam kasus ini, ulangi pengobatan dengan permethrin sekali setiap
minggu untuk 2 minggu, dengan disertai edukasi mengenai metode dan luas permukaan yang
diaplikasikan. Pada orang-orang immunocompetent, pengobatan menggunakan ivermectin pada dosis
200 mcg/kg efektif pada sekitar 75% kasus dengan dosis tunggal dan 95% dari kasus dengan dua kali
dosis setiap 2 minggu sekali. Pada immunosuppressed host dan mereka dengan crusted
(hyperkeratotic) scabies, kelipatan dosis dari ivermectin ( setiap 2 minggu untuk 2-3 dosis) ditambah
terapi topikal dengan permethrin sekali setiap minggu bisa efektif ketika pengobatan secara topikal
dan oral terapi gagal dilakukan. Pruritic papules yang berkepanjangan bisa diobat dengan
kortikosteroid berkekuatan sedang-tinggi atau dengan intralesional triamcolone acetonide (2,5-5
mg/mL).

Pengobatan scabies harus dilakukan secara menyeluruh pada semua penderita dalam satu
lingkungan seperti semua anggota keluarga dalam satu waktu. Hal yang dapat dilakukan adalah
mencuci benda-benda yang kontak langsung dengan penderita pada suhu di atas 50 °C atau
menggunakan obat topikal.
 

Obat pilihan yang disarankan untuk terapi Scabies adalah Scabimite cream dengan bahan
aktif nya permethrin 5%.

a. Nama dagang di Indonesia

Scabimite cream 5% dari Galenium Pharmacia.

b. Bentuk sediaan

Cream 5% x 10 g, 30 g.

c. Farmakologi

Permethrin bekerja dengan cara mengganggu polarisasi dinding sel syaraf parasit yaitu
melalui ikatan dengan Natrium. Hal ini memperlambat repolarisasi dinding sel dan akhirnya
terjadi paralise parasit. Permethrin dimetabolisir dengan cepat di kulit, hasil metabolisme yang
bersifat tidak aktif akan segera diekskresi melalui urine. Permethrin juga diabsorbsi setelah
pengaplikasian secara topikal, tetapi kulit juga merupakan sebuah tempat metabolisme dan
konjugasi metabolit.

Pengaplikasian 5% permethrin cream biasanya cukup untuk mebuat hilang ektoparasit dan
pengurangan dari simptom (biasanya pruritus). Pengaplikasian berusalng dibutuhkan untuk
mengobati penyakit scabies diantara komunitas orang.

d. Indikasi

Permethrin cream 5% digunakan untuk terapi investasi Sarcoptes scabiei.

e. Kontra indikasi

Hipersensitif terhadap Permethrin, Pirethroid sintetis atau Pirethrin.

f. Cara pemakaian

Permethrin cream digunakan untuk sekali pemakaian. Oleskan Permethrin cream merata
pada seluruh permukaan kulit mulai dari kepala sampai ke jari-jari kaki, terutama daerah belakang
telinga, lipatan bokong dan sela-sela jari kaki. Lama pemakaian selama 8-12 jam. Dianjurkan
pengolesan pada malam hari kemudian dicuci pada keesokan harinya.
g. Efek samping

Dapat timbul rasa panas seperti terbakar yang ringan, pedih, gatal, eritema, hipestesi serta
ruam kulit. Efek samping ini bersifat sementara dan akan menghilang sendiri.

h. Peringatan

 Infestasi Scabies kadang diikuti dengan adanya pruritus, edema dan erythema. Pengobatan
dengan Scabimite bisa secara sementara memperburuk kondisi ini.

 Keamanan dan keefektifan pada anak-anak berumur kurang dari 2 bulan belum diumumkan.

 Penggunaan selama kehamilan dan menyusui harus berdasarkan rekomendasi dokter.

i. Keuntungan

 Aman dan efektif untuk digunakan dalam beberapa tingkat scabies.

 Diaplikasikan secara tunggal (sekali pemakaian)

 Non-neurotoxic scabicide.

j. Resiko khusus

 Neonates

Tidak ada penelitian yang secara spesifik dilakukan untuk pengujian keamanan permethrin
pada neonates, tetapi Wellcome mengadakan penelitian spesifik tentang penggunaan
perm,ethrin pada anak-anak berumur dibawah 12 tahun.

 Ibu menyusui

Perhatian ditujukan pada ibu yang sedang menyusui apabila menggunakan permethrin cream
5%, level dari permethrin dalam air susu setelah diaplikasikan secara topikal diketahui sangat
rendah.

 Anak-anak

Permethrin telah diketahui aman dan efektif bila digunakan pada anak-anak.
 Wanita hamil

Walaupun tidak menunjukkan adanya toksisitas reproduksi pada hewan, permethrin diketahui
dapat mencapai janin pada tikus. Karena tidak adanya penelitian tentang penggunaan
permethrin pada wanita hamil maka penggunaannya pada saat kehamilan hanya
diperbolehkan menurut saran dokter. Akan tetapi efek teratogenik tidak akan diantisipasi.

 Orang tua

Tidak ada precaution spesial yang diindikasikan

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2007, MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi, Ed. 6, Info Master, Jakarta.

Dollery, C., 1999, Therapeutic Drug, 2nd edition, Harcourt Brace and company limited, Toronto.

Maxine, A. P., McPhee, J. S., 2007, Current Medical Diagnosis and Treatment, Lange, McGrwaw-
Hill.

→ 2 Comments

Posted in Sistem Integumen

TERAPI KOMBINASI UNTUK ERADIKASI


HELICOBACTER PYLORI PADA PEPTIC
ULCER DISEASE
Posted on December 30, 2007 by farmakoterapi-info| 7 Comments

TERAPI KOMBINASI UNTUK ERADIKASI HELICOBACTER PYLORI

PADA PEPTIC ULCER DISEASE

Penulis : Heribertus Rinto Wibowo (078115053)


Mahasiswa Program Studi Apoteker

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Apakah Anda sering mengalami nyeri pada saluran cerna? Apakah Anda mempunyai riwayat sakit
maag? Ataukah Anda sering merasa mual dan muntah serta sering terbangun di malam hari karena mengalami
rasa nyeri yang hebat di bagian lambung atau di ulu hati? Jika iya, sebaiknya Anda perlu lebih waspada mulai
dari sekarang. Nyeri merupakan suatu pertanda telah terjadi sesuatu yang tidak beres dalam tubuh Anda.
Kemungkinan telah terjadi sesuatu di dalam saluran pencernaan Anda. Jangan pernah menganggap remeh
rasa nyeri itu sebelum semuanya menjadi terlambat untuk diatasi.

Seringkali kita menganggap sakit atau nyeri yang sering terjadi di saluran cerna sebagai sakit maag
yang disebabkan oleh asam lambung yang berlebihan. Asam lambung merupakan salah satu faktor yang
biasanya menjadi kambing hitam untuk gangguan pada saluran cerna. Akibatnya, setiap ada nyeri pada bagian
lambung atau usus, obat yang diberikan adalah obat antasid (anti acid atau anti asam). Hal tersebut memang
tidak sepenuhnya salah, tetapi ada faktor lain yang perlu dicurigai sebagai penyebab sakit di saluran pencernaan,
terutama di bagian lambung dan usus. Selain asam lambung yang berlebih, stress dan infeksi bakteri
Helicobacter pylori juga memicu terjadinya luka pada mukosa lambung dan usus(3). Luka inilah yang dikenal
sebagai tukak lambung dan tukak duodenum (peptic ulcer disease)(2). Faktor-faktor penyebab nyeri pada
lambung atau usus harus diketahui untuk menentukan terapi pengobatan yang akan dilakukan.

Apa yang menjadi sasaran utama terapi tukak lambung dan tukak duodenum? Sasaran terapi ini adalah
bakteri Helicobacter pylori dan asam lambung. Helicobacter pylori ditetapkan sebagai tersangka utama nomor
dua sebagai penyebab utama terjadinya tukak lambung dan tukak duodenum setelah asam lambung. Pada tahun
1982, ketika Barry Marshall dan Robin Warren menemukan bakteri ini, stress dan gaya hidup masih dianggap
sebagai penyebab utama tukak. Marshall dan Warren terus menerus meneliti bakteri ini dan akhirnya
mendapatkan hubungan antara bakteri ini dengan tukak. Helicobacter pylori ditemukan pada lebih dari 90%
pasien yang mengalami tukak duodenum dan 70% pasien yang mengalami tukak lambung(4). H.pylori
merupakan bakteri Gram negatif yang berbentuk spiral yang membentuk koloni pada bagian bawah lambung
(pada bagian pylorus atau pada daerah perbatasan dengan usus)(4). Berkat jasanya menemukan bakteri H.pylori
sebagai penyebab baru tukak lambung dan tukak duodenum, Marshall dan Warren mendapatkan hadiah nobel
dalam bidang kesehatan (Noble Prize in Physiology or Medicine) pada tahun 2005.

Bagaimana bakteri ini mampu menyebabkan luka pada dinding lambung? Jawabannya terdapat pada
enzim urease yang dihasilkan oleh bakteri ini. Enzim ini akan menghasilkan amonia yang bersifat toksik dan
merusak pertahanan mukosa lambung(4). Kerusakan mukosa diperparah dengan hadirnya asam lambung berlebih
yang juga ikut ambil bagian untuk menyerang pertahanan di daerah ini. Sel-sel mukosa tak mampu menahan
serangan dari asam lambung dan akhirnya sel-sel ini pun mati. Regenerasi sel mukosa tak mampu mengimbangi
perlawanan asam lambung dan invasi bakteri H.pylori sehingga semakin lama dinding lambung dan usus akan
terus menerus terkikis, dan menipis. Luka menjadi semakin melebar dan dalam, sehingga suatu saat akan terjadi
pendarahan pada dinding lambung dan usus (bleeding). Selain pendarahan, jika semakin parah akan terbentuk
lubang (dinding lambung mengalami perforasi) sehingga makanan di dalam lambung dapat tumpah ke rongga
perut.

Tujuan dari terapi adalah menghilangkan atau mengeradikasi bakteri H.pylori dan mengontrol jumlah
asam lambung berlebih yang dapat memperparah tukak. Terapi tunggal antibiotik atau terapi tunggal obat
penurun kadar asam telah terbukti tidak optimal untuk mengobati tukak yang disebabkan karena infeksi bakteri
H.pylori. Oleh sebab itu, diperlukan suatu kombinasi terapi yang terdiri dari antibiotika ditambah dengan obat-
obat yang mampu menurunkan kadar asam lambung (misalnya penghambat pompa proton atau antagonis
reseptor H2) untuk pasien yang positif H.pylori(4).

Bagaimana kita mengetahui telah terjadi infeksi bakteri H.pylori? Cara untuk mengetahuinya adalah
dengan serangkaian tes di laboratorium. Tes yang dilakukan meliputi tes yang invasif yaitu dengan endoskopi;
tes napas untuk mengetahui apakah terdapat urea dalam napas; tes serum darah dan tes feses, keduanya untuk
mendeteksi antibodi IgG terhadap bakteri ini(2). Antibodi IgG merupakan zat yang dikeluarkan oleh tubuh
sebagai mekanisme pertahanan diri jika terdapat infeksi bakteri. Terdeteksinya antibodi IgG dalam serum darah
dan feses menunjukkan terdapat infeksi bakteri H.pylori. Walaupun agak memakan biaya, tetapi tes ini sangat
penting dilakukan untuk menentukan strategi terapi yang tepat. Jika tidak terdapat bakteri H.pylori maka cukup
digunakan obat penekan jumlah asam lambung dan tidak perlu digunakan antibiotika.

Berikut ini adalah obat-obat yang digunakan untuk eradikasi bakteri H.pylori dan mengobati tukak :

ANTIBIOTIK. H.pylori sensitif dengan antibiotik tertentu misalnya amoxicillin (Amoxillin(R)-Pharos,


kapsul 500 mg)(1) dan antibiotik golongan makrolida misalnya clarithromycin (Comtro(R)-Combiphar, tablet salut
selaput 250 mg) (1). Antibiotik lini kedua yang digunakan yaitu tetrasiklin (Tetrin(R)-Interbat, kapsul 250 mg dan
500 mg) (1), metronidazole (Farizol(R)-Ifars, kaplet 250 mg dan 500 mg) (1), dan ciprofloxacin (Cetafloxo(R)-Soho,
kapsul 250 mg dan kaplet 500 mg) (1). Salah satu indikasi semua obat golongan ini adalah untuk mengeradikasi
bakteri H.pylori di saluran cerna. Kontraindikasi : pasien yang mengalami hipersensitivitas terhadap antibiotik,
ibu hamil dan menyusui (tetrasikiln) (5). Efek samping yang paling umum terjadi dari penggunaan antibiotik
adalah permasalahan di saluran pencernaan misalnya mual, muntah dan diare(5). Reaksi alergi dapat terjadi
dengan semua antibiotik tetapi yang paling sering terjadi adalah alergi antibiotik golongan penisilin atau sulfa.
Reaksi alergi yang terjadi mulai dari bercak merah pada kulit, biasanya jarang, namun parah dan mengancam
jiwa karena menyebabkan shock anafilaksis(5).

OBAT PENEKAN JUMLAH ASAM LAMBUNG. Obat-obat golongan ini meliputi penghambat
pompa proton (PPI/ proton pump inhibitor); antagonis reseptor H2 (H2RA/ H2 reseptor antagonist); dan antasid.
PPI (Proton Pump Inhibitor) bekerja dengan cara menghambat atau memblok langsung tempat yang
menghasilkan asam(3). Beberapa macam obat ini yaitu omeprazole (OMZ(R)-Ferron, kapsul 20 mg)(1),
esomeprazole (Nexium(R)-AstraZeneca, tablet salut selaput 20 dan 40 mg)(1), lansoprazole (Nufaprazol(R)-
Nufarindo, kapsul 30 mg)(1), rabeprazole (Pariet(R)-Eisai, tablet salut enterik 10 mg dan 20 mg)(1), dan
pantoprazole (Pantozol(R)-Pharos, tablet 20 dan 40 mg)(1). Efek samping obat golongan ini jarang, meliputi sakit
kepala, diare, konstipasi, muntah, dan ruam merah pada kulit(3). Ibu hamil dan menyusui sebaiknya menghindari
penggunaan PPI. Antagonis Reseptor H2 mengurangi sekresi asam lambung dengan cara berkompetisi dengan
histamin untuk berikatan dengan reseptor H2 pada sel parietal lambung. Bila histamin berikatan dengan reseptor
H2, maka akan dihasilkan asam(3). Dengan diblokirnya tempat ikatan antara histamin dan reseptor, digantikan
dengan obat-obat ini, maka asam tidak akan dihasilkan. Beberapa macam obat ini yaitu cimetidine (Corsamet (R)-
Corsa, tablet 200 mg dan 400 mg) (1), famotidine (Ifamul(R)-Guardian Pharmatama, tablet 20 mg)(1), ranitidine
(Tricker(R)-Meprofarm, tablet salut selaput 150 mg)(1), dan nizatidine (Axid(R)-Eli Lily, kapsul 150 mg)(1). Efek
samping obat golongan ini yaitu diare, sakit kepala, kantuk, lesu, sakit pada otot, dan konstipasi.

BISMUT. Bismut biasanya dikombinasikan dengan obat penekan jumlah asam pada terapi tukak yang
disertai infeksi bakteri H.pylori. Bismut aktif melawan H.pylori dengan konsentrasi hambat minimal yaitu 16
mg/ml (4). Beberapa macam obat yang mengandung bismut yaitu Diotame(R) dan Pepto-Bismol(R), keduanya
dalam bentuk tablet kunyah 262 mg (5). Bismut dikontraindikasikan untuk pasien yang hipersensitif terhadap
bismut.

Berikut ini adalah terapi kombinasi beserta dosis obat yang direkomendasikan dan telah disetujui oleh
Food And Drugs Association (FDA) untuk melawan bakteri H.pylori dan menjaga agar tidak terjadi sekresi
asam berlebih yang dapat memperparah tukak (4):

PPIAC. Kombinasi ini terdiri dari PPI, amoksisilin, dan clarithromycin yang mempunyai keefektifan
90-95% dalam eradikasi H.pylori. Ketika menggunakan terapi ini, PPI diminum dua kali sehari sebelum makan
selama 14 hari; amoksisilin 1000 mg dua kali sehari bersama dengan makanan selama 14 hari; dan
clarithromycin 500 mg dua kali sehari diminum bersama dengan makanan selama 14 hari. FDA sudah
membuktikan bahwa terapi selama 10 hari juga sudah efektif. Terapi 7 hari tidak disarankan oleh FDA karena
kurang efektif dibandingkan terapi selama 10-14 hari. Antagonis reseptor H2 sebaiknya tidak ditambahkan pada
kombinasi yang menggunakan PPI.

PPIMC. Kombinasi ini terdiri dari PPI, metronidazole, dan clarithromycin. Metronidazole 500 mg
dapat digunakan sebagai pengganti amoksisilin karena memiliki daya eradikasi yang sama. Efektivitas
kombinasi ini yaitu antara 88-95% untuk memeberantas bakteri H.pylori.

BMT-H2. Kombinasi ini terdiri dari bismut, metronidazole, dan terasiklin, ditambah dengan antagonis
reseptor H2. Terapi ini agak rumit karena menggunakan empat macam obat yang diberikan empat kali sehari
selama dua minggu dan masih dilanjutkan terapi dengan obat antagonis reseptor H2 selama 16 hari. Bismut yang
diberikan adalah bismuth salisilat 262 mg, dua tablet empat kali sehari dengan cara dikunyah selama 14 hari
diminum bersama makanan dan sebelum tidur. Metronidazole 250 mg diminum empat kali sehari selama dua
minggu diminum bersama makanan dan sebelum tidur. Tetrasiklin 500 mg diberikan empat kali sehari selama
14 hari diminum bersama makanan dan sebelum tidur. Antagonis reseptor H2 diberikan selama 30 hari untuk
meningkatkan kesembuhan. PPI yang diminum dua kali sehari dapat digunakan untuk mengganti antagonis
reseptor H2.

RBC-C. Kombinasi ini terdiri dari ranitidine, bismut citrat, dan clarithromycin. Ranitidine 150 mg
ditambah bismut sitrat 240 mg diminum dua kali sehari selama empat minggu dikombinasikan dengan
clarithromycin 500 mg diminum tiga kali sehari untuk dua minggu pertama. Kombinasi ini kurang efektif
dibanding kombinasi lainnya di atas. Selain itu, waktu pemberiannya juga agak merepotkan, durasinya lama
(empat minggu), ditambah lagi hanya satu antibiotik yang digunakan. RBC merupakan pilihan untuk pasien
yang alergi terhadap penisilin.

Terapi kombinasi tersebut akan mampu membunuh bakteri H.pylori yang menyebabkan tukak dan
memperparah tukak. Mengapa kita harus waspada terhadap bakteri H.pylori? Bakteri ini banyak ditemukan di
negara-negara berkembang, dan angka kejadian tukak karena infeksi bakteri ini sangat tinggi di negara
berkembang yang padat penduduknya, ekonomi lemah dan sanitasi lingkungannya yang buruk. Kita tinggal di
Indonesia, negara yang sanitasi lingkungannya cukup amburadul. Dengan kata lain, kita pun akan mudah
terserang infeksi bakteri ini. Satu-satunya cara adalah dengan tetap menjaga kebersihan lingkungan dan
perubahan gaya hidup dan pola makan Anda. Jangan abaikan rasa nyeri di dalam tubuh Anda sebelum terjadi
sesuatu yang lebih parah dalam tubuh Anda. Jangan sampai masa tua Anda menjadi sengsara karena serangan
asam lambung yang berlebihan dan ulah jahat bakteri H.pylori yang tinggal dengan enaknya, membentuk
keluarga bakteri yang hidup dengan nyaman di dalam saluran cerna Anda. Bukan bermaksud menakut-nakuti,
tetapi harga yang harus dibayar di waktu kemudian bisa tak terhingga mahalnya jika semuanya sudah terlambat
untuk diatasi. Obati sebelum terlambat!

PUSTAKA

1). Anonim, 2006, MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi 2006/2007, Edisi 6, Info Master, Jakarta.

2). DiPiro, T.J., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Pasey, l.M., 2005, Pharmacotherapy : A
Pathophysiological Approach, 6th Ed., The McGraw-Hill Inc., USA.

3). Hardman, J.G., Limbird, L.E., Molinof, P.B., Ruddon, R.w., 2006, The Pharmacological Basic of
Therapeutics, 9th Ed., The McGraw-Hill Companies Inc., USA.

4). Kimble, M.A., Young, L.E., Kradjan, W.A., Guglielmo, B.J., Alldredge, B.K., Corelli, R.L., 2005, Applied
Therapeutics : The Clinical Use of Drugs, 8th Ed., Lippincot Williams & Wilkins, USA.

5). Lacy, C.F., Armstrong, L.L., Goldman, M.P., dan Lance, L.L., Drug Information Handbook, 14th Ed.,
Lexicomp Inc., USA.
 

You might also like