You are on page 1of 7

Pendahuluan

Jika kita melihat jauh kebelakang, ibukota Turki yakni Istanbul,


merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah kekaisaran Eropa. Istanbul
dahulu dikenal dengan nama Byzantium dan juga dengan nama Konstantinopel.
Daerah ini pada dasarnya bukan daerah biasa-biasa saja, sebab Konstantinopel ini
pernah menjadi ibukota kekaisaran Romawi Kuno, tepatnya ibukota kekaisaran
Romawi Timur.
Saat ini, nama Byzantium ataupun Konstantinopel sudah tidak dipakai
lagi, meskipun di dunia barat kota ini lebih terkenal dengan nama tersebut
daripada namanya saat ini, yaitu Istanbul. Turki saat ini sudah jauh berbeda
dengan pada masa romawi kuno. Turki saat ini menjadi negara dengan penduduk
mayoritas muslim.
Letak geografis Turki adalah Timur dekat, Eropa Selatan dan Laut Tengah
bagian Timur. Daratan Turki terletak di kawasan dimana 3 benua membentuk
dunia kuno. Benua Asia, Afrika dan Eropa berdekatan satu sama dan Turki
terletak di antara Eropa dan Asia. Secara geografis, Negara ini terletak di bumi
belahan utara pada titik tengah antara khatulistiwa dan Kutub Utara. Tepatnya
pada garis bujur 36 hinga 42 derajat lintang utara dan 26 sampai 45 derajat bujur
timur. Kawasan Turki pada umumnya menyerupai bentuk persegi empat panjang
dengan panjang, 1,660 km dari timur ke barat serta lebarnya 550 km dari utara ke
selatan.
Berdasarkan letak geografis dan latar belakang sejarah dari Turki itu
sendiri, maka tentunya negara tersebut ingin sekali bergabung dengan Uni Eropa.
Keinginan tersebut tidak berjalan dengan mulus. Sudah beberapa tahun sejak
Turki mengajukan diri untuk menjadi anggota Uni Eropa, namun sampai saat ini
belum juga diberikan status keanggotaannya oleh Uni Eropa. Upaya-upaya yang
dilakukan pun sudah sangat banyak sekali, mulai dari penyesuaian aturan
perundang-undangan Uni Eropa, sampai kepada konsep ekonomi Uni Eropa itu
sendiri, tapi tetap juga masih belum bisa diterima untuk masuk dalam
keanggotaan Uni Eropa.
Turki dan Uni Eropa
Pada tahun 1964, Turki telah menjalin hubungan asosiasi dengan Uni
Eropa. Hubungan tersebut adalah hubungan tentang kepabeanan atau yang dikenal
dengan Ankara Association Agreement. Perjanjian ini mengatur upaya-upaya yang
akan dilakukan untuk merancang suatu persetujuan Uni Pabean antara Turki
dengan Uni Eropa.
Turki secara formal mengajukan lamaran untuk menjadi anggota penuh
Uni Eropa pada tanggal 14 April 1987. Hal ini diajukan oleh Turki sebab telah
merasa percaya diri terhadap kerangka Uni Pabean yang telah dia pegang teguh.
Sebagai jawaban atas lamaran tersebut, Uni Eropa menolak lamaran yang
diajukan oleh Turki pada tanggal 20 Desember 1989 dengan alasan masih terjadi
kesenjangan sosio-politik dan ekonomi antara Turki dan Uni Eropa.
Pada saat itu, ekonomi Turki masih 1/3 dari rata-rata ekonomi Uni Eropa.
Industri di Turki pun masih sangat diproteksi, sehingga dikhawatirkan tidak dapat
bersaing dalam kompetisi pasar di Uni Eropa. Inflasinya mencapai angka 60% dan
pengangguran cukup tinggi. Sementara itu separuh tenaga kerja Turki bergantung
pada sektor pertanian.
Turki telah melakukan segala macam upaya untuk dapat bergabung
menjadi anggota tetap Uni Eropa. Lamaran yang diajukan Turki tidak pernah
ditanggapi secara serius oleh Uni Eropa, Uni Eropa tidak pernah menolak secara
tegas dan tidak pula langsung menerima Turki. Uni Eropa hanya memberikan
janji-janji untuk segera menetapkan tanggal untuk menerima Turki dan
memasukan Turki ke dalam daftar anggota yang paling potensial. Sejak status
tersebut dikeluarkan pada 1987 hingga sekarang Turki belum mengalami
kemajuan dimata Uni Eropa dan selalu menjadi kandidat dari setiap pertemuan
Uni Eropa.
Meskipun begitu, Turki terus memperbaiki kondisi negaranya agar dapat
menyesuaikan diri dengan kerangka Uni Eropa yang dijadikan standar oleh Uni
Eropa. Akhirnya, pada tanggal 31 Desember 1995, Uni Eropa setuju untuk
menandatangani perjanjian Uni Pabean dengan Turki. Adapun isi perjanjian
tersebut adalah penghapusan pajak secara resiprokal bagi barang-barang
manufaktur dalam perdagangan antara Uni Eropa dengan Turki. Selain itu, Turki
juga menyatakan persetujuannya untuk mengadopsi peraturan tarif pabean
bersama.
Berdasarkan keberhasilan tersebut, Turki mencoba kembali untuk melamar
menjadi anggota tetap dari Uni Eropa. Hasilnya, pada tanggal 13 Desember 1997,
KTT Uni Eropa memberikan konfirmasi bahwa Turki telah memenuhi persyaratan
untuk menjadi anggota Uni Eropa dan akan diberi tempat pada Konferensi Eropa.
Konferensi Eropa itu sendiri adalah sarana untuk mempertemukan para
anggota Uni Eropa itu sendiri dan juga para calon anggota. Selain itu, Konferensi
Eropa juga bertujuan untuk menggabungkan serta menyamakan nilai-nilai yang di
anut, serta tujuan internal dan eksternal masing-masing negara.
Ternyata, konfirmasi dari KTT di Luxemburg tersebut, tidak sepenuhnya
merupakan kabar yang baik dari bagi Turki. Dewan Eropa, masih
mempertimbangkan masalah lamaran Turki, sebab kondisi ekonomi dan politik di
Turki masih belum sesuai dengan syarat.

PENOLAKAN TURKI
Runtuhnya kekaisaran Ottoman telah mengubah strategi politik Turki
untuk lebih mendekatkan diri pada negara-negara Eropa (Barat) yang pada saat itu
dianggap sebagai sebuah negara yang dapat menjamin kesejahteraan Turki di
masa depan. Sejak bangkitnya gerakan Nasionalisme Turki dengan sekulerisme di
segala bidang, Turki telah berupaya keras untuk dapat diterima sebagai anggota
Uni Eropa, hal ini berlanjut pada Perang Dunia ke dua bahkan sampai Perang
Dunia ke dua usai. Keinginan negara-negara Eropa untuk tidak bergantung pada
bantuan asing telah merubah sistem internasional dari bipolar menjadi multipolar,
perubahan tersebut tentu saja mempengaruhi hubungan Uni Eropa dan Turki,
yang sudah dianggap tidak terlalu berguna pasca Perang Dunia ke dua.
Kegagalan Turki untuk menjadi anggota tetap Uni Eropa memang patut
dipertanyakan dan menjadi suatu pembahasan yang menarik. Selain karena Turki
tidak mampu untuk memenuhi persyarakatan yang diajukan oleh Uni Eropa,
ketidaksukaan Uni Eropa terhadap Turki juga menjadi salah satu faktor yang
menghambat Turki untuk menjadi anggota tetap Uni Eropa.
Kondisi politik dan ekonomi Turki memang selalu menjadi alasan kuat
Uni Eropa untuk selalu menolak keanggotaan Turki. Ekonomi Turki yang jauh
berbeda dengan negara-negara Uni Eropa lainnya dikhawatirkan akan menjadi
suatu masalah bagi Uni Eropa dan menjadi beban bagi Uni Eropa di masa yang
akan datang. Sebagai negara anggota Uni Eropa (jika Turki diterima) maka Turki
berhak mendapatkan bantuan perekonomian dari negara-negara Uni Eropa melalui
Regional Polcicy-nya. Pertimbangan untung rugi menjadi faktor yang sangat
mempengaruhi keputusan Uni Eropa menolak keanggotaan Turki.
Kondisi demokrasi Turki juga menjadi sorotan Uni Eropa, Turki dianggap
belum mampu untuk menegakan demokratisasi di negaranya, hal ini ditandai
dengan masih banyaknya pelanggaran HAM yang sering terjadi di negara
tersebut. Kekuatan militer yang sangat dominan terhadap sipil di Turki dan
metode militerisme yang kerap digunakan untuk menangani berbagai masalah
yang terjadi di negara tersebut menjadi tolak ukur lemahnya demokrasi di Turki.
Kedua alasan diatas menjadi hambatan utama dan selalu dikemukakan Uni Eropa
untuk menolak keanggotaan Turki. Namun bukan berarti penolakan yang tidak
hanya sekali tersebut diartikan bahwa Turki tidak melakukan perbaikan dalam
kedua hal tersebut, namun sebaliknya Turki selalu melakukan perubahan sesuai
yang diinginkan Uni Eropa. RUU pezinahan telah dibatalkan, siaran bahasa Kurdi
mulai diperbolehkan di beberapa radio bahkan kaum sekuler Turki mengeluarkan
pernyataan dan melarang istri kepala negara untuk menggunakan jilbab. Dalam
hal militer masih kuat pengaruhnya, namun masih dapat dikontrol oleh kekuatan
masyarakat madani. Turki telah melakukan segala cara untuk dapat menjadi
anggota tetap Uni Eropa, bahkan Turki telah membuktikan dirinya menjadi satu-
satunya negara Islam yang demokrasinya telah memasuki tahap yang relatif
matang.
Selain hambatan yang selalu dikemukakan Uni Eropa untuk menolak
keanggotaan Turki selama ini, masih ada faktor lain yang lebih disebabkan
ketidaksukaan Uni Eropa teradap Turki dan tidak pernah diakui secara resmi oleh
lembaga Uni Eropa.
Pertama, alasan penolakan Uni Eropa berdasarkan perbedaan ekonomi, hal
ini memang menjadi syarat untuk bergabung dengan Uni Eropa dapat diterima,
tapi kendala hal tersebut tidak berlaku pada Yunani dan Portugal yang pada saat
diterima menjadi anggota tetap Uni Eropa juga mempunyai masalah
perekonomian yang hampir sama pada saat Turki mengajukan lamaran. Kedua,
alasan mengenai lemahnya demokratisasi dan penegakan HAM di Turki memang
sulit dibantah dan menjadi fokus Uni Eropa terhadap Turki. Namun sekali lagi
penulis menanggap ada diskriminasi terhadap hal tersebut, hal ini ditunjukan
dengan diterimanya Irlandia pada tahun 1972 dimana pada saat itu kondisi dalam
negeri negara tersebut, yang sangat dipengaruhi oleh keputusan gereja tidak lebih
baik dari Turki. Hal ini sekali lagi membuktikan ketidaksukaan Uni Eropa
terhadap Turki
Faktor lain yang menyebabkan Turki belum juga diterima menjadi anggota
Uni Eropa adalah faktor sejarah, kebudayaan dan agama di Turki yang bertolak
belakang dengan negara-negara Eropa pada umumnya. Turki memiliki latar
belakang budaya yang cukup berbeda dengan negara-negara Eropa lainnya,
sejarah Islam yang sangat kaya dan sangat penting yang menjadi suatu sejarah
besar bagi perkembangan Islam di Eropa dan Timur tengah terutama pada zaman
Kekaisaran Ottoman. Kekayaan sejarah Islam tersebut disatu pihak menjadi suatu
kebanggaan yang sangat besar bagi Turki sebagai negara yang berhasil
menyebarluaskan Islam ke hampir seluruh penjuru dunia, namun dilain pihak hal
tersebut juga mempengaruhi cara pandang negara-negara Eropa bahkan keputusan
Uni Eropa dalam hal penolakan Turki untuk menjadi anggota tetap Uni Eropa.
Selain itu hal yang juga dianggap sebagai ancaman adalah jumlah populasi
Turki sebesar 74 juta warga setelah Jerman yang berjumlah 82 juta warga. Jerman
adalah populasi terbesar di Eropa. Jumlah populasi sangat menentukan kebijakan
Uni Eropa. Sebab, salah satu sistem polling di Uni Eropa ditentukan dari jumlah
populasi. Tak diragukan lagi, keanggotaan Turki dalam Uni Eropa dapat
mempengaruhi posisi Jerman dan Perancis.
Alasan lain penolakan atas keanggotaan Turki di Uni Eropa adalah
populasi muslim di negara ini. Banyak para pejabat berhaluan kanan di Eropa,
termasuk Nicolas Sarkozy, berpandangan sentimen terhadap Islam. Tentunya,
mereka tidak menghendaki Turki yang berjumlah 73 juta warga muslim, menjadi
anggota Uni Eropa. Sikap pejabat Uni Eropa, khususnya haluan kanan,
mencerminkan bahwa Uni Eropa adalah organisasi Kristen sehingga masuknya
Turki dalam organisasi ini dapat merusak struktur yang dibangun atas dasar
sektarian. Karena inilah prospek perundingan proses keanggotaan Turki di Uni
Eropa selalu mengambang.
Sejak berdirinya negara republik Turki, Kemal Attaturk, yang pada saat itu
menjadi Presiden pertama Turki memutuskan untuk berkiblat pada Barat
khususnya masyarakat Eropa dan bergabung dengan NATO dengan bantuan
Amerika Serikat yang mempunyai kepentingan terhadap Turki. Keputusan ini
didukung oleh letak geografis Turki yang sangat strategis; dimana pada saat itu
terdapat dua Blok (Barat dan Timur) yang sama-sama menginnginkan Turki
bergabung bersama mereka.
Keinginan Turki untuk disejajarkan dengan bangsa-bangsa Eropa lainnya
dengan bergabung menjadi anggota tetap Uni Eropa memang mendapat suatu
kesulitan, bahkan hal ini diperparah setelah Perang Dingin berakhir dimana fungsi
dan posisi politik Turki bagi bangsa-bangsa Eropa anggota NATO sudah tidak
lagi terlalu penting. Bubar dan berakhirnya Pakta Warsawa sebagai akibat
kekalahan pihak Soviet dan sekutu, telah memandai bahwa fungsi utama Turki
sebagai ujung tombak NATO telah berakhir pula.

PROSPEK TURKI DALAM UNI EROPA

Prospek Turki untuk diterima sebagai anggota Uni Eropa sangatlah kecil.

Hal ini disebabkan banyaknya sentimen-sentimen dari negara di Uni Eropa itu

sendiri. Utamanya dari Prancis dan Jerman.


Sekarang muncul sebuah pertanyaan; Mengapa para pejabat Uni Eropa
masih menyepakati memulai perundingan proses keanggotaan Turki di Uni
Eropa? Padahal mereka sendiri secara terang-terangan menolak Turki sebagai
anggota Uni Eropa dengan berbagai alasan yang telah dikemukakan pada poin
sebelumnya.
Dalam menjawab pernyataan tersebut, Turki dari sisi posisi ekonomi,
politik dan geografi tak dapat diabaikan Uni Eropa. Karena itulah negara-negara
besar Eropa membiarkan Turki menanti menjadi anggota organisasi selama 30
tahun. Hingga kini, mereka terus mengulur perundingan proses keanggotaan Turki
di Uni Eropa dengan harapan bahwa Turki menerima sebagai anggota kehormatan
atau dengan kata lain sebagai mitra istimewa di organisasi ini.
Tawaran anggota kehormatan bagi Turki di Uni Eropa muncul dari
Presiden Perancis, Nicolas Sarkozy yang juga didukung penuh oleh Kanselir
Jerman, Angela Merkel. Menyusul usulan itu, para pejabat Turki spontan
menolaknya. Sementara itu, proses keanggotaan Kroasia mendekati akhir
perundingan. Padahal Kroasia dan Turki secara bersamaan diterima Uni Eropa
untuk dikaji terkait keanggotaan kedua negara ini pada tahun 1999. Ada
kemungkinan, Kroasia akan diterima sebagai anggota Uni Eropa tahun depan.
Dengan demikian, Kroasia akan menjadi anggota ke 28 di Uni Eropa. Padahal
proses perundingan Uni Eropa dengan Turki yang harus melewati 35 bagian,
hanya satu bagian yang hingga kini belum mencapai kesepakatan.

You might also like