Professional Documents
Culture Documents
PENOLAKAN TURKI
Runtuhnya kekaisaran Ottoman telah mengubah strategi politik Turki
untuk lebih mendekatkan diri pada negara-negara Eropa (Barat) yang pada saat itu
dianggap sebagai sebuah negara yang dapat menjamin kesejahteraan Turki di
masa depan. Sejak bangkitnya gerakan Nasionalisme Turki dengan sekulerisme di
segala bidang, Turki telah berupaya keras untuk dapat diterima sebagai anggota
Uni Eropa, hal ini berlanjut pada Perang Dunia ke dua bahkan sampai Perang
Dunia ke dua usai. Keinginan negara-negara Eropa untuk tidak bergantung pada
bantuan asing telah merubah sistem internasional dari bipolar menjadi multipolar,
perubahan tersebut tentu saja mempengaruhi hubungan Uni Eropa dan Turki,
yang sudah dianggap tidak terlalu berguna pasca Perang Dunia ke dua.
Kegagalan Turki untuk menjadi anggota tetap Uni Eropa memang patut
dipertanyakan dan menjadi suatu pembahasan yang menarik. Selain karena Turki
tidak mampu untuk memenuhi persyarakatan yang diajukan oleh Uni Eropa,
ketidaksukaan Uni Eropa terhadap Turki juga menjadi salah satu faktor yang
menghambat Turki untuk menjadi anggota tetap Uni Eropa.
Kondisi politik dan ekonomi Turki memang selalu menjadi alasan kuat
Uni Eropa untuk selalu menolak keanggotaan Turki. Ekonomi Turki yang jauh
berbeda dengan negara-negara Uni Eropa lainnya dikhawatirkan akan menjadi
suatu masalah bagi Uni Eropa dan menjadi beban bagi Uni Eropa di masa yang
akan datang. Sebagai negara anggota Uni Eropa (jika Turki diterima) maka Turki
berhak mendapatkan bantuan perekonomian dari negara-negara Uni Eropa melalui
Regional Polcicy-nya. Pertimbangan untung rugi menjadi faktor yang sangat
mempengaruhi keputusan Uni Eropa menolak keanggotaan Turki.
Kondisi demokrasi Turki juga menjadi sorotan Uni Eropa, Turki dianggap
belum mampu untuk menegakan demokratisasi di negaranya, hal ini ditandai
dengan masih banyaknya pelanggaran HAM yang sering terjadi di negara
tersebut. Kekuatan militer yang sangat dominan terhadap sipil di Turki dan
metode militerisme yang kerap digunakan untuk menangani berbagai masalah
yang terjadi di negara tersebut menjadi tolak ukur lemahnya demokrasi di Turki.
Kedua alasan diatas menjadi hambatan utama dan selalu dikemukakan Uni Eropa
untuk menolak keanggotaan Turki. Namun bukan berarti penolakan yang tidak
hanya sekali tersebut diartikan bahwa Turki tidak melakukan perbaikan dalam
kedua hal tersebut, namun sebaliknya Turki selalu melakukan perubahan sesuai
yang diinginkan Uni Eropa. RUU pezinahan telah dibatalkan, siaran bahasa Kurdi
mulai diperbolehkan di beberapa radio bahkan kaum sekuler Turki mengeluarkan
pernyataan dan melarang istri kepala negara untuk menggunakan jilbab. Dalam
hal militer masih kuat pengaruhnya, namun masih dapat dikontrol oleh kekuatan
masyarakat madani. Turki telah melakukan segala cara untuk dapat menjadi
anggota tetap Uni Eropa, bahkan Turki telah membuktikan dirinya menjadi satu-
satunya negara Islam yang demokrasinya telah memasuki tahap yang relatif
matang.
Selain hambatan yang selalu dikemukakan Uni Eropa untuk menolak
keanggotaan Turki selama ini, masih ada faktor lain yang lebih disebabkan
ketidaksukaan Uni Eropa teradap Turki dan tidak pernah diakui secara resmi oleh
lembaga Uni Eropa.
Pertama, alasan penolakan Uni Eropa berdasarkan perbedaan ekonomi, hal
ini memang menjadi syarat untuk bergabung dengan Uni Eropa dapat diterima,
tapi kendala hal tersebut tidak berlaku pada Yunani dan Portugal yang pada saat
diterima menjadi anggota tetap Uni Eropa juga mempunyai masalah
perekonomian yang hampir sama pada saat Turki mengajukan lamaran. Kedua,
alasan mengenai lemahnya demokratisasi dan penegakan HAM di Turki memang
sulit dibantah dan menjadi fokus Uni Eropa terhadap Turki. Namun sekali lagi
penulis menanggap ada diskriminasi terhadap hal tersebut, hal ini ditunjukan
dengan diterimanya Irlandia pada tahun 1972 dimana pada saat itu kondisi dalam
negeri negara tersebut, yang sangat dipengaruhi oleh keputusan gereja tidak lebih
baik dari Turki. Hal ini sekali lagi membuktikan ketidaksukaan Uni Eropa
terhadap Turki
Faktor lain yang menyebabkan Turki belum juga diterima menjadi anggota
Uni Eropa adalah faktor sejarah, kebudayaan dan agama di Turki yang bertolak
belakang dengan negara-negara Eropa pada umumnya. Turki memiliki latar
belakang budaya yang cukup berbeda dengan negara-negara Eropa lainnya,
sejarah Islam yang sangat kaya dan sangat penting yang menjadi suatu sejarah
besar bagi perkembangan Islam di Eropa dan Timur tengah terutama pada zaman
Kekaisaran Ottoman. Kekayaan sejarah Islam tersebut disatu pihak menjadi suatu
kebanggaan yang sangat besar bagi Turki sebagai negara yang berhasil
menyebarluaskan Islam ke hampir seluruh penjuru dunia, namun dilain pihak hal
tersebut juga mempengaruhi cara pandang negara-negara Eropa bahkan keputusan
Uni Eropa dalam hal penolakan Turki untuk menjadi anggota tetap Uni Eropa.
Selain itu hal yang juga dianggap sebagai ancaman adalah jumlah populasi
Turki sebesar 74 juta warga setelah Jerman yang berjumlah 82 juta warga. Jerman
adalah populasi terbesar di Eropa. Jumlah populasi sangat menentukan kebijakan
Uni Eropa. Sebab, salah satu sistem polling di Uni Eropa ditentukan dari jumlah
populasi. Tak diragukan lagi, keanggotaan Turki dalam Uni Eropa dapat
mempengaruhi posisi Jerman dan Perancis.
Alasan lain penolakan atas keanggotaan Turki di Uni Eropa adalah
populasi muslim di negara ini. Banyak para pejabat berhaluan kanan di Eropa,
termasuk Nicolas Sarkozy, berpandangan sentimen terhadap Islam. Tentunya,
mereka tidak menghendaki Turki yang berjumlah 73 juta warga muslim, menjadi
anggota Uni Eropa. Sikap pejabat Uni Eropa, khususnya haluan kanan,
mencerminkan bahwa Uni Eropa adalah organisasi Kristen sehingga masuknya
Turki dalam organisasi ini dapat merusak struktur yang dibangun atas dasar
sektarian. Karena inilah prospek perundingan proses keanggotaan Turki di Uni
Eropa selalu mengambang.
Sejak berdirinya negara republik Turki, Kemal Attaturk, yang pada saat itu
menjadi Presiden pertama Turki memutuskan untuk berkiblat pada Barat
khususnya masyarakat Eropa dan bergabung dengan NATO dengan bantuan
Amerika Serikat yang mempunyai kepentingan terhadap Turki. Keputusan ini
didukung oleh letak geografis Turki yang sangat strategis; dimana pada saat itu
terdapat dua Blok (Barat dan Timur) yang sama-sama menginnginkan Turki
bergabung bersama mereka.
Keinginan Turki untuk disejajarkan dengan bangsa-bangsa Eropa lainnya
dengan bergabung menjadi anggota tetap Uni Eropa memang mendapat suatu
kesulitan, bahkan hal ini diperparah setelah Perang Dingin berakhir dimana fungsi
dan posisi politik Turki bagi bangsa-bangsa Eropa anggota NATO sudah tidak
lagi terlalu penting. Bubar dan berakhirnya Pakta Warsawa sebagai akibat
kekalahan pihak Soviet dan sekutu, telah memandai bahwa fungsi utama Turki
sebagai ujung tombak NATO telah berakhir pula.
Prospek Turki untuk diterima sebagai anggota Uni Eropa sangatlah kecil.
Hal ini disebabkan banyaknya sentimen-sentimen dari negara di Uni Eropa itu