Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Secara sederhana, foreign exchange adalah mata uang asing dan aset keuangan yang
sangat liquid lainnya yang dinyatakan dalam mata uang asing. Foreign exchange market adalah
pasar di mana mata uang dari suatu negara ditukarkan dengan mata uang negara lainnya. Foreign
exchange market tersebut diciptakan oleh importir, eksportir, bank dan para spesialis yang
bergerak dalam jual beli mata uang asing yang disebut Foreign exchange brokers. Foreign
exchange rate adalah harga di mana suatu mata uang dipertukarkan dengan mata uang lainnya.
Contohnya, satu Dollar Australia dibeli dengan 60 Yen Jepang, maka nilai tukar antara Dollar
Australia dan Yen Jepang adalah 60 Yen per Dollar.
Douglas McTaggart, dkk. (2003, 609) menyatakan ada tiga sistem exchange rate yang dapat
digunakan, yaitu:
Nilai tukar ditentukan oleh kekuatan pasar, tanpa intervensi dari bank sentral.
Terdapat intervensi bank sentral untuk mengendalikan fluktuasi nilai tukar, tetapi tidak
mempertahankan nilai tukar pada tingkat tertentu.
Apabila terjadi kenaikan nilai tukar, maka disebut currency appreciation, sedangkan apabila
terjadi penurunan disebut currency depreciation.
Makin tinggi harga foreign exchange, makin kecil permintaan foreign exchange di foreign
exchange market. Exchange rate mempengaruhi jumlah foreign exchange dalam dua hal:
Apabila digambarkan dalam sebuah kurva, maka permintaan terhadap foreign exchange adalah
sebagai berikut:
4. Future Value dari Currency yang Diharapkan (Expected Future Value)
Makin tinggi harga foreign exchange, makin besar pula kuantitas supply foreign exchange di
pasar. Exchange rate mempengaruhi kuantitas foreign exchange karena dua hal:
Apabila digambarkan dalam sebuah kurva, maka penawaran terhadap valas adalah sebagai
berikut:
4. Future Value dari Currency yang Diharapkan (Expected Future Value)
Apabila nilai tukar terlalu tinggi, maka akan terjadi surplus (Qs > Qd) sedangkan apabila nilai
tukar terlalu rendah, maka akan terjadi kekurangan/shortage (Qs > Qd). Surplus valas
menyebabkan foreign currency depreciation (domestic currency apresiasi), sedangkan
kekurangan foreign exchange akan menyebabkan foreign currency appreciation (domestic
currency depresiasi).
Apa yang terjadi pada equilibrium exchange rate apabila demand/supply berubah?
Apabila terjadi kenaikan impor, maka permintaan terhadap foreign exchange akan meningkat,
sehingga kurva demand bergeser ke kanan. Peningkatan pemintaan atas impor menyebabkan
depresiasi atas domestic currency.
Apabila terjadi kenaikan ekspor, supply foreign exchange meningkat dan menggeser kurva
penawaran ke kanan. Domestic currency mengalami apresiasi terhadap foreign exchange.
Dalam sistem Fixed Exchange Rate, bank sentral menetapkan nilai tukar dari domestic currency.
Untuk melakukan ini, bank sentral melakukan intervensi pasar dengan membeli dan menjual
valas untuk menghilangkan potensi kekurangan atau kelebihan valas yang dapat menyebabkan
variasi dalam equilibrium exchange rate. Terkadang, bank sentral membantu intervensinya
dengan cara memaksakan kendali atas valas yang disebut exchange control. Exchange control
adalah regulasi yang didesain untuk membatasi pengaruh permintaan dan penawaran valas
sehingga potensi variasi equilibrium exchange rate tidak terlalu besar. Contoh regulasi ini adalah
pembatasan atas transaksi valas yang dilakukan bank-bank, membatasi saldo valas atau
membatasi pinjaman untuk investasi.
Potensi Kekurangan Valas
Apabila terjadi kenaikan permintaan valas (misalnya peningkatan impor), maka domestic
currency mengalami depresiasi dan terjadi kenaikan nilai tukar. Dalam kondisi ini bank sentral
harus mempertahankan nilai tukar valas dengan cara menjual valas sebesar kenaikan
permintaannya.
Apabila terjadi kenaikan penawaran valas (misalnya peningkatan ekspor), maka domestic
currency mengalami apresiasi dan terjadi penurunan nilai tukar. Dalam kondisi ini bank sentral
harus mempertahankan nilai tukar valas dengan cara membeli valas sebesar kenaikan
penawarannya.
Sebagian besar bank sentral melakukan managed exchange rate di mana intervensi pasar
dilakukan secara periodik dengan membeli atau menjual valas untuk mempengaruhi equilibrium
exchange rate tetapi tidak menentukan nilai tukar tertentu terhadap domestic currency.
Sulit untuk menetapkan kapan dan berapa besar intervensi yang harus dilakukan oleh
bank sentral;
Sulit untuk mnjalankan kebijakan moneter secara independen, karena selalu ada
keterkaitan dengan kebijakan lainnya (moneter maupun fiskal).
Menurut Shapiro (1996, 820) “Purchasing power parity is the notion that the ratio between
domestic and foreign price level should equal the equilibrium exchange rate between domestic
and foreign currencies.” Shapiro berusaha menjelaskan paritas daya beli merupakan persamaan
yang menyatakan bahwa rasio antara tingkat harga domestik dan luar negeri seharusnya sama
dengan tingkat ekuilibrium nilai tukar mata uang domestik dan luar negeri.
Pada dasarnya, teori paritas daya beli adalah sebuah cara untuk meramalkan kurs keseimbangan,
jika suatu negara mengalami ketidakseimbangan neraca pembayaran. Kurs keseimbangan adalah
kurs yang akan menyeimbangkan nilai impor dan ekspor suatu negara (Salvatore, 1997, 43). Jadi
jika nilai impor lebih besar daripada nilai ekspornya (defisit) maka mata uang negara tersebut
akan mengalami depresiasi atau kursnya melemah.
Lebih lanjut, teori paritas daya beli mencoba untuk menjelaskan bahwa pergerakan kurs antara
mata uang dua negara disebabkan oleh tingkat harga masing-masing negara. Dalam jangka
panjang, tingkat harga domestik akan mempengaruhi pembentukan suatu kurs.
Teori paritas daya beli memprediksikan bahwa kenaikan tingkat harga domestik mencerminkan
adanya penurunan daya beli mata uang domestik. Penurunan daya beli mata uang tersebut akan
diikuti dengan depresiasi mata uangnya. Demikian pula sebaliknya, kenaikan daya beli mata
uang domestik mencerminkan terjadinya apresiasi mata uang tersebut secara proporsional dalam
pasar valuta asing.
Adanya depresiasi ataupun apresiasi mata uang yang proporsional ini menyebabkan terjadinya
keseimbangan dalam perdagangan internasional. Jadi, suatu negara tidak akan mengalami
kelebihan impor atau ekspor, dengan kata lain, nilai ekspor-impornya seimbang.
Teori paritas daya beli memiliki dua versi yaitu versi absolut dan versi relatif. Teori paritas daya
beli absolut mengatakan bahwa kurs ekuilibrium sama dengan rasio tingkat- tingkat harga yang
berlaku di kedua negara yang terkait. Sedangkan versi relatifnya menyatakan bahwa perubahan
kurs dalam jangka waktu tertentu akan bersifat proporsional atau sebanding besarannya terhadap
perubahan tingkat-tingkat harga yang berlaku di kedua negara selama periode yang sama. Jadi,
paritas daya beli relatif mengubah versi absolutnya, dari sebuah pernyataan mengenai tingkatan
harga dan kurs menjadi perubahan harga dan perubahan kurs (Salvatore, 1997:126).
Berbagai pengujian empiris membuktikan bahwa versi relatif teori paritas daya beli dapat
memberikan perkiraan yang cukup baik dalam jangka panjang dan dalam berbagai kasus
terjadinya gangguan moneter murni, seperti lonjakan inflasi dan sebagainya (Salvatore,
1997:133).
Namun tidak dapat disangkal, dibalik manfaat-manfaat yang dapat diperoleh, teori paritas daya
beli versi relatif masih memiliki beberapa kelemahan.
Ada beberapa kelemahan di dalam teori paritas daya beli ini. Menurut Madura, dua hal utama
yang menyebabkan teori paritas daya beli ini tidak konsisten adalah adanya faktor-faktor lain
sebagai pembentuk kurs dan tidak adanya barang pengganti (substitute goods) (Madura,
1997:238).
Sedangkan menurut Salvatore (1997:137-139), ada beberapa hal yang dapat melemahkan konsep
paritas daya beli, pertama, asumsi hukum satu harga yang tidak memperhitungkan adanya biaya-
biaya transportasi dan hambatan perdagangan seperti tarif dan sebagainya. Kedua, adanya pasar
monopolistik dan oligopolistik akan semakin melemahkan hukum satu harga ini. Apalagi bila hal
tersebut diikut besarnya biaya transportasi dan hambatan perdagangan. Ketiga, adanya barang
dan jasa yang tidak dapat diperdagangkan secara internasional yang akan mempengaruhi
pembentukan indeks harga umum tiap-tiap negara dan keempat, jenis komoditi acuan yang
digunakan tiap-tiap negara untuk menghitung tingkat inflasinya berbeda-beda. Hal ini
disebabkan karena preferensi akan konsumsi masing-masing negara berbeda-beda. Namun,
kenaikan tersebut belum tentu dialami oleh negara lain yang tidak menjadikan beras sebagai
komoditi acuannya.
BAB II
PEMBAHASAN
Sepanjang 2006 nilai tukar rupiah secara umum mengalami penguatan terhadap dolar disertai
pergerakan yang lebih stabil dibandingkan tahun sebelumnya. Perkembangan tersebut
dipengaruhi oleh kondisi fundamental makroekonomi yang membaik, daya tarik investasi
keuangan di dalam negeri yang terjaga, serta perkembangan ekonomi global yang relatif lebih
kondusif. Dengan kebijakan moneter dan fiskal yang dijalankan secara konsisten dan berhati-
hati, nilai tukar rupiah dapat bergerak stabil meskipun menghadapi harga minyak dan suku
bunga global yang masih terus meningkat selama paro pertama 2006, serta munculnya tekanan
regional pada penghujung 2006.
Nilai tukar rupiah pada 2006 secara umum cenderung menguat dengan volatilitas yang
menurun. Nilai tukar rupiah terhadap dolar menguat 9,3%1Ω dari Rp9.831 per dolar pada akhir
2005 menjadi Rp8.995 per dolar pada akhir 2006. Secara rata-rata rupiah juga menguat sebesar
6,0% dari Rp9.713 per dolar menjadi Rp9.167 per dolar (Grafik 4.1). Perkembangan nilai tukar
rupiah selama 2006 juga lebih stabil dibandingkan tahun sebelumnya, tercermin dari tingkat
volatilitas yang menurun dari 4,2% pada 2005 menjadi 3,9%2Ω (Grafik 4.2). Terpeliharanya
kestabilan nilai tukar rupiah selama 2006 ditopang kondisi ekonomi global yang secara umum
lebih kondusif dan membaiknya fundamental makroekonomi yang didukung kebijakan moneter
yang konsisten dalam mencapai sasaran inflasi serta kebijakan fiskal yang berhati-hati. Perbaikan
kinerja perekonomian makro khususnya menguatnya neraca pembayaran Indonesia (NPI)
mencerminkan membaiknya kondisi keseimbangan pasokan dan permintaan valuta asing.
Pasokan valuta asing mengalami peningkatan signifikan seiring dengan ekspor yang tumbuh
pesat dan aliran masuk modal portofolio asing ke pasar keuangan yang terus bertambah selama
2006. Di pihak lain, permintaan valuta asing cenderung menurun searah dengan melemahnya
kegiatan impor yang disebabkan oleh melambatnya permintaan terutama pada paro pertama
2006.
Perkembangan nilai tukar rupiah ditandai dengan penguatan hampir di sepanjang paro
pertama 2006, pelemahan pada pertengahan Mei-Juni, dan selanjutnya bergerak stabil hingga
akhir tahun. Sejak Januari hingga awal Mei 2006, nilai tukar rupiah menguat terhadap dolar
hingga mencapai level Rp8.722 per dolar, atau menguat 11,3% dibanding akhir 2005. Penguatan
rupiah dalam periode tersebut disebabkan meningkatnya pasokan di pasar valuta asing dibanding
permintaannya (excess supply). Pasokan valuta asing meningkat signifikan terutama bersumber
dari aliran masuk modal portofolio asing ke pasar keuangan di dalam negeri. Dalam kurun waktu
yang sama, permintaan valuta asing cenderung merosot akibat melemahnya kegiatan impor
seiring dengan menurunnya kegiatan ekonomi, sebagai dampak lanjutan kenaikan harga BBM
pada Oktober 2005. Namun, rupiah sempat melemah pada pertengahan Mei 2006 hingga
mencapai Rp9.288 per dolar, dipicu oleh perubahan ekspektasi kenaikan suku bunga Federal
Reserve yang lebih besar dari perkiraan semula. Hal ini mendorong investor asing menarik
investasi portofolionya dari Indonesia. Meskipun demikian, tekanan pelemahan terhadap rupiah
dalam waktu singkat mereda, didukung keyakinan pasar terhadap pengelolaan kebijakan
makroekonomi Indonesia yang cukup berhatihati serta melemahnya ekspektasi keyakinan pelaku
pasar terhadap kenaikan suku bunga Federal Reserve (Fedres). Selanjutnya, sampai akhir 2006
nilai tukar rupiah bergerak relatif stabil dan mencapai level Rp8.995 per dolar.
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
Kestabilan nilai tukar rupiah selama 2006 didukung kondisi eksternal yang lebih kondusif
dan fundamental ekonomi domestik yang membaik. Dari sisi eksternal, perkembangan nilai tukar
rupiah dipengaruhi oleh masih melimpahnya likuiditas di pasar keuangan global dan
kecenderungan pelemahan mata uang dolar terhadap mata uang dunia terutama Asia. Besarnya
likuiditas global bersumber dari global saving yang terus meningkat seiring dengan
membesarnya surplus transaksi berjalan yang dialami negara-negara pengekspor minyak dan
beberapa negara emerging markets di Asia. Likuiditas global terutama mengalir ke negara-
negara emerging markets, termasuk Indonesia, yang memiliki prospek pertumbuhan ekonomi
dan pengelolaan kebijakan makro yang semakin baik, serta ditopang imbal hasil penanaman dana
di pasar finansial yang lebih menarik. Sementara itu, kecenderungan pelemahan dolar merupakan
konsekuensi dari proses penyesuaian terhadap ketidakseimbangan ekonomi global, terutama
terkait dengan membesarnya defisit neraca transaksi berjalan AS dan surplus neraca transaksi
berjalan negara-negara Asia. Secara umum, nilai tukar dolar melemah, terutama terhadap
beberapa mata uang Asia, yang pada gilirannya memberikan dampak rambatan ke nilai tukar
rupiah (Grafik 4.3 dan 4.4). Dolar cenderung semakin melemah seiring dengan menguatnya
ekspektasi berakhirnya siklus kebijakan moneter ketat oleh Federal Reserve. Ekspektasi tersebut
terwujud sejak Agustus 2006 pada saat Federal Reserve mempertahankan suku bunga di level
5,25% sampai akhir 2006 akibat indikasi pelemahan kegiatan ekonomi pada sektor perumahan di
AS.
Meskipun demikian, beberapa perkembangan dalam perekonomian global sempat
menekan rupiah. Perubahan ekspektasi arah suku bunga di AS pada Mei 2006 yang lebih besar
dari perkiraan semula dan dampak regional dari langkah pembatasan aliran modal jangka pendek
oleh Bank of Thailand sempat menimbulkan kejutan di pasar finansial dalam negeri. Ekspektasi
berlanjutnya peningkatan suku bunga yang lebih besar di AS terutama dipicu indikasi tekanan
inflasi yang meningkat3 , sehingga membalikkan pandangan semula yang memperkirakan siklus
pengetatan kebijakan moneter oleh Federal Reserve berakhir pada pertengahan 2006. Perubahan
pandangan tersebut memicu penarikan modal portofolio dari sejumlah emerging markets,
termasuk Indonesia, sehingga turut menimbulkan tekanan depresiasi terhadap mata uang
domestik. Namun, pelemahan rupiah tidak berlangsung lama. Rupiah kembali stabil didukung
keyakinan kuat pelaku pasar terhadap ketahanan makroekonomi Indonesia yang semakin baik
dan meredanya ekspektasi kenaikan suku bunga di AS. Tekanan terhadap rupiah kembali muncul
di penghujung 2006 menyusul kebijakan yang diambil Bank of Thailand untuk membatasi aliran
masuk modal jangka pendek. Investor asing mengkhawatirkan langkah Thailand akan diikuti
oleh bank sentral lainnya di kawasan regional. Namun, kejutan dalam skala regional ini
berdampak minimal terhadap nilai tukar rupiah. Dalam kaitan itu, Pemerintah dan Bank
Indonesia senantiasa meyakinkan pasar mengenai pentingnya menjaga konsistensi kebijakan dan
komitmen dalam memelihara kestabilan makro sebagai landasan pertumbuhan ekonomi yang
lebih baik dan berkesinambungan.
Fundamental makroekonomi yang semakin baik menjadi pilar utama penopang
terpeliharanya kestabilan nilai tukar rupiah. Membaiknya fundamental makroekonomi terutama
tercermin dari kinerja neraca pembayaran yang semakin kuat, tingkat inflasi yang berangsur
menurun, serta defisit fiskal yang terjaga rendah. Perkembangan ini tidak terlepas dari sinergi
antara kebijakan moneter dan fiskal yang dijalankan secara konsisten dan berhati-hati selama
2006. Dengan pengelolaan kebijakan makroekonomi yang semakin baik, kepercayaan
masyarakat baik domestik maupun internasional terhadap rupiah pun semakin menguat,
meskipun harga minyak dunia dan suku bunga global terus bergerak naik. Hal ini berdampak
positif terhadap kestabilan makro secara keseluruhan sehingga membuka ruang bagi penguatan
pertumbuhan ekonomi sekaligus menumbuhkan optimisme terhadap prospek ekonomi, yang
pada gilirannya semakin memperkuat kepercayaan terhadap rupiah.
Pasar valuta asing secara keseluruhan mengalami kelebihan pasokan, berbeda dengan
tahun sebelumnya yang mengalami kelebihan permintaan. Sejalan dengan kinerja neraca
pembayaran 2006 yang mencerminkan potensi kelebihan pasokan (potential supply) valuta asing,
pasar valuta asing juga mengalami kelebihan pasokan (effective supply) valuta asing, mencapai
$181 juta. Pada tahun sebelumnya pasar valuta asing justru mengalami kelebihan permintaan
sebesar $4,2 miliar (Grafik 4.13)9Ω. Berdasarkan karakteristiknya, kelebihan pasokan valuta
asing bersumber dari pelaku luar negeri yang mencatat kelebihan pasokan valuta asing sebesar
$4,3 miliar. Sementara pelaku dalam negeri mengalami kelebihan permintaan valuta asing
sebesar $4,2 miliar.
Sejalan dengan meningkatnya aliran devisa dari pelaku luar negeri, penempatan investor
asing pada beberapa instrumen keuangan rupiah juga meningkat signifikan. Selama 2006
penempatan modal portofolio asing dalam SUN mencapai Rp23,8 triliun atau $2,9 miliar,
sehingga dengan penambahan tersebut kepemilikan asing pada SUN meningkat mencapai
Rp54,9 triliun atau $6,1 miliar (Grafik 4.14). Penempatan pada SBI hanya sebesar Rp3,3 triliun
atau $509 juta, sehingga total kepemilikan asing pada SBI meningkat menjadi Rp18,1 triliun atau
$2,0 miliar. Sementara itu, penempatan investor asing pada saham juga meningkat sekitar
Rp17,6 triliun atau $1,9 miliar. Besarnya aliran investasi asing ke saham mendorong indeks
harga saham gabungan meningkat 55,3% dari level 1163 menjadi 1806 pada akhir 2006.
Nilai tukar rupiah merupakan salah satu bagian dari asumsi makro ekonomi yang diyakini akan
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2007. Asumsi-asumsi yang
digunakan dalam APBN 2007: GDP 3,531.1 triliun, Pertumbuhan ekonomi 6.3%, Inflasi 6.5%,
3-mo SBI 8.5%, Rp/USD 9,300, Harga minyak USD 65.0/barrel, Produksi minyak 1,000,000.00.
Dari asumsi-asumsi diatas, didapatkan bahwa, dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 6.3% dapat
dicapai dengan salah satunya adalah mempertahankan nilai tukar rupiah terhadap dolar sebesar
Rp. 9,300 (rata-rata) sepanjang tahun 2007.
Stabilitas nilai tukar mata uang rupiah sepanjang tahun 2007 akan dipengaruhi oleh beberapa
faktor untuk jangka panjang:
1. Kinerja ekspor,
2. Kewajiban pemerintah Indonesia terhadap luar negeri, termasuk juga pembayaran bunga
hutang dan principalnya,
3. Inflasi dan harga minyak mentah dunia.
Sedangkan untuk jangka pendek, nilai tukar rupiah dipengaruhi oleh permintaan valuta asing
oleh pelaku ekonomi termasuk fluktuasi valuta asing akibat stabilitas keamanan dalam negeri
dan penegakan hukum.
Kinerja ekspor
Nilai ekspor Indonesia di tahun 2005 sekitar Rp. 936 triliun dan meningkat menjadi Rp. 1,030.8
triliun pada tahun 2006 merupakan faktor yang menentukan dalam menentukan stabilitas nilai
tukar (berdasarkan harga berlaku) atau meningkat 9.2% dari tahun 2005.
Peningkatan nilai ekspor pada tahun 2006 memang memberikan kontribusi sekitar 4.1% (ekspor
barang dan jasa) untuk peningkatan PDB 2006, diikuti oleh konsumsi rumah tangga 1.9%,
konsumsi pemerintah 0.7%, dan pembentukan modal tetap bruto sebesar 0.7% serta pengaruh
impor 2.8%.
Peningkatan ekspor Indonesia pada tahun 2006 sebesar 9.2% dari tahun sebelumnya atau senilai
Rp. 1,030.8 triliun merupakan prestasi yang sangat menggembirakan karena telah menembus
level psikologis USD 100 miliar, walau peningkatan tersebut lebih karena peningkatan harga
komoditas ekspor di pasar dunia seperti minyak sawit mentah, batu bara, timah, nikel, dan
lainnya atau dengan kata lain bahwa kenaikan nilai ekspor Indonesia tahun 2006 lebih banyak
didominasi oleh perdagangan produk primer yang tidak diolah dulu di dalam negeri.
Pengamat ekonomi Hendrawan Supratikno berpendapat kondisi tersebut tidak memberikan nilai
tambah dan “multiplier” efek seperti penyerapan tenaga kerja, karena industri dalam negeri
belum mampu mengolah produk primer tersebut ke dalam bentuk produk turunannya.
Namun walau demikian, dengan trend meningkatnya nilai ekspor Indonesia dari tahun ke tahun
memberikan sedikit gambaran kemungkinan nilai ekspor Indonesia sepanjang tahun 2007 akan
meningkat atau dipertahankan.
Banyak transaksi ekspor yang menggunakan mata uang dolar amerika, maka meningkatnya nilai
ekspor diharapkan akan terjadi penguatan nilai tukar rupiah terutama terhadap dolar amerika atau
minimal mempertahankan tingkat nilai tukar rupiah di level aman.
Gambaran diatas memberikan gambaran bahwa nilai ekspor Indonesia pada bulan Januari 2007
adalah senilai USD 8.35 milliar atau meningkat 10.52% dari bulan Januari 2006, serta bulan
Februari 2007 senilai USD 8.32 milliar atau meningkat 12.43% dibanding bulan Februari 2007.
Sehingga jika trend ini dapat dipertahankan, bukan tidak mungkin nilai ekspor Indonesia mampu
kembali menembus USD 100 milliar sepanjang tahun 2007.
Total kewajiban pemerintah RI dalam bentuk pembayaran bunga hutang dalam dan luar negeri
adalah sekitar Rp. 85.1 triliun untuk tahun 2007 yang terdiri dari Rp. 58.4 triliun untuk
pembayaran hutang dalam negeri dan sekitar 26.6 triliun untuk bunga hutang luar negeri.
Sementara itu total pembayaran bunga hutang (dalam dan luar negeri tahun 2006 adalah 83,464.9
miliar rupiah atau sekitar 83.5 triliun).
Jika dibanding terhadap Produk Domestik Bruto tahun 2006, maka pembayaran bunga hutang
luar negeri adalah (83.4/3,122) triliun atau sekitar 2.7% dari PDB 2006. Yang pembagiannya
adalah 30% (sekitar 25 triliun) untuk pembayaran bunga hutang luar negeri dan sekitar 70%
untuk pembayaran hutang dalam negeri.
Sedangkan untuk APBN 2007, persentase pembayaran bunga hutang adalah 2.4% (85.1
triliun/3,531 triliun) terhadap PDB 2007, hal ini memperlihatkan bahwa pembayaran hutang
dalam APBN 2007 menurun sekitar 0.3% dibawah tahun sebelumnya.
Cicilan pokok hutang luar negeri sendiri sekitar Rp. 54.8 triliun (2007) atau hanya hanya
meningkat 0.2 triliun (atau sekitar 200 miliar) dari Rp. 54.6 triliun di tahun 2006. Jika dlihat
terhadap PDB 2006, maka persentase pembayaran cicilan pokok hutang luar negeri adalah 1.7%
(54.6 triliun/3,122 triliun) serta tahun 2007 adalah sekitar 1.5% (54.8 triliun/3,531 triliun). Hal
ini berarti penurunan sekitar 0.2% ditahun 2007 dibanding tahun 2006.
Mengingat bahwa pembayaran hutang luar negeri 2007 (bunga hutang dan cicilan pokok) tidak
terlalu jauh berbeda dengan tahun 2006 sehingga diperkirakan tidak akan memicu permintaan
terhadap mata uang asing yang berlebihan untuk membayar bunga hutang luar negeri. Hal ini
tercermin dari nilai tukar rupiah pada tahun 2006 bergerak pada level USD1 sebesar Rp. 9,000 –
9,200, walau asumsi APBN 2006 nilai tukar rupiah terhadap USD dipatok pada kisaran 9,900
(kemudian di revisi pada APBNP USD 1 = Rp 9,300).
Yang berarti bahwa pemerintah RI tetap mempertahankan posisi pembayaran bunga hutang dan
cicilan pokoknya di level yang aman (walau secara nominal meningkat ditahun 2007, namun
secara persentase jelas terlihat menurun dibanding tahun 2006) dengan harapan bahwa
permintaan akan mata uang asing juga tidak meningkat tajam.
Persentase yang berkurang dari tahun 2006 ke tahun 2007 juga berkaitan dengan berkurangnya
nilai hutang luar negeri Indonesia, jika dilihat dari ratio hutang luar negeri Indonesia terhadap
PDB yang saat ini mencapai 40% dan diharapkan mencapai batas yang cukup aman yaitu 30%
pada tahun 2009.
Inflasi yang terjadi Januari sampai Maret 2007 (tahun kalender) sebesar 1.91% karena kenaikan
harga dari kenaikan indeks semua kelompok barang dan jasa sebagai berikut: bahan makan,
makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau, perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar serta
lainnya. Untuk laju inflasi “year on year” (Maret 2007 terhadap Maret 2006) adalah sebesar
6.52%, dimana terlihat bahwa target pemerintah untuk mempertahankan inflasi pada level 6.5%
sepanjang tahun 2007 akan mengalami perjalanan yang berat.
Hal lain yang mempengaruhi inflasi adalah harga minyak mentah dunia. Pada akhir Maret 2007,
harga minyak mentah dunia meningkat sampai level USD 68 per barrel, kenaikan ini disebabkan
ketegangan antara Amerika Serikat dan Iran. Kekhawatiran ini menyamgkut kemungkinan
hilangnya pasokan minyak Iran sekitar 2.2 juta barel per hari. Di Indonesia juga telah terjadi
kenaikan harga BBM industri dan pertamax sekitar 17.4%, yang kemungkinan besar akan
membuat inflasi bertambah seiring dengan naiknya harga barang-barang industri.
Walau banyak pengamat ekonomi meramalkan bahwa nilai minyak mentah dunia akan mencapai
level USD70 per barel, namun hal ini akan diperlambat dengan datangnya musim kemarau dan
menghangatnya temperatur terutama di Amerika, Jepang, Korea dan Cina. Hal lain yang akan
meghambat naiknya harga minyak dunia adalah cenderung menguatnya stok minyak mentah
komersial Amerika dan keputusan OPEC untuk tidak mengurangi produksi minyak mentahnya.
Inflasi yang berlebihan akan memicu perlemahan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing
terutama dolar amerika. Jika selisih inflasi US dengan RI di tahun 2007 melebihi selisih inflasi di
tahun 2006, maka dapat dipastikan bahwa nilai tukar rupiah akan mengalami perlemahan.
Permintaan valuta asing terutama dalam bentuk dolar amerika juga mempengaruhi stabilitas nilai
tukar rupiah. Hal ini dikarenakan mata uang dolar biasanya digunakan oleh pihak swasta untuk
membayar hutang terhadap pihak dalam negeri ataupun luar negeri.
Selain itu juga banyak pihak yang mengkhawatirkan inflasi dapat memicu permintaan valuta
asing di dalam negeri. Hal ini perlu diantisipasi, terutama dengan investasi dan stabilitas
keamanan. Dimana kedua hal tersebut dapat mencegah permintaan mata uang asing atau
mengakibatkan keluarnya FDI dari Indonesia.
Stabilitas keamanan dalam negeri dan penegakan hukum juga memainkan peranan penting dalam
menjamin masuknya FDI ke Indonesia untuk memutar roda ekonomi Indonesia. Hal ini
memerlukan iklim investasi yang menarik termasuk kemungkinan insentif yang diberikan bagi
investor yang masuk. Namun hal lain yang penting juga adalah penegakan hukum termasuk
didalamnya UU Investasi dan jaminan keamanan bagi MNC untuk beroperasi di Indonesia.
Dari paparan diatas, dapat ditarik benang merah yang menarik tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi nilai tukar rupiah selama tahun 2007 akan saling ketergantungan. Nilai tukar
rupiah berdasarkan APBN 2007 sebesar Rp. 9,300 merupakan nilai tukar yang cukup riil dan
aman dilihat dari beberapa sudut.
Hal ini disebabkan beberapa hal, nilai inflasi Indonesia sudah hampir mencapai 2% untuk bulan
Januari – Maret 2007 namun naiknya harga minyak mentah dunia dapat menicu inflasi ke tingkat
yang lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya. Namun nilai tukar diharapkan dapat dipertahankan
dengan meningkatkan nilai ekspor yang cukup tinggi sehingga nilai tukar tidak terlalu fluktuatif.
Untuk kewajiban pemerintah terhadap pembayaran luar negeri juga pada level yang aman karena
ratio hutang Indonesia yang cukup aman serta permintaan valuta asing oleh pelaku ekonomi
yang rendah karena pada tahun 2007 tidak ada peristiwa yang cukup penting baik politik atau
keamanan yang dapat memicu permintaan valuta asing dalam jangka pendek termasuk masih
jauh dari masa pemilu nasional.
Sepanjang tahun 2007 nilai tukar rupiah bergerak stabil dan secara rata-rata menguat
dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Kestabilan nilai tukar rupiah tersebut didukung oleh
kondisi fundamental makroekonomi domestik yang semakin membaik di tengah perkembangan
ekonomi dan pasar keuangan global yang bergejolak. Krisis sektor perumahan di Amerika
Serikat (subprime mortgage) yang meluas dalam skala global disertai kenaikan harga minyak
selama paruh kedua tahun 2007 sempat menimbulkan tekanan depresiasi terhadap nilai tukar
rupiah. Namun, dengan kebijakan moneter dan fiskal yang ditempuh secara hati-hati dan
konsisten disertai langkah kebijakan stabilisasi nilai tukar yang berhati-hati, tekanan tersebut
dapat diminimalkan sehingga secara keseluruhan tahun kestabilan nilai tukar rupiah tetap terjaga.
Perkembangan nilai tukar rupiah pada tahun 2007 secara umum stabil dengan
kecenderungan menguat disertai volatilitas yang menurun. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS
secara rata-rata menguat 0,3% dari Rp9.167/$ pada tahun 2006 menjadi Rp9.140/$ (Grafik 4.1).
Kestabilan nilai tukar rupiah juga tercermin pada volatilitasnya yang menurun dari 3,9% pada
tahun 2006 menjadi 1,4%1 (Grafik 4.2), Meskipun demikian, secara point to point rupiah
melemah 4,2% dari Rp8.995/$ pada akhir tahun 2006 menjadi Rp9.393/$ pada akhir tahun 2007
terutama disebabkan oleh tekanan eksternal pada paruh kedua tahun 2007. Perkembangan nilai
tukar rupiah yang stabil,
di tengah perkembangan ekonomi dan pasar keuangan global yang kurang menguntungkan,
ditopang oleh semakin membaiknya kepercayaan masyarakat, baik domestik maupun
internasional, terhadap perekonomian Indonesia serta tingginya imbal hasil di pasar keuangan
domestik. Nilai tukar rupiah sempat tertekan pada paruh
kedua tahun 2007 terutama akibat dampak krisis di Amerika Serikat (AS) yang meluas dalam
skala global (Boks: Dampak Krisis Subprime Mortgage terhadap Pasar Keuangan Indonesia) dan
meningkatnya harga minyak dunia secara signifikan. Meskipun demikian, kebijakan moneter dan
fiskal yang tetap ditempuh secara hati-hati dan konsisten, serta langkah Bank Indonesia dalam
stabilisasi nilai tukar mampu menahan pelemahan nilai tukar rupiah lebih lanjut.
Pada paruh pertama tahun 2007 nilai tukar rupiah cenderung menguat dipengaruhi
peningkatan arus masuk modal portofolio asing ke pasar keuangan. Meningkatnya arus masuk
modal portofolio ditopang oleh kondisi fundamental makroekonomi yang semakin membaik
sebagaimana tercermin pada meningkatnya surplus neraca pembayaran, menurunnya laju inflasi,
meningkatnya pertumbuhan ekonomi, dan terjaganya kesinambungan fiskal. Perkembangan
tersebut tidak terlepas dari hasil pengelolaan kebijakan makroekonomi yang ditempuh secara
hati-hati dan konsisten sehingga semakin mempertebal kepercayaan masyarakat, baik
internasional maupun domestik, terhadap rupiah. Selain itu, di tengah tingginya ekses likuiditas
di pasar keuangan global, imbal hasil di pasar keuangan domestik yang tinggi juga turut menarik
arus modal portofolio asing tersebut. Seiring dengan perkembangan tersebut rupiah terapresiasi
dan mencapai nilai terkuat pada Mei 2007 dengan rata-rata bulanan sebesar Rp8.838/$. Namun
pada paruh kedua tahun 2007, risiko global meningkat sehingga memberikan tekanan terhadap
nilai tukar rupiah. Krisis subprime mortgage di AS menimbulkan gejolak di pasar keuangan
global sehingga mendorong investor global menghindari aset-aset yang dipandang lebih berisiko
termasuk aset-aset emerging markets. Perkembangan tersebut juga memicu pembalikan arus
investasi portofolio asing (capital reversal) di pasar keuangan domestik sehingga menimbulkan
tekanan terhadap rupiah. Sementara itu, kenaikan harga minyak dunia menyebabkan kebutuhan
valuta asing untuk impor minyak meningkat. Berbagai perkembangan tersebut mengakibatkan
rupiah pada paruh kedua tahun 2007 secara umum terdepresiasi dan mencapai nilai terlemah
pada Agustus 2007 dengan rata-rata bulanan sebesar Rp9.372/$. Dengan demikian, berdasarkan
dinamikanya, nilai tukar rupiah bergerak menguat pada paruh pertama tahun 2007 dan
selanjutnya cenderung berfluktuasi pada paruh kedua tahun 2007 (Grafik 4.2).
Faktor yang Memengaruhi Nilai Tukar
Faktor Domestik
Kinerja neraca pembayaran yang tetap solid berdampak pada meningkatnya potensi
pasokan valas dan cadangan devisa sehingga mendukung perkembangan nilai rupiah yang stabil.
Pada tahun 2007, neraca transaksi berjalan mencatat surplus $11 miliar, lebih tinggi dari tahun
2006 sebesar $10,8 miliar. Besarnya surplus tersebut telah berperan sebagai penyangga dalam
mengimbangi penurunan surplus neraca modal, terutama akibat pembalikan arus modal
portofolio asing. Meskipun pada triwulan III-2007 sempat terjadi pembalikan arus modal asing,
secara keseluruhan tahun 2007 neraca transaksi investasi portofolio mencatat surplus $10 miliar.
Kinerja neraca pembayaran yang tetap solid juga tercermin dari peningkatan cadangan devisa
dan aktiva luar negeri bersih sistem moneter (Net Foreign Asset). Cadangan devisa meningkat
dari $42,6 miliar pada tahun 2006 menjadi $56,9 miliar pada tahun 2007. Sementara itu, aktiva
luar negeri bersih –sebagai indikator potensi pasokan valas di pasar valas domestik– meningkat
dari $45,9 miliar pada tahun 2006 menjadi $55,71 miliar pada tahun 2007 (Grafik 4.3).
Faktor risiko investasi di Indonesia membaik sejalan dengan terjaganya fundamental
ekonomi. Perkembangan fundamental ekonomi sebagaimana diuraikan di atas berdampak positif
terhadap penurunan risiko investasi pada aset keuangan rupiah. Beberapa indikator risiko
menunjukkan perkembangan yang membaik sepanjang tahun 2007 sebagaimana tercermin pada
peringkat kredit Indonesia (sovereign credit rating) yang ditingkatkan oleh beberapa lembaga
pemeringkat internasional dan perbaikan indeks risiko negara (Country Risk Index).
Perkembangan fundamental ekonomi yang semakin membaik dan pengelolaan kebijakan
makroekonomi yang tetap konsisten dan hati-hati menjadi pertimbangan dalam perbaikan
sovereign credit rating Indonesia oleh Moody’s, Rating and Investment Information (R & I),
serta Japan Credit Rating Agency (JCRA). Moody’s meningkatkan rating Indonesia dari ’B1’
menjadi ’B1+’ pada 1 Agustus 2007, dan meningkatkannya lagi menjadi ’Ba3’ pada 18 Oktober
2007. Sementara itu, R&I menaikkan rating Indonesia dari ‘BB‘ menjadi ‘BB+‘ pada 31
Oktober 2007. JCRA juga meningkatkan rating Indonesia dari ’BB-‘ menjadi ’BB’ pada 6
September 2007. Peringkat Indonesia tersebut semakin mendekati ‘investment-grade’ dan level
peringkat kredit sebelum krisis.
Di samping peringkat kredit, indikator risiko lainnya seperti indeks risiko negara yang
diterbitkan oleh International Country Risk Guide juga menunjukkan perbaikan secara gradual
dari 68 pada tahun 2006 menjadi 70,5 pada Oktober 2007 (Grafik 4.4). Indikator risiko berupa
selisih imbal hasil (yield spread) antara global bond Indonesia dan US T note juga menunjukkan
peningkatan. Namun, peningkatan ini lebih disebabkan oleh yield US T-note yang menurun
akibat naiknya penanaman dana global ke instrumen ini terkait dengan krisis subprime mortgage
di AS (Grafik 4.5).
Perkembangan imbal hasil investasi pada aset rupiah sepanjang tahun 2007 tetap terjaga.
Meskipun BI Rate mengalami penurunan sejak akhir tahun 2005 sampai November 2007, dalam
skala regional tingkat suku bunga Indonesia tetap kompetitif. Imbal hasil investasi rupiah yang
diukur baik dengan selisih suku bunga dalam dan luar negeri2 (uncovered interest rate parity -
UIP) maupun dengan memperhitungkan risiko, yaitu minus selisih yield global bond RI dengan
US T-notes (covered interest rate parity - CIP), cenderung menurun. UIP menurun drastis dari
4,16% pada akhir tahun 2006 menjadi 2,70% (Grafik 4.6). Penurunan tersebut disebabkan
turunnya BI Rate sebesar 175 bps sepanjang tahun 2007. Sementara itu, CIP mencapai 0,45%
pada akhir tahun 2007, jauh lebih rendah dari tahun sebelumnya yang mencapai 2,94%.
Meskipun menurun, suku bunga Indonesia relatif masih lebih tinggi dibandingkan dengan suku
bunga di beberapa negara kawasan. Hal itu mengimplikasikan investasi pada aset rupiah masih
lebih menguntungkan. Sebagaimana ukuran imbal hasil berdasarkan suku bunga, investasi pada
obligasi rupiah juga menawarkan imbal hasil yang menarik, seperti tercermin pada selisih yield
obligasi domestik dan US T-notes yang paling tinggi dalam skala negara kawasan (Grafik 4.7).
Imbal hasil investasi rupiah yang tinggi menjadikan pasar keuangan Indonesia tetap menjadi
salah satu tujuan menarik bagi arus masuk modal portofolio global.
Faktor Internasional
Pada paruh pertama tahun 2007, pasar keuangan dunia diwarnai ekses likuiditas serta tren
pelemahan dolar AS sebagai bagian dari proses penyesuaian ketidakseimbangan perekonomian
global. Kondisi tersebut meningkatkan arus dana portofolio dari negara dengan mata uang
berbunga rendah ke mata uang berbunga tinggi (transaksi carry trade), terutama negara
emerging markets termasuk pasar keuangan Indonesia. Pengambilan risiko oleh investor global
di pasar keuangan negara emerging markets juga meningkat seiring dengan semakin
membaiknya kondisi fundamental makroekonomi di negara-negara tersebut. Hal itu tercermin
dari semakin menyempitnya yield obligasi negara emerging markets terhadap obligasi
pemerintah AS sebagai ukuran ’risk appetite’ investor global (Grafik 4.8).
Risiko global memburuk pada paruh kedua tahun 2007 dipengaruhi krisis subprime
mortgage. Krisis tersebut memicu gejolak di pasar keuangan global mulai akhir Juli 2007 dan
mengakibatkan investor global melakukan penilaian ulang risiko (repricing of risk) terhadap
risiko berinvestasi pada aset emerging markets. Perkembangan tersebut mendorong penarikan
dana dari aset emerging markets termasuk dari aset rupiah (flight to quality). Tekanan
selanjutnya muncul dari kenaikan harga minyak yang mencapai $98,9 per barel3, tertinggi
sepanjang 2007. Meskipun kenaikan harga minyak meningkatkan pembelian valas untuk
kebutuhan impor tetapi tekanannya terhadap rupiah minimal. Tekanan harga minyak terhadap
rupiah lebih diakibatkan oleh penyesuaian portofolio asing di pasar SUN dalam skala terbatas
sehubungan dengan meningkatnya kekhawatiran terhadap tekanan inflasi. Dengan berbagai
perkembangan tersebut, selama paruh kedua tahun 2007 rupiah cenderung terdepresiasi
dibandingkan dengan mata uang global lainnya (Grafik 4.9 dan Grafik 4.10).
Transaksi di Pasar Valas
Aliran dana asing pada tahun 2007 ditempatkan pada beberapa aset keuangan rupiah,
yakni saham, obligasi pemerintah (SUN), dan Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Proporsi terbesar
dana asing tersebut ditempatkan pada saham dengan total nilai mencapai Rp32,6 triliun ($3,6
miliar). Penempatan pada saham menjadi pilihan investor di tengah tren turunnya suku bunga
dan turunnya yield spread obligasi. Sekalipun demikian, yield spread obligasi Indonesia masih
relatif tinggi dibandingkan dengan negara lain. Sementara itu, penempatan pada SUN sepanjang
tahun ini mencapai Rp23,2 triliun ($2,6 miliar), kedua terbesar setelah saham. Dengan demikian,
kepemilikan asing pada SUN meningkat dengan total nilai mencapai Rp78,2 triliun ($8,4 miliar).
Sementara itu, penempatan investor asing pada SBI juga meningkat sekitar Rp9,9 triliun ($1,2
miliar) sehingga total nilai kepemilikan asing pada SBI meningkat menjadi Rp28 triliun atau $3
miliar (Grafik 4.14).
Kestabilan nilai tukar rupiah selama tahun 2007 didukung oleh kebijakan pengelolaan
nilai tukar yang tetap diarahkan untuk menjaga konsistensinya dengan pencapaian keseimbangan
internal dan eksternal perekonomian. Dalam kaitan tersebut, kebijakan intervensi di pasar valuta
asing tetap dilakukan secara terukur untuk menjaga volatilitas nilai tukar. Hal tersebut tercermin
pada volatilitas rupiah yang secara tahunan menurun dari 3,9% pada tahun 2006 menjadi 1,4%
pada tahun 2007. Selain kebijakan intervensi, Bank Indonesia juga melakukan penguatan strategi
komunikasi serta peningkatan efektivitas peraturan kehati-hatian dan pemantauan lalu lintas
devisa.
C. STABILITAS NILAI TUKAR TAHUN 2008
Pada akhir periode laporan, Rupiah ditutup pada level Rp11.555/USD atau
melemah 5,67% secara point-to-point. Pelemahan nilai tukar lebih dipengaruhi
oleh sentimen negatif terkait semakin pesimisnya outlook ekonomi global.
Kondisi tersebut mendorong investor beralih ke safe haven assets dan
menarik dananya dari emerging market yang dianggap lebih berisiko termasuk
Indonesia. Perkembangan tersebut akhirnya menimbulkan tekanan pada
rupiah. Namun, pada akhir triwulan laporan, tekanan terhadap rupiah
berkurang dipengaruhi sentimen positif terhadap pasar keuangan global
karena laporan keuntungan beberapa lembaga keuangan dan respons
kebijakan the Fed, ditambah sentimen positif domestik terhadap kinerja NPI
yang lebih baik dari perkiraan. Sementara itu, volatilitas rupiah menunjukkan
penurunan dari 9,8% menjadi 2,6% (Grafik 3.6).
- Masih berlanjutnya «risk aversion» terhadap aset emerging market (termasuk
rupiah) tercermin pada EMBIG spread yang masih berada pada level tinggi
(Grafik 3.7).
Selama triwulan I-2009, EMBIG Spread cenderung turun dari level 724 pada
akhir triwulan IV-2008 menjadi 628 pada akhir triwulan I-2009 sejalan dengan
tertekannya bursa saham global. Namun demikian, pada akhir periode
laporan, risk appetite investor asing menunjukkan perbaikan dan mendorong
faktor risiko kembali membaik. Sementara itu, premi swap sebagai salah satu
indikator ekspektasi arah pergerakan rupiah kembali berfluktuasi untuk semua
tenor (1, 3, 6 dan 12 bulan) (Grafik 3.8).
Namun, langkah kebijakan yang diambil oleh Bank Indonesia mampu berperan
menurunkan premi risiko yang sempat tinggi, sehingga di akhir triwulan
menurun.
- Sejalan dengan pelonggaran kebijakan moneter, imbal hasil rupiah cenderung
turun namun masih pada kisaran yang tetap terjaga. Selisih suku bunga Dalam
Negeri dan Luar Negeri (Uncovered Interest Parity Rate - UIP) menyempit
pada level 8,22% atau menurun dibandingkan dengan triwulan sebelumnya
pada level 10,94%. Meskipun demikian, UIP masih berada pada level tertinggi
dibandingkan dengan negara kawasan asia lainnya. Meningkatnya faktor risiko
menyebabkan suku bunga Covered Interest Parity Rate (CIP) bergerak turun
hingga level 0,74 atau terendah sekawasan Asia setelah Korea. Namun
demikian, spread antara domestic government bond dan US Treasury Note
masih tertinggi di kawasan Asia yang menjadikan daya tarik investasi obligasi
masih lebih besar dibandingkan dengan negara-negara kawasan Asia lainnya
(Grafik 3.9).
- Pelaku asing menarik dananya dari instrumen rupiah terutama dari SUN,
namun inflow masih terjadi pada SBI dan Saham. Selama triwulan I-2009,
kepemilikan investor asing pada SBI meningkat mencapai 694,5 juta dolar AS
sehingga posisinya menjadi 1,39 miliar dolar AS. Sementara itu, posisi
kepemilikan SUN oleh investor asing menjadi 6,64 miliar dolar AS. Total posisi
penempatan asing di SBI dan SUN tercatat 8,04 miliar dolar AS, sedangkan di
pasar saham, asing masih mencatat net beli tipis sebesar 1,5 juta dolar AS.
Secara umum, kondisi pasar valas masih ekses permintaan, meskipun tidak
sebesar pada triwulan IV-2008. Selama triwulan I-2009, ekses permintaan
tercatat sebesar 421 juta dolar AS terutama berasal dari permintaan valas
domestik yang hanya dapat dipenuhi sebagian oleh inflow dana asing yang
terbatas sebesar 229 juta dolar AS (Grafik 3.10).
Volume transaksi valas selama triwulan I-2009 menurun signifikan
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Total volume pasar valas
menurun dari 157 miliar dolar pada triwulan sebelumnya menjadi 78 miliar
dolarAS pada triwulan laporan. Korporasi mencatat net beli valas, sedangkan
nasabah mencatat net pasokan valas.
- Penguatan rupiah pada triwulan II-2009 tak lepas dari pengaruh dinamika di
sektor eksternal dan domestik yang positif. Dari sisi eksternal, sentimen
positif yang berkembang di bursa saham global serta proses stabilisasi pasar
keuangan yang terus berlangsung menumbuhkan optimisme bahwa proses
pemulihan ekonomi global mulai berjalan. Hal tersebut diperkuat dengan
perkembangan berbagai indikator perekonomian global yang terus membaik,
diantaranya indikator sektor manufaktur, penjualan eceran dan indeks
keyakinan konsumen AS yang menunjukkan peningkatan. Indikator
perekonomian Asia pun turut membaik, terutama China sebagai imbas dari
paket stimulus yang dikeluarkan pemerintah. Seiring dengan hal itu,
membaiknya risk appetite investor mendorong aliran modal asing masuk ke
emerging markets yang berimbas pada kenaikan bursa saham dan mayoritas
mata uang dunia. Di sisi domestik, kinerja Neraca Pembayaran Indonesia (NPI)
pada triwulan I-2009 yang cukup solid meningkatkan kepercayaan investor
terhadap perekonomian domestik. Posisi cadangan devisa sampai dengan
akhir triwulan II-2009 tercatat meningkat mencapai USD57,58 miliar atau
setara dengan 5,6 bulan impor dan pembayaran Utang Luar Negeri
Pemerintah. Kondisi tersebut pada gilirannya mampu meningkatkan performa
rupiah selama triwulan II-2009 serta memperkuat keyakinan pasar mengenai
ketahanan rupiah terhadap risiko gejolak di pasar keuangan global. Selain itu,
masih positifnya pertumbuhan ekonomi domestik di tengah kontraksi
ekonomi negara-negara mitra dagang serta tekanan inflasi yang relatif rendah
dibandingkan negara kawasan turut meningkatkan ekspektasi positif
terhadap perekonomian Indonesia.
Selain itu, spread antara yield domestic government bond Indonesia dan US
Treasury yang masih tertinggi di kawasan Asia menjadikan daya tarik investasi
obligasi domestik (Grafik 3.6).
- Persepsi risiko terhadap emerging markets yang menurun serta imbal hasil
investasi di pasar domestik yang cukup tinggi mendorong arus masuk dana
asing. Selama triwulan II-2009 aliran masuk dana asing ke SBI dan SUN
tercatat sebesar USD406,02juta dan USD 748,33 juta, sehingga posisi asing
pada SBI dan SUN menjadi USD2,03 miliar dan USD8,50 miliar. Di pasar saham,
pelaku asing juga mencatat net beli sebesar USD501,63 juta (Grafik 3.7).
- Besarnya arus modal asing mampu menyeimbangkan struktur permintaan
dan penawaran valas di pasar domestik. Selama triwulan II-2009, pasar valas
mengalami ekses pasokan sebesar USD1,51 miliar yang berasal dari tingginya
arus masuk dana asing (Grafik 3.8).
Besarnya arus masuk dana asing yang mencapai USD3,18 miliar mampu
memenuhi permintaan valas pelaku domestik sebesar USD1,67 miliar. Arus
masuk dana asing tersebut sebagian besar ditanamkan dalam portofolio
saham (37%), SBI (20,9%), dan obligasi pemerintah (18,9%). Volume
perdagangan di pasar valas selama triwulan II-2009 tercatat meningkat seperti
tercermin pada kenaikan rata–rata harian volume perdagangan valas yang
menjadi USD1,94 miliar dari USD1,32 miliar pada triwulan I-2009.
3. TRIWULAN-III TAHUN 2009
A. NILAI TUKAR RUPIAH
- Kondisi perekonomian global dan dalam negeri yang cukup kondusif
memberikan ruang gerak bagi penguatan rupiah. Masuknya dana asing yang
didorong oleh peningkatan optimisme investor akan pemulihan ekonomi
dunia menyebabkan rupiah secara rata-rata terapresiasi sebesar 5,55% ke level
Rp9.973 per dolar AS dari Rp10.578 per dolar AS pada triwulan sebelumnya
(Grafik 3.1).
Pada akhir triwulan III-2009, rupiah ditutup pada level Rp9.645 atau menguat
sebesar 5,84% dari level penutupan triwulan sebelumnya. Penguatan rupiah
juga disertai oleh pergerakan rupiah yang relatif stabil tercermin dari
menurunnya tingkat volatilitas menjadi 0,69% dari 1,20% pada triwulan II-2009
(Grafik 3.2).
- Penguatan rupiah pada triwulan III-2009 tidak lepas dari pengaruh
perkembangan ekonomi dunia yang positif. Pemulihan ekonomi global
diindikasi semakin merata di berbagai kawasan baik Amerika, Eropa maupun
Asia. Perekonomian AS pada triwulan laporan lebih baik dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya. Selain itu, geliat perekonomian yang mulai pulih juga
ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi yang positif di beberapa negara
besar di kawasan Eropa dan Asia. Optimisme terhadap pemulihan ekonomi
global diperlihatkan oleh world economic confidence index yang kembali
meningkat ke level 58,5 pada September 2009. Level tersebut merupakan
level tertinggi sejak bangkrutnya Lehman Brothers pada Oktober 2008. Di sisi
lain, membaiknya perekonomian dunia telah mendorong investor global
kembali masuk ke pasar saham seiring dengan meningkatnya ekspektasi akan
membaiknya pendapatan perusahaan. Kondisi tersebut menyebabkan bursa
saham global menguat yang kemudian mendorong penguatan mayoritas mata
uang global terhadap dollar AS.
- Selain faktor eksternal, kondisi perekonomian domestik yang kondusif turut
mendukung penguatan rupiah. Perekonomian domestik mencatat
pertumbuhan sebesar 4% pada triwulan II-2009 yang merupakan pertumbuhan
ekonomi tertinggi ke-3 di Asia. Selain itu, kinerja positif juga ditunjukkan oleh
neraca pembayaran yang mencatat surplus transaksi berjalan pada triwulan I-
2009 dan triwulan II-2009 dan diperkirakan akan berlanjut hingga triwulan III-
2009. Posisi cadangan devisa sampai dengan akhir triwulan III-2009 meningkat
cukup besar dari posisi di akhir triwulan sebelumnya hingga mencapai
USD62,3 miliar atau setara dengan 6,2 bulan impor dan pembayaran Utang
Luar Negeri Pemerintah. Hal-hal tersebut telah menunjukkan kondisi
fundamental perekonomian domestik yang cukup solid sehingga
menumbuhkan kepercayaan investor terhadap rupiah serta memberikan
persepsi positif ketahanan rupiah terhadap gejolak eksternal. Persepsi risiko
terhadap perekonomian Indonesia membaik. Mayoritas indikator persepsi
risiko Indonesia seperti CDS, yield spread Global Bond, dan spread EMBIG
bergerak turun (Grafik 3.3).
CDS Indonesia menurun dari 310 bps pada triwulan II-2009 menjadi 183 bps
pada triwulan III-2009 sejalan dengan pergerakan CDS di kawasan Asia. Yield
spread Global Bond RI dengan US T-Note juga mengalami penurunan dari 396
bps pada triwulan sebelumnya menjadi 251 bps pada triwulan laporan sejalan
dengan penurunan yield Global Bond RI dan kenaikan yield US T-Note. Hal
serupa juga terjadi pada spread EMBIG yang turun dari 432 bps pada triwulan
II-2009 menjadi 345 bps pada triwulan III-2009. Indikator lainnya, premi swap,
secara umum juga mengindikasikan perbaikan persepsi risiko dan likuiditas.
Premi swap 1 bulan turun dari 8,82% pada akhir Juni 2009 menjadi 7,34% pada
pada akhir triwulan III-2009 (Grafik 3.4).
- Imbal hasil investasi aset keuangan rupiah relatif tinggi. Selisih suku bunga
dalam negeri dan luar negeri (UIP) menurun dari 7,00% pada akhir triwulan II-
2009 menjadi 6,45% pada akhir triwulan III-2009. Namun, apabila
memperhitungkan premi risiko, selisih suku bunga dalam negeri dan luar
negeri (CIP) justru meningkat menjadi 3,94% dari 3,03% pada triwulan
sebelumnya akibat membaiknya indikator risiko (Grafik 3.5).
Selain itu, spread antara yield SUN domestik Indonesia dan US Treasurymasih
merupakan yield tertinggi di kawasan Asia yang menjadikan daya tarik
investasi obligasi domestik (Grafik 3.6).
- Membaiknya kepercayaan investor global serta tingginya imbal hasil investasi
rupiah mendorong sejumlah dana asing masuk ke Indonesia. Selama triwulan
III-2009 aliran masuk dana asing ke SBI, dan SUN tercatat sebesar USD1,58
miliar dan USD 620,25 juta. Hal tersebut menyebabkan posisi asing pada SBI
dan SUN menjadi USD3,71 miliar dan USD9,42 miliar. Hal yang sama juga
terjadi di pasar saham. Pelaku asing mencatat net beli sebesar USD608,70 juta
(Grafik 3.7).
Sementara itu, pada periode yang sama, net-inflow pelaku asing sedikit
mengalami penurunan dibandingkan dengan periode sebelumnya. Hal itu
disebabkan oleh tingginya outflow selama Agustus 2009 menyusul koreksi
yang terjadi di bursa global. Menyusutnya pasokan valas ke pasar domestik
menyebabkan volume transaksi harian di pasar valas domestik tidak jauh
berbeda dengan kondisi pada triwulan II-2009 (Grafik 3.9).
Pada akhir November, rupiah ditutup pada level Rp9.455/USD atau menguat
sebesar 2,01% dari level penutupan triwulan III-2009 yaitu Rp9.645/USD.
Apresiasi yang cukup tajam tersebut menyebabkan peningkatan volatilitas
dari 0,69% menjadi 0,74% (Grafik 3.2).
- Kondusifnya kondisi eksternal terus mendorong berlangsungnya apresiasi nilai
tukar hingga akhir triwulan IV-2009. Perbaikan indikator perekonomian terus
berlanjut dan semakin merata di berbagai kawasan baik Amerika, Eropa
maupun Asia. Kondisi itu semakin memperkuat indikasi bahwa perekonomian
global mulai memasuki fase stabilisasi. Pemulihan perekonomian AS mulai
terlihat dari perbaikan yang terjadi di beberapa sektor seperti industri, pasar
tenaga kerja dan perumahan. Di Eropa, sektor industri yang mencatat
pertumbuhan positif menjadi leading sector dalam mendorong pemulihan
ekonomi di kawasan tersebut. Sementara itu di kawasan Asia, selain China,
negara-negara seperti Jepang dan Singapura telah mulai menunjukkan kinerja
positif. Meningkatnya optimisme terhadap prospek perekonomian global
tersebut berdampak pada membaiknya ekspektasi terhadap kegiatan dunia
usaha terutama ekspektasi terhadap peningkatan pendapatan korporasi
(earning emitten). Meningkatnya ekspektasi terhadap dunia usaha dan
membaiknya risk appetite investor terhadap aset–aset emerging market
mendorong investor global kembali masuk ke pasar saham. Meskipun sempat
mengalami guncangan akibat krisis utang luar negeri Dubai, bursa saham
global tetap bergerak menguat.
- Selain faktor eksternal, kondisi perekonomian domestik yang kondusif turut
mendukung penguatan rupiah. Perekonomian domestik yang mencatat
pertumbuhan sebesar 4,2% (yoy) serta kinerja neraca pembayaran Indonesia
yang mencatat surplus current account pada triwulan III-2009 meningkatkan
keyakinan investor kepada ketahanan perekonomian domestik terhadap
tekanan dari sektor eksternal. Posisi cadangan devisa sampai dengan
November 2009 mencapai USD65,84 miliar atau setara dengan 6,5 bulan
impor dan pembayaran Utang Luar Negeri Pemerintah. Level cadangan devisa
tersebut diharapkan akan meningkatkan sentimen positif terhadap
kemampuan pembiayaan eksternal Indonesia.
- Persepsi risiko terus terjaga. Selama triwulan IV–2009, mayoritas indikator
risiko Indonesia mengalami sedikit peningkatan yang dipicu oleh sentimen
negatif terkait rumor pembatasan kepemilikan asing di instrumen SBI dan
mencuatnya krisis utang luar negeri Dubai. Sejalan dengan pergerakan CDS di
kawasan Asia, CDS Indonesia mengalami sedikit peningkatan dari 183 bps pada
triwulan III-2009 menjadi 229 bps (Nov-09). Yield spread Global Bond RI
dengan US T-Note juga mengalami sedikit peningkatan dari 251 bps pada
triwulan III-2009 menjadi 295 bps (Nov-09). Sementara itu, EMBIG spead turun
dari 345 bps pada triwulan III-2009 menjadi 336 bps (Nov-09) (Grafik 3.3).
Di sisi lain, indikator premi swap selama triwulan IV-2009 secara umum terlihat
relatif stabil yang mengindikasikan persepsi risiko dan likuiditas terjaga (Grafik
3.4).
- Imbal hasil investasi rupiah masih relatif lebih menarik dibandingkan negara
kawasan Asia. Selisih suku bunga dalam dan luar negeri (UIP) sedikit menurun
dari 6,45% pada akhir triwulan III-2009 ke 6,47% (Nov’09). Meski menurun,
level tersebut masih ‘favourable’ dalam skala regional. Selisih suku bunga
setelah memperhitungkan premi risiko (risk adjusted interest rate differential–
CIP) juga masih ‘favourable’ meski sedikit menurun dari 3,94% pada triwulan
III-2009 menjadi 3,52% (Nov-09) akibat sedikit meningkatnya indikator risiko
dikarenakan krisis ULN di Dubai (Grafik 3.5).
Selain itu, spread antara yield SUN domestik Indonesia dan US Treasury masih
yang tertinggi di kawasan Asia (Grafik 3.6).
- Membaiknya kepercayaan investor global, tingginya imbal hasil investasi
rupiah serta terjaganya persepsi risiko mendorong aliran dana asing masuk ke
perekonomian domestik. Sampai dengan November 2009 aliran masuk dana
asing yang masuk ke SBI dan SUN masing-masing tercatat sebesar USD680,56
juta dan USD1,04 miliar. Hal tersebut menyebabkan posisi asing pada SBI dan
SUN menjadi USD5,29 miliar dan USD10,95 miliar. Sementara itu, di pasar
saham, pelaku asing mencatat net jual sebesar USD55,18 juta (Grafik 3.7).
Selama tahun 2010, nilai tukar rupiah menguat cukup signifikan terutama disebabkan
oleh derasnya aliran masuk modal asing. Pergerakan nilai tukar rupiah juga ditopang oleh
keseimbangan interaksi permintaan dan penawaran valuta asing di pasar domestik serta
fundamental perekonomian domestik yang kuat. Nilai tukar rupiah mulai mengalami apresiasi
sejak awal tahun dan mencapai level Rp 9.081 per dolar AS atau menguat secara rata-rata
sebesar 3,8% dibandingkan dengan akhir tahun 2009. Secara point-to-point rupiah terapresiasi
sebesar 4,4%. (Grafik 1). Apresiasi yang terjadi secara gradual tersebut disertai tingkat volatilitas
sebesar 0,4%, lebih rendah dibandingkan volatilitas yang terjadi pada 2009 yaitu 0,9% (Grafik
2).
Di awal tahun 2010 pergerakan Rupiah sempat mengalami gejolak, sebagai dampak dari
krisis fiskal di Yunani yang sempat menimbulkan sentimen risk aversion asset negara-negara
emerging markets. Namun, optimisme pemulihan global, komitmen penyelamatan (bailout)
ECIMF terhadap Yunani, serta peningkatan peringkat utang Indonesia mampu menutupi
sentimen negatif terkaitYunani tersebut, sehingga rupiah kemudian mengalamipenguatan yang
cukup tajam dari level Rp 9.400 perdolar AS di awal Februari 2010 ke level di bawah Rp 9.000
per dolar AS memasuki Mei 2010. Di awal Juni 2010, krisis fiskal di Yunani akhirnya meluas ke
krisis PIIGS dan sempat menimbulkan guncangan luar biasa di pasar keuangan global. Perilaku
risk aversion yang memuncak di triwulan ini mendorong nilai tukar kembali ke level Rp 9.400
perdolar AS. Namun, seiring dengan meredanya kekhawatiran pelaku pasar, yang ditopang oleh
berlanjutnya pemulihan ekonomi dunia, semakin lebarnya selisih suku bunga antara negara-
negara maju dan negara-negara emerging markets, serta perbaikan kondisi prospek Indonesia,
rupiah kembali bergerak stabil dengan kecenderungan menguat di akhir triwulan II 2010.
Selanjutnya nilai tukar rupiah bergerak stabil dengan kecenderungan penguatan di paruh
kedua 2010. Apresiasi nilai tukar rupiah tersebut terjadi sejalan dengan berlanjutnya aliran dana
ke kawasan Asia di tengah melimpahnya likuiditas global serta perbedaan respons kebijakan
antara negara-negara maju dan negara-negara emerging markets. Meski diwarnai dengan
berbagai koreksi, penguatan nilai tukar rupiah juga tidak terlepas dari prospek dolar AS yang
sedang mengalami tekanan depresiasi. Dari sisi domestik, solidnya fundamental ekonomi dan
prospek pencapaian Investment. Nilai Tukar Indonesia yang membaik menjadi faktor penarik
bagi aliran modal masuk.
Aliran modal kembali gencar membanjiri pasar Negara-negara emerging markets yang
kali ini dipicu oleh kuatnya ekspektasi terhadap rendahnya suku bunga kebijakan negara maju
dan peluncuran quantitative easing tahap dua oleh Federal Reserve. Perkembangan yang
diutarakan terakhir tersebut mendorong sentimen depresiasi dolar AS sehingga semakin memicu
derasnya aliran modal ke imbal hasil aset dengan imbal hasil lebih tinggi di Negara-negara
emerging markets, termasuk Indonesia. Dari sisi domestik, aktivitas pelaku domestik di pasar
valuta asing juga menunjukkan peningkatan. Meski belum mencapa ilevel sebelum krisis,
pembelian valuta asing korporasi menunjukkan tren meningkat selama tahun 2010, sejalan
dengan peningkatan aktivitas perekonomian. Di sisi lain, korporasi domestik tetap konsisten
memasok valuta asing yang diantaranya bersumber dari hasil penjualan ekspor. Sejak awal tahun
2010, pasokan valuta asing yang bersumber dari penjualan valuta asing korporasi domestik
meningkat. Hal ini sejalan dengan kinerja ekspor Indonesia yang juga terus menunjukkan
perbaikan. Lima besar korporasi penjual valuta asing selama tahun 2010 didominasi oleh
perusahaan eksportir hasil perkebunan/agrikultur. Kombinasi aktivitas asing-domestik tersebu
tmendorong peningkatan rata-rata harian volume transaksi di pasar valuta asing yang semakin
mendekati nilai sebelum krisis (3 miliar dolar AS per hari). Kondisi ini mengindikasikan pasar
valuta asing yang mulai berangsur normal, pasca hantaman krisis. (Grafik 3)
Grafik 3. Volume Transaksi Harian Pasar Valuta Asing
Derasnya arus masuk modal asing dan besarnya tekanan apresiasi rupiah menimbulkan
kompleksitas kebijakan makroekonomi. Di satu sisi apresiasi rupiah membantu dalam
pengendalian inflasi, akan tetapi di sisi lain dapat berdampak pada menurunnya laju
pertumbuhan ekonomi dan semakin cepat terjadinya defisit transaksi berjalan. Terlebih lagi,
sejalan dengan sifatnya yang berjangka pendek, aliran modal portofolio sangat rentan terhadap
perubahan persepsi global. Bila saat ini sentimen eksternal yang terbentuk lebih mendukung
penguatan nilai tukar ke depan, sentimen tersebut dapat berubah bilamana terdapat guncangan di
perekonomian global. Hal ini dapat memicu perilaku risk aversion yang pada akhirnya
menimbulkan gejolak nilai tukar.
I. TRIWULAN I 2010
Kondisi fundamental perekonomian yang solid diikuti oleh persepsi risiko domestik yang
terus membaik.
Indikator Credit Default Swap (CDS) Indonesia masih berada pada level rendah
(163bps). Hal itu sejalan dengan indikator risiko lainnya yaitu yield spread antara obligasi
pemerintah Indonesia dan US T-Note yang mengalami penurunan. Pergerakan indeks EMBIG
yang mengukur faktor risiko negara-negara emerging markets tetap stabil, bahkan cenderung
turun dari level 294 pada akhir tahun 2009 menjadi 261 pada akhir triwulanI 2010 (Grafik 3.3).
Sementara itu, premi swap yang merupakan salah satu indikator ekspektasi arah pergerakan
rupiah tetap bergerak stabil untuk semua tenor (Grafik 3.4).
Membaiknya faktor risiko domestik membuat daya tarik investasi dalam rupiah semakin
besar.
Indikator imbal hasil rupiah yang tercermin dari selisih suku bunga dalam negeri dan luar
negeri (UIP –Uncovered Interest Parity) berada pada level 6,33%, masih merupakan yang
tertinggi dibandingkan dengan negara kawasan Asia lainnya (Grafik3.5). Dengan membaiknya
premi risiko maka daya tarik investasi dalam rupiah semakin besar, tercermin dari indikator CIP
(Covered InterestParity) yang berada dalam tren meningkat selama tahun 2010. Pada akhir Maret
2010, indikator CIP berada pada level 4,69%, merupakan yangtertinggi dibandingkan negara
kawasan Asia lainnya (Grafik 3.6).
II. TRIWULAN II 2010
Nilai tukar rupiah sepanjang triwulan II-2010 bergerak menguat.
Nilai tukar rupiah bergerak menguat selama triwulan II-2010 didukung oleh kinerja
Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) yang solid dan terjaganya faktor risiko. Perbaikan di sisi
eksternal yang diikuti dengan masih tingginya imbal hasil rupiah serta membaiknya persepsi
terhadap risiko domestik mempengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah sehingga secara rata-rata
terapresiasi sebesar 1,6% ke level Rp9.110 per dolar AS (Grafik 3.1). Penguatan nilai tukar
rupiah tersebut juga diiringi oleh tingkat volatilitas yang menurun dari triwulan sebelumnya
Dalam perjalanannya, rupiah sempat tertekan pada pertengahan triwulan II-2010 oleh
sentimen negatif di pasar keuangan global akibat masalah fiskal di beberapa negara di Eropa.
Namun, berlanjutnya kinerja perekonomian domestik yang solid memberikan dukungan yang
positif sehingga pada bulan Juni pergerakan nilai tukar rupiah stabil. Pada akhir triwulan II-2010,
rupiah ditutup pada level Rp9.060 per dolar AS, menguat 0,3% (ptp) dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya. Selain menguat, volatilitas rupiah ditriwulan II-2010 menurun menjadi
0.47% dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 0,57% (Grafik 3.2)
Bergejolaknya pasar keuangan global selama triwulan II-2010 disebabkan oleh
memburuknya krisis Yunani. Penurunan rating negara-negara PIIGS dan melemahnya indikator
fundamental ekonomi Eropa memicu kepanikan di pasar keuangan global. Untuk meredam
gejolak tersebut, pemerintah Eropa dan IMF mengumumkan paket bantuan kepada Yunani.
Kombinasi antara sentimen positif pemulihan ekonomi serta kekhawatiran terhadap krisis di
Eropa membuat nilai tukar kawasan Asia bergejolak sepanjang triwulan II-2010. Untuk
mengatasi hal tersebut beberapa bank sentral melakukan langkah intervensi sehingga volatilitas
nilai tukar dapat diredam. Di sisi domestik, penguatan rupiah juga turut didukung oleh kinerja
perekonomian domestik yang positif. Laju inflasi yang terkendali, tingkat pertumbuhan PDB
triwulan I-2010 yang mencapai 5,7% (yoy), serta kinerja Neraca Pembayaran Indonesia (NPI)
yang positif mampu meredam dampak dari sentimen negatif yang ditimbulkan dari kondisi
eksternal. Kinerja positif ini juga tercermin dari meningkatnya kepercayaan asing yang terlihat
dari peningkatan rating outlook Indonesia oleh Moody‘s.
Kepercayaan investor asing meningkat tercermin dari membaiknya persepsi terhadap risiko
domestik.
Indikator Credit Default Swap (CDS) Indonesia masih berada pada level rendah sejalan
dengan penurunan yang dialami indikator risiko lainnya yaitu yield spread antara Government
Bond Indonesia dan US T Note (Grafik3.3). Sementara itu, premi swap (salah satu indikator
ekspektasi arah pergerakan rupiah) tetap bergerak stabil untuk semua tenor (Grafik 3.4).
Membaiknya faktor risiko domestik membuat daya tarikinvestasi dalam rupiah tetap positif.
Indikator imbal hasil rupiah yang ditunjukkan oleh selisih suku bunga dalam negeri dan luar
negeri (UIP – Uncovered Interest Parity) berada pada level 6,07%, masih merupakan yang
tertinggi dibandingkan negara kawasan Asialainnya (Grafik 3.5). Jika memperhitungkan
membaiknya premi risiko maka daya tarik investasi dalam rupiah semakin besar, hal tersebut
ditunjukkan oleh indikator CIP (Covered Interest Parity) yang berada dalam tren meningkat
selama tahun 2010. Pada akhir Juni 2010, indikator CIP sedikit menurun sehingga berada pada
level 3,88%, namun tetap yang tertinggi dibandingkan Korea, Filipina dan Malaysia(Grafik 3.6).
III. TRIWULAN III 2010
Pemulihan ekonomi global sepanjang 2010 terus berlanjut dengan kecepatan yang tidak
merata di berbagai kawasan(multispeed global recovery).
Kecepatan pemulihan ekonomi dinegara Emerging Markets yang relatif lebih kuat tidak
diimbangi dengan kecepatan pemulihan di negara maju. Lebih lambatnya pemulihan ekonomi di
negara maju dibandingkan negara Emerging Markets mengakibatkan kebijakan negara maju
diperkirakan tetap akomodatif dalam upaya memelihara kesinambungan ekonomi. Sementara itu,
sebagian negara Emerging Markets, terutama di Asia, mulai melakukan normalisasi kebijakan
sejalan dengan meningkatnya tekanan inflasi. Adanya disparitas kebijakan yang ditempuh antara
negara maju dan negara Emerging Markets mengakibatkan derasnya aliran modal ke negara
Emerging Markets termasuk Indonesia. Kondisi ini mendorong menguatnya nilai tukar negara
EmergingMarkets.
Pada triwulan IV (sampai dengan akhir November 2010), rupiah secara rata-rata terapresiasi
sebesar 0,69% ke level Rp8.936/USD dari Rp8.998/USD pada triwulan sebelumnya (Grafik
3.1).
Pada akhir November, rupiah ditutup pada level Rp9.034/USD atau melemah sebesar
1,22% dari level penutupan triwulan III-2010 yaitu Rp8.925/USD. Penguatan rata-rata nilai tukar
rupiah triwulanan juga diikuti dengan lebih rendahnya volatilitas nilai tukar. Pada triwulan III-
2010, volatilitas nilai tukar tercatat sebesar 0,21% turun menjadi 0,19% di triwulan IV-2010
(Grafik 3.2). Secara keseluruhan tahun,nilai tukar rupiah terus mengalami penguatan sejak awal
2010. Nilai tukar rupiah yang terkuat dicapai pada level Rp8.889/USD, yaitu pada Bulan
November. Dengan perkembangan tersebut, sepanjang 2010 nilai tukar telah menguat 3,69%
(rata-rata) dan 5,39% (point topoint) sejak akhir 2009. Penguatan tersebut diikuti dengan tingkat
volatilitas tahunan yang turun dari 0,87% di tahun 2009 menjadi 0,37%.
Di sisi domestik, ekspansi perekonomian domestik dan surplus current account yang terjaga
semakin meningkatkan perspektif positif investor global.
PDB Indonesia pada triwulanIII 2010 mengalami pertumbuhan sebesar 5,8%, lebih tinggi
bila dibandingkan dengan pertumbuhan di tahun 2009 pada triwulan yang sama yaitu 4,2%.
Kontribusi surplus dari current account tdi triwulan IV-2010 serta penyerapan valas oleh Bank
Indonesia diyakini dapat menjaga ekspektasi positif investor global terhadap kemampuan
external financing Indonesia. Kondisi tersebut diyakini akan memperkokoh resiliensi ekonomi
Indonesia terhadap kemungkinan gejolak eksternal.
Sejalan dengan optimisme terhadap prospek perekonomian domestik, kepercayaan investor
asing terus meningkat yang dicerminkan dengan membaiknya persepsi risiko Indonesia.
Indikator Credit Default Swap (CDS) Indonesia tetap stabil berada pada level rendah
sejalan dengan penurunan yang dialami indicator risiko lainnya yaitu yield spread antara
Government Bond Indonesia dan US T Note (Grafik 3.3). Sementara itu, premi swap tetap
bergerak stabil untuk semua tenor (Grafik 3.4).
Daya tarik investasi dalam rupiah tetap positif.
Indikator imbal hasil rupiah yang ditunjukkan oleh selisih suku bunga dalam negeri dan
luar negeri (UIP – Uncovered Interest Parity) sampai dengan November 2010 tercatat sebesar
6,00%. Walaupun menurun, angka tersebut masih merupakan yang tertinggi dibandingkan
negara kawasan Asia lainnya (Grafik 3.5). Jika memperhitungkan membaiknya premi risiko
maka daya tarik investasi dalam rupiah terlihat semakin besar, hal tersebut ditunjukkan oleh
indikator CIP (Covered Interest Parity) yang berada dalam tren meningkat selama tahun 2010.
Pada akhir November 2010, indikator CIP berada pada level 4,44%, tetap merupakan yang
tertinggi dibandingkan Korea, Filipina dan Malaysia (Grafik 3.6).
C.PERANAN NILAI TUKAR YANG STABIL
Setelah mengalami krisis mata uang di tahun 1990an, banyak negara-negara emerging
markets secara formal mengimplementasikan sistem nilai tukar mengambang (floating exchange
rate system). Indonesia juga termasuk dalam kelompok negara-negara tersebut sejak Agustus
1997. Salah satu argumen yang mendukung penggunaan sistem nilai tukar mengambang adalah
nilai tukar tersebu tdapat menjadi penyerap goncangan (shock absorber) dan berperan dalam
menjaga keseimbangan eksternal suatu perekonomian. Selain itu, pengalaman pada saat krisis
mata uang menimbulkan suatu pandangan bahwa system nilai tukar tetap (fixed) sangat rentan
terhadap krisis mata uang. Meskipun demikian, fenomena yang terjadi,dalam prakteknya, adalah
negara-negara yang secara formal mengadopsi sistem nilai tukar mengambang tidak membiarkan
nilai tukarnya ditentukan sepenuhnya oleh pasar. Dengan kata lain, negara-negara tersebut tetap
berusaha menjaga stabilitas nilai tukarnya. Fenomena ini terutama terlihat dari fluktuasi nilai
tukar yang relative terbatas serta akumulasi cadangan devisa yang dimiliki oleh masing-masing
negara. Negara yang menggunakan sistem nilai tukar mengambang secara penuh seharusny
atidak memerlukan cadangan devisa yang cukup besar. Sebaliknya, negara yang tidak
membiarkan nilai tukarnya bergerak melampaui batas tertentu memerlukan cadangan devisa
yang cukup untuk mencapai tujuannya tersebut.
Ada beberapa alasan mengapa negara-negara yang secara formal mengadopsi sistem nilai
tukar mengambang tidak membiarkan nilai tukar sepenuhnya ditentukan oleh pasar fenomena
yang lazim disebut sebagai ”fear of floating”. Pertama, kekhawatiran akan dampak inflasi dari
depresiasi nilai tukar di negara-negara dengan pass-through nilai tukar yang tinggi sehingga
membuat negara-negara tersebut enggan membiarkan nilai tukarnya terdepresiasi. Kedua,
negara-negara yang mempunyai kewajiban (liability) cukup besar dalam mata uang asing
berusaha untuk menjaga supaya nilai tukarnya tidak terdepresiasi cukup besar, hal ini mengingat
depresiasi tersebut dapat mengakibatkan kontraksi melalui balance-sheet effect dari depresiasi.
Ketiga, pengalaman banyak negara akan besarnya ongkos politik yang ditanggung apabila terjadi
kejatuhan mata uang dalam negeri membuat adanya keengganan untuk membiarkan mata uang
domestik tidak terdepresiasi secara tajam. Keempat, apresiasi nilai tukar dapat menurunkan daya
saing ekspor dan meningkatkan impor.
Apresiasi nilai tukar akibat derasnya aliran masuk modal asing di tengah menguatnya
permintaan domestic pada gilirannya akan memberikan tekanan pada neraca transaksi berjalan.
Percepatan apresiasi dapat mendorong transaksi berjalan menjadi defisit lebih cepat dan dalam
skala besar. Laju apresiasi yang terlalu cepat berpotensi melemahkan daya saing ekspor sehingga
akan menurunkan permintaan luar negeri terhadap barang ekspor, sekaligus meningkatkan impor
di saat ekonomi domestik sedang berada pada fase ekspansi. Kombinasi pelemahan ekspor dan
peningkatan impor pada gilirannya dapat menggerus keseimbangan eksternal. Apresiasi akan
menyebabkan ekspor neto berkurang sehingga transaksi berjalan akan mengalami defisit. Hal
tersebut berpotensi memicu ketidakstabilan makro karena nilai tukar justru kemudian dapat
berbalik mengalami depresiasi tajam sebagai mekanisme koreksi terhadap defisit transaksi
berjalan yang terjadi.
Untuk menjaga stabilitas nilai tukar, intervensi permintaan dan penawaran di pasar valuta
asing adalah cara yang paling lazim digunakan bank-bank sentral. Namun, dibanyak negara
kebijakan suku bunga juga dijadikan sebagai instrumen untuk menjaga stabilitas nilai tukar. Hal
ini terutama terjadi di negara-negara yang mempunyai masalah kredibilitas atau negara-negara
yang mengadop inflation targeting sementara pass-through nilai tukar cukup tinggi. Fakta bahwa
negara-negara emerging markets yang cenderung mempunyai pass-through nilai tukar yang
relatif tinggi dan kredibilitas yang relatif lebih rendah, penggunaan suku bunga untuk menjaga
stabilitas nilai tukar, selain sebagai respons terhadap tekanan inflasi, dapat merupakan salah satu
penjelas mengapa volatilitas suku bunga di emerging markets relatif lebih tinggi (Calvodan
Reinhart, 2002).
Akselerasi apresiasi yang berkelanjutan dan cepat, terutama akibat besarnya peran
investasi portofolio dalam komposisi arus masuk modal asing, juga dapat berimplikasi pada
sustainabilitas transaksi berjalan apabila transaksi berjalan beralih menjadi defisit. Hal tersebut
mengingat bahwa transaksi berjalan yang menuju deficit dapat terus dijaga sepanjang ditopang
oleh arus modal yang berkelanjutan dan tahan lama. Oleh karena itu, apabila defisit transaksi
berjalan tidak dapat dihindarkan, diperlukan suatu kebijakan struktural di sektor riil untuk
mendorong arus masuk modal asing yang berjangka panjang, terutama dalam bentuk penanaman
modal langsung.
Di Indonesia, kebijakan nilai tukar yang ditempuh oleh Bank Indonesia diarahkan untuk
menjaga agar apresiasi rupiah konsisten dengan perkembangan makroekonomi dan tidak
fluktuatif. Di tengah derasnya arus masuk modal asing dan tekanan apresiasi selama tahun 2010,
Bank Indonesia menempuh kebijakan stabilisasi nilai tukar untuk meminimalkan volatilitas nilai
tukar. Namun, mengingat kompleksitas permasalahan yang dihadapi, kebijakan intervensi
dipandang tidak cukup dan perlu dilengkapi dengan penerapan kebijakan makroprudensial.
Terkait hal tersebut, Bank Indonesia sejak Juni2010 memberlakukan kebijakan makroprudensial
berupa kewajiban bagi pembeli SBI untuk menahan kepemilikannya selama satu bulan sebelum
dijual ke pihak lain.
Bauran kebijakan melalui stabilisasi nilai tukar dan pengelolaan lalu lintas modal
ditujukan untuk menjaga stabilitas eksternal dan internal. Di tengah derasnya arus masuk modal
asing dan tekanan apresiasi, kebijakan stabilisasi nilai tukar diarahkan untuk meminimalkan
volatilitas nilai tukar agar konsisten dengan pertumbuhan dan perkembangan makroekonomi
khususnya dalam upaya pengendalian dan stabilisasi harga. Kebijakan stabilisasi nilai tukar
tersebut sekaligus merupakan antisipasi terhadap pembalikan modal dengan menjaga cadangan
devisa pada level yang memadai untu kmemenuhi impor, kewajiban valuta asing serta sebagai
selfinsurance (Grafik 4). Untuk menahan laju apresiasi rupiah yang berlebihan, Bank Indonesia
melakukan kebijakan intervensi secara terukur di pasar valuta asing. Upaya stabilisasi nilai tukar
tersebut dilakukan secara symmetric dengan mengakomodir nilai tukar yang lebih fleksibel dan
tetap memerhatikan tren nilai tukar negara-negara kawasan agar daya saing rupiah tetap terjaga
(Grafik 5). Dengandemikian, pergerakan rupiah diupayakan sedemikian rupa agar tidak
mengalami overshooting dan tidak terlalu fluktuatif serta tidak menimbulkan dampak yang
berlebihan terhadap pasokan likuiditas domestik. Di samping itu, Bank Indonesia juga
melakukan penyempurnaan kegiatan pemantauan transaksi valuta asing dan pinjaman luar negeri
yang dilakukan oleh perusahaan bukan bank untuk mendukung perumusan respons kebijakan
nilai tukar yang lebih antisipatif danresponsif. Penerapan kebijakan tersebut didasarkan pada
beberapa pertimbangan yaitu konsistensi antarapergerakan nilai tukar dengan sasaran makro
serta dampak dari ekses likuiditas sebagai akibat dari stabilisasinilai tukar terhadap operasi
moneter.