You are on page 1of 6

Konsep Pendidikan Sepanjang Hayat (PSH)

Konsep ini akan dikemukakan secara rinci karena mendasari arah baru dunia pendidikan. Ide
dan konsep pendidikan sepanjang hayat (PSH) atau pendidikan seumur hidup yang secara
operasional sering pula disebut "pendidikan sepanjang raga" bukanlah sesuatu ayng baru.
Sebagai konsep yang lebih ilmiah dan sekaligus sebagai gerakan global yang merambah ke
berbagai negara memang baru mulai dirasakan pada tahun 70-an. Pada zaman Nabi
Muhammad SAW
14 abad yang lampau, ide dan konsep itu telah disiarkannya dalam bentuk suatu imbauan;
Tuntutlah Ilmu mulai sejak di buaian hingga ke liang lahat. Dalam kenyataan hidup sehari-
hari dari dahulu sudah dapat dilihat bahwa pada hakikatnya orang belajar sepanjang hidup,
meskipun dengan cara yang berbeda dan melalui proses yang tidak sama. Pendeknya tidak
ada batas usia yang menunjukkan tidak mungkinnya dan tidak dapatnya orang belajar. Jika
seorang petani tua berusaha mencari tahu mengenai cara-cara baru dalam bercocok tanam,
pemberantasan hama dan pemasaran hasil yang lebih menguntungkan, itu adalah pertanda
bahwa belajar itu tidak dibatasi oleh usia. Hal yang semacam tidak terkecuali juga berlaku
pada pedagang, pengrajin, seniman, pendakwah dan lain-lain, lebih-lebih guru. Dorongan
belajar sepanjang hayat itu terjadi karena dirasakan sebagai kebutuhan. Setiap orang merasa
butuh untuk mempertahankan hidup, dan kehidupannya dalam menghadapi dorongan-
dorongan dari dalam dan tantangan alam sekitar, yang selalu berubah. Sepanjang hidupnya
manusia memang tidak pernah berada di dalam suatu vakum. Mereka dituntut untuk mampu,
menyesuaikan diri secara aktif, dinamis, kreatif dan inovatif tprhadap diri dan kemajuan
zaman.
Kegiatan mendidik diri setiap saat sepanjang hidup itu selalu merupakan kebutuhan terlepas
dari hasilnya. Juga bukan semata-mata sebagai bekal untuk kehidupan di masa datang.
Dengan kata lain, pendidikan itu merupakan bagian integral dari hidup itu sendiri. Prinsip
pendidikan seperti itu mengandung makna bahwa pendidikan itu lekat derigan diri manusia,
karena dengan itu manusia dapat terus menerus meningkatkan kemandiriannya sebagai
pribadi dan sebagai anggota masyarakat, meningkatkan self fullfilment (rasa kepenuh
maknaan) dan terarah kepada aktualisasi diri. Dalam hubungan dengan lingkungan, mereka
dapat menyesuaikan diri secara adaptif dan kreatif terhadap tantangan zaman.
PSH yang dalam prakteknya telah lama berlangsung secara alamiah dalam kehidupan
manusia itu dalam perjalanannya menjadi pudar, disebabkan oleh semakin kukuhnya
kedudukan sistem pendidikan persekolahan di tengah¬tengah masyarakat. Sistem pendidikan
persekolahan yang polanya telah mentradisi membentuk masyarakat tersendiri dan
memisahkan diri dari lingkungan masyarakat luas dengan pagar pekarangan sekolah,
mendindingi kelas, membatasi waktu belajarnya sampai usia tertentu dan jangka waktu
tertentu. Seolah-olah sekoilah membentuk masyarakat khusus yang mempersiapkan diri
untuk kehidupan di hari depan, bukan kehidupan sekarang ini, dengan membekali diri
berbagai ilmu pengetahuann dan keterampilan menurut porsi yang telah ditetapkan dengan
keyakinan bahwa bekal tersebut pasti cocok dengan tuntutan zaman. Kenyataan menunjukkan
bahwa masyarakat selalu berubah dengan membawa tuntutan-tuntutan baru. Bekali yang
telah dipersiapkan secara baku pada saat seseorang ditempa di sekolah tidak selalu sesuai
dengan kebutuhan dilapangan yang nantinya akan diterjuni.
PSH bertumpu pada keyakinan bahwa pendidikan itu tidak identik dengan persekolahan, PSH
merupakan sesuatu proses bersinambungan yang berlangsung sopanjang hidup. Ide tentang
PSH yang hampir tenggelam, yang dicetuskan 14 dbad yang lalu, kemudian dibangkitkan
kembali oleh Comenius 3 abad yang lalu (di abad 16) dan John Dewey 40 tahun yang lalu
(yatu tahun 50-an). Tokoh pendidikan Johan Amos Comenius (1592-1671) mencetuskan
konsep pendidikan bahwa tujuan pendidikan adalah untk membuat persiapan yang berguna di
akhirat nanti. Sepanjang hidup manusia merupakan proses penyiapan diri untuk kehidupan di
akhirat. Dunia ini adalah buku yang paling besar dan paling lengkap yang tidak akan habis
dikaji untuk dipahami dan diambil manfaatnya sepanjang hayat.
Selanjutnya PSH didefenisikan sebagai tujuan atau ide formal untuk pengorganisasian dan
penstrukturan pengalaman pendidikan. Pengorganisasiannya dan penstrukturan ini diperluas
mengikuti seluruh rentangan usia, dari usia yang paling muda sampai paling tua (Cropley,
67). PSH bukan suatu sistem pendidikan yang berstruktur, melainkan suatu prinsip yang
menjadi dasar yang menjiwai seluruh organisasi sistem pendidikan yang ada. Dengan kata
lain PSH menembus batas-batas kelembagaan, pengelolaan dan program yang telah berabad-
abad mendesakkan diri pada sistem pendidikan dari Amerika (1859-1952) menaruh
keyakinan bahwa yang cocok dalam pendidikan adalah kegiatan anak itu sendiri. Kegiatan itu
merupakan manifestasi dari kehidupan. Tidak ada kehidupan tanpa kegiatan. Sepanjang hidup
harus ada keaktifan. Anak wajib memperoleh pengetahuan dari usahanya sendiri. Tulisannya
yang terbit pada tahun 1938 yang berjudul "Experience and Education" menekankan
pentingnya "mengalami" dalam belajar (Sapta Dharma, 1955: 11-12).
Sudah sejauh itu makna PSH dalam kerangka ilmiah dan dalam praktek kehidupan
keseharian, namun PSH sebagai konsep yang secara ilmiah mendasari pendidikan belum
jelas. Sebagai gerakan konseptual yang bersifat massal baru mulai pada tahun 70-an, yaitu 20
tahun kemudian sesudah Dewey, dengan munculnya laporan Komisi Internasional tentang
perkembangan pendidikan yang dipimpin oleh Edgar Faure yang berjudul "Learning To Be,
The World of Educationn, Today and Tomorrow," yang diterbitkan oleh UNESCO pada
tahun 1972. Dalam laporan tersebut diajukan 6 buah rekomendasi untuk mengantisipasi dunia
pendidikan di masa depan. Salah satu rekomendasinya ialah agar pendidikan seumur hidup
(life long education) bagi warga masyarakat untuk menuju ke suatu masyarakat gemar
belajar (learning society) dapat diterima sebagai master konsep dalam pembaruan pendidikan
di masa mendatang. Sejak itu ide tersebut terus menyebar luas ke berbagai negara menuju ke
negara maju dan negara berkembang untuk diketahui dan dipertimbangkan. Pada saat itu
respon berbagai negara tidak sama. Khususnya di Indonesia respon terhadap konsep PSH itu
sangat positif dan dituangkan dalam kebijaksanaan negara yaitu dalam Ketetapan MPR
No.IV/MPR/1973 jo. Ketetapan MPR No.IV/MPR/1978 tentang GBHN yang menetapkan
prinsip pembangunan nasional antara lain : Dalam Bab IV bagian pendidikan, butir (d)
berbunyi Pendidikan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan di dalam lingkungan rumah
tangga/keluarga dan masyarakat, karena itu pendidikan menjadi tanggung jawab bersama
antara keluarga, masyarakat dan pemerintah.
Kebijaksanaan pembangunan nasional di bidang pendidikan mengandung arti bahwa secara
konstitusional GBHN tersebut wajib dilaksanakan oleh lembaga-lembaga pendidikan formal,
nonformal dan informal. Fungsi dari masing-masing lembaga tersebut bersifat koimplementer
(saling mengisi). Artinya hanya pendidikan keluarga, hanya pendidikan non formal atau
hanya pendidikan informal saja masing-masing tidak cukup, karena itu satu sama lain harus
saling mengisi.

Rasional
Mengapa PSH diperlukan ?
Di dalam tulisan Cropley dengan memperhatikan masukan dari sebagian pemerhati
pendidikan mengemukakan beberapa alasan, antara lain : Keadilan, ekonomi (biaya
pendidikan), perubahan perencanaan, perkembangan teknologi, faktor vokasional, kebutuhan
orang dewasa dan kebutuhan anak-anak masa awal. (Cropley : 32-44).

Alasan Keadilan
Terselenggaranya PSH secara meluas di kalangan masyarakat dapat menciptakan iklim
lingkungan yang memungkinkan terwujudnya keadilan sosial. Masyarakat luas dengan
berbagai stratanya merasakan adanya persamaan kesernpatan memperoleh pendiikan.
Selanjutnya berarti pula persamaan sosial, ekonomi dan politik. Hinsen menunjukkan konteks
yang lebih luas yaitu dengan terselenggaranya PSH yang lebih baik akan membuka peluang
bagi perkembangan nasional untuk mencapai tingkat persamaan internasional (Cropley : 33).
Dalam hubungan ini Bowle mengemukakan statemen bahwa PSH pada prinsipnya dapat
mengeliminasi peranan sekolah sebagai alat untuk melestarikan ketidakadilan sosial (Cropley
: 33).

Alasan Ekonomi
Personal PSH dikaitkan dengan biaya penyelenggaraan pendidikan, produktifitas kerja dan
peningkatan GNP. Di negara sedang berkembang biaya untuk perluasan pendidikan dan
meningkatkan kualitas pendidikan hampir¬hampir tak tertanggulangi. Di satu sisi tantangan
untuk mengejar keterlambatan pembangunan dirasakan, sedangkan di sisi lain keterbatasan
biaya dirasakan menjadi penghambat. Tidak terkecuali di negara yang sudah maju
teknologinya, yaitu dengan munculnya kebutuhan untuk memacu kualitas pendidikan dan
jenis jenis pendidikan. Beberapa negara maju merasakan beratnya beban biaya
penyelenggaraan pendidikan itu. Beberapa alternatif dilakukan untuk mengatasi masalah
pembiayaan itu antara lain dengan cara memperbesar daya serap sekolah misalnya dengan
sistem double shift, memperpendek masa pendidikan, meningkatkan pendayagunaan
teknologi pendidikan, mendiseminasikan inovasi-inovasi pendidikan dan sebagainya. Dalam
hubungannya dengan masalah tersebut PSH yang secara radikal mendasarkan diri pada
konsep baru dalam pemrosesan pendidikan memiliki implikasi pembiayaan pendidikan yang
lebih luas dan lebih longgar (Cropley : 35).
Pertanyaan yang diajukan oleh para pakar ekonomi lazimya ialah apakah PSH dapat
meningkatkan rate of return pendidikan? Misalnya dengan biaya pendidikan sebesar 1 juta
rupiah maka sebagai hasil pendidikan akan dapat meningkatkan GNP 4 juta rupiah. Terhadap
persoalan tersebut pada pendukung PSH menyatakan secara lebih berhati-hati, , yakni bahwa
keuntungan yang diperoleh dari PSH terutama berupa peningkatan, kualitas hidup,
kemaknaan diri (self fullfilment), melepaskan diri dari belenggu kebodohan, kemiskinan dan
eksploitasi, kalaupun bukan peningkatan produksi kerja dan GNP (Cropley : 35-36).

Alasan faktor sosial yang berhubungan dengan perubahan peranan keluarga, remaja dan
emansipasi wanita dalam kaitannya dengan perkembangan iptek.
Perkembangan iptek yang demikian pesat yang telah melanda negara maju dan negara-negara
sedang berkembang memberikan dampak yang besar terhadap terjadinya perubahan-
perubahan kehidupan sosial ekonomi dan nilai budaya. Seperti berubahnya corak pekerjaan,
status dan peran adolesen versus kelompok dewasa, hubungan sosial pekerja dengan
atasannya, khususnya bertambahnya usia harapan hidup dan menurunnya jumlah kematian
bayi dan yang tidak kalah pentingnya ialah berubahnya sistem dan peranan lembaga
pendidikan.
Fungsi pendidikan yang seharusnya diperankan oleh keluarga, dan juga fungsi lainnya seperti
fungsi ekonomi, rekreasi dan lain-lainn, lebih banyak diambil alih oleh lembaga-lembaga,
organisasi-organisasi di luar lingkungan keluarga, khususnya oleh sekolah. Dengan diambil
alihnya sebagian tugas pendidikan oleh sekolah, banyak orang tua yang mengira bahwa
seluruh tugas pendidikan sudah ditangani secara tuntas oleh sekolah, sehingga orang tua
hanya tinggal menunggu hasilnya. Sebaliknya, sekolah menganggap bahwa pendidikan
efektif sepenuhnya menjadi tanggung jawab orang tua. Ketidaksinkronan konsep pendidikan
di lingkungan keluarga dengan pendidikan di sekolah tersebut menimbulkan keserijangan.
Kesenjangan tersebut dapat diisi melalui penyelenggaraan Pendidikan Sepanjang Hidup
(PSH) yang sifatnya menembus batas-batas kelembagaan.
Jika dahulu masa anak dan remaja diartikan sebagai masa belajar dalam dunia persekolahan,
sedangkan dunia orang dewasa ada.lah dunia kerja, kini garis batas yang memisahkan kedua
kelompok usia tersebut sudah menjadi kabur. Semakin hari banyak remaja yang berumah
tangga dan bekerja, sedangkan di pihak lain semakin banyak orang dewasa yang bersekolah.
Garis pemisah yang kukuh antara kedua. macam kelompok tersebut berabad-abad telah
dipertahankan di dalarn kehidupan bermasyarakat. Bagi angkatan muda tidak mudah untuk
beralih status ke dunia orang dewasa Umur dan acara-acara ritual sering menjadi tonggak
penghalang yang tidak
begitu saja dapat dilewati. Berkat kemajuan perkembangan iptek banyak hal yang dahulunya
hanya menjadi hak istimewa kelompok dewasa, seperti hak untuk membuat keputusan atas
sesuatu yang menjadi pilihan anak, telah beralih kepada kelompok anak dan remaja sendiri.
Situasi demikian juga terdapat pada hubungan antara pekerja dengan pimpinan. Pola umum
tentang hubungan sosial antara pekerja dengan pimpinan yang dahulu harus dipegang ketat
sudah menjadi longgar. Pekerja di masa mendatang mungkin harus melakukan peran sosial
yang saat ini dianggap hanya cocok untuk atsan.
Serempak dengan itu, ada gejala sosial lain yang juga mempunyai arti penting, yaitu
meningkatnya emansipasi wanita. Emansipasi wanita yang telah berlangsung demikian pesat
telah mengubah konsep tentang dunia dan peran wanita, demikian pula peran pria sebagai
pencari natkah. Banyak posisi yang dahulu hanya cocok bagi pria, sekarang diisi oleh wanita,
demikian pula sebaliknya.
Alasan Perkembangan Iptek
Uraian sebelumnya telah menjelaskan betapa luasnya pengaruh perkembangan iptek dalam
semua sektor pembanguna. Meskipun diakui bahwa pengaruh tersebut di dalam dunia
pendidikan belum sejauh yang terjadi pada dunia pertanian, industri, transportasi dan
komunikasi, namun intervensinya di dalam dunia pendidikan telah menggejala dalam banyak
hal. Di kawasan Asean berbagai inovasi pendidikan sudah banyak yang didesiminasikan
sejak tahun 70-an, seperti SD Pamong, SMP Terbuka, Belajar Jarak Jauh dan lain-lain. Di
segi lain muncul pendekatan-pendekatan baru dan perubahan orientasi dalam proses belajar
mengajar, konsep pengembangan tingkah laku, perubahan peran guru dan siswa, munculnya
berbagai tenaga kependidikan nonguru, pendayagunaan sumber belajar yang semakin
bervariasi dan lain-lain.
Kesemuanya itu mengandung potensi yang kaya bagi terselenggaranya Pendidikan Sepanjang
Hidup.
Alasan Sifat Pekerjaan
Kenyataan menunjukkan bahwa perkembangan iptek di satu sisi dalam skala besar menyita
pekerjaan tangan diganti dengan mesin, tetapi tak dapat dipungkiri di sisi yang lain juga
memberikan andil kepada munculnya pekerjaan-pekerjaan baru yang menyerap banyak
tenaga kerja dan munculnya cara-cara baru dalam memproses pekerjaan. Akibatnya
pekerjaan menuntut persyaratan kerja yang selalu saja berubah. Drastisnya, banyak
perubahan¬perubahan dimaksud berlangsung tidak antargenerasi tetapi di dalam satu
generasi pun perubahan itu banak terjadi. Seperti yang dinyatkaan oleh Dubin (Wayan
Ardana, 1986 : 13) bahwa para insinyur ahli di Amerika dewasa ini sudah berjuang dengan
masalah tidak terpakainya keterampilan. Mereka menghadapi suatu prospek memiliki
pengetahuan ayng tidak terpakai jauh sebelum kegiatan kehidupan profesionalnya berakhir.
Pengalaman demikian itu membangkitkan kesadaran para pekerja, bahwa bekal kerja yang
dimiliki demikian cepat menjadi usang. Untuk dapat tetap menangani pekerjaan¬-pekerjaan
yang menuntut persyaratan-persyaratan baru seseorang harus berkemauan untuk selalu
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan secara terus menerus. Sistem pendidikan yang
ada tidak sanggup menyajikan dua macam kemungkinan bekal kerja sekaligus, yaitu bekal
siap pakai (ibarat kunci pas) dengan risiko cepat dilanda keusangan, atau bekal dasar yang
masih harus dikembangkan sendiri oleh lulusan ke arah yang diperlukan (ibarat kunci
Inggris).
Kondisi seperti digambarkan itu mengandung implikasi bahwa PSH merupakan altematif
yang dapat mengantisipasi pemecahan masalah-masalah yang dihadapi oleh pekerja di masa
depan.

Implikasi Pendidikan Sepanjang Hayat


Dengan diterimanya konsep PSH sebagai, konsep dasar pendidikan maka berarti sifat kodrati
pendidikan, yaitu upaya memperoleh bekal untuk mengatasi masalah hidup sepanjang hidup
lebih menembus dan menjiwai penyelenggaraan semua sistem pendidikan yang ada, yang
sudah melembaga maupun yang belum Pendidikan berlangsung dari masa bayi (bina balita)
sampai dengan pendidikan diri sendiri apda masa manula. Seperti telah dijelaskan terdapat
ciri-ciri khas PSH, yang diharapkan menjiwai pendidikan masa kini dan pada masa
mendatang.

Ciri-ciri yang dimaksud adalah :


a. PSH menghilangkan tembok pemisah antara sekolah dengan lingkungan kehidupan nyata
di luar sekolah.
b. PSH menempatkan kegiatna belajar sebagai bagian integral dari proses hidup yang
berkesinambungan, sedangkan "bersekolah" hanya merupakan sebagian (bahkan hanya
sebagian kecil) dari keseluruhan proses belajar yang dialami oleh seseorang selama hidupnya.
Porsi belajar di sekolah jauh lebih kecil dibanding porsi keseluruhan proses belajar sepanjang
hidup, berkisar 1 : 4.
c. PSH lebih mengutamakan pembekalan sikap dan metode daripada isi pendidikan. PSH
yakin bahwa isi pendidikan senantiasa akan berubah. Pendidikan yang mengutamakan
pemberian bekal isi sifatnya statis dan akan mudah dilanda keusangan. Yang lebih pokok
bukan masalah apa yang hum dipecahkan melainkan bekal dasar apa dan cara pemecahan
yang bagaimana harus disiapkan.
d. PSH menempatkan peserta didik sebagai individu yang menjadi pelaku utama di dalam
proses pendidikan, yang mengarah kepada pendidikan diri sendiri (self education), autodidak
yang aktif kreatif, tekun, bebas dan bertanggung ajwab, tabah dan tahan bantingan dan yang
sejalan dengan penciptaan masyarakat gemar belajar (learning society).

Di samping ciri-ciri tersebut yang menjadi alasan mengapa PSH perlu digalakkan adalah juga
:
a. Pada hakikatnya belajar berlangsung sepanjang hidup.
b. Sekoalh tradisional tidak dapat memberikan bekal kerja yang coraknya semakin tidak
menentu dan cepat berubah.
c. Pendidikan masa balita punya peranan penting sebagai fondasi pembentukan kepribadian
dan bagi aktualisasi diri. Sekolah tidak dapat mengisi pendidikan di masa balita ini.
d. Sekolah tradisional mengganggu pemerataan keadilan untuk memperoleh kesempatan
berpendidikan.
e. Biaya penyelenggaraan sekolah tradisional sangat mahal.

Sebagai kesimpulan dapat dikemukakan bahwa :


Menurunnya posisi penting keluarga sebagai lembaga pendidikan, pergeseran peran remaja
dan orang dewasa, hubungan sosial pekerja dengan pemimpin, meningkatnya emansipasi
wanita dan berubahnya konsepsi pria sebagai pencari nafkah, semuanya membawa implikasi
pada keharusan akan perlunya penyesuaian diri dari kedua belah pihak dalam menghadapi
kemajuan. Untuk itu perlu adanya model baru pelayanan yang dapat membekali semua pihak
untuk secara terus menerus menggalang diri guna mengatasi tantangan zaman. Model
pelayanan yang dimaksud adalah pendidikan sepanjang hidup.

Contoh Makalah Konsep Pendidikan Sepanjang Hayat (PSH) | Contoh Makalah


http://www.contohmakalah.co.cc/2010/10/konsep-pendidikan-sepanjang-hayat-
psh.html#ixzz1LlKkM5ka
Makalah, Skripsi, Karya Ilmiyah, Artikel, Bisnis Online
Under Creative Commons License: Attribution Share Alike

You might also like