You are on page 1of 14

Komunikasi antarbudaya

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Komunikasi antarbudaya adalah komunikasi yang terjadi di antara orang-orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda
(bisa beda ras, etnik, atau sosioekonomi, atau gabungan dari semua perbedaan ini. [1] Menurut Stewart L. Tubbs,komunikasi
antarbudaya adalahkomunikasi antara orang-orang yang berbeda budaya (baik dalam arti ras, etnik, atau perbedaan-
perbedaan sosio ekonomi).Kebudayaan adalah cara hidup yang berkembang dan dianut oleh sekelompok orang serta
berlangsung dari generasi ke generasi.[1]
Hamid Mowlana menyebutkan komunikasi antarbudaya sebagai human flow across national boundaries. Misalnya; dalam
keterlibatan suatu konfrensi internasional dimana bangsa-bangsa dari berbagai negara berkumpul dan berkomunikasi satu
sama lain.[2] Sedangkan Fred E. Jandt mengartikan komunikasi antarbudaya sebagai interaksi tatap muka di antara orang-
orang yang berbeda budayanya.[3]
Intercultural communication generally refers to face-to-face interaction among people of diverse culture. [3]
Guo-Ming Chen dan William J. Sartosa mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah proses negosiasi atau
pertukaran sistem simbolik yang membimbing perilaku manusia dan membatasi mereka dalam menjalankan
fungsinya sebagai kelompok.[4] Selanjutnya komunikasi antarbudaya itu dilakukan:

1. Dengan negosiasi untuk melibatkan manusia di dalam pertemuan antarbudaya yang membahas satu tema
(penyampaian tema melalui simbol) yang sedang dipertentangkan. Simbol tidak sendirinya mempunyai
makna tetapi dia dapat berarti ke dalam satu konteks dan makna-makna itu dinegosiasikan atau
diperjuangkan;[4]
2. Melalui pertukaran sistem simbol yang tergantung daripersetujuan antarsubjek yang terlibat dalam
komunikasi, sebuah keputusan dibuat untuk berpartisipasi dalam proses pemberian makna yang sama; [4]
3. Sebagai pembimbing perilaku budaya yang tidak terprogram namun bermanfaat karena mempunyai
pengaruh terhadap perilaku kita;[4]
4. Menunjukkan fungsi sebuah kelompok sehingga kita dapat membedakan diri dari kelompok lain dan
mengidentifikasinya dengan pelbagai cara.[4]

Hakikat Komunikasi Antarbudaya


[sunting]Enkulturasi

Tarian adalah salah satu bentuk enkulturasi budaya yang ditransmisikan sejak kecil

Enkulturasi mengacu pada proses dengan mana kultur (budaya) ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Kita mempelajari kultur, bukan mewarisinya. Kultur ditransmisikan melalui proses belajar, bukan melalui gen. Orang tua,
kelompok, teman, sekolah, lembaga keagamaan, dan lembaga pemerintahan merupakan guru-guru utama dibidang kultur.
Enkulturasi terjadi melalui mereka.[5]
[sunting]Akulturasi

Cina dan Inggris yang berakulturasi

Akulturasi mengacu pada proses dimana kultur seseorang dimodifikasi melalui kontak atau pemaparan langsung dengan
kultur lain.[5] Misalnya, bila sekelompok imigran kemudian berdiam di Amerika Serikat (kultur tuan rumah), kultur mereka
sendiri akan dipengaruhi oleh kultur tuan rumah ini. Berangsur-angsur, nilai-nilai, cara berperilaku, serta kepercayaan dari
kultur tuan rumah akan menjadi bagian dari kultur kelompok imigran itu. Pada waktu yang sama, kultur tuan rumah pun ikut
berubah.[5]

[sunting]Fungsi-Fungsi Komunikasi Antarbudaya


[sunting]Fungsi Pribadi
Fungsi pribadi adalah fungsi-fungsi komunikasi yang ditunjukkan melalui perilaku komunikasi yang bersumber dari seorang
individu.[4]

Pendeta Budha Jepang menyatakan identitas melalui baju yang dikenakan

 Menyatakan Identitas Sosial[4]


Dalam proses komunikasi antarbudaya terdapat beberapa perilaku komunikasi individu yang digunakan untuk menyatakan
identitas sosial. Perilaku itu dinyatakan melalui tindakan berbahasabaik secara verbal dan nonverbal. Dari perilaku
berbahasa itulah dapat diketahui identitas diri maupun sosial, misalnya dapat diketahui asal-usul suku bangsa, agama,
maupun tingkatpendidikan seseorang.
 Menyatakan Integrasi Sosial[4]
Inti konsep integrasi sosial adalah menerima kesatuan dan persatuan antarpribadi, antarkelompoknamun tetap mengakui
perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh setiap unsur. Perlu dipahami bahwa salah satu tujuan komunikasi adalah
memberikan makna yang sama atas pesan yang dibagi antara komunikator dan komunikan. Dalam kasus komunikasi
antarbudaya yang melibatkan perbedaan budaya antar komunikator dengan komunikan, maka integrasi sosial merupakan
tujuan utama komunikasi. Dan prinsip utama dalam proses pertukaran pesan komunikasi antarbudaya adalah: saya
memperlakukan anda sebagaimana kebudayaan anda memperlakukan anda dan bukan sebagaimana yang saya
kehendaki. Dengan demikian komunikator dan komunikan dapat meningkatkan integrasi sosial atas relasi mereka.

 Menambah Pengetahuan[4]
Seringkali komunikasi antarpribadi maupun antarbudaya menambah pengetahuan bersama, saling mempelajari
kebudayaan masing-masing.

 Melepaskan Diri atau Jalan Keluar[4]


Kadang-kadang kita berkomunikasi dengan orang lain untuk melepaskan diri atau mencri jalan keluar atas masalah yang
sedang kita hadapi. Pilihan komunikasi seperti itu kita namakan komunikasi yang berfungsi menciptakan hubungan yang
komplementer dan hubungan yangsimetris.
Hubungan komplementer selalu dilakukan oleh dua pihak mempunyai perlaku yang berbeda. [4] Perilaku seseorang berfungsi
sebagaistimulus perilaku komplementer dari yang lain. Dalam hubungan komplementer, perbedaan di antara dua pihak
dimaksimumkan.[4]Sebaliknya hubungan yang simetris dilakukan oleh dua orang yang saling bercermin pada perilaku
lainnya.[4] Perilaku satu orang tercermin pada perilaku yang lainnya.[4]

[sunting]Fungsi Sosial

 Pengawasan[4]
Funsi sosial yang pertama adalah pengawasan. Praktek komunikasi antarbudaya di antara komunikator dan komunikan
yang berbada kebudayaan berfungsi saling mengawasi. Dalam setiap proses komunikasi antarbudaya fungsi ini bermanfaat
untuk menginformasikan"perkembangan" tentang lingkungan. Fungsi ini lebih banyak dilakukan oleh media massa yang
menyebarlusakan secara rutin perkembangan peristiwa yang terjadi disekitar kita meskipun peristiwa itu terjadi dalam
sebuah konteks kebudayaan yang berbeda.

 Menjembatani[4]
Dalam proses komunikasi antarbudaya, maka fungsi komunikasi yang dilakukan antara dua orang yang berbeda budaya itu
merupakanjembatan atas perbedaan di antara mereka. Fungsi menjembatani itu dapat terkontrol melalui pesan-pesan yang
mereka pertukarkan, keduanya saling menjelaskan perbedaan tafsir atas sebuah pesan sehingga menghasilkan makna
yang sama. Fungsi ini dijalankan pula oleh pelbagai konteks komunikasi termasuk komunikasi massa.

 Sosialisasi Nilai[4]
Fungsi sosialisasi merupakan fungsi untuk mengajarkan dan memperkenalkan nilai-nilai kebudayaan suatu masyarakat
kepada masyarakat lain.

 Menghibur[4]
Fungsi menghibur juga sering tampil dalam proses komunikasi antarbudaya. Misalnya menonton tarian hula-hula dan
"Hawaian" di taman kota yang terletak di depan Honolulu Zaw, Honolulu, Hawai. Hiburan tersebut termasuk dalam kategori
hiburan antarbudaya.

[sunting]Prinsip-Prinsip Komunkasi Antarbudaya

 (( terdapatnya golongan ningrat sebagai budaya yang tertinggi))

hal ini terlihat dari adanya ketimpangan pemlihan calon gubernur yang
mengharuskan dari keturunan darah biru.

 Relativitas Bahasa[5]
Gagasan umum bahwa bahasa memengaruhi pemikiran dan perilaku paling banyak disuarakan oleh para
antropologis linguistik. Pada akhir tahun 1920-an dan disepanjang tahun 1930-an, dirumuskan bahwa karakteristik bahasa
memengaruhi proses kognitif kita. Dan karena bahasa-bahasa di dunia sangat berbeda-beda dalam hal
karakteristik semantik dan strukturnya, tampaknya masuk akal untuk mengatakan bahwa orang yang menggunakan bahasa
yang berbeda juga akan berbeda dalam cara mereka memandang dan berpikir tentang dunia.

 Bahasa Sebagai Cermin Budaya[5]


Bahasa mencerminkan budaya. Makin besar perbedaan budaya, makin perbedaan komunikasi baik dalam bahasa maupun
dalamisyarat-isyarat nonverbal. Makin besar perbedaan antara budaya (dan, karenanya, makin besar perbedaan
komunikasi), makin sulit komunikasi dilakukan.Kesulitan ini dapat mengakibatkan, misalnya, lebih banyak kesalahan
komunikasi, lebih banyak kesalahan kalimat, lebih besar kemungkinan salah paham, makin banyak salah persepsi, dan
makin banyak potong kompas (bypassing).

 Mengurangi Ketidak-pastian[5]
Makin besar perbedaan antarbudaya, makin besarlah ketidak-pastian dam ambiguitas dalam komunikasi. Banyak dari
komunikasi kita berusaha mengurangi ketidak-pastian ini sehingga kita dapat lebih baik menguraikan, memprediksi, dan
menjelaskan perilaku orang lain. Karena letidak-pasrtian dan ambiguitas yang lebih besar ini, diperlukan lebih banyak waktu
dan upaya untuk mengurangi ketidak-pastian dan untuk berkomunikasi secara lebih bermakna.

 Kesadaran Diri dan Perbedaan Antarbudaya [5]


Makin besar perbedaan antarbudaya, makin besar kesadaran diri (mindfulness) para partisipan selama komunikasi. Ini
mempunyai konsekuensi positif dan negatif. Positifnya, kesadaran diri ini barangkali membuat kita lebih waspada. ini
mencegah kita mengatakan hal-hal yang mungkin terasa tidak peka atau tidak patut. Negatifnya, ini membuat kita terlalu
berhati-hati, tidak spontan, dan kurang percaya diri.

 Interaksi Awal dan Perbedaan Antarbudaya[5]


Perbedaan antarbudaya terutama penting dalam interaksi awal dan secara berangsur berkurang tingkat kepentingannya
ketika hubungan menjadi lebih akrab. Walaupun kita selalu menghadapi kemungkinan salah persepsi dan salah menilai
orang lain, kemungkinan ini khususnya besar dalam situasi komunikasi antarbudaya.

 Memaksimalkan Hasil Interaksi[5]


Dalam komunikasi antarbudaya - seperti dalam semua komunikasi - kita berusaha memaksimalkan hasil interaksi. Tiga
konsekuensi yang dibahas oleh Sunnafrank (1989) mengisyaratkan implikasi yang penting bagi komunikasi antarbudaya.
Sebagai contoh, orang akan berintraksi dengan orang lain yang mereka perkirakan akan memberikan hasil positif. Karena
komunikasi antarbudaya itu sulit, anda mungkin menghindarinya. Dengan demikian, misalnya anda akan memilih berbicara
dengan rekan sekelas yang banyak kemiripannya dengan anda ketimbang orang yang sangat berbeda.
Kedua, bila kita mendapatkan hasil yang positif, kita terus melibatkan diri dan meningkatkan komunikasi kita. [5] Bila kita
memperoleh hasil negatif, kita mulai menarik diri dan mengurangi komunikasi. [5]
Ketiga, kita mebuat prediksi tentang mana perilaku kita yang akan menghasilkan hasil positif. [5] dalam komunikasi, anda
mencoba memprediksi hasil dari, misalnya, pilihan topik, posisisi yang anda ambil, perilaku nonverbal yang anda tunjukkan,
dan sebagainya.[5] Anda kemudian melakukan apa yang menurut anda akan memberikan hasil positif dan berusaha tidak
melakkan apa yang menurut anda akan memberikan hasil negatif. [5]

[sunting]Refenrensi

ab
1. ^     Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss. Human Communication :Konteks-konteks Komunikasi. 1996. Bandung.
Remaja Rosdakarya. Hal. 236-238
2. ^ Andrik Purwasito. Komunikasi Multikultural. 2003. Surakarta. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Hal. 123
ab
3. ^     Fred E. Jandt. Intercultural Communication, An Introduction. 1998. London. Sage Publication. Hal. 36
abcdefghijklmnopqr
4. ^                                     Alo Liliweri. Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. 2003. Yogyakarta. Pustaka
Pelajar. Hal. 11-12,36-42
abcdefghijklmn
5. ^                             Joseph A. Devito. Komunikasi Antarmanusia. Kuliah Dasar. Jakarta. Professional Books.
Hal. 479-488
Definisi yang pertama dikemukakan didalam buku “Intercultural Communication: A Reader” dimana dinyatakan
bahwa komunikasi antar budaya (intercultural communication) terjadi apabila sebuah pesan (message) yang harus dimengerti
dihasilkan oleh anggota dari budaya tertentu untuk konsumsi anggota dari budaya yang lain (Samovar & Porter, 1994, p. 19).
Definisi lain diberikan oleh Liliweri bahwa proses komunikasi antar budaya merupakan interaksi antarpribadi dan komunikasi
antarpribadi yang dilakukan oleh beberapa orang yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda (2003, p. 13). Apapun
definisi yang ada mengenai komunikasi antar budaya (intercultural communication) menyatakan bahwa komunikasi antar budaya
terjadi apabila terdapat 2 (dua) budaya yang berbeda dan kedua budaya tersebut sedang melaksanakan proses komunikasi.

Hambatan Komunikasi Antar Budaya


Hambatan komunikasi atau yang juga dikenal sebagai communication barrier adalah segala sesuatu yang menjadi penghalang
untuk terjadinyakomunikasi yang efektif (Chaney & Martin, 2004, p. 11). Contoh dari hambatan komunikasi antabudaya adalah
kasus anggukan kepala, dimana di Amerika Serikat anggukan kepala mempunyai arti bahwa orang tersebut mengerti sedangkan di
Jepang anggukan kepala tidak berarti seseorang setuju melainkan hanya berarti bahwa orang tersebut mendengarkan. Dengan
memahami mengenai komunikasi antar budaya maka hambatan komunikasi (communication barrier) semacam ini dapat kita lalui.

Jenis-Jenis Hambatan Komunikasi Antar Budaya


Hambatan komunikasi (communication barrier) dalam komunikasi antar budaya (intercultural communication) mempunyai bentuk
seperti sebuah gunung es yang terbenam di dalam air. Dimana hambatan komunikasi yang ada terbagi dua menjadi yang diatas air
(above waterline) dan dibawah air (below waterline). Faktor-faktor hambatan komunikasi antar budaya yang berada dibawah air
(below waterline) adalah faktor-faktor yang membentuk perilaku atau sikap seseorang, hambatan semacam ini cukup sulit untuk
dilihat atau diperhatikan. Jenis-jenis hambatan semacam ini adalah persepsi (perceptions), norma (norms), stereotip (stereotypes),
filosofi bisnis (businessphilosophy), aturan (rules),jaringan (networks), nilai (values), dan grup cabang (subcultures group).

Sedangkan terdapat 9 (sembilan) jenis hambatan komunikasi antar budaya yang berada diatas air (above waterline). Hambatan
komunikasi semacam ini lebih mudah untuk dilihat karena hambatan-hambatan ini banyak yang berbentuk fisik.
Hambatan-hambatan tersebut adalah (Chaney & Martin, 2004, p. 11 – 12):
1. Fisik (Physical)
Hambatan komunikasi semacam ini berasal dari hambatan waktu, lingkungan, kebutuhan diri, dan juga media fisik.
2. Budaya (Cultural)
Hambatan ini berasal dari etnik yang berbeda, agama, dan juga perbedaan sosial yang ada antara budaya yang satu dengan yang
lainnya.
3. Persepsi (Perceptual)
Jenis hambatan ini muncul dikarenakan setiap orang memiliki persepsi yang berbeda-beda mengenai suatu hal. Sehingga untuk
mengartikan sesuatu setiap budaya akan mempunyai pemikiran yang berbeda-beda.
4. Motivasi (Motivational)
Hambatan semacam ini berkaitan dengan tingkat motivasi dari pendengar, maksudnya adalah apakah pendengar yang menerima
pesan ingin menerima pesan tersebut atau apakah pendengar tersebut sedang malas dan tidak punya motivasi sehingga dapat
menjadi hambatan komunikasi.
5. Pengalaman (Experiantial)
Experiental adalah jenis hambatan yang terjadi karena setiap individu tidak memiliki pengalaman hidup yang sama sehingga
setiap individu mempunyai persepsi dan juga konsep yang berbeda-beda dalam melihat sesuatu.
6. Emosi (Emotional)
Hal ini berkaitan dengan emosi atau perasaan pribadi dari pendengar. Apabila emosi pendengar sedang buruk maka hambatan
komunikasi yang terjadi akan semakin besar dan sulit untuk dilalui.
7. Bahasa (Linguistic)
Hambatan komunikasi yang berikut ini terjadi apabila pengirim pesan (sender)dan penerima pesan (receiver) menggunakan bahasa
yang berbeda atau penggunaan kata-kata yang tidak dimengerti oleh penerima pesan.
8. Nonverbal
Hambatan nonverbal adalah hambatan komunikasi yang tidak berbentuk kata-kata tetapi dapat menjadi hambatan komunikasi.
Contohnya adalah wajah marah yang dibuat oleh penerima pesan (receiver) ketika pengirim pesan (sender) melakukan
komunikasi. Wajah marah yang dibuat tersebut dapat menjadi penghambat komunikasi karena mungkin saja pengirim pesan akan
merasa tidak maksimal atau takut untuk mengirimkan pesan kepada penerima pesan.
9. Kompetisi (Competition)
Hambatan semacam ini muncul apabila penerima pesan sedang melakukan kegiatan lain sambil mendengarkan. Contohnya adalah
menerima telepon selular sambil menyetir, karena melakukan 2 (dua) kegiatan sekaligus maka penerima pesan tidak akan
mendengarkan pesan yang disampaikan melalui telepon selularnya secara maksimal.

BAB I
PENDAHULUAN
1.
1. Latar Belakang Masalah

Di Indonesia, Komunikasi antara budaya belum secara serius mendapatkan tempat sebagai suatu kajian
penting, sehingga sampai saat ini masih sulit ditemui buku yang menjelaskan secara lengkap tentang definisi
dari komunikasi antar budaya itu sendiri. Padahal komunikasi antar budaya di Indonesia sangatlah penting
karena pada kenyataannya kehidupan masyarakat dan budaya Indonesia sangatlah heterogen yang terdiri
dari berbagai suku bangsa, bahasa, agama, ras, budaya, dan istiadat. Sebagaimana dituangkan dalam
semboyang Bhineka Tunggal Ika yang artinya berbeda tetapi tetap satu. Lebih dari 350 bahasa daerah
berkembang di Indonesia dan ratusan etnis tersebar diberbagai wilayah. Kehidupan majemuk bangsa
Indonesia yang kompleks ditandai dengan kenyataan latar belakang social budaya etnis yang berbeda-beda.
Dengan kenyataan tersebut tidaklah mudah bagi bangsa Indonesia untuk mewujudkan suatu integrasi dan
menghindari konflik atau bahkan perpecahan (DeVito 1997).
Komunikasi antar budaya kala menjadi semakin penting karena meningkatnya mobilitas orang diseluruh
dunia, saling ketergantungan Ekonomi diantara banyak Negara, kemajuan Teknologi Komunikasi, perubahan
pola imigrasi dan politik membutuhkan pemahaman atas kultur yang berbeda-beda (DeVito 1997). Komuniasi
antara budaya sendiri lebih menekankan aspek utama yakni komunikasi antar pribadi diantara Komunikator
dan Komunikan yang kebudayaannya berbeda (Mulyana 1990) .
1.
1. Tujuan

Makalah ini bertujuan untuk menjelaskan tentang komunikasi antar budaya yang terjadi diantara dua orang
yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda berarti mereka memiliki perbedaan kepribadian dan
persepsi terhadap relasi antar pribadi. Ketika A dan B dengan budaya yang berbeda bercakap-cakap itulah
yang disebut Komunikasi antar Budaya karena dua pihak “menerima” perbedaan diantara mereka sehingga
bermanfaat untuk menurunkan tingkat ketidakpastian dan kecemasan dalam relasi antar pribadi.
BAB II
PEMBAHASAN
1.1. Penjelasan

Komunikasi antar budaya adalah seni untuk memahami dan dipahami oleh khalayak yang memiliki
kebudayaan lain. (Sitaram, 1970). Komunikasi bersifat budaya apabila terjadi diantara orang-orang yang
berbeda kebudayaan. (Rich, 1974). Komunikasi antarbudaya adalah komunikasi yang terjadi dalam suatu
kondisi yang menunjukan adanya perbedaan budaya seperti bahasa, nilai-nilai, adat, kebiasaan. (Stewart,
1974). Komunikasi antarbudaya menunjuk pada suatu fenomena komunikasi di mana para pesertanya
memiliki latar belakang budaya yang berbeda terlibat dalam suatu kontak antara satu dengan lainnya, baik
secara langsung atau tidak langsung. (Young Yung Kim, 1984)

Dari defenisi tersebut nampak jelas penekanannya pada perbedaan kebudayaan sebagai faktor yang
menentukan dalam berlangsungnya proses komunikasi dan interaksi yang terjadi di dalamnya. Karena itu
dua konsep terpenting di sini adalah kontak dan komunikasi merupakan ciri yang membedakan studi
Komunikasi Antar-Budaya dari studi-studi antropologi dan psikologi lintas budaya yang berupaya
mendeskripsikan kebudayaan-kebudayaan antarbudaya.

Sejauh ini upaya pemerhati Komunikasi Antar-Budaya lebih banyak diarahkan pada aspek intracultural atau
pun crosscultural, buakan studi-studi intercultural dari komunikasi. Sebagaimana tradisi penelitian
antropologi dan psikologi lintas budaya (cross-cultural psycology), kebanyakan dari kegiatan penelitian
memusatkan perhatian pada ; pola-pola komunikasi dalam kebudayaan-kebudayaan tertentu, studi
komparatif lintas budaya mengenai fenomena-fenomena komunikasi.
1.2. Dimensi Komunikasi Antar-Budaya

Untuk mencari kejelasan dan mengintegrasikan berbagai konseptualisasi tentang kebudayaan dalam
konteks Komunikasi Antar-Budaya, ada tiga dimensi yang perlu diperhatikan:
1. Tingkat masyarakat kelompok budaya dari partisipan;
2. Konteks sosial tempat terjadinya Komunikasi Antar-Budaya
3. Saluran yang dilalui oleh pesan-pesan Komunikasi Antar-Budaya (baik yang verbal maupun non-
verbal).
Dimensi pertama menunjukan bahwa istilah kebudayaan telah digunakan untuk merujuk pada macam-
macam tingkat lingkupan dan kompleksitas dari organisasi sosial. Umumnya istilah kebudayaan mencakup
beberapa pengertian sebagai berikut:

1. Kawasan di dunia, misalnya; budaya Timur, budaya Barat.

2. Subkawasan-kawasan di dunia, budaya Amerika Utara, Asia Tenggara.

3. Nasional/negara, misalnya budaya Indonesia, budaya Perancis, budaya Jepang.

4. Kelompok-kelompok etnik-ras dalam negeri seperti, Cina, Jawa, Negro

5. Macam-macam subkelompok sosiologis berdasarkan kategori jenis kelamin, kelas sosial (budaya
hippiis, budaya kaum gelandangan, budaya penjara)
Dimensi kedua menyangkut Konteks Sosial, meliputi bisnis, organisasi, pendidikan, akulturasi imigran
politik, konsultasi terapi, dan sebagainya. Komunikasi dalam semua konteks sosial tersebut pada dasarnya
memilih persamaan dalam hal unsur-unsur dasar an proses komunikasi (misalnya menyangkut
penyampaian, penerimaan dan pemrosesan). Tetapi adanya pengaruh kebudayaan yang tercakup dalam
latarbelakang pengalaman individu membentuk pola-pola persepsi pemikiran, penggunaan pesan-pesan
verbal dan non-verbal serta hubungan-hubungan antaranya. Maka variasi kontekstual misalnya; komunikasi
antara orang Indonesia dengan Jepang dalam suatu transaksi dagang akan berbeda dengan interaksi dalam
peran sebagai dua orang mahasiswa. Dengan demikian, konteks sosial memberikan tempat khusus pada
para partisipan, hubungan-hubungan antarperan, ekspektasi-ekspektasi, norma-norma dan aturan tingkah
laku yang khusus.
Dimensi ketiga berkaitan dengan saluran komunikasi. Dimensi ini menunjukan tentang saluran apa yang
dipergunakan dalam Komunikasi Antar-Budaya. Secara garis besar saluran dapat dibagi atas:
1. Antarpribadi
2. Media massa
3. Bersama-sama dengan dua dimensi sebelumnya, saluran komunikasi juga mempengaruhi proses dan
hasil keseluruhan dari Komunikasi Antar-Budaya. Misalnya orang Indonesia menonton melalui TV
keadaan kehidupan di Afrika, akan memiliki pengalaman yang berbeda dengan keadaan, apabila ia
sendiri berada di sana dan melihat dengan keala sendiri. Umumnya pengalaman antarpribadi dianggap
dapat memberikan dampak yanng lebih mendalam.
Ketiga dimensi di atas dapat digunakan secara terpisah ataupun bersamaan, dlam mengklasifikasi fenomena
Komunikasi Antar-Budaya. Misalnya kita dapat mengambarkan komunikasi antara presiden Indonesia
dengan dubes baru dari Nigeria sebagai komunikasi internasional, antarpribadi dalam konteks politik. Maka
apapun tingkat keanggotaan kelompok konteks sosial dan saluran komunikasi, komunikasi dianggap
antarbudaya apabila para komunikator yang menjalin kontak dan interaksi mempunyai latarbelakang
pengalaman budaya berbeda.
3. Hubungan Tmbal Balik antara Komunikasi dengan Kebudayaan
Unsur-unsur pokok yang mendasari proses komunikasi antarbudaya adalah konsep-konsep tentang
‘kebudayaan’ dan ‘komunikasi’. Hal ini ditekankan oleh Sarbaugh (1979) yang menyatakan bahwa pengertian
tentang komunikasi antarbudaya memerlukan suatu pemahaman tentang konsep-konsep komunikasi dan
kebudayaan serta adanyasaling ketergantungan antar keduanya. Saling ketergantungan ini dapat terbukti
apabila disadari bahwa:
1) Pola-pola komunikasi yang khas dapat berkembang atau berubah dalam suatu keompok kebudayaan
tertentu;
2) Kesamaan tingkah laku antara satu generasi dengan generasi berikutnya hanya dimungkinkan berkat
digunakannya sarana-sarana komunikasi.

Sementara Smith (1966) menerangkan hubungan yang tidak terpisahkan antara komunikasi dan budaya
sebagai berikut:
1) Kebudayaan meruakan suatu kode atau kumpulan peraturan yang dipelajari dan dimiliki bersama.

2) Untuk mempelajari dan memiliki bersama diperlukan komunikasi, sedangkan komunikasi memerlukan
kode-kode dan lambang-lambang yang harus dipelajari dan dimiliki bersama.
Untuk lebih mengerti hubungan komunikasi dengan kebudayaan bisa ditinjau dari sudut pandang
perkembangan masyarakat, perkembangan kebudayaan, dan peranan komunikasi dalam proses
perkembangan tersebut. Perkembangan mencerminkan hubungan terus menerus dan berlangsung dan di
mana simbol dan lambang berlangsung dalam proses resiprokal (timbal-balik) antara orang-orang didalamnya.
1.4. Unsur-unsur Kebudayaan
Karena kebudayaan memberikan identitas pada sekelompok manusia, maka muncul suatu persoalan yakni
bagaimana cara kita mengidentifikasi aspek-aspek atau unsur-unsur kebudayaan yang membedakan satu
kelompok masyarakat budaya dari kelompok masyarakat budaya lainnya. Samovar (1981) membagi
berbagai aspek kebudayaan kedalam tiga pembagian besar unsur-unsur sosial budaya yang secara langsung
sangat mempengaruhi penciptaan makna untuk persepsi, yang selanjutnya menentukan tingkah laku
komunikasi.
Pengaruh-pengaruh terhadap komunikasi ini sangat beragam dan mencakup semua segi kegiatan sosial
manusia. Dalam proses Komunikasi Antar-Budaya unsur-unsur yang sangat menentukan ini bekerja dan
berfungsi secara terpadu bersama-sama seperti komponen dari suatu sistem stereo, karena masing-
maasing saling membutuhkan dan berkaitan. Tetapi dalam penelaahan, unsur-unsur tersebut dipisah-
pisahkan agar dapat diidentifikasi dan ditinjau secara satu persatu. Unsur-unsur sosial budaya tersebut
adalah:

1) Sistem keyakinan, nilai dan sikap.

2) Pandangan hidup tentang dunia.

3) Organisasi sosial.
Pengaruh ketiga unsur kebudayaan tersebut pada makna untuk persepsi terutama pada aspek individual dan
subjektifnya. Kita semua mungkin akan mlihat suatu obbjek atau peristiwa sosial yanng sama dan
memberikan makna objektif yang sama, tetapi makna individualnya tidak mustahil akan berbeda. Misalnya
orang Amerika dengan Arab sepakat menyatakan seseorang wanita berdasarkan wujud fisiknya. Tetapi
kemungkinan besar keduanya akan berbeda pendapat tentang bagaimana wanita itu dalam makna
sosialnya. Orang Amerika memandang nilai kesetaraan antara pria dengan wanita, sementara orang Arab
memendang wanita cenderung menekankan wanita sebagai ibu rumah tangga.
1.5 Peranan Persepsi Dalam Komunikasi Antar Budaya
Persepsi individu mengenai dunia sekelilingnya, orang, benda, dan peristiwa mempengaruhi berlangsungnya
Komunikasi Antar-Budaya. Pemahaman dan penghargaan akan perbedaan persepsi diperlukan jika ingin
meningkatkan kemampuan menjalin hubungan dengan orang yang berbeda budaya. Kita harus belajar
memahami referensi perseptual mereka, sehingga kita akan mampu memberikan reaksi yang sesuai dengan
ekspektasi dalam budaya mereka. Karenanya pengertian secara umum tentang persepsi diperlukan sebagai
landasan memahami hubungan antara kebudayaan dan persepsi.
Persepsi merupakan proses internal yang dilalui individu dalam menseleksi, dan mengatur stimuli yang
datang dari luar. Secara sederhana persepsi dapat dikatakan sebagai proses individu dalam melakukan
kontak/hubungan dengan dunia sekelilingnya. Dengan cara mendengar, melihat, meraba, mencium dan
merasa kita dapat mengenal lingkungan dan sadar apa yang terjadi di luar diri kita. Apa yang terjadi
sebenarnya ialah bahwa kita menciptakan bayang-bayang internal tentang objek fisik dan sosial serta
peristiwa-peristiwa yang dihadapi dalam lingkungan. Dalam hal ini masing-masing individu berusaha untuk
memahami lingkungan melalui pengembangan struktur, stabilitas, dan makna bagi persepsinya.
Pengembangan ini mencakup kegiatan-kegiatan internal yang mengubah sistem stimuli menjadi impuls-
impuls (rangsangan) yang bergerak melalui sistem syaraf ke otak, serta mengubahnya lagi ke dalam
pengalaman-pengalaman yang bermakna. Kegiatan internal perseptual ini dipelajari. Setiap orang lahir
sudah dengan alat-alat fisik yang penring bagi persepsi, seperti halnya dengan alat untuk mampu berjalan.
Dalam hal ini orang haru belajar untuk mencapai kemampuan tersebut. Secara umum proses persepsi
melibatkan tiga aspek :
1. Struktur
Jika kita menutup mata, memalingkan muka dan dan kemudian membuka mata, kita akan melihat
lingkungan yanng terstruktur dan terorganisasikan. Apa yang kita hadapi mempunyai bentuk, ukuran,
tekstur, warna, intensitas, dan lain-lain. Bayangan kita mengenai lingkungan merupakan hasil dari
kegiatan kita secara aktif memproses informasi, yang mencakup seleksi dan kategorisasi
input/masukan. Kita mngembangkan kemampuan membentuk struktur ini dengan mempelajari
kategorisasi-kategorisasi untuk memilah-milah stimjulasi eksternal.
Kategorisasi untuk mengkalsifikasikan lingkungan ini dapat berbeda-beda antara orang yang satu
dengan lainnya. Kategori tergantung pada sejarah pengalaman dan pengetahuan kita. Misalnya kata
‘rumah’ konsep fisiknya akan berbeda antara orang asia dengan orang eskimo.
Objek-objek sosial dan fisik juga akan mempunyai struktur yang berbeda-beda tergantung pada
kebutuhan saat itu. Fungsi misalnya bisa digunakan sebagai kategori. Dalam membeli pena kita
mempunyai beberpa kategori seperti warna, ukuran dan sebagainya.
2. Stabilitas
Dunia realitas yanng berstruktur tadi mempunyai kelanggengan, dalam arti tidak selalu berubah-ubah.
Melalui pengalaman kita mengetahui bahwa tingi/besar seseorang tetap , walajupun dari bayangan
terfokus pada mata kita berubah seiring dengan perbedaan jarak. Walaupun alat-alat panca indera kita
sangat sensitif, kita mampu untuk secara intern menghaluskan perbedaan-perbedaan atau perubahan-
perubahan dari input sehingga dunia luar tidak berubah-ubah.
3. Makna
Persepsi bermakna dimungkinkan karena persepsi-persepsi terstruktur dan stabil tidak
terasingkan/terlepas satu sama lain, melainkan berhubungan setelah selang beberapa waktu. Jika
tidak, maka setiap masukan yang sifatnya perseptualakan ditangkap sebagai sesuatu yang baru. Dan
akibatnya kita akan selalu berada dalam keadaan heran/terkejut/aneh dan gtiak ada yag nampak
familiar bagi kita.
Makna berkembang dari pelajaran dan pengalaman kita masa lalu, dan dalam kegiatan yang ada tujuannya.
Kita belajar mengemangkan aturan-atruan bagi usaha dan tujuan yang ingin dicapai. Dengan atruan-aturan
ini kita kita bertindak sebagai pemroses aktif dari stimulasi kita mengkategorisaikan peristiwa-peristiwa di
masa lalau dan sekarang. Kita menjadi pemecah masalah yang aktif dalam usaha mencari makna dari
lingkunagan kita. Artinya, kita belajar untuk memberi makna pada persepsi-persepsi kita yang dianggap
masuk akal jika dihubungkan dengan pengalaman masa lalu, tindakan dan tujuan masa sekarang, dan
antisipasi kita tentang masa depan.
Suatu hal yang pokok dalam makna ini adalah sistem kode bahasa. Dengan kemampuan bahasa, kita dapat
menangkap stimulasi eksternal dan menghasilkan makna dengan memberi warna dan merumuskan
kategorinya. Dengan memberi kode secara linguistik pada pengalaman-pengalaman, kita dapat mengingat,
memanipulasi, dan membagi bersama dengan orang lain, serta menghubungkan mereka pada pengalaman-
pengalaman lain melalui penggunaan kata-kata yang mencerminkan pengalaman-pengalaman itu. Makna,
karenanya, tidak dapat dilepaskan dari kemampuan bahasa dan tergantung pada penggunaan kta atas kata-
kata yang dapat memberi gambaran secara tepat
1.6. Dimensi-dimensi Persepsi
Kita telah membahas sebelumnya bahwa persepsi tentang lingkungan fisik dan sosial merupakan kegiatan
internal dalam menangkap stimuli dan kemudian memrosesnya melalui sistem syaraf dan otak sampai
akhirnya tercipta struktur, stabilitas, dan makna darinya. Untuk memahami bekerjanya proses tersebut, kita
harus menyadari akan adanya dua dimensi pokok fundamental dari persepsi:
1) Dimensi fisik (mengatur/mengorganisasi)
2) Dimensi psikologis (menafsirkan).
Kedua dimensi ini secara bersama-sama bertanggungjawab atas hasil-hasil persepsi, sehingga pengertian
tentangnya akan memberi gambaran tentang bagaimana persepsi terjadi.
1) Dimensi Persepsi secara Fisik
Sekaliun dimensi fisik ini merupakan tahp penting dari persepsi, tetapi untuk tujuan kita mempelajari
KAB, hanya merupakan tahap permulaan dan tidak berapa perlu untuk terlali didalami. Dimensi ini
menggambarkan perolehan kita akan informasi tentang dunia luar. Tahap permulaan ini mencakup
karateristik-karakteristik stimuli yang berupa energi, hakikat dan fungsi mekanisme penerimaan
manusia (mata, telinga, hidung, mulut, dan kulit) serta transmisi data melalui syaraf menuju otak,
untuk kemudian diubah ke dalam bentuk yang bermakna.

Bagaimana bekerjanya anggota tubuh manusia pada tahap ini dapat dikatakan sama antara satu orang
dengan orang lainnya, baik yang berasal dari kebudayaan yang sama ataupun berbeda. Karena setiap
orang pada dasarnya memiliki mekanisme anatomis dan biologis yang sama, yang menghubungkan
mereka dengan lingkungannya.
2) Dimensi Persepsi secara Psikologis

Dibandingkan denga penanganan stimuli secara fisik, keadaan individu (seperti kepribadian,
kecerdasan, pendidikan, emosi, keyakinan, nilai, sikap, motivasi dan lain-lain) mempunyai dampak
yang jauh lebih menentukan terhadap persepsi mengenai lingkungan dan perilaku. Dalam tahap ini,
setiap individu menciptakan struktur, stabilitas, dan makna dalam persepsinya, serta memberikan sifat
yang pribadi dan penafsiran mengenai dunia luar.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita menerima begitu sbanyak masukanpesan. Misalnya ketika membaca
buku, selain kata-kata yang ada dalam buku tersebut, kita juga akan menerima pesanlainnya seperti suhu
udara dalam ruangan tempat kita berada, kondisi kursi yang diduduki, suara air di kamar mandi, suara anak
yang menangis, dan berbagai stimulus lainnya yang ada di sekitar kita. Semus stimulus ini secara
bermasaan akan ikut mempengaruhi proses kegiatan kita dalam membaca buku. Namun demikian, dalam
praktiknya tidak mungkin kita mengolah semua masukan pesan yang kita terima. Dengan kata lain kita
melakukan penyeleksian terhadap semua stimulus yang kita terima. Proses penseleksian ini terjadi secara
cepat (dalam beberapa detik saja),dan mungkin secara spontan atau dalam keadaan tidak sadar.
Keputusan untuk menyeleksi semua masukan pesan yang akan diberi makna secara langsung berhubungan
dengan kebudayaan kita. Selama hidup kita telah belajar, baik selaku individu ataupun selaku anggota dari
suatu kelompok kebudayaan tertentu. Ini berarti bahwa kebudayaan memang mempunyai pengruh pada
proses dan hasil persepsi.

Proses seleksi dalam persepsi mengenai suatu objek dan lingkungan sekelilingnya, menurut Samovar (1981)
secara umum melibatkan tiga yang saling berkaitan yakni:
1. Selective exposure (seleksi terhadap pengenaan pesan/ stimulus)
2. Selective attention (seleksi dalam hal perhatian)

3. Selective retention (seleksi yang menyangkut retensi/ ingatan).


BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN

Dengan mengetahui ciri dasar budaya dari tiap-tiap suku bangsa akan mengurangi keterkejutan budaya
(gegar budaya), memberikan kepada kita wawasan terlebih dahulu dan memudahkan kita untuk berinteraksi
dengan suku bangsa lain yang sebelumnya sulit kita lakukan. Dari interaksi ini selanjutnya akan cenderung
terjadi relasi.
Sebenarnya keanekaragaman budaya bukanlah sesuatu yang akan hilang pada waktu mendatang yang
memungkinkan kita merencanakan strategi berdasarkan asumsi saling memahami. Dari sini kemudian akan
timbul empathy dari diri kita terhadap orang-orang dari suku bangsa lain. Adanya saling memahami dan
pengertian di antara orang-orang berbeda budaya akan mengurangi konflik
yang selama ini sering terjadi. Konflik biasanya terjadi karena berbedanya persepsi mengenai nilai- nilai
antarbudaya.

Tapi kita harus optimis mengenai perbedaan budaya di Indonesia. Karena pada dasarnya. hal itu merupakan
salah satu kekayaan dari Negara Republik Indonesia, Dan ini adalah tantangan bagi kita, terutama bagi
mereka yang berkecimpung dalam bidang ilmu komunikasi
1. SARAN-SARAN

Dengan selesainya Makalah Komunikasi Antar-Budaya ini, maka kami dari penyusun mengharapkan kritik dan
saran yang membangun dari berbagai pihak, sehingga Makalah kami dapat lebih sempurna. Sebab dalam
penyusunan Makalah ini masih terdapat banyak kekurangan.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. A. Mulyana, Teori Komunikasi-modul 14,2008. kuliah.dagdigdug.com Komunikasi Antarbudaya Oleh : Dra. Hj.
Dewi Widowati, M.Si.

KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA DALAM BERBAGAI SITUASI PERBEDAAN


KEBUDAYAAN
1. Situasi Komunikasi Antar Pribadi – Antar Budaya
Jika kita bicara tentang komunikasi antar pribadi, maka yang dimaksud
adalah dua atau lebih orang terlibat dalam komunikasi verbal atau nonverbal secara
langsung. Apabila kita tambahkan dimensi perbedaan kebudayaan ke dalamnya,
maka kita berbicara tentang komunikasi antar budaya. Maka acapkali dikakatakan
juga bahwa KAB merupakan komunikasi antar pribadi dengan perhatian khusus pada
faktor-faktor kebudayaan yang mempengaruhinya.
1.1 Prinsip-prinsip Hubungan Antar Pribadi :
KAB sangat berkaitan dengan persepsi mengenai orang lain dan akibat dari
persepsi tersebut dapat sifat hubungan yang terbentuk. Misalnya, jika kita
mempersiapkan orang lain memiliki nilai-nilai yang sama dengan kita sendiri, maka
kita akan lebih tertarik padanya. Atau kita mendapatkan bahwa seseorang, selain
bersifat ramah, juga luas pengetahuannya mengenai sesuatu topik yang kita
senangi, maka komunikasi antar pribadi meningkat dan terus berkembang
berdasarkan persepsi tadi. Dalam hubungan antar pribadi ada beberapa konsep
mendasar :
1.1.1. Homofilli :
Yakni derajat kesamaan antara individu-individu yang terlibat dalam
interaksi antar pribaid. Seringkali kita mendapatkan bahwa kita lebih
percaya pada orang-orang yang sudah dikenal dari pada orang yang masih
asing. Atau kadan-kadang sesudah berkenalan dengan seseorang, kita
merasakan telah menemukan kecocokan dengannya. Salah satu hal yang
dapat menjelaskan keadaan ini adalah persepsi akan identifikasi, yakni
dirasakan terdapat semacam hubungan karena adanya kesamaan, baik
dalam segi penampilan, unsur, pendidikan, etnisitas, tempat tinggal atau
wilayah geografik, pandangan politik, moral dan lain-lain.
1.1.2 Kredibilitas :
Percaya tidaknya seseorang kepada orang lain tergantung kepada beberapa
faktor yang mempengaruhi kreativitas komunikasi :
(a). Kompetensi : dengan kemampuan untuk menyelesaikan sesuatu
yang dipersepsikan dengan orang lain.
(b). Karakter : persepsi tentang moral, nilai-nilai, etika, dan integritas
dari komunikasi
(c). Ko-orientasi : derajat kesamaan yang dipersepsikan mengenai
tujuan-tujuan dan nilai-nilai.
(d). Kharisma : derajat kepercayaan akan kualitas-kualitas
kepemimpinan khusus yang dipersepsikan, terutama
dalam keadaan-keadaaan krisis dan menentukan.
(e). Dinamika : derajat tentang entusiasme dan perilaku-perilaku
nonverbal yang dipersepsikan.
(f). Jiwa sosial : derajat keramahan yang dipersepsikan.
1.1.3 Kesediaan membukan diri (Self-Disclosure) :
Terjadi bilamana seseorang menyampaikan informasi tentang dirinya sendiri
pada orang lain. Penelitian telah menunjukkan hubungan erat antara
kesediaan membuka diri dengan kepercayaan, kesukaan dan sama-sama
membuka diri. Jika saling percaya antar pribadi meningkat, maka
kesediaaan membuka diri juga semakin meningkat. Sebaliknya, dengan
adanya kesediaan membuka diri, maka lebih besar kemungkinannya bahwa
2002 digitized by USU digital library 28
kesukaan terhadap orang lain akan terjadi. Walaupun belum tentu setiap
keterbukaan diri pasti menghasilkan dampak positif, tetapi iklim kesediaan
membuka diri dapat menghasilkan kepercayaan sebagaimana kepercayaan
membuka diri pada salah satu pihak cenderung untuk mendorong kesediaan
membuka diri pada pihak lainnya. Beberapa penelitian telah menunjukkan
adanya perbedaan antara kelompok pria dan wanita di AS. Wanita
cenderung lebih bersedia membuka diri dibandingkan dengan pria, apalagi
terhadap orang-orang yang sudah mereka kenal.
1.1.4 Dominasi dan Submisi :
Sebagaimana halnya dengan dunia binatang, kehidupan manusia diwarnai
oleh sifat, dominasi-submisi, misalnya antara majikan dan bawahan, dokterpasien,
orang tua-anak, guru-murid, dll. Sifat hubungan ini dipengaruhi oleh
beberapa faktor yang berhubungan dengan kebudayaan seperti :
(a) Peranan :
seseorang akan berkomunikasi dan berperilaku tertentu karena peranan
sosialnya menuntut demikian. Misalnya seseorang yang nampaknya galak
dan keras dalam melaksanakan pekerjaannya di kantor, ternyata dapat
berlaku simpatik dan menyenangkan dengan keluarga dan temantemannya.
(b). Status :
Persepsi mengenai status orang lain dapat mempengaruhi sifat hubungan
dominasi-submisi. Dalam kebudayaan-kebudayaan Asia, Afrika dan Timur
Tengah, umur merupakan indikator status. Tidak demikian halnya dengan
di AS. Seringkali dinasehatkan pada orang-orang AS yang bekerja dalam
situasi internasional, agar mengikuti dan menghargai norma-norma yang
berlaku di masyarakat setempat.
1.1.5 Formalitas :
Persepsi mengenai derajat formalitas yang kita anggap sesuai bagi sifat
hubungan. Misalnya, dengan kawan sejawat, tidak perlu formalitas. Konsep
formalitas – informalitas juga penting artinya dalam KAB. Contohnya,
seseorang yang berasal dari kebudayaan yang memandang hpenting
struktur hierarki dalam hubungan antar pribadi, bertemu dengan seseorang
yang menganggap hubungan sebaiknya bersifat sejajar, maka akan timbul
kesulitan. Orang pertama akan berbicara secara informal dengan
menggunakan nama kecil, sedangkan orang kedua lebih memilih untuk
dipanggil dengan titel lengkap. Hal demikian akan menimbulkan suasana
tidak nyaman bahkan memalukan.
1.1.6 Ketertarikan antar Pribadi (interpersonal attraction)
Orang biasanya mengembangkan sikap positif terhadap orang-orang lain
dari segi kehadirannya, penghargaan terhadap kemampuannya dan
kekaguman akan penampilan. Dari segi pandangan antar budaya, faktorfaktor
penarikan tersebut dapat dilihat secara tersendiri. Keindahan fisik,
misalnya, tidak saja ditentukan secara pribadi, tetapi juga banyak oleh
norma-norma budaya. Penelitian-penelitian tentang homofili menunjukkan
bahwa ketertarikan antar pribadi dapat didasarkan pada similititas etnik atau
rasial. Lebih jauh lagi, ketertarikan antar pribadi antar budaya disebabkan
oleh adanya tujuan ataupun situasi bersama. Misalnya orang-orang yang
mempunyai profesi sama sebagai tukang becak akan memiliki solidaritas
yang besar karena merasakan senasib dalam penderitaan.
1.1.7 Hubungan-hubungan kerja secara antar pribadi :
Banyak prinsip-prinsip management dan prosedur-prosedur kerja standard
yang ternyata tidak dapat diterapkan dalam situasi-situasi antar budaya,
sehingga acapkali diperlukan restrukturisasi organisasi dan perubahan gaya
2002 digitized by USU digital library 29
management untuk memenuhi kebuthan-kebutuhan kebudayaan. Dapat
disebutkan antara lain beberapa hal yang perlu untuk dipahamai karena
faktor perbedaan kebudayaan :
- Kecepatan kerja dan efisiensi
Dalam beberapa kebudayaan, penyelesaian sesuatu pekerjaaan tidak
seberapa dipentingkan untuk mengejar waktu dengan berpatokan pada
efisiensi, tetapi lebih dipentingkan faktor saling menghargai satu sama
lain antara para pekerjaannya dan usaha untuk membina hubungan
antar pribadi dengan sedapatnya melibatkan semua pihak dalam proyek.
- Konsep tentang waktu :
Banyak kebudayaan-kebudayaan seperti di Asia, Afrika dan Amerika
Latin yang tidak memandang waktu sebagai sesuatu yang sangat
dipentingkan seperti uang.
- Kerja dan Persahabatan/Pergaulan :
Ada kebudayaan-kebudayaan yang mencampurkan kerja dengan hiburan
dan membina persahabatan dalam kehidupan sosial. Dipihak lain, ada
kebudayaan-kebudayaan yang secara tegas memisahkan pekerjaan dan
kehidupan sosial.
- Peranan yang diharapkan dari seorang manager :
Dalam beberapa kebudayaan, pihak management diharapkan dapat turut
bertanggung jawab juga atas keseluruhan penghidupan bawahannya,
termasuk masalah-masalah pribadi, kesehatan, kesejahteraan anak, dan
lain-lain.
- Cara membicarakan masalah :
Beberapa kebudayaan, seperti Amerika dan Eropa Utara mengharapkan
orang untuk berbicara langsung menuju sasaran, karena menghemat
waktu yang sangat berharga. Tetapi tidak sedikit juga kebudayaan yang
menganggap tidak sopan untuk berbicara langsung membicarakan
masalah tanpa sebelumnya berbasa-basi, menunggu saatnya yang tepat.

Gegar Budaya sebagai proses Komunikasi Antar Budaya


4 April 2008 in Komunikasi | Tags: culture shock, gegar budaya, komunikasi antar budaya | by dossuwanda

 
7 Votes
Manusia adalah makhluk sosial yang selalu berinteraksi satu sama lain, baik itu dengan sesama, adat istiadat,
norma, pengetahuan ataupun budaya di sekitarnya. Pada kenyataanya seringkali kita tidak bisa menerima atau
merasa kesulitan menyesuaikan diri dengan perbedaan-perbedaan yang terjadi akibat interaksi tersebut, seperti
masalah perkembangan teknologi, kebiasan yang berbeda dari seorang teman yang berbeda asal daerah atau
cara-cara yang menjadi kebiasaan (bahasa, tradisi atau norma) dari suatu daerah sementara kita berasal dari
daerah lain.

Menurut Stewart (1974) Komunikasi antar budaya adalah komunikasi yang terjadi dibawah suatu kondisi
kebudayaan yang berbeda bahasa, norma-norma, adat istiadat dan kebiasaan.
Dalam menjalani proses komunikasi antar budaya pasti akan mengalami suatu keterkejutan budaya yang berbeda
dengan budaya kita. Menurut Dedi Mulyana dalam buku komunikasi antar budaya mengatakan bahwa Gegar
budaya ditimbulkan oleh kecemasan yang disebabkan oleh kehilangan tanda-tanda dan lambang-lambang dalam
pergaulan sosial.

Berikut ini adalah cerita dari salah satu keterkejutan budaya atau gegar budaya yang dialami saat berada di
tempat tugas yang jauh dari daerah asal.

Cerita pertama :
Dua hari setelah di lantik dan menerima SK, saya pergi ke tempat tugas sesuai dengan SK penempatan yaitu di
SMP yang ada di daerah Rangkasbitung. Setelah bertanya-tanya akhirnya sampai juga di tempat yang dituju.

Setelah beberapa lama mengajar di tempat yang baru dengan lingkungan dan dialek bahasa yang sedikit berbeda
dengan daerah asal saya yaitu dari Bandung. Pada prose belajar mengajar saya pernah memarahi seorang murid
yang selalu nakal saat belajar di kelas walau sudah beberapa kali diperingatkan tetapi masih juga membandel.
Akhirnya saya panggil murid tersebut ke ruang guru lalu saya tanya dengan menggunakan bahasa Sunda :
Heh ari maneh kunaon di kelas baong-baong teuing, itu pertanyaan yang saya lontarkan ke murid saya , tetapi
saya kaget mendengar jawaban anak yang menurut saya (kebiasan di Bandung) itu adalah kata-kata melawan
guru.
Jawabnya seperti ini : Pak, ari baong mah abdi moal bisa sakola atuh.
Tadinya saya mau marah karena merasa dilawan. Tapi seorang rekan guru yang kebetulan ada di sana manggil
saya dan bilang, Pak, Kalao marahin anak jangan bilang baong, baong disini berbeda dengan baong di Bandung,
itu katanya, lalu saya tanya memang apa artinya baong di Rangkas. Dia bilang baong di Rangkas katanya “tidak
melihat”. Saya Cuma bisa bilang ohh! begitu, pantas aja anak menjawab “Pak, ari baong mah abdi moal bisa
sakola atuh” artinya kalo tidak melihat dia tidak akan sekolah.

Cerita kedua :
Hari itu saya pergi ke mesjid dekat rumah kontrakan untuk sholat jumat, karena agak terlambat akhirnya saya
kebagian di teras dekat bedug. Setelah sholat sunat saya bersalaman dan duduk, tetapi tidak lama kemudian saya
melihat orang tua yang berkata sambil agak mebentak ke anak-anak yang kebetulan saat itu banyak anak-anak
yang duduk dekat tiang bedug yang ngobrol sambil beracanda.

Ini perkataan orang tua ke anak-anak yang sedang ngobrol:


Hey dak ulang deukeut teuing tihang, “mantog” geura, itu katanya.
Saya mendengar dan sedikit agak bingung juga karena saya pikir kenapa Anak yang mau sembahyang disuruh
“mantog” (dalam bahasa sunda di Bandung mantog adalah bahasa kasar yang artinya pulang atau pergi).

Besoknya saya menceritakan kejadian di mesjid mengenai anak yang di bilang mantog ke teman kerja saya yang
sudah lama bekerja.
Setelah saya cerita ternyata teman saya malah tertawa,….
Saya bingung ko cerita begitu malah ditertawakan, saya desak untuk menjawabnya. Dan akhirnya selesai dia
ketawa lalu menjelaskan maksud dari kata mantog. Dan akhirnya saya juga ikut tersenyum karena sikap saya
tentang kata mantog, ternyata mantog di Bandung bukan berarti mantog di Rangkas, mantog di Rangkas artinya
terbentur (ti dagor) jadi yang dimaksud di atas artinya “Jangan dekat kayu penyangga bedug nanti terbentur
kayu”.

Itulah sebagian kecil dari cerita pengalaman yang dialami yang berhubungan dengan keterkejutan /gegar budaya,
dan mungkin andapun pernah mengalami walau dalam kontek yang berbeda.

3. Komunikasi Antar Budaya dan Perubahan Sosial :


Penelaah tentang KAB tidak akan lengkap tanpa memperhatikan salah satu
bidang penelitian dalam komunikasi, yaitu perubahan sosial pandangan komunikasi
yang mendasari dari perubahan sosial ialah mengenai proses komunikasi antara
orang dengan orang lain tentang suatu pesan, yang disebut difusi.
Difusi inovasi menunjukkan pada penyebaran suatu gagasan, atau teknologi,
yang dianggap “baru” dalam suatu kebudayaan. Kebaruan ini bersifat relatif, karena
suatu inovasi dapat dianggap baru oleh suatu kebudayaan tetapi tidak asing lagi
untuk kebudayaan lain, tergantung dari wilayah geografik sistem sosial budayanya.
Difusi tidak saja menyangkut “siapa berbicara dengan siapa”, tetapi terlebih
lagi merupakan proses komunikasi antar pribadi yang diterapkan dengan tujuan
membujuk, mendorong perubahan sosial atau perkembangan masyarakat. Penelitian
tentang Difusi tidak saja mempelajari sejumlah variabel komunikasi variabel, sosial
dan demografik dalam proses Difusi, tetapi juga menggali akibat-akibat dari
kesadaran mengenai pesan, yakni penerimaan (“adoption”) atau penolakan
(“rejections”) suatu inovasi. Keseluruhan proses memakan beberapa waktu, karena
orang terkena dan memberikan reaksi terhadap pesan dan waktu-waktu yang
berlainan. Maka, difusi merupakan penyebaran informasi baru pada tingkat “grass
roots” yang biasanya diarahkan untuk perubahan sosial.
4. Komunikasi Antar Budaya dan Akulturasi :
Jika seseorang memasuki alam kebudayaan baru, timbul memacam
kegelisahan dalam dirinya. Kecenderungan dalam menghadapi sesuatu yang baru ini
bersifat alami dan normal. Tetapi perasaan itu dapat mengarah pada rasa takut,
tidak percaya diri, tekanan dan frustasi. Apabila hal demikian terjadi pada seseorang,
maka dikatakan ia sedang mengalami “culture shock”, yakni masa khusus transisi
serta perasaan-perasaan unik yang timbul dalam diri orang setelah ia memasuki
suatu kebudayaan baru.
Orang yang mengalami fenomena “culture shock” ini akan merasakan
gejala-gejala fisik seperti pusing, sakit perut, tidak bisa tidur, ketakutan yang
berlebihan terhadap hal yang kurang bersih dan kurang sehat, tidak berdaya dan
menarik diri, takut ditipu, dirampok, dilukai, melamun, kesepian, disorientasi dll.
(Dodd, 1982:97-98). Karena sifatnya yang cenderung disorientasi, “culture shock”,
menghambat KAB yang efektif.
4.1 Tahap-Tahap “Culture Shock”
Tahap-tahap yang dilalui seseorang dalam mengalami proses transisi
tersebut telah diteliti oleh beberapa ahli (Dodd, 1982:98) :
a. “Harapan besar” (“eager expectation”) :
Dalam tahap ini, orang tersebbt merencanakan untuk memasuki kebudayaan
kedua atau kebudayaan baru. Rencana tersebut dibuatnya dengan
bersemangat, walaupun ada perasaan was-was dalam menyongsong
kemungkinan yang bisa terjadi. Sekalipun demikian, ia dengan optimis
menghadapi masa depan dan perencanaan dilanjutkan.
b. “Semua begitu indah” ( everything is beautiful”) :
Dalam tahap ini segala sesuatu yang baru terasa menyenangkan. Walaupun
mungkin beberapa gejala seperti tidak bisa tidur atau perasaan gelisah dialami,
tetapi rasa keingin – tahuan dan entusiasme dengan cepat dapat mengatasi
perasaan tersebut. Beberapa ahli menyebut tahap ini sebagai “bula madu”.
Dari penelitian-penelitian diketahuui bahwa tahap ini biasanya berlangsung
beberapa minggu sampai enam bulan.
c. “Semua tidak menyenangkan” (“everything is awful”)
Masa bulan madu telah usai. Sekarang segala sesuatu telah terasa tidak
menyenangkan. Setelah beberapa lama, ketidak-puasan, ketidak-sabaran,
2002 digitized by USU digital library 31
kegelisahan mulai terasa. Nampaknya semakin sulit untuk berkomunikasi dan
segalanya terasa asing. Untuk mengatasi ras ini ada beberapa cara yang
ditempuh. Seperti dengan cara melawan yaitu dengan mengejek, memandang
rendah dan bertindak secara etnosentrik; kadang-kadang juga melakukan
kekerasan dengan merusah benda-benda secara fisik, sehingga dapat
menimbulkan kesulitan hukum bagi dirinya sendiri. Tahap selanjutnya
melarikan diri dan mengadakan penyaringan serta pelenturan.
d. “ Semua berjalan lancar” (everything is ok)
Setelah beberap bulan berselang, orang tersebut menemukan dirinya dalam
keadaan dapat menilai hal yang positif dan negatif secara seimbang. Akhirnya ia
telah mempelajari banyak tentang kebudayaan baru di luar kebudayaannya.

You might also like