You are on page 1of 12

KAJIAN TERHADAP FATWA WARIS

(KEWARISAN BEDA AGAMA)

MAKALAH INI DISUSUN UNTUK MELENGKAPI TUGAS MATA KULIAH


FATWA DAN YURISPRUDENSI

DOSEN PENGAMPU:
Zaenul Mahmudi, M. A.

OLEH:
Maulidia Rahmania 08210009
Ichda Archamatur R 08210010
Wurinda Mf. 08210018
Lailatul Fitriyah 08210026

JURUSAN AL AHWAL AL SYAKHSIYYAH


FAKULAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIKI BRAHIM MALANG
2010
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Setiap masalah yang dihadapi oleh manusia ada hukumya (wajib, sunat, haram,
mubah), di samping ada pula hikmahnya atau motif hukumnya. Namun, hanya sebagian
kecil saja masalah-masalah yang telah ditunjukan oleh Al-Qur’an atau sunnah dengan
keterangan yang jelas dan pasti (clear dan fix statement), sedangkan sebagian besar
masalah-masalah itu tidak disinggung dalam Al-Qur’an atau sunnah secara eksplisit, atau
disinggung tetapi tidak dengan keterangan yang jelas dan pasti.
Hal yang demikian itu tidak berarti Allah dan Rasul-nya lupa atau lengah dalam
mengatur syariat Islam tetapi justru itulah menunjukan kebijakan Allah dan Rasul-nya
yang sanggat tinggi atau tepat dan merupakan blessing in disguise bagi umat manusia.
Sebab masalah-masalah yang belum atau tidak ditunjukkan oleh Al-Qur’an atau sunnah itu
diserahkan kepada pemerintah, ulama atau cendekiawan Muslim, dan ahlul hilli wal ‘aqdi
(orang-orang yang punya keahlian menganalisa dan memecahkan masalah) untuk
melakukan pengkajian atau ijtihad guna menetaplan hukumnya, yang sesuai dengan
kemaslahatan masyarakat dan perkembangan kemajuannya.
Masalah-masalah yang menyangkut warisan seperti halnya masalah-msalah lain
yang dihadapi manusia ada yang sudah dijelaskan permasalahannya dalam Al-Qur’an atau
sunnah dengan keterangan yang kongkret, sehingga tidak timbul macam-macam
interpretasi, bahkan mencapai ijma’ (konsensus) di kalangan ulama dan umat Islam.
Misalnya, seorang muslim mewarisi harta orang non muslim.

1
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah hukum dari kewarisan beda agama?
2. Bagaimana fatwa MUI tentang kewarisan beda agama?
3. Bagaimana kajian jumhuur fuqaha tentang hal ini?

C. TUJUAN MASALAH
1. Mengetahui hukum dari kewarisan beda agama.
2. Mengetahui fatwa MUI tentang kewarisan beda agama.
3. Dapat mengetahui kajian dari jumhuur fuqaha tentang kewarisan beda agama.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. HUKUM TENTANG KEWARISAN BEDA AGAMA


Kewarisan beda agama merupakan salah satu dari persoalan kontemporer dalam
pemikiran hukum Islam kontemporer. Di satu sisi al-Qur’an tidak menjelaskan tentang
bagian ahli waris untuk non muslim, dan ayat yang sering dijadikan sebagai dasar
terhalangnya non muslim mewarisi pewaris muslim adalah Q.S. al-Nisa’: 141
‫ ولن يجعل هللا للكفرين على المؤمنين سبيال‬......
“.....Maka Allah akan memberi keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-
kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-
orang yang beriman.”
Ayat ini sebenarnya merupakan ayat yang bersifat umum dan tidak menunjuk langsung
pada larangan bagi non muslim untuk menerima harta warisan dari keluarganya yang
muslim. Bahkan dalam ayat ini juga sering dijadikan dalil untuk melarang perkawinan
beda agama, antara laki-laki non muslim dengan perempuan muslimah. Apabila dipahami
secara utuh, ayat tersebut lebih merujuk kepada orang-orang munafik, dlaam hal terjadinya
peperangan yang senantiasa menunggu peluang yang baik dan hanya menguntungkan bagi
diri mereka. 1
Sedangkan hadits tidak memberikan sedikitpun bagian harta bagi ahli waris non
muslim. Hadis yang digunakan sebagai dasar adalah hadis yang menyebutkan bahwa
seorang muslim tidak dapat mewarisi harta orang kafir dan orang kafir tidak dapat
mewarisi harta seorang muslim. (‫ؤمن‬J‫افر الم‬J‫رث ك‬J‫افر و ال ي‬J‫ؤمن الك‬J‫رث الم‬J‫)ال ي‬,2 namun di sisi lain
tuntutan keadaan dan kondisi menghendaki hal yang sebaliknya. Dialektika antara hukum
dan tuntutan perkembangan zaman tersebut jelas menjadi problem besar bagi hukum
kewarisan Islam.

1
Lihat M. Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar (Kairo: Dar al-Manar, 1973), V. hlm. 466; Departemen Agama
RI., al-Qur'an dan Tafsirnya (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, t.t.), IV. hlm. 326; Ahmad Mustafa al-
Maragi, Tafsir al-Maragi (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1974), V. hlm. 185; Majelis Tarjih dan
Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah, Tafsir Tematik al-Qur'an Tentang Hubungan Sosial
Antarumat Beragama (Yogyakarta: Pustaka SM, 2000), hlm. 209.
2
Lihat dalam Abu Abdillah Muhammad ibn Isma'il al-Bukhari, Sahih al-Bukhari (Beirut: Dar al Fikr, t.t),
VIII, hlm. 11; Ahmad ibn 'Ali Ibn Hajar al-'Asqalani, Fath al-Bari (t.t.p: al-Maktabah al-Salafiyah, t.t.), XII,
hlm. 51, 85; Ahmad ibn Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad ibn Hanbal (Beirut : Dar Ihya' al-Turas al-Arabi,
1993), VI, hlm. 202.

3
Problematika kewarisan beda agama mencuat ketika relasi muslim dan non muslim
kembali didiskusikan dan diwacanakan oleh berbagai kalangan.3 Bahkan hal tersebut telah
menjadi perhatian para pemikir Islam sejak awal pembentukannya hingga zaman
kontemporer.4Hanya saja tuntutan zaman kontemporer yang didalamnya terdapat isu
hubungan antar agama dan hak asasi manusia memaksa kembali untuk mendiskusikan
kewarisan beda agama dalam perspektif hukum Islam.
Dalam pandangan konsep fiqh konvensional, seorang muslim tidak bisa mewarisi
harta seorang non muslim dan sebaliknya seorang non muslim tidak dapat mewarisi harta
seorang muslim5. Pandangan ini merupakan pandangan mainstream di kalangan ummat
Islam seakan-akan tidak ada jalan bagi seorang non muslim untuk mendapatkan harta
waris dari seorang muslim dan demikian sebaliknya.

B. FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA TENTANG


KEWARISAN BEDA AGAMA
Berdasarkan pada keputusan fatwa MUI No. 5/MUNAS VII/9/2005 tentag
kewarisan beda agama menimbang bahwa belakangan ini sering terjadi kewarisan beda
agama, dan sering muncul pendapat-pendapat yang membolehkan kewarisan beda agama,
dan oleh karena itu MUI memandang perlu perlu untuk menetapkan fatwa tentang
kewarisan beda agama. Hal ini berdasarkan pada:
1. Firman Allah Q.S. an-Nisa’:11
           
          
          
           
            
          
           
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu:
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan
jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua [273], maka bagi mereka dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh
separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari
3
Lihat misalnya Mun‟im A.Sirry (ed.), Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif Pluralis
(Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2004).
4
Abdul Aziz al-Barrah, al-Muhazzab (Beirut: Dar al-Islamiyyah, t.t.), hlm. 202.
5
Ada pendapat yang membolehkan seorang muslim mewarisi non muslim yaitu menurut pendapat fuqaha‟
Imamiyah menurut mereka larangan mewarisi karena perbedaan agama itu tidak mencakup larangan bagi
orang Islam mewarisi kerabatnya yang non muslim. Fatchur Rahman, Ilmu Waris (Bandung: PT Al Ma‟arif,
t.tp.), hlm. 99

4
harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya
mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya
mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat
yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-
anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Q.S. an-Nisa’: 141


‫ ولن يجعل هللا للكافرين على المؤمنين سبيال‬....
“…. Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk
memusnahkan orang-orang yang beriman.”

2. Hadits Rasulullah SAW.


)‫و عن أسامة بن زيد رضي هللا عليه وسلم قال "اليرث المسلم الكافر وال الكافر المسلم" (متفق عليه‬
Dari Usamah bin Zaid r.a., sesungguhnya Nabi s.a.w. bersabda: “Orang Muslim
tidak (boleh) mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak (boleh) mewarisi orang muslim”
(HR. Muttafaq alaih).

‫د‬JJ‫تين" (رواه أحم‬J‫ل مل‬JJ‫وارث أه‬J‫ "ال يت‬J‫لم‬J‫ هللا عليه وس‬J‫ هللا عنهما قال رسول‬J‫و عن عبدهللا بن عمر رضي‬
)‫واألربعة والترمذي‬
Dari Abdullah bin Umar r.a. dia berkata: Rasulullah s.a.w. bersabda “tidak ada saling
mewarisi antara dua pemeluk agama (yang berbeda). (HR. Ahmad, Imam Empat dan
Turmudzi)

Selain berdasarkan al-Qur’an dan hadits, fatwa ini juga berdasarkan pada:
1. UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
2. PP. No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1/1974 tentang Perkawinan.
3. Instruksi Presiden No. 1 tahun 1990 tentang Kompilasi Hukum Islam.
4. Pendapat Sidang Komisi C Bidang Fatwa pada Munas VII MUI 2005

5
MUI telah memutuskan bahwa :
1. Hukum waris Islam tidak memberikan hak saling mewarisi antar orang-orang yang
berbeda agama (antara muslim dengan non muslim)
2. Pemberian harta antar orang yang berbeda agama hanya dapat dilakukan dalam bentuk
hibah, wasiat dan hadiah.6

C. KAJIAN PARA JUMHUR FUQAHA TENTANG KEWARISAN


BEDA AGAMA
Jumhuur fuqaha berpendapat bahwa seorang muslim tidak mewarisi dari orang
kafir,begitu juga sebaliknya. Perbedaan agama menjadi penghalang mendapat warisan.
Mereka menggunakan dalil-dalil, sabda Nabi s.a.w.
)‫و عن أسامة بن زيد رضي هللا عليه وسلم قال "اليرث المسلم الكافر وال الكافر المسلم" (متفق عليه‬
Dari Usamah bin Zaid r.a., sesungguhnya Nabi s.a.w. bersabda: “Orang Muslim
tidak (boleh) mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak (boleh) mewarisi orang muslim”
(HR. Muttafaq alaih).
‫د‬JJ‫تين" (رواه أحم‬J‫ل مل‬JJ‫وارث أه‬J‫ "ال يت‬J‫لم‬J‫ هللا عليه وس‬J‫ هللا عنهما قال رسول‬J‫و عن عبدهللا بن عمر رضي‬
)‫واألربعة والترمذي‬
Dari Abdullah bin Umar r.a. dia berkata: Rasulullah s.a.w. bersabda “tidak ada saling
mewarisi antara dua pemeluk agama (yang berbeda). (HR. Ahmad, Imam Empat dan
Tirmidzi)
‫ اهل ملتين‬yaitu agama kafir yang berbeda agama kafirnya, atau antara muslim dan
kafir. Mayoritas ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan berbeda agama adalah
kafir dan Islam. Adapaun orang kafir boleh saja saling mewarisi diantara mereka
sebagaimana realitas yang berlaku. Dan tidak ada yang berpendapat dengan keumuman
hadits selain al-Auza’i yang berpendapat “Orang Yahudi tidak dapat mewarisi orang
Nasrani dan sebaliknya”. Demikian juga untuk seluruh penganut agama. Namun indikasi
tekstual hadits ini berpihak kepada pendapat al-Auza’i.7
Pendapat ini merupakan pendapat Khulafaur Rasyidin, para imam empat madzhab,
pendapat kebanyakan ulama, serta yang banyak diikuti uamt Islam, sebagaimana dikatakan
oleh Ibnu Qudamah.

6
Keputusan Fatwa MUI Nomor: 5/MUNAS VII/MUI/9/2005Tentang Kewarisan Beda Agama
7
Abu Umar Basyir “Wasiran, Belajar Mudah Hukum Waris Sesuai Syari’at Islam”, Rumah Dzikir, 2006,
Solo. Hlm. 68

6
Akan tetapi ada pula yang berpendapat bahwa seorang muslim mewarisi dari orang
kafir, dan orang kafir tidak dapat mewarisi dari orang muslim. Hal ini diriwayatkan dari
Umar, Mu’adz, dan Mu’awiyah yang terdapat dalam kitab al-Mughni yang berasal dari
Muhammad Ibnul Hanafiyah, Ali Ibn Husain, Sa’id Ibnu Musayab, Masruq, Abdullah bin
Mu’aqil, asy-Sya’bi, Yahya bi Ya’mar dan Ishaq.
Diriwayatkan pula bahwa Yahya bin Ya’mar mendatangi dua orang Yahudi dan
Muslim yang sedang bertengkar tentang warisan saudara mereka berdua yang kafir.
Kemudian dia (Yahya bin Ya’mar) memberikan warisan kepada orang muslim. Dengan
dalil bahwa orang muslim mendapat warisan dari orang kafir. Ia mengatakan bahwa Abu
Aswad berkata kepadanya bahwa seseorang memberitahukannya bahwa Mu’adz
memberitahukannya, sesungguhnya Rasulullah bersabda:
‫اإلسالم يزيد وال ينقص‬
“Islam selalu bertambah dan tidak pernah berkurang” (H.R. Ahmad, Abu Daud, dan al-
Hakim)
Artinya, Islam menjadi sebab bertambahnya kebaikan dan tidak menjadi sebab
kefakiran dan kekurangan bagi pemeluknya.
Juga karena umat Islam diperkenankan menikahi wanita-wanita kafir, sedang
mereka tidak boleh menikahi wanita muslimah. Karena itu pula, kita dapat mewarisi dari
mereka, sedangkan mereka tidak dapat mewarisi daeri kita.
Yusuf Qardhawi membenarkan dan setuju dengan pendapat ini. Meskipun jumhur
ulama tidak menyetujuinya. Menurutnya Islam tidak menghalangi, menolak jalan kebaikan
yang bermanaat bagi kepentingan umatnya. Apalagi, dengan harta peninggalan atau
warisan itu dapat membantu untuk mentauhidkan Allah, untuk taat kepada-Nya, dan
menolong menegakkan agama-Nya. Bahkan sebenarnya harta ditujukan sebagai saran
untuk taat kepada-Nya, bukan untuk bermaksiat kepada-Nya.
Adapun bunyi hadits “Orang muslim tidak mewarisi dari orang kafir dan orang
kafir tidak mewarisi dari orang muslim”, kita menafsirkannya sebagaimana ketika
madzhab Hanafi mentakwilkan bunyi hadits
‫ال يقتل مسلم بكافر‬
“Seorang muslim tidak membunuh orang kafir”
Maksud kafir dalam hadits diatas adalah bukan kafir harbi. Maka, madzhab Hanafi
mentakwilkan hadits tentang warisan bahwa maksud kafir di sana adalah kafir harbi (kafir

7
yang memerangi umat Islam). Artinya, orang muslim hanuya tidak mewarisi dari kafir
harbi karena terputusnya hubungan antara keduanya.
Adapun orang-orang murtad, warisannya dapat diwarisi orang-orang muslim. Jika
ketika ia murtad ada keluarganya yang muslim meninggal, ia tidak mendapatkan warisan.
Karena ketika itu ia berarti tidak membantu si muslim. Sedangkan kalau ia masuk Islam
lagi sebelum pembagian warisan, hal ini akan mengakibatkan pertentangan di kalangan
orang-orang muslim sendiri.8
Menurut madzhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali (mayoritas ulama) bahwa seorang
muslim tidak berhak mewarisi harta kerabatnya yang telah murtad. Sebab, menurut mereka
orang yang murtad berarti telah keluar dari ajaran Islam sehingga secara otomatis orang
tersebut telah menjadi kafir. Karena itu, seperti ditegaskan Rasulullah dalam haditsnya
bahwa antara muslim dan kafir tidaklah dapat saling mewarisi.
Sedangkan menurut madzhab Hanafi, seorang muslim dapat saja mewarisi harta
kerabatnya yang murtad. Bahkan kalangan ulama madzhab Hanafi sepakat mengatakan
“Seluruh harta peninggalan orang murtaddiwariskan kepada kerabatnya yang muslim”.
Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Bakar ash-Shidiq, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud,
dan lainnya.
Kemungkinan, pendapat ulama madzhab Hanafi lebih unggul dibandingkan yang
lainnya, karena harta warisan yang tidak memiliki ahli waris harus diserahkan kepada
Baitul Maal. Padahal pada masa sekarang tidak kita temui Baitul Maal yang dikelola
secara rapi, baik yang bertaraf nasional ataupun internasional.

8
Yusuf Qardhawi, “Fatwa-fatwa Kontemporer”,jilid 3, Gema Insani Press,2002,Jakarta. Hlm. 850-854

8
Kalangan Hambaliyyah mengecualikan dalam soal pihak yang akan mewariskan
antara muslim dan kafir, dalam dua kasus, yaitu:
1. Pihak yang mewariskan dengan alasan walaa. Seperti kasus seorang muslim yang
memerdekakan budaknya yang kafir, lalu budak tersebut mati. Maka orang yang
memerdekakan tersebut bisa mewarisi hrta si budak, kalau ia tidak memiliki pihak
yang akan mewariskan lain, atau terjadi penambahan jumlah harta pusaka. Dalam hal
ini, posisi tuan menjadi ‘ashabah. Dalam hal ini menggunakan dua dalil, yaitu:
1) Keumuman hadits ‘Aisyah, berkaitan dengan pihak yang mewariskan karena
hubungan walaa (budak-tuan). Yakni bahwa Nabi berabda.
“Hak walaa itu milik orang yang memerdekakan”9
Makna yang sama juga ditegaskan dalam riwayat berikut:
‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم "الوالء‬,‫ هللا تعالى عنهما قال‬J‫وعن عبدهللا بن عمر رضي‬
‫لحمة كلحمة النسب ال يباع وال يوهب‬
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar berkata, Rasulullah bersabda “Pertalian
walaa sama seperti pertalian nasab, tidak bisa dijual dan tidak pula
dihibahkan.”10
2) Hadits Jabir, yang menyebutkan bahwa Rasulullah bersabda:
“Seorang muslim tidak mewarisi harta orang Nasrani kecuali bila si Nasrani
adalah budak laki-laki atau perempuan”.11
2. Kalau ada kerabat dekat si mayit muslim, yang kebetulan masuk Islam sebelum
pembagian harta warisan. Kita tetap memberikan bagian untuk orang itu, kalau
kebetulan ia berhak. Yakni, agar ia semakin menyukai Islam, dan untuk melunakkan
hatinya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits,
“Setiap orang yang memiliki hak atau bagian warisan yang dilakukan di masa
jahiliyyah dibiarkan sebagaimana adanya. Tapi kalau seseorang berkesempatan
masuk Islam saat pembagian, maka ia mendapatkan bagian sesuai aturan Islam.”
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majjah. Hadits ini dinyatakan shahih oleh
Abdul Qadir al-Arnauth dalam tahqiqnya terhadap Jami’ul Ushul.12

9
Dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Muslim dalam shahih mereka.
10
Hadits Abu Dawud al-Haakim dari jalur asy-Syafi’i dari Muhammad bin Hasan dari Abu Yusuf dan
disahihkan oleh Ibnu Hibban dan dinyatakan cacat oleh al-Baihaqi.
11
Diriwayatakan oleh Ahmad, at-Tirmidzi, ad-Daruquthni dan al-Hakim. Dinyatakan shahih oleh beliau, dan
disetujui oleh adz-Dzahabi, seperti dalam at-Talkhish.
12
Op cit, Abu Umar Basyir , Hlm.68-71

9
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Kewarisan beda agama merupakan salah satu dari persoalan kontemporer dalam
pemikiran hukum Islam kontemporer. Problematika kewarisan beda agama mencuat ketika
relasi muslim dan non muslim kembali didiskusikan dan diwacanakan oleh berbagai
kalangan. Dalam pandangan konsep fiqh konvensional, seorang muslim tidak bisa
mewarisi harta seorang non muslim dan sebaliknya seorang non muslim tidak dapat
mewarisi harta seorang muslim. Berdasarkan pada keputusan fatwa MUI No. 5/MUNAS
VII/9/2005 tentag kewarisan beda agama menimbang bahwa belakangan ini sering terjadi
kewarisan beda agama, dan sering muncul pendapat-pendapat yang membolehkan
kewarisan beda agama, dan oleh karena itu MUI memandang perlu perlu untuk
menetapkan fatwa tenta g kewarisan beda agama.
MUI telah memutuskan bahwa :
1. Hukum waris Islam tidak memberikan hak saling mewarisi antar orang-orang yang
berbeda agama (antara muslim dengan non muslim).
2. Pemberian harta antar orang yang berbeda agama hanya dapat dilakukan dalam bentuk
hibah, wasiat dan hadiah.
Menurut madzhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali (mayoritas ulama) bahwa seorang
muslim tidak berhak mewarisi harta kerabatnya yang telah murtad. Sebab, menurut mereka
orang yang murtad berarti telah keluar dari ajaran Islam sehingga secara otomatis orang
tersebut telah menjadi kafir. Karena itu, seperti ditegaskan Rasulullah dalam haditsnya
bahwa antara muslim dan kafir tidaklah dapat saling mewarisi.
Sedangkan menurut madzhab Hanafi, seorang muslim dapat saja mewarisi harta
kerabatnya yang murtad. Bahkan kalangan ulama madzhab Hanafi sepakat mengatakan
“Seluruh harta peninggalan orang murtaddiwariskan kepada kerabatnya yang muslim”.

10
DAFTAR PUSTAKA
Al-Barrah Abdul Aziz, al-Muhazzab, Dar al-Islamiyyah, Beirut
Al-‘Asqalani Ahmad ibn 'Ali Ibn Hajar, Fath al-Bari, XII, al-Maktabah al-Salafiyah
Al-Bukhari Abu Abdillah Muhammad ibn Isma'il, Sahih al-Bukhari, VIII, Dar al Fikr,
Beirut
Al-Maragi Ahmad Mustafa, Tafsir al-Maragi, V, 1974, Mustafa al-Babi al-Halabi, Mesir
Basyir Abu Umar, Wasiran, Belajar Mudah Hukum Waris Sesuai Syari’at Islam, 2006,
Rumah Dzikir, Solo
Departemen Agama RI., al-Qur'an dan Tafsirnya, Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta
Hanbal Ahmad ibn, Musnad al-Imam Ahmad ibn Hanbal, 1993, Dar Ihya' al-Turas al-
Arabi, Beirut
Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah, Tafsir Tematik
al-Qur'an Tentang Hubungan Sosial Antarumat Beragama, 2000, Pustaka SM,
Yogyakarta
Rahman Fatchur, Ilmu Waris, PT Al Ma‟arif, Bandung
Ridha M. Rasyid, Tafsir al-Manar, V, 1973, Dar al-Manar, Kairo,
Sirry Mun‟im A., Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif Pluralis, 2004,
Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta
Qardhawi Yusuf, Fatwa-fatwa Kontemporer, jilid 3, 2002, Gema Insani Press, Jakarta

11

You might also like