You are on page 1of 41

DESKRIPSI 5 MASALAH GIZI DI INDONESIA

GAKY ( Gangguan Akibat Kekurangan Yodium )

Istilah GAKI adalah singkatan dari Gangguan Akibat Kekurangan Iodium, sejak tahun 1970-an disepakati
untuk menggantikan istilah Gondok Endemik (GE), dan digunakan untuk mencakup semua akibat kekurangan
yodium terhadap pertumbuhan dan perkembangan yang dapat dicegah dengan pemulihan kekurangan yodium
(Djokomoeljanto, 2002). GAKI adalah sekumpulan gejala klinis yang timbul karena tubuh seseorang kekurangan
(defisiensi) unsur yodium secara terus menerus dalam jangka waktu yang cukup lama (WHO, 2001).

Pengertian defisiensi yodium saat ini tidak terbatas pada gondok dan kretinisme saja, tetapi defisiensi
yodium berpengaruh terhadap kualitas sumber daya manusia secara luas, meliputi tumbuh kembang, termasuk
perkembangan otak. Defisiensi yodium dinyatakan sebagai gangguan akibat kekurangan yodium (GAKI) yang
menunjukkan luasnya pengaruh defisiensi yodium tersebut (Almatsier, 2004).

Iodium merupakan unsur zat gizi mikro yang dibutuhkan manusia relative sedikit (kebutuhan normal : 100
– 150 μ g/hari) untuk mensintesis hormone tiroksin. Hormon tiroksin berfungsi mengatur proses kimiawi yang
terjadi pada sel-sel organ tubuh; berperan pada metabolisme umum (metabolisme: energi, lemak, protein, kalsium,
vitamin A, kolesterol); sistem kardiovaskular; sistem pencernaan; system otot; susunan saraf pusat dan hormon
pertumbuhan (Granner, 2003).

Penyebab utama GAKI adalah kekurangan Iodium. Kekurangan iodium dalam


makanan sehari-hari (< 50 μ g/hari) akan mengganggu fungsi kelenjar tiroid, sehingga fungsi tiroksin dalam
metabolisme zat-zat gizi akan terganggu, efeknya terhadap pertumbuhan lebih nyata terutama pada masa
pertumbuhan anak-anak. Penderita hipotiroidisme, kecepatan pertumbuhannya menjadi sangat tertinggal
(Djokomoeljanto, 2001).

GAKY banyak terdapat di daerah-daerah dimana tanahnya tidak mengandung banyak yodium, hingga
produk yang dihasilkannya juga miskin akan yodium. Kekurangan yodium menyebabkan hiperplasia tiroid sebagai
adaptasi terhadap kekurangan tersebut. Zat goitrogen seperti yang ditemukan pada kubis dapat menyebabkan
pembesaran kelenjar gondok, begitu pula dengan beberapa bahan makanan lain misalnya kacang tanah, kacang
kedele, singkong, bawang merah, bawang putih. Adapun cara – cara pemeriksaan untuk mengetahui adanya GAKY
adalah sebagai berikut:

1. Pemeriksaan antropometri

Pemeriksaan antropometri tang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pengukuran tinggi badan per
berat badan. Hal ini perlu untuk mengetahui bagaimana pertumbuhan fisik anak sesuai dengan berat badannya
karena jika terkena GAKY yang sudah parah maka pertumbuhannya akan ikut terganggu. Selain itu, pengukuran
tinggi badan per umur juga dapat digunakan untuk pemeriksaan ini.

2. Pemeriksaan klinis
Pemeriksaan klinis GAKY dapat dilihat dari gejala - gejala yang muncul pada tubuh seseorang, antara lain :

a. Seseorang menjadi malas dan lamban


b. Kelenjar tiroid membesar yang biasa disebut sebagai gondok di masyarakat. Gondok ini diakibatkan karena
konsentrasi hormon tiroid menurun dan hormone perangsang tiroid / TSH (Thyroid Stimulating Hormone)
meningkat agar kelenjar tiroid mampu menyerap lebih banyak yodium bila kekurangan berlanjut sehingga sel
kelenjar tiroid membesar dalam usaha meningkatkan pengambilan yodium oleh kelenjar tersebut.
c. Pada ibu hamil dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan janin, dan dalam keadaan berat bayi lahir
dalam keadaan cacat mental yang permanen serta hambatan pertumbuhan yang dikenal sebagai kretinisme.

3. Pemeriksaan laboratorium
Penilaian status GAKI yaitu menggunakan urine, di daerah endemis berat (<25 ug/ g kreatinin) dan sedang
(25-50 ug/g kreatinin). Iodium urine biasanya akan menurun sebelum struma muncul. Selain itu dapat juga dengan
melakukan pemeriksaan pada kadar hormone tiroid serum yang dilakukan dengan mengambil sampel pada
pembuluh darah vena. Tetapi pemeriksaan ini dianggap kurang efektif karena biaya yang dibutuhkan untuk
pemeriksaan akan lebih mahal dan tingkat kesulitannya yang tinggi. Pemeriksaan status gizi secara lab dapat
mendiagnosis kurang gizi lebih dini sebelum tanda-tanda klinis muncul.

4. Pemeriksaan dietetic

Pemeriksaan dietetic pada penderita GAKY dapat dilihat dari asupan makanan yang dikonsumsi, antara lain sebagai
berikut :

a. Asupan energy dan protein

Gangguan akibat kekurangan yodium secara tidak langsung dapat disebabkan oleh asupan energi yang rendah,
karena kebutuhan energy akan diambil dari asupan protein. Protein (albumin, globulin, prealbumin) merupakan
alat transport hormon tiroid. Protein transport berfungsi mencegah hormon tiroid keluar dari sirkulasi dan
sebagai cadangan hormon.
b. Status gizi

Pengaruh status gizi terhadap kejadian GAKY masih belum banyak diteliti, namun secara teoritis cadangan
lemak merupakan tempat penyimpanan yodium. Jumlah simpanan yodium di dalam tubuh setiap individu akan
berbeda sesuai dengan kondisi status gizinya (Oenzil, 1996). Kadar yodium urin anak dengan status gizi baik
lebih tinggi dibandingkan dengan anak dengan status gizi kurang setelah diberikan kapsul yodium selama 3
hari berturut-turut (Prihartini, 2004). Status gizi kurang atau buruk akan berisiko pada biosintesis hormon tiroid
karena kurangnya TBP (Thyroxin binding Protein), sehingga sintesis hormon tiroid akan berkurang
(Djokomoejanto, 1987).
c. Pangan goitrogenik

Ada dua jenis zat goitrogenik yang berasal dari bahan pangan yaitu:
a. Tiosianat terdapat dalam sayuran kobis, kembang kol, sawi, rebung, ketela rambat dan jewawut, singkong
b. Isotiosianat terdapat pada kobis.
Zat goitrogenik adalah senyawa yang dapat mengganggu struktur dan fungsi
hormon tiroid secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung zat goitrogenik menghambat up take
yodida anorganik oleh kelenjar tiroid. Seperti tiosianat dan isotiosianat menghambat proses tersebut karena
berkompetisi dengan yodium. Menghambat oksidasi yodida anorganik dan inkorporasi yodium yang sudah
teroksidasi dengan asam amino tirosin untuk membentuk monoiodotyrosine (MIT) dan diodotyrosine (DIT)
serta menghambat proses coupling yang dimediasi oleh enzim thyroid peroxidase (TPO). Menghambat
pelepasan hormon tiroid (T3 dan T4) ke dalam sirkulasi darah. Secara tidak langsung hormon thyrotropin dapat
menurunkan sintesis dan pelepasan T4 dan T3 serta involusi kelenjat tiroid (Kartasurya, 2006)
d. Asupan yodiun pada tubuh

Konsumsi pangan kaya akan yodium dipengaruhi oleh ketersediaan bahan pangan tersebut dan lokasi tempat
tinggal. Penelitian Fatimah Tahun 1999 menemukan rata-rata frekuensi konsumsi pangan kaya yodium pada
penduduk di desa-desa lereng gunung daerah endemis GAKY di Pati dan Jepara 1-2 kali dalam seminggu,
sedangkan frekuensi konsumsi pangan kaya yodium di dataran rendah konsumsi ikan laut 2-4 kali dalam
seminggu.

Setelah mengetahui tentang cara – cara pemeriksaan GAKY,adanya penyakit tersebut juga dipengaruhi
berbagai hal. Salah satu yang dapat menjadi indikator adalah tentang indicator ekologi yang mempengaruhi adanya
GAKY. Indicator ekoligi ini dipengaruhi oleh beberapa factor yaitu :
a. Factor lokasi
Faktor lokasi dapat berpengaruh terhadap kejadian GAKY, hal ini disebabkan kandungan yodium yang berbeda di
setiap daerah. Penderita GAKY secara umum banyak ditemukan di daerah perbukitan atau dataran tinggi,
karena yodium yang berada dilapisan tanah paling atas terkikis oleh banjir atau hujan dan berakibat tumbuh-
tumbuhan, hewan dan air di wilayah ini mengandung yodium rendah bahkan tidak ada (Kodyat, 1996) Menurut
data Departemen Kesehatan Tahun 1990 daerah pantai atau dataran rendah bebas dari penderita GAKY.
Daerah pantai atau dataran rendah secara teoritis mengandung cukup yodium, dengan demikian maka tanaman
sumber air minum dan hewan mengandung yodium lebih banyak (Adriani dkk, 2002).
b. Factor budaya
Factor budaya juga berpemgaruh dalam penyebaran GAKY. Di beberapa daerah ada kebiasaan untuk tidak
menggunakan garam beryodium pada masakannya karena beranggapan akan mempengaruhi cita rasa dari
masakannya tersebut.
c. Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan juga berpengaruh, karena orang dengan pendidikan yang tinggi akan lebih mengetahui manfaat
dari memakai garam yodium daripada orang yang berpendidikan rendah. Sehingga mereka akan cenderung
lebih untuk memilih memakai garam beryodium daripada garam yang tidak beryodium.

ANEMIA

1. Pemeriksaan Laboratorium
• Kadar Hb
Identifikasi bahwa seseorang menderita anemia jika kadar Hb lebih dari normal. Standar yang
digunakan adalah standar WHO dengan catatan bahwa populasi harus bertempat tinggal sejajar dengan air
laut (di daerah pantai).
Kadar Hb menurut standar WHO :
Usia Cut of point
0-6 tahun 11 gr%
7-14 tahun 12 gr%
Orang dewasa (>14 tahun) laki-laki 13 gr%
Orang dewasa (>14 tahun) perempuan 12 gr%
Ibu hamil 11 gr%

 Tidak sensitif (maksudnya kadar Hb mulai menurun melampaui cut of poin bila cadangan zat gizi
tubuh turun, untuk mengukur kadar zat besi = mengukur feritine)
 Tidak spesifik (kadar Hb yang menurun tidak selalu disebabkan oleh kekurangan zat besi, namun
juga bis disebabkan oleh penyakit kronis karena bakteri, kekurangan asam B-12 atau asam folat.
Faktor kehamilan, pendarahan yang banyak, dan semua penyakit yang menyebabkan oedema)
 Selain itu kadar Hb juga bisa tinggi karena kebiasaan merokok (orang yang merokok Hbnya lebih
tinggi 0,3-0,5 gr%)

• Mengukur HCT (Hematocrite)


Mengukur volume fraksi butir darah merah. Tidak spesifik (karena kadar HCT bisa rendah karena
pemakaian alkohol yang berlebihan/ prosedur pengambilan darah tepi yang tidak memenuhi syarat)

• Pemeriksaan MCV (mean cell volume)


Rumusnya = HCT: jumlah butir darah merah/liter
• Pemeriksaan MCHC (mean cell hemoglobin concentration)
Rumusnya = hemoglobin : HCT

• Pemeriksaan MCH (mean cell hemoglobin)

Anemia zat besi Anemia b12/asam folat


MCV rendah Tinggi
MCHC rendah normal
MCH rendah Tinggi
• Pemeriksaan mikroskopis anemia
Jenis Anemia Fe Anemia folat Anemia b12
Bentuk sel mikrositik Makrositik makrositik
Warna sel Hipokromik Hiperkromik hiperkromik

Keterangan : mikrositik sel darah merah terlihat kecil-kecil


Makrositik  sel darah merah tampak besar
Hipokromik  warna sel pucat
Hiperkromik  warna sel gelap

2. Pemeriksaan klinis
a. Lemas, pucat dan cepat lelah
b. Sering berdebar-debar
c. Sakit kepala dan iritabel
d. Pucat pada mukosa bibir dan faring, telapak tangan dan dasar kuku
e. Konjungtiva okuler berwarna kebiruan atau putih mutiara (pearly white)
f. Jantung dapat takikardi
g. Jika karena infeksi parasit cacing akan tampak pot belly

• Untuk anemia zat besi ada beberapa gejala khusus


a. Penderita defisiensi besi berat mempunyai rambut rapuh, halus serta kuku tipis, rata, mudah patah dan
berbentuk seperti sendok.
b. Pika : suatu keinginan memakan zat yang bukan makanan seperti es batu, kotoran atau kanji
c. Glositis : iritasi lidah
d. Keilosis : bibir pecah-pecah
e. Koilonikia : kuku jari tangan pecah-pecah dan bentuknya seperti sendok
• Untuk anemia vitamin B12 ada beberapa gejala khusus :
a. nyeri dada (kasus yang parah)
b. adanya jaundice
c. mati rasa pada tangan dan kaki
d. sakit pada mulut dan tenggorokan

3. Pemeriksaan dietetic
a. Anemia Fe
Fe terdapat dalam bahan makanan hewani, kacang-kacangan, dan sayuran berwarna hijau tua.
Pemenuhan Fe oleh tubuh memang sering dialami sebab rendahnya tingkat penyerapan Fe di dalam tubuh,
terutama dari sumber Fe nabati yang hanya diserap 1-2%. Penyerapan Fe asal bahan makanan hewani dapat
mencapai 10-20%. Fe bahan makanan hewani (heme) lebih mudah diserap daripada Fe nabati (non
heme).Keanekaragaman konsumsi makanan sangat penting dalam membantu meningkatkan penyerapan Fe di
dalam tubuh. Kehadiran protein hewani, vitamin C, vitamin A, zink (Zn), asam folat, sukrosa, zat gizi mikro
lain dapat meningkatkan penyerapan zat besi dalam tubuh.

b. Anemia Asam Folat / B12


- Asupan sumber asam folat dan vitamin B 12
- Asupan sumber karbohidrat
- Asupan sumber protein
- Asupan sumber lemak
-

OBESITAS

1. DEFINISI
Obesitas adalah kelebihan berat badan sebagai akibat dari penimbunan lemak tubuh yang
berlebihan. Setiap orang memerlukan sejumlah lemak tubuh untuk menyimpan energi, sebagai penyekat
panas, penyerap guncangan dan fungsi lainnya. Rata-rata wanita memiliki lemak tubuh yang lebih banyak
dibandingkan pria. Perbandingan yang normal antara lemak tubuh dengan berat badan adalah sekitar 25-
30% pada wanita dan 18-23% pada pria. Wanita dengan lemak tubuh lebih dari 30% dan pria dengan lemak
tubuh lebih dari 25% dianggap mengalami obesitas. Seseorang yang memiliki berat badan 20% lebih tinggi
dari nilai tengah kisaran berat badannya yang normal dianggap mengalami obesitas.

Obesitas digolongkan menjadi 3 kelompok:

a. Obesitas ringan : kelebihan berat badan 20-40%


b. Obesitas sedang : kelebihan berat badan 41-100%
c. Obesitas berat : kelebihan berat badan >100% (Obesitas berat ditemukan sebanyak 5% dari antara
orang-orang yang gemuk).
2. ANTROPOMETRI

Obesitas dapat dinilai dengan berbagai cara, metode yang lazim digunakan saat ini antara lain pengukuran
IMT (Index Massa Tubuh), lingkar pinggang, serta perbandingan lingkar pinggang dan lingkar panggul
(Caballero B., 2005). Sebuah studi menyatakan bahwa pengukuran lingkar leher dapat digunakan sebagai
skreening obesitas yang mudah dan murah (Sjostrom et al., 2001). Berikut ini penjelasan masing-masing
metode pengukuran antropometri tubuh:
a. IMT
Metode yang sering digunakan adalah dengan cara menghitung IMT, yaitu BB/TB 2 dimana BB adalah
berat badan dalam kilogram dan TB adalah tinggi badan dalam meter (Caballero B., 2005). Klasifikasi
IMT dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 1. Klasifikasi IMT (International Diabetes Federation, 2005).


Klasifikasi IMT (kg/m2)
BB kurang (underweight) <18,5
Normal 18,5-24,9
BB lebih (overweight) 25,0-29,9
Obesitas, kelas I 30,0-34,9
Obesitas, kelas II 35,0-39,9
Obesitas ekstrim, kelas III >40

b. Lingkar Pinggang
IMT memiliki korelasi positif dengan total lemak tubuh, tetapi IMT bukan merupakan indikator terbaik
untuk obesitas (Grundy S.M., 2004). Selain IMT, metode lain untuk pengukuran antropometri tubuh
adalah dengan cara mengukur lingkar pinggang (Bell et al., 2005). Parameter penentuan obesitas
merupakan hal yang paling sulit dilakukan karena perbedaan cutt of point setiap etnis terhadap IMT
maupun lingkar pinggang (Khan R. et al., 2005). Sehinggga IDF (Internasional Diabetes Federation)
mengeluarkan kriteria ukuran lingkar pinggang berdasarkan etnis (Alberti, 2005; Tjokroprawiro, 2006).

Tabel 2. Nilai Lingkar Pinggang Berdasar Etnis (IDF, 2005).


Negara/grup etnis Lingkar pinggang (cm) pada obesitas
Eropa Pria >94
Wanita >80
Asia Selatan Pria >90
Populasi China, Melayu, dan Asia-India Wanita >80
China Pria >90
Wanita >80
Jepang Pria >85
Wanita >90
Amerika Tengah dan Selatan Gunakan rekomendasi Asia Selatan
hingga tersedia data spesifik
Sub-Sahara Afrika Gunakan rekomendasi Eropa hingga
tersedia data spesifik
Timur Tengah Gunakan rekomendasi Eropa hingga
tersedia data spesifik

c. Lingkar Leher
Lingkar leher dapat menjadi metode pengukuran yang mudah dan murah untuk skreening individu
dengan obesitas (Liubov et al., 2001). The North Association for The Study of Obesity menyatakan
bahwa dari uji statistik, koefisien korelasi pearson menunjukkan hubungan erat antara lingkar leher
dengan IMT (laki-laki, r=0,83; perempuan, r=0,71; masing-masing, p<0,0001) dan lingkar pinggang
(laki-laki, r=0,86; perempuan, r=0,56; masing-masing, p<0,0001). Lingkar leher ≥37 cm untuk laki-laki
dan ≥34 cm untuk wanita merupakan cutt of point yang paling tepat untuk mengidentifikasi individu
dengan IMT ≥25 kg/m2, lingkar leher ≥39,5 cm untuk laki-laki dan ≥36,5 cm untuk wanita
adalah cutt of point paling tepat untuk mengidentifikasi individu dengan obesitas (IMT ≥30 kg/m2).
Berdasarkan validasi yang dilakukan pada kelompok yang berbeda, sebagai salah satu metode skreening
obesitas lingkar leher memiliki sensitivitas 98%, spesifitas 89%, akurasi 94% untuk laki-laki dan 99%
untuk perempuan (Liubov et al., 2001).
d. Pengukuran Lemak Subkutan
Dilakukan dengan mengukur skinfold thickness (tebal lipatan kulit/TLK). Obesitas bila TLK Triceps P
> 85. Tebal kulit di ukur dengan alat Skinfold caliper pada kulit lengan, subskapula dan daerah pinggul.,
penting untuk menilai kegemukan. Memerlukan latihan karena sukar melakukannya dan alatnyapun
mahal (Harpenden Caliper).

e. Rasio Pinggang-Pinggul=RPP (Waist-Hip Ratio=WHR)

Untuk Laki-laki dikatakan obesitas apabila RPP>0,9. Sedangkan perempuan dikatakan obesitas apabila
RPP>0,85.sumber dari WHO:1998

3. UJI LABORATORIUM

Evaluasi laboratorium untuk overweight dan obesitas anak belum distandarisasi. Beberapa ahli
menyarankan gula darah puasa, insulin, profil lipid, dan ALT sebagai pemeriksaan inisial pada anak dengan
BMI di atas persentil 95. Ahli lain menyarankan pemeriksaan laboratorium hanya jika hasilnya akan
mengubah pilihan penanganan.

a. Kadar trigliserida dalam darah

Trigliserida merupakan salah satu jenis lemak yang diangkut dalam darah dan disimpan pada jaringan
lemak tubuh. Lemak ini ditemukan pada jenis-jenis makanan berlemak selain juga dihasilkan tubuh.
Trigliserida puasa di atas 150mg/dl pada anak dengan obesitas dikategorikan tinggi dan merupakan
tanda awal sindrom metabolik.

b. Insulin dan profil lipid

4. UJI KLINIS

Berdasarkan distribusi jaringan lemak, dibedakan menjadi :

a. apple shape body (distribusi jaringan lemak lebih banyak dibagian dada dan pinggang)
b. pear shape body/gynecoid (distribusi jaringan lemak lebih banyak dibagian pinggul dan paha)
Secara klinis mudah dikenali, karena mempunyai ciri-ciri yang khas, antara lain :

a. wajah bulat dengan pipi tembem dan dagu rangkap


b. leher relatif pendek
c. dada membusung dengan payudara membesar
d. perut membuncit (pendulous abdomen) dan striae abdomen
e. pada anak laki-laki : Burried penis, gynaecomastia
f. pubertas dini
g. genu valgum (tungkai berbentuk X) dengan kedua pangkal paha bagian dalam saling menempel
dan bergesekan yang dapat menyebabkan laserasi kulit.

Pola penyebaran lemak tubuh pada pria dan wanita cenderung berbeda. Wanita cenderung menimbun
lemaknya di pinggul dan bokong, sehingga memberikan gambaran seperti buah pir. Sedangkan pada pria
biasanya lemak menimbun di sekitar perut, sehingga memberikan gambaran seperti buah apel. Tetapi hal
tersebut bukan merupakan sesuatu yang mutlak, kadang pada beberapa pria tampak seperti buah pir dan
beberapa wanita tampak seperti buah apel, terutama setelah masa menopause.

Untuk membedakan kedua gambaran tersebut, telah ditemukan suatu cara untuk menentukan apakah
seseorang berbentuk seperti buah apel atau seperti buah pir, yaitu dengan menghitung rasio pinggang
dengan pinggul. Pinggang diukur pada titik yang tersempit, sedangkan pinggul diukur pada titik yang
terlebar; lalu ukuran pinggang dibagi dengan ukuran pinggul. Seorang wanita dengan ukuran pinggang
87,5 cm dan ukuran pinggul 115 cm, memiliki rasio pinggang-pinggul sebesar 0,76. Wanita dengan rasio
pinggang:pinggul lebih dari 0,8 atau pria dengan rasio pinggang:pinggul lebih dari 1, dikatakan berbentuk
apel.

5. DIETETIK

a. Diet rendah karbohidrat (carbo diet)


Carbo diet ditempuh dengan cara mengurangi kadar glikemik (gula otot) dengan cara mengonsumsi
makanan yang mengandung serat seperti sayuran, kacang dan gandum. Dengan menghindari makanan
yang kaya karbohidrat seperti halnya buah dan makanan yang memiliki bahan pangan zat tepung serta
menghindari minuman dan makanan beralkohol. Air putih juga banyak berperan penting dalam
membantu menurunkan berat badan. Selain berfungsi jamak untuk membersihkan toksin dalam tubuh,
air putih juga berfungsi menggelontorkan lemak. Dengan mengonsumsi air putih, dapat menimbulkan
rasa kenyang sehingga hasrat untuk makan dapat berkurang. Dianjurkan untuk mengonsumsi air putih
minimal 8 gelas sehari.

KURANG VITAMIN A

(KVA)

A. Kurang Vitamin A.
Vitamin A merupakan vitamin larut lemak yang pertama ditemukan, vitamin A merupakan nama
generik yang menyatakan bahwa seluruh retinoid dan prekusor/provitamin A/karatenoid yang mempunyai
aktivitas biologic sebagai retinol. Selain dikenal sebagai vitamin yang berperan dalam kesehatan mata, vitamin
A juga secara umum penting dalam kelangsungan hidup manusia. Di seluruh dunia (WHO, 1991) diantara anak-
anak prasekolah diperkirakan terdapat 6-7 juta kasus baru xeroftalmia setiap tahun, kurang lebih 10%
diantaranya menderita kerusakan kornea. Diantara yang menderita kerusakan kornea ini 60% meningal dalam
waktu satu tahun, sedangkan diantara yang hidup, 25% menjadi buta dan 50-60% setengah buta. Perbedaan
angka kematian antara anak yang kekurangan dengan yang tidak kekurangan kurang lebih sebesar 30%.
Disamping itu kekurangan vitamin A meningkatkan resiko anak terhadap penyakit infeksi seperti ISPA dan
Diare, meningkatkan angka kematian akibat campak serta menyebabkan keterlambatan pertumbuhan.
Vitamin A merupakan salah satu vitamin yang larut lemak selaik vitamin D, E, K. Dalam makanan
biasanya vitamin A berbentuk ester retinil sedangkan di dalam tubuh vitamin A berfungsi dalam beberapa
bentuk ikatan kimia aktif, yaitu retinol, retinal dan asam retinoat. Bentuk aktif vitamin ini hanya pada pangan
hewani, pangan nabati mengandung precursor vitamin A berupa karotenoid.Kebutuhan vitamin A seseorang
bergantung pada berbagai faktor yang saling berhubungan termasuk umur, kecepatan pertumbuhan,jenis
kelamin,efisiensi penyerapan dan penyimpanan, efisiensi pengankutan plasma dan penggunaanya dalam sel-sel
menjadi sasaranya,kecepatan inaktivasi,besarnya pendaurulangan dan status kesehatan secara keseluruhan.
Kurang vitamin A (KVA) merupakan salah satu masalah gizi kurang yang masih dihadapi oleh negar-
negara berkembang termasuk Indonesia. Kurang vitamin A (KVA) merupakan suatu keadaan yang ditandai
dengan rendahnya kadar vitamin A dalam jaringan penyimpanan (hati) dan melemahnya kemampuan adaptasi
terhadap gelap dan sangat rendahnya konsumsi /masukan karotin dari vitamin A (WHO,1976)
Kekurangan vitamin A bisa digolongkan menjadi 2, kekurangan primer berupa kekurangan konsumsi
atau kekurangan sekunder akibat gangguan penyerapan dan penggunaanya dalam tubuh, kebubutuhan yang
meningkat atau penderita KEP, penyakit hati ,alfa, beta-lipoproteinema, atau gangguan absorbs karena
kekurangan asam empedu.
Konsumsi vitamin A dan provitamin A yang sangat rendah, di bawah dari kecukupan konsumsi
vitamin A yang dianjurkan, dan berlangsug dalam waktu yang relative lama, akan dapat mengakibatkan suatu
keadaan yang disebut Kurang Vitamin A. Keadaan KVA akan tampak apabila simpanan vitamin A di dalam
hati sudanh sangat menipis, atau hilang sama sekali, disertai serum vitamin yang A yang rendah. Pada orang
dewasa yang normal, simpanan vitamin A di dalam hati cukup untuk keperluan dua tahun, tetapi pada anak-
anak yang sedang bertumbuh pesat, bila makanan sehari-hari tidak atau kurang sama sekali mengandung
vitamin A, maka xerophthalmia akan tampak dalam beberapa minggu.
Xeropthalmia adalah suatu keadaan kerusakan pada mata atau kelainan penglihatan yang disebabkan
oleh kekurangan vitamin A. Xeropthalmia merupakan manifestasi yang paling khas dari KVA, terutama pada
anak pra sekolah. Pada orang dewasa, xeropthalmia jarang sekali ditemukan. Selain itu, pada orang dewasa
yang diberi diit kurang vitamin A, setelah berbulan-bulan baru tampak kelainan-kelainan berupa anemia,
kesulitan membedakan warna, kemunduran penciuman dan rasa terhadap makanan dan kehilangan
keseimbangan vertibular

B. Penyebab Kurang Vitamin A


Kekurangan atau defisiensi vitamin A disebabkan oleh malfungsi berbagai mekanisme seluler yang di
dalamnya turut berperan senyawa-senyawa retinoid. Defisiensi vitamin A terjadi gangguan kemampuan
penglihatan pada senja hari (buta senja). Ini terjadi karena ketika simpanan vitamin A dalam hati hampir habis.
Deplesi selanjutnya menimbulkan keratinisasi jaringan epitel mata, paru-paru, traktus gastrointestinal dan
genitourinarius, yang ditambah lagi dengan pengurangan sekresi mucus. Kerusakan jaringan mata, yaitu
seroftalmia akan menimbulkan kebutaan. Defisiensi vitamin A terjadi terutama dengan dasar diet yang jelek
dengan kekurangan komsumsi sayuran, buah yang menjadi sumber provitamin A.
C. Klasifikasi Xerophthalmia
Tanda-tanda dan gejala klinis KVA pada mata menurut klasifikasi WHO/USAID UNICEF/HKI/
IVACG, 1996 sebagai berikut :
XN: buta senja (hemeralopia, nyctalopia)
X1A: xerosis konjungtiva
X1B: xerosis konjungtiva disertai bercak bitot
X2: xerosis kornea
X3A: keratomalasia atau ulserasi kornea kurang dari 1/3 permukaan kornea.
X3B: keratomalasia atau ulserasi sama atau lebih dari 1/3 permukaan kornea
XS: jaringan parut kornea (sikatriks/scar)
XF: fundus xeroftalmia, dengan gambaran seperti “cendol”.
XN, X1A, X1B, X2 biasanya dapat sembuh kembali normal dengan pengobatan
yang baik.
Pada stadium X2 merupakan keadaan gawat darurat yang harus segera diobati karena dalam beberapa
hari bias berubah menjadi X3. X3A dan X3B bila diobati dapat sembuh tetapi dengan meninggalkan cacat yang
bahkan dapat menyebabkan kebutaan total bila lesi (kelainan) pada kornea cukup luas sehingga menutupi
seluruh kornea (optic zone cornea).

D. Gejala Kurang Vitamin A


Rabun senja, yakni tak bisa melihat dengan jelas pada waktu senja dan malam menjadi gejala klinis
xerophtalmia. Terlebih kalau disertai dengan diare, demam atau infeksi saluran pernapasan. Pada tahap ini
berarti seorang anak sudah mencapai klasifikasi xerophtalmia XN, demikian menurut klasifikasi Badan
Kesehatan Dunia WHO. Jika dibiarkan maka bisa beranjak ke kondisi yang lebih parah, yakni status X1A di
mana terjadi kekeringan konjungtiva pada mata dan munculnya kerut di sekitar mata.
Stadium berikutnya adalah munculnya serosis dan bercak bito di mata, yakni bercak putih menyerupai
keju. Kondisi ini terjadi pada tahap X1B. Makin lama kalau tidak dirawat kondisi ini berkembang ke status X2
di mana kornea dan selaput mengering dan tampak suram. Pada tahap ini pasien masih bisa diobati dengan
memberi asupan vitamin A dan gizi lain. Mata bisa kembali normal seperti semula kalau cepat ditangani.Tapi
kalau tak dirawat maka akan kian parah menjadi status X3A, yakni sepertiga kornea mata tertutup atau lebih
populer dengan istilah keratomalcia. Dan status yang lebih buruk lagi adalah X3B, di mana lebih dari sepertiga
kornea tertutup. Dan yang paling parah adalah status XS, seluruh mata sudah tertutup hingga tak bisa melihat.
Secara umum gejala klinis xeroptalmia ini dibagi menjadi 2 bagian yaitu:
1) Keadaan reversibel yaitu yang dapat sembuh
a. Buta Senja ( hemerolopia)
Merupakan gejala dini dan sering timbul sebelum terdapatnya gejala-gejal mata yang lain. Pada anak-
anak yang besar dapat diketahui keluhannya atau jika anak-anak tersebut sering jatuh atau salah
menagkap benda yang di berikan di wakru senja.
b. Xerosis Conjuctiva.
Merupakan proses yang terjadi dari perubhan konjungtiva bulbus yaitu; kering, tebal, keriput,. Dan
penimbunan pigmen. Poduksi air mata berkurang karena atrofi sel globet, sehingga sebagai akibatnya
sekresi air mata berkurang.
c. Xerosis kornea
Keadaan kekurangan vitamin A yang makin parah, bintik-bintik luka menjadi bertambah padat dan
tersebar ke atas dan mungkin meliputi seluruh kornea.
d. Bercak bitot
Suatu bentukan yang berwarna abu-abu kekuningan yang berbentuk seperti busa sabun, yaitu keadaan
bergelembung atau seperti keju yang terdiri dari sel-sel epitel konjungtiva yang mengeras dan bersisik
melapisi sebgaian atau seluruh permukaan yang kering.
2) Keadaan Irreversibel yaitu yang agak sulit sembuh
a. Ulserasi kornea
Keadaan kekurangan vitamin A yang lebih parah dari kornea mengering yang mengakibatkan
kehilangan frank epithelial dan ulserasi stroma baik dengan ketebalan sebagian atau seluruhnya.
b. Keratomlasia
Semua kornea dan konjungtiva menjadi satu menebal sehingga kadang-kadang bola mata menjadi
rusak bentuknya.

E. Pemeriksaan Kurang Vitamin A


Dilakukan untuk mengetahui tanda-tanda atau gejala klinis dan menentukan diagnosis serta
pengobatannya, terdiri dari :
1. Pemeriksaan Antropometri
Pemeriksaan antropometri yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pengukuran berat badan per
tinggi badan. Hal ini perlu untuk mengetahui bagaimana pertumbuhan fisik anak sesuai dengan berat
badannya karena jika terkena KVA yang sudah parah maka pertumbuhannya akan ikut terganggu atau
mengalami keterlambatan. Bila BB/TB : > -3 SD - < -2 SD, anak menderita gizi kurang atau kurus dan
Bila BB/TB : ≤ 3, anak menderita gizi buruk atau sangat kurus.
2. Klinis
Manifestasi kelainan pada mata adalah satu-satunya tanda klinis yang dapat dipercaya terhadap adanya
KVA. Buta senja merupakan tanda-tanda permulaan xeropthalmia. Kekurangan penyediaan vitamin A
aldehid (retinal) kepada sel-sel rod pada retina, menyebabkan kerusakan kemampuan adaptasi pada
keadaan gelap. Untuk keperluan survey, buta senja merupakan salah satu parameter yang sangat bermanfaat
untuk diketahui. Hal ini disebabkan karena pengenalan buta senja dengan wawancara maupun dengan cara
uji penglihatan di ruang gelap, dapat dilakukan dengan cara yang sederhana, murah, spesifik, dan tidak
memerlukan tenaga medis atau paramedic tertentu, malinkan semua orang dapat melakukannya.

a. Buta senja = Rabun Senja = Rabun Ayam = XN


Tanda-tanda:
1) Buta senja terjadi akibat gangguan pada sel batang retina
2) Pada keadaan ringan, sel batang retina sulit beradaptasi di ruang yang remang-remang
setelah lama berada di cahaya terang.
3) Penglihatan menurun pada senja hari, dimana penderita tak dapat melihat lingkungan
yang kurang cahaya, sehingga disebut buta senja.
b. Xerosis Konjungtiva = X1A
Tanda-tanda:
1) Selaput lender bola mata tampak kurang mengkilat atau terlihat sedikit kering, berkeriput,
dan berpigmentasi dengan permukaan kasar dan kusam.
2) Orang tua sering mengeluh mata anaknya tampak kering atau berubah warna kecoklatan
c. Xerosis Konjungtiva dan Bercak Bitot = X1B
Tanda-tanda:
1) Tanda-tanda xerosis konjungtiva (X1A) ditambah bercak bitot yaitu bercak putih seperti
busa sabun atau keju terutama di daerah celah mata sisi luar.
2) Bercak ini merupakan penumpukan keratin dan sel epitel yang merupakan tanda khas
pada penderitan xeropthalmia, sehingga dipaka sebagai criteria penentuan prevalensi kurang
vitamin A dalam masyarakat.
Dalam keadaan berat:
1) Tampak kekeringan meliputi seluruh permukaan konjungtiva.
2) Konjungtiva tampak menebal, berlipat-lipat dan berkerut
3) Mata tampak bersisik.
d. Xerosis Kornea = X2
Tanda-tanda:
1) Kekeringan pada konjungtiva berlanjut sampai kornea.
2) Kornea tampak suram dan kering dengan permukaan tampak kasar
e. Keratomalasia dan Ulcus Kornea = X3A, X3B
Tanda-tanda:
1) Korne melunak seperti bubur dan dapat terjadi ulkus
2) Tahap X3A: bila kelainan mengenai kurang dari 1/3 permukaan kornea.
3) Tahap X3B: bila kelainan mengenai semua atau lebih dari 1/3 permukaan kornea
4) Pada tahap ini dapat terjadi perforasi kornea (kornea pecah)
Keratomalasia dan tukak korne dapa berakhir dengan perforasi dan prolaps jaringan isis bola mata dan
membentuk cacat tetap yang dapat menyebabkan kebutaan. Kedaan umum yang cepat memburuk
dapat mengakibatkan keratomalasia dan ulkus kornea tanpa harus mealui tahap-tahap awal
xeropthalmia.
f. Xeropthalmia Scar (XS) = Sikatriks (Jaringan Parut) Kornea
Tanda-tanda:
Korena mata tampak menjadi putih atau bola mata tampak mengecil. Bila luka pada korna telah
sembuh akan meninggalkan bekas berupa sikatrik atau jaringan parut. Penderita menjadi buta yang
sudah tidak dapat disembuhakan walaupun dengan opersi mata.
g. Xeropthalmia Fundus
Dengan opthaliamoscope pada fundus tampak gambar seperti cendol.
3. Biokimia
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mendukung diagnose kekurangan vitamin A, bila secara klinis
tidak ditemukan tanda-tanda khas KVA, namun hasil pemeriksaan lain menunjukkan bahwa anak tersebut
risiko tinggi untuk menderita KVA. Peneriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan serum retinol. Bila
ditemukan serum retinol < 20 ug/dl, berarti anak tersebut menderita KVA sub klinis. Namun, pemeriksaan
membutuhkan biaya yang mahal dan juga sulit. Sifatnya tidak sensitive, karena kadar serum retinol dalam
darah baru menurun apabila cadangan vitamin A dalam tubuh manusia sudah habis. Selain itu, sifatnya
tidak spesifik karena masih bisa dijumpai pada penyakit lain, misalnya:
• Penyakit hati kronis
• Kurang kalori protein
• Kekurangan zinc, zinc berfungsi untuk meningkatkan ekskresi retinol dari hati, vitamin A
disimpan di hati dan dikeluarkan dalam bentuk retinol, lalu berikatan dengan protein , dibantu oleh
zink.
• Penyakit parasit. Serum retinol > normal pada penyakit ginjal kronis dan penggunaan alat
kontrasepsi.
Pemeriksaan laboratorium lain dapat dilakukan untuk mengetahui penyakit lain yang dapat memperparah
seperti pada :
a. Pemeriksaan serum RBP (retinol binding protein) lebih mudah untuk melakukan dan lebih murah
dari studi retinol serum, karena RBP adalah protein dan dapat dideteksi oleh tes imunologi. RBP juga
merupakan senyawa lebih stabil dari retinol yang berkaitan dengan cahaya dan suhu. Apabila terdapat
kelainan mata kadar RBP sangat rendah yaitu <20 µg/100 ml. Namun, tingkat RBP kurang akurat,
karena mereka dipengaruhi oleh konsentrasi protein serum dan karena jenis RBP tidak dapat
dibedakan.
b. Pemeriksaan serum karotenoid lebih objective karena menggunakan pemeriksaan kromatografi dengan
sinar UV
c. Pemeriksaan albumin darah karena tingkat albumin adalah ukuran langsung dari kadar vitamin A
d. Pemeriksaan fungsi hati untuk mengevaluasi status vitamin A. Konsentrasi vitamin A penderita KEP
rendah <5 µg/gram jaringan hepar. Namun tindakan biopsy hati ini merupakan tindakan yang
mengandung resiko bahaya dan penentuan kadar vitamin A dalam jaringan hati tidak mudah untuk
dilakukan.
e. Pada anak-anak, pemeriksaan radiografi dari tulang panjang mungkin berguna saat evaluasi sedang
dibuat untuk pertumbuhan tulang dan untuk deposisi tulang periosteal berlebihan.
4. Dietetik
Anamnesa konsumsi makanan atau riwayat makan akan membantu diagnose dan menujukkan hidangan
yang tidak mengandung sumber yang kaya akan vitamin A atau prekusornya. Harus diingat bahwa beras
praktis tidak mengandung karotin dan vitamin A bentuk lain anak dapat pula menunjang diagnose sebagai
tambahan.
Misalnya:
• Apakah anak mendapatkan ASI eksklusif selama 6 bulan?
• Apakah anak mendapatkan MP-ASI setelah umur 6 bulan ?
• Sebutkan jenis dan frekuensi pemberiannya
• Bagaimana cara memberikan makan kepada anak : Sendiri / Disuapi.

F. Indikator Status Gizi KVA


Indikator status gizi KVA berdasarkan pemeriksaan kadar vitamin A dalam darah
UMUR (TAHUN) DEFISIENSI MARGIN CUKUP

Semua Umur < 10 µg/dl 10-20 µg/dl >20 µg/dl


Indikator ini lebih cocok untuk digunakan mendeteksi KVA atau status gizi vitamin A pada seseorang karena
lebih obyektif dan tidak semua yang kekurangan vitamin A menimbulkan xeropthalmia.

G. Indikator Kesehatan Masyarakat


Indikator atau kriteria diagnosis Xeroftalmia dan KVA sebagai masalah kesehatan masyarakat pada balita:
1. XN lebih dari 1%
2. X1B lebih dari 0,05%
3. X2=X3A=X3B lebih dari 0,01%
4. XS lebih dari 0,05%
5. Plasma vitamin A kurang dari 10 ug/dl melebihi 5%
Untuk keperluan survey dan mengetahui besar prevalensi KVA yang menjadi masalah kesehatan bagi
masyarakat, indicator atau kriteria ini lebih cocok untuk digunakan. Hal ini disebabkan karena pengenalan buta
senja, bercak bitot, keratomalasia dengan wawancara maupun dengan cara uji penglihatan di ruang gelap, dapat
dilakukan dengan cara yang sederhana, murah, spesifik, dan tidak memerlukan tenaga medis atau paramedic
tertentu, malainkan semua orang dapat melakukannya.

H. Penanggulangan Kurang Vitamin A


Melihat dampak yang dapat diakibatkan oleh kekurangan vitamin A seperti yang dijelaskan di atas, maka
masalah defisiensi vitamin A ini tidak boleh diremehkan karena dapat mengakibatkan kematian atau kita akan
kehilangan sumber daya manusia yang unggul. Untuk mengatsi ini ada beberapa langkah yang harus terus
dilaksanakan, antara lain yaitu :
1. Memperbaiki pola makanan masyarakat melalui penyuluhan-penyuluhan sehingga masyarakat kita semakin
gemar mengkonsumsi sayuran dan buah-buahan.
2. Melakukan fortifikasi vitamin A terhadap beberapa bahan makanan yang banyak dikonsumsi masyarakat
dengan memperhatikan syarat-syarat fortifikasi misalnya tidak menyebabkan perubahan rasa pada bahan
makanan tersebut atau tidak menyebabkan kenaikan harga yang terlalu tinggi. Contoh bahan makanan yang
dapat dilakukan fortifikasi adalah pada MSG atau pada Mie instan
3. Meningkatkan program pemberian suplemen vitamin A yang sudah berjalan pada kelompok sasaran, yaitu :
a. Bayi umur 6 – 12 bulan : diberikan kapsul vitamin A warna biru, dosis 100.000 UI setiap bulan
pebruari dan Agustus
b. Anak umur 1 – 5 Tahun : diberikan kapsul vitamin A warna merah, dosis 200.000 UI setiap bulan
pebruari dan Agustus
c. Ibu nifas : diberikan kapsul vitamin A dosis 200.000 UI sehari setelah melahirkan dan diberikan lagi
24 jam kemudian ( masing-masing satu kapsul )
d. Anak yang terserang campak, diberikan kapsul vitamin A dosis 200.000 IU
e. Pemerian imunisasi pada anak harus terus dipantau supaya terhindar dari penyakit infeksi
f. Mengkonsumsi makanan yang seimbang agar metabolism vitamin A dalam tubuh dapat berjalan secara
normal.

I. Sumber Makanan Vitamin A


Sumber vitamin A dapat dibedakan atas preformed vitamin A (vitamin A bentuk jadi) dan provitamin
A (bahan baku vitamin A). Vitamin A bentuk jadi atau retinol bersumber dari pangan hewani, seperti daging,
susu dan olahannya (mentega dan keju), kuning telur, hati ternak dan ikan, minyak ikan (cod, halibut, hiu).
Provitamin A atau korotenoid umumnya bersumber pada sayuran berdaun hijau gelap (bayam,
singkong, sawi hijau), wortel, waluh (labu parang), ubi jalar kuning atau merah, buah-buahan berwarna kuning
(pepaya, mangga, apricot, peach), serta minyak sawit merah. Sayangnya, pada proses pengolahan lebih lanjut,
banyak betakaroten yang hilang, sehingga kadarnya hanya tinggal sedikit pada minyak goreng.
Betakaroten merupakan provitamin A yang paling efektif diubah oleh tubuh menjadi retinol (bentuk
aktif vitamin A). Karotenoid lainnya, seperti lycopene (tomat dan semangka), xanthopyl (kuning telur dan
jagung), zeaxanthin (jagung), serta lutein, walaupun memiliki aktivitas untuk peningkatan kesehatan, bukan
merupakan sumber vitamin A.

KEP

Penilaian Secara Langsung

1. ANTROPOMETRI

a. Gizi Linear

- TB

- L.DADA

- L.KEPALA

Menunjukkan keadaan gizi (gizi kurang) akibat kekurangan energi dan protein yang diderita dimasa lampau

b. Massa Jaringan

- BB

- LILA

- TEBAL LEMAK

Menunjukkan keadaan gizi (gizi kurang) akibat kekurangan energi dan protein yang diderita sekarang atau pada saat
pengukuran Antropometri digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan protein dan energi.
ketidakseimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak,otot dan
jumlah air pada tubuh. BB/U, TB/U, LLA/U, BB/TB, LLA/TB
- LLA/U adalah indikator yang baik untuk menilai KEP berat

- Lingkar Dada umur antara 6 bln- 5th rasio lingkar dada < 1 KEP pada balita

2. BIOKIMIA

Kadar prealbumin :

- Marasmus : 12,4+/-1,0 µg/dl

- marasmus-kwashiorkor : 3,3+/-0,2 µg/dl

- kwasiorkor : 3,2+/- 0,4 µg/dl

3. KLINIS

Pemeriksaan spesimen yang diuji secara laboratorium yang dilakukan pada berbagai macam jaringan
tubuh.jaringan tubuh yang digunakan antara lain; terutama Hb, albumin, serum ferritin.

a. Marasmus :

• anak tampak sangat kurus

• wajah seperti orang tua.

• cengeng dan rewel

• kulit keriput jaringan lemak subkutis sedikit

• sering disertai diare kronik/konstipasi, serta penyakit kronis.

• tekanan darah, detak jantung dan pernafasan berkurang

b. Kwashiorkor :

•oedema t.u pd kaki (dorsum pedis)

•wajah membulat dan sembab.

•otot mengecil, t.u pada posisi berdiri&duduk, anak berbaring terus menerus.

•perubahan mental

•anoreksia

•pembesaran hati Infeksi, anemia, dan diare

• rambut berwarna kusam dan mudah dicabut

• gangguan kulit berupa bercak merah meluas dan berubah menjadi hitam terkelupas (crazy pavement

dermatosis)
• pandangan anak nampak sayu.

c. Marasmus-kwashiorkor :

•gejala gabungan dari tanda-tanda marasmus dan kwashiorkor

4. BIOFISIK

TES SITOLOGI (CYTOLOGICAL TEST)

Tes ini digunakan untuk menilai KEP berat. Pemeriksaan ini dilakukan dengan melihat noda pada epitel (stained
epithelial smears). Hasil dari penelitian pada binatang dan anak KEP menunjukkan bahwa perubahan sel meningkat
pada tingkatan KEP dini

5. DIETETIK

Metode pengukuran dietetik

meliputi 3 hal yaitu:

1.Tingkat nasional

2. Tingkat keluarga

3. Tingkat individu

Kuantitatif :

• 24 hours recall method

• repeated 24 hours recall method

• estimated food record

• Weighted food record

Kualitatif :

•dietary history

•Food frequency questionery

 Penilaian Secara Tidak Langsung :

1. SURVEI KONSUMSI

2. STATISTIK VITAL

3. FAKTOR EKOLOGi
DISTRIBUSI 5 MASALAH GIZI DI INDONESIA

1. Kekurangan Vitamin A (KVA)

a. Lokasi

Kekurangan vitamin A banyak ditemukan di beberapa daerah, terutama di negara berkembang seperti Asia
Tenggara. Selain itu banyak juga terjadi pada daerah yang mengalami kesulitan mengakses ke sarana pelayanan
kesehatan, daerah tandus, sering paceklik, atau rawan pangan, serta daerah dengan keadaan darurat karena bencana
alam, perang, dan kerusuhan.

Selama krisis ekonomi dan situasi politik yang tidak kondusif, terjadi kecenderungan meningkatnya KVA
pada ibu dan balita di daerah miskin perkotaan. KVA juga terjadi pada anak yang tinggal didaerah pengunungan.

b. Kelompok Umur
Penderita Kekurangan Vitamin A yang terkena katarak di Indonesia saat ini berbanding lurus dengan
jumlah penduduk usia lanjut. Selain itu masyarakat Indonesia memiliki kecenderungan menderita katarak 15 tahun
lebih cepat dibandingkan penderita di daerah subtropis. Sekitar 16% sampai dengan 22% penderita katarak yang
dioperasi berusia di bawah 55 tahun. Hal ini diduga berkaitan erat dengan faktor degeneratif akibat masalah gizi.
Pada balita masalah Kekurangan Vitamin A (KVA) sudah bukan menjadi masalah kesehatan masyarakat,
karena prevalensi KVA klinis pada balita cenderung mengalami penurunan. Namun kita perlu waspada karena
50,2% balita masih menderita KVA subklinis, yaitu tingkat yang belum menampakkan gejala nyata, ditandai dengan
rendahnya serum retinol (serum retinol <20nngr/dl) yang sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup anak.
KVA tingkat subklinis ini hanya dapat diketahui dengan memeriksa kadar vitamin A dalam darah di laboratorium

c. Gender

Penyakit Kekurangan Vitamin A (KVA) dapat menyerang penduduk pria maupun wanita.

d. Faktor Sosial Ekonomi

Sebagian besar penyakit Kekurangan Vitamin A (KVA) menyerang masyarakat di daerah miskin dengan
kondisi sosial ekonomi yang rendah. Karena masyarakat dengan kondisi sosial ekonomi yang rendah berkaitan
dengan kemampuan daya beli yang rendah, sehingga mereka sulit memperoleh bahan makanan dengan kandungan
gizi dan vitamin yang cukup untuk kebutuhan tubuh.

Faktor lain yang mempengaruhi yaitu pengetahuan yang kurang dari masyarakat, kurangnya ketersediaan
pangan sumber vitamin A, kurang tersedianya air bersih dan sanitasi lingkungan yang tidak sehat, serta pola dan
cara makan tidak seimbang.
e. Faktor Budaya

Masalah Kekurangan Vitamin A (KVA) tidak menyerang suatu masyarakat dengan suku atau ras tertentu,
tetapi kebanyakan masyarakat yang menderita KVA berada di daerah tropis daripada daerah subtropis. KVA ini juga
dapat terjadi pada golongan masyarakat yang menganggap tabu atau pantangan terhadap makanan sumber vitamin
A.

f. Faktor Musim
Kondisi iklim tropis yang hujan sepanjang tahun mengakibatkan ketersediaan makanan tidak habis, hanya
saja bila kondisi memburuk seperti curah hujan yang terlalu tinggi dapat akibatkan percepat pembusukan bahan
makanan. Atau bahkan bila curah hujan terlalu sedikit disaat kemarau dapat akibatkan pasokan bahan makanan
menurun.

g. Faktor Pertanian

Kebanyakan daerah yang terdapat kasus Kekurangan Vitamin A (KVA) adalah daerah dengan makanan
pokok beras. Hal ini karena kandunagn vitamin A pada beras sedikit/kurang untuk mencukupi kebutuhan vitamin A
dalam tubuh. Kekurangan vitamin A dapat mengakibatkan konsekuensi yang serius. Hal ini biasanya disertai
kekurangan protein dan mineral seng.

h. Faktor Internal

Malnutrisi pada masa kanak-kanak (marasmus dan kwashiorkor), sering disertai dengan xeroftalmia, bukan
karena kurangnya vitamin A dalam makanan, tetapi juga karena kekurangan kalori dan protein menghambat
pengangkutan vitamin A. Kekurangan vitamin A juga dapat disebabkan oleh penyebab primer dan sekunder.

Penyebab primernya adalah kekurangan provitamin A dan pembentukan vitamin A dalam pengaturan
makan sehari- hari. Hal ini dapat terjadi karena kurang mengkonsumsi hati, buah atau sayuran yang berwarna
kuning atau hijau. Sedangkan penyebab sekundernya adalah terjadinya kegagalan dalam penggunaan vitamin A,
yaitu adanya kegagalan dalam penyerapan lemak di usus.

Kondisi yang demikian dapat terjadi pada penderita gangguan pankreas, defisiensi selenium, serta
seseorang yang melakukan diet rendah lemak. Selain itu terdapat faktor individu (biologis) yang menjadi faktor
resiko seseorang mengalami Kekurangan Vitamin A (KVA), diataranya adalah:

• Anak dengan Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR)

• Anak yang tidak mendapat ASI Eksklusif dan tidak diberi ASI sampai usia 2 tahun.

• Anak yang tidak mendapat MP-ASI yang cukup baik mutu maupun jumlahnya.

• Anak kurang gizi atau di Bawah Garis Merah (BGM) pada KMS.

• Anak yang menderita penyakit dan infeksi (campak, diare, TBC, pneumonia,malaria, cacingan, dan
HIV/AIDS).

• Anak yang tidak pernah mendapatkan kapsul vitamin A dan imunisasi.

2. Obesitas
a. Lokasi

Lebih banyak terdapat di daerah perkotaan daripada di daerah pedesaan. Karena di daerah perkotaan
semuanya serba maju, baik teknologi informasi maupun pola gaya hidup. Sehingga meningkatkan prevalensi
obesitas.

b. Kelompok Umur

Data antropometri anak balita (BB/U) yang dikumpulkan melalui Susenas dan dianalisis oleh Direktorat
Bina Gizi Masyarakat (BGM) Depkes dengan menggunakan criteria +0,2 SB sebagai ambang batas gizi
lebih/kegemukan, menunjukkan bahwa dalam 10 tahun yaitu dari tahun 1989 hingga 1999 prevalensi obesitas/gizi
lebih pada balita meningkat dari 0,77% hingga 4,48%. Dari data yang didapatkan tersebut, menunjukkan bahwa
balita merupakan kelompok umur yang rentan terhadap terjadinya obesitas/gizi lebih.

c. Gender

Hasil pemantauan oleh Direktorat BGM Depkes pada tahun 1996/1997 terhadap 10.949 orang dewasa
terdiri dari 3.661 laki-laki (34,9%) dan 6.833 perempuan (65,1%) berumur 19-65 tahun yang dipilih secara acak di
14 kota menunjukkan bahwa prevalensi obesitas pada laki-laki adalah sebesar 2,5% dan pada perempuan 5,9%
dengan rata-rata 4,7%. Kriteria obesitas adalah Indeks Masa Tubuh (IMT) > 30,0. Data ini menunjukkan prevalensi
obesitas lebih besar pada permpuan daripada laki-laki.

d. Faktor Sosial ekonomi

Peningkatan pendapatan pada kelompok masyarakat tertentu menyebabkan perubahan dalam gaya hidup,
terutama dalam hal pola makan. Disamping itu perbaikan ekonomi menyebabkan berkurangnya aktifitas fisik
masyarakat tertentu. Perubahan pola makan dan aktifitas fisik ini berakibat semakin banyaknya penduduk golongan
tertentu mengalami masalah gizi lebih berupa kegemukan dan obesitas. Jadi terjadinya obesitas umumnya pada
kelompok masyarakat yang sosial ekonominya tinggi.

e. Faktor Budaya

Perubahan pola makan yang merupakan penyebab terjadinya obesitas, dipercepat pula oleh makin kuatnya
arus budaya makanan asing yang disebabkan oleh kemajuan teknologi informasi dan globalisasi.

f. Faktor Musim

Musim penghujan menyebabkan meningkatnya pasokan bahan makanan, sehingga masyarakat dapat
dengan mudah mendapatkan suatu bahan makanan tertentu. Hal itu menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi
makanan yang berlebihan. Faktor tersebut juga berpengaruh terhadap terjadinya obesitas di kalangan masyarakata
tertentu.

g. Faktor Pertanian

Pasokan hasil produksi yang meningkat juga memicu masyarakat untuk lebih mudah mengakses bahan
makanan pokok tertentu sehingga dapat pula terjadi peningkatan konsumsi.

h. Faktor internal

a. Faktor Genetik

Merupakan faktor keturunan dari orang tua yang sulit dihindari. Bila ayah atau ibu memiliki
kelebihan berat badan, maka hal ini dapat diturunkan pada anak. Jika kedua orang tua mengalami
obesitas maka kemungkinan anak menjadi obes yaitu 80% dan jika salah satu orang tua maka
kemungkinannya 40%.
b. Bangsa atau suku
Keturunan atau latar belakang pada suatu bangsa atau suku akan berpengaruh
besar baik secara langsung atau tidak langsung misalnya kebiasaan makan makanan yang
mengandung banyak energi dan kurang olahraga
c. Gangguan emosi
Sebab terpenting timbulnya obesitas pada anak-anak dan remaja yaitu misalnya anak yang
sedang bersedih dan memisahkan diri dari lingkungan timbul rasa lapar yang berlebih sebagai
kompensasi terhadap masalhnya.

3. GAKY

a. Lokasi

Penderita GAKY kebanyakan ditemukan di pegunungan karena kandungan yodium dalam air dan tanah
yang rendah ataupun tidak mengandung yodium sama sekali. Yodium yang berada dilapisan tanah paling atas
terkikis oleh banjir atau hujan dan berakibat tumbuh-tumbuhan, hewan dan air di wilayah ini mengandung yodium
rendah bahkan tidak ada.

Kandungan yodium dalam tanah dan air di pegunungan disebabkan banjir sehingga yodium terbawa ke
dataran rendah atau daerah pantai meski di daerah panti juga bisa terjadi GAKY karena disebabkan faktor
intoksikasi Pb, hal ini kemungkinan disebabkan kadar selenium dalam darah rendah, sehingga memudahkan
masuknya Pb ke dalam darah.

b. Kelompok Umur

Banyak terjadi pada anak-anak dengan status gizi kurang (BB/TB) mempunyai risiko kekurangan yodium
lebih besar dibandingkan dengan anak gizi baik, anak dengan status gizi kurang atau buruk akan berisiko pada
biosintesis hormon tiroid karena kurangnya TBP (Thyroxin binding Protein) sehingga sintesis hormon tiroid akan
berkurang tetapi dapat pula terjadi pada kelompok umur dewasa dan neonates.

• Dewasa ( ibu hamil)

Ibu hamil yang kekurangan asupan yodium akan menganggu pertumbuhan otak janin. Karena pada saat
itu, otak janin memerlukan T4 dari ibu. Ibu hamil yang kekurangan yodium, memiliki kadar T4 yang
rendah sehingga kurang mampu memenuhi kebutuhan janin terhadap T4. Selain itu, ibu yang
kekurangan yodium akan menyebabkan janin mengalami hipotiroidisme.

• Bayi

Pada bayi yang mengalami kekurangan yodium ini akan mengalami hipotiroidisme, retardasi fisik dan
mental, serta kretinisme.

• Anak-anak

IQ kurang yang ditandai dengan kognitif rendah karena kekurangan T4 pada serum darah sehingga
menyebabkan hipotiroidisme otak.

c. Gender

Faktor gender tidak menjadi faktor terjadinya GAKY di suatu daerah.

d. Faktor Sosial Ekonomi


Masayarakat dengan sosial ekonomi rendah lebih rentan untuk terkena GAKY karena kemampuan daya
beli keluarga yang rendah untuk mencukupi asupan pangan yang mengandung protein dan zat goitrogenik. Namun
pada masyrakat dengan ekonomi menengah ke atas juga bisa terkena GAKY karena pola konsumsi pangan setiap
individu. Pola konsumsi pangan meliputi aspek kuantitas dilihat dari jumlah pangan itu sendiri sedangkan aspek
kualitas meliputi pola (keragaman, jenis) konsumsi pangan dan nilai mutu gizi.

e. Faktor Budaya

Budaya mempengaruhi pola menu makanan, karena factor kebiasaan. Missal: masyarakat daerah Jawa
Tengah lebih menyukai makanan yang manis-manis, sehingga penggunaan garam dapur dalam bumbu masakan
keseharian juga kurang dan akhirnya mempengaruhi asupan Iodium yang terkandung dalam garam dapur.

f. Faktor Musim
Faktor musim tidak menjadi faktor terjadinya GAKY di suatu daerah.

g. Faktor Pertanian
Rendahnya konsumsi sayuran yang memiliki zat goitrogenik tanpa pemasakan terlebih dahulu, seperti
kubis, sawi dll dan kurang asupan protein.

h. Faktor Internal

Asupan yang rendah protein dan adanya zat goitrogenik dalam makanan akan menyebabkan gangguan
pengambilan yodium oleh kelenjar tiroid karena protein (albumin, globulin, prealbumin) merupakan alat transport
hormon tiroid. Protein transport berfungsi mencegah hormon tiroid keluar dari sirkulasi dan sebagai cadangan
hormon.

4. Kekurangan Energi Protein (KEP)

a. Lokasi
KEP kebanyakan terjadi pada negara miskin, meskipun pada negara berkembang dan negara maju pun KEP
juga ada. Distribusi KEP banyak terjadi di daerah-daerah rawan pangan, terpencil dan slump areas (daerah kumuh).
Masalah gizi ini juga cenderung meningkat di daerah perkotaan tetapi keadaan status gizi balita yang tinggal di
pedesaan masih lebih memprihatinkan dibandingkan yang berada di perkotaan.

b. Kelompok Umur
Penderita Kurang Energi Protein (KEP) pada umumnya adalah anak balita. KEP ditemukan pada 35,4
persen anak balita (sekitar 8,5 juta jiwa) tahun 1995, dan meningkat menjadi 39,8 persen tahun 1998. Data Unicef
tahun 1999 menunjukkan, 10-12 juta (50-69,7 persen) anak balita Indonesia (empat juta di antaranya di bawah satu
tahun) berstatus gizi sangat buruk dan mengakibatkan kematian.

c. Gender
Berdasarkan penelitian Anton Kristijono (2000), sebesar 60,20 % dari 98 balita KEP adalah perempuan
usia 12-23 bulan.

d. Faktor Sosial Ekonomi


Peningkatan angka prevalensi KEP pada balita, sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dengan
pendapatan di bawah garis kemiskinan. Hal ini dikarenakan masyarakat yang memiliki status ekonomi ke bawah,
cenderung memiliki daya beli makanan yang lebih rendah. Sehingga mereka menjadi tidak bisa memenuhi
kebutuhan gizinya.
Tingkat pendidikan dan pengetahuan orangtua juga berpengaruh terhadap asupan makanan balita. Ibu
dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan yang tinggi akan mnyediakan menu makanan yang sehat dan bergizi
untuk anggota keluarganya terutama balitanya.
Ketahanan pangan di keluarga adalah kemamuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh
anggota keluarganya baik menyangkut jumlah maupun mutu gizinya. Pola pengasuhan anak adalah kemampuan
keluarga dan masyarakat untuk menyediakan waktu, perhatian dan dukungan, sehingga anak dapat tumbuh dan
berkembang dengan baik secara fisik, mental maupun sosial sanitasi, penyediaan air bersih dan pelayanan kesehatan
dasar yang terjangkau oleh setiap keluarga.

e. Faktor Budaya

Budaya yang turun temurun masih menjadi “kiblat atau panutan” bagi masyarakatnya. Hal ini seperti:

1) Memberi makan bayi yang masih baru lahir (di lothek).

2) Pantangan terhadap makanan tertentu seperti anak-anak tidak boleh makan daging karena bisa
menyebabkan kecacingan.

3) Perbedaan gender : seperti laki-laki sebagai tulang punggung keluarga / kepala keluarga.
Sedangkan perempuan : mengurus anak di rumah.

Sehingga kebutuhan nutrisi diutamakan untuk ayah yang bekerja setelah itu baru
anak-anak kemudian yang terakhir baru ibu. Sehingga anak-anak dan perempuan (ibu) rentan terhadap
kekurangan pangan.

f. Faktor Musim
Pada musim kemarau terjadi kekeringan sehingga tidak ada air, tidak bisa bercocok tanam sehingga
kesulitan pangan. Pada musim penghujan timbul banjir sehingga banyak sawah terendam dan gagal panen serta
kesulitan pangan.

g. Faktor Pertanian
Pada musim paceklik atau kemarau, maka jumlah hasil pertanian akan berkurang, sehingga distribusi
makanan pokok seperti beras beredarnya akan berkurang. Kesempatan anggota keluarga untuk mendapatkan bahan
makanan tersebut juga akan berkurang. Namun keadaan ini cenderung membaik saat musim panen tiba.

h. Faktor Internal
Proses infeksi, baik infeksi saluran pencernaan, pernapasan atau penyakit-penyakit lain yang terjadi pada
anak. Contohnya seperti terkena penyakit diare, infeksi saluran pernapasan, TBC, polio, dan lain-lain. Penyakit yang
berhubungan dengan KEP seperti defisiensi vitamin A juga bisa menyebabkan balita terkena KEP.

5. Anemia

a. Lokasi
Anemia defisiensi zat besi lebih cenderung berlangsung di negara yang sedang berkembang daripada negara
yang sudah maju. Tiga puluh enam persen (atau sekitar 1400 juta orang) dari perkiraan populasi 3800 juta orang di
negara yang sedang berkembang menderita anemia jenis ini, sedangkan prevalensi di negara maju hanya sekitar 8%
(atau kira-kira 100 juta orang) dari perkiraan populasi 1200 juta orang.

b. Kelompok umur
Anemia bisa menyerang seluruh kelompok umur. Di Indonesia prevalensi anemia sebesar 57,1 % diderita
oleh remaja putri, 27,9 % diderita oleh Wanita Usia Subur (WUS) dan 40,1 % diderita oleh ibu hamil (Herman,
2006). Pada anemia aplastik, penderita tertinggi adalah remaja dan kedua adalah lansia.
Wanita yang berumur kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun, mempunyai risiko yang tinggi untuk
hamil. Karena akan membahayakan kesehatan dan keselamatan ibu hamil maupun janinnya, berisiko mengalami
pendarahan dan dapat menyebabkan ibu mengalami anemia. Wintrobe (1987) menyatakan bahwa usia ibu dapat
mempengaruhi timbulnya anemia, yaitu semakin rendah usia ibu hamil maka semakin rendah kadar hemoglobinnya.
Muhilal et al (1991) dalam penelitiannya menyatakan bahwa terdapat kecendrungan semakin tua umur ibu hamil
maka presentasi anemia semakin besar.
Kelompok bayi dan anak - anak rentan terhadap anemia zat besi karena kebutuhan zat besi selama masa ini
meningkat dengan adanya pertumbuhan jaringan yang cepat dan kenaikan massa sel darah merah. Masa bayi dan
anak-anak merupakan masa pertumbuhan yang cepat. Anak usia sekolah dasar yaitu antara umur 6-11 tahun
merupakan masa saat mereka mengalami growth spurt (percepatan pertumbuhan) yang kedua setelah masa balita.

c. Gender
Berdasarkan penelitian, prevalensi anemia pada wanita lebih besar dibandingkan dengan pria, oleh karena
usia reproduksi sesuai dengan kodratnya, harus mengalami haid setiap bulannya. Darah yang keluar pada waktu haid
menyebabkan kehilangan zat besi 1.3 mg per hari.
Anemia hemolitik antibodi hangat lebih sering terjadi pada wanita. Hemoglobinuria paroksismal nokturnal
adalah anemia hemolitik yang jarang terjadi, yang menyebabkan serangan mendadak dan berulang dari
penghancuran sel darah merah oleh sistem kekebalan. anemia ini lebih sering terjadi pada pria muda, tetapi bisa
terjadi kapan saja dan pada jenis kelamin apa saja.Penyebabnya masih belum diketahui.

d. Faktor sosial
Proporsi terbesar ibu yang menderita anemia adalah ibu dengan pendidikan rendah dan pengetahuan
tentang anemia masih kurang. Ibu hamil dengan keluarga yang memiliki pendapatan yang rendah akan
mempengaruhi kemampuan untuk menyediakan makanan yang adekuat dan pelayanan kesehatan untuk mencegah
dan mengatasi kejadian anemia. Ibu hamil yang memiliki pendidikan yang kurang juga akan mempengaruhi
kemampuan ibu dalam mendapatkan informasi mengenai anemia pada kehamilan.
Kemiskinan dan kekurangan persediaan pangan yang bergizi merupakaan faktor penting masalah kurang
gizi. Sebab lain yang penting dari gangguan gizi adalah kurangnya pengetahuan gizi atau kemampuan untuk
menerapkan informasi dalam kehidupan sehari-hari. (Suharjo, 1996).

e. Faktor budaya
Pendapat bahwa seorang wanita yang hamil makan untuk dua orang adalah konsep Barat. Di banyak negeri
negeri Asia, nyatanya wanita dengan sadar mengurangi makan sewaktu sedang hamil, dengan tujuan agar bayinya
kecil dan kelahirannya mudah. Sehingga asupan gizi untuk ibu dan bayinya menjadi berkurang dan dapat
menyebabkan anemia.
Adanya pantangan untuk makan makanan tertentu, selain harus menjauhkan diri dari makan makanan
seperti biasa. Hal ini banyak terjadi di banyak daerah di Indonesia pantang makan makanan tertentu pada saat
sedang hamil.
Ibu post partum harus berpantang makanan daging, telur, dan sebagainya yang justru sangat diperlukan
untuk pemenuhan gizi ibu post partum. Semakin rendah factor ekonomi keluarga maka semakin banyak makanan
yang berpantang untuk dimakan. Notoadmojo (1997) mengartikan kondisi social ekonomi berpengaruh terhadap
budaya berpantang makanan, dimana status social ekonomi ditentukan oleh pendidikan, pekerjaan, pendapatan,
lingkungan tempat tinggal dan jumlah keluarga.

f. Faktor Musim
Kondisi iklim tropis di Indonesia yang hujan sepanjang tahun mengakibatkan ketersediaan makanan tidak
habis, hanya saja bila kondisi memburuk seperti curah hujan yang terlalu tinggi dapat akibatkan percepat
pembusukan bahan makanan. Atau bahkan bila curah hujan terlalu sedikit disaat kemarau dapat akibatkan pasokan
bahan makanan menurun.

g. Faktor pertanian
Adanya tambahan makanan yang masuk ke rumah tangga tidak pula menjamin bahwa kebutuhan gizi
tambahan untuk seorang wanita yang sedang hamil dapat dipenuhi.
Besi yang ada dalam makanan per unit energi yang dikonsumsi di negara sedang berkembang lebih tinggi
daripada negara maju, namun oleh karena total energi yang dikonsumsinya tidak cukup maka terjadi juga keadaan
kurangnya konsumsi besi. Kelompok anak anak dan wanita yang cenderung makan lebih sedikit serta pada orang
orang yang hidup dengan makanan rendah energi mempunyai risiko untuk mengalami defisiensi besi.
Para petani tomat di daerah lembah menggunakan sejumlah besar pestisida dan mampu mengakses pasar
sayuran yang relatif menguntungkan. Mereka menggunakan pendapatan dari penjualan produk pertaniannya untuk
membeli pangan olahan. Tingginya tingkat anemia dan rendahnya indeks massa tubuh pada anak-anak usia 8—14
tahun di daerah penghasil tomat menunjukkan bahwa makanan mereka tidak terlalu bergizi. Sementara petani kopi
organik yang tinggal di daerah yang lebih terpencil secara geografis lebih bergantung pada makanan produksi
sendiri seperti sayuran dan ayam, yang lebih bergizi dan menyehatkan.

h. Faktor internal
Menurut Bakta (2006) anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh karena rendahnya asupan besi,
gangguan absorbsi, serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun:
1. Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun dapat berasal dari:
a. Saluran cerna: akibat dari tukak peptik, pemakaian salisilat atau NSAID, kanker
lambung, divertikulosis, hemoroid, dan infeksi cacing tambang.
b. Saluran genitalia (perempuan): menorrhagia.
c. Saluran kemih: hematuria.
d. Saluran nafas: hemoptisis.
2. Faktor nutrisi, yaitu akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan (asupan yang kurang) atau
kualitas besi (bioavailabilitas) besi yang rendah.
3. Kebutuhan besi meningkat, seperti pada prematuritas, anak dalam masa pertumbuhan, dan
kehamilan.
4. Gangguan absorbsi besi, seperti pada gastrektomi dan kolitis kronik, atau dikonsumsi bersama
kandungan fosfat (sayuran), tanin (teh dan kopi), polyphenol (coklat, teh, dan kopi), dan kalsium (susu
dan produk susu).
Keadaan imunologis dari ibu hamil yang dapat menyebabkan anemia dihubungkan dengan proses hemolitik
sel darah merah yang nantinya disebut anemia hemolitik. Hal ini juga berhubungan dengan ada maupun tidak
adanya penyakit yang mendasari seperti SLE(Systemic Lupus Erythematosus) yang dapat menyebabkan hancurnya
sel darah merah.

DETERMINAN DAN VARIABEL 5 MASALAH GIZI DI INDONESIA

KEP

I. Definisi KEP

Kekurangan energi protein adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi
dan protein dalam makanan sehari-hari sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi (AKG. Menurut
Supariasa ( 2000) Kurang Energi Protein (KEP) adalah seseorang yang kurang gizi yang disebabkan oleh
rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari dan atau gangguan penyakit tertentu. KEP
terutama terjadi pada anak-anak umur dibawah lima tahun (Balita), dan merupakan salah satu masalah gizi
utama di Indonesia yang perlu ditanggulangi. Usia 6 bulan merupakan titik awal timbulnya masalah KEP,
karena diperkirakan pada usia tersebut kualitas kandungan zat gizi Air Susu Ibu (ASI) sudah mulai berkurang
sementara pemberian makanan pendamping ASI tidak mencukupi.
II. Determinan Balita Penderita KEP

Determinan terjadinya KEP dibagi menjadi 2, yaitu:

1. Determinan Langsung :

a. Intake energy dan protein kurang

Protein adalah zat yang sangat dibutuhkan anak untuk tumbuh dan berkembang. Meskipun intake makanan
mengandung kalori yang cukup, tidak semua makanan mengandung protein/asam amino yang memadai
sesuai dengan kecukupan AKG yang dianjurkan

b. Penyakit infeksi

Adanya penyakit infeksi pada saluran pencernaan akan mempengaruhi status imun dan selanjutnya akan
menyebabkan gangguan absorpsi zat makanan. Misalnya seorang anak yang menderita diare. Dinding usus
halusnya akan berkurang kemampuannya untuk menyerap zat makanan.

2. Determinan tidak langsung :

a. Tingkat pendidikan dan pengetahuan gizi orang tua yang rendah sehingga terjdi kesalahan dalam pola
asuh seperti:

- Tidak memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan

- Kesalahan memilih makanan untuk anak, seperti memberikan MP-ASI terlalu dini atau tidak
sesuai umur

- Imunisasi tidak lengkap

b. Tingkat social ekonomi

Jenis pekerjaan mempengaruhi tingkat pendapatan. Pendapatan mempengaruhi besarnya biaya


pengeluaran untuk konsumsi (daya beli) dan selanjutnya akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas
makanan untuk konsumsi.

c. Jumlah anggota keluarga

Jumlah anggota keluarga yang terlalu banyak sehingga distribusi makanan dalam keluarga kurang.

d. Umur

Anak-anak rentan terhadap KEP karena mereka masih dalam fase tumbuh kembang yang memerlukan
kecukupan zat gizi.

e. Sosial Budaya

Budaya dan kepercayaan yang ada di masyarakat berpengaruh pada pola asuh. Contohnya, masyarakat
biasanya memberikan anak makan nasi sejak dini karena menganggap anak akan cepat besar dan
gemuk. Selain itu, porsi yang diberikan pada anak hanya asal anak kenyang tanpa memperdulikan
kandungan gizi di dalamnya.

III. Variable yang mempengaruhi KEP


1. Variabel bebas

No Variabel Ukuran Skala

1. Tingkat kecukupan konsumsi Ordinal


energi
(1)<70% AKG (1)Defisit

(2)70 – 80% AKG (2)Kurang

(3)80 – 99% AKG (3)Sedang

(4)≥100% AKG (4)Baik

*Diukur dengan

recall

2. Tingkat kecukupan konsumsi Ordinal


protein
(1)<70% AKG (1)Defisit

(2)70 – 80% AKG (2)Kurang

(3)80 – 99% AKG (3)Sedang

(4)≥100% AKG (4)Baik

*Diukur dengan

recall

3. Penyakit Infeksi Nominal

(1)Tidak pernah sakit (1)Tidak terinfeksi


karena penyakit
infeksi dalam satu (2)Terinfeksi
bulan terakhir

(2)Pernah sakit karena


penyakit infeksi dalam
satu bulan terakhir

4. Tingkat pendapatan keluarga Ordinal

(1)<Rp663.000,- (1)Kurang
(2)Rp.663.000,-
s.dRp.1.271.000,- (2)Sedang
(3)>Rp.1.271.000,-
*Diketahui dengan (3)Lebih
kuesioner

5. Tingkat pendidikan ibu Ordinal

(1) Tidak Sekolah (1)Tidak Sekolah

(2) Lulus SD (2)SD


(3) Lulus SMP (3)SMP

(4) Lulus SMU (4)SMU

(5) Lulus PT (5)PT

*Diketahui dengan
kuesioner

6. Tingkat pengetahuan ibu tentang Ordinal


gizi dan kesehatan
(1) Skor >80% (1)Baik

(2) antara 60%–80% (2)Sedang

(3) Skor <60% (3)Kurang

*Diketahui dengan
kuesioner

7. Jumlah anak Ordinal

(1)< 4 (1)Sedikit

(2)≥4 (2)Banyak

*Diketahui dengan
kuesioner

2. Variabel terikat adalah status KEP.


Oleh karena itu, dibutuhkan suatu usaha untuk mencegah terjadinya keadaan KEP yang lebih parah di masa
mendatang, salah satunya dengan meningkatkan pengetahuan gizi ibu, terutama mengenai konsumsi energi
dan protein yang dianjurkan sehingga memudahkan ibu untuk mempersiapkan cukup energi dan protein
bagi balita dan keluarga.

GAKY

Hal yang mendasar dari penyebab GAKY adalah kandungan yodium dalam tanah yang rendah. Semua
tumbuhan yang berasal dari daerah endemis GAKY akan mengandung yodium yang rendah sehingga sangat
diperlukan adanya garam beryodium atau bahan makanan dari luar daerah yang non endemis .

A. Faktor Determinan GAKY (Gangguan Akibat Kekurangan Yodium)

1. Faktor Defisiensi Iodium dan Iodium Excess

Defisiensi iodium merupakan sebab pokok terjadinya masalah GAKI. Hal ini disebabkan karena
kelenjar tiroid melakukan proses adaptasi fisiologis terhadap kekurangan unsur iodium dalam makanan dan
minuman yang dikonsumsinya. Iodium Excess terjadi apabila iodium yang dikonsumsi cukup besar secara
terus menerus, seperti yang dialami oleh masyarakat di Hokaido (Jepang) yang mengkonsumsi ganggang
laut dalam jumlah yang besar. Bila iodium dikonsumsi dalam dosis tinggi akan terjadi hambatan
hormogenesis, khususnya iodinisasi tirosin dan proses coupling.
2. Faktor Geografis
GAKI sangat erat hubungannya dengan letak geografis suatu daerah, karena pada umumnya
masalah ini sering dijumpai di daerah pegunungan seperti pegunungan Himalaya, Alpen, Andres dan di
Indonesia gondok sering dijumpai di pegunungan seperti Bukit Barisan Di Sumatera dan pegunungan Kapur
Selatan. Daerah yang biasanya mendapat suplai makanannya dari daerah lain sebagai penghasil pangan,
seperti daerah pegunungan yang notabenenya merupakan daerah yang miskin kadar iodium dalam air dan
tanahnya. Dalam jangka waktu yang lama namun pasti daerah tersebut akan mengalami defisiensi iodium
atau daerah endemik iodium. Selain di daerah pegunungan (dataran tinggi), GAKY juga berpotensi terjadi di
daerah yang sering terjadi banjir.

3. Faktor Bahan Pangan Goiterogenik

Kekurangan iodium merupakan penyebab utama terjadinya gondok, namun tidak dapat dipungkiri
bahwa faktor lain juga ikut berperan. Salah satunya adalah bahan pangan yang bersifat goiterogenik. Zat
goiterogenik dalam bahan makanan yang dimakan setiap hari akan menyebabkan zat iodium dalam tubuh
tidak berguna, karena zat goiterogenik tersebut merintangi absorbsi dan metabolisme mineral iodium yang
telah masuk ke dalam tubuh. Giterogenik adalah zat yang dapat menghambat pengambilan zat iodium oleh
kelenjar gondok, sehingga konsentrasi iodium dalam kelenjar menjadi rendah. Selain itu, zat goiterogenik
dapat menghambat perubahan iodium dari bentuk anorganik ke bentuk organik sehingga pembentukan
hormon tiroksin terhambat.

4. Faktor Zat Gizi Lain


Defisiensi protein dapat berpengaruh terhadap berbagai tahap pembentukan hormon dari kelenjar
thyroid terutama tahap transportasi hormon. Baik T3 maupun T4 terikat oleh protein dalam serum, hanya
0,3 % T4 dan 0,25 % T3 dalam keadaan bebas. Sehingga defisiensi protein akan menyebabkan tingginya T3
dan T4 bebas, dengan adanya mekanisme umpan balik pada TSH maka hormon dari kelenjar thyroid
akhirnya menurun.

5. Faktor Pendidikan, Pengetahuan dan Sikap


Tingkat pendidikan, pengetahuan, sikap terhadap garam beryodium dan ketersediaan garam
beryodium di tingakat pasar mempunyai hubungan dengan ketersediaan garam beryodium pada tingkat
rumah tangga (Gunanti, 2001). Lama pemasakan berpengaruh terhadap kestabilan garam beryodium dalam
sediaan makanan (Cahyadi, 2001). Bedasarkan konsep UNICEF tahun 1998, penyebab langsung GAKY
adalah defisiensi zat gizi yodium. Ketidakcukupan asupan yodium disebabkan oleh kandungan yodium
dalam bahan makanan yang rendah dan konsumsi garam beryodium yang rendah. Masih banyak
masyarakat yang kurang mengetahui manfaat dari garam beryodium sehingga mengakibatkan rendahnya
konsumsi garam beryodium.

6. Cara Memasak yang Salah

Yodium biasanya terdapat dalam garam dapur yang disertakan dalam pemsakan, baik pengukusan,
penggorengan dll. Biasanya para ibu rumah tangga, dalam memberi atau menambahka garam dalam
masakan yang dimasak adalah pada saat makanan belum matang, melainkan pada saat proses pemasakan.
Tentu saja, hal tersebut dapat mengurangi kadar Yodium dalam makanan karena yodium mudah rusak
akibat panas.

7. Status Gizi
Status gizi seseorang mempengaruhi penyerapan yodium dalam tubuh. Jika status gizi seseorang
buruk, terutama terjadi Kekurangan Energi Protein kondisi tersebut dapat menghambat penyerepan yodium.
Karena protein dapat berpengaruh terhadap berbagai tahap pembentukan hormon dari kelenjar thyroid
terutama tahap transportasi hormon. Baik T3 maupun T4 terikat oleh protein dalam serum, hanya 0,3 % T4
dan 0,25 % T3 dalam keadaan bebas. Sehingga defisiensi protein akan menyebabkan tingginya T3 dan T4
bebas, dengan adanya mekanisme umpan balik pada TSH maka hormon dari kelenjar thyroid akhirnya
menurun.

8. Faktor Kurangnya Mikromineral


a. Kurangnya Kadar Selenium
Ketersediaan selenium yang kurang pada tanah diduga juga mengandung rendah yodium pada
tanah yang sama. Untuk sementara interaksi antara yodium dan selenium dalam proses penyerapan
belum ada. Kalaupun ada interkasi ini sangat kompleks dan terkait dengan fungsi fungsi selenium dalam
selenoprotein. Pada binatang percobaan ditemukan bahwa kurang selenium meningkatkan kadar T3 di
jantung, sehingga dapat menimbulkan peningkatan denyut jantung dan palpasi. Selenoprotein yang juga
terlibat dalam interaksi metabolisme yodium ialah iodotyronine deiodinase yang berfingsi merubah
thyroxine (T4) menjadi bentuk aktif dari hormon thyroid triiodothyronine (T3) (Satoto, 2001).. Enzym
tersebut merupakan selenium-dependent enzymes selain merupakan katalisator utama dalam perubahan
thyroxin (T4) menjadi triiodotyronine (T3) juga merupakan katalisator yang merubah dari T3 menjadi T2
untuk mempertahankan level T3 (www.orst.edu/depth/lpi/infocentre/minerals/iodine). Selain itu, salah
satu contoh dari selenoprotein yang berhunbungan dengan metabolisme yodium adalah glutathione
peroxidase, berfungsi sebagai antioksidan utama dalam tubuh manusia dan binatang (Satoto, 2001).
Dengan adanya gambaran diatas, jelas bahwa akibat dari kekurangan selenium asupan T3 dalam sel
tubuh juga menurun

b. Kurangnya Asupan Besi


Besi adalah mineral yang paling banyak dipelajari dan diketahui oleh para ahli gizi dan
kedokteran di dunia. Penemuan terakhir membuktikan bahwa kekurangan besi dapat menyebabkan
terganggunya metabolisme tiroid dalam tubuh manusia. Penelitian yang dilakukan oleh Zimmermann
dkk (2000) yang membagi kelompok anak anak yang menderita kekurangan yodium menjadi dua, yaitu
anak yang menderita anak yang kekurangan iodine saja dan anak yang menderita kekurangan iodine dan
besi. Pada kelompok pertama dan kedua, semua anak diberi 200 mg oral iodine dalam minyak. TSH
(thyroid Stimulation Hormon, IU (iodine concentration), T4, dan volume kelenjar thyroid diambil pada
awal dan minggu ke 1,5,10, 15 dan 30 minggu sesudah pemebrian. Sesudah 30 minggu pemberian
iodine, bagi kelompok yang anaemia karena kekurangan besi diberikan tablet besi (ferrous sulphate) 60
mg secara oral 4 kali perminggu selama 12 minggu. Hasilnya menunjukkan bahwa pada minggu ke 30
setelah pemberian iodine kedua kelompok, terjadi penurunan volume rata-rata tiroid menurun
dibandingkan dengan awal sebelum dilakukan pemberian iodine, masing masing 45.1% dan 21.8 %
(p<0.01). Pada kelompok yang ke dua, penurunan volume tiroid lebih menurun bila dibandingkan
dengan baseline, yaitu menjadi 34.8% pada minggu ke 50 dan 38.4 % pada minggu ke 65. Hal ini
menunjukkan bahwa suplementasi besi dapat meningkatkan kemampuan idone dalam minyak pada anak
anak yang kekurangan yodium. (Zimmermann, M et al, 2000).

B. Variabel GAKY (Gangguan Akibat Kekurangan Yodium)

1. Variabel Akibat :

a. Skala Data : Ordinal

Akibat Kekurangan Yodium : Pembesaran Kelenjar Tiroid

Grade (Tingkat) Hasil Palpasi


Normal (0) Tidak ada pembesaran kelenjar
IA Pembesaran kelenjar tidak nampak walaupun leher pada posisi
tengadah maksimum. Pembesaran kelenjar teraba ketika palpasi
IB Pembesaran kelenjar gondok terlihat jika leher pada posisi tengadah maksimum
Pembesaran kelenjar teraba ketika palpasi
II Pembesaran kelenjar gondok terlihat pada posisi kepala normal dan
terlihat dari jarak 1 meter
III Pembesaran kelenjar gondok tampak nyata dari jarak 5-6 meter
Sumber: Proyek Intensifikasi Penanggulangan GAKI IBRD-LOAN,1998.

b. Skala Data : Ordinal

Akibat Kekurangan Yodium : Perkembangan Kecerdasan Terganggu.

Kondisi Penderita Penurunan IQ (point)


Penderita Gondok Defisit 5 Point
Penderita GAKY (Non Gondok, Non Kreatin) Defisit 10 Point
Bayi yang lahir di daerah risiko Gaky Defisit 10 Point
Penderita Kretin Defisit 50 Point
Sumber : Dirjen Pemda RI, 1999

c. Skala Data : Interval

Akibat Kekurangan Yodium : Kadar Yodium Urin. Rata-rata kadar Yodium Urin adalah 350,45 ±
155,96 ug/L. Sedangkan kadar minimalnya, 44 ug/L dan maksimal 750 ug/L

2. Variabel Penyebab

a. Skala Data : Interval


Penyebab : Asupan Yodium kurang. Asupan Yodium yang dianjurkan berkisar antara 100mg – 300 mg
per hari orang.

b. Skala Data : Interval


Penyebab : Konsumsi garam beryodium rendah.

Kategori konsumsi garam beryodium cukup Jumlah kabupaten Rata-rata TGR (%)
tingkat rumah tangga
<40% 74 16.98
40-70% 56 8.35
70-90% 84 7.86
>90% 78 6.99

Sumber : Pemetaan Nasional Masalah GAKY, 1998

c. Skala Data : Nominal


Penyebab : Asupan mikro mineral, seperti zink dan besi kurang. Kadar asupan zink yang
dibutuhkan < 2 gram dalam sehari dan Selenium < 1 mg dalam sehari.

KEKURANGAN VITAMIN A ( KVA )

Vitamin A dikenal sebagai vitamin penglihatan karena kekurangan vitamin A dapat menyebabkan
gangguan penglihatan yang dikenal dengan buta senja atau xeropthalmia yang dikenal dengan “mata kering” yang
dapat berlanjut pada kebutaan. Sejak awal tahun 1980-an diketahui bahwa angka kematian meningkat pada anak
balita yang kurang vitamin A, bahkan sebelum ada tanda-tanda xeropthalmia, KVA termasuk kedalam empat
masalah gizi utama. Penelitian yang dilakukan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 1992 menunjukkan dari
20 juta balita di Indonesia yang berumur enam bulan hingga lima tahun, setengahnya menderita kurang vitamin A.
Sedangkan data WHO tahun 1995 menyebutkan Indonesia adalah salah satu negara di Asia yang tingkat pemenuhan
terhadap vitamin A tergolong rendah. Sementara studi yang dilakukan Nutrition and Health Surveillance
System (NSS), Departemen Kesehatan, tahun 2001 menunjukkan sekitar 50 persen anak Indonesia usia 12-23 bulan
tidak mengonsumsi vitamin A dengan cukup dari makanan sehari-hari.Oleh karena itu sangat penting untuk
mngetahui masalah kKurang vitamin A (KVA).

KVA ( Kurang Vitamin A ) merupakan suatu keadaan yang ditandai rendahnya kadar Vitamin A dalam
jaringan penyimpanan (hati) dan melemahnya kemampuan adaptasi terhadap gelap dan sangat rendahnya konsumsi
atau masukkan karotin dari Vitamin A (WHO, 1976). KVA ini adalah suatu penyakit sistemik yang merusak sel dan
organ tubuh dan menghasilkan metaplasi keratinasi pada epitel, saluran nafas, saluran kencing dan saluran cerna
(Arisman 2002). Penyakit Kurang Vitamin A (KVA) tersebar luas dan merupakan penyebab gangguan gizi yang
sangat penting. Prevalensi KVA terdapat pada anak-anak dibawah usia lima tahun. Sampai akhir tahun 1960-an
KVA merupakan penyebab utama kebutaan pada anak.
Faktor determinan yang menjadi penyebab terjadinya KVA dapat dibedakan menjadi dua yaitu :

a. Penyebab langsung ( primer )


Yang menjadi penyebab langsung dari KVA adalah menurunnya cadangan vitamin A pada hati dan organ-
organ tubuh lain serta menurunnya kadar serum vitamin A dibawah garis yang diperlukan untuk mensuplai
kebutuhan metabolik bagi mata.

b. Penyebab tak langsung ( sekunder )

Dari rendahnya asupan vitamin A dan kemampuan absorbsi tubuh yang menurun yang menjadi penyebab
langsung, maka penyebab tak langsung KVA adalah hal – hal yang melatarbelakangi penyebab langsung
tersebut antara lain seperti kemiskinan, pendidikan rendah, kurangnya asupan makanan sumber vitamin A
dan pro vitamin A (karoten), bayi tidak diberi kolostrum dan disapih lebih awal, pemberian makanan
artifisial yang kurang vitamin A

Dari kedua penyebab tersebut dapat digambarkan dalam skema seperti di bawah ini.

Kurang Pengetahuan
dan Kepercayaan
Keadaan Asupan vit. A
Ekonomi
Nafsu Makan Rendah
KVA
Hilang
Pelarut vit. A
Rendah
KEP
Absorbsi dan Utilisasi
Penyakit vit. A
Infeksi
Penyebab Tidak Penyebab
Langsung
Langsung
Selain, penyebab langsung dan tak langsung tersebut masih ada factor – factor lain yang mempengaruhi terjadinya
KVA, antara lain :

a. Faktor Makanan dan Malnutrisi

Faktor makanan mempunyai pengaruh terhadap timbulnya masalah defisiensi vitamin A. Kecuali
ubi jalar, pangan yang kaya karbohidrat seperti padi-padian dan ubi-ubian, umumnya mengandung karoten
sangat rendah. Sedangkan konsumsi yang menggunakan pangan pokok tersebut biasanya kurang di
lengkapi dengan konsumsi sayuran hijau dan pangan sumber vitamin A, apalagi pada golongan anak-anak.
Keadaan inilah yang memberi peluang terjadinya Xeropthalmia.

Selain itu, ASI juga mempunyai pengaruh penting di dalamnya. Air Susu Ibu (ASI) mengandung
50 mikrogram retinol/dl ASI ( kolostrum mengandung 2-6 x lipat), sedang rata-rata volume ASI yang
diisap bayi 840 ml. Jumlah ini sudah memenuhi kebutuhannya, tetapi apabila konsumsi pangan ibu kurang
baik, maka kandungan vitamin A dalam ASI juga menurun.

Peningkatan KVA ini juga disebabkan kurangnya konsumsi makanan kaya mikronutrien, terutama
makanan berasal hewan dan makanan yang difortifikasi, karena sebagian besar makanan tersebut harganya
mahal sehingga hampir tidak terjangkau oleh mereka yang paling rentan terhadap krisis. Pada anak,
peningkatan KVA relatif terbatas, karena kapsul vitamin A dosis tinggi merupakan sumber utama vitamin
A dan distribusinya telah terjaga dengan baik selama krisis berlangsung. Risiko KVA telah meningkat pada
kelompok masyarakat yang sangat bergantung pada makanan sumber vitamin A, seperti wanita usia
reproduktif dan anak yang tinggal di daerah dimana distribusi vitamin A relatif rendah..

Biasanya faktor kemiskinan dan malnutrisi menjadi penyebab gangguan mata ini misanya daerah
gersang seperti NTB cenderung dihinggapi problem kurang gizi pada anak-anak. Maka tak heran di daerah
beriklim panas ini kasus xerophtalmia masih tergolong tinggi.Dari 4.000 jiwa terdapat 4 persen kasus
xerophtalmia.

b. Faktor host

Dalam host diduga ada kaitanya dengan umur. Kelompok anak kecil merupakan kelompok yang
secara biuologis rawan dan sangat peka terhadap mata. Hal ini berhubungna dengan tingginya kebutuhan
vitamin A untuk pertumbuhan, untuk melawan infeksi yangn sering menyerang, konsumsi yang rendah
karena ib unya bergizi kurang atau kurangnya konsumsi sayuran hijau.

c. Faktor Lingkungan

Diantara berbagai faktor lingkungan, faktor musim mempunyai hubungan yang erat terutama
dengan ketersediaan buah-buahan yang erat terutama dengan ketresediaan buah-buahan dan sayur-sayuran,
dimana merupakan sumber vitamin A yang potensial. Disamping itu musim yang berkaitan dengan iklim
sangat bermakna terhadap terhadap tinggi rendahnya konsumsi vitamin A. Sebagai contoh, musim kering
yang terus-menerus, angin yang merusak dan laian-lain, situsai ini dapat menimbulkan kegagalan produkis
pangan yang dapat menciptakan krisi konsumsi pangan termasuk vitamin A.

Seharusnya asupan vitamin A dalam darah normal yaitu 20µg/dl atau lebih. Biasanya pemeriksaan kadar
vitamin A dalam darah dilakukan dengan mengambil dari dalam plasma darah. Seseorang dengan kadar 10 – 20
µg/dl masih dianggap akseptabel dan juga dapat meningkatkan resiko gejala hypovitaminosis. Sedangkan kadar < 10
µg/dl dianggap sudah terkena KVA.

Tanda – tanda yang biasa muncul dan terlihat sebagai gejala KVA biasa terlihat pada mata. Mahdalia
(2003) menyatakan bahwa tanda-tanda khas pada mata karena kekurangan vitamin A dimulai dari rabun senja (XN)
dimana penglihatan penderita akan menurun pada senja hari bahkan tidak dapat melihat di lingkungan yang kurang
cahaya. Pada tahap ini penglihatan akan membaik dalam waktu 2-4 hari dengan pemberian kapsul vitamin A yang
benar. Bila dibiarkan dapat berkembang menjadi xerosis konjungtiva (X1A). Selaput lendir atau bagian putih bola
mata tampak kering, berkeriput, dan berubah warna menjadi kecoklatan dengan permukaan terlihat kasar dan kusam.
Xerosis konjungtiva akan membaik dalam 2-3 hari dan kelainan pada mata akan menghilang dalam waktu 2 minggu
dengan pemberian kapsul vitamin A yang benar. Bila tidak ditangani akan tampak bercak putih seperti busa sabun
atau keju yang disebut bercak Bitot (X1B) terutama di daerah celah mata sisi luar. Pada keadaan berat akan tampak
kekeringan pada seluruh permukaan konjungtiva atau bagian putih mata, serta konjungtiva tampak menebal,
berlipat-lipat dan berkerut-kerut. Bila tidak segera diberi vitamin A, dapat terjadi kebutaan dalam waktu yang sangat
cepat. Tetapi dengan pemberian kapsul vitamin A yang benar dan dengan pengobatan yang benar bercak bitot akan
membaik dalam 2-3 hari dan kelainan pada mata akan menghilang dalam 2 minggu.
Tahap selanjutnya bila tidak ditangani akan terjadi xerosis kornea (X2) dimana kekeringan akan berlanjut
sampai kornea atau bagian hitam mata. Kornea tampak suram dan kering dan permukaannya tampak kasar. Keadaan
umum anak biasanya buruk dan mengalami gizi buruk, menderita penyakit campak, ISPA, diare. Pemberian kapsul
vitamin A dan pengobatan akan menyebabkan keadaan kornea membaik setelah 2-5 hari dan kelainan mata sembuh
setelah 2-3 minggu. Bila tahap ini berlanjut terus dan tidak segera diobati akan terjadi keratomalasia (X3A) atau
kornea melunak seperti bubur dan ulserasi kornea (X3B) atau perlukaan. Selain itu keadaan umum penderita sangat
buruk. Pada tahap ini kornea dapat pecah. Kebutaan yang terjadi bila sudah mencapai tahap ini tidak bisa
disembuhkan. Selanjutnya akan terjadi jaringan parut pada kornea yang disebut xeropthalmia scars (XS) sehingga
kornea mata tampak menjadi putih atau bola mata tampak mengempis. Berikut ini merupakan klasifikasi
xeropthalmia berdasarkan keparahan kelainan mata :
XN : Buta senja (night blindeness)
XIA : Xerosis konjugtiva
XIB : Bercak bitot (bitot spot)
X2 : Xerosis kornea
X3A : Ulkus kornea atau keratomalasia (<1/3>
X3B : Ulkus kornea atau keratomalasia (= atau > 1/3 permukaan kornea)
XS : Bekas luka kornea
XF : Pengerasan dasar bola mata (fundus xeropthalmia)

Cara pencegahan dan penanggulangan KVA dilakukan dengan dua pendekatan. Pertama pendekatan
“melalui makanan” atau food based intervention dan kedua “tidak melalui makanan” atau non food based
intervention.

a. Intervensi KVA berbasis makanan

Penanggulangan vitamin A berbasis makanan adalah upaya peningkatan konsumsi vitamin A dari
makanan yang kaya akan vitamin A. Sebaliknya bila bahan makanan yang aslinya tidak mengandung
vitamin A bisa diperkaya dengan vitamin A melalui teknologi fortifikasi. Jenis pangan yang mengandung
vitamin A antara lainsayuran berwarna hijau, kuning atau merah, buah berwarna kuning atau merah, serta
sumber makanan hewani. Bahan makanan yang mengandung vitamin A dapat dilihat pada tabel di bawah
ini :

Bahan Makanan Satuan Bahan Makanan Satuan


Internasional Internasional
(SI)/100gram (SI)/100gram
Bahan Makanan Nabati Bahan Makanan Hewani
Jagung muda, kuning, biji 117 Ayam 810
Jagung kuning panen baru, biji 440 Hati sapi 43900
Jagung kuning panen lama, biji 510 Ginjal sapi 1150
Ubi rambat, merah 7700 Telur itik 1230
Lamtoro, biji muda 423 Ikan segar 150
Kacang ijo kering 157 Daging sapi kurus 20
Wortel 12000 Buah :
Bayam 6000 Apokat 180
Daun melinjo 10000 Belimbing 170
Daun singkong 11000 Mangga masak pohon 6350
Genjer 3800 Apel 90
Kangkung 63000 Jambu biji 25

Tabel Daftar Bahan Makanan Sumber Vitamin A/Karoten

Ada perbendaan bentuk antara vitamin A yang terkandung dalam bahan makanan hewani dan
nabati. Bahan makanan hewani mengandung vitamin A dalam bentuk yang mempunyai aktivitas yang
disebut preformed vitamin A. sedangkan dalam bahan makanan nabati mengandung vitamin A dalam
bentuk pro-vitamin A atauprekursor vitamin A yang terdiri dari ikatan karoten. Sumber vitamin
A preformed yang dipekatkan biasa digunakan sebagai obat suplemen vitamin A.

Halati (2006) menyatakan bahwa angka kecukupan gizi (AKG) anak balita sekitar 350 Retinol
Ekuivalen (RE). Angka ini dihitung dari kandungan vitamin A dalam makanan nabati atau hewani yang
dikonsumsi. Sebagai gambaran, angka 350 RE terdapat pada tiga butir telur atau 250 gram bayam. Jadi
seorang anak balita memenuhi kecukupan gizi vitamin A jika ia mengonsumsi tiga telur atau 250 gram
bayam dalam sehari. Tapi, tentu saja, seorang anak akan bosan jika terus menerus diberi telur dan bayam,
apalagi dalam jumlah besar. Terdapat banyak sayuran dan buah yang mengandung vitamin A. Sayuran dan
buah yang mengandung AKG dalam jumlah besar, lebih dari 150 RE/100 gr, adalah pepaya, bayam,
kangkung, wortel, ubi jalar, mangga, dan sebagainya. Sementara sumber makanan nabati dengan
kandungan vitamin A lebih rendah, sekitar 1-60 RE/100 gr, terdapat pada jagung, semangka, tomat, pisang,
belimbing, dan sejenisnya. Untuk sumber makanan hewani, kandungan vitamin A dalam jumlah besar
terdapat pada telur, daging ayam dan hati. Sedangkan ikan, susu segar, dan udang memiliki kandungan
vitamin A tergolong kecil. Untuk lebih mudah mengingat jenis makanan apa saja yang mengandung
vitamin A. Jenis lainnya adalah makanan yang sudah difortifikasi atau ditambah zat gizinya seperti
jenis mie instan, biskuit, mentega dan susu instan.

b. Intervensi KVA berbasis bukan makanan

Mencegah dan menanggulangi KVA dengan basis bukan makanan atau non food based
intervention dilakukan dengan program suplementasi yaitu pemberian tambahan (suplemen) vitamin A
kepada anak atau ibu dalam bentuk pil atau kapsul.Program ini merupakan program utama dan berhasil
menanggulangi KVA di Indonesia dan banyak negara lain. Untuk mencegah terjadinya kekurangan vitamin
A di Posyandu atau Puskesmas pada setiap bulan Februari dan Agustus seluruh bayi usia 6-11 bulan, harus
mendapat 1 kapsul vitamin A biru dan seluruh anak balita usia 12-59 bulan mendapat kapsul vitamin A
warna merah. Sedangkan untuk ibu nifas sampai 30 hari setelah melahirkan mendapat 1 kapsul vitamin A
warna merah.

Untuk mengobati anak dengan gejala buta senja (XN) hingga xerosis kornea (X2), dimana
penglihatan masih dapat disembuhkan, diberikan kapsul vitamin A pada hari pertama pengobatan sebanyak
½ (50.000 SI) kapsul biru untuk bayi berusia kurang atau sama dengan 5 bulan, 1 kapsul biru (100.000 SI)
untuk bayi berusia 6 sampai 11 bulan atau 1 kapsul merah (200.000 SI) untuk anak 12-59 bulan. Pada hari
kedua diberikan 1 kapsul vitamin A sesuai umur dan dua minggu kemudian diberi lagi 1 kapsul vitamin A
juga sesuai umur.

Departemen Kesehatan juga terus melakukan program penanggulangan kekurangan vitamin A


sejak tahun 1970-an. Menurut catatan Depkes, tahun 1992 bahaya kebutaan akibat kekurangan vitamin A
mampu diturunkan secara signifikan. Namun sebanyak 50,2 persen balita masih menderita kekurangan
vitamin A sub-klinis yang juga sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup anak. Guna
menanggulangi hal ini, Depkes melaksanakan program pemberian kapsul vitamin A bagi anak usia 6-59
bulan di Indonesia. Vitamin A dosis tinggi diberikan pada balita dan ibu nifas. Pada balita diberikan dua
kali setahun, setiap bulan Februari dan Agustus dengan dosis 100.000 IU untuk anak 6-12 bulan dan
200.000 IU untuk anak 12-59 bulan dan ibu nifas.

ANEMIA

A. Determinan kejadian anemia

Determinan: faktor penyebab yang mempunyai risiko terjadinya masalah gizi.

1. Pada WUS
a. Kurangnya konsumsi besi. Besi merupakan mikroelemen yang esensial bagi tubuh, sebagai faktor utama
pembentuk hemoglobin.
b. Kurangnya konsumsi vitamin C. Peran vitamin C adalah membantu penyerapan dan pengangkutan besi di
dalam usus. Vitamin C mempunyai banyak fungsi di dalam tubuh, sebagai koenzim atau kofaktor.
Dalam absorpsi dan metabolisme besi, vitamin C mereduksi besi feri menjadi fero dalam usus halus
sehingga mudah diabsorpsi. Vitamin C menghambat pembentukan hemosiderin yang sukar
dimobilisasi untuk membebaskan besi bila diperlukan. Absorpsi besi dalam bentuk nonhem meningkat
empat kali lipat bila ada vitamin C. Vitamin C berperan dalam memindahkan besi dari transferin di
dalam plasma ke feritin hati. Kekurangan vitamin C dapat menghambat proses absorpsi besi sehingga
lebih mudah terjadi anemia.
c. Kurangnya konsumsi vitamin A. vitamin A dalam tubuh berinteraksi dengan besi dalam proses
pembentukan hemoglobin. Status vitamin A yang rendah dapat mengurangi mobilisasi besi dalam
tubuh. Vitamin A dapat membantu penyerapan besi. Kekurangan vitamin A memberikan efek anemia
dimana transpor besi dan sintesis besi terganggu. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yip et al.
(1999) menunjukkan defisiensi vitamin A dapat menurunkan kadar hemoglobin darah.
d. Kurangnya konsumsi protein. Protein berfungsi dalam pembentukan ikatan-ikatan esensial tubuh.
Hemoglobin, pigmen darah yang berwarna merah dan berfungsi sebagai pengangkut oksigen dan
karbon dioksida adalah ikatan protein. Protein juga berperan dalam proses pengangkutan zat-zat gizi
termasuk besi dari saluran cerna ke dalam darah, dari darah ke jaringan-jaringan, dan melalui membran
sel ke dalam sel-sel. Sehingga apabila kekurangan protein akan menyebabkan gangguan pada absorpsi
dan transportasi zat-zat gizi
e. Kurangnya konsumsi energi. Zat gizi yang dapat menghasilkan energi diperoleh dari karbohidrat, lemak
dan protein. Fungsi utama karbohidrat adalah sebagai sumber energi, di samping membantu
pengaturan metabolisme protein. Kecukupan karbohidrat di dalam diet akan mencegah penggunaan
protein sebagai sumber energi. Sehingga fungsi protein dalam proses pengangkutan zat gizi termasuk
besi ke dalam se-sel tidak terganggu.
f. Saat menstruasi/pola haid
Memiliki pola menstruasi yang tidak normal. apabila darah yang keluar selama menstruasi sangat
banyak akan terjadi anemia defisiensi besi. Pada remaja putri dengan lama hari menstruasi yang
berlangsung lebih dari 8 hari dan siklus menstruasi yang pendek (kurang dari 28 hari) memungkinkan
untuk kehilangan besi dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan yang memiliki pola menstruasi
normal.
g. Adanya kejadian infeksi (ISPA, diare dan tuberkulosis). Kehilangan besi dapat disebabkan penyakit kronis
seperti tuberkulosis. Infeksi ini dapat menyebabkan pembentukan Hb darah terlalu lambat (Guyton,
1987). Penyakit diare dan ISPA dapat mengganggu nafsu makan yang akhirnya dapat menurunkan
tingkat konsumsi gizi.
h. Adanya sindrom malabsorbsi (disebabkan karena ulkus peptikum, gastritis, dan diare)

2. Pada ibu hamil


a. Umur ibu < 20 tahun dan > 35 tahun. Wanita yang berumur kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun,
mempunyai risiko yang tinggi untuk hamil. Karena akan membahayakan kesehatan dan keselamatan
ibu hamil maupun janinnya, berisiko mengalami pendarahan dan dapat menyebabkan ibu mengalami
anemia.Wintrobe (1987) menyatakan bahwa usia ibu dapat mempengaruhi timbulnya anemia, yaitu
semakin rendah usia ibu hamil maka semakin rendah kadar hemoglobinnya. Muhilal et al (1991) dalam
penelitiannya menyatakan bahwa terdapat kecendrungan semakin tua umur ibu hamil maka presentasi
anemia semakin besar.
b. Pendarahan akut
c. Konsumsi tablet tambah darah < 90 butir
d. Makan < 3 kali dan kurang mengandung zat besi
e. Status gizi tidak normal
f. Adanya sindrom malabsorbsi (disebabkan karena ulkus peptikum, gastritis, dan diare)
g. Pendidikan rendah
f. Tingkat pendapatan keluarga yang rendah
g. Pekerja berat

B. Variabel kejadian Anemia

Variabel harus bisa diukur baik kualitatif maupun kuantitatif agar bias dilakukan uji statistic untuk melihat
ada hubungannya apa tidak.

Variabel penyebab (independent) yang digunakan dalam menentukan anemia :

1. Kadar Hb

Standar Penentuan Anemia Gizi Besi (WHO)

Kelompok Umur Hb dalam Darah (g/dl)


6 Bulan – 5 tahun < 11
6 – 18 tahun < 12
Wanita dewasa < 12
Wanita dewasa Hamil < 11
Laki-laki dewasa < 13
Sumber: Sukirman (1999/2000) dalam (Yayuk Farida dkk,2004: 22)
2. Asupan zat besi

Tingkat konsumsi Fe didefinisikan yaitu banyaknya Fe yang dikonsumsi (mg) dibandingkan dengan
kecukupan Fe dalam satuan % AKG.
Angka kecukupan besi rata-rata yang dianjurkan (per orang per hari)
Golongan umur Berat badan (kg) Tinggi Badan Besi (mg)
(wanita) (Cm)

13 – 15 46 153 19
16 – 19 50 154 25
Sumber: Sunita Almatsier (2001:302)
3. Asupan asam folat

Tingkat konsumsi asam folat didefinisikan yaitu banyaknya asam folat yang dikonsumsi (g) dibandingkan
dengan kecukupan asam folat dalam satuan % AKG.

4. Asupan vitamin B12

Tingkat konsumsi vitamin B12 didefinisikan yaitu banyaknya vitamin B12 yang dikonsumsi (g)
dibandingkan dengan kecukupan vitamin B12 dalam satuan % AKG.
5. Pola haid

Ciri-ciri menstruasi normal:


1.Lama siklus antara 21-35 hari (28+7 hari)
2.Lama perdarahan 2-7 hari
3.Perdarahan 20-80 cc per siklus (50+30 cc)
4.Tidak disertai rasa nyeri
5.Darah warna merah segar dan tidak bergumpal
6. Tingkat pendidikan ibu

7. Status gizi

Kategori Ambang Batas IMT untuk Indonesia


Kategori IMT
Kurus Kekurangan berat badan tingkat berat < 17,0
Kekurangan berat badan tingkat ringan 17,0-18,5
Normal > 18,5-25,0
Gemuk Kelebihan berat badan tingkat ringan > 25,0-27,0
Kelebihan berat badan tingkat berat > 27,0

ANEMIA

1. Pemeriksaan Laboratorium
• Kadar Hb
Identifikasi bahwa seseorang menderita anemia jika kadar Hb lebih dari normal. Standar yang
digunakan adalah standar WHO dengan catatan bahwa populasi harus bertempat tinggal sejajar dengan air
laut (di daerah pantai).
Kadar Hb menurut standar WHO :
Usia Cut of point
0-6 tahun 11 gr%
7-14 tahun 12 gr%
Orang dewasa (>14 tahun) laki-laki 13 gr%
Orang dewasa (>14 tahun) perempuan 12 gr%
Ibu hamil 11 gr%

 Tidak sensitif (maksudnya kadar Hb mulai menurun melampaui cut of poin bila cadangan zat gizi
tubuh turun, untuk mengukur kadar zat besi = mengukur feritine)
 Tidak spesifik (kadar Hb yang menurun tidak selalu disebabkan oleh kekurangan zat besi, namun
juga bis disebabkan oleh penyakit kronis karena bakteri, kekurangan asam B-12 atau asam folat.
Faktor kehamilan, pendarahan yang banyak, dan semua penyakit yang menyebabkan oedema)
 Selain itu kadar Hb juga bisa tinggi karena kebiasaan merokok (orang yang merokok Hbnya lebih
tinggi 0,3-0,5 gr%)

• Mengukur HCT (Hematocrite)


Mengukur volume fraksi butir darah merah. Tidak spesifik (karena kadar HCT bisa rendah karena
pemakaian alkohol yang berlebihan/ prosedur pengambilan darah tepi yang tidak memenuhi syarat)

• Pemeriksaan MCV (mean cell volume)


Rumusnya = HCT: jumlah butir darah merah/liter
• Pemeriksaan MCHC (mean cell hemoglobin concentration)
Rumusnya = hemoglobin : HCT

• Pemeriksaan MCH (mean cell hemoglobin)

Anemia zat besi Anemia b12/asam folat


MCV Rendah Tinggi
MCHC Rendah normal
MCH Rendah Tinggi
• Pemeriksaan mikroskopis anemia
Jenis Anemia Fe Anemia folat Anemia b12
Bentuk sel Mikrositik Makrositik makrositik
Warna sel Hipokromik Hiperkromik hiperkromik

Keterangan : mikrositik sel darah merah terlihat kecil-kecil


Makrositik  sel darah merah tampak besar
Hipokromik  warna sel pucat
Hiperkromik  warna sel gelap

2. Pemeriksaan klinis
h. Lemas, pucat dan cepat lelah
i. Sering berdebar-debar
j. Sakit kepala dan iritabel
k. Pucat pada mukosa bibir dan faring, telapak tangan dan dasar kuku
l. Konjungtiva okuler berwarna kebiruan atau putih mutiara (pearly white)
m. Jantung dapat takikardi
n. Jika karena infeksi parasit cacing akan tampak pot belly

• Untuk anemia zat besi ada beberapa gejala khusus


a. Penderita defisiensi besi berat mempunyai rambut rapuh, halus serta kuku tipis, rata, mudah patah dan
berbentuk seperti sendok.
b. Pika : suatu keinginan memakan zat yang bukan makanan seperti es batu, kotoran atau kanji
c. Glositis : iritasi lidah
d. Keilosis : bibir pecah-pecah
e. Koilonikia : kuku jari tangan pecah-pecah dan bentuknya seperti sendok

• Untuk anemia vitamin B12 ada beberapa gejala khusus :


a. nyeri dada (kasus yang parah)
b. adanya jaundice
c. mati rasa pada tangan dan kaki
d. sakit pada mulut dan tenggorokan

3. Pemeriksaan dietetic
a. Anemia Fe
Fe terdapat dalam bahan makanan hewani, kacang-kacangan, dan sayuran berwarna hijau tua.
Pemenuhan Fe oleh tubuh memang sering dialami sebab rendahnya tingkat penyerapan Fe di dalam tubuh,
terutama dari sumber Fe nabati yang hanya diserap 1-2%. Penyerapan Fe asal bahan makanan hewani dapat
mencapai 10-20%. Fe bahan makanan hewani (heme) lebih mudah diserap daripada Fe nabati (non
heme).Keanekaragaman konsumsi makanan sangat penting dalam membantu meningkatkan penyerapan Fe di
dalam tubuh. Kehadiran protein hewani, vitamin C, vitamin A, zink (Zn), asam folat, sukrosa, zat gizi mikro
lain dapat meningkatkan penyerapan zat besi dalam tubuh.

b. Anemia Asam Folat / B12


- Asupan sumber asam folat dan vitamin B 12
- Asupan sumber karbohidrat
- Asupan sumber protein
- Asupan sumber lemak

OBESITAS
Siklus obesitas manusia dimulai sejak masih dalam kandungan. Sebuah penelitian terbaru menemukan
bahwa wanita hamil yang kelebihan berat badan, merokok, dan memiliki kebiasaan makan yang buruk,
meningkatkan risiko obesitas pada anak-anak mereka di masa depan, meskipun saat lahir berat bayi masih kurang.
Times Magazine melansir bahwa satu dari 10 anak di bawah usia dua tahun kelebihan berat badan. Penelitian lain
yang dilakukan sedasawarsa lalu menunjukkan anak-anak yang lahir dari ibu yang menderita diabetes selama hamil
(gestational diabetes) cenderung memiliki indeks massa tubuh (BMI) lebih tinggi sepanjang masa kanak-kanak
mereka.

Itulah sebabnya, wanita dengan kelebihan berat badan dianjurkan untuk menurunkan berat badan sebelum
kehamilan. Hal ini penting untuk mencegah risiko diabetes pada anak-anak mereka.

DETERMINAN OBESITAS

Penyebab obesitas:

1. Faktor Internal

a. Genetik

Merupakan faktor keturunan dari orang tua yang sulit dihindari. Bila ayah atau ibu memiliki kelebihan
berat badan, maka hal ini dapat diturunkan pada anak. Jika kedua orang tua mengalami obesitas maka kemungkinan
anak menjadi obes yaitu 80% dan jika salah satu orang tua maka kemungkinannya 40%. Faktor genetik merupakan
faktor yang paling dominan, faktor ini sudah menjadi garis keturunan seseorang.

Obesitas cenderung diturunkan, sehingga diduga memiliki penyebab genetik. Tetapi anggota keluarga tidak
hanya berbagi gen, tetapi juga makanan dan kebiasaan gaya hidup, yang bisa mendorong terjadinya obesitas.
Seringkali sulit untuk memisahkan faktor gaya hidup dengan faktor genetik. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa
rata-rata faktor genetik memberikan pengaruh sebesar 33% terhadap berat badan seseorang.

b. Bangsa atau suku

Keturunan atau latar belakang pada suatu bangsa atau suku akan berpengaruh besar baik secara langsung
atau tidak langsung misalnya kebiasaan makan makanan yang mengandung banyak energi dan kurang olahraga

c. Gangguan emosi

Sebab terpenting timbulnya obesitas pada anak-anak dan remaja yaitu misalnya anak yang sedang bersedih
dan memisahkan diri dari lingkungan timbul rasa lapar yang berlebih sebagai kompensasi terhadap masalahnya.

Orang gemuk seringkali mengatakan bahwa mereka cenderung makan lebih banyak apa bila mereka tegang
atau cemas, dan eksperimen membuktikan kebenarannya. Orang gemuk makan lebih banyak dalam suatu situasi
yang sangat mencekam; orang dengan berat badan yang normal makan dalam situasi yang kurang mencekam
(McKenna,1999).

Dalam suatu studi yang dilakukan White (1977) pada kelompok orang dengan berat badan berlebih dan
kelompok orang dengan berat badan yang kurang, dengan menyajikan kripik (makanan ringan) setelah mereka
menyaksikan empat jenis film yang mengundang emosi yang berbeda, yaitu film yang tegang, ceria, merangsang
gairah seksual dan sebuah ceramah yang membosankan.

Pada orang gemuk didapatkan bahwa mereka lebih banyak menghabiskan kripik setelah menyaksikan film
yang tegang dibanding setelah menonton film yang membosannkan. Sedangkan pada orang dengan berat badan
kurang selera makan kripik tetap sama setelah menonton film yang tegang maupun film yang membosankan.

d. Kerusakan pada salah satu otak


Sistem pengontrol yang mengatur perilaku makan terletak pada suatu bagian otak yang disebut hipotalamus
–sebuah kumpulan inti sel dalam otak yang langsung berhubungan dengan bagian-bagian lain dari otak dan kelenjar
dibawah otak. Hipotalamus mengandung lebih banyak pembuluh darah dari daerah lain pada otak, sehingga lebih
mudah dipengaruhi oleh unsur kimiawi dari darah.

Dua bagian hipotalamus yang mempengaruhi penyerapan makan yaitu hipotalamus lateral (HL) yang
menggerakan nafsu makan (awal atau pusat makan); hipotalamus ventromedial (HVM) yang bertugas merintangi
nafsu makan (pemberhentian atau pusat kenyang).

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa bila HL rusak/hancur maka individu menolak untuk makan atau
minum, dan akan mati kecuali bila dipaksa diberi makan dan minum (diberi infus). Sedangkan bila kerusakan terjadi
pada bagian HVM maka seseorang akan menjadi rakus dan kegemukan.

e. Faktor kesehatan

Beberapa penyakit bisa menyebabkan obesitas, diantaranya:

 Hipotiroidisme
 Sindroma Cushing
 Sindroma Prader-Willi
 Beberapa kelainan saraf yang bisa menyebabkan seseorang banyak makan.

a. Obat-obatan

Obat-obat tertentu (misalnya steroid dan beberapa anti-depresi) bisa menyebabkan penambahan berat
badan.

b. Faktor perkembangan

Penambahan ukuran atau jumlah sel-sel lemak (atau keduanya) menyebabkan bertambahnya jumlah lemak
yang disimpan dalam tubuh. Penderita obesitas, terutama yang menjadi gemuk pada masa kanak-kanak, bisa
memiliki sel lemak sampai 5 kali lebih banyak dibandingkan dengan orang yang berat badannya normal. Jumlah sel-
sel lemak tidak dapat dikurangi, karena itu penurunan berat badan hanya dapat dilakukan dengan cara mengurangi
jumlah lemak di dalam setiap sel.

2. Faktor Eksternal

a. Makanan cepat saji dan makanan ringan dalam kemasan

Maraknya restoran cepat saji merupakan salah satu faktor penyebab. Anak-anak sebagian besar menyukai
makanan cepat saji atau fast food bahkan banyak anak yang akan makan dengan lahap dan menambah porsi bila
makan makanan cepat saji. Padahal makanan seperti itu umunya mengandung lemak dan gula yang tinggi yang
menyebabkan obesitas. Orang tua yang sibuk sering menggunakan makanan cepat saji yang praktis dihidangkan
untuk diberikan pada anak mereka walaupun kandungan gizinya buruk untuk anak. Makan cepat saji meski rasanya
nikmat namun tidak memiliki kandungan gizi untuk pertumbuhan dan perkembangan anak. Itu sebabnya makanan
cepat saji sering kita sebut dengan istilah junk food atau makanan sampah. Selain itu kesukaan anak-anak pada
makanan tingan dalam kemasan atau makanan manis menjadi hal yang patut diperhatikan

b. Minuman ringan

Sama seperti makanan cepat saji, minuman ringan (soft drink) terbukti memiliki kandungan gula yang
tinggi sehingga berat badan akan cepat bertambah bila mengkonsumsi minuman ini. Rasa yang nikmat dan
menyegarkan menjadikan anak-anak sangat menggemari minuman ini.

c. Kurangnya aktivitas fisik


Masa anak-anak identik dengan masa bermain. Dulu permainan anak umumnya adalah permainan fisik
yang mengharuskan anak berlari, melompat atau gerakan lainnya. Tetapi hal itu tergantikan dengan game,
elektronik, komputer, internet atau televisi yang cukup dilakukan dengan hanya duduk di depannya tanpa harus
bergerak. Hal inilah yang menyebabkan anak kurang melakukan gerak badan sehingga menyebabkan kelebihan
berat badan

d. Pola makan berlebihan

Ada dua pola makan abnormal yang bisa menjadi penyebab obesitas yaitu makan dalam jumlah sangat
banyak (binge) dan makan di malam hari (sindroma makan pada malam hari). Kedua pola makan ini biasanya dipicu
oleh stres dan kekecewaan. Binge mirip dengan bulimia nervosa, dimana seseorang makan dalam jumlah sangat
banyak, bedanya pada binge hal ini tidak diikuti dengan memuntahkan kembali apa yang telah dimakan. Sebagai
akibatnya kalori yang dikonsumsi sangat banyak. Pada sindroma makan pada malam hari, adalah berkurangnya
nafsu makan di pagi hari dan diikuti dengan makan yang berlebihan, agitasi dan insomnia pada malam hari.

Orang yang kegemukan lebih responsif dibanding dengan orang berberat badan normal terhadap isyarat
lapar eksternal, seperti rasa dan bau makanan, atau saatnya waktu makan. Orang yang gemuk cenderung makan bila
ia merasa ingin makan, bukan makan pada saat ia lapar. Pola makan berlebih inilah yang menyebabkan mereka sulit
untuk keluar dari kegemukan jika sang individu tidak memiliki kontrol diri dan motivasi yang kuat untuk
mengurangi berat badan.

Pengeluaran energi tergantung dari dua faktor : 1) tingkat aktivitas dan olah raga secara umum; 2) angka
metabolisme basal atau tingkat energi yang dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi minimal tubuh.Meski
aktivitas fisik hanya mempengaruhi satu pertiga pengeluaran energi seseorang dengan berat normal, tapi bagi orang
yang memiliki kelebihan berat badan aktivitas fisik memiliki peran yang sangat penting. Pada saat berolahraga,
kalori terbakar. Makin banyak berolahraga maka semakin banyak kalori yang hilang.Kalori secara tidak langsung
mempengaruhi sistem metabolisme basal. Orang yang duduk bekerja seharian akan mengalami penurunan
metabolisme basal tubuhnya. Kekurangan aktifitas gerak akan menyebabkan suatu siklus yang hebat, obesitas
membuat kegiatan olahraga menjadi sangat sulit dan kurang dapat dinikmati dan kurangnya olahraga secara tidak
langsung akan mempengaruhi turunnya metabolisme basal tubuh orang tersebut.Jadi olahraga sangat penting dalam
penurunan berat badan tidak saja karena dapat membakar kalori, melainkan juga karena dapat membantu mengatur
berfungsinya metabolis normal. nggung jawab dua pertiga dari pengeluaran energi orang normal.

e. Lingkungan

Faktor lingkungan ternyata juga mempengaruhi seseorang untuk menjadi gemuk. Jika seseroang dibesarkan
dalam lingkungan yang menganggap gemuk adalah simbol kemakmuran dan keindahan maka orang tersebut akan
cenderung untuk menjadi gemuk. Selama pandangan tersebut tidak dipengaruhi oleh faktor eksternal maka orang
yang obesitas tidak akan mengalami masalah-masalah psikologis sehubungan dengan kegemukan.

Variabel Obesitas

a. aktivitas

b. Pola makan

1. Asupan lemak ≥ 30 % dari keseluruhan jumlah kalori yang dikonsumsi. Kondisi tersebut dinilai berdasarkan :

a. Indeks Massa Tubuh (Body Mass Index = BMI) > 30

BMI=BB(kg)/TB2 (m2), dengan penilaian sbb:

a. BMI 30.0 – 34.9 : Obesitas tingkat I

b. BMI 35.0 – 39.9 : Obesitas tingkat II


c. BMI > 40.0 : Obesitas kelas II

b. Lingkar pinggang

Pria ≥ 90 cm dikatakan memiliki indikasi obesitas, sedangkan pada wanita ≥ 80 cm. Pengukuran ini dilakukan tepat
di bawah tulang pinggul.

You might also like