Professional Documents
Culture Documents
abortus
Diposkan oleh Bascom Label: Teori Kesehatan
Abortus adalah berakhirnya suatu kehamilan oleh akibat-akibat tertentu atau
sebelum kehamilan tersebut berusia 22 minggu atau buah kehamilan belum
mampu untuk hidup di luar kandungan. Bisa berakibat fatal terhadap ibu misalnya
perdarahan, perforasi, infeksi, syok dan payah ginjal akut
Menurut World Health Organization (WHO) di negara-negara miskin dan sedang
berkembang, kematian maternal berkisar antara 750-1.000 per 100.000 kelahiran
hidup. Sedangkan di negara-negara maju kematian maternal berkisar antara 5-10
per 100.000 kelahiran hidup.
Di dalam rencana strategi nasional Making Pregnancy Safer (MPS) di Indonesia
2001-2010 disebut bahwa dalam konteks rencana pembangunan menuju Indonesia
sehat 2010, Visi MPS adalah “kehamilan dan persalinan di Indonesia berlangsung
aman, serta bayi yang dilahirkan hidup dan sehat.
Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002/2003,
Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia masih berada pada 307 per 100.000
kelahiran hidup atau setiap jam terdapat 2 orang ibu bersalin yang meninggal
dunia karena berbagai sebab. Penatalaksanaan MPS (Making Pregnancy Safer),
target yang diharapkan dapat dicapai tahun 2010 adalah angka kematian ibu
menjadi 125 per 100.000 kelahiran hidup.
Derajat kesehatan ibu tetap merupakan prioritas utama dalam pembangunan
kesehatan menuju tercapainya Indonesia Sehat 2010. Mengenai penyebab
kematian bahwa 90% kematian ibu disebabkan oleh perdarahan, toksemia
gravidarum, infeksi, partus lama dan komplikasi abortus. Kematian ini paling
banyak terjadi pada persalinan yang sebenarnya dapat dicegah.
Salah satu faktor penting dalam upaya penurunan angka kematian tersebut yaitu
penyediaan pelayanan kesehatan maternal dan neonatal yang berkualitas dekat
dengan masyarakat belum terlaksana dengan baik.
Perdarahan merupakan penyebab kematian kedua yang paling penting. Perdarahan
dapat disebabkan oleh abortus yang tidak lengkap. Ada beberapa alasan dan
kondisi individualis yang memungkinkan terjadinya abortus. Beberapa
karakteristik umum dapat diklasifikasikan yaitu status ekonomi, pendidikan, status
perkawinan, tempat tinggal, pekerjaan, umur dan paritas.
Menurut Siswanto, abortus di negara-negara sedang berkembang sebagian besar
(lebih dari 90%) dilakukan tidak aman, sehingga berkontribusi sekitar 11-
13% terhadap kematian maternal di dunia.
Di Zimbabwe, Afrika, dilaporkan bahwa sekitar 28% seluruh kematian ibu
berhubungan dengan abortus. Sementara di Tanzania dan Adis Ababa masing-
masing-masing sebesar 21% dan 54%. Hal ini diperkirakan merupakan bagian
kecil dari kejadian yang sebenarnya, sebagai akibat ketidakterjangkauan
pelayanan kedokteran modern yang ditandai oleh kesenjangan informasi.
Insiden abortus sulit ditentukan karena kadang-kadang seorang wanita mengalami
abortus tanpa mengetahui bahwa ia hamil, dan tidak mempunyai gejala yang hebat
24
25
Identifikasi dan isolasi neospora caninum penyebab abortus pada sapi perah
rangka pengembangan uji diagnotik dan produksi vaksin
Abstrak
Kejadian keguguran (abortus) pada di Indonesia dalam kurun waktu + 30 tahun lamanya, selalu
mengarah kepada Brucellosis, suatu gangguan reproduksi pada sapi perah yang ditandai oleh
keguguran (abortus) dan bersifat menular dengan kuman Brucella abortus bang sebagai
penyebabnya. Upaya pengendalian melalui test and slaughter (uji dan potong) tidak dapat
menghilangkan penyakit tersebut. Kebijakan pemerintah melalui aturan prevalensi < 2% dipotong
dan > 2% dilakukan vaksinasi tidak berjalan dengan sebagaimana mestinya sehingga kasus
Brucellosis di Indonesia masih merupakan penyakit reproduksi terutama sapi perah dan
memerlukan penanganan yang lebih serius karena tinjauan baik dari segi ekonomi maupun
penyiapan bibit sapi perah (replacement stock) sangat merugikan dan berpengaruh buruk terhadap
peningkatan populasi dan produktivitas sapi perah. Selanjutnya disamping kuman (bakteri) maka
parasit internal tidak saja berpengaruh terhadap pertumbuhan penampilan ternak sapi perah, tetapi
juga menyebabkan masalah pada alat reproduksi terutama pada sapi perah betina dan keguguran
(abortus) pada hewan penderita. Selanjutnya kurun waktu 10 tahun terakhir, infeksi oleh parasit
jenis coccidia yaitu Neospora caninum (Neospororis) telah muncul sebagai penyakit reproduksi
penting pada ternak sapi (terutama sapi perah) di seluruh dunia dan disebut sebagai penyakit
infeksious (menular) yang baru dikenal (new emerging infectious disease). Penyakit tersebut tidak
memperlihatkan gejala klinis yang khas dan dapat mengarahkan diagnosa kepada penyakit
27
tersebut. Keguguran (abortus) yang terjadi selama pertengahan kebuntingan merupakan tanda
klinis utama yang diamati pada sapi perah. Anjing diduga sebagai penyebab penularan penyakit
tersebut pada sapi perah pada awalnya dieliminasi dengan teori penularan horizontal (migrasi
transplacental), artinya bila induk sapi perah (+) Neospora bila melahirkan anak sehat maka anak
sapi perah tersebut tidak akan menderita Neosporosis juga. Dari hasil penelitian yang dilakukan
pada tahun 2003 melalui uji serum darah (serologis) pada sapi perah yang dilaporkan keguguran
(abortus) dan non abortus, pada KUD Persusuan di Jawa Barat, meliputi Kabupaten Bandung,
Garut, Kuningan dan Perusahaan Peternakan di Kabupaten Sukabumi serta KUD Persusuan di
Kabupaten Malang Jawa Timur menunjukkan angka prevalensi atau kejadian Neosporosis berkisar
5,5% hingga 53,8% (0= 21,5%), (n=311). Oleh karena kerugian ekonomi cukup tinggi dari
kejadian Neosporosis tersebut maka upaya untuk melakukan isolasi penyebab penyakit tersebut di
Indonesia merupakan keharusan dan diupayakan pengembangan uji diagnostiknya. Uji serologis
(serum) yang diperoleh dari kelompok sapi perah untuk mengetahui adanya reaksi positif atau
negatif sebagai kontrol terhadap N. caninum sebagai kelanjutan pengembangan Uji ELISA.
Selanjutnya pada tahun 2004 dikembangkan pula pengukuran seroprevalensi dari infeksi Neospora
caninum mengikuti kejadian abortus pada sapi perah dengan menggunakan uji immunohistokimia
(IHC) untuk mendeteksi adanya antigen Neospora sp. dalam jaringan fetus yang diabortuskan,
antigen Neospora sp. sebagian besar dapat dideteksi dari jaringan otak fetus yang diabortuskan.
Uji imunohistokimia (IHC) bersifat spesifik dan sensitif untuk mengetahui adanya antibodi
polyclonal.
Estimasi nasional menyatakan setiap tahun terjadi 2 juta kasus aborsi di Indonesia.
Ini artinya terdapat 43 kasus aborsi per 100 kelahiran hidup (menurut hasil sensus
penduduk tahun 2000, terdapat 53.783.717 perempuan usia 15 – 49 tahun
(berdasarkan Crude Birth Rate (CBR) sebesar 23 per 1000 kelahiran hidup)
(Utomo, 2001).
Abortus dibagi menjadi beberapa jenis, menurut kejadiannya abortus dibagi atas
abortus spontan yang memang terjadi secara alamiah dan abortus provokatus yang
kejadiannya dibagi atas abortus spontan yang memang terjadi secara alamiah dan
abortus provokatus yang kejadiannya dipicu hal-hal tertentu. Menurut aspek klinis
abortus dapat dibagi menjadi 6 golongan, yaitu abortus imminens, abortus
insipiens, abortus kompletus, abortus inkompletus, missed abortion dan abortus
habitualis. Masing-masing abortus memiliki tanda dan karakteristik sendiri.
Penelitian ini dipicu oleh keingintahuan akan frekuensi kejadian dari masing-
masing abortus tersebut berdasarkan jenisnya. Penelitian ini juga berusaha
menelaah sedikit faktor-faktor yang bisa dianggap mempengaruhi terjadinya
abortus.
28
II.1. Definisi
Abortus adalah pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin mampu hidup luar
kandungan. Batasan abortus adalah umur kehamilan kurang dari 20 minggu dan
berat janin kurang dari 500 gram ( Greenhill, 1965). Sedang menurut WHO
/FIGO (1998) adalah jika kehamilan kurang dari 22 minggu, bila berat janin tidak
diketahui. Di Indonesia umumnya batasan untuk abortus adalah sesuai dengan
definisi Greenhill yaitu jika umur kehamilan kurang dari 20 minggu dan berat
janin kurang dari 500 gram. Abortus spontan dibagi menjadi abortus awal dan
abortus yang terlambat. Abortus awal terjadi sebelum usia kehamilan mencapai 12
minggu. Abortus yang terlambat terjadi pada usia kehamilan 12 sampai 20
minggu (Gilbert dan Harmon,2003).
II.3. Etiologi
Lebih dari 80 % abortus terjadi dalam 12 minggu pertama kehamilan dan angka
tersebut kemudian menurun secara cepat ( Cunningham dkk., 2000). Penelitian
menunjukkan bahwa hampir 60 % abortus awal (sebelum 12 minggu pertama
29
Menurut Siegler dan Eastman, abortus terjadi pada 10% kehamilan. Rumah Sakit
Pirngadi Medan juga mendapati angka 10 % dari seluruh kehamilan. Menurut
Eastman, 80% abortus terjadi pada bulan ke 2-3 kehamilan, sementara Simens
mendapatkan angka 76 % ( Mochtar,1998)
Pada kehamilan muda, abortus tidak jarang didahului oleh kematian mudigah.
Sebaliknya, pada kehamilan lebih lanjut biasanya janin dikeluarkan dalam
keadaan masih hidup (Wibowo dan Wiknjosastro,1999). Mekanisme pasti yang
bertanggung jawab atas peristiwa abortus tidak tampak jelas, tetapi dalam
beberapa bulan kehamilan, ekspulsi ovum yang terjadi secara spontan hampir
selalu didahului kematian embrio atau janin. Dengan alasan tersebut,
pertimbangan untuk menentukan etiologi abortus dini harus melibatkan kepastian
mengenai penyebab kematian janin. Dalam beberapa bulan kehamilan berikutnya,
sering ditemukan sebelum ekspulsi masih hidup dalam uterus (Cunningham
dkk.,2000).
1. Faktor fetal
Penemuan morfologis yang paling sering terjadi dalam abortus dini spontan
adalah abnormalitas dalam perkembangan zigot, embrio fase awal janin, atau
kadang-kadang plasenta. Perkembangan janin yang abnormal, khususnya dalam
trimester pertama kehamilan, dapat diklasifikasikan menjadi perkembangan janin
dengan kromosom yang jumlahnya abnormal (aneuploidi) atau perkembangan
janin dengan komponen kromosom yang normal (euploidi).
Abnormalitas kromosom sering terjadi di antara embrio dan janin fase awal yang
mengalami abortus spontan serta menjadi sejumlah besar atau sebagian besar
kehamilan awal yang sia-sia. Penelitian menyebutkan bahwa 50 – 60 % dari
abortus dini spontan berhubungan dengan anomali kromosom pada saat konsepsi.
Hasil konsepsi dengan kromosom normal yang mengalami abortus biasanya akan
menghilang belakangan dalam kehamilan. Laporan menyatakan bahwa ¾ abortus
an euploidi terjadi pada atau sebelum kehamilan 8 minggu, sedangkan abortus
euploidi mencapai puncaknya sekitar 13 minggu (Cunningham,2000). Insiden
abortus euploidi akan meningkat secara dramatis setelah usia maternal 35 tahun.
Namun sebab-sebab terjadinya peristiwa tersebut belum diketahui secara pasti.
Dua keadaan yang mungkin menjadi penyebab terjadinya abortus diatas : (1)
abnormalitas genetik (2) sejumlah kasus maternal (Cunningham dkk.,2000).
2. Faktor maternal
Infeksi
Beberapa infeksi kronis pernah terlibat atau sangat dicurigai sebagai penyebab
abortus, diantaranya Listeria monocytogenes dan Toxoplasma.
Pengaruh endokrin
Kenaikan insiden abortus bisa disebabkan oleh hipertiroidisme, diabetes mellitus,
dan defisiensi progesteron. Defisiensi progesteron karena kurangnya sekresi
hormon tersebut dari korpus luteum atau plasenta, mempunyai kaitan dengan
insiden abortus. Karena progesteron berfungsi mempertahankan desidua,
defisiensi hormon tersebut secara teoritis akan mengganggu nutrisi pada hasil
konsepsi dan berperan dalam peristiwa kematian janin.
Faktor imunologis
Ada dua mekanisme utama pada abnormalitas imunologis yang berhubungan
dengan abortus, yaitu : mekanisme alloimun dan mekanisme autoimun.
Mekanisme autoimun adalah mekanisme timbulnya reaksi seluler atau humoral
yang ditujukan kepada suatu lokasi spesifik dalam tubuh hospes. Alogenitas
digunakan untuk menjelaskan ketidaksamaan genetik antar binatang dari spesies
yang sama. Janin manusia merupakan cangkokan alogenik yang diterima dengan
baik oleh tubuh ibu berdasarkan alasan yang tidak diketahui secara lengkap.
Beberapa mekanisme imunologi dilaporkan bekerja untuk mencegah penolakan
janin. Mekanisme tersebut mencakup faktor histokompatibilitas, faktor
penghambat sirkulasi, faktor supressor lokal dan antibodi antileukositotoksik
maternal atau anti paternal. Tidak adanya atau tidak disintesisnya salah satu faktor
diatas oleh tubuh ibu menyebabkan terjadinya reaksi imun maternal abnormal
yang berbalik melawan antigen dalam plasenta atau dalam jaringan janin lainnya
dan mengakibatkan abortus.
Baik umur sperma atau ovum dapat mempengaruhi angka insiden abortus
spontan. Gamet yang bertambah tua dalam traktus genitalis wanita sebelum
fertilisasi, dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya abortus.
3. Faktor paternal
Hanya sedikit yang diketahui tentang peranan faktor paternal dalam proses
timbulnya abortus spontan. Translokasi kromosom dalam sperma dapat
menimbulkan zigot yang mendapat bahan kromosom terlalu sedikit atau terlalu
banyak, sehingga terjadi abortus (Cunningham,2000).
II.4. Patologi
II.5. Klasifikasi
1. Abortus spontan
32
Yaitu abortus yang terjadi tanpa tindakan dan terjadi dengan sendirinya (Wibowo
dan Wiknjosastro,1999). Jenis abortus spontan merupakan 20 % dari semua
abortus (Anonim,1981).
2. Abortus provokatus
Yaitu abortus yang terjadi akibat tindakan atau disengaja. Merupakan 80 % dari
semua kasus abortus (Anonim,1981).
Adalah abortus provokatus atas indikasi medik yaitu kehamilan yang dapat
membahayakan jiwa ibu, misalnya karena pasien menderita penyakit jantung yang
berat (Anonim,1981). Adalah peristiwa pengakhiran kehamilan karena penyakit
atau kelainan yang serius pada ibu dan jika kehamilan dilanjutkan akan
membahayakan jiwa ibu (Eastman,1956).
adalah abortus provokatus tanpa ada alasan medis yang sah dan dilarang oleh
hukum.
1. Abortus imminens
Diagnosis abortus imminens diduga bila perdarahan berasal dari intrauteri muncul
selama pertengahan pertama kehamilan, dengan atau tanpa kolik uterus, tanpa
pengeluaran hasil konsepsi dan tanpa dilatasi serviks. Menurut Taber (1994),
umumnya kira-kira 50 % wanita dengan gejala abortus imminens kehilangan
kehamilannya, persentase kecil lahir prematur dan lainnya berlanjut ke kelahiran
cukup bulan.
2. Abortus insipiens
Abortus insipiens ialah peristiwa perdarahan uterus pada kehamilan kurang dari
20 minggu dengan adanya dilatasi serviks yang meningkat, tetapi hasil konsepsi
masih dalam uterus. Dalam hal ini rasa mules menjadi lebih sering dan kuat,
perdarahan bertambah (Wibowo dan Wiknjosastro,1999).
33
Ciri : perdarahan pervaginam, dengan kontraksi makin lama makin kuat dan
sering, serviks terbuka
3. Abortus inkompletus
4. Abortus kompletus
Abortus kompletus terjadi dimana semua hasil konsepsi sudah dikeluarkan. Pada
penderita ditemukan perdarahan sedikit,ostium uteri sebagian besar telah
menutup, dan uterus sudah banyak mengecil.
5. Missed abortion
Missed abortion adalah kematian janin sebelum usia 20 minggu, tetapi janin mati
itu tidak dikeluarkan selama 8 minggu atau lebih (Wibowo dan
Wiknjosastro,1999). Setelah retensi yang lama dari hasil konsepsi yang mati,
dapat terjadi kelainan pembekuan darah yang serius, khususnya bila kehamilan
telah mencapai trimester kedua sebelum janin mati (Cunningham dkk.,2000).
6. Abortus habitualis
Menurut Hertig abortus spontan terjadi dalam 10 % dari kehamilan dan abortus
habitualis 3,6 – 9,8 % dari abortus spontan.
Etiologi :
(1) Kelainan ovum atau spermatozoa, dimana bila terjadi pembuahan hasilnya
adalah pembuahan yang patologis
34
(2) Kesalahan-kesalahan pada ibu, yaitu disfungsi tiroid, korpus luteum, kesalahan
plasenta yaitu tidak sanggupnya plasenta menghasilkan progesteron sesudah
korpus luteum atrofis, kelainan anatomis, hipertensi dan keadaan malnutrisi.
b. Inspekulo: perdarahan dari cavum uteri, ostium uteri terbuka atau sudah
tertutup,ada/tidak jaringan keluar dari ostium, ada/tidak jaringan berbau busuk
dari ostium
c. Vaginal toucher : porsio masih terbuka atau sudah tertutup, teraba atau tidak
jaringan dalam cavum uteri, besar uterus sesuai atau lebih kecil dari usia
kehamilan, tidak nyeri saat portio digoyang, tidak nyeri pada perabaan adneksa,
cavum douglasi tidak menonjol dan tidak nyeri
Tes Kehamilan : positif bila janin masih hidup, bahkan 2-3 minggu setelah
abortus
Pemeriksaan Doppler atau USG untuk menentukan apakah janin masih hidup
Pemeriksaan kadar fibrinogen darah pada missed abortion
II.8. Penatalaksanaan
Abortus imminens
· Istirahat baring agar aliran darah ke uterus bertambah dan rangsang mekanik
berkurang
Abortus Insipiens
· Bila perdarahan tidak banyak tunggu terjadinya abortus spontan tanpa
pertolongan selama 36 jam
· Bila janin sudah keluar tetapi plasenta masih tertinggal, lakukan pengeluaran
plasenta secara manual
Abortus Inkomplit
· Bila disertai syok karena perdarahan, berikan infus cairan NaCl fisiologis atau
RL dan selekas mungkin ditransfusi darah
· Setelah syok teratasi, lakukan kerokan dengan kuret tajam lalu suntikkan
ergometrin 0,2 mg IM
Abortus komplit
· Bila kondisi pasien baik, berikan ergometrin 3 x 1 tablet selama 3-5 hari
Missed abortion
· Bila kadar fibrinogen normal, segera keluarkan hasil konsepsi dengan cunam
ovum lalu dengan kuret tajam
· Bila kadar fibrinogen rendah, berikan fibrinogen kering atau segar sesaat
sebelum atau ketika mengeluarkan hasil konsepsi
Komplikasi dari abortus sering terjadi pada abortus kriminalis walaupun tidak
menutup kemungkinan juga terjadi pada abortus spontan. Komplikasi dini yang
paling sering adalah sepsis yang disebabkan oleh aborsi yang tidak lengkap,
sebagian atau seluruh produk pembuahan masih tertanam dalam uterus. Jika
infeksi tidak diatasi, dapat terjadi infeksi yang menyeluruh sehingga menimbulkan
aborsi septik, yang merupakan komplikasi aborsi ilegal yang paling fatal. Jika
abortsi septik disebabkan oleh mikroorganisme yang sangat virulen dan dibiarkan
tidak diatasi, pasien dapat mengalami syok septik.
Komplikasi kedua setelah sepsis yang paling sering dilaporkan adalah perdarahan.
Perdarahan dapat disebabkan oleh aborsi yang tidak lengkap atau cedera organ
panggul. Kematian umumnya disebabkan oleh tidak tersedianya darah dan
fasilitas rumah sakit yang memadai.
DAFTAR PUSTAKA
Benzion, T., 1994, Kapita Selekta Kedaruratan Obstetri & Ginekologi, EGC,
Jakarta, pp 56 – 76.
Cunningham, G.F., MacDonald, P.C., Gant, N.F., & Ronardy, D.H.,(eds), 2000,
Abortus, Suyono,J., dan Hartono, A.,(alih bahasa), Obstetri Williams, EGC,
Jakarta (edisi 20)
Delee, J.B., 1938, The Principles And Practise Of Obstetric, W.B. Saunders
Company, Philadelphia and London (7th ed)
Eastman, N.J., 1956, William Obstetrics, Apleton – Century – Crofts, New york
(11th ed.)
37
Harlap S, Shiono P.H., Ramcharan S.: A life table of spontaneous abortions and
the effect of age, parity, and other variables. In porter IH, Hook EB (eds): Human
Embrionic and Fetal Death. New York, Academic,1980, p 145
Mochtar, R., 1998, Sinopsis Obstetri, Jilid 1, Lutan, D. (Eds), EGC, Jakarta
Wibowo, B., & Wiknjosastro, G.H., 1994, kelainan Lamanya Kehamilan, Ilmu
Kebidanan, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta pp 302-320.
“ Fakta dan Angka Kehamilan Yang Tidak Direncanakan oleh Prof. Dr. H.A.
Moeloek dan Prof.Dr.I.B. Tjitarsa”, Desember 1996, PKBI-Jogya,
http://www.pkbi-jogja.org/artikel/kesrep-011 htm
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN
ABORTUS DI INSTALASI RAWAT INAP KEBIDANAN
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
Abstrack
Indonesian’s Maternal Death in Indonesia were 307 per 100.000 of life birth (SDKI,
2002-2003). One of the causes was by the bleeding which in its contain bleeding by
abortion (Saifuddin, 2002). The information from medical record of Dr. Mohammad
Hoesin Public Hospital Palembang on 2006, the number of abortion was about 123
cases.
The purpose of this research is to know the relationship between mother’s age total of
mother’s birth, education, and their occupation, which had relationship with abortion at
Intensive Midwifery Care Rooms at Dr. Mohammad Hoesin Public Hospital Palembang
on 2008. This research design is an analytic survey by Cross Sectional approach, by
colleting the data the same time. Which have relationship between independent variable
(mother age, total of mother’s birth, education, and occupation) and a dependent
variable (happening abortion).
Research populations were the entire pregnancy women less than 22 weeks, which ever
had opname at Intensive Midwifery Care Rooms at Dr. Mohammad Hoesin Public
Hospital Palembang 2008 on January-April, and the total were 163 persons and the
samples are 163 persons.
38
Based on the data analysis, it shows a big of despondences who ever done abortion were
about 72,4%, a high risk age despondences were about 89,8%, a high paritas
despondences were about 88,7%, low education despondences were about 87,4%, and
the jobless despondences were about 88,9%. From Chi-Square statistic, it shows the
relationship between mother’s age, paritas, education and occupation with the abortion
(p value = 0,000), it is better for all the hospital to give the people’s understanding about
health contain the risk factors which causes abortion to all fragrance women to checks
their health regularly 50 it can the number of abortion.
References : 13 (2001-2007)
Key Word : Happening Abortion
Hasil
Tabel 1. Distribusi Frekuensi variabel Umur, Paritas, Pendidikan, Pekerjaan dan angka
kesakitan Abortus.
Tidak 45 27,6
Pembahasan
Abortus adalah berakhirnya suatu kehamilan oleh akibat-akibat tertentu atau sebelum
kehamilan tersebut berusia 22 minggu atau buah kehamilan elum mampu untuk hidup di luar
kandungan Yang diterima sebagai abortus umumnya adalah usia kehamilan hingga 20 minggu atau berat janin
500 gram. Abortus yang juga dikenal dengan istilah “Keguguran,” bisa terjadi oleh banyak sebab. Kurang lebih
10 sampai 15% kehamilan yang telah didiagnosis secara klinis berakhir dengan keguguran.
Alasan utama terjadinya abortus pada awal kehamilan ialah kelainan genetic, yang mencapai 75 hingga
90% total aborsi. Alasan lain terjadinya abortus adalah kadar progesterone yang tidak normal, kelainan pada
kelenjar tiroid, diabetes yang tidak terkontrol, kelainan pada rahim, infeksi dan penyakit autoimun lain.
Diagnosis abortus bisa terjadi dalam berbagai bentuk antara lain abortus yang mengancam
( abortus iminen), abortus yang tidak bisa dihindari (abortus insipien), abortus dengan janin mati dalam rahim
missed abortus dan abortus inkompetus.
Kesimpulan
Setiap variabel di atas berhubungan dengan kejadian abortus yang terdapat di Rumah Sakit Dr.
Mohammad Hoesin Palembang. Dimana p value (0,05).
Saran
1. Agar dapat lebih meningkatkan dan memperlihatkan pelayanan. Pelayanan kesehatan terutama
dalam mempertahankan kehamilan sehingga ibu hamil dapat mencegah terjadinya abortus.
2. Agar dapat menjadi bahan referensi sebagai informasi yang bermanfaat untuk perkembangan
pengetahuan tentang kejadian abortus dan dapat juga dilakukan penelitian lebih lanjut untuk
mengungkapkan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian abortus.
DAFTAR PUSTAKA
1. Achadiat, M. Crisdiono. 2004. Prosedur Tetap Obstetri dan Ginekologi. EGC. Jakarta. Indonesia.
2. Dinas Kesehatan Sumatera Selatan. 2006. Profil Kesehatan Kota Palembang. Indonesia.
3. Hastono, Priyo Susanto. 2001. Analisis Data, Pengolahan Data. Jakarta. Indonesia.
4. Juniarti, Helda. 2007. Hubungan antara Umur dan Pendidikan Ibu dengan Kejadian Abortus di RSUP
Dr. Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2006. KTI Akademi Kebidanan Budi Mulia
Palembang.
5. Kodim, Nasrin. 2007. Epidemiologi Abiruts yang Tidak Aman. (http://www.google.com, diakses 23 Februari
2008).
7. Manuaba, Ida Bagus Gde. 2004. Kepaniteraan Klinik Obstetri dan Ginekologi. EGC. Jakarta.
Indonesia.
9. Pikiran Rakyat. 2006. Setiap Tahun Terjadi 2-2,6 Juta Kasus Aborsi. (http://www.google.com,
diakses 23 Februari 2008).
10. Saifuddin, Abdul Bari. 2002. Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. YBPSP. Jakarta.
Indonesia.
13. Winkjosastro, Hanifa. 2005. Ilmu Kebidanan. YBPSP. Edisi 3 Cetakan 7. jakarta. Indonesia.
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) diperkirakan 4,2 juta abortus dilakukan setiap
tahun di Asia Tenggara, dengan perincian :
• 1,3 juta dilakukan di Vietnam dan Singapura
• antara 750.000 sampai 1,5 juta di Indonesia
• antara 155.000 sampai 750.000 di Filipina
• antara 300.000 sampai 900.000 di Thailand