Professional Documents
Culture Documents
PENYAKIT HIV/AIDS
Makalah:
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas pada Mata Kuliah
Epidemiologi Penyakit Menular
Kelompok 9
Ardilla Wasiah
Fauziah
Rahmi Hidayati
Taslimah
Kurniati Asria
Semester IV
Peminatan Kesehatan Lingkungan
2011 M
PENDAHULUAN
Definisi
HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah virus yang menyerang sistem kekebalan
tubuh manusia dan kemudian menimbulkan AIDS. Virus HIV diklasifikasikan ke dalam
golongan lentivirus atau retroviridae. Virus ini secara material genetik adalah virus RNA yang
tergantung pada enzim reverse trancriptase untuk dapat menginfeksi mamalia, termasuk
manusia, dan menimbulkan kelainan patologi secara lambat (Zein, dkk, 2006).
AIDS mula-mula didefinisikan untuk kepentingan survei oleh CDC (the U.S. Centers for
Disease Control and Prevention) sebagai adanya penyakit oportunistik yang setidaknya
mengisyaratkan adanya cacat imunitas seluler tanpa didasari oleh gangguan kekebalan yang
diketahui, misalnya imunosupresi iatrogenik atau keganasan. Dengan tersedianya uji diagnostik
yang sensitif dan spesifik untuk HIV, definisi kasus AIDS telah mengalami beberapa perbaikan
(Fauci dan Lane, 2000).
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah kumpulan gejala penyakit akibat
menurunnya sistem kekebalan tubuh secara bertahap yang disebabkan oleh infeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV) (Mansjoer, 2000). Umar Zein (2006) mendefinisikan AIDS
berdasarkan definisi etimologinya. AIDS singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome,
dimana acquired artinya didapat, bukan penyakit turunan, immuno artinya sistem kekebalan
tubuh, deficiency artinya kekurangan, dan syndrome artinya kumpulan gejala. Jadi AIDS adalah
penyakit yang disebabkan oleh virus yang merusak sistem kekebalan tubuh manusia, sehingga
mudah diserang penyakit-penyakit lain yang dapat berakibat fatal padahal penyakit tersebut tidak
akan menyebabkan gangguan yang sangat berarti pada orang-orang dengan sistem kekebalan
normal.
Gejala klinis
Terdapat 4 stadium penyakit AIDS1 yaitu :
o Stadium awal infeksi HIV, menunjukkan gejala-gejala seperti : demam, kelelahan, nyeri
sendi, pembesaran kelenjar getah bening. Gejala-gejala ini menyerupai influenza/
monokleosis.
o Stadium tanpa gejala, yaitu stadium dimana penderita nampak sehat, namun dapat
merupakan sumber penularan infeksi HIV.
o Stadium ARC (AIDS Related Complex), memperlihatkan gejala-gejala seperti : demam lebih
dari 38o C secara berkala/terus-menerus, menurunnya berat badan lebih dari 10% dalam
waktu 3 bulan, pembesaran kelenjar getah bening, diare/mencret secara berkala/terus-
menerus dalam waktu yang lama tanpa sebab yang jelas, kelemahan tubuh yang menurunkan
aktifitas fisik, berkeringat pada waktu malam hari.
o Stadium AIDS, akan menunjukkan gejala-gejala seperti : gejala klinis utama yaitu
terdapatnya kanker kulit yang disebut sarkoma kaposi, kanker kelenjar getah bening, infeksi
penyakit penyerta misalnya : pneumonia yang disebabkan oleh pneumocytis carinii, TBC,
peradangan otak/selaput otak.
Klasifikasi
Klasifikasi HIV/AIDS pada orang dewasa menurut CDC (Centers for Disease Control)
dibagi atas empat tahap, yakni:
1. Infeksi HIV akut
Tahap ini disebut juga sebagai infeksi primer HIV. Keluhan muncul setelah 2-4 minggu
terinfeksi. Keluhan yang muncul berupa demam, ruam merah pada kulit, nyeri telan, badan
lesu, dan limfadenopati. Pada tahapini, diagnosis jarang dapat ditegakkan karena keluhan
menyerupai banyak penyakit lainnya dan hasil tes serologi standar masih negatif (Murtiastutik,
2008).
2. Infeksi Seropositif HIV Asimtomatis
Pada tahap ini, tes serologi sudah menunjukkan hasil positif tetapi gejala asimtomatis. Pada orang
dewasa, fase ini berlangsung lama dan penderita bisa tidak mengalami keluhan apapun selama
sepuluh tahun atau lebih. Berbeda dengan anak- anak, fase ini lebih cepat dilalui (Murtiastutik,
2008).
1
Drh. Rasmaliah, M.Kes 2001
3. Persisten Generalized Lymphadenopathy (PGL)
Pada fase ini ditemukan pembesaran kelenjar limfe sedikitnya di dua tempat selain limfonodi
inguinal. Pembesaran ini terjadi karena jaringan limfe berfungsi sebagai tempat penampungan
utama HIV. PGL terjadi pada sepertiga orang yang terinfeksi HIV asimtomatis. Pembesaran
menetap, menyeluruh, simetri, dan tidak nyeri tekan (Murtiastutik, 2008).
4. AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome)
Hampir semua orang yang terinfeksi HIV, yang tidak mendapat pengobatan, akan berkembang
menjadi AIDS. Progresivitas infeksi HIV bergantung pada karakteristik virus dan hospes. Usia
kurang dari lima tahun atau lebih dari 40 tahun, infeksi yang menyertai, dan faktor genetik
merupakan faktor penyebab peningkatan progresivitas. Bersamaan dengan progresifitas dan
penurunan sistem imun, penderita HIV lebih rentan terhadap infeksi. Beberapa penderita
mengalami gejala konstitusional, seperti demam dan penurunan berat badan, yang tidak jelas
penyebabnya. Beberapa penderita lain mengalami diare kronis dengan penurunan berat badan.
Penderita yang mengalami infeksi oportunistik dan tidak mendapat pengobatan anti retrovirus
biasanya akan meninggal kurang dari dua tahun kemudian (Murtiastutik, 2008).
RIWAYAT ALAMIAH PENYAKIT
DAN
KARAKTERISTIK HAE
2
http://indonesiannursing.com/2008/05/perjalanan-penyakit-hivaids/
mitra seks (promiskuitas). kaum homoseksual/biseksual. kaum heteroseksual golongan
pernyalahguna narkotik suntik. Penerima transfusi darah termasuk penderita hemofilia dan
penyakit-penyakit darah, anak dan bayi yang lahir dari ibu pengidap HIV. Kelompok
homoseksual/biseksual adalah kelompok terbesar pengidap HIV di Amerika Serikat.
Prevalensi HIV dikalangan ini terus meningkat dengan pesat.Di SanFransisco pada tahun
1978 hanya 4% kaum homoseksual yang mengidap HIV. 3 tahun kemudian menjadi 24% dan
8 tahun kemudian menjadi 80%. Kelompok heteroseksual lebih menonjol di Afrika dimana
prevalensi. HIV pada kaum laki-laki dan wanita hamil di Afrika pada tahun 1981 mencapai
18%. Kelompok penyalahguna narkotik suntik di Eropa meliputi 11% dan di Amerika
Serikat 25% dari seluruh kasus AIDS.
Faktor Environment.
Lingkungan biologs, sosial, ekonomi, budaya dan agama sangat menentukan penyebaran
AIDS. Lingkungan biologis antara lain adanya luka-luka pada usus genita, herpes simplex
dan syphilis meningkatkan prevalensi penularan HIV. Demikian juga dengan penggunaan
obat KB pada kelompok wanita tunasusila di Nairobi dapat meningkatkan penularan HIV.
Faktor sosial, ekonomi, budaya dan agama sangat berpengaruh terhadap perilaku seksual
masyarakat. Bila faktor-faktor ini mendukung pada perilaku seksual yang bebas akan
meningkatkan penularan HIV dalam masyarakat.
KONSEP PENULARAN
HIV dapat masuk ke tubuh manusia terutama melalui darah, semen (cairan sperma) dan
sekret vagina, serta transmisi dari ibu ke anak (Mansjoer, 2000). Transmisi dari retrovirus RNA
yang disebarkan melalui darah terjadi terutama oleh mekanisme, yaitu homoseksual atau
heteroseksual, terinfeksi darah penderita HIV/AIDS, penyalahgunaan obat intravena, transfusi
produk-produk darah dan transmisi dari ibu ke anak (Davey, 2000). Penularan infeksi HIV dari
ibu kepada anaknya terjadi selama kehamilan, proses persalinan dan dengan pemberian ASI oleh
ibu penderita HIV/AIDS (Antony dan Lane, 2005).
Peluang untuk tertular HIV melalui hubungan seks adalah 1%, melalui transfusi darah
90%, melalui jarum suntik 90% dan ibu hamil kepada bayinya 30%. Meskipun penularan HIV
melalui hubungan seks mempunyai peluang paling kecil, ternyata lebih dari 90% kasus HIV dan
AIDS yang ada sekarang ini terjadi karena hubungan seks (Yatim, 2006).
HIV tidak dapat menular melalui air liur, keringat ataupun air mata pengidap HIV/AIDS.
Walaupun HIV dapat diisolasi jumlah dari ludah penderita HIV/AIDS dalam jumlah sedikit,
tetapi tidak terdapat bukti yang pasti bahwa ludah dapat menularkan infeksi HIV baik melalui
ciuman atau paparan lainnya (Antony dan Lane, 2005).
Menurut Azhari (2000), AIDS tidak menular melalui:
a. Hidup serumah dengan penderita AIDS (asal tidak mengadakan hubungan seksual)
c. Berjabatan tangan
e. Berciuman
f. Berpelukan
Pada gambar diatas nampak adanya peningkatan kasus baru yang cukup signifikan pada
tahun 2008, dari 2.947 kasus baru pada tahun 2007 menjadi 4.969 kasus pada tahun 2008.
3
Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar, RISKESDAS Indonesia Tahun 2007. hl. xix
Besaran kasus juga dapat dilihat dengan menggunakan Case Rate AIDS yang diperoleh dengan
membandingkan jumlah kasus kumulatif terhadap jumlah penduduk per 100.000 penduduk. Pada
tahun 2009, provinsi dengan Case Rate tertinggi adalah Papua sebesar 133,1; diikuti oleh Bali
sebesar 45,4; da DKI Jakarta 31,7 per 100.000 penduduk.
HIV/AIDS memiliki beberapa faktor risiko, yaitu hubungan seksual lawan jenis
(heteroseksual), hubungan sejenis melalui Lelaki Seks Lelaki (LSL), penggunaan Narkoba suntik
secara bergantian, transfusi darah dan perinatal. Berikut ini persentase kasus kumulatif menurut
faktor risiko.
Berdasarkan cara penularan, persentase kasus kumulatif tertinggi adalah melalui
hubungan heteroseksual sebesar 50,3%. Sedangkan persentase terendah adalah melalui transfusi
darah sebesar 0,1%.
Untuk kategori jenis kelamin, didapatkan proporsi kasus kumulatif AIDS laki-laki lebih
besar terhadap perempuan yaitu 73,3% berbanding 25,8%.
Proporsi kasus kumulatif AIDS menurut kelompok umur menunjukkan gambaran bahwa
sebagian besar kasus kumulatif AIDS terdapat pada usia 20-29 tahun, 30-39 tahun, dan 40-49
tahun. Kelompok umur tersebut memang termasuk ke dalam usia produktif yang tentu saja juga
aktif secara seksual.
Penanggulangan
Penularan dan penyebaran HIV dan AIDS sangat berhubungan dengan perilaku beresiko,
oleh karena itu penanggulangan harus memperhatikan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
perilaku tersebut4. Upaya pelayanan kesehatan dalam rangka penanggulangan penyakit
HIV/AIDS di samping ditujukan pada penanganan penderita yang ditemukan juga diarahkan
pada upaya pencegahan melalui penemuan penderita secara dini yang dilanjutkan dengan
kegiatan konseling.
Upaya penemuan penderita dilakukan melalui skrining HIV/AIDS terhadap darah donor,
pemantauan pada kelompok berisiko penderita Penyakit Menular Seksual (PMS) seperti Wanita
Penjaja Seksual (WPS), penyalahguna obat dengan suntikan (IDUs), penghuni Lapas (Lembaga
Pemasyarakatan) atau sesekali dilakukan penelitian pada kelompok berisiko rendah seperti ibu
rumah tangga dan sebagainya.5
Berikut ini merupakan strategi yang ditetapkan oleh pemerintah dalam upaya
penanggulangan HIV dan AIDS, yaitu6:
Meningkatkan dan memperluas upaya pencegahan yang nyata efektif dan menguji coba
cara-cara baru.
Meningkatkan dan memperkuat sistem pelayanan kesehatan dasar dan rujukan untuk
mengantisipasi peningkatan jumlah ODHA yang memerlukan akses perawatan dan
pengobatan
4
Komisi Penanggulangan AIDS. 2007. Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 2007-2010.
KPA, Jakarta. hal. 14
5
Profil Kesehatan Indonesia 2009, Departemen Kesehatan RI, Jakarta. hl. 95
6
Komisi Penanggulangan AIDS. 2007. Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 2007-2010.
KPA, Jakarta. hl 17.
Meningkatkan kemampuan dan memberdayakan mereka yang terlibat dalam upaya
pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di pusat dan di daerah melalui pendidikan
dan pelatihan yang berkesinambungan
Meningkatkan survei dan penelitian untuk memperoleh data bagi program
penanggulangan HIV dan AIDS
Memberdayakan individu, keluarga dan komunitas dalam pencegahan HIV
dilingkungannya
Meningkatkan kapasitas nasional untuk menyelenggarakan monitoring dan evaluasi
penanggulangan HIV dan AIDS
Memobilisasi sumberdaya dan mengharmonisasikan pemanfaatannya di semua tingkat.
Kota Depok merupakan sebagian kecil wilayah di Indonedia yang juga tidak luput dari
persoalan peningkatan kasus HIV/AIDS dan menjadi masalah kesehatan dan sosial di daerah
tersebut. Berikut ini program yang dilakukan Pemda Depok dalam penanggulangan HIV/AIDS7:
Harm Reduction
Harm Reduction atau pengurangan dampak buruk pada pengguna jarum suntik, yaitu
dengan mensuplay jarum suntik yang steril kepada pengguna narkoba yang terdata.
Diharapkan dengan selalu mengawasi dan mengontrol jarum suntik, hal tersebut dapat
mencegah penyebaran HIV/AIDS melalui pemakaian jarum suntik.
Penyuluhan dan konseling
Biasanya digelar secara rutin oleh Dinas Kesehatan melalui kader-kader siaga yang telah
tersebar di beberapa titik wilayah tertentu.
Klinik Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM)
Rumatan metadon pada dasarnya mengubah perilaku penggunaan dari jarum suntik
menjadi diminum dengan dosis yang diturunkan secara bertahap.
Mengingat luasnya wilayah Indonesia, sementara sumber daya masih terbatas, kriteria dalam
menentukan tempat dan wilayah pelaksanaan program perlu memperhatikan data epidemiologis
7
Dinas Kominfo Kota Depok. 2011. Penanggulangan HIV/AIDS di Depok.
http://www.depok.go.id/01/02/2011/03-kesehatan-kota-depok/penanggulangan-hivaids-di-depok. diakses pada
tanggal 07 Mei 2011.
HIV dan AIDS dan kemungkinan memperoleh daya ungkit yang besar bila program
dilaksanakan.
PENCEGAHAN, PENANGGULANGAN
DAN PENGOBATAN
Pencegahan
Pencegahan AIDS difokuskan pada tiga cara penularan yang utama, yaitu: (1) kontak
seksual, (2) penggunaan jarum suntik dan (3) transfusi darah (Hutapea, 1995).
Pengendalian diri untuk tidak berperilaku resiko tertular virus AIDS adalah kunci pencegahan
yang jika dikembangkan secara konsisten akan cukup efektif untuk menyelamatkan masyarakat
dari wabah penularan virus AIDS ini. Pengendalian diri dapat diterapkan melalui tiga cara, yaitu
puasa (P) seks (abstinensia), artinya tidak melakukan hubungan seks, setia (S) pada pasangan
seks yang sah, artinya tidak berganti-ganti pasangan seks dan penggunaan kondom pada setiap
melakukan hubungan seksual yang beresiko tertular virus AIDS atau penyakit menular seksual
(PMS) (Muninjaya, 1999).
Saat ini perkembangan vaksin HIV sangat ditekankan. Vaksin digunakan untuk
menginduksi imunitas tambahan pada tiap imunitas yang menurun akibat infeksi alamiah pada
pasien. Sebagian besar vaksin yang kini tersedia didasarkan pada protein selubung ekstraselular
gp 120 atau protein prekusor selubung gp 160. Salah satu faktor yang mungkin membatasi
keberhasilan vaksin ini adalah banyaknya jenis protein selubung antara galur HIV berbeda.
Penanggulangan
Penularan dan penyebaran HIV dan AIDS sangat berhubungan dengan perilaku beresiko,
oleh karena itu penanggulangan harus memperhatikan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
perilaku tersebut. Bahwa kasus HIV dan AIDS diidap sebagian besar oleh kelompok perilaku
resiko tinggi yang merupakan kelompok yang dimarginalkan, maka program-program
pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS memerlukan pertimbangan keagamaan, adat-
istiadat dan normanorma masyarakat yang berlaku disamping pertimbangan kesehatan.
Perlu adanya program-program pencegahan HIV dan AIDS yang efektif dan memiliki
jangkauan layanan yang semakin luas dan program-program pengobatan, perawatan dan
dukungan yang komprehensif bagi ODHA maupun OHIDA untukmeningkatkan kualitas
hidupnya. Upaya- upaya yang dilakukan yaitu :
Meningkatkan dan memperluas upaya pencegahan yang nyata efektif dan menguji coba cara-
cara baru;
Meningkatkan dan memperkuat sistem pelayanan kesehatan dasar dan rujukan untuk
mengantisipasi peningkatan jumlah ODHA yang memerlukan akses perawatan dan
pengobatan;
Meningkatkan kemampuan dan memberdayakan mereka yang terlibat dalam upaya
pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di pusat dan di daerah melalui pendidikan
dan pelatihan yang berkesinambungan;
Meningkatkan survei dan penelitian untuk memperoleh data bagi pengembangan program
penanggulangan HIV dan AIDS;
Memberdayakan individu, keluarga dan komunitas dalam pencegahan HIV dilingkungannya;
Meningkatkan kapasitas nasional untuk menyelenggarakan monitoring dan evaluasi
penanggulangan HIV dan AIDS;
Memobilisasi sumberdaya dan mengharmonisasikan pemamfaatannya di semua tingkat.
Pengobatan
Sebelum ditemukan pengobatan antiretrovirus yang relatif efektif, dan tersedia secara
rutin di AS sekitar tahun 90-an, pengobatan yang ada pada waktu itu hanya ditujukan kepada
penyakit “opportunistic” yang diakibatkan oleh infeksi HIV. Penggunaan TMP-SMX oral untuk
tujuan profilaktik, dengan pentamidin aerosol kurang efektif, obat ini di rekomendasikan untuk
mencegah penumonia P. carinii. Semua orang yang terinfeksi HIV terhadap mereka harus
dilakukan tes tuberkulin dan dievaluasi apakah mereka penderita TBC aktif. Jika diketahui
menderita TB aktif, pasien harus diberi terapi anti tuberkulosa. Jika bukan TB aktif, pasien
dengan tes tuberkulin positif atau yang anergik tetapi baru saja terpajan dengan TB harus
diberikan terapi dengan isoniazid untuk 12 bulan.
Keputusan untuk memulai atau merubah terapi antiretrovirus harus di pandu dengan
memonitor hasil pemeriksaan parameter laboratorium baik Plasma HIV RNA (viral load)
maupun jumlah sel CD4+T dan dengan melihat kondisi klinis dari pasien. Hasil dari dua
parameter ini memberikan informasi penting tentang status virologi dan imunologi dari pasien
dan risiko dari perkembangan penyakit menjadi AIDS. Sekali keputusan untuk memberi terapi
antiretrovirus diambil, pengobatan harus di lakukan dengan agresif dengan tujuan menekan virus
semaksimal mungkin. Pada umumnya, harus diawali dengan penggunaan inhibitor protease dan
dua inhibitor “non nucleoside reverse transcriptase”. Regimen lain mungkin digunakan tetapi
dianggap kurang optimal. Pertimbangan spesifik di berikan kepada orang dewasa dan wanita
hamil, dan bagi pasien pasien ini sebaiknya digunakan regimen pengobatan spesifik.
Hingga pertengahan tahun 1999, satu-satunya obat yang dapat mengurangi risiko
penularan HIV perinatal hanya AZT dan di berikan sesuai dengan regimen berikut: diberikan
secara oral sebelum kelahiran, mulai 14 minggu usia kehamilan dan diteruskan sepanjang
kehamilan, diberikan intravena selama periode intra-partum; diberikan oral bagi bayi baru lahir
hingga berusia 6 minggu. Regimen “chemoprophylactic” ini menurunkan risiko penularan HIV
hingga 66 %. Terapi AZT yang lebih singkat mengurangi risiko penularan hingga 40%. Dari
studi di Uganda, dilaporkan bahwa pada bulan Juli 1999 dosis tunggal nevirapine yang diberikan
kepada ibu yang terinfeksi HIV diikuti dengan dosis tunggal kepada bayi hingga berusia 3 hari,
memberi hasil yang lebih baik dibandingkan dengan kedua terapi diatas. Hanya 13.1 % dari bayi
yang mendapat terapi nevirapine yang terinfeksi HIV, dibandingkan dengan 25.1 % dari
kelompok yang mendapat terapi AZT. Harga Nevirapine kurang dari 4 dollar satu dosisnya,
sehingga prospek untuk melindungi penularan ibu ke anak di negara berkembang lebih
memungkinkan di era milinium ini. Namun, kurang tersedianya fasilitas tes HIV dan jasa
konsultasi bagi wanita hamil di negara-negara berkembang yang termiskin di Afrika tetap
merupakan sebuah tantangan yang berat. Disamping itu kurang tersedianya pengobatan anti HIV
bagi orang dewasa membuat angka anak-anak yang menjadi yatim-piatu bertambah di negara-
negara ini.
Daftar Pustaka
Komisi Penanggulangan AIDS. 2007. Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS
2007-2010. KPA, Jakarta.