You are on page 1of 13

Hipertensi pada Lansia

Posted on September 10, 2008 by diyoyen.


Categories: PENYAKIT DALAM, Uncategorized.

I.1. Definisi
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah naiknya tekanan pada
pembuluh darah arteri. Hipertensi terutama diakibatkan oleh dua faktor
utama, yang dapat hadir secara independen atau bersama-sama, yaitu :
(Silbernagl S dan Lang F, 2000).
1. Daya pompa jantung dengan kekuatan yang besar.
2. Pembuluh darah kecil (arteriol) menyempit, sehingga aliran darah
memerlukan tekanan yang besar untuk melawan dinding pembuluh darah
tersebut.

Beberapa ahli kardiovaskular mengkategorikan hipertensi sebagai berikut :


Hipertensi primer atau esensial atau pula hipertensi idiopatik adalah
hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya. Hipertensi jenis ini merupakan
90% kasus hipertensi yang banyak terjadi di masyarakat. Hipertensi ini
merupakan proses kompleks dari beberapa organ utama dan sistem,
meliputi jantung, pembuluh darah, saraf, hormon dan ginjal (Guibert R dan
Franco ED, 1999).
Hipertensi sekunder adalah naiknya tekanan darah yang diakibatkan oleh
suatu sebab. Hipertensi jenis ini terjadi pada 5% kasus yang terjadi di
masyarakat. Selain itu ada beberapa jenis hipertensi dengan ciri khas
khusus. Isolated Systolic Hypertension adalah hipertensi yang terjadi ketika
tekanan sistolik lebih dari 140 mmHg namun tekanan diastolik dalam batas
normal. Keadaan ini berhubungan dengan arteriosclerosis (pengerasan
dinding arteri). Pregnancy Induced Hypertension adalah kondisi naiknya
tekanan darah yang terjadi selama kehamilan, dimana naiknya tekanan
darah sistolik dan diastolik lebih dari 15 mmHg (Guibert R dan Franco ED,
1999).
Selain itu terdapat kondisi yang dinamakan White Coat Hypertension. Bentuk
hipertensi ini adalah meningkatnya tekanan darah yang terjadi selama
kunjungan ke dokter, namun tidak di rumah. Hipertensi ini merupakan faktor
pada kira-kira 20% pasien dengan hipertensi ringan (Guibert R dan Franco
ED, 1999).

I.2. Epidemiologi
Hipertensi esensial mulai terjadi seiring bertambahnya umur. Pada populasi
umum, pria lebih banyak yang menderita penyakit ini dari pada wanita (39%
pria dan 31% wanita). Prevalensi hipertensi primer pada wanita sebesar
22%-39% yang dimulai dari umur 50 sampai lebih dari 80 tahun, sedangkan
pada wanita berumur kurang dari 85 tahun prevalensinya sebesar 22% dan
meningkat sampai 52% pada wanita berumur lebih dari 85 tahun
(Trenkwalder P et al, 2004).
Dari 25% pria dan 18% wanita penderita hipertensi, tidak menyadari bahwa
mereka mengidap hipertensi. Bagi mereka yang menyadari, 82%nya
menjalani pengobatan terhadap penyakitnya. Sedangkan dari semua
penderita hipertensi, hanya 46% yang mempunyai hipertensi terkontrol.
Untuk kedua jenis kelamin, perbandingan hipertensi terkontrol menurun
seiring bertambahnya umur, sedangkan perbandingan hipertensi yang tidak
terkontrol yang menjalani pengobatan bertambah seiring bertambahnya
umur. Untuk pria, perbandingan penderita yang sadar menderita hipertensi
(diobati atau tidak diobati) juga menurun seiring bertambahnya umur
(Trenkwalder P et al, 2004).

I.3. Etiologi
Faktor genetik dianggap penting sebagai sebab timbulnya hipertensi.
Anggapan ini didukung oleh banyak penelitian pada hewan percobaan dan
tentunya pada manusia itu sendiri. Faktor genetik tampaknya bersifat
mulifaktorial akibat defek pada beberapa gen yang berperan pada
pengaturan tekanan darah (Fauci AS et al, 1998).
Faktor lingkungan merupakan faktor yang paling berperan dalam perjalanan
munculnya penyakit hipertensi. Faktor ini meliputi intake garam yang
berlebihan, obesitas, pekerjaan, alkoholisme, stresor psikogenik dan tempat
tinggal. Semakin banyak seseorang terpapar faktor-faktor tersebut maka
semakin besar kemungkinan seseorang menderita hipertensi, juga seiring
bertambahnya umur seseorang (Fauci AS et al, 1998).
Dari faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, tidak ada satupun yang
ditetapkan sebagai penyebab langsung hipertensi esensial. Lain halnya
dengan hipertensi sekunder, yang saat ini telah banyak ditemukan
penyebabnya secara langsung, beberapa di antaranya adalah : (Fauci AS et
al, 1998)
1. Sleep-apnea
2. Drug-induced atau drug-related hypertension
3. Penyakit ginjal kronik
4. Aldosteronisme primer
5. Penyakit renovaskular
6. Terapi steroid jangka lama dan sindrom Cushing
7. Feokromositoma
8. Koarktasio aorta
9. Penyakit thyroid atau parathyroid

I.4. Patofisiologi
Tekanan darah diatur dalam batas-batas tertentu untuk perfusi jaringan
yang cukup tanpa menyebabkan kerusakan pada sistem vaskular, terutama
intima arterial. Tekanan darah arterial langsung seimbang dengan hasil
curah jantung dan resistensi vakular perifer. Pada orang normal dan
hipertensi, curah jantung dan resistensi perifer diatur oleh mekanisme
pengatur yang saling tumpang tindih : barorefleks disalurkan melalui sistem
saraf simpatik dan sistem renin-angiotensin-aldosteron. (Mycek MJ et, 1995)
Barorefleks mencakup sistem saraf simpatis yang diperlukan untuk
pengaturan tekanan darah yang cepat dari waktu ke waktu. Turunnya
tekanan darah menyebabkan neuron-neuron yang sensitif terhadap tekanan
(baroreseptor pada arkus aorta dan sinus karotid) akan mengirimkan impuls
yang lebih lemah kepada pusat-pusat kardiovaskular dalam sambungan
sumsum. Ini akan menimbulkan peningkatan respon refleks pusat simpatik
dan penurunan pusat parasimpatik terhadap jantung dan pembuluh, yang
akan mengakibatkan vasokontriksi dan meningkatkan isi sekuncup jantung.
Perubahan ini akan menurunkan kenaikan tekanan darah kompensasi
(Mycek MJ et, 1995).
Ginjal mengatur tekanan darah jangka panjang dengan mengubah volume
darah. Baroreseptor pada ginjal menyebabkan penurunan tekanan darah
(dan stimulasi reseptor β-adrenergik simpatik) dengan cara mengeluarkan
enzim renin. Peptidase ini akan mengubah angiotensinogen menjadi
angiotensin I yang selanjutnya dikonversi menjadi angiotensin II. Angiotensin
II adalah vasokonstriktor yang sangat poten dalam sirkulasi, menyebabkan
peningkatan tekanan darah. Lebih lanjut, angiotensin II ini memicu sekresi
aldosteron sehingga reabsorpsi natrium ginjal dan volume darah meningkat,
yang seterusnya juga akan meningkatkan tekanan darah (Mycek MJ et,
1995).
Pada hipertensi esensial, sensitivitas terhadap garam ternyata meningkatkan
insidensi hipertensi pada keluarga yang sering mengkonsumsi NaCl dalam
jumlah banyak. Namun hubungan antara sensitivitas garam dan hipertensi
primer belum sepenuhnya diketahui. Diduga responsifitas terhadap
katekolamin meningkat pada orang yang sensitif terhadap NaCl. Ini terjadi
pada stres psikologik yang pada satu sisi menimbulkan stimulasi terhadap
jantung secara langsung, dan pada sisi lain menyebabkan reabsorpsi renal
secara tidak langsung sehingga menyebabkan retensi cairan dan natrium,
suatu keadaan yang disebut hipertensi hiperdinamik. Meningkatnya tekanan
darah menyebabkan pressure diuresis, dengan adanya peningkatan ekskresi
natrium untuk menjaga keseimbangan natrium. Mekanisme ini terjadi pula
pada orang sehat, namun peningkatan tekanan darah yang diperlukan untuk
mengekskresi natrium dalam jumlah besar lebih rendah. Pada hipertensi
primer, NaCl-dependent increase in blood pressure lebih tinggi dari normal.
Diet rendah natrium menurunkan insiden hipertensi pada kasus ini
(Silbernagl S dan Lang F, 2000).
Dalam waktu yang lama, hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung.
Gagal jantung adalah keadaan patofisiologik di mana jantung sebagai pompa
tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan.
Hipertensi merupakan faktor yang meningkatkan tekanan ventrikel selama
sistolik, yang selanjutnya akan meningktan beban akhir jantung (after load).
Pada awal, terjadi mekanisme kompensasi jantung berupa hipertrofi
ventrikel untuk melawan tahanan tersebut. Bila hal ini berlangsung cukup
lama, maka akan terdapat titik akhir di mana jantung sudah tidak dapat
melawan beban akhir jantung, dan terjadilah gagal jantung (decompesatio
cordis) (Silbernagl S dan Lang F, 2000).
Hipertensi juga merupakan faktor resiko penyakit jantung koroner.
Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan tekanan resistensi
terhadap pemompaan darah dari ventrikel kiri. Seperti diketahui, hal ini akan
dikompensasi dengan adanya hipertrofi ventrikel kiri. Akan tetapi
kemampuan ventrikel untuk mempertahankan curah jantung akhirnya akan
terlampaui dan terjadi dilatasi jantung dan payah jantung. Jantung semakin
terancam oleh adanya proses aterosklerosis pembuluh darah koroner. Bila
proses aterosklerosis berlanjut maka suplai oksigen miokardium berkurang.
Kebutuhan miokardium akan oksigen yang meningkat akibat hipertrofi
ventrikel dan peningkatan beban kerja jantung, akhirnya menyebabkan
angina atau infark miokardium. Aterosklerosis yang terjadi diduga karena
tekanan darah yang selalu tinggi akibat hipertensi merusak tunika media
pembuluh darah koroner, dan hal menyebabkan pembuluh darah menjadi
kaku. Hipertensi juga merusak sel endotel pembuluh darah yang selanjut
dapat menyebabkan trombus. Trombus dapat menyebabkan aliran darah ke
miokardium terhambat (Silbernagl S dan Lang F, 2000).
Beberapa kelainan patologik yang terjadi pada ginjal dapat menyebabkan
hipertensi. Hal ini diakibatkan oleh iskemia jaringan ginjal yang didahului
sebelumnya oleh berkurangnya aliran perfusi ke ginjal. Hal ini menyebabkan
dikeluarkannya renin yang selanjutnya mengaktivasi angiotensin II dan
aldosteron. Angiotensin II menyebabkan vasokontriksi sedangkan aldosteron
menyebabkan retensi cairan. Keduanya menyebabkan peningkatan tekanan
darah (Silbernagl S dan Lang F, 2000).

I.5. Manifestasi Klinis


Tekanan sistolik adalah gaya yang mempengaruhi dinding arteri sesaat
jantung berkontraksi untuk memompakan darah. Tekanan sistolik yang
sering tinggi di atas normal dapat menyebabkan hipertensi sistolik. Tekanan
sistolik yang tinggi (hipertensi sistolik) diketahui merupakan faktor resiko
yang besar untuk terkena komplikasi penyakit jantung, ginjal dan sirkulasi
atau bahkan kematian, terutama pada pasien umur pertengahan dan orang
tua. Semakin besar jarak antara tekanan sistolik dan diastolik, maka semakin
besar bahayanya (Kannel WB et al, 2001).
Sebenarnya, meningkatnya tekanan sistolik menyebabkan besarnya
kemungkinan timbulnya kejadian stroke dan myocard infark bahkan
walaupun tekanan diastoliknya dalam batas normal (isolated systolic
hypertension). Isolated systolic hypertension adalah bentuk hipertensi yang
paling sering terjadi pada lansia. Pada suatu penelitian, ia menempati 87%
kasus pada orang yang berumur 50 sampai 59 tahun (Kannel WB et al,
2001).
Tekanan diastolik adalah gaya yang dikeluarkan pada saat jantung terisi oleh
darah balik. Tekanan diastolik yang tinggi atau disebut hipertensi diastolik
adalah prediktor kuat terhadap kejadian serangan jantung dan stroke pada
dewasa muda (Kannel WB et al, 2001).
I.6. Diagnosis
Tekanan darah dapat diperiksa secara sederhana dengan metode auskultasi
yang tentunya harus dilakukan secara benar dengan menggunakan
instrumen yang telah dikalibrasi dan validitasnya terjamin. Pasien sebaiknya
dalam posisi duduk istirahat selama sedikitnya 5 menit, dengan kaki di atas
lantai dan lengan yang sejajar dengan letak jantung. Pengukuran dengan
posisi berdiri dapat dilakukan secara periodik, terutama pada pasien dengan
resiko hipotensi postural. Pergunakan ukuran manset yang tepat untuk
menjamin akurasi pengukuran (manset paling tidak melingkari 80% keliling
lengan atas). Pengukuran harus dilakukan minimal dua kali. Tekanan darah
sistolik adalah titik dimana suara pertama dapat terdengar (fase 1) dan
tekanan darah diastolik adalah titik sebelum suara tidak terdengar lagi (fase
5). Diagnosis hipertensi dapat ditegakkan berdasarkan pengukuran tekanan
darah yang didapat dengan melihat kategori penyakit hipertensi di bawah ini
(JNC, 1997).

Tabel 1. Klasifikasi Hipertensi Berdasarkan Joint National Committe on


Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure VII
Kategori Tekanan Darah
Normal Sistolik Kurang dari 120 mmHg
Diastolik Kurang dari 80 mmHg
Pre-Hipertensi Sistolik 120 − 139 mmHg
Diastolik 88 − 89 mmHg
Hipertensi ringan (derajat 1) Sistolik 140 − 159 mmHg
Diastolik 90 − 99 mmHg
Hipertensi sedang (derajat 2) Sistolik Lebih dari 160 mmHg dan/atau
Diastolik Lebih dari 100 mmHg

Pada pemeriksaan tekanan darah dapat ditentukan pula tekanan nadi (Pulse
Pressure). Tekanan nadi adalah selisih antara tekanan sistolik dan diastolik.
Tampaknya ini merupakan indikator kekakuan dan adanya inflamasi pada
dinding pembuluh darah. Semakin besar perbedaan antara tekanan sistolik
dan diastolik, maka semakin kaku dan rusaklah pembuluh darah. Walaupun
belum secara luas digunakan oleh para dokter untuk menentukan
pengobatan, bukti menunjukkan bahwa ia merupakan prediktor kuat adanya
masalah pada jantung, terutama pada lansia. Beberapa penelitian
melaporkan bahwa setiap kenaikan tekanan nadi sebesar 10 mmHg, maka
resiko terjadinya stroke meningkat sampai 11%, penyakit kardiovaskular
10% dan mortalitas sampai 16% (pada dewasa muda resikonya bahkan lebih
besar lagi) (JNC, 1997).
Evaluasi pasien yang sebelumnya diketahui menderita hipertensi
mempunyai 3 macam penilaian. (1) menilai gaya hidup dan mengidentifikasi
faktor resiko kardiovaskular atau gangguan yang secara bersama ada, yang
dapat mempengaruhi prognosis pengobatan. (2) untuk mencari sebab
hipertensi yang dapat diidentifikasi. (3) menilai ada atau tidak kerusakan
target organ (target organ damage) dan penyakit serebrovaskular (JNC,
1997).
Pemeriksaan fisik lain meliputi pemeriksaan fundus optik, indeks massa
tubuh, adanya bising pada arteri karotis, abdominal dan femoral; palpasi
kelenjar thyroid, pemeriksaan jantung-paru dan ginjal, edema pada
ekstremitas bagian bawah dan penilaian neurologis (JNC, 1997).
Tes laboratorium rutin dianjurkan untuk dilaksanakan sebelum memulai
pengobatan, yang meliputi pemeriksaan EKG, urinalisis, glukosa darah dan
hematokrit, kalium serum, kreatinin dan kalsium; dan profil lipid (setelah 9-
12 jam berpuasa) yang meliputi HDL, LDL dan trigliserida. Tes lain meliputi
pengukuran ekskresi albumin urin, rasio albumin/kreatinin (Neaton JD dan
Wentworth D, 2002).

I.7. Penatalaksanaan
Tujuan terapi antihipertensi adalah pengurangan morbiditas dan mortalitas
penyakit kardiovaskular dan ginjal. Karena sebagian besar pasien dengan
hipertensi, terutama yang berumur sedikitnya 50 tahun, mendapatkan
tekanan darah diastolik yang normal bila tekanan sisitolik normal dapat
diwujudkan, maka tujuan utama terapi hipertensi adalah mempertahankan
tekanan sistolik dalam batas normal. Mempertahankan tekanan darah
sistolik dan diastolik kurang dari 140/90 mmHg berhubungan dengan
menurunnya komplikasi penyakit kardiovaskular. Pada pasien dengan
hipertensi yang disertai diabetes dan penyakit ginjal, target tekanan
darahnya adalah 130/80 mmHg (Applegate WB, 2002).

Adopsis gaya hidup sehat oleh semua individu penting dalam pencegahan
meningkatnya tekanan darah dan bagian yang tidak terpisahkan dari terapi
pasien dengan hipertensi (Applegate WB, 2002). Terdapat banyak pilihan
terapi non-farmakologis dalam menangani hipertensi pada lansia, terutama
bagi mereka dengan peningkatan tekanan darah yang ringan. Bukti saat ini
menunjukkan bahwa perubahan gaya hidup cukup efektif dalam menangani
hipertensi ringan pada lansia. Beberapa cara berikut membantu menurunkan
tekanan darah pada lansia : mengurangi berat badan yang berlebihan,
mengurangi atau bahkan menghentikan konsumsi alkohol, mengurangi
intake garam pada makanan, dan melakukan olah raga ringan secara
teratur. Cara lain yang secara independen mengurangi resiko penyakit arteri
terutama adalah berhenti merokok. Pada pasien dengan hipertensi ringan
sampai sedang (tekanan diastolik 90-105 mmHg dan atau sistolik 160-
180mmHg) terapi non-farmakologi dapat dicoba selama 3 sampai 6 bulan
sebelum mempertimbangkan pemberian terapi farmakologis. Pada
hipertensi berat, perubahan gaya hidup dan terapi farmakologi harus dijalani
secara bersama-sama. Pola makan makanan tinggi kalium dan kalsium serta
rendah natrium juga merupakan metode terapi non-farmakologis pada lansia
penderita hipertensi ringan (Coope J dan Warrender TS,1996; JNC, 1997)

Tabel 3. Aplikasi Modifikasi Gaya Hidup Pada Pasien Hipertensi (JNC, 1997)
Modifikasi Gaya Hidup Dalam Penanganan Hipertensi
Modifikasi Anjuran Penurunan Tekanan Sistolik
Penurunan berat badan Pertahankan berat badan normal (BMI 18.5-2.49) 5-
20 mmHg/10 kg hilang berat
Pola Makan cara DASH Konsumsi makanan kaya serta seperti buah-buahan,
sayuran dan produk makanan rendah lemak , lemak jenuh dan lemak total 8-
14 mmHg
Pengurangan jumlah natrium dalam makanan Kurangi intake natrium dalam
makanan sampai tidak lebih dari 100 mEq/L (2,4 gram natrium atau 6 gram
natrium klorida) 2-8 mmHg
Aktivitas fisik Lakukan aktivitas fisik aerobik secara teratur, seperti berjalan
kaki (sedikitnya 30 menit per hari) 4-9 mmHg

Saat ini, pemberian terapi farmakologis menunjukkan penurunan morbiditas


dan mortalitas pada lansia penderita hipertensi. Berdasarkan penelitian
terbaru pada obat-obat antihipertensi yang tersedia sekarang ini
(angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE inhibitor), angiotensin-
receptor blocker (ARBs), calcium channel blocker, diuretik tipe Tiazid, beta-
blocker), semua menurunkan komplikasi penyakit hipertensi (Hansson L et
al,1998).
Diuretik tiazid merupakan terapi dasar antihipertensi pada sebagian besar
penelitian. Pada penelitian-penelitian tersebut, termasuk Antihypertensive
And Lipid Lowering Treatment To Prevent Heart Attack Trial, diuretik lebih
baik dalam mencegah komplikasi kardiovaskular akibat penyakit hipertensi.
Pengecualian datang dari Australian National Blood Pressure trial, yang
melaporkan hasil yang sedikit lebih baik pada pria kulit putih yang memulai
terapi hipertensi dengan ACE inhibitor dari pada mereka yang memulai
dengan diuretik (Curb JD et al 1999).
Diuretik menambah keampuhan obat-obat hipertensi, berguna untuk
mengontrol tekanan darah dan lebih terjangkau dari pada obat-obat
antihipertensi lain. Diuretik seharusnya dipakai sebagai pengobatan awal
terapi hipertensi untuk semua pasien, baik secara sendiri maupun kombinasi
dengan 1 dari golongan obat antihipertensi lain (ACE inhibitor, ARBs, β-
Blocker, CCB), karena memberikan manfaat pada beberapa penelitian.
Namun jika obat ini tidak ditoleransi secara baik atau merupakan
kontraindikasi, sedangkan obat dari golongan lain tidak, maka pemberian
obat dari golongan lain tersebut harus dilakukan (Curb JD et al 1999).
Sebagian besar pasien hipertensi memerlukan dua atau lebih obat-obat
antihipertensi lain untuk mencapai target tekanan darah yang diingini.
Tambahan obat kedua dari golongan lain seharusnya dimulai jika
penggunaan obat tunggal pada dosis yang adekuat gagal mencapai target
tekanan darah yang diingini. Bila tekanan darah di atas 20/10 mmHg dari
target, pertimbangkan untuk memulai terapi dengan dua obat, baik pada
sebagai resep yang terpisah maupun pada dosis kombinasi tetap. Pemberian
obat antihipertensi dengan dua obat dapat mencapai target tekanan darah
yang diingini dalam waktu yang singkat, namun mesti diperhatikan adanya
hipotensi ortostatik, seperti pada pasien diabetes mellitus, disfungsi otonom,
dan beberapa kelompok usia tua (SHEP, 2001).

Tabel 4.Macam-macam Obat Antihipertensi Oral dan Cara Pemberiannya,


(JNC, 1997)
Obat-Obat Antihipertensi Oral
golongan Obat Dosis Lazim Frekuensi per hari
Diuretik Tiazid Klorotiazide 125-500 1
Klortalidon 12.5-25 1
Hidroklorotiazide 12.5-50 1
Politiazide 2-4 1
Indapamide 12.5-2.5 1
Metolazone 0.5-1 1
Loop diuretik Bumetanide 0.5-2 2
Furosemide 20-80 2
Torsemide 0.5-10 1
Kalium sparing diuretic Amiloride 5-10 1-2
Triamterene 50-100 1-2
Aldosterone-receptor blocker Eplerenon 50-100 1-2
Spironolactone 25-50 1-2
β-Blocker Atenolol 25-100 1
Betaxolol 5-20 1
Bisoprolol 2.5-10 1
Metoprolol 50-100 1-2
Nadolol 40-120 1
Propanolol 40-160 2
Timolol 20-40 2
β-Blocker dengan aktivitas simpato-mimetik intrinsik Acebutolol 200-800 2
Penbutolol 10-40 1
Pindolol 10-40 2
Kombinasi α dan β blocker Carvedilol 12.5-50 2
Labetalol 200-800 2
ACE inhibitor Benazepril 10-40 1-2
Captopril 25-100 2
Enalapril 2.5-40 1-2
Fosinopril 10-40 1
Lisinopril 10-40 1
Antagonis Angiotensin II Losartan 25-100 1-2
Candesartan 8-32 1
Eprosartan 400-800 1-2
Irbesartan 150-300 1
Olmesartan 20-40 1
Calcium channel blocker − non dihidropiridin Diltiazem extended release
180-420 1
Verapamil immediate release 80-320 2
Verapamil long acting 120-360 1-2
Calcium channel blocker − dihidropiridin Amlodipine 2.5-10 1
Felodipine 2.5-20 1
Isradipine 2.5-10 2
Nicardipine sustained release 60-120 2
Nifedipine long-acting 30-60 1
α1 Blocker Doxazosin 1-16 1
Prazosin 2-20 2-3
Terazosin 1-20 1-2
α2 agonis sentral dan obat lain yang bekerja sentral Clonidine 0.1-0.8 2
Metildopa 250-1000 1
Reserpin 0.05-0.25 1
Guanfacine 0.5-2 1
Vasodilator langsung Hidralazine 25-100 2
Minoxidil 2.5-80 1-2
Sekali terapi obat antihipertensi diberikan, maka pasien harus datang
kembali untuk dilakukan follow up dan perencanaan pengobatan kembali.
Follow up dilakukan setiap bulan sampai target tekanan darah yang diingini
tercapai. Pasien hipertensi derajat 2 atau pasien dengan komplikasi
memerlukan lebih banyak kunjungan ke dokter untuk menilai keberhasilan
pengobatan (Moser M et al, 2000).
Kadar kalium dan kreatinin serum harus dimonitor satu sampai dua kali per
tahun. Setelah target tekanan darah yang diingini tercapai dan stabil,
kunjungan follow up dapat dilakukan dalam interval 3-6 bulan. Kondisi
komorbid seperti gagal jantung dan penyakit yang memerlukan tes
laboratorium seperti diabetes mellitus, mempengaruhi frekuensi kunjungan.
Faktor resiko kardiovaskular lain harus ditangani sesuai dengan tujuan terapi
penyakit tersebut. Pasien juga harus sering dianjurkan untuk berhenti
merokok. Terapi aspirin dosis rendah dapat dilakukan hanya ketika tekanan
darah terkontrol, karena resiko terjadinya stroke hemoragik meningkat pada
pasien dengan hipertensi tidak terkontrol (Marques et al, 1997).
Pasien lansia penderita hipertensi dan kondisi komorbid tertentu
memerlukan perhatian dan follow up oleh dokter. Pada tabel di bawah ini
menggambarkan indikasi yang memberatkan yang memerlukan obat-obat
antihipertensi untuk kondisi resiko tinggi. Pemilihan obat untuk kondisi ini
berdasarkan data yang didapatkan dari beberapa penelitian terbaru.
Kombinasi beberapa obat mungkin diperlukan. Pertimbangan lain yang mesti
dipikirkan adalah meliputi obat-obat yang sudah pernah digunakan,
tolerabilitas dan target tekanan darah yang diingini. Pada beberapa kasus,
konsultasi kepada ahli diindikasikan (Holzgreve H dan Middeke M, 2003).
Tabel 5. Anjuran Obat Pada Hipertensi yang Disertai Kondisi yang
Memberatkan
Anjuran pemberian obat pada lansia penderita hipertensi yang disertai
kondisi komorbid dengan indikasi yang memberatkan

Pertimbangan lain dalam pemilihan obat-obat antihipertensi antara lain


adanya efek yang baik dan buruk yang menyertai kondisi komorbid. Tiazid
berguna untuk memperlambat demineralisasi pada osteoporosis. β-blocker
berguna pada penatalaksanaan takiaritmia arteri/fibrilasi, migraine,
tirotoksikosis (jangka pendek), tremor esensial, atau hipertensi perioperatif.
Calcium channel blocker berguna pada sindrom Raynaud dan aritmia
tertentu, dan prostatisme (Gutzwiller F, 1999).
Diuretik tiazid harus diperhatikan pada pasien yang mempunyai riwayat gout
atau hiponatremia signifikan. β-blocker biasanya dihindari pada pasien yang
memiliki riwayat asma, penyakit saluran pernafasan reaktif atau blok jantung
derajat dua atau tiga (Curb JD et al 1999). ACE inhibitor dan ARBs tidak
diberikan pada wanita yang diduga hamil dan merupakan kontraindikasi bagi
wanita yang hamil; ACE inhibitor tidak diberikan pada individu yang
mempunyai riwayat angioedema. Antagonis aldosteron dan kalium sparing
diuretik dapat menyebabkan hiperkalemia dan biasanya dihindari pada
pasien dengan kadar kalium lebih dari 5.0 mEq/L (Dahlof B et al 2001).
Penurunan tekanan sistolik lebih dari 10 mmHg pada posisi berdiri yang
disertai rasa pusing dan cemas disebut hipotensi postural dan banyak terjadi
pada penderita lansia dengan hipertensi sistolik, diabetes dan mereka yang
sedang menggunakan diuretik, venodilator (seperti nitrat, α blocker) dan
beberapa obat psikotropika. Tekanan darah pada pasien ini harus dimonitor
pada posisi terlentang. Perhatian meliputi penghindaran deplesi volume dan
titrasi dosis obat antihipertensi yang terlalu cepat (Trenkwalder P et al,
2004).
Dokter harus cukup tanggap bila target tekanan darah yang diingini tidak
pernah tercapai bahkan walaupun pasien telah mendapatkan 3 regimen obat
antihipertensi yang meliputi diuretik. Kondisi tersebut bisa disebut sebagai
hipertensi resisten. Setelah menyingkirkan penyebab hipertensi sekunder,
dokter dapat menggali secara hati-hati sebab lain kegagalan terapi (JNC,
1997).
Tabel 6. Penyebab Hipertensi Resisten, (JNC, 1997)
Penyebab Hipertensi Resisten pada Lansia
Kesalahan pengukuran tekanan darah
Volume overload dan pseudotolerance
Intake natrium berlebih
Retensi cairan akibat penyakit ginjal
Terapi diuretik tidak adekuat
Drug-induced atau sebab lain
Dosis yang tidak adekuat
Kombinasi yang tidak tepat
Obat-obat anti-inflamasi non-steroid (AINS); inhibitor siklo-oksigenase 2
Kokain, amfetamin,
Simpatomimetik (dekongestan, anorektik)
Kontrasepsi oral
Steroid adrenal
Siklosporin dan takrolimus
Eritropoetin
Licorice
Kondisi yang bersamaan terjadi
Obesitas
Intake alkohol berlebih

I.8. Komplikasi
Pasien hipertensi biasanya meninggal dunia lebih cepat apabila penyakitnya
tidak terkontrol dan telah menimbulkan komplikasi ke beberapa organ vital.
Sebab kematian yang sering terjadi adalah penyakit jantung dengan atau
tanpa disertai stroke dan gagal ginjal. Dengan pendekatan per organ sistem,
dapat diketahui komplikasi yang mungkin terjadi akibat hipertensi, yaitu
antara lain : (Hoeymans N et al, 1999)
Tabel 7. Komplikasi Hipertensi, (Hoeymans N et al, 1999)
Komplikasi Hipertensi Esensial yang Tidak Terkontrol
Jantung
Myocard infark
Angina pectoris
Gagal jantung kongestif
Sistem Saraf Pusat
Stroke
Hipertensive encephalopathy
Ginjal
Penyakit ginjal kronik
Mata
Hipertensive retinopathy
Pembuluh Darah Perifer
Peripheral vascular disease

I.9. Prognosis
Usia, ras, jenis kelamin, kebiasaan mengkonsumsi alkohol, hiperkolesterole-
mia, intoleransi glukosa dan berat badan, semuanya mempengaruhi
prognosis dari penyakit hipertensi esensial pada lansia. Semakin muda
seseorang terdiagnosis hipertensi pertama kali, maka semakin buruk
perjalanan penyakitnya apalagi bila tidak ditangani (Fauci AS et al, 1998).
Di Amerika serikat, ras kulit hitam mempunyai angka morbiditas dan
mortalitas empat kali lebih besar dari pada ras kulit putih. Prevalensi
hipertensi pada wanita pre-menopause tampaknya lebih sedikit dari pada
laki-laki dan wanita yang telah menopause. Adanya faktor resiko independen
(seperti hiperkolesterolemia, intoleransi glukosa dan kebiasaan merokok)
yang mempercepat proses aterosklerosis meningkatkan angka mortalitas
hipertensi dengan tidak memperhatikan usia, ras dan jenis kelamin (Fauci AS
et al, 1998).
Tabel 8. Faktor Resiko yang Mempengaruhi Prognosis Pasien Hipertensi
Faktor Resiko yang Mempengaruhi Prognosis Hipertensi
Faktor Resiko Utama
Hipertensi
Perokok
Obesitas (indeks massa tubuh > 30)
Kurang aktivitas
Dislipidemia
Diabetes mellitus
Mikroalbuminuria atau GFR < 60 mL/menit
Usia (>55 tahun untuk pria; >65 tahun untuk wanita)
Riwayat keluarga mengidap penyakit kardiovaskular premature (pria <55
tahun atau wanita 65 tahun)
Kerusakan Target Organ
Jantung
Hipertrofi ventrikel kiri
Angina atau myocard infark
Gagal jantung
Otak
Stroke atau TIA
Penyakit ginjal kronik
Penyakit arteri perifer
Retinopati

DAFTAR PUSTAKA
Applegate WB (2002). High blood pressure treatment in the elderly. Clinics in
Geriatric Medicine, 8: 103-117.
Coope J, Warrender TS (1996). Randomised trial of treatment of hypertension
in elderly patients in primary care. BMJ; 293: 1145-1151.
Curb JD, Pressel SL, Cutler JA, Savage PJ, Applegate WB, Black H, et al (1999).
Effect of diuretic-based antihypertensive treatment on cardiovascular
disease risk in older diabetic patients with isolated systolic hypertension.
JAMA. 276:1886-92
Fauci AS, Brauwald E, Isselbacher KJ et al (1998). Harrison’s Principles of
Internal Medicine. Mc Graw Hill, New York, 1380-4.
Guibert R, Franco ED (1999). Choosing a definition of hypertension: impact
on epidemiological estimates. J Hypertens.14:1275–1280
Dahlof B, Lindholm LH, Hansson L, Schersten B, Ekbom T, Wester PO (2001).
Effect of enalapril on survival in patients with reduced left ventricular
ejection fractions and congestive heart failure. N Engl J Med;325:293-302.
Gutzwiller F (1999). Health education and public health policies for detection,
prevention, and treatment of hypertension. J Clin Hypertens. 2:210–215.
Hansson L, Zanchetti A, Carruthers SG, Dahlof B, Elmfeldt D, Julius S, et al
(1998). Effects of intensive blood-pressure lowering and low-dose aspirin in
patients with hypertension: principal results of the Hypertension Optimal
Treatment (HOT) randomised trial. Lancet;351:1755-62
Hoeymans N, Smit HA, Verkleij H, Kromhout D (1999). Cardiovascular risk
factors in relation to educational level in 36 000 men and women in the
Netherlands. Eur Heart J.;17:518–525
Holzgreve H, Middeke M (2003). Treatment of hypertension in the elderly.
Drugs; 46(Suppl 2): 24-31
Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and
Treatment of High Blood Pressure. The seventh report of the Joint National
Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High
Blood Pressure. Arch Intern Med. 2003;157:2413–2446
Kannel WB, Gordon T, Schwartz MJ (2001). Systolic versus diastolic blood
pressure and risk of coronary heart disease. The Framingham study. Am J
Cardiol; 27:335-46.
Marques-Vidal P, Tuomilehto J (1997). Hypertension awareness, treatment
and control in the community: is the ‘rule of halves’ still valid? J Hum
Hypertens.;11:213–220
Moser M, Grellet K, Okin P, Hodas A, Hamill E, Rudick J (2000). Long-term
management of hypertension. II. Private practice experience. N Y State J
Med;80 (7 pt 1):1102-6
Mycek MJ, Harvey RA, Champe PC, Fisher BD (1995). Illustrated Reviews of
Pharmacology. Lippincott, Philadelphia, 181-182.
Neaton JD, Wentworth D (2002). Serum cholesterol, blood pressure, cigarette
smoking, and death from coronary heart disease. Overall findings and
differences by age for 316,099 white men. Arch Intern Med;152:56-64
SHEP Cooperative Research Group (2001). Prevention of stroke by
antihypertensive drug treatment in older persons with isolated systolic
hypertension. Final results of the Systolic Hypertension in the Elderly
Program (SHEP). JAMA;265:3255-64.
Silbernagl S dan Lang F (2000). Color Atlas of Pathophysiology. Thieme, New
York, 210-212.
Trenkwalder P, Ruland D, Stender M, Gebhard J, Trenkwalder C, Lydtin H,
Hense HW (2004). Prevalence, awareness, treatment and control of
hypertension in a population over the age of 65 years: results from the
Starnberg Study on Epidemiology of Parkinsonism and Hypertension in the
Elderly (STEPHY). J Hypertens.;12:709–716

http://diyoyen.blog.friendster.com/2008/09/hipertensi-pada-lansia/

You might also like