Professional Documents
Culture Documents
Pendahuluan
Asimilasi dan akulturasi adalah istilah-istilah yang bersangkut paut dengan pola interaksi
sosial dan perubahan dalam kehidupan dan kebudayaan masyarakat plural dan heterogen.
Interaksi sosial terjadi karena kondisi masyarakat yang bersifat plural (jamak), tidak
hanya terdiri atas satu kelompok, tetapi ada beberapa kelompok, mungkin jumlahnya
puluhan bahkan ratusan, namun kehidupannya saling tergantung antara satu kelompok
dengan lainnya. Kelompok disini dimaksudkan bisa berupa suku bangsa, perkumpulan
agama, organisasi kerja, klub olahraga, paguyuban, kesenian, arisan, dan lain-lain. Pola
interaksi sosial yang dikembangkan bersifat heterogen (beragam) karena masing-masing
kelompok tampil dengan keanekaragaman latar belakang masyarakat dan kebudayaannya
dan tidak serta merta melebur sebagai suatu tindakan kolektivitas yang baru.
Dengan demikian, asimilasi dan akulturasi adalah konsekuensi dari interaksi antara
individu dengan individu, baik mewakili diri sendiri maupun kelompok-
kelompokmasyarakat yang berbeda-beda (bhineka). Pentingnya berinteraksi bagi setiap
individu karena didorong oleh naluri kemanusiaan dan harkatnya sebagai makhluk sosial.
Oleh karena itu, interaksi sosial dapat dilihat sebagai mekanisme yang menggerakkan
perubahan, terutama menggerakkan konflik.
Sedangkan konflik sebagai bagian dari perubahan berpengaruh efektif terhadap seluruh
tingkat realitas sosial. Dahrendorf (dalam: lauer, 1989) melukiskan hubungan erat antar
konflik dan perubahan.
Namun perubahan dapat pula terjadi tanpa disertai atau membuahkan konflik. R.T.
Anderson dan B.C. Anderson yang melakukan studi di sebuah desa di Denmark,
menunjukkan beberapa factor yang menyebabkan perubahan tanpa konflik (lihat, Lauer,
ibid). Pertama, sifat perubahan, tidak merusak atau membuang pola-pola kebudayaan
baru diciptakan dan/atau digabungkan dengan pola yang lama. Kedua, tidak adanay
kesenjangan kebudayaan (cultural lag). Krisis ekonomi yang ditimbulkan oleh keuangan
industri kerajinan rakyat di desa segera diselesaikan dengan adanya peluang kerja di Kota
Kopenhagen. Ketiga, tak adanya keterikatan kelompok terhadap penerimaan secara
terpisah baik pola kebudayaan lama maupun kebudayaan baru sebagai simbol penilaian
superior atas pola kebudayaan yang dipilih. Keempat, perubahan yang terjadi mencakup
suatu peningkatan gengsi. Secara ekonomi dan sosial, gengsi desa itu menjadi sangat
meningkat melalui penyatuannya dengan Kota Kopenhagen.
Proses interaksi sosial hanya dapat berlangsung karena adanya perubahan masyarakat
(sosial) adalah "variasi atau modifikasi dalam setiap aspek proses sosial, pola sosial dan
bentuk-bentuk sosial, serta setiap modifikasi pola antar hubungan yang mapan dan
standar prilaku" (Fairchild, 1955). Modifikasi aspek-aspek sosial tidak terlepas dari
perkembangan kebutuhan dan kepentingan manusia dalam mengelola hidup dan
kehidupannya.
Konsep asimilasi (assimilation) lebih akrab di kalangan para ahli sosiologi. Mereka sudah
menggunakannya sejak lama dalam berbagai perbincangan dan karya tulis. Tampaknya,
istilah asimilasi ini kurang mendapat perhatian dari ahli antropologi. Sebab, dari beberapa
buku teks antropologi atau buku pengantar, seperti Cultural Anthropology A
Contemporary Perspective, oleh Roger M. Keesing (1981), Anthropology The
Exploration of Human Diversity, oleh Conrad Philip Kottak (1974), istilah tersebut tidak
muncul. Para ahli antropologi lebih sering menggunakan konsep akulturasi
(acculturation) dalam membahas masalah-masalah yang dianggap serupa dengan objek
asimilasi dalam sosiologi. Konsep ini sudah digunakan dalam berbagai karya ilmiah sejak
abad ke-19. ketika itu, akulturasi digunakan untuk menggambarkan proses-proses
akomodasi (accommodation) dan perubahan (change) dalm kontak-kontak kebudayaan.
Pada 1930-an, ahli-ahli antropologi Amerika memperluas penggunaanya dalam studi-
studi mereka tentang perubahan sosial dan budaya serta masalah-masalah disorientasi
sosial dan keruntuhan kebudayaan. Konsep akulturasi memang lebih akrab di kalangan
para ahli antropologi. Dan bagi mereka, istilah asimilasi hanyalah satu tahapan dari
proses akulturasi. "Asimilation (is) one of the outcomes of the acculturation process.."
demikian tulis Charlotte Seymour-Smith dalam kamusnya (1987).
Sebaiknya, konsep akulturasi sendiri tampaknya juga kurang memperoleh perhatian oleh
sebagian ahli sosiologi. Para ahli sosiologi lebih cenderung dengan konsep asimilasinya
dalam menggambarkan fenomena yang identik dengan akulturasi dalam studi-studi para
ahli antropologi. Dalam buku-buku William F. Ogburn dan Meyer F. Nimkoff, Handbook
of Sociology (1948) dan Sosiology (1940-1964), sama sekali tidak ditemukan istilah kata
acculturation. Kedua istilah asimilasi dan akulturasi digunakan dalam pengertian yang
relatif sama oleh ahli-ahli sosiologi yang lebih muda. Milton M. Gordon, dalam bukunya,
Human Nature, Class, and Ethnicity (1978), menyatakan sebagai berikut.
"Sociologist and cultural anthropologist have described the process and results of ethnic
'meeting' under such terms as 'assimilation' and 'accculturation'. Sometimes these terms
have been used to mean the samething; in order usages their meanings, rather than
being identical, have overlapped. Sociologist are more likely to use 'assimilation';
anthropologist have pavored 'acculturation'....."(Gordon, 1978:166).
Milton Gordon sendiri ketika mebicarakan persoalan asimilasi meletakkan akulturasi itu
sebagai salah satu tipe atau tahapan dari asimilasi. Baginya, akulturasi adalah bagian dari
proses asimilasi yang berkaitan dengan langkah perubahan pola-pola kebudayaan suatu
kelompok untuk menyesuaikan diri dengan kebudayaan masyarakat tuan rumah (change
of cultural patterns to those of host society). Memang, berbagai objek kajian bisa
dijelaskan dengan dua konsep asimilasi dan akulturai sekaligus. Menurut Tan Chee Beng
(1988), Baba (keturunan Cina) di Malaysia, dilihat dari segi kebahasaan sudah
terasimilasi oleh Malayu, tetapi secara etnis masih berakulturasi, masih biasa
"meminjam" unsur-unsur budaya dari kelompok etnis lainnya. Dalam pengertian secara
etnis mereka masih tetap Cina.
Kerumitan dalam konsep asimilasi dan akulturasi tidak hanya terletak pada bidang-
bidang ilmu pengetahuan yang memanfaatkannya (antropologi dan sosiologi), tetapi juga
pada pengertiannya. Sekurang-kurangnya dua hal yang patut diperhatikan ketika
mengamati definisi-definisi asimilasi dan akulturasi , yaitu (1) apakah kedua istilah
tersebut mengacu kepada 'proses' atau (2) apakah keduanya merupakan hasil dari proses-
proses yang sudah berlangsung, sehingga menjadi sesuatu. Untuk jelasnya, diberikan
contoh-contoh berikut:
Definisi Asimilasi:
Definisi Akulturasi:
(1). "Acculturation (is) the process of culture change as a result of long term, face to face
contact between two societies" (Garbarino, 1983).
(2). "Acculturation is the kind of cultural change of one ethnic group or a certain
population of ethnic group (A) in relation to another ethnic group (B) such that certain
cultural features of A become similar or bear some resemblance to those of B" (Ta Chee
Beng, 1988).
Definisi-definisi asimilasi dan akulturasi yang dicontohkan dengan jelas mengacu kepada
proses (a process of ....atau the process of...) dan lainnya mengacu kepada suatu keadaan
penggabungan (absoption of...) dan juga jenis (the kind of...). Sebagai konsep, baik
asimilasi maupun akulturasi bias mengacu kepada proses dan prodek dari suatu proses.
Di Indonesia, sejak dulu sampai sekarang, konsep asimilasi masih jarang digunakan
sebagai konsep yang utama dalam upaya menjelaskan perubahan serta interaksi antar
kelompok-kelompok dalam masyarakat dan kebudayaan. Beberapa penelitian yang
pernah menggunakannya (Burhanuddin, 1979, Patji, 1982, Hariyono, 1993) menjelaskan
hubungan-hubungan antar-kelompok Cina, keturunan Arab, dengan masyarakat
penduduk pribumi. Dalam rangka mengkaji interaksi kelompok-kelompok di Indonesia,
para ahli dan sarjana menggunakan konsep-konsep adaptasi (Tan Giok Lar, atau Mely H.
Tan, 1963), akulturasi (oleh beberapa sarjana Belanda di masa kolonial
(Koentjaraningrat, 1958), amalgamasi (Goni, 1985), integrasi (Shahabm, 1975, Warnaen,
1982), interaksi (Musianto, 1997), identitas (Suryadinata, 1990; Cushman dkk., 1991),
keserasian sosial (Wignjosoebroto, dkk., 1986) minoritas (Willmott, 1970, Suryadinata,
1984, 1988), pembauran (Moetojib, 1995, persepsi (Musianto, 1995), perubahan dan
persistensi (Skinner, 1960) dan lain sebagainya.
Mengenai konsep akulturasi, seperti dapat dilihat dalam konsepsi Milton Gordon, adalah
salah satu kategori dari asimilasi yang bertalian dengan similasi kebudayaan. Asimilasi
dan akulturasi sebagai konsep untuk menjelaskan perubahan serta pola-pola interaksi
antar kelompok-kelompok dalam masyarakat dan kebudayaan, tiada lain adalah hasil dari
suatu proses hubungan antar-warga kelompok-kelompok yang terlibat di dalamnya.
Masyarakat Indonesia sangat majemuk dan heterogen. Bagaimana konsep itu dapat
menerangkan perubahan, pola hubungan antar-kelompok masyarakat Indonesia yang
demikian, mungkin akan menjadi jelas ketika konsep asimilasi dan akulturasi diletakkan
dalam kaitannya dengan keadaan masyarakat Indonesia dan perubahannya.
Pertama-tama yang ingin disampaikan untuk mengawali bagian ini ialah bahwa
pengertian masyarakat Indonesia di sini mengacu kepada dua maksud. Pertama,
masyarakat Indonesia yang majemuk dan beragam, yang menurut para ahli ilmu sosial,
terdiri atas kurang lebih 500 suku bangsa (selanjutnya disebut 'suku') dan latarbelakang
kebudayaannya yang beragam. Kedua, masyarakat Indonesia yang mengacu kepada
pengertian bangsa Indonesia yang satu. Jadi, masyarakat Indonesia itu terdiri atas banyak
suku, tetapi hanya satu bangsa. Kebangsaan Indonesia mulai dikonstruksi bentuk dan
wujudnya ketika organisasi Budi Utomo dibentuk pada 1908. secara sosiopolitis, Budi
Utomo adalah sebuah organisasi yang tujuannya membangkitkan nasionalisme Indonesia.
Proses-proses asimilasi dan akulturasi dalam masyarakat Indonesia juga baru mulai
dicermati pada dasawarsa kedua abad ke-20. kegiatan itu dimulai oleh para peneliti dan
sarjana Belanda antara lain N. Adrianni (1915) di kalangan suku-suku di Sulawesi
Tengah yang memperhatikan pengaruh agama Nasrani terhadap beberapa kebiasaan
masyaraat di sana. Dari beberapa penyelidikan yang dilakukan oleh peneliti dan sarja
Belanda, hasil studi J.P. Duyvendak (1935), misalnya, menjelaskan bahwa di dalam
perpaduan, kebudayaan Indonesia asli merupakan pihak yang pasif sedangkan,
kebudayaan Eropa adalah pihak yang aktif dan merupakan pemimpin di dalam proses
perpaduan itu. Menyangkut perubahan dan/atau perkembangan masyarakat, dikatakan
antara lain bahwa proses perkembangan dari masyarakat dan kebudayaan asli di
Indonesia kearah masyarakat dan kebudayaan modern adalah suatu perkembangan dari
Gemeinschaft kearah Gesellschaft, dari masyarakat bersifat persekutuan ke masyarakat
yang bersifat perserikatan, dari masyarakat yang lambat berubah ke masyarakat yang
cepatberubah, dari masyarakat yang berdasarkan usaha gotong-royong kearah masyarakat
yang berdasarkan usaha perorangan, dari masyarakat yang bersandar akan dasar-dasar
sacral kearah masyarakat yang bersandar akan dasar-dasar profane (Koentjaraningrat,
1958).
Dari studi peneliti dan sarjana Belanda, dapat diketahui bahwa di Indonesia konsep
asimilasi dan akulturasi tampaknya digunakan antara lain untuk melihat perpaduan antara
kebudayaan masyarakat Indonesia asli (penduduk pribumi) dengan kebudayaan bangsa
asing (Eropa). Pola yang sama ternyata berkembang sampai masa Indonesia merdeka
bahkan hingga sekarang. Dalam pengertian sasaran dan objek perhatian studi-studi
asimilasi dan akulturasi ialah mencermati penyatuan atau perpaduan antara masyarakat
dan kebudayaan kelompok-kelompok penduduk asli (suku-suku pribumi) dengan
masyarakat dan kebudayaan kelompok-kelompok yang dianggap latar belakng sosial
budayanya asing. Sebagian besar menyangkut Cina (Tionghoa) dan sebagian kecil
keturunan Arab.
Proses-proses asimilasi dan akulturasi meraka menunjukan terjadi di semua aspek, seperti
kebudayaan, ekonomi, politik, agama, keluarga, dan lain-lain. Dan tampaknya kondisi
yang dihasilkan sangat bervariasi, tergantung dengan kelompok masyarakat mana (suku,
daerah, agama) mereka terlibat dalam interaksi. Studi Musianto (1997) di Surabaya,
misalnya dalam bidang kebudayaan, memperlihatkan bahwa ada pengaruh karakter dan
watak 'arek-arek Suroboyo' melekat pada penampilan warga masyarakat Cina yang
dibesarkan di Surabaya.
"Dari situasi ini muncul karakter dan watak asli Surabaya. Orang-orang Surabaya sering
dianggap kasar, tegas, terbuka, kurang sabar, straight to the point tanpa basa basi, mudah
memaki pada teman, kesetiakawanan tinggi diantara teman. Secara singkat, suatu sikap
terkombinasi antara sidat-sifat pemberani, terbuka dan setia kawan, sikap yang seperti
demikian ini sering disebut sebagai bagian dari 'Arek Surabaya'. Di dalam hubungan
antar-etnik juga terjadi interaksi dengan sifat-sifat yang demikian pada kedua insannya
baik orang Surabaya kelompok Pribumi atau orang Surabaya kelompok Cina" (Musianto,
1997: 208).
Dari kasus Surabaya ini, tampak bahwa kelompok pribumi mempengaruhi kelompok
Cina dalam pembentukan karakter dan watak. Masalah pengaruh dan memengaruhi, juga
mengambil dan memberi (take and give) dan sejenisnya memang tidak bisa terhindarkan
dalam pergaulan masyarakat. Itulah sbeabnya, dalam konsep asimilasi dan akulturasi juga
disebut adanya dimensi 'two-way-process' yang apabila dilihat dari pihak yang menerima
pengaruh adalah penetrasi, sedangkan dari pihak yang memberi merupakan suatu bentuk
pengakuan.
Di bidang ekonomi, peranan dan pengaruh kelompok masyarakat Cina sangat kuat di
Indonesia. Di bidang ekonomi ini, sesuatu yang kiranya dapat dianggap dominan
utamanya ialah fungsinya sebagai 'perantara'. Jika dahulu mereka dikenal sebagai
pedagang perantara antara masyarakat kota dan desa, maka pada saat ini bertambah lagi
sebagai pengusaha, konglomerat, pedang besar perantara antara masyarakat mancanegara
dan masyarakat Indonesia. Dilihat dari segi orientasi nilai, usaha ekonomi masyarakat
Cina di Indoensia tidak bersifat tunggal.
Dalam pengertian di dalamnya, terdapat unsur perbedaan antara pengusaha ekonomi Cina
Totok dan Cina Peranakan. Selanjutnya dijelaskan sebagai berikut.
Dalam bidang sosial politik diketahui bahwa kelompok masyarakat Cina juga cukup
terlibat.
Melalui organisasi dan partai yang mereka bentuk, dari masa menjelang dan sesudah
kemerdekaan, mereka berjuang untuk kemerdekaan RI, sebagai utusan Indonesia ke
pertemuan Internasional, menjadi pejabat (menteri) kabinet pemerintahan, dan lain-lain.
Sebagian dari mereka yang tidak membentuk partai sendiri hanya ikut serta dalam
organisasi/partai yang dibentuk oleh kelompok-kelompok lain. Sebagian dari organisasi
dan partai yang mereka bentuk bersifat inklusif dalam arti anggotanya tidak hanya
meliputi warga masyarakat Cina, tetapi juga dari warga masyarakat kelompok lainnya.
Seperti halnya bidang ekonomi, pada asimilasi politik juga terdapat perbedaan dikalangan
orang-orang Cina atau Tionghoa WNI. Terdapat dua kelompok yang berpengaruh: (1)
pihak yang menentang asimilasi yang dilakukan dengan kecepatan yang dipaksakan dan
keikutsertaan mereka dalam masyarakat dan kehidupan politik Indonesia sebagai
kelompok yang terpisah; dan (2) pihak yang berpendirian bahwa asimilasi sukarela
adalah satu-satunya jalan untuk menghindari deskriminasi atau bahkan penindasan
(Skinner, 1979).
Warga masyarakat di mana pun tidak pernah hidup dalam kevakuman, berarti mereka
selalu berubah serta senantiasa berada pada proses perubahan lingkungan sekitarnya.
Perubahan sosial adalah proses dengan fenomena yang rumpil (menembus ke berbagai
tingkat kehidupan sosial).
Oleh karena perubahan sosial itu mencakup seluruh aspek kehidupan sosial, maka dapat
dimengerti apabila perubahan itu dikatakan sebagai sesuati yang normal, berkelanjutan,
atau terjadi secara terus-menerus. Selama manusia masih bergaul, berinteraksi, maka
perubahan social pun akan selalu mengemuka sebagai suatu realitas kehidupan. Dengan
berpedoman kepada substansi perubahan yang demikian itu, maka sebenarnya konflik
dan penyesuaian (perdamaian) merupakan pula bagian dari proses asimilasi dan
akulturasi (penyatuan serta pengambilan dan penerimaan), suatu fenomena yang selalu
terjadi dalam kehidupan masyarakat majemuk.
Penutup
Asimilasi dan akulturasi adalah proses sekaligus produk interaksi antar-manusia dengan
manusia serta dengan lingkungan sekitarnya. Dari interaksi, manusi berupaya untuk
menginternalisasikan bermacam-macam makna yang ditangkapnya. Interaksi juga
menghasilkan perubahan yang bisa berdampak negatif dan positif. Untuk itu, perubahan
pun perlu pengelolaan. Interaksi antar-kelompok-kelompok dalam masyarakat dan
kebudayaan tak terelakan. Oleh karena itu, masalah asimilasi dan akulturasi pun akan
hadir setiap waktu. Masalah asimilasi dan akulturasi di Indonesia pada masa depan selain
masih bertahan di sekitar hubungan-hubungan antara pribumidan warga keturunan, juga
akan berkembang menjadi masalah yang lebih serius di antara kelompok-kelompok etnis
pribumi. Reformasi telah membukanya, kebebasan menyuburkannya, dan otonomi daerah
memberikan wadahnya.
Perubahan masyarakat dan kebudayaan Indonesia di masa depan sangat dipengaruhi oleh
sekurang-kurangnya tiga faktor. Pertama, otonomi daerah. Kecenderungan kuat dalam
beberapa tahun ke depan ialah beranda terdepan masyarakat dan kebudayaan Indonesia
berlokasi di daerah-daerah, tidak lagi Jakarta. Hal ini berarti sangat dekat dengan masalah
etnisitas, sehingga membutuhkan ilmu kearifan sosial budaya lokal untuk mengelolanya,
agar kearifan itu sendiri tetap lestari dan bisa membuahkan solidaritas sosial yang
bermakna. Kedua, globalisasi. Globalisasi menjadikan semua Negara, termasuk
Indonesia, sebagai penerima dampaknya, kalau tidak mampu menjadi pemberi
dampaknya. Sasaran dampak globalisasi tidak lagi hanya di kota besar, tetapi juga kota-
kota sedang dan kecil, bahkan desa dan kampong sekalipun. Dengan demikian, sumber
masalah sosial budaya yang bergema nasional pun bisa muncul dari sana. Ketiga,
kemajuan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi). Iptek berkembang terus bersenyawa
dengan kebudayaan Barat yang menjadi sumbernya. Melalui rekayasa ia didominankan,
seperti uang terjadi di semua jenjang pendidikan yang berorientasi kepada keberhasilan
dan kemajuan peradaban Barat. Berkat iptek, proses asimilasi dan akulturasi antar-
kebudayaan karenanya tidak lagi ditentukan oleh hanya pertemuan langsung antar-
individu dengan individu dan antar kelompok-kelompok masyarakat, tetapi juga melalui
sarana dan prasarana iptek.