You are on page 1of 9

Asimilasi, Akulturasi, Dan Perubahan Masyarakat Indonesia

Abdul Rachman Patji


Peneliti LIPI

Pendahuluan

Asimilasi dan akulturasi adalah istilah-istilah yang bersangkut paut dengan pola interaksi
sosial dan perubahan dalam kehidupan dan kebudayaan masyarakat plural dan heterogen.
Interaksi sosial terjadi karena kondisi masyarakat yang bersifat plural (jamak), tidak
hanya terdiri atas satu kelompok, tetapi ada beberapa kelompok, mungkin jumlahnya
puluhan bahkan ratusan, namun kehidupannya saling tergantung antara satu kelompok
dengan lainnya. Kelompok disini dimaksudkan bisa berupa suku bangsa, perkumpulan
agama, organisasi kerja, klub olahraga, paguyuban, kesenian, arisan, dan lain-lain. Pola
interaksi sosial yang dikembangkan bersifat heterogen (beragam) karena masing-masing
kelompok tampil dengan keanekaragaman latar belakang masyarakat dan kebudayaannya
dan tidak serta merta melebur sebagai suatu tindakan kolektivitas yang baru.

Dengan demikian, asimilasi dan akulturasi adalah konsekuensi dari interaksi antara
individu dengan individu, baik mewakili diri sendiri maupun kelompok-
kelompokmasyarakat yang berbeda-beda (bhineka). Pentingnya berinteraksi bagi setiap
individu karena didorong oleh naluri kemanusiaan dan harkatnya sebagai makhluk sosial.
Oleh karena itu, interaksi sosial dapat dilihat sebagai mekanisme yang menggerakkan
perubahan, terutama menggerakkan konflik.

Sedangkan konflik sebagai bagian dari perubahan berpengaruh efektif terhadap seluruh
tingkat realitas sosial. Dahrendorf (dalam: lauer, 1989) melukiskan hubungan erat antar
konflik dan perubahan.

"Seluruh kreativitas, inovasi, dan perkembangan dalam kehidupan individu, kelompok


dan masyarakatnya, disebabkan terjadi konflik antara kelompok dan kelompok, individu
dan individu, serta antara emosi dan emosi di dalam diri individu."

Namun perubahan dapat pula terjadi tanpa disertai atau membuahkan konflik. R.T.
Anderson dan B.C. Anderson yang melakukan studi di sebuah desa di Denmark,
menunjukkan beberapa factor yang menyebabkan perubahan tanpa konflik (lihat, Lauer,
ibid). Pertama, sifat perubahan, tidak merusak atau membuang pola-pola kebudayaan
baru diciptakan dan/atau digabungkan dengan pola yang lama. Kedua, tidak adanay
kesenjangan kebudayaan (cultural lag). Krisis ekonomi yang ditimbulkan oleh keuangan
industri kerajinan rakyat di desa segera diselesaikan dengan adanya peluang kerja di Kota
Kopenhagen. Ketiga, tak adanya keterikatan kelompok terhadap penerimaan secara
terpisah baik pola kebudayaan lama maupun kebudayaan baru sebagai simbol penilaian
superior atas pola kebudayaan yang dipilih. Keempat, perubahan yang terjadi mencakup
suatu peningkatan gengsi. Secara ekonomi dan sosial, gengsi desa itu menjadi sangat
meningkat melalui penyatuannya dengan Kota Kopenhagen.
Proses interaksi sosial hanya dapat berlangsung karena adanya perubahan masyarakat
(sosial) adalah "variasi atau modifikasi dalam setiap aspek proses sosial, pola sosial dan
bentuk-bentuk sosial, serta setiap modifikasi pola antar hubungan yang mapan dan
standar prilaku" (Fairchild, 1955). Modifikasi aspek-aspek sosial tidak terlepas dari
perkembangan kebutuhan dan kepentingan manusia dalam mengelola hidup dan
kehidupannya.

Selain membahas konsep-konsep akulturasi dan asimilasi untuk memperoleh kejelasan


pengertian, tulisan ini juga mencoba mengedepankan bagaimana perubahan, serta pola-
pola interaksi masyarakat, dan kebudayaan dalam wujud asimilasi dan akulturasi bisa
bermakna dalam perubahan kehidupan masyarakat Indonesia.

Konsep Asimilasi dan Akulturasi

Konsep asimilasi (assimilation) lebih akrab di kalangan para ahli sosiologi. Mereka sudah
menggunakannya sejak lama dalam berbagai perbincangan dan karya tulis. Tampaknya,
istilah asimilasi ini kurang mendapat perhatian dari ahli antropologi. Sebab, dari beberapa
buku teks antropologi atau buku pengantar, seperti Cultural Anthropology A
Contemporary Perspective, oleh Roger M. Keesing (1981), Anthropology The
Exploration of Human Diversity, oleh Conrad Philip Kottak (1974), istilah tersebut tidak
muncul. Para ahli antropologi lebih sering menggunakan konsep akulturasi
(acculturation) dalam membahas masalah-masalah yang dianggap serupa dengan objek
asimilasi dalam sosiologi. Konsep ini sudah digunakan dalam berbagai karya ilmiah sejak
abad ke-19. ketika itu, akulturasi digunakan untuk menggambarkan proses-proses
akomodasi (accommodation) dan perubahan (change) dalm kontak-kontak kebudayaan.
Pada 1930-an, ahli-ahli antropologi Amerika memperluas penggunaanya dalam studi-
studi mereka tentang perubahan sosial dan budaya serta masalah-masalah disorientasi
sosial dan keruntuhan kebudayaan. Konsep akulturasi memang lebih akrab di kalangan
para ahli antropologi. Dan bagi mereka, istilah asimilasi hanyalah satu tahapan dari
proses akulturasi. "Asimilation (is) one of the outcomes of the acculturation process.."
demikian tulis Charlotte Seymour-Smith dalam kamusnya (1987).

Sebaiknya, konsep akulturasi sendiri tampaknya juga kurang memperoleh perhatian oleh
sebagian ahli sosiologi. Para ahli sosiologi lebih cenderung dengan konsep asimilasinya
dalam menggambarkan fenomena yang identik dengan akulturasi dalam studi-studi para
ahli antropologi. Dalam buku-buku William F. Ogburn dan Meyer F. Nimkoff, Handbook
of Sociology (1948) dan Sosiology (1940-1964), sama sekali tidak ditemukan istilah kata
acculturation. Kedua istilah asimilasi dan akulturasi digunakan dalam pengertian yang
relatif sama oleh ahli-ahli sosiologi yang lebih muda. Milton M. Gordon, dalam bukunya,
Human Nature, Class, and Ethnicity (1978), menyatakan sebagai berikut.
"Sociologist and cultural anthropologist have described the process and results of ethnic
'meeting' under such terms as 'assimilation' and 'accculturation'. Sometimes these terms
have been used to mean the samething; in order usages their meanings, rather than
being identical, have overlapped. Sociologist are more likely to use 'assimilation';
anthropologist have pavored 'acculturation'....."(Gordon, 1978:166).

Milton Gordon sendiri ketika mebicarakan persoalan asimilasi meletakkan akulturasi itu
sebagai salah satu tipe atau tahapan dari asimilasi. Baginya, akulturasi adalah bagian dari
proses asimilasi yang berkaitan dengan langkah perubahan pola-pola kebudayaan suatu
kelompok untuk menyesuaikan diri dengan kebudayaan masyarakat tuan rumah (change
of cultural patterns to those of host society). Memang, berbagai objek kajian bisa
dijelaskan dengan dua konsep asimilasi dan akulturai sekaligus. Menurut Tan Chee Beng
(1988), Baba (keturunan Cina) di Malaysia, dilihat dari segi kebahasaan sudah
terasimilasi oleh Malayu, tetapi secara etnis masih berakulturasi, masih biasa
"meminjam" unsur-unsur budaya dari kelompok etnis lainnya. Dalam pengertian secara
etnis mereka masih tetap Cina.

Kerumitan dalam konsep asimilasi dan akulturasi tidak hanya terletak pada bidang-
bidang ilmu pengetahuan yang memanfaatkannya (antropologi dan sosiologi), tetapi juga
pada pengertiannya. Sekurang-kurangnya dua hal yang patut diperhatikan ketika
mengamati definisi-definisi asimilasi dan akulturasi , yaitu (1) apakah kedua istilah
tersebut mengacu kepada 'proses' atau (2) apakah keduanya merupakan hasil dari proses-
proses yang sudah berlangsung, sehingga menjadi sesuatu. Untuk jelasnya, diberikan
contoh-contoh berikut:

Definisi Asimilasi:

(1). "(Asimilation) is aprocess of interpenetration and fusion in which persons and


groups anquires the memories, sentiment, and attitudes of other persons or groups, and
by sharing their experience and history, are incorporated with them in a cultural life"
(Ogburn and Nimkoff, 1964).
(2). "Assimilation (is) absorption of a group into the ways of the dominant society and
the group general loss of cultural distinctiveness as a result" (Garbarino, 1983).

Definisi Akulturasi:

(1). "Acculturation (is) the process of culture change as a result of long term, face to face
contact between two societies" (Garbarino, 1983).
(2). "Acculturation is the kind of cultural change of one ethnic group or a certain
population of ethnic group (A) in relation to another ethnic group (B) such that certain
cultural features of A become similar or bear some resemblance to those of B" (Ta Chee
Beng, 1988).

Definisi-definisi asimilasi dan akulturasi yang dicontohkan dengan jelas mengacu kepada
proses (a process of ....atau the process of...) dan lainnya mengacu kepada suatu keadaan
penggabungan (absoption of...) dan juga jenis (the kind of...). Sebagai konsep, baik
asimilasi maupun akulturasi bias mengacu kepada proses dan prodek dari suatu proses.

Penggunaan suatu konsep tergantung kepada keadaan yang bagaimana akan


digambarkan, dibahas, dan dijelaskan. Dengan kata lain, kondisi yang ingin dibicarakan
seperti apa. Suatu konsep sebenarnya adalah penjelasan secara singkat dari sekelompok
fakta atau gejala. Pemilihan konsep-konsep yang tepat, relevan adalah sangat penting,
tetapi rumit, karena adanya sekian banyak konsep yang dapat dipilih. Untuk itu, perlu
ditentukan ruang lingkup dan batas persoalan yang akan dijangkau.

Terlepas dari kesimpangsiuran penggunaan konsep asimilasi dan akulturasi yang


dijelaskan di atas, dalam menerangkan perubahan masyarakat (sosial) di Indonesia
keduanya bias saja dimanfaatkan. Hanya saja pengertian konsep-konsep tersebut sangat
bervariasi di kalangan para ahli. Pada hemat kami, konsep asimilasi yang diajukan dalam
proposal secara dialog ini masih relevan untuk digunakan. Asimilasi diartikan proses
penyatuan golongan-golongan yang mempunyai sikap mental, adat kebiasaan dan
pernyataan-pernyataan kebudayaan yang berbeda-beda menjadi suatu makna, yaitu yang
dalam hal ini dinamakan bangsa (nation) Indonesia (dari Piagam Asimilasi, Bandungan
Ambarawa), 15 Januari 1961 (Yayasan Tunas Bangsa, 1977:143). Sedangkan, akulturasi
adalah penyesuaian atau interaksi yang harmonis antara dua kebudayaan atau lebih
menjadi pola atau bentuk kebudayaan yang kombinatif (Musianto, 1977).

Dalam rangka menjelaskan perubahan dan interaksi antar-kelompok, konsep asimilasi


dibagi ke dalam beberapa kategori. Milton Gordon (1978) membaginya ke dalam tujuh
kategori: (1) asimilasi kebudayaan (akulturasi) yang bertalian dengan perubahan dalam
pola-pola kebudayaan guna penyesuaian diri dengan kelompok mayoritas, (2) asimilasi
struktural yang berkaitan dengan masuknya golongan-golongan minoritas acara besar-
besaran ke dalam klik-klik, perkumpulan dan pranata pada tingkat kelompok primer dari
golongan mayoritas, (3) asimilasi perkawinan (amal-gamasi) yang berkaitan dengan
perkawinan antar-golongan etnis secara besar-besaran), (4) asimilasi identifikasi yang
bertalian dengan tidak adanya prasangka, (6) asimilasi perilaku yang bertalian dengan
tidak adanya diskriminasi dan (7) asimilasi 'civic' yang bertalian dengan tidak adanya
bentrokan mengenai sistem nilai dan pengertian kekuasaan. Di Amerika, konsep asimilasi
ini digunakan oleh Milton Gordon untuk menjelaskan hubungan-hubungan antar
kelompok-kelompok yang latar belakang etnisitas dan /atau agamanya berlainan, yakni
Negro, Yahudi, Katolik di luar Negro dan Katolik berbahasa Spanyol dan Puerto Rico.

Di Indonesia, sejak dulu sampai sekarang, konsep asimilasi masih jarang digunakan
sebagai konsep yang utama dalam upaya menjelaskan perubahan serta interaksi antar
kelompok-kelompok dalam masyarakat dan kebudayaan. Beberapa penelitian yang
pernah menggunakannya (Burhanuddin, 1979, Patji, 1982, Hariyono, 1993) menjelaskan
hubungan-hubungan antar-kelompok Cina, keturunan Arab, dengan masyarakat
penduduk pribumi. Dalam rangka mengkaji interaksi kelompok-kelompok di Indonesia,
para ahli dan sarjana menggunakan konsep-konsep adaptasi (Tan Giok Lar, atau Mely H.
Tan, 1963), akulturasi (oleh beberapa sarjana Belanda di masa kolonial
(Koentjaraningrat, 1958), amalgamasi (Goni, 1985), integrasi (Shahabm, 1975, Warnaen,
1982), interaksi (Musianto, 1997), identitas (Suryadinata, 1990; Cushman dkk., 1991),
keserasian sosial (Wignjosoebroto, dkk., 1986) minoritas (Willmott, 1970, Suryadinata,
1984, 1988), pembauran (Moetojib, 1995, persepsi (Musianto, 1995), perubahan dan
persistensi (Skinner, 1960) dan lain sebagainya.
Mengenai konsep akulturasi, seperti dapat dilihat dalam konsepsi Milton Gordon, adalah
salah satu kategori dari asimilasi yang bertalian dengan similasi kebudayaan. Asimilasi
dan akulturasi sebagai konsep untuk menjelaskan perubahan serta pola-pola interaksi
antar kelompok-kelompok dalam masyarakat dan kebudayaan, tiada lain adalah hasil dari
suatu proses hubungan antar-warga kelompok-kelompok yang terlibat di dalamnya.
Masyarakat Indonesia sangat majemuk dan heterogen. Bagaimana konsep itu dapat
menerangkan perubahan, pola hubungan antar-kelompok masyarakat Indonesia yang
demikian, mungkin akan menjadi jelas ketika konsep asimilasi dan akulturasi diletakkan
dalam kaitannya dengan keadaan masyarakat Indonesia dan perubahannya.

Perubahan Masyarakat Indonesia

Pertama-tama yang ingin disampaikan untuk mengawali bagian ini ialah bahwa
pengertian masyarakat Indonesia di sini mengacu kepada dua maksud. Pertama,
masyarakat Indonesia yang majemuk dan beragam, yang menurut para ahli ilmu sosial,
terdiri atas kurang lebih 500 suku bangsa (selanjutnya disebut 'suku') dan latarbelakang
kebudayaannya yang beragam. Kedua, masyarakat Indonesia yang mengacu kepada
pengertian bangsa Indonesia yang satu. Jadi, masyarakat Indonesia itu terdiri atas banyak
suku, tetapi hanya satu bangsa. Kebangsaan Indonesia mulai dikonstruksi bentuk dan
wujudnya ketika organisasi Budi Utomo dibentuk pada 1908. secara sosiopolitis, Budi
Utomo adalah sebuah organisasi yang tujuannya membangkitkan nasionalisme Indonesia.

Proses-proses asimilasi dan akulturasi dalam masyarakat Indonesia juga baru mulai
dicermati pada dasawarsa kedua abad ke-20. kegiatan itu dimulai oleh para peneliti dan
sarjana Belanda antara lain N. Adrianni (1915) di kalangan suku-suku di Sulawesi
Tengah yang memperhatikan pengaruh agama Nasrani terhadap beberapa kebiasaan
masyaraat di sana. Dari beberapa penyelidikan yang dilakukan oleh peneliti dan sarja
Belanda, hasil studi J.P. Duyvendak (1935), misalnya, menjelaskan bahwa di dalam
perpaduan, kebudayaan Indonesia asli merupakan pihak yang pasif sedangkan,
kebudayaan Eropa adalah pihak yang aktif dan merupakan pemimpin di dalam proses
perpaduan itu. Menyangkut perubahan dan/atau perkembangan masyarakat, dikatakan
antara lain bahwa proses perkembangan dari masyarakat dan kebudayaan asli di
Indonesia kearah masyarakat dan kebudayaan modern adalah suatu perkembangan dari
Gemeinschaft kearah Gesellschaft, dari masyarakat bersifat persekutuan ke masyarakat
yang bersifat perserikatan, dari masyarakat yang lambat berubah ke masyarakat yang
cepatberubah, dari masyarakat yang berdasarkan usaha gotong-royong kearah masyarakat
yang berdasarkan usaha perorangan, dari masyarakat yang bersandar akan dasar-dasar
sacral kearah masyarakat yang bersandar akan dasar-dasar profane (Koentjaraningrat,
1958).

Dari studi peneliti dan sarjana Belanda, dapat diketahui bahwa di Indonesia konsep
asimilasi dan akulturasi tampaknya digunakan antara lain untuk melihat perpaduan antara
kebudayaan masyarakat Indonesia asli (penduduk pribumi) dengan kebudayaan bangsa
asing (Eropa). Pola yang sama ternyata berkembang sampai masa Indonesia merdeka
bahkan hingga sekarang. Dalam pengertian sasaran dan objek perhatian studi-studi
asimilasi dan akulturasi ialah mencermati penyatuan atau perpaduan antara masyarakat
dan kebudayaan kelompok-kelompok penduduk asli (suku-suku pribumi) dengan
masyarakat dan kebudayaan kelompok-kelompok yang dianggap latar belakng sosial
budayanya asing. Sebagian besar menyangkut Cina (Tionghoa) dan sebagian kecil
keturunan Arab.

Proses-proses asimilasi dan akulturasi meraka menunjukan terjadi di semua aspek, seperti
kebudayaan, ekonomi, politik, agama, keluarga, dan lain-lain. Dan tampaknya kondisi
yang dihasilkan sangat bervariasi, tergantung dengan kelompok masyarakat mana (suku,
daerah, agama) mereka terlibat dalam interaksi. Studi Musianto (1997) di Surabaya,
misalnya dalam bidang kebudayaan, memperlihatkan bahwa ada pengaruh karakter dan
watak 'arek-arek Suroboyo' melekat pada penampilan warga masyarakat Cina yang
dibesarkan di Surabaya.

"Dari situasi ini muncul karakter dan watak asli Surabaya. Orang-orang Surabaya sering
dianggap kasar, tegas, terbuka, kurang sabar, straight to the point tanpa basa basi, mudah
memaki pada teman, kesetiakawanan tinggi diantara teman. Secara singkat, suatu sikap
terkombinasi antara sidat-sifat pemberani, terbuka dan setia kawan, sikap yang seperti
demikian ini sering disebut sebagai bagian dari 'Arek Surabaya'. Di dalam hubungan
antar-etnik juga terjadi interaksi dengan sifat-sifat yang demikian pada kedua insannya
baik orang Surabaya kelompok Pribumi atau orang Surabaya kelompok Cina" (Musianto,
1997: 208).

Dari kasus Surabaya ini, tampak bahwa kelompok pribumi mempengaruhi kelompok
Cina dalam pembentukan karakter dan watak. Masalah pengaruh dan memengaruhi, juga
mengambil dan memberi (take and give) dan sejenisnya memang tidak bisa terhindarkan
dalam pergaulan masyarakat. Itulah sbeabnya, dalam konsep asimilasi dan akulturasi juga
disebut adanya dimensi 'two-way-process' yang apabila dilihat dari pihak yang menerima
pengaruh adalah penetrasi, sedangkan dari pihak yang memberi merupakan suatu bentuk
pengakuan.

Di bidang ekonomi, peranan dan pengaruh kelompok masyarakat Cina sangat kuat di
Indonesia. Di bidang ekonomi ini, sesuatu yang kiranya dapat dianggap dominan
utamanya ialah fungsinya sebagai 'perantara'. Jika dahulu mereka dikenal sebagai
pedagang perantara antara masyarakat kota dan desa, maka pada saat ini bertambah lagi
sebagai pengusaha, konglomerat, pedang besar perantara antara masyarakat mancanegara
dan masyarakat Indonesia. Dilihat dari segi orientasi nilai, usaha ekonomi masyarakat
Cina di Indoensia tidak bersifat tunggal.

Dalam pengertian di dalamnya, terdapat unsur perbedaan antara pengusaha ekonomi Cina
Totok dan Cina Peranakan. Selanjutnya dijelaskan sebagai berikut.

"Pemilihan bidang pekerjaan ini mencerminkan perbedaan yang mencolok. Totok


(...lebih suka bekerja untuk dirinya sendiri dan sebagian besar berkecimpung dalam
bidang usaha) lebih menghargai kekayaan, kehematan, kerja, kepercayaan pada diri
sendiri dan 'keberanian' daripada kaum peranakan. Sedangkan, kaum peranakan (yang
lebih beraneka ragam bidang pekerjaannya... suka pekerjaan administrasi atau staf di
perusahaan-perusahaan besar) lebih menghargai penikmatan hidup, waktu senggang,
kedudukan sosial dan perasaan terjamin..." (Skinner, dalam Mely G. Tan, 1970).

Sehubungan dengan orientasi pada karier dan keberhasilan, Skinner selanjutnya


menyatakan bahwa kaum Totok jauh lebih maju daripada orang Indonesia pribumi, dan
dalam hal ini kaum Peranakan sangat lebih mendekati orientasi orang Indonesia daripada
orang Tionghoa Totok. Apakah hal itu dapat pula mencerminkan kondisi asimilasi dan
akulturasi ekonomi orang Cina dengan masyarakat Pribumi, tampaknya masih perlu
penelitian yang lebih mendalam.

Dalam bidang sosial politik diketahui bahwa kelompok masyarakat Cina juga cukup
terlibat.

Melalui organisasi dan partai yang mereka bentuk, dari masa menjelang dan sesudah
kemerdekaan, mereka berjuang untuk kemerdekaan RI, sebagai utusan Indonesia ke
pertemuan Internasional, menjadi pejabat (menteri) kabinet pemerintahan, dan lain-lain.
Sebagian dari mereka yang tidak membentuk partai sendiri hanya ikut serta dalam
organisasi/partai yang dibentuk oleh kelompok-kelompok lain. Sebagian dari organisasi
dan partai yang mereka bentuk bersifat inklusif dalam arti anggotanya tidak hanya
meliputi warga masyarakat Cina, tetapi juga dari warga masyarakat kelompok lainnya.
Seperti halnya bidang ekonomi, pada asimilasi politik juga terdapat perbedaan dikalangan
orang-orang Cina atau Tionghoa WNI. Terdapat dua kelompok yang berpengaruh: (1)
pihak yang menentang asimilasi yang dilakukan dengan kecepatan yang dipaksakan dan
keikutsertaan mereka dalam masyarakat dan kehidupan politik Indonesia sebagai
kelompok yang terpisah; dan (2) pihak yang berpendirian bahwa asimilasi sukarela
adalah satu-satunya jalan untuk menghindari deskriminasi atau bahkan penindasan
(Skinner, 1979).

Sebenarnya, Indonesia dibentuk dari akumulasi bermacam-macam kegiatan warga


kelompok-kelompok masyarakatnya, baik mereka yang dikenal sebagai suku-suku
'pribumi' maupun keturunan asing. Keadaan seperti itu adalah sesuatu yang berwujud
sebagai hasil dari proses sejarah interaksi suku-sukunya yang banyak dan beragam.
Dalam proses interaksi itu, setelah melalui berbagai macam konflik politik, dan lain
sebagainya) dan sesudah dilakukan penyesuaian-medianya antara lain rapat, musyawarah,
pertemuan, kongres, konferensi, diskusi, di mana terjadi 'sharing' (pengambilan dan
penerimaan serta proses penyatuan) pemikiran, pendapat prinsip, bahkan nilai-nilai dan
norma-norma) kemudian pada akhirnya sampai kepada wujudnya sebagai satu bangsa
Indonesia. Kalau dicermati, langkah-langkah tersebut adalah juga proses-proses asimilasi
dan akulturasi.

Warga masyarakat di mana pun tidak pernah hidup dalam kevakuman, berarti mereka
selalu berubah serta senantiasa berada pada proses perubahan lingkungan sekitarnya.
Perubahan sosial adalah proses dengan fenomena yang rumpil (menembus ke berbagai
tingkat kehidupan sosial).
Oleh karena perubahan sosial itu mencakup seluruh aspek kehidupan sosial, maka dapat
dimengerti apabila perubahan itu dikatakan sebagai sesuati yang normal, berkelanjutan,
atau terjadi secara terus-menerus. Selama manusia masih bergaul, berinteraksi, maka
perubahan social pun akan selalu mengemuka sebagai suatu realitas kehidupan. Dengan
berpedoman kepada substansi perubahan yang demikian itu, maka sebenarnya konflik
dan penyesuaian (perdamaian) merupakan pula bagian dari proses asimilasi dan
akulturasi (penyatuan serta pengambilan dan penerimaan), suatu fenomena yang selalu
terjadi dalam kehidupan masyarakat majemuk.

Dalam beberapa tahun terakhir, di beberapa daerah Indonesia-Aceh, Kalimantan Barat


dan Tengah, Poso (Sulawesi Tengah), Maluku, Irian Jaya, dan lainnya, terjadi konflik-
konflik sosial terbuka dengan bermacam-macam latar belakang. Dapat dikatakan bahwa
timbulnya konflik sosial secara serentak, di beberapa daerah berlangsung berlarut-larut,
adalah karena proses asimilasi dan akulturasi golongan-golongan dalam masyarakat dan
kebudayaan yang beragam tidak terealisasi sebagaimana mestinya. Pembangunan yang
semestinya mempunyai kekuatan sakti untuk menyejahterakan rakyat, memperkuat
solidaritas sosial, malah berubah menjadi sumber kecurigaan, kecemburuan sosial dan
juga kerusakan lingkungan. Masalahnya, seting sosial pembangunan sejak dari
perencanaan, pelaksanaan, sampai peresmian sudah salah kaprah. Perubahan (melalui
pembangunan) terasa sangat dipaksakan karena bukan berdasarkan kebutuhan
masyarakat, tetapi untuk kontinuitas program pembangunan itu sendiri.

Upaya-upaya untuk menyelesaikan konflik tersumbat oleh bermacam-macam faktor


internal dan eksternal. Politisasi masalah konflik merupakan hambatan utama. Politisasi
telah menenggelamkan keampuhan belom bahadat (tatakrama kesopanan) dan hapakat
(integrasi/mufakat) di Kalimantan Tengah, sintuwo maroso (kebersamaan) di Poso, dan
pela gandong (bersatu dalam aman) di Maluku untuk memelihara dan meningkatkan
solidaritas masyarakatnya. Masyarakat menginginkan penyelesaian yang menghargai
harkat dan martabat kemanusiaan, menjunjung tinggi budaya dan adat istiadat, serta
melestarikan lingkungan alam kehidupan mereka.

Penutup

Asimilasi dan akulturasi adalah proses sekaligus produk interaksi antar-manusia dengan
manusia serta dengan lingkungan sekitarnya. Dari interaksi, manusi berupaya untuk
menginternalisasikan bermacam-macam makna yang ditangkapnya. Interaksi juga
menghasilkan perubahan yang bisa berdampak negatif dan positif. Untuk itu, perubahan
pun perlu pengelolaan. Interaksi antar-kelompok-kelompok dalam masyarakat dan
kebudayaan tak terelakan. Oleh karena itu, masalah asimilasi dan akulturasi pun akan
hadir setiap waktu. Masalah asimilasi dan akulturasi di Indonesia pada masa depan selain
masih bertahan di sekitar hubungan-hubungan antara pribumidan warga keturunan, juga
akan berkembang menjadi masalah yang lebih serius di antara kelompok-kelompok etnis
pribumi. Reformasi telah membukanya, kebebasan menyuburkannya, dan otonomi daerah
memberikan wadahnya.

Perubahan masyarakat dan kebudayaan Indonesia di masa depan sangat dipengaruhi oleh
sekurang-kurangnya tiga faktor. Pertama, otonomi daerah. Kecenderungan kuat dalam
beberapa tahun ke depan ialah beranda terdepan masyarakat dan kebudayaan Indonesia
berlokasi di daerah-daerah, tidak lagi Jakarta. Hal ini berarti sangat dekat dengan masalah
etnisitas, sehingga membutuhkan ilmu kearifan sosial budaya lokal untuk mengelolanya,
agar kearifan itu sendiri tetap lestari dan bisa membuahkan solidaritas sosial yang
bermakna. Kedua, globalisasi. Globalisasi menjadikan semua Negara, termasuk
Indonesia, sebagai penerima dampaknya, kalau tidak mampu menjadi pemberi
dampaknya. Sasaran dampak globalisasi tidak lagi hanya di kota besar, tetapi juga kota-
kota sedang dan kecil, bahkan desa dan kampong sekalipun. Dengan demikian, sumber
masalah sosial budaya yang bergema nasional pun bisa muncul dari sana. Ketiga,
kemajuan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi). Iptek berkembang terus bersenyawa
dengan kebudayaan Barat yang menjadi sumbernya. Melalui rekayasa ia didominankan,
seperti uang terjadi di semua jenjang pendidikan yang berorientasi kepada keberhasilan
dan kemajuan peradaban Barat. Berkat iptek, proses asimilasi dan akulturasi antar-
kebudayaan karenanya tidak lagi ditentukan oleh hanya pertemuan langsung antar-
individu dengan individu dan antar kelompok-kelompok masyarakat, tetapi juga melalui
sarana dan prasarana iptek.

You might also like