You are on page 1of 3

Ringkasan Novel: AZAB DAN 

SENGSARA

Nama : Satrio Wicaksono


Kelas : 11 IPA 9
No absen : 28

AZAB DAN SENGSARA


(KISAH KEHIDUPAN SEORANG GADIS)

Pengarang : Merari Siregar

Penerbit : Balai Pustaka

Umumnya, para pengamat sastra Indonesia menempatkan novel Azab dan sengsara ini


sebagai novel pertama di Indonesia dalam khazanah kesusastraan Indonesia modern.
Penempatan novel ini sebagai novel pertama lebih banyak didasarkan pada anggapan
bahwa kesusastraan Indonesia modern lahir tidak dari peran berdirinya Balai Pustaka.
1917, yang cikal bakalnya berdiri tahun 1908. Sungguhpun sebenarnya tidak sedikit
novel yang terbit sebelum Balai Pustaka berdiri, dalam hal pemakaian bahasa Melayu
sekolahan, Azab dan Sengsara yang mengawalinya. Dalam konteks itulah novel ini
menempati kedudukan penting.

Tema Azab dan Sengsara sendiri yang mempermasalahkan perkawinan dalam hubungan


nya dengan harkat dan martabat keluarga, bukanlah hal yang baru. Novel-novel yang
terbit di luar Balai Pustaka-yang umumnya menggunakan bahasa Melayu rendah atau
bahasa Melayu pasar-juga banyak yang bertema demikian. Novel bahasa
Sunda, Baruang ka Nu Ngora (Racun Bagi Kaum Muda; 1914) karya D.K. Ardiwinata
(1866-1947) yang diterbitkan Balai Pustaka, juga bertema perkawinan dalam
hubungannya dengan harkat dan martabat keluarga. Jadi, secara tematik, novel Azab
dan Sengsara,belumlah secara tajam mempermasalahkan perkawinan dalam
hubungannya dengan adat.

Ini ringkasannya

Aminuddin adalah anak Baginda Diatas, seorang kepala kampong yang terkenal
kedermawanan dan kekayaannya. Masyarakat disekitar Sipirok amat segan dan hormat
kepada keluarga itu. Adapun Mariamin, yang masih punya ikatan dengan keluarga itu,
kini tergolong anak miskin. Ayah Mariamin, Sutan Baringin almarhum, sebenarnya
termasuk keluarga bangsawan kaya. Namun, karena semasa hidupnya terlalu boros dan
serakah, ia akhirnya jatuh miskin dan meninggal dalam keadaan demikian.

Bagi Aminuddin, kemiskinan keluarga itu tidaklah menghalanginya unuk tetap


bersahabat dengan Mariamin. Keduanya memang sudah berteman akrab sejak kecil dan
terus meningkat hingga dewasa. Tanpa terasa benih cinta kedua remaja itu pun tumbuh
subur. Belakangan, mereka sepakat untuk hidup bersama, membina rumah tangga.
Aminuddin pun berjanji hendak mempersunting gadis itu jika kelak ia sudah bekerja.
Janji pemuda itu akan segera dilaksanakan jika ia sudah mendapat pekerjaan di Medan.
Aminuddin segera mengirim surat kepada kekasihnya bahwa ia akan segera membawa
Mariamin ke Medan.

Berita itu tentu saja amat menggermbirakan hati Mariamin dan ibunya yang memang
selalu berharap agar kehidupannya segera berubah. Setidak-tidaknya, ia dapat melihat
putrinya hidup bahagia.

Niat Aminuddin itu disampaikan pula kepada kedua orang tuanya. Ibunya sama sekali
tidak berkeberatan. Bagaimanapun, almarhum ayah Mariamin masih kakak kandungnya
sendiri. Maka, jika putranya kelak jadi kawin dengan Mariamin, perkawinan itu dapatlah
dianggap sebagai salah satu usaha menolong keluarga miskin itu.

Namun, lain halnya pertimbangan Baginda Diatas, Ayah Aminuddin. Sebagai kepala
kampung yang kaya dan disegani, ia ingin agar anaknya beristrikan orang yang
sederajat. Menurutnya, putranya lebih pantas kawin dengan wanita dari keluarga kaya
dan terhormat. Oleh karena itu, jika Aminuddin kawin dengan Mariamin, perkawinan itu
sama halnya dengan merendahkan derajat dan martabat dirinya. Itulah sebabbya,
Baginda Diatas bermaksud menggagalkan niat putranya.

Untuk tidak menyakiti hati istrinya, Baginda Diatas mengajaknya pergi ke seorang dukun
untuk melihat bagaimana nasib anaknya jika kawin dengan Mariamin. Sebenarnya, itu
hanya tipu daya Baginda Diatas. Oleh karena sebelumnya, dukun itu sudah mendapat
pesan tertentu, yaitu memberi ramalan yang tidak menguntungkan rencana dan harapan
Aminuddin. Mendengar perkataan si dukun bahwa Aminuddin akan mengalami nasib
buruk jika kawin dengan Mariamin, ibu Aminuddin tidak dapatberbuat apa-apa selain
menerima apa yang menurut suaminya baik bagi kehidupan anaknya.

Kedua orang tua Aminuddin akhirnya meminang seorang gadis keluarga kaya yang
menurut Baginda Diatas sederajat dengan kebangsawanan dan kekayaannya. Aminuddin
yang berada di Medan, sama sekali tidak mengetahui apa yang telah dilakukan orang
tuanya. Dengan penuh harapan, ia tetap menanti kedatangan ayahnya yang akan
membawa Mariamin.

Selepas peminangan itu, ayah Aminuddin mengirim telegram kepada anaknya bahwa
calon istrinya akan segera dibawa ke Medan. Ia juga meminta agar Aminuddin
menjemputnya di stasiun.

Betapa sukacita Aminuddin setelah membaca telegram ayahnya. Ia pun segera


mempersiapkan segala sesuatunya. Ia membayangkan pula kerinduannya pada
Mariamin akan segera terobati.
Namun, apa yang terjadi kemudian hanyalah kekecewaan. Ternyata, ayahnya bukan
membawa pujaan hatinya, melainkan seorang gadis yang bernama Siregar. Sungguhpun
begitu, sebagai seorang anak, ia harus patuh pada orang tua dan adapt negerinya.
Aminuddin tidak dapat berbuat apa-apa selain menerima gadis yang dibawa ayahnya.
Perkawinan pun berlangsung dengan keterpaksaan yang mendalam pada diri Aminuddin.
Berat hati pula ia mengabarkannya pada Mariamin.

Bagi Mariamin, berita itu tentu saja sangat memukul jiwanya. Harapannya musnah
sudah. Ia pingsan dan jatuh sakit sampai beberapa lama. Tak terlukiskan kekecewaan
hati gadis itu.

Setahun setelah peristiwa itu, atas kehendak ibunya, Mariamin terpaksa menerima
lamaran Kasibun, seorang lelaki yang sebenarnya tidak diketahui asal-usulnya. Ibunya
hanya tahu, bahwa Kasibun seorang kerani yang bekerja di Medan. Menurut pengakuan
lelaki itu, ia belum beristri. Dengan harapan dapat mengurangi penderitaan ibu-anak itu,
ibu Mariamin terpaksa menjodohkan anaknya dengan Kasibun. Belakangan diketahui
bahwa lelaki itu baru saja menceraikan istrinya hanya karena akan mengawini Mariamin.

Kasibun kemudian membawa Mariamin ke Medan. Namun rupanya, penderitaan wanita


itu belum juga berakhir. Suaminya ternyata mengidap penyakit berbahaya yang dapat
menular bila keduanya melakukan hubungan suami-istri. Inilah sebabnya, Mariamin
selalu menghindar jika suaminya ingin berhubungan intim dengannya. Akibatnya,
pertengkaran demi pertengkaran dalam kehidupan rumah tangga itu tak dapat
dihindarkan. Hal yang dirasakan Mariamin bukan kebahagiaan, melainkan penderitaan
berkepanjangan. Tak segan-segan Kasibun menyiksanya dengan kejam.

Dalam suasana kehidupan rumah tangga yang demikian itu, secara kebetulan,
Aminuddin dating bertandang. Sebagaimana lazimnya kedatangan tamu, Mariamin
menerimanya dengan senang hati, tanpa prasangka apa pun. Namun, bagi Kasibun,
kedatangan Aminuddin itu makin mengobarkan rasa cemburu dan amarahnya. Tanpa
belas kasihan, ia menyiksa istrinya sejadi-jadinya.

Tak kuasa menerima perlakuan kejam Kasibun, Mariamin akhirnya mengadu dan
melaporkan tindakan suaminya kepada polisi. Polisi kemudian memutuskan bahwa
Kasibun harus membayar denda dan sekaligus memutuskan hubungan tali perkawinan
dengan Mariamin.

Janda Mariamin akhirnya terpaksa kembali ke Sipirok, kampong halamannya. Tidak lama
kemudian, penderitaay yang silih berganti menimpa wanita itu, sempurna sudah dengan
kematiannya. “Azab dan sengsara dunia ini telah tinggal di atas bumi, berkubur dengan
jasad yang kasar itu.” (hlm. 163).

You might also like