You are on page 1of 47

Proposal Skripsi

HUBUNGAN ANTARA KEPUASAN KERJA GURU DENGAN


KOMPETENSI PEDAGOGIS GURU MIS BURUJUL LIMUSGEDE
CIMERAK

Nama :A T I H
NPM: 05.03.1739

A. Latar Belakang Masalah

Suatu organisasi, termasuk organisasi persekolahan, amat ditentukan oleh

sikap dan perilaku manusia-manusia di dalamnya. Apabila sumber daya manusia

suatu organisasi memiliki kompetensi yang handal, maka ia merupakan unsur

penting bagi kesuksesan organisasi dalam mencapai tujuannya. Sebaliknya,

apabila sumber daya manusia di dalamnya tidak memiliki kompetensi, maka suatu

organisasi pendidikan akan sulit mencapai tujuannya dengan maksimal.

Salah satu faktor yang diyakini memberikan sumbangan besar terhadap

peningkatan kompetensi sumber daya manusia suatu organisasi pendidikan adalah

faktor kepuasan mereka dalam bekerja atau yang disebut dengan kepuasan kerja.

Kepuasan kerja dalam suatu organisasi pendidikan inilah yang akan mendorong

seseorang untuk semakin meningkatkan kompetensinya dalam bidang pendidikan.

Seseorang dengan kepuasan kerja yang rendah akan sulit untuk

mengoptimalkan segala potensinya dalam meningkatkan kompetensinya. Ia akan

mudah terjerumus pada rutinitas kerja yang kurang bermakna. Dalam bekerja ia

tak lebih dari benda mati yang berkerja tanpa himmah dan motivasi. Ia bekerja

hanya sebatas melaksanakan tugas dan kewajiban semata. Ia akan sulit melakukan
inovasi. Ia tidak akan memiliki kreativitas. Ia terbelenggu oleh pekerjaan rutin

tanpa disertai oleh semangat untuk berprestasi dan berkompetisi.

Sebaliknya, seseorang yang memiliki kepuasan kerja yang tinggi, maka

amat dimungkinkan untuk mengoptimalkan segala kemampuannya untuk

memiliki kompetensi yang maksimal. Sebab, ia memiliki motivasi untuk

berprestasi dan mengejar tujuan organisasi pendidikannya. Ia memiliki semangat

untuk berkreasi, berinovasi, dan berinisiatif untuk memajukan organisasi

pendidikannya.

Oleh karena itu, pengembangan budaya organisasi pendidikan yang

memungkinkan terwujudnya kepuasan semua warga belajar menjadi sesuatu yang

dipandang strategis untuk meningkatkan kompetensi guru dalam pelaksanaan

pendidikan dan pembelajaran.

Kondisi serupa juga terjadi pada lembaga-lembaga pendidikan Islam,

khususnya pada lembaga pendidikan Madrasah. Apabila Madrasah hendak

mengoptimalkan sumber daya yang ada di dalamnya, maka mau tidak mau

Madrasah dituntut untuk dapat mewujudkan kepuasan kerja guru melalui berbagai

kebijakan yang memungkinkan guru merasa puas terhadap pekerjaan dan

lingkungannya.

Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa kepuasan kerja guru dapat

diwujudkan tidak hanya semata-mata pada besarnya gaji atau honorarium yang

mereka terima. Mereka dapat merasakan kepuasan kerja dengan kebijakan

pimpinan yang mengayomi, melindungi, bersedia mendengar segala permasaahan


guru, serta dengan meningkatkan keterlibatan para guru dalam perumusan

kebijakan lembaga pendidikannya.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti

hubungan antara kepuasan kerja dengan kompetensi pedagogis guru. Ketertarikan

peneliti tersebut kemudian dituangkan dalam suatu judul penelitian:

HUBUNGAN ANTARA KEPUASAN KERJA GURU DENGAN

KOMPETENSI PEDAGOGIS GURU MIS BURUJUL LIMUSGEDE

CIMERAK.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, maka masalah dalam

penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana kepuasan guru Madrasah Ibidaiyah Swasta (MIS) Burujul

Limusgede Cimerak?

2. Bagaimana kompetensi pedagogis guru Madrasah Ibidaiyah Swasta (MIS)

Burujul Limusgede Cimerak?

3. Apakah kepuasan guru berhubungan dengan kompetensi pedagogis guru

Madrasah Ibidaiyah Swasta (MIS) Burujul Limusgede Cimerak?

C. Tujuan Penelitian

Dari perumusan masalah tersebut, maka tujuan yang ingin dicapai

penelitian ini adalah:


1. Untuk mengetahui kepuasan guru Madrasah Ibidaiyah Swasta (MIS) Burujul

Limusgede Cimerak

2. Untuk mengetahui kompetensi pedagogis guru Madrasah Ibidaiyah Swasta

(MIS) Burujul Limusgede Cimerak

3. Untuk mengetahui hubungan antara kepuasan guru dengan kompetensi

pedagogis guru Madrasah Ibidaiyah Swasta (MIS) Burujul Limusgede

Cimerak.

D. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Secara Ilmiah

Secara ilmiah, penelitian diharapkan dapat berguna untuk memperkaya

konsep manajemen pendidikan Islam, yang merupakan salah satu disiplin ilmu

penting dalam pendidikan Islam.

2. Kegunaan Secara Praktis

Adapun secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangsih bagi peningkatan kompetensi guru Madrasah Ibidaiyah Swasta

(MIS) Burujul Limusgede Cimerak.

E. Tinjauan Pustaka

1. Kepuasan Kerja

Setiap orang dalam melakukan pekerjaan selalu melibatkan aspek fisik

dan aspek psikis yang ada dalam dirinya. Begitu juga halnya dengan cara

menanggapi hasil dari pekerjaan yang dilakukannya yang merupakan salah


satu bentuk tanggapan terhadap hal yang berkaitan dengan pekerjaan ditinjau

dari aspek psikis adalah perasaan puas atau tidak puas. Perasaan puas akan

menimbulkan dorongan untuk melakukan lagi pekerjaan yang sama,

sedangkan yang menimbulkan ketidakpuasan cenderung dihindari.

Secara psikologis, manusia mempunyai kecenderungan untuk hidup

berinteraksi dengan lingkungan, yang seringkali menimbulkan kesepakatan

kerja, misalnya kontrak kerja dalam dunia usaha atau di perkantoran.

Di samping itu, manusia adalah ciptaan Allah yang mempunyai

berbagai kebutuhan hidup, mulai dari yang primer, sekunder sampai

kebutuhan tersier. Karena itu, manusia termotivasi untuk bekerja.

Pekerjaan yang dilakukan seseorang ada yang menyenangkan dirinya,

namun ada pula yang membelenggu atau menjadi beban psikologis. Hal

tersebut sangat berkaitan dengan suasana kerja dimana seseorang melakukan

pekerjaan, di samping dorongan yang timbul dari dirinnya.

Kepuasan kerja menurut Fred Luthans(1995:126) adalah sesuatu yang

menyenangkan atau situasi emosional positif akibat perkiraan daripada suatu

pekerjaan atau pengalaman kerja. Selanjutnya Luthan mengemukakan bahwa

kepuasan kerja yaitu : (1) Respons emosional pada suatu situasi kerja, (2)

Sering ditentukan dengan bagaimana baiknya outcomes ketemu atau exceed

harapan-harapan, (3) Mewakili beberapa sikap yang saling berhubungan.

Kepuasan kerja juga dapat diartikan sebagai sikap positif tenaga kerja

terhadap pekerjaannya, yang timbul berdasarkan penilaian terhadap situasi

kerja. Penilaian tersebut dapat dilakukan terhadap salah satu pekerjaannya,


penilaian dilakukan sebagai rasa menghargai dalam mencapai salah satu nilai-

nilai penting dalam pekerjaan. Karyawan yang puas lebih menyukai situasi

kerjanya daripada tidak menyukainya. (Handoko, 1996:23)

Handoko (1996:24) mencatat bahwa perasaan-perasaan yang

berhubungan dengan kepuasan dan ketidakpuasan kerja cenderung

mencerminkan penaksiran dari tenaga kerja tentang pengalaman-pengalaman

kerja pada waktu sekarang dan lampau daripada harapan-harapan untuk masa

depan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat dua unsur penting dalam

kepuasan kerja, yaitu nilai-nilai pekerjaan dan kebutuhan-kebutuhan dasar.

Nilai-nilai pekerjaan merupakan tujuan-tujuan yang ingin dicapai

dalam melakukan tugas pekerjaan. Yang ingin dicapai ialah nilai-nilai

pekerjaan yang dianggap penting oleh individu. Dikatakan selanjutnya bahwa

nilai-nilai pekerjaan harus sesuai atau membantu pemenuhan kebutuhan-

kebutuhan dasar. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja

merupakan hasil dari tenaga kerja yang berkaitan dengan motivasi kerja.

Kepuasan kerja secara keseluruhan bagi seorang individu adalah

jumlah dari kepuasan kerja (dari setiap aspek pekerjaan) dikalikan dengan

derajat pentingnya aspek pekerjaan bagi individu. Menurut Handoko

(1996:25) seorang individu akan merasa puas atau tidak puas terhadap

pekerjaannya merupakan sesuatu yang bersifat pribadi, yaitu tergantung

bagaimana ia mempersepsikan adanya kesesuaian atau pertentangan antara

keinginan-keinginannya dengan hasil keluarannya (yang didapatnya).


Menurut Handoko (1996:34) terdapat banyak faktor yang telah diteliti

sebagai faktor-faktor yang mungkin menentukan kepuasan kerja. Di antaranya

adalah gaji, kondisi kerja dan hubungan kerja (rekan dan atasan). Handoko

mengemukakan adanya ciri-ciri intrinsik dari suatu pekerjaan yang kemudian

menentukan kepuasan kerja, antara lain adalah keragaman, kesulitan, jumlah

pekerjaan, tanggung jawab, otonomi, kendali terhadap metode kerja,

kemajemukan, dan kreativitas.

Ada satu unsur yang dapat dijumpai pada ciri-ciri intrinsik dari

pekerjaan di atas, yaitu tantangan mental. Pekerjaan yang menuntut kecakapan

yang tinggi daripada yang dimiliki tenaga kerja, atau tuntutan pribadi yang

tidak dapat terpenuhi tenaga kerja akan menimbulkan frustasi dan akhirnya

ketidakpuasan kerja. Berdasarkan survey diagnostik pekerjaan diperoleh hasil

tentang lima ciri yang memperlihatkan kaitannya dengan kepuasan kerja untuk

berbagai macam pekerjaan. Menurut Handoko, ciri-ciri tersebut ialah:

Pertama, Keragaman keterampilan, banyak ragam keterampilan yang

diperlukan untuk melakukan pekerjaan. Makin banyak ragam keterampilan

yang digunakan, makin kurang membosankan pekerjaan.

Kedua, Jati diri tugas (task identity), sejauh mana tugas merupakan

suatu kegiatan keseluruhan yang berarti. Tugas yang dirasakan sebagai bagian

dari pekerjaan yang lebih besar dan yang dirasakan tidak merupakan satu

kelengkapan tersendiri akan menimbulkan rasa tidak puas.


Ketiga, Tugas yang penting (task significance), rasa pentingnya tugas

bagi seseorang. Jika tugas dirasakan penting dan berarti oleh tenaga kerja,

maka ia cenderung mempunyai kepuasan kerja.

Keempat, Otonomi, pekerjaan yang menimbulkan kebebasan,

ketidatergantungan dan memberikan peluang mengambil keputusan akan lebih

cepat menimbulkan kepuasan kerja.

Kelima, Pemberian balikan pada pekerjaan membantu meningkatkan

tingkat kepuasan kerja. (Handoko, 1996:57)

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja

Menurut Handoko (1996:67), terdapat beberapa faktor yang

mempengaruhi kepuasan kerja di antaranya adalah:

Pertama, Gaji /imbalan yang dirasakan adil. Menurut penelitian

Theriault, kepuasan kerja merupakan fungsi dari jumlah absolute dari gaji

yang diterima, derajat sejauh mana gaji memenuhi harapan-harapan tenaga

kerja, dan bagaimana gaji diberikan. Uang memang mempunyai arti yang

berbeda-beda bagi orang yang berbeda-beda. Di samping memenuhi

kebutuhan tingkat rendah (makanan, perumahan), uang dapat merupakan

symbol dari pencapaian (achievement), keberhasilan, dan pengakuan/

penghargaan. Lagipula uang mempunyai kegunaan sekunder. Jumlah gaji

yang diperoleh dapat secara nyata mewakili kebebasana untuk melakukan apa

yang ingin dilakukan. (Handoko, 1996:71)

Dengan menggunakan teori keadilan Adams, orang menerima gaji

yang dipersepsikan sebagai terlalu kecil atau terlalu besar akan mengalami
distress (ketidakpuasan). Yang penting ialah sejauh mana gaji yang diterima

dirasakan adil. Jika gaji dipersepsikan sebagai adil didasarkan tuntutan-

tuntutan pekerjaan, tingkat keterampilan individu, dan standar gaji yang

berlaku untuk kelompok pekerjaan tertentu, maka akan ada kepuasaan kerja.

Herzberg memasukkan faktor gaji/imbalan ke dalam faktor kelompok

Hygiene. Jika dianggap gajinya terlalu rendah, tenaga kerja akan merasa tidak

puas. Namun jika dirasakan terlalu tinggi atau dirasakan sesuai dengan

harapan, maka istilah Herzberg adalah tenaga kerja tidak lagi tidak puas.

Artinya tidak ada dampak pada motivasi kerjanya. (Handoko, 1996:72)

Uang atau Imbalan akan memiliki dampak terhadap motivasi kerjanya

jika besarnya imbalah disesuaikan dengan tinggi prestasi kerjanya. Untuk

mendapatkan penghasilan yang tinggi, tenaga kerja akan memberikan effort,

meningkatkan motivasi kerjanya agar berhasil memperoleh penghasilan sesuai

dengan apa yang diperlukannya.

Kedua, kondisi kerja yang menunjang. Bekerja dalam ruangan kerja

yang sempit, panas, yang cahaya lampunya menyilaukan mata, kondisi kerja

yang tidak mengenakkan akan menimbulkan keengganan untuk bekerja.

Orang akan mencari alasan untuk sering-sering keluar ruangan kerjanya.

Dalam hal ini perusahaan perlu menyediakan ruang kerja yang terang, sejuk,

dengan peralatan kerja yang nyaman untuk digunakan, seperti meja, kursi

yang dapat diatur tinggi-randah, miring-tegaknya posisi duduk. Dalam kondisi

seperti ini, kebutuhan-kebutuhan fisik yang terpenuhi akan memuaskan tenaga

kerja. (Handoko, 1996:73)


Ketiga, hubungan kerja (rekan kerja dan atasan). Setiap pekerjaan

dalam organisasi memiliki kaitannya dengan perkerjaan lain. Terjadi

diferensiasi pekerjaan mendatar dan tegak. Dalam perkembangannya, corak

interaksi antarpekerjaan tumbuh berbeda-beda.

Hubungan kerja ini ada tiga macam, yaitu:

a) Hubungan kerja dengan rekan kerja

Hubungan yang terjadi antarpekerja adalah hubungan

ketergantungan sepihak, yang bercorak fungsional. Kepuasan kerja yang

ada pada para pekerja timbul karena mereka dalam jumlah tertentu, berada

dalam satu ruangan kerja, sehingga mereka dapat saling berbicara

(kebutuhan sosial terpenuhi). Corak kepuasan kerja di sini bersifat

kepuasan kerja yang tidak disebabkan peningkatan dari motivasi kerja.

Dalam kelompok kerja dimana para pekerjanya harus bekerja sbagai satu

tim, kepuasan kerja mereka dapat timbul karena kebutuhan-kebutuhan

tingkat tinggi mereka (kebutuhan harga diri, kebutuhan aktualisasi diri)

dapat dipenuhi, dan memiliki dampak pada motivasi kerja mereka.

(Handoko, 1996:79)

b) Hubungan kerja dengan atasan

Kepemimpinan yang konsisten berkaitan dengan kepuasan kerja

adalah tenggang rasa. Hubungan fungsional mencerminkan sejauh mana

atasan membantu tenaga kerja untuk memuaskan nilai-nilai pekerjaan


yang penting bagi tenaga kerja. Hubungan keseluruhan didasarkan pada

ketertarikan antar pribadi yang mencerminkan sikap dasar dan nilai-nilai

yang serupa. Tingkat kepuasan kerja yang paling besar dengan atasan

adalah jika kedua hubungan adalah positif. (Handoko, 1996:87)

c) Hubungan dengan bawahan

Atasan yang memiliki ciri memimpin yang transformasional, maka

tenaga kerja akan meningkatkan motivasinya dan sekaligus dapat merasa

puas dengan pekerjaannya. (Handoko, 1996:89)

Sementara itu, menurut Baron & Byrne (1994:32) ada dua kelompok

faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja. Faktor pertama yaitu faktor

organisasi yang berisi kebijaksanaan perusahaan dan iklim kerja. Faktor kedua

yaitu faktor individual atau karakteristik karyawan. Pada faktor individual ada

dua predictor penting terhadap kepuasan kerja yaitu status dan senioritas.

Status kerja yang rendah dan pekerjaan yang rutin akan banyak kemungkinan

mendorong karyawan untuk mencari pekerjaan lain, hal itu berarti dua faktor

tersebut dapat menyebabkan ketidakpuasan kerja dan karyawan yang memiliki

ketertarikan dan tantangan kerja akan lebih merasa puas dengan hasil kerjanya

apabila mereka dapat menyelesaikan dengan maksimal. Pendekatan Wexley

dan Yukl (1977) berpendapat bahwa pekerjaan yang terbaik bagi penelitian-

penelitian tentang kepuasan kerja adalah dengan memperhatikan baik faktor

pekerjaan maupun faktor individunya. Faktor-faktor yang mempengaruhi

kepuasan kerja yaitu gaji, kondisi kerja, mutu pengawasan, teman sekerja,
jenis pekerjaan, keamanan kerja dan kesempatan untuk maju serta faktor

individu yang berpengaruh adalah kebutuhan-kebutuhan yang dimilikinya,

nilai-nilai yang dianut dan sifat-sifat kepribadian.

Pendapat yang lain dikemukan oleh Ghiselli dan Brown, mengemukakan

adanya lima faktor yang menimbulkan kepuasan kerja, yaitu:

a. Kedudukan (posisi)

Umumnya manusia beranggapan bahwa seseorang yang bekerja pada

pekerjaan yang lebih tinggi akan merasa lebih puas daripada karyawan

yang bekerja pada pekerjaan yang lebih rendah. Pada beberapa penelitian

menunjukkan bahwa hal tersebut tidak selalu benar, tetapi justru

perubahan dalam tingkat pekerjaanlah yang mempengaruhi kepuasan

kerja.

b. Pangkat (golongan)

Pada pekerjaan yang mendasarkan perbedaan tingkat (golongan),

sehingga pekerjaan tersebut memberikan kedudukan tertentu pada orang

yang melakukannya. Apabila ada kenaikan upah, maka sedikit banyaknya

akan dianggap sebagai kenaikan pangkat, dan kebanggaan terhadap

kedudukan yang baru itu akan merubah perilaku dan perasaannya.

c. Umur

Dinyatakan bahwa ada hubungan antara kepuasan kerja dengan umur

karyawan. Umur di antara 25 tahun sampai 34 tahun dan umur 40 sampai


45 tahun adalah merupakan umur-umur yang bisa menimbulkan perasaan

kurang puas terhadap pekerjaan.

d. Jaminan finansial dan jaminan sosial

Masalah finansial dan jaminan sosial kebanyakan berpengaruh

terhadap kepuasan kerja.

e. Mutu pengawasan

Hubungan antara karyawan dengan pihak pimpinan sangat penting

artinya dalam menaikkan produktifitas kerja. Kepuasan karyawan dapat

ditingkatkan melalui perhatian dan hubungan yang baik dari pimpinan

kepada bawahan, sehingga karyawan akan merasa bahwa dirinya

merupakan bagian yang penting dari organisasi kerja (sense of belonging).

(As’ad, 2004:112).

Sedangkan menurut Blum (As’ad, 2004:117) Faktor-faktor yang

memberikan kepuasan kerja adalah sebagai berikut :

Pertama, Faktor individual, meliputi umur, kesehatan, watak dan

harapan.

Kedua, Faktor sosial, meliputi hubungan kekeluargaan, pandangan

masyarakat, kesempatan berkreasi, kegiatan perserikatan pekerja, kebebasan

berpolitik, dan hubungan kemasyarakatan.

Ketiga, Faktor utama dalam pekerjaan, meliputi upah, pengawasan,

ketentraman kerja, kondisi kerja, dan kesempatan untuk maju. Selain itu juga

penghargaan terhadap kecakapan, hubungan sosial di dalam pekerjaan,


ketepatan dalam menyelesaikan konflik antar manusia, perasaan diperlakukan

adil baik yang menyangkut pribadi maupun tugas. (As’ad, 2004:114).

Sedangkan menurut Gilmer sebagaimana dikutip oleh Muhammad As’ad

(2004:123) menyebutkan faktor-faktor yang berbeda yang mempengaruhi

kepuasan kerja sebagai berikut:

Pertama, Kesempatan untuk maju. Dalam hal ini ada tidaknya

kesempatan untuk memperoleh pengalaman dan peningkatan kemampuan

selama kerja.

Kedua, Keamanan kerja. Faktor ini sering disebut sebagai penunjang

kepuasan kerja, baik bagi karyawan pria maupun wanita. Keadaan yang aman

sangat mempengaruhi perasaan karyawan selama kerja.

Ketiga, Gaji. Gaji lebih banyak menyebabkan ketidakpuasan, dan jarang

orang mengekspresikan kepuasan kerjanya dengan sejumlah uang yang

diperolehnya.

Keempat, Organisasi dan manajemen. Organisasi dan manajemen yang

baik adalah yang mampu memberikan situasi dan kondisi kerja yang stabil.

Faktor ini yang menentukan kepuasan kerja karyawan.

Kelima, Pengawasan (Supervise). Bagi karyawan, supervisor dianggap

sebagai figur ayah dan sekaligus atasannya. Supervisi yang buruk dapat

berakibat absensi dan turn over.


Keenam, Faktor intrinsik dari pekerjaan. Atribut yang ada pada

pekerjaan mensyaratkan ketrampilan tertentu. Sukar dan mudahnya serta

kebanggaan akan tugas akan meningkatkan atau mengurangi kepuasan.

Ketujuh, Kondisi kerja. Termasuk di sini adalah kondisi tempat,

ventilasi, penyinaran, kantin dan tempat parkir.

Kedelapan, Aspek sosial dalam pekerjaan. Merupakan salah satu sikap

yang sulit digambarkan tetapi dipandang sebagai faktor yang menunjang puas

atau tidak puas dalam kerja.

Kesembilan, Komunikasi. Komunikasi yang lancar antar karyawan

dengan pihak manajemen banyak dipakai alasan untuk menyukai jabatannya.

Dalam hal ini adanya kesediaan pihak atasan untuk mau mendengar,

memahami dan mengakui pendapat ataupun prestasi karyawannya sangat

berperan dalam menimbulkan rasa puas terhadap kerja.

Kesepuluh, Fasilitas. Fasilitas rumah sakit, cuti, dana pensiun, atau

perumahan merupakan standar suatu jabatan dan apabila dapat dipenuhi akan

menimbulkan rasa puas. (As’ad, 2004: 115)

Berdasarkan indikator yang menimbulkan kepuasan kerja tersebut di

atas akan dapat dipahami sikap individu terhadap pekerjaan yang dilakukan.

Karena setiap individu akan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda

sesuai dengan sistem nilai yang berlaku pada dirinya. Ini disebabkan adanya

perbedaan persepsi pada masing-masing individu. Semakin banyak aspek

dalam pekerjaan yang sesuai dengan keinginan individu tersebut maka


semakin tinggi tingkat kepuasan yang dirasakannya. Oleh karenanya sumber

kepuasan seorang karyawan secara subyektif menentukan bagaimana

pekerjaan yang dilakukan memuaskan. Meskipun untuk batasan kepuasan

kerja ini belum ada keseragaman tetapi yang jelas dapat dikatakan bahwa

tidak ada prinsip-prinsip ketetapan kepuasan kerja yang mengikat dari

padanya.

3. Kepuasan Kerja dan Performansi Kerja

Produktivitas dapat dinaikkan dengan menaikkan kepuasan kerja.

Kepuasan kerja mungkin merupakan akibat dari produktivitas atau sebaliknya.

Produktivitas yang tinggi menyebabkan peningkatan dari kepuasan kerja

hanya jika tenaga kerja mempersepsikan bahwa apa yang telah dicapai

perusahaan sesuai dengan apa yang diterima (gaji) yaitu adil dan wajar, serta

diasosiasikan dengan performa kerja yang unggul. Dengan kata lain bahwa

performansi kerja menunjukkan tingkat kepuasan kerja seorang pekerja,

karena perusahaan dapat mengetahui aspek-aspek pekerjaan dari tingkat

keberhasilan yang diharapkan. Sedangkan outcomes dari kepuasan kerja

adalah : (1) Kepuasan dan produktivitas, (2) Kepuasan dan usaha, (3)

Kepuasan dan absensi, (4) Efek-efek lain dari kepuasan kerja. (Handoko,

1996:94)

Kepuasan kerja rendah, akan menimbulkan efek negatif pada

organisasi yang sudah didokumentasikan. Menurut James Gibson (1992:33)

kepuasan dan semangat kerja adalah istilah yang serupa, yang menunjukkan

sampai seberapa jauh organisasi memenuhi kebutuhan pada karyawan,


penggantian karyawan (turnover), kemangkiran, keterlambatan dan keluhan.

Kepuasan kerja pada umumnya berarti pemenuhan yang diproses dari

pengalaman melakukan berbagai macam pekerjaan dan mendapatkan

ganjaran. Selanjutnya James Gibson (1992:89) mengemukakan kepuasan kerja

adalah konsekuensi dari imbalan dan hukuman (punishment and reward) yang

dihubungkan dengan prestasi kerja yang lalu. Karyawan/staf dapat merasa

puas, atau tidak puas dengan perilaku hasil karya dan hubungan imbalan yang

sekarang ada.

Seperti juga yang dikemukakan John Adair (1994:191) agar motivasi

dan kepuasan kerja itu benar-benar baik, bukanya kurang atau lemah, setiap

individu haruslah:

1) Dapat
menikmati rasa prestasi pribadi dalam pekerjaannya, bahwa dia
memberikan sumbangan yang berarti pada tujuan kelompok dan
bagiannya.
2) Merasa
bahwa pekerjaan itu bersifat menantang, menghendaki yang terbaik dari
padanya, memberikan dia tanggung jawab selaras dengan kemampuannya.
3) Menerim
a pekerjaan yang cukup atas prestasi-prestasinya.
4) Mempun
yai wewenang pengendalian atas aspek-aspek pekerjaan yang telah yang
telah didelegasikan kepadanya.
5) Merasa
bahwa sebagai individu dia berkembang, bahwa dia sedang maju dalam
pengalaman dan kemampuan.

Kepuasan kerja mengandung pengertian atau serupa artinya dengan

semangat kerja atau rela dan senang terhadap pekerjaan. Indikator kepuasan

kerja menurut James Gibson (1992:449) yaitu: (1) Data tentang sikap

karyawan, (2) Keluar masuk pergantian karyawan atau tingkat pengunduran


diri karyawan dari pekerjaan, (3) Kemangkiran karyawan, (4) Keterlambatan

masuk kerja karyawan, (5) Keluhan-keluhan karyawan.

John B. Miner dan kawan-kawan (1985:119) dalam buku mereka yang

berjudul ”The Practice of Management” yang telah diterjemahkan ke dalam

bahasa Indonesia menjadi ”Praktek Manajemen Modern” memberikan contoh

aspek-aspek yang menentukan kepuasan kerja pada US Accountants and

Engineers yaitu: (1) Pengakuan, (2) Prestasi, (3) Kemungkinan / kesempatan,

(4) Kemajuan (advencement), (5) Salary (gaji), (6) Hubungan antar personal

dengan atasan, (7) Hubungan antar personal dengan bawahan, (8) Hubungan

antar personal dengan teman sejawat, (9) Pengawasan teknis (technical

supervision), (10) Kebijakan dan adminitrasi perusahaan, (11) Kondisi kerja,

(12) Pekerjaan itu sendiri, (13) Faktor-faktor dalam kehidupan pribadi, (14)

Status, (15) Jaminan pekerjaan.

Setiap individu yang masuk kesuatu lingkungan kerja membawa

kebutuhan yang ingin dipenuhinya untuk berusaha mencapai tujuan. Apabila

kebutuhan yang diharapkan dari pekerjaan terpenuhi ia akan merasa puas, dan

jika kebutuhan itu tidak terpenuhi ia akan mengalami ketidakpuasan. Sesuai

apa yang dikatakan T. Hani Handoko(1993:196) bahwa kepuasan mempunyai

arti yang penting bagi karyawan maupun perusahaan, terutama karena

menciptakan keadaan positif di dalam lingkungan pekerjaan.

Kepuasan kerja pada prinsipnya bersifat pribadi atau individual.

Artinya setiap individu akan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda

sesuai dengan sistem nilai yang ada pada dirinya. Perbedaan itu ditentukan
oleh kebutuhan yang dirasakan dan dari nilai-nilai yang dianut individu dalam

kaitannya dengan pengalaman yang diperoleh dalam pekerjaan.

Bekerja adalah suatu jawaban atas pertanyaan tentang bagaimana cara

memenuhi kebutuhan atau kepuasan.Dalam suatu situasi bila kebutuhan sudah

terpenuhi, maka penilaian individu bergeser kearah perasaan puas. Kepuasn

kerja bersifat individu, yakni hasil pengukuran kepuasan kerja berbeda pada

setiap pekerja. Situasi ketidakpuasan dalam bekerja akan berpengaruh pada

diri pekerja baik fisik maupun psikis, sehingga dapat berdampak pada

menurunnya produktivitas kerja. Ketidakpuasan kerja dapat berakibat pada

perasaan frustrasi pekerja yang kemudian dapat memunculkan perilaku

agresif, atau sebaliknya mereka menarik diri dari interaksi dengan

lingkungannya. Bentuk penarikan diri itu misalnya : Ingin berhenti, sering

mangkir kerja, dan bentuk perilaku lain yang cenderung mangkir dari aktivitas

organisasi. Pekerja yang malas mengakibatkan tertundanya pekerjaan,

sehingga perlu diadakan lembur bagi pekerja lain. Hal tersebut berarti

perusahaan, harus membayar biaya lembur. Jika seorang pekerja berhenti,

akan membuat organisasi harus mencari orang lain untuk menggantikan posisi

yang ditinggalkan. Hal ini berarti organisasi harus mengeluarkan biaya, waktu

dan tenaga untuk melakukan proses rekruitmen, seleksi dan pelatihan yang

diperlukan agar pekerja yang baru dapat melakukan pekerjaan. Bentuk

perilaku agresif misalnya melakukan sabotase, sengaja membuat kesalahan

atau memperlambat kerja, menentang atasan sampai pada tingkat mogok

kerja. Menurut Sondang P.Siagian (1996: 295) kepuasan kerja merupakan


suatu cara pandang seseorang, baik yang bersifat positif maupun yang bersifat

negatif tentang pekerjaannya. Apabila dalam pekerjaannya seseorang

mempunyai otonomi untuk bertindak, terdapat variasi, memberikan

sumbangan penting dalam keberhasilan organisasi dan karyawan memperoleh

umpan balik tentang hasil pekerjaan yang dilakukan, yang bersangkutan akan

merasa puas. Disamping itu pula situasi lingkunganpun turut berpengaruh

pada tingkat kepuasan kerja seseorang. Pemahaman yang lebih tepat tentang

kepuasan kerja dikaitkan dengan prestasi kerja, tingkat kemungkinan

keinginan pindah, usia pekerja, tingkat jabatan dan besar kecilnya organisasi.

Selanjutnya menurut Elizabet B. Hurlock, Alih bahasa Istiwadayanti

(1980:298) dimana kebahagiaan bergantung pada kesesuaian besar dan

luasnya cakupan bakat dan minat dengan tugas yang diemban. Artinya makin

cocok bakat dan minatnya dengan jenis pekerjaan yang diemban, makin tinggi

pula tingkat kepuasan yang diperoleh.

Kepuasan dapat meningkatkan motivasi untuk apa yang dapat mereka

kerjakan dan belajar lebih banyak tentang kerja sehingga dapat

menerapkannya dengan lebih efisien.

Pekerja yang merasa puas dengan pekerjaannya, mereka akan menjadi

lebih berdedikasi terhadap pekerjaannya dan lebih loyal terhadap

organisasinya. Akibatnya mereka berperan penting dalam menjaga moral

pegawai agar tetap pada tingkat yang tinggi. Dilihat dari sudut pandang

pribadi kepuasan kerja menunjang kepuasan pribadi pekerja sendiri dan

akhirnya juga menunjang kebahagiaan dalam bekerja.


Menyimak penjelasan dan pendapat para ahli diatas, maka yang harus

dikembangkan adalah kualisa Sumber Daya Manusia. Karenanya, kekayaan

sumber daya alam belum menjamin kemakmuran suatu negara.

Dalam bahasa yang lebih sederhana ”Kekayaan sumber daya alam,

harus diimbangi dengan kekayaan sumber daya manusia (SDM)”, Dengan

demikian, sumber daya manusia belum tentu terletak pada kuantitasnya, tetapi

lebih pada kualitasnya. Dalam hal ini, tentu yang berkaitan dengan

kemampuan untuk mengelola sumber daya alam yang terkandung di

dalamnya.

Dengan mengutip keberhasilan usahawan jepang, Buchari Alma

menegaskan bahwa untuk mencapai sukses dalam pekerjaan dan karir harus

memenuhi persyaratan yaitu: (1) Kemauan yang keras (capacity for hard

work), (2) Mencapai tujuan dengan bantuan orang lain (getting things done

with and through people), (3) Penampilan yang baik (good appearance), (4)

Keyakinan diri (self compidence), (5) Membuat keputusan ( making

decission), (6) Pendidikan (college education), (7) Dorongan ambisi (ambition

drive), (8) dan pitar berkomunikasi (ability to comunicate). (Buchari Alma,

2003: 32).

Kepuasan kerja (job satisfaction) adalah keadaan emosional yang

menyenangkan atau tidak menyenangkan dengan mana para karyawan/staf

memandang pekerjaan mereka. Kepuasan kerja mencerminkan perasaan

seseorang terhadap pekerjaannya. Hal ini nampak dalam sikap positif


karyawan/staf terhadap pekerjaan dan segala sesuatu yang dihadapi di

lingkungan kerjanya.

Berdasarkan teori yang telah dibahas, dapat disimpulkan bahwa

kepuasan kerja adalah perasaan pekerja terhadap berbagai aspek pekerjaan

yang meliputi : (1) pekerjaan itu sendiri, (2) kepemimpinan atasan, (3) rekan

kerja, (4) penghasilan, (5) promosi, (6) fasilitas kerja.

4. Dampak Kepuasan dan Ketidapuasan Kerja

Dampak perilaku dari kepuasan dan ketidakpuasan kerja telah banyak

diteliti dan dikaji. Berikut hasil penelitian tentang dampak kepuasan kerja

terhadap produktivitas, ketidakhadiran dan keluarnya pekerja, serta dampak

terhadap unjuk kerja.

a. Dampak terhadap produktivitas

Hubungan antara produktivitas dan kepuasan kerja sangat kecil.

Kepuasan kerja mungkin merupakan akibat, dan bukan merupakan sebab

dari produktivitas. Lawler dan Porter mengharapkan produktivitas yang

tinggi akan menyebabkan peningkatan dari kepuasan kerja hanya jika

tenaga kerja mempersepsikan bahwa ganjaran intrinsik (misalnya rasa

telah mencapai sesuatu) dan ganjaran ekstrinsik (misalnya gaji) yang

diterima kedua-duanya adil dan wajar, serta diasosiasikan dengan unjuk

kerja yang unggul.


Jika tenaga kerja tidak dapat mempersepsikan ganjaran intrinsikdan

ekstrinsik berasosiasi dengan unjuk kerja, maka kenaikan dalam unjuk

kerja tidak akan berkorelasi dengan kenaikan dalam kepuasan kerja.

2. Dampak terhadap Ketidakhadiran (Absenteisme) dan Keluarnya tenaga

kerja (Turnover).

Porter dan Steers berkesimpulan bahwa bekerja merupakan jenis

jawaban-jawaban yang secara kualitatif berbeda. Ketidakhadiran lebih

spontan sifatnya dan dengan demikian mungkin mencerminkan

ketidkapuasaan kerja. Lain halnya dengan berhenti atau keluar dari

pekerjaan. Perilaku ini karena akan mempunyai akibat-akibat ekonomis

yang besar, maka lebih besar kemungkinannya ia berhubungan dengan

ketidakpuasan kerja. Tidak ada hubungan antara ketidakpuasan kerja. Dua

faktor pada perilaku hadir, adalah motivasi untuk hadir dan kemampuan

untuk hadir.

Menurut Robbins, ketidakpuasan kerja, pada tenaga kerja dapat

diungkapkan dengan berbagai macam cara, misalnya selain meninggalkan

pekerjaan, mengeluh, membangkang, mencuri barang milik organisasi,

menghindari sebagian dari tanggung jawab pekerjaan, dll. Empat cara

tenaga kerja mengungkapkan ketidakpuasan: (1) Keluar (exit),

meninggalkan pekerjaan, termasuk mencari pekerjaan lain. (2)

Menyuarakan atau memberikan saran perbaikan dan mendiskusikan

masalah dengan atasan untuk memperbaiki kondisi. (3) Mengabaikan,

sikap membiarkan keadaan menjadi lebih buruk, seperti sering absent atau
kesalahan yang dibuat makin banyak. Kesetiaan, menunggu secara pasif

sampai kondisinya menjadi lebih baik, termasuk membela organisasi

terhadap kritik dari luar (Handoko, 1996:121)

5. Pengertian Kompetensi Guru

Menurut Majid (2005:6) kompetensi yang dimiliki oleh setiap guru akan

menunjukkan kualitas guru dalam mengajar. Kompetensi tersebut akan terwujud

dalam bentuk penguasaan pengetahuan dan profesional dalam menjalankan

fungsinya sebagai guru. Diyakini Robotham (1996:27), kompetensi yang

diperlukan oleh seseorang tersebut dapat diperoleh baik melalui pendidikan

formal maupun pengalaman.

Muhibbin Syah (2000:229) mengemukakan pengertian dasar kompetensi

adalah kemampuan atau kecakapan. Usman (1994:1) mengemukakan

kompentensi berarti suatu hal yang menggambarkan kualifikasi atau kemampuan

seseorang, baik yang kualitatif maupun yang kuantitatif. McAhsan (1981:45),

sebagaimana dikutip oleh E. Mulyasa (2003:38) mengemukakan bahwa

kompetensi: “…is a knowledge, skills, and abilities or capabilities that a person

achieves, which become part of his or her being to the extent he or she can

satisfactorily perform particular cognitive, affective, and psychomotor

behaviors”. Dalam hal ini, kompetensi diartikan sebagai pengetahuan,

keterampilan, dan kemampuan yang dikuasai oleh seseorang yang telah menjadi

bagian dari dirinya, sehingga ia dapat melakukan perilaku-perilaku kognitif,

afektif, dan psikomotorik dengan sebaik-baiknya.


Sejalan dengan itu Finch & Crunkilton, sebagaimana dikutip oleh Mulyasa

(2003:38) mengartikan kompetensi sebagai penguasaan terhadap suatu tugas,

keterampilan, sikap, dan apresiasi yang diperlukan untuk menunjang keberhasilan.

Sofo sebagaimana dikutip oleh Mulyasa (2003:38) mengemukakan “A

competency is composed of skill, knowledge, and attitude, but in particular the

consistent applications of those skill, knowledge, and attitude to the standard of

performance required in employment”. Dengan kata lain kompetensi tidak hanya

mengandung pengetahuan, keterampilan dan sikap, namun yang penting adalah

penerapan dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperlukan tersebut

dalam pekerjaan.

Robbins, sebagaimana dikutip oleh Mulyasa (2003:39) menyebut

kompetensi sebagai ability, yaitu kapasitas seseorang individu untuk mengerjakan

berbagai tugas dalam suatu pekerjaan. Selanjutnya dikatakan bahwa kemampuan

individu dibentuk oleh dua faktor, yaitu faktor kemampuan intelektual dan

kemampuan fisik. Kemampuan intelektual adalah kemampuan yang diperlukan

untuk melakukan kegiatan mental sedangkan kemampuan fisik adalah

kemampuan yang di perlukan untuk melakukan tugas-tugas yang menuntut

stamina, kecekatan, kekuatan, dan keterampilan.

Spencer sebagaimana dikutip oleh Mulyasa (2003:42) mengatakan

“Competency is underlying characteristic of an individual that is causally related

to criterion-reference effective and/or superior performance in a job or

situation”. Jadi kompetensi adalah karakteristik dasar seseorang yang berkaitan

dengan kinerja berkriteria efektif dan atau unggul dalam suatu pekerjaan dan
situasi tertentu. Selanjutnya Spencer & Spencer menjelaskan, kompetensi

dikatakan underlying characteristic karena karakteristik merupakan bagian yang

mendalam dan melekat pada kepribadian seseorang dan dapat memprediksi

berbagai situasi dan jenis pekerjaan. Dikatakan causally related, karena

kompetensi menyebabkan atau memprediksi perilaku dan kinerja. Dikatakan

criterion-referenced, karena kompetensi itu benar-benar memprediksi siapa-siapa

saja yang kinerjanya baik atau buruk, berdasarkan kriteria atau standar tertentu.

Muhaimin (2004:151) menjelaskan kompetensi adalah seperangkat

tindakan intelegen penuh tanggung jawab yang harus dimiliki seseorang sebagai

syarat untuk dianggap mampu melaksankan tugas-tugas dalam bidang pekerjaan

tertentu. Sifat intelegen harus ditunjukan sebagai kemahiran, ketetapan, dan

keberhasilan bertindak. Sifat tanggung jawab harus ditunjukkan sebagai

kebenaran tindakan baik dipandang dari sudut ilmu pengetahuan, teknologi

maupun etika.

Depdiknas (2004:7) merumuskan definisi kompetensi sebagai

pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam

kebiasaan berfikir dan bertindak.

Menurut Muhibbin Syah (2000:230), “kompetensi” adalah kemampuan,

kecakapan, keadaan berwenang, atau memenuhi syarat menurut ketentuan hukum.

Selanjutnya masih menurut Syah, dikemukakan bahwa kompetensi guru adalah

kemampuan seorang guru dalam melaksanakan kewajiban-kewajibannya secara

bertanggung jawab dan layak. Jadi kompetensi profesional guru dapat diartikan

sebagai kemampuan dan kewenangan guru dalam menjalankan profesi


keguruannya. Guru yang kompeten dan profesional adalah guru piawi dalam

melaksanakan profesinya.

Berdasarkan uraian di atas kompetensi guru dapat didefinisikan sebagai

penguasaan terhadap pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang

direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak dalam menjalankan profesi

sebagai guru.

6. Dimensi-dimensi Kompetensi Guru

Menurut Undang-undang No.14 tahun 2005 tentang Guru Dan Dosen

pasal 10 ayat (1) kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi

kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh

melalui pendidikan profesi.

7. Kompetensi Pedagogik Guru

Dalam Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen

dikemukakan kompetensi pedagogik adalah “kemampuan mengelola

pembelajaran peserta didik”.

Depdiknas (2004:9) menyebut kompetensi ini dengan “kompetensi

pengelolaan pembelajaran. Kompetensi ini dapat dilihat dari kemampuan

merencanakan program belajar mengajar, kemampuan melaksanakan interaksi

atau mengelola proses belajar mengajar, dan kemampuan melakukan

penilaian.Kompetensi Menyusun Rencana Pembelajaran.

Menurut T. Raka Joni (1984:12), kemampuan merencanakan program

belajar mengajar mencakup kemampuan: (1) merencanakan pengorganisasian


bahan-bahan pengajaran, (2) merencanakan pengelolaan kegiatan belajar

mengajar, (3) merencanakan pengelolaan kelas, (4) merencanakan penggunaan

media dan sumber pengajaran; dan (5) merencanakan penilaian prestasi siswa

untuk kepentingan pengajaran.

Depdiknas (2004:9) mengemukakan kompetensi penyusunan rencana

pembelajaran meliputi (1) mampu mendeskripsikan tujuan, (2) mampu memilih

materi, (3) mampu mengorganisir materi, (4) mampu menentukan metode/strategi

pembelajaran, (5) mampu menentukan sumber belajar/media/alat peraga

pembelajaran, (6) mampu menyusun perangkat penilaian, (7) mampu

menentukan teknik penilaian, dan (8) mampu mengalokasikan waktu.Berdasarkan

uraian di atas, merencanakan program belajar mengajar merupakan proyeksi guru

mengenai kegiatan yang harus dilakukan siswa selama pembelajaran berlangsung,

yang mencakup: merumuskan tujuan, menguraikan deskripsi satuan bahasan,

merancang kegiatan belajar mengajar, memilih berbagai media dan sumber

belajar, dan merencanakan penilaian penguasaan tujuan.

a. Kompetensi Melaksanakan Proses Belajar Mengajar

Melaksanakan proses belajar mengajar merupakan tahap pelaksanaan

program yang telah disusun. Dalam kegiatan ini kemampuan yang di tuntut adalah

keaktifan guru menciptakan dan menumbuhkan kegiatan siswa belajar sesuai

dengan rencana yang telah disusun. Guru harus dapat mengambil keputusan atas

dasar penilaian yang tepat, apakah kegiatan belajar mengajar dicukupkan, apakah

metodenya diubah, apakah kegiatan yang lalu perlu diulang, manakala siswa

belum dapat mencapai tujuan-tujuan pembelajaran. Pada tahap ini disamping


pengetahuan teori belajar mengajar, pengetahuan tentang siswa, diperlukan pula

kemahiran dan keterampilan teknik belajar, misalnya: prinsip-prinsip mengajar,

penggunaan alat bantu pengajaran, penggunaan metode mengajar, dan

keterampilan menilai hasil belajar siswa.

Yutmini (1992:13) mengemukakan, persyaratan kemampuan yang harus

di miliki guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar meliputi kemampuan:

(1) menggunakan metode belajar, media pelajaran, dan bahan latihan yang sesuai

dengan tujuan pelajaran, (2) mendemonstrasikan penguasaan mata pelajaran dan

perlengkapan pengajaran, (3) berkomunikasi dengan siswa, (4)

mendemonstrasikan berbagai metode mengajar, dan (5) melaksanakan evaluasi

proses belajar mengajar.

Hal serupa dikemukakan oleh Harahap (1982:32) yang menyatakan,

kemampuan yang harus dimiliki guru dalam melaksanakan program mengajar

adalah mencakup kemampuan: (1) memotivasi siswa belajar sejak saat membuka

sampai menutup pelajaran, (2) mengarahkan tujuan pengajaran, (3) menyajikan

bahan pelajaran dengan metode yang relevan dengan tujuan pengajaran, (4)

melakukan pemantapan belajar, (5) menggunakan alat-alat bantu pengajaran

dengan baik dan benar, (6) melaksanakan layanan bimbingan penyuluhan, (7)

memperbaiki program belajar mengajar, dan (8) melaksanakan hasil penilaian

belajar.

Dalam pelaksanaan proses belajar mengajar menyangkut pengelolaan

pembelajaran, dalam menyampaikan materi pelajaran harus dilakukan secara

terencana dan sistematis, sehingga tujuan pengajaran dapat dikuasai oleh siswa
secara efektif dan efisien. Kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki guru

dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar terlihat dalam mengidentifikasi

karakteristik dan kemampuan awal siswa, kemudian mendiagnosis, menilai dan

merespon setiap perubahan perilaku siswa.

Depdiknas (2004:9) mengemukakan kompetensi melaksanakan proses

belajar mengajar meliputi (1) membuka pelajaran, (2) menyajikan materi, (3)

menggunakan media dan metode, (4) menggunakan alat peraga, (5) menggunakan

bahasa yang komunikatif, (6) memotivasi siswa, (7) mengorganisasi kegiatan, (8)

berinteraksi dengan siswa secara komunikatif, (9) menyimpulkan pelajaran, (10)

memberikan umpan balik, (11) melaksanakan penilaian, dan (12) menggunakan

waktu.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa melaksanakan proses belajar

mengajar merupakan sesuatu kegiatan dimana berlangsung hubungan antara

manusia, dengan tujuan membantu perkembangan dan menolong keterlibatan

siswa dalam pembelajaran. Pada dasarnya melaksanakan proses belajar mengajar

adalah menciptakan lingkungan dan suasana yang dapat menimbulkan perubahan

struktur kognitif para siswa.

b. Kompetensi Melaksanakan Penilaian Proses Belajar Mengajar

Menurut Sutisna (1993:212), penilaian proses belajar mengajar

dilaksanakan untuk mengetahui keberhasilan perencanaan kegiatan belajar

mengajar yang telah disusun dan dilaksanakan. Penilaian diartikan sebagai proses
yang menentukan betapa baik organisasi program atau kegiatan yang

dilaksanakan untuk mencapai maksud-maksud yang telah ditetapkan.

Commite dalam Wirawan (2002:22) menjelaskan, evaluasi merupakan

bagian yang tidak terpisahkan dari setiap upaya manusia, evaluasi yang baik akan

menyebarkan pemahaman dan perbaikan pendidikan, sedangkan evaluasi yang

salah akan merugikan pendidikan.

Tujuan utama melaksanakan evaluasi dalam proses belajar mengajar

adalah untuk mendapatkan informasi yang akurat mengenai tingkat pencapaian

tujuan instruksional oleh siswa, sehingga tindak lanjut hasil belajar akan dapat

diupayakan dan dilaksanakan. Dengan demikian, melaksanakan penilaian proses

belajar mengajar merupakan bagian tugas guru yang harus dilaksanakan setelah

kegiatan pembelajaran berlangsung dengan tujuan untuk mengetahui tingkat

keberhasilan siswa mencapai tujuan pembelajaran, sehingga dapat diupayakan

tindak lanjut hasil belajar siswa.

Depdiknas (2004:9) mengemukakan kompetensi penilaian belajar peserta

didik, meliputi (1) mampu memilih soal berdasarkan tingkat kesukaran, (2)

mampu memilih soal berdasarkan tingkat pembeda, (3) mampu memperbaiki soal

yang tidak valid, (4) mampu memeriksa jawab, (5) mampu mengklasifikasi hasil-

hasil penilaian, (6) mampu mengolah dan menganalisis hasil penilaian, (7) mampu

membuat interpretasi kecenderungan hasil penilaian, (8) mampu menentukan

korelasi soal berdasarkan hasil penilaian, (9) mampu mengidentifikasi tingkat

variasi hasil penilaian, (10) mampu menyimpulkan dari hasil penilaian secara

jelas dan logis, (11) mampu menyusun program tindak lanjut hasil penilaian, (12)
mengklasifikasi kemampuan siswa, (13) mampu mengidentifikasi kebutuhan

tindak lanjut hasil penilaian, (14) mampu melaksanakan tindak lanjut, (15)

mampu mengevaluasi hasil tindak lanjut, dan (16) mampu menganalisis hasil

evaluasi program tindak lanjut hasil penilaian.

Berdasarkan uraian di atas kompetensi pedagogik tercermin dari indikator

(1) kemampuan merencanakan program belajar mengajar, (2) kemampuan

melaksanakan interaksi atau mengelola proses belajar mengajar, dan (3)

kemampuan melakukan penilaian.

8. Kompetensi Pedagogis dan Kompetensi Lain

a. Kompetensi Pribadi

Guru sebagai tenaga pendidik yang tugas utamanya mengajar, memiliki

karakteristik kepribadian yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan

pengembangan sumber daya manusia. Kepribadian yang mantap dari sosok

seorang guru akan memberikan teladan yang baik terhadap anak didik maupun

masyarakatnya, sehingga guru akan tampil sebagai sosok yang patut “digugu”

(ditaati nasehat/ucapan/perintahnya) dan “ditiru” (di contoh sikap dan

perilakunya).

Kepribadian guru merupakan faktor terpenting bagi keberhasilan belajar

anak didik. Dalam kaitan ini, Zakiah Darajat dalam Syah (2000:225-226)

menegaskan bahwa kepribadian itulah yang akan menentukan apakah ia menjadi

pendidik dan pembina yang baik bagi anak didiknya, ataukah akan menjadi

perusak atau penghancur bagi masa depan anak didiknya terutama bagi anak didik
yang masih kecil (tingkat dasar) dan mereka yang sedang mengalami

kegoncangan jiwa (tingkat menengah). Karakteristik kepribadian yang berkaitan

dengan keberhasilan guru dalam menggeluti profesinya adalah meliputi

fleksibilitas kognitif dan keterbukaan psikologis. Fleksibilitas kognitif atau

keluwesan ranah cipta merupakan kemampuan berpikir yang diikuti dengan

tindakan secara simultan dan memadai dalam situasi tertentu. Guru yang fleksibel

pada umumnya ditandai dengan adanya keterbukaan berpikir dan beradaptasi.

Selain itu, ia memiliki resistensi atau daya tahan terhadap ketertutupan ranah cipta

yang prematur dalam pengamatan dan pengenalan.

Dalam Undang-undang Guru dan Dosen dikemukakan kompetensi

kepribadian adalah “kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif,

dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik”. Muhammad Surya

(2003:138) menyebut kompetensi kepribadian ini sebagai kompetensi personal,

yaitu kemampuan pribadi seorang guru yang diperlukan agar dapat menjadi guru

yang baik. Kompetensi personal ini mencakup kemampuan pribadi yang

berkenaan dengan pemahaman diri, penerimaan diri, pengarahan diri, dan

perwujudan diri.

Gumelar dan Dahyat (2002:127) merujuk pada pendapat Asian Institut for

Teacher Education, mengemukakan kompetensi pribadi meliputi (1) pengetahuan

tentang adat istiadat baik sosial maupun agama, (2) pengetahuan tentang budaya

dan tradisi, (3) pengetahuan tentang inti demokrasi, (4) pengetahuan tentang

estetika, (5) memiliki apresiasi dan kesadaran sosial, (6) memiliki sikap yang

benar terhadap pengetahuan dan pekerjaan, (7) setia terhadap harkat dan martabat
manusia. Sedangkan kompetensi guru secara lebih khusus lagi adalah bersikap

empati, terbuka, berwibawa, bertanggung jawab dan mampu menilai diri pribadi.

Johnson sebagaimana dikutip Anwar (2004:63) mengemukakan

kemampuan personal guru, mencakup (1) penampilan sikap yang positif terhadap

keseluruhan tugasnya sebagai guru, dan terhadap keseluruhan situasi pendidikan

beserta unsur-unsurnya, (2) pemahaman, penghayatan dan penampilan nilai-nilai

yang seyogyanya dianut oleh seorang guru, (3) kepribadian, nilai, sikap hidup

ditampilkan dalam upaya untuk menjadikan dirinya sebagai panutan dan teladan

bagi para siswanya.

Suharsimi Arikunto (1993:239) mengemukakan kompetensi personal

mengharuskan guru memiliki kepribadian yang mantap sehingga menjadi sumber

inspirasi bagi subyek didik, dan patut diteladani oleh siswa.Berdasarkan uraian di

atas, kompetensi kepribadian guru tercermin dari indikator (1) sikap, dan (2)

keteladanan.

b. Kompetensi Profesional

Menurut Undang-undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen,

kompetensi profesional adalah “kemampuan penguasaan materi pelajaran secara

luas dan mendalam”. Muhammad Surya (2003:138) mengemukakan kompetensi

profesional adalah berbagai kemampuan yang diperlukan agar dapat mewujudkan

dirinya sebagai guru profesional. Kompetensi profesional meliputi kepakaran atau

keahlian dalam bidangnya yaitu penguasaan bahan yang harus diajarkannya


beserta metodenya, rasa tanggung jawab akan tugasnya dan rasa kebersamaan

dengan sejawat guru lainnya.

Gumelar dan Dahyat (2002:127) merujuk pada pendapat Asian Institut for

Teacher Education, mengemukakan kompetensi profesional guru mencakup

kemampuan dalam hal (1) mengerti dan dapat menerapkan landasan pendidikan

baik filosofis, psikologis, dan sebagainya, (2) mengerti dan menerapkan teori

belajar sesuai dengan tingkat perkembangan perilaku peserta didik, (3) mampu

menangani mata pelajaran atau bidang studi yang ditugaskan kepadanya, (4)

mengerti dan dapat menerapkan metode mengajar yang sesuai, (5) mampu

menggunakan berbagai alat pelajaran dan media serta fasilitas belajar lain, (6)

mampu mengorganisasikan dan melaksanakan program pengajaran, (7) mampu

melaksanakan evaluasi belajar dan (8) mampu menumbuhkan motivasi peserta

didik.

Johnson sebagaimana dikutip Anwar (2004:63) mengemukakan

kemampuan profesional mencakup (1) penguasaan pelajaran yang terkini atas

penguasaan bahan yang harus diajarkan, dan konsep-konsep dasar keilmuan bahan

yang diajarkan tersebut, (2) penguasaan dan penghayatan atas landasan dan

wawasan kependidikan dan keguruan, (3) penguasaan proses-proses

kependidikan, keguruan dan pembelajaran siswa.

Suharsimi Arikunto (1993:239) mengemukakan kompetensi profesional

mengharuskan guru memiliki pengetahuan yang luas dan dalam tentang subject

matter (bidang studi) yang akan diajarkan serta penguasaan metodologi yaitu
menguasai konsep teoretik, maupun memilih metode yang tepat dan mampu

menggunakannya dalam proses belajar mengajar.

Depdiknas (2004:9) mengemukakan kompetensi profesional meliputi (1)

pengembangan profesi, pemahaman wawasan, dan penguasaan bahan kajian

akademik.Pengembangan profesi meliputi (1) mengikuti informasi perkembangan

iptek yang mendukung profesi melalui berbagai kegiatan ilmiah, (2)

mengalihbahasakan buku pelajaran/karya ilmiah, (3) mengembangkan berbagai

model pembelajaran, (4) menulis makalah, (5) menulis/menyusun diktat pelajaran,

(6) menulis buku pelajaran, (7) menulis modul, (8) menulis karya ilmiah, (9)

melakukan penelitian ilmiah (action research), (10) menemukan teknologi tepat

guna, (11) membuat alat peraga/media, (12) menciptakan karya seni, (13)

mengikuti pelatihan terakreditasi, (14) mengikuti pendidikan kualifikasi, dan (15)

mengikuti kegiatan pengembangan kurikulum.

Pemahaman wawasan meliputi (1) memahami visi dan misi, (2)

memahami hubungan pendidikan dengan pengajaran, (3) memahami konsep

pendidikan dasar dan menengah, (4) memahami fungsi sekolah, (5)

mengidentifikasi permasalahan umum pendidikan dalam hal proses dan hasil

belajar, (6) membangun sistem yang menunjukkan keterkaitan pendidikan dan

luar sekolah.Penguasaan bahan kajian akademik meliputi (1) memahami struktur

pengetahuan, (2) menguasai substansi materi, (3) menguasai substansi kekuasaan

sesuai dengan jenis pelayanan yang dibutuhkan siswa.

Berdasarkan uraian di atas, kompetensi profesional guru tercermin dari

indikator (1) kemampuan penguasaan materi pelajaran, (2) kemampuan penelitian


dan penyusunan karya ilmiah, (3) kemampuan pengembangan profesi, dan (4)

pemahaman terhadap wawasan dan landasan pendidikan

c. Kompetensi Sosial

Guru yang efektif adalah guru yang mampu membawa siswanya dengan

berhasil mencapai tujuan pengajaran. Mengajar di depan kelas merupakan

perwujudan interaksi dalam proses komunikasi. Menurut Undang-undang Guru

dan Dosen kompetensi sosial adalah “kemampuan guru untuk berkomunikasi dan

berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru,

orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar”.

Muhammad Surya (2003:138) mengemukakan kompetensi sosial adalah

kemampuan yang diperlukan oleh seseorang agar berhasil dalam berhubungan

dengan orang lain. Dalam kompetensi sosial ini termasuk keterampilan dalam

interaksi sosial dan melaksanakan tanggung jawab sosial.

Gumelar dan Dahyat (2002:127) merujuk pada pendapat Asian Institut for

Teacher Education, menjelaskan kompetensi sosial guru adalah salah satu daya

atau kemampuan guru untuk mempersiapkan peserta didik menjadi anggota

masyarakat yang baik serta kemampuan untuk mendidik, membimbing

masyarakat dalam menghadapi kehidupan di masa yang akan datang. Untuk dapat

melaksanakan peran sosial kemasyarakatan, guru harus memiliki kompetensi (1)

aspek normatif kependidikan, yaitu untuk menjadi guru yang baik tidak cukup

digantungkan kepada bakat, kecerdasan, dan kecakapan saja, tetapi juga harus

beritikad baik sehingga hal ini bertautan dengan norma yang dijadikan landasan
dalam melaksanakan tugasnya, (2) pertimbangan sebelum memilih jabatan guru,

dan (3) mempunyai program yang menjurus untuk meningkatkan kemajuan

masyarakat dan kemajuan pendidikan.

Johnson sebagaimana dikutip Anwar (2004:63) mengemukakan

kemampuan sosial mencakup kemampuan untuk menyesuaikan diri kepada

tuntutan kerja dan lingkungan sekitar pada waktu membawakan tugasnya sebagai

guru. Suharsimi Arikunto (1993:239) mengemukakan kompetensi sosial

mengharuskan guru memiliki kemampuan komunikasi sosial baik dengan peserta

didik, sesama guru, kepala sekolah, pegawai tata usaha, bahkan dengan anggota

masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas, kompetensi sosial guru tercermin melalui

indikator (1) interaksi guru dengan siswa, (2) interaksi guru dengan kepala

sekolah, (3) interaksi guru dengan rekan kerja, (4) interaksi guru dengan orang tua

siswa, dan (5) interaksi guru dengan masyarakat.

F. Kerangka Pemikiran

Kerja guru merupakan kumpulan dari berbagai tugas untuk mencapai

tujuan pendidikan. Kepuasan dalam menjalankan tugas merupakan aspek penting

bagi kinerja atau produktivitas seseorang, ini disebabkan sebagian besar waktu

guru digunakan untuk bekerja. Pada umumnya pekerjaan guru dibagi dua yakni

pekerjaan berhubungan dengan tugas-tugas mengajar, mendidik dan tugas-tugas

kemasyarakatan (sosial). Di lingkungan sekolah, guru mengemban tugas sebagai

pengajar dan pendidik. Sebagai pengajar, guru memberikan pengetahuan


(kognitif), sikap dan nilai (afektif), dan keterampilan (psikomotorik), Guru

memiliki tugas dan tanggung jawab moral yang besar terhadap keberhasilan

siswa, namun demikian guru bukanlah satu-satunya faktor penunjang keberhasilan

siswa. Faktor lain yang tidak kalah penting adalah faktor perangkat kurikulum,

faktor siswa sendiri, faktor dukungan masyarakat, dan faktor orang tua, sementara

sebagai pendidik, guru harus mendidik para siswanya untuk menjadi manusia

dewasa.

Guru dituntut untuk untuk bekerja dengan memberikan pelayanan sebaik-

baiknya kepada pemakai sekolah seperti siswa, orang tua, dan masyarakat. Salah

satu faktor yang menunjang guru untuk bekerja dengan sebaik-baiknya yaitu

kepuasan kerja. Artinya jika guru puas terhadap perlakuan organisasi (sekolah)

maka mereka akan bekerja penuh semangat dan bertanggung jawab.

Kepuasan kerja (job satisfaction) guru merupakan sasaran penting dalam

manajemen sumber daya manusia, karena secara langsung maupun tidak langsung

akan mempengaruhi produktivitas kerja. Suatu gejala yang dapat membuat

rusaknya kondisi organisasi sekolah adalah rendahnya kepuasan kerja guru

dimana timbul gejala seperti kemangkiran, malas bekerja, banyaknya keluhan

guru, rendahnya prestasi kerja, rendahnya kualitas pengajaran, indisipliner guru

dan gejala negatif lainnya. Sebaliknya kepuasan yang tinggi dinginkan oleh

kepala sekolah karena dapat dikaitkan dengan hasil positif yang mereka harapkan.

Kepuasan kerja yang tinggi menandakan bahwa sebuah organisasi sekolah

telah dikelola dengan baik dengan manajemen yang efektif. Kepuasan kerja yang
tinggi menunjukkan kesesuaian antara harapan guru dengan imbalan yang

disediakan oleh organisasi.

Meningkatkan kepuasan kerja bagi guru merupakan hal yang sangat

penting, karena menyangkut masalah hasil kerja guru yang merupakan salah satu

langkah dalam meningkatkan mutu pelayanan kepada siswa. Ada beberapa alasan

mengapa kepuasan kerja guru dalam tugasnya sebagai pendidik perlu untuk dikaji

lebih lanjut :

Pertama : Guru memainkan peranan yang begitu besar di dalam sebuah

negara. Tugas mereka bukan hanya sekedar memberikan pelajaran seperti yang

terkandung di dalam garis besar pengajaran dalam kurikulum formal, malah

meliputi seluruh aspek kehidupan yang lain mungkin tidak tercantum dalam mata

pelajaran secara nyata, tetapi meliputi pelajaran-pelajaran yang terkandung dalam

kurikulum yang tersembunyi dalam sistem pendidikan negara. Kemajuan suatu

bangsa punya kaitan erat dengan pendidikan. Pendidikan di sini bukan sekedar

sebagai media (perantara) dalam menyampaikan kebudayaan dari generasi ke

generasi, melainkan suatu proses yang diharapkan akan dapat mengubah dan

mengembangkan kehidupan berbangsa yang baik. Bagi suatu bangsa yang sedang

membangun terlebih-lebih bagi keberlangsungan hidup bangsa di tengah-tengah

lintasan perjalanan zaman dengan teknologi yang kian canggih. Semakin akurat

para guru melaksanakan fungsinya, semakin terjamin, tercipta, dan terbinanya

kesiapan dan keandalan sebagai manusia pembangunan. Oleh karena itu

peningkatan kepuasan kerja yang diperoleh para guru akan mendorong guru untuk

melaksanakan fungsinya sebaik mungkin.


Kedua : adanya fenomena mengenai penurunan kinerja guru, hal ini dapat

terlihat dari guru yang mangkir dari tugas, guru yang mengajar saja tapi fungsi

mendidiknya berkurang.

Ketiga : Peningkatkan mutu pendidikan secara formal aspek guru

mempunyai peranan penting dalam mewujudkannya, disamping aspek lainnya

seperti sarana/prasarana, kurikulum, siswa, manajemen, dan pengadaan buku.

Guru merupakan kunci keberhasilan pendidikan, sebab inti dari kegiatan

pendidikan adalah belajar mengajar yang memerlukan peran dari guru

didalamnya.

Dari penjelasan tersebut, maka kerangka penelitian ini dapat digambarkan

dalam skema berikut ini:

Gambar 1: Skema Kerangka Pemikiran

Faktor Internal Penunjang


Kompetensi Guru

Kompetensi Pedagogis
Kepuasan Kerja Guru Guru

Faktor Eksternal
Penunjang Kompetensi
Guru
G. Langkah-langkah Penelitian

1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Madrasah Ibtidaiyah Swasta (MIS) Burujul

Limusgede Cimerak.

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan September sampai dengan bulan

Oktober 2009

2. Variabel Penelitian

Variabel penelitian ini ada dua, yaitu Variabel X dan Variabel Y. Variabel

X adalah Kepuasan Kerja Guru. Sedangkan Variabel Y adalah Kompetensi

Pedagogis Guru

3. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, metode penelitian yang digunakan adalah metode

deskripsi korelasional, yaitu penelitian deskriptif yang bertujuan untuk

menetapkan besarnya hubungan antara variabel-variabel. (Ary, 2004:463) Melalui

studi ini ingin diketahui sejauhmana perbedaan di salah satu variabel ada

hubungannya dengan perbedaan dalam variabel yang lain, yang ditetapkan

melalui koefisien korelasi. (Ary, 2004:463).

4. Populasi dan Sampel

Populasi adalah keseluruhan subyek atau obyek yang diteliti. Adapun

sampel adalah bagian dari populasi (Singarimbun, 1989:34).


Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa…………………. Sampel

diambil sebanyak 30 orang dengan teknik simple random sampling (sampel acak

sederhana). (Suryabrata, 2002:35).

5. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner atau

angket sebagai instrumen utama; yang didukung juga oleh wawancara dan studi

dokumen.

a) Kuesioner

Kuesioner adalah suatu teknik pengumpulan data yang memungkinkan

peneliti memperlajari sikap-sikap, keyakinan, perilaku, dan karakteristik sejumlah

orang (Suryabrata, 2002:37).

Kuesioner juga berarti daftar pertanyaan yang terbagi dalam beberapa

kategori. Dari segi yang memberikan jawaban, kuesioner dibagi menjadi

kuesioner langsung dan kuesioner tidak langsung. Kuesioner langsung adalah

kuesioner yang dijawab langsung oleh orang yang diminta jawabannya.

Sedangkan kuesioner tidak langsung dijawab oleh secara tidak langsung oleh

orang yang dekat dan mengetahui si penjawab, seperti apabila yang hendak

dimintai jawaban adalah seseorang yang buta huruf maka dapat dibantu oleh anak,

tetangga atau anggota keluarganya. Dan bila ditinjau dari segi cara menjawab

maka kuesioner terbagi menjadi kuesioner tertutup dan kuesioner terbuka.

Kuesioner tertututp adalah daftar pertanyaan yang memiliki dua atau lebih

jawaban dan si penjawab hanya memberikan tanda silang (X) atau ceklis (√) pada
awaban yang ia anggap sesuai. Sedangkan kuesioner terbuka adalah daftar

pertanyaan dimana si penjawab diperkenankan memberikan jawaban dan

pendapat nya secara terperinci sesuai dengan apa yang ia ketahui. (Suryabrata,

2002:39)

b. Wawancara

Wawancara, suatu cara yang dilakukan secara lisan yang berisikan

pertanyaan-pertanyaan yang sesuai dengan tujuan data yang hendak digali.

(Suryabrata, 2002:40)

Wawancara dibagi dalam 2 kategori, yaitu pertama, wawancara bebas yaitu

si penjawab (responden) diperkenankan untuk memberikan jawaban secara bebas

sesuai dengan yang ia diketahui tanpa diberikan batasan oleh pewawancara.

Kedua adalah wawancara terpimpin dimana pewawancara telah menyusun

pertanyaan pertanyaan terlebih dahulu yang bertujuan untuk menggiring penjawab

pada informsi-informasi yang diperlukan saja.

c. Studi dokumen

Dokumen adalah setiap pernyataan tertulis yang disusun oleh seseorang atau

lembaga untuk keperluan pengujian peristiwa atau menyajikan akunting.

Dokumentasi yang diperoleh dalam penelitian adalah arsip-arsip, buku, majalah-

koran, surat keputusan dan lain-lain.

6. Teknik Analisis Data

Sebelum dilakukan analisis data, maka dilakukan terlebih dahulu uji

persyaratan, yaitu uji normalitas. Dengan demikian akan diketahui apakah datanya
berdistribusi normal atau tidak. Uji Normalitas yang digunakan adalah uji

normalitas dari Kolmogorov-Smirnov (Alhusin, 2003:43).

Sedangkan analisis data dilakukan dengan teknik analisis korelasi

sederhana dan regresi linier sederhana, baik yang parametrik maupun yang non

parametrik, tergantung kepada hasil uji normalitas masing-masing variabel.

(Alhusin, 2003:49).
DAFTAR PUSTAKA

Adair, John Lingkungan Organisasi. Jakarta: Elex Media


1994 Komputindo

Alhusin, Syafsi Pengolahan Data Statitik dengan SPSS For Windows.


2001 Jakarta: Elex Media Komputindo

Anonimous Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun


2005 2005, tentang Guru dan Dosen, Bandung: Penerbit
Fokus Media.

Arikunto, Suharsimi Manajemen Pengajaran Secara Manusia. Jakarta:


1993 Rineka Cipta

Ary, Donald dkk Pengantar Metode Penelitian Pendidikan.


2002 Yogyakarta: Pustaka Pelajar

As’ad, Muhammad Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Erlangga


2004

Depdiknas Pengembangan Kompetensi Guru. Jakarta: Depdiknas


2004 R.I.

Gibson, James Perilaku Organisasi. Jakarta: Erlangga


1992

Gumelar dan Dahyat Supervisi Pendidikan Indonesian. Jakarta: Gramedia


2002

Joni, T. Raka. Pedoman Umum Alat Penilaian Kemampuan Guru.


1984 Jakarta: Dirjen Pendidikan Tinggi Depdikbud

Handoko, T. Hani Perilaku Organisasi dan Motivasi Kerja. Jakarta:


1993 Elex Media Komputindo

Hudoyo, Muhammad Budaya Organisasi. Jakarta: Erlangga


2003

Luthans, Fred Manajemen Organisasi. Jakarta: Erlangga


1995
Majid, Abdul Perencanaan Pembelajaran (Mengembangkan
2007 Standar Kompetensi Guru). Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Muhaimin Paradigma Pendidikan Islam. Bandung: PT Remaja
2004 Rosdakarya.
Mulyasa, E. Menjadi Guru Profesional: Menciptakan
2005 Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Bandung:
Remaja Rosdakarya

Mulyasa, E., Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep,


2003 Karakteristik, dan Implementasi. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya
Singarimbun, Masri Metode Penelitian Survey. Jakarta: LP3ES
1997

Suryabrata, Sumadi Pengantar Metodologi Penelitian. Jakarta: PT


1998 Rajawali Press

Surya, Muhammad. Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran. Bandung:


2003 Yayasan Bhakti Winaya.

Soli, Abimanyu Keterampilan Bertanya Dasar dan Lanjut. Jakarta:


1998 Tim Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga
Pendidikan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi

Sutisna, Oteng. Administrasi Pendidikan Dasar Teoritis dan Praktis


1993 Profesional. Bandung: Angkasa

Suwarna Pengajaran Mikro. Yogyakarta: Tiara Wacana


2006

Syah, Muhibbin Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru.


2000 Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Usman, Uzer Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT Remaja


1999 Rosdakarya

Wirawan. Profesi dan Standar Evaluasi. Jakarta: Yayasan


2002 Bangun Indonesia & UHAMKA Press.

Yutmini, Sri. Strategi Belajar Mengajar. Surakarta: FKIP UNS.


1992

You might also like