You are on page 1of 27

TEORI BIROKRASI MAX WEBER 

DALAM RANAH KOMUNIKASI ORGANISASI


Oleh: Enik Sulistyawati
NIM. 0510020020
Jurusan Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial Universitas Brawijaya

ABSTRACT
Every organization has to know organization communication’s theory, classical or contemporary, in order
to know how effective the communication’s programs, activities, and their ways to choose the best for
their order’s existan ce. Birocration Theory by Max Weber is one of  the organization communication’s
theory, which still exist and has a big influent in the classical theories of organization communication’s
field, until now. 

Keyword: Birocration, Classical Theory, Max Weber, Organization Communication

PENDAHULUAN
Terminologi organisasi berasal dari bahasa Latin organizare, yang secara harafiah berarti paduan dari
bagian-bagian yang satu sama lainnya saling bergantung. Di antara para ahli ada yang menyebut paduan
tersebut sebagai sistem, ada juga yang menamakannya sarana.
Korelasi antara ilmu komunikasi dengan organisasi terletak pada peninjauannya yang terfokus kepada
manusia-manusia yang terlibat dalam mencapai tujuan organisasi itu. Ilmu komunikasi mempertanyakan
bentuk komunikasi apa yang berlangsung dalam organisasi, metode dan teknik apa yang dipergunakan,
media apa yang dipakai, bagaimana prosesnya, faktor-faktor apa yang menjadi penghambat, dan
sebagainya. Jawaban-jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah untuk bahan telaah untuk
selanjutnya menyajikan suatu konsepsi komunikasi bagi suatu organisasi tertentu berdasarkan jenis
organisasi, sifat organisasi, dan lingkup organisasi dengan memperhitungkan situasi tertentu pada saat
komunikasi dilancarkan.
Ketika memasuki ranah teori Komunikasi Organisasi ataupun disiplin ilmu-ilmu lainnya, kita akan
dihadapkan pada berbagai perspektif dengan berbagai mahzab yang akan menentukan pemahaman kita
selanjutnya.  Mary Jo Hatch mengajukan empat perspektif yang diklasifikasikan menjadi 2 perspektif
besar, yakni klasik dan kontemporer. Namun tidak menutup kemungkinan akan adanya tafsir yang lain
karena memang masing-masing individu memiliki world of view yang tak semuanya sama.
Pada perspektif klasik, telah dikenal nama besar Max Weber dengan teori birokrasinya, yang meskipun
zaman telah memasuki periode kontemporer, namun teori klasik ini masih tetap memiliki kekuatan yang
besar yang mana praktik-praktiknya dapat kita temukan dalam kehidupan kerja sehari-hari, terutama
perusahaan besar di Indonesia.

PEMBAHASAN
Sebagaimana yang kita ketahui, Mary Jo Hart mengemukakan tafsirnya atas paradigma komunikasi
organisasi dengan mengeluarkan empat perspektifnya, yang dirangkum kembali menjadi dua perspektif
besar, yakni klasik dan kontemporer. Teori Birokrasi Max Weber merupakan salah satu teori besar dalam
perspektif klasik. Selain itu, terdapat Teori  Manajemen Ilmiah (Taylor) dan Penerimaan Kewenangan
(Barnard). 
Menurut observasi beberapa pakar komunikasi, konsep organisasi sebenarnya telah berkembang cukup
lama, yakni mulai abad 20. Konsep-konsep inilah yang sekarang dikenal sebagai teori klasik (classical
theory) atau terkadang beberapa orang mengenalnya sebagai teori tradisional. 
Hingga hari ini, dampak dari teori klasik pada organisasi masih mendominasi. Birokrasi adalah kata kunci
utama yang dapat menghantarkan kita pada pemaknaan praktik classical theory, khususnya Indonesia
yang terkenal dengan keruwetan birokrasinya yang telah membudaya. 
Dalam memahami teori organisasi klasik, maka nama besar Weber akan sulit untuk dilepaskan. Tokoh
paradigm interpretatif  yang menjadi sangat popular dengan buah pemikirannya, yakni Karakteristik
Organisasi Weberian (Organisasi Formal), akan selalu identik dengan keyword ‘birokrasi’, karena
memang pada konsepnya terdapat konsep birokrasi yang mendetail .
Kata birokrasi mula-mula berasal dari kata legal-rasional. Organisasi disebut rasional dalam hal
penetapan tujuan dan perancangan organisasi untuk mencapai tujuan tersebut. Menurut Weber, bentuk
organisasi birokratik merupakan bentuk yang paling efisien. Dalam teorinya, Weber mengemukakan
sepuluh (10) ciri organisasi1, yaitu:
1.    Suatu organisasi terdiri dari hubungan-hubungan yang ditetapkan antara jabatan-jabatan. Blok-blok
bangunan dasar dari organisasi formal adalah jabatan-jabatan.
2.    Tujuan atau rencana organisasi terbagi ke dalam tugas-tugas, tugas-tugas tersebut disalurkan di
antara berbagai jabatan sebagai kewajiban resmi (job description).
3.    Kewenangan: melaksanakan kewajiban diberikan kepada jabatan (saat resmi menduduki sebuah
jabatan).
4.    Garis kewenangan dan jabatan diatur menurut suatu tatanan hierarkhis.
5.    Sistem aturan dan regulasi yang umum tetapi tegas yang ditetapkan secara formal, mengatur
tindakan-tindakan dan fungsi-fungsi jabatan dalam organisasi.
6.    Prosedur bersifat formal dan impersonal. Perlu adanya catatan tertulis demi kontinuitas,
keseragaman (uniformitas), dan untuk maksud-maksud transaksi.
7.    Adanya prosedur untuk menjalankan disiplin anggota.
8.    Anggota organisasi harus memisahkan kehidupan pribadi dan kehidupan organisasi.
9.    Pegawai yang dipilih utk bekerja berdasarkan kualifikasi teknis.
10.    Kenaikan jabatan berdasarkan senioritas dan prestasi kerja.
Sebagai implikasinya, teori Weber pada komunikasi organisasi menunjukkan suatu fenomena yang
disebut komunikasi jabatan (positional communication). Relasionalitas dibentuk antar jabatan, bukan
antar individu. Teori ini juga termasuk dalam tradisi posisisonal2 karena masih berada satu payung kajian
mahzab klasik, selain teori empat system dari Likert.

KESIMPULAN
Pada hakikatnya, teori klasik berpangkal tolak pada struktur, hubungan, fungsi formal kegiatan orang
dalam rangka mencapai tujuan bersama. Teori Birokrasi Max Weber pun tak lepas dari karakteristik
tersebut, karena memang merupakan anggota klasifikasi perspektif besar klasik dalam ranah bahasan
komunikasi organisasi.

Teori Perubahan Sosial Karl Marx dan Max Weber


{ November 18, 2008 @ 2:18 pm } · { Actions }

Teori perubahan social dan budaya Karl Marx yang merumuskan bahwa
perubahan social dan budaya sebagai produk dari sebuah produksi
(materialism), sedangkan Max weber lebih pada system gagasan, system
pengetahuan, system kepercayaan yang justru menjadi sebab perubahan.

Jika dua pandangan itu digunakan sebagai asas dalam pengembangan program
Pendidikan Nonformal, akan memberikan dampak untung dan rugi, secara
literature hal tersebut disebabkan oleh:

Menurut Douglas (1973), mikrososiologi mempelajari situasi sedangkan


makrososiologi mempelajari struktur. George C. Homans yang mempelajari
mikrososiologi mengaitkan struktur dengan perilaku sosial elementer dalam
hubungan sosial sehari-hari, sedangkan Gerhard Lenski lebih menekankan
pada struktur masyarakat yang diarahkan oleh kecenderungan jangka panjang
yang menandai sejarah. Talcott Parsons yang bekerja pada ranah
makrososiologi menilai struktur sebagai kesalingterkaitan antar manusia dalam
suatu sistem sosial. Coleman melihat struktur sebagai pola hubungan antar
manusia dan antar kelompok manusia atau masyarakat. Kornblum (1988)
menyatakan struktur merupakan pola perilaku berulang yang menciptakan
hubungan antar individu dan antar kelompok dalam masyarakat.

Mengacu pada pengertian struktur sosial menurut Kornblum yang menekankan


pada pola perilaku yang berulang, maka konsep dasar dalam pembahasan
struktur adalah adanya perilaku individu atau kelompok. Perilaku sendiri
merupakan hasil interaksi individu dengan lingkungannya yang didalamnya
terdapat proses komunikasi ide dan negosiasi.

Pembahasan mengenai struktur sosial oleh Ralph Linton dikenal adanya dua
konsep yaitu status dan peran. Status merupakan suatu kumpulan hak dan
kewajiban, sedangkan peran adalah aspek dinamis dari sebuah status. Menurut
Linton (1967), seseorang menjalankan peran ketika ia menjalankan hak dan
kewajiban yang merupakan statusnya. Tipologi lain yang dikenalkan oleh Linton
adalah pembagian status menjadi status yang diperoleh (ascribed status) dan
status yang diraih (achieved status).

Status yang diperoleh adalah status yang diberikan kepada individu tanpa
memandang kemampuan atau perbedaan antar individu yang dibawa sejak
lahir. Sedangkan status yang diraih didefinisikan sebagai status yang
memerlukan kualitas tertentu. Status seperti ini tidak diberikan pada individu
sejak ia lahir, melainkan harus diraih melalui persaingan atau usaha pribadi.

Social inequality merupakan konsep dasar yang menyusun pembagian


suatu struktur sosial menjadi beberapa bagian atau lapisan yang saling berkait.
Konsep ini memberikan gambaran bahwa dalam suatu struktur sosial ada
ketidaksamaan posisi sosial antar individu di dalamnya. Terdapat tiga dimensi
dimana suatu masyarakat terbagi dalam suatu susunan atau stratifikasi, yaitu
kelas, status dan kekuasaan. Konsep kelas, status dan kekuasaan merupakan
pandangan yang disampaikan oleh Max Weber (Beteille, 1970).
Kelas dalam pandangan Weber merupakan sekelompok orang yang
menempati kedudukan yang sama dalam proses produksi, distribusi maupun
perdagangan. Pandangan Weber melengkapi pandangan Marx yang menyatakan
kelas hanya didasarkan pada penguasaan modal, namun juga meliputi
kesempatan dalam meraih keuntungan dalam pasar komoditas dan tenaga
kerja. Keduanya menyatakan kelas sebagai kedudukan seseorang dalam
hierarkhi ekonomi. Sedangkan status oleh Weber lebih ditekankan pada gaya
hidup atau pola konsumsi. Namun demikian status juga dipengaruhi oleh
banyak faktor, seperti ras, usia dan agama (Beteille, 1970).

Berbagai kasus yang disajikan oleh beberapa penulis di depan dapat kita
pahami sebagai bentuk adanya peluang mobilitas sosial dalam masyarakat.
Kemunculan kelas-kelas sosial baru dapat terjadi dengan adanya dukungan
perubahan moda produksi sehingga menimbulkan pembagian dan spesialisasi
kerja serta hadirnya organisasi modern yang bersifat kompleks. Perubahan
tatanan masyarakat dari yang semula tradisional agraris bercirikan feodal
menuju masyarakat industri modern memungkinkan timbulnya kelas-kelas
baru. Kelas merupakan perwujudan sekelompok individu dengan persamaan
status. Status sosial pada masyarakat tradisional seringkali hanya berupa
ascribed status seperti gelar kebangsawanan atau penguasaan tanah secara
turun temurun. Seiring dengan lahirnya industri modern, pembagian kerja dan
organisasi modern turut menyumbangkan adanya achieved status, seperti
pekerjaan, pendapatan hingga pendidikan.

Teori inkonsistensi status telah mencoba menelaah tentang adanya


inkonsistensi dalam individu sebagai akibat berbagai status yang diperolehnya.
Konsep ini memberikan gambaran bagaimana tentang proses kemunculan
kelas-kelas baru dalam masyarakat sehingga menimbulkan perubahan
stratifikasi sosial yang tentu saja mempengaruhi struktur sosial yang telah ada.

Apabila dilihat lebih jauh, kemunculan kelas baru ini akan menyebabkan
semakin ketatnya kompetisi antar individu dalam masyarakat baik dalam
perebutan kekuasaan atau upaya melanggengkan status yang telah diraih.
Fenomena kompetisi dan konflik yang muncul dapat dipahami sebagai sebuah
mekanisme interaksional yang memunculkan perubahan sosial dalam
masyarakat.

Max Weber (1864-1920), pemikir sosial Jerman, mungkin adalah orang


yang di zamannya paling merasa tertantang oleh determinisme ekonomi Marx
yang memandang segala sesuatu dari sisi politik ekonomi. Berbeda dengan
Marx, Weber dalam karya-karyanya menyentuh secara luas ekonomi, sosiologi,
politik, dan sejarah teori sosial. Weber menggabungkan berbagai spektrum
daerah penelitiannya tersebut untuk membuktikan bahwa sebab-akibat dalam
sejarah tak selamanya didasarkan atas motif-motif ekonomi belaka. Weber
berhasil menunjukkan bahwa ide-ide religius dan etis justru memiliki pengaruh
yang sangat besar dalam proses pematangan kapitalisme di tengah masyarakat
Eropa, sementara kapitalisme agak sulit mematangkan diri di dunia bagian
timur oleh karena perbedaan religi dan filosofi hidup dengan yang di barat
lebih dari pada sekadar faktor-faktor kegelisahan ekonomi atas penguasaan
modal sekelompok orang yang lebih kaya. Kegelisahan teoretis yang sama,
bahwa marxisme klasik terlalu naif dengan mendasarkan segala motif tindakan
atas kelas-kelas ekonomi memiliki dampak besar yang melahirkan teori kritis
dan marxisme baru. Aliran ini dikenal sebagai Mazhab Frankfurt, sebuah
kumpulan teori sosial yang dikembangkan di Institute for Social Research, yang
didirikan di Frankfurt, Jerman pada tahun 1923. Mazhab ini terinspirasi dari
pandangan-pandangan Marx, namun tidak lagi menjelaskan dominasi atas
dasar perbedaan kelas ekonomi semata, melainkan atas otoritas penguasa yang
menghalangi kebebasan manusia. Jika fokus marxisme klasik adalah struktur
ekonomi politik, maka marxisme baru bersandar pada budaya dan ideologi.
Kritisismenya terasa pada kritik-kritik yang dilontarkan atas ideologi-ideologi
yang bersandar pada pendekatan psikolog klasik Austria, psikoanalisisme
Sigmund Freud (1856-1939); tentang kesadaran, cara berfikir, penjajahan
budaya, dan keinginan untuk membebaskan masyarakat dari kebohongan
publik atas produk-produk budaya.

Sosiolog Mazhab Frankfurt Max Horkheimer (1895–1973) dan Theodor


Adorno (1903-1969) membuat landasan instrumental agenda-agenda teoretis
mazhab ini. Analisisnya berkenaan dengan pembedaan antara peradaban barat
dan timur, dan bagaimana peradaban barat telah menyimpang dengan konsep
rasionalitas yang bertujuan untuk menaklukkan dan mengatur alam semesta.
Studi-studi yang mereka lakukan berlandaskan pada hal ini, diikuti oleh
sosiolog Jerman-Amerika, Herbert Marcuse (1898-1979). Dalam
perkembangannya, sosiolog Frankfurt termuda, Juergen Habermas, mengubah
agenda Mazhab Frankfurt menjadi upaya emanisipatoris atas rasionalisme
pencerahan.

Belakangan, pemikiran Mazhab Frankfurt ini telah mempengaruhi banyak


sekali teoretisi sosial yang memfokuskan kritik pada obyek budaya seperti
hiburan, musik, mode, dan sebagainya yang dinyatakan sebagai industri
budaya. Dalam teori kritis atau neo-marxisme ini, sudah tidak ada lagi
determinisme ekonomi dan tak lagi meyakini bahwa kaum miskin (proletar)
akan menjadi agen perubahan sosial, namun bergerak ke kelompok sosial lain,
seperti kaum radikal di kampus-kampus, dan sebagainya. Ini menjadi
keyakinan mereka merupakan agen-agen untuk melakukan transformasi sosial
di kemudian hari.

Hingga hari ini, neo-marxisme masih terus berkembang namun tidak


banyak menuai perkembangan teoretis. Tradisinya hidup di studi-studi budaya,
namun masih memiliki motif yang sama yaitu upaya pembukaan tabir dan
motif-motif kapitalisme di tengah-tengah masyarakat.

Selain kemunculan teoretisi neo-marxis, pergulatan antar kelas ekonomi


menjadi inspirasi pula bagi lahirnya teori konflik. Sosiolog Jerman, Ralf
Dahrendorf, menerangkan konflik kelas dalam masyarakat industrial pada
tahun 1959. Teori ini sangat berbeda dari teori Marx karena ia menganalisis
konflik tanpa memperhitungkan politik ekonomi yang ada (apakah kapitalisme
atau sosialisme). Jika Marx bersandar pada PEMILIKAN alat produksi, maka
Dahrendorf bersandar pada KONTROL atas alat produksi. Dalam terminologi
Dahrendorf, pada masa pos-kapitalisme, kepemilikan akan alat produksi (baik
sosialis atau kapitalis) tidak menjamin adanya kontrol atas alat produksi. Jadi,
di luar Marxisme, ia mengembangkan beberapa terminologi dari Max Weber,
antara lain bahwa sistem sosial itu dikoordinasi secara imperatif melalui
otoritas/kekuasaan.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa teori Dahrendorf melakukan
kombinasi antara fungsionalisme (tentang struktur dan fungsi masyarakat)
dengan teori (konflik) antar kelas sosial. Teori sosial Dahrendorf berfokus pada
kelompok kepentingan konflik yang berkenaan dengan kepemimpinan,
ideologi, dan komunikasi di samping tentu saja berusaha melakukan berbagai
usaha untuk menstrukturkan konflik itu sendiri, mulai dari proses terjadinya
hingga intensitasnya dan kaitannya dengan kekerasan. Jadi bedanya dengan
fungsionalisme jelas, bahwa ia tidak memandang masyarakat sebagai sebuah
hal yang tetap/statis, namun senantiasa berubah oleh terjadinya konflik dalam
masyarakat. Dalam menelaah konflik antara kelas bawah dan kelas atas
misalnya, Dahrendorf menunjukkan bahwa kepentingan kelas bawah
menantang legitimasi struktur otoritas yang ada. Kepentingan antara dua kelas
yang berlawanan ditentukan oleh sifat struktur otoritas dan bukan oleh
orientasi individu pribadi yang terlibat di dalamnya. Individu tidak harus sadar
akan kelasnya untuk kemudian menantang kelas sosial lainnya.

Sebelumnya, Georg Simmel (1858–1918), sosiolog fungsionalis Jerman


juga telah mencoba mendekati teori konflik dengan menunjukkan bahwa
konflik merupakan salah satu bentuk interaksi sosial yang mendasar; berkaitan
dengan sikap bekerja sama dalam masyarakat. Dalam hal ini Simmel mungkin
salah seorang sosiolog pertama yang berusaha keras untuk mengkonstruksi
sistem formal dalam sosiologi yang diabstraksikan dari sejarah dan detil
pengalaman manusia. Analisisnya tentang efek ekonomi uang dalam perilaku
manusia merupakan salah satu pekerjaannya yang penting.

Jika Simmel membedah teori sosial berdasarkan konfliknya, maka


sosiolog konflik Amerika Serikat, Lewis Coser (1913-2003), bertitik berat pada
konsekuensi-konsekuensi terjadinya konflik pada sebuah sistem sosial secara
keseluruhan. Teorinya menunjukkan kekeliruan jika memandang konflik
sebagai hal yang melulu merusak sistem sosial, karena konflik juga dapat
memberikan keuntungan pada masyarakat luas di mana konflik tersebut terjadi.
Konflik justru dapat membuka peluang integrasi antar kelompok.

Di Amerika Serikat, teori konflik muncul menjadi sebuah cabang teoretis


oleh karena ketidaksukaan pada sosiologi fungsionalisme yang berkembang
saat itu. C. Wright Mills, sosiolog Amerika 1960-an mengecam fungsionalisme
melalui kritiknya tentang elit kekuasaan di Amerika saat itu. Perdebatan Mills
dan fungsionalisme ini pada dasarnya menunjukkan bagaimana sosiologi telah
berkarib dengan ideologi. Tuduhan yang paling besar adalah uraiannya tentang
karya Parsons yang bermuatan ideologis dan menurutnya sebagian besar isinya
kosong/hampa. Secara metodologi, Mills lebih mirip dengan mazhab Frankfurt
atas kritiknya pada media massa, pemerintahan, dan militer. Salah satu contoh
proposisinya yang kontroversial adalah bahwa menurutnya di Amerika terjadi
paradoks demokrasi: bentuk pemerintahannya adalah demokrasi namun
seluruh struktur organisasinya cenderung diubah ke bentuk oligarkhi, hanya
sedikit yang memiliki kekuasaan politik.

Dalam sosiologi, teori konflik berdasar pada asumsi dasar bahwa


masyarakat atau organisasi berfungsi sedemikian di mana individu dan
kelompoknya berjuang untuk memaksimumkan keuntungan yang diperolehnya;
secara tak langsung dan tak mungkin dihindari adalah perubahan sosial yang
besar seperti revolusi dan perubahan tatanan politik. Teori konflik ini secara
umum berusaha memberikan kritiknya pada fungsionalisme yang

meyakini bahwa masyarakat dan organisasi memainkan peran masing-


masing sedemikian seperti halnya organ-organ dalam tubuh makhluk hidup.

Ringkasnya, ada sedikitnya empat hal yang penting dalam memahami teori
konfilk sosial, antara lain:

1. kompetisi (atas kelangkaan sumber daya seperti makanan, kesenangan,


partner seksual, dan sebagainya. Yang menjadi dasar interaksi manusia
bukanlah KONSENSUS seperi yang ditawarkan fungsionalisme, namun lebih
kepada KOMPETISI.

2. Ketaksamaan struktural. Ketaksamaan dalam hal kuasa, perolehan yang ada


dalam struktur sosial.

3. Individu dan kelompok yang ingin mendapatkan keuntungan dan berjuang


untuk mencapai revolusi.
4. Perubahan sosial terjadi sebagai hasil dari konflik antara keinginan (interes)
yang saling berkompetisi dan bukan sekadar adaptasi. Perubahan sosial sering
terjadi secara cepat dan revolusioner daripada evolusioner.

Dalam perkembangannya, teori konflik Mills, Dahrendorf, dan Coser


berusaha disusun sintesisnya oleh sosiolog Amerika lain, Randall Collins, yang
berusaha menunjukkan dinamika konflik interaksional. Menurut Collins,
struktur sosial tidak mempunyai EKSISTENSI OBYEKTIF yang terpisah dari pola-
pola interaksi yang selalu berulang-ulang dalam sistem sosial; struktur sosial
memiliki EKSISTENSI SUBYEKTIF dalam pikiran individu yang menyusun
masyarakat. Dalam hal ini, Collins mulai membagi apa yang MIKRO dan apa
yang MAKRO. Mikrososial berarti hubungan interaksi antar individu dalam
masyarakat, sementara makrososial berarti hasil dari interaksi antar individu
dalam masyarakat tersebut.

Collins sangat dipengaruhi tak hanya pendahulunya dalam teori konflik,


namun juga pemikiran teori kritis dan fungsionalisme dan teori pertukaran
sosial. Salah satu contoh yang menarik adalah pendapatnya tentang alat
produksi mental, misalnya pendidikan dan media massa serta alat produksi
emosional seperti tradisi dan ritualisme sosial. Semakin besar kepercayaan
akan senjata-senjata mahal yang dipegang oleh suatu kelompok, semakin
besar pula tentara mengambil bentuk hirarki komando. Di sisi lain, semakin
besar persamaan dalam kelompok disatukan secara seremonial, semakin besar
pula kenderungan agama menekankan ritus-ritus partisipasi massa dan ideal
persaudaraan kelompok. Demikian seterusnya, seolah tercapai pertemuan
antara teori struktur-fungsionalisme, teori konflik, dan interaksionisme symbol.

Jika seluruh teori dan pandangan Karl Marx dan Max Weber tersebut
diterapkan dalam Asas pendidikan Nonformal maka akan memerikan
keuntungan yang signifikan dimana setiap satuan pendidikan luar sekolah akan
dimudahkan pandangannya secara social budaya, tanpa harus di pusingkan
dengan alasan dan peredaan, tetapi ruginya akan terasa manakala program
atau satuan pendidikan nonformal ini tidak dapat menjangkau dan meraih
semua sasaran yang diharapkan karena perbedaan system yang berlaku.
Dimana dan bagaimana perbedaan antara teori-teori sosiologi dan antropologi
dalam kurun waktu Klasik, dan Kontemprer? Mengenai perkembangan teori-
teori sosiologi dan antropologi dalam konteks perkembangan dunia keilmuan
maupun dalam konteks penggunaan praktis!

Max Weber adalah seorang sosiolog besar yang ahli kebudayaan, politik,
hukum, dan ekonomi. Ia dikenal sebagai seorang ilmuwan yang sangat
produktif. Makalah-makalahnya dimuat di berbagai majalah, bahkan ia menulis
beberapa buku. The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1904)
merupakan salah satu bukunya yang terkenal. Dalam buku tersebut
dikemukakan tesisnya yang sangat terkenal, yaitu mengenai kaitan antara Etika
Protestan dengan munculnya Kapitalisme di Eropa Barat.

Sejak Weber memperkenalkannya pada tahun 1905 tesis yang


memperlihatkan kemungkinan adanya hubungan antara ajaran agama dengan
perilaku ekonomi, sampai sekarang masih merangsang berbagai perdebatan
dan penelitian empiris. Tesisnya dipertentangkan dengan teori Karl Marx
tentang kapitalisme, demikian pula dasar asumsinya dipersoalkan, kemudian
ketepatan interpretasi sejarahnya juga digugat. Samuelson, ahli sejarah
ekonomi Swedia, tanpa segan-segan menolak dengan keras keseluruhan tesis
Weber. Dikatakannya dari penelitian sejarah tak bisa ditemukan dukungan
untuk teori Weber tentang kesejajaran doktrin Protestanisme dengan
kapitalisme dan konsep tentang korelasi antara agama dan tingkah laku
ekonomis. Hampir semua bukti membantahnya.

Weber sebenarnya hidup tatkala Eropa Barat sedang menjurus ke arah


pertumbuhan kapitalisme modern. Situasi sedemikian ini barangkali yang
mendorongnya untuk mencari sebab-sebab hubungan antar tingkah laku
agama dan ekonomi, terutama di masyarakat Eropa Barat yang mayoritas
memeluk agama Protestan. Apa yang menjadi bahan perhatian Weber dalam hal
ini sesungguhnya juga sudah menjadi perhatian Karl Marx, di mana
pertumbuhan kapitalisme modern pada masa itu telah menimbulkan
keguncangan-keguncangan hebat di lapangan kehidupan sosial masyarakat
Eropa Barat. Marx dalam persoalan ini mengkhususkan perhatiannya terhadap
sistem produksi dan perkembangan teknologi, yang menurut beliau akibat
perkembangan itu telah menimbulkan dua kelas masyarakat, yaitu kelas yang
terdiri dari sejumlah kecil orang-orang yang memiliki modal dan yang dengan
modal yang sedemikian itu lalu menguasai alat-alat produksi, di satu pihak dan
orang-orang yang tidak memiliki modal/alat-alat produksi di pihak lain.
Golongan pertama, yang disebutnya kaum borjuis itu, secara terus menerus
berusaha untuk memperoleh untung yang lebih besar yang tidak di gunakan
untuk konsumsi, melainkan untuk mengembangkan modal yang sudah mereka
miliki.

Muncul dan berkembangnya Kapitalisme di Eropa Barat berlangsung


secara bersamaan dengan perkembangan Sekte Calvinisme dalam agama
Protestan. Argumennya adalah ajaran Calvinisme mengharuskan umatnya untuk
menjadikan dunia tempat yang makmur. Hal itu hanya dapat dicapai dengan
usaha dan kerja keras dari individu itu sendiri.

Ajaran Calvinisme mewajibkan umatnya hidup sederhana dan melarang segala


bentuk kemewahan, apalagi digunakan untuk berpoya-poya. Akibat ajaran
Kalvinisme, para penganut agama ini menjadi semakin makmur karena
keuntungan yang mereka perolehnya dari hasil usaha tidak dikonsumsikan,
melainkan ditanamkan kembali dalam usaha mereka. Melalui cara seperti itulah,
kapitalisme di Eropa Barat berkembang. Demikian menurut Weber.

Tindakan, Kelas, dan Status Sosial

Sosiologi menurut Weber adalah suatu ilmu yang mempelajari tindakan


sosial. Tidak semua tindakan manusia dapat dianggap sebagai tindakan sosial.
Suatu tindakan hanya dapat disebut tindakan sosial apabila tindakan tersebut
dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang lain dan berorientasi
pada perilaku orang lain.

Suatu tindakan adalah perilaku manusia yang mempunyai makna subjektif bagi
pelakunya. Sosiologi bertujuan untuk memahami (verstehen) mengapa tindakan
sosial mempunyai arah dan akibat tertentu, sedangkan tiap tindakan
mempunyai makna subjektif bagi pelakunya, maka ahli sosiologi yang hendak
melakukan penafsiran bermakna, yang hendak memahami makna subjektif
suatu tindakan sosial harus dapat membayangkan dirinya di tempat pelaku
untuk dapat ikut menghayati pengalamannya. Hanya dengan menempatkan diri
di tempat seorang pekerja seks atau mucikari misalnya, seorang ahli sosiologi
dapat memahami makna subjektif tindakan sosial mereka, memahami mengapa
tindakan sosial tersebut dilakukan serta dampak dari tindakan tersebut.

Weber mendefinisikan kelas sebagai sekelompok orang. Pandangan lain


menyatakan bahwa kelas tidak hanya menyangkut orang-orang tertentu yang
terlibat langsung dalam kegiatan ekonomi, tetapi mencakup pula keluarga
mereka. Hal ini mencerminkan pandangan bahwa kedudukan seorang anggota
keluarga dalam suatu kelas terkait dengan kedudukan anggota keluarga lain.
Kadang-kadang seorang anggota keluarga dapat memperoleh status yang sama
atau bahkan melebihi status yang semula diduduki kepala keluarga. Karena
adanya keterkaitan status seorang anggota keluarga dengan status anggota
yang lain maka bilamana status kepala keluarga naik, status keluarga akan ikut
naik. Sebaliknya penurunan status kepala keluarga akan menurunkan pula
status keluarganya.

Secara ideal sistem kelas merupakan suatu sistem stratifikasi terbuka karena
status di dalamnya dapat diraih melalui usaha pribadi. Dalam kenyataan sering
terlihat bahwa sistem kelas mempunyai ciri sistem tertutup, seperti misalnya
endogami kelas. Pergaulan dan pernikahan, misalnya lebih sering terjadi antara
orang-orang yang kelasnya sama dari pada dengan orang dan kelas lebih
rendah atau lebih tinggi

Simmel dan Konsep Sosiologinya

Simmel, yang mengawali studinya di Universitas Berlin pada tahun 1876,


lulus doktor filsafat tahun 1881 dengan disertasi yang berjudul The Nature of
Matter According to Kant’s Physical Monadology. Ia tidak pernah menjadi dosen
tetap di universitas di Jerman, namun berbagai tulisannya yang brilian sangat
mempengaruhi perkembangan sosiologi. Di Jerman, Simmel berupaya
menanamkan dasar-dasar sosiologinya di mana ia berhadapan dengan konsep
sosiologi yang positivistik yang dikembangkan oleh Comte, serta teori evolusi
yang dikembangkan oleh Spencer. Dalam mengembangkan konsep
sosiologinya, Simmel merujuk kepada doktrin-doktrin atomisme logis yang
dikemukakan oleh Fechner di mana masyarakat lebih merupakan sebuah
interaksi individu-individu dan bukan merupakan sebuah interaksi substansial.
Dengan demikian, sosiologi memfokuskan pada atom-atom empirik, dengan
berbagai konsep dan individu-individu di dalamnya, serta kelompok-kelompok
yang kesemuanya berfungsi sebagai suatu kesatuan. Masyarakat, dalam skala
yang paling luas, justru ditemukan di dalam individu-individu yang melakukan
interaksi. Bagi Simmel, sosiologi haruslah diarahkan untuk merujuk kepada
konsep utamanya yang mencakup bentuk-bentuk sosiasi dari yang paling
umum sampai yang paling spesifik. Bila kita dapat menunjukkan totalitas
berbagai bentuk hubungan sosial dalam berbagai tingkatan dan keragaman,
maka kita akan memiliki pengetahuan yang lengkap mengenai ‘masyarakat’.
Simmel yang berupaya keras untuk memisahkan sosiologi dari psikologi
menganggap bahwa perlakuan ilmiah atas data psikis, tidak secara otomatis
menjadi data psikologis manakala suatu realitas dari studi ilmiah ilmu-ilmu
sosial dianggap sebagai konsep yang berbeda. Di sini, struktur-struktur yang
spesifik di dalam kehidupan sosio-kultural yang sangat kompleks harus
dihubungkan kembali, tidak saja dengan berbagai interaksi sosial tetapi juga
dengan berbagai pernyataan psikologis. Jadi, sosiologi harus membatasi diri
dari hal-hal yang bermakna psikologis. Sosiologi harus jauh melampui
pemikiran-pemikiran yang bermakna psikologis dengan melakukan abstraksi-
abstraksinya sendiri.

Interaksi sebagai Konsep Dasar Sosiologi Simmel

Teori yang dikemukakan Simmel mengenai realitas sosial terlihat dari


konsepnya yang menggambarkan adanya empat tingkatan yang sangat
mendasar. Pertama, asumsi-asumsinya yang merujuk kepada konsep-konsep
yang sifatnya makro dan menyangkut komponen-komponen psikologis dari
kehidupan sosial. Kedua, dalam skala luas, mengungkap masalah-masalah
yang menyangkut berbagai elemen sosiologis terkait dengan hubungan yang
bersifat inter-personal. Ketiga, adalah konsep-konsepnya mengenai berbagai
struktur dan perubahan-perubahan yang terjadi dan terkait dengan apa yang
dinamakannya sebagai spirit (jiwa, ruh, substansi), yaitu suatu esensi dari
konsep sosio-kultural. Keempat, yaitu penyatuan dari ketiga unsur di atas yang
melibatkan prinsip-prinsip kehidupan metafisis individu maupun kelompok.
Menurut Simmel, ada tiga elemen yang masing-masing ‘menempati’
wilayahnya sendiri di dalam sosiologi yang terkait dengan tingkatan-tingkatan
realitas sosial. Elemen pertama adalah apa yang dijelaskannya sebagai sosiologi
murni (pure sociology), di mana variabel-variabel psikologis dikombinasikan
dengan bentuk-bentuk interaksi. Konsepnya yang dianggap bersifat mikro
adalah yang menyangkut bentuk-bentuk (forms) di mana interaksi yang terjadi
di dalamnya melibatkan berbagai tipe (types) dan ini menyangkut individu yang
terlibat di dalam interaksi itu. Elemen kedua adalah sosiologinya yang bersifat
umum dan terkait dengan produk-produk sosio-kultural dari sejarah manusia.

Sedangkan elemen ketiga adalah konsepnya mengenai sosiologi filsafat


yang terkait dengan pandangan-pandangannya menyangkut konsepsi dasariah
(hukum) alam serta takdir manusia. Untuk mengatasi masalah-masalah
interrelasi di antara tiga tingkatan dari realitas sosial itu, Simmel melakukan
pendekatan dialektik seperti yang terdapat di dalam ajarannya Marx, meskipun
tujuannya berbeda. Dengan pendekatan ini, Simmel berupaya menyatukan fakta
dan nilai, menolak ide-ide yang memisahkan antara berbagai fenomena sosial,
memfokuskan pada kurun waktu masa lalu dan masa yang akan datang, serta
sangat memperhatikan konflik dan kontradiksi. Simmel mewujudkan komitmen
atas konsep-konsepnya melalui cara (berpikir) dialektis, dengan selalu
mengkaji berbagai hubungan yang ada, dan selalu merujuk kepada konsep
dualisme yang menggambarkan konflik dan kontradiksi.

Kebanyakan karya yang membicarakan sejarah teori antropologi terjebak


dalam dua hal.Pertama, logika bahwasanya sejarah selalu melekat pada tokoh,
sehingga tokoh-tokoh ini secara disadari atau tidak menjadi sosok yang lebih
menonjol daripada unsur-unsur pemikiran teoritisnya sendiri. Narasi riwayat
pemikiran teori lebih menonjol daripada pemikiran teori itu sendiri. Sebagai
contoh, tulisan-tulisan dengan ciri intrinsik semacam itu

antara lain adalah Honigmann (1976), Bohannan dan Glazer (1976), Garbarino
(1980), dan untuk Indonesia, Koentjaraningrat (1990). Kedua, para penulis
sejarah teori berupaya lebih menampilkan pemikiran teori ketimbang sosok
tokoh, namun tak mampu mengendalikan diri untuk tidak berpihak pada suatu
arus pemikiran tertentu. Maka, sebagai contoh, pemikiran yang diwarnai
materialisme kebudayaan kental dalam Harris (1976), atau pemikiran Marx yang
anti evolusionisme begitu kentara dalam buku Layton (1997) sendiri.

Seperti dikemukakan di atas, tulisan Layton (1997) ini dapat dimasukkan


ke dalam
kecenderungan yang kedua, meski ada upaya yang keras dari penulis ini untuk
tidak terlibat dalam bias perspektif itu. Barangkali secara tidak disadari, ia
justru beberapa kali menyebutkan ‘pentingnya bersikap netral’ dalam
menanggapi teori (lihat misalnya, hal. 18, 46, 156, 209), suatu sikap yang
ternyata tidak secara konsisten ia jalankan. Namun, ulasan sejarah teori dari
Layton termasuk langka karena kemauan dan kesungguhannya untuk
menempatkan setiap teori dan tokoh yang membangun dan
mengembangkannya dalam konteks individual tokoh yang bersangkutan. Agar
terhindar dari penonjolan sosok tokoh, Layton memberi judul bukunya An
Introduction to Theory in Anthropology, ketimbang ‘Sejarah Teori Antropologi’
sebagaimanakita temukan dalam buku-buku lain.

Mengenai kegandrungannya menempatkan setiap teori dalam konteks


jelas tergambar dalam contoh ketika membicarakan pemikiran Thomas Hobbes,
antara lain: [‘Hobbes yang pernah menjadi penasehat calon Raja Charles II,
mengalami sendiri kekacauan akibat Perang Sipil Inggris dan mempertanyakan
apa sebenarnya yang mengikat suatu masyarakat sehingga tetap bersatu.
Bertentangan dengan komunalisme primitif dari Levellers, Hobbes
mengemukakan kondisi yang berlawanan terhadap kehidupan sosial sebagai
suatu ketidakteraturan yang bersifat random, di mana orang berusaha
menyelamatkan diri sendiri dengan cara mengontrol orang lain. Kondisi
semacam itu barangkali adalah perang antara setiap orang (every man war)’,
hal. 4-5]. Hal yang sama juga dilakukannya ketika membahas Herbert Spencer
(evolusionisme) yang dipertentangkan dengan Karl Marx (revolusionisme) yang
dipandangnya sebagai dua tokoh yang memiliki lingkungan personal berbeda
dalam melihat gejala social

Meski Layton berusaha bersikap netral dalam memandang teori, tak


urung—sekurangkurangnya secara implisit—ia sangat mengapresiasi
antropologi sosial. Tak jelas apakah apresiasi itu diwariskan oleh tradisi British
Anthropologist, atau pengaruh Marx yang demikian kuat. Selain itu, ia juga
sangat concern dengan perkembangan penuh perdebatan dan kendala
metodologis yang muncul dalam dekade terakhir mengenai kebudayaan, yakni
suatu persoalan yang ramai dibicarakan para ahli antropologi secara intern
dalam konteks yang dinamai arus postmodernisme itu (misalnya, Clifford dan
Marcus 1986; Tyler 1986; Marcus dan Fischer 1986; Derrida 1978; Foucault
1978; Bourdieu 1977; Crapanzano 1986; Geertz 1988; Rosaldo 1986). Untuk
itu, Layton menulis satu bab khusus (Bab 7) mengenai Postmodernisme dan
antropologi dengan sikap metodologis yang banyak dipengaruhi Derrida
(1978), dan (tentu saja) Marx. Dalam buku ini, meski nama-nama tetap melekat
pada pemikiran (dan memang seharusnya demikian), ada upaya maksimum
untuk menempatkan analisis pada posisi yang lebih penting.

Seperti dikemukakan di atas, Layton menempatkan setiap teori dalam


konteksnya—bahwa teori selalu terikat dengan masalah-masalah yang dihadapi
masyarakat yang bersangkutan. Akan tetapi, Layton tak selalu konsisten.
Karena apabila di satu pihak ia berupaya netral dalam menganalisis setiap teori,
di pihak lain ia nampak kurang setuju dengan alur pemikiran evolusionisme
dan difusionisme, sehingga tema ini kurang memperoleh perhatian
sebagaimana seharusnya. Padahal, bukankah pemikiran teoritis evolusionisme
ini pernah dominan dalam sejarah antropologi, khususnya pada abad lalu?
Sebagai sebuah buku pengantar teori antropologi, Layton semestinya
memberikan porsi perhatian yang cukup besar pada persoalan teoritis
evolusionisme itu. Apalagi arus pemikiran struktural-fungsionalisme, sebagai
suatu pemikiran teoritis besar dalam antropologi hingga tahun 1960an, banyak
berhutang budi pada pemikiranpemikiran
evolusionisme Herbert Spencer dan Darwin, dua tokoh yang membangun aliran
pemikiran tersebut

Tak demikian halnya perlakuan Layton terhadap pemikiran Marx. Ia


berpendapat bahwa pemikiran Marx menjadi penting dan berpengaruh dalam
antropologi tatkala para antropolog bergeser dari kajian struktur sosial
Durkheim dan Radcliffe-Brown ke proses sosial. Konsekuensi logis dari proses
sosial adalah menempatkan kekuasaan sebagai konsep kunci, dan pada saat
yang sama menyingkirkan konsep evolusi sosial dan struktur sosial yang statis.
Dalam hal ini Layton nampaknya cukup kuat dipengaruhi oleh trend antropologi
masa kini yang mempertanyakan dan mengevaluasi kembali beberapa
persoalan mendasar dalam teori dan metodologi, seperti misalnya,
representativitas kebudayaan, etnografi, model versus deskripsi, polemik dan
etik dalam kajian antropologi.

Karena itu, jelaslah keberpihakan Layton pada pemikiran yang


berorientasi pada perubahan sosial (khususnya, perubahan yang cepat, yang
tak lain adalah implikasi Marx). Selain itu, apresiasi terhadap Marx juga analog
dengan orientasi kuat pada dinamika hubungan-hubungan sosial, baik dalam
bentuk kelompok maupun jaringan sosial yang secara metodologis dapat
diterjemahkan sebagai konkretisasi poststrukturalis, suatu ciri yang oleh Layton
sendiri disebut paradigma baru antropologi sosial.

Pembahasan mengenai Fungsionalisme, Strukturalisme, Teori


Interaksionis, Antropologi Marxis, dan Sosioekologi adalah pengulangan-
pengulangan linear yang lazim kita temukan dalam kebanyakan buku sejarah
teori antropologi lainnya (lihatlah misalnya, Applebaum 1987; Barrett 1986;
Bohannan 1988; Lett 1994). Dalam uraian mengenai Fungsionalisme,
pembahasan dengan contoh-contoh kekerabatan dan organisasi sosial
sebagaimana lazim ditemukan dalam buku sejarah teori antropologi lain masih
ditemukan secara menonjol. Sebuah tambahan yang berarti adalah semakin
pentingnya kedudukan cara pandang yang relatif baru dalam antropologi
mengenai hubungan-hubungan sosial, yakni jaringan sosial, baik dalam
konteks strukturalfungsionalisme, analisis struktural, maupun
poststrukturalisme.

Seperti halnya evolusionisme, teori-teori simbolisme dan kognisi juga


hilang dalam pembahasan Layton dengan alasan yang tidak jelas. Tersirat, ia
mereduksi kedua arus pemikiran teori yang penting ini dalam pembahasan
mengenai Strukturalisme (Bab 3) tanpa argumentasi metodologi yang
seharusnya ada. Layton menyebut bukunya sebuah pengantar teori antropologi
agar terhindar dari konsekuensi narasi berdasarkan urutan kesejarahan, dan
sebaliknya lebih mementingkan pemikiran teori. Di berbagai tempat kita
menemukan upaya yang kuat untuk menjelaskan etiologi dan epistemologi
teori; pembentukan, diferensiasi, divergensi, dan konvergensinya. Metode
pembahasan seperti ini masih langka dalam uraian-uraian mengenai sejarah
teori antropologi terdahulu. Kelebihan inilah yang membuat buku ini menjadi
penting bagi para pengkaji antropologi.

Pengaruh sosiologi Eropa memang juga menggali dan dari pemikir-


pemikir falsafah a.l. Bapak Sosiologi August Comte (1798-1857). Pendekatan
yang agak ethno-Antropologis tercermin juga dalam buku E. Durkheim tentang
agama, tetapi buku-buku lain seperti mengenai “Pembagian Kerja” (1966) dan
“Bunuh Diri” sudah jelas dikarang dalam konteks makro sosiologi. Memang
penyebaran theori-theori klasik Sosiologi di Indonesia tidak terlalu luas, nama-
nama seperti P. Sorokin, M. Weber, Znaniecki, Marx, Von Wiese, G. Simmel, T.
Shanin dan banyak lagi kurang mengisi bahan kuliah para dosen.

Sejak pertengahan 1950-an Indonesia mulai mengirimkan mahasiswa


untuk berbagai ilmu sosial keluar negeri, tetapi ada kecenderungan lebih
banyak  ke Amerika Serikat daripada ke Eropa. Antara lain Soedjito Djojohardjo
dikirim ke Inggris, tetapi lebih banyak lagi yang belajar di Amerika dan
menghasilkan thesis Ph.D. seperti Prof. Selo Soemardjan, Mely Tan APU, Prof.
Hasyah Bachtiar (hanya sebentar di Universitas Amsterdam sebelum ke Harvad)
dan lain-lain.

Perlu dipahami bahwa pengembangan dan perkembangan theori yang


digubah pakar Sosiologi tidak terlepas dari kejadian-kejadian besar dalam
masyarakat dan pengaruh-pengaruhnya kepada pemikir / ilmuwan yang
kemudian menerima sejumlah assumsi yang mendasari theori. Demikian
keperluan pemerintah jajahan di Hindia Belanda mendorong ilmuwan
menelusuri adat kebiasaan suku-suku bangsa di Nusantara. Pengertian yang
diperoleh mengarahkan kebijaksanaan sedemikian rupa sehingga mereka yang
dijajah tidak menimbulkan penolakan atau pembangkangan yang terlalu kuat.

Dalam masa 1800-1825, dibawah pengaruh tumbuhnya kaum borjuis di


Eropa dan awal industrialisasi yang menimbulkan / menyuburkan “budaya
utilitarianisme” sosiologi seakan-akan hanya mempelajari gejala-gejala yang
tersisa (unfinished business) dalam perjalanan revolusi industri. A. Gouldner
(1973:92) mendeskripsikannya dalam kalimat “Sociology made the residual,
Social, Element its sphere”. Jadi ranah sosiologi seakan-akan dipisah dari
perkembangan ekonomi dan teknologi.

Baru sekitar pertengahan abad ke-19 sosiologi, ekonomi dan politik


(Marx, 1848) mulai difahami sebagai bidang-bidang ilmu yang saling terjalin.

“Sociology thus remains concerned with society as a “whole” as some kind of


totality, but it now regards itself as responsible only for one dimension of this
totality. Society has been parceled out analytically (Tj. Only) among the various
social sciences. From this analytic standpoint, sociology is indeed, concerned
with social systems or society as a “whole”, but only as it is a social whole”.
(Gouldner, 1973:94)

Theori dalam ilmu sosial pun mencari keteraturan perilaku manusia serta
pemahaman dan sikap yang mendasarinya. Karena keadaan masyarakat yang
berubah-ubah, pemahaman, sikap dan perilaku warga / pelaku social pun
dapat berubah. Memang perubahaan sosial bisa bersifat makro, tetapi juga bisa
lebih mikro mencakup kelompok-kelompok masyarakat yang relatif lebih kecil
dari satu bangsa, atau kumpulan bangsa-bangsa. Theori juga mengandung
sifat universalitas, artinya dapat berlaku di lain masyarakat yang mana saja,
walaupun sering dibedakan atara Grand Theory dan theori yang cakupannya
tidak seluas itu.

Theori August Comte, Karl Marx dan beberapa theory Max Weber dapat
digolongkan ke Grand Theory, sedangkan theori Parson relatif mikro karena
melepaskan diri dari kerangka sejarah dan memfokuskan analisnya pada sistem
sosial dan struktur, lebih khusus dalam masyarakat Amerika Serikat.

Seorang ahli Sosiologi Alwin Gouldner (1971) yang bersifat kritis dan
menulis buku berjudul “The Coming Crisis of Western
Sociology” mengungkapkan bahwa Talcott Parsons menghasilkan “Academic
Sosiology” dimasa Amerika Serikat mengalami krisis ekonomi yang dahsyat
(1930), bahkan aliran tersebut kemudian mempengaruhi di luar A.S.

Parsons juga mencoba mencari penyelesaian lebih prgamatis dalam


zamannya yang pemikirannya membuahkan theori “Social System”. Ini sebanya
theori tesebut juga mempengaruhi pengajaran dan pemahaman sosiologi, yang
waktu tahun 1930-an menarik banyak penganut pakar Sosiolog di luar AS.
Bahkan sedemikian rupa sehingga menggusur theori-theori sosiologi dalam
tradisi Eropa, seperti Max Weber, Karl Mannheim dan lain-lain yang tidak
mengesampingkan dimensi falsafah dan sejarah. Jadi boleh dikatakan sosiologi
Meso timbul dengan theori Parsons, tetapi dengan mengorbankan faktor
“dinamika” (perubahan sosial makro yang ciri Sosiologi Eropa) dengan
mengunggulkan “Struktur dan Fungsi”.

Akibat pengaruh Amerika Serikat sebagai negara adidaya setelah 1950


yang terus meluas setelah perang dunia kedua, theori Sosiologi dinegara
berkembang pun terpengaruhi, karena menekuni masalah yang tidak
melampaui batas “nation state”. Negara-negara baru dengan kesadaran
nasional yang tinggi ingin mengatur struktur kelembagaan dalam masyarakat
masing-masing.

Sekarang di Indonesia mulai terasa adanya dilemma, karena “ nation state”


belum mantap sudah timbul Globalisasi yang pasti merubah pengelompokan
dan perilaku-perilaku sosial yang lebih universal.

REORIENTASI SOSIOLOGI INDONESIA

Baik lahirnya “nation state” Indonesia di pertengahan abad ke-20 dan


pembangunan nasional yang digalakkan selama periode pemerintahan Orde
Baru merangsang tumbuhnya theori struktur dan fungsi Parsons. Bukan saja
pragmatik (non-dinamika) yang dipentingkan karena tujuannya adalah
pertumbuhan ekonomi, tetapi juga kurang mengulas perubahan sosial dan
konflik. Perubahan struktur sosial yang sebenarnya di Indonesia akan dimulai
tahun 1960 dengan mengatur agraria, berhenti tetapi itu (1965) dan kemudian
andalannya adalah menumbuhkan klas menengah. Sering dikatakan bahwa klas
menengah merupakan prasyarat untuk pertumbuhan demokrasi maupun
ekonomi.

Dialektika dalam masyarakat yang mengandung potensi konflik , antara


sentralisme politik dan arus kebebasan generasi muda yang tertekan, meletus
waktu krisis 1997 dan Reformasi 1998 sampai menggoncangkan sendi-sendi
masyarakat.

Gejala-gejala yang sebelumnya latent, sekarang menjadi perhatian


Rakyat, dan aneka elite menjadi faktor yang penting dalam usaha mecapai
konsensus nasional baru.

Mengingat hal-hal tersebut diatas, terasa bahwa buku P. Sorokin


(1928) “Contemporary Sociological Theories” sudah diperluas dengan theori-
theori yang sudah lebih mengintegrasikan beberapa cabang ilmu-ilmu sosial.

Pertautan antara aspek-aspek psikologi misalnya dapat ditemukan dalam buku


R. Presthus (1962) dan D. Riesman dkk. (1961

Analisa-analisa pakar-pakar tersebut diatas menunjukkan pentingnya


dinamika sosial dalam masyarakat modern yang lebih memperkaya imajinasi
sosiologi kita. Jadi di Amerika Serikat setelah T. Parsons timbul mazhab-
mazhab Sosiologi muda yang lebih memahami pentingnya gejala perubahan
dan konflik sosial, yang pada hemat penulis lebih merupakan warisan dari
tradisi Sosiologi Eropa.

Ini dibenarkan oleh a. Gouldner yang menulis dan menyimpulkan


bahwa “Academic Sociology semakin terjalin dengan analisa K. Marx, sehingga
di Amerika misalnya menimbulkan gerakan “New
Left” menentangEstablishment atau di Eropa (Jerman) “Tentara Merah” dengan
tokoh muda Beader Meinhof. Mungkin P.R.D di Indonesia dapat diketegorikan
dalam pemberontakan generasi muda seperti itu, yang sudah jenuh dengan
elite Orde Baru di Jepang pun ada gerakan-gerakan serupa.

Pemberontakan menentang tradisi dan pemikiran generasi “arrive” yang


kolot oleh generasi muda selalu akan timbul dalam masyarakat manusia
sebagai terjadi tahun 1945, sebentar di tahun 1965 dan dewasa ini sejak tahun
1998. Dalam  arti yang lebih murni memang paradigma yang umum dianut
sarjana Sosiologi di Indonesia perlu dirubah. Kalau di Zaman Orde Baru sukar
untuk menganalisa secara terbuka gejala stratifikasi sosial dan konflik antara
Klas, sekarang sudah lebih bisa diterima, karena memang gejalanya sudah ada
sejak zaman penjajahan sekalipun.

Struktur feodal memang berlapis-lapis dan eksploatasi jelas sudah ada.


Jadi perlu reorientasi sosiologi untuk banyak ilmuwan Sosiologi dan cedekiawan
yang memperhatikan perkembangan kebudayaan karena keadaan sudah
berubah. Tantangan bukan hanya ada di dalam negeri, tetapi sekaligus juga
dalam hubungan kita dengan negara dan bangsa, bukan saja yang geografis
menjadi tetangga kita, tetapi juga dengan negara-negara sebenua, bahkan di
benua lain.

Satuan pelaku sosial bukan saja lagi“nation state” tetapi komunitas


negara atau bangsa yang sudah melintasi batas nation-state. Mazhab-mazhab
agama menjadi salah satu ilustrasi jelas, tetapi juga “pendukung pelestarian
alam dan lingkungan, serta perjuangan untuk “Hak Azasi Manusia” dan
“Gender” dapat segera difahami sebagai komunitas besar yang menjadi ciri
pengelompokan Global. Sosiologi tidak dapat lagi bertahan dengan membatasi
diri dengan mempelajari “residual social elements seperti pernah digagas oleh
cendekiawan Prancis Saint Simon di awal abad ke-19.

Inilah sebabnya mengapa perlu ada reorientasi Sosiologi di Indonesia;


bukan ekonomi lagi yang akan bertahan sebagai “ The Queen of The Social
Sciences”, tetapi sosiologi yang mengulur tangan kepada cabang-cabang ilmu
Sosial lain dan Humaniora untuk menganalisa dan memecahkan masalah
kemasyarakatan secara terpadu

Penggunaan Media dalam Penerapan Teori Sosiologi

R. Kristiawan sangat benar ketika mengkritik konsep hegemoni yang


dikembangkan oleh Antonio Gramsci, karena wacana Gramsci ternyata tidak
membantu untuk mengerti interdependensi (bukan dependensi!) kultural antara
dunia Barat dan dunia Timur maupun antara dunia Utara dan Selatan. Proses
globalisasi itu memang jauh lebih kompleks.

Gramsci menyimpulkan bahwa budaya Barat sangat dominan terhadap budaya


di negara-negara berkembang, sehingga negara berkembang terpaksa
mengadopsi budaya Barat. Dalam konteks pembangunanisme, konsep Gramsci
memang sangat dekat dengan dasar pemikiran teori dependensi (Cardoso),
termasuk imperialisme struktural (Johan Galtung) dan imperialisme kultural
(Herbert Schiller).

Model-model pembangunan tersebut gagal karena empat


faktor: pertama  , proses diferensiasi di dunia ketiga sendiri, terutama
kesuksesan ekonomi beberapa negara berkembang dengan menggunakan
strategi yang berorientasi pada pasar dunia, justru menentang kesimpulan-
kesimpulan utama teori hegemoni dan dependensi (Rullmann 1996). Kedua  ,
teori-teori tersebut memanfaatkan sebuah perspektif global dan dengan
demikian tidak menyadari adanya ketidakseimbangan sosial, struktur
patrimonial dan eksploitasi di negara-negara berkembang sendiri (Servaes,
1995). Ketiga  , teori hegemoni dan dependensi ternyata gagal dalam
mengusulkan solusi-solusi yang bermanfaat dalam konteks global
(ibid). Keempat, referensi historis yang mengarah kepada masa penjajahan dan
hegemoni ekonomi global sebagai sebab kemacetan perkembangan di sebagian
Dunia Ketiga harus dilihat sebagai hal yang sangat problematis. Perlu kita ingat
bahwa Afghanistan misalnya, yang tidak pernah dijajah oleh negara Barat,
sampai sekarang tetap tidak mampu berkembang, dilihat tidak hanya dari
perspektif model demokrasi Barat.

Bahkan James D. Halloran, salah seorang penasehat komisi MacBride 20


tahun yang lalu, berpendapat bahwa riset terhadap perkembangan di Dunia
Ketiga cenderung justru mempertajam ketergantungan negara-negara
berkembang pada Barat. Lalu dia bertanya, apakah imperialisme kultural dan
imperialisme media diikuti imperialisme penelitian? (Halloran, 1998). Saya pikir,
tidak. Apa gunanya?

Persepsi tentang Antonio Gramsci oleh pakar sosiologi di dunia ketiga


yang sangat positif itu barangkali terjadi karena mereka sering dengan mudah
dan tidak kritis mengadopsi model dan teori sosiologi Barat yang sudah
ketinggalan jaman seperti modernisme, dependensi dan hegemoni. Dengan
demikian, tanggung jawab atas segala kegagalan di Dunia Ketiga bisa dilempar
ke negara-negara maju.
Persetujuan yang benar-benar tulusdengan apa yang ditulis R. Kristiawan
bahwa media massa tidak merupakan ‘alat penguasa untuk menciptakan
reproduksi ketaatan’ ( KUNCI8, 2000). Media massa sebenarnya tidak berdiri
sendiri, melainkan merupakan bagian dari masyarakat. Dalam bahasa teori
sistem sosial yang terus menerus dikembangkan di Jerman, fungsi media massa
adalah memungkinkan pengamatan diri masyarakat (Marcinkowski 1993).
Fungsi media massa sebenarnya bukan ‘merekonstruksikan realitas sosial’,
sebagaimana ditulis oleh Ana Nadhya Abrar, pakar jurnalistik di Universitas
Gadjah Mada (Abrar 1997). Dengan kata lain, media massa merupakan cermin
kebaikan dan keburukan masyarakat, bukan mencerminkan (dalam arti
meng- copy  ) keadaan masyarakat. Media di Indonesia maupun di negara lain
sama parahnya dengan keadaan masyarakat.

Tidak ada gunanya kalau kita terus bertanya, kenapa pemberitaan di


media massa begitu parah? Menurut Niklas Luhmann, sosiolog Jerman,
seharusnya kita bertanya, seberapa parah kondisi masyarakat kita sampai kita
membutuhkan cermin media seperti itu? (Luhmann, 1996)

Dalam konteks ini, maka tidak sepenuhnya kita harus setuju dengan
pengertian Nuraini Juliastuti terhadap media massa dalam kajiannya terhadap
majalah remaja HAI  . Dalam tulisannya “Majalah HAI dan ‘Boyish Culture’”
( KUNCI  8, 2000) ia hendak menjawab pertanyaan “bagaimana sistem operasi
dari konstruksi budaya dan konstruksi sosial itu bekerja membentuk dominasi
ideologi maskulinitas  lewat media massa”.

Pertama  , pertanyaan tersebut tetap tidak terjawab. Akhirnya, bagaimana


sistem itu sebenarnya beroperasi? Kedua  , pertanyaan Nuraini Juliastuti
tampaknya mengandung dua premis pernyataan yang belum terbukti, yaitu
adanya arus informasi yang bersifat satu arah dan adanya dampak media massa
yang cukup berarti terhadap publik.

Sebagian besar pakar cultural studies selama ini masih melihat konsumsi
media massa sebagai proses penciptaan budaya yang berkaitan dengan kuasa
(Ang 1999) dan mengandung bahaya hegemoni Barat (Hepp 1999). Walaupun
demikian, suatu perubahan dalam pengertian cultural studies terhadap media
massa sudah terlihat. Douglas Kellner misalnya menuntut pendekatan
metateoretis dan multiperspektifis dalam menganalisis proses penyampaian
pesan media (Kellner 1999).

Demikian juga pakar-pakar sosiologi yang memanfaatkan potensi teori


sistem sosial pasca-Talcott Parsons. Proses penyampaian pesan dalam ilmu
komunikasi kini dipandang sebagai proses yang dinamis dan transaksional.
Artinya, khalayak juga aktif dalam proses tersebut. Publik tidak tinggal diam
dan menerima pesan-pesan media massa begitu saja, melainkan paling tidak
memilih pesan yang layak diterima. Sebaliknya, media juga sangat tergantung
pada nilai-nilai kultural masyarakat pada umumnya.

Bila kita mau menyalahkan media massa atas perkembangan masyarakat


yang tidak memuaskan itu, seharusnya kita membuktikan bahwa ada kenyataan
murni yang bersifat universal ( the truth out there  ), dan kita sebagai individu
dapat mengamatinya dengan hasil yang sama. Akan tetapi, apa yang kita alami
sebagai realitas itu hanya merupakan hasil konstruksi atau kognisi kita sendiri
yang berdasarkan pengamatan atas realitas. Tentunya, ‘kenyataan’ Anda
berbeda dengan ‘kenyataan’ saya walaupun kita mengamati realitas murni.
Kesimpulan kita berbeda karena cara pengamatan yang dipakai tidak sama
(Luhmann 1990).

Dengan demikian muncul pertanyaan, apakah layak bila kita sebagai ilmuwan
menuntut media massa untuk mengkonstruksi realitas dengan cara
pengamatan kita? Tentu tidak! Seorang peneliti mengamati realitas sosial
dengan maksud mendapatkan kebenaran.  Seorang wartawan mengamati
realitas dengan maksud membuat berita yang relevan dan informatif buat
pembacanya.

Walaupun demikian, kita sebagai peneliti tetap dapat meneliti dan terus
mengkritik media massa. Akan tetapi, bila kita memanfaatkan pendekatan
ontologis dan normatif dalam analisis media, maka posisi ilmu komunikasi atau
sosiologi pada umumnya akan berada dalam posisi yang lemah. Kita perlu
melihat media massa sebagai bagian dari masyarakat kita. Jangan kita bertanya
seberapa parah pemberitaan di media massa kita masa kini.Melainkan bertanya,
faktor-faktor apa yang memungkinkan penampakan media yang kurang
memuaskan
Teori Max Weber
1. Max Weber dan Aliran Pemikirannya
Max Weber adalah seorang tokoh besar Sosiologi modern dari Jerman. Beliau hidup pada tahun 1864-1920. Max
Weber mempunyai pendidikan berlatar belakang di bidang hukum. Beliau banyak sekali memberikan kontribusi
khususnya pada perkembangan ilmu Sosiologi yang bersifat klasik. Untuk Sosiologi Hukum, dibahas tentang
ditelaahnya hukum-hukum Romawi,Jerman,Perancis, Anglo Saxon, Yahudi, Islam, Hindu dan bahkan hukum adat
Polinesia. Weber juga menjelaskan tahap-tahap nasionalisasi peradaban Barat beserta faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Dibidang kemasyarakatan, Weber memberikan pendapat tidak ada manfaatnya memecahkan
masalah-masalah masyarakat secara deduktif,yakni dengan bertolak dari prinsip-prinsip rasional. Penyelidikan
empiris diperlukan untuk mengerti masyarakat, strukturnya dan masalah-masalahnya. Artinya disini jika ada masalah
di masyarakat, maka tidak semua masalah tersebut dapat diselesaikan secara normatif. Harus ada suatu pemikiran
empiris dari gejala-gejala yang timbul dalam masyarakat. Jika kita berbicara hukum, maka tidak hukum tidak akan
selamanya bisa sebagai law it is written in the books. Dalam masyarakat perlu adanya law is action. Weber juga
menambahkan bahwa gejala hukum yang timbul dimasyarakat harus diselidiki secara historis-emipiris.

Weber menggambarkan historis Sosiologi hukum seperti berikut, masyarakat dari hidup bersama sederhana ke hidup
bersama yang berbelit-belit dalam zaman modern ini. Selaras dengan itu dibentangkannya perkembangan hukum.
Dikatakannya bahwa mula-mula pembentukan hukum lebih-lebih berdasarkan pada kharisma seorang nabi dalam
bidang hukum. Dalam tahap yang kedua pembentukan hukum menjadi tugas beberapa orang yang berwibawa, yaitu
para sesepuh. Mereka menyusun kaidah-kaidah hukum yang bertolak belakang dari situasi empiris aturan
masyarakat. Dalam tahap yang ketiga pembentukan hukum dicabut dari tangan orang yang berwibawa. Akhirnya
masa modern ini hukum dibentuk secara sistematis oleh orang-orang yang sudah dididik secara formal sebagai
sarjana hukum( Fachjuristen).
Menurut Weber sosiologi hukum harus bersifat naturalistis. Itu berarti bahwa norma-norma hukum harus dipandang
sebagai kenyataan sosial melulu. Maka disini Weber tidak memandang hukum secara normatif.

Beliau juga pernah menyatakan sebagai berikut:

A system of order will be called convetion so far as its validity is externally quaranteed by the probability that
deviation from it within a given social group will result in a relatively general and practically significant reaction of
diappraval. Such an order will be called law when conformity with it is up held by the probability that deviant action
will be met by phycial or psychis sanction aimed to coapel conformnity or to punish disobedience, and applied by a
group of men especially empowered to carry out his function. ( J. Freund di bukunya Soenaryo 1991:24)
Pernyataan diatas yang berarti ” maka suatu alat pemaksa menentukan bagi adanya hukum. Alat pemaksa tersebut
tidak perlu berbentuk badan peradilan sebagaimana yang dikenal di dalam masyarakat yang modern dan komplek.
Alat tersebut dapt berwujud suatu keluarga. Konvensi sebagai mana dijelaskan diatas, juga meliputi kewajiban-
kewajiban akan tetapi tanpa suatu alat pemaksa. Konvensi-konvensi tersebut harus dibedakan dari usage
( kebiasaan) merupakan kemungkinan-kemungkinan adanya unifornitas di dalam orientasi suatu aksi sosial,
sedangkan custom ( adapt istiadat), terjadi apabila suatu perbuatan telah menjadi kebiasaan. Usage merupakan
suatu bentuk perbuatan, sedangkan custom adalah perbuatan yang diulang-ulang didalam bentuk yang sama. Baik
usage maupun custom tidak bersifat memaksa dan orang tidak wajib untuk mengikutinya”.

Selanjutnya didalam teori Max Weber tentang hukum dikemukakan empat type ideal dari hukum, yaitu masing-
masing sebagai berikut :

1. Hukum irrasional dan materiil yaitu dimana pembentuk undang-undang dan hakim mendasarkan
keputusannya semata-mata pada nilai emosional tanpa menunjuk pada suatu kaidahpun
2. hukum irrasioanal dan formil yaitu dimana pembentuk undang-undang dan hakim berpedoman pada kaidah-
kaidah diluar akal, oleh karena didasarkan pada wahyu atau ramalan
3. hukum rasional dan materiil yaitu dimana keputusan-keputusan para pembentuk uundang-undang dan
hakim menunjuk pada suatu kitab suci, kebijaksanaan penguasa atau ideology
4. hukum rasional dan formil yaitu dimana hukum dibentuk semata-mata atas dasar konsep-konsep abstrak
dari ilmu hukum.

1. Kelebihan Aliran Pemikiran Max Weber


Beliau adalah seorang sarjana dalam bidang hukum sehingga dapat menelaah hubungan hukum dengan
masyarakat. Dari sisi ini Max Weber sebagai orang yang menemukan hubungan hukum dengan masyarakat. Serta
dengan pemikiran beliau maka banyak muncul para ahli Sosiologi hukum. Teori Max Weber juga memandang law it
is action. Maka Weber tidak memandang dari Law is written in the book. Beliau juga bisa membedakan antara
kebiasaan dan konvensi. Banyak orang yang mengartikan keduanya sama. Tetapi disini Weber bisa
membedakannya. Yang paling penting kelebihan dari teori Max Weber adalah obyek kajian dari Weber adalah pola
tingkah laku masyarakat. Sehingga setiap masyarakat akan memiliki struktur dan penerapan hukum yang berbeda
antara satu dengan yang lain.
1. Kekurangan aliran Pemikiran Max Weber
Teori Max Weber walaupun seoarang ahli yang berjasa pada Sosiologi modern tetapi teori-teori yang disampaikan
merupakan teori-teori klasik sehingga banyak teori yang tidak cocok dengan keadaan modern. Selain itu Weber tidak
mengakui hukum secara normatif. Padahal dalam konsep hukum, selain bersumber dari gejala sosial masyarakat
juga hukum bersifat normatif. Jika salah satu tidak ada, maka implementasi dari suatu hukum akan tidak sempurna.
Selain itu weber hanya memandang norma sebagai kenyataan di masyarakat saja. Jika tidak ada kelakuan dari
masyarakat maka tidak ada norma yang berlaku.

1. Kontribusi bagi Sosiologi Hukum


1. Max Weber menemukan hukum yang terjadi dari gejala sosial yang kemudian sebagai pedoman perilaku
masyarakat
2. Membedakan arti hukum formil dan materiil
3. Mengkrititsi kelemahan berbagai hukum secara normatif karena beliau bukan penganut aliran normatif
4. Menjelaskan teori birokrasi di masyarakat
5. Menjelaskan konsep berorganisasi/hidup bermasyarakat

You might also like