Professional Documents
Culture Documents
ABSTRACT
Every organization has to know organization communication’s theory, classical or contemporary, in order
to know how effective the communication’s programs, activities, and their ways to choose the best for
their order’s existan ce. Birocration Theory by Max Weber is one of the organization communication’s
theory, which still exist and has a big influent in the classical theories of organization communication’s
field, until now.
PENDAHULUAN
Terminologi organisasi berasal dari bahasa Latin organizare, yang secara harafiah berarti paduan dari
bagian-bagian yang satu sama lainnya saling bergantung. Di antara para ahli ada yang menyebut paduan
tersebut sebagai sistem, ada juga yang menamakannya sarana.
Korelasi antara ilmu komunikasi dengan organisasi terletak pada peninjauannya yang terfokus kepada
manusia-manusia yang terlibat dalam mencapai tujuan organisasi itu. Ilmu komunikasi mempertanyakan
bentuk komunikasi apa yang berlangsung dalam organisasi, metode dan teknik apa yang dipergunakan,
media apa yang dipakai, bagaimana prosesnya, faktor-faktor apa yang menjadi penghambat, dan
sebagainya. Jawaban-jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah untuk bahan telaah untuk
selanjutnya menyajikan suatu konsepsi komunikasi bagi suatu organisasi tertentu berdasarkan jenis
organisasi, sifat organisasi, dan lingkup organisasi dengan memperhitungkan situasi tertentu pada saat
komunikasi dilancarkan.
Ketika memasuki ranah teori Komunikasi Organisasi ataupun disiplin ilmu-ilmu lainnya, kita akan
dihadapkan pada berbagai perspektif dengan berbagai mahzab yang akan menentukan pemahaman kita
selanjutnya. Mary Jo Hatch mengajukan empat perspektif yang diklasifikasikan menjadi 2 perspektif
besar, yakni klasik dan kontemporer. Namun tidak menutup kemungkinan akan adanya tafsir yang lain
karena memang masing-masing individu memiliki world of view yang tak semuanya sama.
Pada perspektif klasik, telah dikenal nama besar Max Weber dengan teori birokrasinya, yang meskipun
zaman telah memasuki periode kontemporer, namun teori klasik ini masih tetap memiliki kekuatan yang
besar yang mana praktik-praktiknya dapat kita temukan dalam kehidupan kerja sehari-hari, terutama
perusahaan besar di Indonesia.
PEMBAHASAN
Sebagaimana yang kita ketahui, Mary Jo Hart mengemukakan tafsirnya atas paradigma komunikasi
organisasi dengan mengeluarkan empat perspektifnya, yang dirangkum kembali menjadi dua perspektif
besar, yakni klasik dan kontemporer. Teori Birokrasi Max Weber merupakan salah satu teori besar dalam
perspektif klasik. Selain itu, terdapat Teori Manajemen Ilmiah (Taylor) dan Penerimaan Kewenangan
(Barnard).
Menurut observasi beberapa pakar komunikasi, konsep organisasi sebenarnya telah berkembang cukup
lama, yakni mulai abad 20. Konsep-konsep inilah yang sekarang dikenal sebagai teori klasik (classical
theory) atau terkadang beberapa orang mengenalnya sebagai teori tradisional.
Hingga hari ini, dampak dari teori klasik pada organisasi masih mendominasi. Birokrasi adalah kata kunci
utama yang dapat menghantarkan kita pada pemaknaan praktik classical theory, khususnya Indonesia
yang terkenal dengan keruwetan birokrasinya yang telah membudaya.
Dalam memahami teori organisasi klasik, maka nama besar Weber akan sulit untuk dilepaskan. Tokoh
paradigm interpretatif yang menjadi sangat popular dengan buah pemikirannya, yakni Karakteristik
Organisasi Weberian (Organisasi Formal), akan selalu identik dengan keyword ‘birokrasi’, karena
memang pada konsepnya terdapat konsep birokrasi yang mendetail .
Kata birokrasi mula-mula berasal dari kata legal-rasional. Organisasi disebut rasional dalam hal
penetapan tujuan dan perancangan organisasi untuk mencapai tujuan tersebut. Menurut Weber, bentuk
organisasi birokratik merupakan bentuk yang paling efisien. Dalam teorinya, Weber mengemukakan
sepuluh (10) ciri organisasi1, yaitu:
1. Suatu organisasi terdiri dari hubungan-hubungan yang ditetapkan antara jabatan-jabatan. Blok-blok
bangunan dasar dari organisasi formal adalah jabatan-jabatan.
2. Tujuan atau rencana organisasi terbagi ke dalam tugas-tugas, tugas-tugas tersebut disalurkan di
antara berbagai jabatan sebagai kewajiban resmi (job description).
3. Kewenangan: melaksanakan kewajiban diberikan kepada jabatan (saat resmi menduduki sebuah
jabatan).
4. Garis kewenangan dan jabatan diatur menurut suatu tatanan hierarkhis.
5. Sistem aturan dan regulasi yang umum tetapi tegas yang ditetapkan secara formal, mengatur
tindakan-tindakan dan fungsi-fungsi jabatan dalam organisasi.
6. Prosedur bersifat formal dan impersonal. Perlu adanya catatan tertulis demi kontinuitas,
keseragaman (uniformitas), dan untuk maksud-maksud transaksi.
7. Adanya prosedur untuk menjalankan disiplin anggota.
8. Anggota organisasi harus memisahkan kehidupan pribadi dan kehidupan organisasi.
9. Pegawai yang dipilih utk bekerja berdasarkan kualifikasi teknis.
10. Kenaikan jabatan berdasarkan senioritas dan prestasi kerja.
Sebagai implikasinya, teori Weber pada komunikasi organisasi menunjukkan suatu fenomena yang
disebut komunikasi jabatan (positional communication). Relasionalitas dibentuk antar jabatan, bukan
antar individu. Teori ini juga termasuk dalam tradisi posisisonal2 karena masih berada satu payung kajian
mahzab klasik, selain teori empat system dari Likert.
KESIMPULAN
Pada hakikatnya, teori klasik berpangkal tolak pada struktur, hubungan, fungsi formal kegiatan orang
dalam rangka mencapai tujuan bersama. Teori Birokrasi Max Weber pun tak lepas dari karakteristik
tersebut, karena memang merupakan anggota klasifikasi perspektif besar klasik dalam ranah bahasan
komunikasi organisasi.
Teori perubahan social dan budaya Karl Marx yang merumuskan bahwa
perubahan social dan budaya sebagai produk dari sebuah produksi
(materialism), sedangkan Max weber lebih pada system gagasan, system
pengetahuan, system kepercayaan yang justru menjadi sebab perubahan.
Jika dua pandangan itu digunakan sebagai asas dalam pengembangan program
Pendidikan Nonformal, akan memberikan dampak untung dan rugi, secara
literature hal tersebut disebabkan oleh:
Pembahasan mengenai struktur sosial oleh Ralph Linton dikenal adanya dua
konsep yaitu status dan peran. Status merupakan suatu kumpulan hak dan
kewajiban, sedangkan peran adalah aspek dinamis dari sebuah status. Menurut
Linton (1967), seseorang menjalankan peran ketika ia menjalankan hak dan
kewajiban yang merupakan statusnya. Tipologi lain yang dikenalkan oleh Linton
adalah pembagian status menjadi status yang diperoleh (ascribed status) dan
status yang diraih (achieved status).
Status yang diperoleh adalah status yang diberikan kepada individu tanpa
memandang kemampuan atau perbedaan antar individu yang dibawa sejak
lahir. Sedangkan status yang diraih didefinisikan sebagai status yang
memerlukan kualitas tertentu. Status seperti ini tidak diberikan pada individu
sejak ia lahir, melainkan harus diraih melalui persaingan atau usaha pribadi.
Berbagai kasus yang disajikan oleh beberapa penulis di depan dapat kita
pahami sebagai bentuk adanya peluang mobilitas sosial dalam masyarakat.
Kemunculan kelas-kelas sosial baru dapat terjadi dengan adanya dukungan
perubahan moda produksi sehingga menimbulkan pembagian dan spesialisasi
kerja serta hadirnya organisasi modern yang bersifat kompleks. Perubahan
tatanan masyarakat dari yang semula tradisional agraris bercirikan feodal
menuju masyarakat industri modern memungkinkan timbulnya kelas-kelas
baru. Kelas merupakan perwujudan sekelompok individu dengan persamaan
status. Status sosial pada masyarakat tradisional seringkali hanya berupa
ascribed status seperti gelar kebangsawanan atau penguasaan tanah secara
turun temurun. Seiring dengan lahirnya industri modern, pembagian kerja dan
organisasi modern turut menyumbangkan adanya achieved status, seperti
pekerjaan, pendapatan hingga pendidikan.
Apabila dilihat lebih jauh, kemunculan kelas baru ini akan menyebabkan
semakin ketatnya kompetisi antar individu dalam masyarakat baik dalam
perebutan kekuasaan atau upaya melanggengkan status yang telah diraih.
Fenomena kompetisi dan konflik yang muncul dapat dipahami sebagai sebuah
mekanisme interaksional yang memunculkan perubahan sosial dalam
masyarakat.
Ringkasnya, ada sedikitnya empat hal yang penting dalam memahami teori
konfilk sosial, antara lain:
Jika seluruh teori dan pandangan Karl Marx dan Max Weber tersebut
diterapkan dalam Asas pendidikan Nonformal maka akan memerikan
keuntungan yang signifikan dimana setiap satuan pendidikan luar sekolah akan
dimudahkan pandangannya secara social budaya, tanpa harus di pusingkan
dengan alasan dan peredaan, tetapi ruginya akan terasa manakala program
atau satuan pendidikan nonformal ini tidak dapat menjangkau dan meraih
semua sasaran yang diharapkan karena perbedaan system yang berlaku.
Dimana dan bagaimana perbedaan antara teori-teori sosiologi dan antropologi
dalam kurun waktu Klasik, dan Kontemprer? Mengenai perkembangan teori-
teori sosiologi dan antropologi dalam konteks perkembangan dunia keilmuan
maupun dalam konteks penggunaan praktis!
Max Weber adalah seorang sosiolog besar yang ahli kebudayaan, politik,
hukum, dan ekonomi. Ia dikenal sebagai seorang ilmuwan yang sangat
produktif. Makalah-makalahnya dimuat di berbagai majalah, bahkan ia menulis
beberapa buku. The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1904)
merupakan salah satu bukunya yang terkenal. Dalam buku tersebut
dikemukakan tesisnya yang sangat terkenal, yaitu mengenai kaitan antara Etika
Protestan dengan munculnya Kapitalisme di Eropa Barat.
Suatu tindakan adalah perilaku manusia yang mempunyai makna subjektif bagi
pelakunya. Sosiologi bertujuan untuk memahami (verstehen) mengapa tindakan
sosial mempunyai arah dan akibat tertentu, sedangkan tiap tindakan
mempunyai makna subjektif bagi pelakunya, maka ahli sosiologi yang hendak
melakukan penafsiran bermakna, yang hendak memahami makna subjektif
suatu tindakan sosial harus dapat membayangkan dirinya di tempat pelaku
untuk dapat ikut menghayati pengalamannya. Hanya dengan menempatkan diri
di tempat seorang pekerja seks atau mucikari misalnya, seorang ahli sosiologi
dapat memahami makna subjektif tindakan sosial mereka, memahami mengapa
tindakan sosial tersebut dilakukan serta dampak dari tindakan tersebut.
Secara ideal sistem kelas merupakan suatu sistem stratifikasi terbuka karena
status di dalamnya dapat diraih melalui usaha pribadi. Dalam kenyataan sering
terlihat bahwa sistem kelas mempunyai ciri sistem tertutup, seperti misalnya
endogami kelas. Pergaulan dan pernikahan, misalnya lebih sering terjadi antara
orang-orang yang kelasnya sama dari pada dengan orang dan kelas lebih
rendah atau lebih tinggi
antara lain adalah Honigmann (1976), Bohannan dan Glazer (1976), Garbarino
(1980), dan untuk Indonesia, Koentjaraningrat (1990). Kedua, para penulis
sejarah teori berupaya lebih menampilkan pemikiran teori ketimbang sosok
tokoh, namun tak mampu mengendalikan diri untuk tidak berpihak pada suatu
arus pemikiran tertentu. Maka, sebagai contoh, pemikiran yang diwarnai
materialisme kebudayaan kental dalam Harris (1976), atau pemikiran Marx yang
anti evolusionisme begitu kentara dalam buku Layton (1997) sendiri.
Theori dalam ilmu sosial pun mencari keteraturan perilaku manusia serta
pemahaman dan sikap yang mendasarinya. Karena keadaan masyarakat yang
berubah-ubah, pemahaman, sikap dan perilaku warga / pelaku social pun
dapat berubah. Memang perubahaan sosial bisa bersifat makro, tetapi juga bisa
lebih mikro mencakup kelompok-kelompok masyarakat yang relatif lebih kecil
dari satu bangsa, atau kumpulan bangsa-bangsa. Theori juga mengandung
sifat universalitas, artinya dapat berlaku di lain masyarakat yang mana saja,
walaupun sering dibedakan atara Grand Theory dan theori yang cakupannya
tidak seluas itu.
Theori August Comte, Karl Marx dan beberapa theory Max Weber dapat
digolongkan ke Grand Theory, sedangkan theori Parson relatif mikro karena
melepaskan diri dari kerangka sejarah dan memfokuskan analisnya pada sistem
sosial dan struktur, lebih khusus dalam masyarakat Amerika Serikat.
Seorang ahli Sosiologi Alwin Gouldner (1971) yang bersifat kritis dan
menulis buku berjudul “The Coming Crisis of Western
Sociology” mengungkapkan bahwa Talcott Parsons menghasilkan “Academic
Sosiology” dimasa Amerika Serikat mengalami krisis ekonomi yang dahsyat
(1930), bahkan aliran tersebut kemudian mempengaruhi di luar A.S.
Dalam konteks ini, maka tidak sepenuhnya kita harus setuju dengan
pengertian Nuraini Juliastuti terhadap media massa dalam kajiannya terhadap
majalah remaja HAI . Dalam tulisannya “Majalah HAI dan ‘Boyish Culture’”
( KUNCI 8, 2000) ia hendak menjawab pertanyaan “bagaimana sistem operasi
dari konstruksi budaya dan konstruksi sosial itu bekerja membentuk dominasi
ideologi maskulinitas lewat media massa”.
Sebagian besar pakar cultural studies selama ini masih melihat konsumsi
media massa sebagai proses penciptaan budaya yang berkaitan dengan kuasa
(Ang 1999) dan mengandung bahaya hegemoni Barat (Hepp 1999). Walaupun
demikian, suatu perubahan dalam pengertian cultural studies terhadap media
massa sudah terlihat. Douglas Kellner misalnya menuntut pendekatan
metateoretis dan multiperspektifis dalam menganalisis proses penyampaian
pesan media (Kellner 1999).
Dengan demikian muncul pertanyaan, apakah layak bila kita sebagai ilmuwan
menuntut media massa untuk mengkonstruksi realitas dengan cara
pengamatan kita? Tentu tidak! Seorang peneliti mengamati realitas sosial
dengan maksud mendapatkan kebenaran. Seorang wartawan mengamati
realitas dengan maksud membuat berita yang relevan dan informatif buat
pembacanya.
Walaupun demikian, kita sebagai peneliti tetap dapat meneliti dan terus
mengkritik media massa. Akan tetapi, bila kita memanfaatkan pendekatan
ontologis dan normatif dalam analisis media, maka posisi ilmu komunikasi atau
sosiologi pada umumnya akan berada dalam posisi yang lemah. Kita perlu
melihat media massa sebagai bagian dari masyarakat kita. Jangan kita bertanya
seberapa parah pemberitaan di media massa kita masa kini.Melainkan bertanya,
faktor-faktor apa yang memungkinkan penampakan media yang kurang
memuaskan
Teori Max Weber
1. Max Weber dan Aliran Pemikirannya
Max Weber adalah seorang tokoh besar Sosiologi modern dari Jerman. Beliau hidup pada tahun 1864-1920. Max
Weber mempunyai pendidikan berlatar belakang di bidang hukum. Beliau banyak sekali memberikan kontribusi
khususnya pada perkembangan ilmu Sosiologi yang bersifat klasik. Untuk Sosiologi Hukum, dibahas tentang
ditelaahnya hukum-hukum Romawi,Jerman,Perancis, Anglo Saxon, Yahudi, Islam, Hindu dan bahkan hukum adat
Polinesia. Weber juga menjelaskan tahap-tahap nasionalisasi peradaban Barat beserta faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Dibidang kemasyarakatan, Weber memberikan pendapat tidak ada manfaatnya memecahkan
masalah-masalah masyarakat secara deduktif,yakni dengan bertolak dari prinsip-prinsip rasional. Penyelidikan
empiris diperlukan untuk mengerti masyarakat, strukturnya dan masalah-masalahnya. Artinya disini jika ada masalah
di masyarakat, maka tidak semua masalah tersebut dapat diselesaikan secara normatif. Harus ada suatu pemikiran
empiris dari gejala-gejala yang timbul dalam masyarakat. Jika kita berbicara hukum, maka tidak hukum tidak akan
selamanya bisa sebagai law it is written in the books. Dalam masyarakat perlu adanya law is action. Weber juga
menambahkan bahwa gejala hukum yang timbul dimasyarakat harus diselidiki secara historis-emipiris.
Weber menggambarkan historis Sosiologi hukum seperti berikut, masyarakat dari hidup bersama sederhana ke hidup
bersama yang berbelit-belit dalam zaman modern ini. Selaras dengan itu dibentangkannya perkembangan hukum.
Dikatakannya bahwa mula-mula pembentukan hukum lebih-lebih berdasarkan pada kharisma seorang nabi dalam
bidang hukum. Dalam tahap yang kedua pembentukan hukum menjadi tugas beberapa orang yang berwibawa, yaitu
para sesepuh. Mereka menyusun kaidah-kaidah hukum yang bertolak belakang dari situasi empiris aturan
masyarakat. Dalam tahap yang ketiga pembentukan hukum dicabut dari tangan orang yang berwibawa. Akhirnya
masa modern ini hukum dibentuk secara sistematis oleh orang-orang yang sudah dididik secara formal sebagai
sarjana hukum( Fachjuristen).
Menurut Weber sosiologi hukum harus bersifat naturalistis. Itu berarti bahwa norma-norma hukum harus dipandang
sebagai kenyataan sosial melulu. Maka disini Weber tidak memandang hukum secara normatif.
A system of order will be called convetion so far as its validity is externally quaranteed by the probability that
deviation from it within a given social group will result in a relatively general and practically significant reaction of
diappraval. Such an order will be called law when conformity with it is up held by the probability that deviant action
will be met by phycial or psychis sanction aimed to coapel conformnity or to punish disobedience, and applied by a
group of men especially empowered to carry out his function. ( J. Freund di bukunya Soenaryo 1991:24)
Pernyataan diatas yang berarti ” maka suatu alat pemaksa menentukan bagi adanya hukum. Alat pemaksa tersebut
tidak perlu berbentuk badan peradilan sebagaimana yang dikenal di dalam masyarakat yang modern dan komplek.
Alat tersebut dapt berwujud suatu keluarga. Konvensi sebagai mana dijelaskan diatas, juga meliputi kewajiban-
kewajiban akan tetapi tanpa suatu alat pemaksa. Konvensi-konvensi tersebut harus dibedakan dari usage
( kebiasaan) merupakan kemungkinan-kemungkinan adanya unifornitas di dalam orientasi suatu aksi sosial,
sedangkan custom ( adapt istiadat), terjadi apabila suatu perbuatan telah menjadi kebiasaan. Usage merupakan
suatu bentuk perbuatan, sedangkan custom adalah perbuatan yang diulang-ulang didalam bentuk yang sama. Baik
usage maupun custom tidak bersifat memaksa dan orang tidak wajib untuk mengikutinya”.
Selanjutnya didalam teori Max Weber tentang hukum dikemukakan empat type ideal dari hukum, yaitu masing-
masing sebagai berikut :
1. Hukum irrasional dan materiil yaitu dimana pembentuk undang-undang dan hakim mendasarkan
keputusannya semata-mata pada nilai emosional tanpa menunjuk pada suatu kaidahpun
2. hukum irrasioanal dan formil yaitu dimana pembentuk undang-undang dan hakim berpedoman pada kaidah-
kaidah diluar akal, oleh karena didasarkan pada wahyu atau ramalan
3. hukum rasional dan materiil yaitu dimana keputusan-keputusan para pembentuk uundang-undang dan
hakim menunjuk pada suatu kitab suci, kebijaksanaan penguasa atau ideology
4. hukum rasional dan formil yaitu dimana hukum dibentuk semata-mata atas dasar konsep-konsep abstrak
dari ilmu hukum.