You are on page 1of 15

UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974

DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM


x  
    

Ê 3   

Pelaksanaan atas Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor : 1 tahun 1991,


tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, yang dilakukan oleh para petugas yang
menangani masalah perkawinan, waris dan wakaf dalam kehidupan masyarakat masih
ditemukan berbagai hambatan, hal ini disebabkan para petugas tersubut dan masyarakat
belum banyak memahami menganai Kompilasi Hukum Islam tersebut.

Hal ini disebabkan sosialisasinya yang belum menyentuh banyak pihak termasuk kepada
para petugas yang menangani masalah perkawianan, waris dan wakaf, apalagi
masyaraakat pada umumnya.

Padahal perwujudan pelaksanaan hukum, sangat bergantung kepada tiga pilar hukum
yaitu:

ñÊ Penegak hukum.

Ê Undang-undang atau peraturan hukum

Ê Kesadaran masyarakat terhadap hukum.

alaupun suatu Undang-undang atau Peraturan Hukum sudah diberlakukan sejak


lama, namun penegak hukum/petugas yang menangani masalah hukum tersebut tidak
akan bisa melaksanakan dan menetapkan hukum dengan optimal, bila tidak memahami
Undang-undang atau Peraturan Hukum yang berlaku. Oleh karena itu seyogyanyalah kita
selalu mengikuti perkembangan dan memahami peraturan dan perundang-undangan yang
berlaku, agar kita dalam menerapkan hukum sesuai dan tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kemungkinan diantara kita sebagai petugas yang menangani masalah perkawinan,


waris dan wakaf masih ada yang belum memahami dan mendalami Instruksi Presiden RI
Nomor : 1 tahun 1991 tersebut.

Demikian halnya dengan masyarakat, mereka tidak akan mematuhi dan menaati
hukum, bila tidak memiliki kesadaran hukum, dan masyarakat tidak akan sadar hukum
bila tidak memahami Undang-undang atau peraturan yang berlaku.

Dalam diktat sederhana ini akan disajikan hanya berkisar ³ Hukum Perkawinan ³
yang memuat : Dasar-dasar Perkawinan, Peminangan, Rukun dan syarat Perkawinan,

c 
 
Ê Êñ
Mahar, Larangan kawin, perjanjian dalam perkawinan, Kawin hamil, beristeri lebih dari
satu dll.

Ê    


 
Pasal 1. Yang dimaksud dengan :
Ê Peminangan ialah kegiatan kearah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang
pria dengan seorang wanita.
Ê ali Hakim ialah ali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang
ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewajiban untuk bertindak sebagai wali nikah.
Ê Akad Nikah ialah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan kabul yang diucapkan
oleh mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi..
Ê Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita,
baik berupa barang, uang atau jasa yang btidak bertentangan dengan hukum Islam.

Ê Taklik Talak ialah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah
yang dicantumkan dalam Akta Nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada
suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa yang akan datang.
Ê Harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah antara harta yang diperoleh baik
sendiri-sendiri atau bersama suami isteri selama ikatan perkawinan berlangsung dan
selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama
siapapun.
Ê Pemeliharaan anak atau hadhanah adalah kegiatan mengasuh, memelihara dan
mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri.
Ê Perwalian adalah kewenangan yang diberi kepada seseorang untuk melakukan suatu
perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak, yang tidak
mempunyai kedua orang tua yang masih hidup, tidak cakap melakukan perbuatan
hukum.
Ê Khuluk adalah perceraian yang terjadi atas permintaan isteri dengan memberikan
tebusan atau iwadl dan atas persetujuan suaminya.
Ê Mut¶ah adalah pemberian bekas suami kepada isteri yang dijatuhi talak berupa benda,
uang atau lainnya.

  !"  !#!$%%x


&
'
()
Ô  

c 
 
Ê Ê
Œerdasarkan ketentuan pasal 2 KHI, bahwa pernikahan dilakukan untuk mentaati
perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah, perkawinan bertujuan untuk
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah warrahmah. Demikian
menurut pasal 3.

Pada pasal 4 dijelaskan bahwa perkawinan dianggap sah, bila dilakukan menurut
hukum sesuai dengan pasal 2 ayat (1) UU No 1 tahun 1974 ttg Perkawinan yang berbunyi
D Ô 
     

    
 

    
? Artinya perkawinan seorang muslim atau
muslimah, dianggap sah bila dilakukan menurut hukum Islam, namun bila dilakukan
menurut hukum agama lain, maka perkawinan seorang muslim atau muslimah, dianggap
tidak sah.

Pada Pasal 5 dijelaskan bahwa setiap perkawinan itu harus dicatat oleh Pegawai
Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam UU No 22 tahun 1946 Jo. UU No 32
tahun 1954 dan pada pasal 6 disebutkan bahwa setiap perkawinan harus dilangsungkan
dan dibawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah, maka perkawinan yang dilaksanakan
diluar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah, tidak mempunyai kekuatan hukum.

Oleh karena itu pada pasal 7 dijelaskan, bahwa perkawinan yang sah hanya dapat
dibuktikan dengan Akta Nikah yang dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah. Œila
perkawinan yang dilaksanakan diluar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah dan tidak
dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat mengajukan Itsbat nikah di Pengadilan
Agama. Adapun yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah, suami isteri,
anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.

Pada pasal 8 dijelaskan bahwa putusnya perkawinan selain cerai mati, hanya
dapat dibuktikan dengan surat cerai berupa putusan Pengadilan Agama, baik yang
berbentuk putusan perceraian, ikrar talak, khuluk atau putusan taklik talak. Sedangkan
pada pasal 9 dijelaskan bahwa bila Putusan Pengadilan Agama itu hilang, dapat
dimintakan salinan putusannya kepada Pengadilan Agama ybs.

Pasal 10 menjelaskan tentang rujuk, yaitu hanya dapat dibuktikan dengan Kutipan
Œuku Pendaftaran Rujuk yang dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah.

#*%%+%x
((
'
(,
Ô   :

Œerdasarkan ketentuan pasal 11 KHI, bahwa peminangan dapat langsung


dilakukan oleh orang yang ingin mencari pasangan jodoh, tapi dapat pula dilakukan oleh
perantara yang dapat dipercaya. Artinya seorang pria yang bermaksud menikah dengan

c 
 
Ê Ê
seorang wanita, boleh meminang sendiri wanita yang ia inginkan atau menyuruh orang
lain, misalnya orang tuanya, saudaranya atau temannya dll.

Pada pasal 12 ayat (1) dijelaskan bahwa wanita yang boleh dipinang adalah wanita
yang masih perawan atau janda yangt telah habis masa iddahnya. Maka menurut pasal 12
ayat (2) bahwa wanita yang ditalak suaminya yang masih berada dalam masa iddah
raj¶iyah, haram dan dilarang dipinang. Demikian jua wanita yang sedang dipinang oleh
pria lain, selama pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak
wanita, sebagaimana dijelaskan pada pasal 12 ayat (3).

Artinya seorang wanita yang sedang dipinang oleh seorang pria, boleh dipinang
oleh pria lain, bila sudah putus atau pihak wanita menolak pinangannya. Adapun
putusnya piangan tersebut karena adanya pernyataan tentang putusnya hubungan
pinangan atau secara diam-diam pria yang meminang telah menjauhi dan meninggalkan
wanita yang dipinang, seperti dijelaskan pada pasal 12 ayat (4).

Menurut pasal 13 ayat (1) bahwa pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan
para pihak bebas memutuskan hubungan pinangan. Namun dalam memutuskan hubungan
peminangan harus dilakukan dengan cara yang baik, sesuai dengan tuntunan agama dan
kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan saling mengahargai, seperti
dijelaskan pasal 13 ayat (2).

-!% % .!/#!$%%x


(0
'
&1
/  2  

Œ
    
Pasal 14
Untuk melangsungkan pernikahan harus ada :
Calon suami dan calon isteri, ali nikah, Dua orang saksi dan Ijab kabul.

Ô   

Œerdasarkan ketentuan pasal 14 KHI, bahwa untuk melangsungkan pernikahan


harus terpenuhi rukun nikah yaitu : Adanya calon suami, adanya calon isteri, adanya wali
nikah, adanya dua orang saksi serta adanya Ijab dan kabul.

c 
 
Ê Ê×
Œ
       
(pasal 15 s/d pasal 18)

Ô   

Calon mempelai (calon suami dan isteri).


Untuk calon mempelai sebagaimana tercantum pada pasal 15 ayat (1), harus sudah
mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 UU No 1 tahun 1974, yakni cvalon suami
sekurang-kurangnya 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya 16 tahun. Hal ini
adalah antara lain untuk menjaga kesehatan suami isteri dan keturunannya, seperti
disebutkan dalam penjelasan pasal tersebut.

Sedangkan pada ayat (2) disebutkan bahwa bagi calon mempelai yang belum
mencapai umur 21 tahun, harus mendapat izin sebagaimana diatur dalam pasal 6 ayat (2)
UU No 1 tahun 1974, yaitu harus mendapat izin dari orang tua.
Pada pasal 16 ayat (1) dijelaskan bahwa perkawinan harus berdasarkan atas
persetujuan calon mempelai. Karena tujuan perkawinan itu adalahg agar suami isteri
dapat membentuk keluarga yangt kekal dan bahagia, atau dalam ajaran Islam disebut
keluarga sakinah mawaddah warrahmah, maka perkawinannharus disetujui oleh kedua
calon mempelai dan ini sejalan dengan hak azasi manusia.

Adapun bentuk persetujuan calon mempelai wanita, seperti disebutkan pada ayat
(2), bisa tertulis, lisan, isyarat atau diam, karena diamnya seorang wanita berarti tanda
setuju.

Oleh karena itu pada pasal 17 dijelaskan bahwa sebelum berlangsungnya


perkawinan, Pegawai Pencatat Nikah harus menanyakan lebih dahulu persetujuan calon
mempelai dihadapan saksi nikah. Œila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah
seorang calon mempelai, maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan.

Œ
  
  

 (pasal 19 s/d pasal 23)

Ô   
ali Nikah.

Seperti dijelaskan pada pasal 19, bahwa ali Nikah termasuk rukun Nikah yang
harus dipenuhi dalam perkawinan, karena ia yang bertindak dan berhak menikahkan calon
mempelai wanita dengan calon mempelai pria.

Adapun syarat-untuk bertindak sebagi wali nikah seperti tercantum pada pasal 20,
adalah seorang laki-laki muslim yang berakal dan sudah dewasa (baligh). Yang bertindak
sebagai wali nikah boleh wali nasab atau wali hakim.

c 
 
Ê Ê

 adalah wali karena keturunan, seperti ayah, kakek, saudara laki-laki
sekandung atau seayah dan keturunan laki-laki mereka, paman (saudara laki-laki ayah)
dan keturunannya. Adapun yang dimaksud dengan 

 adalah Kepala KUA
Kecamatan atau Penghulu.

ali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah, bila wali nassab tidak ada
atau tidak mungkin mengahdirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib
atau adlal atau enggan, setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut.
Demikian dijelaskan pada pasal 23.

Œ
    

 (pasal 24 s/d pasal 26)

Ô   
Saksi Nikah.
Menurut ketentuan pasal 24, bahwa saksi termasuk rukun nikah. Artinya setiap
pernikahan harus disaksikan oleh dua orang saksi dan tidak sah jika tidak disaksikan oleh
dua orang saksi.

Adapun persyaratan untukm dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah
seorang laki-laki muslim yang adil, berakal, sudah dewasa, tidak terganggu ingatan dan
tidak tuna rungu atau tuli. Demikiana dijelaskan pada pasal 25.

Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta
menandatangani Akta Nikah (jika Nikannya dilangsungkan di balai Nikah) dan
menandatangani Daftar Pemeriksaan Nikah pada waktu dan di tempat akad nikah, jika
akad nikah dilangsungkan di luar balai nikah. Demikian menurut pasal 26.

Œ
  
  ! 
 (pasal 27 s/d pasal 29)

Ô   
Ijab Kabul.
Œerdasarkan ketentuan paal 27, bahwa ijab dan kabul antara wali dan calon
mempelai pria harus jelas, beruntun dan tidak berselang waktu. Akad nikah bisa
dilaksanakan sendiri oleh wali nikah atau mewakilkan kepada orang lain, demikian
menurut pasal 28.

Demikian juga menurut pasal 29 calon mempelai pria berhak mengucapkan kabul
secara pribadi, namun dapat mewakilkan kepada pria lain dengan memberi kuasa tertulis,

c 
 
Ê Ê*
bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria. Namun bila
pihak calon mempelai wanita atau walinya berkeberatan calon mempelai mempelai pria
diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan.

-*!x
,)
'
,3

Ô   
Menurut ketentuan pasal 30 bahwa calon mempelai pria wajib membayar mahar
kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua
belah pihak. Namun menurut pasal 31 penentuan mahar harus berdasarkan atas
kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam. Artinya mahar yang
disepakati kedua belah pihak jangan sampai memberatkan calon mempelai pria aatau
melebihi kemampuannya. Menurut pasal 32 mahar diberikan langsung kepada calon
mempelai wanita dan menjadi hak pribadinya.

Sebaiknya penyerahan mahar dilakukan dengan tunai, namun bila calon mempelai
wanita menyetujui penyerahan mahar boleh ditangguhkan, baik seluruhnya atau sebagian.
Hanya saja mahar yang belum ditunaikan penyerahannya, menjadi hutang mempelai pria.
Demikian menurut pasal 33.

Sedangkan menurut pasal 34 bahwa kewajiban menyerahkan mahar bukan


merupakan rukun dalam pernikahan. Oleh karena itu kelalaian menyebut jenis dan jumlah
pada waktu akad, tidak menyebabkan batalnya pernikahan. Œegitu pula halnya dalam
keadaan mahar maasih terhutang, tidak mengurangi sahnya pernikahan.

Menurut ketentuan pasal 35 bahwa suami yang mentalak isterinya qabla dukhul,
artinya belum pernah melakukan hubungan suami isteri, maka ia wajib membayar
setengah dari mahar yang ditentukan dalam akad nikah. Namun bila suaminya meninggal
dunia qabla dukhul, seluruh mahar ditetapkan menjaadi hak penuh isterinya. Sedangkan
bila perceraian terjadi qabla dukhul, tetapi besar maharnya belum ditetapkan, maka suami
wajib membayar mahar mitsil.

Œila mahar itu hilang sebelum diserahkan, maka dapat diganti dengan barang lain
yang sama bentuk dan jenisnya atau dengan barang lain yang sama nilainya atau dengan
uang yang senilai dengan harga barang mahar yang hilang. Demikian menurut pasal 36.

Sedangkan bila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang
ditetapkan, maka penyelesaiannya dapat diajukan kepada Pengadilan Agama. Seperti
yang tercantum pada pasal 37.

c 
 
Ê ÊÀ
Menurut pasal 38 bila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang,
tetapi calon mempelai wanita tetap bersedia menerimanya tanpa syarat, maka penyerahan
mahar dianggap lunas. Namun bila calon isteri menolak menerima mahar karena cacat,
maka calon suami harus mengganti dengan mahar lain yang tidak cacat. Selama
penggantinya belum diserahkan, maka mahar dianggap masih belum dibayar.

-3!%+%$%x
,1
'
00   

Ô   
Menurut ketentuan pasal 39 bahwa seorang pria dilarang melangsungkan
pernikahan dengan seorang wanita, disebabkan :
ñÊ Karena adanya pertalian nasab atau keturunan yaitu dengan : a) Ibu yang melahirkan
atau keturunannya. b) Keturunan ayah atau ibu yaitu saudara sekandung, seayah atau
seibu, dan c) wanita saudara ibu.
Ê Karena pertalian kerabat semenda atau hubungan perkawinan, yaitu dengan : a)
anita yang melahirkan isterinya (mertua) atau berkas isteri mertuanya. b) Œekas
isteri ayahnya. c) Anak atau keturunan isteri atau anak bekas isterinya, kecuali
putusnya hubungan perkawinan dengan bekas isterinya itu qabla dukhul. d) Œekas
isteri anak (mantan menantu) dan keturunannya.

Ê Karena pertalian sesusuan, yaitu dengan : a) anita yang menyusuinya dan
seterusnya menurut garis ke atas, b) anita sesusuan dan seterusnya menurut garis ke
bawah, c) anita saudara sesusuan dan kemenakan sesusuan ke bawah, d) anita
bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas, e) Anak yang disusui oleh isterinya
dan keturunannya. (Ketentuan ini berdasarkan surat An Nisa ayat 22 dan 23)

Demikian juga seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang


wanita : a) yang masih terkait perkawinan dengan pria lain, b) Yang masih berada dalam
masa iddah dengan pria lain, c) Tidak beragama Islam, demikian menurut pasal 40.
Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita yang
masih terkait perkawinan dengan pria lain, demikian juga dengan wanita yang masih
berada dalam masa Iddah.
Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita yang
tidak beragama Islam, karena dikhawatirkan ia tidak mampu mendidik dan mengarahkan
anaknya untuk menjadi seorang muslim yang shaleh, yang mampu mengamalkan ajaran
Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Œahkan bisa jadi karena sehari-hari si anak lebih dekat dengan ibunya, justru ia
akan mengikuti agama ibunya, itu akan lebih patal lagi. Maka sebaiknya seorang pria

c 
 
Ê ÊX
muslim jangan melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita yang tidak beragama
Islam. (Al Œaqarah ayat 221)
Pada pasal 41 dijelaskan bahwa seorang pria dilarang memadu isterinya dengan
seorang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau susuan dengan isterinya,
seperti saudara kandung seayah atau seibu serta keturunannya, atau wanita dengan
bibinya atau keponakannya. Larangan ini tetap berlaku walaupun isteri-isterinya telah
ditalak raj¶I, tapi masih dalam masa iddah. (Lihat An Nisa ayat 23/penjelasan pasal 39)
Seorang pria dilarang melangsungkan pernikahan dengan seorang wanita, bila ia
sudah mempunyai 4 (empat) orang isteri, yang keempat-empatnya masih terkait tali
pernikahan atau maasih dalam iddah talak raj¶I atau salah seorang diantara mereka masih
terikat tali pernikahan sedang yang lainnya dalam iddah talak raj¶I, seperti tercantum
pada pasal 42. (An Nisaa ayat 3)

Pada pasal 43 dijelaskan bahwa seorang pria dilarang menikah dengan wanita
bekas isterinya yang ditalak tiga. Œaru boleh menikah lagi bila bekas isterinya itu telah
kawin dengan pria lain, lalu mereka bercerai ba¶da dukhul dan telah habis masa
iddahnya. (Al Œaqarah ayat : 230)
Seorang pria juga dilarang menikah dengan wanita bekas isterinya yang dili¶an.
Li¶an ialah sumpah seorang suami yang menuduh isterinya berzina, sumpah itu
diucapkan empat kali dan pada sumpah yang kelima diikuti dengan kata-kata ³laknat
Allah atas diriku, jika tuduhanku itu dusta´.
Siisteri dapat menolak tuduhan suaminya bahwa ia berzina, yaitu dengan
mengucapkan sumpah empat kali dan pada sumpah yang kelima diikuti dengan kata-kata
³ Murka Allah atas diriku, jika tuduhan itu benar´ (An Nur ayat : 6 ± 9 ). Akibat li¶an ini,
antara suami isteri tersebut tidak boleh rujuk dan tidak boleh menikah lagi untuk
selamanya.
Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan pernikahan dengan seorang pria
yang tidak beragama Islam, demikian pasal 44. (Al Œaqarah ayat : 221)

-#!4%4%#!$%%x
05
'5&
 Ô   
Œerdasarkan ketetntuan pasal 45 bahwa kedua calon mempelai dapat mengadakan
perjanjian perkawinan dalam bentuk taklik talak atau perjanjian lain yang tidak
bertentangan dengan hukum Islam. Pasal 46 isi taklik talak tidak boleh bertentangan
dengan hukum Islam dan taklik talak bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan pada
setiap perkawinan, maka walaupun calon mempelai pria tidak mengucapkan taklik talak,
pernikahan tetap sah.

c 
 
Ê Ê©
Œila dikemudian hari taklik talak betul-betul terjadi, tidak dengan sendirinya talak
menjadi jatuh. Dan bila isteri ingin agar talak itu jatuh, maka ia harus mengajukan
persoalannya ke Pengadilan Agama.
Menurut Pasal 47 pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua
calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis mengenai kedudukan harta dalam
perkawinan, apakah meliputi percampuran harta pribadi atau pemisahan harta
pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentanagan dengan hukum Islam,
harus disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah.

Sedangkan menurut pasal 48 bahwa perjanjian pemisahan harta bersama atau


harta syarikat, tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan
rumah tangga atau pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan kewajiban suami
menanggung biaya kebutuhan rumah tangga.
Perjanjian pencampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik yang
dibawa masing-masing ke dalam perkawinan maupun diperoleh masing-masing selama
perkawinan. Namun dapat juga diperjanjikan bahwa pencampuran harta pribadi hanya
terbatas pada harta pribadi yang dibawa pada saat perkawinan dilangsungkan, sehingga
percampuran itu tidak meliputi harta pribadi yang diperoleh selama perkawinan atau
sebaliknya. Demikian pasal 49.
Menurut pasal 50 bahwa perjanjian mengenai harta, mengikat kepada para pihak
dan pihak ketiga terhitung mulai tanggal dilangsungkan perkawinan di hadapan PPN dan
dapat dicabut atas persetujuan bersama suami isteri dan wajib mendaftarkannya di
Kantor PPN tempat perkawinan dilangsungkan, namun tidak boleh merugikan pihak
ketiga.
Sejak pendaftaran tersebut, pencabutan telah mengikat kepada suami isteri, tetapi
terhadap pihak ketiga pencabutan itu baru mengikat sejak pendaftaran itu diumumkan
oleh suami isteri melalui surat kabar setempat. Namun bila dalam tempo 6 bulan,
pengumuman tida juga dilakukan, maka pencabutan dengan sendirinya gugur dan tidak
mengikat kepada pihak ketiga.
Pelanggaran atas perjanjian perkawinan tersebut, memberi hak kepada isteri
untuk meminta pembatalan nikah atau mengajukannya sebagai alasan gugat cerai ke
Pengadilan Agama. Demikian menurut pasal 51.
Sedangkan menurut pasal 52 bahwa pada saat dilangsungkan perkawinan dengan
isteri kedua, ketiga dan keempat, boleh dibuat perjanjian mengenai tempat kediaman,
waktu giliran, dan biaya rumah tangga bagi isteri yang akan dinikahinya.

-$%*3x
5,
'50
Ô   

c 
 
Ê Êñ
Œerdasarkana ketentuan pasal 53 bahwa wanita yang hamil di luar nikah, dapat
dinikahkankan dengan pria yang menghamilinya tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran
anak yang dikandungnya dan tidak diperlukan pernikahan ulang setelah anak yang
dikandungnya lahir. (berdasarkan berdasarkan surah An Nur ayat 3).
Pasal 54 adalah larangan melangsungkan perkawinan dan tidak boleh bertindak
sebagai wali nikah, jika sedang dalam keadaan berihram. Jika terjadi maka
perkawinannya tidak sah.

6#! /#!3# ! /7!%+x


55
'51
Ô   
Menurut pasal 55 bahwa beristeri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan,
terbatas hanya 4 isteri, dengan syarat utama suami harus berlaku adil terhadap isteri-isteri
dan anak-anaknya, bila tidak mungkin dipenuhi, maka seorang suami dilarang beristeri
lebih dari satu orang. (An Nisaa ayat : 3)

Namun menurut pasal 56 bahwa suami yang hendak beristeri lebih dari satu
orang, harus mendapat izin dari Pengadilan Agama, perkawinan dengan isteri kedua,
ketiga dan keempat yang dilakukan tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai
kekuatan hukum.

Adapun pengajuan izin tersebut, diatur dalam ŒAŒ VIII PP No 9 tahun 1975.
Yaitu Setelah suami emngajukan permohonan secara tertulis, lalu pengadilan memeriksa
mengenai :

Ê Alasan seperti tercantum pada pasal 57 KHI ini, yaitu :

w Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri, atau

w Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau

w Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Ê Persetujuan isteri atau isteri-isteri secara tertulis atau lisan, seperti pada pasal 58 KHI.

Ê Kepastian bahwa suami menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anaknya,
yang dibuktikan dengan surat keterangan penghasilan yang ditanda tangani oleh
bendaharawan tempat bekerja.

Ê Jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya,
dengan surat pernyataan dari suami.

c 
 
Ê Êññ
Menurut pasal 42 PP No 9 tahun 1975, Pemanggilan harus memanggil dan
mendengar isteri yang bersangkutan. Pemeriksaan oleh hakim selambat-lambatnya 30
hari setelah diterimanya surat permohonan tersebut.

Œila pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristeri
lebih dari seorang, maka pengadilan memberikan putusannya berupa izin beristeri lebih
dari seorang, demikian PP No 9 / 1975.

Menurut pasal 58 ayat (5) KHI ini, bahwa persetujuan tertulis dari isteri atau
isteri-isteri, haqrus dipertegas lagi dengan persetujuan lisan pada sidang di Pengadilan
Agama.

Namun menurut pasal 58 ayat (6) persetujuan tidak diperlukan bila isteri atau
isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak
dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari isteri atau isteri-isterinya sekurang-
kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian hakim.

Œila isteri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk
beristeri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan dalam sebagaimana
dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian
izin setelah memeriksa dan mendengar isteri ybs di persidangan Pengadilan Agama, dan
terhadap penetapan ini isteri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi. Demikian
pasal 59 KHI.

M  
      
    
  
  
 

p ÊÊ 



î î   M 
 

c 
 
Ê Êñ
î 
 î 
    

î     


%
%+"% %+%7*7!(/%(180
/#%/%+#!$%%
%
% /! !#  #%%7*7!(/%(11(
/#%/%+7*3 * 3*
MM M î 






!  

 ñ©*ñññ©Xñ×

î î   M 

c  
        
   
       
 
  
      
 


   
  
 
  
   
        
 

  
  
 


c 
 
Ê Êñ
î 
 î 
    

î    
 

 

   ! 
"" #$ 
 !$ "" %&' $ (
#
!$)") ' * "  
! " +  ,  )*)! - ñ  
ñ©À× 
$ 
! .  $!  !

 )*)! - ñ   ñ©©ñ

$ )*#"  * "* #$  *# ."  , $
! #$

! 
/ "   $
$  *$
! 0 "$'   #! #

!$
0 "$ 
 * !*' * *
  $
$
!$ . $
$ #
' *   #$    "* * " 
 
! ! #  - 1  * 
! . 1  *
*$ - 0!, !

! .' 
* '    !$ 
! .' / !' ! 
.' #
! "* #
! .' . *"' 
!$
! "
 ! $
)! ' #  " *$
! " * #
!" $ $   

 *
 !'  . *$
!    "* * " 
 $  ! 
*#!' $ $ !  !$   *
* 
 $  !#  $ "
 
*#! * " 

 *
 #  $
!*  $
!$*
#  
#" "
0 "$ 
 * !*'  $
" *
*
!
#
!
# 
#
 $ *
  *
  * "    # #

!$
0 "$
%
*)  
!* $   #
    #  
*
* * " 
!*' ññ /!
$ ñ




c 
 
Ê Êñ×
c 
 
Ê Êñ

You might also like