Professional Documents
Culture Documents
Hal ini disebabkan sosialisasinya yang belum menyentuh banyak pihak termasuk kepada
para petugas yang menangani masalah perkawianan, waris dan wakaf, apalagi
masyaraakat pada umumnya.
Padahal perwujudan pelaksanaan hukum, sangat bergantung kepada tiga pilar hukum
yaitu:
Demikian halnya dengan masyarakat, mereka tidak akan mematuhi dan menaati
hukum, bila tidak memiliki kesadaran hukum, dan masyarakat tidak akan sadar hukum
bila tidak memahami Undang-undang atau peraturan yang berlaku.
Dalam diktat sederhana ini akan disajikan hanya berkisar ³ Hukum Perkawinan ³
yang memuat : Dasar-dasar Perkawinan, Peminangan, Rukun dan syarat Perkawinan,
c
Ê Êñ
Mahar, Larangan kawin, perjanjian dalam perkawinan, Kawin hamil, beristeri lebih dari
satu dll.
c
Ê Ê
erdasarkan ketentuan pasal 2 KHI, bahwa pernikahan dilakukan untuk mentaati
perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah, perkawinan bertujuan untuk
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah warrahmah. Demikian
menurut pasal 3.
Pada pasal 4 dijelaskan bahwa perkawinan dianggap sah, bila dilakukan menurut
hukum sesuai dengan pasal 2 ayat (1) UU No 1 tahun 1974 ttg Perkawinan yang berbunyi
D Ô
? Artinya perkawinan seorang muslim atau
muslimah, dianggap sah bila dilakukan menurut hukum Islam, namun bila dilakukan
menurut hukum agama lain, maka perkawinan seorang muslim atau muslimah, dianggap
tidak sah.
Pada Pasal 5 dijelaskan bahwa setiap perkawinan itu harus dicatat oleh Pegawai
Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam UU No 22 tahun 1946 Jo. UU No 32
tahun 1954 dan pada pasal 6 disebutkan bahwa setiap perkawinan harus dilangsungkan
dan dibawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah, maka perkawinan yang dilaksanakan
diluar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Oleh karena itu pada pasal 7 dijelaskan, bahwa perkawinan yang sah hanya dapat
dibuktikan dengan Akta Nikah yang dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah. ila
perkawinan yang dilaksanakan diluar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah dan tidak
dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat mengajukan Itsbat nikah di Pengadilan
Agama. Adapun yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah, suami isteri,
anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.
Pada pasal 8 dijelaskan bahwa putusnya perkawinan selain cerai mati, hanya
dapat dibuktikan dengan surat cerai berupa putusan Pengadilan Agama, baik yang
berbentuk putusan perceraian, ikrar talak, khuluk atau putusan taklik talak. Sedangkan
pada pasal 9 dijelaskan bahwa bila Putusan Pengadilan Agama itu hilang, dapat
dimintakan salinan putusannya kepada Pengadilan Agama ybs.
Pasal 10 menjelaskan tentang rujuk, yaitu hanya dapat dibuktikan dengan Kutipan
uku Pendaftaran Rujuk yang dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah.
#*%%+%x
((
'
(,
Ô :
c
Ê Ê
seorang wanita, boleh meminang sendiri wanita yang ia inginkan atau menyuruh orang
lain, misalnya orang tuanya, saudaranya atau temannya dll.
Pada pasal 12 ayat (1) dijelaskan bahwa wanita yang boleh dipinang adalah wanita
yang masih perawan atau janda yangt telah habis masa iddahnya. Maka menurut pasal 12
ayat (2) bahwa wanita yang ditalak suaminya yang masih berada dalam masa iddah
raj¶iyah, haram dan dilarang dipinang. Demikian jua wanita yang sedang dipinang oleh
pria lain, selama pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak
wanita, sebagaimana dijelaskan pada pasal 12 ayat (3).
Artinya seorang wanita yang sedang dipinang oleh seorang pria, boleh dipinang
oleh pria lain, bila sudah putus atau pihak wanita menolak pinangannya. Adapun
putusnya piangan tersebut karena adanya pernyataan tentang putusnya hubungan
pinangan atau secara diam-diam pria yang meminang telah menjauhi dan meninggalkan
wanita yang dipinang, seperti dijelaskan pada pasal 12 ayat (4).
Menurut pasal 13 ayat (1) bahwa pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan
para pihak bebas memutuskan hubungan pinangan. Namun dalam memutuskan hubungan
peminangan harus dilakukan dengan cara yang baik, sesuai dengan tuntunan agama dan
kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan saling mengahargai, seperti
dijelaskan pasal 13 ayat (2).
Pasal 14
Untuk melangsungkan pernikahan harus ada :
Calon suami dan calon isteri, ali nikah, Dua orang saksi dan Ijab kabul.
Ô
c
Ê Ê×
(pasal 15 s/d pasal 18)
Ô
Sedangkan pada ayat (2) disebutkan bahwa bagi calon mempelai yang belum
mencapai umur 21 tahun, harus mendapat izin sebagaimana diatur dalam pasal 6 ayat (2)
UU No 1 tahun 1974, yaitu harus mendapat izin dari orang tua.
Pada pasal 16 ayat (1) dijelaskan bahwa perkawinan harus berdasarkan atas
persetujuan calon mempelai. Karena tujuan perkawinan itu adalahg agar suami isteri
dapat membentuk keluarga yangt kekal dan bahagia, atau dalam ajaran Islam disebut
keluarga sakinah mawaddah warrahmah, maka perkawinannharus disetujui oleh kedua
calon mempelai dan ini sejalan dengan hak azasi manusia.
Adapun bentuk persetujuan calon mempelai wanita, seperti disebutkan pada ayat
(2), bisa tertulis, lisan, isyarat atau diam, karena diamnya seorang wanita berarti tanda
setuju.
(pasal 19 s/d pasal 23)
Ô
ali Nikah.
Seperti dijelaskan pada pasal 19, bahwa ali Nikah termasuk rukun Nikah yang
harus dipenuhi dalam perkawinan, karena ia yang bertindak dan berhak menikahkan calon
mempelai wanita dengan calon mempelai pria.
Adapun syarat-untuk bertindak sebagi wali nikah seperti tercantum pada pasal 20,
adalah seorang laki-laki muslim yang berakal dan sudah dewasa (baligh). Yang bertindak
sebagai wali nikah boleh wali nasab atau wali hakim.
c
Ê Ê
adalah wali karena keturunan, seperti ayah, kakek, saudara laki-laki
sekandung atau seayah dan keturunan laki-laki mereka, paman (saudara laki-laki ayah)
dan keturunannya. Adapun yang dimaksud dengan
adalah Kepala KUA
Kecamatan atau Penghulu.
ali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah, bila wali nassab tidak ada
atau tidak mungkin mengahdirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib
atau adlal atau enggan, setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut.
Demikian dijelaskan pada pasal 23.
(pasal 24 s/d pasal 26)
Ô
Saksi Nikah.
Menurut ketentuan pasal 24, bahwa saksi termasuk rukun nikah. Artinya setiap
pernikahan harus disaksikan oleh dua orang saksi dan tidak sah jika tidak disaksikan oleh
dua orang saksi.
Adapun persyaratan untukm dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah
seorang laki-laki muslim yang adil, berakal, sudah dewasa, tidak terganggu ingatan dan
tidak tuna rungu atau tuli. Demikiana dijelaskan pada pasal 25.
Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta
menandatangani Akta Nikah (jika Nikannya dilangsungkan di balai Nikah) dan
menandatangani Daftar Pemeriksaan Nikah pada waktu dan di tempat akad nikah, jika
akad nikah dilangsungkan di luar balai nikah. Demikian menurut pasal 26.
!
(pasal 27 s/d pasal 29)
Ô
Ijab Kabul.
erdasarkan ketentuan paal 27, bahwa ijab dan kabul antara wali dan calon
mempelai pria harus jelas, beruntun dan tidak berselang waktu. Akad nikah bisa
dilaksanakan sendiri oleh wali nikah atau mewakilkan kepada orang lain, demikian
menurut pasal 28.
Demikian juga menurut pasal 29 calon mempelai pria berhak mengucapkan kabul
secara pribadi, namun dapat mewakilkan kepada pria lain dengan memberi kuasa tertulis,
c
Ê Ê*
bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria. Namun bila
pihak calon mempelai wanita atau walinya berkeberatan calon mempelai mempelai pria
diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan.
-*!x
,)
'
,3
Ô
Menurut ketentuan pasal 30 bahwa calon mempelai pria wajib membayar mahar
kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua
belah pihak. Namun menurut pasal 31 penentuan mahar harus berdasarkan atas
kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam. Artinya mahar yang
disepakati kedua belah pihak jangan sampai memberatkan calon mempelai pria aatau
melebihi kemampuannya. Menurut pasal 32 mahar diberikan langsung kepada calon
mempelai wanita dan menjadi hak pribadinya.
Sebaiknya penyerahan mahar dilakukan dengan tunai, namun bila calon mempelai
wanita menyetujui penyerahan mahar boleh ditangguhkan, baik seluruhnya atau sebagian.
Hanya saja mahar yang belum ditunaikan penyerahannya, menjadi hutang mempelai pria.
Demikian menurut pasal 33.
Menurut ketentuan pasal 35 bahwa suami yang mentalak isterinya qabla dukhul,
artinya belum pernah melakukan hubungan suami isteri, maka ia wajib membayar
setengah dari mahar yang ditentukan dalam akad nikah. Namun bila suaminya meninggal
dunia qabla dukhul, seluruh mahar ditetapkan menjaadi hak penuh isterinya. Sedangkan
bila perceraian terjadi qabla dukhul, tetapi besar maharnya belum ditetapkan, maka suami
wajib membayar mahar mitsil.
ila mahar itu hilang sebelum diserahkan, maka dapat diganti dengan barang lain
yang sama bentuk dan jenisnya atau dengan barang lain yang sama nilainya atau dengan
uang yang senilai dengan harga barang mahar yang hilang. Demikian menurut pasal 36.
Sedangkan bila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang
ditetapkan, maka penyelesaiannya dapat diajukan kepada Pengadilan Agama. Seperti
yang tercantum pada pasal 37.
c
Ê ÊÀ
Menurut pasal 38 bila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang,
tetapi calon mempelai wanita tetap bersedia menerimanya tanpa syarat, maka penyerahan
mahar dianggap lunas. Namun bila calon isteri menolak menerima mahar karena cacat,
maka calon suami harus mengganti dengan mahar lain yang tidak cacat. Selama
penggantinya belum diserahkan, maka mahar dianggap masih belum dibayar.
-3!%+%$%x
,1
'
00
Ô
Menurut ketentuan pasal 39 bahwa seorang pria dilarang melangsungkan
pernikahan dengan seorang wanita, disebabkan :
ñÊ Karena adanya pertalian nasab atau keturunan yaitu dengan : a) Ibu yang melahirkan
atau keturunannya. b) Keturunan ayah atau ibu yaitu saudara sekandung, seayah atau
seibu, dan c) wanita saudara ibu.
Ê Karena pertalian kerabat semenda atau hubungan perkawinan, yaitu dengan : a)
anita yang melahirkan isterinya (mertua) atau berkas isteri mertuanya. b) ekas
isteri ayahnya. c) Anak atau keturunan isteri atau anak bekas isterinya, kecuali
putusnya hubungan perkawinan dengan bekas isterinya itu qabla dukhul. d) ekas
isteri anak (mantan menantu) dan keturunannya.
Ê Karena pertalian sesusuan, yaitu dengan : a) anita yang menyusuinya dan
seterusnya menurut garis ke atas, b) anita sesusuan dan seterusnya menurut garis ke
bawah, c) anita saudara sesusuan dan kemenakan sesusuan ke bawah, d) anita
bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas, e) Anak yang disusui oleh isterinya
dan keturunannya. (Ketentuan ini berdasarkan surat An Nisa ayat 22 dan 23)
c
Ê ÊX
muslim jangan melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita yang tidak beragama
Islam. (Al aqarah ayat 221)
Pada pasal 41 dijelaskan bahwa seorang pria dilarang memadu isterinya dengan
seorang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau susuan dengan isterinya,
seperti saudara kandung seayah atau seibu serta keturunannya, atau wanita dengan
bibinya atau keponakannya. Larangan ini tetap berlaku walaupun isteri-isterinya telah
ditalak raj¶I, tapi masih dalam masa iddah. (Lihat An Nisa ayat 23/penjelasan pasal 39)
Seorang pria dilarang melangsungkan pernikahan dengan seorang wanita, bila ia
sudah mempunyai 4 (empat) orang isteri, yang keempat-empatnya masih terkait tali
pernikahan atau maasih dalam iddah talak raj¶I atau salah seorang diantara mereka masih
terikat tali pernikahan sedang yang lainnya dalam iddah talak raj¶I, seperti tercantum
pada pasal 42. (An Nisaa ayat 3)
Pada pasal 43 dijelaskan bahwa seorang pria dilarang menikah dengan wanita
bekas isterinya yang ditalak tiga. aru boleh menikah lagi bila bekas isterinya itu telah
kawin dengan pria lain, lalu mereka bercerai ba¶da dukhul dan telah habis masa
iddahnya. (Al aqarah ayat : 230)
Seorang pria juga dilarang menikah dengan wanita bekas isterinya yang dili¶an.
Li¶an ialah sumpah seorang suami yang menuduh isterinya berzina, sumpah itu
diucapkan empat kali dan pada sumpah yang kelima diikuti dengan kata-kata ³laknat
Allah atas diriku, jika tuduhanku itu dusta´.
Siisteri dapat menolak tuduhan suaminya bahwa ia berzina, yaitu dengan
mengucapkan sumpah empat kali dan pada sumpah yang kelima diikuti dengan kata-kata
³ Murka Allah atas diriku, jika tuduhan itu benar´ (An Nur ayat : 6 ± 9 ). Akibat li¶an ini,
antara suami isteri tersebut tidak boleh rujuk dan tidak boleh menikah lagi untuk
selamanya.
Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan pernikahan dengan seorang pria
yang tidak beragama Islam, demikian pasal 44. (Al aqarah ayat : 221)
-#!4%4%#!$%%x
05
'5&
Ô
erdasarkan ketetntuan pasal 45 bahwa kedua calon mempelai dapat mengadakan
perjanjian perkawinan dalam bentuk taklik talak atau perjanjian lain yang tidak
bertentangan dengan hukum Islam. Pasal 46 isi taklik talak tidak boleh bertentangan
dengan hukum Islam dan taklik talak bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan pada
setiap perkawinan, maka walaupun calon mempelai pria tidak mengucapkan taklik talak,
pernikahan tetap sah.
c
Ê Ê©
ila dikemudian hari taklik talak betul-betul terjadi, tidak dengan sendirinya talak
menjadi jatuh. Dan bila isteri ingin agar talak itu jatuh, maka ia harus mengajukan
persoalannya ke Pengadilan Agama.
Menurut Pasal 47 pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua
calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis mengenai kedudukan harta dalam
perkawinan, apakah meliputi percampuran harta pribadi atau pemisahan harta
pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentanagan dengan hukum Islam,
harus disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah.
-$%*3x
5,
'50
Ô
c
Ê Êñ
erdasarkana ketentuan pasal 53 bahwa wanita yang hamil di luar nikah, dapat
dinikahkankan dengan pria yang menghamilinya tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran
anak yang dikandungnya dan tidak diperlukan pernikahan ulang setelah anak yang
dikandungnya lahir. (berdasarkan berdasarkan surah An Nur ayat 3).
Pasal 54 adalah larangan melangsungkan perkawinan dan tidak boleh bertindak
sebagai wali nikah, jika sedang dalam keadaan berihram. Jika terjadi maka
perkawinannya tidak sah.
Namun menurut pasal 56 bahwa suami yang hendak beristeri lebih dari satu
orang, harus mendapat izin dari Pengadilan Agama, perkawinan dengan isteri kedua,
ketiga dan keempat yang dilakukan tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai
kekuatan hukum.
Adapun pengajuan izin tersebut, diatur dalam A VIII PP No 9 tahun 1975.
Yaitu Setelah suami emngajukan permohonan secara tertulis, lalu pengadilan memeriksa
mengenai :
w Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau
Ê Persetujuan isteri atau isteri-isteri secara tertulis atau lisan, seperti pada pasal 58 KHI.
Ê Kepastian bahwa suami menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anaknya,
yang dibuktikan dengan surat keterangan penghasilan yang ditanda tangani oleh
bendaharawan tempat bekerja.
Ê Jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya,
dengan surat pernyataan dari suami.
c
Ê Êññ
Menurut pasal 42 PP No 9 tahun 1975, Pemanggilan harus memanggil dan
mendengar isteri yang bersangkutan. Pemeriksaan oleh hakim selambat-lambatnya 30
hari setelah diterimanya surat permohonan tersebut.
ila pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristeri
lebih dari seorang, maka pengadilan memberikan putusannya berupa izin beristeri lebih
dari seorang, demikian PP No 9 / 1975.
Menurut pasal 58 ayat (5) KHI ini, bahwa persetujuan tertulis dari isteri atau
isteri-isteri, haqrus dipertegas lagi dengan persetujuan lisan pada sidang di Pengadilan
Agama.
Namun menurut pasal 58 ayat (6) persetujuan tidak diperlukan bila isteri atau
isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak
dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari isteri atau isteri-isterinya sekurang-
kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian hakim.
ila isteri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk
beristeri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan dalam sebagaimana
dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian
izin setelah memeriksa dan mendengar isteri ybs di persidangan Pengadilan Agama, dan
terhadap penetapan ini isteri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi. Demikian
pasal 59 KHI.
M
p ÊÊ
î î M
c
Ê Êñ
î
î
î
%
%+"% %+%7*7!(/%(180
/#%/%+#!$%%
%
% /! !# #%%7*7!(/%(11(
/#%/%+7*3 * 3*
MM M î
!
ñ©*ñññ©Xñ×
î î M
c
c
Ê Êñ
î
î
î
!
"" #$
!$ ""
%&' $ (
#
!$)")' * "
! " + , )*)! - ñ
ñ©À×
$
! . $! !
)*)! - ñ
ñ©©ñ
$ )*#" * "* #$
*# ." , $
! #$
!
/ "
$
$
*$
! 0 "$' #! #
!$
0 "$
* !*' * *
$
$
!$ . $
$ #
' * #$
"* * "
! ! # - 1 *
! . 1 *
*$ - 0!, !
! .'
*' !$
! .' /
!' !
.' #
! "* #
! .' .
*"'
!$
! "
! $
)!' #
" *$
! " * #
!" $ $
*
!'
. *$
! "* * "
$
!
*#!' $ $ ! !$ *
*
$
!# $ "
*#! * "
*
# $
!*
$
!$*
#
#" "
0 "$
* !*' $
"
*
*
!
#
!
#
#
$ *
*
* "
# #
!$
0 "$
%
*)
!*$ #
#
*
* * "
!*' ññ /!
$ ñ
c
Ê Êñ×
c
Ê Êñ