You are on page 1of 5

Rina Wulandari VI/B

BAB X
PSIKOLOGI FORENSIK

PENGERTIAN PSIKOLOGI FORENSIK


Forensik (berasal dari bahasa Yunani, Forensis yang berarti "debat" atau
"perdebatan") adalah bidang ilmu pengetahuan yang digunakan untuk membantu
proses penegakan keadilan melalui proses penerapan ilmu atau sains.
Menurut Suprapti dan Sumarmo Markam, Psikologi Forensik adalah interface
dari Psikologi dan Hukum, dan merupakan aplikasi pengetahuan psikologi khususnya
psikologi klinis, pada masalah-masalah yang dihadapi jaksa, polisi dan lain-lain untuk
penyelesaian masalah yang berhubungan dengan keadaan sipil, kriminal dan
administratif (civil, criminal, administrative justice).
Menurut APA (Heilbrun dalam Cronin, 2007)
Forensic Psychology is defined as the professional practice by psychologists within the
areas of clinical psychology, counseling psychology, neuropsychology, and school
psychology, when they are engaged regularly as experts and represent themselves as
such, in an activity primarily intended to provide professional psychological expertise
to the judicial system.

Psikologi Forensik didefinisikan sebagai praktek professional dari psikolog


dalam bidang psikologi klinis, psikologi konseling, neuropsikologi, dan psikologi
sekolah, dimana mereka berperan dan merepresentasikan diri secara rutin sebagai
ahli, dalam aktivitas utama yang bertujuan untuk memberikan keahlian psikologis
professional pada system peradilan.

SEJARAH SINGKAT PSIKOLOGI FORENSIK


Tahun 1896 seorang psikolog, Albert Von Schrenk-Notzing menjadi saksi ahli
dalam pemeriksaan kasus pembunuhan. Dia menyatakan bahwa dalam proses
pemerikasaan yang penuh tekanan dimungkinkan sekali kesaksian tidak dapat
dibedakan antara apa yang sebenarnya dilihat dengan apa yang dilaporkan. Hal-hal
seperti ini membutuhkan kajian dan analisa dari sudut pandang psikologi. Mungkin ini
menjadi peristiwa bersejarah dalam bidang forensik.
Dalam Nietzel & Bernstein (1998) dinyatakan bahwa awal Psikologi Forensik
adalah ketika terdapat perbedaan antara Munsterberg dan Wigmore pada tahun
1908 tentang peran Psikolog dalam proses pengadilan. Menurut Munsterberg yang
paling anti atas peran Psikologi ialah para jaksa.. Hal ini ditanggapi oleh Wigmore (ahli
hukum) sehingga Munsterberg diadili. Tahun 1954 Bazelon (hakim) mengakui bahwa
psikolog yang mempunyai kualifikasi tertentu dapat menjadi saksi ahli di pengadilan
yakni sebagai ahli gangguan jiwa.
Rina Wulandari VI/B
Selanjutnya, berkat tulisan dari Loh (dalam Phares, 1992) psikolog yang pada
sekitar 1950 hanya dapat menjadi saksi ahli, juga dapat bertindak sebagai konsultan
bagi para juri dalam system pengadilan AS.

RUANG LINGKUP PSIKOLOGI FORENSIK


Menurut Nietzel, psikolog klinis memainkan peran yang beragam dalam
sistem legal, mencakup area:
1. Law Enforcement Psychology
Mengadakan riset tentang aktivitas lembaga hukum dan memberikan
pelayanan klinis langsung dalam mendukung aktivitas lembaga tersebut.
2. The Psychology of Litigation
Menitikberatkan pada efek-efek dari berbagai prosedur legal, biasanya yang
digunakan pada pemeriksaan sipil dan kriminal.
3. Correctional Psychology
Memusatkan perhatian pada layanan psikologis terhadap individu yang
ditahan sebelum dinyatakan sebagai narapidana suatu tindak criminal.
Sebagian besar psikolog koreksional bekerja di penjara dan pusat rehabilitasi
remaja, tetapi ada juga yang membuka lembaga percobaan atau mengambil
bagian dalam masyarakat khusus yang berbasis program koreksional.
4. Forensic Psychology
Aplikasi ilmu kesehatan mental dan keahlian dalam mempertanyakan individu
yang terlibat dalam prosedur legal.

Nietzel dkk. (1998) menyinpulkan bahwa terdapat lima pokok bahasan dalam
Psikologi Forensik, yaitu:
Kompetensi untuk Menjalani Proses Peradilan serta Tanggung Jawab Kriminal
Kompetensi kriminal
Dalam proses persidangan, tidak diizinkan untuk memproses terdakwa yang
tidak megerti maksud dan tujuan proses peradilannya. Oleh karena itu, pengadilan
harus mempertimbangkan megenai kesehatan jiwa terdakwa selama tuduhan
tindakan. Terdakwa dipertimbangkan tidak kompeten jika mereka tidak mampu (1)
memahami maksud peradilan mereka, (2) berpartisipasi untuk mempertahankan diri,
atau (3) berkonsultasi kepada pengacara.
Tanggung jawab kriminal
Menurut hukum kriminal, tindakan berbahaya bagi masyarakat bukanlah satu-
satunya kriteria untuk sebuah kejahatan, akan tetapi tindakan tersebut memiliki dua
komponen, yaitu dilakukan secara sengaja dan dengan niat jahat. Orang yang
abnormal tidak dapat dikatakan mempunyai niat jahat ketika mereka tidak
mengetahui tentang benar maupun salah dan apa akibat dari tindakan mereka.
Rina Wulandari VI/B
Kerusakan Psikologis yang Mungkin Terjadi dalam Pengadilan Sipil
Ketika seseorang dilukai oleh pihak kedua, orang tersebut memiliki hak
menuntut pihak kedua untuk membayar sejumlah uang sebagai kompensasi
kerusakan. Jalur resmi semacam ini masukdalam kategori kesalahan yang disebut
perdata. Perdata adalah tindakan yang menyebabkan kerugian terhadap pihak lain.
Hukum semacam ini memberi mekanisme kepada individu untuk mencari pengganti
bagi kerugian yang mereka derita dari tindakan kesalahan orang lain. Hal ini berbeda
dengan hukum pidana yang menuntut seseorang atas kesalahannya dan menghukum
mereka untuk menjaga keadilan masyarakat.

Kompetensi Sipil
Kompetensi sipil adalah segala hal yang berkaitan dengan kesanggupan atau
kapasitas seseorang dalam menerima dan mengolah informasi yang diperoleh serta
menentukan keputusan yang relevan, kemudian memikirkan langkah-langkah apa
yang akan dikerjakan selanjutnya.

Otopsi Psikologis dan Criminal Profiling


Otopsi psikologis ialah kegiatan psikolog dalam melakukan asesmen terhadap
seseorang yang sudah meninggal. Asesmen ini diminta oleh pengadiln untuk
mengetahui keadaan psikis orang itu sebelum meninggal. Selanjutnya dapat diketahui
penyebab kematian – bunuh diri, kecelakaan, dan lain- lain. Hal ini dilakukan untuk
menentukan wajib atau tidaknya suatu perusahaan memberi kompensasi kepada
keluarga korban.
Clinical profiling memiliki persamaan dengan otopsi psikologis. Keduanya
sama- sama menentukan keadaan psikis atas data yang ditinggalkan seseorang.
Pertanyaan dalam criminal profiling adalah siapa yang melakukan – pelaku belum
diketahui. Perbuatan kriminal seringkali meninggalkan jejak. Criminal profiling
bertujuan mencari pelaku yang penyebabnya berdasarkan tanda- tanda yang
ditinggalkan.

Hak Asuh Anak dan Kelayakan Orang Tua (Parental Fitness)


Definisi legal dari kelayakan orang tua (parental fitness) beragam dari waktu
ke waktu. Tetapi secara umum hukum membuatnya sedikit berbeda untuk
mengambil anak-anak dari orang tau biologis mereka. Disepakati bahwa orang tua
yang tidak layak menunjukkan (1) inflicted, atau salah seorang inflict, luka fisik, harm
emotional, atau melakukan sexual abuse pada anak, (2) secara moral menyimpang,
(3) abandoned pada anak, (4) sakit mental atau (5) gagal untuk menyediakan
perawatan penting bagi anak untuk beberapa alasan daripada poverty.
Rina Wulandari VI/B
KLASIFIKASI PROSES UNTUK PSIKOLOGI FORENSIK
Psikologi Forensik Investigatif
Fase sIstem hukum ini mulai ketika sebuah tindak kejahatan dilakukan atau
ketika sebuah investigasi resmi dimulai. Ini termasuk semua penggunaan ilmu
psikologi untuk membantu investigasi penegakan hukum. Selain konsultasi umum
dengan dinas-dinas kepolisian tentang status mental orang tertentu ada beberapa
prosedur spesifik yang dapat meningkatkan resolusi investigasi Kriminal.

Psikologi Forensik Ajudikatif


Dalam kasus perilaku kriminal, pengambilan keputusan biasanya adalah juri,
dan putusannya berupa penetapan apakah terdakwa diketahui melakukan tindak
kejahatan yang didakwakan terhadap dirinya. Psikologi forensik memberikan
kontribusi pada proses ini dengan memberikan asesment kesehatan untuk membantu
pengambilan keputusan-keputusan hukum ini.

Psikologi Forensik Preventif


Psikologi forensik lazimnya dianggap bersifat reaktif dan merespon berbagai
kejadian setlah kejadian itu terjadi. Sifat siklikal sistem hukum menunjukkan bahwa
keterlibatan reaktif psikologi sekaligus juga dapat bersifat proaktif. Dengan kata lain
psikolog forensik dapat memiliki dampak yang signifikan pada usaha mencegah
perilaku yang tak diinginkan pada masa yang akan datang. Selain menawarkan
rekomendasi pada penetapan hukuman pidana dan upaya-upaya rehabilitasi guna
mencegah perilaku kriminal dimasa mendatang mereka juga dapat memberikan
edukasi kepada para petugas publik maupun orang-orang awam tentang berbagai
macam isu.

KEGIATAN PSIKOLOG DALAM BIDANG PSIKOLOGI FORENSIK


Bidang yang dinamakan psikologi forensik mencakup peran psikolog dalam
menentukan beberapa hal penting, yaitu (Phares, 1992):
1. Psikolog dapat menjadi saksi ahli. Ada perbedaan antara saksi ahli dan saksi
biasa. Seorang saksi ahli harus mempunyai kualifikasi – dalam hal ini, clinical
expertise, meliputi pendidikan, lisensi, pengalaman, kedudukan, penelitian,
publikasi, pengetahuan, aplikasi prinsip- prinsip ilmiah, serta penggunaan alat
tes khusus.
2. Psikolog dapat menjadi penilai dalam kasus- kasus kriminal, misalnya
menentukan waras atau tidaknya (sane/insane) pelaku kriminal, bukan dalam
arti psikologis, namun dalam arti legal/hukum.
3. Psikolog dapat menjadi penilai bagi kasus- kasus madani atau civil. Termasuk
didalamnya menentukan layak atau tidaknya seseorang masuk rumah sakit
Rina Wulandari VI/B
jiwa, kekerasan dalam keluarga, dan lain-lain. Di Indonesia sudah ada
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang menangani masalah – masalah
kekerasan dalam keluarga, misalnya Pusat Krisis terpadu (PKT) di RSCM, LBH-
APIK, dan lain- lain.
4. Psikolog dapat juga memperjuangkan hak untuk memberi atau menolak
pengobatan bagi seseorang.
5. Psikolog diharapkan dapat memprediksi bahaya yang mungkin berkaitan
dengan seseorang. Misalnya, dampak baik atau buruk mempersenjatai
seseorang. Psikolog diharapkan tahu tentang motivasi, kebiasaan, dan daya
kendali seseorang.
6. Psikolog diharapkan dapat memberikan treatment sesuai dengan kebutuhan.
7. Psikolog diharapkan dapat menjalankan fungsi sebagai konsultan dan
melakukan penelitian di bidang psikologi forensik.

You might also like