You are on page 1of 40

PENDIDIKAN KARAKTER (TEORI & APLIKASI)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
Globalisasi dapat diartikan sebagai proses saling berhubungan yang mendunia antar
individu, bangsa dan negara, serta berbagai organisasi kemasyarakatan, terutama
perusahaan. Proses ini dibantu berbagai alat komunikasi dan transportasi yang berteknologi
canggih, dibarengi kekuatan-kekuatan politik dan ekonomi serta nilai-nilai sosial-budaya
yang saling mempengaruhi.
Era globalisasi dengan ciri-ciri adanya saling keterbukaan dan ketergantungan antar
negara. Akibat saling keterbukaan dan ketergantungan ditambah dengan arus informasi
yang sangat cepat maka kompetisi antar negara pun akan semakin ketat terutama pada
bidang ekonomi. Bagi Indonesia globalisasi ini tidak hanya memiliki dimensi domestik
akan tetapi juga dimensi global. Dari sisi dimensi domestik globalisasi ini memberi
peluang positif terutama untuk mengadopsi dan menerapkan inovasi yang datang dari luar
untuk meningkatkan peluang kesempatan kerja bagi masyarakat. Di samping itu dari sisi
keuntungan domestik, pengaruh globalisasi ini dapat mendidik masyarakat untuk memiliki
pola pikir kosmopolitan dan pola tindak kompetitif, suka bekerja keras, mau belajar untuk
meningkatkan keterampilan dan prestasi kerja. Dari sisi globalisasi, kita hidup di dalam
dunia yang terbuka, dunia yang tanpa batas. Perdagangan bebas serta makin meningkatnya
kerjasama regional memerlukan manusia-manusia yang berkualitas tinggi. Kehidupan
global merupakan tantangan sekaligus membuka peluang-peluang baru bagi pembangunan
ekonomi dan bagi pembangunan SDM Indonesia yang berkualitas tinggi untuk
memperoleh kesempatan kerja di luar negeri. Di sinilah tantangan sekaligus peluang bagi
peningkatan mutu pendidikan Indonesia baik untuk memenuhi SDM yang berkualitas bagi
kebutuhan domestik maupun global.
Untuk menjawab tantangan sekaligus peluang kehidupan global di atas, diperlukan
paradigma baru pendidikan. H.A.R. Tilar (2000:19-23) mengemukakan pokok-pokok
paradigma baru pendidikan sebagai berikut: (1) pendidikan ditujukan untuk membentuk
masyarakat Indonesia baru yang demokratis; (2) masyarakat demokratis memerlukan
pendidikan yang dapat menumbuhkan individu dan masyarakat yang demokratis; (3)
pendidikan diarahkan untuk mengembangkan tingkah laku yang menjawab tantangan
internal dan global; (4) pendidikan harus mampu mengarahkan lahirnya suatu bangsa
Indonesia yang bersatu serta demokratis; (5) di dalam menghadapi kehidupan global yang
kompetitif dan inovatif, pendidikan harus mampu mengembangkan kemampuan
berkompetisi di dalam rangka kerjasama; (6) pendidikan harus mampu mengembangkan
kebhinekaan menuju kepada terciptanya suatu masyarakat Indonesia yang bersatu di atas
kekayaan kebhinekaan masyarakat, dan (7) yang paling penting, pendidikan harus mampu
meng-Indonesiakan masyarakat Indonesia sehingga setiap insan Indonesia merasa bangga
menjadi warga negara Indonesia.
Konflik-konflik sosial, tindakan-tindakan diskriminasi, perilaku yang exklusif dan
primordial muncul karena belum semua masyarakat merasa, menghayati dan bangga
sebagai insan Indonesia. Dan di sinilah para pemimpin formal dan informal pada semua
aspek kehidupan harus menjadi teladan.
Untuk mencapai tujuan ini diperlukan aktualisasi pendidikan nasional yang baru
dengan prinsip-prinsip : (1) partisipasi masyarakat di dalam mengelola pendidikan
(community based education); (2) demokratisasi proses pendidikan; (3) sumber daya

1
pendidikan yang profesional; dan (4) sumber daya penunjang yang memadai, dan (5)
membangun pendidikan yang berorientasi pada kualitas individu berbasis karakter.
Paradigma baru pendidikan di atas mengisyaratkan bahwa tanggung jawab pendidikan
tidak lagi dipikulkan kepada sekolah, akan tetapi dikembalikan kepada masyarakat dalam
arti sekolah dan masyarakat sama-sama memikul tanggung jawab. Dalam paradigma baru
ini, masyarakat yang selama ini pasif terhadap pendidikan, tiba-tiba ditantang menjadi
penanggung jawab pendidikan. Tanggung jawab ini tidak hanya sekedar memberikan
sumbangan untuk pembangunan gedung sekolah dan membayar uang sekolah, akan tetapi
yang lebih penting masyarakat ditantang untuk turut serta menentukan jenis pendidikan
yang sesuai dengan kebutuhan, termasuk meningkatkan mutu pendidikan dan memikirkan
kesejahteraan tenaga pendidik agar dapat memberikan pendidikan yang bermutu kepada
peserta didik. Hal ini bukanlah sesuatu yang mudah karena banyak kendala yang
mempengaruhi, antara lain: (1) bagi masyarakat hal ini merupakan masalah baru sehingga
perlu proses sosialisasi; (2) bagi masyarakat yang tinggal di ibukota propinsi, kotamadya
dan kabupaten, masalahnya lebih sederhana karena tingkat pendidikan dan ekonomi relatif
baik, sehingga tidak sulit menyeleksi orang-orang yang akan duduk pada posisi tanggung
jawab ini; (3) bagi masyarakat yang tinggal di ibukota kecamatan dan desa masalahnya
menjadi rumit karena tingkat pendidikan masyarakatnya rendah dengan kondisi kehidupan
miskin.
Permasalahan lain yang membutuhkan renungan sehingga dirasakan perlunya
paradigma baru berkaitan dengan pendidikan, akhir-akhir ini banyak hal yang patut
menjadi bahan renungan mendalam. Misalnya masalah akhlak lulusan, kesesuaian lulusan
dengan lapangan kerja, masalah nasionalisme di tengah masa globalisasi, dan lain-lain.
Mengapa lulusan pendidikan kita masih menghasilkan lulusan yang sebagiannya masih
sanggup korupsi. Sebenarnya jiwa korup inilah yang menurunkan sifat berkolusi,
nepotisme, monopoli, ketidakadilan dan sebagainya itu. Akar masalah adalah jiwa korup.
Pendidikan sejatinya telah memberikan kontribusi pada pengembangan intelektual,
banyak anak didik kita telah menorehkan prestasi pada ajang olimpiade baik pada tingkat
nasional maupun internasional. Tapi disisi lain keberhasilan tersebut belum dibarengi pada
upaya yang maksimal dalam menanamkan akhlak pada anak didik kita. Masih cukup
banyak siswa-siswa kita di sekolah menengah yang nakal seperti mabuk-mabukan,
tawuran, bolos sekolah. Padahal, kita mengetahui bahwa kenakalan itu potensial untuk
kejahatan. Remaja yang nakal amat potensial untuk berkembang menjadi orang dewasa
yang jahat.
Krisis ekonomi yang kita alami sekarang yang merambat ke krisis kepercayaan kepada
pemerintah, sebagiannya diakibatkan oleh akhlak pelaku bisnis -dan orang-orang yang
berhubungan dengan itu- yang kurang baik. Mereka itu adalah lulusan sekolah dan
perguruan tinggi. Artinya, sekolah dan perguruan tinggi kita ikut ambil bagian juga sebagai
penyebab terjadinya krisis yang kita alami sekarang.
Sebenarnya, hasil pendidikan seseorang tidak hanya ditentukan oleh pendidikan di
sekolah (dan perguruan tinggi). Rumah tangga dan masyarakat pun ikut menentukan.
Karena itu, kata “pendidikan” yang dimaksud dalam buku ini mencakup pendidikan di tiga
tempat pendidikan tersebut.
Apa yang seharusnya menjadi inti pendidikan kita? Beberapa tahun yang lalu ada
keluhan dari Menteri Pendidikan tentang pendidikan kita, khususnya pendidikan formal.
Keluhan itu ialah kurang sesuainya lulusan sekolah kita dengan tuntutan lapangan kerja.
Dari sinilah muncul konsep link and match yang tekenal itu.
Tidak dapat diragukan lagi bahwa masalah kurang relevannya kemampuan lulusan
dengan lapangan kerja memang merupakan salah satu kekurangan dalam pendidikan kita.
Namun demikian ada satu hal yang harus diingat: itu bukan masalah terbesar dalam

2
pendidikan kita. Masalah terbesar apa? Pendidikan akhlak, dimana akhlak yang dibangun
merupakan karakter dari hasil pendidikan.
Jika ditelusuri perjalanan sejarah maka akan muncul informasi berkaitan dngan tujuan
pendirian sekolah, sekolah pada awalnya memang dibuat bukan menyediakan lapangan
kerja. Sejarah mencatat nama Plato ( filsuf Yunani) adalah orang yang mula-mula
mendirikan lembaga pendidikan yang mirip dengan sekolah kita sekarang, dengan nama
Akademia. Dalam fikiran Plato tujuan mendirikan lembaga pendidikan bukan untuk
mencetak tenaga kerja, bukan mengajarkan keterampilan untuk bekerja. Meskipun
demikian, bukan berarti pada saat itu belum ada lapangan kerja, sebab semua pekerjaan
saat itu bisa dikerjakan tanpa harus mengenyam bangku sekolah. Plato melihat ada
masalah yang lebih esensial, ada masalah yang lebih besar, lebih mendasar, yang harus
menjadi tujuan pendidikan, yaitu manusia harus disiapkan agar menjadi manusia yang
bijaksana. Manusia yang bijaksana itu ternyata sulit dihasilkan, yang agak mudah
dihasilkan ialah manusia yang mencintai kebijaksanaan (the lover of wisdom).
Ada banyak ciri manusia bijaksana yang dimaksud oleh Plato dan kawan-kawannya.
Pada dasarnya, yang dimaksud mereka dengan manusia bijaksana atau pencinta
kebijaksanaan ialah manusia yang banyak pengetahuannya dan memiliki kemampuan
tinggi dalam pengendalian diri. Karena itulah Pythagoras mendirikan orde (aliran) yang
lebih berorientasi dalam mengajarkan aktivitas ritual yang diduga dapat menjadikan
seseorang memiliki kemampuan tinggi dalam mengendalikan diri.
Sekolah ketika itu memang belum diarahkan untuk mencetak tenaga kerja. Sekolah
ketika itu menekankan tujuannya pada meningkatkan kemanusiaan manusia. Orang-orang
terdidik haruslah menjadi panutan orang di sekitarnya dalam hal perikemanusiaan yang
tinggi; mereka haruslah menjadi bintang bersinar dalam masyarakatnya, mereka harus
mampu menjadi teladan kemanusiaan masyarakatnya. Diterimanya hukuman mati -yang
dijatuhkan oleh pengadilan Athena- oleh Socrates menjelaskan kenyataan itu. Orang yang
bijaksana atau pencinta kebijaksanaan yang dimaksud orang-orang Yunani Kuno itu mirip
sekali dengan akhlak mulia (dalam ajaran Islam). Mungkin tidak terlalu keliru bila
disimpulkan bahwa inti pendidikan pada zamanYunani Kuno itu ialah pendidikan akhlak.
Memang tujuan pendidikan tidaklah hanya akhlak mulia. Tujuan-tujuan lain ada juga.
Misalnya pengetahuan yang banyak dan terampil bekerja. Tetapi, pembentukan akhlak
selalu merupakan inti tujuan.
Dalam UU Nomor 2 tahun 1989 disebutkan bahwa keimanan dan ketaqwaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa adalah inti pendidikan kita. Tetapi dalam operasinya kita masih
menempatkan penguasaan pengetahuan dan keterampilan sebagai inti pendidikan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Prof. Dr.Ahmad Tafsir (1991 dan 1996)
menggambarkan kebanyakan orang tua menyekolahkan anak dengan tujuan: 1) agar
anaknya tidak nakal. Anehnya; 2) alasan pemilihan sekolah oleh orang tua murid telah
bergeser, khususnya pemilihan SMA. Dahulu, mutu akademik SMA merupakan kriteria
pertama dalam pemilihan, ukuran yang mereka gunakan ialah prosentase lulusan yang
lulus perguruan tinggi favorit. Sekarang menemukan data bahwa sebagian besar orang tua
murid menjadikan mutu akademik itu sebagai kriteria kedua. Kriteria nomor satu ialah
besarnya kemungkinan sekolah itu mendidik anaknya agar tidak nakal. Jadi, tidak nakal
merupakan kriteria pertama dalam pemilihan SMA. Pergeseran itu dapat dipahami. Bila
anaknya di SMA nakal maka akan timbul banyak kerugian. Pertama, orang tua akan malu
bila anaknya nakal, kedua, prestasi akademik anaknya itu akan turun bila nakal, ketiga,
kesehatan anak itu akan merosot bila nakal, keempat, kadang-kadang pengeluaran uang
akan lebih besar bila anaknya nakal. Jadi sebenarnya harapan pertama orang tua murid
kepada sekolah ialah agar anaknya tidak nakal.
Ada tiga tempat pendidikan yaitu sekolah, rumah, dan masyarakat. Lembaga
pendidikan di rumah sudah jelas yaitu rumah tempat tinggal seseorang, lembaga

3
pendidikan sekolah ialah sekolah dengan bermacam tingkat dan jenis. Adapun lembaga
pendidikan yang berlaku di masyarakat ialah di lembaga-lembaga masyarakat seperti
koperasi, kepolisian, pengadilan, penjara, organisasi politik, berbagai lembaga swadaya
masyarakat, dan lain-lain.
Berhasilnya pendidikan membangun akhlak adalah amat penting bagi kita. Penting
karena ia merupakan inti pendidikan kita. Penting untuk meneruskan perjalanan bangsa
yang besar ini. Bangsa yang besar terutama ditandai oleh ketinggian akhlaknya.
Berhasilnya pendidikan akhlak penting pula dalam rangka menyiapkan generasi penerus
untuk mampu hidup dalam zaman global.
Dalam zaman global itu seseorang memerlukan pengendali yang kuat agar ia mampu
memilih dan memilah nilai-nilai yang banyak sekali ditawarkan kepadanya. Agar zaman
global tahan banting, maka bisa dilakukan dengan pendidikan, sebab Jalan terbaik dalam
membangun seseorang ialah pendidikan. Jalan terbaik dalam membangun masyarakat ialah
pendidikan. Jalan terbaik dalam membangun negara ialah pendidikan. Jalan terbaik
membangun dunia juga pendidikan.
Secara sederhana, fokus pendidikan hanya tiga, yaitu membangun pengetahuan,
membangun keterampilan (skill), dan membangun karakater. Dari ketiga elemen
pendidikan intnya hanya satu yakni berbasis, adalah karakter.
Pendidikan kita cukup berhasil dalam membangun pengetahuan (sain dan teknologi),
cukup berhasil juga dalam membangun keterampilan; namun pendidikan kita ternyata
belum maksimal dalam membangun karakter.
Membangun kemampuan sain dan teknologi cukup berhasil, indikatornya lulusan
pendidikan telah mempu membuat pesawat terbang, anak didik kita memperoleh juara
dalam olimpiade sain, matematika dan perlombaan robot pada level international semua itu
menggunakan teknologi mutakhir.
Dalam pembinaan pendidikan keterampilan kita juga berhasil, misalnya pada bidang
hukum lawyer kita hebat, arsitek kita hebat juga, tenaga medis kita banyak dipakai di
manca negara, dalam beberapa bidang keterampilan memang terlihat pendidikan
keterampilan kita kurang berhasil namun kekurangberhasilan itu lebih disebabkan oleh
lemahnya karakter lulusan kita. Sekarang ini pendidikan kita sedang fokus pada pendidikan
keterampilan tingkat menengah dengan dibukanya begitu banyak sekolah menengah
keterampilan (SMK). Keberhasilan SMK belum dapat kita nilai karena memang baru-baru
ini saja kita memulainya.
Dalam hal pendidikan karakter yang sudah dibangun selama ini sejatinya perlu
penguatan dari sisi ideologi kebangsaan dan kesantunan sehingga pendidikan dapat
melahirkan warga negara yang berilmu, kokoh secara ideolgi dan juga mempunyai
kesantunan.
Dengan demikian Mengapa pendidikan kita belum maksimal dalam membangun
karakter? Pembangunan karakter belum maksimal dalam pendidikan kita karena
pembangunan karakter itu belum pernah dijadikan fokus dalam pendidikan kita. Perhatikan
Undang-Undang System Pendidikan Nasional (UUSPN). Kita telah memiliki 6 UUSPN
yaitu UU tahun 1946, UU Tahun 1950, UU Tahun 1954, TAP-MPR Tahun 1967, UU
Nomor 2 Tahun 1989, dan terakhir UU Nomor 20 Tahun 2003. Tidak satupun UU itu yang
menjadikan pembangunan karakter sebagai fokus pendidikan nasional.
Dari sekian banyak menteri pendidikan belum ada menteri pendidikan yang
menjadikan pembangunan karakter sebagai pendidikan nasional.
Pendidikan karakter selalu ada sejak UU yang pertama secara tersamar, pendidikan
karakter merupakan bagian dari pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan (PKn)
tetapi pendidikan karakter itu tidak dijadikan salah satu fokus pendidikan nasional.
Beberapa mata pelajaran memang dapat berhasil sekalipun tidak dijadikan fokus,
misalnya mata pelajaran matematik. Pengajaran matematik itu dapat berhasil hanya oleh

4
guru matematik dan sedikit bantuan orang tua di rumah. Pengajaran matematik dapat
diserahkan hanya kepada guru matematik, pendidikan akhlak harus dijadikan fokus
program, fokus pendidikan; bila dijadikan fokus maka yang bertanggung jawab terhadap
keberhasilan pendidikan karakter itu adalah institusi tersebut, bila institusi itu sekolah
maka yang bertanggung jawab sekurang-kurangnya adalah kepada sekolah, semua guru,
semua pegawai tata usaha, pesuruh sekolah, tukang sapu, tukang jaga sepeda atau petugas
parkir, orang yang berjualan di kantin sekolah, dan orang tua di rumah.
Pendidikan karakter tidak bisa dilaksanakan seperti pendidikan matematik, karena
pendidikan karakter itu memiliki kekhasan tertentu, karena pendidikan karakter sebenarnya
adalah pendidikan kepribadian yang memerlukan sebanyak mungkin pembiasaan dan
peneladanan.
Dalam kontek berbangsa pendidikan karakter adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana serta proses pemberdayaan potensi dan pembudayaan peserta didik
guna membangun karakter pribadi dan/atau kelompok yang unik-baik sebagai warga
negara. Hal itu diharapkan mampu memberikan kontribusi optimal dalam mewujudkan
masyarakat yang berketuhanan yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab,
berjiwa persatuan Indonesia, berjiwa kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/ perwakilan, berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pada tanggal 2 Mei 2010 yang lalu Menteri pendidikan nasional medeklarasikan
dimulainya pendidikan karakter bangsa. Baru inilah ada menteri pendidikan yang
kelihatannya hendak menjadikan pembangunan karakter sebagai fokus pendidikan
nasional.
Deklarasi itu harus disambut dengan penuh antusias. Agar deklarasi itu mencapai hasil
sebagaimana yang diharapkan, yaitu memperbaiki karakter orang Indonesia, hendaknya
deklarasi itu tidak sekedar deklarasi, bukan sekedar mengingatkan, deklarasi itu harus
diikuti oleh pencanangan perubahan paradigma, yaitu berpindah dari paradigma bahwa
pendidikan karakter hanya oleh guru agama dan PKn ke paradigma bahwa pendidikan
karakter itu adalah tugas semua aparat yang terkait dengan murid.
Deklarasi itu berpijak pada pemikiran bahwa strategi pembangunan karakter bangsa
melalui pendidikan dapat dilakukan dengan pendidikan dan pembelajaran. Pendidikan
merupakan tulang punggung strategi pembentukan karakter bangsa. Hal itu terjadi karena
dalam konteks makro, penyelenggaraan pendidikan karakter mencakup keseluruhan
kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengendalian mutu yang
melibatkan seluruh unit utama di lingkungan pemangku kepenting-an pendidikan nasional.
Peran pendidikan sangat strategis karena merupakan pembangun integrasi nasional
yang kuat. Selain dipengaruhi faktor politik dan ekonomi, pendidikan juga dipengaruhi
faktor sosial budaya, khususnya dalam aspek integrasi dan ketahanan sosial.
B. Tujuan Penulisan Buku
Tujuan utama penulisan buku ini adalah mencoba memberikan masukan tentang
bagaimana membangun paradigma pendidikan di Indonesia supaya bisa melahirkan
lulusan yang berkualitas, serta memiliki integritas moral yang tinggi. Salah satunya dengan
pendidikan karakter.
C. Isi dari Buku
Buku ini mencoba memaparkan permasalahan-permasalahan masyakarat yag bisa
diselesaikan dengan pendidikan. Mengapa pendidikan menjadi tumpuan menyelesaikan
masalah yang muncul di masyakarat.
Paparan lain juga menjelaskan bagaimana gambaran permasalahan dan solusi baik
secara teoritis maupun secara praktis berkaitan dengan paradigma pendidikan karakter.

5
BAB II
PERMASALAHAN BANGSA INDONESIA DAN
PENDIDIKAN

A. Deskripsi Permasalahan Berbangsa


Permasalahan yang muncul dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara di
Indonesia dan sangat membahayakan dalam membangun bangsa yang kuat, berdasarkan
buku Desain Induk Pembangunan Karater bangsa (2010) dapat di identifikasi sebagai
berikut:
1. Disorientasi dan belum Dihayatinya Nilai-nilai Pancasila sebagai Filosofi dan
Ideologi Bangsa
Pancasila sebagai kristalisasi nilai-nilai kehidupan masyarakat yang bersumber
dari budaya Indonesia telah menjadi ideologi dan pandangan hidup. Pancasila
sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan
ideologi negara dan sebagai dasar negara. Pancasila sebagai pandangan hidup
mengandung makna bahwa hakikat hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
dijiwai oleh moral dan etika yang dimanifestasikan dalam sikap perilaku dan
kepribadian manusia Indonesia yang proporsional baik dalam hubungan manusia
dengan yang maha pencipta, dan hubungan antara manusia dengan manusia, serta
hubungan antara manusia dengan lingkungannya. Namun dalam kehidupan
masyarakat prinsip tersebut tampak belum terlaksana dengan baik. Kekerasan
(domestik maupun nasional) dan hempasan globalisasi sampai kepada korupsi,
kolusi, dan nepotisme (KKN) masih belum dapat diatasi.
Masalah tersebut muncul karena telah terjadi disorientasi dan belum dihayatinya
nilai-nilai Pancasila yang diakui kebenarannya secara universal. Pancasila sebagai
sumber karakter bangsa yang dimaksudkan adalah keseluruhan sifat yang mencakup
perilaku, kebiasaan, kesukaan, kemampuan, bakat, potensi, nilai-nilai, dan pola pikir
yang dimiliki oleh sekelompok manusia yang mau bersatu, merasa dirinya bersatu,
memiliki kesamaan nasib, asal, keturunan, bahasa, adat dan sejarah Indonesia.
2. Keterbatasan Perangkat Kebijakan Terpadu dalam Mewujudkan Nilai-nilai
Esensi Pancasila
Substansi hukum, baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis sudah
tertuang secara implisit maupun eksplisit dalam produk-produk hukum yang ada.
Substansi hukum mengarah pada pemenuhan kebutuhan pembangunan dan aspirasi
masyarakat, terutama dalam pemenuhan rasa keadilan di depan hukum. Namun
demikian berbagai kebijakan dan produk hukum tersebut masih belum sepenuhnya
dapat mengakomodasi kebutuhan untuk mewujudkan nilai-nilai esensi Pancasila
sebagai landasan dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Akibatnya,
maka penanaman nilai-nilai Pancasila sebagai wahana dan sarana membangun
karakter bangsa, meningkatkan komitmen terhadap NKRI serta
menumbuhkembangkan etika kehidupan berbangsa bagi seluruh rakyat Indonesia
belum optimal. Oleh karena itu, pewujudan nilai-nilai esensi Pancasila pada semua
lapisan masyarakat Indonesia perlu didukung perangkat kebijakan terpadu.
3. Bergesernya Nilai-nilai Etika dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
Pembangunan nasional dalam segala bidang yang telah dilaksanakan selama ini
memang mengalami berbagai kemajuan. Namun, di tengah-tengah kemajuan tersebut
terdapat dampak negatif, yaitu terjadinya pergeseran terhadap nilai-nilai etika dalam

6
kehidupan berbangsa dan bernegara. Pergeseran sistem nilai ini sangat nampak
dalam kehidupan masyarakat dewasa ini, seperti penghargaan terhadap nilai budaya
dan bahasa, nilai solidaritas sosial, musyawarah mufakat, kekeluargaan, sopan
santun, kejujuran, rasa malu dan rasa cinta tanah air dirasakan semakin memudar.
Perilaku korupsi masih banyak terjadi, identitas ke-”kami”-an cenderung ditonjolkan
dan mengalahkan identitas ke-”kita”-an, kepentingan kelompok, dan golongan
seakan masih menjadi prioritas. Ruang publik yang terbuka dimanfaatkan dan
dijadikan sebagai ruang pelampiasan kemarahan dan amuk massa. Benturan dan
kekerasan masih saja terjadi di mana-mana dan memberi kesan seakan-akan bangsa
Indonesia sedang mengalami krisis moral sosial yang berkepanjangan. Banyak
penyelesaian masalah yang diakhiri dengan tindakan anarkis dan cenderung. Aksi
demontrasi mahasiswa dan masyarakat seringkali melewati batas-batas ketentuan,
merusak lingkungan, bahkan merobek dan membakar lambang-lambang Negara yang
seharusnya dijunjung dan dihormati. Hal tersebut, menegaskan bahwa telah terjadi
pergeseran nilai-nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bisa jadi
kesemua itu disebabkan belum optimalnya upaya pembentukan karakter bangsa,
kurangnya keteladanan para pemimpin, lemahnya budaya patuh pada hukum,
cepatnya penyerapan budaya global yang negatif dan ketidakmerataan kondisi sosial
dan ekonomi masyarakat.
4. Memudarnya Kesadaran terhadap Nilai-nilai Budaya Bangsa
Pembangunan di bidang budaya telah mengalami kemajuan yang ditandai dengan
meningkatnya pemahaman terhadap keberagaman nilai-nilai budaya bangsa. Namun
arus budaya global yang sering dikaitkan dengan kemajuan di bidang komunikasi
mencakup juga penyebaran informasi secara mendunia melalui media cetak dan
elektronika berdampak terhadap ideologi, agama, budaya dan nilai-nilai yang dianut
manyarakat Indonesia. Pengaruh arus deras budaya global yang negatif menyebabkan
kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa dirasakan semakin memudar. Hal ini
tercermin dari perilaku masyarakat Indonesia yang lebih menghargai budaya asing
dibandingkan budaya bangsa, baik dalam cara berpakaian, bertutur kata, pergaulan
bebas, dan pola hidup konsumtif, serta kurangnya penghargaan terhadap produk
dalam negeri.
Berdasarkan indikasi di atas, globalisasi telah membawa perubahan terhadap pola
berpikir dan bertindak masyarakat dan bangsa Indonesia, terutama masyarakat
kalangan generasi muda yang cenderung mudah terpengaruh oleh nilai-nilai dan
budaya luar yang tidak sesuai dengan kepribadian dan karakter bangsa Indonesia.
Untuk itu, diperlukan upaya dan strategi yang tepat agar masyarakat Indonesia dapat
tetap menjaga nilai-nilai budaya dan jati diri bangsa sehingga tidak kehilangan
kepribadian sebagai bangsa Indonesia.
5. Ancaman Disintegrasi Bangsa
Ancaman dan gangguan terhadap kedaulatan negara, keselamatan bangsa, dan
keutuhan wilayah sangat terkait dengan posisi geografis Indonesia, kekayaan alam
yang melimpah, serta belum tuntasnya pembangunan karakter bangsa, terutama
pemahaman masalah multikulturalisme yang telah berdampak munculnya gerakan
separatis dan konflik horisontal. Selain itu, belum meratanya hasil pembangunan
antardaerah, primordialisme yang tak terkendali, dan dampak negatif implementasi
otonomi daerah cenderung mengarah kepada terjadinya berbagai permasalahan di
daerah.
6. Melemahnya Kemandirian Bangsa

7
Kemampuan bangsa yang berdaya saing tinggi adalah kunci untuk membangun
kemandirian bangsa. Daya saing yang tinggi, akan menjadikan Indonesia siap
menghadapi tantangan globalisasi dan mampu memanfaatkan peluang yang ada.
Kemandirian suatu bangsa tercermin, antara lain pada ketersediaan sumber daya
manusia yang berkualitas dan mampu memenuhi tuntutan kebutuhan dan kemajuan
pembangunan, kemandirian aparatur pemerintahan dan aparatur penegak hukum
dalam menjalankan tugasnya, pembiayaan pembangunan yang bersumber dari dalam
negeri yang semakin kukuh, dan kemampuan memenuhi sendiri kebutuhan pokok.
Namun hingga saat ini sikap ketergantungan masyarakat dan bangsa Indonesia masih
cukup tinggi terhadap bangsa lain. Konsekuensinya bangsa Indonesia dalam berbagai
aspek kurang memiliki posisi tawar yang kuat sehingga tidak jarang menerima
kehendak negara donor meskipun secara ekonomi kurang menguntungkan.
Kurangnya kemandirian, juga tercermin dari sikap masyarakat yang menjadikan
produk asing sebagai primadona, etos kerja yang masih perlu ditingkatkan, serta
produk bangsa Indonesia dalam beberapa bidang pertanian belum kompetitif di dunia
internasional.

B. Deskripsi Permasalahan yang Menggerogoti Pendidikan


Masalah besar masyarakat Indonesia secara umum sebagai akibat era globalisasi
terjadinya interaksi dan ekspansi kebudayaan ditandai dengan semakin berkembangnya
pengaruh budaya pengagungan materi secara berlebihan (materialistik), pemisahan
kehidupan duniawi dari supremasi agama (sekularistik), dan pemujaan kesenangan
indera mengejar kenikmatan badani (hedonistik). Gejala ini merupakan penyimpangan
jauh dari budaya luhur turun temurun serta merta telah memunculkan berbagai bentuk
Kriminalitas, Sadisme, Krisis moral secara meluas.
Dunia pendidikan di negara kita akhir-akhir ini digerogati oleh fenomena kurang
menggembirakan terlihat dari banyaknya terjadi tawuran pelajar, pergaulan a-susila
dikalangan pelajar dan mahasiswa, kecabulan pornografi tak terbendung, sebahagian
cendekiawan berminat tinggi terhadap kehidupan non-science asyik mencari kekuatan
gaib belajar sihir, mencari jawaban dari paranormal, menyelami black-magic dan
mempercayai mistik. Diperparah oleh limbah budaya barat berbentuk sensate-culture
yang selalu bertalian dengan hedonistik dengan orientasi hiburan selera rendah 3-S
tourisme sun-see-sex dan gaya hidup konsumeristis, rakus, boros, cinta mode, pergaulan
bebas sex, individualistik kebebasan salah arah lepas dari kawalan agama dan adat luhur
dengan tampilan permissivesness dan anarkis.
Budaya sensate memuja nilai rasa panca indera, menonjolkan keindahan sebatas
yang dilihat (tonton), didengar, dirasa, di sentuh, dicicipi, dengan tumpuan kepada
sensual, erotik, seronok, mengutamakan kesenangan badani (jasmani). Orientasinya
hiburan melulu, terlepas dari kawalan agama, adat luhur, moral akhlak, ilmu dan
filsafat, dan tercerabut dari budaya dan nilai-nilai normatif lainnya. Seni dibungkus
selimut art for art’s sake, sensual, eksotik, erotik, horor, yang lazimnya melahirkan klub
malam, night club, kasino dan panti pijat. Budaya sensate ini dipertajam dampaknya
dalam kehidupan remaja oleh budaya popular kekota (urban popular culture) yang
hedonistik, dan berkembang lagi US culture imperialisme (uncle Sam Culture) dan the
globalization of lifestyle gaya hidup global.
Perilaku sedemikian banyak melahirkan split personalities, pribadi yang terbelah
“too much science too little faith”, lebih banyak ilmu dengan tipisnya kepercayaan
keyakinan agama, berkembangnya paham nihilisme budaya senang lenang (culture
contenment).
Kalangan anak sekolah dijangkiti kebiasaan bolos sekolah, nyontek saat ujian,
minuman keras, kecanduan narkoba, geng motor, kesukaan judi dalam urban popular

8
culture, musro, world-wide sing, dan sejenisnya. Para remaja cenderung bergerak
menjadi generasi buih terhempas di pantai menjadi suatu generasi yang bergerak
menjadi “X-G” the loses generation dan tidak berani ikut serta didalam perlombaan
ombak gelombang samudera globalisasi. Pada hakekatnya semua prilaku a-moral
tersebut lahir karena lepas kendali dari nilai-nilai agama dan menyimpang jauh terbawa
arus deras keluar dari alur budaya luhur bangsa. Kondisi seperti itu telah memberikan
penilaian buruk terhadap dunia pendidikan pada umumnya.

C. Akar Permasalahan
Remaja akan menjadi aktor utama dalam pentas kesejagatan (millenium ketiga),
karena itu generasi muda (remaja) harus dibina dengan budaya yang kuat berintikan
nilai-nilai dinamik yang relevan dengan realitas kemajuan di era globalisasi. Budaya
adalah wahana kebangkitan bangsa. Maju mundurnya suatu bangsa ditentukan oleh
kekuatan budayanya. Keutuhan budaya bertumpu kepada individu dan himpunan
institusi masyarakat yang memiliki kapasitas berkemampuan dalam mempersatukan
seluruh potensi yang ada. Perkembangan kedepan banyak ditentukan oleh peranan
remaja sebagai generasi penerus dan pewaris dengan kepemilikan ruang interaksi yang
jelas menjadi agen sosialisasi guna menggerakkan kelanjutan survival kehidupan
kedepan. Kecemasan atas penyimpangan prilaku kemunduran moral dan akhlak,
kehilangan kendali para remaja, sepatutnya menjadi kerisauan semua pihak. Ketahanan
bangsa akan lenyap dengan lemahnya remaja. Saya tidak senang menggeneralisasi
kenakalan remaja terjerumus kedalam lembah dekadensi moral dan kenakalan remaja.
Analisis realitas objektif menunjukkan bahwa tidak seluruhnya remaja rusak. Dengan
berpikiran positif tidak pula harus ditunggu setelah semua remaja terpuruk kedalam
lumpur a-moral barulah upaya perbaikannya dilaksanakan dengan intensif.
Kenakalan remaja lebih banyak disebabkan rusaknya sistem, pola dan politik
pendidikan. Kerusakan diperparah oleh hilangnya tokoh panutan, berkembangnya
kejahatan orang tua, luputnya tanggung jawab institusi lingkungan masyarakat,
impotensi dikalangan pemangku adat, hilangnya wibawa ulama, bergesernya fungsi
lembaga pendidikan menjadi lembaga bisnis, dan profesi guru dilecehkan.
Pergeseran budaya dengan mengabaikan nilai-nilai budaya dan agama atau
pengamatan nilai-nilai tidak komprehensif dan sistematik, melahirkan tatanan hidup
masyarakat pengidap penyakit sosial kronis dengan kegemaran berkorupsi.
Generasi kedepan wajib digiring menjadi taat hukum dimulai dari lembaga keluarga
dan rumah tangga dengan memperkokoh peran orang tua, dan unsur masyarakat secara
efektif dalam menularkan ilmu pengetahuan yang segar dengan tradisi luhur kepada
generasi pelanjut bertumpu kepada cita rasa patah tumbuh hilang berganti.
Menanamkan kesadaran tanggung jawab terhadap hak dan kewajiban asasi individu
secara amanah, penyayang dan adil dalam memelihara hubungan harmonis dengan
alam, memperkaya warisan budaya dengan setia mengikuti dan mempertahankan,
istiqamah pada agama yang dianut, teguh politik, kukuh ekonomi, melazimkan
musyawarah dengan disiplin dan bijak memilih prioritas pada yang hak sebagai nilai
puncak budaya yang benar.
Dapat dipahami bahwa kekuatan hubungan ruhaniyah spiritual emosional dengan
iman dan taqwa memberikan ketahanan bagi umat dan hubungan ruhaniyah ini akan
lebih lama bertahan daripada hubungan struktural fungsional. Hakikatnya generasi yang
menjaga destiny, individu yang berakhlak berpegang pada nilai-nilai mulia iman dan
taqwa yang dipadukan dengan kerja sama berdisiplin gigih serta memiliki vitalitas
tinggi, berjiwa inovatif dengan motivasi yang bergantung kepada Allah akan tampil
menjadi penyelesai masalah. Generasi yang patuh kepada Allah dan taat beragama akan

9
berkembang secara pasti menjadi agen perubahan sanggup menghadapi realita baru di
era kesejagatan.
Lembaga pendidikan sebagai mesin sosial bertujuan menggerakkan segala dimensi
kehidupan kemanusian disegala sektor, sosial, ekonomi, budaya, ilmu pengetahuan,
teknologi, politik dan agama, Seluruh sektor mestinya berkembang saling terkait
harmonis serasi dalam menghasilkan suatu bentuk masyarakat madani melalui
penjelmaan nilai-nilai bukan pendangkalan. Bila terjadi inequilibrium kelahirannya
adalah krisis-krisis:
1. krisis nilai, menyangkut etika individu dan sosial berubah drastik dalam sikap menilai
baik buruk, yang padamulanya dalam pandangan luhur dilihat sebagai buruk dan
dijauhi bergeser kencang kearah tidak acuh dan bahkan lebih parah mentolerir;
2. krisis konsep pergeseran pandang (view) cara hidup ukuran nilai jadi kabur,
sekolahan yang merupakan cerminan idealitas masyarakat tidak bisa bertahan;
3. krisis kridebilitas dengan erosi kepercayaan terpampan di pergaulan orang tua, guru
dan tokoh agama pada mimbar-mimbar kehidupan mengalami kegoncangan wibawa;
4. krisis beban institusi pendidikan terlalu besar dengan tuntutan memikul tanggung
jawab moral sosial kultural dikekang oleh sisitim dan aturan birokrasi berbelit
membelenggu dinamika institusi pada akhirnya tidak mampu (impoten) memikul
beban tanggung jawab;
5. krisis relevansi program pendidikan yang mendukung kepentingan elitis non-populis,
tidak demokratis, tidak berorientasi kearah kepentingan mempertahankan prestasi
eksistensi kemanusiaan dalam kehidupan bermasyarakat namun beralih kepada
orientasi prestise keijazahan;
6. membesarnya kesenjangan miskin kaya sehingga kesempatan mendapatkan
pendidikan tidak merata dan kemudian yang terjadi adalah kurangnya idealisme (citra
remaja) tentang peran dimasa datang. Generasi yang mampu mencipta menjadi syarat
utama keunggulan.
Lembaga-lembaga (institusi) di tuntut adil, demokratis, persamaan dan usaha ilmiah
sistematis yang mampu merumuskan epistemologi dan aksiologi dengan memberikan
penekanan kepada :
1. Rumusan ulang kiblat (arah), acuan orientasi pengembangan pendidikan agama.
Fenomena dimasa Orde Baru pengembangan pendidikan terlihat arahnya ke barat,
kebebasan, dan akibat terasa mengikis karakteristik asli pendidikan agama yaitu
akhlak;
2. Revitalisasi pendidikan agama, diajarkan oleh seluruh komponen masyarakat, muatan
pendididkan agama terlihat pada seluruh mata pelajaran memaparkan apa adanya dan
membimbing kepada yang seharusnya berdasarkan paradigma tauhid membentuk
suatu iklim pendidikan agama terasa pada seluruh lembaga sekolah, masyarakat,
rumah tangga);
3. Kewajiban perguruan tinggi memikul beban moral intelektual sebagai bangsa;
4. Buku dasar pegangan mesti memiliki kesamaan visi dan misi mengacu kepada
platform yang sama.
5. Tujuan pendidikan yang akan dikembangkan adalah pendidikan akhlak, budi pekerti.
Pendidikan moral generasi dengan membangun akhlak, penghormatan terhadap
orang tua, mengenal kehidupan duniawi yang bertaraf perbedaan, adab percakapan
ditengah pergaulan, keteguhan memilih dan mengamalkan nilai-nilai kebajikan, yang
akan menjadi kekuatan moral. Kuatnya iman dan teraturnya ketaatan kepada tuhan bagi
generasi muda menjadi awal langkah menuju ketahanan bangsa.

10
D. Langkah-langkah Strategis
Millenium Baru (diawali abad keduapuluh satu) ditandai serba cepat, modern
dengan persaingan kompetitif dan komunikasi serba efektif, dunia tak ada jarak seakan
global village, akan banyak ditemui limbah budaya kebaratan westernisasi, harus
diyakini bahwa kehadirannya tak bisa di cegah.
Proses pembangunan anak didik yang harus ditempuh, melalui penguatan
pendidikan antara lain :
1. Tahap kesadaran tinggi (to create the high level awareness), kesadaran tentang
perlunya perubahan dan dinamik yang futuristik. Langkahnya perlu dengan
penggarapan secara sistematik dan pendekatan proaktif mendorong terbangunnya
proses pengupayaan (the process of empowerment).
2. Tahap perencanaan dengan rangka kerja yang terarah, terencana mewujudkan
keseimbangan dan minat (motivasi) kepada iptek, keterampilan dan pemantapan
strategi. Aspek pendidikan dan latihan adalah faktor utama dalam pengupayaan.
Konsep-konsep visi, misi, selalu terbentur dalam pencapaian oleh karena lemahnya
metodologi dalam operasional pencapaiannya. Perkembangan cyber space, internet,
informasi elektronik dan digital, walaupun kenyataannya sering terlepas dari sistim
nilai dan budaya sangat cepat terkesan oleh generasi muda yang cenderung cepat
dipengaruhi oleh elemen-elemen baru yang merangsang.
3. Tahap aktualisasi secara sistematis (the level of actualization). Bila pendidikan ingin
dijadikan modus operandus disamping kurikulum ilmu terpadu dan holistik, sangat
perlu pembentukan kualitas pendidik dan tenaga kependidikan yang sedari awal
mendapatkan pembinaan. Pendekatan integratif dengan mempertimbangkan seluruh
aspek metodologis berasas kokoh tamaddun yang holistik dan bukan utopis.

E. Membangun Kesadaran Anak Didik


Pembinaan perilaku dan etika anak didik merupakan pembinaan yang sangat baik,
dan merupakan suatu pembinaan dasar yang utama bagi seluruh mahluk dalam
kehidupan bermasyarakat. Pembinaan tersebut bertujuan untuk melatih perbuatan,
ucapan, dan pikiran. Agar selalu berbuat kebaikan dan mencegah kesalahan yang dapat
menghasilkan penderitaan bagi diri kita sendiri dan orang lain.
Di dalam pembinaan perilaku dan etika, para siswa ditekankan untuk menghindari
perbuatan yang menghasilkan penderitaan. Sebagai contoh dalam pembinaan perilaku
dan etika, siswa dilarang untuk mencuri, berbohong, menyontek karena melakukan
perbuatan tersebut, kita telah membuat orang lain menderita atau merasa dirugikan.
Sehingga pembinaan ini tampaknya penuh dengan berbagai larangan, dan aturan.
Pembinaan perilaku dan etika anak didik ditetapkam untuk mengetahui penyebab/
salinan awal terjadinya perbuatan yang tidak baik. Dengan mengetahui penyebabnya
untuk memahami sumber awal timbulnya maka dapat ditemukan cara yang tepat, maka
dapat ditemukan cara pembinaan yang tepat, sehingga para siswa tidak akan mengulangi
perbuatannya tadi.
Sebagai contoh, dimana pembinaan perilaku dan etika untuk mencegah dan
menghentikan kita untuk berbuat yang tidak baik. Keinginan yang timbul untuk
melakukan perbuatan ini kadang muncul dengan kuatnya, dengan pembinaan perilaku
dan etika yang kuat tentu kita dapat menahan diri untuk tidak mengikuti keinginan ini.
Setelah beberapa saat, timbul lagi keinginan tersebut yang mendorong kita untuk
melakukan. Kali ini disertai dengan berbagai alasan yang timbul, untuk membuat kita
tidak merasa benar-benar bersalah. Dengan Pembinaan perilaku dan etika yang kuat,
tentu kita masih dapat mengatasinya. Gambaran keinginan ini terus timbul kembali
bahkan hingga berhari-hari, berbulan-bulan, dan bertahun-tahun. Setiap kali ditolak,

11
setiap kali pula mereka akan muncul kembali, bahkan kedatangnya disertai berbagai
macam alasan yang membujuk dan membuat kita lebih tidak merasa bersalah bila
melakukannya. Alasan ini bermacam bentuk seperti: ‘Hanya sekali saja’, ‘Sekali ini
saja, lalu tobat’,’Orang lain udah sering melakukan, kita coba aja sekali ini’dan
sebagainya
Pembinaan perilaku dan etika tidak menfokuskan pada pembinaan melawan
berbagai keinginan yang timbul satu persatu tanpa hentinya sepwerti pada gambar
Pembinaan perilaku dan etika akan memahami sumber awal. Mereka akan memahami
bahwa gambaran pikiran adalah sumber awal timbulnya semua keinginan-keinginan
yang selalu memperdaya itu.

F. Pola Pembinaan Anak didik


Pola pembinaan anak didik yang dilakukan menyangkut beberapa aspek yang harus
diperhatikan dalam membinaan perilaku dan etika, yakni.
a. Membiasakan Kejujuran. Setiap orang baik guru maupun orang tua wajib
menanamkan nilai kejujuran pada anak dalam setiap ucapan dan perbuatan. Apabila
aspek ini diabaikan, maka anak akan menjadi generasi pendusta;
b. Membiasakan Keadilan. Adil adalah sikap yang mampu mengontrol perilaku dan
etika, sehingga mampu bersikap bijaksana dalam bertindak.
c. Membiasakan meminta Izin. Apabila aspek ini diterapkan, maka ketika dewasa siswa
tersebut sudah terbiasa untuk meminta izin kepada orang tua, teman, saudara, ketika
hendak mengambil sesuatu dan meninggalkan tempat dimanapun ia berada.
d. Membiasakan Bicara dengan Baik.Etika berbicara akan berpengaruh pada perilaku
siswa dalam berinteraksi dengan individu lain. Hal ini menentukan apakah dia akan
dihargai atau tidak oleh lingkungan.
e. Membiasakan Makan dan Minum dengan Baik. Etika makan dan minum
diantaranya : mencuci tangan sebelum makan, membaca basmalah sebelum dan
hamdalah setelah makan, makan dengan tangan kanan, tidak sambil bersandar, tidak
boleh mencela makanan, dan tidak boleh berlebihan.
f. Membiasakan Bergaul yang Baik. Di sekolah hendaknya diciptakan lingkungan yang
baik untuk siswa berinteraksi sesama, dan dengan elemen sekolah.
g. Membiasakan Kasih Sayang. Kasih sayang berpengaruh penting dalam menentukan
sikap dan tingkah laku kejiwaan seseorang.
h. Memberikan Penghargaan. Penghargaan akan menumbuhkan sikap percaya diri pada
siswa. Keberhasilan siswa dapat dihargai dengan senyuman, pujian, tepuk tangan,
dan kata-kata. Apabila gagal tetap perlu dihargai atas kemauan dan keberaniannya
untuk mencoba usaha tersebut.

BAB III

12
MEMAHAMI PENDIDIKAN KARAKTER
A. Pendahuluan
Pendidikan saat ini dihadapkan pada sejumlah problem yang bersifat makro dan
mikro. Pada tataran makro, setidaknya ada dua permasalahan mendasar, yaitu orientasi
filosofis dan arah kebijakan. Secara tersurat, tujuan pendidikan nasional sebenarnya
sangat ideal karena menjangkau semua dimensi kemanusiaan (religiusitas, etis, fisik,
keilmuan, dan life skill), kenyataan dilapangan tidak sesuai dengan harapan terjadi gap
antara cita-cita dengan upaya dan instrumen untuk mencapai cita-cita tersebut.
Implementasi pendidikan kita sering lebih menciptakakan manusia yang bertipe
mekanistik daripada humanistik. Berbagai kebijakan juga seringkali mengebiri dan
sengaja mengerdilkan pendidikan. Pada tataran mikro, kita dihadapkan pada
kesenjangan kualitas yang sangat jauh antar lembaga pendidikan dalam hal in put siswa,
ketersediaan sarana, SDM, lingkungan, dan lain-lain.
Melihat kenyataan seperti itu, masihkah ada harapan terhadap pendidikan di negara
kita? Tentu masih banyak sisi-sisi positif pendidikan. Sejumlah lembaga pendidikan
alternatif semakin bermunculan, siswa-siswa kita juga bisa berlaga di ajang
internasional, banyak guru kita juga yang merupakan manusia-manusia kreatif, dan lain-
lain. Namun demikian, agar pendidikan kita mampu berperan lebih besar dalam
menggali, mengembangkan, menjaga, dan mengawal karakter positif bangsa ini, perlu
ada design besar yang sistematis dan terarah, bukan hanya by accident. Pada sisi ini
guru dituntut ikut berperan aktif secara optimal.
Belakangan ini telah tumbuh kesadaran betapa mendesaknya agenda untuk
melakukan terobosan guna membentuk dan membina karakter para siswa sebagai
generasi penerus bangsa. Sejumlah ahli pendidikan mencoba untuk merumuskan
konsep-konsep tentang pendidikan karakter, dan sebagiannya lagi bahkan sudah
melangkah jauh dalam mempraktekannya.
Urgensi Pendidikan Karakter dikembangkan karena, salah satu bidang
pembangunan nasional yang sangat penting dan menjadi fondasi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara adalah pembangunan karakter bangsa. Ada
beberapa alasan mendasar yang melatari pentingnya pembangunan karakter bangsa,
baik secara filosofis, ideologis, normatif, historis maupun sosiokultural.
Secara filosofis, pembangunan karakter bangsa merupakan sebuah kebutuhan asasi
dalam proses berbangsa karena hanya bangsa yang memiliki karakter dan jati diri yang
kuat yang akan eksis. Secara ideologis, pembangunan karakter merupakan upaya
mengejawantahkan ideologi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Secara normatif, pembangunan karakter bangsa merupakan wujud nyata langkah
mencapai tujuan negara, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan
bangsa; ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial. Secara historis, pembangunan karakter bangsa merupakan
sebuah dinamika inti proses kebangsaan yang terjadi tanpa henti dalam kurun sejarah,
baik pada zaman penjajahan maupun pada zaman kemerdekaan. Secara sosiokultural,
pembangunan karakter bangsa merupakan suatu keharusan dari suatu bangsa yang
multikultural.
Pembangunan karakter bangsa merupakan gagasan besar yang dicetuskan para
pendiri bangsa karena sebagai bangsa yang terdiri atas berbagai suku bangsa dengan
nuansa kedaerahan yang kental, bangsa Indonesia membutuhkan kesamaan pandangan
tentang budaya dan karakter yang holistik sebagai bangsa. Hal itu sangat penting karena
menyangkut kesamaan pemahaman, pandangan, dan gerak langkah untuk mewujudkan
kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.

13
B. Memaknai Tujuan Pendidikan
Tujuan Pendidikan Nasional termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar
(UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa
dan untuk itu setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan yang
bermutu sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya tanpa memandang status
sosial, ras, etnis, agama, dan gender. Pemerataan dan mutu pendidikan akan membuat
warga negara Indonesia memiliki keterampilan hidup (life skills) sehingga memiliki
kemampuan untuk mengenal dan mengatasi masalah diri dan lingkungannya,
mendorong tegaknya masyarakat madani dan modern yang dijiwai nilai-nilai Pancasila.
Oleh karena itu misi pembangunan nasional, terdiri dari tiga besaran yaitu (1)
mewujudkan negara Indonesia yang aman dan damai; (2) mewujudkan bangsa
Indonesia yang adil dan demokratis; dan (3) mewujudkan bangsa Indonesia yang
sejahtera. Untuk mewujudkannya, bangsa kita harus menjadi bangsa yang berkualitas,
sehingga setiap warga negara mampu meningkatkan kualitas hidup, produktifitas dan
daya saing terhadap bangsa lain di era global.
Pembangunan pendidikan nasional didasarkan pada paradigma membangun
manusia Indonesia seutuhnya, yang berfungsi sebagai subyek yang memiliki kapasitas
untuk mengaktualisasikan potensi dan dimensi kemanusiaan secara optimal. Dimensi
kemanusiaan itu mencakup tiga hal paling mendasar, yaitu (1) afektif yang tercermin
pada kualitas keimanan, ketakwaan, akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur serta
kepribadian unggul, dan kompetensi estetis; (2) kognitif yang tercermin pada kapasitas
pikir dan daya intelektualitas untuk menggali dan mengembangkan serta menguasai
ilmu pengetahuan dan teknologi; dan (3) psikomotorik yang tercermin pada kemampuan
mengembangkan keterampilan teknis, kecakapan praktis, dan kompetensi kinestetis.
Pendidikan merupakan proses sistematis untuk meningkatkan martabat manusia secara
holistik, yang memungkinkan ketiga dimensi kemanusiaan paling elementer di atas
dapat berkembang secara optimal. Dengan demikian, pendidikan seyogyanya menjadi
wahana strategis bagi upaya mengembangkan segenap potensi individu, sehingga cita-
cita membangun manusia Indonesia seutuhnya dapat tercapai.
C. Menuju Pendidikan Karakter
1. Landasan Pendidikan Karakter
Berpijak dari dasar antropologis setiap pemikiran tentang pendidikan karakter
adalah keberadaan manusia sebagai penghayat nilai. Keberadaan seperti ini
menggambarkan struktur dasar manusia sebagai mahluk yang memiliki kebebasan,
namun sekaligus sadar akan keterbatasannya. Dinamika struktur manusia yang
seperti inilah yang memungkinkan pendidikan karakter menjadi sebuah pedagogi.
Dengannya manusia menghayati transendensi dirinya dengan cara membaktikan diri
pada nilai-nilai yang diyakininya sebagai berharga bagi dirinya sendiri serta bagi
komunitas di mana individu tersebut berada.
2. Mamahami makna Karakter
Menurut Wynne (1991) kata karakter berasal dari Bahasa Yunani yang berarti
“to mark” (menandai) dan memfokuskan pada bagaimana mengaplikasikan nilai
kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku. Oleh sebab itu seseorang yang
berperilaku tidak jujur, kejam atau rakus dikatakan sebagai orang yang berkaraktek
jelek, sementara orang yang berperilaku jujur, suka menolong dikatakan sebagai
orang yang berkarakter mulia. Jadi istilah karakter erat kaitannya dengan personality
(kepribadian) seseorang, dimana seseorang bisa disebut orang yang berkarakter (a
person of character) jika tingkah lakunya sesuai dengan kaidah moral.

14
Berkowitz (1998) menyatakan bahwa kebiasaan berbuat baik tidak selalu
menjamin bahwa manusia yang telah terbiasa tersebut secara sadar (cognition)
menghargai pentingnya nilai karakter (valuing). Karena mungkin saja perbuatannya
tersebut dilandasi oleh rasa takut untuk berbuat salah, bukan karena tingginya
penghargaan akan nilai itu. Misalnya saja ketika seseorang berbuat jujur hal itu
dilakukannya karena ia takut dinilai oleh orang lain, bukan karena keinginannya yang
tulus untuk menghargai nilai kejujuran itu sendiri. Oleh sebab itu dalam pendidikan
karakter diperlukan juga aspek perasaan (domein affection atau emosi). Memakai
istilah Lickona (1992) komponen ini dalam pendidikan karakter disebut “desiring the
good” atau keinginan utnuk berbuat kebaikan. Menurut Lickona pendidikan karakter
yang baik dengan demikian harus melibatkan bukan saja aspek “knowing the good”
(moral knowing), tetapi juga “desiring the good” atau “loving the good” (moral
feeling) dan “acting the good” (moral action). Tanpa itu semua manusia akan sama
seperti robot yang terindoktrinasi oleh sesuatu paham.
Bila dilakukan analisis secara mendalam istilah karakter sebenarnya memiliki
sifat ambiguitas. Karakter, secara etimologis berasal dari bahasa Yunani “karasso”,
berarti ‘cetak biru’, ‘format dasar’, ‘sidik’ semisal dalam sidik jari. Dalam tradisi
Yahudi, para tetua melihat alam, seperti, laut, sebagai sebuah karakter, yaitu sebagai
sesuatu yang bebas, tidak dapat dikuasai manusia, atau seperti menangkap asap
keberadaanya dapat dilihat namun tak dapat di tangkap. Karakter adalah sesuatu yang
tidak dapat dikuasai oleh intervensi manusiawi, seperti, ganasnya laut dengan
gelombang pasang dan angin yang menyertainya. Mereka memahami karakter seperti
lautan, tidak terselami, tak dapat diintervensi. Karena itu, berhadapan dengan apa
yang memiliki karakter, manusia tidak dapat ikut campur tangan atasnya. Manusia
tidak dapat memberikan bentuk atasnya. Sama seperti bumi, manusia tidak dapat
membentuknya sebab bumi memiliki karakter berupa sesuatu yang ‘mrucut’ tadi.
Namun sekaligus, bumi itu sendirilah yang memberikan karakter pada realitas lain.
Tentang ambiguitas terminologi ‘karakter’ ini, Mounier, mengajukan dua cara
interpretasi. Ia melihat karakter sebagai dua hal, yaitu pertama, sebagai sekumpulan
kondisi yang telah diberikan begitu saja, atau telah ada begitu saja, yang lebih kurang
dipaksakan dalam diri kita. Karakter yang demikian ini dianggap sebagai sesuatu
yang bersifat given (telah ada). Kedua, karakter juga bisa dipahami sebagai tingkat
kekuatan melalui mana seorang individu mampu menguasai kondisi tersebut.
Karakter yang demikian ini disebutnya sebagai sebuah proses willed yang
dikehendaki melalui proses tertentu.
Karakter sebagai suatu kondisi yang diterima tanpa kebebasan dan karakter yang
diterima sebagai kemampuan seseorang untuk secara bebas mengatasi keterbatasan
kondisinya ini membuat tidak serta merta jatuh dalam fatalisme akibat determinasi
alam, ataupun terlalu tinggi optimisme seolah kodrat alamiah kita tidak menentukan
pelaksanaan kebebasan yang dimiliki. Melalui dua hal ini kita diajak untuk
mengenali keterbatasan diri, potensi-potensi, serta kemungkinan-kemungkinan bagi
perkembangan kita. Untuk itulah, model tipologi yang lebih menekankan penerimaan
kondisi natural yang dari sononya tidak cocok. Cara-cara ini hanya salah satu cara
dalam memandang dan menilai karakter.
Paparan tersebut mendeskripsikan bahwa karakter seseorang hanya bisa dinilai
apakah seorang itu memiliki karakter kuat atau lemah. Apakah ia lebih terdominasi
pada kondisi-kondisi yang telah ada atau menjadi tuan atas kondisi natural yang telah
diterima. Apakah yang given itu lebih kuat daripada yang willed tadi. Orang yang
memiliki karakter kuat adalah mereka yang tidak mau dikuasai oleh sekumpulan
realitas yang telah ada begitu saja sejak awalnya. Sedangkan, orang yang memiliki
karakter lemah adalah orang yang tunduk pada sekumpulan kondisi yang telah

15
diberikan kepadanya tanpa dapat menguasainya. Orang yang berkarakter dengan
demikian seperti seorang yang membangun dan merancang masa depannya sendiri,
dan tidak mau dikuasai oleh kondisi kodratinya yang menghambat pertumbuhannya.
Sebaliknya, menguasainya, mengembangkannya demi kesempurnaan
kemanusiaannya.
Orang yang terlalu dikuasai oleh situasi kondisi yang dari awalnya, dalam
tingkatan yang paling ekstrem bisa jatuh dalam fatalisme. Ekspresi umum orang
seperti ini adalah, “karakter saya memang demikian. Mau apa lagi?” “Saya menjadi
demikian ini sudah dari sejak dari lahir. Inilah takdir dan keberuntungan hidup saya”.
Semua ini seolah ada di luar kendali dirinya. Karena itu tidak ada gunanya lagi
mencoba mengatasinya. Sebab jika sesuatu itu telah ditentukan, manusia ini hanya
semacam wayang yang tergantung dari gerakan tangan sang dalang. Kalau saatnya
masuk kotak ya kita tinggal masuk kotak saja. Saat tampil, ya kita tampil. Fatalisme
seperti ini sangat kontraproduktif dengan cita-cita sebuah pendidikan yang
merupakan sebuah intervensi sadar dan terstruktur agar manusia itu semakin dapat
memiliki kebebasan sehingga mampu lebih gesit dan lincah dalam menempa dan
membentuk dirinya berhadapan dengan determinasi alam dalam dirinya.
Manusia memiliki struktur antropologis yang terbuka ketika berhadapan dengan
fenomena kontradiktif yang ditemukan dalam dirinya, yaitu, antara kebebasan dan
determinasi, antara karakter yang stabil dengan ekspresi periferikal atasnya yang
sifatnya lebih dinamis dan mudah berubah.
Dengan gambaran manusia seperti ini, Mounier menegaskan bahwa manusia itu
selalu bergerak maju mengarah ke masa depan. manusia bukanlah sekumpulan masa
lalu. Manusia adalah sebuah gerak menuju masa depan, yang senantiasa berubah
menuju kepenuhan diri sebagai manusia yang lebih besar. Manusia adalah apa yang
dapat dikerjakan, dilakukan, sehingga menjadi seperti yang diinginka. manusia
mengatasi apa yang ada dalam diri manusia saat ini. Manusia adalah apa yang masih
bisa diharapkan daripada sekedar hal-hal yang telah diperoleh selama ini. Jadi,
manusia memiliki kemampuan untuk berharap dan bermimpi, sebab harapan dan
impian ini merupakan semacam daya dorong yang membuatnya mampu secara
optimis menatap masa depan dengan mempertimbangkan daya-daya aktualnya yang
sekarang ini dimiliki.
Karakter merupakan struktur antropologis manusia, tempat di mana manusia
menghayati kebebasannya dan mengatasi keterbatasan dirinya. Struktur antropologis
ini melihat bahwa karakter bukan sekedar hasil dari sebuah tindakan, melainkan
secara simultan merupakan hasil dan proses. Dinamika ini menjadi semacam
dialektika terus menerus dalam diri manusia untuk menghayati kebebasannya dan
mengatasi keterbatasannya. Karakter merupakan kondisi dinamis struktur
antropologis individu, yang tidak mau sekedar berhenti atas determinasi kodratinya
melainkan juga sebuah usaha hidup untuk menjadi semakin integral mengatasi
determinasi alam dalam dirinya demi proses penyempurnaan dirinya terus menerus.
3. Membangun Karakter
Akar kata karakter dapat dilacak dari kata Latin kharakter, kharassein, dan
kharax, yang maknanya “tools for marking”, “to engrave”, dan “pointed stake”. Kata
ini mulai banyak digunakan (kembali) dalam bahasa Perancis caractere pada abad ke-
14 dan kemudian masuk dalam bahasa Inggris menjadi character, sebelum akhirnya
menjadi bahasa Indonesia karakter. Dalam Kamus Poerwadarminta, karakter
diartikan sebagai tabiat; watak; sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang
membedakan seseorang daripada yang lain. Dengan pengertian di atas dapat
dikatakan bahwa membangun karakter (character building) adalah proses mengukir
atau memahat jiwa sedemikian rupa, sehingga `berbentuk’ unik, menarik, dan

16
berbeda atau dapat dibedakan dengan orang lain. Ibarat sebuah huruf dalam alfabet
yang tak pernah sama antara yang satu dengan yang lain, demikianlah orang-orang
yang berkarakter dapat dibedakan satu dengan yang lainnya (termasuk dengan yang
tidak/belum berkarakter atau `berkarakter’ tercela).
Untuk membangun karakter bisa dilakukan dengan berbagai cara, jika menyadari
bahwa karakter bukan sesuatu yang sudah ada dari sananya, namun karakter adalah
sesuatu yang bisa dibangun dan dibentuk melalui proses. Salah satu cara yang efektif
membangun karakter adalah dengan disiplin. Sebab karakter mengandung
pengertian: a) Suatu kualitas positif yang dimiliki seseorang, sehingga membuatnya
menarik dan atraktif; b) Reputasi seseorang; dan c) Seseorang yang unusual atau
memiliki kepribadian yang eksentrik.
Karakter Bisa di Bentuk, dalam cacatan sejarah, tercatat nama Helen Keller
(1880-1968). Seorang anak manusia yang memiliki keterbatasan yakni sudah buta
dan tuli pada usia 19 bulan, dia menjadi manusia buta-tuli pertama yang lulus cum
laude dari Radcliffe College di tahun 1904, ada pemikiran yang hingga saat ini
dijadikan pijakan oleh Keller dengan ucapannya: “Character cannot be develop in
ease and quite. Only through experience of trial and suffering can the soul be
strengthened, vision cleared, ambition inspired, and success achieved”. Kalimat itu
boleh jadi merangkum sejarah hidupnya yang sangat inspirasional. Lewat perjuangan
panjang dan ketekunan yang sulit dicari tandingannya, ia kemudian menjadi salah
seorang pahlawan besar dalam sejarah Amerika yang mendapatkan berbagai
penghargaan di tingkat nasional dan internasional atas prestasi dan pengabdiannya.
Keller adalah model manusia berkarakter (terpuji). Dan sejarah hidupnya
mendemonstrasikan bagaimana proses membangun karakter itu memerlukan disiplin
tinggi karena tidak pernah mudah dan seketika atau instant. Diperlukan refleksi
mendalam untuk membuat rentetan moral choice (keputusan moral) dan
ditindaklanjuti dengan aksi nyata sehingga menjadi praksis, refleksi, dan praktik.
Diperlukan sejumlah waktu untuk membuat semua itu menjadi custom (kebiasaan)
dan membentuk watak atau tabiat seseorang.
Pentingnya karakter bagi kehidupan manusia, pernah diungkap oleh salah
seorang Hakim Agung di Amerika, Antonin Scalia, yang pernah mengatakan: “Bear
in mind that brains and learning, like muscle and physical skills, are articles of
commerce. They are bought and sold. You can hire them by the year or by the hour.
The only thing in the world NOT FOR SALE IS CHARACTER. And if that does not
govern and direct your brains and learning, they will do you and the world more
harm than good”.
Scalia menunjukkan dengan tepat bagaimana karakter harus menjadi fondasi bagi
kecerdasan dan pengetahuan (brains and learning). Sebab kecerdasan dan
pengetahuan (termasuk informasi) itu sendiri memang dapat diperjualbelikan. Dan
sudah menjadi pengetahuan umum bahwa di era knowledge economy abad ke-21 ini
knowledge is power. Demikianlah makna penting sebuah karakter dan proses
pembentukkannya yang tidak pernah mudah melahirkan manusia-manusia yang tidak
bisa dibeli. Ke arah yang demikian itulah pendidikan dan pembelajaran - termasuk
pengajaran di institusi formal dan pelatihan di institusi nonformal--seharusnya
bermuara, yakni membangun manusia-manusia berkarakter (terpuji), manusia-
manusia yang memperjuangkan agar dirinya dan orang-orang yang dapat
dipengaruhinya agar menjadi lebih manusiawi, menjadi manusia yang utuh atau
memiliki integritas.
4. Membangun Bangsa Melalui Pendidikan karakter
Karakter adalah nilai-nilai yang unik-baik (tahu nilai kebaikan, mau berbuat baik,
dan nyata berkehidupan baik) yang terpateri dalam diri dan terejawantahkan dalam

17
perilaku. Karakter secara koheren memancar dari hasil olah pikir, olah hati, olah rasa
dan karsa, serta olahraga seseorang atau sekelompok orang. Karakter merupakan ciri
khas seseorang atau sekelompok orang yang mengandung nilai, kemampuan,
kapasitas moral, dan ketegaran dalam menghadapi kesulitan dan tantangan.
Sedangkan karakter bangsa adalah kualitas perilaku kolektif kebangsaan yang
unik-baik yang tecermin dalam kesadaran, pemahaman, rasa, karsa, dan perilaku
berbangsa dan bernegara dari hasil olah pikir, olah hati, olah rasa dan karsa, serta
olahraga seseorang atau sekelompok orang. Karakter bangsa Indonesia akan
menentukan perilaku kolektif kebangsaan Indonesia yang unik-baik yang tecermin
dalam kesadaran, pemahaman, rasa, karsa, dan perilaku berbangsa dan bernegara
Indonesia yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila, norma UUD 1945, keberagaman
dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika, dan komitmen terhadap NKRI.
Pembangunan Karakter Bangsa adalah upaya kolektif-sistemik suatu negara
kebangsaan untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang dan negaranya sesuai dengan
dasar dan ideologi, konstitusi, haluan negara, serta potensi kolektifnya dalam konteks
kehidupan nasional, regional, dan global yang berkeadaban. Semuanya itu untuk
membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, berbudi
luhur, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis,
berorientasi ipteks yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa berdasarkan Pancasila.
a. Pendidikan
Paradigma pendidikan saat ini telah bergeser, pendidikan atau mendidik tidak
hanya sebatas mentransfer ilmu saja, namun lebih jauh dan pengertian itu yang
lebih utama adalah dapat mengubah atau membentuk karakter dan watak
seseorang agar menjadi lebih baik, lebih sopan dalam tataran etika maupun
estetika maupun perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Idealnya demikian. Namun
apa yang terjadi di era sekarang? Banyak kita jumpai perilaku para anak didik kita
yang kurang sopan, bahkan lebih ironis lagi sudah tidak mau menghormati kepada
orang tua, baik guru maupun sesama. Banyak kalangan yang mengatakan bahwa
“watak” dengan “watuk” (batuk) sangat tipis perbedaannya. Apabila “watak” bisa
terjadi karena sudah dari sananya atau bisa juga karena faktor bawaan yang sulit
untuk diubah, namun apabila “watak” = batuk, mudah disembuhkan dengan
minum obat batuk. Mengapa hal ini bisa terjadi? Jelas hal ini tidak dapat terlepas
adanya perkembangan atau laju ilmu pengetahuan dan teknologi serta informasi
yang mengglobal, bahkan sudah tidak mengenal batas-batas negara hingga
mempengaruhi ke seluruh sendi kehidupan manusia.
Pendidikan merupakan proses pembudayaan, dan pendidikan juga dipandang
sebagai alat untuk perubahan budaya. Proses pembelajaran di sekolah merupakan
proses pembudayaan yang formal atau proses akulturasi. Proses akulturasi bukan
semata-mata transmisi budaya dan adopsi budaya, tetapi juga perubahan budaya.
Sebagaimana diketahui, pendidikan menyebabkan terjadinya beragam perubahan
dalam bidang sosial budaya, ekonomi, politik, dan agama. Namun, pada saat
bersamaan, pendidikan juga merupakan alat untuk konservasi budaya, transmisi,
adopsi, dan pelestarian budaya.
Proses pembudayaan terjadi dalam bentuk pewarisan tradisi budaya dari satu
generasi kepada generasi berikutnya, dan adopsi tradisi budaya oleh orang yang
belum mengetahui budaya tersebut sebelumnya. Pewarisan tradisi budaya dikenal
sebagai proses enkulturasi (enculturation), sedangkan adopsi tradisi budaya
dikenal sebagai proses akulturasi (aculturation). Kedua proses tersebut berujung
pada pembentukan budaya dalam suatu komunitas.

18
Proses pembudayaan enkulturasi biasanya terjadi secara informal dalam
keluarga, komunitas budaya suatu suku, atau komunitas budaya suatu wilayah.
Proses pembudayaan enkulturasi dilakukan oleh orang tua, atau orang yang
dianggap senior terhadap anak-anak, atau terhadap orang yang dianggap lebih
muda. Tata krama, adat istiadat, keterampilan suatu suku/keluarga biasanya
diturunkan kepada generasi berikutnya melalui proses enkulturasi.
Sementara itu, proses akulturasi biasanya terjadi secara formal melalui
pendidikan. Seseorang yang tidak tahu, diberitahu dan disadarkan akan
keberadaan suatu budaya, kemudian orang tersebut mengadopsi budaya tersebut.
Misalnya, seseorang yang pindah ke suatu tempat baru, kemudian mempelajari
bahasa, budaya, kebiasaan dari masyarakat di tempat baru tersebut, lalu orang itu
akan berbahasa dan berbudaya, serta melakukan kebiasaan sebagaimana
masyarakat di tempat itu
b. Urgensi Pendidikan Berbasis karakter
Pendidikan merupakan proses yang paling ber-tanggung jawab dalam
melahirkan warga negara Indonesia yang memiliki karakter kuat sebagai modal
dalam membangun peradaban tinggi dan unggul. Karakter bangsa yang kuat
merupakan produk dari pendidikan yang bagus dan mengembangkan karakter.
Ketika mayoritas karakter masyarakat kuat, positif, tangguh peradaban yang tinggi
dapat dibangun dengan baik dan sukses. Sebaliknya, jika mayoritas karakter
masyarakat negatif, karakter negatif dan lemah mengakibatkan peradaban yang
dibangun pun menjadi lemah sebab peradaban tersebut dibangun dalam fondasi
yang amat lemah.
Karakter bangsa adalah modal dasar membangun peradaban tingkat tinggi,
masyarakat yang memiliki sifat jujur, mandiri, bekerja-sama, patuh pada
peraturan, bisa dipercaya, tangguh dan memiliki etos kerja tinggi akan
menghasilkan sistem kehidupan sosial yang teratur dan baik. Ketidakteraturan
sosial menghasilkan berbagai bentuk tindak kriminal, kekerasan, terorisme dan
lain-lain.
Pembentukan karakter dan watak atau kepribadian ini sangat penting, bahkan
sangat mendesak dan mutlak adanya (tidak bisa ditawar-tawar lagi). Hal ini cukup
beralasan. Mengapa mutlak diperlukan? Karena adanya krisis yang terus
berkelanjutan melanda bangsa dan negara kita sampai saat ini belum ada solusi
secara jelas dan tegas, lebih banyak berupa wacana yang seolah-olah bangsa ini
diajak dalam dunia mimpi.
Banyak kalangan masyarakat yang mempunyai pandangan terhadap istilah
“kelatahan sosial” yang terjadi akhir-akhir ini. Hal ini memang terjadi dengan
berbagai peristiwa, seperti tuntutan demokrasi yang diartikan sebagai kebebasan
tanpa aturan, tuntutan otonomi sebagai kemandirian tanpa kerangka acuan yang
mempersatukan seluruh komponen bangsa, hak asasi manusia yang terkadang
mendahulukan hak daripada kewajiban. Pada akhirnya berkembang ke arah
berlakunya hukum rimba yang memicu kesukubangsaan (ethnicity). Kerancuan ini
menyebabkan orang frustasi dan cenderung meluapkan perasaan tanpa kendali
dalam bentuk “amuk massa atau amuk sosial”.
Berhadapan dengan berbagai masalah dan tantangan, pendidikan nasional
pada saat yang sama (masih) tetap memikul peran multidimensi. Berbeda dengan
peran pendidikan pada negara-negara maju, yang pada dasarnya lebih terbatas
pada transfer ilmu pengetahuan, peranan pendidikan nasional di Indonesia
memikul beban lebih berat Pendidikan berperan bukan hanya merupakan sarana
transfer ilmu pengetahuan saja, tetap lebih luas lagi sebagai pembudayaan
(enkulturisasi) yang tentu saja hal terpenting dan pembudayaan itu adalah

19
pembentukan karakter dan watak (nation and character building), yang pada
gilirannya sangat krusial bagi notion building atau dalam bahasa lebih populer
menuju rekonstruksi negara dan bangsa yang lebih maju dan beradab.
Oleh karena itu, reformasi pendidikan sangat mutlak diperlukan untuk
membangun karakter atau watak suatu bangsa, bahkan merupakan kebutuhan
mendesak. Reformasi kehidupan nasional secara singkat, pada intinya bertujuan
untuk membangun Indonesia yang lebih genuinely dan authentically demokratis
dan berkeadaban, sehingga betul-betul menjadi Indonesia baru yang madani, yang
bersatu padu (integrated). Di samping itu, peran pendidikan nasional dengan
berbagai jenjang dan jalurnya merupakan sarana paling strategis untuk mengasuh,
membesarkan dan mengembangkan warga negara yang demokratis dan memiliki
keadaban (civility) kemampuan, keterampilan, etos dan motivasi serta
berpartisipasi aktif, merupakan ciri dan karakter paling pokok dari suatu
masyarakat madani Indonesia. Jangan sampai yang terjadi malah kekerasan yang
meregenerasi seperti halnya yang terjadi di IPDN yang menjadi sorotan akhir-
akhir ini (Kompas 16/4), Kekerasan fisik yang mengorbankan nyawa dan harta
benda tersebut, sangat jelas terkait pula dengan masih bertahannya “kekerasan
struktural” (structural violence) pada tingkat tertentu. Akibatnya, perdamaian hati
secara hakiki tidak atau belum berhasil diwujudkan.
c. Implementasi Pendidikan berbasis Karakter
Pendidikan karakter merupakan upaya yang harus melibatkan semua pihak
baik rumah tangga dan keluarga, sekolah dan lingkungan sekolah, masyarakat
luas. Oleh karena itu, perlu menyambung kembali hubungan dan educational
networks yang mulai terputus tersebut. Pembentukan dan pendidikan karakter
tersebut, tidak akan berhasil selama antar lingkungan pendidikan tidak ada
kesinambungan dan keharmonisan.
Dengan demikian, rumah tangga dan keluarga sebagai lingkungan
pembentukan dan pendidikan karakter pertama dan utama harus lebih
diberdayakan. Sebagaimana disarankan Philips, keluarga hendaklah kembali
menjadi school of love, sekolah untuk kasih sayang (Philips, 2000) atau tempat
belajar yang penuh cinta sejati dan kasih sayang (keluarga yang sakinah,
mawaddah, dan warrahmah). Sedangkan pendidikan karakter melalui sekolah,
tidak semata-mata pembelajaran pengetahuan semata, tatapi lebih dari itu, yaitu
penanaman moral, nilai-nilai etika, estetika, budi pekerti yang luhur dan lain
sebagainya. Pemberian penghargaan (prizing) kepada yang berprestasi, dan
hukuman kepada yang melanggar, menumbuhsuburkan (cherising) nilai-nilai yang
baik dan sebaliknya mengecam dan mencegah (discowaging) berlakunya nilai-
nilai yang buruk. Selanjutnya menerapkan pendidikan berdasarkan karakter
(characterbase education) dengan menerapkan ke dalam setiap pelajaran yang ada
di samping mata pelajaran khusus untuk mendidik karakter, seperti; pelajaran
Agama, Sejarah, Moral Pancasila dan sebagainya.
Di samping itu tidak kalah pentingnya pendidikan di masyarakat. Lingkungan
masyarakat juga sangat mempengaruhi terhadap karakter dan watak seseorang.
Lingkungan masyarakat luas sangat mempengaruhi terhadap keberhasilan
penanaman nilai-nilai etika, estetika untuk pembentukan karakter. Menurut Qurais
Shihab (1996 ; 321), situasi kemasyarakatan dengan sistem nilai yang dianutnya,
mempengaruhi sikap dan cara pandang masyarakat secara keseluruhan. Jika
sistem nilai dan pandangan mereka terbatas pada kini dan di sini, maka upaya dan
ambisinya terbatas pada hal yang sama.
Apabila kita cermati bersama, bahwa desain pendidikan yang mengacu pada
pembebasan, penyadaran dan kreativitas sesungguhnya sejak masa kemerdekaan

20
sudah digagas oleh para pendidik kita, seperti Ki Hajar Dewantara, KH. Ahmad
Dahlan, Prof. HA. Mukti Ali, Ki Hajar Dewantara misalnya, mengajarkan praktek
pendidikan yang mengusung kompetensi/kodrat alam anak didik, bukan dengan
perintah paksaan, tetapi dengan “tuntunan” bukan “tontonan”. Sangat jelas cara
mendidik seperti ini dikenal dengan pendekatan “among”’ yang lebih menyentuh
langsung pada tataran etika, perilaku yang tidak terlepas dengan karakter atau
watak seseorang. KH. Ahmad Dahlan berusaha “mengadaptasi” pendidikan
modern Barat sejauh untuk kemajuan umat Islam, sedangkan Mukti Ali
mendesain integrasi kurikulum dengan penambahan berbagai ilmu pengetahuan
dan keterampilan. Namun mengapa dunia pendidikan kita yang masih berkutat
dengan problem internalnya, seperti penyakit dikotomi, profesionalitas
pendidiknya, sistem pendidikan yang masih lemah, perilaku pendidiknya dan lain
sebagainya.
d. Mengembangkan karakter
Salah satu poin penting dari tugas pendidikan adalah membangun karakter
(character building) anak didik. Karakter merupakan standar-standar batin yang
terimplementasi dalam berbagai bentuk kualitas diri. Karakter diri dilandasi nilai-
nilai serta cara berpikir berdasarkan nilai-nilai tersebut dan terwujud di dalam
perilaku. Bentuk-bentuk karakter yang dikembangkan telah dirumuskan secara
berbeda.
Indonesia Heritage Foundation merumuskan beberapa bentuk karakter yang
harus ada dalam setiap individu bangsa Indonesia di antaranya; cinta kepada Allah
dan semesta beserta isinya, tanggung jawab, disiplin dan mandiri, jujur, hormat
dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerja sama, percaya diri, kreatif, kerja keras
dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan, baik dan rendah hati, dan
toleransi, cinta damai dan persatuan. Sementara itu, character counts di Amerika
mengidentifikasikan bahwa karakter-karakter yang menjadi pilar adalah; dapat
dipercaya (trustworthiness), rasa hormat dan perhatian (respect), tanggung jawab
(responsibility), jujur (fairness), peduli (caring), kewarganegaraan (citizenship),
ketulusan (honesty), berani (courage), tekun (diligence) dan integritas.
Pada intinya bentuk karakter apa pun yang dirumuskan tetap harus
berlandaskan pada nilai-nilai universal. Oleh karena itu, pendidikan yang
mengembangkan karakter adalah bentuk pendidikan yang bisa membantu
mengembangkan sikap etika, moral dan tanggung jawab, memberikan kasih
sayang kepada anak didik dengan menunjukkan dan mengajarkan karakter yang
bagus. Hal itu merupakan usaha intensional dan proaktif dari sekolah, masyarakat
dan negara untuk mengisi pola pikir dasar anak didik, yaitu nilai-nilai etika seperti
menghargai diri sendiri dan orang lain, sikap bertanggung jawab, integritas, dan
disiplin diri. Hal itu memberikan solusi jangka panjang yang mengarah pada isu-
isu moral, etika dan akademis yang merupakan concern dan sekaligus
kekhawatiran yang terus meningkat di dalam masyarakat.
Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan tersebut seharusnya menjadi
dasar dari kurikulum sekolah yang bertujuan mengembangkan secara
berkesinambungan dan sistematis karakter siswa. Kurikulum yang menekankan
pada penyatuan pengembangan kognitif dengan pengembangan karakter melalui
pengambilan perspektif, pertimbangan moral, pembuatan keputusan yang matang,
dan pengetahuan diri tentang moral.
Di samping nilai tersebut diintegrasikan dalam kurikulum, juga yang tidak
kalah penting adalah adanya role model yang baik dalam masyarakat untuk
memberikan contoh dan mendorong sifat baik tertentu atau ciri-ciri karakter yang
diinginkan, seperti kejujuran, kesopanan, keberanian, ketekunan, kesetiaan,

21
pengendalian diri, simpati, toleransi, keadilan, menghormati harga diri individu,
tanggung jawab untuk kebaikan umum dan lain-lain.
Lebih spesifiknya, menurut Dr Thomas Lickona, pendidikan yang
mengambangkan karakter adalah upaya yang dilakukan pendidikan untuk
membantu anak didik supaya mengerti, memedulikan, dan bertindak berdasarkan
nilai-nilai etika. Anak didik bisa menilai mana yang benar, sangat memedulikan
tentang yang benar, dan melakukan apa yang mereka yakini sebagai yang benar--
walaupun ada tekanan dari luar dan godaan dari dalam.
D. Peranan Lingkungan dalam Membangun Karakter
Sementara itu, upaya pendidikan yang dilakukan di sekolah oleh para guru seperti
membuat ‘istana pasir di tepi pantai’. Sekolah dengan sekuat tenaga membangun istana
yang cantik, tetapi begitu anak keluar dari lingkungan sekolah, ombak besar
meluluhlantakkan istana yang telah dibangun di sekolah. Oleh karena itu, perlu
pendekatan yang komprehensif dari sekolah, keluarga, dan masyarakat dalam
mengembangkan karakter anak didik yang kuat, baik, dan positif secara konsisten.
Lingkungan masyarakat, para pemimpin, pembuat kebijakan, pemegang otoritas di
masyarakat, orang tua harus menjadi role model yang baik dalam menanamkan karakter
yang baik kepada anaknya. Berbagai prilaku ambigu dan inkonsistensi yang
diperlihatkan dalam masyarakat akan memberi kontribusi yang buruk yang secara
signifikan dapat melemahkan karakter siswa.
Character education quality standards merekomendasikan bahwa pendidikan akan
secara efektif mengembangkan karakter anak didik ketika nilai-nilai dasar etika
dijadikan sebagai basis pendidikan, menggunakan pendekatan yang tajam, proaktif dan
efektif dalam membangun dan mengembangkan karakter anak didik serta menciptakan
komunitas yang peduli, baik di keluarga, sekolah maupun masyarakat sebagai
komunitas moral yang berbagi tanggung jawab untuk pendidikan yang mengembangkan
karakter dan setia dan konsisten kepada nilai dasar yang diusung bersama-sama.

BAB IV
PENDIDIKAN KARAKTER
DI SEKOLAH
A. Pendahuluan

22
Pendidikan karakter adalah gerakan nasional untuk menciptakan sekolah yang
membina generasi muda yang beretika, bertanggung jawab, dan perduli melalui
pemodelan dan mengajarkan karakter baik dengan penekanan pada nilai universal yang
kita setujui bersama. Ini adalah suatu usaha yang disengaja dan proaktif baik dari
sekolah, daerah, dan juga negara untuk menanamkan siswanya pada nilai etika utama
seperti menghargai diri sendiri dan orang lain, bertanggung jawab, integritas, dan
disiplin diri. Ini bukanlah suatu “perbaikan cepat” atau “obat kilat untuk semua”. Dia
menyediakan solusi jangka panjang pada moral, etika, dan isu akademis yang menjadi
keprihatinan yang berkembang di masyarakat dan keselamatan di sekolah-sekolah kita.
Pendidikan karakter boleh ditujukan pada keprihatinan kritis seperti siswa yang
membolos, masalah disiplin, penggunaan obat terlarang, kekerasan berkelompok, hamil
muda, dan performa akademis yang buruk. Pada kemungkinan yang terbaik, pendidikan
karakter mengintegrasikan nilai positif ke setiap aspek dari hari-hari di sekolah.

B. Urgensi Pendidikan Karakter di Sekolah


Institusi sekolah memiliki beban tugas tugas penting, tidak sebatas membangun dan
meningkatkan penguasaan informasi dan teknologi dari anak didik, tetapi ia juga
bertugas dalam pembentukan kapasitas bertanggungjawab siswa dan kapasitas
pengambilan keputusan yang bijak dalam kehidupan, sebagai mana di ungkapkan oleh
Horace Mann (1837),: “the highest and noblest office of education pertains to our moral
nature. The common school should teach virtue before knowlede, for.. knowledge
without virtue poses its own dangers “ Karena itu menurut Mann (1796-1859) bahwa
sekolah negeri haruslah menjadi penggerak utama dalam pendikan yang bebas (free
public education), dimana pendidikan sebaiknya bersifat universal, tidak memihak (non
sectarian), dan bebas. Dengan demikian menurut Mann sejalan dengan John Dewey,
seorang filsuf pendidikan, tujuan utama pendidikan adalah sebagai penggerak efisiensi
sosial, pembentuk kebijakan berkewarganegaraan (civic virtue) dan penciptaan manusia
berkarakter, jadi bukan untuk kepentingan salah satu pihak tertentu (sectarian ends).
Konsep moral reasoning dan values clarification yang selama ini di banggakan
telah menuai kecaman, yakni kegagalan melahirkan generasi yang dapat menentukan
kehidupan masyarakat, bangsa dan negara sehingga masyarakat memerlukan warga
negara yang baik (caring citizenry) dengan karakter moral yang baik pula. Mereka juga
yakin bahwa seseorang tidak secara otomatis memiliki karakter moral yang baik
sehingga perlu dipikirkan upaya untuk mendidik karakter secara efektif (effective
character education).
Brooks dan Goble membuat rumusan paradigma baru pembelajaran dalam bukunya
The Case for Character Education agar sistem pendidikan moral tidak lagi memikirkan
tentang nilai-nilai siapa yang akan diajarkan pada siswa di sekolah, akan tetapi perlu
dipikirkan nilai-nilai apa yang akan diajarkan pada siswa (what values should we
teach?). Dia juga menekankan bahwa agama-agama besar di Amerika telah memiliki
kesamaan dalam hal pendidikan karakter dan mempunyai nilai-nilai luhur yang dapat
ditemukan dalam masing-masing ajaran agamanya:
Menurut William Bennett (1991) sekolah mempunyai peran yang amat penting
dalam pendidikan karakter anak, terutama jika anak-anak tidak mendapatkan pendidikan
karakter di rumah. Argumennya didasarkan kenyataan bahwa anak-anak Amerika
menghabiskan cukup banyak waktu di sekolah, dan apa yang terekam dalam memori
anak-anak di sekolah akan mempengaruhi kepribadian anak ketika dewasa kelak.
Di Indonesia, dimana agama di ajarkan di sekolah-sekolah negeri, kelihatannya
pendidikan moral masih belum berhasil dilihat dari parameter kejahatan dan
demoralisasi masyarakat yang tampak meningkat pada periode ini. Dilihat dari
esensinya seperti yang terlihat dari kurikulum pendidikan agama tampaknya agama

23
lebih mengajarkan pada dasar-dasar agama, sementara akhlak atau kandungan nilai-nilai
kebaikan belum sepenuhnya disampaikan. Dilihat dari metode pendidikan pun
tampaknya terrjadi kelemahan karena metode pendidikan yang disampaikan
dikonsentrasikan atau terpusat pada pendekatan otak kiri/kognitif, yaitu hanya
mewajibkan siswa didik untuk mengetahui dan menghafal (memorization) konsep dan
kebenaran tanpa menyentuh perasaan, emosi, dan nuraninya. Selain itu tidak dilakukan
praktek perilaku dan penerapan nilai kebaikan dan akhlak mulia dalam kehidupan di
sekolah. Ini merupakan kesalahan metodologis yang mendasar dalam pengajaran moral
bagi manusia. Karena itu tidaklah aneh jika dijumpai banyak sekali inkonsistensi antara
apa yang diajarkan di sekolah dan apa yang diterapkan anak di luar sekolah. Dengan
demikian peran orangtua dalam pendidikan agama untuk membentuk karakter anak
(baca:akhlak) menjadi amat mutlak, karena melalui orangtua pulalah anak memperoleh
kesinambungan nilai-nilai kebaikan yang telah ia ketahui di sekolah. Tanpa keterlibatan
orangtua dan keluarga maka sebaik apapun nilai-nilai yang diajarkan di sekolah akan
menjadi sia-sia, sebab pendidikan karakter (akhlak, moral dan etika) harus mengandung
unsur afeksi, perasaan, sentuhan nurani, dan prakteknya sekaligus dalam bentuk amalan
kehidupan sehari-hari.

C. Nilai-nilai yang Diajarkan Dalam Pendidikan Karakter di Sekolah


Dalam pendidikan karakter Lickona (1992) menekankan pentingya tiga komponen
karakter yang baik (components of good character) yaitu moral knowing atau
pengetahuan tentang moral, moral feeling atau perasaan tentang moral dan moral action
atau perbuatan bermoral. Hal ini diperlukan agar siswa didik mampu memahami,
merasakan dan mengerjakan sekaligus nilai-nilai kebajikan.
Pertama, Moral Knowing, Secara umum terdapat enam hal yang menjadi tujuan dari
diajarkannya moral knowing yaitu: 1) moral awereness, 2) knowing moral values, 3)
persperctive taking, 4) moral reasoning, 5) decision making dan 6) self-knowledge.
Kedua Moral Feeling. Terdapat 6 hal yang merupakan aspek dari emosi yang harus
mampu dirasakan oleh seseorang untuk menjadi manusia berkarakter yakni : 1)
conscience, 2) self-esteem, 3) empathy, 4) loving the good, 5) self-control dan 6)
humility.
Ketiga Moral Action. Perbuatan/tindakan moral ini merupakan hasil (outcome) dari
dua komponen karakter lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang
dalam perbuatan yang baik (act morally) maka harus dilihat tiga aspek lain dari karakter
yaitu : 1) kompetensi (competence), 2) keinginan (will) dan 3) kebiasaan (habit).
Dalam implementasinya di kelas pendidikan karakter bisa dikembangkan melalui
point-point berikut::
1. Cinta Tuhan dan kebenaran (love Allah, trust, reverence, loyalty)
2. Tanggungjawab, kedisiplinan, dan kemandirian (responsibility, excellence, self
reliance, discipline, orderliness)
3. Amanah (trustworthiness, reliability, honesty)
4. Hormat dan santun (respect, courtessy, obedience)
5. Kasih sayang, kepedulian, dan kerjasama (love, compassion, caring, empathy,
generousity, moderation, cooperation)
6. Percaya diri, kreatif, dan pantang menyerah (confidence, assertiveness, creativity,
resourcefulness, courage, determination and enthusiasm)
7. Keadilan dan kepemimpinan (justice, fairness, mercy, leadership)
8. Baik dan rendah hati (kindness, friendliness, humility, modesty)
9. Toleransi dan cinta damai (tolerance, flexibility, peacefulness, unity)

24
D. Elemen dan Pendekatan Pendidikan Karakter di Sekolah
Menurut Brooks dan Gooble dalam menjalankan pendidikan karakter terdapat tiga
elemen yang penting untuk diperhatikan yaitu prinsip, proses dan prakteknya dalam
pengajaran. Dalam menjalankan prinsip itu maka nilai-nilai yang diajarkan harus
termanifestasikan dalam kurikulum sehingga semua siswa dalam sekolah faham benar
tentang nilai-nilai tersebut dan mampu menerjemahkannya dalam perilaku nyata. Untuk
itu maka diperlukan pendekatan optimal untuk mengajarkan karakter secara efektif yang
menurut Brooks dan Goble harus diterapkan di seluruh sekolah (school-wide approach).
Pendekatan yang sebaiknya dilaksanakan adalah meliputi:
1. sekolah harus dipandang sebagai suatu lingkungan yang diibaratkan seperti pulau
dengan bahasa dan budayanya sendiri. Namun sekolah juga harus memperluas
pendidikan karakter bukan saja kepada guru, staf dan siswa didik, tetapi juga kepada
keluarga/rumah dan masyarakat sekitarnya.
2. Dalam menjalankan kurikulum karakter maka sebaiknya: 1) pengajaran tentang nilai-
nilai berhubungan dengan sistem sekolah secara keseluruhan; 2) diajarkan sebagai
subyek yang berdiri sendiri (separate-stand alone subject) namun diintegrasikan
dalam kurikulum sekolah keseluruhan; 3) seluruh staf menyadari dan mendukung
tema nilai yang diajarkan.
3. Penekanan ditempatkan untuk merangsang bagaimana siswa menterjemahkan prinsip
nilai ke dalam bentuk perilaku pro-sosial.
Mengingat moral adalah sesuatu yang bersifat abstrak maka nilai-nilai moral
kebaikan harus diajarkan pada generasi muda ini. Oleh sebab itu tema yang sesuai
dengan usia anak dalam berpikir konkrit perlu diakomodasi. Cerita-cerita kepahlawanan
dan kisah kehidupan yang perlu diteladani baik dari para orang bijak, maupun para
pejuang bangsa dan humanisme tetap diperlukan. Bahkan imajinasi anak terhadap
kehidupan yang ideal ini (meskipun apa yang dilihatnya dari sekitarnya tidaklah
demikian) perlu ditekankan kepada anak agar ia mencintai kebajikan dan terdorong
untuk berbuat hal yang sama.
Kritik para pendidik progresif tentang indoktrinasi nilai (Simon, Kirschenbaum, dan
lain-lain) sebagai sesuatu hal yang tidak boleh dipaksakan kepada anak justru
merupakan kelemahan dari mereka sendiri. Sebab pendidikan tanpa nilai moral seperti
yang mereka lakukan kepada siswa didik adalah merupakan nilai sendiri. Karena itu
dalam mendidik karakter pada anak pengenalan dini terhadap nilai baik dan buruk
sangat diperlukan. Namun sejalan dengan perkembangan usia anak maka alasan
(reason) atau mengapa (why) di balik nilai-nilai baik dan buruk dapat mulai diajarkan
kepada siswa didik. Sekali lagi perlu difahami benar oleh para pendidik dan pemerhati
kehidupan bangsa, bahwa pendidikan moral dan karakter adalah seperti dua sisi mata
uang yang saling melengkapi yang memiliki tujuan mulia dalam membentuk moral
manusia, sebab tanpa moral maka manusia seperti dikatakan Wilson (1997) hanyalah
seperti “social animal”. Untuk itu maka tugas para pendidik dan sekolah-lah untuk
menjadikan manusia menjadi makhluk baik yang beradab dan berbudi luhur, seperti
dikatakan Lickona :”Moral education is not a new idea. It is in fact, as old as education
itself. Down through history, in countries all over the world, education has had two
great goals: to help young people become smart and to help them become good”

E. Strategi Pendidikan Karakter di Sekolah


1. Permasalahan
Membangun karakter dari pintu pendidikan harus dilakukan secara
komprehensif-integral, tidak hanya melalui pendidikan formal, namun juga melalui
pendidikan informal dan non formal. Selama ini, ada kecenderungan pendidikan

25
formal, informal dan non formal, berjalan terpisah satu dengan yang lainnya.
Akibatnya, pendidikan karakter seolah menjadi tanggung jawab secara parsial.
Banyak hal yang memiriskan ketika mengamati sistem pendidikan kita. Di depan
mata, nilai-nilai kejujuran telah diinjak-injak. Mencontek, menjiplak karya orang
lain, melakukan sabotase, adalah hal yang sering terjadi dan dianggap biasa.
Pendidikan kita selama ini, sepertinya lebih banyak menghasilkan generasi yang
pandai mengeluh, membebek, dan mengambil jalan pintas. Untuk menanamkan nilai
kejujuran misalnya, sekolah ramai-ramai membuat kantin kejujuran. Anak diajak
untuk jujur dalam membeli dan membayar barang yang dibeli tanpa ada yang
mengontrolnya.
Namun sayang, gagasan yang tampaknya relevan dalam mengembangkan nilai
kejujuran ini mengabaikan prinsip dasar pedagogi pendidikan berupa kedisiplinan
sosial yang mampu mengarahkan dan membentuk pribadi anak didik.
Di rumah misalnya, PR yang harusnya dikerjakan anak justru dikerjakan oleh
orang tua atau kakaknya, bukan mendampingi dan menuntun anak menyelesaikan PR
tersebut. Di sekolah, sering kali ditemukan anak-anak yang menyontek ketika ujian
karena mengejar target kelulusan dengan nilai tinggi.
Demikian juga perilaku masyarakat banyak yang memberi contoh kurang
mendidik seperti perilaku kurang sopan, mencuri, dan yang lainnya.
2. Bagaimana mengatasinya?
Secara institusional, Pemerintah hendaknya memasukkan pendidikan budaya dan
karakter bangsa melalui penguatan kurikulum, mulai dari tingkat sekolah dasar
hingga perguruan tinggi, sebagai bagian dari penguatan sistem pendidikan nasional.
Hal ini penting dilakukan agar nilai-nilai budaya dan karakter bangsa itu tetap
melekat pada diri anak sehingga tidak terjadi lost generation dalam hal budaya dan
karakter bangsa.
Keluaran (output) pendidikan harus direorientasi pada keseimbangan tiga unsur
pendidikan berupa karakter diri, pengetahuan, soft skill. Jadi bukan hanya berhasil
mewujudkan anak didik yang cerdas otak, tetapi juga cerdas hati, dan cerdas raga.
Lickona (2007) menyatakan: terdapat 11 prinsip agar pendidikan karakter dapat
berjalan efektif: (1) kembangkan nilai-nilai etika inti dan nilai-nilai kinerja
pendukungnya sebagai fondasi, (2) definisikan “karakter” secara komprehensif yang
mencakup pikiran, perasaan, dan perilaku, (3) gunakan pendekatan yang
komprehensif, disengaja, dan proaktif, (4) ciptakan komunitas sekolah yang penuh
perhatian, (5) beri siswa kesempatan untuk melakukan tindakan moral.(6) buat
kurikulum akademik yang bermakna dan menantang yang menghormati semua
peserta didik, mengembangkan karakter, dan membantu siswa untuk berhasil. (7)
Usahakan mendorong motivasi diri siswa, (8) libatkan staf sekolah sebagai
komunitas pembelajaran dan moral, (9) tumbuhkan kebersamaan dalam
kepemimpinan moral, (10) libatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra,
dan (11) evaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidik karakter, dan
sejauh mana siswa memanifestasikan karakter yang baik.
Agar dapat berjalan efektif, pendidikan karakter dapat dilakukan melalui tiga
desain, yakni; (1) Desain berbasis kelas, yang berbasis pada relasi guru sebagai
pendidik dan siswa sebagai pembelajar, (2) Desain berbasis kultur sekolah, yang
berusaha membangun kultur sekolah yang mampu membentuk karakter anak didik
dengan bantuan pranata sosial sekolah agar nilai tertentu terbentuk dan terbatinkan
dalam diri siswa, dan (3) Desain berbasis komunitas.
Dalam mendidik, komunitas sekolah tidak berjuang sendirian. Masyarakat di luar
lembaga pendidikan, seperti keluarga, masyarakat umum, dan negara, juga memiliki

26
tanggung jawab moral untuk mengintegrasikan pembentukan karakter dalam konteks
kehidupan mereka.
Dengan desain demikian, pendidikan karakter akan senantiasa hidup dan sinergi
dalam setiap rongga pendidikan. Sejak anak lahir atau bahkan masih dalam
kandungan, ketika berada di lingkungan sekolah, kembali ke rumah, dan bergaul
dalam lingkungan sosial masyarakatnya, akan selalu menjadi tempat bagi anak-anak
untuk belajar, mencontoh, dan mengaktualisasikan nilai-nilainya yang dipelajari dan
dilihatnya itu.
Hal lain yang perlu diperhatikan agar pendidikan karakter berhasil di
kembangkan di sekolah yakni :
Pertama, istilah karakter harus sama-sama dipahami dahulu. Kebanyakan
sekolah mengindetikkan karakter dengan pelajaran agama, sehingga dikuatirkan
justru kegiatan keagamaan yang ditonjolkan. Padahal pendidikan karakter bukan
hanya tentang agama an sich. Karakter lebih kepada agama yang dipraktekan
(teopraksis), yang mana nilai-nilai universalnya hidup, menjadi sehingga
menumbuhkembangkan kebiasaan yang positif dan produktif yang berujung kepada
pembentukan manusia yang berwawasan dan bertindak luas dan mempunyai
kepribadian, identitas dan kepercayaan diri, dan nilai-nilai yang berdasarkan
Pancasila.
Kedua, pembentukan karakter tidak dapat terjadi melalui proses belajar mengajar
di kelas secara konvensional. Dalam hal ini peran seorang guru sebagai role model
mutlak dibutuhkan. Fenomena yang kita lihat di sekolah adalah guru adalah “sumber
pengetahuan” bagi murid, sedangkan kepala sekolah adalah “sumber pengetahuan”
bagi guru. Yang saya maksud adalah baik murid maupun guru sudah keenakan
diajarkan dan dinasihati. Saya perhatikan bahkan kepala sekolah juga sangat suka
dinasihati oleh pejabat pemerintahan.
Pembangunan karakter jangan sampai terjebak dalam kebiasaan menasihati
semata. Karakter hanya terbentuk dengan persentuhan kualitas kepribadian dalam
proses belajar bersama. Karakter murid akan terbentuk ketika mereka melihat
kualitas hidup gurunya dalam proses interaksi bersama, demikian juga guru terhadap
kepala sekolah, dan kepala sekolah terhadap pejabat daerah. Maka dalam hal ini
peran kepala sekolah sebagai instructional leader (pemimpin pembelajaran) dan
pejabat daerah sebagai teladan dalam karakter sangat berpengaruh.
Ketiga, keberhasilan pendidikan karakter harus jelas indikatornya. Nilai-nilai
karakter ini akan menjadi bagian di dalam kurikulum, rencana pembelajaran, dan
silabus, yang dikemas di dalam KTSP. Namun untuk kita ingat bersama masih
banyak KTSP sekolah yang adalah bagian dari standar pendidikan yang belepotan.
Tidak sedikit juga sekolah yang mengaku sudah lengkap KTSP nya namun tidak
mempunyai akar pemahaman yang kuat. Wajar dicurigai kalau dokumen KTSP
sebagian sekolah adalah hasil copy paste, bukan lahir dari kristalisasi kegelisahan
bersama yang didiskusikan dan direfleksikan bersama para pelaku pendidikan.
Padahal KTSP ini sudah dicanangkan lebih dari 5 (lima) tahun terakhir, bahkan
Kemendikas dan pemerintah daerah sudah sangat banyak mengucurkan dana untuk
mengadakan berbagai pelatihan penyusunan KTSP tersebut.
Keempat, kalau pemerintah pusat benar-benar berkomitmen dengan
pembentukan karakter bangsa ini maka tanggung jawab jangan semata-mata
diserahkan kepada Kementerian Pendidikan Nasional semata, perlu kerja sama
seluruh elemen masyarakat karena salah besar jika kita ingin mengubah karakter
bangsa hanya dengan mengubah sekolah. Ada banyak hal yang semestinya dibenahi
antara lain: pemerintah harus berani mengubah acara-acara di TV di mana pada saat
jam belajar malam siswa tidak ada siaran sinetron; selain selain waktunya yang

27
menggangu anak belajar acaranya juga sering kali menonjolkan tindakan amoral dan
ketidakjujuran; membatasi program-program “pencari bakat” di TV yang
mengandung unsur ekspoitasi anak dan menumbuhkembangkan lagi progam-
program TV yang sarat muatan pendidikan; membatasi situs-situs internet yang
merusak moral; menghukum secara tegas dan terbuka kepada publik para produsen
dan penyebar narkoba; dan lain sebagainya.
Pengambilan kebijakan pemihakan terhadap pembangunan karakter secara
konsiten ini mencerminkan karakter pemerintah yang sangat efektif dalam
membangun kesadaran dan semangat pelaku pendidikan. Jika hal tersebut di atas
berhasil dilaksanakan maka pemerintah akan semakin kuat legitimasinya sebagai
garda depan dalam pembentukan karakter bangsa. Yang terakhir, libatkan
masyarakat secara penuh mulai dari proses perencanaan sampai evaluasi. Makna
karakter yang ingin dibentuk pada peserta didik harus berasal dari masyarakat dan
menjadi tanggung jawab semua pihak, bukan hanya sekolah. Pilihlah pegawai
pemerintah yang eligible, berkarakter kuat, dan mau fokus dan bekerja keras dalam
membangun pondasi program ini. Program ini hanya bisa optimal jika penggeraknya
adalah orang-orang yang disegani karena dedikasi dan karakternya yang baik. Orang-
orang seperti itu sebenarnya banyak, namun sering tertutup oleh orang-orang yang
senang mencari muka saja.
Oleh karena ini secara teknis mereka yang potensial harus diberi ruang gerak
yang luas sehingga pekerjaan mereka juga dapat berjalan sebagaimana yang telah
direncanakan. Selain itu libatkan secara luas motivator, penceramah, pelatih, yang
berkualitas dengan catatan para motivator tersebut tidak boleh menjadikan kegiatan
ini sebagai ajang bisnis pula. Kalau hal-hal di atas dapat dilaksanakan secara
konsisten dan berkelanjutan, saya optimis program ini dalam waktu tidak begitu lama
akan mulai dapat dituai hasilnya.
Beberapa catatan ini sebenarnya masih sangat sederhana dan tidak akan
menjawab rumitnya pembangunan karakter di negeri tercinta ini. Ringkasnya,
pendidikan pembentukan karakter hanya bisa berhasil jika dimulai dari hal-hal yang
mendasar, keseharian, dan yang terkadang kelihatannya sepele, bukan dengan
retorika dan slogan-slogan yang fantastis. Masih teringat kalimat Bung Karno sebagi
inti nation and character building, “Satukan kata dan perbuatan!”.

F. Karakter Utama dalam Pendidikan Karakter di Sekolah


Untuk membangun pendidikan karakter yang kuat, harus memperhatikan delapan
karakter utama pendidikan karakter di sekolah yakni
4. Courage: Keberanian / Keteguhan Hati: Memiliki keinginan untuk berbuat yang
benar meskipun yang lain tidak. Memiliki keberanian untuk mengikuti kesadaran /
kebenaran dibandingkan mengikuti kebanyakan orang lain. Memilih hal-hal yang
baik bila memang lebih bermanfaat.
5. Good Judgement: Pertimbangan yang Baik: Memilih tujuan hidup yang baik dan
membuat prioritas yang sesuai, berfikir sampai pada konsekuensi dari setiap aksi, dan
memutuskan berdasar pada kebijaksanaan dan pendirian yang baik.
6. Integrity: Integritas: Memiliki kekuatan dalam (inner strength) untuk jujur, dapat
dipercaya, dan berkata benar dalam segala hal. Bersikap adil dan terhormat.
7. Kindness: Kebaikan hati: Perhatian, sopan, membantu, dan memahami orang lain;
memperlihatkan perhatian, rasa kasihan, berkawan, dan dermawan, dan
memperlakukan orang lain seperti halnya anda ingin diperlakukan.
8. Perseverance: Ketekunan:Tekun mengejar tujuan hidup meskipun dihalangi
kesulitan, perlawanan, atau keputusasaan. Memperlihatkan kesabaran dan keinginan
untuk mencoba lagi meskipun ada keterlambatan, kesalahan, atau kegagalan.

28
9. Respect: Penghargaan: Memperlihatkan penghargaan pada wewenang, pada orang
lain, pada diri sendiri, untuk barang hak milik, dan untuk Negara. Dan memahami
bahwa semua orang memiliki nilai sebagai manusia.
10. Responsibility: Tanggung Jawab: Bebas dalam menjalankan kewajiban dan tugas,
menunjukkan dapat diandalkan dan konsisten dalam perkataan dan perbuatan, dapat
dipercaya dalam setiap kegiatan, dan komitmen untuk aktif terlibat di lingkungan.
11. Self-Discipline: Disiplin Diri: Memperlihatkan kerja keras dan komitmen pada
tujuan, mengatur diri untuk perbaikan diri dan juga menghindari perilaku tidak baik,
dapat mengendalikan kata-kata, aksi, reaksi, dan juga keinginan. Menghindari seks di
luar nikah, narkoba, alcohol, rokok, zat dan perilaku berbahaya lainnya. Melakukan
yang terbaik dalam segala hal.

G. Strategi Pembangunan Karakter Bangsa Melalui Pendidikan


Strategi pembangunan karakter bangsa melalui pendidikan dapat dilakukan dengan
pendidikan dan pembelajaran dan fasilitasi sebagai berikut. Pendidikan merupakan
tulang punggung strategi pembentukan karakter bangsa. Hal itu terjadi karena dalam
konteks makro, penyelenggaraan pendidikan karakter mencakup keseluruhan kegiatan
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengendalian mutu yang melibatkan
seluruh unit utama di lingkungan pemangku kepentingan pendidikan nasional.
Peran pendidikan sangat strategis karena merupakan pembangun integrasi nasional
yang kuat. Selain dipengaruhi faktor politik dan ekonomi, pendidikan juga dipengaruhi
faktor sosial budaya, khususnya dalam aspek integrasi dan ketahanan sosial.
Disadari bahwa pembangunan karakter bangsa dihadapkan pada berbagai masalah
yang sangat kompleks. Perkembangan masyarakat yang sangat dinamis sebagai akibat
dari globalisasi dan pesatnya kemajuan teknologi komunikasi dan informasi tentu
merupakan masalah tersendiri dalam kehidupan masyarakat. Globalisasi dan hubungan
antarbangsa sangat berpengaruh pada aspek ekonomi (perdagangan global) yang
mengakibatkan berkurang atau bertambahnya jumlah kemiskinan dan pengangguran.
Pada aspek sosial dan budaya, globalisasi mempengaruhi nilai-nilai solidaritas sosial
seperti sikap individualistik, materialistik, hedonistik yang seperti virus akan
berimplikasi terhadap tatanan budaya masyarakat Indonesia sebagai warisan budaya
bangsa seperti memudarnya rasa kebersamaan, gotong royong, melemahnya toleransi
antarumat beragama, menipisnya solidaritas terhadap sesama, dan itu semua pada
akhirnya akan berdampak pada berkurangnya rasa nasionalisme sebagai warga negara
Indonesia. Akan tetapi, dengan menempatkan strategi pendidikan sebagai modal utama
menghalangi virus-virus penghancur tersebut, masa depan bangsa ini dapat
diselamatkan.
Secara makro pengembangan karakter dibagi dalam tiga tahap, yakni perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi hasil. Pada tahap perencanaan dikembangkan perangkat
karakter yang digali, dikristalisasikan, dan dirumuskan dengan menggunakan berbagai
sumber, antara lain pertimbangan (1) filosofis: Pancasila, UUD 1945, dan UU N0.20
Tahun 2003 beserta ketentuan perundang-undangan turunannya; (2) teoretis: teori
tentang otak, psikologis, pendidikan, nilai dan moral, serta sosial-kultural; (3) empiris:
berupa pengalaman dan praktik terbaik, antara lain tokoh-tokoh, satuan pendidikan
unggulan, pesantren, kelompok kultural, dll.
Pada tahap implementasi dikembangkan pengalaman belajar dan proses
pembelajaran yang bermuara pada pembentukan karakter dalam diri peserta didik.
Proses ini dilaksanakan melalui proses pemberdayaan dan pembudayaan sebagaimana
digariskan sebagai salah satu prinsip penyelenggaraan pendidikan nasional. Proses ini
berlangsung dalam tiga pilar pendidikan yakni dalam satuan pendidikan, keluarga, dan
masyarakat. Dalam masing-masing pilar pendidikan akan ada dua jenis pengalaman

29
belajar yang dibangun melalui dua pendekatan yakni intervensi dan habituasi. Dalam
intervensi dikembangkan suasana interaksi belajar dan pembelajaran yang sengaja
dirancang untuk mencapai tujuan pembentulkan karakter dengan menerapkan kegiatan
yang terstruktur. Agar proses pembelajaran tersebut berhasil guna, peran guru sebagai
sosok panutan sangat penting dan menentukan. Sementara itu dalam habituasi
diciptakan situasi dan kondisi dan penguatan yang memungkinkan peserta didik pada
satuan pendidikannya, di rumahnya, di lingkungan masyarakatnya membiasakan diri
berperilaku sesuai nilai dan menjadi karakter yang telah diinternalisasi dan
dipersonalisasi dari dan melalui proses intervensi. Proses pembudayaan dan
pemberdayaan yang mencakup pemberian contoh, pembelajaran, pembiasaan, dan
penguatan harus dikembangkan secara sistemik, holistik, dan dinamis.
Pelaksanaan pendidikan karakter dalam konteks makro kehidupan berbangsa dan
bernegara Indonesia, merupakan komitmen seluruh sektor kehidupan, bukan hanya
sektor pendidikan nasional. Keterlibatan aktif dari sektor-sektor pemerintahan lainnya,
khususnya sektor keagamaan, kesejahteraan, pemerintahan, komunikasi dan informasi,
kesehatan, hukum dan hak asasi manusia, serta pemuda dan olahraga juga sangat
dimungkinkan.
Pada tahap evaluasi hasil, dilakukan asesmen program untuk perbaikan
berkelanjutan yang dirancang dan dilaksanakan untuk mendeteksi aktualisasi karakter
dalam diri peserta didik sebagai indikator bahwa proses pembudayaan dan
pemberdayaan karakter itu berhasil dengan baik, menghasilkan sikap yang kuat, dan
pikiran yang argumentatif.
Pada konteks makro, program pendidikan karakter bangsa dapat digambarkan
sebagai berikut :

Gambar 2: Konteks Makro Pendidikan Karakter


Pendidikan karakter dalam konteks mikro, berpusat pada satuan pendidikan secara
holistik. Satuan pendidikan merupakan sektor utama yang secara optimal memanfaatkan
dan memberdayakan semua lingkungan belajar yang ada untuk menginisiasi,
memperbaiki, menguatkan, dan menyempurnakan secara terus-menerus proses
pendidikan karakter di satuan pendidikan. Pendidikanlah yang akan melakukan upaya
sungguh-sungguh dan senantiasa menjadi garda depan dalam upaya pembentukan
karakter manusia Indonesia yang sesungguhnya. Pengembangan karakter dibagi dalam
empat pilar, yakni kegiatan belajar-mengajar di kelas, kegiatan keseharian dalam bentuk
pengembangan budaya satuan pendidikan; kegiatan ko-kurikuler dan/atau ekstra
kurikuler, serta kegiatan keseharian di rumah dan masyarakat.
Pendidikan karakter dalam kegiatan belajar-mengajar di kelas, dilaksanakan dengan
menggunakan pendekatan terintegrasi dalam semua mata pelajaran. Khusus, untuk

30
materi Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan – karena memang misinya
adalah mengembangkan nilai dan sikap – pengembangan karakter harus menjadi fokus
utama yang dapat menggunakan berbagai strategi/metode pendidikan karakter. Untuk
kedua mata pelajaran tersebut, karakter dikembangkan sebagai dampak pembelajaran
dan juga dampak pengiring. Sementara itu mata pelajaran lainnya, yang secara formal
memiliki misi utama selain pengembangan karakter, wajib mengembangkan rancangan
pembelajaran pendidikan karakter yang diintegrasikan kedalam substansi/kegiatan mata
pelajaran sehingga memiliki dampak pengiring bagi berkembangnya karakter dalam diri
peserta didik. Lingkungan satuan pendidikan perlu dikondisikan agar lingkungan fisik
dan sosial-kultural satuan pendidikan memungkinkan para peserta didik bersama
dengan warga satuan pendidikan lainnya terbiasa membangun kegiatan keseharian di
satuan pendidikan yang mencerminkan perwujudan karakter yang dituju. Pola ini
ditempuh dengan melakukan pembiasaan dengan pembudayaan aspek-aspek karakter
dalam kehidupan keseharian di sekolah dengan pendidik sebagai teladan.
Dalam kegiatan ko-kurikuler (kegiatan belajar di luar kelas yang terkait langsung
pada materi suatu mata pelajaran) atau kegiatan ekstra kurikuler (kegiatan satuan
pendidikan yang bersifat umum dan tidak terkait langsung pada suatu mata pelajaran,
seperti kegiatan Dokter Kecil, Palang Merah Remaja, Pecinta Alam, Liga Pendidikan
Indonesia, dll.) perlu dikembangkan proses pembiasaan dan penguatan dalam rangka
pengembangan karakter.
Kegiatan ekstrakurikuler dapat diselenggarakan melalui kegiatan olahraga dan seni
dalam bentuk pembelajaran, pelatihan, kompetisi atau festival. Berbagai kegiatan
olahraga dan seni tersebut diorientasikan terutama untuk penanaman dan pembentukan
sikap, perilaku, dan kepribadian para pelaku olahraga atau seni agar menjadi manusia
Indonesia berkarakter. Kegiatan ekstrakurikuler yang diselenggarakan oleh gerakan
pramuka dimaksudkan untuk mempersiapkan generasi muda sebagai calon pemimpin
bangsa yang memiliki watak, kepribadian, dan akhlak mulia serta keterampilan hidup
prima.
Di lingkungan keluarga dan masyarakat diupayakan agar terjadi proses penguatan
dari orang tua/wali serta tokoh-tokoh masyarakat terhadap perilaku berkarakter mulia
yang dikembangkan di satuan pendidikan sehingga menjadi kegiatan keseharian di
rumah dan di lingkungan masyarakat masing-masing. Hal ini dapat dilakukan lewat
komite sekolah, pertemuan wali murid, kunjungan/kegiatan wali murid yang
berhubungan dengan kumpulan kegiatan sekolah dan keluarga yang bertujuan
menyamakan langkah dalam membangun karakter di sekolah, di rumah, dan di
masyarakat.
Program pendidikan karakter pada konteks mikro dapat digambarkan sebagai
berikut :

31
Gambar 3: Konteks Mikro Pendidikan Karakter

Dengan prinsip yang sama, pendidikan karakter dapat dilakukan pada jalur
pendidikan nonformal yang diselenggarakan oleh masyarakat, misalnya kursus
keterampilan, kursus kepemudaan, bimbingan belajar, pelatihan-pelatihan singkat, baik
yang diselenggarakan pemerintah maupun organisasi massa. Demikian pula pendidikan
karakter dapat dilakukan pada kegiatan kemasyarakatan, seperti kegiatan karang taruna,
keagamaan, olahraga, kesenian, sosial, atau kegiatan pelatihan penanggulangan bencana
alam.
Pendidikan nonformal yang dilaksanakan pada lingkup dunia usaha dalam bentuk
pendidikan dan pelatihan calon pegawai, pelatihan kewirausahaan, pelatihan
kepemimpinan, dan pelatihan keterampilan profesi. Pada lingkup masyarakat politik
dilakukan bentuk pelatihan dan kaderasisasi partai, pelatihan kepemimpinan, pelatihan
etika politik dan pembudayaan politik. Sedangkan pada lingkup media masa, pendidikan
nonformal berupa pelatihan dasar komunikasi, pelatihan kode etik jurnalistik, dan
pemahaman profesi jurnalis dan pelatihan transaksi elektronik.
Pendidikan karakter pada kegiatan pendidikan dan latihan nonformal serta kegiatan
kemasyarakatan tersebut dapat diarahkan untuk menanamkan kepedulian sosial, jiwa
patriotik, kejujuran, dan kerukunan berkehidupan dalam masyarakat serta untuk
mempersiapkan generasi muda sebagai calon pemimpin bangsa yang memiliki watak,
kepribadian, dan akhlak mulia. Pendidikan karakter pada pendidikan nonformal
dilaksanakan dengan pendekatan holistik dan terintegrasi pada setiap aspek pekerjaan
atau kegiatan dalam kehidupan sehari-hari.
Strategi pembangunan karakter bangsa melalui program pendidikan memerlukan
dukungan penuh dari pemerintah yang dalam hal ini berada di jajaran Kementerian
Pendidikan Nasional. Oleh karena itu, fasilitasi yang perlu didukung berupa hal-hal
sebagai berikut.
a. Pengembangan kerangka dasar dan perangkat kurikulum; inovasi pembelajaran dan
pembudayaan karakter; standardisasi perangkat dan proses penilaian; kerangka dan
standardisasi media pembelajaran yang dilakukan secara sinergis oleh pusat-pusat di
lingkungan Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Nasional.
b. Pengembangan satuan pendidikan yang memiliki budaya kondusif bagi pembangunan
karakter dalam berbagai modus dan konteks pendidikan usia didin, pendidikan dasar

32
dan menengah, serta pendidikan tinggi dilakukan secara sistemik oleh semua
direktorat terkait di lingkungan Kementerian Pendidikan Nasional.
c. Pengembangan kelembagaan dan program pendidikan nonformal dan informal dalam
rangka pendidikan karakter melalui berbagai modus dan konteks dilakukan secara
sistemik oleh semua direktorat terkait di lingkungan Direktorat Jenderal Pendidikan
Nonformal dan Informal.
d. Pengembangan dan penyegaran kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan, baik
di jenjang pendidikan usia dini, dasar, menengah maupun pendidikan tinggi yang
relevan dengan pendidikan karakter dalam berbagai modus dan konteks dilakukan
secara sistemik oleh semua direktorat terkait.
e. Pengembangan karakter peserta didik di perguruan tinggi melalui penguatan standar
isi dan proses, serta kompetensi pendidiknya untuk kelompok Mata kuliah
Pengembangan Kepribadian (MPK) dan Matakuliah Berkehidupan Bermasyarakat
(MBB); penelitian dan pengembangan pendidikan karakter; pembinaan lembaga
pendidikan tenaga kependidikan; pengembangan, dan penguatan jaringan informasi
profesional pembangunan karakter dilakukan secara sistemik oleh semua direktorat
terkait.
H. Pelaksanaan Pendidikan Karakter Pada Jenjang Pendidikan
1. Pendidikan Formal
Pada pendidikan formal, pendidikan karakter dimaknai sebagai bentuk
pengajaran yang sesuai serta memperhatikan kondisi sosial pada setiap lokasi
pembelajaran. Artinya, pembelajaran ilmu pengetahuan tidaklah bisa disamakan
antara satu tempat atau negara dan negara lain karena jelas mempunyai karakteristik
pola tradisi dan budaya yang berbeda.
Begitu pula dengan kondisi di negara kita, Indonesia, bahwa pendidikan karakter
menjadi relevan diterapkan untuk mengatasi pelbagai fakta-fakta empiris yang
menyiratkan adanya sinyal ketidakberesan di lingkungan pendidikan.
Misalnya, kasus korupsi, suap, kriminalitas (tawuran antarpelajar/mahasiswa),
dan perilaku amoral (termasuk kasus video mesum yang juga sering kali terjadi di
kalangan siswa), yang bila kita telusuri, oknum pelakunya merupakan jebolan dari
lembaga pendidikan nasional yang kita miliki. Inilah relevansi mempertanyakan
fungsi pendidikan formal dalam perilaku keseharian masyarakat dan juga, mungkin,
alasan itu pulalah yang menjadi latar belakang Depdiknas yang akhir-akhir ini
menggelorakan pentingnya melakukan pendidikan karakter untuk generasi bangsa.
Dalam wujud praksis, pendidikan karakter di lingkungan pendidikan formal
dapat ditempuh lewat integrasi keilmuan. Pertama, untuk mewujudkan pendidikan
karakter bagi anak didik, perlu adanya integrasi yang utuh antara IQ (intelligence
quotient), EQ (emotional quotient), SQ (spiritual quotient) Sejauh ini, sistem
pendidikan Indonesia lebih berorientasi pada pengisian kognisi yang ekuivalen
dengan peningkatan IQ semata--walaupun juga di dalamnya terintegrasi pendidikan
EQ. Padahal, warisan terbaik bangsa kita adalah tradisi spritualitas (SQ) yang tinggi
kemudian nyaris terabaikan--untuk tidak mengatakan terlupakan.
Meningkatkan kesadaran anak didik terhadap pengenalan budaya-budaya
ketimuran yang sudah sejak lama dijunjung tinggi oleh nenek moyang dan founding
fathers kita. Jika itu berjalan dengan efektif dan maksimal, dimungkinkan akan
timbul kesadaran bagi anak didik hingga ketika mereka lulus nanti, agar tidak
melakukan perbuatan-perbuatan tercela (amoral) yang itu jelas-jelas tidak
mencerminkan adat dan budaya ketimuran kita.
Metode pembelajaran itu umumnya disebut sebagai pendidikan moral, yang
terintegrasi ke dalam dua mata pelajaran, yakni Pancasila dan kewarganegaraan

33
(PPKn) dan pendidikan agama. Namun, dalam praktiknya terasa masih tampak
kurang pada keterpaduan model dan strategi pembelajarannya. Siswa lebih
diorientasikan pada penguasaan materi yang tercantum dalam kurikulum atau buku
teks, dan kurang mengaitkan dengan isu-isu moral esensial yang sedang terjadi dalam
masyarakat sehingga peserta didik kurang mampu memecahkan masalah-masalah
moral yang terjadi dalam masyarakat.
2. Pendidikan Nonformal
Pendidikan karakter dapat pula ditumbuhkembangkan di luar pendidikan formal,
yang memfungsikan peran-peran sosial dari keluarga, tokoh masyarakat, dan
agamawan. Hal itu sejalan dengan model pembelajaran tempo dulu di masa-masa
awal digalakkannya pendidikan di Tanah Air.
Pendidikan di masa lampau umumnya belum memerlukan pendidikan dalam arti
formalisme pendidikan yang mendorong tumbuhnya kompetisi kecerdasan satu sama
lain, tetapi yang menjadi pusat dan syarat pendidikan ialah berupa kesejahteraan
rumah tangga, atau dengan kata lain, pendidikan berpusat pada kesejahteraan dan
keutuhan hidup bersama antara ibu dan bapak.
Telah menjadi adat kebiasaan yang turun-temurun bahwa di pundak ibu dan
bapaklah tanggung jawab atas segala hal ihwal kehidupan anaknya. Dengan
kebiasaan itu, para ibu dan bapak merasa harus bertindak sebagai contoh (kaca
benggala) untuk anak cucu dan keturunan mereka selanjutnya (Anshory dan GKR
Pembayun, 2008).
Dalam pengertian yang tidak ekstrem, model pendidikan di jalur nonformal itu,
menurut saya, sejalan dengan apa yang pernah dilontarkan Ivan Illich di akhir 1970-
an lewat gagasan kontroversialnya tentang deschooling society (masyarakat tanpa
sekolah).
Illich meramalkan jika pengetahuan dan tingkat kedewasaan masyarakat sudah
berkembang dengan wajar, institusi-institusi pendidikan formal tidak lagi diperlukan.
Masyarakat akan mampu menjalankan fungsi pendidikan lewat elemen sosial dan
budaya yang luas, tanpa harus terikat dengan otoritas kelembagaan seperti sekolah.
Ide Illich tersebut tentulah sangat cemerlang, tetapi lagi-lagi, perlu adanya
reinterpertasi untuk mencari relevansinya. Dalam konteks Indonesia, pendidikan
nonformal belum bisa difungsikan dan disejajarkan dengan ide deschooling society
Illich. Pendidikan formal maupun nonformal tetap masih dibutuhkan, yang justru kita
berharap terjadi simbiosis mutualistis, saling dukung di antara keduanya. Dengan
menegakkan pendidikan karakter, kita optimistis kualitas pendidikan nasional kita
kian lebih baik, yang salah satunya ditandai dengan berkurangnya angka kriminalitas,
kasus korupsi, dan perbuatan asusila.
Karena itu berbicara tentang pendidikan karakter, maka harus membicarakan
adalah tentang usaha-usaha manusiawi dalam mengatasi keterbatasan dirinya melalui
praksis nilai yang yang dihayatinya. Usaha ini tampil dalam setiap perilaku dan
keputusan yang diambilnya secara bebas. Keputusan ini pada gilirannya semakin
mengukuhkan identitas dirinya sebagai manusia. Dalam konteks persekolahan
pendidikan karakter dan budaya di sekolah harus dilakukan secara holistis.
Pendidikan karakter, tidak bisa terpisah dengan bentuk pendidikan sifatnya kognitif
atau akademik pendidikan karakter sebaiknya tidak dikotomikan macam-macam,
namun konsep pendidikan tersebut harus diintegrasikan ke dalam kurikulum, bukan
berarti akan diterapkan secara teoritis, tetapi menjadi penguat kurikulum yang sudah
ada, yaitu dengan mengimplementasikannya dalam mata pelajaran dan keseharian
anak didik,
Mata pelajaran biologi, misalnya, siswa bisa diajak langsung menanam tumbuh-
tumbuhan, diberi pemahaman tentang manfaatnya, dikaitkan dengan kerusakan

34
lingkungan dan sebagainya. Dikatakannya, pelajaran biologi juga menyangkut hal-
hal lain di luar disiplin ilmu tersebut.
Pada mata pelajaran kesenian pun bisa diterapkan pendidikan karakter. Sebutlah
contohnya, siswa diajak mengenal dan mempraktikkan beragam peninggalan seni
budaya yang menjadi muatan-muatan lokal, falsafah budaya, dan manfaatnya.
Masalahnya, mayoritas guru belum punya kemauan untuk melakukan itu.
Kesadaran sudah ada, hanya saja belum menjadi sebuah aksi nyata, disebabkan
pendidikan Indonesia masih terfokus pada aspek-aspek kognitif atau akademik, baik
secara nasional maupun lokal di satuan pendidikan. Sebaliknya, aspek soft skils atau
nonakademik sebagai unsur utama pendidikan karakter justeru diabaikan.

BAB V
PERANAN KELUARGA DALAM PENDIDIKAN KARAKTER

35
A. Pendahuluan
Keluarga adalahpfilar pertama yang bisa membangun pendidikan pendidikan yang
dilakukan oleh keluarga, sekolah, lingkungan yang lebih luas memegang peranan
penting, bahkan mungkin lebih penting, dalam pembentukan karakter seseorang.
Anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter apabila dapat tumbuh
pada lingkungan yang berkarakter, sehingga fitrah setiap anak yang dilahirkan suci
dapat berkembang segara optimal. Mengingat lingkungan anak bukan saja lingkungan
keluarga yang sifatnya mikro, maka semua pihak - keluarga, sekolah, media massa,
komunitas bisnis, dan sebagainya - turut andil dalam perkembangan karakter anak.
Seklaipun mengembangkan generasi penerus bangsa yang berkarakter baik adalah
tanggung jawab semua pihak..
B. Keluarga Basis Pertama Pendidikan Karakter Anak
Keluarga memiliki peran penting dalam menentukan kemajuan suatu bangsa,
sehingga mereka berteori bahwa keluarga adalah unit yang penting sekali dalam
masyarakat, sehingga jika keluarga-keluarga yang merupakan fondasi masyarakat
lemah, maka masyarakat pun akan lemah. Oleh karena itu, para sosiolog meyakini
bahwa berbagai masalah masyarakat - seperti kejahatan seksual dan kekerasan yang
merajalela, serta segala macam kebobrokan di masyarakat - merupakan akibat dari
lemahnya institusi keluarga.
Bagi seorang anak, keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi
pertumbuhan dan perkembangannya. Keluarga berfungsi sebagaisarana mendidik,
mengasuh, dan mensosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan seluruh
anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta
memberikan kepuasan dan lingkungan yang sehat guna tercapainya keluarga, sejahtera”.
Kegagalan dalam mendidik dan membina anak di keluarga, maka akan sulit sekali bagi
institusi-institusi lain untuk memperbaiki kegagalan-kegagalannya.
Oleh karena itu keluarga merupakan wahana pertama dan utama bagi pendidikan
karakter anak. Apabila keluarga gagal melakukan pendidikan karakter pada anak-
anaknya, maka akan sulit bagi institusi-institusi lain di luar keluarga (termasuk sekolah)
untuk memperbaikinya. Kegagalan keluarga dalam membentuk karakter anak akan
berakibat pada tumbuhnya masyarakat yang tidak berkarakter. Oleh karena itu, setiap
keluarga harus memiliki kesadaran bahwa karakter bangsa sangat tergantung pada
pendidikan karakter anak di rumah.
C. Aspek-aspek Penting dalam Pendidikan Karakter Anak
Untuk membentuk karakter anak diperlukan syarat-syarat mendasar bagi
terbentuknya kepribadian yang baik. Menurut Megawangi (2003), ada tiga kebutuhan
dasar anak yang harus dipenuhi, yaitu maternal bonding, rasa aman, dan stimulasi fisik
dan mental.
Maternal bonding (kelekatan psikologis dengan ibunya) merupakan dasar penting
dalam pembentukan karakter anak karena aspek ini berperan dalam pembentukan dasar
kepercayaan kepada orang lain (trust) pada anak. Kelekatan ini membuat anak merasa
diperhatikan dan menumbuhkan rasa aman sehingga menumbuhkan rasa percaya.
Menurut Erikson, dasar kepercayaan yang ditumbuhkan melalui hubungan ibu-anak
pada tahun-tahun pertama kehidupan anak akan memberi bekal bagi kesuksesan anak
dalam kehidupan sosialnya ketika ia dewasa. Dengan kata lain, ikatan emosional yang
erat antara ibu-anak di usia awal dapat membentuk kepribadian yang baik pada anak.
Kebutuhan akan rasa aman yaitu kebutuhan anak akan lingkungan yang stabil dan
aman. Kebutuhan ini penting bagi pembentukan karakter anak karena lingkungan yang
berubah-ubah akan membahayakan perkembangan emosi bayi. Pengasuh yang berganti-

36
ganti juga akan berpengaruh negatif pada perkembangan emosi anak. Menurut Bowlby
(2003), normal bagi seorang bayi untuk mencari kontak dengan hanya satu orang
(biasanya ibu) pada tahap-tahap awal masa bayi. Kekacauan emosi anak yang terjadi
karena tidak adanya rasa aman ini diduga oleh para ahli gizi berkaitan dengan masalah
kesulitan makan pada anak. Tentu saja hal ini tidak kondusif bagi pertumbuhan anak
yang optimal.
Kebutuhan akan stimulasi fisik dan mental juga merupakan aspek penting dalam
pembentukan karakter anak. Tentu saja hal ini membutuhkan perhatian yang besar dari
orang tua dan reaksi timbal balik antara ibu dan anaknya. Menurut pakar pendidikan
anak, seorang ibu yang sangat perhatian (yang diukur dari seringnya ibu melihat mata
anaknya, mengelus, menggendong, dan berbicara kepada anaknya) terhadap anaknya
yang berusia usia di bawah enam bulan akan mempengaruhi sikap bayinya sehingga
menjadi anak yang gembira, antusias mengeksplorasi lingkungannya, dan
menjadikannya anak yang kreatif.
D. Pola Asuh Menentukan Keberhasilan Pendidikan Karakter Anak dalam Keluarga
Keberhasilan keluarga dalam menanamkan nilai-nilai kebajikan (karakter) pada
anak sangat tergantung pada jenis pola asuh yang diterapkan orang tua pada anaknya.
Pola asuh dapat didefinisikan sebagai pola interaksi antara anak dengan orangtua yang
meliputi pemenuhan kebutuhan fisik (seperti makan, minum dan lain-lain) dan
kebutuhan psikologis (seperti rasa aman, kasih sayang dan lain-lain), serta sosialisasi
norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan
lingkungannya. Dengan kata lain, pola asuh juga meliputi pola interaksi orang tua
dengan anak dalam rangka pendidikan karakter anak. Secara umum, Baumrind
mengkategorikan pola asuh menjadi tiga jenis, yaitu : (1) Pola asuh Authoritarian, (2)
Pola asuh Authoritative, (3) Pola asuh permissive. Tiga jenis pola asuh Baumrind ini
hampir sama dengan jenis pola asuh menurut Hurlock juga Hardy & Heyes yaitu: (1)
Pola asuh otoriter, (2) Pola asuh demokratis, dan (3) Pola asuh permisif.
Pola asuh otoriter mempunyai ciri orangtua membuat semua keputusan, anak harus
tunduk, patuh, dan tidak boleh bertanya. Pola asuh demokratis mempunyai ciri orangtua
mendorong anak untuk membicarakan apa yang ia inginkan. Pola asuh permisif
mempunyai ciri orangtua memberikan kebebasan penuh pada anak untuk berbuat. Kita
dapat mengetahui pola asuh apa yang diterapkan oleh orang tua dari ciri-ciri masing-
masing pola asuh tersebut, yaitu sebagai berikut :
Pola asuh otoriter mempunyai ciri : 1) Kekuasaan orangtua dominan; 2) Anak tidak
diakui sebagai pribadi; 3) Kontrol terhadap tingkah laku anak sangat ketat; 4) Orangtua
menghukum anak- jika anak tidak patuh; 5)
Sementara pola asuh demokratis mempunyai ciri :1) Ada kerjasama antara orangtua
– anak.; 2) Anak diakui sebagai pribadi; 3) Ada bimbingan dan pengarahan dari
orangtua; 4) Ada kontrol dari orangtua yang tidak kaku.
Selanjutnya pola asuh permisif mempunyai ciri :1) Dominasi pada anak; 2) Sikap
longgar atau kebebasan dari orangtua; 3) Tidak ada bimbingan dan pengarahan dari
orangtua; 4) Kontrol dan perhatian orangtua sangat kurang.
Melalui pola asuh yang dilakukan oleh orang tua, anak belajar tentang banyak hal,
termasuk karakter. Tentu saja pola asuh otoriter (yang cenderung menuntut anak untuk
patuh terhadap segala keputusan orang tua) dan pola asuh permisif (yang cenderung
memberikan kebebasan penuh pada anak untuk berbuat) sangat berbeda dampaknya
dengan pola asuh demokratis (yang cenderung mendorong anak untuk terbuka, namun
bertanggung jawab dan mandiri) terhadap hasil pendidikan karakter anak. Artinya, jenis
pola asuh yang diterapkan oleh orang tua terhadap anaknya menentukan keberhasilan
pendidikan karakter anak oleh keluarga.

37
Pola asuh otoriter cenderung membatasi perilaku kasih sayang, sentuhan, dan
kelekatan emosi orangtua - anak sehingga antara orang tua dan anak seakan memiliki
dinding pembatas yang memisahkan “si otoriter” (orang tua) dengan “si patuh” (anak).
Studi yang dilakukan oleh Fagan (dalam Badingah, 1993) menunjukan bahwa ada
keterkaitan antara faktor keluarga dan tingkat kenakalan keluarga, di mana keluarga
yang broken home, kurangnya kebersamaan dan interaksi antar keluarga, dan orang tua
yang otoriter cenderung menghasilkan remaja yang bermasalah. Pada akhirnya, hal ini
akan berpengaruh terhadap kualitas karakter anak.
Pola asuh permisif yang cenderung memberi kebebesan terhadap anak untuk
berbuat apa saja sangat tidak kondusif bagi pembentukan karakter anak. Bagaimana pun
anak tetap memerlukan arahan dari orang tua untuk mengenal mana yang baik mana
yang salah. Dengan memberi kebebasan yang berlebihan, apalagi terkesan membiarkan,
akan membuat anak bingung dan berpotensi salah arah.
Pola asuh demokratis tampaknya lebih kondusif dalam pendidikan karakter anak.
Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Baumrind yang
menunjukkan bahwa orangtua yang demokratis lebih mendukung perkembangan anak
terutama dalam kemandirian dan tanggungjawab. Sementara, orangtua yang otoriter
merugikan, karena anak tidak mandiri, kurang tanggungjawab serta agresif, sedangkan
orangtua yang permisif mengakibatkan anak kurang mampu dalam menyesuaikan diri di
luar rumah. Menurut Arkoff (dalam Badingah, 1993), anak yang dididik dengan cara
demokratis umumnya cenderung mengungkapkan agresivitasnya dalam tindakan-
tindakan yang konstruktif atau dalam bentuk kebencian yang sifatnya sementara saja. Di
sisi lain, anak yang dididik secara otoriter atau ditolak memiliki kecenderungan untuk
mengungkapkan agresivitasnya dalam bentuk tindakan-tindakan merugikan. Sementara
itu, anak yang dididik secara permisif cenderung mengembangkan tingkah laku agresif
secara terbuka atau terang-terangan.
Menurut Middlebrook (1993), hukuman fisik yang umum diterapkan dalam pola
asuh otoriter kurang efektif untuk membentuk tingkah laku anak karena : (a)
menyebabkan marah dan frustasi (dan ini tidak cocok untuk belajar); (b) adanya
perasaan-perasaan menyakitkan yang mendorong tingkah laku agresif; (c) akibat-akibat
hukuman itu dapat meluas sasarannya, misalnya anak menahan diri untuk memukul atau
merusak pada waktu ada orangtua tetapi segera melakukan setelah orangtua tidak ada;
(d) tingkah laku agresif orangtua menjadi model bagi anak.
Hasil penelitian Rohner (2003) menunjukkan bahwa pengalaman masa kecil
seseorang sangat mempengaruhi perkembangan kepribadiannya (karakter atau
kecerdasan emosinya). Penelitian tersebut - yang menggunakan teori PAR (Parental
Acceptance-Rejection Theory)- menunjukkan bahwa pola asuh orang tua, baik yang
menerima (acceptance) atau yang menolak (rejection) anaknya, akan mempengaruhi
perkembangan emosi, perilaku, sosial-kognitif, dan kesehatan fungsi psikologisnya
ketika dewasa kelak.
Dalam hal ini, yang dimaksud dengan anak yang diterima adalah anak yang
diberikan kasih sayang, baik secara verbal (diberikan kata-kata cinta dan kasih sayang,
kata-kata yang membesarkan hati, dorongan, dan pujian), maupun secara fisik (diberi
ciuman, elusan di kepala, pelukan, dan kontak mata yang mesra). Sementara, anak yang
ditolak adalah anak yang mendapat perilaku agresif orang tua, baik secara verbal (kata-
kata kasar, sindiran negatif, bentakan, dan kata-kata lainnya yang dapat mengecilkan
hati), ataupun secara fisik (memukul, mencubit, atau menampar). Sifat penolakan orang
tua dapat juga bersifat indifeerence atau neglect, yaitu sifat yang tidak mepedulikan
kebutuhan anak baik fisik maupun batin, atau bersifat undifferentiated rejection, yaitu
sifat penolakan yang tidak terlalu tegas terlihat, tetapi anak merasa tidak dicintai dan
diterima oleh orang tua, walaupun orang tua tidak merasa demikian.

38
Hasil penelitian Rohner menunjukkan bahwa pola asuh orang tua yang menerima
membuat anak merasa disayang, dilindungi, dianggap berharga, dan diberi dukungan
oleh orang tuanya. Pola asuh ini sangat kondusif mendukung pembentukan kepribadian
yang pro-sosial, percaya diri, dan mandiri namun sangat peduli dengan lingkungannya.
Sementara itu, pola asuh yang menolak dapat membuat anak merasa tidak diterima,
tidak disayang, dikecilkan, bahkan dibenci oleh orang tuanya. yang mengalami
penolakan dari orang tuanya akan menjadi pribadi yang tidak mandiri, atau kelihatan
mandiri tetapi tidak mempedulikan orang lain. Selain itu anak ini akan cepat
tersinggung, dan berpandangan negatif terhadap orang lain dan terhadap kehidupannya,
bersikap sangat agresif kepada orang lain, atau merasa minder dan tidak merasa dirinya
berharga.
Menurut Megawangi (2003) ada beberapa kesalahan orang tua dalam mendidik
anak yang dapat mempengaruhi perkembangan kecerdasan emosi anak sehingga
berakibat pada pembentukan karakternya, yaitu :
1. Kurang menunjukkan ekspresi kasih sayang baik secara verbal maupun fisik.
2. Kurang meluangkan waktu yang cukup untuk anaknya.
3. Bersikap kasar secara verbal, misainya menyindir, mengecilkan anak, dan berkata-
kata kasar
4. Bersikap kasar secara fisik, misalnya memukul, mencubit, dan memberikan hukuman
badan lainnya.
5. Terlalu memaksa anak untuk menguasai kemampuan kognitif secara dini.
6. Tidak menanamkan “good character’ kepada anak. Dampak yang ditimbulkan dari
salah asuh seperti di atas, akan menghasilkan anak-anak yang mempunyai
kepribadian bermasalah atau mempunyai kecerdasan emosi rendah.
7. Anak menjadi acuh tak acuh, tidak butuh orang lain, dan tidak dapat menerima
persahabatan. Karena sejak kecil mengalami kemarahan, rasa tidak percaya, dan
gangguan emosi negatif lainnya. Ketika dewasa ia akan menolak dukungan, simpati,
cinta dan respons positif lainnya dari orang di sekitarnya. la kelihatan sangat mandiri,
tetapi tidak hangat dan tidak disenangi oleh orang lain.
8. Secara emosiol tidak responsif, dimana anak yang ditolak akan tidak mampu
memberikan cinta kepada orang lain.
9. Berperilaku agresif, yaitu selalu ingin menyakiti orang baik secara verbal maupun
fisik.
10. Menjadi minder, merasa diri tidak berharga dan berguna.
11. Selalu berpandangan negatif pada lingkungan sekitarnya, seperti rasa tidak aman,
khawatir, minder, curiga dengan orang lain, dan merasa orang lain sedang
mengkritiknya.
12. Ketidakstabilan emosional, yaitu tidak toleran atau tidak tahan terhadap stress,
mudah tersinggung, mudah marah, dan sifat yang tidak dapat dipreaiksi oleh orang
lain.
13. Keseimbangan antara perkembangan emosional dan intelektual. Dampak negatif
lainnya dapat berupa mogok belajar, dan bahkan dapat memicu kenakalan remaja,
tawuran, dan lainnya.
14. Orang tua yang tidak memberikan rasa aman dan terlalu menekan anak, akan
membuat anak merasa tidak dekat, dan tidak menjadikan orang tuannya sebagai ”role
model” Anak akan lebih percaya kepada ”peer group”nya sehingga mudah
terpengaruh dengan pergaulan negatif.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim,2010 Pembangunan Karakter bangsa 2010-2025 Pemerintah Republik Indonesia

39
Bennet,W.J. 1991. Moral Literacy and the Formation of Character. In: J.S.Bennigna (ed). Moral Character,
and Civic Education in the Elementary School. Teachers College Press, New York.
Berkowitz,M.W. 1998. The Education of Complete Moral Person
Brooks,B.D. and F.G.Goble. the Case for Character Education: The Role of the School in Teaching Values
and Virtues. Studios 4 Productions.
Boyer,E.L. 1995. Character in the Basic School, Making a Commitment to Character.
Badingah, S. (1993). Agresivitas Remaja Kaitannya dengan Pola Asuh, Tingkah Laku Agresif Orang Tua
dan Kegemaran Menonoton Film Keras. Program Studi Psikologi – Pascasarjana, UI. Depok.
Coon, Dennis. (1983). Introduction to Psychology : Exploration and Aplication. West Publishing Co.
Dina,W.F., I.D.Puspita, E.Tanjung,R.Widiastuti. 2001. Laporan Karya Ilmiah Produktif Bidang Sosial.
Jurusan GMSK,Faperta, IPB.
http://encyclopedia.thefreedictionary.com. Diakses tanggal 26 April 2004.
Fagan,P.F. 1995. The Real Root Causes of Violent Crime: the Breakdown of Marriage, Family and
Community.
Goleman,D. 1995. Emotional Intelligence; Why It Can Matter More than IQ. Bantam Books, New York.
Horn,W.F. 1991. Children and Family in America: Chalange for the 1990s.
Hurlock, E.B. 1981. Child Development. Sixth Edition. McGraw Hill Kogakusha International Student.
Kilpatrick,W. 1992. Why Johny Can’t Tell Right From Wrong. Simon & Schuster, Inc. New York.
Lickona, T. 1992. Educating for Character, How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility.
Bantam Books, New York.
_________. 1994. Raising Good Children: From Birth Through the Teenage Years. Bantam Books, New
York.
Mack,D. 1997. The Assault on Parenthood: How Our Culture Undermine the Family.
Megawangi,R. 1999. Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender. Pustaka Mizan,
Bandung.
Megawangi, Ratna. (2003). Pendidikan Karakter untuk Membangun Masyarakat Madani. IPPK Indonesia
Heritage Foundation
Neuman,E. 1990. The Child. Shambala Publications,Inc., Massachusetts.
Nord,W.A. and C.C.Haynes. 2002. The Relationship of Religion to moral Education in the Public Schools.
Pickthall,Y.A. 2002. Statistics of Teens. Dikunjungi di: Info@ soundvision.com. Pada bulan Oktober 2001.
Rich,D. 1997. Mega Skills, Building Children’s Achievement for the Information Age. Houghton Mifflin
Company, New York.
Rohner,R. 1986. The Warmth Dimension of Parenting: Parental Acceptance-Rejection Theory. Sage
Publications, California.
Ryan and Bohlin. 1999. Values, Views or Virtues?
Schikendanz,J. 1995. Family Socialization and Academic Achievement. Boston University Press.
Sorokin, Pitirim, “The Basic Trends of Our Time”, New Haven, College & University Press, 194, p.17-18).
Vasta,R., M.M.Haith,S.A.Miller. 1992. Child Psychology: The Modern Science. John Wiley & Sons Inc.,
New York.
Wade,C. and C.Tavris. 1990. Psychology. Harper & Row Publishers, New York.
Wilson,J.Q. 1993. The Moral Sense. Simon & Schuster Inc,New York.
Wynne,E.A. 1991. Character and Academics in the Elementary School. In J.S. Benigna (ed). Moral
Character, and Civic Education in the Elementary School. Teachers College Press, New York.

40

You might also like