You are on page 1of 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Suatu perkara perdata diajukan oleh pihak yang bersangkutan kepada

pengadilan untuk mendapatkan penyelesaian. Pemeriksaan perkara memang diakhiri

dengan putusan, akan tetapi dengan dijatuhkan putusan saja belum dapat

menyelesaikan persoalan. Putusan itu harus dapat dilaksanakan, sehingga putusan

hakim mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk dilakasanakan apa

yang ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat-alat Negara. Adapun yang

memberi kekuatan eksekutorial pada putusan hakim ialah kepala putusan yang

berbunyi “ Demi Keadilan berdasarkan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa”.

Tidak semua putusan hakim dapat dilaksanakan dalam arti kata yang

sebenarnya, yaitu secara paksa oleh pengadilan. Hanya putusan condemnatoir sajalah

yang dapat dilaksanakan. Putusan declaratoir dan contituf tidaklah memerlukan

sarana-sarana pemaksaa untuk melaksanakannya. Karena tidak dimuat adanya hak

atas suatu prestasi, maka terjadilanya akibat hukum tidak tergantung pada bantuan

atau ketersediaan para pihak yang dikalahkan, maka oleh karena itu tidak diperlukan

sarana-sarana pemaksa untuk menjalakannya.

Suatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum yng pasti dapat

dilaksanakan secara sukarela oleh yang bersangkutan, yaitu oleh pihak yang

dikalahkan. Apabila suatu perkara telah diputus dan telah memperoleh kekuatan

hukum yang pasti, maka pihak yang dikalahkan secara sukarela dapat melaksanakan

1
putusan tersebut. Dengan demikian maka selesailah perkaranya tanpa mendapat

bantuan dari pengadilan dalam melaksanakan putusan tersebut.

Akan tetapi, sering terjadi bahwa pihak yang dikalahkan tidak mau

melaksanakan putusan hakim secara sukarela sehingga diperlukan bantuan dari

pengadilan untuk melaksanakan putusan tersebut secara paksa. Pihak yang

dimenangkan dalam putusan dapat mohon pelaksaan putusan (eksekusi) kepada

pengadilan yang akan melaksankannya secara paksa (execution force).

Pelaksanaan putusan hakim atau eksekusi pada hekekatnya tidak lain adalah

realisasi daripada kewajiban pihak yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang

tercantum dalam putusan tersebut.1

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimana prosedur pelaksanaan sita eksekusi lelang hak tanggungan?

1 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, h.247

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Putusan yang Dapat Dimohonkan Eksekusi Perdata

Secara konkrit dapat dikatakan bahwa pelaksanaan putusan hakim atau

eksekusi berarti menguangkan bagian tertentu dari harta kekayaan pihak yang

dikalahkan atau debiturdengan tujuan untuk memenuhi putusan guna kepentinagn

pihak yang dimenangkan atau kreditur. Untuk dapat menguangkan harta kekayaan

debitur, maka harta kekayaan tersebut haruslah disita atau dibekukan lebih dulu.

Penyitaan ini disebut sita eksekutorial, suatu penyitaan yang didasarkan atas title

eksekutorial.

Eksekusi suatu putusan perdata itu dimulai dengan sita eksekutorial, kecuali

apabila sebelumnya telah diadakan sita conservatoir, maka sita conservatoir ini

setelah putusan dijatuhkan memperoleh title eksekutorial oleh karena sita

conservatoir itu di dalam putusan tersebut dinyatakan sah dan berharga. Oleh karena

sita eksekutorial itu didasarkan atas title eksekutorial, maka tidak perlu dinyatakan

sah dan berharga.

Oleh karena sita conservatoir itu tujuannya adalah untuk menjamin

terlaksananya putusan, maka fungsi pembekuan harta kekayaan debiturlah yang lebih

penting, sedang pada sita eksekutorial fungsi penjualannyalah yang lebih penting.2

Pelaksanaan putusan harus diminta oleh pihak yang bersangkutan dan tidak

2 Ibid h.255

3
dapat dilaksanakan secara ex officio.3

Pelaksanaan putusan / eksekusi adalah putusan pengadilan yang dapat

dilaksanakan. Dan putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan adalah:

a. Putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) .

Putusan yang sudah berkekuatan tetap adalah putusan yang sudah tidak mungkin

lagi dilawan dengan upaya hukum verzet, banding, dan kasasi.

b. Putusan Pengadilan yang bersifat serta merta. Berdasarkan SEMA no. 3 tahun

2000 pada dasarnya Mahkamah Agung melarang Ketua Pengadilan Negeri, Ketua

Pengadilan Agama dan para hakim Pengadilan Negeri dan hakim Pengadilan

Agama menjatuhkan putusan serta merta, kecuali dalam hal-hal sebagai berikut:

• Gugatan didasarkan pada bukti surat otentik atau surat tulisan tangan yang

tidak dibantah kebenaran tentang isi dan tanda tangannya, yang menurut

undang-undang tidak mempunyai kekuatan bukti.

• Gugatan tentang hutang-piutang yang jumlahnya sudah pasti dan tidak

dibantah.

• Gugatan tentang sewa-menyewa tanah, rumah, gudang dan lain-lain, di mana

hubungan sewa menyewa sudah habos/lampau, atau penyewat terbukti

melalaikan kewajibannya sebagai penyewa yang beritikad baik.

• Pokok gugatan mengenai tuntutan pembagian harta perkawinan (gono-gini)

setelah putusan mengenai gugatan cerai mempunyai kekuatan hukum tetap.

• Dikabulkannya gugatan provisional, dengan pertimbangan hukum yang tegas


3 HR 4 Nov. 1955, N.J. 1956, 117, HR 8 Okt.1982, N.J. 1984, 58)

4
dan jelas serta memenuhi pasal 332 Rv

• Gugatan didasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

dan mempunyai hubungan dengan pokok gugatan yang diajukan.

• Pokok sengketa mengenai bezitsrecht (hak penguasaan).4

2.2. Barang yang Dapat Dikenai Sita Eksekusi

Barang yang dapat disita secara eksekutorial teruatama adalah barang

bergerak milik pihak yang dikalahkan (ps.197 ayat 1 HIR, 208 Rbg). Barang

bergeraklah yang harus didahulukan untuk disita secara eksekutorial. Barang

bergerak yang ada di tangan orang lain pun dapat juga disita, tetapi tidak boleh

dijalankan atas hewan dan alat-alat yang digunakan untuk mencarin mata pencaharian

(ps.197 ayat 8 HIR, 211 Rbg). Termasuk dalam barang bergerak adalah adalah uang,

surat berharga dan barang bergerak yang bertubuh. Dalam Rbg dimungkinkan untuk

menyita piutang dari pihak yang dihukum yang dapat ditagihnya dari pihak ketiga

( ps.229 Rbg).

Barang bergerak yang telah disita harus dibiarkan menurut keadaan pada

waktu disita pada orang yang terkena sita supaya menyimpannya dan tidak

mengasingkannya. Pasal 231 KUHP mengancam dengan pidana barang siapa yang

menjauhkan atau menyembunyikan barang yang disita.

Dalam hal penyitaan barang tetap, maka berita acara penyitaan diberitahukan

kepada untuk diumumkan. Pemberitahuan ini maksudnya tidak lain agar barang yang

disita itu tidak diperjual-belikan (ps. 198 HIR, 213 Rbg). Pasal 30 PP 10/1961

4 Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., h.65

5
mewajibkan oanitera Pengadilan Negeri untuk mendaftarkan penyitaan atas tanah

kepada Kepala Kantor Pendaftaran Tanah. Sejak berita acara oenyitaan diumumkan,

pihak yang terkena sita tidak boleh memindahkan, membebani, atau menyewakan

barang tetap tersebut (ps.199 HIR, 114 Rbg)5.

2.3. Eksekusi Hak Tanggungan

2.3.1. Tinjauan Tentang Hak Tanggungan

Sebelum lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria, istilah Hak Tanggungan

belum dikenal. Hak Tanggungan dikenal sebagai hak jaminan yang dilahirkan oleh

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

(UUPA). Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak

Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah

memberikan defenisi Hak Tanggungan sebagai berikut: Hak Tanggungan atas tanah

beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak

Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana

yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar

pokok-pokok agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan

suatu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan

kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor

lainnya.

Sehingga, dapat disimpulkan yang dimaksud Hak Tanggungan adalah suatu

lembaga hak jaminan, dimana objek yang menjadi jaminan suatu hutang (perikatan)

5 Sudikno Mertokusumo, Op Cit., h. 257

6
adalah benda yang berupa tanah.

Dalam ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak

Tanggungan ditentukan pula objek hak tanggungan. Adapun ketentuan objek hak

tanggungan dimaksud adalah sebagai berikut:

(1) Hak atas tanah yang dapat dibebani hak tanggungan adalah:

a. Hak milik;

b. Hak guna usaha;

c. Hak guna bangunan.

(2) Selain hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hak pakai atas

tanah negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut

sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani hak tanggungan.

(3) Pembebanan hak tanggungan pada hak pakai atas tanah hak milik akan diatur

lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

(4) Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan,

tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu

kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas

tanah yaang pembebanannya dengan tegas dinyatakan di dalam Akta Pemberian

Hak Tanggungan yang bersanngkutan.

(5) Apabila bangunan, tanaman, dan hasil karya sebagaimana dimaksud pada ayat (4)

tidak dimiliki oleh pemegang hak atas tanah, pembebanan hak tanggungan atas

benda-benda tersebut hanya dapat dilakukan dengan penandatanganan serta pada

Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan oleh pemiliknya atau yang

7
diberi kuasa untuk itu olehnya dengan akta otentik.

Hak-hak atas tanah selain yang dimaksud pada Pasal 4 ayat 1. Menurut Pasal

4 ayat 2 Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, Hak Pakai

atas tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut

sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani Hak Tanggungan. Namun

berdasarkan ketentuan tersebut tidak semua hak atas tanah sekalipun merupakan hak

atas tanah menurut ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria bisa menjadi objek Hak

Tanggungan. Berdasarkan Pasal 4 ayat (4) dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 4

tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, ada ketentuan yang harus diperhatikan bagi

sahnya hak tanggungan agar hak tanggungannya dapat berikut bangunan, tanaman

dan hasil karya diatas tanah itu.6

Sertifikat hak atas tanah yang dibubuhi catatan pembebanan Hak Tanggungan

harus dikembalikan kepada pemberi Hak Tanggungan (pemegang hak atas tanah)

kecuali apabila diperjanjikan dalam APHT (Akta Pemberian Hak Tanggungan)

bahwa dapat diberikan pada pemegang Hak Tanggungan. Hal ini bertujuan untuk

mencegah hal-hal yang tidak diinginkan apabila cidera janji dimana sertifikatnya

tidak dapat ditarik. Sertifikat Hak Tanggungan yang berfungsi sebagai surat tanda

bukti adanya Hak Tanggungan dibubuhi “irah-irah” dengan kata-kata Demi Keadilan

Ketuhanan Yang Maha Esa untuk memberikan kekuatan eksekutorial yang sama

dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan,


(Lembaran Negara Tahun Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3632

8
Lahirnya hak tanggungan adalah pada saat didaftarnya hak tanggungan

tersebut, maka kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak

tanggungan diharuskan ada pada pemberi hak tanggungan pada saat pembuatan buku

tanah hak tanggungan. Oleh karena itu harus dibuktikan keabsahannya kewenangan

tersebut pada saat didaftarnya hak tanggungan yang bersangkutan oleh kantor

pertanahan. Pemberi hak tanggungan ini bisa orang perseorangan atau badan hukum

dengan syarat mereka mempunyai kewenangan untuk melakukun perbuatan hukum

terhadap hak atas tanah yang dimilikinya.

Salah satu kelebihan dari sertikat Hak Tanggungan adalah adanya hak yang

diberikan oleh Undang-Undang kepada pemegang Hak Tanggungan berupa

eksekutorial yang sama dengan putusan pengadian yang telah memiliki kekuatan

hukum yang tetap dan dapat berfungsi sebagai pengganti grosse akta hipotik pada hak

atas tanah. Apabila timbul wanprestasi, maka pemegang Hak Tanggungan dapat

menjual objek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum berdasarkan titel

eksekutorial yang dimilikinya. Ketentuan tersebut memberikan kepastian bagi

kreditor apabila debitor cidera janji dengan memberikan kemungkinan dan

kemudahan untuk pelaksanaan parate eksekusi sebagaimana diatur dalam Pasal 224

HIR dan Pasal 258 Rbg. Penjualan objek Hak Tanggungan dalam hal cidera janji,

apabila dilakukan melalui pelelangan umum, pelaksanaan tetap mengikuti prosedur

dan ketentuan yang berlaku.7

7 Tirtha Enola Marundu, “Eksekusi Hak Tanggungan Sebagai Langkah Terakhir Penyelesaian
Kredit Investasi Macet Pada Bank Pemerintah”, www.puspasca.ugm.ac.id, h.49, dikunjungi pada
tanggal 31 Oktober 2009.

9
2.3.2 Pelaksanaan Eksekusi Lelang Hak Tanggungan

Berdasarkan Pasal 20 Undang-Undang Hak Tanggungan menyebutkan antara

lain bahwa obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum/menurut tata

cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang

pemegang Hak Tanggungan. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam ayat (7) Pasal

200 HIR bahwa pemberi Hak Tanggungan yaitu debitur tidak diperkenankan lagi

untuk mencegah pelelangan tersebut dan membayar semua hutangnya itu. Eksekusi

lelang agunan hutang Hak Tanggungan yang, dilaksanakan oleh Panitia Urusan

Piutang Negara (PUPN) dan Kantor Pelayanan Piutang Lelang Negara (KP2LN)

adalah dalam kerangka yuridis Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 yang

tetap mengacu pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996.

Pelaksanaan eksekusi lelang hak tanggungan mengacu pada Surat Edaran

Nomor : SE-23/PN/2000 yang dikeluarkan oleh Badan Urusan Piutang dan Lelang

Negara Departemen Keuangan Republik Indonesia. Petunjuk terhadap pelaksanaan

lelang hak tanggungan adalah sebagai berikut:

1. Berdasarkan pasal 20 ayat [1] Undang-Undang Hak Tanggungan [UUHT], maka

lelang eksekusi Hak Tanggungan dapat dilaksanakan sebagai berikut :

a. Pemegang Hak Tanggungan pertama menjual objek Hak Tanggungan atas

kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum Pasal 6 Undang- Undang Hak

Tanggungan.

b. Pemegang Hak Tanggungan berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat

dalam Sertifikat Hak Tanggungan menjual melalui pelelangan umum sesuai

10
pasal 14 ayat [2] Undang-undang hak tanggungan.

2. Lelang Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada butir 1 huruf a berdasarkan

pasal 6 UUHT memberikan hak kepada kreditur pemegang hak Tanggungan

pertama untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri apabila

debitur pemberi Hak Tanggungan cidera janji [wanprestasi]. Penjualan objek Hak

Tanggungan tersebut pada dasarnya dilakukan dengan cara lelang dan tidak

memerlukan fiat eksekusi dari pengadilan mengingat penjualan berdasarkan pasal

6 UUHT ini merupakan tindakan pelaksanaan perjanjian. Oleh karenanya dalam

pelaksanaan lelangnya harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

a. Dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan harus dimuat janji sebagaimana

dimaksud dalam pasal 6 Jo. Pasal 11 ayat [2] huruf e UUHT, yaitu apabila

debitur cidera janji pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak

untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui

pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan

tersebut.

b. Bertindak sebagai pemohon lelang adalah Kreditur pemegang Hak

Tanggungan Pertama.

c. Pelaksanaan lelang melalui Pejabat Lelang Kantor Lelang Negara.

d. Pengumuman lelang mengikuti tata cara pengumuman lelang eksekusi.

e. Tidak diperlukan persetujuan debitur untuk pelaksanaan lelang.

f. Nilai limit sedapat mungkin ditentukan oleh Panitia.

g. Pelaksanaan lelang pasal 6 UUHT ini dapat melibatkan Balai Lelang pada

11
jasa pra-lelang.

h. Dokumen persyaratan lelang antara lain terdiri dari :

• Salinan/fotocopy Perjanjian Kredit

• Salinan/fotocopy Sertifikat Hak Tanggungan & Akta Pemberian Hak

Tanggungan.

• Salinan/fotocopy sertifikat hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan.

• Salinan/fotocopy bukti bahwa debitur wanprestasi yang dapat berupa

peringatan-peringatan maupun pernyataan dari Pimpinan/Direksi Bank yang

bersangkutan selaku kreditur.

• Surat pernyataan dari Pimpinan/Direksi Bank yang bersangkutan selaku

kreditur yang isinya akan bertanggung jawab apabila terjadi gugatan.

3. Lelang Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada butir 1 huruf b

dilaksanakan dalam hal lelang berdasarkan pasal 6 UUHT tidak dapat dilakukan

karena Akta Pemberian Hak Tanggungan tidak memuat janji sebagaimana

dimaksud pada pasal 6 Jo. Pasal 11 ayat [2] huruf e atau adanya kendala / gugatan

dari debitur / pihak ketiga. Penjualan ini merupakan pelaksanaan titel eksekutorial

dari sertifikat Hak Tanggungan yang memuat irah-irah “DEMI KEADILAN

BERDASARKAN KE-TUHANAN YANG MAHA ESA” yang mempunyai

kekuatan yang sama dengan putusan Hakim yang telah mempunyai kekuatan

hukum tetap. Penjualan objek Hak Tanggungan ini pada dasarnya dilakukan

secara lelang dan memerlukan fiat eksekusi dari pengadilan. Pelaksanaan

12
lelangnya harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

a. Bertindak sebagai pemohon lelang adalah Pengadilan Negeri.

b. Pelaksanaan lelang melalui Pejabat Lelang Kantor Lelang Negara.

c. Pengumuman lelang mengikuti tata cara pengumuman lelang eksekusi.

d. Tidak diperlukan persetujuan debitur dalam pelaksanaan lelang.

e. Nilai limit sedapat mungkin ditentukan oleh penilai.

f. Pelaksanaan lelang ini dapat melibatkan Balai Lelang pada jasa pralelang.

g. Dokumen persyaratan lelang antara lain terdiri dari :

• Salinan/fotocopy penetapan aanmaning/teguran.

• Salinan/fotocopy penetapan sita pengadilan.

• Salinan/fotocopy berita acara sita.

• Salinan/fotocopy penetapan lelang pengadilan

• Salinan/fotocopy perincian hutang atau jumlah yang harus dipenuhi.

• Salinan/fotocopy surat pemberitahuan lelang pada termohon eksekusi.

4. Berdasarkan Pasal 20 ayat [2] UUHT, atas kesepakatan pemberi Hak Tanggungan

dan Pemegang Hak Tanggungan, penjualan obyek Hak Tanggungan dapat

dilaksanakan dibawah tangan. Penjualan semacam ini tidak boleh dilakukan secara

lelang.8

8 Surat Edaran Nomor : SE-23/PN/2000 yang dikeluarkan oleh Badan Urusan


Piutang dan Lelang Negara Departemen Keuangan Republik Indonesia Sehubungan
dengan dikeluarkannya Surat Edaran Nomor 19/PN/2000 tentang Pelaksanaan
Surat Edaran Nomor SE-21/PN/1998 tentang petunjuk Pelaksanaan Pasal 6
Undang-Undang Hak Tanggungan

13
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan adalah putusan yang sudah

mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde). Putusan yang sudah

berkekuatan tetap adalah putusan yang sudah tidak mungkin lagi dilawan dengan

upaya hukum verzet, banding, dan kasasi. Selain itu, putusan yang dapat dimohonkan

14
untuk eksekusi adalah putusan yang bersifat serta merta.

Hak Tanggungan dikenal sebagai hak jaminan yang dilahirkan oleh Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

(UUPA). Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak

Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah

memberikan defenisi Hak Tanggungan sebagai berikut: Hak Tanggungan atas tanah

beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak

Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana

yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar

pokok-pokok agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan

suatu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan

kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor

lainnya.

Sehingga, dapat disimpulkan yang dimaksud Hak Tanggungan adalah suatu

lembaga hak jaminan, dimana objek yang menjadi jaminan suatu hutang (perikatan)

adalah benda yang berupa tanah. Apabila debitur melakukan wanprestasi, maka

pemegang Hak Tanggungan dapat menjual objek Hak Tanggungan melalui

pelelangan umum berdasarkan titel eksekutorial yang dimilikinya. Ketentuan

tersebut memberikan kepastian bagi kreditor apabila debitor cidera janji dengan

memberikan kemungkinan dan kemudahan untuk pelaksanaan parate eksekusi

sebagaimana diatur dalam Pasal 224 HIR dan Pasal 258 Rbg. Penjualan objek Hak

Tanggungan dalam hal cidera janji, apabila dilakukan melalui pelelangan umum,

15
pelaksanaan tetap mengikuti prosedur dan ketentuan yang berlaku. Prosedur

pelaksanaan eksekusi lelang hak tanggungan mengikuti Surat Edaran Nomor : SE-

23/PN/2000 yang dikeluarkan oleh Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara

Departemen Keuangan Republik Indonesia Sehubungan dengan dikeluarkannya Surat

Edaran Nomor 19/PN/2000 tentang Pelaksanaan Surat Edaran Nomor SE-

21/PN/1998 tentang petunjuk Pelaksanaan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2002

Perundang-undangan

Soesilo, R., RIB / HIR Dengan Penjelasan, Politeia, Bogor, 1995

, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, LN No. 42

tahun 1996, TLN No. 3632.

Surat Edaran

, Surat Edaran Nomor : SE-23/PN/2000 yang dikeluarkan oleh Badan Urusan

16
Piutang dan Lelang Negara Departemen Keuangan Republik Indonesia Sehubungan

dengan dikeluarkannya Surat Edaran Nomor 19/PN/2000 tentang Pelaksanaan Surat

Edaran Nomor SE-21/PN/1998 tentang petunjuk Pelaksanaan Pasal 6 Undang-

Undang Hak Tanggungan.

Internet

www.puspasca.ugm.ac.id

17

You might also like