You are on page 1of 25

TUGAS UNDANG-UNDANG DAN ETIKA KESEHATAN

NINE STAR PHARMACIST


POIN 7, 8, DAN 9

Disusun oleh :

I PUTU BAGUS MAHA PARADIPA (0808505001)


ANGGY ANGGRAENI WAHYUDHIE (0808505002)
NI MADE WIRYATINI (0808505003)
NI PUTU DIAN PRIYATNA SARI (0808505007)
KHATIJA TAHER ALI (0808505014)
NI MADE AYU SUARTINI (0808505015)
NI PUTU PARWATININGHATI (0808505017)
ENNY LAKSMI ARTIWI (0808505018)
NI PUTU MARTIARI (0808505023)
I GEDE DWIJA BAWA TEMAJA (0808505031)

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2011
PENDAHULUAN

Selama lebih dari 4 dekade telah terjadi kecenderungan perubahan pekerjaan kefarmasian
yang semula hanya terlibat dalam penyaluran obat-obatan, menjadi kearah fokus yang lebih
terarah, yaitu kepedulian terhadap pasien. Peran apoteker lambat laun berubah dari peracik obat
(compounder) dan suplier sediaan farmasi, kearah pemberi pelayanan dan informasi dan
akhirnya berubah lagi sebagai pemberi kepedulian kepada pasien. Disamping itu ditambah lagi
tugas seorang apoteker adalah memberikan obat yang layak, efektif dan seaman mungkin serta
memuaskan bagi pasien. Dengan mengambil tanggung jawab langsung pada kebutuhan obat
pasien individual, apoteker dapat memberikan kontribusi yang berdampak pada pengobatan serta
kualitas hidup pasien. Pendekatan cara ini disebut " pharmaceutical care " (asuhan kefarmasian).
Pharmaceutical care adalah konsep dasar dalam pekerjaan kefarmasian yang mengisyaratkan
bahwa semua praktisi kesehatan, khususnya apoteker harus memberikan tanggung jawab atas
dampak pemberian obat pada pasien. Dalam konsep pharmaceutical care, apoteker dituntut
untuk menjadi profesi yang terkait dengan penerapan pengetahuan dan keahlian farmasi dalam
membantu memaksimalkan efek obat dan meminimalkan toksisitas bagi pasien secara individual,
serta memberikan pelayanan yang lebih berorientasi pada pasien. Apoteker mempunyai potensi
untuk meningkatkan dampak pengobatan dan kualitas hidup pasien dalam berbagai sumber dan
mempunyai posisi sendiri yang layak dalam sistem pelayanan kesehatan (Wiedenmayer dkk.,
2006).
Apoteker adalah anggota yang tidak terpisahkan dari tim perawatan kesehatan dan
menjalankan fungsi bervariasi mulai dari pengadaan dan penyediaan obat-obatan untuk layanan
perawatan farmasi dan membantu untuk memastikan perlakuan yang terbaik bagi pasien. Proses
perawatan farmasi melibatkan perilaku untuk membangun hubungan antara pasien dan apoteker,
mengembangkan rencana perawatan berbasis bukti ilmiah untuk terapi obat dan tindak lanjut
terhadap hasil kesehatan yang diharapkan pasien. Dengan demikian, apoteker harus bisa
memberikan pelayanan yang maksimal kepada pasien, mengamati proses obat yang diberikan
kepada pasien, agar menunjukkan kinerja farmakoterapi yang sesuai dengan spesifikasi kerjanya.
Apoteker akan mengaplikasikan pengetahuannya dan menyelaraskan antara pemilihan obat
dengan keadaan pasien, sehingga akan berkonsultasi secara verbal dengan pasien dan tenaga
medis lainnya. Sasaran akhir dari pharmaceutical care ini yaitu bagaimana dapat meningkatkan
kualitas hidup pasien (Everard, 2006).
Untuk bisa efektif sebagai anggota tim kesehatan, apoteker butuh keterampilan dan sikap
untuk melakukan fungsi-fungsi yang berbeda-beda. Konsep the seven-star pharmacist
diperkenalkan oleh WHO pada tahun 2000 sebagai kebijaksanaan tentang praktek pendidikan
farmasi yang baik (Good Pharmacy Education Practice) meliputi sikap apoteker sebagai
pemberi pelayanan (care-giver), pembuat keputusan (decision-maker) , communicator, manager,
pembelajaran jangka panjang (life-long learner), guru (teacher) dan pemimpin (leader). Dengan
semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat akan obat-obat baru yang lebih efektif serta makin
banyaknya tenaga farmasis dunia kerja yang perlu bersaing untuk memperoleh pekerjaan sesuai
bidangnya, maka dirasa perlu untuk mengembangkan seven star pharmacist menjadi nine star
pharmacist, yaitu dengan penambahan poin farmasis sebagai peneliti (researcher) dan farmasis
sebagai (Entrepreneur). Melalui konsep nine star pharmacist ini diharapkan farmasis atau
apoteker dapat lebih mengoptimalkan peranannya dalam meningkatkan pelayanan kefarmasian
kepada pasien dengan tujuan akhir berupa kesembuhan pasien dan peningkatan kualitas hidup
pasien (Wiedenmayer dkk., 2006).
Pada makalah ini dibahas mengenai poin ke 7, 8, dan 9 dalam nine star pharmacist, yaitu
mengenai peran farmasis sebagai leader (pemimpin), researcher (peneliti), dan entrepreneur
(wirausahawan).
Leader

Farmasis harus memiliki karakter dan kemampuan seorang pemimpin. Kepemimpinan


sangat berkaitan dengan kesadaran akan arti diri dan penetapan tujuan bersama serta bagaimana
membawa kelompok yang dipimpin untuk mencapai tujuan bersama. Kepemimpinan yang
diharapkan meliputi keberanian mengambil keputusan yang empati dan efektif serta kemampuan
mengkomunikasikan dan mengelola hasil keputusan (Anonim, 2007).
International Pharmaceutical Federation menyebutkan mengenai farmasis sebagai leader
setelah diterjemahkan adalah sebagai berikut:
“Dalam situasi pelayanan multi disiplin atau dalam wilayah dimana pemberi pelayanan
kesehatan lainnya ada dalam jumlah yang sedikit, apoteker diberi tanggung jawab untuk menjadi
pemimpin dalam semua hal yang menyangkut kesejahteraan pasien dan masyarakat.
Kepemimpinan Apoteker melibatkan rasa empati dan kemampuan membuat keputusan ,
berkomunikasi dan memimpin secara efektif. Seseorang Apoteker yang memegang peranan
sebagai pemimpin harus mempunyai visi dan kemampuan memimpin” (Wledenmayer dkk,
2006).
Sebagai seorang pemimpin, Apoteker tidak cukup hanya sekedar bermodalkan rasa
percaya diri dan pesona diri yang hebat, tetapi juga wajib bermodalkan keterampilan dasar
kepemimpinan untuk bisa menyatu dengan yang dipimpin. Berikut ini ada enam keterampilan
yang perlu dimiliki seorang apoteker untuk bisa memperkuat dasar-dasar kepemimpinan dirinya.
1. Keterampilan Presentasi.
Seorang Apoteker sebagai leader harus kreatif melakukan presentasi kepada pengikutnya.
Presentasi ini harus meliputi visi, misi, goal, action plan, dan fokus. Di mana, dalam setiap
presentasi, Apoteker harus secara cerdas mampu mentransformasikan nilai-nilai yang kuat dan
positif kepada rencana tindakan yang jelas. Apoteker sebagai pemimpin harus memanfaatkan
keterampilan presentasi ini untuk mengkomunikasikan dan meyakinkan kepada para pengikut,
bawahan, tim atau kelompoknya tentang ide dan visi yang harus diperjuangkan bersama.
(Djajendra, 2011)
2. Keterampilan Membangun Tim Yang Kuat.
Pemimpin yang sesungguhnya adalah seorang pekerja tim. Jadi, keterampilan membangun tim
adalah keterampilan yang sangat strategis yang dibutuhkan seorang Apoteker untuk
mensukseskan kepemimpinan yang sedang diperjuangkan tersebut. Sebagai pemimpin,
Apoteker harus bersikap bijak dan profesional dalam merakit sebuah tim yang tangguh dan
dinamis. Pemimpin harus menciptakan sebuah tim yang kreatif dan strategis untuk
membangun kinerja tim yang hebat. Apoteker harus membangun tim yang mampu
meningkatkan rasa percaya diri untuk berprestasi secara maksimal (Djajendra, 2011)
3. Keterampilan Negosiasi.
Negosiasi adalah bagian dari komunikasi yang terfokus untuk mencari kesepakatan. Jadi,
peran seorang Apoteker sebagai seorang negosiator ulung tidaklah boleh diabaikan. Apoteker
harus bijak dan cerdas melihat semua tantangan yang ada dan cerdas menggunakan
keterampilan negosiasi tersebut untuk mentransformasikan semua tantangan menjadi peluang
yang menguntungkan organisasi atau tim yang dipimpin. Sebagai pemimpin, Apoteker adalah
seorang negosiator untuk mendapatkan kesepakatan terbaik, bukan seorang negosiator yang
ngotot dan tidak mau berkompromi terhadap tantangan (Djajendra, 2011)
4. Keterampilan Bersikap Baik.
Seorang Apoteker sebagai pemimpin tidak zamannya lagi memanfaatkan kekuasaan dan
posisi kepemimpinannya untuk bersikap arogan dan bersikap diktator terhadap pengikut.
Sekarang ini zamannya pemimpin harus merangkul semua kekuatan dan potensi sukses
pengikutnya untuk dijadikan sebagai kekuatan kepemimpinan yang ia miliki. Oleh karena itu,
Apoteker wajib bersikap baik dengan sikap tulus dan jujur kepada setiap orang, dimana pun
dan kapan pun (Djajendra, 2011).
5. Keterampilan Memotivasi.
Seorang pemimpin adalah seorang motivator yang harus mampu membangkitkan energi
positif dari pengikut dan bawahannya, untuk secara proaktif bergairah dan bersemangat tinggi
dalam meraih prestasi yang hebat. Oleh karena itu, Apoteker wajib memiliki keterampilan
untuk memotivasi pengikutnya dan menggerakan para pengikut untuk melakukan hal-hal
terpenting buat kesuksesan organisasi atau tim kerja. Motivasi bukan berarti sekedar berteriak-
teriak dengan semangat tinggi, tetapi lebih kepada cara untuk merangkul hati dan pikiran
positif para pengikut. Lalu membangun harapan dan rasa percaya diri mereka untuk menjadi
lebih hebat (Djajendra, 2011).
6. Keterampilan Mengorganisasi.
Seorang pemimpin adalah seorang organisator yang ulung. Kemampuan Apoteker dalam
mengorganisasi semua kekuatan yang ada akan menjadikan kepemimpinan itu kuat dan solid.
Melalui kebersamaan dalam organisasi yang solid dan kuat, pemimpin pasti membawa setiap
orang menuju puncak harapan (Djajendra, 2011).
Berbicara lebih jauh mengenai kelebihan yang perlu dimiliki seorang pemipin, Stogdill
(1974) menyebutkan kelebihan-kelebihan yang perlu dimiliki tersebut adalah :
 Kapasitas; kecerdasan, kemampuan berbicara, kemampuan menganalisis, dan
kewaspadaan yang menyeluruh.
 Prestasi (achievement); memiliki gelar kesarjanaan, ilmu pengetahuan, berprestasi dalam
bidang olah raga/seni dan lain-lain.
 Tanggung jawab ; berinisiatif, mandiri, percaya diri dan bermotivasi untuk maju.
 Partisipasi; bersosiabilitas yang tinggi, mampu berkomunikasi/bergaul, suka bekerjasama
dan mudah menyesuaikan diri serta humoris.
 Status; meliputi kedudukan sosial ekonomi yang baik dan dikenal masyarakat luas.
 Situasi; meliputi mental, status, keterampilan, kebutuhan, interest, objektif dan
sebagainya.

Terdapat beberapa faktor pendukung tercapainya peran farmasis atau Apoteker sebagai
leader adalah sebagai berikut :
1. Peraturan Pemerintah
Adanya peraturan pemerintah (khususnya PP No. 51 th 2009) mendukung perkembangan
Apoteker menjadi leader. Peraturan ini menekankan bahwa setiap penyerahan obat harus
dilakukan oleh Apoteker. Dengan demikian akan melatih kemampuan apoteker dalam
mengelola dan memimpin team work di apotek tersebut. Apoteker akan menjadi
pemimpin di daerahnya sendiri yaitu apotek.

2. Pendidikan.
Pendidikan sangat mendukung lahirnya Apoteker-apoteker yang nantinya akan menjadi
pemimpin dalam suatu tim medis. Di dalam pendidikannya sebagai Apoteker telah
diajarkan juga tentang sisi humanitas dan mempelajari manusia sebagai makhluk sosial
budaya. Kemampuan dasar seperti ini juga dikembangkan dan dilatih lebih jauh lagi
dalam suatu tim kerja praktikum dimana calon-calon Apoteker akan belajar memipin dan
dipimpin dalam kelompoknya. Pendidikan juga mengajari Apoteker tentang sopan santun
dan tata-cara dalam menjalin hubungan dengan orang lain sehingga kepemimpinannya
akan sangat dihargai oleh orang lain.

3. Adanya Penghargaan Dari Masyarakat


Adanya penghargaan terhadap keberhasilan memimpin suatu tim medis tentu akam
semakin memacu Apoteker untuk mengembangkan leadershipnya. Penghargaan
didapatkan dari masyarakat baik itu berupa rasa hormat dan kepercayaan. Hal inilah yang
tidak akan didapatkan dengan mudah ataupun bisa dinilai dengan materi. Rasa puas dan
penghargaan dari masyarakat akan mendorong sifat kepemimpinan Apoteker.

4. Faktor Finansial
Keinginan untuk mendapatkan dan meningkatkan finansial seorang Apoteker akan lebih
terbantu jika ia menjadi seorang pemimpin. Kemampuan sebagai pemimpin akan
mendapatkan nilai finansial yang lebih dibandingkan Apoteker yang tidak menjadi
seorang pemimpin. Selain itu, dengan menjadi seorang pemimpin, Apoteker akan
mempunyai kesempatan lebih dalam memperlihatkan kemampuannya. Terbukanya
kesempatan maka akan terbuka pula kesempatan mendapatkan jenjang karir dan finansial
yang lebih baik.

Selain faktor pendukung, terdapat pula faktor penghambat peran farmasis sebagai leader, yaitu :

1. Pola pikir masyarakat tertentu


Beberapa masyarakat memiliki pandangan yang skeptis akan seorang pemimpin dimana
mereka menganggap bahwa tidaklah baik untuk menonjolkan diri sendiri. Masyarakat ini
menganggap bahwa yang menilai seorang menjadi pemimpin adalah orang lain, bukan
orang itu sendiri. Pola pikir seperti inilah yang menghambat perkembangan seorang
apoteker untuk menjadi lebih maju.
2. Kurangnya kepercayaan masyarakat
Apoteker sejauh ini belum banyak diketahui perannya oleh masyarakat. Masyarakat
hanya mengetahui dokter sebagai tenaga kesehatan yang paling dipercaya. Dengan
kurangnya kepercayaan ini maka masyarakat akan menganggap bahwa dokterlah yang
cocok sebagai leader dalam suatu tim kesehatan.

3. Kurangnya kesempatan yang diberikan


Karena kurangnya kepercayaan masyarakat, maka kesempatan seorang apoteker untuk
menunjukkan diri dan mengembangkan sifat leadernya akan terbatas. Kesempatan untuk
menjadi leader dalam suatu tim medis masih terbatas, dimana lebih sering seorang dokter
yang memiliki kesempatan untuk menjadi pemimpin, misalnya sebagai kepala rumah
sakit.

4. Masalah gender
Dalam beberapa hal, persoalan gender masih membatasi gerak seorang apoteker,
khususnya apoteker wanita. Hal ini disebabkan karena pandangan bahwa laki-laki yang
lebih mampu, masih kuat mengakar. Permasalahan ini mengakibatkan pola pikir apoteker
wanita juga terpengaruhi. Mereka tidak akan berusaha untuk menjadi leader karena
menganggap dirinya tidak mampu atau lebih baik dari seorang apoteker pria.
(Anonim, 2007)
Reseacher

Dalam Undang-Undang (UU) Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992 telah diatur tentang
peranan profesi apoteker, yakni pembuatan, termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi,
pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas
resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat dan obat tradisional Hal ini
seiring dengan perkembangan Seven Star Pharmacist menjadi Nine Star Pharmacist (Anonim,
2009).
Salah satu bagian dari penambahan Seven Star Pharmacist sehingga menjadi Nine Star
Pharmacist adalah fungsi seorang apoteker atau farmasis sebagai Reseacher. Seorang farmasis
yang memiliki fungsi sebagai researcher atau peneliti akan memainkan peran penting dalam
berbagai proses penelitian klinis yang meliputi penemuan, perencanaan, pemantauan serta
pelaporan uji klinis. Tujuan utama dalam melakukan penelitian klinis adalah untuk menghasilkan
pengetahuan baru untuk meningkatkan pelayanan kesehatan (Wilborn, 2011).
Penelitian dalam ilmu kesehatan dan farmasetik dalam pelayanan farmasi merupakan
bidang penelitian yang penting, terutama di rumah sakit. Untuk maksud tersebut, maka apoteker
harus mengerti tentang kebutuhan dasar penelitian secara sistematis dalam pelayanan farmasi
yang meliputi pendekatan dasar ilmiah; komponen dasar dari suatu rencana penelitian; proses
mendokumentasikan dan pelaporan temuan, serta tanggung jawab peneliti berkaitan dengan
penderita, pimpinan rumah sakit dan ilmiah pada umumnya. Bidang utama penelitian apoteker di
rumah sakit mencakup terapi obat, farmasetik, ketersediayaan hayati, administrasi atau
manajemen farmasi rumah sakit, dan perilaku sosial yang berkaitan dengan pelayanan farmasi.
Pada penelitian tersebut apoteker merupakan peneliti utama. Bidang penelitian lain dengan
apoteker sebagai peneliti, yaitu peneliti klinis obat bersama dengan tim medis. Di samping
penelitian tersebut, apoteker juga berperan aktif dalam penyelidikan yaitu dalam penyediaan,
penyimpanan, pengendalian penggunaan dan analisis data penyelidikan (Siregar, 2004).
Penelitian (research) adalah semua kegiatan pencarian, penyelidikan, dan percobaan
secara alamiah dalam suatu bidang tertentu, untuk mendapatkan fakta-fakta atau prinsip-prinsip
baru yang bertujuan untuk mendapatkan pengertian baru dan meningkatkan taraf ilmu serta
teknologi. Orang yang melakukan suatu penelitian disebut sebagai peneliti (researcher).
Penelitian di bidang farmasis oleh seorang farmasis peneliti merupakan suatu kegiatan pencarian,
penyelidikan, dan percobaan yang dilakukan untuk menghasilkan perkembangan-perkembangan
baru di bidang pengobatan sehingga ke depannya diharapkan dapat meningkatkan kualitas
kesehatan masyarakat dan dengan demikian dapat meningkatkan kualitas hidup pasien (Susilana,
tt).
Seorang research pharmacist (farmasi peneliti) berpartisipasi dalam desain studi
penelitian (eksperimen) yang terkait dengan pengembangan sediaan atau obat baru. Secara
khusus, seorang farmasi peneliti akan berperan dalam pengambilan data-data klinis dan
melakukan studi pendahuluan terhadap penelitian klinis tersebut. Contoh lainnya, seorang
farmasi peneliti juga akan melakukan penelitian studi terhadap komposisi kimia obat yang
meliputi pengaturan dan pengujian efektivitas obat-obatan baru yang telah dihasilkan. Dalam
melakukan tahap ini, seorang farmasis juga harus melewati pelatihan serta memiliki sertifikasi
sehingga dapat memiliki pengetahuan dan keahlian yang cukup dalam penggunaan alat-alat yang
nantinya akan digunakan untuk melakukan proses penelitian klinis (Wilborn, 2011).
Farmasi peneliti juga memiliki andil untuk melakukan program pengendalian mutu
(quality control) yang luas untuk menjamin keselamatan pasien, akurasi dan validitas dalam
melakukan studi klinis. Program pengendalian mutu tersebut meliputi evaluasi pelaporan variasi
obat, pemantauan pengendalian suhu, pengujian sterilitas dan pirogen serta pemantauan secara
berkala terhadap masing-masing penelitian klinis agar tetap berjalan sesuai dengan prosedur
operasi standar (Sharma, 2010)
Dalam melakukan berbagai proses penelitian klinis, seorang farmasis diharapkan untuk
mampu menggunakan kemampuannya dalam memanfaatkan berbagai bukti ilmiah seperti
diagnosis atau gejala yang dialami pasien sehingga bukti ilmiah tersebut dapat berfungsi secara
efektif dalam pemberian saran mengenai penggunaan obat yang rasional dalam proses perawatan
(terapi) kesehatan. Banyaknya pengalaman yang telah dialami dan didokumentasikan juga dapat
memberikan kontribusi yang besar dalam mengoptimalkan hasil dari perawatan kesehatan yang
telah dilakukan. Sebagai seorang peneliti, apoteker juga berperan dalam meningkatkan
akseptabilitas dari informasi obat yang berkaitan dengan tenaga kesehatan profesional lainnya
(Wiedenmayer dkk., 2006).
Secara umum, peneliti yang baik harus berpedoman pada 3 sifat umum penelitian, yaitu :
 Rasional, yaitu penelitian dilakukan dengan cara-cara yang masuk akal sehingga
terjangkau oleh penalaran manusia.
 Empiris, yaitu cara yang digunakan dapat diamati dengan indera manusia.
 Sistematis, yaitu proses penelitian menggunakan langkah-langkah tertentu yang bersifat
logis.

Selain sifat umum di atas, peneliti yang baik juga harus memiliki ciri-ciri dan syarat sebagai
berikut :
1. Peneliti harus dapat merumuskan tujuan dan masalah penelitian dengan jelas sehingga
tidak menimbulkan keraguan kepada pembaca.
2. Peneliti harus dapat menjelaskan teknik dan prosedur dalam penelitian secara rinci.
3. Peneliti harus senantiasa menjaga obyektifitas penelitian dengan menunjukkan bukti-
bukti mengenai sampel yang diambil.
4. Peneliti harus dapat menginformasikan kekurangan-kekurangan selama pelaksanaan
penelitian secara jujur dan menjelaskan dampak dari kekurangan tersebut.
5. Peneliti harus dapat menyertakan validitas dan kehandalan data hasil penelitiannya, di
mana validitas data tersebut harus dapat diperiksa dengan cermat.
6. Peneliti dapat menarik kesimpulan yang didasarkan pada hal-hal yang terkait dengan
data penelitian.
7. Peneliti harus dapat mengamati obyek atau fenomena yang betul-betul sesuai dengan
kemampuan, pengalaman, dan motivasi kuat yang dimilikinya.
8. Peneliti harus dapat menciptakan coherency, yaitu keterkaitan antara bagian yang satu
dengan bagian yang lain, antara paragraf satu dengan yang lain, antara bab yang satu
dengan bab yang lain dalam laporan penelitian.

Beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh suatu percobaan penelitian antara lain :
a. Percobaan harus bebas dari bias
Percobaan harus sedemikian rupa direncanakan sehingga tidak bias. Ketidakbiasan satu
percobaan dapat dijamin dengan adanya desain yang baik. Secara garis besar, adanya
randomisasi mengurangi sifat bias dari percobaan.

b. Harus ada ukuran terhadap error


Dengan adanya desain yang baik, maka error dapat diukur. Dalam istilah desain
percobaan, error tidak sama artinya dengan kesalahan. Yang dimaksud dengan error adalah
semua variasi ekstra, yang juga mempengaruhi hasil di samping pengaruh perlakuan-perlakuan.
Dengan adnya ukuran error, maka percobaan menjadi objektif sifatnya. Ukuran error ini
bergantung pada desai percobaan yang dipilih.

c. Percobaan harus punya ketepatan


Percobaan harus dilakukan dengan desain yang dapat menambah ketepatan. Ketepatan
dapat terjamin jika error teknis dapat dihilangkan dan adanya replikasi pada percoban. Ketepatan
atau presisi dapat ditingkatkan jika error teknis, seperti kurangnya tepatnya timbangan yang
digunakan, kurang baiknya dalam menggunakan alat ukur, dan sebagainya. Dengan demikian,
maka jumlah replikasi dapat menambah ketepatan percobaan.

d. Tujuan percobaan harus jelas


Tujuan percobaan harus dibuat sejelas-jelasnya, ditambah dengan alasan-alasan yang kuat
mengapa memilih perlakuan demikian. Selain itu, diperlukan juga kejelasan mengenai pada
kondisi apa hasil percobaan penelitian akan diaplikasikan serta pada daerah ilmu mana sasaran
penelitian tersebut ingin diterapkan. Tujuan percobaan didefinisikan dan dapat dituangkan dalam
hipotesis-hipotesis nol yang akan dikembangkan.

e. Percobaan harus punya jangkauan yang cukup


Tiap percobaan harus mempunyai jangkauan atau scope yang cukup sesuai dengan tujuan
penelitian. Scope dari percobaan sangat penting artinya untuk keperluan mengadakan
perulangan percobaan. Akan tetapi, dewasa ini dengan adanya teknik percobaan faktorial,
pengulangan percobaan telah dapat dilakukan secara simultan.
Adapun beberapa faktor yang dapat mendukung terlaksananya tugas dari seorang farmasi
peneliti antara lain :

1. Seorang farmasi peneliti harus mempunyai keterampilan dan pengetahuan yang luas
serta latar belakang yang kuat dalam bidang sains, seperti kimia, matematika, biologi,
biokimia dan statistik. Farmasis akan menggunakan keterampilan dari bidang ini untuk
melakukan analisa terhadap data-data klinis pasien (Wilborn, 2010).
2. Peran farmasi sebagai seorang peneliti harus didukung dengan adanya memori yang
kuat mengenai berbagai jenis obat yang telah tersedia di pasaran dan interaksi obat
mungkin terjadi (Hart, 2007).
3. Seorang farmasi peneliti harus memahami cara-cara mencampur senyawa secara
bersama-sama untuk menciptakan obat (Hart, 2007).
4. Seorang farmasi peneliti harus mengetahui pengaruh dari obat-obatan tersebut terhadap
tubuh manusia (Hart, 2007).
5. Farmasi peneliti harus mempunyai perhatian yang mendalam mengenai berbagai detail
yang ada dalam berbagai tahap penelitian klinis, dimana hal ini akan berpengaruh
terhadap keakuratan dari penelitian klinis yang akan dilakukan (Sharma, 2010).
6. Dalam memimpin dan mengelola suatu penelitian klinis, seorang farmasi peneliti harus
memiliki kemampuan komunikasi yang baik dalam memberikan pengarahan yang jelas
dan bijaksana terhadap staf personil pendukung lainnya (teknisi atau koordinator
penelitian yang dilakukan) (Sharma, 2010).
7. Farmasi peneliti juga harus memiliki keterampilan dalam proses pengoperasian alat-alat
yang digunakan dalam menjalankan suatu penelitian klinis seperti komputer.
Komputerisasi akan memudahkan dalam melakukan analisa terhadap hasil dari
penelitian klinis yang dilakukan. Selain itu, penggunaan sistem komputer akan
menghasilkan tingkat keakuratan yang lebih tinggi dibandingkan dengan analisa yang
dilakukan secara manual (Sharma, 2010).
Selain faktor-faktor pendukung tersebut, terdapat pula beberapa faktor yang dapat menghambat
peran seorang farmasis sebagai researcher atau peneliti, antara lain :

1. Dana penelitian
Minimnya dana dapat menjadi salah satu faktor penghambat dalam menjalankan suatu
penelitian. Tanpa adanya dana yang memadai, seorang peneliti, dalam hal ini apoteker
sudah pasti akan menemui kesulitan dalam melakukan perancangan dan pelaksanaan
penelitian (Suharmadi, tt).

2. Peralatan penelitian
Peralatan penelitian yang memadai sudah pasti akan membantu kinerja dari seorang
apoteker dalam menjalankan tugasnya sebagai peneliti. Minimnya peralatan yang ada
dalam menunjang kinerja penelitian, sudah pasti juga akan mempengaruhi hasil
penelitian itu sendiri (Rosmawati, 2010).

3. Peraturan mengenai objek penelitian


Saat ini objek penelitian, khususnya yang menggunakan manusia sebagai objek
penelitian misalnya untuk mengembangkan metode terapi yang baik, menemui banyak
halangan atau pembatasan dari pemerintah (Anonim a, tt). Berdasarkan kongres yang
diadakan pemerintah Amerika pada tahun 1996, ditetapkan sebuah keputusan mengenai
Health Insurance Portability and Accountability Act (HIPAA). Keputusan ini membahas
mengenai pembatasan privasi seseorang dalam memberikan sebuah informasi
kesehatannya walaupun kepada praktisi kesehatan. Banyak praktisi kesehatan, khusunya
apoteker yang ingin menjalankan tugasnya untuk memaksimalkan pengobatan
mengalami hambatan akibat adanya aturan ini. Menurut pemerintah Amerika, sebuah
privasi membantu melindungi individu dari bahaya, seperti diskriminasi dan pencurian
identitas, izin penelitian dan kegiatan kesehatan masyarakat yang akan dilaksanakan
dengan cara menjaga martabat mereka. Namun beberapa peneliti menanggapi bahwa
tanpa penelitian tersebut, masyarakat akan kehilangan manfaat dari terapi yang baru,
perbaikan diagnostik, dan cara yang lebih efektif untuk mencegah penyakit dan
memberikan perawatan (Anonim b, tt).

4. Sikap pesimis objek penelitian (pasien) atas keberhasilan suatu penelitian.


Sikap pesimis dari objek penelitian dapat menghambat efektivitas dari suatu terapi
perawatan kesehatan, sehebat apapun terapi itu. Untuk itu, apoteker sangat perlu
memperhatikan sikap dari pasien yang dirawatnya terhadap perawatan yang dilakukan.
Dewasa ini, para apoteker dan tenaga kesehatan lainnya dirasa perlu untuk membangun
hubungan yang lebih dekat dengan pasiennya untuk meningkatkan rasa percaya
terhadap perawatan yang mereka rekomendasikan. Pasien juga perlu membangun
harapan yang kuat dan positif untuk sembuh serta membangun rasa percaya terhadap
tenaga kesehatan yang memberikannya perawatan (Rahmadhan, 2011).
Entrepreneur

Kewirausahaan pertama kali muncul pada abad ke-18, diawali dengan penemuan-
penemuan baru seperti mesin uap, mesin pemintal, dan lain-lain. Tujuan utama mereka adalah
pertumbuhan dan perluasan organisasi melalui inovasi dan kreativitas. Keuntungan dan kekayaan
bukan tujuan utama. Secara sederhana arti wirausahawan (entrepreneur) adalah orang yang
berjiwa berani mengambil resiko untuk membuka usaha dalam berbagai kesempatan. Berjiwa
berani mengambil resiko artinya bermental mandiri dan berani memulai usaha, tanpa diliputi rasa
takut atau cemas sekalipun dalam kondisi tidak pasti (Kasmir, 2007).
Pengertian kewirausahaan relatif berbeda-beda antarpara ahli atau sumber acuan dengan
titik berat perhatian atau penekanan yang berbeda-beda, dan beberapa definisi tentang
kewirausahaan tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Frank Knight (1921)


Wirausahawan mencoba untuk memprediksi dan menyikapi perubahan pasar. Definisi ini
menekankan pada peranan wirausahawan dalam menghadapi ketidakpastian pada dinamika
pasar. Seorang worausahawan disyaratkan untuk melaksanakan fungsi-fungsi manajerial
mendasar seperti pengarahan dan pengawasan.

2. Joseph Schumpeter (1934)


Wirausahawan adalah seorang inovator yang mengimplementasikan perubahan - perubahan di
dalam pasar melalui kombinasi-kombinasi baru. Kombinasi baru tersebut bisa dalam bentuk
(1) memperkenalkan produk baru atau dengan kualitas baru, (2) memperkenalkan metoda
produksi baru, (3) membuka pasar yang baru (new market), (4) Memperoleh sumber pasokan
baru dari bahan atau komponen baru, atau (5) menjalankan organisasi baru pada suatu
industri. Schumpeter mengkaitkan wirausaha dengan konsep inovasi yang diterapkan dalam
konteks bisnis serta mengkaitkannya dengan kombinasi sumber daya.
3. Harvey Leibenstein (1968, 1979)
Kewirausahaan mencakup kegiatan-kegiatann yang dibutuhkan untuk menciptakan atau
melaksanakan perusahaan pada saat semua pasar belum terbentuk atau belum teridentifikasi
dengan jelas, atau komponen fungsi produksinya belum diketahui sepenuhnya.

4. Israel Kirzner (1979)


Wirausahawan mengenali dan bertindak terhadap peluang pasar. Entrepreneurship Center at
Miami University of Ohio mendefinisikan Kewirausahaan sebagai proses mengidentifikasi,
mengembangkaan, dan membawa visi ke dalam kehidupan. Visi tersebut bisa berupa ide
inovatif, peluang, cara yang lebih baik dalam menjalankan sesuatu. Hasil akhir dari proses
tersebut adalah penciptaan usaha baru yang dibentuk pada kondisi resiko atau ketidakpastian .
(Anonim, tt)

Salah satu kesimpulan yang bisa ditarik dari berbagai pengertian tersebut adalah bahwa
kewirausahaan dipandang sebagai fungsi yang mencakup eksploitasi peluang-peluang yang
muncul di pasar. Eksploitasi tersebut sebagian besar berhubungan dengan pengarahan dan atau
kombinasi input yang produktif. Seorang wirausahawan selalu diharuskan menghadapi resiko
atau peluang yang muncul, serta sering dikaitkan dengan tindakan yang kreatif dan innovatif.
Wirausahawan adalah orang yang merubah nilai sumber daya, tenaga kerja, bahan dan faktor
produksi lainnya menjadi lebih besar daripada sebelumnya dan juga orang yang melakukan
perubahan, inovasi dan cara-cara baru (Anonim, tt).
Kesimpulan lain dari kewirausahaan adalah proses penciptaan sesuatu yang berbeda
nilainya dengan menggunakan usaha dan waktu yang diperlukan, memikul resiko finansial,
psikologi dan sosial yang menyertainya, serta menerima balas jasa moneter dan kepuasan
pribadi. Istilah wirausaha muncul kemudian setelah dan sebagai padanan wiraswasta yang sejak
awal sebagian orang masih kurang sreg dengan kata swasta. Persepsi tentang wirausaha sama
dengan wiraswasta sebagai padanan entrepreneur. Perbedaannya adalah pada penekanan pada
kemandirian (swasta) pada wiraswasta dan pada usaha (bisnis) pada wirausaha (Anonim, tt).

Ciri-ciri dan watak kewirausahaan antara lain :


1. Percaya diri, keyakinan, ketidaktergantungan, individualistis, dan optimisme
2. Berorientasi pada tugas dan hasil kebutuhan untuk berprestasi, berorientasi laba,
ketekunan dan ketabahan, tekad kerja keras, mempunyai dorongan kuat, energetik dan
inisiatif
3. Pengambilan resiko kemampuan untuk mengambil resiko yang wajar dan suka tantangan
4. Kepemimpinan perilaku sebagai pemimpin, bergaul dengan orang lain, menanggapi
saran-saran dan kritik
5. Keaslian inovatif dan kreatif serta fleksibel
6. Berorientasi ke masa depan dan perspektif
(Anonim, tt)

Ciri-ciri wirausaha yang berhasil antara lain :


a. Memiliki visi dan tujuan yang jelas. Hal ini berfungsi untuk menebak ke mana langkah
dan arah yang dituju sehingga dapat diketahui langkah yang harus dilakukan oleh
pengusaha tersebut.
b. Inisiatif dan selalu proaktif. Ini merupakan ciri mendasar di mana pengusaha tidak hanya
menunggu sesuatu terjadi, tetapi terlebih dahulu memulai dan mencari peluang sebagai
pelopor dalam berbagai kegiatan.
c. Berorientasi pada prestasi. Pengusaha yang sukses selalu mengejar prestasi yang lebih
baik daripada prestasi sebelumnya. Mutu produk, pelayanan yang diberikan, serta
kepuasan pelanggan menjadi perhatian utama. Setiap waktu segala aktifitas usaha yang
dijalankan selalu dievaluasi dan harus lebih baik dibanding sebelumnya.
d. Berani mengambil risiko. Hal ini merupakan sifat yang harus dimiliki seorang pengusaha
kapanpun dan dimanapun, baik dalam bentuk uang maupun waktu.
e. Kerja keras. Jam kerja pengusaha tidak terbatas pada waktu, di mana ada peluang di situ
dia datang. Kadang-kadang seorang pengusaha sulit untuk mengatur waktu kerjanya.
Benaknya selalu memikirkan kemajuan usahanya. Ide-ide baru selalu mendorongnya
untuk bekerja kerjas merealisasikannya. Tidak ada kata sulit dan tidak ada masalah yang
tidak dapat diselesaikan.
f. Bertanggungjawab terhadap segala aktifitas yang dijalankannya, baik sekarang maupun
yang akan datang. Tanggungjawab seorang pengusaha tidak hanya pada segi material,
tetapi juga moral kepada berbagai pihak.
g. Komitmen pada berbagai pihak merupakan ciri yang harus dipegang teguh dan harus
ditepati. Komitmen untuk melakukan sesuatu memang merupakan kewajiban untuk
segera ditepati dana direalisasikan.
h. Mengembangkan dan memelihara hubungan baik dengan berbagai pihak, baik yang
berhubungan langsung dengan usaha yang dijalankan maupun tidak. Hubungan baik yang
perlu dlijalankan, antara lain kepada : para pelanggan, pemerintah, pemasok, serta
masyarakat luas (Kasmir, 2007).

Dari analisis pengalaman di lapangan, ciri-ciri wirausaha yang pokok untuk dapat berhasil dapat
dirangkum dalam tiga sikap, yaitu :
a. jujur, dalam arti berani untuk mengemukakan kondisi sebenarnya dari usaha yang
dijalankan, dan mau melaksanakan kegiatan usahanya sesuai dengan kemampuannya.
Hal ini diperlukan karena dengan sikap tersebut cenderung akan membuat pembeli
mempunyai kepercayaan yang tinggi kepada pengusaha sehingga mau dengan rela untuk
menjadi pelanggan dalam jangka waktu panjang ke depan
b. mempunyai tujuan jangka panjang, dalam arti mempunyai gambaran yang jelas
mengenai perkembangan akhir dari usaha yang dilaksanakan. Hal ini untuk dapat
memberikan motivasi yang besar kepada pelaku wirausaha untuk dapat melakukan kerja
walaupun pada saat yang bersamaan hasil yang diharapkan masih juga belum dapat
diperoleh.
c. selalu taat berdoa, yang merupakan penyerahan diri kepada Tuhan untuk meminta apa
yang diinginkan dan menerima apapun hasil yang diperoleh. Dalam bahasa lain, dapat
dikemukakan bahwa ”manusia yang berusaha, tetapi Tuhan-lah yang menentukan!”
dengan demikian berdoa merupakan salah satu terapi bagi pemeliharaan usaha untuk
mencapai cita-cita.

Faktor-faktor pendukung seseorang untuk menjadi seorang pengusaha, harus memiliki beberapa
kompetensi. Kompentensi perlu dimiliki oleh wirausahawan seperti halnya profesi lain dalam
kehidupan, yang akan mendukungnya ke arah kesuksesan. Sepuluh kompetensi yang harus
dimiliki, yaitu :
1. knowing your business, yaitu mengetahui usaha apa yang akan dilakukan. Dengan kata
lain, seorang wirausahawan harus mengetahui segala sesuatu yang ada hubungannya
dengan usaha atau bisnis yang akan dilakukan.
2. knowing the basic business management, yaitu mengetahui dasar-dasar pengelolaan
bisnis, misalnya cara merancang usaha, mengorganisasi dan mengendalikan perusahaan,
termasuk dapat memperhitungkan, memprediksi, mengadministrasikan, dan
membukukan kegiatan-kegiatan usaha. Mengetahui manajemen bisnis berarti memahami
kiat, cara, proses dan pengelolaan semua sumberdaya perusahaan secara efektif dan
efisien.
3. having the proper attitude, yaitu memiliki sikap yang sempurna terhadap usaha yang
dilakukannya. Dia harus bersikap seperti pedagang, industriawan, pengusaha, eksekutif
yang sunggung-sungguh dan tidak setengah hati.
4. having adequate capital, yaitu memiliki modal yang cukup. Modal tidak hanya bentuk
materi tetapi juga rohani. Kepercayaan dan keteguhan hati merupakan modal utama
dalam usaha. Oleh karena itu, harus cukup waktu, cukup uang, cukup tenaga, tempat dan
mental.
5. managing finances effectively, yaitu memiliki kemampuan atau mengelola keuangan,
secara efektif dan efisien, mencari sumber dana, dan menggunakannnya secara tepat, dan
mengendalikannya secara akurat.
6. managing time efficiently, yaitu kemampuan mengatur waktu seefisien mungkin.
Mengatur, menghitung, dan menepati waktu sesuai dengan kebutuhannya.
7. managing people, yaitu kemampuan merencanakan, mengatur, mengarahkan atau
memotivasi, dan mengendalikan orang-orang dalam menjalankan perusahaan.
8. statisfying customer by providing high quality product, yaitu memberi kepuasan kepada
pelanggan dengan cara menyediakan barang dan jasa yang bermutu, bermanfaat dan
memuaskan.
9. knowing Hozu to Compete, yaitu mengetahui strategi atau cara bersaing. Wirausaha harus
dapat mengungkap kekuatan (strength), kelemahan (weaks), peluang (opportunity), dan
ancaman (threat), dirinya dan pesaing. Dia harus menggunakan analisis SWOT sebaik
terhadap dirinya dan terhadap pesaing.
10. copying with regulation and paper work, yaitu membuat aturan atau pedoman yang jelas
tersurat, tidak tersirat (Triton, 2007).

Selain faktor-faktor pendukung di atas, terdapat pula faktor-faktor penghambat seorang


wirausaha gagal dalam menjalankan usahanya, antara lain :

1. Tidak kompeten dalam manajerial, tidak kompeten atau tidak memiliki kemampuan

dan pengetahuan mengelola usaha merupakan penyebab utama membuat perusahaan

kurang berhasil.

2. Kurang pengalaman baik dalam kempuan teknik, kemampuan memvisualiasasikan

usaha, kemampuan dalam megkoordinasikan, keterampilan dalam mengelola sumber

daya manusia, maupun kemampuan mengintegrasikan perusahaan.

3. Kurang dapat mengendalikan keuangan, agar perusahaan dapat berhasil dengan baik,

faktor utama dalam keuangan adalah memelihara aliran dana kas, mengatur

pengeluaran dan penerimaan secara cermat.

4. Gagal dalam perencanaan, perencanaan merupakan titik awal suatu kegiatan, sekali

gagal dalam perencanaan maka akan mengalami kesulitan dalam pelaksanaan.

5. Kurangnya pengawasan dalam peralatan, pengawasan erat kaitannya dengan efisiensi

dan efektivitas, kurang pengawasan dapat mengakibatkan penggunaan alat tidak

efisien dan efektif.

6. Sikap yang kurang sungguh-sungguh dalam berusaha, sikap yang setengah-setengah

akan mengakibatkan kemungkinan usaha yang dilakukan akan gagal sangat besar.

7. Ketidakmampuan dalam melakukan peralihan atau transisi kewirausahaan, wirausaha

yang kurang siap menghadapi dan melakukan perubahan, maka tidak akan ada

jaminan untuk menjadi wirausaha yang berhasil, keberhasilan dalam berwirausaha


hanya bisa diperoleh jika berani melakukan perubahan dan mampu membuat

peralihan setiap waktu.


DAFTAR PUSTAKA

Anonim a. tt. Definition entrepreneurship.


Available at : http://westaction.org/definitions/def_entrepreneurship_1.html
Last opened : March 4, 2011.
Anonim. 1997. The Role of the Pharmacist in the Health-Care System - Preparing the Future
Pharmacist: Curricular Development, Report of a Third WHO Consultative Group on the
Role of the Pharmacist Vancouver, Canada 27 - 29 August 1997.
Available at : http://apps.who.int/medicinedocs/en/
Opened : March 5, 2011.
Anonim. 2007. The Role of The Pharmacist In Promoting A Healthy Lifestyle. South Africa: The
South Africans Pharmacy Council.
Anonim. 2009. BAB I Pendahuluan.
Available at : http://digilib.ubaya.ac.id/skripsi/farmasi/F_2548_1040239/F_2548_Bab
%20I.pdf
Opened at : March 5, 2011.
Anonim b. tt. Aturan Privasi HIPAA Gagal Cukup Melindungi Privasi Pasien Dan Menghambat
Penelitian Kesehatan.
Available at :http://www.news-medical.net/news/2009/02/05/24/Indonesian.aspx?page=2
Opened at : March 5, 2011.
Djajendra, 2011. 6 Keterampilan Dasar Seorang  Pemimpin: Djajendra Corporate Training
Available at :http://kecerdasanmotivasi.wordpress.com/2009/04/01/6-keterampilan-
dasar-seorang-pemimpin/
Opened at : March 5, 2011
Everard, M., M. Lesko, C. Wiback. 2006. New Tool to Enhance Role of Pharmacists In Health
Care. Geneva : Department of Medicines Policy and Standards.
Hart, A. 2007. Great Article On Skills Needed by Pharmacists.
Available at :http://pharmacistdaily.blogspot.com/2007/05/great-article-on-skills-
needed-by.html
Opened at : March 5, 2011.
Kasmir. 2007. Kewirausahaan. Jakarta : PT RajaGrafindo Perkasa.
Mangunsong, Frieda. 2009. Faktor Intrapersonal, Interpersonal, Dan Kultural Pendukung
Efektivitas Kepemimpinan Perempuan Pengusaha Dari Empat Kelompok Etnis Di
Indonesia. Makara, Sosial Humaniora, Vol. 13, No. 1, Juli 2009: 19-28.

Rosmawati, H. Berlikunya Mendaki Profesi Peneliti.


Available at : http://www.biomaterial.lipi.go.id/?p=323.
Opened at : March 5, 2011.
Sharma, M. 2010. Role of Pharmacist In Clinical Research.
Available at :http://www.clinicalresearchsociety.org/career-discussions/role-of-
pharmacist-in-clinical-research/
Opened at : March 4, 2011.
Siregar, C. J.P. 2004. Farmasi Rumah Sakit : Teori dan Penerapan. EGC : Penerbit Buku
Kedokteran Jakarta.
Suharmadi, tt. Latar Belakang Riset dan Rumusan (Identifikasi) Masalah. Jakarta : FE UMB.
Susilana, Rudi. tt. Modul 4 Metode Penelitian.
Available at: http://file.upi.edu/Direktori/DUALMODES/PENELITIAN
%20PENDIDIKAN/BBM%204.pdf
Opened at : March 5, 2011.
Stogdill, R.M. 1974. Handbook of Leadership. New York: The Free Press.
Wiedenmayer, K., R.D. Summers, C.A. Mackie, A.G. S. Gous, M. Everard. 2006. Developing
Pharmacy Practice : A Focus on Patient Care. Geneva : World Health Organization.
Wilborn,C. 2011. Research Pharmacy. New York: The Rockefeller University.

You might also like