You are on page 1of 13

Konflik Darfur merupakan konflik yang terjadi di Darfur, provinsi yang luas di daerah

Barat Sudan yang murni berpenduduk Muslim yang terdiri dari campuran Arab dan Afrika.
Pada awalnya konflik di Darfur, Sudan merupakan konflik etnis dengan lingkup internal saja.
Darfur yang dalam bahasa Arab berarti tanah bangsa Fur, adalah daerah sudan di bagian barat
yang berbatasan langsung dengan Republik Afrika Tengah dan Chad. Darfur dibagi menjadi
tiga negara bagian federal di Sudan, yakni Darfur barat, selatan dan utara. Darfur memiliki
luas wilayah seluas 2,5 juta km2, dan berpenduduk sekitar 6 juta orang yang mayoritas Islam,
dan ketika diperinci terdiri dari hampir 80 suku yang berbeda, walaupun demikian dari ke-80
suku tersebut, kita bisa mengelompokkannya kedalam 2 kelompok utama, yakni kelompok
Arab dan kelompok Afrika. Jika dilihat sekilas, hampir tak ada bedanya antara dua kelompok
tersebut, hal ini dikarenakan terjadinya pernikahan antar-ras atara mereka , namun bisa
dibedakan dari bahasa dan adat istiadat yang digunakan.

Dua kelompok ini bisa dilihat dari uraian berikut :

1. Kelompok Arab, disebut juga baggara, terdiri dari suku Rizaigad, Mahariya,
Irayqat, dan Habaniya. Mereka kebanyakan kaum pendatang pada abad 13,
kemudian menetap di Darfur utara dan selatan dengan mata pencaharian
sebagai peternak/pengembala sapid dan kambing yang nomaden.
2. Kelompok non-Arab, yang disebut dengan Afrika hitam, terdiri dari suku Fur
(suku terbesar), Zaghawa (paling terlatih secara militer), Massalit, Tunjur,
Bergid, dan Berti. Umumnya mereka mendiami Darfur tengah dan barat.
Mereka kebanyakan hidap dari bercocok tanam, kecuali suku Zaghawa yang
banyak jadi pengembala unta. Suku Zaghawa kemudian terbagi dalam dua
kelompok besar yakni Zaghawa Tuer, yang lebih condong sebagai pendukung
SLM dan Zaghawa Kube yang lebih mendukung JEM (pemberontak Darfur,
yang akan dijelaskan nanti).

Sejarah Konflik

Hubungan antara etnis Arab dan non-Arab di Darfur seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya sering diwarnai konflik. Salah satu factor yang menjadi sebab awal pemicu
konflik adalah masalah kepemilikan tanah dan akses ke sumber air. Apabila musim kemarau
tiba, etnis Arab Darfur mencari air untuk ternaknya di daerah etnis Afrika Darfur di wilayah

1
barat. Walau demikian, konflik-konflik yang terjadi disini sering diselesaikan dengan cara
damai yakni dengan pertemuan tradisional yang peraturannya dihormati oleh keduanya.

Pada masa pemerintahan Shadiq al mahdi, etnik Baggara (Arab) dilatih dan
dipersenjatai untuk menghadapi pemberontak Sudan selatan (Sudan People Liberation
Movement) yang mencoba masuk ke Darfur. Kemudian pada perkembangannya, pada tahun
2001, suku Fur, Zaghawa, dan Massalit menggabungkan diri dan mendapat latihan militer
dari suku Zaghawa yang memang sudah terlebih dahulu terlatih secara militer oleh tentara
Sudan dan Chad, gerakan tersebut mempersenjatai diri dengan senjata yang didapat dari Chad
dan Libya.

Adanya kepemilikan senjata oleh kedua etnis ini juga menjadi salah satu factor yang
memicu terjadinya konflik, karena pada perkembangannya kedua etnis yang dipersenjatai ini
dekat dengan tindakan criminal, yang memang merupakan konsekuensi dari kepemilikan
senjata, terlebih oleh warga sipil.

Disatu sisi, pemerintah Sudan dianggap gagal dalam mensejahterakan rakyat Sudan
termasuk Darfur yang sebenarnya kaya akan SDM, namun penduduknya begitu miskin,
sehingga masyarakat Darfur merasa termarjinalkan oleh pemerintah pusat. Hal ini ditambah
dengan keberpihakan pemerintah pusat yang memang sejak memerdekakan diri didominasi
oleh etnis Arab, ini semakin membuat masyarakat Darfur yang non-Arab merasa perlu untuk
melakukan sesuatu untuk mendapatkan keadilan. Hal ini menyebabkan konflik berkembang
besar dan etnis afrika membentuk 2 gerakan perlawanan yang dinamakan SLM (Sudan
Liberation Movement) dan JEM (Justice and Equality Movement) yang ingin membentuk
Sudan baru yang tidak mengistimewakan etnis Arab.

Sebagai respon, pemerintah Sudan membentuk gerakan yang dinamakan dengan


Janjaweed yang merupakan orang-orang dari etnis arab nomaden yang direkrut untuk
menumpas gerakan-gerakan yang menentang pemeruntah pusat dengan harapan mereka
diberi pekerjaan oleh pemerintah pusat, walaupun pemerintah pusat selalu berupaya untuk
menyangkal keterlibatan mereka dengan Janjawed.

Dukungan pemerintah terhadapa pasukan Janjaweed dianggap sebagai tindakan


kekerasan HAM, termasuk pembunuhan missal, perampasan serta pemerkosaan terhadap
etnis non-Arab di Darfur. Kelompok tersebut seringkali melakukan pembakaran terhadap
rumah-rumah desa, mengakibatkan penduduk melarikan diri ke kamp-kamp pengungsian di

2
Darfur dan Chad. Pada tahun 2004, sebanyak 50-80 ribu orang terbunuh dan setidaknya satu
juta penduduk telah dilarikan dari rumah yang mengakibatkan terjadinya krisis kemanusiaan.

Konflik ini kemudian semakin rumit dengan ditemukannya cadangan minyak dibawah
daratan Darfur yang sangat banyak. Dengan sendirinya, ini menarik perhatian dari negara-
negara “pemburu minyak” seperti AS dengan Chevronnya dan juga China yang sudah
terlebih dahulu memulai misinya dalam pencarian minyak di Afrika, termasuk, Sudan dan
Darfur.

Dari alur diatas kita bisa melihat bahwa yang terjadi di Darfur adalah konflik yang
mula-mula adalah konflik tradisional yang memperebutkan air, kemudian berkembang
menjadi konflik antar gerakan bersenjata, lalu tereskalasi menjadi konflik yang berdimensi
politik untuk menuntuk keadilan, bahkan pemisahan diri.

Faktor Terjadinya Konflik

Secara historis, Darfur yang merupakan bagian dari negara Sudan, merupakan
wilayah jajahan yang terbentuk berdasarkan pembagian paksa Kolonial kepada wilayah-
wilayah di Afrika termasuk Sudan yang dipecah menjadi Sudan Utara dan Selatan. Akibat
dekolonialisasi, batasan ideologi wilayah jajahan menjadi tidak jelas ditambah dengan
heterogenitas suku dengan tingkat kesejahteraan yang rendah sehingga wilayahnya tidak
stabil dan sarat akan konflik etnis, kepentingan, agama. Factor-faktor yang membuat konflik
Dharfur semakin meluas diantaranya:

1. Faktor budaya

Penduduk Dharfur merupakan 100 % muslim, yang mana Islam masuk ke Darfur
pada abad ke-17 pada masa Sultan Sulaiman Soloon. Populasi di Darfur terdiri dari beberapa
suku yang semuanya bekerja sebagai petani dan pengembala unta serta sapi. Mayoritas suku
yang bekerja sebagai petani adalah suku Fur dan Masalit, dan mayoritas suku yang bekerja
sebagai pengembala adalah suku Zaghawa, Baqqaram dan Abbala. Iklim yang ekstrim di 
Darfur menciptakan suku-suku ini harus belajar untuk berbagi air dan tanah untuk
perternakan dan pertanian mereka. Pada awal tahun 1980-an, terjadi kekeringan parah yang
menyebabkan ketidakseimbangan terjadi di Darfur. Dan pada tahun yang sama juga, Libya
mulai menggunakan Darfur sebagai medan bagi perang melawan Chad, yang membawa
ideologi supremasi Arab ke Darfur. Keterlibatan Libya juga mengakibatkan arus masuk

3
senjata kecil ke Darfur, hal ini merupakan salah satu unsur utama letusan kekerasan di
Darfur. Pada pertengahan 1987, terjadi perang antara Fur dan nomaden Arab, yang mana
pada saat itu tentara Sudan memberikan nomaden Arab persenjataan dan kuda hingga
kemudian mereka menyebutnya dengan sebutan Janjaweed yang digunakan untuk
menggambarkan milisi Arab. Dan perang terus berlanjut sampai Mei 1989. Faktor lain yang
memicu hal ini adalah latar belakang sejarah pada masa kolonial Inggris yang mana otoritas
penjajah memberikan suku-suku asli setempat kekuasaan untuk menjalankan kontrol di
wilayahnya sesuai dengan suku masing-masing. Dan memasuki era kemerdekaan, hal ini
berubah yang mana kontrol atas wilayah dipegang sepenuhnya oleh otoritas pusat.

2. Faktor politik dan ekonomi

Semenjak Sudan memperoleh kemerdekaannya, Darfur secara politik dan ekonomi


termajinalkan oleh pemerintah pusat. Sejumlah kaum terpelajar Darfur membentuk suatu
pergerakan politik di tahun 1960-an untuk memperjuangkan Darfur agar tetap sejajar dengan
yang lain. Pada akhir tahun 1980-an suku-suku petani disana seperti Fur dan Masalah
menghadapi konflik tidak hanya dengan suku Arab namun juga dengan pemerintah pusat.
Dan akibatnya adalah suku-suku Afrika (Fur, Masalit, dan Zaghawa) ini membentuk
kelompok perlawanan yang bersenjata di akhir tahun 1990-an dan di tahun 2001 mereka
melakukan serangan sporadis terhadap gedung-gedung kepolisian dan markas tentara.

Sejak tahun 1990-an itu memang terjadi konflik di kawasan tersebut khususnya
setelah ditemukan cadangan minyak yang sangat besar. Dan akibat ketidakmerataan ekonomi
yang dilaksanakan pemerintah pusat di Khartoum, maka timbullah berbagai gerakan yang
menuntut otonomi dan bahkan kemerdekaan, seperti misalnya Gerakan Keadilan dan
Persamaan pimpinan Dr.  Khalil Ibrahim maupun Gerakan Pembebasan Sudan pimpinan
Abdul Wahid Nur. Dan pada tahun 2002, ketiga suku ini (Fur, Masalit, dan Zaghawa)
memutuskan untuk bergabung dengan kelompok pemberontakan yaitu Pasukan Pembebasan
Sudan atau Sudanese Liberation Army (SLA) atau Jaisy Tahrir al-Sudan dan Gerakan
Keadilan Persamaan atau  The Justice and Equality Movement (JEM) atau Jaisy Tahrir al-
Sudan. Dan pada tanggal 25 April 2003, serangan terhadap Bandar Udara El Fasher dinilai
sebagai titik dimulainya dari perang saudara di Darfur ini.

Pemerintah Sudan telah memberikan dukungan terhadap Janjaweed sejak lama,


peningkatan serangan oleh pemberontak terhadap instalasi pemerintah membuat langkah

4
Khartoum atas dukungannya, dengan dikuasasi situasi di Sudan Selatan dan di berbagai
daerah lainnya, menimbulkan spekulasi bahwa pemerintah telah memasukan Janjaweed
menjadi penumpas pemberontakan karena kurangnya tentara yang dimiliki pemerintah
Sudan. Janjaweed menerima persenjataan, alat komunikasi, artileri, dan penasihat militer dari
pemerintah Sudan, sehingga menambah kesulitan dalam membedakan antara Janjaweed
dengan pasukan penumpas pemberontak dari pemerintah.

Semenjak Oktober 2003 bahkan sampai saat ini, Janjaweed mengubah fokus
kampanyenya memerangi para pemberontak menjadi penargetan para warga sipil. Dengan
menyerang dan menggusur warga sipil yang dimana dilakukan didaerah yang merupakan
pusat para pemberontak. Penyerangan ini dilakukan dengan peluncuran bom-bom dari
pesawat militer dan diikuti dengan menghujani peluru lewat helicopter, kemudian Janjaweed
memasuki desa-desa dengan berjalan kaki, menunggangi kuda atau unta, dan mobil, untuk
menjarah, memperkosa, dan membunuh bahkan desa-desa tersebut dibakar untuk mencegah
agar para penduduk kembali lagi.

3. Faktor Sumber Daya Alam dan Intervensi dari pihak Asing

Darfur merupakan kawasan yang kaya sumber minyak, uranium dan gas. Persoalan
minyaklah yang menyebabkan AS dan Inggris sangat keras dan ikut campur terhadap Sudan.
Negara-negara Barat mengetahui kekayaan minyak yang ada di Barat dan Selatan Sudan. Di
wilayah Barat Sudan ditemukan uranium selain gas dan emas. Darfur telah memberikan
pendapatan sebesar 4 miliar dolar AS kepada pemerintah Sudan, lebih dari setengah
pendapatan total negara itu. Pemerintah Sudan juga sudah membuka hubungan erat dengan
China. Sudan mensuplai hampir 10 persen impor minyak China. Sementara itu, AS memiliki
kepentingan minyak di Chad, tetangga Sudan. Kakayaan minyak Darfur tentu saja menjadi
pendorong besar bagi negara-negara haus minyak untuk menguasai daerah itu, sehingga
konflik di Darfur diperparah dengan adanya persaingan antara AS, Eropa dan China untuk
memperebutkan minyak Darfur. Tuduhan pelanggaran HAM terhadap Sudan, menurut
sepertinya sengaja dilakukan untuk menutupi persaingan China dan Amerika merebut minyak
Sudan.

Dengan meluasnya konflik ini serta banyaknya tekanan dari dunia internasional,
banyak pihak-pihak yang mencoba untuk melakukan intervensi terhadap konflik darfur ini.
Uni Afrika sebagai wadah perhimpunan negara-negara di Afrika merasa perlu untuk

5
melakukan intervensi karena bukan hanya Sudan merupakan bagian dari Uni Afrika tapi juga
karena masalah ini bisa mengarah lebih rumit lagi. The African Union Mission in
Sudan (AMIS) adalah pasukan penjaga perdamaian milik Uni Afrika yang beroperasi di
daerah darfur dengan tujuan untuk melakukan penjagaan perdamaian terkait dengan konflik
yang terjadi di darfur ini. Badan ini dibentuk pada tahun 2004 dengan pasukan sebanyak 150
tentara, dan pada pertengahan tahun 2005 jumlahnya meningkat menjadi 7000 tentara. AMIS
terbentuk atas Resolusi PBB No. 1564 yang bekerjasama dengan badan misi PBB di Sudan
yaitu United Nations Mission in Sudan (UNMIS).

Aktor-Aktor yang Terlibat di Dalam Konflik

a. Aktor Internal
1. Pemerintah Pusat Sudan (Khourtum)
Pemerintahan Sudan dianggap gagal dalam mensejahterakan rakyatnya dimana
terjadi ketimpangan distribusi sumber daya politik dan ekonomi kepada suku-suku
yang ada di Darfur.
2. Kelompok Janjaweed
Janjaweed merupakan kelompok militer yang berisi orang-orang dari suku-suku
nomaden Arab lokal dan suku-suku non-Arab di wilayah Darfur yang secara
rahasia dipersenjatai oleh pemerintah Sudan dengan tujuan untuk membantu
pemerintah menumpas pemberontak.
3. Justice for Equality Movement ( JEM )
Kelompok ini merupakan kelompok yang berperang di kawasan Darfur melawan
pemerintah pusat di Khartoum pimpinan Presiden Omar al-Bashir yaitu Justice
for Equality Movement ( JEM ) atau Harakah al-Adl wa al-Musawah. Kelompok
ini dibentuk suku Zaghawah yang mendapat sokongan penuh dari Chad. Pucuk
komando JEM, Khalil Ibrahim, adalah asuhan Inggris yang terus menggencarkan
pemberontakan dengan misi utama pemisahan Darfur dari Khartoum.
4. Sudan People’s Liberation Army ( SPLA )
Kelompok pemberontak ini merupakan kelompok yang lebih besar yaitu Jaisy
Tahrir al-Sudan atau Sudan People’s Liberation Army ( SPLA ) dibentuk oleh
suku Fur, suku pribumi dan penduduk asli Darfur. Abdul Wahid Muhammad
Nour, sekularis tulen yang setia pada pemerintah Prancis yang baru saja
meresmikan cabang SLA di Israel beberapa waktu lalu memegang pimpinan.

6
b. Aktor Eksternal
1. PBB
Keterlibatan PBB sebagai organisasi internasional yang beranggotakan negara-
negara di dunia. Dalam hal ini PBB berperan dengan mengeluarkan resolusi,
diantaranya :
a. Resolusi No 1564 yang menyatakan bahwa PBB telah menunjuk Uni Afrika
sebagai mediator dan penjaga perdamaian di Dharfur yang kemudian
direspon dengan dibentuknya AMIS (The African Mission in Sudan) yang
turut bekerjasama dengan UNMIS ( United Nations in Sudan).
b. Resolusi No. 1590 yang berisikan situasi di Dharfur merupakan ancaman
perdamaian dan keamanan internasional.
c. Resolusi No. 1706 dimana PBB memutuskan untuk memperpanjang misi
AMIS di Dharfur dikarenakan belum stabilnya situasi di daerah konflik
tersebut.
d. Resolusi No. 1979 yang menyatakan bahwa masa AMIS sudah selesai di
Dharfur dan akan digantikan oleh UNMIS pada 31 Desember 2007

2. Uni Afrika
Uni Afrika sebagai wadah perhimpunan negara-negara di Afrika merasa perlu
untuk melakukan intervensi karena bukan hanya Sudan bagian dari Uni Afrika
namun juga karena dianggapnya masalah ini bisa mengarah pada hal yang lebih
rumit lagi.The African Union Mission in Sudan (AMIS) adalah pasukan penjaga
perdamaian milik Uni Afrika yang beroperasi di daerah darfur dengan tujuan
untuk melakukan penjagaan perdamaian terkait dengan konflik yang terjadi di
darfur ini. Badan ini dibentuk pada tahun 2004 dengan pasukan sebanyak 150
tentara, dan pada pertengahan tahun 2005 jumlahnya meningkat menjadi 7000
tentara. AMIS terbentuk atas Resolusi PBB No. 1564 yang bekerjasama dengan
badan misi PBB di Sudan yaitu United Nations Mission in Sudan (UNMIS).

3. Amerika Serikat

7
Amerika Serikat terlibat menjalankan intervensi dalam konflik Darfur. Intervensi
yang dilakukan AS antara lain :
1. Intervensi dengan hubungan-hubungan social emosional, berkaitan dengan
nilai-nilai demokrasi dan HAM yang disuarakan AS
2. AS juga mendukung pengadilan Kejahatan Internasional ( ICC ) perintah
penangkapan bagi Presiden Sudan Omar Hassan al-Beshir karena
ketidakmampuannya untuk menangani dua kejahatan perang dan lima
kejahatan kemanusiaan di Darfur melalui tuduhan kasus Genosida yang
terjadi di Dharfur.
3. AS juga berhasil melobi-lobi NATO berdasarkan resolusi pada bulan
Februari 2006 untuk terlibat di Darfur. Sehingga, NATO menyediakan lahan
dan angkatan udara pada tiga wilayah yang dianggap netral dan kawasan
damai, yakni di Uganda, Chad, dan Ethiopia. Lobi-lobi AS pun tidak lepas
dari bantuan negara-negara lain yang telah bertukar kepentingan dengan AS,
seperti Chad sebagai tetangga Sudan yang memiliki penduduk kesamaan
etnis dengan minoritas di Sudan Selatan.

Analisa Konflik

Untuk menganalisa konflik Dharfur tersebut, dapat dijelaskan melalui teori konflik
etnis dan konflik internal. Menurut Michael E. Brown konflik etnis merupakan konflik yang
terkait dengan permasalahan-permasalahan mendesak mengenai politik, ekonomi, social,
budaya dan territorial antara dua komunitas etnis atau lebih. Konflik yang terjadi di Dharfur
ini sendiri merupakan konflik etnis yang kemudian merambah dan berkembang menjadi
konflik internal di negara Sudan. Menurut Michael E. Brown ada beberapa tipe dari konflik
internal yang antara lainnya adalah perjuangan dengan menggunakan kekerasan yang
dilakukan oleh penduduk sipil atau pemimpin militer yang memperjuangkan kedaulatan
negara dan ideologi mereka yang diyakininya, ada juga konflik etnis yang menimbulkan
kekerasan. Kebanyakan konflik internal dapat diselesaikan melalui pembangunan mekanisme
politik, ekonomi, dan sosial. Adapun, konflik internal yang diselesaikan dengan cara-cara
kekuatan dan kekerasan dapat berupa perlawanan terhadap gerilya yang berdampak pada

8
perang sipil ataupun genosida. Pada umumnya konflik internal aktor utamanya adalah
pemerintah dan kelompok pemberontak.

Dalam menjelaskan konflik Darfur yang terjadi di wilayah Sudan paling Barat ini
memang agak sukar untuk menentukan apakah ini termasuk dalam konflik etnis atau konflik
internal, karena keduanya terlibat disana,namun kami beranggapan bahwa konflik ini adalah
konflik internal dengan melihat adanya hirarki konflik dimana ada pemberontak (yang non-
arab) yang melawan pemerintahan (dominasi arab). Konflik ini disebabkan oleh adanya
faktor-faktor dalam negara seperti tidak terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat akibat
kelangkaan untuk mendapatkan sumber alam yang menyebabkan konflik dalam skala dan
intensitas kecil terjadi antara etnis Arab dan etnis Afrika antar tahun 1970-an hingga 1990-an
di Darfur, tapi pada awal Februari 2003 kelompok pemberontak yang menamakan diri
mereka SLPA dan JEM melakukan penyerangan terhadap pusat pemerintahan dan militer
yang ada di Darfur untuk menuntut pembagian nilai yang tidak merata kepada pemerintah
Sudan atas praktek marjinalisasi ekonomi dan politik yang dialami oleh rakyat Darfur. Hal ini
menyebabkan lumpuhnya pemerintahan yang ada di Darfur, sehingga pemerintah
menempatkan militer untuk melawan kaum pemberontak yang kemudian menyebabkan
banyaknya korban sipil yang tewas.

Hal ini terjadi karena adanya kelompok militan yang disinyalir pro-pemerintahan
yang dikenal dengan sebutan Janjaweed melakukan kekerasan disertai dengan aksi terror
dengan membakar desa-desa, memperkosa wanita, dan membunuh banyak rakyat Darfur
yang membuat konflik Darfur semakin kompleks dan tidak terkendali.

Sehingga dapat dikatakan bahwa konflik yang terjadi pada tahun 1970-an hingga
1990-an di Darfur dapat dikategorikan konflik horizontal antara kelompok etnis di Darfur,
maka konflik yang bereskalasi kekerasan sejak tahun 2003 tersebut merupakan konflik
vertikal yang menghadapkan kelompok pemberontakan dengan pemerintah Sudan dan
Janjaweed. Faktor perebutan sumber daya alam serta diskriminasi ekonomi di wilayah Darfur
merupakan faktor ekonomi yang menimbulkan konflik. Selain itu, konflik antar etnik yang
disertai militerisasi oleh pemerintah merefleksikan adanya hubungan sejarah etnik yang
bermasalah dan keamanan internal serta klaim pemberontakan mengenai pembagian
kekuasaan yang tidak berimbang menandakan adanya sistem politik yang tidak aspiratif.

9
Upaya dan Penggulangan Konflik

Untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di Dharfur ini beberapa upaya yang
dilakukan ialah melalui intervensi dari pihak DK PBB dengan meluarkan resolusi PBB No.
1564 yang menyatakan PBB menunjuk Uni Afrika untuk menyelesaikan konflik di Darfur
juga disertakan bekerjasama dengan United Nations Mission in Sudan (UNMIS). Kemudian
Uni Afrika yang ditunjuk oleh PBB untuk melakukan penyelesaian konflik di Darfur lewat
menggunaan pasukan penjagaannya untuk menjaga stabilitas keamanan di daerah yang telah
dilanda konflik tersebut. Uni Afrika segera meresponnya dengan membentuk badan khusus
yang dikenal dengan nama The African Mission in Sudan (AMIS). AMIS pertama kali
diperkenalkan pada tahun 2004, dengan jumlah 150 tentara, dan pada pertengahan tahun 2005
jumlahnya ditambah sebesar 7000 tentara. Dibawah Resolusi PBB No. 1564, selain menunjuk
Uni Afrika untuk menyelesaikan konflik di Darfur juga disertakan bekerjasama
dengan United Nations Mission in Sudan (UNMIS).

Pada November 2005, Uni Afrika melalui Pemerintah Sudan dan para pemberontak
dari JEM dan SLA menandatangani perjanjian perdamaian sementara yang bertujuan untuk
menghentikan konflik yang terjadi di Darfur. Perjanjian ini terdiri dari pembentukan zona
larangan terbang atas wilayah yang diduduki oleh pemberontak di Darfur, penghentikan
pemboman yang dilakukan oleh Pemerintah Sudan atas desa-desa yang ada didaerah
pemberontak, dan pemberian jaminan terhadap badan-badan kemanusian internasional untuk
mendapatkan akses terhadap korban-korban di Darfur. Perjanjian ini disponsori oleh Uni
Afrika dalam perundingan perdamaian di Abuja yang dimulai sejak pada tanggal 25 Oktober
2004.

Untuk mendukung perjanjian perdamaian antara Pemerintah Sudan dan pemberontak, pada
tanggal 9 Januari 2005, AMIS dan pihak-pihak yang terkait dalam konflik Sudan secara
bersama melakukan bantuan kemanusiaan, perlindungan terhadap sipil, mempromosikan hak
asasi manusia. Melihat tidak adanya konflik besar sejak pada Januari dan menurunkan
sejumlah penyerangan terhadap desa-desa, pada waktu yang sama, AMIS mengirimkan
kembali 3000 tentara yang terhitung pada bulan April mencapai 7000 tentara. Dalam rangka
menjaga perdamaian atas komando DK PBB, Nigeria mengirimkan batalionnya sejumlah 680
tentara pada 13 Juli 2005, dan dua batalion dalam kedepannya. Rwanda juga mengirimkan
satu batalion, yang diikuti oleh Senegal, Gambia, Kenya, dan Afrika Selatan. Untuk

10
mendukung program perdamaian AMIS, Kanada menyiapkan 105 peralatan lapis baja beserta
bantuan pelatihan dan pemeliharaanya.

Pada tanggal 15 September 2005, sejumlah mediator Uni Afrika memulai


pembicaraan di Abuja, Nigeria dengan menghadirkan perwakilan dari Pemerintah Sudan dan
para pemberontak. Namun, wakil dari SLM menolak untuk hadir dalam pertemuan
selanjutnya karena terjadinya penyerangan yang dilakukan oleh Janjaweed pada 28
September yang menewaskan 32 penduduk sipil, dan Uni Afrika pada 1 Oktober menuduh
Pemerintah Sudan dan para pemberontak telah merusak gencatan senjata. Pada 10 Maret
2006, DK PBB memutuskan untuk memperpanjang misi AMIS di Darfur selama 6 bulan
kedepan sampai 30 September 2006 yang tertuang dalam Resolusi PBB No. 1706 dan pada 2
Oktober, Uni Afrika memperpanjang masa AMIS di Darfur yang dikarenakan oleh belum
stabilnya situasi di daerah konflik tersebut yang pada perkembangannya dilakukan sampai 31
Desember 2006 dan berlanjut sampai 30 Juni 2007.

Pada Mei 2007, Uni Afrika mendeklarasikan AMIS telah diambang kehancuran
karena sering terjadinya serangan dan pembunuhan terhadap tentara-tentara ini dan
kurangnya pendanaan yang menyebabkan banyaknya para tentara tidak mendapatkan bayaran
selama beberapa bulan. Rwanda dan Senegal mengancam akan menarik pasukannya jika PBB
tidak menandai dan membantu program AMIS. Sampai ke Juli 2007, DK PBB akhirnya
mengeluarkan Resolusi PBB No. 1979 yang menyatakan bahwa masa AMIS sudah selesai di
Darfur dan akan digantikan oleh UNMIS pada 31 Desember 2007.

Rekomendasi penyelesaian konflik

Menurut Ted Robert Gurr dalam tulisannya yang berjudul Minorities and Nationalist;
Managing Ethnopolitical Conflict in the New Century ada beberapa hal yang bisa dilakukan
oleh masyarakat internasional – dalam kasus Darfur, memang diperlukan intervensi dari
pihak asing, dikarenakan krisis kemanusiaan yang melanda daerah tersebut mungkin
merupakan yang terparah didunia- untuk mengatur konflik itu agar tidak berkembang dan
berlarut-larut. Disini kami lebih condong pada poin ke-5 dan ke-6 yang ditawarkan oleh Ted
Gurr, yakni mengedepankan International engagement to promote negotiated settlements of
ethnopolitical conflict, dan Coercive intervention, walaupun kami beranggapan bahwa
konflik ini bukan merupakan konflik etnis, namun kami memandang bahwa substansi dari
apa yang ingin dicapai Ted Gurr melalui poin ini berkaitan dengan apa yang terjadi pada

11
konflik Darfur. Secara singkat poin ini mengedepankan peran masyarakat internasional,
khususnya actor internasional yang bisa secara efektif menjadi mediator dalam penyelesaian
konflik untuk segera menghentikan pertumpahan darah, kekerasan HAM, dan tindakan yang
menimbulkan banyak korban lainnya, kemudian membantu menyelesaikan pertentangan
antara kedua kubu yang berkonflik dengan negosiasi yang diharapkan bisa menemukan titik
terang dari konflik tersebut. Namun sebelum itu bisa terwujud, terlebih dahulu diperlukan
tindakan tegas terhadap pihak-pihak yang berpotensi mengacaukan negosiasi antar kedua
kubu yang berkonflik tersebut, dan kadang, hal ini membutuhkan tindakan koersif dari actor
external dimana pemerintah tak mampu lagi untuk mengontrolnya.

Dalam kasus Darfur ini, maka institusi yang paling tepat dalam memenejnya adalah
PBB, mengingat aktor-aktor external lainnya sangat erat dengan kepentingannya masing-
masing, terutama negara-negara maju seperti AS dan China, adapun Uni Afrika yang lebih
disukai oleh pemerintah Sudan dalam memenej konflik ini tidaklah cukup kuat, baik secara
militer maupun ekonomi, hal ini bisa dilihat dari gagalnya Uni Afrika dalam misi AMIS-nya.

Hal pertama yang harus dilakukan PBB adalah segera menghentikan aktivitas dari
kelompok Janjaweed, dimana kelompok ini sangat berpotensi dalam mengganggu proyeksi
perdamaian yang akan diusahakan kelak. Janjaweed kerap memicu konflik, atu mengungkit
luka lama pada saat kedua kubu sudah mulai memperlihatkan itikad untuk bersedia
bernegosiasi. Ini relevan dengan apa yang disampaikan Ted Gurr dalam poin ke-6
sebelumnya, yakni adanya tindakkan koersif untuk menjamin bahwa Janjaweed tidak bisa
melakukan serangan-serangan terhadap rakyat sipil yang akan memperkeruh konflik, dan
PBB mempunyai tentara dan dana yang cukup untuk itu.

Selanjutnya jika Janjaweed sudah dilumpuhkan, maka poin ke-5 bisa segera
diterapkan, dan PBB sebagai mediator sekaligus actor yang aktif dalam memenej konflik ini
menjadi penghubung antara kedua kubu yang berkonflik yakni antara pemerintah Sudan dan
kelompok pemberontak (SLA, JEM), ada harapan muncul saat pemerintah pusat Sudan sudah
menyatakan diri bersedia untuk bernegosiasi dengan pihak pemberontak.

Hal lain yang melandasi kami dalam poin ke-5 ini adalah berkaca pada keberhasilan
meredamnya konflik Sudan Selatan, dimana sebelumnya terjadi negosiasi setelah perang
panjang selama 21 tahun antara pemerintah Sudan dan Pemberontak Sudan Selatan, berakhir
dengan referendum bagi rakyat Sudan Selatan yang memilih berpisah dari Sudan dan akan

12
membentuk negara baru. Berhasil, dikarenakan, perang selama 21 tahun berhenti, walaupun
masih ada tersisa konflik berdarah namun agresi yang dilakukan oleh pemerintah Sudan
terhadap rakyat Sudan Selatan seperti selama ini bisa dikurangi secara signifikan, dan karena
hasil referendum itu sudah diumumkan-yakni keinginan Sudan Selatan untuk memisahkan
diri- maka tak ada ruang lagi bagi Sudan untuk mengklaim daerah tersebut dan menimbulkan
konflik yang berkelanjutan lagi.

13

You might also like