You are on page 1of 8

PRESENTASI1

KEBUDAYAAN DAN KEKUASAAN2


Ayub Wahyudi3

Mengkaji tentang kebudayaan dan kekuasaan adalah mengkaji ranah teori tentang kebudayaan
dan kekuasaan itu sendiri. Akan tetapi kedua kajian tersebut adalah wacana yang sangat luas
sehingga perlu untuk dibatasi, yaitu pada wacana dengan fokus yang terarah , dan pembatasan ini
tidak bertujuan untuk membatasi dengan sah atau menghasilkan asumsi bahwa kita telah
mengkhultuskan salah satu teori dari kedua kajian, apalagi dengan menggunakan satu kajian.
Kita perlu memahami bersama bahwa melakukan kajian tentang kebudayaan dan kekuasaan
adalah hal yang membutuhkan perhatian dan penelitian yang sangat luas dan memakan waktu
yang lama. Akan tetapi hal tersebut tidak perlu dilakukan. Kita hanya perlu mencari wacana yang
akan kita kaji terkait dengan kebudayaan dan kekuasaan. Dengan begitu, selain alasan
sebelumnya, kita bisa menegaskan bahwa kedua wacana teori tidak bersifat pragmatis.

Mengkaji wacana kebudayaan saat ini berarti masuk pada ranah kebudayaan kontemporer.
Kebudayaan kontemporer – dalam istilah posmodernisme sebagai bentuk penjelasan dominan –
adalah sebuah perubahan penting yang sekarang ini sedang terjadi dan salah satu bidang dimana
perubahan-perubahan ini terjadi adalah budaya populer (Bignell, 2000: 1). Selain dalam kajian
wacana kebudayaan, budaya populer adalah pusat tema untuk kajian kekuasaan (Scannel, 1994:
17). Budaya populer, yang dulunya dianggap sebagai low culture, sering dihubungkan – sebagai
istilah – dengan hasil dari kendali kesadaran palsu. Pendekatan neo-Marxist – Adorno (dan
Horkheimer), mengatakan bahwa relasi kuasa terhadap ekonomi – barang dan permintaan –
terletak pada kemampuan industri untuk melakukan komodifikasi terhadap budaya atau lebih
dikenal sebagai Industri budaya. Tujuan industri budaya adalah menciptakan kepatuhan kepada
masyarakat terhadap hirarki yang telah ada dengan cara membentuk gaya hidup masyrakat. Hal
ini membutuhkan penyesuaian. Dan menurut Adorno, penyesuaian tersebut dilakukan dengan
cara memberikan sumbangsih berupa kenikmatan sementara agar kesadaran masyarakat menjadi
kurang kritis, atau dengan kata lain masyarakat menikmati realita palsu – kesadaran palsu (Babe,
2009: 26). Budaya populer adalah bidang dimana perubahan-perubahan dalam budaya
1
Mata Kuliah: Media, Budaya dan Masyarakat. 2011
2
Referensi utama: Scannell, Paddy. 1994. Culture and Power: a Media, Culture and Society Reader. Sage
Publication:London. Hlm: 17-47
3
Mahasiswa kajian media, ilmu komunikasi, Univ. paramadina, 209000012
kontemporer yang sedang terjadi akan selalu dipengaruhi oleh relasi kuasa ekonomi –
komodifikasi. Dengan kata lain, kedua wacana – kebudayaan dan kekuasaan – akan mengkaji
budaya populer.

Budaya popular mempunyai hubungan dengan dua krisis modernitas yang membuatnya menjadi
menjadi pusat utama dari kajian kekuasaan (Scannel, 1994: 1). Pertama terkait krisis hegemoni,
yaitu tentang kesulitan yang dihadapi oleh negara untuk mendapatkan pengakuan dan
kesepakatan bersama dari masyarakat kontemporer. Kehadiran gerakan popular ternyata mampu
mengatasi krisis ini dan membentuk pilihan hegemoni baru dan betul-betul bekerja. Kemampuan
industri budaya untuk melakukan penyesuaian merupakan senjata utama. Meskipun terjadi
pemberontakan dari mereka yang sadar bahwa industri budaya hanya selalu berbicara tentang
keuntungan industri. Salah satunya adalah anggapan bahwa budaya popular sebenarnya adalah
cerminan dari masyarakat yang tersiksa. Akan tetapi Industri budaya mampu melakukan
penyesuaian dengan cara menerima “pemberontakan” itu dan memanfaatkannya sebagai
keuntungan. Sekali lagi industri budaya melakukan penyesuaian (Babe, 2009: 27). Penyesuaian
tersebut adalah kehadiran budaya populer yang sesuai dengan “pemberontakan” untuk sekali lagi
membuat manusia patuh, bahkan bertindak kurang kritis, dan menikmati kesadaran palsu. Kedua,
budaya populer terkait pada krisis epistimologis, dasar nilai untuk melihat sebuah pengetahuan.
Krisis tersebut berupa kelelahan paradigma ekonomik karena gagal ditegaskan sebagai dasar
budaya sebuah kekuasaan – relasi kuasa ekonomi – dan terganti oleh kebutuhan atau kepentingan
yang bersifat non – ekonomis dan mampu menggerakkan orang. Dengan kata lain, pemikiran
Marx bahwa segala tindakan manusia akan selalu didasari pada motif ekonomi tidak bisa
digunakan karena kehadiran budaya populer justru memberikan gambaran yang sangat berarti
untuk menentang pemikiran tersebut.

Budaya populer pada akhirnya akan sampai pada kesimpulan sebagai sebuah fenomena dalam
kajian wacana kebudayaan dan kekuasaan. Kehadirannya dianggap sebagai dialektika
pengetahuan khususnya dalam konsep hegemoni budaya – budaya populer adalah bentuk baru
hegemoni – dan epistimologis kajian wacana kekuasaan – relasi kuasa ekonomi – menggunakan
pendekatan ekonomi politik kritis. Untuk pertama kalinya kebudayaan tidak hanya sekedar
menjadi alasan untuk refleksi spekulatif dalam tinjauan secara harafiah, tapi lebih kepada sebuah
tema utama dalam beberapa ilmu pengetahuan sosial dan dijadikan sumber analisa terhadap
hubungannya dengan perkembangan dan kekuasaan (Scannel, 2009: 18). Sejarah budaya populer
juga bisa membantu proses pengkajian tapi tidak akan dibahas dalam tulisan ini.

Kita akan membahas tantangan budaya populer, sebelum nantinya kita tiba pada pemahamannya.
Amerika Latin adalah negara yang juga mengalami krisis hegemoni dan epistimologi dalam
mengkaji kebudayaan dan kekuasaan, tapi ada satu perbedaan antara Amerika Latin dari negara-
negara lainnya – khususnya negara-negara metropolitan, yaitu sebenarnya tidak ada krisis
karena, pertama, tidak ada paradigma yang cocok dengan pengetahuan tentang masyarakat
mereka dan, kedua, tidak memiliki kelas yang melakukan hegemoni atau negara yang telah
berdiri dalam jangka waktu yang lama (Scannel, 2009: 17). Konsep hegemoni memang
menjelaskan tentang adanya penanaman ideologi dari negara terhadap budaya asli suatu
masyarakat melalui media dengan relasi kuasa ekonomi tapi tidak memberikan penjelasan
tentang budaya dominan yang melakukan hegemoni, budaya digunakan sebagai alat hegemoni
oleh negara. Konsep hegemoni juga menjelaskan tentang proses hegemoni secara struggle,
perlawanan, dalam melakukan hegemoni tapi di Amerika Latin melakukan “hegemoni” dengan
cara yang sangat berlawanan dengan konsep hegemoni: budaya dominan berhasil menghalangi
bodaya yang terdominasi untuk mengembangkan diri atau membentuk budaya baru yang bisa
mengancam budaya dominan. Maka dari itu, sudah tentu, pemahaman seperti ini memerlukan
paradigma baru dengan epistimologi berbeda dari yang sebelumnya – relasi kuasa ekonomi. akan
tetapi, dibalik krisis epistimologi tersebut ada kesempatan ilmu pengetahuan untuk menemukan
pengetahuan tentang masyarakat Amerika Latin dan menciptakan karya dasar yang bisa
dihubungkan dengan pengetahuan tersebut serta dibalik krisis hegemony, kita berhadapan
dengan tugas membentuk negara dan masyarakat dengan tujuan utama demokrasi yang
dibagikan kepada semua orang, dimana perpecahan menjadi keberagaman, dan
ketidaksamarataan kelas, etnis dan wilayah berubah menjadi perbedaan (Scannel, 2009: 19).
Tantangan budaya populer adalah bagaimana bertindak terhadap krisis modernitas yang ada di
Amerika Latin – dengan “krisis” yang berbeda – sebagaimana yang ada di negara-negara lain,
yaitu menciptakan dialektika pengetahuan.

Melihat hubungan budaya populer dan kondisi unik di Amerika Latin dapat membuat kita
memahami dan melakukan uji coba, sejauh mana budaya populer dapat melaksanakan tugasnya
untuk memberikan kajian terhadap krisis modernitas yang tanpa hegemoni dan epistimologi,
sebagaimana bidang ini memecahkan masalah krisis modernitas dengan adanya hegemoni dan
epistimologi. Media Amerika Latin, pada 1990-an, telah mengalami perubahan. Pada awalnya
kekuasaan budaya dominan dari negara tetangga – Amerika Utara – sangat mempengaruhi semua
unsur media dari segi ekonomi hingga dengan tanpa peringatan media Amerika Latin bangkit
dan menjadi budaya domianan di wilayah mereka sendiri. Media Amerika Latin mampu
memperoleh pasar mereka sendiri, antara lain: film dan surat kabar. Pasar tersebut di bentuk
karakternya oleh dua fenomena penting (McPhail, 2006: 6). Fenomena penting pertama, bahasa
lokal, sisi positif dari dominasi bahasa spanyol. Hampir semua negara di Amerika Latin, kecuali
Brazil – bahasa nasional adalah portugis, menggunakan bahasa spanyol. Hal inilah yang
membuat masyarakat Amerika Latin tidak siap dibanjiri oleh budaya Amerika Utara yang
bedasarkan pada bahasa inggris. Perbedaan bahasa ini membawa fenomena penting kedua pada
media Amerika Latin, setelah terbebas dari dominasi kebijakan militer dan pemerintah. Dengan
kondisi hambatan bahasa, tekanan untuk membuat program yang memenuhi permintaan pasar
serta harus bersaing dengan industri media Amerika Utara – Hollywood dan MTV – yang telah
mendominasi pasar jauh sebelumnya pada akhirnya menghasilkan sebuah budaya populer baru
yang mewakili identitas budaya Amerika Latin hingga sekarang ini. Program tersebut adalah
drama seri opera sabun yang disebut dengan “telenovela”. Program yang sangat terkenal,
menguntungkan dan mampu menciptakan efek global yang sangat luar biasa ini dihasilkan secara
kreatif dengan biaya yang sangat rendah tapi menghasilkan popularitas seperti halnya pemain
bola yang ada di Amerika Latin – brazil dan argentina. Selain industri film, industri media cetak
– surat kabar – juga mengalami perkembangan. Jika dibandingkan dengan surat kabar ditempat
budaya dominan berasal, Amerika Utara, surat kabar Amerika Latin mempunyai distribusi yang
lebih besar dari Amerika Utara. Kondisi tersebut adalah terbentuknya dua jenis pasar – baru dan
lama – yang sedang berkembang ditambah lagi kepemilikan saham yang bersifat individual,
terdiri dari orang yang mendukung terjadinya demokrasi, maka proses demokrasi di Amerika
Latin jalan dengan lancar tanpa adanya gangguan dan kendali lagi dari militer dan pemerintah.
Penjelasan industri “telenovela” sebelumnya memberikan gambaran bahwa posisi budaya
populer, meskipun marxian memasukkannya sebagai budaya rendahan, membantu sebuah
masyarakat untuk membentuk sebuah identitas budaya nasional.

Kemampuan budaya populer menghadapi krisis modernitas, seperti yang jelaskan sebelumnya,
dapat dipahami sebagai “sesuatu” yang melampaui wacana modernitas itu sendiri. Modernitas
adalah sebuah bentuk waktu sejarah yang menambah nilai “yang baru” sebagai sebuah hasil
dinamika sementara dari penolakan diri secara tetap. Malah bentuk abstrak sementaranyalah
yang tetap membuka perlombaan keragaman artikulasi. Secara khusus, dengan menghasilkan
“yang lama” secara kejam, sekejam dia menghasilkan “yang baru”, dan dalam ukuran yang
seimbang, modernitas mengganggu bentuk tradisionalisme logika sementara yang agak berbeda
dari tradisi yang diterima secara konvensional (Bignell, 2000: 6). Paradoks tentang modernitas
tapi membuat kita lebih mudah untuk memahami Posmodernitas. Dengan menganggap
modernitas sebagai sebuah proses waktu maka keberadaan posmodernitas bisa dijelaskan sebagai
suatu keadaan waktu yang lebih fleksibel dari pada modernitas itu sendiri. Posmodernitas
menegaskan bahwa waktu adalah abstraksi yang hanya bisa dijelaskan secara tidak menyeluruh
dari suatu kejadian dalam hal ini perubahan masyarakat kontemporer dan konsep tersebut bisa
membantu kita memahami kebudayaan dan kekuasaan kontemporer sebagai wacana postmodern,
begitupun dengan budaya populer. Mencoba melihat secara dangkal inti utama dari budaya
populer akan selalu menjelaskan tentang bagaimana industri budaya memberikan makna “baru”
yang dilekatkan kepada sebuah budaya yang sebenarnya telah ada sebelumnya sebagai akibat
dari penyesuaian pergolakan budaya yang ada di masyarakat kontemporer. Ketika ada
pergolakan budaya di masyarakat kapitalis, wacana tersebut menandakan adanya peningkatan
pemikiran kritis, budaya populer hanya perlu muncul sebagai kesenangan sementara dan
pergolakan pun reda serta kendali kesadaran tetap berada di tangan kelompok elit.

Kondisi krisis modernitas yang dihadapi oleh Amerika Latin menjadi kajian utama tentang
pemahaman akan kajian budaya populer itu sendiri. Bentuk pemahaman terhadap budaya populer
bisa dikelompokkan menjaadi dua prinsip strategi teoritis: deduktivisme dan induktivisme
(Scannel, 2000: 20). Para pemikir deduktif mengartikan budaya populer dengan bergerak dari
sesuatu yang umum ke sesuatu yang khusus, menurut ciri-ciri yang mereka bebankan kepada
budaya populer: antara lain model produksi, imperalisme, kelas dominan, apparatus ideologi atau
media massa. Deduktivisme adalah pendekatan konseptual, dimana segala aspek kehidupan
populer muncul dari kekuatan atau kekuasaan sosial makro, yang telah membentuk karakter dari
sosiologi, komunikasi massa dan pendidikan. Dalam bidang sosiologi, untuk melakukan
penguraian terhadap budaya sama seperti menggambarkan pergerakan dari kekuatan dominan.
Teori ketergantungan menyediakan alat kritis terhadap dominasi, menghilangkan proses mistis
dalam paham imperialisme dan manipulasi kesadaran yang menghalangi revolusi massa. Dalam
bidang komunikasi massa sebagai salah satu bidang yang paling bersemangat akan berbicara
tentang kekuatan komunikatif sebagai atribut sistem monopolis. Keberhasilan sistem ini dilihat
dari, bukan hanya penyebaran pesan dominan secara luas dengan menggunakan media massa,
tapi juga manipulasi ketidaksadaran masyarakat. Untuk menghadirkan tanggapan politis yang
baru, massa tetap butuh pimpinan yang mempunyai pengaruh. Dalam bidang pendidikan
dianggap sebagai wadah reproduksi tatanan kelas dengan alat kualifikasi perbedaan untuk tenaga
buruh. Pandangan deduktif melihat semua aspek makro dalam bentuk khusus – budaya populer.
Pandangan induktivisme sebagai alat kaji budaya populer yang paling memberi perhatian yang
cukup besar, mencoba menjelaskan dengan berawal dari peralatan khusus yang merupakan
bagian dari dalam kelas-kelas subordinate, atau dengan kejeniusan mereka, atau dengan sebuah
kreativitas bahwa sektor lain dari populasi telah hilang, atau dengan kekuatan oposisi sebagai
dasar perlawanan mereka. Salah satunya adalah antropologi dan cerita rakyat. Pandangan relasi
kebudayaan yang lebih sensitive terhadap kelompok dan hubungannya, mengatakan bahwa
kecenderungan sebuah pemikiran untuk membahas tentang perbedaan tanpa menjelaskan ketidak
seimbangan yang mengikuti perbedaan tersebut. Pada dasarnya semua budaya itu sama saja,
bernilai dengan cara mereka sendiri, membentuk sebuah kebanggaan. Populisme juga konsep
induktif yang menjelaskan tentang bagaimana menggunakan kebudayaan untuk membangun
kekuasaan – salah satunya adalah dengan menggunakan gerakan populer. Dengan kata lain
pandangan ini memahami budaya populer sebagai dasar perlawanan yang merupakan hasil
pemikiran dari populasi yang sudah tidak memiliki pegangan politis apapun (Scannel, 2000: 20-
30)

Saya akan mencoba menyebutkan beberapa teori yang terkait dengan budaya populer. Teori-teori
ini antara lain teori hegemoni oleh Gramsci, teori dominasi, teori aparat ideologi oleh Althusser,
teori kekuatan oleh Foucault, teori ketergantungan, teori reifikasi oleh lucac dan pandangan
Marxis-struktural. Konsep hegemony selalu akan berbicara tentang bagaiamana sistematika
sebuah pergolakan budaya. Konsep ideologi akan menjelaskan bahwa ideologi yang dapat
ditanamkan dengan cara melakukan interpelasi bertujuan untuk mengubah subjektifitas manusia
terhadap kerberadaan dari ideologi tersebut. Menurut Foucault, kita tidak perlu mencari kekuatan
di tengah sebuah titik, di sebuah fokus unik dari sebuah kedaulatan yang bentuknya dibuat dan
bergantung untuk menyebar diluar. Beranggapan bahwa kekuasaan adalah sesuatu yang bisa
didapatkan pada setiap institusi dan aparatnya. Konsep reifikasi akan menjelaskan tentang
materialisasi atau proses menghasilkan materi dari proses hegemoni yang memang pada
dasarnya selalu menekan pada hal yang abstrak yaitu ideologi. Konsep Marxist-strukturalis akan
menjelaskan tentang bagaimana relasi kuasa ekonomi tapi lebih fokus pada aktor yang berbentuk
struktur misalnya sebuah sistem kecil. Teori-teori tersebut adalah satu dari sekian banyak teori-
teori kebudayaan dan kekuasaan. Dari awal kita sudah membahas bahwa budaya populer adalah
sebuah wacana yang mewakili kedua teori-teori tersebut. Pemahaman ini menjelaskan dengan
pasti bahwa budaya populer adalah wacana yang bisa diaplikasikan untuk menghadapi krisis
modernitas, salah satu yang berhasil adalah pada Amerika Latin, dan menegaskan budaya
populer sebagai bidang yang tidak pragmatis.

Berbicara tentang bagaimana cara “mempopulerkan budaya” akan selalu mencari relevansi
kepada pendekatan ekonomi politik. Salah satunya adalah pembahasan tentang industri budaya
yang dapat dijelaskan dengan komodifikasi, spasialisasi dan massifikasi. Ketiga proses tersebut
dianggap sebagai proses utama yang dilakukan oleh industri budaya. Popularitas sebuah
kebudayaan akan selalu bertentangan dengan nilai estetik, mistis dan moral yang ada pada
budaya. Alasan ini bisa dijadikan asumsi kenapa para pengikut Marxis membedakan menjadi
budaya tinggi, budaya yang masih menjaga nilai yang bersifat laten dan mempunyai nilai guna,
dan budaya rendah, budaya yang tidak mempunyai nilai laten dan lebih menonjolkan nilai tukar.
Pemahaman yang selama ini ada adalah budaya populer sebagai sebuah budaya rendah tidak
mempunyai fungsi kecuali fungsi nilai tukar. Akan tetapi, kasus Amerika Latin menegaskan
bahwa budaya populer mempunyai fungsi yang membantu negara tersebut dalam menghadapi
krisis modernitas. Kemudian ditambah pemahaman bahwa sebagai bidang dimana perubahan
masyarakat terjadi justru terlihat bahwa budaya populerlah yang memungkinkan perubahan
tersebut terjadi.

Amerika Latin adalah sebuah kumpulan dari kelompok liberal yang membentuk sebuah negara,
mereka mengakui telah membentuk budaya nasional, tapi terlihat lebih membangun kebudayaan
elit, meninggakan sejumlah besar populasi pribumi dan petani yang mendaftarkan semua hasil
bumi mereka untuk alat ribuan pemberontakan dan oleh sebuah migrasi yang mengubah kota
menjadi ibukota negara. Orang populis mengakui bahwa merekalah yang menggabungkan sektor
pengeluaran, memperbaiki gerakan populer dan budaya massa (Scannel, 2000: 18). Pengakuan
ini cukup mendasar melihat bukti dari populisme dan budaya populer yang berhasil membentuk
kebudayaan untuk dijadikan identitas nasional sebuah bangsa.

Kesimpulannya, budaya populer adalah salah satu bidang yang mempertemukan wacana
kebudayaan dan kekuasaan. Meskipun dianggap sebagai budaya rendah, budaya populer tidak
hanya sekedar objek kajian bagi kajian kritis. Budaya populer juga menjadi sebuah subjek kajian.
Kemampuan budaya populer untuk menghadapi krisis modernitas yang terjadi di Amerika Latin
bukan tidak mungkin dapat terjadi dengan negara yang lain. Industri budaya juga membantu
proses kaum populis untuk mengambil pasar yang terbentuk dari revolusi. Paham populis
mengakui bahwa kebudayaan memang bisa digunakan untuk mendapatkan kekuasaan dan
budaya populer adalah bidang yang mampu dijadikan tempat sekaligus sebagai alat untuk
menguraikan hubungan antara kekuasaan dan kebudayaan.

Daftar pustaka

1. Scannell, Paddy, 1994, Culture and Power: a Media, Culture and Society Reader, Sage
Publication:London.
2. Bignell, Jonathan, 2000, Postmodern Media Culture, Edinburgh University Press:
Edinburgh.
3. Babe, Robert T., 2009, Cultural Studies and Political Economy: Toward a New
Integration, Rowman and Littlefield: New York.
4. McPhail, Thomas, 2006, Global Communication: Theories, Stakeholders, and Trends.
Blackwell: Malden.

You might also like