You are on page 1of 28

BAB I

PENDAHULUAN

I. 1 Latar Belakang
Indonesia adalah salah satu negara yang kaya akan kebudayaan.
Kebudayaan yang timbul dan berkembang dalam setiap suku memiliki
keunikan dan kekhasan yang berbeda-beda sehingga setiap daerah memiliki
minimal satu kebudayaan yang dapat dibanggakan, salah satunya adalah
kebudayaan Jawa. Kebudayaan Jawa dalam hal ini Jawa Tengah mempunyai
ragam kebudayaan, salah satunya adalah wayang. Wayang merupakan salah
satu hasil kebudayaan dan warisan yang memiliki nilai tinggi. Seperti kita
ketahui bahwa wayang mempunyai arti harfiah bayangan yang dalam
perkembangannya pengertian dapat berarti pertunjukan panggung atau teater.
Sebagai salah satu bentuk dan hasil kebudayaan yang bernilai tinggi maka
wayang banyak menyimpan nilai-nilai seperti nilai religius, nilai ilmu
pengetahuan atau filsafat dan nilai seni. Bagi masyarakat Jawa pagelaran
wayang yang hanya dipentaskan pada hari-hari tertentu seperti hari perayaan
keagamaan dan acara-acara slametan (upacara yang ditandai dengan sajian
bermacam-macam makanan yang ditentukan menurut kebudayaan Jawa), dan
untuk merayakan peristiwa penting, misalnya kelahiran, sunatan, perkawinan
itu, tidak hanya sebagai hiburan akan tetapi pada perkembangannya, cerita-
cerita atau lakon yang dipentaskan disesuaikan dengan kondisi dan keadaan
yang sedang dialami oleh masyarakat.
Di dalam wayang juga terkandung simbol-simbol tertentu. Bahkan sering
kali pementasan wayang ini menyindir bahkan mengkritik para tokoh
masyarakat, politikus, dan pemimpin negara yang perilakunya dianggap
‘menyimpang' dari harapan masyarakatnya.
Para ahli dari berbagai disiplin ilmu tiada rasa jera untuk senantiasa
membicarakan wayang dari masa ke masa, baik dalam kesempatan diskusi,
seminar, kongres, terbitan buku, majalah, koran dan sebagainya. Ini dilakukan
karena pengetahuan wayang yang demikian luas menarik untuk dibicarakan dan
memberikan kontribusi terhadap kehidupan masyarakat, baik di Indonesia
maupun mancanegara. Nilai-nilai kehidupan yang tergambar dalam wayang
terbukti dapat dipergunakan sebagai renungan dan referensi hidup berbangsa
dan bernegara.

I. 2 Perumusan Masalah
1. Bagaimana kedudukan wayang dalam masyarakat Indonesia?
2. Bagaimana simbolisme cerita wayang dalam kehidupan manusia?
3. Apa saja nilai yang terkandung dalam pertunjukan seni wayang?

I. 3 Tujuan Penulisan
Tulisan tentang “Wayang sebagai Salah Satu Aspek Budaya Bangsa”
merupakan sebuah hal yang sangat berguna bagi generasi muda. Mereka akan
lebih menyadari bahwa kemajuan teknologi tidaka akan menghalangi
keberadaan wayang di Indonesia, sehingga kebudayaan ini tidak ditinggalkan
oleh generasi muda.

I. 4 Manfaat
Penulis berharap agar tulisan ini bisa bermanfaat untuk setiap pembaca
dengan mengenalkan pengetahuan baru atau menambah pengetahuan bagi
seseorang yang sudah mengenal wayan terlebih dahulu. Setiap pembaca
sekiranya menyadari bahwa Indonesia memiliki kebudayaan yang bisa
dibanggakan. Para pembaca sekiranya juga ikut melestarikan kebudayaan
wayang ini agar tidak diakui oleh bangsa lain sebagai kebudaannya.
BAB II
ISI

II.1 KEDUDUKAN WAYANG DALAM MASYARAKAT

II.1.1 Wayang sebagai Budaya Nasional


Masyarakat jawa mempunyai jenis kesenian tradisional yang bisa
hidup dan berkembang hingga kini dan mampu menyentuh hati sanubari dan
menggetarkan jiwa, yaitu seni pewayangan. Secara lahiriah, kesenian
wayang merupakan hiburan yang mengasyikkan baik ditinjau dari segi wujud
maupun seni pakelirannya. Namun demikian dibalik apa yang tersurat ini
terkandung nilai adiluhung sebagai santapan rohani secara tersirat.
Sebagai salah satu bentuk kebudayaan, maka wayang menduduki
tempat yang terhormat dan menjadi suatu bentuk kebudayaan nasional.
Selain identik dengan budaya Jawa, wayang kulit kini juga sudah menjadi
budaya nasional dan merupakan ciri khas Bangsa Indonesia. Tidak hanya
tampil dalam pagelaran, wayang kulit kini juga banyak digunakan sebagai
pajangan dan produk kerajinan tangan lainnya. Memang wayang kulit selama
ini identik dengan tokoh-tokoh pewayangan, seperti Gatot Kaca, Semar
beserta anak-anaknya atau Arjuna. Wayang kulit selalu dikonotasikan
barang-barang budaya yang selalu digunakan dalam pagelaran semalam
suntuk dengan lakonnya masing-masing.

II.1.2 Wayang dan Kehidupan


Wayang dalam pengertian “bayang-bayang” memberikan gambaran
bahwa di dalamnya terkandung lukisan tentang berbagai aspek kehidupan
manusia dalam hubungannya dengan manusia lain, alam, dan Tuhan; meski
dalam pengertian harfiah wayang merupakan bayangan yang dihasilkan oleh
“boneka-boneka wayang” dalam seni pertunjukan.
Wayang dalam pengertian “hyang”, “dewa”, “roh”, atau “sukma”
memberikan gambaran bahwa wayang merupakan perkembangan dari
upacara pemujaan roh nenek moyang bangsa Indonesia pada masa lampau.
Benang merah dari tradisi ini tampak pada upacara ruwatan, yakni wayang
sebagai sarana pembebasan malapetaka bagi seseorang/ kelompok orang
yang terkena sukerta/ noda gaib.
Wayang bagi orang jawa merupakan sibolisme pandangan-pandangan
hidup orang jawa mengenai hal-hal kehidupan. Dalam wayang seolah-olah
orang jawa tidak hanya berhadapan dengan teori-teori umum tentang
manusia, melainkan model-model hidup dan kelakuan manusia digambarkan
secara konkrit. Pada hakekatnya seni pewayangan mengandung konsepsi
yang dapat dipakai sebagai pedoman sikap dan perbuatan dari kelompok
sosial tetentu.
Konsepsi-konsepsi tersebut tersusun menjadi nilai nilai budaya yang
tersirat dan tergambar dalam alur cerita-ceritanya, baik dalam sikap
pandangan terhadap hakekat hidup, asal dan tujuan hidup, hubungan manusia
dengan Tuhan, hubungan manusia dengan lingkungannya serta hubungan
manusia jawa dengan manusia lain.
Pertunjukkan wayang terutama wayang kulit sering dikaitkan dengan
upacara adat: perkawinan, selamatan kelahiran bayi, pindahan rumah,
sunatan, dll, dan biasanya disajikan dalam cerita-cerita yang memaknai
hajatan dimaksud, misalnya dalam hajatan perkawinan cerita yang diambil
"Parto Krama" (perkawinan Arjuna), hajatan kelahiran ditampilkan cerita
Abimanyu lahir, pembersihan desa mengambil cerita "Murwa
Kala/Ruwatan".

II.1.3 Wayang sebagai Sarana Pendidikan


Peranan seni dalam pewayangan merupakan unsur dominan. Akan
tetapi bila dikaji secara mendalam dapat ditelusuri nilai-nilai edukatif yang
sangat penting dalam kehidupan manusia.
Unsur-unsur pendidikan tampil dalam bentuk pasemon atau
perlambang. Oleh karena itu sampai dimana seseorang dapat melihat nilai-
nilai tersebut tergantung dari kemampuan menghayati dan mencerna bentuk-
bentuk simbol atau lambang dalam pewayangan. Dalam lakon-lakon tertentu
misalnya baik yang diambil dari Serat Ramayana maupun Mahabarata
sebenarnya dapat diambil pelajaran yang mengandung pendidikan.
Bagaimana peranan Kesenian Wayang sebagai sarana penunjang Pendidikan
Kepribadian Bangsa, rasanya perlu mendapat tinjauan secara khusus.
Berdasarkan sejarahnya, kesenian wayang jelas lahir di bumi Indonesia. Sifat
lokal genius yang dimiliki bangsa Indonesia, maka secara sempurna terjadi
pembauran kebudayaan asing, sehingga tidak terasa sifat asingnya.
Berbicara kesenian wayang dalam hubungannya dengan Pendidikan
Kepribadian Bangsa tidak dapat lepas dari pada tinjauan kesenian wayang itu
sendiri dengan falsafah hidup bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Pancasila
sebagai falsafah negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia, merupakan
ciri khusus yang dapat membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa lain.
Pancasila adalah norma yang mengatur tingkah laku dan perikehidupan
bangsa. Menurut TAP MPR - Rl No. II/ MPR/1993 tentang Garis-Garis
Besar Haluan Negara ; disitu ditandaskan bahwa untuk mewujudkan tujuan
nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945. perlu menetapkan Ketetapan yang mengatur Garis- Garis Besar Haluan
Negara yang didasarkan atas aspirasi dan Kepribadian Bangsa demi
penghayatan dan pengamalan kehidupan kenegaraan yang demokratis -
konstitusional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Pengertian Kepribadian Bangsa adalah suatu ciri khusus yang konsisten dari
bangsa Indonesia yang dapat memberikan identitas khusus, sehingga secara
jelas dapat dibedakan dengan bangsa lain.

II.1.4 Hubungan Politik dengan Wayang


Bagaimana hubungan antara ideologi-politik dan wayang? Wayang
oleh kekuasaan dipandang sebagai salah satu hasil budaya, sekaligus sebagai
media yang memiliki kekuatan untuk menyampaikan hal-hal yang terkait
dengan kepentingan ideologi-politik. Wayang dipandang sebagai mitos,
yakni cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu kepada
sekelompok orang. Mitos memberikan arah kepada kelakuan manusia dan
merupakan semacam pedoman untuk kebijaksanaan manusia. Lewat mitos
manusia dapat turut serta mengambil bagian dalam kejadian-kejadian
sekitarnya dan dapat menanggapi daya-daya kekuatan alam.
Dalam konsep Jawa tentang organisasi negara, raja atau ratu lah yang
menjadi eksponen mikrokosmos dari Negara. Religi masyarakat Jawa
memandang bahwa alam semesta merupakan satu kesatuan yang serasi dan
harmonis, tidak lepas satu dengan yang lain dan selalu berhubungan. Alam
semesta terdiri dari dua eksponen, yakni mikrokosmos dan makrokosmos,
yang dalam kehidupannya terjadi kelabilan. Kelabilan yang terjadi di dalam
makrokosmos sebagai akibat yang ditimbulkan oleh makrokosmos, atau
sebaliknya. Keteraturan di dalam makrokosmos dan mikrokosmos adalah
terkoordinasi dan apabila masing-masing berusaha keras ke arah kesatuan
dan keseimbangan, maka hidup akan tentram dan harmonis. Mulder
mengatakan bahwa usaha keteraturan dapat dilakukan dengan baik bila
semua orang menyesuaikan diri dengan lingkungan yang ada. Orang-orang
harus mengetahui tempat dan tugas masing-masing, harus menghormati
kedudukan yang lebih tinggi, harus berikap baik dan bertanggungjawab
kepada mereka yang berkedudukan lebih rendah.
Wayang dari masa ke masa dipergunakan oleh penguasa maupun
partai politik sebagai media untuk mengarahkan masyarakat agar mengikuti
nilai-nilai yang diamanatkan dalam suatu pergelaran wayang. Di dalam
wayang juga sarat akan “sign” (tanda) dalam hal ini simbol. Simbol-simbol
ini dimanfaatkan oleh penguasa dan partai politik untuk mempengaruhi dan
mengarahkan masyarakat agar mengikuti “pedoman” yang telah dirancang/
dikonsep di dalam sebuah pertunjukan wayang. Sebagai contoh, yakni:
Ketika presiden Soeharto berkuasa, nilai-nilai Pancasila disebarluaskan
dalam berbagai media pendidikan, baik formal, informal, dan non formal.
Wayang dan macapat juga merupakan media seni tradisi yang memiliki
fungsi untuk menyebarluaskan nilai-nilai Pancasila itu. Bagaimana presiden
Soeharto memasyarakatkan nilai-nilai Pancasila melalui wayang? Lahirnya
lakon wayang yang berjudul Semar mBabar Jatidiri (Jawa)/ Sang Hyang
Wiragajati (Sunda) merupakan wujud dari sebuah kepentingan ideologi-
politik yang tertuang di dalam wayang.
Pada tanggal 21 Januari 1995, para dalang, seperti: dalang wayang
kulit purwa/ Jawa, wayang golek/ Sunda, wayang parwa/ Bali, dan wayang
Betawi menghadap presiden Soeharto di Istana Negara. Dalam pertemuan itu
presiden Soeharto memberikan sambutan dan petunjuk kepada para dalang.
Wayang dan seni pedalangan dipandang dapat dimanfaatkan sebagai sarana
untuk memasyarakatkan nilai-nilai Pancasila, agar nilai-nilai ini benar-benar
dapat dihayati dan diamalkan dalam kehidupan nyata oleh seluruh
masyarakat Indonesia.
Ketika itu pula presiden Soeharto memberi pekerjaan rumah kepada
para dalang, beserta pengurus PEPADI (Persatuan Pedalangan Indonesia)
dan SENAWANGI (Sekretariat Nasional Perwayangan Indonesia) untuk
menggubah sebuah lakon wayang yang dapat menguraikan tentang jatidiri
bangsa yang berintikan pada nilai pengendalian diri. Presiden Soeharto
ketika itu juga memberikan petunjuk agar para dalang dapat mengetengahkan
lakon wayang yang peran utamanya adalah Semar. Semar merupakan simbol
rakyat/ kawula yang memiliki kekuatan dan kearifan; ia seorang panakawan/
abdi Negara Amarta yang selalu berorientasi pada keutamaan, kebenaran,
dan keadilan.
Setelah para dalang beserta pengurus PEPADI dan SENAWANGI
mendapat pekerjaan rumah presiden Soeharto, kemudian mereka kembali ke
penginapannya di TMII. Ketua PEPADI Pusat juga sebagai General Manajer
TMII dan Kepala Rumah Tangga Kepresidenan memberikan fasilitas
pertemuan para dalang se-Indonesia tahun 1995 itu. PEPADI dan
SENAWANGI kemudian rapat untuk membicarakan pekerjaan rumah
presiden Soeharto. Ketika itu diputuskan untuk membentuk tim-8 (Solichin,
Ekocipto, Rusman Hadikusumo, H. Anom Soeroto, H. Panut Darmoko,
Sugito Purbotjarito, Timbul Hadi Prayitno, dan B. Subono). Tim-8 ini
bertugas menggubah lakon wayang yang menampilkan tokoh Semar. Tim
tersebut mengujicobakan beberapa judul lakon, antara lain Semar mBangun
Jiwa (Semar membangun jiwa) dan Semar mBabar Jatidiri (Semar
menguraikan jatidiri) dan roses pemanggungan lakon ini dilkukan secara
bertahap. Pertama kali ditampilkan oleh KI H. Anom Soeroto dalam rangka
Dies Natalis UI ke-45 menyusul kemudian Ki Timbul Hadi Prayitno
mementaskan lakon ini di Museum Purna Bhakti Pertiwi TMII yang
disaksikan sendiri oleh presiden Soeharto. PEPADI Pusat memandang bahwa
lakon “Semar mBabar Jatidiri” merupakan rintisan yang akan terus
dikembangkan dari waktu ke waktu. Oleh karena itu untuk lebih meluaskan
jangkauan khalayak, lakon dalam gaya Surakarta tersebut akan
dikembangkan terus dalam bentuk gaya lainya, yakni gaya Yogyakarta,
Banyumas, Jawa-Timuran, Bali, dan lain-lain. Lakon tersebut secara resmi
disyahkan pada tanggal 17 Agustus 1995 oleh Ketua Umum PEPADI Pusat.
Lakon tersebut telah dibukukan dengan judul “Semar mBabar Jatidiri”.
Dalam penerbitan ini tidak hanya lakon wayang tersebut (gaya Surakarta),
tetapi juga lakon wayang Golek Sunda yang diberi judul “Sang Hyang
Wiragajati”. Buku lakon ke-2 ini digubah oleh H. Ruswandi Zarkasih, H.
Tjetjep Supriadi, Barnas Somantri, Atik Sopandi, Erwin K. Padmawinata,
dan Tutun Hatta Saputra.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan bahwa peran yang
paling besar dalam menggubah lakon “Semar mBabar Jatidiri” yakni
PEPADI, yang sebenarnya erat hubungannya dengan kekuasaan, meskipun
organisasi ini secara struktur resmi kenegaraan tidak ada, dalam hal ini
PEPADI dilingkupi oleh kekuasaan. PEPADI memiliki kekuasaan untuk
menata dan membina para dalang. Ideologi-politik telah terimplementasikan
ke dalam bentuk lakon wayang, Semar mBabar Jatidiri. Ideologi Pancasila
beserta P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dalam wayang
dapat terlihat dengan jelas namun ada pula yang tersamar (dalam bentuk sign
system).
Di dalam lakon Semar mBabar Jatidiri disebutkan bahwa kerajaan
Yawastina memiliki dasar Negara/ kerajaan, yakni: pancaprasedya (lima
kehendak) lima dasar yang merupakan inti sari budaya yang sungguh-
sungguh menjadi segala sumber hukum negara utama (pancaprasedya lire
gegebengan limang prakara sari pathining budaya kang nyata dadya angger
ugering praja utama). Ini menunjukkan bahwa Ideologi Pancasila telah
masuk ke dalam wayang melalui narasi (janturan) kerajaan Yawastina/
Astina yang mendambakan negara yang bersifat panjang (terkenal), punjung
(berwibawa), pasir (mempunyai samodra yang luas), wukir (berbukit dan
bergunung-gunung), loh (subur tanahnya), jinawi (barang-barang murah),
gemah (ramai), ripah (perdagangan lancar), karta (tentram), raharja (tidak
punya musuh). Gambaran negara/ kerajaan Yawastina dalam lakon wayang
merupakan ideologi yang diharapkan berpengaruh pada pemikiran manusia
dalam kehidupan nyata, sehingga nantinya akan tercipta suatu keadaan
negara/ kerajaan sesuai dengan yang digambarkan di dalam lakon tersebut.
Sebenarnya dalam lakon Semar mBabar Jatidiri inti permasalahan
terdapat pada tokoh Semar. Ia meinggalkan kerajaan Yawastina/ Astina,
karena seisi negara/ kerajaan dalam keadaan kacau dan para penyelenggara
negara telah melupakannya; oleh karena itu para petinggi negara Yawastina
mencari Semar. Para petinggi Negara Yawastina berhasil menemui Semar,
yang kemudian diberi wejangan tentang Pancasila dan P4 (Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Dalam konteks ini, rupanya
pemerintah ingin mempertegas tentang pentingnya Pancasila sebagai filsafat
hidup bangsa, meskipun di dalam wayang sesungguhnya secara implisit dan
eksplisit mengungkapkan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,
kerakyatan, dan keadilan sosial. Pasca 1995 terjadi krisis politik, ekonomi,
hukum, dan budaya yang mempengaruhi masyarakat harus melakukan
reformasi. Presiden Soeharto rupanya ingin menguji sejauh mana kesetiaan
masyarakat Indonesia melalui wayang. Pola pemikiran masyarakat Indonesia
dibentuk dan diarahkan kepada suatu rumusan bahwa krisis/ kekacauan
hampir di segala bidang ini sebagai kesalahan bersama, seperti terlukis dalam
ungkapan: tiji tibeh/ mati siji mati kabeh (mati satu mati semua); jika ada
salah satu yang mati dalam suatu tragedi maka harus mati semuanya.
Pada masa berikutnya dipentaskan sebuah lakon wayang yang berjudul
Rama Tambak, dimaksudkan agar pemerintah dapat membuat tanggul untuk
menyeberang lautan dan selamat dari ancaman bahaya/ kekacauan.
Ada beberapa interpretasi mengenai lakon yang berorientasi pada
tokoh Semar tersebut, yakni: tokoh Semar ada kaitannya dengan pak Harto
sebagai pemegang Supersemar (dari presiden Soekarno) pada tahun 1966.
“Supersemar” itu sendiri dpat dimaknai Semar yang bersifat super atau
“Surat Perintah Sebelas Maret”. Ini dapat dirumuskan bahwa “Semar yang
super” tersebut tiada lain adalah “pemegang Supersemar” itu sendiri. Di
dalam wayang, Semar bertugas mengantar ksatria utama dengan aman dari
segala bahaya sampai ke tujuannya. Jika ksatria berada dalam kesulitan,
Semar memberi nasehat; jika ia terlalu agresif dan emosi , ia direm oleh
Semar dan ditarik kembali dari langkah-langkah yang kurang dipikirkan. Jika
ksatria itu sedih Semar menjadikannya senang dengan lelucon-lelucon. Jika
ksatria dalam kesendirian dan kesepian maka Semar menemainya.
Pada masa sebelumnya, ketika Presiden Soekarno berkuasa, ia sering
menanggap Ki Gito Sewaka, seorang dalang kenamaan di era 60-an, untuk
mempergelarkan wayang di istana negara. Tokoh Gathutkaca lah yang
menjadi idola sang Presiden. Watak ksatria, keberanian, kegagahan,
kelincahan, kesaktian, dan kepandaian Gathutkaca menjadi acuan spirit
Presiden Soekarno pada saat itu. Pada masa yang sama berkembang “wayang
suluh” yang digubah oleh departemen penerangan; wayang ini berfungsi
sebagai media penyuluhan atau penerangan pemerintah.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan bahwa wacana
kekuasaan “orde baru” dalam pertunjukan wayang, pada masa berikutnya
bergeser menjadi wacana “reformasi” dalam segala unsur dan bentuknya.
Pada masa ini kreativitas di bidang pedalangan dan perwayangan dilakukan
di semua unsur-unsur yang terdapat di dalamnya dengan berorientasi pada
wacana reformasi itu.
Pada era reformasi wayang menjadi media untuk berkampanye,
melegitimasi, serta menyampaikan pesan-pesan partai politik tertentu,
misalnya: dalam rangka ulang tahun “Partai Amanat Nasional” (PAN), Ki
Joko Hadiwijoyo (Joko Edan) dari Semarang menampilkan lakon wayang
yang berorientasi pada keagungan matahari. “Partai Amanat Nasional”
bersimbolkan matahari. Melalui penampilan tema lakon wahyu (anugerah
Illahi) tersebut diharapan dapat memberikan pengaruh kepada partai dan
khalayak luas, sehingga Indonesia dengan kepemimpinan PAN dapat menuju
masyarakat yang tentram, damai, sejahtera berkat matahari yang memberikan
penerangan seluruh masyarakat Indonesia.

II.1.5 Fungsi Wayang


1. Fungsi religius.
Pada awalnya wayang diciptakan oleh manusia adalah sebagai alat
pemenuhan kebutuhan religiusnya. Manusia zaman dahulu, mementaskan
wayang (yang bentuknya tidak seperti kita kenal sekarang) untuk memuja
dan mempertemukan mereka dengan roh-roh nenek moyang. Kepercayaan
yang seperti demikian disebut Animisme. Lalu untuk zaman sekarang,
wayang masih dikaitkan dengan nilai-nilai religius. Masih sering kali
sebelum pementasan wayang ada sesajen tertentu yang harus dibuat.
Contoh yang lebih nyata lagi dengan adanya upacara ruwatan dengan
tujuan membuang sial yang mengharuskan adanya pertunjukan wayang.
2. Fungsi Pendidikan.
Wayang digunakan juga oleh masyarakat sebagai media pendidikan.
Dengan wayang transformasi nilai-nilai luhur budaya dapat berlangsung
secara efektif. Banyak nilai-nilai kebaikan yang bisa diambil dari cerita
atau lakon yang ada dalam wayang. Transformasi ini bersumber dari
dalang yang biasanya adalah orang penting di masyarakat, kepada
masyarakat baik itu kalangan atas atau bawah. Pada masa Sunan Kalijaga
pun wayang dijadikan media pendidikan dan wakwah. Melaluinya, ajaran-
ajaran Islam disisipkan agar lebih mudah dimengerti oleh masyarakat Jawa
waktu itu.
3. Fungsi penerangan dan kritik sosial.
Dalam pertunjukan wayang, masyarakat bisa diinformasikan tentang
peristiwa apa yang penting untuk diketahui oleh para dalang. Misalnya
dengan mementaskan lakon-lakon tertentu yang sesuai dengan keadaan
masyarakat pada waktu itu. Lalu juga bisa dijadikan sarana kritik sosial.
Masyarakat bisa mengkiritik kebijakan pemimpin mereka tanpa resiko
kemarahan pemimpin melalui wayang. Dengan lakon-lakon tertentu pula
atau fragmen wayang “goro-goro” dalang bisa bebas mengkritik kebijakan
pemimpin.
4. Fungsi Hiburan.
Wayang di sini murni merupakan hiburan bagi masyarakat. Tidak
ditujukan untuk maksud-maksud religi tertentu. Tapi hanya untuk
menghibur masyarakat yang gemar akan seni pertunjukan ini. Seperti pada
acara khitanan, resepsi pernikahan, acara besar desa, yang dipentaskan
untuk menghibur khalayak ramai.

II.2 SIMBOLISME DALAM WAYANG

II.2.1 Wayang dalam Fiksi Indonesia


Wayang adalah salah satu mitos lama yang memegang peranan
penting dalam masyarakat Jawa. Wayang dalam kebudayaan Jawa dianggap
sebagai simbolisasi mencapai kesempurnaan hidup. Dalam serat Centini
dijelaskan bahwa wayang berfungsi sebagai cerminan manusia di dunia yang
menggambarkan proses hidup dalam kurun waktu terbatas dari puturan
hukum sebab akibat, yang dalam konsep Jawa disebut cakra manggilingan.
Dalam sastra Indonesia mutahir, wayang menjadi sumber inspirasi dan
eksplorasi estetis yang tidak jarang membuat wayang “bergeser” dari mitos
lamanya.
Beberapa pengarang Indonesia modern memanfaatkan wayang untuk
warna estetika karya-karya mereka. J.B Mangun Wijaya memanfaatkan alur,
aspek pertunjukan wayang dan tokoh-tokoh pewayangan dalam novelnya
Durga Umayi dan Burung-burung Manyar. Putu Wijaya mengolah episode
Barata Yudha (Mahabarata) dalam novel Perang. Umar Kayam
memanfaatkan tokoh-tokoh Citraksi-Citraksi untuk cerpennya. Goenawan
Muhhamad terinspirasi lakon Parikesit dalam sebuah puisi panjangnya, dan
Seno Gumira Ajidarma dengan novel Kitab Omong Kosong menggugat
mitos dalam lakon wayang Ramayana.
Dalam novel Kitab Omong Kosong, Seno Gumira mencoba
mengukuhkan mitos wayang Ramayana namun sekaligus pula mencoba
membongkar, memberontak dan mendekontruksi mitos dan nilai-nilai
tentang lakon Ramayana yang sudah mengakar di masyarakat. Upaya
pembongkaran ini pertama sekali terletak pada penyusunan alur cerita. Kalau
kitab Ramayana asli dibagi dalam urut-urutan tujuh kanda, yakni Bala
Kanda, Ayodya Kanda, Aranya Kanda, Kiskenda Kanda, Sundara Kanda,
Yudha Kanda dan Utara Kanda, dalam novel Kitab Omong Kosong, Seno
justru memulai dari ide cerita Utara Kanda yang justru merupakan bagian
akhir Ramayana yang tidak populer di Jawa.
Pada bagian awal novel langsung tampak myth of freedom, dimana
tokoh Rama yang dalam masyarakat Jawa dimitoskan sebagai simbol satriya
utama yang selalu mengemban kebenaran, penegak keadilan dan terjaga dari
segala perbuatan buruk, justru digambarkan sebagai tokoh raja yang kejam
yang menaklukan beratus-ratus negara. Tokoh Rama yang dalam konsep
Jawa dimitoskan sebagai titisan (awatara) Dewa Wisnu pemelihara dunia
malahan dimunculkan sebagai raja haus kekuasaan dan melaksanakan
upacara aswameda parwa (persembahan kuda), yakni melepaskan kuda yang
telah diberi mantera dan setiap jengkal tanah yang dilalui kuda tersebut harus
takluk atau ditaklukan.
Kalau dalam pewayangan Jawa. perang Rama dan Rahwana
merupakan lambang perlawanan antara yang benar dan yang jahat, maka
dalam novel Kitab Omong Kosong menjadi kabur mana yang mewakili
kebenaran dan yang mewakili kejahatan. Fokus utamanya bukan peperangan
antara Rama dan Rahwana tetapi peperangan antara Rama dengan dirinya
sendiri. Persoalan siapa yang benar dan siapa yang salah menjadi kabur atau
tidak didikotomi secara jelas dan ekstrim seperti dalam cerita-cerita wayang
di masyarakat. Kalau dalam cerita pewayangan, kebaikan itu “diputihkan”
dan kejahatan “dihitamkan”, sebagaimana putih tak pernah bisa bercampur
dengan hitam, kebaikan senantiasa terpisah dari kejahatan dan kebaikan
selalu menang melawan yang jahat. Justru dalam novel Kitab Omong
Kosong dinyatakan bahwa dalam hidup putih dan hitam dapat bercampur,
adakalanya yang jahat dapat demikian berkuasan dan yang baik bisa sangat
menderita, demikian pula sebaliknya.
Pembongkaran mitos juga tampak dengan munculnya tokoh-tokoh
utama yang tidak pernah disebut-sebut dalam cerita Ramayana yang justru
tokoh-tokoh ini berasal dari kalangan marginal atau rakyat kecil (kawula
alit). Tokoh-tokoh baru tersebut ---Satya dan Maneka--- merupakan sepasang
muda-mudi, yang satu seorang pemuda desa lugu yang desa dan sanak
saudaranya musnakh akibat upacara persembahan kuda Rama. Maneka
malahan berasal dari kalangan pelacur yang sejak kecil lahir di rumah bordil
dan mencoba lari dari nasibnya yang malang. Kedua tokoh baru ini lebih
mendominasi cerita dan tampil sebagai hero melebihi tokoh-tokoh pakem
seperti Laksamana, Wibisina, Sugriwa, dan Rama.
Munculnya tokoh Satya dan Maneka dalam novel ini merupakan
upaya penghancuran mitos pewayangan Jawa yang mengagung-agungkan
kebudayaan ksatria. Selama ini wayang dianggap sebagi symbol konsep
manusia ideal Jawa yang menekankan tentang hidup ksatria (satriya
pinandhita). Di pusat kebudayaan ksatria ini selalu dicitrakan cita-cita yang
indah serta ‘halus” dan tampillah para ksatria yang gagah berani tanpa cela
yang harus diteladani kawula alit (rakyat jelata). Dengan munculnya tokoh
Satya dan Maneka yang berasal dari rakyat jelata yang malahan berhasil
meneukan Kitab Omong Kosong sehingga dapat menyelamatkan kebudayaan
dunia, maka runtuhlah mitos kebudayaan satriya. Para satriya tak lebih mulia
dari rakyat jelata. Rama, Laksamana, Wibisana, Sugriwa, Anoman, tak lebih
sakti, lebih luhur dan lebih baik dibanding dengan Satya anak petani dan
Maneka yang seorang pelacur.
Novel ini juga menjungkirbalikkan mitos kekuasaan dan konsep
kepemimpinan Jawa. Dalam pewayangan Jawa semenjak kebudayaan Hindu
masuk dan berkembang di Indonesia konsep kekuasaan selalu bertumpu pada
raja (ksatriya). Menurut konsep Jawa yang disimbolkan melalui wayang, raja
adalah “warenaning Allah”, proyeksi Tuhan, karena itu kekuasaanya bersifat
mulak. Konsep ini dalam bahasa pedhalangan dikatakan sebagai “gung
binathara bau dhenda anyakrawati, wenang wisesa ing sanagari, ber budi
bawa leksana” (sebesar kekuasan dewa, pemelihara hokum dan penguasa
dunia, memegang kekuasaan tertinggi seluruh negara, meluap budi luhur
mulia dan sifat adil terhadap sesama).
Konsep kepemimpinan ini dibongkar habis-habisan dalam novel
Kitab Omong Kosong. Dalam novel ini wajah cerita Ramayana menjadi
sangat berbeda karena rakyat jelata seperti Satya dan Maneka justru menajdi
semacam personifikasi rakyat yang tidak lagi tergantung dan bergantung
pada raja bahkan mempunyai kekuatan yang jauh lebih dahsyat dibanding
kekuatan para satriya.
Upaya dimunculkannya mitos baru yakni kekuatan rakya jelata
semakin kuat ketika di akhir cerita pengarang memunculkan tokoh Togog.
Togog dalam wayang Jawa adalah seorang abdi yang terbuang dan tersia-sia.
Kebalikan dari tokoh Semar yang merupakan punakawan (abdi) para kaum
satriya yang sering dianggap titisan Dewa Ismaya sehingga mendapat posisi
yang khusus dalam konsep Jawa, tokoh Togog justru nyaris tidak pernah
diperbincangkan dan bahkan tidak pernah mendapatkan peranan besar.
Togog merupakan bagian dari “kultur tertawa” yang membangun dunianya
sendiri melawan dunia dari mereka yang “resmi berkuasa”. Lawan dari
kultur tertawa adalah “kultur ketegangan”, kultur yang penuh formalitas,
basa-basi, kepura-puraan serta kemunafikan. Dan dalam novel ini justru
Togoglah penulis “Kitab Omong Kosong” yang dicari-cari dan diperebutkan
kaum satriya.
Pengambilan estetika wayang dan sekaligus pendekontruksiannya
dalam sastra Indonesia mutahir seperti contoh di atas, merupakan bukti
bahwa satrawan mutahir Indonesia (etnis Jawa) adalah manusia perbatasan
yang sedang bertranformasi diri dengan mencoba mengikutsertakan budaya
etnis-tradisi Jawa menuju ke dalam negara-bangsa Indonesia yang notabene
merupakan ‘kampung halaman‘ dan budaya yang relatif baru. Hal ini
merupakan sebuah proses panjang yang berat karena pada satu sisi menuntut
mereka menata kembali keberadaan, kedudukan dan fungsi budaya dan sastra
Jawa sebagai akar mereka, dan di sisi lain mereka “terpaksa” melakukan
perantauan budaya ke kosmologi dan mitologi baru bernama Indonesia.
II.2.2 Makna Simbolik Dalang dan Wayang
Peranan Dalang dan Wayang kulit dalam pergelaran wayang menurut
Zoetmulder bahwa dalam Serat Centhini jilid IX teks yang berupa tembang
Megatruh disebutkan simboliknya sebagai berikut:
Janma tama karya lajem ing pandulu Sasmitaning Hyang sejati Dalang lan
wayang dinunung Panganggone Hyang Mawarni Karyo Upameng pandulon

Kelir gumelar wayang pinanngung Asnapun makluk ing widi Gedebog


bantala wegung Balencong pandoming urip Gamelan gending ing lakon.
Dalang dan wayang diberikan tempat yang sejati, yaitu sebagaimana
cara menggambarkan bagaimana Tuhan bertindak . Orang Bijak membuat
perumpamakan sebagai berikut.:
Kelir itu jagat yang kelihatan, wayang-wayang yang ditancapkan di kiri dan
kanan menggambarkan golongan makluk-makluk Tuhan. Batang pisang
adalah Bumi. Blencong adalah lampu kehidupan. Gamelan ialah keserasian
antara per peristiwa. (1991:290-291).
Pada uraian di atas jelas digambarkan bahwa perangkat pergelaran
wayang kulit merupakan simbolik yang sangat jelas, namun dalang sebagai
simbol Tuhan mestinya kurang tepat. Meski dalam sajian pergelaran, wayang
menjadi hidup atau mati karena kehendak sang Dalang. Karena Tuhan tidak
dapat personifikasikan dengan bentuk apapun serta hanya dapat diketahui
melaui sifat-sifatnya.
Adhikara memaknai lain, dalang simbolik dari jiwa, wayang sebagai
raga dan Tuhan sebagai orang yang menanggapnya. Tuhan memang tidak
terlihat, ia digambarkan sebagai orang yang nanggap wayang karena waktu
pergelaran tidak dapat dilihat penonton. Boneka wayang hidup karena jiwa
yang beujud Ki Dalang. Jika pergelaran telah selesai wayang ditinggalkan
dalang (raga ditinggalkan), wayang dimasukkan kotak (peti) sebab sudah
mati sedangkan dalang masih hidup.
II.2.3 Simbol Pewarnaan pada Wayang
Warna-warna pada wajah (muka) boneka wayang yang disimping
(diatur berjajar) seperti merah, hitam, kuning dan putih juga mempunyai
makna simbolik. Keempat warna itu bagi orang jawa melambangkan nafsu
amarah, aluamah, sufiah dan mutmainah. Warna-warna itu tidak
mengandung satu makna saja tetapi mempunyai makna ganda. Warna merah
pada muka Rahwana berbeda artinya dengan warna merah pada Baladewa.
Demikian juga setiap daerah mempunyai penafsiran sendiri-sendiri sesuai
dengan persepsinya.
Susunan wayang simpingan di dalamnya terdapat unsur kanan-kiri,
baik-buruk, halus-kasar. Pewarnaan muka wayang merupakan satu kesatuan.
Simpingan kanan dan kiri sebagai lambang baik buruk tidaklah tepat karena
di simpingan kanan juga terdapat beberapa wayang yang berkarakter jelek
sedangkan di simpingan kiri juga ada beberapa tokoh wayang yang
berkarakter baik.
Demikian juga mengenai makna simpingan kanan dan simpingan kiri
tidak bisa dikatakan sebagai kejahatan (kiri) dan kebaikan (kanan).
Simpingan kanan dan kiri merupakan makna symbol kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan, keduannya saling mengisi dan melengkapi. Tidak dapat
ditarik suatu garis yang tegas antara baik dan buruk atau jahat, karena
keduannya untuk mencari kompromi atau keseimbangan dari dua kutub yang
saling berlawanan.

II.3 NILAI DALAM WAYANG

II.3.1 Ajaran Moral dalam Wayang


Ceritera dalam pertunjukan wayang kulit sejatinya menampilkan
ajaran moral, dimana manusia hidup diharapkan dapat mengetahui mana
yang baik dan mana yang buruk. Tamsil etika nilai-nilai dalam wayang
biasanya disampaikan secara tegas misalnya jangan membunuh, jangan
berdusta, jangan berkhianat, tidak boleh marah, tidak boleh munafik dan lain
sebagainnya.
Hal lain yang ditampilkan dalam pergelaran wayang adalah soal
dilema atau pilihan. Manusia hidup ternyata selalu dihadapkan dengan
pilihan. Tetapi apapun pilihannya manusia toh harus memilih, meski pilihan
atau keputusan yang diambilnya tidak pernah sempurna. Hal ini menunjukan
bahwa manusia secara spikologis dan filosofis selalu dihadapkan dengan
problemanya yang tak pernah terpecahkan dengan sempurna. Kemudian
manusia harus mampu berdiri di salah satu pihak, mau yang baik atau yang
buruk misalnya; Jamadagni harus memilih membunuh istrinya atau
membiarkan istrinya berdosa Rama Parasu harus memilih membunuh Ibunya
atau menentang perintah Ayahnya Harjunasasrabau harus memilih
meninggalkan tahtahnya atau mencari Nirwana Wibisana harus memilih ikut
angkara atau ikut kebenaran. Sri Rama Harus memilih, mengorbankan
rakyatnya atau mengorbankan cintanya.
Sesudah manusia berani menetapkan pilihannya maka barulah
keputusan dan tindakan manusia itu berarti dan bermakna bagi
kehidupannya. Tanpa pendirian yang tegas mengenai pilihan dasarnya maka
sebenarnya manusia tidak menjalani kemanusiaaanya atau eksistensinya. Jadi
dengan demikian setiap tindakan manusia akan selalu didukung oleh suatu
sikap etis. Ia tidak akan dapat lari dan melepas tangung jawab dari tindakan-
tindakannya. Inilah salah satu ajaran wayang tentang bagaimana manusia
harus bersikap.

II.3.2 Asas Pancasila dalam Wayang


Rumusan Pancasila secara resmi ditetapkan dengan syah sebagai
falsafah Negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia sejak berlakunya
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea 4
tercanang rumusan Pancasila yang berbunyi: Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia. dan Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Jiwa Pancasila seperti yang termaktub dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, bukanlah masalah yang baru dalam
dunia pewayangan.
Asas Ketuhanan Yang Maha Esa
Dalam dunia pewayangan dikenal tokoh yang biasa disebut "Hyang
Suksma Kawekas" Tokoh ini tidak pernah diwujudkan dalam bentuk
wayang, tetapi diakui sebagai Dewa yang Tertinggi. Tokoh Dewa - Dewa
yang diwujud kan dalam bentuk wayang, misalnya: Batara Guru, Batara
Narada, Batara Wisnu, Batara Brahma, Batara Kamajaya dan lain sebagainya
dalam pewayangan digambarkan seperti manusia biasa. Mereka juga
dilukiskan memiliki watak serta tabiat yang banyak persamaannya dengan
manusia lumrah. Dalam ceritera-ceritera mereka sering pula berbuat salah,
bahkan tidak jarang terpaksa minta bantuan manusia dalam menghadapi hal-
hal tertentu. Kekawin Arjunawiwaha misalnya, merupakan contoh yang
jelas. Pada saat raksasa Nirwatakawaca mengamuk di Suralaya karena
maksudnya meminang Dewi Supraba ditolak para Dewa. Para Dewa tidak
mampu menghadapinya. Untuk mengamankan Suralaya para Dewa minta
bantuan bagawan Mintaraga atau bagawan Ciptaning yaitu nama Arjuna saat
menjadi pertapa. Sebagai imbalan jasa karena bagawan Ciptaning berhasil
membunuh Raksasa Nirwatakawaca diberi hadiah Dewi Supraba dan Pusaka
Pasopati. Disini terlihat bahwa kebenaran yang bersifat mutlak hanya
dimiliki Dewa Tertinggi yaitu Hyang Suksma Kawekas. Ajaran ini tidak jauh
berbeda dengan ajaran yang terkandung di dalam sila Ketuhanan Yang Maha
Esa
Asas Kemanusiaan
Jiwa yang terkandung dalam sila Kemanusiaan, pada hakekatnya
suatu ajaran untuk mengagung-agungkan norma-norma kebenaran.
Bahwasanya kebenaran adalah di atas segala- galanya. Kendatipun
kebenaran mutlak hanya berada di tangan Tuhan Yang Maha Esa, namun
untuk menjaga keseimbangan kehidupan antara manusia perlu dipupuk
kesadaran tenggang rasa yang besar.
Kebenaran yang sejati mempunyai sifat universal, artinya berlaku
kapan saja, dimana saja dan oleh siapapun juga. Tokoh dalam dunia
pewayangan yang memiliki sifat dan watak mengabdi kebenaran banyak
jumlahnya. Sebagai contoh dapat dipetik dari Serat Ramayana. Di dalam
Serat Ramayana dikenal putera Alengka bernama Raden Wibisono yang
mempunyai watak mencerminkan ajaran kemanusiaan. Kisah inti dalam
Serat Ramayana berkisar pada kemelut yang terjadi di antara Prabu
Dasamuka yang merampas isteri Rama. Tindakan Prabu Dasamuka ini dinilai
berada diluar batas kemanusiaan. Raden Wibisono sadar akan hal tersebut,
Prabu Dasamuka dianggap melanggar norma perikemanusiaan. Oleh karena
itu Raden Wibisono ikut aktif membantu Raden Rama untuk memerangi
saudaranya sendiri. Demi kemanusiaan Raden Wibisono rela mengorbankan
saudara sendiri yang dianggap berada dipihak yang salah.
Asas Persatuan
Dalam dunia pewayangan tokoh yang memilih jiwa kebangsaan
tinggi terlukis pada diri tokoh Kumbakarna digambarkan dalam bentuk
raksasa, namun memiliki jiwa ksatria. Sebagai adik Raja Dasamuka,
Kumbakarna memiliki sifat yang berbeda. Kumbakarna menentang tindakan
Prabu Dasamuka yang merampas Dewi Sinta isteri Rama.
Sikap menentang sama dengan sikap Raden Wibisono, tetapi jalan yang
ditempuh berbeda. Raden Wibisono menentang dengan aktif memihak Raden
Rama, tetapi Kumbakarna tetap berfihak Alengka demi negaranya. Niatnya
bukan perang membela kakaknya, tetapi bagaimanapun juga Alengka adalah
negaranya yang wajib dibela walaupun harus mengorbankan jiwa raga.
Oleh karena itu nama Kumbakarna tercanang sebagai nasionalis yang sejati.
Benar atau salah Alengka adalah negaranya.
Asas Kerakyatan / Kedaulatan rakyat
Dalam dunia pewayangan dikenal tokoh punakawan yang bernama
Semar. Semar adalah punakawan dari para ksatria yang luhur budinya dan
baik pekertinya. Sebagai punakawan Semar adalah abdi, tetapi berjiwa
pamong, sehingga oleh para ksatria Semar dihormati.
Penampilan tokoh Semar dalam pewayangan sangat menonjol. Walaupun
dalam kehidupan sehari-hari tidak lebih dari seorang abdi, tetapi pada saat-
saat tertentu Semar sering berperan sebagai seorang penasehat dan
penyelamat para ksatria disaat menghadapi bahaya baik akibat ulah sesama
manusia maupun akibat ulah para Dewa. Dalam pewayangan tokoh Semar
sering dianggap sebagai Dewa yang ngejawantah atau Dewa yang berujud
manusia. Menurut Serat Kanda dijelaskan bahwa Semar sebenarnya adalah
anak Syang Hyang Tunggal yang semula bernama Batara Ismaya saudara tua
dari Batara Guru.
Semar sebagai Dewa yang berujud manusia mengemban tugas khusus
menjaga ketenteraman dunia dalam penampilan sebagai rakyat biasa. Para
ksatria utama yang berbudi luhur mempunyai keyakinan bilamana menurut
segala nasehat Semar akan mendapatkan kebahagiaan. Semar dianggap
memiliki kedaulatan yang hadir ditengah-tengah para ksatria sebagai
penegak kebenaran dan keadilan. Dengan kata lain Semar adalah simbul
rakyat yang merupakan sumber kedaulatan bagi para ksatria atau yang
berkuasa.
Asas Keadilan Sosial
Unsur keadilan dalam dunia pewayangan dilambangkan dalam diri
tokoh Pandawa. Pandawa yang terdiri dari Puntadewa, Bima, Arjuna, Nakula
dan Sadewa secara bersama- sama memerintah Negara Amarta. Kelimanya
digambarkan bersama bahagia dan bersama-sama menderita Tiap-tiap tokoh
Pandawa mempunyai ciri watak yang berlainan antara satu dengan lainnya,
namun dalam segala tingkah lakunya selalu bersatu dalam menghadapi
segala tantangan. Puntadewa yang paling tua sangat terkenal sebagai raja
yang adil dan jujur ; bahkan diceriterakan berdarah putih. Puntadewa
dianggap titisan Dewa Dharma yang memiliki watak menonjol selalu
mementingkan kepentingan orang lain, rasa sosialnya sangat besar.

II.3.3 Penokohan Ramayana dalam Pembentukan Watak


Wayang adalah sebuah karya seni yang penuh simbol dan nilai-nilai
filosofi tentang kehidupan manusia. Ia banyak menampilkan aspek-aspek dan

problem-problem kehidupan manusia baik sebagai individu maupun warga


masyarakat luas. Wayang mengandung nilai-nilai kemanusiaan yang
universal dan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat pada jamannya.
Karakter setiap tokoh pewayangan merupakan lambang dari berbagai
pewatakan yang ada dalam kehidupan manusia. Misal watak baik, buruk,
kesetiaan dan lain-lain.
Walaupun kita hidup pada era teknologi informasi namun sebenarnya
wayang masih berperan dalam menjelaskan fenomena-fenomena modern,
karena dalam ceritera wayang mengandung ajaran moral yang sifatnya
universal dan berlaku sepanjang jaman. Bahwasanya wayang juga
mengajarkan kita untuk mengekang hawa nafsu menahan dahaga , lapar dan
agar “tapabrata” yang diartikan bukan untuk lari dari dunia nyata lalu hidup
menyepi di pantai dan merendam diri di tempuran sungai. Tetapi
dimaksudkan agar manusia tidak rakus, tidak menempatkan yang bersifat
materiil di atas segala-galanya.
Disisi lain wayang juga mengajarkan hemdaknya manusia dalam
melangkah maju tanpa was-was sampai memasuki dirinya sendiri hingga
pedalaman yang sedalam-dalamnya sehingga tidak mungkin lebih dalam
lagi, sampai ke akar yang yang terakhir dan berjumpa dengan dirinya sendiri.
Seperti dalam lakon “Dewa Ruci”.
Wayang juga mengingatkan kepada kita bahwa sesuatu yang semula
dianggap akan dapat membahagiakan hidupnya itu ternyata kalau dikejar
dengan penuh nafsu sampai melampaui batas kemampuan justru akan
menyebabkan malapetaka bagi pengejarnya “seperti dalam lakon Cupu
manik Astagina”.
Wayang juga mendemontrasikan hukum karma (ngunduh wohing
penggawe, utang pati nyaur pati, utang lara nyaur lara) Siapa yang menanam
akan memetik buahnya. Menanam kebajikan akan memetik kebajikan
sedangkan menanam kejahatan akan memetik kejahatan. Seperti dalam
lakon-lakon “baratayudha” dan juga mengajarkan memilah-milah mana yang
buruk dan mana yang baik dan yang “salah akan seleh”. Suradiro
jayanikanang rat, swuh brastha tekaping ulah darmastuti atau surodiro
jayaningrat lebur dening pangastuti. (Betapaun sura sakti dan besar
kekuasaanya, tetapi bila untuk tujuan yang tidak benar, tidak adil dan
angkara murka pasti akan sirna oleh budi luhur dan rahayu .
Ada banyak tokoh dalam seri Ramayana. Karena berbagai
keterbatasan tokoh yang dijadikan contoh terutama Dewi Shinta, Raden
Gunawan Wibisana, Raden Subali, Raden Sugriwa dan Patih Prahasta.
Dewi Shinta adalah putri Prabu Janaka dari kerajaan Mantili. Ia
menjadi istri Rama setelah melalui sayembara. Raden Gunawan Wibisana
adalah putra Dewi Sukesi dengan Resi Wisrawa. Ia terpaksa meninggalkan
negara Alengka dan berpihak pada Rama karena tidak setuju dengan
perbuatan kakaknya (Prabu Dasamuka raja Alengka) yang menculik Sinta.
Raden Subali dan Sugriwa adalah putra Resi Gotama dan Dewi Windradi.
Semula mereka berwajah tampan dengan nama Raden Guwarsa dan Raden
Guwarsi. Akibat perbuatannya sendiri (berebut sebuah cupu) mereka berubah
wujud menjadi kera dan namanya pun ikut diganti. Patih Prahasta adalah
putra Prabu Sumali dengan Dewi Danuwati. Prahasta adalah adik Dewi
Sukesi dan pada waktu Dasamuka mendi raja ia diangkat menjadi patihnya.
Kelima tokoh di atas memiliki karakter dan sifat-sifat tersendiri yang
bisa diambil hikmahnya dalam kehidupan kita. Banyak nilai-nilai yang dapat
diambil dan dipelajari.
a) Nilai kesetiaan
Nilai kesetiaan pada Dewi Shinta sangat jelas. Dia rela
menderita dengan ikut Rama hidup di hutan. Juga ketika dalam
cengkeraman Raja Dasamuka yang ingin memperistrinya, ia tak
bergeming sedikit pun walaupun diiming-imingi berbagai hal. Selain
kesetiaan hal ini juga menunjukkan kesucian hatinya. Nilai kesetiaan
juga diperlihatkan oleh Patih Prahasta yang rela mati (dalam perang
melawan Rama). Ia rela mati bukan membela Dasamuka yang angkara
murka, tetapi karena kesetiaan pada negaranya dan ketidakrelaannya
melihat prajurit Alengka banyak yang mati atau menderita karena
perang melawan pasukan Rama.
b) Nilai kepatuhan.
Kepatuhan memiliki nilai tinggi (dihargai dan dihormati)
buat orang yang menjalankannya, karena menjadi tolok ukur tentang
kehormatan, harga diri dan kepahlawanan seseorang. Dewi Shinta patuh

ketika menerima nsehat ayahnya untuk mengadakan sayembara memilih

suami. Raden Guwarsa dan Raden Guwarsi (Subali dan Sugriwa)


mematuhi perintah ayahnya untuk bertapa memohon ampun pada Tuhan
sebagai penebus perbuatannya.
c) Nilai kepemilikan.
Memiliki sesuatu itu (misal rumah, gelar, istri/suami) ada
aturan atau undang-undangnya. Artinya siapapun yang memiliki sesuatu

keberadaannya dilindungi undang-undang. Rama yang telah memiliki


Shinta tidak dapat diganggu gugat. Shinta yang telah “dimiliki” Rama
(sebagai suami) pun berusaha menjaga nilai kepemilikan tersebut.
Prahasta yang merasa memiliki negara Alengka merelakan kematiannya
karena membela negaranya. Ia mati demi harga dirinya dan harga diri
negara, bukan membela Dasamuka yang angkara murka.
d) Nilai kearifan dan kebijaksanaan.
Arif berarti tahu membedakan dan memilih antara yang baik dan
yang buruk. Bijaksana adalah sifat dan sikap yang dapat menempatkan
suatu masalah pada proporsi yang benar menurut aturan yang berlaku.
Karena itu rasa moral yang tinggi seharusnya melandasi semua pikiran
dan tingkah laku pemimpin. Dasamuka adalah raja yang tidak arif dan
bijaksana sehingga membawa kehancuran bagi rakyat dan negaranya.
Wibisana adalah tokoh yang arif dan bijaksana serta luas
pengetahuannya. Wibisana selalu menghargai pendapat orang lain baik
penguasa maupun rakyat kecil, selalu dapat menimbang apa yang
seharusnya dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan.
e) Nilai ksatria.
Sifat satria adalah sifat yang selalu membela kebenaran, tidak
takut menghadapi kesulitan serta bersedia mengakui kekurangan atau
kesalahannya. Atas dasar hal tersebut Wibisana berani
mengesampingkan nilai “berbakti” pada kakaknya. Ia dengan berani
tidak henti-hentinya menasehati Dasamuka agar mengembalikan Shinta
pada Rama, walaupun akibatnya ia diusir oleh kakaknya. Wibisana rela
meninggalkan kemewahannya di Alengka sebagai konskuensi dari
tindakannya. Hal ini juga mencerminkan sikap keteguhan hatinya.
f) Nilai pengendalian diri.
Pengendalian diri adalah sikap batin manusia dalam
usaha mengontrol nafsu-nafsunya dan melepaaskan pamrihnya untuk
mendapatkan keselarasan hidup. Sugriwa dan Subali adalah gambaran
manusia yang kurang bisa mengendalikan diri. Sekalipun mengetahui
ibunya telah menjadi tugu, mereka belum sadar akan perbuatannya dan
tetap berebut sebuah cupu, penyebab malapetaka keluarga Resi Gotama.
g) Nilai ketekunan dan keuletan.
Ketekunan dan keuletan diartikan sebagai sikap tidak menyerah
pada berbagai rintangan atau hambatan yang dihadapi demi mencapai
cita-cita atau tujuan (terlepas dari baik atau buruk tujuan tersebut).
Subali dan Sugriwa dengan sekuat tenaga berusaha memiliki cupu, juga
dengan tekun dan ulet melaksanakan tapa yang berat sebagai penebus
perbuatannya.
h) Nilai etika.
Berdasarkan etika seseorang harus dapat membedakan hal yang
buruk dan baik, hal yang benar dan hal yang salah. Prahasta adalah
gambaran orang yang bisa membedakan mana yang baik dan buruk,
mana yang benar dan mana yang salah. Ia penasehat Prabu Dasamuka
sekalipun nasehatnya tidak pernah diperhatikan. Ia menghadapi “buah
simalakama” tetapi tetap harus memilih. Akhirnya ia memilih menjadi
senapati Alengka bukan karena membela Dasamuka tetapi membela
negaranya.
Dari uraian di atas jelas terkandung nilai-nilai pendidikan, baik
pendidikan yang mengajarkan hubungan manusia dengan Tuhan, manusia
dengan manusia maupun manusia dengan lingkungan alam. Yang baik
adalah manusia bisa menjaga keharmonisan hubungan tersebut.

BAB III
PENUTUP

III.1 KESIMPULAN

1. Pertunjukan wayang kulit telah menjadi salah satu wahana terpenting


untuk menyampaikan berita dan ajaran yang bersifat kebudayaan kepada
masyarakat Jawa khususnya. Melalui cara ini mereka belajar membedakan
nilai-nilai positif dan negatif.
2. Nilai-nilai Pancasila tersebar luas melalui wayang, baik digambarkan
secara implisit maupun eksplisit.
3. Di dalam wayang terkandung simbol-simbol kehidupan yang dapat
dipergunakan sebagai media komunikasi dan media pendidikan.
4. Pagelaran wayang kulit syarat dengan nilai-nilai dan petuah hidup bagi
manusia. Wayang kulit merupakan refleksi budaya Jawa dalam pengertian
sebagai pencerminan dari kenyataan kehidupan, nilai dan tujuan
kehidupan, moralitas, harapan dan cita-cita kehidupan orang Jawa.
Sebagai suatu kebudayaan, dalam wayang terkandung ajaran-ajaran
bagaimana hidup itu harus dijalani. Melalui cerita wayang masyarakat
Jawa memperoleh gambaran kehidupan mengenai bagaimana hidup
sesungguhnya dan bagaimana hidup seharusnya.
5. Wayang sebagai kehidupan rohani masyarakat Jawa berisi nilai-nilai luhur
yang dapat membantu manusia dalam melangsungkan, mempertahankan
hidupnya, sehingga ia dapat mencapai kesempurnaan hidupnya, yakni
dapat membentuk dirinya menjadi manusia dan dapat menciptakan suatu
kehidupan yang lebih baik.

III.2 SARAN

Penulis menyarankan semua elemen saling memberikan kontribusi


yang nyata dalam pelestarian seni wayang di Indonesia karena wayang
adalah seni tradisional Indonesia dan pertunjukan wayang telah diakui oleh
UNESCO pada tanggal 7 November 2003, sebagai karya kebudayaan yang
mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan
sangat berharga. Pemerintah juga harus membuat wayang go internasional
dengan cara membuat pertunjukan wayang di luar negeri dan menggunakan
bahasa asing. Dengan cara tersebut, niscaya nama negara Indonesia
semakin harum dalam dunia internasional.

III.3 UCAPAN TERIMA KASIH

1) Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberi kami inspirasi dan
kesehatan sehingga bisa menyelesaikan makalah ini.
2) Bapak Darmoko dan Bapak Prasetyo, selaku dosen pembimbing.
3) Teman-teman satu kelompok.
4) Teman-teman MPK Seni Wayang.
5) Semua pihak yang telah membantu dalam penyelaesaian makalah ini.

III.4 DAFTAR PUSTAKA

 Darmoko, 1999, Wayang Bentuk Isi dan Nilainya. Depok: FSUI.


 http://ki-bambangasmara.com/detail_karawitan.php?xxx=41
(15 Oktober 2008)
 http://ki-bambangasmara.com/detail_karawitan.php?xxx=42
(15 Oktober 2008)
 http://ki-bambangasmara.com/detail_karawitan.php?xxx=43
(15 Oktober 2008)
 Prasetyo Muharam, Dimas. “Fungsi Wayang.” Wayang, So What Gitu
Lho!. http://dimasprasetyo.multiply.com/ (15 Oktober 2008)

You might also like