You are on page 1of 10

Globalisasi yang akrab dilatarbelakangi oleh aspek ekonomi telah membawa perubahan

tentang cara dan tujuan perang, cara/tujuan suatu negara dalam menguasai atau menaklukkan
negara lain. Semula untuk penguasaan teritori yang kadangkala berlatar belakang ideologi, telah
berubah menjadi penguasaan ekonomi (sumber daya). Cara perangpun lebih banyak dilakukan
dengan cara non militer dan menyangkut banyak aspek yang lebih efisien. 
 Namun demikian spektrum dan kom-pleksitas ancaman telah jauh melebar dan bersifat
multidimensional. oleh karenanya sishankamrata adalah jawaban yang tepat, karena hakekatnya
sishankam-rata adalah pengerahan total seluruh potensi bangsa, tidak hanya militer melainkan
potensi lain menyangkut ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, hukum, informasi, diplomasi dan
lainnya dalam upaya bela negara. landasannya adalah nasionalisme-patriotisme, yaitu kesa-daran
bela negara yang kuat, tangguh dan sikap pantang menyerah.
 Namun demikian, dalam perkembangan kekinian terdapat banyak masalah menyangkut,
sishankamrata tidak saja mengenai implementasinya tetapi juga termasuk pembiasan filosofi dan
makna sishankamrata. kalau hal ini dibiarkan, maka dalam waktu yang tidak terlalu lama niscaya
akan melemahkan sendi-sendi upaya pembelaan negara, membuat limbung sistem pertahanan-
keamanan, mengikis kedaulatan bangsa dan negara, sehingga dapat berujung pada perpecahan
bangsa.
 Beberapa hal yang dapat berpengaruh terhadap pembelaan negara seperti : interpretasi  keliru
mengatakan “dalam sishankamrata, rakyat dijadikan tameng hidup” (kombatan),
secara negatif, berimplikasi pada perumusan dan perubahan undang-undang. terjadi penyeder-
hanaan pengertian dalam konteks pemahaman bela negara.
 Dalam uud 1945 (asli) pasal 30 ayat (1) menyebutkan “tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut
serta dalam usaha pembelaan negara”, tetapi dalam uud 2002 (hasil perubahan)               menjadi :
“tiap - tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha  pertahanan-keamanan”, ini jelas
menyempitkan makna bela negara yaitu hanya pada aspek pertahanan-keamanan.
 Disamping itu dalam uu no. 3 tahun 2002 tentang per-tahanan negara, istilah sishankamrata diganti
menjadi sishanta, ini berarti terjadi pembelokan dan pembiasan filosofi dan makna fundamental dari
sishankamrata.
 Dalam sishankamrata seluruh rakyat sesuai dengan kemampuan, kekuatan, potensi, profesi atau
latar belakang keahliannya, dapat digunakan untuk kepentingan pertahanan guna mendukung
implementasi sishankamrata.
 Tentang konsep “keamanan nasional”, hal ini harus ditangani secara arif dan cerdas. pemilahan
secara tajam, mutlak dan dikotomis antara pertahanan dan keamanan dapat mengabaikan adanya
overlapping atau gray area antara lingkup tugas polri dan tni. padahal bila kita cerdas dan arif
memahami sejarah bangsa dan negara kesatuan republik indonesia dalam merebut dan
mempertahankan kemerdekaan, maka niscaya polri dan tni dapat didayagunakan secara optimal,
hingga dapat menangkal setiap ancaman, tanpa hambatan psikologis.
 Berikutnya, pada era perang masa kini, kekuatan senjata (hard power), telah digantikan oleh senjata
“informasi” untuk membangun persepsi dan kekuatan finansial (modal) untuk menguasai ekonomi.
 Lembaga swadaya masyarakat (lsm) dan perusahaan multi nasional (mnc) serta para elite politik dan
lsm dalam negeri yang terpengaruh sebagai kepanjangan tangan “mereka” adalah tentara baru bagi
penakluk sistem perekonomian dan sistem politik yang pada gilirannya “konstitusi dan nilai-nilai”
negara sasaranpun dirubahnya. tanpa disadari, sebenarnya saat ini bangsa indonesia sedang terlibat
dalam suatu peperangan dan ada dalam kondisi terkalahkan. terpinggirkan-nya nilai-nilai luhur
bangsa seperti kekeluargaan, gotong royong, toleransi, musyawarah mufakat diganti dengan
individualisme, kebebasan tanpa batas, pasar bebas, one man one vote, sistem politik yang “ultra
liberal” adalah pertanda bahwa bangsa indonesia dengan falsafah, ideologi pancasila telah
tersisihkan.
 Sekali lagi ditegaskan, “ancaman lebih pada aspek non militer”, karenanya kita harus menajamkan
perhatian pada aspek ini. dan bila ancaman ini terus berlangsung akan melemahkan ketahanan
nasional dan kekuatan pertahanan kita, yang bermula dari melemahnya semangat bela negara,
patriotisme serta semangat pengabdian terhadap kepentingan bangsa dan negara    indonesia.
 Menghadapi situasi yang demikian ini, maka segenap komponen bangsa harus merespon positif dan
bersifat segera guna mencari formula yang tepat.
 Sebagai salah satu komponen strategis bangsa yang berjiwa nasionalis, berwawasan kebangsaan
indonesia, para alumni resimen mahasiswa indonesia harus mengambil peran pada garda terdepan
dalam upaya kekuatan nasionalisme-patriotisme serta pening-katan kesadaran bela negara. dalam
kaitan ini sebagai motivator dan dinamisator, para alumni resimen mahasiswa indonesia dapat ikut
serta mendorong dan mendukung :
 1. Mengembalikan makna filosofi sishan-kamrata. pengelolaan yang benar dan arif atas seluruh
aspek kehidupan bangsa, aspek demografis dan geografis yang sangat heterogen itu, niscaya akan
menghasilkan kekuatan pertahanan yang mampu memancarkan “daya tangkal” yang ampuh untuk
menghadapi setiap ancaman.
 2. Berupaya mendorong pelurusan kembali (revisi dan reorientasi) perundang-undangan, uud yang
keluar dari spirit mukadimahnya, menimbulkan distorsi dalam beberapa pasal baik dalam uud sendiri
maupun dalam uu penja-barannya. karena itu perlu upaya pelurusan kembali agar tidak terjadi
proses implementasi sishankamrata yang justru keluar dari makna hakikinya.
 3. Memberi pencerahan tentang upaya bela negara. sebagai sosok yang sempat mengenyam
pendidikan tinggi dan berkesempatan ikut latsarmil serta pernah ikut mengusir kaum penjajah (c.m.-
corps mahasiswa 45, tp-tentara pelajar, dll), tentu peduli dan berkemampuan untuk menularkan
pemikiran dan pengalamannya pada lingkungan sekelilingnya dimanapun alumni resimen mahasiswa
indonesia berada.
 4. Penguatan patriotisme-nasio-nalisme akan kesadaran berbangsa-bernegara dan bela negara.
kedua hal ini merupakan syarat mutlak bagi implementasi sishankamrata. upaya ini harus diterapkan
kepada seluruh rakyat indonesia sejak usia dini lewat proses pendidikan formal maupun non formal.
dengan pengalaman, kemampuan dan keberadaan ditugas masing-masing tentu alumni mahasiswa
dapat berperan dibidang ini.
 5. Pembangunan ekonomi nasional dan industri pertahanan. perekonomian nasional yang kuat
adalah penopang dari kekuatan pertahanan, sebaliknya sekuat apapun kekuatan-pertahanan akan
rontok manakala tidak ditunjang perekonomian yang kuat. karenanya perlu segera ada upaya
membebaskan diri dari ketergantungan pada bangsa dan negara lain. kemandirian bangsa dalam
pengelolaan aset strategis dan sumber daya alam bangsa harus ditegakkan kembali. tanpa
kemandirian, amat sulit bagi bangsa indonesia memiliki daya tahan terhadap gejolak dari luar,
apalagi menghadapi ancaman-ancaman yang sifatnya sudah multidimensional.
 Spektrum ancaman yang demikian luas, mengharuskan kita dalam memahami arti pengertian bela
negara sebagai membela kepentingan nasional, bukan sekedar bela negara dalam konteks
pertahanan militer.
 Dengan demikian semua warga negara wajib ikut serta dalam peperangan melawan ancaman yang
membahayakan, integritas nkri. ancaman yang membahayakan identitas kelangsungan hidup bangsa
serta ancaman yang membahayakan pencapaian tujuan nasional.
http://www.borneotribune.com/headline/perlunya-sishankamrata-dalam-upaya-bela-negara.html

Korupsi dan Politik Hukum Ekonomi


Korupsi merupakan permasalah mendesak yang harus diatasi, agar tercapai pertumbuhan dan geliat
ekonomi yang sehat. Berbagai catatan tentang korupsi yang setiap hari diberitakan oleh media
massa baik cetak maupun elektronik, tergambar adanya peningkatan dan pengembangan model-
model korupsi. Retorika anti korupsi tidak cukup ampuh untuk memberhentikan praktek tercela ini.
Peraturan perundang-undang yang merupakan bagian dari politik hukum yang dibuat oleh
pemerintah, menjadi meaning less, apabila tidak dibarengi dengan kesungguhan untuk manifestasi
dari peraturan perundang-undangan yang ada. Politik hukum tidak cukup, apabila tidak ada recovery
terhadap para eksekutor atau para pelaku hukum. Konstelasi seperti ini mempertegas alasan dari
politik hukum yang dirancang oleh pemerintah tidak lebih hanya sekedar memenuhi meanstream
yang sedang terjadi.
Dimensi politik hukum yang merupakan “kebijakan pemberlakuan” atau “enactment policy”,
merupakan kebijakan pemberlakuan sangat dominan di Negara berkembang, dimana peraturan
perundang-undangan kerap dijadikan instrumen politik oleh pemerintah, penguasa tepatnya, untuk
hal yang bersifat negatif atau positif. Dan konsep perundang-undangan dengan dimensi seperti ini
dominan terjadi di Indonesia, yang justru membuka pintu bagi masuknya praktek korupsi melalui
kelemahan perundang-undangan. Lihat saja Undang-undang bidang ekonomi hasil analisis
Hikmahanto Juwana, seperti Undang-undang Perseroan Terbatas, Undang-undang Pasar Modal,
Undang-undang Hak Tanggungan, UU Dokumen Perusahaan, UU Kepailitan, UU Perbankan, UU
Persaingan Usaha, UU Perlindungan Konsumen, UU Jasa Konstruksi, UU Bank Indonesia, UU Lalu
Lintas Devisa, UU Arbitrase, UU Telekomunikasi, UU Fidusia, UU Rahasia Dagang, UU Desain Industri
dan banyak UU bidang ekonomi lainnya. Hampir semua peraturan perundang-undangan tersebut
memiliki dimensi kebijakan politik hukum “ kebijakan pemberlakuan”, dan memberikan ruang
terhadap terjadinya praktek korupsi.
Fakta yang terjadi menunjukkan bahwa Negara-negara industri tidak dapat lagi menggurui Negara-
negara berkembang soal praktik korupsi, karena melalui korupsilah sistem ekonomi-sosial rusak, baik
Negara maju dan berkembang. Bahkan dalam bukunya “The Confesion of Economic Hit Man” John
Perkin mempertegas peran besar Negara adidaya seperti Amerika Serikat melalui lembaga donor
seperti IMF, Bank Dunia dan perusahaan Multinasional menjerat Negara berkembang seperti
Indonesia dalam kubangan korupsi yang merajalela dan terperangkap dalam hutang luar negeri yang
luar biasa besar, seluruhnya dikorup oleh penguasa Indonesia saat itu. Hal ini dilakukan dalam
melakukan hegemoni terhadap pembangunan ekonomi di Indonesia, dan berhasil. Demokratisasi
dan Metamorfosis Korupsi Pergeseran sistem, melalui tumbangnya kekuasaan icon orde baru,
Soeharto. Membawa berkah bagi tumbuhnya kehidupan demokratisasi di Indonesia. Reformasi,
begitu banyak orang menyebut perubahan tersebut. Namun sayang reformasi harus dibayar mahal
oleh Indonesia melalui rontoknya fondasi ekonomi yang memang “Buble Gum” yang setiap saat siap
meledak itu. Kemunafikan (Hipocrasy) menjadi senjata ampuh untuk membodohi rakyat. Namun,
apa mau dinyana rakyat tak pernah sadar, dan terbuai oleh lantunan lembut lagu dan kata tertata
rapi dari hipocrasi yang lahir dari mulut para pelanjut cita-cita dan karakter orde baru. Dulu korupsi
tersentralisasi di pusat kekuasaan, seiring otonomi atau desentralisasi daerah yang diikuti oleh
desentralisasi pengelolaan keuangan daerah, korupsi mengalami pemerataan dan pertumbuhan
yang signifikan. Pergeseran sistem yang penulis jelaskan, diamini oleh Susan Rose-Ackerman, yang
melihat kasus di Italy, Rose menjelaskan demokratisasi dan pasar bebas bukan satu-satunya alat
penangkal korupsi, pergeseran pemerintah otoriter ke pemerintahan demokratis tidak serta merta
mampu menggusur tradisi suap-menyuap. Korupsi ada di semua sistem sosial –feodalisme,
kapitalisme, komunisme dan sosialisme. Dibutuhkan Law effort sebagai mekanisme solusi sosial
untuk menyelesaikan konflik kepentingan, penumpuk kekayaan pribadi, dan resiko suap-menyuap.
Harus ada tekanan hukum yang menyakitkan bagi koruptor. Korupsi di Indonesia telah membawa
disharmonisasi politik-ekonomi-sosial, grafik pertumbuhan jumlah rakyat miskin terus naik karena
korupsi.
Dalam kehidupan demokrasi di Indonesia, praktek korupsi makin mudah ditemukan dipelbagai
bidang kehidupan. Pertama, karena melemahnya nilai-nilai sosial, kepentingan pribadi menjadi
pilihan lebih utama dibandingkan kepentingan umum, serta kepemilikan benda secara individual
menjadi etika pribadi yang melandasi perilaku sosial sebagian besar orang. Kedua, tidak ada
transparansi dan tanggung gugat sistem integritas public. Biro pelayanan publik justru digunakan
oleh pejabat publik untuk mengejar ambisi politik pribadi, semata-mata demi promosi jabatan dan
kenaikan pangkat. Sementara kualitas dan kuantitas pelayanan publik, bukan prioritas dan orientasi
yang utama. Dan dua alasan ini menyeruak di Indonesia, pelayanan publik tidak pernah
termaksimalisasikan karena praktik korupsi dan demokratisasi justru memfasilitasi korupsi. Korupsi
dan Ketidakpastian Pembangunan Ekonomi Pada paragraf awal penulis jelaskan bahwa korupsi
selalu mengakibatkan situasi pembangunan ekonomi tidak pasti. Ketidakpastian ini tidak
menguntungkan bagi pertumbuhan ekonomi dan bisnis yang sehat. Sektor swasta sulit memprediksi
peluang bisnis dalam perekonomian, dan untuk memperoleh keuntungan maka mereka mau tidak
mau terlibat dalam konspirasi besar korupsi tersebut. High cost economy harus dihadapi oleh para
pebisnis, sehingga para investor enggan masuk menanamkan modalnya disektor riil di Indonesia,
kalaupun investor tertarik mereka prepare menanamkan modalnya di sektor financial di pasar uang.
Salah satu elemen penting untuk merangsang pembangunan sektor swasta adalah meningkatkan
arus investasi asing (foreign direct investment). Dalam konteks ini korupsi sering menjadi beban
pajak tambahan atas sektor swasta. Investor asing sering memberikan respon negatif terhadap hali
ini(high cost economy). Indonesia dapat mencapai tingkat investasi asing yang optimal, jika
Indonesia terlebih dahulu meminimalisir high cost economy yang disebabkan oleh korupsi. Praktek
korupsi sering dimaknai secara positif, ketika perilaku ini menjadi alat efektif untuk meredakan
ketegangan dan kebekuan birokrasi untuk menembus administrasi pemerintah dan saluran politik
yang tertutup. Ketegangan politik antara politisi dan birokrat biasanya efektif diredakan melalui
praktek korupsi yang memenuhi kepentingan pribadi masing-masing. Pararel dengan pendapat
Mubaryanto, yang mengatakan “Ada yang pernah menyamakan penyakit ekonomi inflasi dan
korupsi. Inflasi, yang telah menjadi hiperinflasi tahun 1966, berhasil diatasi para teknokrat kita.
Sayangnya sekarang tidak ada tanda-tanda kita mampu dan mau mengatasi masalah korupsi,
meskipun korupsi sudah benar-benar merebak secara mengerikan. Rupanya masalah inflasi lebih
bersifat teknis sehingga ilmu ekonomi sebagai monodisiplin relatif mudah mengatasinya. Sebaliknya
korupsi merupakan masalah sosial-budaya dan politik, sehingga ilmu ekonomi sendirian tidak
mampu mengatasinya. Lebih parah lagi ilmu ekonomi malah cenderung tidak berani melawan
korupsi karena dianggap “tidak terlalu mengganggu pembangunan”. Juga inflasi dianggap dapat
“lebih menggairahkan” pembangunan, dapat “memperluas pasar” bagi barang-barang mewah, yang
diproduksi. “Dunia usaha memang nampak lebih bergairah jika ada korupsi”! Apapun alasannya,
korupsi cenderung menciptakan inefisiensi dan pemborosan sektor ekonomi selalu terjadi. Output
yang dihasilkan tidak sebanding dengan nilai yang dikeluarkan, ancaman inflasi selalu menyertai
pembangunan ekonomi. GDP turun drastis, nilai mata uang terus tergerus. Akibat efek multiplier dari
korupsi tersebut. Mubaryanto menjelaskan, Kunci dari pemecahan masalah korupsi adalah
keberpihakan pemerintah pada keadilan. Korupsi harus dianggap menghambat pewujudan keadilan
sosial, pembangunan sosial, dan pembangunan moral. Jika sekarang korupsi telah menghinggapi
anggota-anggota legislatif di pusat dan di daerah, bahayanya harus dianggap jauh lebih parah karena
mereka (anggota DPR/DPRD) adalah wakil rakyat. Jika wakil-wakil rakyat sudah “berjamaah” dalam
berkorupsi maka tindakan ini jelas tidak mewakili aspirasi rakyat, Jika sejak krisis multidimensi yang
berawal dari krismon 1997/1998 ada anjuran serius agar pemerintah berpihak pada ekonomi rakyat
(dan tidak lagi pada konglomerat), dalam bentuk program-program pemberdayaan ekonomi rakyat,
maka ini berarti harus ada keadilan politik.
Keadilan ekonomi dan keadilan sosial sejauh ini tidak terwujud di Indonesia karena tidak
dikembangkannya keadilan politik. Keadilan politik adalah “aturan main” berpolitik yang adil, atau
menghasilkan keadilan bagi seluruh warga negara. Kita menghimbau para filosof dan ilmuwan-
ilmuwan sosial, untuk bekerja keras dan berpikir secara empirik-induktif, yaitu selalu menggunakan
data-data empirik dalam berargumentasi, tidak hanya berpikir secara teoritis saja, lebih-lebih
dengan selalu mengacu pada teori-teori Barat. Dengan berpikir empirik kesimpulan-kesimpulan
pemikiran yang dihasilkan akan langsung bermanfaat bagi masyarakat dan para pengambil kebijakan
masa sekarang. Misalnya, adilkah orang-orang kaya kita hidup mewah ketika pada saat yang sama
masih sangat banyak warga bangsa yang harus mengemis sekedar untuk makan. Negara kaya atau
miskin sama saja, apabila tidak ada itikad baik untuk memberantas praktek korup maka akan selalu
mendestruksi perekonomian dalam jangka pendek maupun panjang. Banyak bukti yang
menunjukkan bahwa skandal ekonomi dan korupsi sering terjadi dibanyak Negara kaya dan makmur
dan juga terjadi dari kebejatan moral para cleptocrasy di Negara-negara miskin dan berkembang
seperti Indonesia. Pembangunan ekonomi sering dijadikan alasan untuk menggadaikan sumber daya
alam kepada perusahaan multinasional dan Negara adi daya yang didalamnya telah terkemas praktik
korupsi untuk menumpuk pundit-pundi harta bagi kepentingan politik dan pribadi maupun
kelompoknya. http://intl.feedfury.com/content/30095993-makalah-korupsi-di-indonesia.html

Hukum Pertahanan Negara Mensinergiskan Seluruh Komponen Bangsa dalam


Pertahanan Negara Yang Berdimensi Hukum.
Jumat, 05 Desember 2008

Jika kita mengartikan mengsinergiskan seluruh komponen sebagaimana pengertian


"Melibatkan seluruh warga negara dalam keikutsertaannya menjaga keutuhan wilayah,
mengamalkan Pancasila sebagai Jiwa dari Undang-Undang Dasar 1945, yang merupakan
Konstitusi / Sumber dari segala sumber Hukum dan bersama-sama menegakkan hukum yang
bersifat khusus, artinya sanksi yang diberikan pada pelaku-pelaku pemecah kesatuan bangsa
yang melemahkan pertahanan negara".
sebagaimana kita ketahui bahwa KUHP yang digunakan merupakan ketentuan yang sanksi
pidanannya menggunakan ukuran sejak jaman Hindia Belanda. Sedangkan saat ini, dengan
kemajuan tehnologi yang sangat tinggi, suatu kejahatan yang dilakukan akan berakibat /
berdampak sangat luas. Saat jaman Hindia Belanda, pidana Kurungan selama 1 - 2 tahun saja
sudah merupakan sanksi pidana yang sangat berat untuk dilaksanakan bagi pelaku kejahatan
dan dampak kejahatannya pun tidak luas, hanya berdampak bagi keluarganya saja. Namun
saat ini, fenomenanya adalah pelaksanaan sanksi pidana kurungan, layaknya pindah tempat
tidur dan kejahatan tersebut berdampak sangat luas yang mengganggu pertahanan dan
keamanan negara. Penulis sangat berkeyakinan, alternatif kedua inilah yang paling
memungkinkan untuk dilakukan pada kurun waktu 5-10 tahun kedepan. Paling tidak, proses
pembentukan rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana agar dipercepat karena sudah
sangat diperlukan oleh Negara Indonesia guna menjaga pertahanan dan Keamanan yang
berwawasan nasional, seperti yang juga diutarakan Dr. Dewi Fortuna Anwar yang tetap
berpegang dalam dokrin Sishankamrata, dokrin wawasan nusantara dan dokrin ketahanan
nasional 5

Sudah saatnya, kita berbicara pertahanan negara seperti kita berbicara tentang masalah naik
turunnya nilai rupiah Bahan Bakar Minyak / BBM, karena aspek pertama yang
dipertimbangankan oleh investor asing maupun lokal adalah aspek Pertahanan suatu negara,
yang nantinya akan mengalir kearah aspek keamanan, ekonomi, hukum dan lain-lain.
Mengutip pernyataan Menteri Pertahanan dan Keamanan, Juwono Soedarsono yang
mengatakan bahwa persoalan pertahanan negara pada dasarnya memiliki ruang cakupan yang
luas, disatu sisi pertahanan dalam arti sempit menyangkut kekuatan militer, dan disatu sisi
lain,pertahanan secara luas menyangkut berbagai aspek kehidupan negara.

Menegakkan hukum dalam bidang pertahanan negara harus memiliki konsep yang
integralistik dan wawasan kebangsaan serta selalu mengedepankan aspek pertahanan negara
dalam mengambil keputusan, sehingga perlunya suatu hukum yang dapat memberikan sanksi
jika aspek pertahanan negara dikesampingkan, karena pertimbangan pertahanan dan
keamanan negara sudah bukan merupakan hal yang dapat ditawar-tawar lagi.
Penulis tidak membahas tentang fungsi dan tugas serta tanggung jawab TNI dan Polri yang
masih belum jelas. Penulis memfokuskan pada pertahanan dan keamanan yang menjadi tugas
dan tanggung jawab seluruh komponen bangsa Indonesia. Maka Meskipun Undang-Undang
yang mengatur sudah sedemikian lengkap dan banyak jumlahnya, sepertinya Undang-Undang
sebagai payung hukum yang dikeluarkan pun hanya bersifat “penanganan dini” atau
kita dapat mengistilahkan dengan “pertolongan pertama pada Kecelakaan”, sehingga
efektifitasnya masih perlu dipertanyakan.

Pertahanan Negara merupakan hak dan kewajiban bagi seluruh warga negara, namun ironis,
pertahanan negara dan keamanan negara yang menjadi hak warga sipil (TNI dan Polri hanya
sebagai bagian, yang menjadi kekuatan utama), merasa seperti tidak memiliki kepentingan
apa-apa terhadap pertahanan dan keamanan negara tersebut, cenderung tidak mau tahu dan
menyerahkan pelaksanaannya kepada TNI dan Polri saja, meskipun banyak lembaga-lembaga
lain yang terlibat, seperti Badan Intelijen Negara, Departemen Pertahanan, Departemen
Politik Hukum dan Keamanan dan lain sebagainya.

Jika menyelesaikan suatu masalah pertahanan dan keamanan, sangat terlihat adanya
kecenderungan berjalan sendiri-sendiri, sebagai contoh adalah ketika menangani suatu kasus
konflik di Poso, apakah pihak Badan Intelijen Negara dapat dengan mudah mengakses data-
data yang dimiliki Polri sebagai lembaga keamanan masyarakat, demikian sebaliknya apakah
Polri juga dengan mudan mengakses data-data yang dimiliki Badan Intelijen Negara, Apakah
TNI dapat mengakses dengan mudah data-data bea cukai atau pihak syahbandar pelabuhan
untuk melihat data-data manifes kapal-kapal yang dicurigai mengangkut senjata, Apakah
dengan mudah Polri mengakses data milik Pemda setempat, demikian sebaliknya.

Sebagai contoh untuk memperkuat pertahanan negara dari ancaman Biodefence dengan
ditemukannya pusat penelitian berbasis militer milik Amerikat Serikat yang disebut dengan
Namroe terdapat diinstalasi Departemen Kesehatan Republik Indonesia, hal itu menunjukkan
tidak adanya keterangan atau data yang sinergis dan jelas antara kedua lembaga, padahal
keberadaanya bukan hanya urusan Departemen Kesehatan saja, namun juga merupakan
urusan Departemen Pertahanan, kecuali jika memang keberadaannya dibiarkan dengan alasan
kepentingan politik yang lebih besar. Kementerian Negara Ristek misalnya, terkait dengan
pengembangan dan pembangunan saint dan teknologi, Departemen Kesehatan lebih kepada
unsur kesehatan sumber daya manusia yang dapat menjadi potensi kekuatan pertahanan
negara.

Negara Indonesia masih sangat jauh untuk berbicara tentang pertahanan negara dalam bentuk
Peperangan antar negara, hal itu dapat kita lihat bahwa saat ini negara kita “membiarkan
diri” dijajah dalam bentuk lain oleh negara adidaya, dengan alasan politik. Jelaslah, bahwa
kita masih harus menggunakan soft power untuk pengertian persatuan dan kesatuan serta
keamanan bangsa Indonesia dalam satu istilah yaitu “Pertahanan Negara”.

Pertahanan negara yang dibutuhkan saat ini adalah pertahanan negara secara internal atau
kedalam. Sebagai negara hukum, menurut penulis perlu adanya suatu norma hukum yang
mengatur bagaimana setiap warga negara Indonesia lebih mempertimbangkan aspek
Pertahanan Negara sebelum berbuat yang merugikan negara, baik merugikan secara Ideologi,
politik, ekonomi dan Sosial budaya. Kita dapat menyebutnya sebagai "Hukum Pertahanan
Negara". Hal tersebut sama saat umat beragama yang mengedepankan nilai-nilai agamanya
sebelum berbuat sesuatu.

Dengan kondisi negara yang sudah tidak terkendali lagi, baik dari segi hukum, tata
negara/pemerintahan, ekonomi, dimana korupsi dilakukan secara gotong royong, moralitas
bangsa yang rendah, rasa cinta tanah air yang menipis, rasa bela bangsa, bela negara yang
sudah hilang. Sebenarnya banyak cara dan sistem yang mudah untuk dilakukan, misalnya kita
mengenal yang dinamakan penataran “Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila”, kita mengenal materi kuliah “Kewiraan”, kita mengenal materi pelatihan
“Bela bangsa” pada seluruh instansi, program itu dapat disosialisasikan kembali dengan
penerapan hukum yang jelas, agar kesalahan-kesalahan atau penyelewengan-penyelewengan
nilai-nilai Pancasila dapat diberi sanksi hukum yang jelas, tegas dan tepat sasaran.

Di Indonesia, sangat banyak yang mengupas masalah Pertahanan Negara, kita ambil contoh
yang buku-bukunya telah penulis baca antara lain : Letjen TNI Agus Widjojo dalam
“wawasan masa depan tentang sistem pertahanan keamanan negara”, Dr. Dewi Fortuna
Anwar dalam “Sasaran Sishankamrata 5-10 tahun mendatang”, Indira Sambego dalam
“Sistem Pertahanan keamanan Negara, analisis Potensi dan Problem”, Connie
Rahakundini Bakrie dalam “ Pertahanan Negara dan Postur Ideal TNI” serta banyak
lagi para pengamat pertahanan negara yang panjang lebar menjelaskan sesuai dengan
keilmuannya, Namun, sepertinya tidak realistis untuk masa krisis seperti saat ini karena
kebanyakkan mengulas tentang bagaimana meningkatkan kekuatan militer sebagai kekuatan
inti dari pertahanan negara, baik pengadaan alat utama sistem persenjataan / Alutsista,
padahal kondisi ekonomi negara Indonesia masih sangat jauh dari ideal untuk mencapai
kebutuhan standart negara Indonesia.

Kondisi Negara Indonesia dalam bidang Pertahanan Negara masih harus lebih
mengedepankan soft power dengan kekuatan utamanya pada kekuatan rakyat secara
keseluruhan sehingga kita harus membiasakan diri bahwa berbicara pertahanan keamanan
sama halnya dengan prasarana umum yang sangat dibutuhkan oleh rakyat, begitu yang
disampaikan oleh Menteri Pertahanan Negara. Sebagaimana diketahui bahwa konsentrasi
strategi pertahanan negara maju berbeda dengan negara berkembang. Negara maju akan
memiliki konsepsi yang bersifat keluar (outward looking), sedangkan negara berkembang
masih banyak diwarnai oleh konflik internal, tindakan kuratif umumnya digunakan untuk
mencari solusi atas berbagai persoalan keamanan negara.
Sebagai Negara Hukum, yang mensinergiskan seluruh komponen bangsa dalam dimensi
hukum, maka mohon "Hukum Pertahanan Negara" sudah harus mulai dibuat rancangannya.

Penulis :
Arief Fahmi Lubis, SE, MH
( Perwira Mahasiswa Sekolah Tinggi Hukum Militer)
arieflubis96_hukum@yahoo.co.id

You might also like